Puji dan syukur kami panjatkan kepada Kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan bimbingan dan petunjukNya, sehingga tersusunnya Pedoman Tim TB,
pedoman ini disusun bertujuan untuk rnenyamakan presepsi dalam pelaksanakan tugas
pokok, fungsi dan menjadi dasar untuk menentukan atau melaksanakan kegiatan dalam
rangka meningkatkan mutu pelayanan dan kinerja yang lebih baik.
Penanggulangan TB di Indonesia dilaksanakan dengan strategi DOTS yang
direkomendasikan oleh WHO dan sebagai Pedoman Pengendalian TB telah ditetapkan
oleh Kementerian Kesehatan mengacu kepada Pedoman Nasional Pengendalian
Tuberkulosis.
Pedoman ini disusun mengacu pada buku Pedoman Nasional Pengendalian
Tuberkulosis tahun 2014 dari Kementerian Kesehatan dan sistematika penyusunan
mengacu pada Pedoman Penyusunan Dokumen Akreditasi rumah Sakit yang dikeluarkan
oleh Komisi Akreditasi Ruman Sakit tahun 2012.
Dengan tersusunnya Pedoman Tim TB ini diharapkan dapat menjadi acuan
pelaksanaan tugas bagi petugas di tatanan pelayanan TB. Kami menyadari dalam
penyusunan Pedoman ini masih banyak kekurangan dan diharapkan adanya masukan dari
pembaca sebagai bahan perbaikan. Akhirnya pada kesempatan ini pula kami sampaikan
ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Tim Penyusun yang segala upayanya
telah menyelesaikan Pedoman ini.
Semoga Ailoh SWT melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua.
Tim Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.................................................................................................... I
Daftar Isi............................................................................................................. li
Daftar Gambar.................................................................................................... Iv
Daftar Tabel........................................................................................................ v
BAB I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang..................................................................... 1
1.1. Tujuan Pedoman................................................................... 2
1.2. Ruang Lingkup...................................................................... 2
1.3. Batasan Operasionai............................................................ 3
1.4. Landasan Hukum.....................................................………… 4
BAB II Standar Ketenagaan
2.1. Kualifikasi Sumber Daya Manusia......................................... 5
2.2. Distribusi Ketenagaan……………………………………………. 6
2.3. Pengaturan Jaga Petugas..................................................... 6
BAB III Standar Fasilitas
3.1. DenahKlinik DOTS-TB........................................................... 7
3.2. Standar Fasilitas…………………………………………………… 8
3.3. Prasarana.............................................................................. 8
BAB !V Tata Laksana Pelayanan
4.1. Penemuan Kasus Tuberkulosis...........................:.................. 10
4.2. Diagnosis Tuberkulosis pada Orang Dewasa........................ 12
4.3. Klasifikasi Penyakit dan Type Pasien..................................... 15
4.4. Pengobatan Pasien TB........................................................... 18
4.5. Tata Laksana TB pada Anak.................................................. 37
4.6. Klasifikasi Penyakit dan Type Pasien TB Anak....................... 42
4.7. Pengobatan TB pada anak...................................................... 42
4.8. Pemantauan dan Hasii Pengobatan TB Anak......................... 45
4.9. Efek samping Pengobatan TB Pada anak.............................. 46
4.10. Tata Laksana Pasien TB Anak yang berobat tidak Teratur..... 46
4.11. Hasil Pengobatan TB pada Anak............................................ 47
4.12. Pengobitan Pencegahan dengan Isoniazid (PP-INH).............. 47
4.13. Tata Laksana Pasien TB pada ODHA
4.14. Tata Laksana Pasien TB dengan TB Resisten Obat...............….47
4.15. Pencatatan dan Pelaporan...........................................................47
BAB V Logistik
5.1. Jenis Logistik................................................................................ 52
5.2. Pengadaan Logistik...................................................................... 54
Gambar 4.1. Alur Diagnosa dan Tindak Lanjut TB Paru pada Pasien Dewasa..14
Gambar 4.2. Algoritma Tata Laksana TB Anak………………………………..…...41
DAFTAR TABEL
PENDAHULUAN
Pedoman Pelayanan TB di Rumah Sakit Paru Provinsi Jawa Barat dengan Strategi
DOTS ini mencakup beberapa hal yang merupakan prioritas dalam menurunkan angka
kesakitan TB memutuskan rantai penularan serta mencegah terjadinya multidrug
resistance (MDR), sehingga TB tidak lagi merupakan masalah kesehatan masyarakat
Indonesia, diantaranya penemuan pasien TB, diagnosis klasifikasi penyakit dan tipe
pasien, pengobatan TB, tatalaksana TB anak, pengawasan menelan obat, pemantauan
dan hasil pengobatan, pengobatan TB pada keadaan khusus, efek samping obat dan
penatalaksanaannya sampai pemantauan dan evaluasi program dalam bentuk pelaporan.
a. Tujuan Umum
Sebagai pedoman dalam melaksanakan pelayanan TB sesuai strategi DOTS
di Rumah Sakit Paru Provinsi Jawa Barat
b. Tujuan Khusus
- Menjaring suspek TB di Rumah Sakit Paru Provinsi Jawa barat
- Menegakan diagnose TB paru sesuai strategi DOTS
- Mengurangi meningkatnya angka TB MDR
Ruang lingkup pelayanan TB di Rumah Sakit Paru Provinsi Jawa Barat meliputi
penjaringan suspek, penegakan diagnose paru pada pasien anak dan dewasa ,
pengobatan TB, pencatatan dan pelaporan yang dilaksanakan sesuai strategi DOTS
dengan sistem jejaring internal di rumah sakit dan jejaring eksternal dengan Dinas
Kesehatan Kabupaten Cirebon, Kuningan dan Indramayu. Pelayanan TB MDR dilakukan
rujukan ke rumah sakit rujukan.
STANDAR KETENAGAAN
Kualifikasi sumber daya manusia ini perlu dipenuhi oleh setiap petugas yang
bertugas di klinik TB DOTS agar pelaksanaan pelayanan dapat berjalan dengan dan
sesuai ketentuan. Setiap SDM di klinik TB DOTS harus mengikuti pelatihan dengan
strategi DOTS dan memiliki sertifikat pelatihan.
2.2. Distribusi Ketenagaan
Distribusi ketenagaan di klinik TB Rumah Sakit Paru Provinsi jawa Barat dibuat
berdasarkan kebutuhan tim dan klinik untuk pelayanan TB
Direktur
STANDAR FASILITAS
Keterangan :
1 Ruangan Permanen
2 Tata Ruang:
Ruang penerimaan pasien 6,5 m
Ruang pemeriksaan pasien, Ruang periksa 9m
dokter
Ruang KIE. 9m
Toilet pasien 2,5 m
Ruang tunggu 9m
3.3 Prasarana
1. Strategi penemuan
a. Penemuan pasien TB diiakukan secara intensif pada kelompok populasi
terdampakTB dan populasi rentan.
b. Upaya penemuan secara intensif harus didukung dengan kegiatan promosi aktif,
sehingga semua terduga TB dapat ditemukan secara dini.
c. Penjaringan terduga pasien TB dilakukan di fasilitas kesehatan, didukung dengan
promosi secara aktif oleh petugas kesehatan bersama masyarakat.
d. Pelibatan semua fasilitas kesehatan dimaksudkan untuk mempercepat
penemuan dan mengurangi keterlambatan pengobatan.
e. Penemuan secara aktif dapat dilakukan terhadap :
1) Kelompok khusus yang rentan atau beresiko tinggi sakit TB seperti pada
pasien dengan HIV
2) Kelompok yang rentan karena berada di lingkungan yang beresiko tinggi
terjadinya penularan TB, seperti : Lapas/Rutan, tempat penampungan
pengungsi, daerah kumuh, tempat kerja, asmara dan panti jompo
3) Anak dibawah umur lima tahun yang kontak dengan pasien TB
4) Kontak erat dengan pasien TB dan pasien TB resistan obat.
f. Penerapan manajemen tatalaksana terpadu bagi pasien dengan gejala dan
tarida yang sama dengan gejala TB, seperti pendekatan praktis kesehatan paru
(Practical Approach to Lung health = PAL), manajemen terpadu balita sakit
(MBTS), manajemen terpadu dewasa sakit (MTDS), akan membantu
meningkatkan penemuan pasien TB di faskes, mengurangi terjadinya
misopportunity dan sekaligus dapat meningkatkan mutu layanan.
g. Tahap awal penemuan dilakukan dengan menjaring mereka yang memiliki gejala
Gejala utama psaien TB paru adalah batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih.
Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu:
o Dahak bercampur darah
o Batuk darah Sesak napas,
o Badan lemas
o Nafsu makan menurun Berat badan menurun Malaise
o Berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik Demam meriang lebih dari satu
bulan
Gejala tersebut di atas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti
bronkiektasis, bronkitis kronis, asma kanker paru dan Iain-Iain. Mengingat
prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang
ke fasyankes dengan gejala tersebut di atas, dianggap sebagai seorang terduga
pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.
2. Pemeriksaan dahak
Uji kepekaan obat bertujuan untuk menentukan ada tidaknya resistensi M.tb terhadap
OAT.Untuk menjamin kualitas hasil pemeriksaan, uji kepekaan obat tersebut harus
dilakukan oleh laboratorium yang telah tersertifikasi atau lulus uji pemantapan
mutu/Quality Assurance (QA).Hal ini dimaksudkan untuk memperkecil kesalahan dalam
menetapkan jenis resistensi OAT dan pengambilan keputusan paduan pengobatan
pasien dengan resistan obat.Untuk memperluas akses terhadap penemuan pasien TB
dengan .esistensi OAT, Kemenkes Rl telah menyediakan tes cepat yaitu GeneXpert ke
fasilitas kesehatan (laboratorium dan RS) diseluruh provinsi.
1. Diagnosis TB paru
Dalam upaya pengendalian TB secara Nasional, maka diagnosa TE Paru pada
orang dewasa harus ditegakkan terlebih dahulu dengan pemeriksaan
bakteriologis. Pemeriksaan bakteriologis yang dimaksud adalah pemeriksaan
mikroskopis langsung, baiakan dan tes cepat
Apabila pemeriksaan secara bakteriologis hasilnya negatif, maka penegakan
diagnsis TB dapat dilakukan secara klinis menggunakan hasil pemeriksaan klinis
dan penunjarig (setidak-tidaknya pemeriksaan foto toraks) yang sesuai dan
ditetapkan oleh dokter yang telah dilatih TB.
Pada sarana terbatas penegakan diagnosis secara klinis dilakukan setelah
pemberian terapi antibiotik spektrum luas (Non OAT dan Non kuinolon) yang
tidak memberikan perbaikan klinis
Tidak dibenarkan mendiagnosis TB dengan pemeriksaan serologis
Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks
saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang cpesifik pada TB paru,
sehingga dapat menyebabkan terjadi overdiagnosis ataupun underdiagnosis.
Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya dengan pemeriksaan uji tuberkulin.
Pemeriksaan dahak Dahak Mikroskopis Langsung :
GAMBAR 4.1
Alur Diagnosis dan tindak lanjut TB Paru pada pasien dewasa
(tanpa kecurigaan / Bukti : hasil tes HIV (+) atau terduga TB Resisten Obat)
Keterangan :
1) Pemeriksaan klinis secara cermat dan hasil nya dicatat sebagai data dasar kondisi
pasien dalam rekam medis.
2) Hasil pemeriksaan BTA negatif pada semua contoh uji dahak (SPS) tidak
menyingkirkan diagnosis TB.Apabila akses memungkinkan dapat dilakukan
pemeriksaan tes cepat dan biakan.Untuk pemeriksaan tes cepat dapat dilakukan
hanya dengan mengirimkan contoh uji.
3) Sebaiknya pembacaan hasil foto toraks oleh seorang ahli radiologi.
4) Pemberian AB (Antibiotik) non OAT yang tidak memberikan efek pengobatan TB
termasuk golongan kuinolon
5) Untuk memastikan diagnosis TB
6) Dilakukan TIPK (test HIV atas inisiatif Pemberi Pelayanan Kesenatan dan Konseling)
7) Bila hasil pemeriksaan ulang tetap BTA negatif, lakukan observasi dan asesment
lanjutan oleh dokter untuk faktor-faktor yang bisa mengarah ke TB.
Catatan :
1. Agar tidak terjadi overdiagnosis atau underdiagnoses yang dapat merugikan pasien
serta gugatan hukum yang tidak perlu, pertimbangan dokter untuk menetapkan dan
memberikan pengobatan didasarkan pada :
a. Keluhan, gejala dan kondisi klinis yang sangat kuat mendukung TB
b. Kondisi pasien perlu segera diberikan pengobatan, misal : pada Meningitis
TB, TB milier, pasien ko-infeksi TB/HIV, dsb.
c. Sebaiknya tindakan medis yang diberikan, dikukuhkan dengan persetujuan
tertulis pasien atau pihak yang diberikan kuasa (inforned consent)
2. Semua terduga pasien TB dengan gejala batuk harus diberikan edukasi tentang PPI
(Pencegahan dan Pengendalian Infeksi) untuk menrunkan resiko penularan.
Diagnosis TB adalah upaya untuk menegakkan atau menetapkan seseorang sebagai pasien
TB sesuai dengan keluhan dan gejala penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis.selanjutnya untuk kpentingan pengobatan dan survailan penyakit, pasien harus
dibedakan berdasarkan klasifikasi dan tipe penyakitnya dengan maksud :
a. Pencatatan dan pelaporan pasien yang tepat
b. Penetapan paduan pengobatan yang tepat
c. Standarisasi proses pengumpulan data atau pengendalian TB
d. Evaluasi proporsi kasus sesuai lokasi penyakit, hasil pemeriksaan bakteriologis din
riwayat pengobatan
e. Analisis kohor hasil pengobatan
f. Pemantauan kemajuan dan evaluasi efektifitas program TB secara tepat baik, dalam
maupun antar kabupaten/kota, provinsi nasional dan global.
Adalah seorang pasien TB yang dikelompokkan berdasar hasil pemeriksaan contoh uji
biologinya dengan pemeriksaan mikroskopis langsung, biakan atau tes diagnostik cepat
yang direkomendasi oleh Kemenkes Rl (misalnya: GeneXpert). Termasuk dalam
kelompok pasien ini adalah:
Catatan: Semua pasien yang memenuhi definisi tersebut diatas harus dicatat tanpa
memandang apakah pengobatan TB sudah dimulai ataukah belum.
Adalah pasien yancj tidak memenuhi kriteria terdiagnosis secara bakteriologis tetapi
didiagnosis sebagai pasien TB aktif oleh dokter, dan diputuskan untuk diberikan
pengobatan TB.
2. Klasifikasi pasen TB
Selain dari pengelompokkan pasien sesuai definisi tersebut diatas, pasien juga
diklasifikasikan menurut:
a. Lokasi anatomi dari penyakit atau oigan tuDuh yang sakit: paru atau ekstra paru;
b. Riwayat pengobatan TB sebelumnya: baru atau sudah pernah diobati
c. Hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
d. Status HIV
a. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit:
1. Tuberkulosis paru
Adalah TB yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru.Milier T8 dianggap sebagai
TB paru karena adanya lesi pada jaringan paru.Limfadenitis TB dirongga dada
(hilus dan atau mediastinum) atau efusi pleura tanpa terdapat gambaran radiologis
yang mendukung TB pada paru, dinyatakan sebagai TB ekstra paru.Pasien yang
menderita TB paru dan sekaligus juga menderita TB ekstra paru, diklasifikasikan
sebagai pasien TB paru.
1. Pasien baru TB: adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB
sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun kurang dari 1 bulan (< dari
28 dosis).
2. Pasien yang pernah diobati TB: adalah pasien yang .sebelumnya pernah menelan
OAT selama 1 bulan atau lebih (t dari 28 dosis).
Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir,
yaitu:
2. Pasien kambuh: adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil
pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar kambuh atau
karena reinfeksi).
3. Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TB yang pernah
diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.
4. Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up): adalah
pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up (klasif ;kasi ini
sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien setelah putus berobat
/default).
5. Lain-lain: adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir pengobatan
sebelumnya tidak diketahui.
3. Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
c. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasii uji kepekaan contoh uji dari
Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa :
Mono resistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis OAT lini pertama saja
Poli resistan (TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama
selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan . •
Muiti drug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin 'R)
secara bersamaan
Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga resistan
terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari
OAT "lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin)
Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap Rifampisin dengan atau tanpa
resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode genotip (tes
cepat) atau metodefenotip (konvensional).
3. Pasien TB dengan status HIV tidak diketahui adalah pasien TB tanpa ada bukti
pendukung hasil tes HIV saat diagnosis TB ditetapkan.
Catatan :
Apabila pada pemeriksaan selanjutnya dapat diperoleh hasil tes HIV pasien, pasien
harus disesuaikan kembali klasifikasinya berdasarkan hasil tes HIV terakhir.
1. Tujuan Pengobatan TB
a. Menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktivitas serta kualitas hidup
b. Mencegah terjadinya kematian oleh karena TB atau dampak buruk selanjutnya
c. Mencegah terjadinya kekambuhan TB
d. Menurunkan penularan TB
e. Mencegah terjadinya dan penularan TB resistan obat
2. Prinsip Pengobatan TB
3. Tahapan Pengobatan TB
a. Tahap Awal
Pengobatan diberikan setiap hari.Paduan pengobatan pada tahap ini adalah
dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman yang ada dalam tubuh
psaien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman yang mungkin sudah
resitan sejak sebelum pasien mendapatkan pengobatan.Pengobatan tahap awal semua
pasien baru harus diberikan selama 2 bulan.
Pada umunya dengan pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyulit, daya
penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan selama 2 minggu.
b. Tahap Lanjutan
Pengobatan tahap lanjutan merupakan tahap yang penting untuk membunuh sisa-sisa
kuman yang masih ada dalam tubuh khususnya kuman persister sehingga psaien dapat
sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan.
Tabel 4.2. Kisaran dosis OAT lini pertama bagi pasien dewasa
Dosis
Catatan :
Pemberian streptomisin untuk pasien yang berumur >60 tahun atau pasien dengan berat
badan <50 kg mungkin tidak dapat mentoleransi dosis >500mg/hari (*). Beberapa buku
rujukan menganjurkan penurunan dosis menjadi 10mg/kg/BB/hari
Disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini
terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet.Dosisnya disesuaikan dengan
berat badan pasien.Paduarj ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
Paket Kombipak
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol
yang dikemas dalam bentuk blister.Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan
dalam pengobatan pasien yang terbukti mengalami efek samping pada pengobatan
dengan OAT KDT sebelumnya.
Disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT).Tablet OAT KDT ini
terdiri dari kombinasi 3 jenis obat dalam satu tablet.Dosisnya disesuaikan dengan berat
badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien
Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan daiam bentuk paket, dengan tujuan untuk
memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan
sampai selesai.Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan.
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket KDT mempunyai beberapa
keuntungan dalam pengobatan TB, yaitu:
a. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat
dan mengurangi efek samping.
b. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya resistensi
obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep
c. Jumlah tablet yang ditelan jauh Sebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi
sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien
Tabel 4.6.
Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2 : 2(HRZE)S / (HRZE) / 5(HR)3E3
Barat Badan Tanap Intensif tiap hari RHZE Tahap Lanjutan 3 kali
(150/75/400/275)+S seminggu RH (150/150) +E
(400)
Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu
30-37 kg 2 tab 4KDT + 500 mg 2 tab 4KDT 2 Tab 2KDT + 2 tab
Steptomisin inj. Etambutol
38-54 kg 3 tab 4KDT + 750 mg 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT +3 tab Etambutol
Streptomisin inj.
55-/0 kg 4 tab 4KDT + 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT + 4 tab Etambutol
1000mg Streptomisin
inj.
>71 kg 5 tab 4KDT + 1000mg 5 tab 4KDT 5 tat 2KDT + 5 tab Etambutol
Streptomisin inj.
Etambutol Jumlah
Tablet Kaplet Tablet Streptomisi hari/kali
Tahap Lama menelan
Isoniasid Rifampisin Pirazinamid Tablet Tablet n
pengobatan pengobatan obat
@300 mgr @450 mgr @ 500 mgr @250 @400 Injeksi
mgr Mgr
Tahap awal 2 Bulan 1 1 3 3 - 56
0.75 gr
(dosis harian) 1 Bulan 1 1 3 3 - 28
Tahap lanjutan
(dosis 3 x 5 Bulan 2 1 - 1 2 - 60
seminggu)
Catatan:
3. Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB pada keadaan khusus.
4. Cara melarutkan streptomisin via! 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest
sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1 ml = 250mg).
5. Berat badan pasien ditimbang setiap bulan dan dosis pengobatan harus disesuaikan
apabila terjadi perubahan berat badan.
6. Penggunaan OAT lini kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya
kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru
tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada
OAT lini pertama. Disamping itu dapat juga meningkatkan risiko terjadinya resistensi
pada OAT lini kedua.
7. OAT lini kedua disediakan di Fasyankes yang telah ditunjuk guna memberikan
pelayanan pengobatan bagi pasien TB yang resistan obat.
Untuk pasien TB Ekstra paru, pemantauan kondisi klnis merupakan cara menilai
kemajuan hasil pengobatan (standar 10, ISTC). Pasien TB BTA negatif, perbaikan
kondisi klinis anatara lain peningkatan berat badan pasien merupakan indikator yang
bermanfaat.
Tindakan pada pasienyang putus berobat 2 bulan atau lebih (Loss to follow up))
Paduan pengobatan yang dianjurkan dalam buku pedoman ini akan menyembuhkan
sebagian besar pasien TB baru tanpa memicu munculnya kuman resistan obat. Untuk
tercapainya hal tersebut, sangat penting dipastikan bahwa pasien menelan seluruh obat
yang diberikan sesuai anjuran dengan cara pengawasan langsung oleh seorang PMO
(Pengawas Menelan Obat) agar mencegah terjadinya resistensi obat. Pilihan tempat
pemberian pengobatan sebaiknya disepakati bersama pasien agar dapat
memberikan kenyamanan.Pasien bisa memilih datang ke fasyankes terdekat
dengan kediaman pasien atau PMO datang berkunjung kerumah pasien, apabila tidak
ada faktor penyulit, pengobatan dapat diberikan secara rawat jalan
1. Persyaratan PMO
a. Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oieh petuCJ§§
kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh
pasien.
b. Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.
c. Bersedia membantu pasien dengan sukarela
d. Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan
Pasien
2. Siapa yang bisa jadi PMO Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya
Bidan di Desa, Perawat, Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila
tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader
kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota
keluarga.
3. Tugas seorang PMO
a. Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai
pengobatan.
b. Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.
c. Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah
ditentukan
d. Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai
gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke Unit
Pelayanan Kesehatan.
Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien mengambil obat
dari unit pelayanan kesehatan
4. Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada pasien dan
keluarganya:
a. TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan
b. TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur
c. Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara
pencegahannya
d. Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan)
e. Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur
f. Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta
pertolongan ke fasyankes.
d. Pengobatan TB pada keadaan khusus
1. Kehamilan
Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan
pengobatar TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman untuk
kehamilan, kecuali golongan Aminoglikosida seperti streptomisin atau kanamisin
karena dapat menimbulkan ototoksik pada bayi (permanent ototoxic) dan dapat
menembus barier placenta. Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya
gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan
dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan pengobatannya
sangat penting artinya supaya proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi
yang akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular TB. Pemberian Piridoksin
50 mg/hari dianjurkan pada ibu hamil yang mendapatkan pengobatan TB,
sedangkan pemberian vitamin K 10mg/hari juga dianjurkan apabila Rifampisin
digunakan pada trimester 3 kehamilan menjelang partus.
2. Ibu menyusui dan bayinya
Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan
pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui.
Seorang ibu menyusui yang menderita TB harus mendapat paduan OAT secara
adekuat. Pemberian OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah
penularan kuman TB kepada bayinya, ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi
tersebut dapat terus diberikan ASI. Pengobatan pencegahan dengan INH
diberikan kepada bayi tersebut sesuai dengan berat badannya.
3. Pasien TB pengguna kontrasepsi
Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB, susuk
KB) sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Seorang pasien
TB sebaiknya mengggunakan kontrasepsi
ncn-hormonal.
4. Pasien TB dengan kelainan hati
a. Pasien TB dengan Hepatitis akut
Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik,
ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Sebaiknya dirujuk
ke fasyankes rujukan untuk penatalaksanaan spesialistik.
b. Pasien dengan kondisi berikut dapat diberikan paduan pengobatan OAT yang
biasa digunakan apabila tidak ada kondisi kronis :
15. Pembawa virus hepatitis
16. Riwayat penyakit hepatitis akut
17. Saat ini masih sebagai pecandu alkohol Reaksi hepatotoksis terhadap OAT
umumnya terjadi pada pasien dengan kondisi tersebut diatas sehingga
harus diwaspadai.
c. Hepatitis Kronis
Pada pasien dengan kecurigaan mempunyai penyakit hati kronis, pemeriksaan
fungsi hati harus dilakukan sebelum memulai pengobatan. Apabila hasil
pemeriksaan fungsi hati >3 x normal sebelum memulai pengobatan, paduan
OAT berikut ini dapat dipertimbangkan:
18. 2 obat yang hepatotoksik
19. 2 H R S E / 6 H R
20. 9 HRE
21. 1 obat yang hepatotoksik
22. 2 H E S / 1 0 H E
23. Tanpa obat yang hepatotoksik
18-24 SE ditambah salah satu golongan fluoiokuinolon (ciprofloxasin tidak
direkomendasikan karena potensimya sangat lemah)
Semakin berat atau tidak stabil penyakit hati yang diderita pasien TB, harus
menggunakan semakin sedikit OAT yang hepatotoksik.
24. Konsultasi dengan seorang dokter spesialis sanoat dianjurkan,
25. Pemantauan klinis dan LFT harus selalu dilakukan dengan
seksama,
26. Pada panduan OAT dengan penggunaan etambutol lebih dari 2 bulan diperlukan
evaluasi gangguan penglihatan.
dosis. Dosis Z dan E harus disesuaikan karena diekskresi melalui ginjal. Dosis pemberian 3
x /minggu bagi Z : 25 mg/kg BB dan E : 15 mg/kg BB. Pada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal atau gagal ginjal, perlu diberikan tambahan Piridoksin (vit. B6) untuk mencegah
terjadinya neuropati perifer. Hindari penggunaan Streptomisin dan
apabila harus diberikan, dosis yang digunakan: 15 mg/kgBB, 2 atau 3 x/minggu dengan
maksimum dosis 1 gr untuk setiap kali pemberian dan kadar dalam darah harus selalu
dipantau..Pasien dengan penyakit ginjal sangat berisiko untuk terkena TB khususnya pada
pasien dengan penyakit ginjal kronis. Secara umum, risiko untuk mengalami efek samping
obat pada pengobatan pasien TB dengan gagal kronis lebih besar dibanding pada pasien
TB dengan fungsi ginjal yang masih normal. Kerjasama dengan dokter yang ahli dalam
penatalaksanaan pasien dengan gangguan fungsi ginjal sangat diperlukan.Sebagai acuan
tingkat kegagalan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronis dapat dilihat pada tabel dibawah
ini.
Tabel 4.10. Acuan penilaian tingkat kegagalan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronis:
Tingkat Hasil Pemeriksaan Klirens Kreatinin (KK)
8) Indikasi operasi
Pasien-pasien yang perlu mendapat tindakan operasi (misalnya reseksi paru),
adalah:
j. Untuk TB paru:
29. Pasien batuk darah berat yang tidak dapat diatasi dengan cara konservatif.
30. Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara
konservatif.
31. Pasien TB MDR dengan kelainan paru yang terlokalisir.
31.1. Untuk TB ekstra paru: Pasien TB ekstra paru dengan komplikasi,
misalnya pasien TB tulang yang disertai kelainan neurologik.
\
8. Efek samping OAT dan penatalaksanaannya
Tabel berikut, menjelaskan efek samping ringan maupun berat dengan pendekatan gejala.
Tabel 4.12. Efek samping ringan OAT
, Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan
fungsi hati kembali normal dan keluhan (mual, sakit perut dsb.) telah hilang sebelum
memulai pengobatan kembali.
d. Apabila tidak bisa melakukan pemeriksaan fungsi hati, dianjurkan
untuk menunggu sampai 2 minggu setelah ikterus atau mual dan
iemas serta pemeriksaan palpasi hati sudah tidak teraba sebelum
memulai kembali pengobatan.
e. Jika keluhan dan gejala tidak hilang serta ada gangguan fungsi hati
berat, paduan pengobatan non hepatotoksik terdiri dari: S, E dan
salah
satu golongan kuinolon dapat diberikan (atau dilanjutkan) sampai 18-24 bulan.
q. Setelah gangguan fungsi hati teratasi, paduan pengobatan CAT semula
dapat dimulai kembali satu persatu. Jika kemudian keluhan dan gejala
gangguan fungsi hati kembali muncul atau hasil pemeriksaan fungsi hati
kembali tidak normal, OAT yang ditambahkan terakhir harus dihentikan.
Beberapa anjuran untuk memulai pengobatan dengan Rifampisin. Setelah 3-
7 hari, Isoniazid dapat ditambahkan. Pada pasien yang pernah mengalami
ikterus akan tetapi dapat menerima kembali pengobatan dengan H dan R,
sangat dianjurkan untuk menghindari penggunaan Pirazinamid
r. Paduan pengganti tergantung OAT apa yang telah menimbulkan gangguan
fungsi hati. Apabiia R sebagai penyebab, dianjurkan pemberian:
2HES/10HE. Apabila H sebagai penyebab, dapat diberikan : 6-9 RZE.
Apabila Z dihentikan sebelum pasien menyelesaikan pengobatan tariap
awal, total lama pengobatan dengan H dan R dapat diberikan sampai 9
bulan. Apabila H maupun R tidak dapat diberikan, paduan pengobatan OAT
non hepatotoksik terdiri dari : S, E dan salah satu dari golongan kuinolon
harus dilanjutkan sampai 18-24 bulan.
s. Apabila gangguan fungsi hati dan ikterus terjadi pada saat pengobatan tahap
awal dengan H,R,Z,E (paduan Kategori 1), setelah gangguan fungsi hati
dapat diatasi, berikan kembali pengobatan yang sama namun Z digantikan
dengan S untuk menyelesaikan 2 bulan'tanap awal diikuti dengan pemberian
H dan R selama 6 bulan tahap lanjutan.
t. Apabila gangguan fungsi hati dan ikterus terjadi pada saat pengobatan tahap
lanjutan (paduan Kategori 1), setelah gangguan fungsi hati dapat diatasi,
mulailah kembali pemberian H dan R selama 4 bulan lengkap tahap lanjutan.
4.5. TATALAKSANA TB PADA ANAK 1.
Epidemiologi
TB anak adalah penyakit TB yang terjadi pada amak usia 0-14 tahun.
Cara penularan TB pada anak adalah :
i
32. Sumber penularan adalah pasien TB paru BTA positif, baik dewasa maupun anak.
33. Anak yang terkena TB tidak selalu menularkan pada orang sekitarnya, kecuali anak
tersebut BTA positif atau menderita adult type TB
34. Faktor resiko penularan TB pada anak tergantung dari tingkat penularan, lama pajanan,
daya tahan pada anak. Pasien TB dengan BTA positif
Jumlah Skor *
58. Tabel 4.15. OAT Anak yang biasa dipakai dan dosisnya
Nama Obat Dosis harian Dosis maksimal Efek samping
(mg/kgBB/har (mg /hari
i)
Isoniazid 10(7-15) 300 Hepatitis, neuritis perifer,
(H) hipersensitivitis
Rifampisin 15 (10-20) 600 Gastrointestinal, reaksi kulit,
(R) hepatitis, trombositopenia,
peningkatan enzim hati,
cairan tubuh berwarna
oranye kemerahan
Pirazinamid 3F (30-40) - Toksisitas hepar, artralgia,
(Z) gastrointestinal
Etambutol 20 (15-25) - Neuritis optik, ketajaman
(E) mata berkurang, buta
warna merah hijau,
hipersensitivitas,
gastrointestinal
Streptomisin 15-40 1000 Ototoksik, nefrotoksik
(S)
g. Paduan OAT Kategori anak dan peruntukannya secara lebih lengkap sesuai dengan
table berikut ini:
Tabel 4.16. OAT Kategori Anak dan Peruntukannya
Jenis TB OAT OAT Tahap Prednison Lama
Tahap Lanjutan Pengobatan
Awal
TB Ringan 2HRZ 4HR m 6 bulan
Efusi Pleura TB 2 mgg dosis penuh,
kemudian tappering
off
TB BTA positif 2HRZE 4HR -
TB paru dengan 2HRZ+ E7-10HR 4 mgg dosis penuh, 9-12 buian
tandatanda atau S kemudian tappering
kerusakan luas: ^ TB off.
milier •
TB+destroyed lung
Meningitis TB 10HR 4 mgg dosis penuh, !
kemudian tappering 12 bulan
off
Peritonitis TB 2 mgg dosis penuh,
• kemudian tappering
• off
Perikardistis TB 2 mgg dosis penuh,
kemudian tappering
off.
Skeletal TB I
2. OAT Kategori Anak kemasan Kombinasi dosis tetap (KDT) OAT (FDC=Fixed Dose
Combination)
Untuk mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatkan keteraturan minum obat,
paduan OAT disediakan dalam bentuk paket KDT/ FDC. Satu paket dibuat untuk satu
pasien untuk satu masa pengobatan. Paket KDT untuk anak berisi obat tase intensif,
yaitu nfampisin (R) 75mg, INH (H) 50 mg, dan pirazinamid (Z) 150 mg, serta obat fase
lanjutan, yaitu R 75 mg dan H 50 mg dalam satu paket. Dosis yang dianjurkan dapat
dilihat pada tabel berikut.
Pada tahap awal pasien TB anak kontrol tiap minggu, untuk melihat kepatuhan, toleransi
dan kemungkinan adanya efek samping obat. Pada tahap lanjutan pasien kontrol tiap
bulan. Setelah diberi OAT selama 2 bulan, respon pengobatan pasien harus dievaluasi.
Respon pengobatan dikatakan tidak apabila gejala klinis yang terdapat pada awal
diagnosis berkurang misalnya nafsu makan meningkat, berat badan meningkat, demam
menghilang dan batuk berkurang. Apabila respon pengobatan baik maka pengobatan OAT
dilanjutkan sampai dengan 6 bulan. Sedangkan apabila respon pengobatan kurang atau
tidak baik maka pengobatan TB tetap dilanjutkan tetapi pasien harus dirujuk ke sarana
yang lebih lengkap. Sistem skoring hanya digunakan untuk diagnosis, bukan untuk meniiai
hasil pengobatan. Setelah' pemeberian OAT selama 6 bulan. OAT dapat dihentikan dengan
melakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang lain seperti foto rontgen
dada. Pemeriksaan tuberkulin tidak dapat dignakan sebagai pemeriksaan untuk
pemantauan pengobatan, karena uji tuberkulin yang positif masih akari memberikan hasil
positif. Meskipun gambaran radiologis tidak menunjukan perubahan yang berarti, tetapi
apabila dijumpai perbaikan klinis yang nyata, maka pengobatan dapat dihentikan dan
pasien dinyatakan selesai
Pada pasien TB anak yang pada awal pengobatan hasil pemeriksaan dahaknya BTA
positif, pemantauan pengobatan dilakukan dengan pemeriksaan dahakulang sesuai alur
pemantauan pasien TB BTA pos.
ff. Efek Samping pengobatan TB pada Anak
Pasien dengan keluhan neuritis (misalnya : kesemutan) dan asupan pindoksin (vitamin B6)
dari bahan makanan tidak tercukupi, maka dapat diberikan vitamin 35 10 mg tiap 100 mg
INH.
Untuk pencegahan Neuritisperifer, apabila tersedia pendoksin 10 mg/hari,
direkomendasikan diberikan pada
59. Bayi yang mendapat ASI eksklusif
60. Pasien gizi buruk '.,•
61. P nak dengan HIV positif
Penanganan efek samping lain dari OAT pada anak mengacu pada buku Pedoman
Nasional Pengendalian TB.
gg. Tatalaksana Pasien TB Anak yang Berobat Tidak Teratur
Ketidakpatuhan minum OAT pada pasien TB merupakan penyebab kegagalan terapi
a. Jika anak tidak minum obat >2 minggu di fase intensif atau >2 bulan
di fase lanjutan dan menunjukkan gejala TB, beri pengobatan kembali
mulai dari awal
b. Jjika aak tidak minum obat <2 minggu di fase intensif atau < 2 bulan
di fase lanjutan dan menunjukkan gejaia TB, ianiutkan sisa
pengobatan sampai selesai.
Pada pasien dengan pengobatan yang tidak teratur akan meningkatkan resiko terjadinya
TB resistan obat.
hh. Hasil pengobatan TB pada anak
Hasil pengobatan TB pada anak merujuk pada hasil pengobatan TB Dewasa.
ii. Pengobatan Pencegahan dengan Isoniazid (PP-INH)
Sekitar 50-60% anak yang tinggal dengan pasien TB paru dewasa dengan BTA dahak
positif, akan terinfeksi TB juga. Kira-kira 10% dari jumlah tersebut akan mengalami sakit
TB. Infeksi TB pada anak kecil beresiko tinggi menjadi TB berat (misalnya TB meningitis
atau TB milier) sehingga diperlukan pemberian kemoprofilaksis untuk mencegah terjadinya
sakit TB Cara pemeberian Isoniazid untuk pencegahan sesuai dengan tabel berikut:
Tabel 4.18. Cara Pemberian Isoniazid untuk Pencegahan TB pada Anak
r HIV Hasil pemeriksaan Tata laksana
Umur
Balita (+)/(-) Infeksi laten TB INH profilaksis
Balita (+)/(-) Sehat, Kontak (+), Uji tuberkulin (.) IMh pi-omaKsio
Keterangan :
62. Obat yang diberikan adalah INH (Isoniazid) dengan dosis 10 mg/kgBB (7-15 mg/kg)
setiap hari selama 6 bulan
63. Setiap bulan (saat pengambilan obat Isoniazid) dilakukan pemantauan terhadap adanya
gejala TB. Jika terdapat gejala TB pada bulan ke 2, ke 3, ke 4, ke 5 atau ke 6, maka
harus segera dievaluasi terhadap sakit TB dan jika terbukti sakit TB, pengobatan harus
segera ditukar ke regimen terapi TB anak dimulai dari awal
64. Jika PP-INH selesai diberikan (tidak ada gejala TB selama 6 bulan pemberian), maka
pemberian INH dapat dihentikan.
65. Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, perlu diberikan BCG setelah
PP- INH selesai diberikan.
4.13. Tatalaksana Pasien TB pada ODHA
1. Diagnosa TB pada ODHA a.
Gejala TB pada ODHA
Gejala klinis TB pada ODHA sering kali tidak spesifik Gejala klinis yang sering
ditemukan adalah demam dan penurunan berat badan yang signifikan (lebih dari
17%) dan gejala ekstraparu sesuai dengan organ yang terkena ' misalnya TB
pleura, TB perikard, TB milier, TB susunan saraf pusat dan TB abdomen.
jj. Diagnosis TB pada ODHA
66. Pemeriksaan mikroskopis langsung
67. Pemeriksaan tes cepat Xpert MTB/Ri
68. Pemeriksaan biakan dahak
69. Pemberian antibiotik sebagai alat bantu diagnosis tidak direkomendasi lagi
70. Pemeriksaan foto toraks
70.1. Pengobatan Tuberkulosis pada ODHA
Tatalaksana pengobatan TB pada ODHA adalah sama seperti pasien TB lainnya.
Pada prinsipnya pengobaian TB diberikan segera, sedangkan pengobatan ARV
dimulai berdasarkan stadium klinis HIV atau hasil Cd4. Penting diperhatikan dari
pengobatan TB pada ODHA adalah apakah pasien tersebut sedang dalam
pengobatan ARV atau tidak Bila tidak dalam pengobatan ARV, segera mulai
pengobatan TB.pemberian ARV dilakukan dengan prinsip :
70.1.1. Semua ODHA dengan stadium klinis 3 perlu dipikirkan untuk mulai pengobatan
ARV bila Cd4 < 350/mm3 tapi harus dimulai sebelum CD4 turun dibawah 200/mm3.
70.1.2. Semua ODHA stadium klinis 3 yang hamil atau menderita TB dengan
CD4<350mm3 harus dimulai pengobatan ARV
70.1.3. Semua ODHA stadium klinis 4 perlu diberikan pengobatan ARV tanpa
memandang nilai CD4
Bila pasien sedang dalam pengobatan ARV, pengobatan TB tidak dimulai di RSJ,
pasien dirujuk ke RS rujukan pengobatan ARV
Tabel 4.19 : Pilihan panduan pengobatan ARV pada ODHA
dengan TB
Obat ARV lini Panduan pengobatan Pilihan obat ARV
pertama/lini kedua ARV pada waktu TB
didiagnosis
Lini Pertama 2 NRTI + EFV Teruskan dengan 2 NRTI + EFV
2 NRTI + NVP* Ganti dengan 2 NRTI + EFV atau
Ganti dengan 2 NRTI + LPV/r
Keterangan :
*) Panduan yang mengandung NVP hanya digunakan pada wanita usia subur dengan
pengobatan OAT (mengandung rifamisin), yang perlu dimulai ART bila tidak ada alternative
lain. EFV tidak dapat digunakan pada trimester I kehamilan (resiko kelainan janin).
Setelah pengobatan dengan rifampisin selesai dapat untuk memberikan kembali NVP
Waktu mengganti kembali dari EFV ke NVP tidak diperlukan lead in dose. Jika seorang ibu
hamil trimester ke 2 atau ke 3 menderita TB. panduan ART yang mengandung EFV dapat
dipertimbangkan untuk diberikan.Alternative lain, pada Ibu hamil trimester pertama dengan
CD4>250mm3 atau jika CD4 tidak diketahui, berikan panduan pengobatan ARV yang
mengandung NVP disertai pemantauan yang teliti.Bila terjadi gangguan fungsi hati, rujuk
ke rumah sakit yang fasilitas lebih lengkap.
4.14. Tatalaksana pasien TB dengan TB Resistan Obat 1.
Pengobatan pasien TB dengan Resistan Obat
Secara umum, prinsip pengobatan TB resist obat, khususnya TB dengan MDR adalah
sebagai berikut:
kk. Pengobatan menggunakan minimal 4macam OAT yang masih efektif.
ll. Jangan menggunakan obat yang kemungkinan menimbulkan resistan silang
«4
(cross-resistance)
mm. Membatasi penggunaan obat yang tidak aman
nn. Gunakan obat dari golongan/kelompok 1-5 secara hirarkis sesuai
potensinya. Penggunaan OAT golongan 5 harus didasarkan pada
pertimbangan khusus dari TIM Ahli Klinis (TAK) dan disesuaikan dengan
kondisi program
oo. Panduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal dan
tahap lanjutan. Tahap awal adalah tahap pemberian suntikan dengan lama
minimal 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan.
pp. Lama pengobatan minimal adalah 18 bulan setelah konversi biakan.
Dikatakan konversi bila hasil pemeriksaan biakan 2 kali berurutan dengan
jarak pemeriksaan 30 hari
qq. Pemberian obat selama periode pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan
menganut prinsip strategi DOT = Direct/ Daily Observed Treatment, dengan
PMO diutamakan adalah tenaga kesehatan atau kader kesehatan.
Pilihan paduan baku OAT untuk pasien TB dengan MDR saat ini adalah panduan
standar (standardizedtreatment), yaitu :
T Km - E - Eto - Lfx - Z - Cs/E - Eto - Lfx - Z - Cs
Panduan ini diberikan pada pasien yang sudah terkonfirmasi TB MDR secara
laboratories dan dapat disesuaikan bila :
rr. Etambutanol tidak diberikan bila terbukti teiah resisten atau riwayat
penggunaan sebelumnya menunjukkan kemungkinan besar terjadinya
resistensi terhadap etambutol
ss. Panduan OAT disesuaikan paduan atau dosis pada :
71. Pasien TB MDR yang diagnosis awal menggunakan Rapid test, kemudian hasil
konfirmasi DST menunjukkanhasil resistensiyang berbeda
72. Bila ada riwayat penggunaan salah satu obat tersebut diatas sebelumnya sehingga
dicuragai telah ada resistensi
73. Terjadi efek samping yang berat akibat salah satu obat yang dapat diidentifikasi
penyebabnya
74. Terjadi perburukan klinis ••
Pemantauan Kemajuan Pengobatan TB MDR
Selama menjalani pengobatan, pasien harus dipantau secara ketat untuk menilai respons
pengobatan dan mengidentifikasi efek samping sejak dini. Gejala TB (batuk, berdahak,
demam dan BB menurun) pada umumnya membaik dalam beberapa bulan pertama
pengobatan. Konversi dahak dan biakan merupakan indikator respons pengobatan. Definisi
konversi biakan adalah pemeriksaan biakan 2 kali berurutan dengan jarak pemeriksaan 30
hari menunjukkan hasil negatif.
Evaluasi Akhir Pengobatan TB MDR
74.1. Sembuh
Pasien yang telah menyelesaikan pengobatan sesuai pedoman pengobatan TB MDR
tanpa bukti terdapat kegagalan
Hasil biakan telah negatif minimal 3 kali berturut-turut dengan jarak pemenksaan
minimal 30 hari selama fase lanjutan
74.2. Pengobatan Lengkap
Pasien yang telah menyelesaikan pengobatan sesuai dengan pedoman TB MDR tetapi
tidak memenuhi definisi sembuh maupun gagal
74.3. Meninggal
Pasien meninggal karena sebab apapun selama masa pengobatan TB MDR a) Gagal
Pengobatan TB MDR dihentikan atau membutuhkan perubahan paduan
pengobatan TB MDR yaitu > 2 obat TB MDR yang disebabkan oleh saian satu dari
beberapa kondisi di bawah ini:
75. Tidak terjr.di konversi sampai dengan akhir bulan ke-8 pengobatan
76. Terjadi reversi pada fase lanjutan (setelah sebelumnya konversi)
77. Terjadi efek samping obat yang berat.
sebagai pilihan pengobatan pasien dengan efek samping berat pada penggunaan
OAT KDT.
Dengan pengembangan DOTS plus (manajemen TB resistan obat), program juga
menyediakan OAT lini kedua, yang meliputi : Kanamycin, Capreomycine,
Lefofloxacin, Ethionamide, Cycloserine, PAS.dan lain lain. Obat Penjunjang, antara
lain : Ranitidin,Haloperidol,.dan Vitamin B6.
2. Logistik Non OAT
a. Logistik Non OAT tidak habis pakai yang terdiri dari :
uu. Bahan - bahan Laboratorium :
Mikroskop Binokuler r Ose
Rak pengering dan Rak pewarnaankaca sediaan
80. Lampu spiritus / Bunsen
Lemari penyimpanan OAT dan Alat - alat lainnya
81. Box slide (Tempat penyimpanan kaca sediaan)
vv. Barang cetakan lainnya :
82. Buku Petunjuk teknis pemeriksaan mikroskop Tuberkulosis
83. Buku pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis Tahun 2012 dan Tahun 2014
Panduan organisasi klinik DOTS Panduan pelayanan
klinik DOTS Perencanaan Tahunan klinik DOTS
Leaflet, Poster dan Brosur Dan lain - lain Logistin Non
OAT habis pakai yang terdiri dari:
ww. Bahan - bahan Laboratorium :
84. Reagensia Ziehl Nelsen
85. Pot Dahak (Pot Sputum)
86. Kaca Sediaan
87. Oli Immersi
88. Ether Alkohol
i
89. Sarung Tangan
90. Kertak saring
91. Kertas Lensa
92. Masker Bedah
93. Tissu
94. Larutan Natrium Hypoklorit atau Lisol
95. Lidi
96. Dan lain - lain