Anda di halaman 1dari 30

PENDIDIKAN PROFETIK DALAM QS ALI-IMRAN 110

MAKALAH

Diajukan Kepada Program Studi Pendidikan Agama Islam Jurusan Studi Islam fakultas
Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Pendidikan Profetik

Disusun Oleh

Shofiah Nur Hasnaah 20422108

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

JURUSAN STUDI ISLAM

FAKULTAS ILMU AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

YOGYAKARTA
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada dasarnya pendidikan1 merupakan permasalahan kemanusiaan. Maka,


sasarannya adalah manusia sebagai subjek pendidikan oleh karena itu starting point dari
proses pendidikan berasal dari pemahaman teologis filosofis tentang manusia, yang pada
akhirnya manusia akan diperkenalkan akan keberadaan dirinya sebagai khalifah Allah di
muka bumi. 2

Pada era globalisasi saat ini mulai terkikis rasa kemanusiaan, semangat religius,
serta kaburnya nilai-nilai kemanusiaan sehingga timbul kekhawatiran pada setiap manusia
akan terjadi penurunan nilai etik dan moral, sehingga akan semakin jauh dari nilai-nilai
kemanusiaan. Untuk mengatasi pendidikan yang sudah mengalami distorsi, maka kode etik
dan moral harus diberdayakan sehingga kehidupan kembali ke tampak wajah aslinya yaitu
wajah kemanusiaan. Pasalnya sekarang pendidikan tidak hanya mengalami perubahan,
akan tetapi berganti wujud dan penampilan sehingga mempunyai misi profetik yaitu
memanusiakan manusia, sehingga pendidikan tidak kehilangan peran sentral dalam
misiprofetik yaitu menanamkan nilai-nilai Islam yang tidak terlepas dari al-Qur’an dan
Sunnah yang tujuan akhirnya adalah sebagai manusia taqwa.

Hancurnya rasa kemanusiaan, perubahan sosial yang sangat cepat, proses


transformasi budaya yang semakin meraksasa, perkembangan politik yang universal,
kesenjangan ekonomi yang semakin melebar, dan terkikisnya semangat religius serta
kaburnya nilai-nilai kemanusiaan merupakan kekhawatiran manusia paling puncak dalam
kancah pergulatan global ini. Tataran kehidupan sudah mengalami perubahan yang sangat
mendasar, kapitalisme jaya berdasarkan pada landasan mekanik yang pada akhirnya hanya
melahirkan manusia robotik, pintar dan terampil tapi tidak religius, sehingga tidak lagi
memerlukan dukungan agama. Kenyataan hidup sudah semakin jauh dari kemanusiaan,
dikarenakan semakin jauh jarak manusia dengan nilai-nilai sakral religius, sehingga perlu

1
Pendidikan adalah usaha memanusiakan manusia. Lihat Nur Uhbiyati, Long Life Education: Pendidikan
Anak Sejak dalam Kandungan Sampai Lansia, (Semarang: Walisongo Press, 2009), hlm. 1.
2
Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm.304
dikembangkan nilai etik dan moral sehingga kehidupan kembali menampakkan wajah
kemanusiaan.

Sedemikian pentingnya nilai pendidikan, terutama nilai pendidikan Islam, maka


wajar jika nilai pendidikan Islam harus di berdayakan atau ditingkatkan demi membangun
nilai-nilai pendidikan profetik. Menurut Moh. Roqib pendidikan profetik berimplikasi pada
proses pendidikan dengan orientasi untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan alam untuk
membangun komunitas sosial yang ideal (khairu ummah). 3

Profetik berasal dari bahasa Inggris prophetical yang mempunyai makna kenabian
atau sifat yang ada dalam diri nabi. Pendidikan profetik dapat dikembangkan dalam tiga
dimensi yang mengarahkan perubahan atas masyarakat yaitu humanisasi, liberasi dan
transendensi. Humanisasi sebagai derivasi dari amar ma’ruf mengandung pengertian
kemanusiaan manusia, yang diartikan sebagai setiap usaha mendorong dan menggerakkan
umat manusia untuk menerima dan melaksanakan hal-hal yang sepanjang masa telah
diterima sebagai suatu kebaikan berdasarkan penilaian hati nurani manusia dalam
kehidupan sehari-hari. Liberasi yang diambil dari nahi munkar mengandung pengertian
pembebasan, yang mengandung pengertian hal-hal yang munkar. Menurut alMaududi
adalah nama untuk segala dosa dan kejahatan-kejahatan yang sepanjang masa telah dikutuk
oleh watak manusia sebagai watak jahat. Sedangkan transendensi merupakan dimensi
keimanan manusia. Ketiga nilai ini mempunyai implikasi yangsangat dasar dalam rangka
membingkai kelangsungan hidup manusia yang lebih humanistik.

B. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian dan Pendekatan


Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif
didefinisikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-
kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati dengan
memaparkan keadaan objek yang diteliti. 4

3
Moh. Roqib, Prophetic Education: Kontekstualisasi Filsafat dan Budaya Profetik dalam Pendidikan,
(Purwokerto: STAIN Press, 2011), hlm. 88
4
Zuriah, Nurul, Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan, (Jakarta: PT. Bumi Aksara,
2007), Hlm. 92.
Penelitian ini digunakan untuk mendeskripsikan tentang segala sesuatu
yang berkaitan dengan kesadaran mahasiswa pendidikan agama islam dalam
menyelesaikan tugas kuliah. Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pendekatan kualitatif metode dekriptif, sebagai prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan
perilaku yang dapat diamati pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut
secara holistik (utuh). Jadi dalam Hlm ini tidak boleh mengisolasikan individu atau
organisasi ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian
dari suatu keutuhan. 5

Pendekatan penelitian kualitatif adalah proses penelitian yang


menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan
prilaku yang dapat diamati. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan metode deskriptif.
Jadi jenis penelitian ini memahami pendekatan kualitatif karena melalui pendekatan
tersebut lebih tepat untuk mengidentifikasikan seberapa penting tugas yang diberikan
dosen kepada mahasiswa.

2. Informan Penelitian
Informan penelitian biasanya disebut dengan populasi. Jika jumlah populasi terlalu
besar, maka penelitian dapat mengambil sebagian dari jumlah total populasi. Sedangkan
untuk jumlah populasi yang lebih kecil, sebaiknya seluruh populasi digunakan sebagai
sumber pengambilan data.6 Subyek penelitian dalam penelitian disebut juga sumber data
yaitu subyek dari mana data dapat diperoleh. 7 Adapun dalam penelitian ini, penulis
mengelompokkan penentuan sumber data menjadi dua yaitu data yang secara langsung
didapatkan di lokasi atau objek penelitian, Data diperoleh dari mahasiswa Universitas
Islam Indonesia Jurusan Studi Islam Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas
Ilmu Agama Islam, untuk mengambil data tentang tingkat kesadaran mahasiswa dalam

5
Moleong, Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009),
Hlm. 3.
6
Sukardi, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Yogyakarta: PT Bumi Perkasa, 2003) Hlm 55
7
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Edisi Revisi (Jakarta:
Rineka Cipta, 2010), Hlm.172.
menyelesaikan tugas yang diberikan oleh dosen bagi keberlangsungan belajarnya. Rencana
penelitian ini membutuhkan 20 responden mahasiswa.

3. Teknik Penentuan Informan


Dalam menentukan informan, maka peneliti menggunakan pengambilan sampel data
secara Purposive Sampling yaitu teknik pengambilan sampel sumber data dengan melalui
pertimbangan tertentu, dimana pertimbangan tertentu ini seperti partisipan tersebut yang
dianggap lebih mengetahui tentang apa yang diharapkan atau sebagai pemimpin sehingga
akan memudahkan peneliti dalam menjelajahi obyek dan situasi sosial yang akan diteliti. 8

Dengan memiliki kriteria sebagai informan yaitu:


1. Informan mengetahui, menguasai dan memahami tentang sesuatu secara
enkulturasi sehingga pengetahuannya bukan hanya sekedar diketahui namun juga
dihayati.
2. Informan masih dalam golongan yang masih berkecimpung dan terlibat dalam
kegiatan yang diteliti.
3. Informan bersedia dan memiliki waktu untuk dimintai suatu informasi.
4. Informan menyampaikan informasi dengan sebenarnya tanpa rekayasan pribadi.
5. Informan hendaknya memiliki hubungan yang cukup asing dengan peneliti
sehingga akan memberikan informasi secara valid dan dapat dijadikan sebagai
narasumber. 9
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data dilakukan pada natural setting
(kondisi alamiah), sumber data primer dan teknik pengumpulan data lebih banyak pada
observasi, wawancara mendalam dan dokumentasi. Catherine MarsHlml, Gretchen B.
Rossman, menyatakan bahwa “the fundamental methods relied on by qualitative
researchers for gethering information are, participation in the setting, direct observation,
in-depth interviewing, document review”. 10 Untuk memperoleh data yang diperlukan
dalam penelitian ini dilakukan berbagai teknik sebagai berikut:

8
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D, (Bandung: Alfabeta, 2010),
Hlm. 218.
9
Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), Hlm. 303.
10
Chisnall, Peter M, Marketing Research, McGraw Hill MarketingSeries, 1992, Hlm 80.
1. Teknik Interview (wawancara) Teknik Interview (wawancara)
adalah pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide
melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna
dalam suatu topik tertentu.11 Ciri utama dari interview adalah
adanya kontak langsung dengan cara tatap muka antara pencari
informasi (interviewer) dan sumber informasi (interviewee) untuk
memperoleh informasi yang tepat dan objektif, setiap interviewer
harus mampu menciptakan hubungan baik dengan interviewee.12
Teknik ini dilakukan untuk memperoleh data dengan cara tanya
jawab dengan informan secara langsung dengan menggunakan
alat bantu. Paling tidak, alat bantu tersebut berupa pedoman
wawancara (interview guide).13 Oleh karena pedoman wawancara
ini merupakan alat bantu, maka disebut juga instrumen
pengumpulan data. Untuk memperoleh data dari informan,
peneliti menyusun pedoman wawancara dalam bentuk daftar
pertanyaan wawancara yang disusun secara sistematis. Pedoman
ini dibuat sebelum kegiatan wawancara dilaksanakan dan
berfungsi sebagai panduan selama wawancara berlangsung
sehingga dapat berjalan lancar dan data tentang permasalahan
yang dihadapi mahasiswa yang aktifitasnya kuliah sambil bekerja.
Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi,
wawancara dengan mahasiswa UII Yogyakarta tentang kesadaran
mereka dalam menyelesaikan tugas yang diberikan oleh dosen.
2. Teknik Dokumentasi Menggali berbagai informasi tentang
problematkan mahasiswa Universitas Islam Indonesia di
Yogyakarta, di samping menggunakan teknik wawancara, peneliti
juga menggunakan teknik dokumentasi. Teknik dokumentasi
yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara

11
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung: Alfabeta, 2008), cet. 4, Hlm. 72.
12
Margono, S, Metodologi Penelitian Pendidikan, Hlm. 165.
13
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Hlm. 192.
mencari data mengenai Hlm-Hlm atau variabel yang berupa
catatan, buku, majalah, surat kabar, notulen rapat dan
sebagainya. 14 Teknik dokumentasi ini digunakan untuk
mendapatkan data yang berupa tulisan-tulisan yang berhubungan
dengan objek penelitian yang akan dibahas dalam penelitian ini
serta digunakan sebagai teknik penguat dari hasil teknik interview.
Data yang diambil adalah data dari mahasiswa Pendidikan Agama
Islam di Yogyakarta.
5. Keabsahan Data
Keabsahan data dilakukan untuk membuktikan apakah penelitian yang
dilakukan benar-benar merupakan penelitian ilmiahs ekaligus untuk menguji data yang
diperoleh. Uji keabsahan data dalam penelitian kualitatif meliputi uji credibility,
transferability, dependability, dan confirmability. 15
Untuk menguji kredibilitas atau pengecekan keabsahan data, peneliti melakukan
keabsahan data menggunakan Triangulasi, dan Bahan Referensi untuk menemukan
apakah data yang ditemukan dapat dikatakan valid ataupun tidak. 16
1. Triangulasi
Triangulasi merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data dengan
memanfaatkan sesuatu selain di luar data yang didapat untuk keperluan
pengecekan ataupun sebagai pembanding terhadap data yang diperoleh.
Triangulasi dibagi menjadi tiga bagian yaitu: Pertama, triangulasi sumber yaitu
dengan membandingkan dan mengecek kilas balik derajat kepercayaan suatu
informasi yang diperoleh melalui sumber yang sama namun dalam waktu yang
berbeda. Kedua, triangulasi metode yaitu setelah data yang dikumpulkan
peneliti dengan menggunakan metode tertentu kemudian selanjutnya akan
dicek dengan metode yang berbeda. Seperti halnya penelitian ini, data yang
akan dikumpulkan dengan menggunakan metode atau teknik wawancara, maka
akan dicek dengan menggunakan metode observasi ataupun dengan

14
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Pendekatan Praktek, Hlm. 274.
15
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2007), Hlm.
270
16
Ibid., Hlm. 272.
menggunakan menganalisis dokumen. Dan ketiga, triangulasi waktu yaitu
mengecek kebenaran data yang didapat dengan cara mengumpulkan data
dengan waktu yang berbeda. 17
2. Bahan Referensi
Bahan referensi merupakan pemeriksaan keabsahan data dengan adanya
pendukung untuk membuktikan bahwa data yang telah diperoleh oleh peneliti.
Seperti Hlmnya hasil data dari wawancara maka perlu didukung dengan adanya
rekaman wawancara, baik berupa gambaran keadaan yang perlu didukung oleh
dokumentasi foto dan sebagainya.18

6. Teknis Analisis Data


Analisis data kualitatif adalah data yang diperoleh dari berbagai sumber, dengan
menggunakan tehnik pengumpulan data yang bermacam- macam (trianggulasi), menurut
Susan Stainback (1988) menyatakan bahwa “the aim is not determine the truth about some
social peneomenon, rether the purpose of triangulation is to increase one’s understanding
of what ever is being investigated”.19 dan dilakukan secara terus menerus sampai data
jenuh. Dengan pengamatan yang terus menerus tersebut mengakibatkan variasi data tinggi
sekali. Data yang di peroleh yaitu data kualitatif.20 Teknik analisis data berarti proses
mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan
lapangan dan dokumentasi dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori,
menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih
mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah
dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain.
Aktifitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung
secara terus menerus sampai tuntas sehingga datanya sudah jenuh. Aktifitas dalam
menganalisis data yaitu data reduction, data display dan Conclusion drawing/

17
Ibid., Hlm. 330.
18
Ibid., Hlm. 273-275.
19
Emory, Business Reserch Methods, (Richad D. Irwin Inc. 1985). Hlm 99
20
Sugiyono, metode penelitian pendidikan pendekatan kuantitatif, kualitatif, dan R & D,
(Bandung: Alfabeta, 2009) Hlm 333.
Verification.21 Kemudian agar data yang diperoleh nanti sesuai dengan kerangka kerja
maupun fokus masalah akan ditempuh langkah utama dalam analisis data yaitu:
1. Data Reduction (Reduksi Data) Reduksi data berarti merangkum,
memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada Hlm-Hlm yang
penting, kemudian dicari tema dan polanya. Reduksi data
dimaksudkan untuk menentukan data ulang sesuai dengan
permasalahan yang akan penulis teliti, dengan demikian data yang
telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas dan
mempermudah penelitian untuk melakukan pengumpulan data
selanjutnya.22 Disini data mengenai problematika dan solusi
mahasiswa yang bekrja bagi keberlangsungan belajarnya yang
diperoleh dan terkumpul, baik dari hasil penelitian atau kepustakaan
kemudian di buat rangkuman.
1. Data Display (Penyajian Data) Data hasil reduksi
disajikan/didisplay ke dalam bentuk yang mudah dipahami. Dalam
penelitian kualitatif penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk
uraian singkat, bagan hubungan antar kategori, flowchart dan
sejenisnya. Sajian data dimaksudkan untuk memilih data yang
sesuai dengan kebutuhan penelitian tentang tingkat kesadaran
mahasiswa dalam menyelesaikan tugas yang diberikan oleh dosen,
artinya data yang telah dirangkum tadi kemudian dipilih, sekiranya
data mana yang diperlukan untuk penulisan laporan penelitian
dalam bentuk teks yang berbentuk naratif.
2. Conclusion Drawing/Verification Langkah ketiga yaitu penarikan
kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan ini akan diikuti dengan
bukti-bukti yang diperoleh ketika penelitian di lapangan. Verifikasi
data dimaksudkan untuk penentuan data akhir dan keseluruhan
proses tahapan analisis, sehingga keseluruhan permasalahan
mengenai tingkat kesadaran mahasiswa terhadap tugas dari dosen

21
Sugiyono, Penelitian Kualitatif dan R & D, Hlm. 246.
22
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif dan R & D, Hlm. 249.
dapat di jawab sesuai dengan kategori data. Teknik ini bertujuan
untuk menyajikan deskripsi (gambaran) secara sistematis, faktual
dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat serta hubungan fenomena
yang di selidiki. 23
Dengan demikian analisis ini dilakukan saat peneliti berada di lapangan dengan
cara mendeskripsikan segala data yang telah di dapat, lalu dianalisis sedemikian rupa
secara sistematis, cermat dan akurat. Dalam Hlm ini data yang digunakan berasal dari
wawancara dan dokumen-dokumen yang ada serta hasil observasi yang dilakukan.

BAB II PEMBAHASAN

A. Humanisasi, Liberasi dan Transendensi dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran Ayat
110

ۗ ‫ب َل َكانَ َخي ًْرا لَّ ُه ْم‬ ِ ‫اّٰلل ۗ َولَ ْو ٰا َم َن ا َ ْه ُل ْال ِك ٰت‬ َ َ‫اس ت َأ ْ ُم ُر ْونَ ِب ْال َم ْع ُر ْوفِ َوت َ ْن َه ْون‬
ِ ‫ع ِن ْال ُم ْنك َِر َوتُؤْ ِمنُ ْونَ ِب ه‬ ْ ‫كُ ْنت ُ ْم َخي َْر ا ُ َّم ٍة ا ُ ْخ ِر َج‬
ِ َّ‫ت لِلن‬
َ‫ِم ْن ُه ُم ْال ُمؤْ مِ نُ ْو َن َوا َ ْكث َ ُرهُمُ ْال ٰف ِسقُ ْون‬

Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu)
menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada
Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka
ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik.

Dalam al-Qur’an surat Ali Imron ayat 110 kata khair al-ummah diikuti dengan tiga
kata di belakangnya yaitu kata yang terkait dengan amar ma’ruf (humanisasi), nahi munkar
(liberasi), dan iman kepada Allah (transendensi). Apabila dikaitkan dengan pendidikan
profetik itu dibangun berdasarkan empat syarat. Dasar empat syarat itu yaitu komunitas,
visi atau arah tujuan, gerak dinamis atau program kerja, dan kepemimpinan. Bagi
komunitas dan pemimpin yang menjadi subjek dan bagi pelaksanaan visi dan program
harus menyerap tiga nilai atau pilar sekaligus dalam praktiknya, yaitu nilai transendensi
yang menjadi orientasi dan visi hidup subjek, humanisasi untuk selalu meningkatkan
martabat menuju keterpujian, dan liberasi untuk membersihkan diri dari kotoran,

23
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif dan R & D, Hlm. 250- 251.
kelemahan, kekurangan dan keterbelakangan. Segala yang mendorong ke arah kelemahan
dan negatif harus dibebaskan dari kehidupan manusia melalui pendidikan profetik 24

1. Humanisasi

Dalam bahasa agama humanisasi adalah terjemahan dari amar ma’ruf yang makna
asalnya menganjurkan menegakkan kebaikan. Dalam bahasa ilmu secara etimologi
humanisasi berasal dari bahasa latin humanitas yang artinya makhluk manusia. Secara
terminologi berarti memanusiakan manusia, menghilangkan kebendaan, ketergantungan,
kekerasan dan kebencian dari manusia. 25 Tujuan humanisasi adalah memanusiakan
manusia. Sebagaimana dalam pendidikan yang dimulai dari proses yang dialogis dengan
kesadaran kritis. Itu berarti bahwa manusia harus ditempatkan dalam proses sejarahnya
masing-masing juga proses sejarah masyarakatnya, sebagai subyek yang menentukan
pilihannya sendiri. Hubungannya dengan manusia lain dan realitas yang hendak dirubah
berupa dialektika. Oleh karenanya tidak saja merupakan teori akan tetapi tindakan dan
refleksi. 26

Pada hakikatnya manusia setara di mata Tuhan kecuali ilmu dan ketakwaan yang
membedakannya. Manusia dijadikan sebagai subjek yang memiliki potensi. 27 Proses
humanisasi dalam pendidikan Islam dimaksudkan sebagai upaya mengembangkan manusia
sebagai makhluk hidup yang tumbuh dan berkembang dengan segala potensi (fitrah) yang
ada padanya. Karena pada dasarnya pendidikan adalah suatu yang dapat menjadi alat ukur
mengerti tentang hakikat kemanusiaan yang peka terhadap masalah-masalah yang dihadapi
manusia dalam menjalani kehidupan.

2. Liberasi

Liberasi dari bahasa latin liberare berarti kemerdekaan artinya pembebasan.


Liberasi dalam pandangan Kuntowijoyo adalah bahasa ilmu nahi munkar, dalam bahasa
agama adalah mencegah dari setiap tindak kejahatan yang merusak, memberantas judi,

24
Moh. Roqib, Prophetic Education Kontekstualisasi …., hlm. 156.
25
Kuntowijoyo, Islam sebagai …, hlm. 98.
26
Moh. Shofan, Pendidikan Berparadigma Profetik …, hlm. 142.
27
Masnur Muslich, Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2011), hlm. 80.
lintah darat, korupsi dan lain sebagainya. Maka dalam bahasa ilmu, nahi munkar artinya
pembebasan dari kebodohan, kemiskinan, ataupun penindasan. Pembebasan atas
penindasan sesama manusia. Oleh karena itu tidak dibenarkan adanya penjajahan manusia
atas manusia. Tujuan liberasi adalah pembebasan bangsa dari kekejaman kemiskinan,
keangkuhan teknologi, dan pemerasan kelimpahan. Tetapi liberasi disini adalah sebuah
eklektisitas tentang model pembelajaran dalam dunia pendidikan Islam. Karena pada saat
ini pendidikan Islam selalu disorot bahwa metode pembelajarannya telah menghasilkan
kekerasan. Sehingga dengan mengembalikan pemahaman pembelajaran pendidikan Islam
yang semula kaku menjadi lentur dan mampu memunculkan inspirasi untuk melakukan
perubahan.

3. Transendensi

Transendental berasal dari bahasa Latin transcendere yang artinya “memanjat ke


atas”. Dalam bahasa Inggris to transcend yang artinya “melampaui”. Transcend berarti
melebihi, lebih penting dari, transcendent berarti sangat, teramat, sedang kata
transcendental berarti sangat, teramat, sukar dipahamkan, atau diluar pengertian dan
pengalaman biasa. Transendensi bisa diartikan hablun min Allah ikatan spiritual yang
mengikatkan antara manusia dengan Tuhan. Terkait dengan budaya dan pendidikan nilai
transendensi ini menjadi acuan bagi setiap langkah gerak dan tindakan muslim. Sebab,
semangat ilmiah para ilmuwan dan sarjana muslim pada kenyataannya mengalir dari
kesadaran mereka bertauhid. Tujuan transendensi adalah menambah dimensi transendental
dalam kebudayaan.28 Kita sudah banyak menyerah kepada arus hedonism, materialism dan
budaya dekaden. Kita percaya bahwa sesuatu harus dilakukan, yaitu membersihkan diri
dengan mengingat kembali dimensi transendental yang menjadi bagian sah dari fitrah
kemanusiaan.

B. Definisi Pendidikan Profetik

Secara definitif, pendidikan profetik dapat dipahami sebagai seperangkat teori yang
tidak hanya mendeskripsikan dan mentransformasikan gejala sosial, dan tidak pula hanya
mengubah suatu hal demi perubahan, namun lebih dari itu, diharapkan dapat mengarahkan

28
Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 289.
perubahan atas dasar cita-cita etik dan profetik. Kuntowijoyo sendiri memang
mengakuinya, terutama dalam sejarahnya Islamisasi Ilmu itu (dalam rumusan Kunto)
seperti hendak memasukan sesuatu dari luar atau menolak sama sekali ilmu yang ada. 29

Jadi, Pendidikan Profetik adalah proses transfer pengetahuan (knowledge) dan nilai
(values) kenabian yang bertujuan untuk membangun akhlak, moral serta mendekatkan diri
kepada Tuhan dan alam sekaligus memahaminya untuk membangun komunitas sosial yang
ideal (khairul ummah). Serta tercapainya intelektual, emosional, akhlak dan moral peserta
didik yang dapat berkembang secara utuh.

Menurut Kuntowijoyo 30, terdapat tiga pilar utama dalam ilmu sosial profetik yaitu;
amar ma’ruf (humanisasi) mengandung pengertian memanusiakan manusia. nahi munkar
(liberasi) mengandung pengertian pembebasan. dan tu’minuna bilah (transendensi),
dimensi keimanan manusia. Selain itu dalam ayat tersebut juga terdapat empat konsep;
Pertama, konsep tentang ummat terbaik (The Chosen People), ummat Islam sebagai ummat
terbaik dengan syarat mengerjakan tiga hal sebagaimana disebutkan dalam ayat tersebut.
Ummat Islam tidak secara otomatis menjadi The Chosen People, karena ummat Islam
dalam konsep The Chosen People ada sebuah tantangan untuk bekerja lebih keras dan ber-
fastabiqul khairat. Kedua, aktivisme atau praksisme gerakan sejarah. Bekerja keras dan
ber-fastabiqul khairat ditengah-tengah ummat manusia (ukhrijat Linnas) berarti bahwa
yang ideal bagi Islam adalah keterlibatan ummat dalam percaturan sejarah.

Pengasingan diri secara ekstrim dan kerahiban tidak dibenarkan dalam Islam. Para
intelektual yang hanya bekerja untuk ilmu atau kecerdasan tanpa menyapa dan bergelut
dengan realitas sosial juga tidak dibenarkan. Ketiga, pentingnya kesadaran. Nilai-nilai
profetik harus selalu menjadi landasan rasionalitas nilai bagi setiap praksisme gerakan dan
membangun kesadaran ummat, terutama ummat Islam. Keempat, etika profetik, ayat
tersebut mengandung etika yang berlaku umum atau untuk siapa saja baik itu individu
(mahasiswa, intelektual, aktivis dan sebagainya) maupun organisasi (gerakan mahasiswa,
universitas, ormas, dan orsospol), maupun kolektifitas (jama’ah, ummat,

29
Roqib, “Kontekstualisasi Filsafat Dan Budaya Profetik Dalam Pendidikan.”
30
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid: Esai-Esai Agama, Budaya, Dan Politik Dalam Bingkai Strukturalisme
Transendental (Mizan, 2001).
kelompok/paguyuban). Point yang terakhir ini merupakan konsekuensi logis dari tiga
kesadaran yang telah dibangun sebelumnya.

Pendidikan merupakan sistem dan cara meningkatkan kualitas hidup manusia


dalam segala aspek kehidupan manusia.31 Menurut UU No. 20 tahun 2003 Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan
Negara.32

Pengertian profetik berasal dari bahasa Inggris yaitu prophet yang berarti nabi.9
Profetik juga berarti kenabian atau sifat yang ada dalam diri nabi. Yaitu sifat yang
mempunyai ciri sebagai manusia yang ideal secara individual-spiritual, tetapi juga menjadi
pelopor perubahan, membimbing masyarakat ke arah perbaikan dan melakukan perjuangan
tanpa henti melawan penindasan.

Profetik atau kenabian di sini merujuk pada dua misi yaitu seseorang yang
menerima wahyu, diberi agama baru, dan diperintahkan mendakwahkan kepada umatnya
disebut rasul (messenger), sedang seseorang yang menerima wahyu berdasarkan agama
yang ada dan tidak diperintahkan untuk mendakwahkannya disebut nabi (prophet). Sedang
kenabian mengandung makna segala ihwal yang berhubungan dengan seorang yang telah
memperoleh potensi kenabian.

C. Faktor-Faktor Pendidikan Profetik

1. Tujuan Pendidikan Profetik

Setiap orang Islam menginginkan nilai-nilai moral dan keagamaan diajarkan kepada anak-
anak mereka. Hal ini seperti yang disebutkan oleh Daun & Walford, seperti yang dikutip
oleh Kawakib: Most Muslims around the world want moral values and religious teaching

31
Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam Membangun: Membangun Masyarakat Madani
Indonesia, (Yogyakarta: SafiRIA Insani Press, 2003), hlm. 4.
32
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, (Yogyakarta: Media Wacana Press, 2003), hlm. 9.
in school for their children. 33 Tujuan pendidikan meliputi, tujuan akhir, ultimate goals,
immediate goals, dan tujuan khusus. Semua tujuan tersebut harus berjalan dan
berhubungan (interrelatedness) dengan berbagai sistem sebab akibat, hukum-hukum
material dan keharmonisan kehidupan praktis duniawi. Dalam konteks indonesia ada
tujuan pendidikan nasional, institusional, kurikuler, dan intraksional. Tujuan pendidikan
secara umum dirumuskan tujuan pendidikan itu diambil dari pandangan hidup (philosopy
of life) yaitu membentuk manusia yang sempurna (insan kamil) menurut Islam. Tujuan
pendidikan tersebut meliputi tujuan jasmaniah, rohaniah, dan mental atau dengan kata lain
tujuan tersebut dapat diklasifikasikan pada tiga wilayah fisik-materi, rohani-spiritual, dan
mental-emosional. Ketiga-tiganya harus menuju ke arah kesempurnaan. 34 Hakikat dari
ibadah adalah menumbuhkan kesadaran pada diri manusia bahwa ia sebagai insan
diciptakan Allah khusus untuk mengabdi kepada-Nya. Lebih rinci lagi tujuan pendidikan
Islam adalah usaha untuk membentuk akhlak mulia, persiapan kehidupan dunia-akhirat,
persiapan untuk mencari rizki, menumbuhkan semangat ilmiah, dan menyiapkan
profesionalisme subjek didik. Dari lima tujuan tersebut semuanya harus menuju pada titik
kesempurnaan yang indikatornya di antaranya adalah bertambah baik secara kuantitatif
maupun kualitatifnya. Tujuan yang telah diperinci tersebut harus dijadikan orientasi secara
utuh dan terpadu. Pendidikan dikotomi tidak menjadi karakter pendidikan Islam. Hal ini
karena pendidikan Islam adalah perpaduan antara jasmani, akal, akidah, akhlak, perasaan,
keindahan, dan kemasyarakatan. 35

Kuantitas dan kualitas yang diraih secara integratif tersebut harus dimaknai dalam
kerangka beribadah kepada Allah, mendekat, dan menyatu dengan-Nya untuk
mendapatkan ridla-Nya. Tujuan pendidikan Islam untuk mewujudkan manusia sebagai
hamba Allah yang mampu beribadah baik dengan pikiran, amal, atau perasaan kepada
Allah. Bagaimana pendidikan memproses manusia yang siap untuk berbuat dan memakai
fasilitas dunia ini untuk ibadah, bukan manusia yang siap pakai dalam arti siap dipakai oleh
lembaga, pabrik, atau lainnya. Jika yang terakhir ini yang terjadi maka pendidikan hanya

33
A. Nurul Kawakib, Pesantren Globalisation, (Malang: UIN-Malang Press, 2009), hlm. 40.
34
Moh. Roqib, Phrophetic Education (Kontekstualisasi Filsafat dan Budaya Profetik dalam Pendidikan),
(Purwokerto: STAIN Press, 2011), hlm. 122
35
Moh. Roqib, Phrophetic Education...hlm. 123
ditunjukkan sebagai alat produksi tenaga kerja dan memperlakukan manusia bagaikan
mesin. 36

Semua konsep tujuan tersebut secara praktis bisa dikembangkan dan diaplikasikan
dalam sebuah lembaga yang mampu mengintegrasikan, menyeimbangkan, dan
mengembangkan kesemuanya dalam sebuah intsitusi yang tidak terlepas dari masjid
sebagai pusatnya. Berdasarkan pada definisi tersebut di atas, maka secara umum dapatlah
dikatakan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah pembentukan kepribadian muslim
paripurna (kaaffah) yang memiliki indikator kemandirian, multi kecerdasan, dan kreatif-
dinamis sehingga mampu memberi rahmat bagi alam. Pribadi yang demikian adalah
pribadi yang menggambarkan terwujudnya keseluruhan esensi manusia secara kodrati,
yaitu sebagai makhluk individual, makhluk sosial, makhluk moralitas, dan makhluk yang
ber-Tuhan yang berani untuk mempromosikan nilai humanis dan liberasi. Citra pribadi
Muslim seperti itu sering disebut manusia insan kamil atau pribadi yang utuh, sempurna,
seimbang dan selaras.

2. Cara mengembangkan kecerdasan Profetik

 Kecerdasan spiritual atau penjagaan terhadap nilai-nilai agama (al-hifz ad-diin).


Mempersiapkan anak-anak dengan nilai-nilai agama. Paling sederhana adalah
mempersiapkan anak untuk menjaga salatnya. Usia SD atau tujuh tahun berarti
anak memang sudah belajar salat dengan tertib. Nah itu yang harus dipersiapkan
dari rumah.
 Kecerdasan emosional: Yakni penjagaan terhadap jiwa anak (hifz an-nafs). Yang
paling penting untuk mempersiapkan emosi anak adalah penuhi anak dengan
limpahan kasih sayang yang tulus. Anak-anak harus dipersiapkan bahwa dalam
dunia sekolah tidak selamanya menyenangkan. Pasti ada susahnya, tapi yakinkan
anak bahwa itu bagian dari proses. Belajar itu beberapa sisi sangat tidak
menyenangkan tapi anak harus tahu bahwa dengan belajar kita menjadi mengetahui
banyak hal yang menyenangkan.

36
Moh. Roqib, Phrophetic Education...hlm. 123
 Kecerdasan intelektual: Yakni penjagaan terhadap akal (hifz al-aql). Penjagaan
terhadap akal dan kecerdasan anak-anak. Seperti mempersiapkan anak-anak bahwa
mereka paling tidak tahu apa saja nanti yang dipelajari oleh anak kelas 1 SD. Itulah
pentingnya home education ketika anak belum memasuki dunia sekolah. Salah
satunya mempersiapkan kecerdasan kognitif anak. Karena mau tidak mau anak-
anak yang level kognitifnya bagus biasanya mampu membuat keputusan yang lebih
kompleks. Dan itu memang biasanya dipersiapkan dari rumah. Minimal anak-anak
sebelum masuk SD sudah memahami konsep berhitung, mengenal abjad dan
menyukai dunia membaca. Menyukai dunia membaca ya bukan pandai membaca.
Kita bisa mempersiapkan memperbanyak read aloud atau membaca nyaring
bersama anak.
 Kecerdasan sosial-organisasional: Hifzh an-nasl. Ini persiapan penting yang bisa
kita lakukan dari rumah agar anak bisa bersosialisasi dengan dunia luar. Minimal
anak bisa memperkenalkan diri dengan baik. Memberitahukan namanya pada
temannya. Selain itu ajarkan hal-hal penting tentang penjagaan terhadap
kehormatan orang lain. Semisal tidak boleh mengejek tentang fisik, status, agama
dan penampilan temannya. Anak-anak belajar juga untuk tidak melakukan bullying
dan bisa menghadapi jika terjadi perlakuan perundungan terhadap mereka atau
temannya.
 Kecerdasan Entrepreneur (Hifzh al-Mal) Ini bagian penjagaan terhadap harta dan
ekonomi masyarakat lho. Minimal anak mengerti tentang konsep uang saku. Bisa
memahami bahwa membeli sesuatu dengan uang dan uang itu harus dicari dengan
cara yang benar dan dikeluarkan dengan cara yang benar. Ajari anak untuk
menggunakan uang sakunya untuk hal bermanfaat. Selain itu minta anak membeli
makanan halal dan thayyib aman bagi tubuh mereka. Dari rumah anak bisa
dibuatkan bekal kemudian minta mereka menyimpan uang sakunya untuk hal-hal
yang lebih bermanfaat nantinya.
 Kecerdasan environmental (Hifzh al-Bi’ah) Nilai-nilai penjagaan terhadap
lingkungan. Penting sekali mengenalkan pada anak kecintaan terhadap lingkungan
sejak mereka belum masuk SD. Minimal anak-anak sudah mandiri untuk menjaga
kebersihan diri sendiri. Bisa membersihkan diri setelah BAK dan BAB. Paling
tidak anak-anak yang masuk SD sudah bisa berwudhu dengan baik. Mengenal mana
air bersih dan air kotor. Mana najis mana yang bersih. Ini penting untuk penjagaan
terhadap lingkungan. Anak-anak juga belajar untuk membuang sampah di tempat
sampah. Menyingkirkan gangguan di jalan, ex: saat melihat ranting kecil di jalan.

D. Penilaian Pendidikan Profetik

1. Bedanya evaluasi dalam proses pembelajaran dan evaluasi akhir pembelajaran

Evaluasi mengenai proses peaksanaan pengajaran akan mencakup :

 Kesesuaian antara proses belajar mengajar yang berlangsung, dengan garis-garis


besar program pengajaran yang telah ditentukan.
 Kesiapan guru dalam melaksanakan program pengajaran.
 Kesiapan siswa dalam mengikuti proses pembelajaran.
 Minat atau perhatian siswa didalam mengikuti pelajaran.
 Keaktifan atau partisipasi siswa selama proses pembelajaran berlangsung.
 Peranan bimbingan dan penyuluhan terhadap siswa yang memerlukannya.
 Komunikasi dua arah antara guru dan murid selama proses pembelajaran
berlangsung.
 Pemberian dorongan atau motivasi terhadap siswa.
 Pemberian tugas-tugas kepada siswa dalam rangka penerapan teori-teori
yangdiperoleh didalam kelas dan upaya menghilangkan dampak negatif yang
timbulsebagai akibat dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan di sekolah.

Evaluasi hasil belajar peserta didik ini mencakup:

 Evaluasi mengenai tingkat penguasaan peserta didik terhadap tujuan-tujuan


khususyang ingin dicapai dalam unit-unit program pengajaran yang bersifat
terbatas.
 Evaluasi mengenai tingkat pencapaian peserta didik terhadap tujuan-tujuan umum
pengajaran

2. Bedanya konsep evaluasi Sumatif dan Formatif


Evaluasi Formatif adalah evaluasi yang digunakan untuk mengetahui hasil belajar
yang dicapai pesertadidik setelah ia menyelesaikan program dalam satuan bahan pelajaran
pada suatu bidang studi tertentu. Fungsi penilaian pormatif ini untuk memperbaiki proses
pembelajaran kearah yang lebih baik dan efesien atau memperbaiki satuan atau rencana
pembelajaran.

Evaluasi Sumatif adalah evaluasi yang dilakukan terhadap hasil belajar peserta
didik setelah mengikuti pelajaran pada suatu catur wulan, satu semester, atau akhir tahun
untuk menentukan jenjang berikutnya. Fungsi penilaian sumatif untuk mengetahui angka
atau nilai muridsetelah mengikuti program pembelajaran dalam satu semester atau akhir
tahun.

3. Ciri-ciri Asessment Of, For, As Learning

Assessment of Learning (menilai capaian pembelajaran)

Assessment of learning merupakan penilaian yang di laksanakan setelah proses


pembelajaran selesai. Proses pembelajaran selesai tidak selalu terjadi di akhir tahun atau di
akhir peserta didik menyelesaikan pendidikan pada jenjang tertentu. Setiap pendidik
melakukan penilaian yang di maksudkan untuk memberikan pengakuan terhadap
pencapaian hasil belajar setelah proses pembelajaran selesai, berarti pendidik tersebut
melakukan assessment of learning.

 Penilaian yang di sertai dengan angka atau huruf nilai (sumatif)


 Membandingkan prestasi satu peserta didik dengan standar
 Hasil dapat di komunikasikan kepada peserta didik dan orang tua
 Di lakukan pada akhir unit pembelajaran

Dalam konteks assessment of learning, task (tugas kinerja) digunakan untuk memandu
peserta didik menunjukkan kinerja yang akan di nilai. Fokus utama asesmen disini adalah
capaian belajar peserta didik. Dengan demikian maka, taks atau penilaian kinerja menjadi
sarana untuk menunjukkan kompetensi atau capaian belajar. Task dalam hal ini tidak
berkedudukan sebagai alat belajar. Oleh karena proses belajar peserta didik sudah terjadi.

Assessment for Learning (untuk perbaikan pembelajaran)


Assessment for learning di lakukan selama proses pembelajaran berlangsung dan
biasanya di gunakan sebagai dasar untuk melakukan perbaikan proses belajar mengajar.
Dengan assessment for learning pendidik dapat memberikan umpan balik terhadap proses
belajar peserta didik, memantau kemajuan, dan menentukan kemajuan
belajarnya.Assessment for learning juga dapat di manfaatkan oleh pendidik untuk
meningkatkan performan dalam memfasilitasi peserta didik. Berbagai bentuk penilaian
formatif, misalnya tugas, presentasi, proyek, termasuk kuis merupakan contoh-contoh
assessment for learning (penilaian untuk proses belajar).

Terdiri dari dua fase yakni penilaian awal atau diagnostik dan penilaian formatif

 Penilaian dapat di dasarkan pada berbagai sumber informasi (misalnya, portofolio,


pekerjaan yang sedang berjalan/unjuk kerja, pengamatan guru,
komunikasi/percakapan)
 Umpan balik lisan atau tertulis kepada peserta didik terutama deskriptif dan
menekankan perbaikan, mengidentifikasi tantangan, dan menunjuk ke langkah
selanjutnya

sebagai pendidik, perlu memeriksa pemahaman mereka untuk menyesuaikan instruksi


kepada peserta didik Tidak ada nilai atau skor yang di berikan, pencatatan yang di berikan
dapat berupa anekdot dan deskriptif.

Assessment as Learning (sebagai sarana pembelajaran)

Assessment as learning memiliki fungsi yang mirip dengan assessment for learning,
yaitu berfungsi sebagai formatif dan di laksanakan selama proses pembelajaran
berlangsung. Perbedaannya, assessment as learning melibatkan peserta didik secara aktif
dalam kegiatan penilaian tersebut. Peserta didik di beri pengalaman untuk belajar menjadi
penilai bagi dirinya sendiri. Penilaian diri (self assessment) dan penilaian antar teman
merupakan contoh assessment as learning.
Dalam assessment as learning peserta didik juga dapat di libatkan dalam merumuskan
prosedur penilaian, kriteria, maupun rubrik/pedoman penilaian sehingga mereka
mengetahui dengan pasti apa yang harus di lakukan agar memperoleh capaian belajar yang
maksimal. Di mulai ketika peserta didik menjadi sadar akan tujuan pengajaran dan kriteria
kinerja melibatkan

 Penetapan tujuan, memantau kemajuan, dan merefleksikan hasil.


 Menyiratkan kepemilikan dan tanggung jawab peserta didik untuk menggerakkan
pemikirannya ke depan (metakognisi)
 Terjadi selama proses pembelajaran

Dalam konteks assessment as learning, task (tugas kinerja) lebih di tujukan sebagai
sarana belajar. Pengerjaan task (tugas kinerja) di maksudkan untuk memberi pengalaman
belajar peserta didik. Peserta didik dapat menguasai kompetensi tertentu setelah
mengerjakan task tersebut.

E. Konsep ilmu dalam pendidikan Profetik

1. Bedanya konsep Sparated subjek curriculum, correlated curriculum dan intregated


curriculum

Separated Subject Curriculum Sebutan separated subject curriculum dikarenakan bahan


pelajaran yang disajikan dalam subject atau mata pelajaran yang terpisah-pisah, yang satu pisah
dari yang lain. Organisasi separated subject curriculum dianggap berasal dari zaman Yunani kuno.
Orang Yunani telah mengajarkan berbagai bidang studi seperti kesusateraan, matematika, filsafat
dan ilmu pengetahuan ditambah dengan musik. Mereka mengadakan dua trivium (gramatika,
retorika dan logika) dan kuadrivium (arithmetika, geometri, astronomi, dan musik) yang kemudian
dikenal sebagai “the seven liberal arts” yang diberikan pada pendidikan umum Kurikulum ini
menyajikan segala bahan pelajaran dalam berbagai macam mata pelajaran (subjects) yang
terpisah-pisah satu sama lain, seakan-akan ada batas pemisahan antara mata pelajaran yang satu
dengan yang lain juga antara suatu kelas dengan kelas yang lain. Dengan demikian sukar terdapat
kebulatan pengetahuan antara anak. Sebagai contoh misalnya dahulu pernah disajikan mata
pelajaran untuk “sekolah Rakyat VI Tahun” (sekarang Sekolah Dasar) terdiri atas ilmu tumbuh-
tumbuhan, ilmu hewan, ilmu tubuh manusia, ilmu kesehatan dan masih ada juga ilmu alam. Untuk
masa sekarang semua mata pelajaran tersebut di atas diintegrasikan diberikan predikat sebagai
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Tentu saja konsep dasar tinjauannya sangat berbeda dengan lima
mata pelajaran yang terdahulu.

Correlated Curriculum Pada dasarnya organisasi kurikulum ini menghendaki agar mata
pelajaran itu satu sama lain ada hubungan, bersangkut paut (correlated) walaupun mungkin
batas-batas yang satu dengan yang lain masih dipertahankan. Correlated curriculum adalah pola
organisasi materi atau konsep-konsep yang dipelajari dalam suatu pelajaran dikorelasikan dengan
pelajaran lainnya.37 Model kurikulum mengintegrasikan semua bidang ilmu, jadi antara satu
bidang ilmu dengan ilmu yang lain saling berhubungan atau mata pelajaran disajikan saling
berhubungan antara satu dengan yang lain, sehingga pada model kurikulum ini bisa dilihat
keterpaduan antara semua mata pelajaran.

Integrated Curriculum meniadakan batas-batas antara berbagai mata pelajaran dan


menyajikan bahan pelajaran dalam bentuk unit atau keseluruhan. Dengan kebulatan bahan
pelajaran diharapkan mampu membentuk murid yang integral, selaras dengan kehidupan
sekitarnya, apa yang diajarkan di sekolah disesuaikan dengan kehidupan anak di luar sekolah. Apa
yang disajikan di sekolah, disesuaikan dengan kehidupan anak di luar sekolah. Pelajaran di sekolah
membantu siswa dalam menghadapi berbagai persoalan di luar sekolah, biasanya bentuk
kurikulum semacam ini dilaksanakan melalui pelajaran unit. Dimana satu mempunyai tujuan yang
mengandung makna bagi siswa yang dituangkan dalam bentuk masalah.38

2. Makna ilmu yang integrasi, interkoneksi antar ilmu agama dan ilmu pengetahuan

Secara etimologis, kata interkoneksi berarti hubungan satu sama lain sedangkan integrasi
berarti pembaruan hingga menjadi kesatuan yang utuh atau bulat. 39 Porwadarminta
mengungkapkan bahwa integrasi secara etimologis dapat dipahami sebagai perpaduan,
penyatuan dan penggabungan dua objek atau lebih.40 Jadi integrasi – interkoneksi adalah suatu
penggabungan dan penyambungan dari berbagai ilmu umum khususnya ilmu alam dengan ilmu-
ilmu agama dalam hal ini al-Quran dan as-Sunnah. Berbagai ilmu pengetahuan itu saling berkaitan

37
Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum..., hal. 84.
38
Syafruddin Nurdin, Guru Profesional &Implementasi Kurikulum, Cet III, Jakarta: Quantum Teaching,
2005, 48.
39
Tim Penyusun, KBBI (Jakarta:Pusat Bahasa, 2008), hlm. 559
40
Poerwadarminta, W.J.S Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta; Balai Pustaka, 1985), hlm.384.
antara ilmu yang satu dengan yang lainnya, oleh sebab itu kita seharusnya tidak hanya belajar
satu ilmu, melainkan berbagai ilmu, karena hubungan antara ilmu itu saling berkaitan. Studi
Integrasi-interkoneksi adalah kajian tentang ilmu-ilmu pengetahuan baik objek bahasan maupun
orientasi metodologinya dan mengkaji salah satu bidang keilmuan dengan memanfaatkan bidang
keilmuan lainya, melihat dari keterkaitan antar berbagai disiplin ilmu tersebut. Jika ditelusuri lebih
jauh, gagasan tentang integrasi antara ilmu agama dengan ilmu umum ini sebenarnya tidak lepas
dari rangkaian panjang pergulatan aktualisasi diri umat islam terhadap proses modernisasi dunia
yang tengah berlangsung dalam skala global.

Adanya konsep integrasi keilmuan dikalangan ilmuan ini berkaitan erat dengan konteks
historis dan sosiologis, baik dari segi perkembagan ilmu itu sendiri maupun dari segi
perkembangan agama, yang sudah lama mengalami dikotomisasi dikalangan ilmuan barat dan
ilmuan muslim. Penerapan integrasi yang bersifat inklusif, dan scientific dalam keilmuan baik
disekolah maupun di pesantren diasumsikan mampu memberikan sesuatu yang berguna dan
menghapuskan batas-batas antar mata pelajaran menjadi bahan pelajaran dan membentuk
kepribadian peserta didik yang selaras dengan kehidupan sekitarnya.

Ilmu tidak mengenal dikotomi al-qur’an dan hadits tidak membedakan ilmu agama dan
ilmu lainnya. Dalam ilmu hakikatnya adalah terintegrasi dan terpadu secara nyata antara tuhan
manusia dan alam, keduanya adalah rentetan yang terpadu. Karena itu dalam disiplin ilmu
mempelajari ilmu agama tidak harus meninggalkan ilmu umum, begitu juga sebaliknya, sehingga
melahirkan generasi yang beragama sekaligus berilmu

3. Konsep kesatuan epistemologi bayani, irfani dan burhani

Epistemologi Bayani Menurut al-Jabiri, corak epistimologi bayani secara historis adalah
sistem epistimologi paling awal muncul dalam pemikiran Arab.41 Secara leksikal-etimologis, term
bayani atau bayan mengandung beragam arti, yaitu, kesinambungan (al-washl), keterpilahan (al-
fashl), jelas dan terang (al-zhuhur wa alwudhuh) dan kemampuan membuat terang dan jelas.42
Epsitimologi bayani muncul bukan sebagai entitas budaya yang a histories, melainkan memiliki
akar sejarah yang panjang dalam pelataran tradisi pemikiran Arab. Sebagaimana diketahui bangsa
Arab sangat mengagungkan bahasanya, terlebih setelah diyakini sebagai identitas kultur dan

41
Muhammad `Abed Al-Jabiri, Kritik Kontemporer Atas Filsafat Arab, hlm. xxvii
42
Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif, (Yogayakarta: LKiS Pelangi Aksara, cet. I, 2008), hlm. 38.
bahasa wahyu Tuhan. Sehingga wajar dan cukup beralasan jika Jabiri menyebutkan determinan
histories awal-mula peradaban Islam adalah sinergi bahasa dan agama, yang memproduk
intelektual ilmu kebahasaan dan ilmu agama.43 Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang
menekankan otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak langsung, dan dijustifikasi oleh akal
kebahasaan yang digali inferensi. secara langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan
jadi dan langsung mengaplikasikannya tanpa perlu pemikiran: secara tidak langsung memahami
teks secara mentah tanpa memerlukan tafsir dan penalaran. walaupun demikian, hal ini bukan
berarti akal atau rasio bebas menentukan makna atau maksudnya, tetapi harus tetap bersandar
pada teks. dalam bayani, rasio atau akal tidak memiliki kemampuan memberikan pengetahuan
tanpa disandarkan pada teks.44 Sasaran bidik metode bayani ini adalah aspek eksoterik (syariat).
Dengan demikian, sumber pengetahuan bayani adalah teks atau nash (al-Quran dan Hadits). Oleh
karena itu, menurut al-Jabiri dalam epistimologi bayani menaruh perhatian besar terhadap
transmisi teks dari generasi ke generasi.

Secara etimologi Irfani dari kata dasar bahasa arab semakna dengan makrifat, berarti
pengetahuan.45 Tetapi ia berbeda dengan ilmu (`ilm). Irfani atau makrifat berkaitan dengan
pengetahuan yang diperoleh secara langsung lewat pengalaman (experience), sedang ilmu
menunjuk pada pengetahuan yang diperoleh lewat transformasi (naql) atau rasionalitas (aql).
Sedangkan secara terminologis, irfani bisa diartikan sebagai pengungkapan atas pengetahuan
yang diperoleh lewat penyinaran hakekat oleh Tuhan kepada hamba-Nya (kasyf) setelah adanya
olah ruhani (riyâdlah) yang dilakukan atas dasar cinta (love).46 Kebalikan dari epistemologi bayani,
sasaran bidik irfani adalah aspek esoterik, apa yang ada dibalik teks. Dalam istilah Amin Abdullah,
bahwa pada tradisi irfani kata arif lebih diutamakan dari kata alim karena alim lebih merujuk
kepada nalar bayani.

Epistemologi Burhani Dalam Khasanah kosa kata Arab, Menurut Ibn Mansyur kata
alBurhan secara epistimologis berarti argumen yang jelas dan tegas.51 Selanjutnya, kata ini
disadur dalam terminology ilmu mantiq untuk menunjukkan arti proses penalaran yang
menetapkan benar tidaknya antarproposisi melalui cara deduksi, yaitu melalui cara pengaitan

43
Muhammad `Abed Al-Jabiri, Bunyah al`Aql al-Arabi (Beirut, al-Markaz al-Tsaqafi alArabi, 1991), hlm. 38.
44
Nash dalam ushul fiqih seperti yang dijelaskan oleh Abdul Wahab Khalaf bahwa nash berarti al-Quran
dan al-Hadits. Lihat Abd. Wahab Khalaf, Ilm Ushul Fiqh, terj. Madar Helmi, (Bandung: Gema Risalah Press,
1996), hlm. 22.
45
Al-Jabiri, Bunyah, hlm. 251.
46
Amin Abdullah, Islamic Studies, hlm. 212.
antarproposisi yang kebenarannya bersifat postulatif (kesimpulan yang pasti). Bagi al-Jabiri
Metode burhani bertumpuh sepenuhnya pada seperangkat kemampuan intelektual manusia,
baik melalui panca indera, pengalaman, maupun daya rasional, dalam upaya memperoleh
pengetahuan tentang semesta, bahkan juga sampai menghasilkan kebenaran yang bersifat
pospulatif.52 Epistemologi Burhani, berbeda dengan epistemologi bayani dan irfani, yang masih
berkaitan dengan teks suci, burhani sama sekali tidak mendasarkan diri pada teks, juga tidak pada
pengalaman. Burhani menyadarkan diri kepada kekuatan rasio, akal, yang dilakukan lewat
dalildalil logika. Bahkan dalil-dalil agama hanya bisa diterima sepanjang ia sesuai dengan logika
rasional.47

F. Pengembangan peserta didik

1. Humanisasi, Liberasi dan Transendensi

Humanisasi merupakan landasan ontologis, kemudian liberasi adalah landasan


epistemologis, dan transendensi sebagai landasan aksiologis. Oleh karena transendensi
dipandang sebagai nilai yang dituju, maka keberadaan manusia dan kehidupan mereka
diabdikan kepada tujuan-tujuan transendensi itu.

Humanisasi dimaknai sebagai upaya memanusiakan manusia. Posisi manusia di


sini adalah sebagai mahluk ciptaan Tuhan. Apabila dipakai pendekatan humanisme, maka
humanisme seperti ini disebut sebagai humanisme teosentris, yang bertolak belakang
dengan humanisme era modern, terlebih-lebih pandangan kaum materialis seperti Ludwig
Feuerbach (1804 – 1872) yang memandang Tuhan sebagai hasil proyeksi manusia belaka.
Jadi, alih-alih manusia sebagai proyek teosentris, justru Tuhan menjadi proyek
antroposentris. Humanisme dalam ilmu sosial profetik juga tidak sejalan dengan
rasionalisme yang berkembang di Barat, yang menjadikan manusia sebagai penentu
segalanya. Dengan “kecerdasan”-nya manusia menjadi pencipta mesin-mesin perang dan
mengeksploitasi alam, sehingga humanisme yang ditawarkan era modern malahan
mendegradasi kemanusiaan itu sendiri.

47
Ibid. hlm. 251.
Liberasi adalah upaya membebaskan manusia dari sistem pengetahuan, sosial,
ekonomi, dan politik yang membelenggu manusia. Kuntowijoyo melihat manusia banyak
yang masih hidup dalam hegemoni kesadaran palsu. Sebagai contoh, manusia hidup
berdasarkan mitos, bukan logos. Beragama juga dengan cara-cara bermitos, meyakini
ajaran agama itu tetapi tidak mengamalkannya. Liberasi juga ingin membebaskan manusia
dari dominasi struktural, yang membuat manusia terjerat dalam pemerasan dan
kemiskinan.

Transendensi adalah upaya mengarahkan tujuan hidup manusia agar bisa hidup
secara bermakna. Nilai-nilai transendental ini adalah nilai-nilai ketuhanan sebagaimana
diajarkan di dalam Islam. Nilai-nilai ketuhanan ini yang mengarahkan manusia untuk
menemukan nilai-nilai luhur kemanusiaan; atau dengan perkataan lain mengajak manusia
menjalankan nilai-nilai kemanusiaan itu menuju ke nilai-nilai ketuhanan.

Sekilas terilhat bahwa ilmu sosial profetik ini berjalan linear dari kemanusiaan
menuju ke ketuhanan. Ternyata ilmu sosial profetk ini, sebagai ilmu sosial, tetap
bermaksud mengatasi masalah-masalah empiris. Jadi, basisnya masih sebagai ilmu sosial
sebagai ilmu empiris. Dalam perspektif filosofis, ada kekikukan di sini untuk memahami
pilar aksiologis yang ingin diberi penekanan oleh Kuntowijoyo. Jika ilmu sosial (sebagai
ilmu empiris) yang digarisbawahi, maka tujuan yang ingin dikejar seharusnya ada pada
humanisasi. Sebaliknya, jika aspek profetiknya yang diaksentuasi, maka transendensi yang
dijadikan aksiologi. Orientasi ke dimensi transenden bagi ilmu sosial yang selama ini
dikenal luas ber-maqam pada alam imanen adalah gagasan unik dan menarik dari ilmu
sosial profetik.

2. Pengembangan peserta didik yang terintregasi dengan 6 karakter Pancasila dalam


kurikulum merdeka

 Satu, beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berahlak mulia.
Implementasi pelajar yang beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan
berahlak mulia adalah pelajar Indonesia yang percaya kepada Tuhan Yang Maha
Esa dan menjalankan ajarannya dalam kehidupan sehari-hari. Menerapkan segala
sendi kehidupan berdasarkan agama yang diyakininya.
 Dua, berkebhinekaan global : Berkebhinekaan global yaitu Pelajar Indonesia
mempertahankan budaya luhur dan tetap berpikiran terbuka dalam interaki dengan
lingkungan, menghargai terbentuknya budaya baru yang positif yang tidak
bertentangan dengan budaya luhur bangsa Indonesia. Elemen kuncinya, mengenal
dan menghargai budaya yaitu mengenali, mendeskripsikan berbagai macam
kelompok serta identitas dari masing-masin kelompok, juga menganalisis
bagaimana menjadi anggota kelompok dengan benar, aktif dalam segala aktifitas
dan menjaga keberagaman.
 Tiga, gotong royong : Pelajar Indonesia mempunyai kamampuan bergotong royong
dalam melakukan kegiatan atau pekerjaan. Pelajar Indonesia memahami bahwa
dengan bergotong royong pekerjaan akan lebih ringan dan dapat diselesaikan
dengan mudah dan cepat. Elemen kunci gotong royong adalah berkolaborasi
dengan orang lain, berbahagia dan bersikap positif terhadap orang lain.
 Empat, mandiri: Pelajar Indonesia adalah mandiri dalam bersikap dan bertanggung
jawab terhadap situasi dan kondisi yang dihadapinya. Pelajar Indonesia mampu
mengukur kemampuan dirinya mengenali dan menyadari kebutuhan dan
pengembangan dirinya sehingga dia tahu apa yang harus dilakukan dan apa yang
harus dihindari. Pelajar Indonesia juga mampu meregulasi diri, artinya mampu
bersikap dewasa mengatur pikiran, perasaan, juga perilaku yang dia butuhkan untuk
mencapai tujuan belajarnya.
 Lima, bernalar kritis: Pelajar Indonesia yang bernalar kritis, mampu memproses
berpikirnya secara kuantitatif dan kualitatif dapat menganilis informasi serta
menyimpulkannya dengan benar. Elemen kuncinya yaitu memperoleh dan
memproses informasi dengan mengajukan pertanyaan yang relevan,
mengklarifikasi gagasan yang diperoleh dengan menemukan fakta yang diperoleh
dengan hati-hati.
 Enam, Kreatif : Pelajar yang kreatif adalah pelajar yang mampu memodifikasi dan
menghasilkan sesuatu yang orisinil, asli bukan tiruan, bermakna dan bermanfaat.
Elemen kuncinya adalah menghasilkan gagasan yang orisinil. Pelajar pancasila
mampu membentuk ide atau gagasan yang sederhana hingga yang kompleks
selanjutnya mengaplikasikan dalam kehidupannya menjadi alternative
penyelesaian masalah.

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Nilai-nilai pendidikan profetik adalah nilai pendidikan yang mengambil inspirasi


dari ajaran Nabi Muhammad SAW untuk menyempurnakan akhlak yang mulia pada setiap
individu sehingga keberhasilannya dapat direalisasikan dalam kehidupan. Untuk tetap
menjalankan kehidupan manusia tetaplah membutuhkan pendidikan untuk membangun
sebuah peradaban yang betul-betul mengerti tentang makna dan hakekat manusia itu
sendiri. Keberhasilan dari nilai-nilai profetik disebabkan karena praktik pendidikan tidak
hanya memperhatikan aspek kognitif dari pertumbuhan kesadaran nilai-nilai agama tetapi
juga pembinaan aspek afektif, kemauan dan tekad untuk mengamalkan nilai-nilai ajaran
agama.

Nilai-nilai pendidikan profetik dalam QS. Ali Imron ayat 110 adalah:

1. Amar Ma’ruf (humanisasi) Misi profetik humanisasi dapat disebut dengan insan
kamil dalam tradisi khairu ummah. Tradisi untuk menjadikan Islam sebagai ilmu dengan
terus melakukan, mengkaji diri, lingkungan dan makhluk-Nya untuk mendekatkan diri
kepadaNya. Sebaik-baik umat yaitu beramar ma’ruf dengan menyeru kepada Islam dan
aturan-aturan dari petunjuk Rasulullah SAW.

2. Nahi Munkar (liberasi) Nahi munkar yaitu melarang manusia kepada kekafiran,
kemusyriran, dan perbuatan dosa lainnya. Nilai pendidikan dalam mencegah kemunkaran
yaitu penanaman pendidikan tauhid adalah bagian utama dan paling pertama harus
ditanamkan dalam diri agar menjadi manusia yang bertaqwa, menjauhi kemunkaran,
menumbuhkan amal saleh, dan alakhlaq al-karimah.

3. Beriman kepada Allah (transendensi) Umat Islam adalah sebaik-baik umat,


selama mereka melaksanakan amar ma’ruf dan nahi nunkar dan tetap beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya. Allah telah menegaskan bahwa orang-orang yang menegakkan amar
ma’ruf dan nahi munkar adalah sebaik-baik umat. Sehingga pendidikan dijadikan sebagai
landasan untuk membentuk manusia yang manusiawi dengan menambah dimensi
keimanan kepada Allah SWT.

Beriman kepada Allah SWT serta apa yang diperintahkan oleh-Nya untuk mereka
imani, yaitu beriman kepada malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul, hari kebangkitan, dan
kepada qadar (ketentuan Allah). Nilai transendensi seseorang terlihat dari perilaku
keseharian seseorang yaitu terlihat pada akhlaknya, akhlak kepada Allah dan akhlak
terhadap sesama manusia dan alam semesta. Dengan demikian keutamaan umat yang
ditujukan dalam alQur'an surat Ali Imron ayat 110 yaitu dengan cara amar ma'ruf dan nahi
munkar serta beriman kepada Allah swt dengan cara yang benar. Hal itulah yang dijadikan
sebagai kebiasaan Nabi Muhammad SAW dalam berdakwah baik secara terang-terangan
maupun sembunyi-sembunyi. Sehingga nilai-nilai pendidikan yang didapatkan adalah
sifatsifat mulia yang bersumber dari al-Qur’an dan sunnah Nabi yang dapat dijadikan
sebagai pendidikan akhlak dalam setiap diri individu.

DAFTAR PUSTAKA

Pendidikan adalah usaha memanusiakan manusia. Lihat Nur Uhbiyati, Long Life Education:
Pendidikan Anak Sejak dalam Kandungan Sampai Lansia, (Semarang: Walisongo Press, 2009), hlm. 1.
Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm.304
Moh. Roqib, Prophetic Education: Kontekstualisasi Filsafat dan Budaya Profetik dalam Pendidikan,
(Purwokerto: STAIN Press, 2011), hlm. 88
Zuriah, Nurul, Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2007),
Hlm. 92.
Moleong, Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), Hlm.3.
Sukardi, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Yogyakarta: PT Bumi Perkasa, 2003) Hlm 55
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Edisi Revisi (Jakarta: Rineka
Cipta, 2010), Hlm.172.
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D, (Bandung: Alfabeta, 2010), Hlm.
218.
Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), Hlm. 303.
Chisnall, Peter M, Marketing Research, McGraw Hill MarketingSeries, 1992, Hlm 80.
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung: Alfabeta, 2008), cet. 4, Hlm. 72.
Margono, S, Metodologi Penelitian Pendidikan, Hlm. 165.
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Hlm. 192.
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Pendekatan Praktek, Hlm. 274.
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2007), Hlm. 270
Ibid., Hlm. 272.
Ibid., Hlm. 330.
Ibid., Hlm. 273-275.
Emory, Business Reserch Methods, (Richad D. Irwin Inc. 1985). Hlm 99
Sugiyono, metode penelitian pendidikan pendekatan kuantitatif, kualitatif, dan R & D, (Bandung:
Alfabeta, 2009) Hlm 333.
Sugiyono, Penelitian Kualitatif dan R & D, Hlm. 246.
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif dan R & D, Hlm. 249.
1
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif dan R & D, Hlm. 250- 251.
Moh. Roqib, Prophetic Education Kontekstualisasi …., hlm. 156.
Kuntowijoyo, Islam sebagai …, hlm. 98.
Moh. Shofan, Pendidikan Berparadigma Profetik …, hlm. 142.
Masnur Muslich, Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2011), hlm. 80.
Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 289.
Roqib, “Kontekstualisasi Filsafat Dan Budaya Profetik Dalam Pendidikan.”
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid: Esai-Esai Agama, Budaya, Dan Politik Dalam Bingkai
Strukturalisme Transendental (Mizan, 2001).
Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam Membangun: Membangun Masyarakat Madani
Indonesia, (Yogyakarta: SafiRIA Insani Press, 2003), hlm. 4.
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, (Yogyakarta: Media Wacana Press, 2003), hlm. 9.
A. Nurul Kawakib, Pesantren Globalisation, (Malang: UIN-Malang Press, 2009), hlm. 40.
Moh. Roqib, Phrophetic Education (Kontekstualisasi Filsafat dan Budaya Profetik dalam
Pendidikan), (Purwokerto: STAIN Press, 2011), hlm. 122
Moh. Roqib, Phrophetic Education...hlm. 123
Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum..., hal. 84.
Syafruddin Nurdin, Guru Profesional &Implementasi Kurikulum, Cet III, Jakarta: Quantum Teaching,
2005, 48.
Tim Penyusun, KBBI (Jakarta:Pusat Bahasa, 2008), hlm. 559
Poerwadarminta, W.J.S Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta; Balai Pustaka, 1985), hlm.384.
Muhammad `Abed Al-Jabiri, Kritik Kontemporer Atas Filsafat Arab, hlm. xxvii
Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif, (Yogayakarta: LKiS Pelangi Aksara, cet. I, 2008), hlm.
38.
Muhammad `Abed Al-Jabiri, Bunyah al`Aql al-Arabi (Beirut, al-Markaz al-Tsaqafi alArabi, 1991),
hlm. 38.
Nash dalam ushul fiqih seperti yang dijelaskan oleh Abdul Wahab Khalaf bahwa nash berarti al-
Quran dan al-Hadits. Lihat Abd. Wahab Khalaf, Ilm Ushul Fiqh, terj. Madar Helmi, (Bandung: Gema Risalah
Press, 1996), hlm. 22.
Al-Jabiri, Bunyah, hlm. 251.
Amin Abdullah, Islamic Studies, hlm. 212.
Ibid. hlm. 251.

Anda mungkin juga menyukai