Anda di halaman 1dari 60

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan bimbingan dan petunjukNya, sehingga tersusunnya Pedoman Tim TB,
pedoman ini disusun bertujuan untuk rnenyamakan presepsi dalam pelaksanakan tugas
pokok, fungsi dan menjadi dasar untuk menentukan atau melaksanakan kegiatan dalam
rangka meningkatkan mutu pelayanan dan kinerja yang lebih baik.
Penanggulangan TB di Indonesia dilaksanakan dengan strategi DOTS yang
direkomendasikan oleh WHO dan sebagai Pedoman Pengendalian TB telah ditetapkan
oleh Kementerian Kesehatan mengacu kepada Pedoman Nasional Pengendalian
Tuberkulosis.
Pedoman ini disusun mengacu pada buku Pedoman Nasional Pengendalian
Tuberkulosis tahun 2014 dari Kementerian Kesehatan dan sistematika penyusunan
mengacu pada Pedoman Penyusunan Dokumen Akreditasi rumah Sakit yang dikeluarkan
oleh Komisi Akreditasi Ruman Sakit tahun 2012.
Dengan tersusunnya Pedoman Tim TB ini diharapkan dapat menjadi acuan
pelaksanaan tugas bagi petugas di tatanan pelayanan TB. Kami menyadari dalam
penyusunan Pedoman ini masih banyak kekurangan dan diharapkan adanya masukan dari
pembaca sebagai bahan perbaikan. Akhirnya pada kesempatan ini pula kami sampaikan
ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Tim Penyusun yang segala upayanya
telah menyelesaikan Pedoman ini.
Semoga Ailoh SWT melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua.

Cirebon, Juni 2016

Tim Penyusun
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.................................................................................................... I
Daftar Isi............................................................................................................. li
Daftar Gambar.................................................................................................... Iv
Daftar Tabel........................................................................................................ v
BAB I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang..................................................................... 1
1.1. Tujuan Pedoman................................................................... 2
1.2. Ruang Lingkup...................................................................... 2
1.3. Batasan Operasionai............................................................ 3
1.4. Landasan Hukum.....................................................………… 4
BAB II Standar Ketenagaan
2.1. Kualifikasi Sumber Daya Manusia......................................... 5
2.2. Distribusi Ketenagaan……………………………………………. 6
2.3. Pengaturan Jaga Petugas..................................................... 6
BAB III Standar Fasilitas
3.1. DenahKlinik DOTS-TB........................................................... 7
3.2. Standar Fasilitas…………………………………………………… 8
3.3. Prasarana.............................................................................. 8
BAB !V Tata Laksana Pelayanan
4.1. Penemuan Kasus Tuberkulosis...........................:.................. 10
4.2. Diagnosis Tuberkulosis pada Orang Dewasa........................ 12
4.3. Klasifikasi Penyakit dan Type Pasien..................................... 15
4.4. Pengobatan Pasien TB........................................................... 18
4.5. Tata Laksana TB pada Anak.................................................. 37
4.6. Klasifikasi Penyakit dan Type Pasien TB Anak....................... 42
4.7. Pengobatan TB pada anak...................................................... 42
4.8. Pemantauan dan Hasii Pengobatan TB Anak......................... 45
4.9. Efek samping Pengobatan TB Pada anak.............................. 46
4.10. Tata Laksana Pasien TB Anak yang berobat tidak Teratur..... 46
4.11. Hasil Pengobatan TB pada Anak............................................ 47
4.12. Pengobitan Pencegahan dengan Isoniazid (PP-INH).............. 47
4.13. Tata Laksana Pasien TB pada ODHA
4.14. Tata Laksana Pasien TB dengan TB Resisten Obat...............….47
4.15. Pencatatan dan Pelaporan...........................................................47

BAB V Logistik
5.1. Jenis Logistik................................................................................ 52
5.2. Pengadaan Logistik...................................................................... 54

BAB VI Keselamatan Pasien............................................................................... 55


BAB VII Keselamatan Kerja................................................................................ 56
BAB VIII Pengendalian Mutu............................................................................... 57
BAB IX Penutup.................................................................................................. 59
Daftar Pustaka.................................................................................................... 60
DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1. Alur Diagnosa dan Tindak Lanjut TB Paru pada Pasien Dewasa..14
Gambar 4.2. Algoritma Tata Laksana TB Anak………………………………..…...41
DAFTAR TABEL

Tabel 4.1. OAT Lini Pertama 20


Tabei 4.2. Kisaran dosis OAT lini pertama bagi pasien dewasa 20
Tabel 4.3. OAT Yang digunakan pada TB MDR 21
Tabel 4.4. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1 23
Tabel 4.5. Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 1 23
Taoel 4.6. Dosis untuk Paduan OAT KDT Kategori 2 23
Tabel 4.7. Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 2 24
Tabel 4.8 Pemeriksaan Dahak Ulang Untuk Pemantauan Hasil Pengobatan 26
Tabel 4.9. Tata Laksana Pasien Yang berobat Tidak Teratur 27
Tabel 4.10. Acuan Penilaian TingkatKegagalan Fungsi Ginjal 32
pada Penyakit Ginjal Kronis
Tabel 4.11. Dosis Yang Dianjurkan Pada Pengobatan Pasien TB dengan 34
Penyakit Ginjal Kronis
Tabel 4.12. Efek Samping Ringan OAT 34
Tabel 4.13. Efek Samping berat OAT 34
Tabel 4.14. Sistem Skoring Gejala dan Pemeriksaan Penunjang TB 40
Tabei 4.15. OAT Anak yang biasa aipakai dan Dosisnya 43
Tabel 4.16. OAT Anak dan Peruntukannya 44
Tabel 4.17. Dosis Kombinasi OAT TB pada Anak 45
Tabel 4.18. Cara Pemberian Isoniazid untuk Pencegahan TB pada Anak 47
Tabel 4.19. Pilihan Panduan Pengobatan ARV pada ODHA dengan TB 48
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Strategi DOTS sejak tahun 1995 sudah dilaksanakan untuk Pemberantasan


Tuberkulosis Paru yang direkomendasikan oleh WHO, kemudian namanya berubah
menjadi Program Penanggulangan Tuberkulosis (TBC), sesuai dengan yang ditetapkan
oleh pemerintah, dimana Penanggulangan TBC dengan strategi DOTS dapat memberikan
angka kesembuhan yang tinggi. Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan
pasien TBC, prioritas diberikan kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan
memutuskan penularan TB dan dengan demikian menurunkan insidens TB di masyarakat.
Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya
pencegahan penularan TB. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS sebagai salah satu
intervensi kesehatan yang secara ekonomis sangat efektif. lntegrasi strategi DOTS ke
dalam pelayanan kesehatan dasar sangat dianjurkan demi efisiensi dan efektifitasnya.
Satu studi cost benefit yang dilakukan oleh WHO di Indonesia menggambarkan bahwa
dengan menggunakan strategi DOTS, setiap dolar yang digunakan untuk membiayai
program penanggulangan TB, akan menghemat sebesar USD 55 selarna 20 tahun.

Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci:


1. Komitmen politis, dengan peningkatan dan kesinambungan pendanaan.
2. Penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya.
3. Pengobatan yang standar, dengan supervisi dan dukungan bagi pasien.
4. Sistem pengelolaan dan ketersediaan OAT yang efektif
5. Sistem monitoring pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian
terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program.

Dengan semakin berkembangnya tantangan yang dihadapi program dibanyak Negara,


kemudian strategi DOTS tersebut diatas oleh Global Stop TB Partnership strategi DOTS
tersebut diperluas menjadi sebagai berikut:
1. Mencapai. mengoptimalkan dan mempertahankan mutu DOTS
2. Merespon masalah TB-HIV, MDR-TB dan tantangan lainnya
3. Berkontribusi dalam penguatan system kesehatan
4. Melibatkan semua pemberi pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta.
5. Memberdayakan prsien dan masyarakat
6. Melaksanakan dan mengembangkan penelitian.

Komitmen politis untuk menjamin keberlangsungan program penanggulangan TB


adalah sangat penting bagi keempat komponen lainnya dari 5 komponen strategi DOTS,
agar dapat dilaksanakan secara terus menerus dan untuk menjamin bahwa program
penanggulangan TB adalah prioritas serta menjadi bagian yang esensial dalam sistem
kesehatan nasional.
Penatalaksanaan TB meliputi penemuan pasien dan pengobatan yang dikelola
dengan menggunakan Strategi DOTS. Tujuan utama pengobatan pasien TB adalah
menurunkan angka kematian dan kesakitan serta mencegah penularan dengan cara
menyembuhkan pasien TB. Penatalaksanaan penyakit TB merupakan bagian dari
surveilans penyakit, tidak sekedar memastikan pasien menelan obat sampai dinyatakan
sembuh, tetapi juga berkaitan dengan pengelolaan sarana bantu yang dibutuhkan
petugas, yang terkait dengan pencatatan, pelaporan, evaluasi kegiatan dan rencana tindak
lanjutnya.

Pedoman Pelayanan TB di Rumah Sakit Paru Provinsi Jawa Barat dengan Strategi
DOTS ini mencakup beberapa hal yang merupakan prioritas dalam menurunkan angka
kesakitan TB memutuskan rantai penularan serta mencegah terjadinya multidrug
resistance (MDR), sehingga TB tidak lagi merupakan masalah kesehatan masyarakat
Indonesia, diantaranya penemuan pasien TB, diagnosis klasifikasi penyakit dan tipe
pasien, pengobatan TB, tatalaksana TB anak, pengawasan menelan obat, pemantauan
dan hasil pengobatan, pengobatan TB pada keadaan khusus, efek samping obat dan
penatalaksanaannya sampai pemantauan dan evaluasi program dalam bentuk pelaporan.

Instalasi yang terkait dengan pelayanan TB mencakup beberapa pelayanan yaitu,


Poliklinik Rawat Jalan, Rawat Inap, IGD, Laboratorium dan Radiologi.

1.2. Tujuan Pedoman

a. Tujuan Umum
Sebagai pedoman dalam melaksanakan pelayanan TB sesuai strategi DOTS
di Rumah Sakit Paru Provinsi Jawa Barat
b. Tujuan Khusus
- Menjaring suspek TB di Rumah Sakit Paru Provinsi Jawa barat
- Menegakan diagnose TB paru sesuai strategi DOTS
- Mengurangi meningkatnya angka TB MDR

1.3. Ruang lingkup Pelayanan

Ruang lingkup pelayanan TB di Rumah Sakit Paru Provinsi Jawa Barat meliputi
penjaringan suspek, penegakan diagnose paru pada pasien anak dan dewasa ,
pengobatan TB, pencatatan dan pelaporan yang dilaksanakan sesuai strategi DOTS
dengan sistem jejaring internal di rumah sakit dan jejaring eksternal dengan Dinas
Kesehatan Kabupaten Cirebon, Kuningan dan Indramayu. Pelayanan TB MDR dilakukan
rujukan ke rumah sakit rujukan.

1.4. Batasan Operasional

- Suspek adalah seseorang yang diduga menderita penyakit Tuberkulosis dengan


batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih disertai dangan atau tanpa gejala lain.
- Penjaringan suspek adalah suatu kegiatan penemuan pasien TB baik secara aktif
maupun pasif.
- Penegakan diagnosa adalah Kegiatan untuk menegakkan diagnosis TB pada
pasien yang tersangka (suspek) menderita TB.
- Laboratorium adalah sarana kesehatan yang melaksanakan pengukuran,
penetapan dan pengujian terhadap bahan yang berasal dari manusia atau bahan
bukan dari manusia untuk menentukan jenis penyakit, penyebab penyakit, kondisi
kesehatan atau faktor yang dapat berpengaruh pada kesehatan perorangan dan
kesehatan masyarakat.
- Dahak adalah bahan yang berasal dari tenggorokan bagian bawah (saluran dalam
paru dan trakea melalui mulut biasa juga disebut ekspektotatorian) yang di peroleh
dengan jalan batuk.
- Nomor sediaan sediaan adalah pencatatan pada semua suspek dan diberi nomor
identitas yang kemudian digunakan sebagai no identitas sediaan.Pemeriksaan
mikroskopik TB adalah adalah kegiatan pemeriksaan sediaan dahak oleh petugas
laboratorium yang sudah terlatih.
- TB Positif adalah penyakit tuberculosis paru yang disebabkan oleh bakteri tahan
asam (BTA) dengan kriteria ditemukan satu dari tiga specimen dahak (SPS)
menunjukan hasil BTA positif atau hasil pemeriksaan tiga specimen dahak
menunjukan BTA negatif dengan hasil biakan positif BTA TB Negatif adalah hasil
pemeriksaan tiga spesimen dahak (SPS) menunjukan BTA negatif, gambaran klinik
dan gambaran radilogi atas pertimbangan dokter tidak mendukung tuberkulosis atau
hasil pemeriksaan biakan menunjukan BTA negatif
- Pengobatan TB adalah pengobatan jangka panjang selama 6 sampai 9 bulan,
dengan paling sedikit 3 macam obat dengan strategi DOTS.
- Rujukan adalah memberikan hasil pemeriksaan pasien (diagnosa pasti) dan
memindahkan pasien berobat ke tempat yang dituju (RS atau Puskesmas)

1.1. Landasan Hukum

a. Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan


b. Undang-undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
c. Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
d. Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan
e. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
159.b/Menkes/PERK/II/1998 tentang Rumah Sakit
f. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1333/Menkes/SK/XII/1999
tentang Pelayanan Rumah Sakit
g. Surat Edaran Menteri Kesehatan No.884/Men/VII/2007, tentang Ekspansi TB Strategi
DOTS di Rumah Sakit dan Balai Kesehatan/Pengobatan Penyakit Paru.
h. Surat Edaran Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik Nomor YM.02.08/III/673/07
tentang Penatalaksanaan TB di Rumah Sakit.
i. Peraturan Gubernur Provinsi Jawa Barat Nomor 60 Tahun 2009 tentang Tugas
Pokok, Fungsi dan Rincian Tata Kerja Rumah Sakit Paru Provinsi Jawa Barat.
BAB II

STANDAR KETENAGAAN

2.1. Kualifikasi Sumber Daya Manusia

Pelaksanaan pelayanan TB di klinik TB DOTS harus tersedia tenaga sebagai berikut :


No. Jabatan Kualifikasi Personil
1 Penanggung Jawab Klinik Dokter yang telah mengikuti pelatihan TB
dengan strategi DOTS
2 Dokter Pemeriksa, Dokter yang telah mengikuti sosialisasi dan
atau yang telah mengikuti pelatihan TB
dengan strategi DOTS
3 Perawat Klinik Perawat yang telah mengikuti pelatihan TB
dengan Strategi DOTS
4 Perawat di Ruang Rawat Inap, Perawat yang telah mengikuti sosialisasi
Rawat Jalan dan IGD pelayanan TB DOTS ,
5 Tenaga Laboratorium Lulusan D-3 analis kesehatan yang telah
mengikuti pelatihan TB dengan strategi
DOTS
6 Pencatatan dan Pelaporan Tenaga kesehatan yang telah mengikuti
pelatihan TB dengan strategi DOTS dan
memiliki kemampuan untuk melaksanakan
tugas administrasi serta mampu
mengoperasikan komputer.

Kualifikasi sumber daya manusia ini perlu dipenuhi oleh setiap petugas yang
bertugas di klinik TB DOTS agar pelaksanaan pelayanan dapat berjalan dengan dan
sesuai ketentuan. Setiap SDM di klinik TB DOTS harus mengikuti pelatihan dengan
strategi DOTS dan memiliki sertifikat pelatihan.
2.2. Distribusi Ketenagaan

Distribusi ketenagaan di klinik TB Rumah Sakit Paru Provinsi jawa Barat dibuat
berdasarkan kebutuhan tim dan klinik untuk pelayanan TB

Direktur

Bidang Pelayanan Medik

Penanggung Jawab Klinik

Petugas Pencatatan dan Pelaporan

Pelaksana Petugas Petugas Petugas Pelaksana


(Dokter/Peraw Radiologi Laboratorium Farmasi (Dokter/Perawat)
at) di Ruang di Ruang Rawat
Rawat Inap Jalan dan IGD

2.3. Pengaturan Jaga Petugas

Pengaturan jaga yang berlaku di klinik TB DOTS disesuaikan dengan jadwal


pelayanan klinik yang dilaksanakan seminggu 1 x pada hari yang telah ditentukan mulai
pukul 07.30 s.d. 13.00 WIB
Setiap jaga harus terdiri dari dokter pemeriksa, perawat yang terlatih dan pelayanan
penunjang lainnya di ternpatkan di Instalasi penunjang yang bersangkutan seperti tenaga
laboratorium, tenaga radiologi dan tenaga farmasi Jadwal dibuat setiap awal bulan dan
ditandatangani oleh penanggung iawab klinik diketahui bagian pelayanan medik.
BAB III

STANDAR FASILITAS

3.1 Denah Klinik DOTS-TB

Keterangan :

A. Ruang penerimaan pasien


B. Meja pemeriksaan dokter
C. Tempat tidur pemeriksaan pasien
D. Lemari dokumen
E. Ruang KIE
F. Kamar mandi
G. Ruang tunggu
3.2 Standar Fasilitas

Tabel standar Fasillas di Klinik DOTS


No Jenis Fasilitas Standar

1 Ruangan Permanen

2 Tata Ruang:
 Ruang penerimaan pasien  6,5 m
 Ruang pemeriksaan pasien, Ruang periksa  9m
dokter
 Ruang KIE.  9m
 Toilet pasien  2,5 m
 Ruang tunggu  9m

3 Penerangan / Lampu 10 watt / m

4 Ventilasi 2/3 x luas lantai

5 Air mengalir / air bersih 50 L / karyawan/ hari

6 Tempat penampungan limbah Ada


 Medis ( Cair, Padat)
 Non Medis
7 Tempat pengambilan dahak / sputum Ada

8 Daya Listrik 5,5 KVA

9 Generator Sesuai daya listrik

Persyaratan lain yang perlu diperhatikan :


1. Ruangan aaalah gedung permanen dan mudah dibersihkan
2. Memiliki jendela dan ventilasi yang cukup serta masuk sinar matahari langsung
3. Memiliki penerangan yang cukup
4. Lantai dan koridor harus bersih
5. Pengolahan limbah cair medis melalui IPAL dan limbah padat B3 bekerjasama
dengan pihak ke tiga.

3.3 Prasarana

1. Ruang Penerimaan pasien :


- Meja tulis
- Kursi untuk petugas dan pasien
2. Ruang pemeriksaan
- Meja tulis
- Kursi untuk dokter dan pasien
- Tempat tidur untuk pemeriksaan pasien
- Timbangan untuk berat badan pasien
- Lemari untuk dokumen
3. Ruang Tunggu
- Kursi tunggu pasien
4. Ruang Pengumpulan sputum/dahak bisa dilakukan di luar ruangan derigan udara
terbuka dan terkena matahari langsung atau memiliki tempat khusus pengumpulan
sputum di klinik atau di laboratorium dilengkapi dengan wastafel
5. Ruang KIE
- Meja tulis
- Kursi untuk petugas dan pasien
- Brosur / leaflet edukasi TB
6. Toilet.
- Toilet dilengkapi dengan penghisap udara dan terkena pencahayaan matahari
7. Memiliki fasilitas pembuangan limbah umum dan medis/infeksius
BAB IV

TATA LAKSANA PELAYANAN

Penatalaksanaan pelayanan Klinik DOTS-TB meliputi penemuan pasien dan


pengobatan yang di kelola dengan menggunakan strategi DOTS.
Tujuan utama pengobatan pasien TB adalah menurunkan angka kematian dan kesakitan
serta mencegah penularan aengan cara menyembuhkan pasien TB. Penatalakasanaan
penyakit TB merupakan bagian dari surveilasn penyakit, tidak sekedar memastikan pasien
menelan obat sampai dinyatakan sembuh atau lengkap, tetapi juga berkaitan dengan
pengelolaan sarana bantu yang dibutuhkan petugas, yang terkait dengan pencatatan,
pelaporan, evaluasi kegiatan dan rencana tindak lanjutnya.

4.1. Penemuan Kasus Tuberkulosis

Penemuan kasus bertujuan untuk mendapatkan kasus TB melaiui serangkaian


kegiatan mulai dari penjaringan terhadap suspek TB, pemeriksaan fisik dan laboratorium,
menentukan diagnosis dan menentukan klasifikasi penyakit dan tipe pasien TB.sehingga
dapat dilakukan pengobatan agar sembuh dan tidak menularkan penyakitnya kepada orang
lain. Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis, penentuan
klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Kegiatan ini membutuhkan adanya pasien yang
memahami dan sadar akan keluhan dan gejala TB, akses terhadap fasilitas kesehatan dan
adanya tenaga kesehatan yang kompeten yang mampu melaksanakan pemeriksaan
terhadap gejala dan keluhan tersebut.
Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam kegiatan program penanggulangan
TB Penemuan dan penyembuhan pasien TB menular, secara bermakna akan dapat
menurunkan kesakitan dan kematian akibat TB, penularan TB di masyarakat dan sekaligus
merupakan kegiatan pencegahan penularan TB yang paling efektif di masyarakat.
Keikutsertaan pasien merupakan salah satu faktor penting dalam upaya pengendalian TB.

1. Strategi penemuan
a. Penemuan pasien TB diiakukan secara intensif pada kelompok populasi
terdampakTB dan populasi rentan.
b. Upaya penemuan secara intensif harus didukung dengan kegiatan promosi aktif,
sehingga semua terduga TB dapat ditemukan secara dini.
c. Penjaringan terduga pasien TB dilakukan di fasilitas kesehatan, didukung dengan
promosi secara aktif oleh petugas kesehatan bersama masyarakat.
d. Pelibatan semua fasilitas kesehatan dimaksudkan untuk mempercepat
penemuan dan mengurangi keterlambatan pengobatan.
e. Penemuan secara aktif dapat dilakukan terhadap :
1) Kelompok khusus yang rentan atau beresiko tinggi sakit TB seperti pada
pasien dengan HIV
2) Kelompok yang rentan karena berada di lingkungan yang beresiko tinggi
terjadinya penularan TB, seperti : Lapas/Rutan, tempat penampungan
pengungsi, daerah kumuh, tempat kerja, asmara dan panti jompo
3) Anak dibawah umur lima tahun yang kontak dengan pasien TB
4) Kontak erat dengan pasien TB dan pasien TB resistan obat.
f. Penerapan manajemen tatalaksana terpadu bagi pasien dengan gejala dan
tarida yang sama dengan gejala TB, seperti pendekatan praktis kesehatan paru
(Practical Approach to Lung health = PAL), manajemen terpadu balita sakit
(MBTS), manajemen terpadu dewasa sakit (MTDS), akan membantu
meningkatkan penemuan pasien TB di faskes, mengurangi terjadinya
misopportunity dan sekaligus dapat meningkatkan mutu layanan.
g. Tahap awal penemuan dilakukan dengan menjaring mereka yang memiliki gejala
 Gejala utama psaien TB paru adalah batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih.
Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu:
o Dahak bercampur darah
o Batuk darah Sesak napas,
o Badan lemas
o Nafsu makan menurun Berat badan menurun Malaise
o Berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik Demam meriang lebih dari satu
bulan
 Gejala tersebut di atas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti
bronkiektasis, bronkitis kronis, asma kanker paru dan Iain-Iain. Mengingat
prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang
ke fasyankes dengan gejala tersebut di atas, dianggap sebagai seorang terduga
pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.

2. Pemeriksaan dahak

a. Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung


Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan
pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk
penegakkan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 contoh uji dahak yang
dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu-
Pagi-Sewaktu (SPS):
o S ( sewaktu ) : dahak ditampung pada saat terduga pasien TB datang
berkunjung pertama kali ke fasyankes. Pada saat pulang, terduga pasien
membawa sebuah pot dahak untuk menampung dahak pagi pada hari kedua
o P ( pagi ) : dahak ditampung di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah
bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di
fasyankes
o S ( sewaktu ) : dahak ditampung di fasyankes pada hari kedua, saat
menyerahkan dahak pagi
b. Pemeriksaan Biakan
Pemeriksaan biakan untuk identifikasi Mycobacterium tuberkulosis (M.tb)
dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis pasti TB pad a pasien tertentu, misal:
 Pasien TB ekstra paru.
 Pasien TB anak.
 Pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis langsung BTA negatif.
Pemeriksaan tersebut dilakukan disarana laboratorium yang terpantau
mutunya.Apabila dimungkinkan pemeriksaan dengan menggunakan tes cepat
yang direkomendasikan WHO maka untuk memastikan diagnosis dianjurkan
untuk memanfaatkan tes cepat tersebut.

3. Pemeriksaan uji kepekaan obat

Uji kepekaan obat bertujuan untuk menentukan ada tidaknya resistensi M.tb terhadap
OAT.Untuk menjamin kualitas hasil pemeriksaan, uji kepekaan obat tersebut harus
dilakukan oleh laboratorium yang telah tersertifikasi atau lulus uji pemantapan
mutu/Quality Assurance (QA).Hal ini dimaksudkan untuk memperkecil kesalahan dalam
menetapkan jenis resistensi OAT dan pengambilan keputusan paduan pengobatan
pasien dengan resistan obat.Untuk memperluas akses terhadap penemuan pasien TB
dengan .esistensi OAT, Kemenkes Rl telah menyediakan tes cepat yaitu GeneXpert ke
fasilitas kesehatan (laboratorium dan RS) diseluruh provinsi.

4.2. Diagnosis Tuberkulosis Pada Orang Dewasa

1. Diagnosis TB paru
 Dalam upaya pengendalian TB secara Nasional, maka diagnosa TE Paru pada
orang dewasa harus ditegakkan terlebih dahulu dengan pemeriksaan
bakteriologis. Pemeriksaan bakteriologis yang dimaksud adalah pemeriksaan
mikroskopis langsung, baiakan dan tes cepat
 Apabila pemeriksaan secara bakteriologis hasilnya negatif, maka penegakan
diagnsis TB dapat dilakukan secara klinis menggunakan hasil pemeriksaan klinis
dan penunjarig (setidak-tidaknya pemeriksaan foto toraks) yang sesuai dan
ditetapkan oleh dokter yang telah dilatih TB.
 Pada sarana terbatas penegakan diagnosis secara klinis dilakukan setelah
pemberian terapi antibiotik spektrum luas (Non OAT dan Non kuinolon) yang
tidak memberikan perbaikan klinis
 Tidak dibenarkan mendiagnosis TB dengan pemeriksaan serologis
 Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks
saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang cpesifik pada TB paru,
sehingga dapat menyebabkan terjadi overdiagnosis ataupun underdiagnosis.
 Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya dengan pemeriksaan uji tuberkulin.
Pemeriksaan dahak Dahak Mikroskopis Langsung :

 Untuk kepentingan diagnosis dengan cara pemeriksaan dahak secara


mikroskopis langsung, terduga pasien TB diperiksa contoh uji dahak SPS
(sewaktu - Pagi - Sewaktu)
 Ditetapkan sebagai pasien TB apabila minimal 1 (satu) dari pemeriksaan contoh
uji dahak SPS hasilnya BTA positif.

2. Diagnosis TB ekstra paru


 Gejala dan keluhan tergantung pada organ yang terkena, mislnya kaku kuduk
pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar
limfe superfisialis pada limfadenitis TB serta deformitas tulang belakang (gibbus)
pada spondilitis TB dan lain-lainnya.
 Diagnosis pasti pada pasien TB ekstra paru ditegakkan dengan pemeriksaan
klinis, bakteriolog;s dan atau histopatologis dari contoh uji yang diambii dari
organ tubuh yaritj terkena.
 Dilakukan pemeriksaan bakteriologis apabila juga ditemukan keluhan dan gejala
yang sesuai untuk menemukan kemungkinan adanya TB paru.

GAMBAR 4.1
Alur Diagnosis dan tindak lanjut TB Paru pada pasien dewasa

(tanpa kecurigaan / Bukti : hasil tes HIV (+) atau terduga TB Resisten Obat)

Batu berdahak > 2 Minggu

Pemeriksaan klinis SPS

(+ + +) Rujuk ke faskes rujukan tingkat lanjut


(- + +)
( - - +)

Keterangan :
1) Pemeriksaan klinis secara cermat dan hasil nya dicatat sebagai data dasar kondisi
pasien dalam rekam medis.
2) Hasil pemeriksaan BTA negatif pada semua contoh uji dahak (SPS) tidak
menyingkirkan diagnosis TB.Apabila akses memungkinkan dapat dilakukan
pemeriksaan tes cepat dan biakan.Untuk pemeriksaan tes cepat dapat dilakukan
hanya dengan mengirimkan contoh uji.
3) Sebaiknya pembacaan hasil foto toraks oleh seorang ahli radiologi.
4) Pemberian AB (Antibiotik) non OAT yang tidak memberikan efek pengobatan TB
termasuk golongan kuinolon
5) Untuk memastikan diagnosis TB
6) Dilakukan TIPK (test HIV atas inisiatif Pemberi Pelayanan Kesenatan dan Konseling)
7) Bila hasil pemeriksaan ulang tetap BTA negatif, lakukan observasi dan asesment
lanjutan oleh dokter untuk faktor-faktor yang bisa mengarah ke TB.

Catatan :
1. Agar tidak terjadi overdiagnosis atau underdiagnoses yang dapat merugikan pasien
serta gugatan hukum yang tidak perlu, pertimbangan dokter untuk menetapkan dan
memberikan pengobatan didasarkan pada :
a. Keluhan, gejala dan kondisi klinis yang sangat kuat mendukung TB
b. Kondisi pasien perlu segera diberikan pengobatan, misal : pada Meningitis
TB, TB milier, pasien ko-infeksi TB/HIV, dsb.
c. Sebaiknya tindakan medis yang diberikan, dikukuhkan dengan persetujuan
tertulis pasien atau pihak yang diberikan kuasa (inforned consent)
2. Semua terduga pasien TB dengan gejala batuk harus diberikan edukasi tentang PPI
(Pencegahan dan Pengendalian Infeksi) untuk menrunkan resiko penularan.

4.3. Klasifikasi Penyakit dan Tipe Pasien

Diagnosis TB adalah upaya untuk menegakkan atau menetapkan seseorang sebagai pasien
TB sesuai dengan keluhan dan gejala penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis.selanjutnya untuk kpentingan pengobatan dan survailan penyakit, pasien harus
dibedakan berdasarkan klasifikasi dan tipe penyakitnya dengan maksud :
a. Pencatatan dan pelaporan pasien yang tepat
b. Penetapan paduan pengobatan yang tepat
c. Standarisasi proses pengumpulan data atau pengendalian TB
d. Evaluasi proporsi kasus sesuai lokasi penyakit, hasil pemeriksaan bakteriologis din
riwayat pengobatan
e. Analisis kohor hasil pengobatan
f. Pemantauan kemajuan dan evaluasi efektifitas program TB secara tepat baik, dalam
maupun antar kabupaten/kota, provinsi nasional dan global.

Terduga TB adalah seseorang yang mempunyai keluhan atau gejala klinis


mendukung TB.
1. Definisi pasien TB

Pasien TB berdasarkan hasil konfirmasi pemeriksaan Bakteriologis :

Adalah seorang pasien TB yang dikelompokkan berdasar hasil pemeriksaan contoh uji
biologinya dengan pemeriksaan mikroskopis langsung, biakan atau tes diagnostik cepat
yang direkomendasi oleh Kemenkes Rl (misalnya: GeneXpert). Termasuk dalam
kelompok pasien ini adalah:

a. Pasien TB paru BTA positif


b. Pasien TB paru hasil biakan M.tb positif
c. Pasien TB paru hasil tes cepat M.tb positif
d. Pasien TB ekstraparu terkonfirmasi secara bakteriologis, baik dengan BTA, biakan
maupun tes cepat dari contoh uji jaringan yang terkena
e. TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis.

Catatan: Semua pasien yang memenuhi definisi tersebut diatas harus dicatat tanpa
memandang apakah pengobatan TB sudah dimulai ataukah belum.

Pasien TB terdiagnosis secara Klinis:

Adalah pasien yancj tidak memenuhi kriteria terdiagnosis secara bakteriologis tetapi
didiagnosis sebagai pasien TB aktif oleh dokter, dan diputuskan untuk diberikan
pengobatan TB.

Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah:


 Pasien TB paru BTA negatif dengan hasil pemeriksaan foto toraks mendukung TB.
 Pasien TB ekstraparu yang terdiagnosis secara klinis maupun laboratories dan
histopatologis tanpa konfirmasi bakteriologis.
 TB anak yang terdiagnosis dengan sistim skoring.

Catatan: Pasien TB yang terdiagnosis secara klinis dan kemudian terkonfirmasi


bakteriologis positif (baik sebelum maupun setelah memulai pengobatan) harus
diklasifikasi ulang sebagai pasien TB terkonfirmasi bakteriologis.

2. Klasifikasi pasen TB

Selain dari pengelompokkan pasien sesuai definisi tersebut diatas, pasien juga
diklasifikasikan menurut:

a. Lokasi anatomi dari penyakit atau oigan tuDuh yang sakit: paru atau ekstra paru;
b. Riwayat pengobatan TB sebelumnya: baru atau sudah pernah diobati
c. Hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
d. Status HIV
a. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit:

1. Tuberkulosis paru
Adalah TB yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru.Milier T8 dianggap sebagai
TB paru karena adanya lesi pada jaringan paru.Limfadenitis TB dirongga dada
(hilus dan atau mediastinum) atau efusi pleura tanpa terdapat gambaran radiologis
yang mendukung TB pada paru, dinyatakan sebagai TB ekstra paru.Pasien yang
menderita TB paru dan sekaligus juga menderita TB ekstra paru, diklasifikasikan
sebagai pasien TB paru.

2. Tuberkulosis ekstra paru


Adalah TB yang terjadi pada organ selain paru, misalnya: pleura, kelenjar limfe,
abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak dan tulang.
Diagnosis TB ekstra paru dapat ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan
bakteriologis atau klinis.Diagnosis TB ekstra paru harus diupayakan berdasarkan
penemuan Mycobacterium tuberculosis.
Pasien TB ekstra paru yang menderita TB pada beberapa organ, diklasifikasikan
sebagai pasien TB ekstra paru pada organ menunjukkan gambaran TB yang
terberat.

b. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:

1. Pasien baru TB: adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB
sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun kurang dari 1 bulan (< dari
28 dosis).
2. Pasien yang pernah diobati TB: adalah pasien yang .sebelumnya pernah menelan
OAT selama 1 bulan atau lebih (t dari 28 dosis).
Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir,
yaitu:
2. Pasien kambuh: adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil
pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar kambuh atau
karena reinfeksi).
3. Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TB yang pernah
diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.
4. Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up): adalah
pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up (klasif ;kasi ini
sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien setelah putus berobat
/default).
5. Lain-lain: adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir pengobatan
sebelumnya tidak diketahui.
3. Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
c. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat

Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasii uji kepekaan contoh uji dari
Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa :
 Mono resistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis OAT lini pertama saja
 Poli resistan (TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama
selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan . •
 Muiti drug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin 'R)
secara bersamaan
 Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga resistan
terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari
OAT "lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin)
 Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap Rifampisin dengan atau tanpa
resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode genotip (tes
cepat) atau metodefenotip (konvensional).

d. Klasifikasi pasien TB berdasarkan status HIV

1. Pasien TB dengan HIV positif (pasien ko-infeksi TB/HIV) adalah pasien TB


dengan
 Hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang mendapatkan ART; atau
 Hasil tes HIV positif pada saat diagnosis TB.
2. Pasien TB dengan HIV negatif adalah pasien TB dengan :
 Hasil tes HIV negatif sebelumnya; atau
 Hasil tes HIV negatif pada saat diagnosis TB.
Catatan :
Apabila pada pemeriksaan selanjutnya dapat diperoleh hasil tes menjadi positif,
psien harus disesuaikan kembali klasifikasinya sebagai pasien TB dengan HIV
positif.

3. Pasien TB dengan status HIV tidak diketahui adalah pasien TB tanpa ada bukti
pendukung hasil tes HIV saat diagnosis TB ditetapkan.
Catatan :
Apabila pada pemeriksaan selanjutnya dapat diperoleh hasil tes HIV pasien, pasien
harus disesuaikan kembali klasifikasinya berdasarkan hasil tes HIV terakhir.

4.4. Pengobatan Pasien TB

1. Tujuan Pengobatan TB
a. Menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktivitas serta kualitas hidup
b. Mencegah terjadinya kematian oleh karena TB atau dampak buruk selanjutnya
c. Mencegah terjadinya kekambuhan TB
d. Menurunkan penularan TB
e. Mencegah terjadinya dan penularan TB resistan obat
2. Prinsip Pengobatan TB

Obat anti Tuberkulosis (OAT) adalah komporien terpenting dalam pengobatan


TB.Pengobatan TB adalafrmerupakan salah satu upaya paling efisien uniuk mencegah
penyebaran lebih lanjut dari kuman TB.
Pengobatan yag adekuat harus memenuhi prinsip :
6. Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat mengandung mnimal 4
macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi
7. Diberikan dalam dosis yang tepat
8. Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (Pengawas Menelan
Obat), sampai selesai pengobatan
9. Pengobatan diberikan dalam janka waktu yang cukup terbagi dalam tahap awal seria
tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan.

3. Tahapan Pengobatan TB

Pengobatan TB harus selalu meliputi; yaitu :

a. Tahap Awal
Pengobatan diberikan setiap hari.Paduan pengobatan pada tahap ini adalah
dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman yang ada dalam tubuh
psaien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman yang mungkin sudah
resitan sejak sebelum pasien mendapatkan pengobatan.Pengobatan tahap awal semua
pasien baru harus diberikan selama 2 bulan.
Pada umunya dengan pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyulit, daya
penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan selama 2 minggu.
b. Tahap Lanjutan
Pengobatan tahap lanjutan merupakan tahap yang penting untuk membunuh sisa-sisa
kuman yang masih ada dalam tubuh khususnya kuman persister sehingga psaien dapat
sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan.

4. Obat Anti Tuberkolosis (OAT)

Tabel 4.1.OAT Lini pertama

Jenis Sifat Efek Samping


Isoniazid (H) Bakterisidal Neuropati perifer psikosis toksis, gangguan
fungsi hati, kejang
Rifampisin (R) Bakterisidal Flu syndrome, gangguan gastrointestinal,
urine berwarna merah, gangguan fungsi hati,
trombositopeni, demam, skinrash, sesak
nafas, anemia hemolitik
Pirazinamid (Z) Bakterisidal gangguan gastrointestinal, gangguan fungsi
hati gout artrisis
Streptomisin (S) Bakterisidal Nyeri ditempat suntikan, gangguan
keseimbangan dan pendengaran renjatan
anafilatik, anemia, agranuositosis,
trombositopeni
Etambutol Bakterisidal Gangguan penglihatan, buta warna, Neuropati
perifer

Tabel 4.2. Kisaran dosis OAT lini pertama bagi pasien dewasa

Dosis

OAT Harian 3x / Minggu


Kisaran dosis Maksimum (mg) Kisaran dosis Maksimum (mg)
(mg/kg BB) (mg/kg BB)
Isoniazid (H) 5 (4-6) 300 10 (8-12) 900
Rifampicin (R) 10 (8-12) 600 10 (8-12) 600
Pyrazinamide (Z) 25 (20-30) - 35 (30-40) -
Streptomycin (S) 15 (12-18) - 15 (12-18) -
Ethambutol (E) 15 (15-20) - 30 (20-35) 1000

Catatan :
Pemberian streptomisin untuk pasien yang berumur >60 tahun atau pasien dengan berat
badan <50 kg mungkin tidak dapat mentoleransi dosis >500mg/hari (*). Beberapa buku
rujukan menganjurkan penurunan dosis menjadi 10mg/kg/BB/hari

Tabel 4.3 OAT Yang digunakan dalam pengobatan TB MDR

Jenis Sifat Efek Samping


Golongan 1 :
OAT Lini Pertama
Ethambutol (E) Bakteriostatik Gangguan pengklihatan, buta warna,
neuritis perifer.

Pyrazinamide (Z) Bakterisidal Gangguan Gastrointestinal, gangguan


fungsi hati, gout artritis
Golongan 2 :
OAT Suntikan Km, Am, Cm memberikan efek samping
Kanamycin (Kn) Bakterisidal yang serupa seperti pada penggunaan
Amikacyn (Am) Bakterisidal Streptomisin
Capreomycin (Cm) Bakterisidal
Golongan 3 :
Flurokoinolon
Levofloksasin (Lh) Bakterisidal Mual, muntah, sakit kepala, susah tidur,
rupture tendon (jarang)
Moxsifloksasin (Mfx) Bakterisidal Mual, muntah, sakit kepala, Diare, susah
tidur, rupture tendon (jarang)
Golongan 4:
OAT Lini kedua Oral Para-
aminosaliycylic Bakterisidal Ganguan gastrointestinal, gangguan fungsi
hati dan pembekuan darah (Jarang)
Hipotiroidisme yang reversible
Cyloserine (Cs) Bakteriostatik Gangguan system saraf pusat : Sulit
konsentarsi dan lemah , depresi, bunuh
diri, psikosis gangguan lain adalah
neuropati perifer, Stevens Johnson
Syndrome
Ethionamide (Etio) Bakteriosidal Ganguamn gastrointestinal, aneroksi,
ganmgguan fungsi hati, jerawatan, rambut
rontok, ginekomasti, impotensi, gangguan
siklus menstruasihipotiroidime yang
reversible
Golongan 5 : obat yang masih belum jelas manfaatnya dalam pengobatan TB resisten obat.
Clofazimine (Cfz) Linezolid (Lzd), Amoxixillin/Clavulanate (Amx/Clv) Thicacetazone (Thz),
Imipenem/Cilastin (Ipm/Cln) Isoniazid dosis tinggi (H) clarithromcyn (Cir) Bedaquilin (Bdq)

5. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia

Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di


Indonesia adalah:
 Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
 Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3
 Kategori Anak: 2HRZ/4HR atau 2HRZA(S)/4-10HR
 Obat yang digunakan daiam tatalaksana pasien TB resitan obat di Indonesia terdiri
dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamisin, Kapreomisin, Levofloksasin, Etionamide,
Sikloserin, Moksifloksasin dan PAS, serta OAT lini-1 yaitu pirazinamide dan
etambutol
Paduan OAT Kategori-1 dan Kategori-2

Disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini
terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet.Dosisnya disesuaikan dengan
berat badan pasien.Paduarj ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.

Paket Kombipak

Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol
yang dikemas dalam bentuk blister.Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan
dalam pengobatan pasien yang terbukti mengalami efek samping pada pengobatan
dengan OAT KDT sebelumnya.

Paduan OAT Kategori Anak

Disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT).Tablet OAT KDT ini
terdiri dari kombinasi 3 jenis obat dalam satu tablet.Dosisnya disesuaikan dengan berat
badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien
Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan daiam bentuk paket, dengan tujuan untuk
memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan
sampai selesai.Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan.
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket KDT mempunyai beberapa
keuntungan dalam pengobatan TB, yaitu:

a. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat
dan mengurangi efek samping.
b. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya resistensi
obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep
c. Jumlah tablet yang ditelan jauh Sebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi
sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien

6. Paduan OAT KDT Lini Pertama dan Peruntukannya.


a. Kategori-1 : 2(HRZ£) / 4(HR)3
Paduan OAT mi diberikan untuk pasien baru:
10. Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis
11. Pasien TB paru terdiagnosis klinis
12. Pasien TB ekstra paru

Tabel 4.4. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1 : 2(HRZE) / 4(HR)3


Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama Tahap Lanjutan 3 kali
56 hari RHZE (150/75/400/275) seminggu selama 16
mingguRH (150/150)
30 - 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT

38 - 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT

55 - 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT


> 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

Tabel 4.5. Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 1: 2HRZE/4H3R3


Dosis per hari / kali

Tahap Lama Tablet Kaplet Tablet Tablet Jumlah


Pengobatan Pengobatan Isoniasid @ Rifampisin Pirazinamid Etambutol @ hari/ kali
300 mg @ 450 mg @ 500 mg 250 mg menelan
obat
Intensif 2 Bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 Bulan 2 1 - - 48

b. Kategori -2: 2(HRZE)S / (HRZE) / 5(HR)3E3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati
sebelumnya (pengobatan ulang):
 Pasien kambuh
 Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1 sebelumnya
 Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up)

Tabel 4.6.
Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2 : 2(HRZE)S / (HRZE) / 5(HR)3E3
Barat Badan Tanap Intensif tiap hari RHZE Tahap Lanjutan 3 kali
(150/75/400/275)+S seminggu RH (150/150) +E
(400)
Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu
30-37 kg 2 tab 4KDT + 500 mg 2 tab 4KDT 2 Tab 2KDT + 2 tab
Steptomisin inj. Etambutol
38-54 kg 3 tab 4KDT + 750 mg 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT +3 tab Etambutol
Streptomisin inj.
55-/0 kg 4 tab 4KDT + 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT + 4 tab Etambutol
1000mg Streptomisin
inj.
>71 kg 5 tab 4KDT + 1000mg 5 tab 4KDT 5 tat 2KDT + 5 tab Etambutol
Streptomisin inj.

Tabel 4.7. Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 2:2HRZES/HRZE/5H3R3E3

Etambutol Jumlah
Tablet Kaplet Tablet Streptomisi hari/kali
Tahap Lama menelan
Isoniasid Rifampisin Pirazinamid Tablet Tablet n
pengobatan pengobatan obat
@300 mgr @450 mgr @ 500 mgr @250 @400 Injeksi
mgr Mgr
Tahap awal 2 Bulan 1 1 3 3 - 56
0.75 gr
(dosis harian) 1 Bulan 1 1 3 3 - 28

Tahap lanjutan
(dosis 3 x 5 Bulan 2 1 - 1 2 - 60
seminggu)

Catatan:
3. Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB pada keadaan khusus.
4. Cara melarutkan streptomisin via! 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest
sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1 ml = 250mg).
5. Berat badan pasien ditimbang setiap bulan dan dosis pengobatan harus disesuaikan
apabila terjadi perubahan berat badan.
6. Penggunaan OAT lini kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya
kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru
tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada
OAT lini pertama. Disamping itu dapat juga meningkatkan risiko terjadinya resistensi
pada OAT lini kedua.
7. OAT lini kedua disediakan di Fasyankes yang telah ditunjuk guna memberikan
pelayanan pengobatan bagi pasien TB yang resistan obat.

7. Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan TB


a. Pemantauan kemajuan pengobatan TB.
Tindak lanjut berdasarkan hasil pemeriksaan ulang dahak untuk memantau
kemajuan hasil pengobatan:
1) Apabila hasil pemeriksaan pada akhir tahap awal negatif:
8. Pada pasien baru maupun pengobatan ulang, segera diberikan dosis
pengobatan tahap lanjutan
9. Selanjutnya lakukan pemeriksaan ulang dahak sesuai jadwal (pada bulan ke 5
dan Akhir Pengobatan)
2) Apabila hasil pemeriksaan pada akhir tahap awal positif:
Pada pasien 'Daru ( mendapat pengobatan dengan paduan OAT kategori 1 ) :
10. Lakukan penilaian apakah pengobatan tidak teratur?. Apabila tidak teratur,
diskusikan dengan pasien tentang pentingnya berobat teratur.
11. Segera diberikan dosis tahap lanjutan (tanpa memberikan OAT sisipan).
Lakukan pemeriksaan ulang dahak kembali setelah pemberian OAT tahap
lanjutan satu bulan. Apabila hasil pemeriksaan dahak ulang tetap positif,
lakukan pemeriksaan uji kepekaan obat.
12. Apabila tidak memungkinkan pemeriksaan uji kepekaan obat, lanjutkan
pengobatan dan diperiksa ulang dahak kembali pada akhir bulan ke 5
(menyelesaikan dosis OAT bulan ke 5).
13. Pada pasien dengan pengobatan ulang (mendapat pengobatan dengan paduan
OAT kategori 2):
14. Lakukan penilaian apakah pengobatan tidak teratur?. Apabila tidak teratur,
diskusikan dengan pasien tentang pentingnya berobat teratur.
15. Pasien dinyatakan sebagai terduga pasien TB MDR
16. Lakukan pemeriksaan uji kepekaan obat atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB
MDR
17. Apabila tidak bisa dilakukan pemeriksaan uji kepekaan obat atau dirujuk ke RS
Pusat Rujukan TB MDR, segera diberikan dosis OAT tahap lanjutan (tanpa
pemberian OAT sisipan) dan diperiksa ulang dahak kembali pada akhir bulan ke
5 (menyelesaikan dosis OAT bulan ke 5).

3) Pada bulan ke 5 atau lebih


18. Baik pada pengobatan pasien baru atau pengobatan ulang apabila hasil
pemeriksaan ulang dahak hasilnya negatif, lanjutkan pengobatan sampai
seluruh dosis pengobatan selesai diberikan
19. Apabila hasil pemeriksaan ulang dahak hasilnya positif, pengobatan dinyatakan
gagal dan pasien dinyatakan sebagai terduga pasien TB MDR .
20. Lakukan nemeriksaan uji kepekaan obat atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB
MDR
21. Pada pasien baru (mendapat pengobatan dengan paduan OAT kategori 1),
pengobatan dinyatakan gagal. Apabila oleh karena suatu sebab belum bisa
dilakukan pemeriksaan uji kepekaan atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB
MDR, berikan pengobatan paduan OAT kategori 2 dari awal.
22. Pada pasien TB dengan pengobatan ulang (mendapat pengobatan dengan
paduan OAT kategori 2), pengobatan dinyatakan gaga!. Harus diupayakan
semaksimal mungkin agar bisa dilakukan pemeriksaan uji kepekaan atau dirujuk
ke RS Pussat Rujukan TB MDR. Apabila oleh karena suatu sebab belum bisa
dilakukan pemeriksaan uji kepekaan atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB
MDR, berikan penjelasan, pengetahuan dan selalu dipantau kepatuhannya
terhadap upaya PPI (Pencegahan dan Pengendalian Infeksi).

4) Pasien TB Ekstra Paru

Untuk pasien TB Ekstra paru, pemantauan kondisi klnis merupakan cara menilai
kemajuan hasil pengobatan (standar 10, ISTC). Pasien TB BTA negatif, perbaikan
kondisi klinis anatara lain peningkatan berat badan pasien merupakan indikator yang
bermanfaat.

Tabel 4.8 Pemeriksaan dahak ulang untuk pemantauan hasil pengobatan


b. Tatalaksana Pasien TB yang berobat tidak teratur

Tabel 4.9 : Tatalaksana pasien yang berobat tidak teratur


Tindakan pada pasien yang putus berobat kurang dari 1 bulan :
23. Lacak Pasien
24. Diskusikan dengan pasien untuk mencari masalah berobat tidak teratur
25. Lanjutkan pengobatan sampai seluruh dosis selesai
Tindakan pada pasien yang putus berobat antara 1-2 bulan :
Tindakan pertama Tindakan kedua
26. Lacak Apabila Lanjutkan pengobatan sampai seluruh dosis
pasien hasilnya B T A selesai
27. Diskusikan (-) atau
denganpasie p a d a awal
n untuk pengobatan
mencari adalah pasien
faktor TB ekstra paru
penyebab Bila satu atau Total Dosis Lanjutkan pengobatan sampai
putus obat lebih hasil BTA pengobatan seluruh dosis pengobatan
28. Periksa (+) sebelumnya < 5 terpenuhi*
dahak SPS Bln
dan Total Dosis Kategori-1 :
lanjutkan pengobatan a. Lakukan
pengobatan sebelumnya > 5 pemeriksaan tes
sementara Bln cepat
menunggu b. Berikan kategori 2
hasilnya mulai dari awal**
- Kategori-2 * Lakukan
pemeriksaan tes cepat
atau dirujuk ke RS Pusat
Rujukan TB MDR***

Tindakan pada pasienyang putus berobat 2 bulan atau lebih (Loss to follow up))

Lacak pasien pada awal : hentikan pengobatan dan pasien tetap


Diskusikan pengobatan adalah diobservasi.
dengan pasien pasien TB ekstra Apabila kemudian terjadi perburukan kondisi
untuk mencari paru klinis, pasien diminta untuk periksa kembali
faktor penyebab Bila satu atau lebih atau
putus berobat hasil BTA (+) dan 14. Belum ada
Periksa dahak ada bukti
SPS dan atau resistensi
tes c^pat Keputusan
Hentkan pengobatan
pengobatan selanjutnya
sementara ditetapkan oleh
menunggu dokter tergantung
hasilnya pada kondisi klinis
*♦ pasien, apabila :
Apabila hasilnya 13. Sudah ada
BTA (-) atau perbaikan nyata
Kategori 2

(dimodifikasi dari: Treatment of Tuberculosis, Guideline for National Programme, WHO,


2003) Keterangan :
Lakukan pengobatan dosis yang tersisa sampai seluruh dosis
pengobatan terpenuhi dan dilakukan pemeriksaan ulang dahak kembali
setelah menyelesaikan dosis pengobatan pada bulan ke 5 dan AP
Sementara menunggu hasil pemeriksaan UJI kepekaan pasien dapat
dibenkan pengobatan OAT kategori 2
Sementara menunggu hasil pemeriksaan uji kepekaan pasien tidak diberikan
paduan OAT
c. Pengawasan langsung menelan obat (DOT = Directly Observed Treatment)

Paduan pengobatan yang dianjurkan dalam buku pedoman ini akan menyembuhkan
sebagian besar pasien TB baru tanpa memicu munculnya kuman resistan obat. Untuk
tercapainya hal tersebut, sangat penting dipastikan bahwa pasien menelan seluruh obat
yang diberikan sesuai anjuran dengan cara pengawasan langsung oleh seorang PMO
(Pengawas Menelan Obat) agar mencegah terjadinya resistensi obat. Pilihan tempat
pemberian pengobatan sebaiknya disepakati bersama pasien agar dapat
memberikan kenyamanan.Pasien bisa memilih datang ke fasyankes terdekat
dengan kediaman pasien atau PMO datang berkunjung kerumah pasien, apabila tidak
ada faktor penyulit, pengobatan dapat diberikan secara rawat jalan
1. Persyaratan PMO
a. Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oieh petuCJ§§
kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh
pasien.
b. Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.
c. Bersedia membantu pasien dengan sukarela
d. Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan
Pasien
2. Siapa yang bisa jadi PMO Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya
Bidan di Desa, Perawat, Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila
tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader
kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota
keluarga.
3. Tugas seorang PMO
a. Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai
pengobatan.
b. Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.
c. Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah
ditentukan
d. Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai
gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke Unit
Pelayanan Kesehatan.
Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien mengambil obat
dari unit pelayanan kesehatan
4. Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada pasien dan
keluarganya:
a. TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan
b. TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur
c. Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara
pencegahannya
d. Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan)
e. Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur
f. Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta
pertolongan ke fasyankes.
d. Pengobatan TB pada keadaan khusus

1. Kehamilan
Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan
pengobatar TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman untuk
kehamilan, kecuali golongan Aminoglikosida seperti streptomisin atau kanamisin
karena dapat menimbulkan ototoksik pada bayi (permanent ototoxic) dan dapat
menembus barier placenta. Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya
gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan
dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan pengobatannya
sangat penting artinya supaya proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi
yang akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular TB. Pemberian Piridoksin
50 mg/hari dianjurkan pada ibu hamil yang mendapatkan pengobatan TB,
sedangkan pemberian vitamin K 10mg/hari juga dianjurkan apabila Rifampisin
digunakan pada trimester 3 kehamilan menjelang partus.
2. Ibu menyusui dan bayinya
Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan
pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui.
Seorang ibu menyusui yang menderita TB harus mendapat paduan OAT secara
adekuat. Pemberian OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah
penularan kuman TB kepada bayinya, ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi
tersebut dapat terus diberikan ASI. Pengobatan pencegahan dengan INH
diberikan kepada bayi tersebut sesuai dengan berat badannya.
3. Pasien TB pengguna kontrasepsi
Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB, susuk
KB) sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Seorang pasien
TB sebaiknya mengggunakan kontrasepsi
ncn-hormonal.
4. Pasien TB dengan kelainan hati
a. Pasien TB dengan Hepatitis akut
Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik,
ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Sebaiknya dirujuk
ke fasyankes rujukan untuk penatalaksanaan spesialistik.
b. Pasien dengan kondisi berikut dapat diberikan paduan pengobatan OAT yang
biasa digunakan apabila tidak ada kondisi kronis :
15. Pembawa virus hepatitis
16. Riwayat penyakit hepatitis akut
17. Saat ini masih sebagai pecandu alkohol Reaksi hepatotoksis terhadap OAT
umumnya terjadi pada pasien dengan kondisi tersebut diatas sehingga
harus diwaspadai.
c. Hepatitis Kronis
Pada pasien dengan kecurigaan mempunyai penyakit hati kronis, pemeriksaan
fungsi hati harus dilakukan sebelum memulai pengobatan. Apabila hasil
pemeriksaan fungsi hati >3 x normal sebelum memulai pengobatan, paduan
OAT berikut ini dapat dipertimbangkan:
18. 2 obat yang hepatotoksik
19. 2 H R S E / 6 H R
20. 9 HRE
21. 1 obat yang hepatotoksik
22. 2 H E S / 1 0 H E
23. Tanpa obat yang hepatotoksik
18-24 SE ditambah salah satu golongan fluoiokuinolon (ciprofloxasin tidak
direkomendasikan karena potensimya sangat lemah)
Semakin berat atau tidak stabil penyakit hati yang diderita pasien TB, harus
menggunakan semakin sedikit OAT yang hepatotoksik.
24. Konsultasi dengan seorang dokter spesialis sanoat dianjurkan,
25. Pemantauan klinis dan LFT harus selalu dilakukan dengan

seksama,
26. Pada panduan OAT dengan penggunaan etambutol lebih dari 2 bulan diperlukan
evaluasi gangguan penglihatan.

4.16. Pasien TB dengan gangguan fungsi ginjal


Paduan OAT yang dianjurkan adalah pada pasien T B dengan gagal ginjal atau
gangguan fungsi ginjal yang berat: 2 HRZE/4 HR. H dan R diekskresi melalui empedu
sehingga tidak perlu dilakukan perubahan

dosis. Dosis Z dan E harus disesuaikan karena diekskresi melalui ginjal. Dosis pemberian 3
x /minggu bagi Z : 25 mg/kg BB dan E : 15 mg/kg BB. Pada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal atau gagal ginjal, perlu diberikan tambahan Piridoksin (vit. B6) untuk mencegah
terjadinya neuropati perifer. Hindari penggunaan Streptomisin dan
apabila harus diberikan, dosis yang digunakan: 15 mg/kgBB, 2 atau 3 x/minggu dengan
maksimum dosis 1 gr untuk setiap kali pemberian dan kadar dalam darah harus selalu
dipantau..Pasien dengan penyakit ginjal sangat berisiko untuk terkena TB khususnya pada
pasien dengan penyakit ginjal kronis. Secara umum, risiko untuk mengalami efek samping
obat pada pengobatan pasien TB dengan gagal kronis lebih besar dibanding pada pasien
TB dengan fungsi ginjal yang masih normal. Kerjasama dengan dokter yang ahli dalam
penatalaksanaan pasien dengan gangguan fungsi ginjal sangat diperlukan.Sebagai acuan
tingkat kegagalan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronis dapat dilihat pada tabel dibawah
ini.
Tabel 4.10. Acuan penilaian tingkat kegagalan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronis:
Tingkat Hasil Pemeriksaan Klirens Kreatinin (KK)

1 KK dan fungsi ginjal normal, namun terdapat kelainan


saluran kencing, misalnya ginjal polikistik, kelainan struktur
ginjal.

2 Klirens Kreatinin (KK) (60 - 90 ml/menit)

3 Klirens Kreatinir. (KK) (30 - 60 ml/menit)

4 Klirens Kreatinin (KK) (15-30 ml/menit)

5 Klirens Kreatinin (KK) (<15 ml/menit) .dengan atau tanpa


dialisis.

Tabel 4.11. Dosis yang dianjurkan pada pengobatan pasien TB

dengan penyakit ginjal kronis.


OAT Stadium 1 - 3 Stadium 4 - 5
j
Isoniasid 300 mg/hari Diberikan 3 X / mg 300
mg/ setiap pemberian

Rifampisin <50 kg :450mg/hr £50 <50 kg :450mg/hr £50


kg :600mg/hr kg :600mg/hr

Pirasinamid <50 kg : 1,5 g /hr £50 25-30mg/kgBB/hr,


• kg : 2 g /hr diberikan 3X/mg

OAT Stadium 1-3 Stadium 4 - 5

Etambutol 15mg/kgB6/hr 15-25mg/kgBB/hr,


diberikan 3X/mg

6) Pasien TB dengan Diabetes Melitus (DM)

TB merupakan salah satu faktor risiko tersering pada seseorang


dengan Diabetes mellitus.
Anjuran pengobatan TB pada pasien dengan Diabetes melitus:
e. Paduan OAT yang diberikan pada prinsipnya sama dengan paduan OAT
bagi pasien TB tanpa DM dengan syarat kadar gula darah
terMo!
f. Apabila kadar gula darah tidak terkontrol, maka lama pengobatan dapat
dilanjutkan sampai 9 bulan
g. Hati hati efek samping dengan penggunaan Etambutol karena pasien DM
sering mengalami komplikasi kelainan pada mata
h. Perlu diperhatikan penggunaan Rifampisin karena akan mengurangi
efektifitas obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosisnya perlu
ditingkatkan
i. Perlu pengawasan sesudah pengobatan selesai untuk mendeteksi dini bila
terjadi kekambuhan
Pasien TB yang perlu mendapat tambahan kortikosteroid
Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus yang
membahayakan jiwa pasien seperti:
a. Meningitis TB dengan gangguan kesadaran dan dampak neurologis
b. TB milier dengan atau tanpa meningitis
c. Efusi pleura dengan gangguan pernafasan berat atau efusi
pericardial
d. Laringitis dengan obstruksi saluran nafas bagian atas, TB saluran
kencing (untuk mencegah penyempitan ureter ), pembesaran kelenjar
getah bening dengan penekanan pada bronkus atau pembuluh
darah.
e. Hipersensitivitas berat terhadap OAT. f) IRIS ( Immune Response
Inflammatory Syndrome )
Dosis dan lamanya pemberian kortikosteroid tergantung dari berat dan
ringannya keluhan serta respon klinis. Predinisolon (peroral):
27. Anak: 2 mg / kg BB, sekali sehari pada pagi hari
28. Dewasa: 30 - 60 mg, sekali sehari pada pagi hari
Apabila pengobatan diberikan sampai atau lebih dari 4 minggu, dosis harus diturunkan
secara bertahap (tappering off).

8) Indikasi operasi
Pasien-pasien yang perlu mendapat tindakan operasi (misalnya reseksi paru),
adalah:
j. Untuk TB paru:
29. Pasien batuk darah berat yang tidak dapat diatasi dengan cara konservatif.
30. Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara
konservatif.
31. Pasien TB MDR dengan kelainan paru yang terlokalisir.
31.1. Untuk TB ekstra paru: Pasien TB ekstra paru dengan komplikasi,
misalnya pasien TB tulang yang disertai kelainan neurologik.
\
8. Efek samping OAT dan penatalaksanaannya
Tabel berikut, menjelaskan efek samping ringan maupun berat dengan pendekatan gejala.
Tabel 4.12. Efek samping ringan OAT
, Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan

H, R, Z OAT ditelan malam sebelum tidur.


Tidak ada nafsu makan, Apabila keluhan tetap ada, OAT ditelan
mual, sakit perut dengan sedikit makanan Apabila
keluhan semakin hebat disertai muntah,
waspada efek samping berat dan
segera rujuk ke dokter.
Nyeri Sendi Z Beri Aspirin, Parasetamol atau obat anti
radang non steroid
Kesemutan s/d rasa H Beri vitamin B6 (piridoxin) 50 - 75 mg
terbakar di kaki atau tangan per hari
Warna kemerahan pada air R Tidak membahayakan dan tidak perlu
seni (urine) diberi obat penawar tapi perlu
penjelasan kepada pasien.
Flu sindrom (demam, R dosis Pemberian R dirubah dari intermiten
menggigil, lemas, sakit Intermiten menjadisetiap hari
kepala, nyeri tulang)

Tabel 4.13. Efek samping berat OAT


• i Penatalaksanaan
Efek Samping Penyebab
E ^rcak kemerahan kulit H, R, Z. S Ikuti petunjuk penatalaksanaan
(rboh) dengan atau tanpa dibawah*
rasa gata
Gangguan pendengaran S Streptomisin dihentikan
(tanpa diketemukan
serumen)

Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan


Gangguan S Streptomisin dihentikan
keseimbangan
Ikterus tanpa H, R, Z Hentikan semua OAT sampai
penyebab ikterus menghilang.
lain
Bingung dan muntah- Semua Hentikan semua OAT, segera
muntah jenis OAT lakukan tes fungsi hati.
(permulaan ikterus
karena obat)
Gangguan penglihatan E Etambutoldihentikan
Purpura, renjatan R Rifampisindihentikan
(syok),
gagal ginjal akut
Penurunan produksi S Streptomisin dihentikan
urine
a. Penatalaksanaan pasien dengan efek samping pada kulit (*□ )
Apabila pasien mengeluh gatal tanpa rash dan tidak ada penyebab lain, dianjurkan
untuk memberikan pengobatan simtomatis dengan antihistamin serta pelembab kulit.
Pengobatan TB tetap dapat dilanjutkan dengan pengawasan ketat. Apabila kemudian
terjadi rash, semua OAT harus dihentikan dan segera rujuk kepada dokter atau
fasyankes rujukan. Mengingat perlunya melanjutkan pengobatan TB hingga selesai, di
fasyankes rujukan dapat dilakukan upaya mengetahui OAT maria yang
menyebabkan terjadinya reaksi dikulit dengan cara "Drug Challenain
i1
•> Setelah reaksi dapat diatasi, OAT diberikan kembali secara bertahap satu persatu
dimulai dengan OAT yang kecil kemungkinannya dapat menimbulkan reaksi ( H
atau R ) pada dosis rendah misal 50 mg Isoniazid.
» Dosis OAT tersebut ditingkatkan secara bertahap dalam waktu 3 hari. Apabila tidak
timbul reaksi, prosedur ini dilakukan kembali dengan menambahkan 1 macam OAT
lagi.
k. Jika muncul reaksi setelah pemberian OAT tertentu, menunjukkan bahwa
OAT yang diberikan tersebut adalah penyebab terjadinya reaksi pada kulit
tersebut.14
l. Apabila telah diketahui OAT penyebab reaksi dikulit tersebut, pengobatan
dapat dilanjutkan tanpa OAT penyebab tersebut.

b. Penatalaksanaan pasien dengan "drugs induced hepatitis"( *□ )


Dalam uraian ini hanya akan disampaikan tatalaksana pasien yang mengalami keluhan
gangguan fungsi hati karena pemberian obat (drugs induced hepatitis).
Penatalaksanaan pasien dengan gangguan fungsi hati karena penyakit penyerta pada
hati, diuraikan dalam uraian Pengobatan pasien dalam keadaan khusus.
OAT lini pertama yang dapat memberikan gangguan fungsi hati adalah : H, R
dan Z. Sebagai tambahan, Rifampisin dapat menimbulkan ikterus tanpa ada
i
bukti gangguan fungsi hati. Penting untuk memastikan kemungkinan adanya faktor
penyebab lain sebelum menyatakan gangguan fungsi hati yang terjadi disebabkan oleh
karena paduan OAT.
Penatalaksanaan gangguan fungsi hati yang terjadi oleh karena pengobatan TB
tergantung dari:
m. Apakah pasien sedang dalam pengobatan tahap awal atau tahap lanjutan
n. Berat ringannya gangguan fungsi hati
o. Berat ringannya TB
p. Kemampuan fasyankes untuk menatalaksana efek samping obat
Langkah langkah tindak lanjut adalah sebagai berikut, sesuai
kondisi:
a. Apabila diperkirakan bahwa gangguan fungsi hati disebabkan oleh
karena OAT, pemberian semua OAT yang bersifat hepatctoksik
harus dihentikan. Pengobatan yang diberikan Streptomisin dan
Etambuiol sambil menunggu fungsi hati membaik. Bila fungsi hati
normal atau mendekati normal, berikan Rifampisin dengan dosis
bertahap, selanjutnya Isoniasid secara bertahap. ' . ,
b. TB berat dan dipandang menghentikan pengobatan akan merugikan
pasien, dapat diberikan paduan pengobatan non hepatatotoksik
terdiri dari S, E dan salah satu OAT dari golongan fluorokuinolon.
c. Menghentikan pengobatan dengan OAT sampai hasil pemeriksaan

fungsi hati kembali normal dan keluhan (mual, sakit perut dsb.) telah hilang sebelum
memulai pengobatan kembali.
d. Apabila tidak bisa melakukan pemeriksaan fungsi hati, dianjurkan
untuk menunggu sampai 2 minggu setelah ikterus atau mual dan
iemas serta pemeriksaan palpasi hati sudah tidak teraba sebelum
memulai kembali pengobatan.
e. Jika keluhan dan gejala tidak hilang serta ada gangguan fungsi hati
berat, paduan pengobatan non hepatotoksik terdiri dari: S, E dan
salah

satu golongan kuinolon dapat diberikan (atau dilanjutkan) sampai 18-24 bulan.
q. Setelah gangguan fungsi hati teratasi, paduan pengobatan CAT semula
dapat dimulai kembali satu persatu. Jika kemudian keluhan dan gejala
gangguan fungsi hati kembali muncul atau hasil pemeriksaan fungsi hati
kembali tidak normal, OAT yang ditambahkan terakhir harus dihentikan.
Beberapa anjuran untuk memulai pengobatan dengan Rifampisin. Setelah 3-
7 hari, Isoniazid dapat ditambahkan. Pada pasien yang pernah mengalami
ikterus akan tetapi dapat menerima kembali pengobatan dengan H dan R,
sangat dianjurkan untuk menghindari penggunaan Pirazinamid
r. Paduan pengganti tergantung OAT apa yang telah menimbulkan gangguan
fungsi hati. Apabiia R sebagai penyebab, dianjurkan pemberian:
2HES/10HE. Apabila H sebagai penyebab, dapat diberikan : 6-9 RZE.
Apabila Z dihentikan sebelum pasien menyelesaikan pengobatan tariap
awal, total lama pengobatan dengan H dan R dapat diberikan sampai 9
bulan. Apabila H maupun R tidak dapat diberikan, paduan pengobatan OAT
non hepatotoksik terdiri dari : S, E dan salah satu dari golongan kuinolon
harus dilanjutkan sampai 18-24 bulan.
s. Apabila gangguan fungsi hati dan ikterus terjadi pada saat pengobatan tahap
awal dengan H,R,Z,E (paduan Kategori 1), setelah gangguan fungsi hati
dapat diatasi, berikan kembali pengobatan yang sama namun Z digantikan
dengan S untuk menyelesaikan 2 bulan'tanap awal diikuti dengan pemberian
H dan R selama 6 bulan tahap lanjutan.
t. Apabila gangguan fungsi hati dan ikterus terjadi pada saat pengobatan tahap
lanjutan (paduan Kategori 1), setelah gangguan fungsi hati dapat diatasi,
mulailah kembali pemberian H dan R selama 4 bulan lengkap tahap lanjutan.
4.5. TATALAKSANA TB PADA ANAK 1.
Epidemiologi
TB anak adalah penyakit TB yang terjadi pada amak usia 0-14 tahun.
Cara penularan TB pada anak adalah :
i
32. Sumber penularan adalah pasien TB paru BTA positif, baik dewasa maupun anak.
33. Anak yang terkena TB tidak selalu menularkan pada orang sekitarnya, kecuali anak
tersebut BTA positif atau menderita adult type TB
34. Faktor resiko penularan TB pada anak tergantung dari tingkat penularan, lama pajanan,
daya tahan pada anak. Pasien TB dengan BTA positif

memberikan kemungkinan resiko penularan lebih besar daripada pasien TB dengan


BTA negatif
• Pasien FB dengan BTA negatif juga masih memiliki kemungkinan menularkan
penyakit TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah 65%, pasien TB BTA
negatif dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TB dengan hasil
kultur negatif dan r'oto toraks positif adsiah 17%.
2. Diagnosis TB pada Anak
1.1. Penemuan Pasien TB Anak
Pasien TB anak dapat ditemukan dengan cara melakukan pemeriksaan pada
1.1. Anak yang kontak erat dengan pasien TB menular
1.1. Yang dimaksud dengan kontak erat adalah anak yang tinggal serumah atau
sering bertemu dengan pasien TB menular.
1.1. Anak yang mempunyai tanda dan gejala klinis yang sesuai dengan TB anak
1.2. Gejala TB pada Anak
Gejala sistemik/umum adalah sebagai berikut:
1.2. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik dengan
adekuat atau tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya perbaikan gizi
yang baik.
1.2. Demam lama (>2 minggu) dan/atau berulang tanpa seoab yang jelas (bukan
derpam tifoid, infeksi saluran kbmih, malaria, dan lain-lain). Demam umumnya
tidak tinggi. Keringai malam saja bukan merupakan gejala spesifik TB pada
anak apabila tidak disertai dengan gejala-gejala sistemik/umum lain.
1.2. Batuk lama >3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau
intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat
disingkirkan.
1.2. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh
(failure to thrive). i
1.2. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.
1.2. Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan pengobatan
baku diare.
Gejala kiinis spesifik terkait organ Gejala klinis pada organ yang
terkena TB, tergantung pada jenis organ yang terkena, misalnya
kelenjar limfe, susunan saraf pusat (SSP), tulang dan kulit, adalah sebagai
berikut:
u. Tuberkulosis kelenjar (terbanyak di daerah leher atau regio colli):
Pembesaran KGB multipel (>1 KGB), diameter >1 cm, konsistensi kenyal,
tidak nyeri, dan kadang saling melekat atau konfluens.
v. Tuberkulosis otak dan selaput otak:
35. Meningitis TB: Gejala-gejala meningitis dengan seringkali disertai gejala akibat
keterlibatan saraf-saraf otak yang terkena.
36. Tuberkuloma otak: Gejala-gejala adanya lesi desak ruang.
36.1. Tuberkulosis sistem skeletal:
37. Tulang belakang (spondiiitis): Penonjolan tulang belakang (gibbus)
38. Tulang panggul (koksitis): Pincang, gangguan berjalan, atau tanda peradangan di
daerah panggul.
39. Tulang lutut (gonitis): Pincang dan/atau bengkak pada lutut tanpa sebab yang jelas.
40. Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis).
41. Skrofuloderma: Ditandai adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit antar tepi ulkus
(skin bridge).
42. Tuberkulosis mata:
43. Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis).
44. Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi).
45. Tuberkulosis organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal dicurigai bila
ditemukan gejala gangguan pada organ-organ tersebut tanpa sebab yang jelas dan
disertai kecurigaan adanya infeksi TB.
3. Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis TB pada anak f
Dalam menegakkan diagnosis TB pada anak, semua prosedur diagnostik dapat
dikerjakan, namun apabila dijumpai keterbatasan sarana diagnostik yang tersedia,
dapat menggunakan suatu pendekatan iain yang dikenal sebagai sistem skoring.
Sistem skoring tersebut dikembangkan diuji coba melalui tiga tahap penelitian oleh para
ahli yang berasal dari IDAI, Kemenkes dan didukung oleh WHO dan disepakati sebagai
salah satu cara untuk mempermudah penegakan diagnosis TB pada anak terutama di
fasilitas kesehatan dasar. Sistem skoring ini membantu tenaga kesehatan agar tidak
terlewat dalam mengumpulkan data klinis maupun pemeriksaan penunjang sederhana
sehingga diharapkan dapat mengurangi terjadinya underdiagnoses maupun
ovsr&a^PiQsis TB.
Penilaian / pembobotan pada sistem skoring dengan ketentuan sebagai berikut:
46. Parameter uji tuberkulin dan kontak erat dengan pasien TB menular mempunyai nilai
tertinggi yaitu 3.
47. Uji tuberkulin bukan merupakan uji penentu utama untuk menegakkan diagnosis TB
pada anak dengan menggunakan sistem skoring.

Tabel 4.14. Sistem scoring (Scoring system) gejala dan


pemeriksaan penunjang TB
Parameter 0 1 2 3 Jumlah
Kontak TB Tidak Jelas Laporan BTA
Keluarga, B Positif
TA negatif
atau tidak
tahu, BTA
tidak jelas
Uji Tuberkulin Negatif Positif
(£10mm,
atau £5 mm
pada
keadaan
Berat badan/keadaan «♦ Bawah GarisKlinis gizi
gizi merah (KMS)buruk
atau B B/U <80% (BB/U<80
%)
Demam tanpa sebab - £2 minggu - -
yang jelas

Batuk - >3 minggu - -


:
Pembesaran - s 1 cm, jumlah i -
kelenjar limfe >1, tidak nyeri
koli.aksila,inguinal
.
Pembengkakan - Ada 1 -
tulang / sendi pembengkakan
panggul , lutut, falang

Photo thorax Normal/tidak Kesan TB


jelas

Jumlah Skor *

Catatan Parameter Sistem Skoring:


! Kontak dengan pasien TB BTA positif diberi skor 3 bila ada bukti tertulis hasil
laboratorium BTA dari sumber penularan yang bisa diperoleh dari TB 01 atau dari hasil
laboratorium
w. Penentuan status gizi
» Berat badan dan panjang/ tinggi b3dan dinilai saat pasien datang (moment opname)
48. Dilakukan dengan parameter BB.TB atau BB'U Penentuan status gizi untuk anak usia <5
tahun merujuk pada buku KIA Kemenkes. sedangkan untuk anak usia >5 tahun merujuk
pada kurva CDC 2000.
49. Bila BB kurang, diberikan upaya perbaikan gizi dan dievaluasi selama 1 bulan
49.1. Demam (>2 mmggu) dan batuk (>3 mmggu) yang tidak membaik setelah diberikan
pengobatan sesuai baku terapi di puskesmas
49.2. Gambaran foto toraks menunjukkan gambaran mendukung TB berupa pembesaran
kelenjar hiiua atau paratrekeal dcngan'tanpa infiltrat (visualisasinya selain dengan
foto toraks AP. harus disertai foto toraks lateral) atelektasis konsolidasi
segmental/lobar, milier. kalsifikas» dengan infiltrat tuberkuloma

Gambar 4.2 Algoritma Tatalaksana TB anak

4. Penegakan Diagnosis pada TB Anak


1.1. Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter.
Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk kronik lainnya
sepertiAsma, Sinusitis, dan lain - lain.
1.2. Anak didiagnosis TB jika jumlah skor £ 6 (skor maksimal 13)
1.3. Anak dengan skor 6 yang diperoleh dari kontak pasien BTA positif dan hasil uji
tuberkulin positif, tetapi TANPA gejala klinis, maka dilakukan observasi atau diberi
INH profilaksis tergantung tergantung dari umur anak tersebut.
1.4. Anak dengan skor 6 yang diperoleh dari kontak pasien BTA positif atau uji tuberkulin
positif, dengan ditambah 3 gejala klinis lainnya, diobati sebagai TB anak.
1.5. Jika dijumpai skrofuloderma (TB pada kelenjar dan kulit), pasien dapat langsung
didiagnosistuberkulosis.

x. Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname).~> lampirkan


tabel badan badan.
y. Foto toraks toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak
z. Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi lokal timbul < 7 hari setelah
penyuntikan)dievaluasi dengan sistem skoring TB anak.
aa. Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi
lebih lanjut.
i. Anak dengan skor 5 yang terdiri dari kontak BTA positif dan 2 gejala klinis lainnya
pada faskes yang tidak tersedia uji tuberkulin maka dapat didiagnosis, diterapi
dan dipantau sebagai TB anak. Pemantauan dilakukan selama 2 bulan terapi awal
, apabila terdapat perbaikan klinis, maka terapi OAT di lanjutkan sampai selesai.
k. Semua bayi dengan reaksi cepat (< 2 minggu) saat immunisasai BCG dicurigai
telah terinfeksi TB dan harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak.
I. Pada anak yang pada evaluasi bulan ke 2 tidak menunjukan perbaikan klinis
sebaiknya diperiksa lebih lanjut adanya faktor penyebab lainnya, misalnya
kesahan diagnosis, adanya penyakit penyerta, gizi buruk,TB MDR maupun
masalah kepatuhan berobat dari pasien.Apabila fasilitas tidak memungkinkan
pasien dirujuk ke RS rujukan.
Perlu perhatian khusus jika ditemukan salah satu keadaan di bawah ini:
a. Tanda bahaya :
50. Kejang, kaku kuduk
51. Penurunan Kesadaran
52. Kegawatan Lain misalnya sesak napas
52.1. Foto toraks menunjukkan gambaran milier, kavitas, efusi pleura • 3. Gibbus,
koksitis
ii
i
53. Klasifikasi Penyakit dan Type Pasien TB Anak
Klasifikasi penyakit dan tipe pasien TB pada anak sesuai dengan pas'en TB
»i*
pada Orang Dewasa.
54. Pengobatan TB pada anak
Tatalaksana medikamentosa TB pada anak terdiri dari
4.17. Terapi (pengobatan): diberikan pada anak yang sakit TB; dan
4.18. Profilaksis (pengobatan pencegahan). : diberikan pada anak yang kontak TB
(profiiaksis primer) atau anak yang terinfeksi TB tanpa sakit TB (profilaksis sekunder)
Beberapa hal penting dalam tatalaksana TB Anak adalah :
o Obat TB diberikan dalam paduan obat tidak boleh diberikan sebagai monoterapi
bb. Pemberian gizi yang adekuat
cc. Mencari penyakit penyerta, jika ada ditatalaksana secara bersamaan
1. Paduan OAT Anak
Prinsip pengobatan TB pada anak :
a. OAT diberikan dalam bentuk kombinasi minimal 3 macam obat untuk
mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman
intraselular dan ekstraselular.
b. Waktu pengobatan TB anak 6-12 bulan
c. Pengobatah TB pada anak dibagi dalam 2 tahap :
dd. Tahap Awal selama 2 bulan pertama diberikan setiap hari
ee. Tahap Lanjutan selama 4-10 bulan diberikan setiap hari
55. Paduan OAT untuk anak yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian
Tuberkulosis di Indonesia adalah
• Kategori Anak dengan 3 macam cbat: 2HRZ/4HR
56. Pada kasus TB Anak dengan kondisi tertentu dapat diberikan paduan Kategori Anak
dengan 4 macam pbat pada tahap awal yaitu : 2HRZE(S)/4- 10HR
57. Paduan OAT kategori Anak diberikan dalam bentuk paket berupa obat Kombinasi Dosis
Tetap (OAT-KDT)

58. Tabel 4.15. OAT Anak yang biasa dipakai dan dosisnya
Nama Obat Dosis harian Dosis maksimal Efek samping
(mg/kgBB/har (mg /hari
i)
Isoniazid 10(7-15) 300 Hepatitis, neuritis perifer,
(H) hipersensitivitis
Rifampisin 15 (10-20) 600 Gastrointestinal, reaksi kulit,
(R) hepatitis, trombositopenia,
peningkatan enzim hati,
cairan tubuh berwarna
oranye kemerahan
Pirazinamid 3F (30-40) - Toksisitas hepar, artralgia,
(Z) gastrointestinal
Etambutol 20 (15-25) - Neuritis optik, ketajaman
(E) mata berkurang, buta
warna merah hijau,
hipersensitivitas,
gastrointestinal
Streptomisin 15-40 1000 Ototoksik, nefrotoksik
(S)

g. Paduan OAT Kategori anak dan peruntukannya secara lebih lengkap sesuai dengan
table berikut ini:
Tabel 4.16. OAT Kategori Anak dan Peruntukannya
Jenis TB OAT OAT Tahap Prednison Lama
Tahap Lanjutan Pengobatan
Awal
TB Ringan 2HRZ 4HR m 6 bulan
Efusi Pleura TB 2 mgg dosis penuh,
kemudian tappering
off
TB BTA positif 2HRZE 4HR -
TB paru dengan 2HRZ+ E7-10HR 4 mgg dosis penuh, 9-12 buian
tandatanda atau S kemudian tappering
kerusakan luas: ^ TB off.
milier •
TB+destroyed lung
Meningitis TB 10HR 4 mgg dosis penuh, !
kemudian tappering 12 bulan
off
Peritonitis TB 2 mgg dosis penuh,
• kemudian tappering
• off
Perikardistis TB 2 mgg dosis penuh,
kemudian tappering
off.
Skeletal TB I

2. OAT Kategori Anak kemasan Kombinasi dosis tetap (KDT) OAT (FDC=Fixed Dose
Combination)
Untuk mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatkan keteraturan minum obat,
paduan OAT disediakan dalam bentuk paket KDT/ FDC. Satu paket dibuat untuk satu
pasien untuk satu masa pengobatan. Paket KDT untuk anak berisi obat tase intensif,
yaitu nfampisin (R) 75mg, INH (H) 50 mg, dan pirazinamid (Z) 150 mg, serta obat fase
lanjutan, yaitu R 75 mg dan H 50 mg dalam satu paket. Dosis yang dianjurkan dapat
dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4.17. Dosis Kombinasi OAT TB pada Anak


Berat badan (kg) 2 bulan RHZ (75/50/150) 4 bulan (RH (75/50)

5-7 1 tablet 1 tablet

8-11 2 tablet 2 tablet

12-16 3 tablet 3 tablet

17-22 4 tablet 4 tablet

23-30 5 tablet 5 tablet

BB >30 kg diberikan C tablet atau menggunakan KDT dewasa Keterangan: R = Rifampisin;


H = Isonias'd; Z = Pirazinamid
1.1. Bayi di bawah 5 kg pemberian OAT secara terpisah, tidak dalam bentuk kombinasi
dosis tetap, dan sebaiknya dirujuk ke RS rujukan
1.2. Apabila ada kenaikan BB maka dosis/jumlah tablet yang diberikan, menyesuaikan
berat badan saat itu
1.3. Untuk anak obesitas, dosis KDT menggunakan Berat Badan ideal (sesuai umur).
Tabel Berai Badan berdasarkan umur dapat dilihat di lamDiran • OAT KDT harus
diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah, dan tidak boleh digerus)
1.4. Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah/dikulum (chewable), atau
dimasukkan air dalam sendok (dispersable).
1.5. Obat diberikan pada saat perut kosong, atau paling cepat 1 jam setelah makan
1.6. Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat tidak boien
digerus bersama dan dicampur dalam satu puyer
3. Pengpbatan ulang TB pada anak
Anak yang pernah mendaat pengobatan TB, apabila datang kembali denga keluhan
gejala TB, perlu dievaluasi apakah anak tersebut benar-benar menderita
TB. Evaluasi dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan dahak atau sistem
i
skoring. Evaluasi dengan sistem skorig harus lebih cermat dan dilakukan di fasilitas
rujukan. Apabila hasil pemeriksaan dahak menunjukan hasil positif, maka anak
diklasifikasikan sebagaia kasus Kambuh. Pada pasien TB anak yang pernah mendapat
pengobatan TB, tidak dianjurkan untuk dilakukan uji tuberkulin ulang.
4.8. Pemantauan dan Hasil Pengobatan TB Anak
Pema. tauan pengobatan pasien TB anak

Pada tahap awal pasien TB anak kontrol tiap minggu, untuk melihat kepatuhan, toleransi
dan kemungkinan adanya efek samping obat. Pada tahap lanjutan pasien kontrol tiap
bulan. Setelah diberi OAT selama 2 bulan, respon pengobatan pasien harus dievaluasi.
Respon pengobatan dikatakan tidak apabila gejala klinis yang terdapat pada awal
diagnosis berkurang misalnya nafsu makan meningkat, berat badan meningkat, demam
menghilang dan batuk berkurang. Apabila respon pengobatan baik maka pengobatan OAT
dilanjutkan sampai dengan 6 bulan. Sedangkan apabila respon pengobatan kurang atau
tidak baik maka pengobatan TB tetap dilanjutkan tetapi pasien harus dirujuk ke sarana
yang lebih lengkap. Sistem skoring hanya digunakan untuk diagnosis, bukan untuk meniiai
hasil pengobatan. Setelah' pemeberian OAT selama 6 bulan. OAT dapat dihentikan dengan
melakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang lain seperti foto rontgen
dada. Pemeriksaan tuberkulin tidak dapat dignakan sebagai pemeriksaan untuk
pemantauan pengobatan, karena uji tuberkulin yang positif masih akari memberikan hasil
positif. Meskipun gambaran radiologis tidak menunjukan perubahan yang berarti, tetapi
apabila dijumpai perbaikan klinis yang nyata, maka pengobatan dapat dihentikan dan
pasien dinyatakan selesai
Pada pasien TB anak yang pada awal pengobatan hasil pemeriksaan dahaknya BTA
positif, pemantauan pengobatan dilakukan dengan pemeriksaan dahakulang sesuai alur
pemantauan pasien TB BTA pos.
ff. Efek Samping pengobatan TB pada Anak
Pasien dengan keluhan neuritis (misalnya : kesemutan) dan asupan pindoksin (vitamin B6)
dari bahan makanan tidak tercukupi, maka dapat diberikan vitamin 35 10 mg tiap 100 mg
INH.
Untuk pencegahan Neuritisperifer, apabila tersedia pendoksin 10 mg/hari,
direkomendasikan diberikan pada
59. Bayi yang mendapat ASI eksklusif
60. Pasien gizi buruk '.,•
61. P nak dengan HIV positif
Penanganan efek samping lain dari OAT pada anak mengacu pada buku Pedoman
Nasional Pengendalian TB.
gg. Tatalaksana Pasien TB Anak yang Berobat Tidak Teratur
Ketidakpatuhan minum OAT pada pasien TB merupakan penyebab kegagalan terapi
a. Jika anak tidak minum obat >2 minggu di fase intensif atau >2 bulan
di fase lanjutan dan menunjukkan gejala TB, beri pengobatan kembali
mulai dari awal
b. Jjika aak tidak minum obat <2 minggu di fase intensif atau < 2 bulan
di fase lanjutan dan menunjukkan gejaia TB, ianiutkan sisa
pengobatan sampai selesai.

Pada pasien dengan pengobatan yang tidak teratur akan meningkatkan resiko terjadinya
TB resistan obat.
hh. Hasil pengobatan TB pada anak
Hasil pengobatan TB pada anak merujuk pada hasil pengobatan TB Dewasa.
ii. Pengobatan Pencegahan dengan Isoniazid (PP-INH)
Sekitar 50-60% anak yang tinggal dengan pasien TB paru dewasa dengan BTA dahak
positif, akan terinfeksi TB juga. Kira-kira 10% dari jumlah tersebut akan mengalami sakit
TB. Infeksi TB pada anak kecil beresiko tinggi menjadi TB berat (misalnya TB meningitis
atau TB milier) sehingga diperlukan pemberian kemoprofilaksis untuk mencegah terjadinya
sakit TB Cara pemeberian Isoniazid untuk pencegahan sesuai dengan tabel berikut:
Tabel 4.18. Cara Pemberian Isoniazid untuk Pencegahan TB pada Anak
r HIV Hasil pemeriksaan Tata laksana
Umur
Balita (+)/(-) Infeksi laten TB INH profilaksis

Balita (+)/(-) Sehat, Kontak (+), Uji tuberkulin (.) IMh pi-omaKsio

; > 5 th (+) Infeksi laten TB INH profilaksis

i > 5 th (+) Sehat INH profilaksis

> 5 th (-) Infeksi laten TB Observasi

> 5 th (-) Sehat Observasi

Keterangan :

62. Obat yang diberikan adalah INH (Isoniazid) dengan dosis 10 mg/kgBB (7-15 mg/kg)
setiap hari selama 6 bulan
63. Setiap bulan (saat pengambilan obat Isoniazid) dilakukan pemantauan terhadap adanya
gejala TB. Jika terdapat gejala TB pada bulan ke 2, ke 3, ke 4, ke 5 atau ke 6, maka
harus segera dievaluasi terhadap sakit TB dan jika terbukti sakit TB, pengobatan harus
segera ditukar ke regimen terapi TB anak dimulai dari awal
64. Jika PP-INH selesai diberikan (tidak ada gejala TB selama 6 bulan pemberian), maka
pemberian INH dapat dihentikan.
65. Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, perlu diberikan BCG setelah
PP- INH selesai diberikan.
4.13. Tatalaksana Pasien TB pada ODHA
1. Diagnosa TB pada ODHA a.
Gejala TB pada ODHA

Gejala klinis TB pada ODHA sering kali tidak spesifik Gejala klinis yang sering
ditemukan adalah demam dan penurunan berat badan yang signifikan (lebih dari
17%) dan gejala ekstraparu sesuai dengan organ yang terkena ' misalnya TB
pleura, TB perikard, TB milier, TB susunan saraf pusat dan TB abdomen.
jj. Diagnosis TB pada ODHA
66. Pemeriksaan mikroskopis langsung
67. Pemeriksaan tes cepat Xpert MTB/Ri
68. Pemeriksaan biakan dahak
69. Pemberian antibiotik sebagai alat bantu diagnosis tidak direkomendasi lagi
70. Pemeriksaan foto toraks
70.1. Pengobatan Tuberkulosis pada ODHA
Tatalaksana pengobatan TB pada ODHA adalah sama seperti pasien TB lainnya.
Pada prinsipnya pengobaian TB diberikan segera, sedangkan pengobatan ARV
dimulai berdasarkan stadium klinis HIV atau hasil Cd4. Penting diperhatikan dari
pengobatan TB pada ODHA adalah apakah pasien tersebut sedang dalam
pengobatan ARV atau tidak Bila tidak dalam pengobatan ARV, segera mulai
pengobatan TB.pemberian ARV dilakukan dengan prinsip :
70.1.1. Semua ODHA dengan stadium klinis 3 perlu dipikirkan untuk mulai pengobatan
ARV bila Cd4 < 350/mm3 tapi harus dimulai sebelum CD4 turun dibawah 200/mm3.
70.1.2. Semua ODHA stadium klinis 3 yang hamil atau menderita TB dengan
CD4<350mm3 harus dimulai pengobatan ARV
70.1.3. Semua ODHA stadium klinis 4 perlu diberikan pengobatan ARV tanpa
memandang nilai CD4
Bila pasien sedang dalam pengobatan ARV, pengobatan TB tidak dimulai di RSJ,
pasien dirujuk ke RS rujukan pengobatan ARV
Tabel 4.19 : Pilihan panduan pengobatan ARV pada ODHA
dengan TB
Obat ARV lini Panduan pengobatan Pilihan obat ARV
pertama/lini kedua ARV pada waktu TB
didiagnosis
Lini Pertama 2 NRTI + EFV Teruskan dengan 2 NRTI + EFV
2 NRTI + NVP* Ganti dengan 2 NRTI + EFV atau
Ganti dengan 2 NRTI + LPV/r

Lini Kedua 2 NRTI + Pl Ganti ke atau teruskan (bila


sementara menggunakan)
panduan mengandung LPV/r

Keterangan :
*) Panduan yang mengandung NVP hanya digunakan pada wanita usia subur dengan
pengobatan OAT (mengandung rifamisin), yang perlu dimulai ART bila tidak ada alternative
lain. EFV tidak dapat digunakan pada trimester I kehamilan (resiko kelainan janin).
Setelah pengobatan dengan rifampisin selesai dapat untuk memberikan kembali NVP
Waktu mengganti kembali dari EFV ke NVP tidak diperlukan lead in dose. Jika seorang ibu
hamil trimester ke 2 atau ke 3 menderita TB. panduan ART yang mengandung EFV dapat
dipertimbangkan untuk diberikan.Alternative lain, pada Ibu hamil trimester pertama dengan
CD4>250mm3 atau jika CD4 tidak diketahui, berikan panduan pengobatan ARV yang
mengandung NVP disertai pemantauan yang teliti.Bila terjadi gangguan fungsi hati, rujuk
ke rumah sakit yang fasilitas lebih lengkap.
4.14. Tatalaksana pasien TB dengan TB Resistan Obat 1.
Pengobatan pasien TB dengan Resistan Obat
Secara umum, prinsip pengobatan TB resist obat, khususnya TB dengan MDR adalah
sebagai berikut:
kk. Pengobatan menggunakan minimal 4macam OAT yang masih efektif.
ll. Jangan menggunakan obat yang kemungkinan menimbulkan resistan silang
«4
(cross-resistance)
mm. Membatasi penggunaan obat yang tidak aman
nn. Gunakan obat dari golongan/kelompok 1-5 secara hirarkis sesuai
potensinya. Penggunaan OAT golongan 5 harus didasarkan pada
pertimbangan khusus dari TIM Ahli Klinis (TAK) dan disesuaikan dengan
kondisi program
oo. Panduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal dan
tahap lanjutan. Tahap awal adalah tahap pemberian suntikan dengan lama
minimal 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan.
pp. Lama pengobatan minimal adalah 18 bulan setelah konversi biakan.
Dikatakan konversi bila hasil pemeriksaan biakan 2 kali berurutan dengan
jarak pemeriksaan 30 hari
qq. Pemberian obat selama periode pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan
menganut prinsip strategi DOT = Direct/ Daily Observed Treatment, dengan
PMO diutamakan adalah tenaga kesehatan atau kader kesehatan.
Pilihan paduan baku OAT untuk pasien TB dengan MDR saat ini adalah panduan
standar (standardizedtreatment), yaitu :
T Km - E - Eto - Lfx - Z - Cs/E - Eto - Lfx - Z - Cs
Panduan ini diberikan pada pasien yang sudah terkonfirmasi TB MDR secara
laboratories dan dapat disesuaikan bila :

rr. Etambutanol tidak diberikan bila terbukti teiah resisten atau riwayat
penggunaan sebelumnya menunjukkan kemungkinan besar terjadinya
resistensi terhadap etambutol
ss. Panduan OAT disesuaikan paduan atau dosis pada :
71. Pasien TB MDR yang diagnosis awal menggunakan Rapid test, kemudian hasil
konfirmasi DST menunjukkanhasil resistensiyang berbeda
72. Bila ada riwayat penggunaan salah satu obat tersebut diatas sebelumnya sehingga
dicuragai telah ada resistensi
73. Terjadi efek samping yang berat akibat salah satu obat yang dapat diidentifikasi
penyebabnya
74. Terjadi perburukan klinis ••
Pemantauan Kemajuan Pengobatan TB MDR
Selama menjalani pengobatan, pasien harus dipantau secara ketat untuk menilai respons
pengobatan dan mengidentifikasi efek samping sejak dini. Gejala TB (batuk, berdahak,
demam dan BB menurun) pada umumnya membaik dalam beberapa bulan pertama
pengobatan. Konversi dahak dan biakan merupakan indikator respons pengobatan. Definisi
konversi biakan adalah pemeriksaan biakan 2 kali berurutan dengan jarak pemeriksaan 30
hari menunjukkan hasil negatif.
Evaluasi Akhir Pengobatan TB MDR
74.1. Sembuh
Pasien yang telah menyelesaikan pengobatan sesuai pedoman pengobatan TB MDR
tanpa bukti terdapat kegagalan
Hasil biakan telah negatif minimal 3 kali berturut-turut dengan jarak pemenksaan
minimal 30 hari selama fase lanjutan
74.2. Pengobatan Lengkap
Pasien yang telah menyelesaikan pengobatan sesuai dengan pedoman TB MDR tetapi
tidak memenuhi definisi sembuh maupun gagal
74.3. Meninggal
Pasien meninggal karena sebab apapun selama masa pengobatan TB MDR a) Gagal
Pengobatan TB MDR dihentikan atau membutuhkan perubahan paduan
pengobatan TB MDR yaitu > 2 obat TB MDR yang disebabkan oleh saian satu dari
beberapa kondisi di bawah ini:
75. Tidak terjr.di konversi sampai dengan akhir bulan ke-8 pengobatan
76. Terjadi reversi pada fase lanjutan (setelah sebelumnya konversi)
77. Terjadi efek samping obat yang berat.

1.1. Lost to Follow-up


Pasien terputus pengobatannya selama dua bulan berturut-turut atau lebih
1.2. Tidak di Evaluasi
Pasien yang tidak mempunyai/tidak diketauhi hasil akhir pengobatan TB MDR
termasuk pasien TB MDR yang pindah ke fasyankes d daerah lain dan hasil
pengobatan TB MDR nya tidak diketahui.
4.15. PENCATATAN DAN PELAPORAN
Salah satu komponen penting dari pelayanan TB yaitu pencatatan dan pelaporan dengan
maksud mendapatkan data untuk diolah, dianalisis, diinterpretasi, disajikan dan
disebarluaskan untuk dimanfaatkan.Data yang dikumpulkan pada kegiatan pelayanan TB
harus valid (akurat, lengkap dan tepat waktu) sehingga memudahkan dalam pengolahan
dan analisis.
Setiap triwulan TB.03 diisi dengan lengkap dan di laporkan ke Dinas Kesehatan Bandung
Barat.
Formu >-formulir yang dipergunakan dalam sistem pencatatan dan pelaporan pasien TB di
Rumah Sakit Paru Provinsi Jawa Barat yakni:
1.2. Kartu pengobatan Pasien TB (TB.01)
1.2. Kartu identitas pasien (TB.02)
1.2. Register TB UPK untuk Kabupaten (TB. 03 )
1.2. Register atau Pencatatan di Laboratoriun (TB.04)
1.2. Formulir permohonan laboratoriumuntuk pemeriksaan dahak(TB. 05)
1.2. Daftar tersangka pasien (suspek) yang diperiksa dahak SPS (TB. 06)
1.2. Formulir rujukan/pindah pasien (TB.09)
1.2. Formulir hasil akhir pengobatan dari pasien TB pindahan (TB, I0)
BAB V
LOGISTIK
Logistik Program Pengendalian Tuberkulosis (P2TB) merupakan komponen yang
penting dalam program pengendalian TB agar kegiatan program dapat dilaksanakan, baik
di Pusat dan Dinas Kesehatan maupun di Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes).
Untuk itu perlu dilakukan pengelolaan logistik P2TB dengan baik sciiingga ketersediaan
dan kualitasnya terjamin.
Dalam manajemen Program Pengendalian TB, logistik dikelompokan menjadi dua
jenis yaitu logistik OAT dan logistik non OAT.
5.1 Jenis Logistik
Logistik untuk pelayanan Tuberkulosis adalah seluruh rangkaian proses pengelolaan
logistik Tuberkulosis mulai dari perencanaan, pengadaan, penyimpanan bahan dan alat
kesehatan untuk menunjang pemeriksaan mikroskopis BTA, mulai dari penegakan
diagnosis sampai dengan pasien menyelesakan pengobatan.
Dalam manajemen Program Pengendalian TB. logistik dikelompokan menjadi dua ienis
yaitu logistik OAT Jan logistik non OAT.
1. Logistik Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Jenis- jenis logistik OAT yang digunakan untuk pengobatan Tuberkulosis di RSJ
adalah seluruh jenis OAT yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan R.I
berdasarkan rekomendasi dari Komite Ahli dengan memperhatikan beberapa paduan
OAT yang direkomendasikan oleh WHO Jenis OAT yang digunakan di RSJ:
tt. Lini pertama : Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Etambutol (E)
dan Streptomisin (S)
OAT Lini pertama dikemas dalam dua macam yaitu Kombinasi Dosis Tetap (KDT)
dan Kombipak
78. OAT KDT terdiri dari kombinasi dua (HR) atau empat jenis (HRZE) obat dalam satu
tablet yang dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien.
79. OAT Kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin (R),
Pirazinamid (Z) dan Etambutol (E) yang dikemas dalam bentuk blister.
79.1. Lini kedua : Kanamysin (Km), Capreomycin (Cm), Levofloxacin(Lfx), Moxifloxacin
(Mfx), Ethionamide (Eto),Cycloserin (Cs) dan Para Amino Salicylic (PAS). <
Sejak tahun 2005 Program TB Nasional menetapkan penggunaan KDT sebagai
obat utama.Paduan OAT kombipak tetap disediakan program

sebagai pilihan pengobatan pasien dengan efek samping berat pada penggunaan
OAT KDT.
Dengan pengembangan DOTS plus (manajemen TB resistan obat), program juga
menyediakan OAT lini kedua, yang meliputi : Kanamycin, Capreomycine,
Lefofloxacin, Ethionamide, Cycloserine, PAS.dan lain lain. Obat Penjunjang, antara
lain : Ranitidin,Haloperidol,.dan Vitamin B6.
2. Logistik Non OAT
a. Logistik Non OAT tidak habis pakai yang terdiri dari :
uu. Bahan - bahan Laboratorium :
Mikroskop Binokuler r Ose
Rak pengering dan Rak pewarnaankaca sediaan
80. Lampu spiritus / Bunsen
Lemari penyimpanan OAT dan Alat - alat lainnya
81. Box slide (Tempat penyimpanan kaca sediaan)
vv. Barang cetakan lainnya :
82. Buku Petunjuk teknis pemeriksaan mikroskop Tuberkulosis
83. Buku pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis Tahun 2012 dan Tahun 2014
Panduan organisasi klinik DOTS Panduan pelayanan
klinik DOTS Perencanaan Tahunan klinik DOTS
Leaflet, Poster dan Brosur Dan lain - lain Logistin Non
OAT habis pakai yang terdiri dari:
ww. Bahan - bahan Laboratorium :
84. Reagensia Ziehl Nelsen
85. Pot Dahak (Pot Sputum)
86. Kaca Sediaan
87. Oli Immersi
88. Ether Alkohol
i
89. Sarung Tangan
90. Kertak saring
91. Kertas Lensa
92. Masker Bedah
93. Tissu
94. Larutan Natrium Hypoklorit atau Lisol
95. Lidi
96. Dan lain - lain

> Barang cetakn lainnya:


1.1. Formulir Pencatatan dan Pelapora TB : TB 01 s/d TB 13
1.2. Bolpoint, Kertas dan lain-lain.
5.2 Pengadaan Logistik
Pengadaan logistik untuk pemeriksaan laboratorium dan obat - obatan pada saat ini
disuplai dari Dinas Kesehatan Bandung Barat. Permintaan dilaksanakan sesuai prosedur
permintaan reagen, Dahan habis pakai dan obat - obatan ke Dinas Kabupaten Bandung
Barat.
1.2. Pengadaan obat dilakukan berdasarkan informasi:
- Sisa stok OAT yang ada di farmasi
Jumlah suspek yang ditemukan
1.2. Pengadaan reagen dan bahan habis pakai dilakukan berdasarkan jumlah suspek
yangdiperiksa BTA secara mikroskopis.
1.2. Pengadaan alat tulis kantor dan alat rumah tangga ditujukan ke bidang pelayanan
medik menggunakan formulir F1 ditandatangani oleh penanggung jawab klinik dan
kasie sarana dan prasarana pelayanan medik

BAB VI KESELAMATAN PASIEN


Keselamatan pasien untuk pelayanan TB dilakukan untuk mencegah dan
meminimalisir terjadinya kecelakaan atau kejadiaari yang tidak diharapkan pada pasien
berhubungan dengan pelayanan di klinik TB dan Laboratorium.
Keselamatan pasien juga diutamakan untuk mencegah resiko penularan TB di
sarana pelayanan kesehatan dimana TB dapat ditularkan melalui droplet dan
terkontaminasi sputum dengan TB Positif.
Keselamatan pasien dalam pelayanan TB di Rumah Sakit Paru Provinsi Jawa barat terdir
dari
1.1. Identifikasi pasien sesuai prosedur identifikasi pasien untuk pemeriksaan
1.2. Identifikasi pasien pada saat pemeriksaan laboratorium
3 Tersedianya tempat pengumpulan dahak yang aman dan terkena sinar matahari
langsung
1.2. Tersedianya tempat cuci tangan
1.2. Penjaringan suspek dan Penegakan diagnoisa sesuai strategi DOTS
1.2. Pemeriksaan mikroskopik TB di laboratorium yang benar sesuai prosedur dan akurat
1.2. Menggunakan reagen dan bahan habis pakai yang sesuai dan memenuhi standar
1.2. Penanganan limbah sputum sesuai prosedur
1.2. Pencatatan dan pelaporan yang benar dan teliti
1.2. Pengobatan sesuai dosis aturan yang berlaku
i
1.2. Melakukan isolasi terhadap pasien TB paru aktif dengan pasien lainnya
1.2. Melakukan pengawasan obat pada saat pasien di rawat inap
1.2. Melakukan pengawasan obat pada pasien rawat jalan oleh PMO
1.2. Melakukan koordinasi pengobatan lanjutan dengan Puskesmas dimana pasien
tinggal atau berkoorddnasi dengan wasor dinas kesehatan Bandung Barat
1.2. Melakukan rujukan apabila ditemukan suspek TB MDR
BAB VII KESELAMATAN KERJA
Setiap kegiatan yang dilakukan mulai dari persiapan pasien sampai selesai
pengobatan dapat menimbulkan bahaya atau resiko terhadap petugas yang berhadapan
dengan suspek pasien TB ataupun dengan pasien positif TB baik petugas yang ada di
ruangan, di rawat jalan, IGD, klinik DOTS, Radiologi maupun di laboratorium
Untuk menurunkan resiko penularan di tempat kerja dapat dilakukan dengan cara, yaitu :
xx. Memahami dan selalu menerapkan kewaspadaan universal setiap saat
kepada semua pasien
yy. Mengupayakan ketersediaan sarana agar dapat selalu menerapkan
pengendalian infeksi secara standar meskipun dalam keterbatasan sumber
daya
zz. Mematuhi kebijakan, pedoman dan orosedur yang telah ditetapkan untuk
pelayanan pasien TB
aaa. Memberikan pelatihan dan sosialisasi kepada petugas tentang TB dan
bahayanya
i
bbb. Menyediakan alat pelindung diri
ccc. Melakukan penanganan limbah medis dan non medis
ddd. Menyediakan sarana dan prasarana kesehatan dan keselamatan
kerja
Kewaspadaan universal yang harus diiakukan adalah :
a. Selalu menggunakan alat pelindung diri yang memadai
b. Selalu melakukan cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan
pasien dan cairan tubuh pasien
c. Selalu mencuci tangan setelah menerima dan menyerahkan
sputum/dahak
d. Penggunaan alat dan bahan habis pakai yang disposable / sekali
pakai
e. Pengelolaan limbah sputum dengan aman sesuai prosedur
Keselamatan Kerja yang berhubungan dengan petugas di laboratorium:
i. Setiap petugas diwajibkan memakai jas laboratorium, sarung
tangan dan masker di ruangan laboratorium pada saat
melakukan pemeriksaan sputum.
ii. Tidak diperbolehkan makan, minum dan merokok didalam
ruangan laboratorium:
iii. Tidak boleh menyimpan makanan dan minuman di dalam
lemari es bersama reagen.
iv. Jaga kebersihan ruang laboratorium dan bersihkan dengan
desinfektan.
v. Lakukan penanganan limbah sputum sesuai prosedur
BAB VIII PENGENDALIAN MUTU
8.1. PENGAWASAN (PEMANTAUAN)
Pemantauan dan evaluasi merupakan salah satu fungsi manajemen untuk menilai
keberhasilan pelaksanaan program.Pemantaun dilaksanakan secara berkala dan terus
menerus, untuk dapat segera mendeteksi bila ada masalah dalam pelaksanaan kegiatan
yang telah direncanakan, supaya dapat dilakukan tindakan perbaikan segera.Evaluasi
dilakukan setelah suatu jarak-waktu (interval) lebih lama, biasanya setiap 6 bulan s/d 1
tahun. Dengan evaluasi dapat dinilai sejauhmana tujuan dan target yang telah ditetapkan
sebelumnya dicapai. Dalam mengukur keberhasilantersebut diperlukan indikator.Hasil
evaluasi sangat berguna untuk kepentingan perencanaanprogram.
Seluruh kegiatan harus dimonitor baik dari aspek masukan (input), proses, maupun
keluaran (output). Cara pemantauan dilakukan dengan menelaah laporan, pengamatan
langsung danwawancara dengan petugas pelaksana maupun dengan pasien atau
masyarakat sasaran.
Dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi, diperlukan suatu sistem pencatatan dan
pelaporanbaku yang dilaksanakan dengan baik dan benar. Untuk mempertahankan
kompetensi standar melalui on the job training atau pelatihan.
Pengendalian mutu adalah suatu proses kegiatan yang dilakukan dengan cara
mengamati pelaksanaan seluruh kegiatan guna menjamin pekerjaan yang berlangsung
sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan, serta melakukan tindak lanjut bila terjadi
suatu penyimpangan dari seharusnya.
Pengendalian mutu dijabarkan dengan melakukan pengawasan terus menerus
pada setiap prosesyang dilakukan serta mengadakan peroaikan bila proses tersebut
kurang memenuhi standar yang ditetapkan.
Proses yang diawasi terutama yang berhubungan dengan kepuasan konsumen.
Secara garis besar pengendalian mutu dilakukan pada:
1. Ncn Obat Anti Tuberkulosis (Non OAT)
Hal yang dilakukan adalah dengan :
eee. Melakukan pengendalian dalam hal tata cara pengisian dan
pengarsipan TB 01, TB 02, TB 03, TB 04, TB 05, TB 06, TB 09, TB 10,TB
07, TB 08, TB 11, TB 12 dan TB 13.
fff. Melakukan pengendalian dalam hal tata cara pengiriman TB 09
ggg. Melakukan pengendalian dalam hal tata cara penyimpanan reagen.
hhh. Pengendalian mutu reagen pemeriksaan BTA dilakukan dengan uji
secara organoleptik dan^melakukan kontrol secara internal setiap
pemakaian reagen dengan nomor bath yang baru.
iii. Pengendalian mutu pemeriksaan BTA dilakukan dengan cara croscheck oleh
Labkesda Kabupaten Bandung Barat.
1.1. Pengendalian mutu alat mikroskop dilakukan dengan cara pemeliharaan secara
berkala dan terdokumentasi.
1.2. Mengadakan Monev triwulan bagi seluruh tim DOTS TB, bidang dan instalasi yang
terkait dengan pelayanan TB
2. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Hal yang dilakukan adalah dengan :
1.2. Pengendalian mutu dilakukan dengan cara menyimpan OAT sesuai dengan Cara
Penyimpanan Obat yang Benar (CPOB).
1.2. Pengendalian ketersedian OAT yang cukup dilakukan dengan cara merencanakan
kebutuhan OAT sesuai dengan perkiraan jumlah pasien yang BTA positif.
BAB IX
PENUTUP
Dengan adanya Pedoman Pelayanan DOTS TB di Rumah Sakit Paru Provinsi Jawa
Barat ini, diharapakan dapat memacu dan memotivasi tim DOTS TB untuk meningkatkan
mutu pelayanannya agar dapat menyesuaikan dengan standar yang ada, sehingga dengan
demikian masyarakat akan memperoleh jaminan mutu pelayanan TB .
DAFTAR PUSTAKA
1 Direktur P2ML Kemkes. 2014. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Kemkes RI
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lfngkungan, Jakarta : 1-5,
13-50, 72-75, 82-88, 91-103
jjj. Direktur Bina Pelayanan Medik Spesialistik Kemkes. 2010. Pedoman
Manajerial Pelayanan Tuberkulosis dengan Strategi DOTS di Rumah Sakit.
Kemkes RI Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik, Jakarta: 18-19.
kkk. Komisi Akreditasi Rumah Sakit. 2012. Panduan Penyusunan
Dokumen Akreditasi. KARS, Jakarta: 13

Anda mungkin juga menyukai