Anda di halaman 1dari 8

Analisis Etik dan Legal Kasus dengan Bayi Meninggal Pasca Imunisasi pada Area

Keperawatan
Oleh: I Kadek Artawan
“Pada hari selasa 19/3/2013 lahir seorang anak laki-laki berinisial E putra dari pasutri H
dan F. Anak laki-laki ini lahir dengan berat 2.2 kg. Bayi itu menangis kencang dan
nyaring. Bayi yang beratnya kurang dari normal, dari tim dokter dan perawat yang membantu
persalinan dinyatakan sehat. Karena Bayi E sehat ke esokan harinya keluarga dan si abayi E
doperbolehkan pulang. Sebelum pulang ada seorang perawat memberikan suntikan. Perawat
sebelumnya menyuruh ibu si penunggu Bayi E untuk keluar ruangan. Kemudian Perawat
mengatakan si Bayi e diberikan suntikan imunisasi. Keluarga dan seorang bidan yang akan
mengajak si bayi pulang kaget karena anak yang lahir prematur dan baru lahir sudah
diberikan suntikan imunisasi. Suntikan obat yang diberikan perawat dilakukan tanpa
persetujaun dan inform konsen kepada kelurga. Sampai dirumah Bayi E masih sehat, masih
ingin minum susu. Besoknya pada dini hari, Bayi E mulai rewel dan demam. Bayi E semakin
panas dan muncul warna merah pada paha sampai ke punggung. Keluarga menduga panas
dan warna merah yang muncul akibat suntikan yang diberikan. Kemudian Bayi e diajak ke
Rumah sakit, sampai dirumah sakit detak jantung Bayi masih ada, namun beberapa menitnya
bayi E meninggal.” Di kutip dari harian radar riau.
(http://m.merdeka.com/peristiwa/kisah-bayi--prematur-meninggal-setelah-disuntik-
perawat.html.)
Kasus diatas menjelaskan terjadi kasus meninggalnya bayi E setelah mendapatkan
suntikan dari seorang perawat. Bayi E meninggal setelah rewel, panas, dan berapa bagian tubuh
memerah yang muncul akibat suntiikan yang diberikan. Reaksi yang timbul mungkin efek
samping dari imunisasi yang diberikan. Keluarga tidak tanggap terhadap hal itu karena
sebelumnya tidak diberikan edukasi oleh perawat. Keluarga seharusnya mendapatkan edukasi
yang cukup saat bayi E di pulangkan sehingga ketika terjadi reaksi obat keluarga Bayi E bisa
mengambil tindakan. Bayi E bisa mendaptkan pertolongan segera dan bisa saja tidak sampai
meninggal (Tschanen & Lee, 2012: Butts, 2012; Jomsri et al, 2007)
Meninggalnya Bayi E bisa bukan karena suntikan yang diberikan. Efek samping
imunisasi yang menimbulkan panas dan alergi bisa menyebabkan si anak dehidrasi sehingga
berakibat fatal. Suntikan imunisasi bisa sebagai pemicu timbulnya panas dan akibat
pertolongan yang lambbat Bayi E tidak tertolong. Perawat mempunyai tanggungjawab secara
moral dan etika terhadap kasus yang menimpa Bayi E. Perawat bisa saja lalai dalam
pelaksanaan proses keperawatan sehingga tidak memeberikan perawatn profesional. Perawat
sebagai perawat profesional menajdi melanggar nilai-nilai keperawatan yang ada (Rifani, &
Sulihandari, 2013; Blais et al, 2010)
Berdasarkan analisis kasus diatas perawat melanggar beberapa nilai-nilai keperawatan.
Perawat melanggar nilai Altuirsm (mengutamakan orang lain) dan
nilai truth (kebenaran). Dalam artian perawat tidak melakukan komunikasi terapeutik terhadap
pasien dalam pemberian tindakan. Perawat sebelum melakukan tindakan penyuntikan tidak
memberikan informasi yang benar kepada keluarga (orang tua) Bayi E. Dimna kondisi bayi
berat bdan belum ideal walaupun dikatakan dalam keadaan sehat. Sehingga orang tua Bayi E
menajdi kaget setelah perawat melakukan suntikan imunisasi. Sikap perawat seperti itu
mencerminkan tidak berpegang pada nilai – nilai keperawatan yang harus mengutamakan
orang lain dan nilai kebenaran. Perawat menyebabkan kerugian pada Bayi E yang berakhir fatal
dengan kematian (Rifani, & Sulihandari, 2013; Blais et al, 2010).
Kematian bayi E akibat suntikan imunisasi yang diberikan oleh perawat juga melanggar
asas keprawatan. Perawat dalam memberikan asuhan keperawatan, khusunya pada kasus diatas
delegasi dalam pemberian imunisasi melanggar beberapa asas keperawatan. Hal ini terkait
dengan keadaan si bayi yang kurang dari berat badan ideal walapun dinyatakan sehat. Prinsip
keperawatan yang dilanggar berupa autonomy, beneficience dan nonmalficience. Perawat
dikatakan melanggar asas autonomy karena tidak melakukan inform consent pasien telebih
dahulu dalam melakukan tindakan. Perawat tidak melibatkan keluarga (orang tua) dalam
pengambilan keputusan apakah bayi E diberiakn imunisasi saat pulang apa bisa ditunda.
Perawat tidak memertimbangkan keadaan Bayi E serta tidak mendapat persetujuan dari orang
tua si Bayi. Perawat seharusnya terlebih dahalua menginformasikan tindakan yanag akan
dilakukan dan mendapt persetujuan dari keluarga sehingga kelaurga terlibat dalam
pengambilan keputusan (Rifani, & Sulihandari, 2013; Blais et al, 2010; Butts et al, 2010).
Perawat tidak memberikan informasi yang jelas tentang tindakan yang dilakukan oleh
perawat. Perawat tidak memberitahukan obat apa yang diberikan, tujuan diberikan obat, apa
reaksi yang mungkin timbul dan bagaimana harusnya keluarga mengambil sikap jika obat yang
diberikan menimbulkan efek samping. Perawat tidak melakukan infrom consent dan edukasi
terhadap tindakan yang diberikan. Sehingga keluarga menyalahkan perawat karena infromasi
yang diterima oleh keluarga tidak jelas. Keluarga merasa dirugikan atas tindkan yang dilakukan
perawat. Perawat dalam kasus ini melanggar prinsip beneficence. Prinsip beneficience yang
mengutamakan kebaikan dan tidak merugikan orang lain. Perawat dalam melakukan proses
keperawatn harusnya bermaanfaat bagi pasien. Bermaanfaat dalam artian tidak hanya obat
yang diberikan memberikan kesembuhan tetapi pasien juga mendapatkan informasi yang jelas
tenatang tindakan keperawatan yang didapat pasien. Perawat perlu kesadaran dalam
mengamalkan prinsip beneficence sehingga benar- benar bermaanfaat bagai pasien
(Grace, 2009; Hasyim & Prasetyo, 2012; Blais et al, 2010)..
Perawat juga harusnya mengamalkan prinsip Non-malficence. Perawat dalam
melakukan proses keperawatan tidak menimbulkan terjadinya risiko bahaya pada pasien.
Perawat dalam kasus Bayi E melanggar prinsip ini. Hal ini karena dalam pemberian suntikan
imunisasi, Bayi E berat badan belum ideal dan lahirnya belum cukup bulan. Bayi E bisa
diaktakan bayi prematur. Perawat yang memberikan imunisasi dalam keadaan bayi E prematur
bisa membahayakan keselamatan sehingga berakhir dengan kematian. Selain itu, faktor tidak
adanya edukasi dan pemberian informasi saat pulang menjadi salah faktor yang menyebabkan
kematian Bayi E. Bayi E yang dalam keadaan panas dan badan memerah serta riawayat
kelahiran prematur bisa faktor yang mempercepat proses dehidrasi dan akhirnya menimbulkan
kematian. Keluarga tidak tahu bahwa kalau terjadi reaksi seperti itu Si bayi seharunya segera
dibawa kepelayanan kesehatan. Perawat seharusnya menjadi lebih berhati-hati dalam
pemebrian asuhan keperawatan sehingga proses keperawatan sesuai standar dan secara
profesional (Grace, 2009; Hasyim & Prasetyo, 2012; Blais et al, 2010).
Perawat juga melanggar prinsip veracity (kejujuran). Perawat tidak jujur terhadap diri
sendiri dan pasien. Pasien tidak memebrikan informasi yang benar dan jelas terkait tindakan
imunisasi yang dberikan. Sehingga perawat dikatakan sudah melanggar prinsip veracity.
Perawat yang profesional seharusnya memberikan pemahaman sesuai dengan tingkat
pendidikan keluarga sehingga orang tua bayi menjadi paham terhadap tindakan keperawtan
yang diberikan. Orang tua menajdi tahau konsekuensinya dan tidakna yang diambil jika terjadi
konsekuensi dari tindakan yang diberikan. Pelanggaran terhadap nilai ini sehingga
menimbulkan kemrahan orang tua bayi E terhadap perawat(Grace, 2009; Hasyim & Prasetyo,
2012; Blais et al, 2010).
Pelanggaran terhadap nilai keperawatan dan prinsip keperawatan pada kasus ini bisa
mengarah ke masalah etik atau masalah legal. Penentuan apakah masalah etik dan legal
tergantung dari sudut pandang siapa. Kasus ini jika dilihat dari sudut pandang profesi
keperawatan lebih mengarah pada masalh etik. Perawat disini melanggar nilai-nilai
keperawatan dan prinsip keperawatan yang menjadi kode etik keperawatn dalam melakukan
tanggung gugat serta tanggung jawab prosea keperawatan. Proses keperawatan yang diberikan
perawat harus memenuhi kebutuhan pasien dan memberikan manfaat seoptimal mungkin.
Sehingga perawat menjalankan tugasnya penuh dengan tanggug jawab (Hasyim & Prasetyo,
2012).
Perawat yang tidak melakukan tanggung jawabnya akan menghilangkan hak-hak yang
menjadi haknya pasien. Perawat yang melanggar nilai keperawatan dan prinsip keperawatan
juga bisa menghilngkan hak-hak pasien dalam mendapatkan proses keperawatn profesional.
Terkait dengan kasus bayi E, terjadi pelanggaran beberapa hak pasien. Hak tersebut diantara
berhak atas informasi yang benar, berhak atas persetujuan tindakan yang dilakukan dan lainya.
Hak-hak ini diatur dalam beberpa perundang udangan serta peraturan yang berlaku.
Pelanggaran terhadap undang-undang dan peraturan ini bisa dikatakan sebagai kasus legal.
Sehingga kalau dilhat kasus ini dari sudut hak-hak pasien maka dapat dinyatakan sebagai kasus
legal (Hasyim & Prasetyo, 2012).
Hak – hak pasien tersebut dipayugi oleh dasar hukum yaitu mengacu pada Surat Edaran
Direktur Jendral Pelayanan Medik No. YM.02.04.3.5.2504 tahun 1997 tentang Pedoman Hak
dan Kewajiban Pasien , Dokter dan Rumah Sakit. Selain itu ada juga UU No. 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan, PP No 32 Tahun 1996 tentang tenaga kesehatan yang menjelaskan tentang
hak dan kewajiban perawat. Perawat juga berhak menadapat perlindungan hukum jika ada
kasus yang terkait dengan diri perawat kearah hukum. Perawat juga berhak punya pembelaan
terhadap apa yang sudah dilakukannya. Perawat mungkin melakukan kelalaian namun jika
kasus bayi E adalah termasuk kasus hukum maka perawat harus mendapatkan perlindungan
hukum. Masalah hukum juga harus dibuktikan dengan bukti dan data yang akurat tidak
berdasarkan hanya sudut pandang hak pasien(Vartio, 2005; Hasyim & Prasetyo, 2012).
Tindakan yang dilakukan oleh perawat dalam pemeberian suntikan imunisasi pada si
Bayi bisa saja tidak salah secara legal/hukum. Perawat meberikan suntikan imunisasi
berdasarkan instruksi dokter atau sudah sesuai dengan SOP rumah sakit. Bayi yang lahir
normal dan sehat, sehari setelah kelahiran harus diberikan imunisasi. Perawat disini hanya
melanggar nilai-nilai keperawatan dan prinsip keperawatan karena tidak melakukan proses
keperawatan secara profesional. Jika perawat terbukti melanggar nila dan prinsip kperawatan
maka proses pemecahan masalahnya menggunakan pendekatan pemecahan masalah etik.
Perawat melanggar kode etik keperawatan sehingga merugikan dan membahayakan pasien
sebagai penerima asuhan keperawatan (Kao et al, 2014, Hasyim & Prasetyo, 2012).
Pelanggaran terhadap kode etik keperawatan oleh perawat akan dibantu dalam
penyelesaian nya oleh komisi etik keperawatan. Komisi etik keperawatan yang akan antnya
melakukan intrograsi, pengumpulan data, menentukan apakah masalh etik atau hukum serta
memberikan perlindungan kepada perawat jika masalahnya termasuk masalah hukum. Komisi
etik akan memberikan sanksi jika perawat terbukti bersala secara kode etik dalam pelaksanaan
tugasnya. Besaran sanksi yang diberikan kepda perawat terhadap kesalah perawat tergantung
dari tindakan yang diberikan oleh perawat. Komisi etik dalam pengambilan keputusan masalah
etik juga menggunakan 6 langkah model dari etichal decision making. Enam langkah tersebut
antara lain; (1) Persepsi terhadap masalah, (2) Mengidentifikasi komponen etik, (3)
Mengklarifikasi orang yang terlibat dalam kasus etik (4) Mengeksplorasi Pilihan-Pilihan
solusi (5) Mengaplikasikan Teori Etik (6) Evaluasi (Hasyim & Prasetyo, 2012; Wood, 2001).
Pertama menentukan pandangan apakah masalah etik atau hukum. Penentuan
pandangan ini tentunya didukung dengan data dan informasi yang adekuat. Komisi etik
/perawat menggali informasi yang melatarbelakangi atau menghubungkan pengkjjian untuk
mendapatkan data. Pertanyaan seperti, apakah terjadi masalah?. Informasi apa yang dapat
ditemukan terkait masalah etik? Informasi lain yang menunjang tentang masalah yag terjadi?
Dalam kasus ini perawat melanggar nilai dan prinsip keperawatan yang merugikan dan
membahayakan keselamatan pasien. Kasus ini dipandang dari kode etik perawatan dapat
dianyatakan sebagai masalah etik. Jika merupakan masalah hukum, komisi etik bisa
menyerahkan kasus ke bagaian hukum rumah sakit sehingga bisa dilakukan perlindungan
hukum terhadap perawat atau tenaga kesehatan. (Suhaemi, 2003; Wood, 2001).
Kedua, perawat dapat mengidentifikasi komponen etik yang terkait dengan masalah
etik bayi E. Perawat dapat menanyakan apa yang mendasari terjadinya masalah etik dan siapa
saja yang terlibat (apakah perawat, dokter, keluarga dan institusi). Kasus yang menimpa bayi
E diltarbelakangi oleh adanya pemberian imunisasi oleh perawat dengan keadaan bayi e masih
prematur dan berat badan tidak ideal. Orang yang terlibat dalam kasus etik bisa saja bukan
perawat, tim dokter yang memberikan instruksi pemberian imunisasi, bisa juga pihak rumah
sakit yang memberlakukan SOP dalam pemberian suahan keperawatan. Profesi yang terlibat
dalam kasus ini bisa disimpulkan kemungkinan tiga yaitu, profesi perawat, tim dokter, dan
instansi rumah sakit. (Suhaemi, 2003; Wood, 2001).
Ketiga, komisi etik melakukan klarifikasi siapa saja yang terlibat dalam masalah etik.
Siapa yang saja yang nantinya terlibat dalam pengambilan keputusan etik dalam aksus Bayi
E. Komisi etik dapat mengklarifiaksi siapa yang benar-benar bertanggung jawab terhadap
masalah etik, siapa yang betanggung jawab terhadap keputusan yang diambil. Keputusan etik
nanti ditujukan kepada siapa. Apakah keputusan yang diambil sesuai dengan keinginan pasien.
Profesi perawat, dokter harus terlibat dalam masalah etik kasus bayi E. Pengambilan keputusan
ditunjukkan untuk menyelesaikan masalah yang melibatkan profesi perawat, dokter, dan pasien
sebagai pihak yang dirugikan. Keputusan ditunjukkan kepada perawat sebagai pihak yang
disalahkan dan dokter sebagai penanggung jawab dari tindakan yang diberikan. Pasien juga
dilibatkan dalam hal ini sehingga mendapt kejelasan dari tindakan yang diambil perawat
apakah sudah sesuiai dengan SOP rumah sakit komisi etik nanti nya dalam pengambilan
keputusan juga tidak merugikan perawat, dokter dan pasien. (Suhaemi, 2003; Wood, 2001).
Keempat, komisi etik melakukan eksplorasi pilihan –pilihan yang terbaik sebagai solusi
dari maslah etik pada bayi E (Suhaemi, 2003). Pertanyaan yang relevan membantu
mengeksplorasi alternatif pilihan dalam masalah etik berupa, apakah alternatif solusi dari
masalah, apa tujuan dari alternatif yang dipilih, serta mana yang paling mungkin dilakukan dari
alternatif yang ada. Perawat diberikan sanksi berupa adminstratif dan ditambah dengan
pembinaan. Karena perawat bekerja tidak secara profesional sehngga terjadi pelanggaran nlai
dan prinsip keperawatan. Sedangkan pihak keluarga diberikan edukasi bahwa memang ada
kesalahan dari tim kesehatan namun tidak sepenuhnya kesalahan itu akibat dari perawat
sehingga kasus Bayi E tidak masuk ke masalh hukum. Bayi meninggal bisa saja akibat dari
dehidrasi yang dialaminya. Profesi dokter diberikan sanki oleh komisi etik profesi dokter sesuai
dengan kesalah yang dilakukannya. (Suhaemi, 2003; Wood, 2001).
Kelima, komisi etik memilih teori etik yang susuai dengan kondisi dilema etik. Teori
yang mana yang paling kuat hubungannya dalam penyelesaian masalah etik dan merupakan
keputusan final (Suhaemi, 2003; Butts, 2010). Komisi etik keperawatan saat penyelesain
masalah etik harus menerapkan teori yang paling relevan dengan kondisi yang dihadapi.
Perawat mempunyai kewajiban untuk mematuhi peraturan sosial, standar profesional, hukum
legal dan kode etik profesional yang ada pada pasien, keluarga dan tim kesehatan yang
lain(Sorensen & Iedema, 2007). Komisi etik harapnya dapat menerapakan keputusan
yang benefience baik terhadap pasien, keluarga dan tim kesehatan. Perawat menentukan satu
keputusan etik yang final, diterapkan pada pasien, dilakukan pendokumnetasian atas tindakan
yang dilakukan dan mengevaluasinya(Suhaemi, 2003; Wood, 2001).
Langkah terakhir adalah menentukan resolusi dari tindakan terhadap masalah dilema
etik. Resolusi ini menekankan apakah keputusan yang diambil tidak kontradiktif dengan nilai
sosial dan legal yang ada (Wood, 2001). Keputusan yang diambil sesuai dengan tujuan yang
diinginkan. Keputusan yang diambil bisa diimplementasikan dan dapat memberikan keputusan
terbaik pada pasien. Pnegambilan keputusan masalh etik disesuaikan dengan tingkat
pelanggaran etik yang dilakukan oleh perawat sehingga tidak merugikan perawat dan pihak
pasien juga dtidak menuntut. (Suhaemi, 2003; Wood, 2001).
Komisi etik perlu melakukan dokumentasi, repoting dan evalusi terhadap tindakan
yang sudah dilakukan dalam masalah etik pada kasus bayi E. Dokumentasi menjadi penting
sebagai legalitas dari keputusan dan tindakan yang sudah dilakukan oleh komisi etik perawat
terhadap permasalah dilema etik yang terjadi. Evaluasi penting terhadap tindakan yang sudah
diputuskan. Keputusan yang diambil tidakah menimbulkan konflik baru, keputusan yang
diterapakan memang sudah terbaik dan tidak melanggar dari nilai-nilai yang ada dan kode etik
profesi. Sehingga bisa sebagai acuan dalam pengambilan keputusan etik selanjutnya jika
ditemukan masalah yang sama(Rich, 2010; Suhaemi, 2003; Wood, 2001).
Kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan diatas adalah terjadinya masalah etik
yang dilakukan oleh perawat karena melanggar kode etik keperawatan. Perawat melanggar
nilai dan prinsip keperawatan sehingga menimbulkan kerugian terhadap pasien (orang tua Bayi
E). Sanksi yang diberikan terhadap pelanggaran masalah etik disesuaikan dengan tinggkat
pelanggaran yang dilakukan yang sebelumnya dilakukan analisis secra sistematis oleh komisi
etik keperawatan sehingga keputusan ynag diambil memberikan mannfat dan tidak kontraiktif
dengan nilai yang ada.
Saran yang dapat diberikan penulis adalah perawat dalam melakukan proses
keperawatan harus secara profesional. Perawat teteap bisa menjaga nilai – nilai keperawatan
dan berpegang tegung pada kode etik sehingga bisa meminimlakan terjadinya masalh etik.
Perawat juga perlu memahami tentang kode etik dan trus meningkatkan pengetahuannya
sehingga bisa melakukan perawatan secara profesional.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2014. Bayi prematur. (http://m.merdeka.com/peristiwa/kisah-bayi--prematur-meninggal-
setelah-disuntik-perawat.html.)
Blais, K et.al. 2010. Praktik keperawatan profesional: konsep dan persepektif. Jakarta: EGC
Butts, Janie B. 2012. Ethics in profesional nursing practice. Elsevier (ebook)
Grace, Pamela J. (2009). Nursing ethics and profesional responsibility in advanced practice.Aorn
Journal. 90(2)
Hasyim, masruroh & Prasetyo, Joko. 2012. Etika keperawatan. Bangkit: Jogjakarta
Jormsri, Pantip., Kunaviktikul, Wipada., Ketefien, Shake., & Chaowalit, Aranya. (2007). Moral
Competence in Nursing Practice. Edward Arlnold (Publisher). Akses tanggal 15 Sepetember
2014
Kao, Chen-Yi., Hung, Yu-Shi., Wang, Hung-Ming., Chen, Jen-Shi.,Chin, Tsu-Ling., Lu, Ching-Yi.,
Chi, Chuan-Chuan., Yeh, Ya-Chi,Yang, Jen-Mei., Yen, Jung-Hsuam., Chou, Wen-Chi. (2014).
Combinationof initial paliative prognostic index and score change provides a better prognostic
valuefor terminally ill cancer patient: a six year observational cohort study. Journal of Paint
and Symptom Management.3885-3924: http//dx.doi.org/10.1016/j.jpainsymman.2013.12.246
Rich, Karen & Butts, Janie B. 2010. Foundation of ethical nursing practice. Elsevier (ebook)
Rifani, Nisya & Sulihandari, Hartanti. 2013. Prinsip Prinsip dasar Keperawatan. Dunia cerdas: Jakarta
Suhaemi, Mimin Emi. 2003. Etika Keperawatan: aplikasi pada praktik. Jakarta: EGC
Tschanen, Dana & Lee, Eunjoo. (2012). The impact of nursing characteristics and the work invirotment
on perception of communication. Nursing Research and Practice.ID:401905; 7 page; doi:
10.115/2012/401905
Wood, Jacqualine. (2001). Ethical decision making. Journal of PeriAnesthesia Nursing. 16 (1); 6-10.
Doi:10.1053/jpan.2001.18202

Vaartio, H., leino-Kilpi, H., (2005)Nursing advocay-a riview of the emperical nursing research (1990-
2003). International of Nursing Studies. 42 (6) 705-714

Diposting oleh kadek artawan di 19.26


Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke
Pinterest

Anda mungkin juga menyukai