c. Eksitasiatrium
Potensial aksi yang berasal dari nodus SA mula-mula menyebar ke
kedua arrium, rerurama dari sel ke sel melalui taut celah. Selain itu,
beberapa jalur penghantar khusus yang batasnya kurang jelas mempercepar
hantaran impuls ke seluruh atrium.
1) Jalur antaratrium terbentang dari nodus SA di dalam atrium kanan ke
atriurn kiri. Karena jalur ini dengan cepat menghantarkan potensial aksi
dari nodus SA ke ujung jalur di atrium kiri maka gelombang eksitasi
dapat menyebar melintasi taut celah di seluruh atrium kiri pada saar yang
sama dengan eksitasi menyebar ke seluruh atrium kanan. Hal ini
memastikan bahwa kedua atrium terdepolarisasi untuk berkontraksi
secara bersamaan.
2) Jalur antarnodus rerbentang dari nodus SA ke nodus AV Nodus AV
adalah satu-sarunya titik kontak listrik antara atrium dan ventrikel;
dengan kata lain, karena atrium dan ventrikel secara struktural
dihubungkan oleh jaringan fibrosa yang tidak menghantarkan arus listrik
maka satu-satunya cara bagi potensial aksi di atrium untuk dapat
menyebar ke ventrikel adalah dengan melalui nodus AV Jalur penghantar
antarnodus mengarahkan penyebaran potensial aksi yang berasal dari
nodus SA ke nodus AV untuk menjamin kontraksi sekuensial ventrikel
setelah kontraksi atrium. Dengan dipercepat oleh jalur ini, potensial aksi
tiba di nodus AV dalam 30mdet setelah nodus SA melepaskan
muatannya.
2. Curah jantung1
Curah jantung (CJ) adalah volume darah yang dipompa oleh masing-
masing ventrikel per menit (bukan jumlah total darah yang dipompa oleh
jantung). Selama suatu periode waktu, volume darah yang mengalir melalui
sirkulasi paru sama dengan volume yang mengalir melalui sirkulasi sistemik.
Karena itu, curah jantung dari masing-masing ventrikel normalnya sama,
meskipun dari denyut per denyut dapat terjadi variasi ringan.
Dua penentu curah jantung adalah kecepatanjantung (denyut per menit)
dan isi sehuncup (volwe darah yang dipompa per denyut). Kecepatan jantung
rerata saat istirahat adalah 70 denyut per menit, ditentukan oleh ritmisitas
nodus SA; isi sekuncup rerata saat istirahat adalah 70 ml per denyut,
menghasilkan curah jantung rerata 4900 ml/mnt, atau mendekati 5 liter per
menit:
2.1 Definisi
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg
dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan
selang waktu lima menit dalam keadaan cukup istirahat/tenang (Kemenkes RI,
2013).
2.2. Etiologi
Faktor-faktor risiko hipertensi antara lain :
1. Faktor genetik (tidak dapat dimodifikasi) :
a) Usia : Hipertensi umumnya berkembang antara 35 – 55 tahun.
b) Etnis : Etnis Amerika keturunan Afrika menempati
risiko tertinggi terkena hipertensi.
c) Keturunan : Beberapa peneliti meyakini bahwa 30-
60% kasus hipertensi adalah diturunkan secara genetis.
2. Faktor lingkungan (dapat dimodifikasi)
a) Diet, makanan dengan kadar garam tinggi dapat
meningkatkan tekanan darah seiring dengan
bertambahnya usia.
b) Obesitas/kegemukan, tekanan darah meningkat seiring
dengan peningkatan berat badan.
c) Merokok, dapat meningkatkan tekanan darah dan
cenderung terkena penyakit jantung koroner.
d) Kondisi penyakit lain, seperti diabetes melitus tipe 2
cenderung
meningkatkan risiko peningkatan tekanan darah 2 kali lipat.
1.3 Klasifikasi
Klasifikasi hipertensi menurut sebabnya dibagi menjadi dua yaitu sekunder dan
primer. Hipertensi sekunder merupakan jenis yang penyebab spesifiknya dapat
diketahui (Lanny Ssustrani, dkk, 2004).
Klasifikasi hipertensi menurut gejala dibedakan menjadi dua yaitu hipertensi
Benigna dan hipertensi Maligna. Hipertensi Benigna adalah keadaan hipertensi yang
tidak menimbulkan gejala-gejala, biasanya ditemukan pada saat penderita dicek up.
Hipertensi Maligna adalah keadaan hipertensi yang membahayakan biasanya disertai
dengan keadaan kegawatan yang merupakan akibat komplikasi organ-organ seperti
otak, jantung dan ginjal (Mahalul Azam,2005).
1.4.Patofisiologi
Gambaran klinis pasien hipertensi meliputi nyeri kepala saat terjaga, kadang-
kadang disertai mual dan muntah, akibat peningkatan tekanan darah
intrakranial. Penglihatan kabur akibat kerusakan retina akibat hipertensi. Ayunan
langkah yang tidak mantap karena kerusakan susunan saraf pusat. Nokturia
karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus. Edema
dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan kapiler. Gejala lain
yang umumnya terjadi pada penderita hipertensi yaitu pusing, muka merah,
sakit kepala, keluaran darah dari hidung secara tiba-tiba, tengkuk terasa pegal
dan lainlain
Anamnesis
a. Sering sakit kepala (meskipun tidak selalu), terutama bagian belakang, sewaktu
bangun tidur pagi atau kapan saja terutama sewaktu mengalami ketegangan.
b. Keluhan sistem kardiovaskular (berdebar, dada terasa berat atau sesak terutama
sewaktu melakukan aktivitas isomerik)
c. Keluhan sistem serebrovaskular (susah berkonsentrasi, susah tidur,migrain,
mudah tersinggung, dll)
d. Tidak jarang tanpa keluhan, diketahuinya secara kebetulan.
e. Lamanya mengidap hipertensi. Obat-obat antihipertensi yang telah dipakai, hasil
kerjanya dan apakah ada efek samping yang ditimbulkan.
f. Pemakaian obat-obat lain yang diperkirakan dapat mempermudah terjadinya atau
mempengaruhi pengobatan hipertensi (kortikosteroid,analgesik, anti inflamasi,
obat flu yang mengandung pseudoefedrinatau kafein, dll), Pemakaian obat
kontrasepsi, analeptik,dll.
g. Riwayat hipertensi pada kehamilan, operasi pengangkatan keduaovarium atau
monopause.
h. Riwayat keluarga untuk hipertensi.
i. Faktor-faktor resiko penyakit kardiovaskular atau kebiasaan buruk (merokok,
diabetes melitus, berat badan, makanan, stress, psikososial,makanan asin dan
berlemak).
Pemeriksaan Fisik
e. EKG
Pemeriksaan EKG berfungsi untuk melihat apakah sudah terjadi hipertrofi ventrikel
kiri
f. Tes urinalisis
Tes urinalisis terdiri dari tes darah dan protein, elektrolit dan kreatinin darah. Tes ini
untuk mengetahui bagaimana keadaan ginjal dari penderita, apakah sudah mengalami
kegagalan fungsi atau belum.
g. Glukosa darah
Tes glukosa darah dilakukan untuk menyingkirkan beberapa penyebab dari penyakit
hipertensi, seperti diabetes mellitus dan intoleransi glukosa.
Diagnosis Banding
• Farmakologi
Golongan obat antihipertensi yang banyak digunakan adalah diuretik tiazid (misalnya
bendroflumetiazid), beta‐bloker, (misalnya propanolol, atenolol,) penghambat
angiotensin converting enzymes (misalnya captopril, enalapril), antagonis angiotensin II
(misalnya candesartan, losartan), calcium channel blocker (misalnya amlodipin,
nifedipin) dan alphablocker (misalnya doksasozin). Yang lebih jarang digunakan adalah
vasodilator dan antihipertensi kerja sentral dan yang jarang dipakai, guanetidin, yang
diindikasikan untuk keadaan krisis hipertensi.
• Diuretik tiazid
Diuretik tiazid adalah diuretic dengan potensi menengah yang menurunkan
tekanan darah dengan cara menghambat reabsorpsi sodium pada daerah awal tubulus
distal ginjal, meningkatkan ekskresi sodium dan volume urin. Tiazid juga
mempunyai efek vasodilatasi langsung pada arteriol, sehingga dapat
mempertahankan efek antihipertensi lebih lama. Tiazid diabsorpsi baik pada
pemberian oral, terdistribusi luas dan dimetabolisme di hati. Efek diuretik tiazid
terjadi dalam waktu 1‐2 jam setelah pemberian dan bertahan sampai 12‐24 jam,
sehingga obat ini cukup diberikan sekali sehari. Efek antihipertensi terjadi pada dosis
rendah dan peningkatan dosis tidak memberikan manfaat pada tekanan darah,
walaupun diuresis meningkat pada dosis tinggi. Efek tiazid pada tubulus ginjal
tergantung pada tingkat ekskresinya, oleh karena itu tiazid kurang bermanfaat untuk
pasien dengan gangguan fungsi ginjal.
Efek samping : Peningkatan eksresi urin oleh diuretik tiazid dapat mengakibatkan
hipokalemia, hiponatriemi, dan hipomagnesiemi. Hiperkalsemia dapat terjadi karena
penurunan ekskresi kalsium. Interferensi dengan ekskresi asam urat dapat
mengakibatkan hiperurisemia, sehingga pewnggunaan tiazid pada pasien gout harus
hati‐hati. Diuretik tiazid juga dapat mengganggu toleransi glukosa (resisten terhadap
insulin) yang mengakibatkan peningkatan resiko diabetes mellitus tipe 2. Efek
samping yang umum lainnya adalah hiperlipidemia, menyebabkan peningkatan LDL
dan trigliserida dan penurunan HDL. 25% pria yang mendapat diuretic tiazid
mengalami impotensi, tetapi efek ini akan hilang jika pemberian tiazid dihentikan.
• Beta-blocker
Beta blocker memblok beta‐adrenoseptor. Reseptor ini diklasifikasikan menjadi
reseptor beta‐1 dan beta‐2. Reseptor beta‐1 terutama terdapat pada jantung
sedangkan reseptor beta‐2 banyak ditemukan di paru‐paru, pembuluh darah perifer,
dan otot lurik. Reseptor beta‐2 juga dapat ditemukan di jantung, sedangkan reseptor
beta‐1 juga dapat dijumpai pada ginjal. Reseptor beta juga dapat ditemukan di otak.
Stimulasi reseptor beta pada otak dan perifer akan memacu penglepasan
neurotransmitter yang meningkatkan aktivitas system saraf simpatis. Stimulasi
reseptor beta‐1 pada nodus sino‐atrial dan miokardiak meningkatkan heart rate dan
kekuatan kontraksi. Stimulasi reseptor beta pada ginjal akan menyebabkan
penglepasan rennin, meningkatkan aktivitas system renninangiotensin‐aldosteron.
Efek akhirnya adalah peningkatan cardiac output, peningkatan tahanan perifer dan
peningkatan sodium yang diperantarai aldosteron dan retensi air. Terapi
menggunakan beta‐blocker akan mengantagonis semua efek tersebut sehingga terjadi
penurunan tekanan darah. Beta‐blocker yang selektif (dikenal juga sebagai
cardioselective beta‐blockers), misalnya bisoprolol, bekerja pada reseptor beta‐1,
tetapi tidak spesifik untuk reseptor beta‐1 saja oleh karena itu penggunaannya pada
pasien dengan riwayat asma dan bronkhospasma harus hatihati. Beta‐blocker yang
non‐selektif (misalnya propanolol) memblok reseptor beta‐1 dan beta2.
• ACE inhibitor
Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEi) menghambat secara kompetitif
pembentukan angiotensin II dari prekursor angiotensin I yang inaktif, yang terdapat
pada darah, pembuluh darah, ginjal, jantung, kelenjar adrenal dan otak. Angitensin II
merupakan vaso‐konstriktor kuat yang memacu penglepasan aldosteron dan aktivitas
simpatis sentral dan perifer. Penghambatan pembentukan angiotensin II ini akan
menurunkan tekanan darah. Jika sistem angiotensin‐renin‐aldosteron teraktivasi
(misalnya pada keadaan penurunan sodium, atau pada terapi diuretik) efek
antihipertensi ACEi akan lebih besar.
• Antagonis Angiotensin II
Reseptor angiotensin II ditemukan pada pembuluh darah dan target lainnya.
Disubklasifikasikan menjadi reseptor AT1 dan AT2. Reseptor AT1 memperantarai
respon farmakologis angiotensin II, seperti vasokonstriksi dan penglepasan
aldosteron. Dan oleh karenanya menjadi target untuk terapi obat. Fungsi reseptor
AT2 masih belum begitu jelas. Banyak jaringan mampu mengkonversi angiotensin I
menjadi angiotensin II tanpa melalui ACE. Oleh karena itu memblok sistem renin‐
angitensin melalui jalur antagonis reseptor AT1 dengan pemberianantagonis reseptor
angiotensin II mungkin bermanfaat. Karena efeknya pada ginjal, ACEi dan AIIRA
dikontraindikasikan pada stenosis arteri ginjal bilateral dan pada stenosis arteri yang
berat yang mensuplai ginjal yang hanya berfungsi satu
Efek samping ACEi dan AIIRA : Sebelum mulai memberikan terapi dengan ACEi
atau AIIRA fungsi ginjal dan kadar elektrolit pasien harus dicek. Monitoring ini
harus terus dilakukan selama terapi karena kedua golongan obat ini dapat
mengganggu fungsi ginjal. Baik ACEi dan AIIRA dapat menyebabkan hiperkalemia
karena menurun‐kan produksi aldosteron, sehingga suplementasi kalium dan
penggunaan diuretik hemat kalium harus dihindari jika pasien mendapat terapiACEI
atau AIIRA. Perbedaan anatar ACEi dan AIIRA adalah batuk kering yang
merupakan efek samping yang dijumpai pada 15% pasien yang mendapat terapi
ACEi. AIIRA tidak menyebabkan batuk karena tidak mendegaradasi bradikinin.
• Alpha-blocker
Alpha‐blocker (penghambat adreno‐septor alfa‐1) memblok adrenoseptor alfa‐1
perifer, mengakibatkan efek vasodilatasi karena merelaksaasi otot polos pembuluh
darah. Diindikasikan untuk hipertensi yang resisten.
• Golongan lain
Antihipertensi vasodilator (misalnya hidralazin, minoksidil) menurunkan tekanan
darah dengan cara merelaksasi otot polos pembuluh darah. Antihipertensi kerj a
sentral (misalnya klonidin, metildopa, monoksidin) bekerja pada adrenoseptor alpha‐
2 atau reseptor lain pada batang otak, menurunkan aliran simpatetik ke jantung,
pembuluh darah dan ginjal, sehingga efek ahirnya menurunkan tekanan darah.
Obat‐obat kerja sentral tidak spesifik atau tidak cukup selektif untuk menghindari
efek samping sistem saraf pusat seperti sedasi, mulut kering dan mengantuk, yang
sering terjadi. Metildopa mempunyai mekanisme kerja yang mirip dengan konidin
tetapi dapat memnyebabkan efek samping pada sistem imun, termasuk pireksia,
hepatitis dan anemia hemolitik.
Langkah 1 Untuk pasien hipertensi usia > 55 tahun atau pasien berkulit hitam
semua usia, pilihan pertama terapi adalah CCB atau diuretik tiazid. Untuk
pasien < 55 tahun, pilihan pertama terapi adalah ACEi (atau AIIRA jika
tidak tahan terhadap ACEi)
Langkah 3 Jika diperlukan kombinasi tiga obat maka kombinasi yang dian-
jurkan adalah ACEi (atau AIIRA), CCB dan diuretik tiazid.
Langkah 4 Jika diperlukan obat keempat maka dosis diuretik tiazid di-
naikkan, atau alternatif lain adalah diuretik lain, beta blocker atau alpha‐
blocker. Semua obat tersebut harus dititrasi dosisnya seperti yang dianjurkan
pada BNF.
Update dari NICE dapat dilihat pada Tabel,Perubahan utama pada pedoman NICE
adalah beta‐blocker tidak lagi direkomendasikan sebagai terapi lini pertama pada
semua pasien. Beta blocker kurang efektif mengurangi kejadian kardiovaskular
mayor, terutama stroke, dibanding antihipertensi lainnya. Beta‐blocker juga kurang
efektif dibanding ACEi atau CCB dihidropiridin untuk mengurangi resiko diabetes,
terutama pada pasien yang mendapat terapi diuretik tiazid. Jika pasien yang
menggunakan beta‐blocker memerlukan antihipertensi lain, maka pilihan yang lebih
dianjurkan diberikan adalah ACEi atau CCB, daripada tiazid.
(SUMBER : https://www.academia.edu/9164940/Farmakologi_Hipertensi )
• Non-Farmakologi
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk terapi non farmakologi pada pasien
hipertensi adalah menerapkan gaya hidup sehat. Selain dapat menurunkan tekanan darah
pasien modifikasi gaya hidup menjadi lebih sehat dapat mengurangi berlanjutnya tekanan
darah menjadi hipertensi pada pasien dengan tekanan darah prehipertensi. Perubahan
gaya hidup sehat yang dapat dilakukan adalah mengurangi berat badan untuk pasien
dengan obesitas, mengadopsi pola makan DASH (Dietary Approach to Stop
Hypertension) yang kaya akan kalium dan kalsium, diet rendah garam atau natrium,
melakukan aktivitas fisik, dan mengurangi konsumsi alkohol.
Pada beberapa pasien dengan tekanan darah yang terkontrol dan mengkonsumsi
satu obat antihipertensi, diet rendah garam dan pengurangan berat badan dapat
membebaskan pasien dari penggunaan obat. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya,
aktivitas fisik dapat membantu mengurangi tekanan darah. Beberapa olahraga yang
disarankan adalah olah raga aerobic secara teratur paling tidak 30 menit/hari dalam
beberapa hari dalam seminggu. Olahraga lainnya seperti jalan kaki, jogging, bersepeda,
dapat dilakukan untuk menurunkan tekanan darah. Walaupun begitu, pasien baiknya
konsultasi dengan dokter terlebih dahulu untuk mengetahui olahraga mana yang terbaik
untuk dilakukan, terutama untuk pasien dengan kerusakan organ.
2.7.Pencegahan
Mengubah gaya hidup dapat membantu Anda setidaknya mengurangi risiko
negatif yang ditimbulkan oleh hipertensi, seperti:
2. Jantung
a. Hipertrofi ventrikel kiri
b. Angina atau infark miokardium
c. Gagal jantung
Kompensasi jantung terhadap kerja yang keras akibat hipertensi berupa penebalan
otot jantung kiri. Kondisi ini akan memperkecil rongga jantung untuk memompa,
sehingga jantung akan semakin membutuhkan energi yang besar. Kondisi ini disertai
dengan adanya gangguan pembuluh darah jantung sendiri (koroner) akan
menimbulkan kekurangan oksigen dari otot jantung dan menyebabkan nyeri. Apabila
kondisi dibiarkan terus menerus akan menyebabkan kegagalan jantung untuk
memompa dan menimbulkan kematian.
3. Sistem Saraf
Gangguan dari sistem saraf terjadi pada sistem retina (mata bagian dalam) dan sistem
saraf pusat (otak). Didalam retina terdapat pembuluh-pembuluh darah tipis yang akan
melebar saat terjadi hipertensi, dan memungkinkan terjadi pecah pembuluh darah
yang akan menyebabkan gangguan penglihatan.
4. Otak
a. Strok
b. Transient Ischemic Attack (TIA)
5. Penyakit arteri perifer
6. Retinopati (Yogiantoro, 2006).
Beberapa penelitian menemukan bahwa penyebab kerusakan organ-organ tersebut
dapat melalui akibat langsung dari kenaikan tekanan darah pada organ, atau karena
efek tidak langsung, antara lain adanya autoantibodi terhadap reseptor ATI
angiotensin II, stress oksidatif, down regulation dari ekspresi nitric oxide synthase,
dan lain-lain. Penelitian lain juga membukt ikan bahwa diet tinggi garam dan
sensitivitas terhadap garam berperan besar dalam timbulnya kerusakan organ target,
misalnya kerusakan pembuluh darah akibat meningkatnya ekspresi transforming
growth factor-β (TGF-β) (Yogiantoro, 2006).
2.10. Prognosis
Usia, ras, jenis kelamin, kebiasaan mengkonsumsi alkohol, hiperkolesterole-
mia, intoleransi glukosa dan berat badan, semuanya mempengaruhi prognosis
dari penyakit hipertensi esensial pada lansia. Semakin muda seseorang
terdiagnosis hipertensi pertama kali, maka semakin buruk perjalanan
penyakitnya apalagi bila tidak ditangani.
Prevalensi hipertensi pada wanita pre-menopause tampaknya lebih sedikit dari
pada laki-laki dan wanita yang telah menopause. Adanya faktor resiko
independen (seperti hiperkolesterolemia, intoleransi glukosa dan kebiasaan
merokok) yang mempercepat proses aterosklerosis meningkatkan angka
mortalitas hipertensi dengan tidak memperhatikan usia, ras dan jenis kelamin.
Dengan pengobatan yang adekuat, dapat mendekati normal tetapi dapat timbul
di waktu lain karena telah mempunyai riwayat hipertensi sebelumnya