Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN RESUME

TRAUMA & STRESS

Dosen Pengampu :
Anindya Dewi Paramitha., M.Si., Psikolog

Disusun oleh:

Angga Adi Saputra (6020210092)


Balqis Nashita (6020210095)
Cindy Febriani Thalia (6020210107)

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS PANCASILA
JAKARTA
2022
TRAUMA & STRESS

1. Reactive Attachment Disorder

a. Pengertian dan Deskripsi


Reactive Attachment Disorder (RAD) dalam DSM-5 merupakan gangguan yang
terkait dengan stres dan trauma, dimana gangguan ini terpapar oleh peristiwa traumatis
dan penuh stres yang menyebabkan tekanan psikologis. Gangguan RAD merupakan
pengabaian sosial yang ditandai dengan tidak adanya pengasuhan yang kuat pada masa
anak-anak. Demikian, kesimpulannya yaitu RAD adalah salah satu akibat dari tidak
terpenuhinya kebutuhan kelekatan pada masa anak-anak. (Maya, Dian Mustika &
Zulmasri, 2017)

b. Kriteria Diagnosis

Kriteria Diagnostik

A. Pola yang konsisten dari perilaku menahan diri dan menarik diri secara emosional
terhadap pengasuh dewasa, yang dimanifestasikan oleh kedua hal berikut:
1. Anak jarang atau minimal mencari kenyamanan saat tertekan.
2. Anak jarang atau minimal merespon kenyamanan saat tertekan.

B. Gangguan sosial dan emosional yang persisten yang ditandai oleh setidaknya dua dari
berikut ini:
1. Responsif sosial dan emosional yang minimal terhadap orang lain.
2. Pengaruh positif terbatas.
3. Episode iritabilitas yang tidak dapat dijelaskan, kesedihan, atau ketakutan yang terbukti
bahkan selama interaksi yang tidak mengancam dengan pengasuh dewasa.

C. Anak telah mengalami pola perawatan yang tidak memadai yang ekstrim sebagaimana
dibuktikan oleh setidaknya salah satu dari berikut ini:
1. Pengabaian atau deprivasi sosial dalam bentuk terus-menerus tidak memiliki kebutuhan
emosional dasar akan kenyamanan, stimulasi, dan kasih sayang yang dipenuhi oleh orang
dewasa yang peduli.
2. Perubahan berulang dari pengasuh utama yang membatasi kesempatan untuk
membentuk keterikatan yang stabil (misalnya, seringnya perubahan dalam pengasuhan).
3. Dibesarkan di lingkungan yang tidak biasa yang sangat membatasi peluang untuk
membentuk keterikatan selektif (misalnya, lembaga dengan rasio anak-pengasuh yang
tinggi).

D. Perawatan dalam Kriteria C dianggap bertanggung jawab atas perilaku terganggu dalam
Kriteria A (misalnya, gangguan dalam Kriteria A mulai mengikuti kurangnya perawatan
yang memadai dalam Kriteria C). E. Tidak terpenuhinya kriteria gangguan spektrum
autisme.

F. Gangguan terlihat sebelum usia 5 tahun.

G. Anak memiliki usia perkembangan minimal 9 bulan.

Note :
- Gangguan telah ada selama lebih dari 12 bulan.
- Gangguan keterikatan reaktif ditetapkan sebagai parah ketika seorang anak
menunjukkan semua gejala gangguan, dengan setiap gejala bermanifestasi pada tingkat
yang relatif tinggi.
c. Etiologi dan Prevalensi
Menurut DSM-5, Prevalensi gangguan RAD ini tidak diketahui secara jelas, tetapi
gangguan tersebut terlihat relatif jarang dalam pengaturan klinis. Gangguan ini telah
ditemukan pada anak-anak yang terpapar parah penelantaran sebelum ditempatkan di
panti asuhan atau dibesarkan di panti. Gangguan ini jarang terjadi, biasanya terjadi pada
kurang dari 10% anak terlantar, bahkan dalam kasus penelantaran yang parah.
Penyebab Reactive Attachment Disorder (RAD) dapat terjadi ketika anak tidak
mendapatkan perhatian yang stabil dan konsisten dari pengasuhnya. Saat bayi, jika anak
tidak menanggapi tangisannya atau tidak direspon atas apa yang terjadi padanya, ia
mungkin akan merasakan keterikatan yang tidak sehat.
Selain itu, ada beberapa faktor yang mungkin dapat memicu RAD pada anak, antara
lain:
1. Ibu yang mengalami depresi, berjuang merawat anaknya sendirian. Akibatnya, ia
tidak responsif ketika anak menangis dan tidak cukup mencurahkan perhatian dan
kasih sayang padanya.
2. Ibu yang mengalami masalah kriminal dan dipenjara. Anak akan tinggal bersama
kerabat yang berganti-ganti saat si Ibu dipenjara. Kondisi ini membuat anak tidak
pernah berada di rumah yang sama dalam waktu cukup lama untuk membentuk ikatan
yang kuat dengan orang dewasa mana pun.
3. Orangtua yang bermasalah sehingga sering bertengkar, dan berada di bawah pengaruh
alkohol dan narkoba. Di bawah pengaruh alkohol dan narkoba, orangtua tidak dapat
memberikan perhatian dan perawatan yang baik pada anak-anaknya.
4. Orangtua muda yang tidak memahami perkembangan dasar anak. Mereka tidak punya
pengetahuan cukup untuk mengasuh dan memperhatikan sang Anak, baik secara fisik
maupun mental.

d. Penanganan
- Langkah pertama cara menangani dan merawat anak yang mengalami RAD adalah
dengan memastikan anak berada dalam lingkungan yang penuh kasih sayang,
perhatian, dan stabil. Terapi tidak akan efektif bila anak terus berpindah-pindah
pengasuhan.
- Kedua, Stabil yang dimaksud baik dari pola hidup, rutinitas sehari-hari dan stabil
secara emosional.
- Terapi anak dengan RAD biasanya melibatkan orangtua atau pengasuh utamanya.
- Pengasuh perlu dididik tentang apa itu Reactive Attachment Disorder (RAD), diberi
informasi tentang bagaimana membangun kepercayaan dan membangun ikatan yang
sehat.

e. Contoh Kasus

Sebelum tahun 2003 Tina Traster dan Rick Tannenbaum adalah tipikal pasangan
Upper West Side. Dia adalah seorang jurnalis mapan, dia adalah seorang pengacara,
mereka memiliki semuanya. Pada 14 Februari 2003 Tina dan Rick membawa pulang bayi
perempuan baru mereka Julia, diadopsi dari panti asuhan di Novosibirsk. Dan saat itulah
perjalanan mereka menjadi orang tua dimulai. Dalam mini-doc ini, Tina Traster
menceritakan kisahnya membesarkan Julia dan melawan RAD (reactive attachment
disorder).

Dibawah ini saya akan lampirkan link video dari youtube yang menceritakan
mengenai pengalaman Tina dalam membesarkan Julia yang memiliki RAD. Berikut
adalah link youtubenya, https://youtu.be/2XL68iMY1bA

f. Tambahan Lainnya
- https://www.theravive.com/therapedia/reactive-attachment-disorder-dsm--5-313.89-(f
94.1)
- https://www.popmama.com/big-kid/6-9-years-old/winda-carmelita/reactive-attachmen
t-disorder-rad?page=all

2. Disinhibited Social Engagement Disorder

a. Pengertian dan Deskripsi


Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5) mendefinisikan
Disinhibited Social Engagement Disorder (DSED) merupakan Suatu pola perilaku di
mana seorang anak secara aktif mendekati dan berinteraksi dengan orang dewasa yang
tidak dikenalnya (Asosiasi Psikiatri Amerika, 2013) dan menunjukkan setidaknya dua
dari berikut ini: Berkurang atau tidak adanya keengganan dalam mendekati dan
berinteraksi dengan orang dewasa yang tidak dikenalnya. Hal ini paling sering terjadi
pada anak-anak yang menghabiskan masa bayi di sebuah yayasan atau panti asuhan.
Anak-anak yang dilembagakan sering dirawat secara tidak konsisten dan tidak memiliki
kesempatan untuk mengembangkan keterikatan yang sehat (McLaughlin, Epsie &
Minnis, 2010).

b. Kriteria Diagnosis

Kriteria Diagnosis

A. Pola perilaku di mana seorang anak secara aktif mendekati dan berinteraksi dengan
orang dewasa yang tidak dikenalnya dan menunjukkan setidaknya dua hal berikut:
1. Berkurang atau tidak adanya keengganan dalam mendekati dan berinteraksi dengan
orang dewasa yang tidak dikenal.
2. Perilaku verbal atau fisik yang terlalu akrab (yang tidak sesuai dengan sanksi budaya dan
dengan batasan sosial yang sesuai dengan usia).
3. Berkurang atau tidak ada pemeriksaan kembali dengan pengasuh dewasa setelah
menjelajah, bahkan di tempat yang tidak dikenal. 4. Kesediaan untuk pergi dengan orang
dewasa yang tidak dikenal dengan sedikit atau tanpa keraguan.

B. Perilaku dalam Kriteria A tidak terbatas pada impulsif (seperti pada gangguan
pemusatan perhatian/hiperaktivitas) tetapi termasuk perilaku tanpa hambatan secara sosial.

C. Anak telah mengalami pola perawatan yang tidak memadai yang ekstrim sebagaimana
dibuktikan oleh setidaknya salah satu dari berikut ini:
1. Pengabaian atau deprivasi sosial dalam bentuk terus-menerus tidak memiliki kebutuhan
emosional dasar akan kenyamanan, stimulasi, dan kasih sayang yang dipenuhi oleh orang
dewasa yang peduli.
2. Perubahan berulang dari pengasuh utama yang membatasi kesempatan untuk
membentuk keterikatan yang stabil (misalnya, seringnya perubahan dalam pengasuhan).
3. Dibesarkan di lingkungan yang tidak biasa yang sangat membatasi peluang untuk
membentuk keterikatan selektif (misalnya, lembaga dengan rasio anak-pengasuh yang
tinggi).

D. Perawatan dalam Kriteria C dianggap bertanggung jawab atas perilaku terganggu dalam
Kriteria A (misalnya, gangguan dalam Kriteria A mulai mengikuti perawatan patogen
dalam Kriteria C).
E. Anak memiliki usia perkembangan minimal 9 bulan.

Note :
Gangguan telah ada selama lebih dari 12 bulan.
Gangguan keterlibatan sosial tanpa hambatan ditetapkan sebagai parah ketika anak
menunjukkan semua gejala gangguan, dengan setiap gejala bermanifestasi pada
tingkat yang relatif tinggi.

c. Etiologi dan Prevalensi


Menurut DSM-5, Prevalensi gangguan keterlibatan sosial tanpa hambatan tidak
diketahui. Namun demikian, gangguan tampaknya jarang terjadi, terjadi pada sebagian
kecil anak-anak, bahkan mereka yang pernah mengalaminya Emosional. Lingkungan.
deprivasi dini yang parah. Dalam populasi masyarakat berpenghasilan rendah di Inggris,
prevalensi hingga 2%.

d. Penanganan
- Terapi Bermain, anak-anak yang menderita gangguan keterlibatan sosial tanpa
hambatan diobati dengan terapi bermain. Bermain sangat penting untuk
perkembangan kesehatan anak. Terapis akan mencoba untuk memecahkan masalah
anak melalui bermain. Anak dibiarkan memainkan permainan yang berbeda sehingga
ia merasa aman di sekitarnya. Orang dewasa juga dapat memahami kesukaan dan
ketidaksukaan anak.
- Terapi Seni, digunakan untuk merawat pasien dengan DSED.
- Manajemen Perilaku, manajemen perilaku sangat efektif untuk DSED di masa
dewasa. Pasien dewasa yang mengalami insecurity dapat mencari terapi pasangan, di
mana terapis akan membantu kedua pasangan menjadi lebih aman dalam hubungan
mereka.
- Obat, meskipun tidak ada obat langsung untuk pasien dengan DSED, dokter dapat
meresepkan obat sebagai pengobatan DSED jika pasien memiliki kecemasan,
gangguan mood, atau gangguan hiperaktif.
e. Contoh Kasus

Dr. Casey dahl, merupakan seorang dokter yang menangani permasalahan


Disinhibited Social Engagement Disorder (DSED), Ia memiliki seorang klien yang
bernama Danny Olson berusia 5 tahun. Danny mengalami pengalaman pengasuhan yang
lalai, perampasan kebutuhan, atau perubahan berulang pada pemberi perawatan primer
yang menghasilkan interaksi tanpa hambatan yang melibatkan perilaku yang terlalu
akrab atau kurangnya diskriminasi terkait keamanan sosial.

Dibawah ini saya akan lampirkan link video dari youtube yang menceritakan
mengenai pengalaman Dr. Casey dalam mengatasi Danny yang memiliki gangguan
DSED. Berikut adalah link youtubenya, https://youtu.be/TnsJElHBwQE

f. Tambahan Lainnya
https://www.theravive.com/therapedia/disinhibited-social-engagement-disorder-dsm--5-3
1389-(f94.2)

3. Adjustment Disorder

a. Pengertian dan Deskripsi


Gangguan Adjustment Disorder, merupakan gangguan yang ditandai dengan gejala
emosional dan perilaku (seperti kecemasan, perasaan putus asa, dan disorientasi) yang
berkembang sebagai respons terhadap peristiwa yang sangat menegangkan atau
serangkaian peristiwa yang membuat stres. Hal ini mencegah individu dari berfungsi
dengan baik dalam kehidupan normal mereka sehari-hari. Individu yang mengalami
gangguan adjustment disorder akan merasakan gejala stres pada umumnya namun
gejalanya lebih parah dan dimulai selama 3 sampai 6 bulan setelah mengalami kejadian
pemicu stres. Gejala fisiknya seperti insomnia, pegal linu, sakit perut, sakit kepala,
jantung berdebar, dan tangan berkeringat. Selain itu, terdapat gejala emosional seperti
cemas, pesimis, membangkang, impulsif, mudah menangis, sulit berkonsentrasi, hilang
minat pada kegiatan, perubahan pola makan, penggunaan alkohol dan obat-obatan,
hingga yang paling parah adalah munculnya pemikiran untuk bunuh diri.
b. Kriteria Diagnosis

Kriteria Diagnosis

A. Perkembangan gejala emosional atau perilaku sebagai respons terhadap suatu stressor
yang dapat diidentifikasi yang terjadi dalam waktu 3 bulan sejak timbulnya stressor.

B. Gejala atau perilaku ini signifikan secara klinis, sebagaimana dibuktikan oleh salah
satu atau kedua hal berikut:
1. Distress yang ditandai yang tidak sebanding dengan tingkat keparahan atau intensitas
dari stresor, dengan mempertimbangkan konteks eksternal dan faktor budaya yang
mungkin mempengaruhi keparahan gejala dan presentasi.
2. Gangguan signifikan dalam bidang sosial, pekerjaan, atau area penting lainnya dari
berfungsi.

C. Gangguan yang berhubungan dengan stres tidak memenuhi kriteria gangguan mental
lain dan bukan hanya eksaserbasi dari gangguan mental yang sudah ada sebelumnya.

D. Gejalanya tidak menunjukkan dukacita yang normal dan tidak lebih baik dijelaskan
oleh gangguan kesedihan berkepanjangan.

E. Setelah stres atau konsekuensinya telah berakhir, gejalanya tidak bertahan selama
lebih dari 6 bulan tambahan.
Tentukan apakah:
F43.21 Dengan suasana hati yang tertekan: Suasana hati yang rendah, air mata, atau
perasaan keputusasaan yang dominan.
F43.22 Dengan kecemasan: Gugup, khawatir, gelisah, atau kecemasan perpisahan adalah
utama.
F43.23 Dengan kecemasan campuran dan suasana hati yang tertekan: Kombinasi dari
depresi dan kecemasan yang dominan.
F43.24 Dengan gangguan perilaku: Gangguan perilaku dominan.
F43.25 Dengan campuran gangguan emosi dan perilaku: Keduanya emosional gejala
(misalnya, depresi, kecemasan) dan gangguan perilaku adalah: utama.
F43.20 Tidak ditentukan: Untuk reaksi maladaptif yang tidak dapat diklasifikasikan
sebagai satu dari subtipe spesifik dari gangguan penyesuaian.

Note :
- Akut: Penentu ini dapat digunakan untuk menunjukkan gejala yang menetap
dengan waktu yang lebih singkat dari 6 bulan.
- Persistent (kronis): Penentu ini dapat digunakan untuk menunjukkan kegigihan
gejala selama 6 bulan atau lebih. Menurut definisi, gejala tidak dapat bertahan
selama lebih dari 6 bulan setelah penghentian stresor atau konsekuensinya.
Oleh karena itu, penentu persisten berlaku bila durasi gangguan lebih dari 6 bulan
sebagai respons terhadap stresor kronis atau stresor yang memiliki konsekuensi akhir.

c. Etiologi dan Prevalensi


Menurut DSM-5, Gangguan Adjustment Disorder, meskipun prevalensi dapat sangat
bervariasi sebagai fungsi dari populasi yang diteliti dan metode penilaian yang
digunakan. Persentase individu di rawat jalan perawatan kesehatan mental di Amerika
Serikat dengan diagnosis utama gangguan penyesuaian berkisar antara 5% sampai 20%.
Tingkat gangguan penyesuaian mungkin lebih tinggi pada wanita, seperti yang dicatat
oleh penelitian di Denmark. Di rumah sakit psikiater Australia, Kanada, Israel, dan AS
pengaturan konsultasi, gangguan penyesuaian sering menjadi diagnosis paling umum
pada 1990-an, sering mencapai 50%.

d. Penanganan
Pengobatan utama adjustment disorder adalah dengan psikoterapi atau terapi
berbicara. Terapi bicara akan membantu pasien:
- Mendapatkan dukungan emosional.
- Kembali beraktivitas seperti biasa.
- Memahami kenapa stressor dapat memberikan efek mental sedemikian rupa.
- Mengajarkan pasien kemampuan manajemen stres serta menghadapi stressor.
- Dalam beberapa kasus, kondisi ini perlu ditangani pula dengan obat-obatan seperti
antidepresan (SSRI) dan anti cemas (benzodiazepine).
e. Contoh Kasus

Mantan pilot maskapai penerbangan Citilink, Tekad Purna, disebut mengalami


gangguan penyesuaian. Hal ini merupakan penjelasan atas aksinya yang sempat membuat
heboh media sosial beberapa pekan lalu. Dikutip dari CNN Indonesia, Kepala Bagian
Humas BNN Slamet Pribadi menjelaskan Tekad diketahui mengalami penurunan emosi
dan perasaan karena masalah yang dialaminya. Masalah itu, kata dia, bisa berkembang
pada gangguan yang bersifat depresi. Dibawah ini saya akan lampirkan link artikel kasus
yang menceritakan mengenai Tekad Purna yang mengalami Adjustment Disorder.
Berikut adalah link artikelnya,
https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-3393239/jangan-keliru-ini-bedanya-ganggua
n-penyesuaian-dengan-depresi

f. Tambahan Lainnya

https://symptommedia.com/adjustment-disorder-dsm-5/
https://thriveworks.com/help-with/disorders/adjustment-disorder/

4. Posttraumatic Stress Disorder

a. Pengertian dan Deskripsi


Posttraumatic stress disorder (PTSD) adalah reaksi maladaptif berkepanjangan yang
berlangsung lebih dari 1 bulan setelah pengalaman traumatis. PTSD hadir dengan profil
gejala yang mirip Acute Stress Disorder (ASD), namun dengan kriteria durasi yang lebih
dan dapat bertahan selama, berbulan hingga tahunan, atau mungkin tidak berkembang
sampai berbulan-bulan atau bertahun-tahun setelah peristiwanya terjadi (delayed).

b. Kriteria Diagnosis
Kriteria berikut berlaku untuk orang dewasa, remaja, dan anak-anak di atas 6 tahun.
I. Mendapati peristiwa yang memang dirasa berbahaya dan mengancam nyawanya, bisa
berupa kecelakaan, kekerasan, baik fisik maupun seksual. Pengalamannya dapat
diperoleh dari:
A. Mengalaminya secara langsung
B. Menyaksikan orang lain mengalami hal tersebut
C. Mengetahui bahwa peristiwa traumatis terjadi pada anggota keluarga dekat
atau teman dekat. Dalam kasus kematian anggota keluarga atau teman yang
sebenarnya atau terancam, peristiwa tersebut pasti merupakan kekerasan atau
kecelakaan.
D. Mengalami paparan berulang atau ekstrem terhadap detail yang tidak
menyenangkan dari peristiwa traumatis (misalnya, responden pertama yang
mengumpulkan sisa-sisa manusia; petugas polisi berulang kali terpapar detail
pelecehan anak).
Catatan: Kriteria I.D. tidak berlaku untuk paparan melalui media elektronik,
televisi, film, atau gambar, kecuali paparan ini terkait dengan pekerjaan.
II. Adanya satu (atau lebih) dari gejala intrusi berikut yang terkait dengan peristiwa
traumatis dan dimulai setelah peristiwa traumatis terjadi:
A. Ingatan menyedihkan yang berulang, tidak disengaja, dan mengganggu dari
peristiwa traumatis .
Catatan: Pada anak-anak yang lebih tua dari 6 tahun, permainan berulang
dapat terjadi di mana tema atau aspek dari peristiwa traumatis diungkapkan.
B. Mimpi menyedihkan yang berulang di mana isi dan/atau pengaruh mimpi
tersebut terkait dengan peristiwa traumatis.
Catatan: Pada anak-anak, mungkin ada mimpi menakutkan tanpa konten yang
dapat dikenali.
C. Reaksi disosiatif (misalnya, kilas balik) di mana individu merasa atau
bertindak seolah-olah peristiwa traumatis itu berulang. (Reaksi seperti itu
dapat terjadi pada suatu kontinum, dengan ekspresi yang paling ekstrem
adalah hilangnya kesadaran sepenuhnya terhadap lingkungan yang ada).
Catatan: Pada anak-anak, peragaan spesifik trauma dapat terjadi dalam
permainan.
D. Tekanan psikologis yang intens atau berkepanjangan saat terpapar isyarat
internal atau eksternal yang melambangkan atau menyerupai aspek dari
peristiwa traumatis.
E. Reaksi fisiologis yang ditandai terhadap isyarat internal atau eksternal yang
melambangkan atau menyerupai aspek dari peristiwa traumatis.
III. Penghindaran secara persisten dari rangsangan yang terkait dengan peristiwa
traumatis, dimulai setelah peristiwa traumatis terjadi, sebagaimana dibuktikan oleh
salah satu atau kedua hal berikut:
A. Penghindaran atau upaya untuk menghindari ingatan, pikiran, atau perasaan
yang menyusahkan tentang atau terkait erat dengan peristiwa traumatis.
B. Penghindaran atau upaya untuk menghindari pengingat eksternal (orang,
tempat, percakapan, aktivitas, objek, situasi) yang membangkitkan ingatan,
pikiran, atau perasaan yang menyedihkan tentang atau terkait erat dengan
peristiwa traumatis.
IV. Perubahan negatif dalam kognisi dan suasana hati yang terkait dengan peristiwa
traumatis, dimulai atau memburuk setelah peristiwa traumatis terjadi, sebagaimana
dibuktikan oleh dua (atau lebih) berikut:
A. Ketidakmampuan untuk mengingat aspek penting dari peristiwa traumatis
(biasanya karena amnesia disosiatif dan bukan karena faktor lain seperti
cedera kepala, alkohol, atau obat-obatan).
B. Keyakinan atau harapan negatif yang terus-menerus dan berlebihan tentang
diri sendiri, orang lain, atau dunia (misalnya, "Saya buruk," "Tidak ada yang
bisa dipercaya," "Dunia ini benar-benar berbahaya," "Seluruh sistem saraf
saya hancur secara permanen ”).
C. Kognisi yang terus-menerus dan terdistorsi tentang penyebab atau konsekuensi
dari peristiwa traumatis yang menyebabkan individu menyalahkan dirinya
sendiri atau orang lain.
D. Keadaan emosi negatif yang persisten (misalnya, takut, ngeri, marah, bersalah,
atau malu).
E. Berkurangnya minat atau partisipasi secara nyata dalam aktivitas yang
signifikan.
F. Perasaan terlepas atau terasing dari orang lain.
G. Ketidakmampuan yang terus-menerus untuk mengalami emosi positif
(misalnya, ketidakmampuan untuk mengalami kebahagiaan, kepuasan, atau
perasaan cinta).
V. Perubahan nyata dalam gairah dan reaktivitas yang terkait dengan peristiwa traumatis,
dimulai atau memburuk setelah peristiwa traumatis terjadi, sebagaimana dibuktikan
oleh dua (atau lebih) berikut:
A. Perilaku mudah tersinggung dan ledakan kemarahan (dengan sedikit atau tidak
ada provokasi) biasanya dinyatakan sebagai agresi verbal atau fisik terhadap
orang atau objek.
B. Perilaku sembrono atau merusak diri sendiri.
C. Kewaspadaan yang berlebihan.
D. Respon kaget yang berlebihan.
E. Masalah dengan konsentrasi.
F. Gangguan tidur (misalnya, sulit untuk jatuh atau tetap tertidur atau tidur
gelisah).
VI. Durasi gangguan (Kriteria II, III, IV, dan V) lebih dari 1 bulan.
VII. Gangguan tersebut menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis serta
dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
VIII. Gangguan tidak disebabkan oleh efek fisiologis suatu zat (misalnya, obat-obatan,
alkohol) atau kondisi medis lainnya.
Pastikan apakah:
Dengan gejala disosiatif: Gejala individu memenuhi kriteria gangguan stres
pascatrauma, dan sebagai tambahan, sebagai respons terhadap stresor, individu
mengalami gejala persisten atau berulang dari salah satu dari berikut ini:
A. Depersonalisasi: Pengalaman persisten atau berulang dari merasa terlepas dari,
dan seolah-olah seseorang adalah pengamat luar dari, proses mental atau tubuh
seseorang (misalnya, merasa seolah-olah berada dalam mimpi; merasakan
perasaan tidak nyata tentang diri atau tubuh atau waktu bergerak lambat).
B. Derealisasi: Pengalaman lingkungan yang tidak nyata atau berulang (misalnya,
dunia di sekitar individu dialami sebagai tidak nyata, seperti mimpi, jauh, atau
terdistorsi).
C. Catatan: Untuk menggunakan subtipe ini, gejala disosiatif tidak boleh
disebabkan oleh efek fisiologis suatu zat (misalnya, pingsan, perilaku selama
keracunan alkohol) atau kondisi medis lain (misalnya, kejang parsial
kompleks).
Pastikan apakah:
Dengan delayed expression: Jika kriteria diagnostik lengkap tidak terpenuhi sampai
setidaknya 6 bulan setelah kejadian (walaupun awitan dan ekspresi beberapa gejala
mungkin segera terjadi).

Gangguan Posttraumatic stress disorder pada Anak-anak 6 Tahun kebawah


I. Pada anak-anak 6 tahun kebawah, pajanan terhadap kematian aktual atau terancam,
cedera serius, atau kekerasan seksual dalam satu (atau lebih) cara berikut:
A. Mengalami peristiwa traumatis secara langsung.
B. Menyaksikan secara langsung peristiwa yang terjadi pada orang lain, terutama
pengasuh utama.
C. Mengetahui bahwa peristiwa traumatis terjadi pada orang tua atau figur
pengasuh. B.
II. Adanya satu (atau lebih) dari gejala intrusi berikut yang terkait dengan peristiwa
traumatis, yang dimulai setelah peristiwa traumatis terjadi:
A. Ingatan menyedihkan yang berulang, tidak disengaja, dan mengganggu dari
peristiwa traumatis .
Catatan: Ingatan yang spontan dan mengganggu mungkin tidak selalu tampak
menyedihkan dan dapat diekspresikan sebagai peragaan permainan.
B. Mimpi menyedihkan yang berulang di mana isi dan/atau pengaruh mimpi
tersebut terkait dengan peristiwa traumatis. Catatan: Tidak mungkin
memastikan bahwa konten menakutkan terkait dengan peristiwa traumatis.
C. Reaksi disosiatif (misalnya, kilas balik) di mana anak merasa atau bertindak
seolah-olah peristiwa traumatis itu berulang. (Reaksi semacam itu dapat terjadi
pada suatu kontinum, dengan ekspresi yang paling ekstrem adalah hilangnya
kesadaran sepenuhnya terhadap lingkungan saat ini.) Peragaan spesifik trauma
semacam itu dapat terjadi dalam permainan.
D. Tekanan psikologis yang intens atau berkepanjangan saat terpapar isyarat
internal atau eksternal yang melambangkan atau menyerupai aspek dari
peristiwa traumatis.
E. Reaksi fisiologis yang ditandai dengan pengingat peristiwa traumatis.
III. Satu (atau lebih) dari gejala berikut, yang menunjukkan penghindaran terus-menerus
terhadap rangsangan yang terkait dengan peristiwa traumatis atau perubahan negatif
dalam kognisi dan suasana hati yang terkait dengan peristiwa traumatis, harus ada,
dimulai setelah peristiwa atau memburuk setelah peristiwa:
A. Penghindaran Stimuli yang Persisten,
a. Penghindaran atau upaya untuk menghindari aktivitas, tempat, atau
pengingat fisik yang membangkitkan ingatan tentang peristiwa
traumatis.
b. Penghindaran atau upaya untuk menghindari orang, percakapan, atau
situasi interpersonal yang membangkitkan ingatan tentang peristiwa
traumatis.
B. Perubahan Negatif dalam Kognisi
a. Frekuensi keadaan emosi negatif yang meningkat secara substansial
(misalnya, ketakutan, rasa bersalah, kesedihan, rasa malu,
kebingungan).
b. Berkurangnya minat atau partisipasi secara nyata dalam aktivitas
penting, termasuk pembatasan permainan.
c. Perilaku menarik diri secara sosial.
d. Pengurangan terus-menerus dalam ekspresi emosi positif.
IV. Perubahan gairah dan reaktivitas yang terkait dengan peristiwa traumatis, dimulai atau
memburuk setelah peristiwa traumatis terjadi, sebagaimana dibuktikan oleh dua (atau
lebih) berikut:
A. Perilaku mudah tersinggung dan ledakan kemarahan (dengan sedikit atau
tanpa provokasi) biasanya diekspresikan sebagai agresi verbal atau fisik
terhadap orang atau objek (termasuk amarah yang ekstrem).
B. Kewaspadaan yang berlebihan.
C. Respon kaget yang berlebihan.
D. Masalah dengan konsentrasi.
E. Gangguan tidur (misalnya, sulit untuk jatuh atau tetap tertidur atau tidur
gelisah).
V. Durasi gangguan lebih dari 1 bulan.
VI. Gangguan tersebut menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau
gangguan dalam hubungan dengan orang tua, saudara kandung, teman sebaya, atau
pengasuh lain atau dengan perilaku sekolah.
VII. Gangguan tidak disebabkan oleh efek fisiologis suatu zat (misalnya, obat-obatan atau
alkohol) atau kondisi medis lainnya.
Pastikan apakah:
Dengan gejala disosiatif: Gejala individu memenuhi kriteria gangguan stres
pascatrauma, dan individu mengalami gejala persisten atau berulang dari salah satu
dari berikut ini:
A. Depersonalisasi: Pengalaman perasaan terpisah yang menetap atau berulang,
dan seolah-olah ada pengamat luar, proses mental atau tubuh seseorang
(misalnya, merasa seolah-olah berada dalam mimpi; merasakan perasaan tidak
nyata dari diri atau tubuh atau waktu bergerak lambat).
B. Derealisasi: Pengalaman lingkungan yang tidak nyata atau berulang (misalnya,
dunia di sekitar individu dialami sebagai tidak nyata, seperti mimpi, jauh, atau
terdistorsi).
Catatan: Untuk menggunakan subtipe ini, gejala disosiatif tidak boleh
disebabkan oleh efek fisiologis suatu zat (misalnya, pingsan) atau kondisi
medis lain (misalnya, kejang parsial kompleks).
Pastikan jika:
Dengan delayed expression: Jika kriteria diagnostik lengkap tidak terpenuhi sampai
setidaknya 6 bulan setelah kejadian (walaupun ekspresi beberapa gejala mungkin
segera terjadi).

c. Etiologi dan Prevalensi


Sama seperti Acute Stress Disorder (ASD), seorang individu harus mengalami
peristiwa traumatis terlebih dahulu untuk akhirnya berada pada risiko untuk mengalami
posttraumatic stress disorder. Peristiwa traumatik ini dapat terjadi dalam bentuk
kecelakaan yang mengancam nyawa, kekerasan seksual, cedera fisik, kekerasan pada
masa kanak-kanak, trauma terkait pertarungan atau peperangan, ataupun penyakit atau
kondisi medis. Adanya trauma-trauma yang mungkin sebelumnya pernah dialami pun
meningkatkan resiko seseorang untuk mengalami posttraumatic stress disorder. Selain
itu, temperamen tertentu juga bisa meningkatkan resiko munculnya posttraumatic stress
disorder, seperti gangguan mental sebelumnya, respons emosional negatif yang
cenderung tinggi seperti suasana hati yang tertekan dan kecemasan, tingkat keparahan
yang dirasakan lebih besar dari peristiwa traumatis, dan individu yang memiliki
kecenderungan coping tipe avoidant.
Tingkat PTSD lebih tinggi di antara veteran dan orang lain yang pekerjaannya
meningkatkan risiko paparan traumatis (misalnya, polisi, petugas pemadam kebakaran,
tenaga medis darurat). Selin itu, prevalensi yang paling tinggi ditemukan di antara
mereka yang selamat dari pemerkosaan, pertempuran militer dan penahanan, dan
pengasingan dan genosida yang bermotivasi etnis atau politik. Perbandingannya dalam
hal gender, wanita dua kali lebih mungkin mengalami PTSD dibandingkan pria.
Prevalensi PTSD dapat bervariasi di seluruh tahap perkembangan; anak-anak dan remaja,
termasuk anak-anak prasekolah (meskipun umumnya memiliki prevalensi yang lebih
rendah setelah terpapar). Berdasarkan data DSM-IV, perbedaan ras menunjukkan tingkat
PTSD yang lebih tinggi di antara orang Amerika Latin, Afrika Amerika, dan Indian
Amerika dibandingkan dengan orang kulit putih, alasan yang diyakini adalah adanya
perbedaan dalam faktor predisposisi atau faktor pendukung, seperti paparan kesulitan
masa lalu dan rasisme dan diskriminasi, dan ketersediaan atau kualitas pengobatan,
dukungan sosial, status sosial ekonomi, dan sumber daya sosial lainnya yang
memfasilitasi pemulihan dan membingungkan latar belakang etnis dan ras.

d. Penanganan
Satu hal yang pasti terkait penanganannya adalah PTSD harus ditangani oleh
profesional dan dilakukan dengan tujuan untuk meredakan respons emosi pasien dan
pengembalian kendali pasien atas dirinya sendiri, sebagaimana ketika sedang mengidap
PTSD, hal yang paling menyiksa pasien adalah bagaimana mereka merasa tidak memiliki
kendali atas dirinya sendiri. Metode penanganannya beragam, meliputi:
- Cognitive Behavioral Therapy (CBT), yang dilakukan dengan berfokus pada
dimensi trauma pasien dan mengoreksi asumsi negatif tentangnya serta
meningkatkan pengetahuan pasien akan hal yang sedang dialaminya, untuk
selanjutnya dapat dikendalikan dan sedikit demi sedikit mengembalikan
kontrol diri pasien sepenuhnya sekaligus mengurangi risiko berkembang ASD
menjadi PTSD.
- Terapi eksposur, untuk membantu pasien menghadapi keadaan dan ingatan
yang memicu trauma secara efektif. Menghadapi kejadian traumatis yang
menakutkan beberapa kali, namun kali ini berada dalam lingkungan yang
aman. Dengan dihadirkannya pengalaman traumatis tersebut secara
berulang-ulang akan mengurangi nilai tekanan yang muncul pada individu.

e. Contoh Kasus
Gina adalah seorang wanita paruh baya yang memiliki karir sangat cemerlang dan
sudah menikah dengan pria yang luar biasa, namun tiba-tiba pada suatu hari ia ingin
mengakhiri pernikahannya karena hal yang bahkan dirinya sendiri tidak mampu
menjelaskan alasannya. Ia mengalami perasaan-perasaan negatif pada situasi-situasi yang
sebenarnya biasa ia temui dalam kesehariannya. Seperti misalnya saat suaminya hendak
mengecupnya sebelum tidur, itu adalah rutinitas yang memang biasa dilakukan, namun
suatu hari ia merasa sangat ketakutan ketika suaminya melakukan hal tersebut,
jantungnya berdegup sangat kencang, kepala terasa sakit, dan ia merasa sangat tidak
nyaman dalam situasi tersebut. Setelah gejalanya terus memburuk, ia pun mulai mencari
pertolongan yang dibutuhkannya dan menemui seorang terapis. Dari pendalaman yang
dilakukan selama beberapa sesinya, didapati bahwa ternyata dirinya pernah mengalami
pelecehan seksual dari pamannya ketika ia masih kecil dan hal tersebutlah yang tanpa
disadari menjadi sumber dari respon-responnya yang tidak biasa belakangan ini.
Dari uraian di atas, maka sedikitnya dapat kita pahami bahwa Gina mengalami
delayed posttraumatic disorder, dimana gejala-gejalanya baru muncul setelah kurang
lebih 30 tahun dari munculnya pengalaman traumatik. Untuk informasi lebih lengkapnya
dapat dilihat pada video yang dapat diakses melalui link berikut:
https://youtu.be/nZLD9z6_bFI

5. Acute Stress Disorder

a. Pengertian dan Deskripsi


Acute Stress Disorder (ASD) merupakan kondisi yang terjadi, karena adanya syok
psikologi setelah mengalami atau menyaksikan secara langsung peristiwa yang
mengerikan dan bersifat traumatis hingga akhirnya menimbulkan reaksi emosional
negatif yang kuat dan bisa masuk dalam gangguan kecemasan. Gangguan-gangguan yang
berkaitan dengan stress adalah satu-satunya rumpun diagnostik yang memasukkan
adanya peristiwa mengganggu yang memang menjadi stressor sebelum pengidapnya
memunculkan gejala-gejala yang lainnya..

b. Kriteria Diagnosis
Catatan: Kriteria berikut berlaku untuk orang dewasa, remaja, dan anak-anak di atas 6 tahun.
I. Mendapati peristiwa yang memang dirasa berbahaya dan mengancam nyawanya, bisa
berupa kecelakaan, kekerasan, baik fisik maupun seksual. Pengalamannya dapat
diperoleh dari:
A. Mengalaminya secara langsung
B. Menyaksikan orang lain mengalami hal tersebut
C. Mengetahui bahwa peristiwa traumatis terjadi pada anggota keluarga dekat
atau teman dekat. Dalam kasus kematian anggota keluarga atau teman yang
sebenarnya atau terancam, peristiwa tersebut pasti merupakan kekerasan atau
kecelakaan.
D. Mengalami paparan berulang atau ekstrem terhadap detail yang tidak
menyenangkan dari peristiwa traumatis (misalnya, responden pertama yang
mengumpulkan sisa-sisa manusia; petugas polisi berulang kali terpapar detail
pelecehan anak).
Catatan: Kriteria A4 tidak berlaku untuk paparan melalui media elektronik,
televisi, film, atau gambar, kecuali paparan ini terkait dengan pekerjaan.
II. Munculnya sembilan (atau lebih) gejala dari lima kategori gejala yang ada sebagai
berikut:
A. Intrusion Symptoms,
1. Ingatan menyedihkan yang berulang, tidak disengaja, dan mengganggu
dari peristiwa traumatis yang dialami.
2. Mimpi menyedihkan yang berulang di mana isi dan/atau pengaruh dari
mimpi tersebut terkait dengan peristiwa tersebut.
3. Reaksi disosiatif (misalnya, flashbacks) di mana individu merasa atau
bertindak seolah-olah peristiwa traumatis itu berulang. Reaksinya
dapat diikuti dengan ekspresi paling ekstrem adalah hilangnya
kesadaran akan situasi saat ini secara total.)
4. Tekanan psikologis yang intens dan berkepanjangan atau reaksi
fisiologis yang ditandai sebagai respons terhadap isyarat internal atau
eksternal yang melambangkan atau menyerupai suatu aspek dari
peristiwa traumatis.
B. Negative Mood,
1. Ketidakmampuan yang terus-menerus untuk mengalami emosi positif
(misalnya, ketidakmampuan untuk mengalami kebahagiaan, kepuasan,
atau perasaan cinta).
C. Dissociative Symptoms
1. Perasaan akan realitas yang berubah, baik pada sekitar maupun diri
sendiri (misalnya, melihat diri sendiri dari sudut pandang orang lain,
linglung, waktu terasa lambat).
2. Ketidakmampuan untuk mengingat aspek penting dari peristiwa
traumatis (biasanya karena amnesia disosiatif dan bukan karena adanya
faktor lain seperti cedera kepala, alkohol, atau obat-obatan).
D. Avoidance Symptoms
1. Adanya upaya untuk menghindari ingatan, pikiran, atau perasaan yang
menyusahkan tentang atau terkait erat dengan peristiwa traumatis.
2. Adanya upaya untuk menghindari pengingat eksternal (orang, tempat,
percakapan, aktivitas, objek, situasi) yang membangkitkan ingatan,
pikiran, atau perasaan menyedihkan tentang atau terkait erat dengan
peristiwa traumatis.
E. Arousal Symptoms
1. Gangguan tidur (seperti kesulitan untuk tertidur atau mempertahankan
waktu tidur yang cukup, dan tidur gelisah).
2. Perilakunya mudah tersinggung dan ekspresi marahnya meledak-ledak
(dengan sedikit atau tanpa provokasi), biasanya diekspresikan sebagai
agresi verbal atau fisik terhadap orang atau objek.
3. Kewaspadaan yang berlebihan.
4. Masalah dengan konsentrasi.
5. Respon kaget yang berlebihan
III. Durasi gangguan (gejala pada Kriteria II) adalah 3 hari sampai 1 bulan setelah
paparan trauma. Gejala biasanya dimulai segera setelah trauma, tetapi kemunculannya
selama minimal 3 hari dan hingga satu bulan diperlukan untuk memenuhi kriteria
gangguan.
IV. Gangguan tersebut menyebabkan permasalahan yang berarti secara klinis atau dalam
fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
V. Gangguan tidak disebabkan oleh efek fisiologis suatu zat (misalnya, obat-obatan atau
alkohol) atau kondisi medis lain (misalnya, cedera otak traumatis ringan) dan tidak
secara lebih baik dijelaskan oleh gejala dari gangguan brief psychotic disorder.

c. Etiologi dan Prevalensi


Seorang individu harus mengalami peristiwa traumatis terlebih dahulu untuk akhirnya
berada pada risiko untuk mengalami acute stress disorder, dan trauma-trauma yang
mungkin sebelumnya pernah dialami, meskipun tidak berkaitan faktor penyebab
munculnya acute stress disorder (yang dialami saat iru)bisa menjadi faktor resiko yang
perlu dipertimbangkan. Selain itu, temperamen tertentu juga bisa meningkatkan resiko
munculnya acute stress disorder, seperti gangguan mental sebelumnya, respons
emosional negatif yang cenderung tinggi seperti suasana hati yang tertekan dan
kecemasan (disebut juga negative affectivity atau neurotisisme), tingkat keparahan yang
dirasakan lebih besar dari peristiwa traumatis, dan individu yang memiliki
kecenderungan coping tipe avoidant.
Prevalensi acute stress disorder pada populasi yang baru saja terpapar trauma (dalam
rentang 1 bulan setelah paparan trauma) bervariasi sesuai dengan peristiwa dan
konteksnya. Di Australia, Inggris, dan Amerika Serikat, acute stress disorder
diidentifikasi sebanyak 20% setelah peristiwa traumatis yang bukan merupakan
persoalan pribadi (seperti kecelakaan industri), sedangkan pada kasus traumatis yang
sifatnya lebih pribadi/ personal (seperti penyerangan, pemerkosaan), ditemukan
prevalensi yang lebih besar tinggi, yakni 19% sampai dengan 50%.

d. Penanganan
- Menjamin keamanan yang dibutuhkan oleh pasien, dengan memastikan bahwa pasien
sudah berada di situasi yang aman dan menginformasikan dengan sejelas-jelasnya
dimana ia dapat memperoleh hal-hal yang mungkin akan dibutuhkannya, mulai dari
kebutuhan pangan (air, minum, dll), sampai dengan di mana ia harus mencari bantuan
jika terjadi keadaan darurat.
- Memberikan pendampingan agar pasien dapat menerima kenyamanan emosional yang
dibutuhkan.
- Menindaklanjuti permasalahan psikologisnya melalui strategi intervensi yang sudah
terukur dan terencana guna memberikan penanganan yang paling sesuai dan efektif
dengan permasalahan pasien (sesi konseling, terapi tertentu, dan lain sebagainya).
- Cognitive Behavioral Therapy, yang dilakukan dengan berfokus pada dimensi trauma
pasien dan meningkatkan pengetahuannya akan hal yang sedang dialaminya, untuk
selanjutnya dapat dikendalikan dan sedikit demi sedikit mengembalikan kontrol diri
pasien sepenuhnya sekaligus mengurangi risiko berkembang ASD menjadi PTSD.

e. Contoh Kasus
https://youtu.be/Al1A0t1vWzk

6. Prolonged Grief Disorder

a. Pengertian dan Deskripsi


Prolonged grief disorder (PGD) atau dalam DSM-5 disebut dengan persistent
complex bereavement disorder, dapat didefinisikan sebagai keadaan dimana individu
mengalami reaksi duka yang berkepanjangan. Diagnosis ini dapat ditegakkan setidaknya 12
bulan (6 bulan bagi anak-anak) setelah kematian orang terdekat. Definisi lain menyebutkan
bahwa PGD adalah perasaan duka yang tidak kunjung hilang atau malah bertambah
sepanjang waktu (Jordan & Litz, 2014).

b. Kriteria Diagnosis
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, pada DSM-5, penyebutan prolonged grief
disorder (PGD) disebutkan dengan istilah persistent complex bereavement disorder.
Sedangkan pada DSM-5 TR, penyebutannya kembali menggunakan prolonged grief disorder
(PGD). Perubahan yang terjadi bukan hanya dari penggunaan istilah, tetapi juga pada
diagnosis yang diberikan. Dibawah ini saya akan memberikan tabel kriteria diagnosis PGD
dari DSM-5 TR yang sudah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia. Berikut adalah tabelnya:
Tabel 1 Kriteria Diagnosis Prolonged Grief Disorder

Kriteria Diagnosis

A. Kematian, setidaknya 12 bulan yang lalu, dari seseorang yang sangat dekat (untuk
anak-anak dan remaja, kematiannya terjadi setidaknya 6 bulan yang lalu)

B. Setelah kematian, terbentuk respon duka yang konsisten yang ditandai dengan satu
atau dua gejala di bawah ini, yang mana gejala ini hadir hampir setiap hari dan
memberikan derajat signifikan pada kondisi klinis individu. Pada edisi ini, gejala
terjadi hampir setiap hari setidaknya dalam sebulan terakhir:
● Sering mengalami kerinduan pada orang yang sudah meninggal
● Terlalu sibuk dengan pikiran atau kenangan dari orang yang telah meninggal (pada
anak-anak dan remaja, mereka terlalu sibuk mengingat keadaan kematian)

C. Setelah kematian, setidaknya ada tiga dari gejala dibawah ini yang muncul hampir
setiap hari dan berimbas pada tingkat klinis. Pada edisi ini, gejala yang dialami muncul
hampir setiap hari selama satu bulan terakhir:
● Terjadi gangguan atau kekacauan identitas (seperti, merasa sebagian dari diri
sendiri telah mati) sejak kematian
● Ditandai rasa tidak percaya terhadap kematian
● Mengabaikan peringatan dari orang lain bahwa seseorang itu sudah meninggal
(pada anak-anak dan remaja, karakteristiknya ditandai dengan upaya untuk
mengabaikan peringatan yang diberikan)
● Merasa emosi sakit yang tinggi yang berkaitan dengan kematian (seperti,
kemarahan, kepahitan, berduka)
● Sulit untuk berintegritas kepada satu hubungan dan suatu aktivitas setelah adanya
kematian tersebut (seperti, kesulitan untuk membangun hubungan kembali dengan
teman, kesulitan untuk menjalani kegiatan yang diminati, atau kesulitan untuk
merencanakan masa depan)
● Mati rasa (tidak adanya atau berkurangnya emosi yang dirasakan) akibat adanya
kematian tersebut
● Merasa hidup tidak berharga akibat adanya kematian tersebut
● Merasakan kesepian yang tinggi akibat adanya kematian tersebut

D. Menyebabkan gangguan secara klinis atau gangguan yang dialami di ranah sosial,
pekerjaan. atau ranah-ranah penting lainnya

E. Durasi dan tingkat keparahan dari reaksi dukanya sangat melebihi standar dari sosial,
budaya, atau agama di budaya dan tempat tinggal individu

F. Gejala-gejala yang ada tidak lebih baik jika dijelaskan dan dikaitkan dengan gangguan
mental lainnya (seperti, major depressive disorder or posttraumatic stress disorder) dan
tidak disebabkan oleh efek fisiologis dari suatu zat (seperti, obat-obatan, alkohol, atau
kondisi medis lainnya)

c. Etiologi dan Prevalensi


Penyebab utama dari munculnya PGD adalah meninggalnya orang terdekat yang
menyebabkan duka mendalam yang bertahan lama. Akan tetapi, sampai saat ini masih belum
ada penjelasan yang spesifik mengenai apa yang menyebabkan duka tersebut sangat
mendalam dan bertahan sangat lama.
Menurut DSM-5, prevalensi dari PGD sekitar 2,4%-4.8%. DSM-5 juga menyebutkan
bahwa gangguan ini lebih banyak dialami oleh perempuan dibanding dengan laki-laki.
Menurut DSM-5 TR, prevalensi pada gangguan PGD ditemukan di angka 9,8%. Gangguan
ini lebih banyak muncul pada negara-negara barat dengan pendapatan income yang tinggi
dibanding negara-negara di Asia dengan pendapatan yang sedang (upper-middle-income).
Ditemukan juga bahwa remaja di US memiliki prevalensi mengidap gangguan ini sebanyak
18%. Pada satu studi yang dilakukan oleh Szuhany et al. (2021) ditemukan bahwa prevalensi
dari PGD berada di kisaran 10%. Di Indonesia sendiri sampai saat ini tidak ada data
prevalensi dari PGD.

d. Penanganan
Ada beberapa metode penanganan yang dapat dilakukan oleh individu dengan PGD,
yaitu:
- Complicated Grief Treatment (CGT). CGT adalah treatment yang terdiri dari 16 sesi
dimana treatment ini ditujukan untuk mengurangi gejala=gejala yang ada pada
penderita PGD. Berdasarkan sebuah studi eksperimen yang melibatkan 395 klien
dengan PGD dimana dari hasil ini ditemukan bahwa CGT sangat mampu mengurangi
gejala-gejala yang dimiliki oleh klien dengan PGD (Shear et al., 2016; Szuhany et al.,
2021).
- Pharmacotherapy. Beberapa studi pernah dilakukan untuk melihat efek dari
pharmacotherapy terhadap treatment yang dilakukan kepada individu dengan PGD.
Pada satu studi ditemukan bahwa obat antidepresan yang dikombinasikan dengan
CBT dapat mengurangi gejala depresi akibat PGD, namun efeknya terhadap
pengurangan gejala-gejala PGD masih terbatas. Artinya, pharmacotherapy mampu
mengurangi gejala-gejala yang dirasakan oleh individu dengan PGD, tetapi hanya
terbatas.
- Psychotherapy. Pada sebuah meta analisis dari studi eksperimen, ditemukan bahwa
orang dewasa dengan PGD yang diberikan intervensi cognitive-behavioral
grief-targeted secara signifikan dapat mengurangi gejala-gejala PGD dibanding orang
dewasa dengan PGD yang diberikan intervensi supportive atau nonspecific therapy
(Wittouck, Van Autreve, De Jaegere, Portzky, & van Heeringen, 2011; Jordan & Litz,
2014).

e. Contoh Kasus
Seorang wanita bernama Paulette pada satu wawancara menceritakan mengenai
pengalamannya ketika ditinggal oleh sang anak, Jeff, yang meninggal dunia. Jeff yang saat
itu berusia 34 tahun meninggal dunia karena diabetes dan serangan jantung. Paulette
menceritakan pada saat itu Jeff sedang tidur dan tidak bangun lagi karena ia mengalami
serangan jantung saat tidur. Rasa duka yang dialami oleh Paulette tidak hilang dengan mudah,
bahkan ia merasakan rasa duka selama lebih dari satu tahun dan ia mengatakan bahwa dirinya
tidak bisa mengontrol hal tersebut. Berikut adalah link youtube wawancara Paulette:
https://www.youtube.com/watch?v=GkC rEf02hc4

7. Other Specified Trauma And Stressor Related Disorder

a. Pengertian dan Deskripsi


Other specified trauma and stressor related disorder adalah keadaan dimana individu
merasakan gejala-gejala dari trauma dan stressor-related disorder yang menyebabkan
gangguan secara klinis atau gangguan yang dialami di ranah sosial, pekerjaan atau
ranah-ranah penting lainnya, tetapi gangguan ini tidak sepenuhnya memenuhi kriteria
gangguan yang ada di payung gangguan trauma dan stres.
Other specified trauma and stressor related disorder dapat ditegakkan diagnosisnya
asalkan psikolog menjelaskan mengenai alasan spesifik dibalik penegakan ini. Misalnya,
situasi dimana individu merasakan rasa duka cita yang terus menerus, tetapi gejala-gejalanya
yang dirasakan tidak cukup memenuhi kriteria prolonged grief disorder.

b. Hal-Hal yang Perlu diperhatikan dalam Penegakkan Diagnosis


Beberapa contoh spesifik yang dapat dikatakan sebagai other specified trauma and
stressor related disorder meliputi:
1. Adjustment - gangguan yang dialami gejalanya mirip dengan adjustment disorders,
tetapi gejalanya baru muncul setelah lebih dari tiga bulan (adjustment disorders
gejalanya muncul ketika tiga bulan setelah mengalami stressor).
2. Adjustment - gangguan ini gejalanya yang dirasakannya mirip dengan gejala adjustment
disorders, tetapi durasi berlangsungnya lebih lama 6 bulan tanpa adanya durasi stres
yang berkepanjangan.
3. Ataque de nervios ("attack of nerves"). Karakter dari gejala ini berupa gangguan emosi
yang mencangkup acute anxiety, kemarahan atau rasa berduka, perilaku teriak yang
tidak dapat dikontrol, attack of crying, gemetar, rasa panas di dada yang naik ke kepala,
dan muncul perilaku agresif, baik secara verbal maupun fisik.
4. Other cultural syndromes
5. Persistent complex bereavement disorder

8. Unspecified Trauma And Stressor Related Disorder

a. Pengertian dan Deskripsi


Sama seperti other specified trauma and stressor related disorder, unspecified trauma
and stressor related disorder adalah keadaan dimana individu merasakan gejala-gejala dari
trauma dan stressor-related disorder yang menyebabkan gangguan secara klinis atau
gangguan yang dialami di ranah sosial, pekerjaan. atau ranah-ranah penting lainnya, tetapi
gangguan ini tidak sepenuhnya memenuhi kriteria gangguan yang ada di payung gangguan
trauma dan stres. Perbedaannya adalah psikolog tidak perlu mencantumkan alasan spesifik
kriteria apa yang tidak terpenuhi dan mengapa kriteria tersebut tidak terpenuhi, Diagnosis ini
juga dapat ditegakan ketika psikolog tidak memilih informasi yang cukup untuk menegakkan
satu diagnosis spesifik.
DAFTAR PUSTAKA

Adjustment disorder: Kenali Gejala dan penyebabnya. Hello Sehat. (2021, November 25).
Retrieved October 20, 2022, from
https://hellosehat.com/mental/stres/adjustment-disorder/

APA. (2018). Dsm-5-Tr Tm. In Angewandte Chemie International Edition, 6(11), 951–952.

Chirico, F. (2015). Adjustment Disorders in DSM-5: Implications for Occupational Health


Surveillance. Acta Psychopathologica, 01(02).
https://doi.org/10.4172/2469-6676.100014

Dian mustika maya, D. M. (2019). GAMBARAN PERILAKU RAD (Reactive Attachment


Disorder) PADA ANAK USIA SEKOLAH. Psiko Didaktika: Jurnal Ilmu Pendidikan,
Psikologi, Bimbingan Dan Konseling, 3(2), 13.
https://doi.org/10.32663/psikodidaktika.v3i2.378

Donnell, M. L. O., Agathos, J. A., Metcalf, O., Gibson, K., & Lau, W. (2019). Adjustment
disorder: Current developments and future directions.Int.j.Res.Public
Health.2019;16(14):1-11. International Journal of Environmental Research and Public
Health, 16, 1–11.
Jordan, A. H., & Litz, B. T. (2014). Prolonged Grief Disorder: Diagnostic, Assessment, and
Treatment Considerations. Professional Psychology: Research and Practice, 45 (3).
180-187. http://dx.dui.org/10.1037/a0036836

Lehmann, S., Breivik, K., Heiervang, E. R., Havik, T., & Havik, O. E. (2016). Reactive
Attachment Disorder and Disinhibited Social Engagement Disorder in School-Aged
Foster Children - A Confirmatory Approach to Dimensional Measures. Journal of
Abnormal Child Psychology, 44(3), 445–457.
https://doi.org/10.1007/s10802-015-0045-4

Maercker, A., & Lorenz, L. (2018). Adjustment disorder diagnosis: Improving clinical utility.
World Journal of Biological Psychiatry, 19(sup1), S3–S13.
https://doi.org/10.1080/15622975.2018.1449967
Szuhany, K. L., Malgaroli, M., Miron, C. D., & Simon, B. M. (2021). Prolonged Grief
Disorder: Course, Diagnosis, Assessment, and Treatment. Focus, 19 (2), 161-172. doi:
10.1176/appi.focus.20200052

Zeanah, C. H., & Gleason, M. M. (2010). Reactive Attachment Disorder : a review for
DSM-V REACTIVE ATTACHMENT DISORDER : A REVIEW FOR DSM-V
Department of Psychiatry and Behavioral Sciences Tulane University School of
Medicine Correspondence : January, 0–5.

Anda mungkin juga menyukai