Anda di halaman 1dari 7

Kasus: Bidan Pustu Diduga Lakukan Malpraktek

Palembang, CyberNews. Bidan Puskesmas Pembantu (Pustu) Kelurahan 5 Ulu, Kecamatan


Seberang Ulu 1, Kota Palembang, Sumatra Selatan, Yt, diduga melakukan malpraktik
sehingga mengakibatkan seorang bayi pasiennya meninggal dunia setelah diobati.

Informasi dari Pustu itu, Jumat, menyebutkan, dugaan telah terjadi malpraktik dilakukan
bidan Yt, karena setelah memberi obat pasiennya, Paris (3 bulan), justru mengalami kejang-
kejang dan tubuhnya membiru.

Kondisi tersebut terjadi sekitar setengah jam, usai Paris diberi tiga macam obat oleh bidan
tersebut.

Kendati bayi itu sempat dibawa ke RSUD Bari Kota Palembang untuk mendapatkan
pertolongan, namun tidak lama kemudian ia meninggal dunia, Orang tua bayi itu, Santi (45),
membenarkan kejadian yang dialami anaknya tersebut.

Namun menurut Kepada Dinas Kesehatan Kota Palembang, Gema Asiani, obat yang
diberikan kepada Paris oleh bidan Yt sesuai standar.

Menurut Gema, dengan penyakit panas yang diderita pasien itu, bidan bersangkutan
memberikan obat yang sesuai, yaitu pil CTM, Paracetamol, dan obat batuk warna merah.

Belum diketahui kemungkinan kasus ini akan dituntut keluarga pasien atau tidak, sehingga
dapat diproses lebih lanjut atau kedua orang tuanya telah menerima keadaan tersebut.

Di Sumsel saat ini telah berjalan program pengobatan gratis, khususnya diperuntukkan bagi
warga kurang mampu di daerah ini, sehingga mendorong optimalisasi fungsi puskesmas
dan puskesmas pembantu maupun RS pemerintah dan RS swasta jejaring layanan gratis
tersebut.

Kritik:
Menurut kami kejadian yang dialami dalam berita tersebut tidak dapat sepenuhnya
menyalahkan bidan karena bidan sudah melakukan prosedur sesuai dengan standar. Bidan
menolong persalinan, apabila suhu tubuh bayi naik dan badan bayi panas maka otomatis
bidan akan memberikan paracetamol atau obat penurun panas lainnya. Namun kembali
pada kondisi fisiologi ibu ketika hamil. Saat sebelum hamil atau sewaktu hamil apakah ibu
tersebut melakukan pemeriksaan dan konsultasi kehamilan ke bidan pustu tersebut atau
tidak.

Sebagai salah satu tenaga kesehatan, bidan dalam menjalankan praktik harus sesuai
dengan kewenangan yang didasarkan pada kompetensi yang dimilikinya (lihat Pasal 62 ayat
(1) UU Tenaga Kesehatan). Menurut penjelasan Pasal 62 ayat (1) huruf c UU Tenaga
Kesehatan, yang dimaksud dengan "kewenangan berdasarkan kompetensi" adalah
kewenangan untuk melakukan pelayanan kesehatan secara mandiri sesuai dengan lingkup
dan tingkat kompetensinya, antara lain untuk bidan adalah ia memiliki kewenangan untuk
melakukan pelayanan kesehatan ibu, pelayanan kesehatan anak, dan pelayanan kesehatan
reproduksi perempuan dan keluarga berencana.
Jika bidan tidak melaksanakan ketentuan dalam Pasal 62 ayat (1) UU Tenaga Kesehatan, ia
dikenai sanksi administratif. Ketentuan sanksi ini diatur dalam Pasal 82 ayat (1) UU Tenaga
Kesehatan.

Sanksi yang dikenal dalam UU Tenaga Kesehatan adalah sanksi administratif, yakni sanksi
ini dijatuhkan jika bidan yang bersangkutan dalam menjalankan praktiknya tidak sesuai
dengan kompetensi yang dimilikinya.

Dengan kata lain, jika memang memberikan obat atau suntikan bukanlah kompetensi yang
dimilikinya, maka sanksi yang berlaku padanya adalah sanksi administratif bukan sanksi
pidana.

Akan tetapi, apabila ternyata pemberian obat atau suntikan itu merupakan suatu kelalaian
berat yang menyebabkan penerima pelayanan kesehatan menderita luka berat, maka bidan
yang bersangkutan dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.
Sedangkan jika kelalaian berat itu mengakibatkan kematian, bidan tersebut dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun (lihat Pasal 84 UU Tenaga Kesehatan).

Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan ibu berwenang untuk: (Pasal 10 ayat 3
Permenkes 1464/2010):

a. episiotomi;
b. penjahitan luka jalan lahir tingkat I dan II;
c. penanganan kegawat-daruratan, dilanjutkan dengan perujukan;
d. pemberian tablet Fe pada ibu hamil;
e. pemberian vitamin A dosis tinggi pada ibu nifas;
f. fasilitasi/bimbingan inisiasi menyusu dini dan promosi air susu ibu eksklusif
g. penyuluhan dan konseling;
h. pemberian uterotonika pada manajemen aktif kala tiga dan postpartum;
i. bimbingan pada kelompok ibu hamil;
j. pemberian surat keterangan kematian; dan
k. pemberian surat keterangan cuti bersalin.

Sedangkan bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan anak berwenang untuk (Pasal
11 ayat (2) Permenkes 1464/2010):

a. melakukan asuhan bayi baru lahir normal termasuk resusitasi, pencegahan


hipotermi, inisiasi menyusu dini, injeksi Vitamin K 1, perawatan bayi baru lahir pada
masa neonatal (0 28 hari), dan perawatan tali pusat;
b. penanganan hipotermi pada bayi baru lahir dan segera merujuk;
c. penanganan kegawat-daruratan, dilanjutkan dengan perujukan;
d. pemberian imunisasi rutin sesuai program pemerintah;
e. pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita dan anak pra sekolah;
f. pemberian konseling dan penyuluhan;
g. pemberian surat keterangan kelahiran; dan
h. pemberian surat keterangan kematian.
Tindakan bidan untuk menyelamatkan bayi yang sudah sesuai dengan prosedur bukan
merupakan tindakan malpraktik kebidanan. Bidan pustu dalam kasus tersebut sudah
memberikan obat yang dibutuhakan bayi dengan benar. Namun tidak diketahui bahwa
sebelum melahirkan apakah si ibu periksa di bidan pustu yang sama ataukah periksa di
tempat lain sehingga akan mempersulit bidan yang menolong persalinan karena tidak
memiliki riwayat rekam medis dari pasien.

Saran:
Dari teks berita tersebut, saran kepada pasien yaitu apabila periksa kehamilan dan
konsultasi kehamilan di bidan A dan sebaiknya melahirkan di bidan A dengan alasan bidan
A merupakan bidan yang mengontrol dan mengamati perkembangan janin akan mudah
diatasi dibandingkan dengan bidan yang tidak memiliki rekam medik sama sekali karena hal
tersebut dapat membingungkan bidan bahkan dapat merugikan bidan. Misalnya jika pada
pertolongan persalinan bidan tidak mengerti bahwa ibu tersebut mengalami penyakit
jantung, maka akan menimbulkan komplikasi yang tidak diinginkan. Sebaiknya ibu mencari
bidan yang sama dengan bidan yang mengontrol kehamilan.

Saran untuk bidan dari teks tersebut adalah bidan merupakan pekerjaan yang mulia.
Dengan tangan halus seorang wanita, bidan diwajibkan untuk dapat menyelamatkan 2
nyawa sekaligus saat dalam proses persalinan. Hal itu jelas tidak mudah. Sebaiknya apabila
ada pasien yang ingin melahirkan dan bukan pasien yang sering mengontrol kehamilan
kepada anda, sebaiknya anda meminta rekam mediknya atau dapat menghimbau pasien
untuk lebih baik melahirkan di tempat bidan yang mengontrol kehamilan klien. Jika hal
tersebut tidak memungkinkan, alangkah baiknya bidan membaca rekam medik dahulu
sebelum membuat tindakan. Karena kita tidak tahu apakah klien tersebut memiliki penyakit
bawaan yang dapat menyebabkan komplikasi atau tidak. Hal tersebut sebaiknya dilakukan
karena demi menghindari kesalahpahaman klien dan tuntutan yang mungkin akan
dilontarkan kepada bidan yang membantu saat persalinan dan untuk jaga-jaga apabila ada
suatu hal yang tidak diinginkan dan diluar dugaan. Dokumentsi sangat penting dalam
kebidanan.

Kasus: Jerat Hukum Bagi Bidan yang Membantu Aborsi

Sepasang kekasih yang tengah duduk di bangku SMA bernama Romeo (17 tahun) dan
Juliet (16 tahun) datang ke bidan Ira untuk melakukan aborsi. Setelah dilakukan anamnesa
oleh bidan Ira diketahui usia kandungan Juliet 9 minggu. Juliet mengatakan bahwa ia
sedang mengandung janin dari hasil hubungan seks bebas dengan Romeo (bidan Ira
dikenal sebagai bidan praktik mandiri sekaligus menyediakan jasa aborsi). Bidan ira
menyatakan sanggup dan meyakinkan pada Juliet bahwa ia mampu menggugurkan janin
tersebut. Setelah selesai berunding kemudian bidan ira melakukan aborsi. Di tengah proses
pengguguran Juliet

mengalami perdarahan akibat rubture uteri dan meninggal dunia.

Kritik:
Pada dasarnya menurut UU No.36 Tahun 2014 tentang tenaga kesehatan pasal 60 huruf b
menyatakan bahwa setiap tenaga kesehatan bertanggungjawab untuk bersikap dan
berperilaku sesuai dengan etika profesi dan pada pasal 62 ayat (1) menyatakan bahwa
Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik harus dilakukan sesuai dengan kewenangan
yang didasarkan pada Kompetensi yang dimilikinya. Bidan tidak berwenang melakukan
aborsi. Yang berwenang melakukan aborsi adalah dokter.

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2017 Tentang
Izin Dan Penyelenggaraan Praktik Bidan pasal 28 huruf g menyatakan bahwa dalam
menjalankan praktik kebidanannya, bidan bertanggungjawab untuk mematuhi standar
profesi, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional. Aborsi yang dilakukan oleh
bidan dengan alasan tidak termasuk alasan medis sudah termasuk pelanggaran terhadap
standar prosedur operasional.

Menurut UU No.4 tahun 2019 tentang kebidanan pasal 61 huruf a menyatakan bahwa bidan
dalam melaksanakan praktik kebidanan berkewajiban memberikan pelayanan kebidanan
sesuai dengan kompetensi, kewenangan, dan mematuhi kode etik, standar profesi, standar
pelayanan profesi, standar prosedur operasional. Melakukan aborsi tanpa indikasi medis
merupakan pelanggaran terhadap kode etik kebidanan seperti yang tertuang dalam pasal
tersebut.

Aborsi adalah kegiatan pengguguran janin yang ada dalam kandungan. Hal ini sama dengan
membunuh bayi yang tidak berdosa. Membunuh manusia saja sudah menyebabkan dosa
besar, apalagi membunuh bayi yang tidak berdosa. Dalam semua agama pasti aborsi
menjadi larangan karena sama halnya dengan membunuh ciptaan Tuhan. Hal tersebut
tercantum dalam pasal 74 ayat (1), (2), dan (3) UU No.36 tahun 2014 tentang kesehatan
yang berbunyi:

(1) Setiap pelayanan kesehatan reproduksi yang bersifat promotif, preventif, kuratif,
dan/atau rehabilitatif, termasuk reproduksi dengan bantuan dilakukan secara aman
dan sehat dengan memperhatikan aspek-aspek yang khas, khususnya reproduksi
perempuan.
(2) Pelaksanaan pelayanan kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan tidak bertentangan dengan nilai agama dan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Ketentuan mengenai reproduksi dengan bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Dalam UU tenaga kesehatan diperbolehkan melakukan aborsi apabila keadaan sesuai


dengan indikasi legalitas aborsi menurut UU No.36 tahun 2014 tentang kesehatan pasal 75
hingga 77 sebagai berikut:

Pasal 75
1. Setiap orang dilarang melakukan aborsi.
2. Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan:
a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik
yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita
b. penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat
diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
c. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi
korban perkosaan.
3. Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui
konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan
yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan, sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 76
Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan:
a. sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid
terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis;
b. oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki
sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;
c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan
e. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 77
Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 75 ayat (2) dan ayat (3) yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung
jawab serta bertentangan dengan norma agama dan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Dalam UU Kesehatan ada sanksi pidana bagi orang yang melakukan aborsi tidak sesuai
dengan ketentuan Pasal 75 UU Kesehatan, yaitu dalam Pasal 194 UU Kesehatan:

"Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)."

Berdasarkan ketentuan di atas, dapat kita lihat bahwa UU Kesehatan tidak membedakan
hukuman pidana bagi ibu si bayi maupun bidan yang membantu aborsi. Ini berbeda dengan
ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ("KUHP"). Merujuk pada ketentuan
dalam KUHP, si bidan dapat dihukum dengan Pasal 349 dan Pasal 348 KUHP:

Pasal 349 KUHP:

"Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan
pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang
diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat
ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam
mana kejahatan dilakukan."

Pasal 348 KUHP:


(1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang
wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun enam bulan.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana
penjara paling lama tujuh tahun.

Karena sudah ada ketentuan yang mengatur lebih khusus yaitu UU Kesehatan, maka yang
berlaku adalah ketentuan pidana dalam UU Kesehatan bagi si bidan.

Ini berarti si bidan dapat dihukum karena melanggar Pasal 75 UU Kesehatan dengan
ancamana hukuman sebagaimana terdapat dalam Pasal 194 UU Kesehatan yang telah
disebutkan di atas.

Sedangkan bagi si laki-laki, Anda tidak menyebutkan apakah si laki-laki ikut menghasut si
perempuan atau tidak. Jika si laki-laki tidak melakukan tindakan apa-apa, maka ia tidak
dapat dihukum pidana.

Akan tetapi si laki-laki dapat dihukum karena hubungan seks yang dilakukan dengan
pacarnya yang masih anak-anak. Yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang
belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan
(Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak - "UU
Perlindungan Anak").

Sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel Pelaku Persetubuhan Karena Suka Sama
Suka, Bisakah Dituntut?, orang yang melakukan persetubuhan dengan anak, meskipun
dilakukan atas dasar suka sama suka, dapat dijerat dengan Pasal 81 UU Perlindungan
Anak, yang selengkapnya berbunyi:

Pasal 81 UU Perlindungan Anak:

(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan
memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat
3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)
dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap
orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau
membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Saran:
Kepada orang tua sebaiknya memberikan pendidikan seks kepada anak. Memang terdengar
tabuh namun pendidikan seks sangat perlu diberikan kepada anak apalagi saat anak
memasuki usia remaja. Remaja memiliki keingintahuan yang sangat banyak. Ia akan
mencari tahu apa yang membuatnya penasaran. Oleh karena itu perlu adanya peran orang
tua untuk memberikan pendidikan seks kepada anak saat anak beranjak remaja untuk
mencegah seks bebas dan hal yang tidak diinginkan.

Kepada generasi muda seharusnya saudara gigih untuk mengukir prestasi


dan membuat bangga negeri. Mengharumkan ibu pertiwi hingga ke penjuru dunia ini.
Jangan malah asyik dengan pacaran dan kegiatan yang menimbulkan dampak negatif untuk
saudara. Bangunlah mimpi, belajarkan yang giat dan tekun, hindari pacaran yang terlewat
batas, perdalam ilmu agama, dan selalu berceritalah kepada orang tua tentang masalah
yang saudara alami. Buatlah orang tua saudara seperti teman curhat saudara, dimana
ketika saudara membutuhkan saran dan tempat untuk bersandar, orang tua akan dengan
senang merangkul saudara. Lakukanlah hal seperti itu supaya terhindar dari perbuatan yang
negatif dan tidak bermanfaat serta mencegah timbulnya hal yang tidak diinginkan.

Kepada bidan sebaiknya apabila ada klien yang ingin menggugurkan kandungannya
meskipun saudara bidan akan dibayar mahal untuk menggugurkan kandungan, tolong
jangan membantu untuk menggugurkan karena itu merupakan ciptaan Tuhan. Lalu apabila
ada sepasang kekasih dibawah umur yang sudah hamil duluan, sebaiknya bidan
memberikan nasihat dan edukasi, mengadakan konseling dengan klien yang bersangkutan
dan mediasi kepada kedua orang tuanya. Jangan malah meng "iya" kan dengan iming-iming
akan mendapat uang yang banyak. Menggugurkan bayi sama dengan membunuh ciptaan
Allah. Jika saudara menggugurkan bayi maka saudara sama dengan membunuh manusia.

Tugas bidan bukan untuk membunuh janin dan bukan untuk membunuh masnusia. Tugas
bidan adalah menyelamatkan nyawa sang janin dan ibu. Bidan menyelamatkan 2 nyawa
sekaligus dalam proses persalinan. Bukan membunuh salah satu dari mereka. Apabila
terdapat kondisi patologis, segera rujuk ke rumah sakit terdekat. Ranah bidan adalah
kehamilan fisiologis, bukan kehamilan patologis. Yang berwenang untuk mengatasi
kehamilan patologis adalah dokter. Yang berhak untuk mengaborsi dengan indikasi tertentu
seperti pasal yang sudah tertera tersebut mrupakan wewenang dokter. Bidan tidak
berwenang atas hal itu.

Jadilah bidan yang baik dan teladan, yang menjalankan tugas profesinya dengan ikhlas dan
dengan cinta. Menjadi bidan memang tidaklah mudah, terkadang kita akan diiming-iming
oleh tawaran untuk menggugurkan janin. Namun kembali lagi, pada mulanya kita juga
sebuah embrio, yang berkembang menjadi janin, kemudian bertumbuh dan berkembang
menjadi manusia dewasa saat ini. Janin psasti tidak mau ia harus mati sebelum bisa keluar
dari rahim ibu dan melihat indahnya dunia. Sebagai bidan kita harus selalu ingat itu. Berikan
pelayanan yang baik dan ramah kepada klien, terapkan 5S (salam, senyum, sapa, sopan
dan santu) kepada klien dan selalu patuhi standar pelayanan kebidanan, standar profesi
bidan dan kode etik. Semoga dengan menjadi bidan dapat menjadi ladang pahala untuk
kita.

Anda mungkin juga menyukai