Anda di halaman 1dari 28

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Penegasan Judul
Judul merupakan gambaran dari karya ilmiah untuk menjelaskan isi pokok pembahasan.
Sebelum peneliti menguraikan pembehasan lebih lanjut, terlebih dahulu akan dijelaskan istilah
dalam proposal ini untuk menghindari kesalahpahaman bagi para pembaca dan agar dapat
memudahkan dalam memahami judul proposal ini. Adapun judul proposal ini adalah “Pengaruh
Model Pembelajaran Advokasi Terhadap Pemahaman Peserta Didik di Mata Pelajaran Fikih
Kelas V MI Nurul Iman Lampung Timur”. Adapun istilah yang perlu dijelaskan sebagai berikut:
1. Pengaruh merupakan suatu efek yang tegardan membentuk terhadap pikiran dan perilaku
manusia baik sendiri-sendiri maupun kolektif.1
2. Model pembelajaran advokasi adalah Model Pembelajaran Advokasi merupakan
pembelajaran yang berpusat pada peserta didik (student-centered advocacy learning) sering
diidentikkan dengan proses debat.2
3. Pembelajaran merupakan embelajaran adalah suatu kegiatan yang menyangkut pembinaan
anak mengenai segi kognitf dan psikomotorik semata, yaitu supaya anak lebih banyak
pengetahuannya, lebih berpikir kritis, sistematis obyektif serta terampil dalam mengerjakan
sesuatu.3
4. Fikih adalah dalah ilmu yang menjelaskan tentang hukum syar’iyyah yang berhubungan
dengan segala tindakan manusia baik berupa ucapan atau perbuatan. 4
5. Pemahaman siswa berarti jenjang kemampuan berpikir siswa yang setingkat lebih tinggi
dari ingatan dan hafalan.5
Maka dari definisi variabel-variabel dalam penelitian yang sudah dibahas diatas, peneliti
bermaksud untuk melakukan penelitian Pengaruh Model Pembelajaran Advokasi Terhadap
Peningkatan Pemahaman Peserta Didik di Mata Pelajaran Fikih Kelas V MI Nurul Iman
Lampung Timur.

B. Latar Belakang Masalah


Islam sebagai bentuk ajaran kaffah, yakni menganjurkan umatnya secara sungguh-
sungguh dalam mengamalkan ajaran- ajaran Islam dalam setiap aspek kehidupan. Dalam hal ini
ajaran Islam memberikan perhatian yang cukup besar dalam bidang pendidikan. Pendidikan
diselenggarakan agar dapat tercipta suatu perubahan yang baik dalam kehidupan manusia dan
manusia dapat mengenal Tuhannya agar dapat menjadikan sebuah bangsa yang mulia serta tegak
sebagai khilafah ar-rasyidah di dunia. Pendidikan juga dapat mendidik jiwa kemanusiaan dalam
keseluruhan aspek, diantaranya aspek pribadi, spiritual, sosial dan peradaban. 6 Tujuan tersebut
dapat tercapai dalam bentuk pelaksanaan Pendidikan Agama Islam di Madrasah. Pendidikan
Agama Islam merupakan usaha yang dilakukan untuk meyakini, memahami, dan mengamalkan
ajaran Islam melalui proses belajar mengajar untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. 7
Pendidikan Agama Islam pada implementasinya bisa ditemui di lembaga-lembaga
pendidikan berbasis keagamaan seperti Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan
1
J.S dan Zain Babadu, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2021),131.
2
Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar (Jakarta: Bumi Aksara, 2021),228-229.
3
Ahmad Tafsir, Metode Khusus Pendidikan Agama Islam (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1990),45.
4
Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddiieqy, Falsafah Hukum Islam (Semarang: Pustaka Rizki Putra,
20001),76.
5
Anas Sudiaon, Pengantar Evaluasi Pendidikan (Jakarta: grafindo, 2005),35.
6
Suhartono Suhartono and Rosi Patma, “Upaya Peningkatan Hasil Belajar Siswa Mata Pelajaran Fiqih
Materi Pembelajaran Haji Dan Umrah Melalui Penerapan Metode Advokasi,” Al-I’tibar : Jurnal Pendidikan Islam
5, no. 1 (2018): 10–19, https://doi.org/10.30599/jpia.v5i1.309.
7
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi: Konsep Dan
Implementasi Kurikulum 2004 (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2005),79.
2

Madrasah Aliyah. Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Madrasah Ibtidaiyah dibagi menjadi
sub-sub mata pelajaran, salah satunya yaitu mata pelajaran Fiqih. Fiqih merupakan sistem norma
yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT, hubungan sesama manusia dan hubungan
manusia dengan makhluk lainnya. Aspek pembelajaran Fiqih dapat mendorong kemampuan
siswa dalam memahami tata cara pelaksanaan ibadah dan muamalah yang baik dan benar.
Pembelajaran Fiqih bertujuan untuk membekali siswa agar dapat mengetahui dan
memahami pokok-pokok hukum Islam secara terperinci dan menyeluruh, baik berupa dalil naqli
dan aqli, melaksanakan dan mengamalkan ketentuan hukum Islam dengan benar.8 Oleh sebab itu,
siswa perlu mempelajari Fiqih agar tidak hanya memahami materi yang diketahui saja namun
bisa diaplikasikan di kehidupan sehari-hari. Materi yang diajarkan dengan baik di lingkup
sekolah akan membentuk kepribadian siswa menjadi mandiri, bertanggung jawab, dan memiliki
budi pekerti yang luhur. Fiqih secara umum merupakan salah satu bidang studi Islam yang
banyak membahas tentang hukum yang mengatur pola hubungan manusia dengan Tuhannya,
antara manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungannya. Melalui bidang studi Fiqih
ini diharapkan siswa tidak lepas dari jangkauan norma-norma agama dan menjalankan aturan
syariat Islam. Tujuan pembelajaran Fiqih dijadikan sebagai dasar dalam pelaksanaan seluruh
aktivitas pembelajaran Fiqih yang dilaksanakan mulai tingkat sekolah dasar hingga di tingkat
menengah atas. Ketercapaian tujuan pembelajaran Fiqih sebagaimana pada pembelajaran lain
sering disebut dengan hasil pemahaman peserta didik mengenai pembelajaran fikih.
Keberhasilan suatu pembelajaran dapat diukur dengan sejauh mana pemahaman peserta
didik terhadap materi yang telah disampaikan oleh guru di dalam kelas. Kualitas pendidikan tidak
terlepas dari kualitas proses belajar mengajar. Mutu pendidikan bukan hanya ditentukan oleh
guru, melainkan juga oleh peserta didik, sarana dan faktor-faktor instrumental lainnya. Dalam
meningkatkan pemahaman, aktivitas anak juga sangat mempengaruhi karena menurut ilmu
psikologi anak yang normal selalu bertindak dengan tingkatan perkembangan umur mereka. Ia
selalu mengadakan reaksi-reaksi terhadap lingkungannya atau adanya aksi dari lingkungan maka
ia pun melakukan kegiatan atau aktivitas. Anak yang sering melakukan aktivitas akan mudah
memahami suatu materi pelajaran yang diajarkan dan dapat meningkatkan keberhasilan belajar. 9
Tingkat pemahaman peserta didik akan bertambah dan berkembang melalui belajar dari
pengalaman serta lingkungan sekitarnya karena ia akan berinteraksi dengan sesamanya, sehingga
untuk mengembangkan kecerdasan dalam ranah afektif, kognitif serta psikomotor peserta didik
harus dibangun ketika terjadinya proses pembelajaran.
Proses pembelajaran yang dapat berlangsung secara optimal tesebut dapat terwujud
dengan dukungan guru. Guru adalah fasilitator siswa pada saat pembelajaran didalam kelas.
Pengoptimalan proses pembelajaran disesuaikan dengan tujuan pembelajaran pada mata pelajaran
fikih di MI. Guru harus bisa menciptakan suasana belajar yang menyenangkan untuk peserta
didiknya agar peserta didik dapat mulai berinteraksi dengan baik diruang kelas yang dianggap
seperti ruang lingkup masyarakat. Oleh karna itu, sebagai fasilitator guru harus bisa menciptakan
suasana belajar yang yang aktif seperti yang dijelaskan Uno Hamzah pembelajaran aktif adalah
saat anak-anak aktif dan terlibat dalam pembelajaran.10
Berdasarkan data pra penelitian hasil wawancara dengan guru MI Nurul Iman Lampung
Timur menyatakam bahwa sudah guru di MI Nurul Iman Lampung Timur sudah menggunakan
model pembelajaran tapi ternyata model tersebut belum mampu memaksimalkan pemahaman

8
Nur Hayani, “Penerapan Metode Simulasi dalam Pembelajaran Fikih Ibadah bagi Siswa di MTs YMPI
SEI Tualang Raso Tanjung Balai”, Jurnal Ansiru 1, no. 1 (2017), h. 89
9
Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2012),37.
10
Rajab Rajab, Zulmuqim Zulmuqim, and Rully Hidayatullah, “Pengembangan Model Pembelajaran
Berbasis Teknologi Informasi Pada Pesantren Di Sumatera Barat,” Ta’allum: Jurnal Pendidikan Islam 8, no. 2
(2020): 246–66, https://doi.org/10.21274/taalum.2020.8.2.246-266.
3

peserta didik terutama dalam pembelajaran fikih 11, rendahnya pemahaman peserta didik bisa
terlihat melalui hasil ujian akhir sekolah semester genap adalah sebagai berikut:

Tabel 1.1.
Hasil Penilaian Pemahaman Peserta didik Semester Genap TP 2022/2023
No Hasil Belajar Siswa Jumlah Persentase
1 Tuntas 8 67%
2 Belum Tuntas 16 33%
Jumlah 24 100%

Berdasarkan data di atas ternyata peserta didik tingkat pemahamannya masih rendah
dibuktikan dengan tabel hasil penilaian semester genap diatas yaitu siswa yang belum tuntas
masih banyak yaitu 67% yang tuntas hanya 33%. Hasil grafik penilaian tersebut kemudian
peneliti analisis dan ternyata diketahui bahwa pemahaman peserta didik dalam pembelajaran fikih
masih rendah, dan diketahui bahwa guru di MI Nurul Iman Lampung Timur sebenarnya sudah
menggunakan model pembelajaran namun belum mampu memaksimalkan pemahaman peserta
didik. Model yang sebelumnya digunakan oleh guru di MI Nurul Iman Lampung Timur adalah
model pembelajaran discovery learning dimana berdasarkan wawancara ternyata model tersebut
belum mampu memaksimalkan pemahaman siswa dalam pembelajaran fikih. Untuk mengatasi
permasalahan tersebut guru perlu model pembelajaran lain yang bisa meningkatkan dan
memaksimalkan pemahaman peserta didik adalah dengan model advokasi yaitu model
pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered advocacy leaning) pembelajaran
advokasi dipandang sebagai suatu pendekatan alternatif terhadap pengajaran didaktis didalam
kelas yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk mempelajari isu-isu sosial dan personal
melalui keterlibatan langsung dan partisipasi pribadi. Model pembelajaran advokasi menuntut
siswa terfokus pada siswa pada topik yang ditentukan sebelumnya dan mengajukan pendapat
yang bertalian dengan topik pembelajaran. Model pembelajaran advokasi merupakan model
pembelajaran alternative untuk meningkatkan proses belajar siswa yang memberikan kesempatan
kepada siswa untuk menjadi advokat dari suatu pendapat tertentu yang bertalian dengan topik
yang tersedia. Siswa menggunakan keterampilan riset, keterampilan analisis, dan keterampilan
berbicara atau mengemukakan pendapat dan juga mendengar sebagaimana mereka berpartisipasi
didalam kelas pengalaman advokasi. Siswa pada pembelajaran dihadapan dengan isu-isu
kontroversial dan harus mengembangkan suatu kasus untuk mendukung pendapat mereka
didalam perangkat untuk tujuan-tujuan khusus. Berdasarkan penjelasan tersebut model
pembelajaran advokasi muncul asumsi. bahwa model advokasi akan efektif apabila diterapkan
pada pembelajaran fiqih. Hal tersebut karena materi pembelajaran fiqih berisi masalah-masalah
hukum yang sangat kompleks dan menimbulkan banyak penafsiran. Melalui model pembelajaran
advokasi peserta didik dilatih untuk mencari informasi tentang hukum suatu masalah dan
mempedebatkan informasi yang telah diperoleh sehingga akan dapat memperdalam
pemahamannya terhadap materi pembelajaran fiqih.12
Selain permasalahan yang diperoleh dalam pra penelitian juga didukung dengan
penelitian yang relevan yaitu penelitian dengan judul Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Siswa
Pada Mata Pelajaran Fikih Melalui Model Pembelajaran Advokasi Pada Siswa Kelas VIII MTs
Jam’iyah Mahmudiyah Tanjung Pura. Hasil penelitian tersebut ialah Dari analisis data yang
peneliti dapatkan, dapat diketahui dari kondisi awal bahwa di kelas VIII terjadi permasalahan,
11
Hasil Wawancara Pra Penelitian di MI Nurul Iman Lampung Timur, pada tanggal 8 Juni 2023
12
Trianto Ibnu Badar Al-Tabany, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif, Progresif, Dan Kontekstual
(Jakarta: Kencana, 2017),65.
4

yaitu hasil belajar siswa dalam pembelajaran Fikih masih tergolong rendah dan jauh dari target
KKM (75) yang ditetapkan oleh pihak Madrasah. Pada pelaksanaan pra siklus diperoleh nilai
rata-rata siswa 70 dengan nilai ketuntasan belajar siswa 41,66 %. Kemudian dilaksanakan siklus
I, dari data penelitian tindakan kelas yang telah peneliti dapatkan terjadi peningkatan nilai rata-
rata pada siklus 1 menjadi 71, dengan nilai ketuntasan belajar 78,75%. Tetapi masih banyak
sekali siswa yang belum mencapai KKM, maka dilanjutkan ketindakan siklus 2. Pada tindakan
ini terjadi peningkatan lagi, yaitu menjadi 81 dengan ketuntasan hasil belajar 87,5 %. Hal ini
menunjukkan bahwa Model pembelajaran Advokasi yang peneliti gunakan mampu meningkatkan
hasil belajar siswa pada mata pelajaran Fikih khususnya pada materi zakat. Sehingga peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian yang diterapkan juga kepada siswa di MI. 13
Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah tersebut peneliti ingin melihat lebih
dalam pengaruh model pembelajaran advokasi pada pembelajaran fikih kelas V di MI Nurul Iman
Lampung Timur. Sehingga judul yang peneliti angkat adalah Pengaruh Model Pembelajaran
Advokasi Terhadap Pemahaman Peserta Didik di Mata Pelajaran Fikih Kelas V MI Nurul Iman
Lampung Timur.

C. Identifikasi dan Batasan Masalah


Dari uraian latar belakang masalah di atas, dapat diidentifikasikan beberapa masalah
sebagai berikut:
1. Pemahaman peserta didik di MI Nurul Iman Lampung Timur kelas V masih rendah dalam
pembelajaran fikih.
2. Rendahnya pemahaman peserta didik menyebabkan hasil belajar peserta didik juga rendah.
3. Mata pelajaran fiqih kurang diminati oleh peserta didik
4. Guru belum menggunakan model pembelajaran yang tepat dan sesuai dengan karakter peserta
didik.
Dari identifikasi masalah di atas, penulis membatasi permasalahan ruang lingkup penelitian
yakni mengenai upaya peningkatkan pemahaman peserta didik di mata pelajaran fiqih siswa kelas
V MI Nurul Iman Lampung Timur dengan menggunakan Metode Advokasi.

D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka peneliti menyusun suatu rumusan
masalah penelitian, yaitu: Apakah ada pengaruh yang signifikan model pembelajaran advokasi
terhadap pemahaman peserta didik di mata pelajaran Fiqih kelas V MI Nurul Iman Lampung
Timur?

E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah dan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas
tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh yang signifikan model pembelajaran
advokasi terhadap pemahaman peserta didik di mata pelajaran Fiqih kelas V MI Nurul Iman
Lampung Timur.

F. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberi manfaat sebagai berikut:
1. Secara Teoritis

13
Piana Manik et al., Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran Fikih Melalui Model
Pembelajaran Advokasi Pada Siswa Kelas VIII MTs Jam’iyah Mahmudiyah Tanjung Pura, JMI: Jurnal Millia
Islamia. 2024.
5

a. Sebagai suatu karya ilmiah, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang pengaruh model pembelajaran advokasi,
khususnya masalah yang berkaitan dengan model advokasi terhadap pelaksanaan
pembelajaran pendidikan fikih kelas V MI.
b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi untuk kegiatan penelitian yang
sejenis pada waktu yang akan datang.
2. Secara Praktis
a. Diharapkan dapat memberikan informasi yang konstruktif guna untuk dijadikan sebagai
bahan pertimbangan guru pada umumnya, dan terkhusus peserta didik kelas V MI Nurul
Iman Lampung Timur yang berkaitan dengan pemahaman siswa terhadap pembelajaran
fikih.
b. Diharapkan dapat memberikan pemahaman terhadap pembaca bahwa implementasi
model pembelajaran advokasi dibutuhkan untuk mendukung kehidupan dalam bidang
akademik.
G. Kajian Penelitian Terdahulu
Sebelum melakukan penelitian lebih lanjut, peneliti akan terlebih dahulu melakukan
tinjauan pustaka yang berguna untuk mendapatkan informasi maupun data yang berkatian dengan
permasalahan yang telah diuraikan. Serta untuk menghindarkan dari plagiarisme dan juga
kesamaan, berikut beberapa hasil penelitian yang sebelumnya memiliki relefansi dengan
penelitian ini:
1. Penelitian yang dilakukan oleh Aabidah Ummu dkk tahun 2021 dengan judul Pembelajaran
Advokasi: Alternatif Solusi Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Di Abad 21. Hasil dari
penelitian ini menunjukkan bahwa (1) penelitian model pembelajaran advokasi masih
berputar pada lingkup mikro yang terbatas penerapannya pada aktivitas perdebatan dan
persoalan mata pelajaran yang sifatnya open-ended serta hanya terfokus pada sudut pandang
siswa, (2) pengembangan model pembelajaran advokasi dapat dilakukan melalui aktualisasi
model advokasi secara makro pada ragam metode pembelajaran dan tidak hanya dibatasi
pada topik-topik eksak ataupun non eksak, open-ended ataupun close-ended dan tinjauan
model advokasi dapat diperuntukkan bagi dua sudut pandang yakni guru dan murid.14
Perbedaan antara penelitian "Pembelajaran Advokasi: Alternatif Solusi Meningkatkan
Hasil Belajar Siswa Di Abad 21" dengan "Pengaruh Model Pembelajaran Advokasi Terhadap
Pemahaman Peserta Didik di Mata Pelajaran Fikih Kelas V MI Nurul Iman Lampung Timur"
terletak pada fokus, subjek penelitian, dan konteks. Penelitian pertama memiliki fokus yang
lebih umum dengan tujuan memahami peran pembelajaran advokasi sebagai alternatif dalam
meningkatkan hasil belajar siswa di era abad ke-21 secara keseluruhan. Penelitian ini
mungkin melibatkan berbagai subjek dan lembaga pendidikan. Di sisi lain, penelitian kedua
jauh lebih spesifik, mengkaji pengaruh model pembelajaran advokasi pada pemahaman
peserta didik dalam mata pelajaran Fikih kelas V di MI Nurul Iman Lampung Timur,
sehingga memiliki fokus yang lebih terbatas. Ini membuat penelitian kedua lebih terkait
dengan pemahaman siswa dalam konteks pembelajaran Fikih di sekolah tersebut, sementara
penelitian pertama bersifat lebih konseptual dan luas dalam cakupannya, mungkin memiliki
implikasi yang lebih umum dalam bidang pendidikan.
2. Penelitian oleh Arini Fathiya Handayani Pada tahun 2019 dengan judul Pembelajaran
Advokasi Untuk Meningkatkan Sikap Tanggung Jawab Siswa Dalam Pembelajaran PKN.
Hasil penelitian yaitu Pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran
advokasi yaitu membagi siswa ke dalam beberapa kelompok, setiap kelompok diberikan
topik permasalahan untuk dianalisis dari sudut pandang tim pro dan kontra. Pelaksanaan
diskusi dilakukan dengan metode debat. Perkembangan sikap tanggung jawab peserta didik

14
’Aziizah, Bella, and Ibrahim.
6

mengalami peningkatan yang signifikan dari setiap siklusnya. Kendala yang dialami yaitu
kurangnya keberanian dalam mengemukakan pendapat, kondisi kelas yang masih belum
kondusif, keikutsertaan dalam kelompok yang masih kurang, keberanian dalam bertanya dan
menjawab, dan kurangnya keterampilan guru dalam mengelola kelas. Adapun upaya yang
dilakukan yaitu mengoptimalkan kemampuan guru dalam mengelola kelas dan menerapkan
model pembelajaran advokasi dengan sebaik mungkin.15
Perbedaan antara penelitian "Pembelajaran Advokasi Untuk Meningkatkan Sikap
Tanggung Jawab Siswa Dalam Pembelajaran PKN" dan "Pengaruh Model Pembelajaran
Advokasi Terhadap Pemahaman Peserta Didik di Mata Pelajaran Fikih Kelas V MI Nurul
Iman Lampung Timur" mencakup fokus penelitian, subjek penelitian, dan konteksnya.
Penelitian pertama berfokus pada upaya meningkatkan sikap tanggung jawab siswa dalam
pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKN), dengan menekankan aspek sikap yang
berhubungan dengan tanggung jawab. Penelitian ini lebih terkait dengan aspek perilaku dan
etika siswa dalam mata pelajaran PKN. Di sisi lain, penelitian kedua lebih spesifik, berfokus
pada pengaruh model pembelajaran advokasi pada pemahaman peserta didik dalam mata
pelajaran Fikih di tingkat kelas V di MI Nurul Iman Lampung Timur. Fokus penelitian kedua
adalah pemahaman siswa terhadap materi pelajaran Fikih dan dampak dari penerapan model
pembelajaran advokasi terhadap pemahaman mereka. Ini membuat penelitian kedua lebih
terkait dengan konten akademik dan pemahaman siswa dalam konteks mata pelajaran Fikih,
sementara penelitian pertama lebih berkaitan dengan sikap tanggung jawab dalam konteks
pembelajaran PKN. Dengan demikian, keduanya memiliki tujuan dan konteks penelitian yang
berbeda sesuai dengan fokusnya masing-masing.
3. Penelitian oleh Mustolih tahun 2020 dengan judul Upaya Peningkatan Hasil Belajar Siswa
Mata Pelajaran Fiqih Materi Pembelajaran Haji dan Umrah Melalui Penerapan Metode
Advokasi. Hasil penelitian adalah pertama hasil belajar sebelum penerapan metode Advokasi
adalah sangat rendah yaitu dari 32 siswa terdapat 3 siswa atau 13,64%, siswa tidak mencapai
ketuntasan sebanyak 29 orang atau 86,38%. Kedua hasil belajar setelah penerapan metode
Advokasi termasuk kategori tinggi dengan indicator 100% siswa dapat mencapai ketuntasan
setelah tindakan siklus 3. Ketiga Penerapan metode Advokasi dapat meningkatkan hasil
belajar dengan indikator aktivitas guru dalam pembelajaran termasuk kategori baik 95% pada
siklus 3 semula 72,50% pada siklus 2 dan 45% pada siklus 1, dan 32,50% pada prasiklus,
aktivitas siswa dalam pembelajaran masuk kategori baik yaitu mencapai 93,56% pada siklus
3 dimana semula 67,42% pada siklus 2, 46,97 pada siklus 1 dan 29,40% pada prasiklus serta
belajar siswa mencapai 100% dimana semula 13,64% pada prasiklus, 40,91% pada siklus 1,
72,73% pada siklus 2.16
Perbedaan antara penelitian "Upaya Peningkatan Hasil Belajar Siswa Mata Pelajaran
Fiqih Materi Pembelajaran Haji dan Umrah Melalui Penerapan Metode Advokasi" dengan
"Pengaruh Model Pembelajaran Advokasi Terhadap Pemahaman Peserta Didik di Mata
Pelajaran Fikih Kelas V MI Nurul Iman Lampung Timur" terletak pada fokus penelitian,
subjek penelitian, dan materi pelajaran yang dipelajari. Penelitian pertama bertujuan untuk
meningkatkan hasil belajar siswa dalam mata pelajaran Fiqih, khususnya dalam materi
pembelajaran Haji dan Umrah, dengan menerapkan metode advokasi. Fokusnya adalah pada
upaya meningkatkan pencapaian siswa dalam materi pelajaran tertentu. Sementara itu,
penelitian kedua lebih spesifik, mengkaji pengaruh model pembelajaran advokasi pada
pemahaman peserta didik di mata pelajaran Fikih, tanpa spesifikasinya pada materi pelajaran
15
Arini Fathiya Handayani, Penerapan Model Pembelajaran Advokasi Untuk Meningkatkan Sikap
Tanggung Jawab Siswa Dalam Pembelajaran PPKN (Penelitian Tindakan Kelas Di Kelas VII-B SMP Negeri 14
Bandung), Skripsi, Universitas Pendidikan Indonesia, 2019.
16
Ani Rusilowati, M Taufiq, and Budi Astuti, “Jurnal Profesi Keguruan,” Jurnal Profesi Keguruan 5, no. 1
(2019): 15–22.
7

Haji dan Umrah. Fokusnya adalah pada pemahaman siswa terhadap materi pelajaran Fikih
secara keseluruhan di tingkat kelas V di MI Nurul Iman Lampung Timur. Dengan demikian,
penelitian pertama lebih berfokus pada upaya meningkatkan hasil belajar siswa dalam materi
pembelajaran Haji dan Umrah, sementara penelitian kedua lebih berfokus pada pemahaman
umum siswa dalam mata pelajaran Fikih di lingkungan pendidikan yang sama. Keduanya
memiliki tujuan dan lingkup penelitian yang berbeda sesuai dengan fokus penelitian masing-
masing.
4. Penelitian oleh Lilik Widiarti tahun 2021 dengan judul Penerapan Model Pembelajaran
Advokasi Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Fiqih Siswa Kelas VIII Di Mts Raudlatul Ulum
Sungkai Selatan Lampung Utara. Berdasarkan hasil tes yang telah dilakukan siswa, diperoleh
banyaknya siswa yang mencapai KKM yang telah ditentukan yaitu 70. Pada siklus I 13 siswa
atau 54,17% yang mencapai KKM. Dan hasil belajar pada siklus II 20 siswa atau 83,33%
yang mencapai KKM. Kemudian rata-rata hasil belajar siswa pada siklus I mencapai 67,92
dan siklus II terjadi peningkatan labih baik 78,64. dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan
bahwa model pembelajaran advokasi dapat meningkatkan hasil belajar fiqih siswa kelas VIII
di MTs Raudlatul Ulum Sungkai Selatan Lampung Utara.17
Perbedaan antara penelitian " judul Penerapan Model Pembelajaran Advokasi Untuk
Meningkatkan Hasil Belajar Fiqih Siswa Kelas VIII Di Mts Raudlatul Ulum Sungkai Selatan
Lampung Utara " dan "Pengaruh Model Pembelajaran Advokasi Terhadap Pemahaman
Peserta Didik di Mata Pelajaran Fikih Kelas V MI Nurul Iman Lampung Timur" mencakup
fokus penelitian, subjek penelitian, dan konteksnya. Penelitian pertama berfokus pada upaya
meningkatkan hasil belajar siswa siswa dalam fikih. Di sisi lain, penelitian kedua lebih
spesifik, berfokus pada pengaruh model pembelajaran advokasi pada pemahaman peserta
didik dalam mata pelajaran Fikih di tingkat kelas V di MI Nurul Iman Lampung Timur.
Fokus penelitian kedua adalah pemahaman siswa terhadap materi pelajaran Fikih dan dampak
dari penerapan model pembelajaran advokasi terhadap pemahaman mereka. Ini membuat
penelitian kedua lebih terkait dengan konten akademik dan pemahaman siswa dalam konteks
mata pelajaran Fikih.
5. Penelitian yang dilakukan oleh Diana Nurismasari dengan tahun 2021 judul Pelaksanaan
Metode Belajar Advokasi Dalam Peningkatan Minat Belajar Siswa Pendidikan Agama Islam
Kelas IX Di SMP Negeri 2 Pungging Kabupaten Mojokerto. Hasil penelitian menunjukkan
kesimpulan bahwa 1. Proses perencanaan pembelajaran PAI dengan menggunakan metode
advokasi yaitu meliputi penyusunan RPP, persiapan media dan lain-lainnya. 2. Dalam
pelaksanaan pembelajaran menggunakan metode advokasi dilakukan dengan menggunakan
dua siklus. Dalam pelaksanaan, kegiatan pembelajaran berjalan sesuai dengan apa yang telah
direncanakan oleh peneliti. 3. Dalam peningkatan minat belajar siswa sudah dikategorikan
mengalami peningkatan, yaitu dari hasil postest siklus I dan II maupun hasil dari kuesioner
minat belajar siswa. Hasil kuesioner minat belajar siswa sudah baik dan minat belajar siswa
meningkat. Untuk data penguat peningkatan minat belajar siswa yaitu dengan hasil nilai
postest, rata-rata nilai postest siklus I kelas 9D yaitu 63,65 dan pada postest siklus II rata-rata
nilai siswa mengalami peningkatan yaitu 74,03. Kemudian pada hasil postest kelas 9E, siklus
I nilai rata-ratanya yaitu 77,97 dan pada siklus II nilai rata-rata siswa juga mengalami
peningkatan yaitu 83,87.18
Perbedaan antara penelitian " Pelaksanaan Metode Belajar Advokasi Dalam
Peningkatan Minat Belajar Siswa Pendidikan Agama Islam Kelas IX " dengan "Pengaruh
17
Lilik Widiarti, Penerapan Model Pembelajaran Advokasi Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Fiqih Siswa Kelas
VIII Di Mts Raudlatul Ulum Sungkai Selatan Lampung Utara, Skripsi UIN Raden Intan Lampung, 2021.
18
Diana Nurismasari, Pelaksanaan Metode Belajar Advokasi Dalam Peningkatan Minat Belajar Siswa Pendidikan
Agama Islam Kelas IX Di SMP Negeri 2 Pungging Kabupaten Mojokerto, Skripsi, Universitas Islam Negeri
Maulana Malik Ibrahim Malang, 2021.
8

Model Pembelajaran Advokasi Terhadap Pemahaman Peserta Didik di Mata Pelajaran Fikih
Kelas V MI Nurul Iman Lampung Timur" terletak pada fokus penelitian, subjek penelitian,
dan materi pelajaran yang dipelajari. Penelitian pertama bertujuan untuk meningkatkan minat
belajar siswa dalam mata pelajaran pendidikan agama Islam, dengan menerapkan metode
advokasi. Fokusnya adalah pada upaya meningkatkan pencapaian siswa dalam materi
pelajaran tertentu. Sementara itu, penelitian kedua lebih spesifik, mengkaji pengaruh model
pembelajaran advokasi pada pemahaman peserta didik di mata pelajaran Fikih, tanpa
spesifikasinya pada materi pelajaran Haji dan Umrah. Fokusnya adalah pada pemahaman
siswa terhadap materi pelajaran Fikih secara keseluruhan di tingkat kelas V di MI Nurul Iman
Lampung Timur. Dengan demikian, penelitian pertama lebih berfokus pada upaya
meningkatkan hasil belajar siswa dalam materi pembelajaran Haji dan Umrah, sementara
penelitian kedua lebih berfokus pada pemahaman umum siswa dalam mata pelajaran Fikih di
lingkungan pendidikan yang sama.

Berdasarkan hasil penelitian terdahulu yang sudah dilakukan maka terdapat


persamaan dan perbedaan dengan penelitian peneliti, yang pertama sama membahas
mengenai model pembelajaran advokasi namun perbedaanya yaitu pada tempat penelitian
subjek penelitian dan kelas yang akan peneliti teliti yaitu penelitian ini lebih berfokus pada
mata pelajaran fikih khusus kelas V MI di MI Nurul Iman Kabupaten Lampung Timur. Serta
perbedaan lainya yaitu pada variabelnya yaitu untuk meningkatkan pemahaman siswa. Dalam
penelitian ini siswa diarahkan untuk meningkatkan pemahamanya misal dalam kemampuan
mengklasifikasikan, menjelaskan, merumuskan, menggambarkan, menghitung, menerapkan
suatu pengetahuan yang telah dipelajari dengan menggunakan kata-kata sendiri.

H. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini penulis akan membahas permasalahan yang akan disusun
berdasarkan sistematika pembahasan sebagai berikut:
Bab pertama, pendahuluan, yang pembahasanya meliputi Penegasan judul, latar belakang
masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, kajian penelitian terdahulu, dan sistematika penulisan.
Bab Kedua, landasan Teori, landasan teori yang berkitan dengan pengaruh model
pembelajaran advokasi, meliputi pengertian implementasi, model pembelaran advokasi,
pembelajaran fikih kelas V, dan pemahaman siswa. Serta Pengajuan Hipotesis
Bab Ketiga Berisi, metode penelitian yang terdiri dari waktu dan tempat penelitian,
pendekatan dan jenis penelitian, populasi, sampel, dan teknik pengumpulan data, definisi
operasional variabel, instrumen penelitian, ujia validitas, dan reliabilitas, uji prasyarat, dan uji
hipotesis.
Bab Ke kempat Hasil Penelitian dan Pembahasan pengaruh yang signifikan model
pembelajaran advokasi terhadap pemahaman peserta didik di mata pelajaran Fiqih kelas V MI
Nurul Iman Lampung Timur
Bab Ke lima Penutup : Kesimpulan, Saran.

BAB II
9

LANDASAN TEORI

A. Model Pembelajaran Advokasi


1. Pengertian Model Pembelajaran
Istarani mengemukakan bahwa model pembelajaran adalah seluruh rangkaian materi
penyajian materi ajar yang meliputi segala aspek sebelum, sedan dan sesudah pembelajaran
yang dilakukan guru serta segala fasilitas yang terkait yang digunakan secara langsung atau
tidak langsung dalam proses belajar mengajar. 19 Secara kaffah model pembelajaran
dimaknakan sebagai suatu objek atau konsep yang digunakan untuk mempresentasikan suatu
hal.20 Istilah model pembelajaran mempunyai makna lebih luas dari pada strategi, metode,
atau prosedur. Model pembelajaran mempunyai ciri khusus yang tidak dimiliki oleh strategi,
metode, atau prosedur, ciri-ciri tersebut yaitu:
a. Rasional teoritik logis yang disusun oleh para pencipta atau pengembangnya
b. Landasan pemikiran tentang apa dan bagaimana siswa belajar (tujuan pembelajaran
yang akan dicapai)
c. Tingkah laku mengajar yang dipelukan agar model tersebut dapat dilaksanakan
dengan berhasil
d. Lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran itu dapat tercapai.

Istilah model pembelajaran meliputi pendekatan suatu model pembelajaran yang luas
dan menyeluruh. Dengan demikian merupakan hal yang sangat penting bagi para pengajar
untuk mempelajari dan menambah wawasan tentang model pembelajaran yang telah
diketahui. Karena dengan menguasai beberapa model pembelajaran maka seorang guru dan
dosen akan merasakan adanya kemudahan didalam pelaksanaan pembelajaran dikelas
sehingga tujuan pembelajaran yang hendak dicapai dalam proses pembelajaran dapat
tercapai dan tuntas sesuai yang diharapkan. Jadi dari pernyataan diatas dapat disimpulkan
bahwa model pembelajaran adalah suatu perencanaaan atau suatu pola yang digunakan
sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran. Model pembelajaran adalah pola
interaksi guru dengan siswa yang menyangkut pendekatan, strategi, metode, teknik
pembelajaran yang diterapkan dalam rpses belajar mengajar dalam model pembelajaran juga
bukan hanya apa yang harus dilakukan guru akan tetapi menyangkut tahapan-tahapan
prinsip-prinsip reaksi guru dan siswa serta sistem penunjang yang disyaratkan.

2. Model Pembelajaran Advokasi


Model Pembelajaran Advokasi merupakan pembelajaran yang berpusat pada peserta
didik (student-centered advocacy learning) sering diidentikkan dengan proses debat.
Pembelajaran advokasi dipandang sebagai suatu pendekatan alternatif terhadap pengajaran
didaktis di dalam kelas yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
mempelajari isu-isu sosial dan personal melalui keterlibatan langsung dan partisipasi pribadi.
Model pembelajaran advokasi menuntut para peserta didik terfokus pada topik yang telah
ditentukan sebelumnya dan mengajukan pendapat yang bertalian dengan topik tersebut.
Model pembelajaran advokasi sering diindentikan dengan proses debat. Dalam pandangan
islam proses debat diperbolehkan selama dengan ketentuan dan dengan cara yang baik tidak
menggunakan perkataan buruk dan keji sebagaimana firman allah swt dalam (QS. An-Nahl
ayat 125) yaitu:
‫َر ِّبَك ِباْلِح ْك َم ِة َو اْلَم ْو ِع َظِة اْلَح َس َنِة َو َج اِد ْلُهْم ِب اَّلِتْي ِهَي َاْح َس ُۗن ِاَّن َر َّب َك ُه َو َاْعَلُم ِبَم ْن َض َّل َع ْن‬ ‫ُاْدُع ِاٰل ى َس ِبْيِل‬
‫َو َاْعَلُم‬ ‫َس ِبْيِلٖه َو ُه‬
‫۝‬١٢٥ ‫ِباْلُم ْهَتِد ْيَن‬
19
Istarani, Model Pembelajaran Inovatif (Medan: Media Persada, 2012),57.
20
Trianto Ibnu Badar Al-Tabany, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif, Progresif, Dan Kontekstual,
(Jakarta: Kencana, 2017),15.
10

Serulah manusia kepada jalan tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan
berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya tuhanmu, dialah yang
lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalannya dan dialah yang lebih mengetahui siapa
yang mendapatakan petunjuk (Q.S An-Nahl:125).21
Dalam hal ini Oemar hamalik dalam bukunya yang berjudul proses belajar mengajar
menjelaskan bahwa belajar advokasi menuntut siswa menjadi advokat dari pendapat tertentu
yang bertalian dengan topik yang tersedia. 22 Para siswa menggunakan keterampilan riset,
keterampilan analisis, dan keterampilan berbicara dan mendengar, sebagaimana mereka
berpartisipasi dalam kelas pengalaman advokasi, meraka dihadapkan pada isu-isu
kontroversial dan harus mengembangkan suatu kasus untuk mendukung pendapat mereka
didalam perangkat petunjuk dan tujuan-tujuan khusus. Masih dalam penjelasan Oemar
hamalik bahwa belajar dengan menggunakan model advokasi, para siswa berpartisipasi
dalam suatu debat antara dua regu, yang masing-masing terdiri dari dua orang siswa. Tiap
regu memperdebatkan topik yang berbeda dari para anggota kelas lainnya.
Karena itu, didalam suatu kelas yang terdiri dari 32 orang siswa akan memperdebatkan 8
buah topik. Namun guru dapat membuat keputusan lain, misalnya ada topik yang dianggap
penting, guru menunjuk 4 orang siswa untuk menyajikan debat dalam kelas tersebut.
Sebaiknya, topik yang diperdebatkan adalah isu-isu yang sesuai dengan minat dan kebutuhan
siswa. Untuk memenuhi kebutuhan yang spesifik guru dapat saja menunjuk suatu kelompok
siswa u ntuk menyajikan debat dikelas. Pada dasarnya model pembelajaran advokasi sangat
berharga untuk meningkatkan pola pikir dan perenungan, terutama jika peserta didik
dihadapkan mengemukakan pendapat yang bertentangan dengan mereka sendiri. Hal ini juga
merupakan pembelajaran debat yang secara aktif melibatkan setiap peserta didik di dalam
kelas tidak hanya mereka yang berdebat.
Model pembelajaran ini dipelopori oleh Donal Oliver dan James P. Shaver dalam
Hamzah dimana model pembelajaran ini didasarkan atas pemahaman masyarakat dimana
setiap orang berbeda pandangan dan prioritas satu sama lain, dan nilai – nilai sosial nya
saling berbeda satu sama lain. Sehingga disini siswa dibimbing dan diajarkan bagaimana
cara menganalisis dan mendiskusikan isu-isu sosial tersebut berdasarkan fakta, dan teori
yang valid.23 Asumsi dasar yang menjadi karakteristik model pembelajaran advokasi ini
adalah bahwa manusia cenderung senang berkelompok, senang menjalin hubungan, hidup
berdampingan, dan dapat bekerjasama. Di dalam klasifikasi kebutuhan manusia menurut
Abraham Maslow, karakteristik kebutuhan manusia akan rasa aman dan aktualisasi diri.
Salah satu cara memperoleh rasa aman adalah dengan menjalin hubungan dengan orang lain
atau bagian dari suatu kelompok. 24 Model pembelajaran ini juga membantu siswa untuk
belajar berfikir secara sistematis tentang isu-isu kontemporer yang sedang terjadi
dimasyarakat, dengan mengajarkan mereka cara-cara menganalisis, dan mendiskusikan isu-
isu sosial tersebut.25 Adapun topik yang dibahas itu hendaknya sesuai dengan minat dan
kebutuhan siswa sendiri, dan tentunya adanya bimbingan guru. Pendidikan yang berorientasi
kepada masyarakat diartikan sebagai upaya menyesuaikan pengajaran dengan lingkungan
masyarakat dengan cara membahas masalah-masalah sosial dalam proses belajar mengajar di

21
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Terjemahannya (Surabaya: Halim Publishing, 2014),78.
22
Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar (Jakarta: Bumi Aksara, 2014),78.
23
Hamzah, B,Uno, Model Pembelajaran, Menciptakan Proses Belajar Mengajar Yang Kreatif Dan Efektif,
( Jakarta : PT Bumi Aksara, 2014), h. 31
24
Nusantara, Abdul Hakim Garuda. 2008. Pedoman Advokasi, Perencanaan, Tindakan dan Releksi.
Jakarta: Yayasan Obor Nusantara
25
Miller Valerie dan Jane Covey, Pedoman Advokasi: Kerangka Kerja untuk Perencanaan, Tindakan, dan
Refleksi, Terjemahan Hermoyo, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005.
11

dalam kelas atau membawa siswa ke dalam masyarakat. 26 Melalui pembahasan atau
perdebatan ini pada hakikatnya siswa memberikan sumbangan tertentu dalam rangka turut
memecahkan masalah-masalah sosial sesuai dengan jenjang pendidikan dan tingkat
perkembangannya.27
Jadi dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran advokasi adalah pembelajaran yang
berpusat pada siswa (student centered) yang diidentiakn dengan proses debat. Pada model
pembelajaran advokasi ini siswa dituntut untuk berani berbicara berani menyampaikan
pendapat dan bisa lebih berperan aktif dalam proses belajar.

3. Prinsip-Prinsip Belajar Advokasi


Adapun Pembelajaran Advokasi berdasarkan berbagai prinsip belajar adalah sebagai
berikut :28
a. Ketika siswa terlibat langsung dalam penelitian dan penyajian debat ke Aku-annya
lebih banyaak ikut serta dalam proses dibandingkan dengan situasi ceramah
tradisional.
b. Proses debat meningkatkan minta dan motivasi belajar karena hakikat debat itu
sendiri.
c. Para siswa terfokus pada suatu isu yang berkenaan dengan diri mereka dan kadang-
kadang yang berkenaan dengan masyarakat luas dn isu-isu sosial personal.
d. Pada umumnya siswa akan lebih banyak belajar mengenai topik-topik mereka dan
topik-topik lainnya bila mereka dilibatkan langsung dalam pengalaman debat.
e. Proses debat memperkuat penyimpanan (retention) terhadap komponen-komponen
dasar suatu isu dan prinsip-prinsip argumentasi efektif.
f. Belajar advokasi dapat digunakan baik belajar disekolah dasar maupun diskolah
lanjutan. Berdasarkan tiingkatan siswa, model ini dapat diperluas atau disederhanakan
pelaksanaannya.
g. Pendekatan instruksional belajar advokasi mengembangkan keterampilan-
keterampilan dalam logika, pemecahan masalah berpikir kritis, serta komunikasi lisan
dan tulisan. Selain dari itu, model belajar ini akan mengembangkan aspek afektif,
seperti konsep diri, rasa kemandirian turut memperkaya sumber-sumber komunikasi
antar pribadi secara efektif, meningkatkan rasa percaya diri untuk mengemukakan
pendapat serta melakukan analisis secara kritis terhadap bahasan dan gagasan yang
muncul dalam debat.
4. Langkah-Langkah Belajar Advokasi
Adapun langkah-langkah dasar pelaksanaan debat adalah sebagai berikut:
a. Memilih suatu topik debat berdasarkan pertimbangan dari aspek kebermaknaannya
tingkatan siswa relevansinya dengan kurikulum
b. Memilih dua regu debat masing-msing dua siswa tiap regu untuk tiap topik.
c. Menjelaskan fungsi regu pada kelas
d. Menyediakan petujuk dan asistensi kepada siswa untuk membantu mereka
menyiapkan debat.
e. Laksanakan debat para audience melakukan fungsi observasi khusus selama
berlangsungnya debat.
f. Laksanakan diskusi kelas, dilanjutkan dengan pengarahan kembali setelah debat.
Melvin L Siberman menjelaskan bahwa dalam melakukan model pembelajaran
advokasi ini pastikan untuk mengumpulkan peserta didik dengan duduk bersebelahan
26
Ifdil ifdil, dkk., ―Layanan Advokasi dalam Bimbingan dan Konseling, JRTI: Jurnal Riset Tindakan
Indonesia, Vol.6, No. 2, 2022.
27
E, Kosasih, Strategi Belajar Dan Pembelajaran,(Bandung : Yrama Widya,2014), h. 102
28
Oemar Hamalik,98.
12

dengan peserta didik yang berasal dari pihak lawan debatnya. Dilakukan diskusi dalam
satu kelas penuh tentang apa yang didapatkan oleh peserta didik dari persoalan yang
telah dipedebatkan. Peserta didik juga diperintahkan untuk mengenali apa yang
menurut mereka merupakan argument terbaik yang dikemukakan oleh kedua belah
pihak.29
Suatu debat diawali dari adanya suatu kebijakan, yakni apa yang harus ada.
Kebijakan ini menuntut perlunya suatu perubahan terhadap status quo atau sistem
yang ada, dan merekomendasikan suatu proposisi kebijakan baru yang hendak
dilaksanakan. Jadi semua proposisi debat siswa sesungguhnya adalah proposisi-
proposisi kebijakan Dalam proses debat terdapat dua regu, yakni regu yang
mendukung suatu kebijakan (affirmative) dan regu oposisi (negatif). Masing-masing
regu menyampaikan pandangan atau pendapatnya disertai dengan argumentasi, bukti,
dan berbagai landasan serta menunjukan bahwa pandangan pihak lawannya memiliki
kelemahan, sedangkan pandangan regunya sendiri adalah yang terbaik. Tiap regu
berupaya meyakinkan kepada para pengamat bahwa pandangan atau pendapat regunya
yang paling baik dan harus diterima. Jadi, tiap regu bertanggung jawab secara
menyeluruh atas posisi regunya disamping adanya tanggung jawab dari seiap anggota
regu. Proses debat antara dua regu menurut Oemar Hamalik dapat digambarkan
sebagai berikut:
a. Regu pendukung : Menyampaikan suatu topik Menyajikan garisbesar apa yang
hendak dibuktikan oleh regu tersebut Berupaya menunjukan perlunya
kebutuhan perubahan.
b. Regu Oposisi : Berupaya menunjukan bahwa sistem yang ada sekarang adalah
adukatif dan efektif
c. Regu pendukung : Menyajiakan suatu rencana Berupaya menunjukan bahwa
rencana tersebut praktis Berupaya menunjukan bahwa rencana tersebut adalah
rencana yang diinginkan atau sangat diharapkan
d. Regu oposisi: Berusaha menunjukan rencana tersebut tidak praktis. Berusaha
menunjukan bahwa rencana tersebut tidak diinginkan/tidak dibutuhkan.
Selanjutnya untuk mengetahui lebih jelas peran regu pendukung dan peran regu
oposisi dalam model pembelajaran advokasi ini Oemar Hamalik menjelaskan sebagai
berikut:
a. Peran Regu Pendukung
Esensi pendukung (affirmatife) adalah menyatakan “ya” terhadap proposisi.
Pendukung menghendaki perubahan dari status quo dan merekomendasikan suatu
kebijakan untuk diadopsikan. Tanggung jawab pertama dari pendukung ialah
mengklarifikasi makna proposisi dengan cara mendefinisikan istilah-istilah yang
samar-samar atau belum jelas, sedangkan istilah-istilah yang sudah dipahami tak perlu
didefinisikan. Pendefsian dapat dilakukan dengan berbagai cara, dengan cara otoriter
(penetapan), contoh: penjelasan, estimologi, atau kombinasi dari bebagai cara tersebut
Tanggung jawab berikutnya adalah menyajikan prima fasie case bagi posisi mereka.
Pada awal pembicaraan/penampilan pihak pendukung menyajikan berbagai alasan dan
memberikan bukti-bukti sehingga perubahan sangat dibutuhkan. Prima fasie case ini
pada gilirannya merangsang debat selanjutnya, jika tidak maka kelompok negatif
dianggap menang dan debat berhenti.
Pada waktu menyampaikan prima fasie case, pendukung perlu mengisolasikan
isu-isu, merumuskan menjadi masalah yang dipertentangkan, dan kemudian
mensubtansikan masalah tersebut dengan bukti dan logika. Suatu isu dalam debat

29
Melvin L Siberman, Active Learning 101 Cara Belajar Siswa Aktif (Bandung: Nusamedia, 2011),35.
13

adalah suatu ernyataan pokok tenang fakta atau teori yang kan membantu menetapkan
keputusan akhir. Isu-isu tersebut adalah esensial untuk proposisi tegantung pada
keputusan yang dibuat. Suatu isu bukan semata-mata suatu pernyataan melainkan
suatu yang mengandung ketidak setujuan dan bersifat krusil. Standar isu-isu dalam
debat yang terkandung dalam proposisi kebijakan adalah: Kebutuhan, Pemecahan,
Keuntungan.
Semua isu-isu perlu disajikan oleh pendukung untuk melengkapi kasus prima
facie. Bila tidak ada kebutuhan untuk berubah, suatu kebutuhan untuk beubah tetapi
tetapi tidak ada metode untuk memecahkan kebutuhan atau bila ada kebutuhan dan
metode untuk untuk memecahkan kebutuhan akan tetapi menghasilkan kerugian yang
lebih banyak dibandingkan dengan keuntungan, berarti tidk ada kebutuhan untuk
memerdebatkan proposisi. Pendukung mau menyajikan kasus yang menunjukan kasus
yang yang menunjukan kebutuhan dan metode kerja untuk memecahkan kebutuhan
yang mengahasilkan suatu sistem yang lebih baik dari pada status quo. Langkah
selanjutnya adalah merumuskan isu-isu menjadi masalah yang dipertentangkan
(contention). Suatu kontensi adalah suatu pernyataan umum yang menunjang atau
menolak suatu proposisi. Dari kontensikontensi tersebut bersrti kelompok pendukung
menyatakan bahwa perlunya perubahan dari status quo selajutnya mereka mengajukan
suatu proposal khusus untuk memecahkan kebutuhan itu. Rencana tersebut tidak perlu
terlampau rinci tetapi dapat dilaksanakan dan menguntungkan dan merupakan suatu
rencana suatu yang diinginkan ata diharapkan untuk pemecahan masalah.
Dapat disimpulkan bahwa tugas kelompok pendukung adalah sebagai berikut:
Merumuskan proposisi Menunjukan bahwa status quo tak diinginkan dan karenanya -
perlu diadakan perubahan dari system yang ada sekarang (kebutuhan) Menunjukan
bahwa rencana yang diusulkan dapat dikerjakan atau dilaksanakan (pemecahan) dan
Bahwa rencana yang diusulkan memiliki keuntungan ketimbang sistem yang ada
sekarang.
b. Peran regu penentang Regu penentang (negative team)
Menentang proposisi atas dasar sistem yang ada sekarang adalah adekuat dan
efektif secara esensial mereka berkata “tidak” terhadap resolusi yang diajukan
kelompok lawannya. Tidak ada untuk mengadopsi proposal yang diusulkan oleh regu
pendukung mereka mempertahankan sistem sekarang (sistem quo) menolak kebutuhan
yang diutarakan oleh ragu pendukung menolak rencana yang diusulkan karena tidk
dapat dilaksanakan dn tak diinginkan.
5. Tujuan Model Pembelajaran Advokasi
Tarmizi Ramadhan mengemukakan bahwa model pembelajaran advokasi bertujuan
untuk:30
a. Menyediakan kesempatan kepada siswa untuk bertindak sebagai advokat mengenai
pendapat atau pandangan tertentu yang bertalian dengan suatu topik yang ada.
b. Sebagai sarana untuk mengembangkan keterampilan meneliti, keterampilan
menganalisa dan keterampilan berbicara serta mendengarkan pada waktu mereka
berperan serta secara aktif dalam pengalaman-pengalaman advokasi didalam kelas.
c. Membiasakan diri siswa guna menghadapi masalah-masalah kontroversi dan
mengembangkan kasus untuk mempertahankan pendapat sesuai dengan petunjuk dan
tujuan yang hendak dicapai.
Jadi tujuan dari pembelajaran advokasi ini adalah untuk meningkatkan kemampuan
akademik siswa, dapat aktif saat menikuti pelajaran didalam kelas serta berani berbicara
saat menyampaikan pendapatnya.

30
Tarmizi Ramadhan, Model Pembelajaran Advokasi, 2015 (https://tarmizi.wordpress.com)
14

B. Pemahaman Siswa
1. Pengertian Pemahaman Siswa
Pemahaman adalah kesanggupan untuk mendefenisikan, merumuskan kata yang sulit
dengan perkataan sendiri. Dapat pula merupakan kesanggupan untuk menafsirkan suatu teori
atau melihat konsekwensi atau implikasi, meramalkan kemungkinan atau akibat sesuatu. 31
Menurut Benyamin S. Bloom pemahaman adalah kemampuan seseorang untuk mengerti atau
memahami sesuatu setelah sesuatu itu diketahui dan di ingat. Seorang peserta didik
dikatakan memahami sesuatu apabila ia dapat memberikan penjelasan atau memberi uraian
yang lebih rinci tentang hal itu dengan menggunakan bahasa sendiri. 32 Ngalim Purwanto
mengemukakan bahwa pemahaman atau komprehensi adalah tingkat kemampuan yang
mengharapkan testee mampu memahami arti atau konsep, situasi, serta fakto yang
diketahuinya. Dalam hal ini testee tidak hanya hafal cara verbalistis, tetapi memahami
konsep dari masalah atau fakta yang ditanyakan. 33 Menurut Sardiman, pemahaman dapat
diartikan menguasai sesuatu dengan fikiran.34 Menurut Winkel pemahaman mencakup
kemampuan untuk menangkap makna dan arti dari bahan yang dipelajari.35
Berdasarkan teori di atas dapat disimpulkan bahwa pemahaman siswa adalah
kesanggupan siswa untuk dapat mendefinisikan sesuatu dan mengusai hal tersebut dengan
memahami makna tersebut. Dengan demikian pemahaman merupakan kemampuan dalam
memaknai hal-hal yang terkandung dalam suatu teori maupun konsep-konsep yang
dipelajari.

2. Kategori Pemahaman
Pemahaman berasal dari kata paham. Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia paham
berarti mengerti. Menurut Sudaryono Pemahaman adalah kemampuan seseorang untuk
menangkap makna dan arti dari bahan yang dipelajari, yang dinyatakan dengan menguraikan
isi pokok dari suatu bacaan atau mengubah data yang disajikan dalam bentuk tertentu ke
bentuk yang lain. Apabila pemahaman merupakan ukuran kemampuan seseorang untuk dapat
mengerti atau memahami kegiatan yang dilakukannya, maka dalam pembelajaran, guru harus
mengerti atau memahami apa yang diajarkannya kepada peserta didik.
Menurut Daryanto Pemahaman (comprehension) adalah kemampuan ini umumnya
mendapat penekanan dalam proses belajar mengajar. Siswa dituntut untuk memahami atau
mengerti apa yang diajarkan, mengetahui apa yang sedang dikomunikasikan dan dapat
memanfaatkan isinya tanpa keharusan menghubungkannya dengan hal-hal lain.
Menurut Nana Sudjana mengungkapkan: Pemahaman dapat dibedakan ke dalam tiga
kategori, tingkat terendah adalah pemahaman terjemahan, mulai dari terjemahan dalam arti
yang sebenarnya. Tingkat kedua adalah pemahaman penafsiran, yakni menghubungkan
bagian-bagian terdahulu dengan yang diketahui berikutnya, atau menghubungkan beberapa
bagian dari grafik dengan kejadian, membedakan yang pokok dan yang bukan pokok. Tingkat
yang ketiga atau tingkat yang tertinggi adalah pemahaman ekstrapolasi. Dengan ekstrapolasi
diharapkan seseorang mampu melihat dibalik yang tertulis, dapat membuat ramalan tentang
konsekuansi atau dapat memperluas persepsi dalam arti waktu, dimensi, kasus, ataupun
masalahnya.
Dalam taksonomi Bloom, pemahaman digolongkan dalam ranah kognitif tingkatan yang
kedua. Pemahaman lebih tinggi tingkatannya dibandingkan dengan pengetahuan. Hal ini
31
S Nasution, Teknologi Pendidikan, Bandung: CV Jammars, 1999,27.
32
Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Rajawali Pers, 2011, 50
33
Ngalim Purwanto, Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran, Bandung: Remaja
Rosda Karya, 2010, h. 44
34
Sardiman, Loc.Cit.
35
W.S. Winkel, Psikologi Pengajaran, Yogyakarta: Media Abadi, 2009.
15

berarti pemahaman tidak hanya sekedar tahu, tetapi juga menginginkan siswa belajar dapat
memanfaatkan atau mengaplikasikan apa yang telah ia pelajari dan ia pahami.
ari penjelasan di atas, dapat disimpulakan bahwa pemahaman merupakan kemampuan
seseorang untuk dapat mengerti atau menafsirkan sesuatu. Seseorang dapat dikatakan paham
apabila dapat memberikan penjelasan dari informasi yang di dapat secara rinci dengan
menggunakan kata-katanya sendiri sesuai dengan konsep yang ada. Lebih baik lagi apabila
seseorang dapat memberikan contoh apa yang dia pelajari dengan permasalahan-permasalahan
yang ada di sekitarnya. Pemahaman dapat dibedakan dalam tiga tingkatan:
a. Pemahaman terjemahan yakni kesanggupan memahami makna yang terkandung di
dalamnya.
b. Pemahaman penafsiran, misalnya membedakan dua konsep yang berbeda.
c. Pemahaman estra polasi yakni kesanggupan melihat di balik yang tertulis, tersirat dan
tersurat, meramalkan sesuatu dan memperluaskan wawasan.36
Sejalan dengan pendapat tersebut Sudjana juga mengelompokkan pemahaman ke dalam
tiga kategori yaitu sebagai berikut:
a. Tingkat terendah, Pemahaman tingkat terendah adalah pemahaman terjemahan.
b. Tingkat kedua, Pemahaman penafsiran adalah menghubungkan bagian-bagian
terdahulu dengan yang diketahui berikutnya, atau menghubungkan beberapa bagian
dari grafik dengan kejadian, membedakan yang pokok dan yang bukan pokok
c. Pemahaman tingkat ketiga, Pemahaman tingkat ketiga atau tingkat tertinggi adala
pemahaman ekstrapolasi. Dengan ekstrapolasi diharapkan seorang mampu melihat
balik yang tertulis, dapat membuat ramalan tentang konsekuensi atau dapat
memperluas persepsi dalam arti waktu, dimensi, kasus, ataupun masalahnya. 37
Wina Sanjaya mengatakan Indikator pemahaman memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Pemahaman lebih tinggi tingkatnya dari pengetahuan.
b. Pemahaman bukan hanya sekedar mengingat fakta, akan tetapi berkenaan dengan
menjelaskan makna atau suatu konsep.
c. Dapat mendeskripsikan, mampu menerjemahkan.
d. Mampu menafsirkan, mendeskripsikan secara variabel.
e. Pemahaman eksplorasi, mampu membuat estimasi.
Pemahaman dapat dijabarkan menjadi tiga, yaitu:
a. Menerjemahkan, Menterjemahan di sini bukan saja pengelihan bahasa yang satu ke
bahasa yang lain, tetapi dapat juga dari konsepsi abstrak menjadi satu model simbolik
untuk mempermudah orang mempelajarinya.
b. Menginterpretasikan/ Menafsirkan, Menginterpretasi ini lebih luas dari pada
menerjemahkan. Menginterpretasi adalah kemampuan untuk mengenal atau
memahami ide-ide utama suatu komunikasi.
c. Mengekstrapolasi, Sedikit berbeda dengan menterjemahkan dan menafsirkan, ia
menuntut kemampuan intelektual yang lebih tinggi yaitu dengan ekstrapolasi
diharapkan seseorang mampu melihat dibalik yang tertulis dapat membuat ramalan
tentang konsentrasi atau dapat memperluas masalahnya. 38 Pemahaman merupakan
salah aspek kongnitif (pengetahuan). Penelitian terhadap aspek pengetahuan dapat
dilakukan melalui testlisan dan test tulisan. Teknik penilaian aspet pemahaman
caranya dengan mengajukan pernyataan yang benar dan keliru, dan urutan, dengan
pertanyaan berbentuk essay (open ended), yang menghendaki uraian rumusan dengan
kata-kata dan contoh-contoh.39
36
Tohirin, Psikologi Belajar Mengajar, Pekanbaru: 2001, h. 88
37
Nana Sudjana, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, Bandung: Remaja Rosdakraya, 2012, h.24
38
Ibid, h.107
39
Oemar Hamalik, Psikologi Belajar Mengajar, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2002, h. 209
16

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemahaman


a. Faktor Interen, Yaitu intelegensi, orang berpikir mengunakan inteleknya. Cepat
tidaknya dan terpecahkan atau tidaknya sesuatu masala tergantung kepadakemampuan
intelegensinya. Dilihat dari intergensinya, kita dapat mengatakan seseorang itu pandai
ataubodoh, pandai sekali atau cerdas (jeniyus) atau pardir, dengun (idiot). Berpikir
adalah salah satu kreaktipfan pribadi manusia yang mengakibatkan penemuan yang
terarah kepada sesuatu tujuan. Kita berpikir untuk menemukan pemahaman atau
pengertian yang kita kehendaki.
b. Faktor Eksteren, Yaitu berupa faktor dari orang yang menyampaikan, karena
penyampaiyan akan berpengaruh pada pemahaman. Jika bagus cara penyampaian
maka orang akan lebih mudah memahami apa yang kita sampaikan, begitu juga
sebaliknya.40

C. Pembelajaran Fikih
1. Pengertian Pembelajaran
Menurut Ahmad Susanto pembelajaran adalah penyederhanaan dari kata belajar dan
mengajar, proses belajar mengajar atau kegiatan belajar mengajar. 41 Adapun menurut Oemar
Hamalik pembelajaran adalah kegiatan dimana guru melakukan peranan-peranan tertentu agar
siswa dapat belajar untuk mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan. 42 Sedang menurut UU
No. 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 20 yang menyatakan bahwa pembelajaran diartikan sebagai
proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan
belajar.43
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dapat dikatakan
sebagai kegiatan yang dilakukan pendidik atau guru untuk membantu siswanta agar dapat
belajar dengan baik sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan. Sebelum melaksanakan
pembelajaran guru harus mengetahui kondisi siswanya meliputi kemampuan dasar, motivasi,
latar belakang akademis, latar belakang ekonomi, dan lain sebagainya supaya guru lebih
mudah mengarahkan dan membantu siswa dalam proses belajar mengajar tersebut.
Salah satu pelajaran yang harus diajarkan dalam pembelajaran adalah fikih. Fikih
merupakan sistem atau seperangkat aturan yang mengatur hubungan manusia dengan Allah
swt. (Hablum-Minallah), sesama manusia (Hablum-Minan-nas), dan dengan makhluk lainnya
(Hablum-Ma‘al- Ghairi). Fikih menekankan pada pemahaman yang benar mengenai ketentuan
hukum dalam Islam serta kemampuan cara melaksanakan ibadah dan muamalah yang benar
dan baik dalam kehidupan sehari-hari.Mata pelajaran Fikih di Madrasah Ibtidaiyah merupakan
salah satu mata pelajaran PAI yang mempelajari tentang fikih ibadah, terutama menyangkut
pengenalan dan pemahaman tentang cara-cara pelaksanaan rukun Islam dan pembiasaannya
dalam kehidupan sehari-hari, serta fikih muamalah yang menyangkut pengenalan dan
pemahaman sederhana mengenai ketentuan tentang makanan dan minuman yang halal dan
haram, khitan, kurban, serta tata cara pelaksanaan jual beli dan pinjam meminjam.

40
Syahrial Ayub et al., “Model Pembelajaran Yang Berorientasi Pada Siswa (Pada Konsep Terapung,
Tenggelam Dan Melayang),” Jurnal Penelitian Pendidikan IPA 5, no. 2 (2019): 233,
https://doi.org/10.29303/jppipa.v5i2.271.
41
Ahmad Susanto, Teori Belajar & Pembelajaran di Sekolah, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016), 19
42
Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2014), 201
43
Undang-undang sisdiknas, UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), 1
17

Secara substansial mata pelajaran Fikih memiliki kontribusi dalam memberikan motivasi
kepada peserta didik untuk mempraktikkan dan menerapkan hukum Islam dalam kehidupan
sehari-hari sebagai perwujudan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan hubungan manusia
dengan Allah SWT, dengan diri manusia itu sendiri, sesama manusia, makhluk lainnya
ataupun lingkungannya. Setiap mata pelajaran memiliki batasan materi pembahasan atau
ruang lingkup. Ruang lingkup mata pelajaran fikih di madrasah ibtidaiyah meliputi fikih
ibadah dan fikih muamalah. Fikih ibadah membahas tentang pengenalan dan pemahaman
tentang cara pelaksanaan rukun Islam yang benar dan baik, seperti: tata cara taharah, salat,
puasa, zakat, dan ibadah haji.
Sedangkan fikih muamalah membahas tentang pengenalan dan pemahaman mengenai
ketentuan tentang makanan dan minuman yang halal dan haram, khitan, kurban, serta tata cara
pelaksanaan jual beli dan pinjam meminjam. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan
bahwa pembelajaran fikih di Madrasah Ibtidaiyah membahas tentang materi yang menyangkut
pengenalan dan pemahaman tentang cara-cara pelaksanaan rukun Islam dan pembiasaannya
dalam kehidupan sehari-hari. Dengan ruang lingkup mata pelajaran fikih di MI yang
membahas tentang fikih ibadah dan fikih muamalah sebagai pengenalan dasar tentang hukum-
hukum Islam. Hal ini karena disesuaikan dengan usia anak MI yang masih dalam tahap
mengenalan atau pemahaman dan supaya materi yang dipelajari dapat diterapkan dalam
kehidupannya sehari-hari.

2. Tujuan Pembelajaran Fikih di MI


Pembelajaran yang akan dilaksanakan harus memiliki tujuan tertentu. Tujuan
pembelajaran menurut Wina Sanjaya adalah kemampuan (kompetensi) atau keterampilan yang
diharapkan dapat dimiliki oleh siswa setelah mereka melakukan proses pembelajaran
tertentu.44 Sedangkan menurut Sardiman, tujuan pembelajaran adalah tujuan pendidikan yang
ingin dicapai pada tingkat pengajaran. Hasil pencapaiannya berwujud siswa yang secara
bertahap terbentuk watak, kemampuan berpikir, dan keterampilan teknologinya. 45 Menurut
Sagala, tujuan pembelajaran hendaknya memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: spesifikasi
atau khusus, operasional, dan dapat diukur. Menurut undang-undang RI No. 20 tahun 2003
pasal 3 di sebutkan pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung
jawab.46 Adapun Tujuan Mata pelajaran Fikih di Madrasah Ibtidaiyah adalah sebagai berikut: 47
a. Mengetahui dan memahami cara-cara pelaksanaan hukum Islam baik yang menyangkut
aspek ibadah maupun muamalah untuk dijadikan pedoman hidup dalam kehidupan pribadi
dan sosial.
b. Melaksanakan dan mengamalkan ketentuan hukum Islam dengan benar dan baik, sebagai
perwujudan dari ketaatan dalam menjalankan ajaran agama Islam baik dalam hubungan
manusia dengan Allah swt., dengan diri manusia itu sendiri, sesama manusia, dan makhluk
lainnya maupun hubungan dengan lingkungannya.
Tujuan pembelajaran harus dirancang sebelum melaksanaakan kegiatan pembelajaran.
Guru juga harus merumuskan tujuan pembelajaran ang berorientasi pada kondisi dan

44
Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berbasis Standar Proses Pendidikan (Bandung: Alfabeta,
2007),98.
45
Miranda, Motivasi Berprestasi & Disiplin Peserta Didik Serta Hubungannya Dengan Hasil Belajar
(Kalimantan: Yudha English Galerry, 2018),76.
46
Undang-undang Sisdiknas, UU RI No. 20 .....,2
47
Keputusan Menteri Agama No 165 Tahun 2014....,41
18

kebutuhan siswa supaya lebih efektif dan efisien. Tujuan pembelajaran juga menjadi acuan
untuk menentukan jenis materi pembelajaran, strategi pembelajaran, metode pembelajaran,
dan media pembelajaran yang akan digunakan dalam proses pembelajaran. Tanpa tujuan yang
jelas, pembelajaran tidak akan terarah, tidak fokus, tidak efektif dan tidak akan maksial.

3. Kompetensi Pembelajaran Fikih di MI


Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 pasal 35
menyebutkan bahwa standar kompetensi lulusan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang
mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan peserta didik yang harus dipenuhinya atau
dicapainya dari suatu satuan pendidikan pada jenjang Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah
dan Madrasah Aliyah.48 Kompetensi lulusan Madrasah Ibtidaiyah pada mata pelajaran fikih
setelah melaksanakan pembelajaran secara integral diharapkan memiliki sikap, pengetahuan, dan
keterampilan sebagai berikut:
a. Sikap: Memiliki perilaku yang mencerminkan sikap orang beriman, berakhlak mulia,
berilmu, percaya diri, dan bertanggung jawab dalam berinteraksi secara efektif dengan
lingkungan sosial dan alam di lingkungan rumah, sekolah, dan tempat bermain.
b. Pengetahuan: Memiliki pengetahuan faktual dan konseptual berdasarkan rasa ingin
tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya dalam wawasan
kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait fenomena dan kejadian di
lingkungan rumah, sekolah, dan tempat bermain.
c. Keterampilan: Memiliki kemampuan pikir dan tindak yang produktif dan kreatif dalam
ranah abstrak dan konkret sesuai dengan yang ditugaskan kepadanya.

D. Pengajuan Hipotesis
Hipotesis penelitian adalah suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan
penelitian, sampai terbukti melalui data yang terkumpul. Sedangkan menurut pendapat lain
hipotesis adalah merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah pada suatu penelitian.
Jadi, hipotesis penelitian adalah jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian dimana
rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat pernyataan. 49 Berdasarkan
landasan teori yang telah dipaparkan diatas, maka dapat dirumuskan perumusan hipotesis sebagai
berikut :
Uji Hipotesis digunakan untuk mengetahui kebenaran dari dugaan sementara. Hipotesis pada
dasarnya diartikan sebagai jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian. Sehingga
hipotesis penelitian tersebut dapat diterima atau ditolak. 50 Adapun hipotesis dari penelitian ini
adalah sebagai berikut :
H0: Tidak ada pengaruh yang signifikan model pembelajaran Advokasi terhadap pemahaman
peserta didik pada di Mata Pelajaran Fiqih kelas V di MI Nurul Iman Lampung Timur.
H1: Terdapat pengaruh yang signifikan model pembelajaran Advokasi terhadap pemahaman
peserta didik pada di Mata Pelajaran Fiqih kelas V di MI Nurul Iman Lampung Timur.

48
Keputusan Menteri Agama No 165 Tahun 2014....,34
49
Suharsimini Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta: Rineka Cipta, 2017), 10.
50
Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif Dan Kualitatif Dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2012).
19

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian


1. Waktu Penelitian
Penelitian ini akan saya laksanakan selama peneliti mengambil mata kuliah
skripsi sampai dengan selesai mengumpulkan data yang diperoleh dari tempat
Penelitian dan kuesioner.
2. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada semester ganjil bulan Oktober sampai November
2023 di MI Nurul Iman Lampung Timur kelas V.

B. Pendekatan dan Jenis Penelitian


Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif
dengan menggunakan jenis penelitian eksperimen bentuk pre-experimental design dengan pola
postes only control grup design.51 Jadi dalam penelitian ini terdapat pretes sebelum diberi
perlakuan sehingga hasil perlakuan dapat diketahui lebih akurat, karena dapat membandingkan
dengan keadaan sebelum dan setelah diberi perlakuan. Dalam desain eksperimen ini tidak

51
Jakni, Metodologi Penelitian Eksperimen Bidang Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2015), 69.
20

adanya variabel kontrol, dan pengambilan sampel dilakukan secara random atau acak. Oleh
sebab itu dari beberapa kelas yang ada didalam populasi, maka satu kelas dipilih secara random
atau acak untuk dijadikan kelas eksperimen . Adapun diagram desain penelitiannya sebagai
berikut.52

O 1 X O2

Keterangan :
O1 : Pretes (sebelum diberikan perlakuan / treatment)
X : Perlakuan (treatment)
O2 : Postes (setelah perlakuan / treatment)

C. Populasi, Sampel
1. Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas subyek atau obyek yang
mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Populasi juga bukan sekedar jumlah yang
ada pada obyek atau subyek yang dipelajari, tetapi meliputi seluruh karakteristik atau
sifat yang dimiliki oleh subyek atau obyek yang diteliti. 53 Populasi dalam penelitian ini
adalah seluruh siswa kelas V Nurul Iman Lampung Timur tahun 2023/2023 yang terdiri
dari kelas 3 kelas. Total keseluruhan ada 75 siswa.
2. Sampel Penelitian
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi.
Bila populasi besar dan peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang ada pada
populasi, misalnya karena keterbatasan waktu, dana, dan tenaga maka peneliti dapat
menggunakan sampel yang diambil dari populasi itu. Apa yang dipelajari dari sampel itu,
kesimpulannya akan diberlakukan untuk populasi. Untuk itu, sampel yang diambil harus
betul- betul representatif (mewakili). Sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas V
A dan V B. Jumlah keseluruhan sampel yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah 50
siswa.
D. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik dan standart untuk
memperoleh data yang diperlukan.54 Ada beberapa metode pengumpulan data dalam
penelitian ini, yaitu Tes adalah serentetan pertanyaan atau latihan serta alat lain yang
digunakan untuk mengukur keterampilan, pengetahuan intelegensi, kemampuan atau
bakat yang dimiliki oleh individu atau kelompok. 55 Tes dapat digunakan untuk mengukur
kemampuan dasar dan pencapaian atau prestasi. 56 Teknik pengumpulan data pada
penelitian ini menggunakan only control group design dengan pretes dan pos test. Dalam
penelitian ini tes digunakan untuk memperoleh data primer yang berupa post test yang
digunakan untuk mengetahui tingkat pemahaman peserta didik terhadap materi yang
telah dipelajari. Materi tes yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tentang Zakat
dengan tes yang digunakan adalah esai.

52
Ibid., 70.
53
Sugiyono, Statistika Untuk Penelitian, (Bandung: Alfabeta,2013), 61
54
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 2006), 4
55
Ibid.,127
56
Jamal Ma’Mur Asmani, Tuntunan Lengkap Metodologi Praktis Penelitian Pendidikan,
(Jogjakarta: Diva Press, 2011), 121.
21

E. Definisi Operasional Variabel


Variabel penelitian pada dasarnya merupakan segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut,
kemudian ditarik kesimpulan. Definisi Operasional variabel adalah suatu pengertian atau definisi
yang mengartikan suatu variabel dengan cara memberi arti, atau menspesifikan kegiatan, ataupun
memberikan suatu operasional yang diperlukan untuk mengukur variabel tersebut. 57 Dalam
penelitian ini terdapat 2 (dua) variabel yang terdiri dari 1 (sata) variabel independen dan 1 (satu)
variabel dependen. Dalam penelitian ini menggunakan 2 jenis variabel yaitu variabel independent
(variabel bebas) dan variabel dependent (variabel terikat).
a. Variabel Independen: variabel ini sering disebut variabel stimulus, predictor, antecedent.
Dalam Bahasa Indonesia sering disebut variabel bebas. Variabel bebas adalah variabel
yang mempengaruhi atau menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen
(terikat). Variabel independen dalam penelitian ini adalah model pembelajaran advokasi.
b. Variabel Dependen: variabel ini sering disebut variabel output, kriteria, konsekuen.
Dalam Bahasa Indonesia sering disebut sebagai variabel terikat. Variabel terikat
merupakan variabel yang dipengaruhi atau menjadi akibat karena adanya variabel bebas.
Variabel dependen dalam penelitian ini adalah pemahaman peserta didik.

F. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan mengukur fenomena alam maupun
sosial yang diamati. Secara spesifik semua fenomena ini disebut variabel penelitian. Penelitian ini
dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran advokasi terhadap pemahaman
peserta didik. Adapun intrumen-instrumen penelitian yang digunakan adalah: Tes diberikan
peneliti setelah kedua kelas diberi perlakuan yang berbeda. Hasil tes keduanya digunakan sebagai
data pembanding dalam analisis. Pedoman tes ini digunakan untuk mengetahui perbedaan antara
kelas yang diajar dengan model pembelajaran advokasi dengan kelas yang diajar dengan model
pembelajaran konvensional. Mata pelajaran dalam penelitian ini adalah fikih. Tes yang digunakan
adalah post test dengan jumlah soal esai sebanyak 5 butir materi Zakat. Tes yang digunakan
adalah bentuk uraian karena untuk mengetahui jawaban dari setiap siswa. Penilaian jawaban
dengan memberikan skor pada masing-masing jawaban dengan skor yang berbeda-beda
berdasarkan jawaban peserta didik.
Tabel 3.1

Kisi-kisi Instrumen Pemahaman Peserta Didik Mata Pelajaran Fikih

Indikator Pemahaman Nomor Soal

Menjelaskan kembali 1
Menguraikan dengan kata-kata sendiri 2
Merangkum. 3
Memberikan contoh 4
Menyimpulkan 5

Tabel 3.2

57
Ahmad Hidayat, “Definisi Operasional: Pengertian, Cara Membuat, Contoh, Dinas.ID”
(<https://dinas.id/definisi-operasional/>[, 2021).
22

Kisi Kisi Instrumen Soal

No
Bentuk
Komponen Dasar Indikator Soal Soa
Soal
l
 Menjelaskan
Esay 1
Pemahaman pengertian haji
Siswa  Menuliskan Esay
(Pertemuan 1) dalil wajibnya
menunaikan 2
ibadah haji Q.S.
Ali- Imran:97
 Menyebutkan Esay
3
syarat wajib haji
 Menjelaskan Esay
tentang istilah
4
istitha’ah dalam
syarat wajib haji
 Menyebutkan Esay
apa saja rukun 5
haji
Pemahaman Menyebutkan Esay
(Siswa 3.1 Menjelaskan tata tiga amalan
1
Pertemuan 2) cara Haji sunah dalam
ibadah haji
Menjelaskan Esay
perbedaan rukun
2
haji dengan
wajib haji
Menuliskan Esay
3
kalimat talbiyah
Menjelaskan Esay
pengertian cara
melaksanakan
4
ibadah haji
dengan cara
ifrad
Menyebutkan Esay
larangan-
larangan selama
5
menjalankan
ibadah haji bagi
laki-laki

G. Uji Instrumen
Analisis instrumen dalam penelitian ini terdiri dari validitas instrumen dan reliabilitas instrumen.
Hal ini dilakukan agar instrumen yang akan digunakan menjadi alat ukur yang valid dan reliabel.
1. Validitas Instrumen
Instrumen yang valid berarti alat ukur yang digunakan untuk mendapatkan data itu valid
(sah). Suatu instrumen dikatakan valid, apabila mampu mengukur apa yang seharusnya diukur.
23

Instrumen yang valid memiliki validitas yang tinggi, sebaliknya instrumen yang kurang valid
memiliki validitas rendah :
N ∑ XY −(∑ X )(∑ Y )
r xy =
√ { N ∑ X −( ∑ X ) } {N ∑ Y −(∑ Y ) }
2 2 2 2

Keterangan :
rxy = Koefisien korelasi antara variabel x dan variabel y, dua variabel yang dikorelasikan.
X = Skor tiap butir soal
Y = Skor total
N = Banyak subjek (teste)
XY`= Hasil kali skor X dan Y untuk setiap responden

Tabel 3. 3

Kriteria Validitas Butir Soal

Data yang diperoleh Keterangan


0,800 - 0,100 Sangat Tinggi
0,600 - 0,800 Tinggi
0.400 -0,600 Cukup
0,200 - 0,400 Rendah
0,00 - 0,200 Sangat Rendah.

2. Reliabilitas Instrumen
Reliabilitas yang digunakan dalam penelitian iniadalah rumus Alpha Cronbach. Rumus
Alpha Cronbach adalah sebagai berikut:

Keterangan:
𝑟11 = koefisien reliabilitas
𝑘 = banyaknya butir soal
= jumlah varian skor setiap butir
= varian skor total

Interpretasi dari perhitungan koefisien reliabilitas dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 3. 4
Kriteria Koefisien Reliabilitas58
Koefisien Kriteria
Reliabilitas
0,800 − 1,000 Sangat tinggi
0,600 − 0,799 Tinggi
0,400 − 0,599 Cukup

58
Suharsimi Arikunto, Dasar- Dasar Evaluasi Pendidikan (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), h. 47.
24

0,200 − 0,399 Rendah


0,00 − 0,199 Sangat rendah
Reliabilitas instrumen dapat dihitung dengan bantuan software SPSS 21 menggunakan
reliability analysis. Berdasarkan perhitungan tersebut, diperoleh nilai untuk soal pretest
sebesar 0,409 yang masuk kategori cukup dan nilai untuk soal posttest sebesar 0,707 yang
masuk kategori tinggi. Hasil perhitungan dengan SPSS selengkapnya dapat dilihat pada
lampiran.
3. Uji Tingkat Kesukaran
Tingkat kesukaran digunakan untuk menunjukkan bahwa instrumen tersebut
termasuk mudah, sedang ataupun sukar. Rumus mencari indeks kesukaran adalah: 59
B
P=
J
Keterangan:
P = indeks kesukaran
B = banyaknya peserta didik yang menjawab soal itu dengan benar
J = jumlah seluruh peserta tes

Menurut ketentuan yang sering diikuti, indeks kesukaran sering diklasifikasikan sebagai
berikut :

Tabel 3. 5
Interprestasi Tingkat Kesukaran Butir Soal.60

Besar P Interprestasi

P < 0,30 Terlalu Sukar


0,30 ≤ P ≥ 0,70 Cukup (Sedang)
P >0,70 Terlalu Mudah

Hasil dari analisis tingkat kesukaran dapat dilihat pada tabel berikut:

4. Uji Daya Beda


Daya beda digunakan untuk mengetahui perbedaan kemampuan peserta didik
yang berkemampuan tinggi dengan peserta didik yang berkemampuan rendah. Rumus
yang digunakan untuk mencari daya beda adalah sebagai berikut:

BA BB
D= − =PA−PB
JA JB

Keterangan :

D = Daya pembeda

BA = Banyaknya peserta kelompok atas yang menjawab soal itu dengan benar.
BB = Banyaknya peserta kelompok bawah yang menjawab soal itu dengan benar.
JA = Banyaknya peserta kelompok atas.
JB = Banyaknya peserta kelompok bawah.
PA = Banyaknya peserta kelompok atas yang menjawab benar.

59
Suharsimi Arikunto, op.cit., h. 176.
60
Suharsimi Arikunto, op.cit., h. 225.
25

PB = Banyaknya peserta kelompok bawah yang menjawab benar.61

Tabel 3. 6

Kriteria Daya Pembeda. 62

Besarnya Nilai D Kriteria


0,00 - 0,20 Jelek (poor)
0,20 - 0,30 Cukup (satistifactory)
0,30 - 0,70 Baik (good)
0,70 - 1,00 Baik sekali (excellent)

G. Uji Prasyarat Analisis


Untuk mendapatkan hipotesis penelitian dari data yang diperoleh, sebelumnya dilakukan terlebih
dahulu analisis uji prasyarat terhadap data yang diperoleh. Uji prasyarat analisis yang digunakan
yaitu uji normalitas data dan uji homogenitas dan selanjutnya dilakukan uji hipotesis penelitian.
1. Uji Normalitas Gain ( N-gain )
Gain adalah selisih antara nilai pretest dan posttest. Pemberian skor pada pretest-posttest
pemahaman peserta didik pada mata pelajaran fikih. Kemudian dianalisis dengan menggunakan uji N-
gain, uji ini dapat dihitung dengan persamaan :

Keterangan:
N Gain menyatakan nilai uji normalitas gain
𝑆𝑝𝑜𝑠𝑡 menyatakan skor pretest
𝑆𝑝𝑟𝑒 menyatakan skor posttest
𝑆𝑚𝑎𝑘𝑠 menyatakan skor maksimal

Tinggi rendahnya gain yang dinormalisasi (N-Gain) dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Tabel 3.7
Interpretasi Nilai N-gain

Katagori Perolehan N-gain Keterangan


N-gain > 0,70 Tinggi
0,30 ≤ N-gain ≤ 0,70 Sedang
N-gain < 0,30 Rendah

2. Uji Normalitas
Uji normalitas adalah pengujian yang dilakukan untuk mengetahui apakah persebaran
data yang diperoleh berdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas dilakukan dengan
mengguanakan rumus kolomogorof smirnov dan shapiro wilk yang dilakukan dengan kaidah
Asymp Sig atau nilai p. Uji normalitas dilakukan terhadap skor pretest dan posttest, untuk kelas
61
Asrul, Rusydi Ananda dan Rosnita op. cit., h. 153.
62
Suharsimi Arikunto, op.cit., h. 232.
26

eksperimen dan kelas kontrol. Proses perhitungan dengan menggunakan bantuan SPSS20.0.
Adapun interpretasi dari uji normalitas sebagai berikut:
a. Jika nilai sig. (2-tailed) lebih besar dari tingkat alpha 5% (sig.(2-tailed) >0.050), dapat
disimpulkan bahwa data berasal dari populasi yang sebarannya berdistribusi normal.
b. Jika nilai sig. (2-tailed) lebih kecil dari tingkat alpha 5% (sig.(2- tailed) >0.050), dapat
disimpulkan bahwa sebaran data tidak berdistribusi normal.
3. Uji Homogenitas
Uji homogenitas adalah sebuah uji jika kedua sampel penelitian dinyatakan berdistribusi
normal, maka selanjutnya dilakukan uji homogenitas. Uji homogenitas dilakukan untuk menguji
kesamaan beberapa bagian sampel, yaitu apakah varian sampel yang diambil dari populasi yang
sama seragam atau tidak. Penghitungan uji homogenitas varian yakni dengan menggunakan
bantuan SPSS 20.0. Dengan uji statistic (test of homogenity variances). Adapun kriteria pengujian
homogenitas adalah sebagai berikut:
a. Jika probabilitas > 0.05, maka varians dinyatakan homogen.
b. Jika probabilitas < 0.05, maka varians dinyatakan heterogen.
Pengujian prasyarat, langkah selanjutnya adalah melakukan uji hipotesis dengan
menggunakan uji-t. Uji-t ini digunakan untuk menguji nilai rata-rata dari kedua kelas tersebut
memiliki perbedaan atau tidak. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan uji-t dengan uji paired
sampel T Test dengan menggunakan bantuan program SPSS 20.0. Kriteria pengujian hipotesis
adalah sebagai berikut:
a. Jika probabilitas > 0.05, maka Ho diterima, artinya tidak ada pengaruh signifikan model
advokasi terhadap pemahaman peserta didik pada mata pelajaran fikih.
b. Jika probabilitas < 0.05 maka Ho ditolak, artinya ada pengaruh signifikan model
advokasi terhadap pemahaman peserta didik pada mata pelajaran fikih.
I. Uji Hipotesis Hipotesis
Hipotesis statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Ho : µ1 >µ2 Ha : µ1 < µ2
Keterangan:
Ho: Penggunaan model advokasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
pemahaman peserta didik kelas V MI Nurul Iman Lampung Timur
Ha :Penggunaan model advokasi berpengaruh signifikan terhadap pemahaman
peserta didik kelas V MI Nurul Iman Lampung Timur
µ1 : Nilai rata-rata hasil tes awal (sebelum diberikan perlakuan).
µ2 : Nilai rata-rata hasil tes akhir (setelah diberikan perlakuan).

OUTLINE SEMENTARA

BAB I PENDAHULUAN
A. Penegasan Judul
27

B. Latar Belakang Masalah


C. Identifikasi dan Batasan Masalah
D. Rumusan Masalah
E. Tujuan Penelitian
F. Manfaat Penelitian
G. Kajian Penelitian Terdahulu yang Relevan
H. Sistematika Penulisan

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGAJUAN HIPOTESIS


A. Teori yang digunakan
B. Pengajuan Hipotesis

BAB III METODE PENELITIAN


A. Waktu dan Tempat Penelitian
B. Pendekatan dan Jenis Penelitian
C. Populasi, Sampel, dan Teknik Pengumpulan Data
D. Definisi Operasional Variabel
E. Instrumen Penelitian
F. Uji Validitas dan Uji Reabilitas Data
G. Uji Prasyarat Analisis
H. Uji Hipotesis

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


A. Deskripsi Data
B. Pembahasan dan Hasil Penelitian

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Rekomendasi

DAFTAR RUJUKAN
LAMPIRAN

DAFTAR PUSTAKA

’Aziizah, ’Aabidah Ummu, Nisa Bella, and Ibrahim Ibrahim. “PEMBELAJARAN ADVOKASI: Solusi
28

Alternatif Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Di Abad 21.” QALAMUNA: Jurnal Pendidikan,
Sosial, Dan Agama 13, no. 2 (2021): 271–88. https://doi.org/10.37680/qalamuna.v13i2.886.

Abdul Majid dan Dian Andayani. Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi: Konsep Dan
Implementasi Kurikulum 2004. Bandung: Remaja Rosda Karya, 2005.

Ahmad Tafsir. Metode Khusus Pendidikan Agama Islam. Bandung: Remaja Rosda Karya, 1990.

Anas Sudiaon. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: grafindo, 2005.

Ayub, Syahrial, Agus Ramdani, Ni Nyoman Sri Putu Verawati, and Muh. Zuhdi. “Model Pembelajaran
Yang Berorientasi Pada Siswa (Pada Konsep Terapung, Tenggelam Dan Melayang).” Jurnal
Penelitian Pendidikan IPA 5, no. 2 (2019): 233. https://doi.org/10.29303/jppipa.v5i2.271.

Babadu, J.S dan Zain. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2021.

Departemen Agama RI. Al-Qur’an Terjemahannya. Surabaya: Halim Publishing, 2014.

Istarani. Model Pembelajaran Inovatif. Medan: Media Persada, 2012.

Melvin L Siberman. Active Learning 101 Cara Belajar Siswa Aktif. Bandung: Nusamedia, 2011.

Miranda. Motivasi Berprestasi & Disiplin Peserta Didik Serta Hubungannya Dengan Hasil Belajar.
Kalimantan: Yudha English Galerry, 2018.

Oemar Hamalik. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara, 2014.

———. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara, 2021.

Rajab, Rajab, Zulmuqim Zulmuqim, and Rully Hidayatullah. “Pengembangan Model Pembelajaran
Berbasis Teknologi Informasi Pada Pesantren Di Sumatera Barat.” Ta’allum: Jurnal Pendidikan
Islam 8, no. 2 (2020): 246–66. https://doi.org/10.21274/taalum.2020.8.2.246-266.

Ramayulis. Metodologi Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 2012.

Rusilowati, Ani, M Taufiq, and Budi Astuti. “Jurnal Profesi Keguruan.” Jurnal Profesi Keguruan 5, no. 1
(2019): 15–22.

Sugiono. Metode Penelitian Kuantitatif Dan Kualitatif Dan R&D. Bandung: Alfabeta, 2012.

Suhartono, Suhartono, and Rosi Patma. “Upaya Peningkatan Hasil Belajar Siswa Mata Pelajaran Fiqih
Materi Pembelajaran Haji Dan Umrah Melalui Penerapan Metode Advokasi.” Al-I’tibar : Jurnal
Pendidikan Islam 5, no. 1 (2018): 10–19. https://doi.org/10.30599/jpia.v5i1.309.

Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddiieqy. Falsafah Hukum Islam. Semarang: Pustaka Rizki Putra,
20001.

Trianto Ibnu Badar Al-Tabany. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif, Progresif, Dan Kontekstual,.
Jakarta: Kencana, 2017.

———. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif, Progresif, Dan Kontekstual. Jakarta: Kencana, 2017.
Wina Sanjaya. Strategi Pembelajaran Berbasis Standar Proses Pendidikan. Bandung: Alfabeta, 2007.

Anda mungkin juga menyukai