Anda di halaman 1dari 29

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

LEMBAR PERMOHONAN ii

LEMBAR PENGESAHAN iii

KATA PENGANTAR iv

DAFTAR ISI vi

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Maksud dan Tujuan 1

1.3 Batasan Masalah 2

1.4 Waktu dan Tempat Penelitian 2

BAB II TINJAUN PUSTAKA

2.1 Geologi Regional 3

2.1.1 Fisiografi 5

2.1.2 Stratigrafi Regional 6

2.1.3 Banggai Basin 9

2.1.3 Struktur Geologi 11

2.2 Lereng 13

2.3 Penyebab Terjadinya Longsor 15

2.4 Konsep Kestabian Lereng 16

2.5 Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Kestabilan Lereng 18

2.6 Slope Mass Rating (RMR) 19

BAB III METODE PENELITIAN

i
3.1 Metode Penelitian 21

BAB IV PERENCANAAN WAKTU

4.1 Perencanaan Waktu 25

BAB V PENUTUP 26

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kegiatan penambangan sangat erat hubungannya dengan proses penggalian

pengangkutan dan ekstraksi bahan galian dengan berbagai permasalahan yang

dihadapi, salah satunya adalah masalah kemantapan lereng. Penambangan

memerlukan desain lereng dengan berbagai cara. Kajian desain lereng yang stabil

dibutuhkan dalam kegiatan eksplotasi tambang.

Kestabilan suatu lereng pada aktivitas penambangan ditentukan oleh kondisi

geologi wilayah setempat, bentuk keseluruhan lereng di lokasi tersebut, kondisi air

tanah setempat, faktor luar seperti getaran akibat dari peledakan ataupun alat

mekanis yang beroperasi dan juga berasal dari teknik yang digunakan pada

pembuatan lereng. Apabila kestabilan dari suatu lereng dalam operasi

penambangan meragukan, maka analisa terhadap kestabilannya harus dinilai dari

struktur geologi, kondisi air tanah dan faktor pengontrol lainnya yang terdapat pada

suatu lereng.

Oleh karena itu diperlukan penelitian mengenai kestabilan lereng yang aman

selama proses penambangan. Salah satu parameter pengukuran kestabilan lereng

diantaranya adalah dengan menggunakan metode Slope Mass Rating (SMR).

1
1.2 Maksud dan Tujuan

Adapun maksud dilakukannya kuliah praktek ini yaitu untuk mendapatkan

pengalaman kerja pada PT. Rajawali Nusantara Pratama yang berhubungan dengan

bidang ilmu geologi Teknik.

Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu:

1. Menentukan nilai kestabilan lereng

2. Mencari solusi yang tepat untuk mengatasi bahaya kelongsoran yang akan

timbul jika kondisi lereng tidak stabil.

1.3 Batasan Masalah

Batasan masalah yang diteliti pada penelitian kali ini lebih difokuskan pada

Analisis Kemiringan Lereng Pada PT. Rajawali Nusantara Pratama, dengan

menggunakan metode Slope Mass Rating (RMR).

1.4 Waktu dan Tempat Penelitian

Waktu kegiatan magang pada bulan Maret 2023 – Mei 2023 atau diserahkan

dan disesuaikan dengan kebijakan perusahaan, dilakukan di PT. Rajawali

Nusantara Pratama Yang berlokasi secara administratif terletak di daerah Ganda-

Ganda Kecamatan Petasia, Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah.

2
BAB II
TINJAUN PUSTAKA

2.1 Geologi Regional

Sulawesi dan pulau-pulau di sekitarnya dibagi menjadi tiga mendala

(propinsi) geologi, yang secara orogen bagian timur berumur lebih tua sedangkan

bagian barat lebih muda. Mendala-mendala tersebut adalah mendala Sulawesi

Barat, mendala Sulawesi Timur dan mendala Banggai-Sula (Gambar 2.1).

Pembagian tersebut didasarkan pada stratigrafi, struktur dan sejarah masing-masing

mendala. Kepulauan Banggai dan Kepulauan Sula merupakan satu mendala geologi

tersendiri, daerah Sulawesi Tenggara termasuk lengan timur Sulawesi termasuk

mendala Sulawesi Timur sedangkan mendala Sulawesi Barat yang meliputi daerah

Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah bagian barat dan Sulawesi Utara.

Mendala Sulawesi Barat merupakan suatu palung Kapur hingga Paleogen

yang telah berkembang menjadi suatu jalur tengah gunung api di dalam zaman yang

lebih muda.

Mendala Sulawesi Timur tercirikan oleh gabungan ofiolit dan batuan

metamorfis, bagian barat mendala ini terutama terdiri dari sekis. Endapan-endapan

laut dalam yang luas dengan sisipan rijang terdapat di mendala ini.

Mendala Banggai-Sula mempunyai urutan sedimen yang menonjol, yang

diendapkan selama Jura dan Kapur. Urutan ini menindih batuan sedimen yang

diendapkan tak selaras di atas batuan gunungapi dan kompleks alas batuan

metamorf dan batuan bersifat granit.

3
Gambar 2.1 Peta Sulawesi dan mendala geologinya (Sukamto, 1975)

Gambar 2.1 Peta Geologi Regional Lembar Luwuk (Rusmana, dkk, 1993)

4
2.1.1 FISIOGRAFI

Morfologi daerah Luwuk dapat dibagi menjadi tiga satuan yaitu pegunungan

dan kras, perbukitan dan dataran rendah (Gambar 2.3).

a. Pegunungan dan Kras

Pegunungan menempati bagian tengah daerah pemetaan dengan puncak

tertingginya mencapai 2,255 m di atas muka laut. Morfologi pegunungan dicirikan

oleh tonjolan yang kasar dan berlereng terjal. Kras berupa dolina, gua dan sungai

bawah tanah, dengan batuan yang membentuk morfologi pegunungan ini adalah

batuan ultramafik, batuan mafik, dan batu gamping pada daerah kras. Lembah

sungai yang mengalir di daerah ini berbentuk V, dan banyak dijumpai air terjun.

Gambar 2.3 Fisiografi daerah Luwuk (Rusmana, 1993)

b. Perbukitan

Satuan perbukitan menempati daerah di antara pegunungan dan dataran,

ketinggiannya berkisar antara 50 sampai 700 m di atas muka laut. Satuan morfologi

5
ini berlereng landai sampai agak curam dengan batuan yang membentuk morfologi

ini ialah batu gamping, batuan ultramafik dan mafik, batuan gunungapi dan sedimen

klastika. Pola aliran sungai di daerah ini dapat digolongkan sejajar atau hampir

sejajar.

c. Dataran Rendah

Dataran rendah menempati daerah pantai, terutama di bagian utara daerah

pemetaan ketinggiannya berkisar antara 0 dan 50 m di atas muka laut. Dataran

terdapat di daerah Ampana, Balingara, Bunda, Siuna dan Binsil; kesemuanya

terdapat di pantai utara. Sungai yang mengalir di daerah ini umumnya berkelok dan

berlembah lebar dan satuan morfologi ini dibentuk oleh endapan sungai dan pantai.

2.1.2 Stratigrafi Regional

a. Tataan Stratigrafi

Lembar Luwuk secara regional masuk ke dalam Mendala Sulawesi Timur,

BanggaiSula, dan Sulawesi Barat (Gambar 2.4).

6
Gambar 2.4 Kolom Stratigrafi daerah penelitian (Rusmana, 1993)

Seperti terlihat pada Gambar 2.4 ruang lingkup penelitian terdapat pada

mendala Banggai-Sula. Sehingga batuan-batuan penyusunnya adalah :

• Mesozoikum

Formasi Meluhu (TRJm) Merupakan formasi berumur Trias yang disusun

oleh batuan metamorf, dengan ketebalan formasi mencapai 750 meter. Formasi ini

bersentuhan tektonik dengan kompleks ultramafik.

7
Formasi Nambo (Jnm) Merupakan formasi berumur Jura tengah hingga Jura

akhir yang tersusun dari batuan napal dan serpih. Ketebalan formasi ini mencapai

300 meter.

Formasi Nanaka (Jn) Merupakan formasi yang berumur Jura akhir, tersusun

dari batu pasir kuarsa dengan perselingan batu pasir lempungan. Ketebalan formasi

mencapai 800 meter. Formasi ini tertindih tak selaras oleh formasi Salodik (Tems).

• Tersier

Formasi Salodik (Tems) Merupakan batu gamping yang kaya akan fosil,

dengan umur diperkirakan Eosen hingga Miosen Akhir. Ketebalan formasi ini bisa

mencapai 1500 meter.

Formasi Kintom (Tmpk) Formasi ini tersusun dari konglomerat, batu pasir

dan napal di bagian bawahnya. Formasi yang berumur Miosen akhir hingga Pliosen

ini mempunyai ketebalan hingga 1200 meter. Formasi ini tertindih tak selaras oleh

formasi Terumbu koral Kuarter.

• Kuarter

Terumbu Koral Kuarter (Ql) Merupakan formasi yang tersusun oleh batu

gamping, dan diduga masih terbentuk sampai sekarang. Ketebalan formasi ini

mencapai 400 meter.

Aluvium (Qa) Tersusun dari hasil endapan sungai dan pantai. Terdiri dari

pasir, kerikil, lumpur dan sisa tumbuhan.

8
Gambar 2.5 Peta geologi daerah penelitian (Rusmana, 1993)

2.1.3 Banggai Basin

Banggai basin adalah basin yang mencakup area onshore dan offshore daerah

Sulawesi bagian Timur, termasuk di dalamnya adalah platform Banggai-Sula (Pane,

1996) (Gambar 2.6). Secara lebih spesifik Formasi Salodik (Tems) dibagi

lagimenjadi menjadi tiga platform atau bagian yaitu Minahaki (Upper Plaform

Limestone Unit), Matindok (Middle Platform Limestone Unit) dan Tomori (Lower

Platform Limestone Unit).

Gambar 2.6 Peta Banggai Basin (Pane, 1996)

9
Gambar 2.7 Pembagian Formasi Salodik (Pane, 1996)

Tomori (Lower Platform Limestone Unit) terdiri dari batu gamping bioklastik

dengan lingkungan pengendapan laut dangkal. Matindok (Middle Platform

Limestone Unit) didominasi oleh batu lempung dengan sedikit batu pasir.

Sedangkan Minahaki (Upper Platform Limestone Unit) tersusun atas batu gamping

dengan porositas yang bagus (Gambar 2.7).

Analisa mengenai petroleum sistem di Banggai Basin sudah dilakukan dengan

melakukan kegiatan eksplorasi (Gambar 2.8).

Gambar 2.8 Peta lokasi eksplorasi di Banggai Basin (Pane,1996)

Pada periode 1983-1993 telah dilakukan 11 sumur pemboran di Banggai

Basin yang menghasilkan 7 sumur pemboran yang dites menghasilkan oil atau

10
hidrokarbon ke permukaan. Sumur-sumur yang menunjukkan oil shows adalah :

Matindok-1, Minahaki-1, Mantawa-1, Tiaka-1, Tiaka-2, Tiaka-4 dan Dongkala-1.

Sedangkan Boba-1, Tiaka-3, Kalomba-1 dan Dongkala-1 tidak menghasilkan oil

shows atau diklasifikasikan sebagai dry wells (Pane,1996).

• Reservoirs, Batuan reservoir muncul pada Banggai Basin khususnya pada

batuan sedimen karbonat dan pasir kuarsa berumur Miosen (Pane, 1996).

Tomori (Lower Platform Limestone Unit) muncul sebagai reservoir pada

Tiaka Field. Sedangkan pada sumur Minahaki-1, Matindok-1 dan Mantawa-

1 batuan reservoir-nya berada pada Minahaki (Upper Platform Limestone

Unit).

• Seal, Seal atau batuan tudung pada Banggai Basin ditunjukkan oleh Formasi

Kintom dan Matindok (Middle Platform Limestone unit). Keduanya berupa

lapisan napal pada bagian bawah formasi.

2.1.4 Struktur Regional

a. Struktur, Daerah Luwuk terdapat di pulau Sulawesi tepatnya di bagian

Tengah, terdapat di daerah subduksi, dan berasosiasi dengan batuan mafik dan

ultramafik. Struktur geologi di daerah ini dicerminkan oleh sesar, lipatan dan

kekar.

b. Sesar, Sesar yang dijumpai berupa sesar naik, sesar bongkah dan sesar geser

jurus. Sesar naik diwakili oleh Sesar Poh, Sesar Batui dan Sesar Lobu.

Kesemuanya diduga mempunyai arah gaya dari tenggara. Gaya tersebut

menyebabkan terbentuknya sesar naik dan struktur pergentengan di bagian

tengah serta sesar geser jurus mengiri di bagian timurnya. Sesar bongkah yang

11
utama adalah Sesar Salodik, berarah barattimur, melibatkan batuan sedimen

Tersier.

c. Lipatan, Struktur lipatan yang ditemukan di daerah ini digolongkan menjadi

jenis lipatan lemah terbuka yaitu lipatan dengan kemiringan lapisan

maksimum 30o dan lipatan kuat tertutup dengan kemiringan lapisan lebih dari

30o . Struktur lipatan di daerah ini membentuk antiklin dan sinklin dengan

sumbu berarah timurlaut-baratdaya.

d. Tektonik, Hipotesis perkembangan tektonik oleh Audley-Charles (1972)

menggambarkan bahwa mendala Sulawesi Barat, mendala Sulawesi Timur

dan mendala Banggai-Sula dahulunya terpisahkan satu sama lain, karena

suatu perkembangan tektonik bagianbangian tersebut menjadi satu kesatuan

seperti sekarang ini. Mendala Sulawesi Timur digambarkan bahwa pada

zaman Mesozoikum merupakan pinggiran utara benua Australia, pernyataan

ini didasarkan oleh kesamaan fasies, struktur dan anomali gaya berat.

Sedangkan batuan sedimen berumur Jura sampai Kapur di mendala Banggai-

Sula bergeser ke arah barat sepanjang jalur sesar sorong yang disebabkan

perpecahan besar daratan Gondwana yang disusul dengan perputaran

(Gambar 2.9).

12
Gambar 2.9 Perkembangan tektonik (Audley-Charles, 1972)

2.2 Lereng

Lereng adalah suatu bidang di permukaan tanah yang menghubungkan

permukaan tanah yang lebih tinggi dengan permukaan tanah yang lebih rendah.

Lereng dapat terbentuk secara alami dan dapat juga dibuat oleh manusia.

Ada dua jenis lereng yaitu :

1. Lereng alam, yaitu lereng yang terbentuk karena proses-proses alam,

misalnya lereng suatu bukit. Lereng alam adalah lereng yang terbentuk oleh

fenomena alam yang timbul dari proses geologi. Dalam perencanaan rekayasa

jalan, lereng alami sering dijumpai pada daerah pegunungan, posisi badan

jalan berada pada elevasi dibandingkan dengan tanah asli (existing ground)

13
pada lereng bukit., atau elevasi badan jalan berada pada lereng bukit yang

sebagian digali/dipotong untuk posisi badan jalan. lereng alam adalah apabila

tidak ada perlakuan dan atau penanganan terhadap lereng tersebut, baik

berupa perubahan kemiringan atau penambahan dengan suatu konstruksi

tertentu, sehingga stabilitas lereng alami sebenarnya didasarkan pada

stabilitas internal yang dibentuk oleh sifat-sifat, karakteristik dan struktur

tanah serta bentuk alaminya.

2. Lereng Buatan (man made slope), yaitu lereng yang terjadi akibat

terbentuknya daerah galian dan atau daerah timbunan pada proses

perencanaan geometrik jalan. Lereng buatan dapat berbentuk lereng buatan

dengan penanganan konstruksi, baik struktur maupun non struktur, atau

lereng buatan tanpa penanganan konstruksi yaitu lereng yang hanya

mengandalkan kemiringan dan tinggi kritis berdasarkan karakteristik tanah

pembentuk lereng tersebut untuk pembuatan jalan atau saluran air untuk

keperluan irigasi.

Disetiap macam lereng, kemungkinan terjadi longsor selalu ada. Longsor

terjadi akibat gaya dorong (driving force) melampaui gaya berlawanan yang berasal

dari kekuatan geser tanah sepanjang bidang longsor (Das,1985). Secara teknik

dapat dikatakan bahwa longsor terjadi apabila faktor keamaan tidak memenuhi

(Fk<1,5).

Pada tempat dimana terdapat dua permukaan tanah yang berbeda

ketinggiannya, maka akan ada gaya-gaya yang bekerja mendorong sehingga tanah

yang lebih tinggi kedudukannya cenderung bergerak kearah bawah.

14
Disamping gaya yang mendorong ke bawah terdapat pula gaya-gaya dalam

tanah yang bekerja menahan/melawan sehingga kedudukan tanah tersebut tetap

stabil. Gaya-gaya pendorong berupa gaya berat, gaya tiris/muatan dan gaya-gaya

inilah yang menyebabkan kelongsoran. Gaya-gaya penahan berupa gaya

gesekan/geseran, lekatan (dari kohesi), kekuatan geser tanah. Jika gaya-gaya

pendorong lebih besar dari gaya-gaya penahan, maka tanah akan mulai runtuh dan

akhirnya terjadi keruntuhan tanah sepanjang bidang yang menerus dan massa tanah

diatas bidang yang menerus ini akan longsor. Peristiwa ini disebut sebagai

keruntuhan lereng dan bidang yang menerus ini disebut bidang gelincir.

2.3 Penyebab Terjadinya Longsor

Banyak faktor yang mempengaruhi stabilitas lereng seperti geologi dan

hidrologi, topografi, iklim perubahan cuaca. Namun selain itu, kelongsoran juga

terjadi akibat (Hardiyatmo, 2010) :

1. Penambahan beban pada lereng. Tambahan beban pada lereng berupa

bangunan baru, tambahan beban pada lereng oleh air yang masuk kedalam

pori-pori tanah maupun yang menggenang dipermukaan lereng.

2. Penggalian atau pemotongan tanah pada kaki lereng

3. Perubahan posisi muka air secara cepat (rapid drawdown) pada bendungan,

sungai, dan lain-lain.

4. Getaran atau gempa bumi

5. Jenis tanah

6. Kondisi geometrik lereng

15
2.4 Konsep Kestabilan Lereng

Gerakan tanah merupakan suatu gerakan menuruni lereng oleh massa tanah

dan atau bantuan penyusun lereng akibat terganggunya kestabilan tanah atau

bantuan penyusun lereng tersebut. Definisi diatas menunjukkan bahwa massa yang

bergerak dapat berupa massa tanah, massa batuan atau pencampuran antara massa

tanah dan batuan penyusun lereng. Apabila massa yang bergerak ini didominasi

oleh massa tanah dan gerakannya melalui suatu bidang pada lereng, baik berupa

bidang miring ataupun lengkung, maka proses pergerakan tersebut disebut sebagai

longsoran tanah. Analisis stabilitas tanah pada permukaan tanah ini disebut dengan

analisis stabilitas lereng.

Analisis stabilitas lereng meliputi konsep kemantapan lereng yaitu penerapan

pengetahuan mengenai kekuatan geser tanah. Keruntuhan geser pada tanah dapat

terjadi akibat gerak relatif antar butirnya. Karena itu kekuatannya tergantung pada

gaya yang bekerja antar butirnya, sehingga dapat disimpulkan bahwa kekuatan

geser terdiri atas :

1. Bagian yang bersifat kohesif, tergantung pada macam tanah dan ikatan

butirnya.

2. Bagian yang bersifat gesekan, yang sebanding dengan tegangan efektif yang

bekerja pada bidang geser. (Das, 1994)

Analisis kestabilan lereng pada umumnya berdasarkan pada konsep

keseimbangan plastis batas (limit plastic equillibrium) (Hardiyatmo, 2010) :

1. Kelongsoran lereng terjadi disepanjang permukaan bidang longsor tertentu

dan dapat dianggap sebagai masalah bidang 2 dimensi.

16
2. Massa tanah yang longsor dianggap berupa benda yang pasif.

3. Tahanan geser dari massa tanah yang setiap titik sepanjang bidang longsor

tidak tergantung dari orientasi permukaan longsoran, atau dengan kata lain

kuat geser tanah dianggap isotropis

4. Faktor aman didefinisikan dengan memperhatikan tegangan geser rata–rata

sepanjang bidang longsor yang potensial dan kuat geser tanah rata–rata

sepanjang permukaan longsoran. Jadi, kuat geser tanah mungkin terlampaui

di titik–titik tertentu pada bidang longsornya, padahal faktor aman hasil

hitungan lebih besar 1,5.

Analisis Kestabilan Lereng ditujukan untuk mendapatkan angka faktor

keamanan dari suatu bentuk lereng tertentu. Dengan diketahuinya faktor keamanan

memudahkan pekerjaan pembentukan atau perkuatan lereng untuk memastikan

apakah lereng yang telah dibentuk mempunyai risiko longsor atau cukup stabil.

Bertambahnya tingkat kepastian untuk memprediksi ancaman longsor dapat

bermanfaat untuk hal-hal sebagai berikut :

1. Untuk memahami perkembangan dan bentuk dari lereng alam dan proses yang

menyebabkan terjadinya bentuk–bentuk alam yang berbeda.

2. Untuk menilai kestabilan lereng dalam jangka pendek (biasanya selama

kontruksi) dan jika kondisi jangka panjang.

3. Untuk menilai kemungkinan terjadinya kelongsoran yang melibatkan lereng

alam atau lereng buatan.

4. Untuk menganalisis kelongsoran dan untuk memahami kesalahan mekanisme

dan pengaruh dari faktor lingkungan.

17
5. Untuk dapat mendisain ulang lereng yang gagal serta perencanaan dan disain

pencegahannya, serta pengukuran ulang.

6. Untuk mempelajari efek atau pengaruh dari beban gempa pada lereng dan

tanggul.

2.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kestabilan Lereng

Keruntuhan pada lereng alami atau buatan disebabkan karena adanya

perubahan antara lain topografi, seismik, aliran air tanah, kehilangan kekuatan,

perubahan tegangan, dan musim/iklim/cuaca.

Akibat adanya gaya-gaya luar yang bekerja pada material pembentuk lereng

menyebabkan material pembentuk lereng mempunyai kecenderungan untuk

menggelincir. Kecenderungan menggelincir ini ditahan oleh kekuatan geser

material sendiri. Meskipun suatu lereng telah stabil dalam jangka waktu yang lama,

lereng tersebut dapat menjadi tidak stabil karena beberapa faktor seperti :

1. Jenis dan keadaan lapisan tanah / batuan pembentuk lereng

2. Bentuk geometris penampang lereng (misalnya tinggi dan kemiringan lereng)

3. Penambahan kadar air pada tanah (misalnya terdapat rembesan air atau

infiltrasi hujan)

4. Berat dan distribusi beban

5. Getaran atau gempa

Faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan lereng dapat menghasilkan

tegangan geser pada seluruh massa tanah, dan suatu gerakan akan terjadi kecuali

tahanan geser pada setiap permukaan runtuh yang mungkin terjadi lebih besar dari

tegangan geser yang bekerja. (Bowles, 1991)

18
2.6 Slope Mass Rating

Romana (1985) telah memodifikasi sistem klasifikasi RMR untuk

menentukan kestabilan dengan menambahkan factor penyesuaian arah orientasi

lereng dan metode penggalian lereng. Parameter yang dibutuhkan untuk klasifikasi

SMR adalah sebagai berikut:

1. Arah kemiringan (dip direction) dari permukaan lereng

2. Arah kemiringan (dip direction) diskontinuitas (αj)

3. Sudut kemiringan (dip) diskontinuitas (βj) dan sudut kemiringan (dip) lereng

(βs).

Pada klasifikasi massa batuan lereng (SMR) ini ada penambahan satu faktor

penyesuaian, F4 yaitu faktor koreksi terhadap metode penggalian sehingga faktor

penyesuaian keseluruhan menjadi empat (F1, F2, F3, dan F4). Slope Mass Rating

(SMR) diperoleh dengan menjumlahkan faktor penyesuaian yang bergantung pada

orientasi bidang diskontinuitas dan metode penggalian.

Usulan Slope Mass Rating didapat dari RMR dengan mengurangkan faktor

penyesuaian yang bergantung pada kekar – hubungan lereng dan menambahkan

suatu faktor bergantung pada metode penggalian. Dan didefinisikan sebagai

berikut:

SMR=RMRBasic–(F1xF2xF3)+F4 .........(2.5) Keterangan :

F1 = Tergantung pada kesejajaran antara kekar dan jurus lereng

F2 = Merujuk pada kemiringan kekar pada model keruntuhan bidang

F3 = Menunjukkan hubungan antara muka lereng dengan kemiringan kekar

F4 = Berhubungan dengan metode penggalian lereng

19
Tabel 2.1 Nilai Pembobotan Untuk Kekar

Tabel 2.2 Pembobotan Metode Penggalian SMR

Tabel 2.3 Deskripsi Setiap Kelas SMR

20
METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Keberhasilan dari suatu penelitian ditentukan oleh persiapan yang matang.

Dimana keberhasilan pengambilan data di lapangan, pengolahan dan analisis data

sangat tergantung dari kesiapan metode dan tahapan yang digunakan. Metode

penelitian pada penelitian kali ini terdiri dari beberapa tahap, antara lain:

3.1.1 Studi Literatur dan Persiapan

Tahap ini terdiri dari studi literatur dan persiapan. Tahapan ini terdiri dari

beberapa bagian, yaitu: Studi pustaka mengenai literatur dan metode yang

digunakan dalam melakukan pengolahan dan analisis data. Data Literatur, Jurnal,

Makalah dan Laporan penelitian terdahulu yang akan dijadikan referensi dalam

pembuatan laporan, persiapan administrasi dan persiapan perlengkapan lapangan.

3.1.2 Pengambilan Data

Adapun kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah pengambilan data

primer dan sekunder.

1. Data Primer, Data primer yang diambil adalah berupa :

a. Data Kekar. Pengukuran kekar ,yaitu dengan mengukur dip direction,

strike dan dip dari setiap bidang diskontinu sepanjang garis scanline. Juga

mengukur jarak atau spasi kekar, panjang kekar, juga kondisi kekar seperti

material pengisi kekar dan tingkat pelapukan. Pengukuran ini bisa

21
dilakukan secara langsung maupun tidak langsung dengan menggunakan

data coring.

b. Data Lereng. Pengukuran yang dilakukan yaitu sesuai dengan parameter

yang dibutuhkan untuk klasifikasi SMR yaitu mengukur arah kemiringan

dari permukaan lereng, arah kemiringan diskontinuitas, sudut kemiringan

diskontinuitas dan sudut kemiringan lereng.

c. Sampel Batuan. Sampel berfungsi sebagai objek penelitian untuk

mendapatkan data kuat tekan sifat fisik batuan yang mewakili dari

keseluruhan populasi batuan yang ada disuatu daerah penelitian. Sampel

yang diambil berjumlah 4 buah dari titik agar mewakili keseluruhan

keadaan lereng. Sampel tersebut masih berupa bongkahan batuan dengan

ukuran yang tidak beraturan.

2. Data Sekunder, merupakan data pendukung dari data primer ataupun data

yang telah tersedia yang dapat digunakan sebagai acuan untuk menguatkan

data primer yang didapatkan, dalam hal ini seperti Peta Lembar Geologi dan

Digital Elevasi Model (DEM).

3.1.3 Analisis Data

Analisis dilakukan dengan mengolah data yang didapatkan di lapangan.

Berikut tahapan dalam pengolahan data yang didapatkan :

a. Menentukan nilai kuat tekan batuan atau Unconfined Comperessive Strength

(UCS)

22
b. Menentukan nilai klasifisikasi massa batuan atau Rock Quality

Designation(RQD)

c. Menentukan nilai spasi kekar, kondisi kekar dan kondisi air tanah.

d. Menentukan nilai RMR atau Rock Mass Rating dari hasil penjumlahan nilai

poin a sampai c dengan menggunakan klasifikasi RMR dan pembobotan nilai.

e. Menentukan nilai Slope Mass Rating (SMR) yang diperolah dengan

menjumlahkan nilai RMR dan parameter klasisikasi SMR.

Setelah didapatkan nilai SMR maka dapat dilihat kelas, deskripsi, kestabilan,

longsoran, dan stabilitas daerah penelitian. Sehingga hasil dari nilai-nilai tersebut

dapat memungkinkan kita untuk menemukan solusi resiko longsoran yang akan

terjadi jika lereng pada daerah penelitian tidak stabil.

3.1.4 Penyusunan Laporan

Laporan dibuat berdasarkan dari hasil analisis yang didapatkan. Hasil analisis

memberikan kesimpulan berupa kondisi lereng tambang apakah stabil atau tidak

stabil, jika lereng tambang tidak stabil maka diperlukan suatu upaya untuk

menstabilkan lereng dengan mengubah sudut lereng atau melakukan pemompaan

airtanah yang masih terperangkap dalam pori batuan tempat lereng tersebut berada.

Rekomendasi dilakukan sampai didapatkan hasil yang diinginkan, yaitu kondisi

lereng dalam keadaan aman/safety.

23
Studi Literatur dan 1. Persiapan administrasi
Persiapan 2. Studi literatur
3. Persiapan perlengkapan

1. Data Primer
Pengambilan Data
2. Data Sekunder

Analisis Data

Penyusunan Laporan

Laporan

Gambar 3.1 Diagram Alir Penelitian

24
BAB IV
PERENCANAAN WAKTU MAGANG

4.1 Perencanaan Waktu

Kegiatan ini direncanakan membutuhkan waktu selama 3 buln, yang dimulai

pada bulan Maret 2023 dan berakhir bulan Mei 2023.

Tahapan dan waktu kegiatan penelitian akan diuraikan pada tabel 4.1 berikut

ini:

Tabel 4.1. Rencana waktu


2023
No Jenis Kegiatan Maret April Mei
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Pembelajaran
1
Kuliah Praktek
Pengumpulan
2
Data
Pengolahan
3
Data
4 Analisis Data
Konsultasi dan
5 Penyusunan
Laporan
6 Persentasi

25
BAB V
PENUTUP

Demikian proposal ini disusun sebagai acuan dalam pelaksanaan

kegiatan penelitian pada perusahaan PT. Rajawali Nusantara Pratama. Proposal ini

diajukan sebagai bahan pertimbangan dan semoga mendapat perhatian dan

dukungan dari berbagai pihak. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan

kontribusi yang positif bagi daerah penelitian, khususnya untuk mengetahui kondisi

geologi daerah setempat guna pemanfaatan pembangunan di masa depan.

26
DAFTAR PUSTAKA

Bowles, Joseph E., Hainim Johan K., 1991. Sifat-Sifat Fisis dan Geoteknis Tanah
(Mekanika Tanah), Edisi Kedua, Penerbit Erlangga, Jakarta,

Das, Braja M., 1985. Principles of Geothecnical Engineering,3rd ed, Carbondale,


Southern Illinois University, PWS Publishing Company, Boston.

Das Braja., 1995. M. Endah Noor.Mochtar Indrasurya B. Mekanika Tanah Prinsip-


Prinsip Rekayasa Geoteknis, Jilid 1,2. Erlangga. Jakarta.

Hardiyatmo. H.C., 2007. Mekanika Tanah 2,Yogyakarta: UGM Press.

Rai, M. A., Kramadibrata, S., dan Watimena, R, K., 2013, Mekanika Batuan, ITB
Press : Bandung.

Romana, M. R. (1993). A geomechanical classification for slopes: slope mass


rating. In Comprehensive rock engineering. Vol. 3.

Rusmana, E., Koswara, A., dan Simandjuntak, T.O.,1993. Peta Geologi Lembar
Luwuk, Sulawesi, Skala 1:250.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Geologi.

Surono. 2013. Geologi Lengan Tenggara Sulawesi, Pusat Penelitian dan


Pengembangan Geologi.

Simandjuntak, T.O., Rusmana, E., Supandjono, J.B. dan Koswara, A., 1993. Peta
Geologi Lembar Bungku, Sulawesi, Skala 1:250.000. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi.

27

Anda mungkin juga menyukai