LINGKUNGAN INDUSTRI KEUANGAN SYARIAH DAN BENTUK-BENTUK
ORGANISASI PERUSAHAAN SYARIAH Mata Kuliah: Manajemen Keuangan Islam Identitas Reviewer : Nama : Anggun Pribadi Sulistyo NIM : 12020221120003 Program Studi : Ekonomi Islam
I. LINGKUNGAN INDUSTRI KEUANGAN SYARIAH
A. Sejarah Singkat Lembaga Keuangan Syariah 1. Perkembangan Keuangan Islam Awal Islam Konsep (lembaga) keuangan tidak disebut secara eksplisit dalam al-Qur’an. Tetapi konsep keuangan syariah akan merujuk kepada ekonomi, seperti zakat, shadaqah, fai’, ghanimah, bai’, dain, mal dan sebagainya memiliki konotasi fungsi yang dilaksanakan oleh peran tertentu. Pada akhirnya lembaga keuangan syariah akan bertindak seperti individu yang dapat melakukan transaksi ekonomi satu dengan yang lainnya. Ketika Rasulullah hijrah ke Madinah, maka yang pertama kali didirikan Rasulullah adalah masjid (masjid Quba), yang bukan saja merupakan tempat beribadah, tetapi juga sentral kegiatan kaum muslimin. Seiring berjalannya waktu, Rasulullah melakukan pembentukan lembaga penyimpanan yang disebut dengan Baitu Maal. Sebagian berpendapat bahwa Baitul Maal serupa dengan bank sentral seperti yang ada sekarang walaupun lebih sederhana karena berbagai keterbatasan pada waktu itu. Menurut Jurnal Akuntansi dan Pajak dengan judul “Pengelolaan Baitul Maal dalam Meningkatkan Kesejahteraan Negara”, sebenarnya lembaga keuangan syariah atau lembaga keuangan Islam sudah ada sejak zaman dahulu, yaitu sejak zaman Khulafaur Rasyidin, yang saat itu tidak hanya sebagai lembaga keuangan syariah yang lingkupnya sebagai keuangan yang dikelola langsung oleh negara. Baitul Maal semakin mapan bentuknya pada zaman khalifah Umar bin Khattab. Kebijakan Umar diteruskan oleh Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Dengan, fungsi Baitul Maal sebagai instrumen dalam kebijakan fiskal ini tentu hanya dapat terlaksana dengan pribadi-pribadi yang jujur dan amanah tersebut. Yang patut dicatat dalam periode ini adalah bahwa para khalifah rasyidin itu sangat serius dalam memikirkan kesejahteraan rakyat dengan memfungsikan secara maksimal pendapatan dan penerimaan dalam Baitul Maal. Fungsi Baitul Maal sebagai instrumen dalam kebijakan fiskal ini tentu hanya dapat terlaksana dengan pribadi-pribadi yang jujru dan amanah tersebut. Ketika Khalifah Ali bin Abi Thalib wafat dan digantikan oleh Mu’awiyah telah bergeser menjadi dinasti/kerajaan. Meskipun begitu, fungsi Baitul Maal tetap berjalan sebagaiman mestinya. Kecuali bahwa mulai terjadi disfungsi pada pengeluaran disebabkan tingkat ketaatan agama. Dalam masa ini dapat melakukan pendistribusian pendapatan negara sehingga dapat menyejahterakan rakyatnya, sehingga susah dicari orang yang menerima zakat. Runtuhnya Dinasti Usmaniyah di Turki menandakan menangnya kolonialisme di negeri-negeri Islam, baik secara fisik maupun pemikiran. Karena itu meskipun demikian negeri-negeri Islam merdeka dari penjajahan, nama Baitul Maal tidak pernah muncul lagi, padahal fungsinya dalam negara tetap dilaksanakan, seperti kebijakan fiskal dan moneter. Selain itu menurut Jurnal Akuntansi dan Pajak dengan judul “Pengelolaan Baitul Maal dalam Meningkatkan Kesejahteraan Negara”, bahwasanya fungsi dari lembaga keuangan Islam dalam hal ini adalah baitul maal jika dibandingkan dengan fungsi baitul maal saat ini justru lebih luas fungsinya. 2. Perkembangan Keuangan Syariah Modern Kegiatan ekonomi adalah sesuatu yang jarang terlepas kaitannya dengan politik. Oleh sebab itu tidak ada suatu negeri Islam pun yang telah merdeka dari penjajahan yang kemudian kembali menggunakan atribut Islam sebagai metode penyusunan lembaga. Bahkan nama “Baitul Maal” pun sudah tersingkir dari kosa kata pemerintahan. Gerakan lembaga keuangan Islam modern dimulai dengan didirikannya sebuah bank dengan simpanan lokal (local saving bank) yang beroperasi tanpa bunga. Munculnya bank-bank swasta Islam baik tingkat desa maupun internasional diiringi dengan keperluan akan lembaga pendukungnya seperti asuransi. Dorongan untuk mengkaji sistem keuangan Islam secara umum terus meningkat tidak saja pada bisnis empiris, melainkan juga pada tingkat akademis dan kesarjanaan. Jenis pembiayaan yang paling sering dipakai adalah Mudharabah dan Musyarakah. . B. Para Pengembang Teori Keuangan Lembaga bisnis dengan struktur organisasi yang dikenal seperti zaman sekarang ini belum dikembangkan, dikarenakan semua transaksi yang diejlaskan dalam fiqih klasik telah menjelaskan hubungan kontrak bisnis antar individu. Pada masa pemerintahan Abassiyah mulai ada orang yang memiliki keahlian di bidang keuangan, yang disebut dengan jihbiz. Dalam hal ini terdapat perbedaan dan persaman anatara jihbiz dengan perbankan. Terdapat persamaan antara jihbiz dan perbankan yaitu dapat menerima simpanan dana masyarakat, memberikan pembiayaan kepada masyarakat dan melakukan transfer uang. Sedangkan perbedaanya adalah jihbiz telah dikelola secara individu, dan bank dikelola oleh institusi . II. BENTUK-BENTUK ORGANISASI PERUSAHAAN SYARIAH A. Bentuk Organisasi Bisnis dalam Perekonomian Syari’ah 1. Perusahaan Perorangan (Sole Proprietorship) Merupakan format organisasi yang paling sederhana dan termasuk bentuk usaha pelaksanaan bisnis yang tertua. Dalam sistem ekonomi kapitalis, sistem ekonomi Islam mengizinkan perusahaan swasta (private enterprise) tetapi harus sesuai dengan ketentuan dengan hukum yang ada serta dapat diarahkan kepada setiap individu. 2. Persekutuan/Syirkah (Partnership) Merupakan suatu hubungan antara dua orang atau lebih untuk mendistribusikan laba (profit) atau kerugian (losses) dari suatu bisnis. Menurut hukum Islam, semua kerugian dalam usaha bersama akan dipikul oleh pemilik modal, kecuali terdapat bukti yang jelas akibat dari risiko dari kemampuan manusia. Sedangkan laba, akan dibagikan kepada para pihak setelah kerugian telah dihapuskan, dan modal awal yang ada kembali utuh. Selain itu, semua mitra usaha yang terlibat dalam kontrak bisnis, akan wajib memiliki hak dan kewajiban yang jelas dan bisa dikatakan akan terikat. Dalam syirkah ini, akan terjadi pemutusan hubungan kerjasama jika, melakukan tindakan yang menyebabkan kerugian, salah satu mitra meninggal dunia, kontrak telah berakhir dan hubungan kerjasama telah terealisasi. 3. Mudharabah Menurut Obaidullah, M (2007), mudhrabah merupakan kontrak antara setidaknya dua pihak di mana satu pihak, yang disebut investor (rabb al-mal) akan memberikan dana kepada pihak lain yang disebut agen-manajer (mudarib) yang akan menginvestasikan dana dalam usaha dan mengelolanya dengan cara yang disepakati. Muhamad berpendapat bahwa kerugian dalam transaksi bisnis ini akan ditanggung seluruhnya oleh pemilik modal, dan tidak dapat ditangguhkan kepada pihak pengelola. Di dalam mudharabah terdapat konsep mudharabah ganda (double mudharabah), merupakan seseorang yang memperoleh keuntungan dari mudharabah, dan keuntungan itu ia akan berikan kepada pihak ketiga untuk menjalankan bisnis lainnya. Dengan pengalokasian kerugian yang terjadi akan ditanggung oleh pihak yang mengeluarkan modal sendiri sesuai dengan aturan syari’ah yang berlaku. Selain itu, konsep kewajiban (liability) di dalam bisnis mudharabah banyak memiliki kemiripan dengan partnership. B. Implementasi Syirkah dalam Perusahaan Bisnis Konsep kemitraan dalam bentuk musyarakah atau mudharahah telah dikenal sejak awal Islam, namun pembahasan dengan perusahaan masih kurang. Pada prinsipnya, kegiatan perusahaan dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis usaha yaitu, jenis usaha perdagangan atau distribusi, jenis usaha produksi/industri dan jenis usaha komersial. Jenis usaha tersebut dapat ditentukan untuk menjalankan bisnis yang sedang berjalan agar sesuai. C. Jenis Akad dan Implementasi dalam Organisasi Bisnis 1. Usaha Perorangan Menurut Obaidullah, M (2007), akan memadukan aset pribadi dan bisnis individu ke dalam usaha bisnis. Selain itu Muhamad berpendapat perusahaan perorangan bukan suatu badan hukum, dan modalnya tidak terbagi atas saham, tetapi terikat pada utang piutang usaha perorangan. 2. Usaha Pola Kemitraan Menurut Obaidullah, M (2007), merupakan perjanjian pemilik tunggal untuk menyatukan aset dan bakat mereka dalam bisnis. Bentuk perusahaan ini dapat berupa firma (Fa) dan persekutuan komanditer (CV). Menurut Muhamad, kemitraan modern memiliki kemiripan dengan usaha-usaha yang dijalankan pada masa klasik yaitu dengan pola mudharabah dan musyarakah. Seringkali kedua pola tersebut dapat digabungkan, tangkapannya di sini adalah: rasio bagi hasil untuk pemodal murni (yang tidak berpartisipasi dalam manajemen dan operasi bisnis) dibatasi atau tidak dapat melebihi rasio kontribusinya terhadap modal usaha. Dalam musyarakah yang menurun, bagian salah satu mitra dalam ekuitas berkurang setiap tahun melalui pengembalian sebagian modal. 3. Perseroan Menurut Muhamad (2015), perseroan terbatas adalah badan hukum (perusahaan) yang terpisah dari pemiliknya yang disebut pemegang saham. Dalam perusahaan kecil, biasanya antara pemilik, anggota dewan direksi, dan manajer (termasuk pekerja) mungkin orang yang sama atau satu keluarga. Dan hal tersebut berbeda dalam usaha yang berskala lebih skala. Pada perusahaan perseroan memang terdapat pemisahan antara pemilik dana (saham) dengan manajemen, tetapi tidak tertutup kemungkinan para pemgang saham ikut terlibat. Berdasarkan tuntunan syari’ah, konsekuensi akad mudharabah atas pembagian pendapatan (revenue sharing) ataupun pembagian laba bersih (profit sharing) adalah melibatkan antara manajemen (dewan redaksi) sebagai mudharib dengan para pemegang saham sebagai shahibul mal. 4. Perbandingan Mudharabah, Musyarakah dan Perseroan Mudharabah dan musyarakah adalah bentuk kemitraan yang melibatkan pembagian keuntungan dan risiko. Menurut Obaidullah, M (2007), ciri mudharabah dan musyarakah klasik adalah bahwa salah satu pihak dalam perjanjian memiliki opsi untuk mengakhiri perjanjian atau menarik diri dari usaha kapan saja mereka anggap cocok. Likuiditas investasi dengan demikian dipastikan untuk para mitra. Perseroan mempertahankan banyak fitur dari bentuk kemitraan di atas. Ini mirip dengan musyarakah karena melibatkan percampuran dana dari berbagai penyedia modal dengan penugasan tanggung jawab manajerial dengan cara yang disepakati bersama. Namun, ini juga berbeda dari musyarakah klasik dalam beberapa hal penting. 5. Pemisahan Kepemilikan dan Agency Problem Dalam beberapa bentuk organisasi yang disoroti di atas terdapat pemisahan kepemilikan dari manajemen. Manajer bertindak sebagai agen pemilik principal. Di antara mudharabah, musyarakah, dan korporasi modern, yang pertama dikritik karena melibatkan masalah keagenan yang parah. Masalah keagenan akan berkurang dalam musyarakah dimana modal mitra (musharik) juga akan dipertaruhkan. Selanjutnya, kemitraan ekuitas akan meminimalkan masalah asimetri informasi karena semua mitra akan memiliki hak untuk berpartisipasi dalam pengelolaan proyek di mana mereka berinvestasi.
Pendekatan sederhana untuk investasi ekuitas: Panduan pengantar investasi ekuitas untuk memahami apa itu investasi ekuitas, bagaimana cara kerjanya, dan apa strategi utamanya
Ekonomi makro menjadi sederhana, berinvestasi dengan menafsirkan pasar keuangan: Cara membaca dan memahami pasar keuangan agar dapat berinvestasi secara sadar berkat data yang disediakan oleh ekonomi makro