Anda di halaman 1dari 19

L.O.

1 Mempelajari dan Memahami Jantung


1.1 Anatomi Makroskopik Jantung
1.2 Anatomi Mikroskopik Jantung
1.3 Fisiologi Jantung
Kontraksi sel orot jantung untuk menyemprorkan darah dipicu oleh
potensial aksi yang menyapu ke seluruh membran sel otot. Jantung
berkontraksi, atau berdenyut, secara ritmis akibat potensial aksi yang
dihasilkannya sendiri, suatu sifat yang dinamai otoritmisitas (oto artinya
"sendiri"). Terdapat dua jenis khusus sel otot janrung:
a. Sel kontraktil, yang membentuk 99% dari sel-sel otot jantung, melakukan
kerja mekanis memompa darah. Sel-sel ini daiam keadaan normal tidak
membentuk sendiri potensial aksinya.
b. Sebaliknya, sel-sel jantung sisanya yang sedikit tetapi sangar penting, sel
otoritmik, tidak berkontraksi tetapi khusus memulai dan menghantarkan
potensial aksi yang menyebabkan kontraksi sel-sel jantung kontrakti
Berbeda dari sel saraf dan sel otot rangka, yang membrannya berada pada
potensial istirahat yang konstan kecuali jika sel dirangsang, sel otoritmik
jantung tidak memiliki potensial istirahat. Sel-sel ini malah memperlihatkan
aktivitas pemacu; yaitu, potensial membrannya secara perlahan terdepolarisasi,
atau bergeser, antara potensial-potensial aksi sampai ambang tercapai, saar
membran mengalami potensial aksi. Pergeseran Iambat potensial membran sel
otoritmik ke ambang disebut potensial pemacu. Melalui siklus berulang
tersebut, sel-sel otoritmik tersebut memicu potensial aksi, yang kemudian
menyebar ke seluruh jantung untuk memicu deny'ut berirama ranpa rangsangan
saraf apapun.

Gambar: aktifitas pemacu sel otoritmik

a. Potensial Pemacu Dan Potensial Aksi


Potensial pemacu disebabkan oleh adanya interaksi kompleks beberapa
mekanisme ionik yang berbeda. Perubahan rerpenting dalam perpindahan
ion yang menimbulkan potensial pemacu adalah :
1) penurunan arus K+ keluar disertai oleh arus Na+ masuk yang konstan
2) peningkatan arus Ca2+ masuk.
Fase awal depolarisasi lambat ke ambang disebabkan oleh penurunan
siklis fluks pasif K- keluar disertai kebocoran Nake dalam yang berlangsung
lambat dan konstan. Di sel otoritmik jantung, permeabilitas K. tidak tetap di
antara potensial aksi seperti di sel saraf dan sel otot rangka. Permeabilitas
membran terhadap K+ menurun di antara dua potensial aksi karena saluran
K+ secara perlahan menutup pada potensial negatif, Penutupan lambat ini
secara bertahap mengurangi aliran keluar ion positif kalium mengikuti
penurunan gradien konsentrasinya. Juga, tidak seperti sel saraf dan sel otot
rangka, sel otoritmik jantung tidak memiliki saluran Na- berpintu voltase.
Sel-sel ini memiliki saluran yang selalu terbuka dan sehingga permeabel
terhadap Na. pada potensial negatif. Akibatnya, terjadi influks pasif Na.
dalam jumlah kecil dan konstan pada saat yang sama ketika kecepatan
efluks K- secara perlahan berkurang. Karena itu, bagian dalam secara
gradual menjadi kurang negatif; yaitu, membran secara bertahap mengalami
depolarisasi dan bergeser menuju ambang.
Pada paruh kedua potensial pemacu, suatu saluran Ca2+ transien
(saluran Ca2+. tipe T), salah satu dari dua jenis saluran Ca2+ berpintu voltase,
membuka. Sewaktu depolarisasi lambat berlanjut, saluran ini terbuka
sebelum membran mencapai ambang. Influks singkat Ca+ yang terjadi
semakin mendepolarisasi membran, membawanya ke ambang.
Jika ambang telah tercapai, terbentuk fase naik potensial aksi sebagai
respons terhadap pengaktifan saluran Ca2+ berpintu voltase yang
berlangsung lebih lama (saluran Ca2+. tipe L) dan diikuti oleh influks Ca2+.
dalam jumlah besar. Fase naik yang diinduksi Ca2+. pada sel pemacu jantung
ini berbeda dari yang terjadi di sel saraf dan sel otot rangka, yaitu influks
Na+ dan bukan influks Ca2+. yangmengubah potensial ke arah positif.
Fase turun disebabkan, seperti biasanya, oleh efluks K +. yang terjadi
ketika permeabilitas K+. meningkat akibat pengaktifan saluran K+. berpintu
voltase. Setelah potensial aksi selesai, terjadi depolarisasi lambat berikutnya
menuju ambang akibat penutupan saluran K+ secara perlahan.
Sel-sel jantung non-kontraktil yang mampu melakukan otoritmisitas
terletak di tempat-tempat berikur :
1) Nodus sinuatrialis (nodus SA), suatu daerah kecil khusus di dinding
atrium kanan dekat pintu masuk vena kava superior.
2) Nodus atrioventrikularis (nodus AV), suatu berkas kecil sel-sel otot
jantung khusus yang terletak di dasar atrium kanan dekat septum, tepat di
atas pertemuan atrium dan ventrikel.
3) Berkas His (berkas atrioventrikular), suatu.iaras sel-sel khusus yang
berasal dari nodus AV dan masuk ke septum antarventrikel. Di sini
berkas tersebut terbagi menjadi cabang berkas kanan dan kiri yang rurun
menpsuri septum, melengkung mengeiilingi ujung rongga ventrikel, dan
berjalan balik ke arah atrium di sepanjang dinding luar.
4) Serat Purkinje, serar-serar halus terminal yang men, julur dari berkas His
dan menyebar ke seluruh miokardium ventrikel seperti ranring kecil dari
suatu cabang pohon.

Gambar: Sistem hantaran khusus di jantung

b. Aktivitas Pemacu Normal

Karena berbagai sel otoritmik memiliki laju depolarisasi lambat ke


ambang yang berbeda,beda, maka frekuensi normal pembentukan potensial
aksinya juga berbeda-beda . Sel-sel jantung dengan kecepatan inisiasi
potensial aksi tertinggi terletak di nodus SA. Sekali suatu potensial aksi
terbentuk di salah saru sel otot jantung maka potensial tersebut akan
disebarkan ke seluruh miokardium melalui taut celah dan sistem hantaran
khusus. Karena itu, nodus SA, yang dalam keadaan normal memiliki laju
otoritmisitas tertinggi, yaitts, 70 sampai 80 potensial aksi per menit,
mengendalikan bagian jantung lainnya pada tingkat kecepatan ini dan
karenanya dikenal sebagai pemacu jantung. Yaitu, seluruh jantung
tereksitasi, memicu sel-sel kontraktil berkontraksi dan jantung berdenyut
dengan kecepatan atau frekuensi yang telah ditetapkan oleh otoritmisitas
nodus SA, normalnya 70 sampai 80 denyut per menit. Jaringan otoritmik
lain tidak dapat menghasilkan irama alaminya yang lebih lambat, karena
jaringan-jaringan ini telah diaktifkan oleh potensial aksi yang berasal dari
nodus SA sebelum dapat mencapai ambang dengan irama a-laminya yang
lebih lambat tersebut.

c. Eksitasiatrium
Potensial aksi yang berasal dari nodus SA mula-mula menyebar ke
kedua arrium, rerurama dari sel ke sel melalui taut celah. Selain itu,
beberapa jalur penghantar khusus yang batasnya kurang jelas mempercepar
hantaran impuls ke seluruh atrium.
1) Jalur antaratrium terbentang dari nodus SA di dalam atrium kanan ke
atriurn kiri. Karena jalur ini dengan cepat menghantarkan potensial aksi
dari nodus SA ke ujung jalur di atrium kiri maka gelombang eksitasi
dapat menyebar melintasi taut celah di seluruh atrium kiri pada saar yang
sama dengan eksitasi menyebar ke seluruh atrium kanan. Hal ini
memastikan bahwa kedua atrium terdepolarisasi untuk berkontraksi
secara bersamaan.
2) Jalur antarnodus rerbentang dari nodus SA ke nodus AV Nodus AV
adalah satu-sarunya titik kontak listrik antara atrium dan ventrikel;
dengan kata lain, karena atrium dan ventrikel secara struktural
dihubungkan oleh jaringan fibrosa yang tidak menghantarkan arus listrik
maka satu-satunya cara bagi potensial aksi di atrium untuk dapat
menyebar ke ventrikel adalah dengan melalui nodus AV Jalur penghantar
antarnodus mengarahkan penyebaran potensial aksi yang berasal dari
nodus SA ke nodus AV untuk menjamin kontraksi sekuensial ventrikel
setelah kontraksi atrium. Dengan dipercepat oleh jalur ini, potensial aksi
tiba di nodus AV dalam 30mdet setelah nodus SA melepaskan
muatannya.

d. Hantaran Antara Atrium Dan Ventrikel


ketika nodus SA mengirimkan sinyal listrik, sinyal listrik ini akan
segera mempengaruhi atrium dan menyebabkan atrium berkontraksi. Sinyal
listrik tersebut kemudian akan menuju keseperangkat sel yang disebut nodus
AV, dari nodus AV ini nanti impuls listrik kemudian akan menyebar
keberkas HIS yang akan bercabang kebagian kanan dan kiri jantung, setelah
itu impuls listrik akan menjalar keseluruh ventrikel melalui serabut purkinje,
semuanya ini akan bersama-sama menyebabkan atrium berkontraksi dan
kemudian ventrikel berkontrasi setelahnya. Kontraksi atrium yang dimulai
lebih dulu di bandingkan ventrikel ini sangat penting. Hal ini akan
menyebab kan darah yang di pompa di atrium terus mengalir melalui
jalurnya keventrikel dan bersama-sama dengan mekanisme penutupan katup
jantung, mencegah darah dari ventrikel kembali ke atrium.
e. Eksitasi Ventrikel
Setelah tertunda di nodus AV, impuls lalu mengalir cepat menuruni
septum melalui cabang kanan dan kiri berkas His dan menyebar ke seiuruh
miokardium ventrikel melalui serat Purkinje. Anyaman serat pada sistem
penghantar ventrikel ini dikhususkan untuk menyalurkan potensial aksi
dengan cepat. Keberadaan sistem ini mempercepat dan mengoordinasikan
penyebaran eksitasi ventrikel untuk memastikan bahwa kedua ventrikel
berkontraksi sebagai satu kesatuan. Potensial aksi disalurkan melalui
seluruh sistem serat Purkinje daiam 30 mdet.
Meskipun membawa potensial aksi dengan cepat ke sejumlah besar sel
otot jantung namun sistem ini tidak berakhir di setiap sel. Impuls cepat
menyebar dari sel-sel yang tereksitasi kq sel-sel otot ventrikel sisanya
melalui taut celah.
Sistem hantaran ventrikel lebih teratur dan lebih penring daripada jalur
penghantar antaratrium dan antarnodus. Karena massa ventrikel jauh lebih
besar daripada massa atrium, maka keberadaan sistem penghantar yang
cepat sangat krusial bagi percepatan penyebaran eksitasi di ventrikel. Serat
Purkinje dapat menghantarkan suatu potensial aksi enam kali lebih cepat
daripada yang dapat dilakukan oleh selsel kontraktil sinsitium ventrikel. Jika
proses depolarisasi ventrikel keseluruhan bergantung pada pen,vebaran
impuls sel ke sel melalui taut ceiah maka jaringan ventrikel yang berada
tepat di samping nodus AV akan tereksitasi dan berkontraksi sebelum
impuls mencapai apeks jantung. Hal ini, tentu saja, tidak memungkinkan
pemompaan yang efisien. Penghantaran cepat potensial aksi menyusuri
berkas His dan distribusinya yang segera ke seluruh anyaman Purkinje
menyebabkan pengaktifan sel-sel miokardium di kedua ventrikel terjadi
hampir serentak, vang memastikan kontraksi tunggal mulus terkoordinasi
yang dapat secara efisien memompa darah ke dalam sirkulasi sistemik dan
paru pada saat yang sama.
1. Siklus jantung2
Pada Sebuah Siklus Jantung Lengkap Akan Terdengar 'Lub-Dub' Yang
Didengar Dengan Stetoskop. Sistol Adalah Fase Kontraksi Dari Masing-
Masing Ruang, Sementara Diastole Adalah Fase Relaksasi. Selama Siklus
Jantung, Atrium Dan Ventrikel Masing-Masing Memiliki Periode Sistol Dan
Diastol.
Tujuan Dari Siklus Jantung Adalah Untuk Memompa Darah Secara
Efektif. Jantung Kanan Memberikan Darah Yang Kaya Akan Karbondioksida
Ke Paru-Paru. Berikut Oksigen Diambil Dan Karbondioksida Dikeluarkan.
Jantung Kiri Memberikan Darah Yang Kaya Akan Oksigen Ke Tubuh.
Biasanya, Volume Darah Yang Dikeluarkan Oleh Ventrikel Kanan Ke Paru-
Paru Adalah Sama Dengan Volume Yang Dikeluarkan Oleh Ventrikel Kiri.
Sebuah Ketidaksesuaian Dalam Volume Yang Dikeluarkan Oleh Ventrikel
(Yaitu Pompa Ventrikel Kanan Darah Lebih Dari Ventrikel Kiri) Dapat
Mengakibatkan Gagal Jantung.
Rata-Rata Total Volume Darah Dalam Sistem Peredaran Darah Manusia
Adalah Sekitar 5 Liter (5000 Ml). Menurut Perhitungan , Seluruh Volume
Darah Dalam Sistim Peredaran Darah Dipompa Oleh Jantung Setiap Menit
(Saat Istirahat). Selama Olahraga Berat, Volumenya Dapat Meningkat Hingga
7 Kali Lipat (35 Liter / Menit). Sinksonisasi Dari Atrium Dan Ventrikel
Dikoordinasikan Untuk Memaksimalkan Pemompaan Agar Lebih Efisien.
Seperti Yang Sudah Disebutkan Bahwa Jantung Yang Berfungsi
Memompakan Darah Ke Seluruh Tubuh Melalui Cabang Cabangnya Untuk
Keperluan Metabolisme Demi Kelangsungan Hidup. Pada Penjelasan Ini
Sirkulasi Jantung Dimulai Dari Atrium Yang Menerima Darah Dari :
a. Superior Vena Kava
b. Inferior Vena Kava
c. Sinus Coronarius
d. Dari Atrium Kanan, Darah Akan Dipompakan Ke Ventrikel Kanan
Melewati Katup Trikuspid.
e. Dari Ventrikel Kanan, Darah Dipompakan Ke Paru-Paru Untuk
Mendapatkan Oksigen Melewati:
1) Katup Pulmonal
2) Pulmonal Trunk
3) Empat (4) Arteri Pulmonalis, 2 Ke Paru-Paru Kanan Dan 2 Ke Kembali
Paru-Paru Kiri.
Darah Yang Kaya Akan Oksigen Dari Paru-Paru Akan Di Alirkan
Ke Jantung Melalui 4 Vena Pulmonalis (2 Dari Paru-Paru Kanan Dan 2
Dari Paru-Paru Kiri) Menuju Atrium Kiri. Dari Atrium Kiri Darah Akan
Dipompakan Ke Ventrikel Kiri Melewati Katup Biskupid Atau Katup
Mitral.
Dari Ventrikel Kiri Darah Akan Di Pompakan Ke Seluruh Tubuh
Termasuk Jantung (Melalui Sinus Valsava) Sendiri Melewati Katup
Aorta. Dari Seluruh Tubuh,Darah Balik Lagi Ke Jantung Melewati Vena
Kava Superior,Vena Kava Inferior Dan Sinus Koronarius Menuju Atrium
Kanan.
Secara Umum, Siklus Jantung Dibagi Menjadi 2 Bagian Besar, Yaitu :
a. Sistole Atau Kontraksi Jantung
b. Diastole Atau Relaksasi Atau Ekspansi Jantung
Siklus jantung menjelaskan urutan kontraksi dan pengosongan ventrikel
(sistolik), serta pengisian dan relaksasi ventrikel (diastolic). Factor penting
yang harus diingat adalah bahwa katup jantung membuka dan menutup secara
pasif akibat perbedan tekanan. Hal yang sama pentingnya adalah bahwa urutan
peristiwa mekanis selama siklus jantung terjadii secara bersamaan pada
sisikanan dan kiri jantung. Namun demikian, untuk jelasnya, penjelasan ini
akan lebih memfokuskan pada kejadian yang terjadi pada sisi kiri jantung.
Pada awal diastolik, darah mengalir cepat dari atrium, melewati katup
mitral, dan ke dalam ventrikel. Dengan mulai seimbangnya tekanan tekanan
antara atrium dan ventrikel, darah mengalir dari atrium ke ventrikel melambat.
Hal ini disebut periode diastasis. Kontaksi atrium kemudian terjadi, berperan
dalam bertambahnya sebanyak 20 hingga 30% pengisian atrium. Kemudian
terjadi kontraksi ventrikel, dan karena tekanan dalam ventrikel lebih besar
dibandingkan dengan yang terdapat dalam atrium, maka katup mitral menutup..
hal ini memulai terjadinya sistolik dan kontraksi isovolumik (secara spesifik).
Periode ini disebut demikian karena meskipunterjadi peningkatan tekanan
ventrikel kiri, volume intraventrikel tetap constant karena katup mitral maupun
aorta menutup.
Dengan berlanjutnya kontraksi ventrikel, tekanan dalam ventrikel kiri
meningkat hingga melebihi tekanan dalam aorta. Perbedaan tekanan,
mendorong katup aorta membuka, dan darah tercurah keluar ventrikel. Hal ini
disebut sebagai periode pemompaan ventrikel. Sekitar70% pengosongan
ventrikel terjadi pada sepertiga pertama periode pemompaan. Sehingga
sepertiga pertama periode pemompaan ventrikel disebut sebagai pemompaan
ventrikel cepat. Dua pertiga dari sisa pemompaan ventrikel disebut sebagai
pemompaan ventrikel lambat, karena hanya terjadi 30% pengosongan ventrikel
selama periode ini. Ventrikel kemudian mengalami relaksasi. Relaksasi
ventrikel menyebabkan ventrikel tekanan dalam ventrikel menurun dibawah
tekanan dalam aorta, dan katup aorta menutup, menyebabkan awita diastolic.
Dengan mempunyai katup aorta maupun mitral, volume darah dalam
ventrikel kiri tetap konstan. Tekanan dalam ventrikel kiri menurun karena
ventrikel mulai berelaksasi. Hal ini menurunkan tekanan ventrikel kiri
(meskipun volume darah dalam ventrikel kiri tetap kostan) yang disebut
periode relaksasi isovolumik. Sementara tekanan ventrikel menurun, terbentuk
tekanan ventrikel akibat aliran balik vena melawan katup mitral yang tertutup.
Perbedaan tekanan ini menyebabkan pembukaan katup mitral kemudian
tercurahnya darah dari atrium ke ventrikel. Sehingga terjadi periode pengisian
ventrikel cepat, dan siklus jantung dimulai lagi.
Secara Spesific, Siklus Jantung Dibagi Menjadi 5 Fase Yaitu :
a. Fase Ventrikel Filling
b. Fase Atrial Contraction
c. Fase Isovolumetric Contraction
d. Fase Ejection
e. Fase Isovolumetric Relaxation
Perlu Anda Ingat Bahwa Siklus Jantung Berjalan Secara Bersamaan Antara
Jantung Kanan Dan Jantung Kiri, Dimana Satu Siklus Jantung = 1 Denyut
Jantung = 1 Beat Ekg (P,Q,R,S,T) Hanya Membutuhkan Waktu Kurang Dari
0.5 Detik.
a. Fase Ventrikel Filling
Sesaat Setelah Kedua Atrium Menerima Darah Dari Masing-Masing
Cabangnya, Dengan Demikian Akan Menyebabkan Tekanan Di Kedua
Atrium Naik Melebihi Tekanan Di Kedua Ventrikel. Keadaan Ini Akan
Menyebabkan Terbukanya Katup Atrioventrikular, Sehingga Darah Secara
Pasif Mengalir Ke Kedua Ventrikel Secara Cepat Karena Pada Saat Ini
Kedua Ventrikel Dalam Keadaan Relaksasi/Diastolic Sampai Dengan Aliran
Darah Pelan Seiring Dengan Bertambahnya Tekanan Di Kedua Ventrikel.
Proses Ini Dinamakan Dengan Pengisian Ventrikel Atau Ventrikel Filling.
Perlu Anda Ketahui Bahwa 60% Sampai 90 % Total Volume Darah Di
Kedua Ventrikel Berasal Dari Pengisian Ventrikel Secara Pasif. Dan 10%
Sampai 40% Berasal Dari Kontraksi Kedua Atrium.
b. Fase Atrial Contraction
Seiring Dengan Aktifitas Listrik Jantung Yang Menyebabkan Kontraksi
Kedua Atrium, Dimana Setelah Terjadi Pengisian Ventrikel Secara Pasif,
Disusul Pengisian Ventrikel Secara Aktif Yaitu Dengan Adanya Kontraksi
Atrium Yang Memompakan Darah Ke Ventrikel Atau Yang Kita Kenal
Dengan "Atrial Kick". Dalam Grafik Ekg Akan Terekam Gelombang P.
Proses Pengisian Ventrikel Secara Keseluruhan Tidak Mengeluarkan Suara,
Kecuali Terjadi Patologi Pada Jantung Yaitu Bunyi Jantung 3 Atau Cardiac
Murmur.
c. Fase Isovolumetric Contraction
Pada Fase Ini, Tekanan Di Kedua Ventrikel Berada Pada Puncak
Tertinggi Tekanan Yang Melebihi Tekanan Di Kedua Atrium Dan Sirkulasi
Sistemik Maupun Sirkulasi Pulmonal. Bersamaan Dengan Kejadian Ini,
Terjadi Aktivitas Listrik Jantung Di Ventrikel Yang Terekam Pada Ekg
Yaitu Komplek Qrs Atau Depolarisasi Ventrikel.
Keadaan Kedua Ventrikel Ini Akan Menyebabkan Darah Mengalir Balik
Ke Atrium Yang Menyebabkan Penutupan Katup Atrioventrikuler Untuk
Mencegah Aliran Balik Darah Tersebut. Penutupan Katup Atrioventrikuler
Akan Mengeluarkan Bunyi Jantung Satu (S1) Atau Sistolic. Periode Waktu
Antara Penutupan Katup Av Sampai Sebelum Pembukaan Katup Semilunar
Dimana Volume Darah Di Kedua Ventrikel Tidak Berubah Dan Semua
Katup Dalam Keadaan Tertutup, Proses Ini Dinamakan Dengan Fase
Isovolumetrik Contraction.
d. Fase Ejection
Seiring Dengan Besarnya Tekanan Di Ventrikel Dan Proses Depolarisasi
Ventrikel Akan Menyebabkan Kontraksi Kedua Ventrikel Membuka Katup
Semilunar Dan Memompa Darah Dengan Cepat Melalui Cabangnya
Masing-Masing. Pembukaan Katup Semilunar Tidak Mengeluarkan Bunyi.
Bersamaan Dengan Kontraksi Ventrikel, Kedua Atrium Akan Di Isi Oleh
Masing-Masing Cabangnya.
e. Fase Isovolumetric Relaxation
Setelah Kedua Ventrikel Memompakan Darah, Maka Tekanan Di Kedua
Ventrikel Menurun Atau Relaksasi Sementara Tekanan Di Sirkulasi
Sistemik Dan Sirkulasi Pulmonal Meningkat. Keadaan Ini Akan
Menyebabkan Aliran Darah Balik Ke Kedua Ventrikel, Untuk Itu Katup
Semilunar Akan Menutup Untuk Mencegah Aliran Darah Balik Ke
Ventrikel. Penutupan Katup Semilunar Akan Mengeluarkan Bunyi Jantung
Dua (S2)Atau Diastolic. Proses Relaksasi Ventrikel Akan Terekam Dalam
Ekg Dengan Gelombang T, Pada Saat Ini Juga Aliran Darah Ke Arteri
Koroner Terjadi. Aliran Balik Dari Sirkulasi Sistemik Dan Pulmonal Ke
Ventrikel Juga Di Tandai Dengan Adanya "Dicrotic Notch".

1) Total Volume Darah Yang Terisi Setelah Fase Pengisian Ventrikel


Secara Pasip Maupun Aktif ( Fase Ventrikel Filling Dan Fase Atrial
Contraction) Disebut Dengan End Diastolic Volume (Edv)
2) Total Edv Di Ventrikel Kiri (Lvedv) Sekitar 120ml.
3) Total Sisa Volume Darah Di Ventrikel Kiri Setelah Kontraksi/Sistolic
Disebut End Systolicvolume (Esv) Sekitar 50 Ml.
4) Perbedaan Volume Darah Di Ventrikel Kiri Antara Edv Dengan Esv
Adalah 70 Ml Atau Yang Dikenal Dengan Stroke Volume. (Edv-Esv=
Stroke Volume) (120-50= 70)

2. Curah jantung1
Curah jantung (CJ) adalah volume darah yang dipompa oleh masing-
masing ventrikel per menit (bukan jumlah total darah yang dipompa oleh
jantung). Selama suatu periode waktu, volume darah yang mengalir melalui
sirkulasi paru sama dengan volume yang mengalir melalui sirkulasi sistemik.
Karena itu, curah jantung dari masing-masing ventrikel normalnya sama,
meskipun dari denyut per denyut dapat terjadi variasi ringan.
Dua penentu curah jantung adalah kecepatanjantung (denyut per menit)
dan isi sehuncup (volwe darah yang dipompa per denyut). Kecepatan jantung
rerata saat istirahat adalah 70 denyut per menit, ditentukan oleh ritmisitas
nodus SA; isi sekuncup rerata saat istirahat adalah 70 ml per denyut,
menghasilkan curah jantung rerata 4900 ml/mnt, atau mendekati 5 liter per
menit:

Curah jantung = kecepatan jantung x isi sekuncup


= 70 denyut/menit x 70 ml/denyut
= 4900 ml/mnt = 5 liter/mnt
Karena volume darah total rerata adalah 5 sampai 5,5 liter maka masing-
masing paruh jantung setiap menit memompa setara dengan seluruh volume
darah. Dengan kata lain, setiap menit ventrikel kanan normalnya memompa 5
liter darah melalui paru, dan ventrikel kiri memompa 5 liter melalui sirkulasi
sistemik. Dengan kecepatan ini, seriap paruh jantung akan memompa sekitar
2,5 iura liter darah hanya dalam setahun. Ini baru curah jantung daiam keadaan
istirahatl Selama olah raga, curah jantung dapat meningkat menjadi 20 sampai
25 liter per menit, dan curah setinggi 40 liter per menit pernah dicapai oleh
atlet terlatih selama olahraga berat tipe daya tahan. Perbedaan anrara curah
jantung saat istirahat dan volume maksimal darah yang dapat dipompa oleh
jantung per menit disebut cadangan jantung. Bagaimana curah jantung dapat
bervariasi sedemikian besar, bergantung pada kebutuhan tubuh? Anda dapat
dengan cepat menjawab pertanyaan ini dengan membayangkan bagaimana
jantung anda sendiri berdet:rk cepar (meningkarnya kecepatan jantung) dan
kuat (meningkatnya isi sekuncup) ketika anda melakukan aktivitas fisik berat
(kebutuhan akan peningkatan curah jantung). Karena itu, regulasi curah
jantung bergantung pada kontrol atas kecepatan jantung dan isi sekuncup.

L.O. 2 Mempelajari dan Memahami Hipertensi

2.1 Definisi

Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg
dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan
selang waktu lima menit dalam keadaan cukup istirahat/tenang (Kemenkes RI,
2013).

Hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah sistolik


sedikitnya140 mmHg atau tekanan darah diastolik sedikitnya 90 mmHg (Price &
Wilson, 2006). Peningkatan tekanan darah yang berlangsung dalam jangka waktu
lama dapat menyebabkan kerusakan pada ginja, jantung, dan otak bila tidak
dideteksi secara dini dan mendapat pengobatan yang memadai (Kemenkes RI,
2013).

2.2. Etiologi
Faktor-faktor risiko hipertensi antara lain :
1. Faktor genetik (tidak dapat dimodifikasi) :
a) Usia : Hipertensi umumnya berkembang antara 35 – 55 tahun.
b) Etnis : Etnis Amerika keturunan Afrika menempati
risiko tertinggi terkena hipertensi.
c) Keturunan : Beberapa peneliti meyakini bahwa 30-
60% kasus hipertensi adalah diturunkan secara genetis.
2. Faktor lingkungan (dapat dimodifikasi)
a) Diet, makanan dengan kadar garam tinggi dapat
meningkatkan tekanan darah seiring dengan
bertambahnya usia.
b) Obesitas/kegemukan, tekanan darah meningkat seiring
dengan peningkatan berat badan.
c) Merokok, dapat meningkatkan tekanan darah dan
cenderung terkena penyakit jantung koroner.
d) Kondisi penyakit lain, seperti diabetes melitus tipe 2
cenderung
meningkatkan risiko peningkatan tekanan darah 2 kali lipat.

1.3 Klasifikasi

Pada orang dewasa menurut JNC 7 terbagi menjadi kelompok normal,


prahipertensi, hipertensi derajat 1, dan hipertensi derajat 2 (Yogiantoro, 2009)

Klasifikasi Menurut WHO (World Health Organization)

WHO dan International Society of Hypertension Working Group (ISHWG) telah

mengelompokkan hipertensi dalam klasifikasi optimal, normal, normal-tinggi,

hipertensi ringan, hipertensi sedang, dan hipertensi berat (Sani, 2008).

Klasifikasi hipertensi menurut sebabnya dibagi menjadi dua yaitu sekunder dan
primer. Hipertensi sekunder merupakan jenis yang penyebab spesifiknya dapat
diketahui (Lanny Ssustrani, dkk, 2004).
Klasifikasi hipertensi menurut gejala dibedakan menjadi dua yaitu hipertensi
Benigna dan hipertensi Maligna. Hipertensi Benigna adalah keadaan hipertensi yang
tidak menimbulkan gejala-gejala, biasanya ditemukan pada saat penderita dicek up.
Hipertensi Maligna adalah keadaan hipertensi yang membahayakan biasanya disertai
dengan keadaan kegawatan yang merupakan akibat komplikasi organ-organ seperti
otak, jantung dan ginjal (Mahalul Azam,2005).

1.4.Patofisiologi

Mekanisme yang mengontrol konnstriksi dan relaksasi pembuluh darah


terletak dipusat vasomotor, pada medulla diotak. Dari pusat vasomotor ini
bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan
keluar dari kolumna medulla spinalis ganglia simpatis di toraks dan abdomen.
Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak
ke bawah melalui system saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini,
neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut
saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya
noreepineprin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai factor
seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhirespon pembuluh darah
terhadap rangsang vasokonstriksi. Individu dengan hipertensi sangat sensitive
terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal
tersebut bisa terjadi.
Pada saat bersamaan dimana system saraf simpatis merangsang pembuluh
darah sebagai respons rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang,
mengakibatkan tambahan aktivitas vasokonstriksi. Medulla adrenal
mensekresi epinefrin, yang menyebabkan vasokonstriksi. Korteks adrenal
mensekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat respons
vasokonstriktor pembuluh darah. Vasokonstriksi yang mengakibatkan
penurunan aliran ke ginjal, menyebabkan pelepasan rennin. Rennin
merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi
angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang
sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi
natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume intra
vaskuler. Semua factor ini cenderung mencetuskan keadaan hipertensi.

2.5 Manifestasi Klinis

Gambaran klinis pasien hipertensi meliputi nyeri kepala saat terjaga, kadang-
kadang disertai mual dan muntah, akibat peningkatan tekanan darah
intrakranial. Penglihatan kabur akibat kerusakan retina akibat hipertensi. Ayunan
langkah yang tidak mantap karena kerusakan susunan saraf pusat. Nokturia
karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus. Edema
dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan kapiler. Gejala lain
yang umumnya terjadi pada penderita hipertensi yaitu pusing, muka merah,
sakit kepala, keluaran darah dari hidung secara tiba-tiba, tengkuk terasa pegal
dan lainlain

2.6 Cara diagnosis dan Diagnosis Banding

Anamnesis

a. Sering sakit kepala (meskipun tidak selalu), terutama bagian belakang, sewaktu
bangun tidur pagi atau kapan saja terutama sewaktu mengalami ketegangan.
b. Keluhan sistem kardiovaskular (berdebar, dada terasa berat atau sesak terutama
sewaktu melakukan aktivitas isomerik)
c. Keluhan sistem serebrovaskular (susah berkonsentrasi, susah tidur,migrain,
mudah tersinggung, dll)
d. Tidak jarang tanpa keluhan, diketahuinya secara kebetulan.
e. Lamanya mengidap hipertensi. Obat-obat antihipertensi yang telah dipakai, hasil
kerjanya dan apakah ada efek samping yang ditimbulkan.
f. Pemakaian obat-obat lain yang diperkirakan dapat mempermudah terjadinya atau
mempengaruhi pengobatan hipertensi (kortikosteroid,analgesik, anti inflamasi,
obat flu yang mengandung pseudoefedrinatau kafein, dll), Pemakaian obat
kontrasepsi, analeptik,dll.
g. Riwayat hipertensi pada kehamilan, operasi pengangkatan keduaovarium atau
monopause.
h. Riwayat keluarga untuk hipertensi.
i. Faktor-faktor resiko penyakit kardiovaskular atau kebiasaan buruk (merokok,
diabetes melitus, berat badan, makanan, stress, psikososial,makanan asin dan
berlemak).
Pemeriksaan Fisik

a. Pengukuran tekanan darah pada 2-3 kali kunjungan berhubungvariabilitas tekanan


darah. Posisi terlentang, duduk atau berdiridilengan kanan dan kiri.
b. Perabaan denyut nadi diarteri karotis dan femoralis.
c. Adanya pembesaran jantung, irama gallop.
d. Pulsasi aorta abdominalis, tumor ginjal, bising abdominal
e. Denyut nadi diekstremitas, adanya paresis atau paralisis.
Penilaian organ target dan faktor-faktor resiko

a. Funduskopi, untuk mencari adanya retinopati keith wagner i-v.


b. Elektrokardiografi, untuk melihat adanya hipertrofi ventrikel kiri,abnormalitas
atrium kiri, iskemia atau infark miokard.
c. Foto thoraks, untuk melihat adanya pembesaran jantung dengankonfigurasi
hipertensi bendungan atau edema paru.
d. Foto rontgen
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat apakah telah terjadi kardiomegali atau
tidak.

e. EKG
Pemeriksaan EKG berfungsi untuk melihat apakah sudah terjadi hipertrofi ventrikel
kiri

f. Tes urinalisis
Tes urinalisis terdiri dari tes darah dan protein, elektrolit dan kreatinin darah. Tes ini
untuk mengetahui bagaimana keadaan ginjal dari penderita, apakah sudah mengalami
kegagalan fungsi atau belum.

g. Glukosa darah
Tes glukosa darah dilakukan untuk menyingkirkan beberapa penyebab dari penyakit
hipertensi, seperti diabetes mellitus dan intoleransi glukosa.

h. Kolesterol HDL dan kolesterol total serum


Tes ini dilakukan untuk melihat resiko adanya penyakit kardiovaskular lain di masa
yang akan datang.
profil lipid K +dan Na+serum. Kadar kalsium yang tinggi berhubungan dengan
hipertiroidisme.

Diagnosis Banding

1. Penyakit Jantung Hipertensi


Adanya riwayat hipertensi, kesan pembesaran jantung (perkusi), dan pada foto rontgen
terlihat pembesaran ventrikel kiri. Kemudian dengan faktor resiko umur yang rentan
terkena penyakit hipertensi dan penyakit jantung, dan juga tingkat stressor di lingkungan
kerja khususnya.
2. Hipertensi Pulmonal
Gejala yang dominan adalah tidak toleran terhadap kerja ; kadang-kadang ada nyeri dada
prekordial, pusing, sinkop atau nyeri kepala. Kadang disertai tungkai dingin, penderita
tampak abu-abu disertai curah jantung rendah. Pada gambaran foto rontgen terdapat
pembesaran jantung (seperti nenas) bagian kiri dan kanan.
3. Hipertensi Sekunder
Terjadinya tekanan darah tinggi akibat penyakit tertentu. Misalnya : disebabkan oleh
penyakit ginjal (glomerulonefritis akut), penyakit endokrin (hipertiroid), tumor,
karsinoid, kelainan neurologis (ensefalitis, keracunan timah), stres akut dan lain-lain.
4. Koarktasio Aorta
Manifestasi klinis tergantung pada tempat dan luasnya obstruksi dan adanya anomali
jantung yang menyertainya, paling sering katup aorta bikuspidalis. Sebagian besar
keluhan bersifat asimtomatik seperti pusing dan ekstremitas dingin. Keluhan dapat
berupa nyeri kepala yang hebat serta epitaksis yang hilang timbul. Kelainan ini lebih
banyak ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan.
2.7 Tata laksana

• Farmakologi
Golongan obat antihipertensi yang banyak digunakan adalah diuretik tiazid (misalnya
bendroflumetiazid), beta‐bloker, (misalnya propanolol, atenolol,) penghambat
angiotensin converting enzymes (misalnya captopril, enalapril), antagonis angiotensin II
(misalnya candesartan, losartan), calcium channel blocker (misalnya amlodipin,
nifedipin) dan alphablocker (misalnya doksasozin). Yang lebih jarang digunakan adalah
vasodilator dan antihipertensi kerja sentral dan yang jarang dipakai, guanetidin, yang
diindikasikan untuk keadaan krisis hipertensi.

• Diuretik tiazid
Diuretik tiazid adalah diuretic dengan potensi menengah yang menurunkan
tekanan darah dengan cara menghambat reabsorpsi sodium pada daerah awal tubulus
distal ginjal, meningkatkan ekskresi sodium dan volume urin. Tiazid juga
mempunyai efek vasodilatasi langsung pada arteriol, sehingga dapat
mempertahankan efek antihipertensi lebih lama. Tiazid diabsorpsi baik pada
pemberian oral, terdistribusi luas dan dimetabolisme di hati. Efek diuretik tiazid
terjadi dalam waktu 1‐2 jam setelah pemberian dan bertahan sampai 12‐24 jam,
sehingga obat ini cukup diberikan sekali sehari. Efek antihipertensi terjadi pada dosis
rendah dan peningkatan dosis tidak memberikan manfaat pada tekanan darah,
walaupun diuresis meningkat pada dosis tinggi. Efek tiazid pada tubulus ginjal
tergantung pada tingkat ekskresinya, oleh karena itu tiazid kurang bermanfaat untuk
pasien dengan gangguan fungsi ginjal.

Efek samping : Peningkatan eksresi urin oleh diuretik tiazid dapat mengakibatkan
hipokalemia, hiponatriemi, dan hipomagnesiemi. Hiperkalsemia dapat terjadi karena
penurunan ekskresi kalsium. Interferensi dengan ekskresi asam urat dapat
mengakibatkan hiperurisemia, sehingga pewnggunaan tiazid pada pasien gout harus
hati‐hati. Diuretik tiazid juga dapat mengganggu toleransi glukosa (resisten terhadap
insulin) yang mengakibatkan peningkatan resiko diabetes mellitus tipe 2. Efek
samping yang umum lainnya adalah hiperlipidemia, menyebabkan peningkatan LDL
dan trigliserida dan penurunan HDL. 25% pria yang mendapat diuretic tiazid
mengalami impotensi, tetapi efek ini akan hilang jika pemberian tiazid dihentikan.

• Beta-blocker
Beta blocker memblok beta‐adrenoseptor. Reseptor ini diklasifikasikan menjadi
reseptor beta‐1 dan beta‐2. Reseptor beta‐1 terutama terdapat pada jantung
sedangkan reseptor beta‐2 banyak ditemukan di paru‐paru, pembuluh darah perifer,
dan otot lurik. Reseptor beta‐2 juga dapat ditemukan di jantung, sedangkan reseptor
beta‐1 juga dapat dijumpai pada ginjal. Reseptor beta juga dapat ditemukan di otak.

Stimulasi reseptor beta pada otak dan perifer akan memacu penglepasan
neurotransmitter yang meningkatkan aktivitas system saraf simpatis. Stimulasi
reseptor beta‐1 pada nodus sino‐atrial dan miokardiak meningkatkan heart rate dan
kekuatan kontraksi. Stimulasi reseptor beta pada ginjal akan menyebabkan
penglepasan rennin, meningkatkan aktivitas system renninangiotensin‐aldosteron.
Efek akhirnya adalah peningkatan cardiac output, peningkatan tahanan perifer dan
peningkatan sodium yang diperantarai aldosteron dan retensi air. Terapi
menggunakan beta‐blocker akan mengantagonis semua efek tersebut sehingga terjadi
penurunan tekanan darah. Beta‐blocker yang selektif (dikenal juga sebagai
cardioselective beta‐blockers), misalnya bisoprolol, bekerja pada reseptor beta‐1,
tetapi tidak spesifik untuk reseptor beta‐1 saja oleh karena itu penggunaannya pada
pasien dengan riwayat asma dan bronkhospasma harus hatihati. Beta‐blocker yang
non‐selektif (misalnya propanolol) memblok reseptor beta‐1 dan beta2.

Beta‐blocker yang mempunyai aktivitas agonis parsial (dikenal sebagai aktivitas


simpatomimetik intrinsic), misalnya acebutolol, bekerja sebagai stimulan‐beta pada
saat aktivitas adrenergik minimal (misalnya saat tidur) tetapi akan memblok aktivitas
beta pada saat aktivitas adrenergik meningkat (misalnya saat berolah raga). Hal ini
menguntungkan karena mengurangi bradikardi pada siang hari. Beberapa beta‐
blocker, misalnya labetolol, dan carvedilol, juga memblok efek adrenoseptoralfa
perifer. Obat lain, misalnya celiprolol, mempunyai efek agonis beta‐2 atau
vasodilator.
Beta‐blocker diekskresikan lewat hati atau ginjal tergantung sifat kelarutan obat
dalam air atau lipid. Obat‐obat yang diekskresikan melalui hati biasanya harus
diberikan beberapa kali dalam sehari sedangkan yang diekskresikan melalui ginjal
biasanya mempunyai waktu paruh yang lebih lama sehingga dapat diberikan sekali
dalam sehari. Beta‐blocker tidak boleh dihentikan mendadak melainkan harus secara
bertahap, terutama pada pasien dengan angina, karena dapat terjadi fenomena
rebound.

Efek samping : Blokade reseptor beta‐2 pada bronkhi dapat mengakibatkan


bronkhospasme. Efek samping lain adalah bradikardia, gangguan kontraktil miokard,
dan tanga‐kaki terasa dingin karena vasokonstriksi akibat blokade reseptor beta‐2
pada otot polos pembuluh darah perifer. Mimpi buruk kadang dialami, terutama pada
penggunaan beta‐blocker yang larut lipid seperti propanolol. Impotensi juga dapat
terjadi. Beta‐blockers non‐selektif juga menyebabkan peningkatan kadar trigilserida
serum dan penurunan HDL.

• ACE inhibitor
Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEi) menghambat secara kompetitif
pembentukan angiotensin II dari prekursor angiotensin I yang inaktif, yang terdapat
pada darah, pembuluh darah, ginjal, jantung, kelenjar adrenal dan otak. Angitensin II
merupakan vaso‐konstriktor kuat yang memacu penglepasan aldosteron dan aktivitas
simpatis sentral dan perifer. Penghambatan pembentukan angiotensin II ini akan
menurunkan tekanan darah. Jika sistem angiotensin‐renin‐aldosteron teraktivasi
(misalnya pada keadaan penurunan sodium, atau pada terapi diuretik) efek
antihipertensi ACEi akan lebih besar.

Beberapa perbedaan pada parameter farmakokinetik obat ACEi. Captopril cepat


diabsorpsi tetapi mempunyai durasi kerja yang pendek, sehingga bermanfaat untuk
menentukan apakah seorang pasien akan berespon baik pada pemberian ACEi. Dosis
pertama ACEii harus diberikan pada malam hari karena penurunan tekanan darah
mendadak mungkin terjadi; efek ini akan meningkat jika pasien mempunyai kadar
sodium rendah.

• Antagonis Angiotensin II
Reseptor angiotensin II ditemukan pada pembuluh darah dan target lainnya.
Disubklasifikasikan menjadi reseptor AT1 dan AT2. Reseptor AT1 memperantarai
respon farmakologis angiotensin II, seperti vasokonstriksi dan penglepasan
aldosteron. Dan oleh karenanya menjadi target untuk terapi obat. Fungsi reseptor
AT2 masih belum begitu jelas. Banyak jaringan mampu mengkonversi angiotensin I
menjadi angiotensin II tanpa melalui ACE. Oleh karena itu memblok sistem renin‐
angitensin melalui jalur antagonis reseptor AT1 dengan pemberianantagonis reseptor
angiotensin II mungkin bermanfaat. Karena efeknya pada ginjal, ACEi dan AIIRA
dikontraindikasikan pada stenosis arteri ginjal bilateral dan pada stenosis arteri yang
berat yang mensuplai ginjal yang hanya berfungsi satu

Efek samping ACEi dan AIIRA : Sebelum mulai memberikan terapi dengan ACEi
atau AIIRA fungsi ginjal dan kadar elektrolit pasien harus dicek. Monitoring ini
harus terus dilakukan selama terapi karena kedua golongan obat ini dapat
mengganggu fungsi ginjal. Baik ACEi dan AIIRA dapat menyebabkan hiperkalemia
karena menurun‐kan produksi aldosteron, sehingga suplementasi kalium dan
penggunaan diuretik hemat kalium harus dihindari jika pasien mendapat terapiACEI
atau AIIRA. Perbedaan anatar ACEi dan AIIRA adalah batuk kering yang
merupakan efek samping yang dijumpai pada 15% pasien yang mendapat terapi
ACEi. AIIRA tidak menyebabkan batuk karena tidak mendegaradasi bradikinin.

• Calcium channel blocker


Calcium channel blockers (CCB) menurunkan influks ion kalsium ke dalam sel
miokard, sel‐sel dalam sistem konduksi jantung, dan sel‐sel otot polos pembuluh
darah. Efek ini akan menurunkan kontraktilitas jantung, menekan pembentukan dan
propagasi impuls elektrik dalam jantung dan memacu aktivitas vasodilatasi,
interferensi dengan konstriksi otot polos pembuluh darah. Terdapat tiga kelas CCB:
dihidropiridin (misalnya nifedipin dan amlodipin); fenilalkalamin (verapamil) dan
benzotiazipin (diltiazem). Dihidropiridin mempunyai sifat vasodilator perifer yang
merupakan kerja antihipertensinya, sedangkan verapamil dan diltiazem mempunyai
efek kardiak dan dugunakan untuk menurunkan heart rate dan mencegah angina.
Semua CCB dimetabolisme di hati.

Efek Samping : Pemerahan pada wajah, pusing dan pembengkakan pergelangan


kaki sering dijumpai, karena efek vasodilatasi CCB dihidropiridin. Nyeri
abdomendan mual juga sering terjadi. Saluran cerna juga sering terpengaruh oleh
influks ion kalsium, oleh karena itu CCB sering mengakibatkan gangguan gastro‐
intestinal, termasuk konstipasi.

• Alpha-blocker
Alpha‐blocker (penghambat adreno‐septor alfa‐1) memblok adrenoseptor alfa‐1
perifer, mengakibatkan efek vasodilatasi karena merelaksaasi otot polos pembuluh
darah. Diindikasikan untuk hipertensi yang resisten.

Efek samping : Alpha‐blocker dapat menyebabkan hipotensi postural, yang sering


terjadi pada pemberian dosis pertama kali. Alpha‐blocker bermanfaat untuk pasien
laki‐laki lanjut usia karena memperbaiki gejala pembesaran prostat.

• Golongan lain
Antihipertensi vasodilator (misalnya hidralazin, minoksidil) menurunkan tekanan
darah dengan cara merelaksasi otot polos pembuluh darah. Antihipertensi kerj a
sentral (misalnya klonidin, metildopa, monoksidin) bekerja pada adrenoseptor alpha‐
2 atau reseptor lain pada batang otak, menurunkan aliran simpatetik ke jantung,
pembuluh darah dan ginjal, sehingga efek ahirnya menurunkan tekanan darah.

Efek samping : Antihipertensi vasodilator dapat menyebabkan retensi cairan. Tes


fungsi hati harus dipantau selama terapi dengan hidralazin karena ekskresinya
melalui hati. Hidralazin juga diasosiakan dengan sistemiklupus eritematosus.
Minoksidil diasosiasikan dengan hipertrikosis (hirsutism) sehingga kkurang sesuai
untuk pasien wanita.

Obat‐obat kerja sentral tidak spesifik atau tidak cukup selektif untuk menghindari
efek samping sistem saraf pusat seperti sedasi, mulut kering dan mengantuk, yang
sering terjadi. Metildopa mempunyai mekanisme kerja yang mirip dengan konidin
tetapi dapat memnyebabkan efek samping pada sistem imun, termasuk pireksia,
hepatitis dan anemia hemolitik.

Pedoman NICE untuk penanganan hipertensi

Langkah 1 Untuk pasien hipertensi usia > 55 tahun atau pasien berkulit hitam
semua usia, pilihan pertama terapi adalah CCB atau diuretik tiazid. Untuk
pasien < 55 tahun, pilihan pertama terapi adalah ACEi (atau AIIRA jika
tidak tahan terhadap ACEi)

Langkah 2 Jika diperlukan obat tambahan, pilihannya adalah penambahan


ACEi untuk CCB atau diuretik (dan sebaliknya).

Langkah 3 Jika diperlukan kombinasi tiga obat maka kombinasi yang dian-
jurkan adalah ACEi (atau AIIRA), CCB dan diuretik tiazid.

Langkah 4 Jika diperlukan obat keempat maka dosis diuretik tiazid di-
naikkan, atau alternatif lain adalah diuretik lain, beta blocker atau alpha‐
blocker. Semua obat tersebut harus dititrasi dosisnya seperti yang dianjurkan
pada BNF.

Update dari NICE dapat dilihat pada Tabel,Perubahan utama pada pedoman NICE
adalah beta‐blocker tidak lagi direkomendasikan sebagai terapi lini pertama pada
semua pasien. Beta blocker kurang efektif mengurangi kejadian kardiovaskular
mayor, terutama stroke, dibanding antihipertensi lainnya. Beta‐blocker juga kurang
efektif dibanding ACEi atau CCB dihidropiridin untuk mengurangi resiko diabetes,
terutama pada pasien yang mendapat terapi diuretik tiazid. Jika pasien yang
menggunakan beta‐blocker memerlukan antihipertensi lain, maka pilihan yang lebih
dianjurkan diberikan adalah ACEi atau CCB, daripada tiazid.

(SUMBER : https://www.academia.edu/9164940/Farmakologi_Hipertensi )

• Non-Farmakologi

Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk terapi non farmakologi pada pasien
hipertensi adalah menerapkan gaya hidup sehat. Selain dapat menurunkan tekanan darah
pasien modifikasi gaya hidup menjadi lebih sehat dapat mengurangi berlanjutnya tekanan
darah menjadi hipertensi pada pasien dengan tekanan darah prehipertensi. Perubahan
gaya hidup sehat yang dapat dilakukan adalah mengurangi berat badan untuk pasien
dengan obesitas, mengadopsi pola makan DASH (Dietary Approach to Stop
Hypertension) yang kaya akan kalium dan kalsium, diet rendah garam atau natrium,
melakukan aktivitas fisik, dan mengurangi konsumsi alkohol.

Pada beberapa pasien dengan tekanan darah yang terkontrol dan mengkonsumsi
satu obat antihipertensi, diet rendah garam dan pengurangan berat badan dapat
membebaskan pasien dari penggunaan obat. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya,
aktivitas fisik dapat membantu mengurangi tekanan darah. Beberapa olahraga yang
disarankan adalah olah raga aerobic secara teratur paling tidak 30 menit/hari dalam
beberapa hari dalam seminggu. Olahraga lainnya seperti jalan kaki, jogging, bersepeda,
dapat dilakukan untuk menurunkan tekanan darah. Walaupun begitu, pasien baiknya
konsultasi dengan dokter terlebih dahulu untuk mengetahui olahraga mana yang terbaik
untuk dilakukan, terutama untuk pasien dengan kerusakan organ.

2.7.Pencegahan
Mengubah gaya hidup dapat membantu Anda setidaknya mengurangi risiko
negatif yang ditimbulkan oleh hipertensi, seperti:

1. Menghabiskan waktu selama 30 sampai 40 menit untuk berolahraga sebanyak 2-3


kali seminggu
2. Perbanyak jalan kaki daripada mengemudi atau menggunakan kendaraan
3. Hindari konsumsi makanan berminyak, bergaram, dan bergula tinggi
4. Konsumsi makanan yang beraneka ragam dan bergizi seimbang
5. Perbanyak konsumsi buah-buahan dan sayuran segar
6. Mengolah makanan dengan cara merebus atau memanggang. Hentikan kebiasaan
merokok dan konsumsi minuman beralkohol
7. Bebaskan pikiran dari stres dan tekanan pikiran buruk lainnya
8. Istirahat 5-10 menit di tengah rutinitas
9. Minum air 7-8 gelas setiap hari
10. Tidur cukup di malam hari selama 7-8 jam

2.9. Komplikasi Hipertensi


Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik secara langsung maupun
secara tidak langsung. Kerusakan organ target yang umum ditemui pada pasien
hipertensi adalah:

1. Penyakit Ginjal Kronik

Hipertensi yang berkepanjangan akan menyebabkan kerusakan dari pembuluh darah


ginjal, sehingga fungsi ginjal sebagai pembuang zat-zat racun bagi tubuh tidak
berfungsi dengan baik, akibatnya terjadi penumpukan zat yang berbahaya bagi tubuh
yang dapat merusak organ tubuh lain terutama otak.

2. Jantung
a. Hipertrofi ventrikel kiri
b. Angina atau infark miokardium
c. Gagal jantung

Kompensasi jantung terhadap kerja yang keras akibat hipertensi berupa penebalan
otot jantung kiri. Kondisi ini akan memperkecil rongga jantung untuk memompa,
sehingga jantung akan semakin membutuhkan energi yang besar. Kondisi ini disertai
dengan adanya gangguan pembuluh darah jantung sendiri (koroner) akan
menimbulkan kekurangan oksigen dari otot jantung dan menyebabkan nyeri. Apabila
kondisi dibiarkan terus menerus akan menyebabkan kegagalan jantung untuk
memompa dan menimbulkan kematian.

3. Sistem Saraf

Gangguan dari sistem saraf terjadi pada sistem retina (mata bagian dalam) dan sistem
saraf pusat (otak). Didalam retina terdapat pembuluh-pembuluh darah tipis yang akan
melebar saat terjadi hipertensi, dan memungkinkan terjadi pecah pembuluh darah
yang akan menyebabkan gangguan penglihatan.
4. Otak
a. Strok
b. Transient Ischemic Attack (TIA)
5. Penyakit arteri perifer
6. Retinopati (Yogiantoro, 2006).
Beberapa penelitian menemukan bahwa penyebab kerusakan organ-organ tersebut
dapat melalui akibat langsung dari kenaikan tekanan darah pada organ, atau karena
efek tidak langsung, antara lain adanya autoantibodi terhadap reseptor ATI
angiotensin II, stress oksidatif, down regulation dari ekspresi nitric oxide synthase,
dan lain-lain. Penelitian lain juga membukt ikan bahwa diet tinggi garam dan
sensitivitas terhadap garam berperan besar dalam timbulnya kerusakan organ target,
misalnya kerusakan pembuluh darah akibat meningkatnya ekspresi transforming
growth factor-β (TGF-β) (Yogiantoro, 2006).

2.10. Prognosis
Usia, ras, jenis kelamin, kebiasaan mengkonsumsi alkohol, hiperkolesterole-
mia, intoleransi glukosa dan berat badan, semuanya mempengaruhi prognosis
dari penyakit hipertensi esensial pada lansia. Semakin muda seseorang
terdiagnosis hipertensi pertama kali, maka semakin buruk perjalanan
penyakitnya apalagi bila tidak ditangani.
Prevalensi hipertensi pada wanita pre-menopause tampaknya lebih sedikit dari
pada laki-laki dan wanita yang telah menopause. Adanya faktor resiko
independen (seperti hiperkolesterolemia, intoleransi glukosa dan kebiasaan
merokok) yang mempercepat proses aterosklerosis meningkatkan angka
mortalitas hipertensi dengan tidak memperhatikan usia, ras dan jenis kelamin.
Dengan pengobatan yang adekuat, dapat mendekati normal tetapi dapat timbul
di waktu lain karena telah mempunyai riwayat hipertensi sebelumnya

Anda mungkin juga menyukai