Abstrak—Penelitian ini bertujuan untuk mencari tahu pelaksanaan pedoman Good Corporate Governance pada Badan
Usaha Milik Daerah yang ada di Provinsi Riau. Dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN, Badan Usaha Milik
Daerah di Provinsi Riau diharapkan telah siap dengan perangkat Good Corporate Governance yang sesuai dengan
kultur perusahaan di Provinsi Riau. Penelitian ini akan membandingkan penerapan Good Corporate Governance
Badan Usaha Milik Daerah Provinsi Riau dengan penerapan Good Corporate Governance Badan Usaha Milik Daerah
DKI Jakarta. Badan Usaha Milik Daerah DKI Jakarta yang telah dipandang sukses dalam penerapan Good Corporate
Governance adalah PT Pembangunan Jaya Ancol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Badan Usaha Milik Daerah
Provinsi Riau masih belum sepenuhnya melaksanakan pedoman Good Corporate Governance.
Kata kunci: Good Corporate Governance, Badan Usaha Milik Daerah, Masyarakat Ekonomi ASEAN.
I. PENDAHULUAN
Secara formal, Indonesia memulai penerapan Good Corporate Governance (GCG) atas
penandatanganan Letter of Intent (LOI) dengan International Monetery Fund (IMF). Salah satu point
penting LOI itu adalah penerapan GCG pada perusahaan-perusahaan di Indonesia [1]. Pemerintah
Indonesia menyadari, betapa lemahnya perusahaan-perusahaan di Indonesia dalam menerapkan GCG [2].
Selain itu, buruknya penerapan GCG di Indonesia diperparah lagi dengan kultur perusahaan-perusahaan di
Asia, termasuk Indonesia yang hampir sebagian besarnya merupakan perusahaan keluarga [3]. Bukti
empiris dari penelitian yang dilakukan oleh Wirawan dan Diyanty [4] terhadap 76 perusahaan yang terdaftar
di Bursa Efek Indonesia (BEI) menyatakan bahwa perusahaan yang kepemilikan keluarga lebih besar
dibanding pemegang saham lainnya memberikan pengaruh yang negatif terhadap pelaksanaan GCG. Dalam
kultur perusahaan keluarga tersebut, penerapan pemisahaan principal dan agency sangat rendah [5].
Pemilik perusahaan menempatkan keluarga mereka pada posisi direksi dan manajer dalam perusahaan.
Lazimnya bentuk perusahaan keluarga seperti ini di Asia membuat Bruton, dkk [6] berpendapat bahwa
negara-negara Asia memerlukan prinsip GCG yang berbeda dengan yang sudah ada.
Senada dengan Bruton, Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) dalam Pedoman Umum
GCG Indonesia [7] mengatakan bahwa KNKG hanya menyiapkan pedoman GCG yang bersifat umum dan
mendasar, sedangkan untuk pedoman GCG yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan, perusahaanlah yang
harus membuat pedoman yang lebih rinci dan berguna dalam operasional perusahaan.
Sebagai tindak lanjut penandatanganan LOI antara Indonesia dengan IMF, Indonesia membentuk
Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKCG) yang berfungsi membuat rekomendasi
pedoman GCG yang sesuai dengan kultur perusahaan di Indonesia. Pada tahun 2002, KNKCG berhasil
merumuskan 5 pedoman GCG di Indonesia, yaitu transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi
dan asas kewajaran dan kesetaraan. Dengan adanya pedoman umum GCG tersebut, sudah sejauh mana
BUMD di Provinsi Riau telah melaksanakan pedoman umum GCG tersebut?
Dari beberapa penelitian sebelumnya yang mencoba melihat hubungan antara BUMD dan penerapan
GCG di Indonesia, terungkap bahwa BUMD masih belum sepenuhnya menerapkan pedoman GCG pada
perusahaannya. Seperti penelitian terhadap BUMD yang dilakukan oleh Santosa [8] dan Holida dan Suryadi
[9]. Tidak maksimalnya penerapan GCG pada BUMD membuat kinerja perusahaan menjadi buruk dan
tidak efisien. Tetapi, hal ini bukan berarti tidak ada kesempatan bagi BUMD untuk mencapai kinerja yang
baik. Widjayanti [10] dalam penelitiannya menemukan bahwa BUMD bisa meningkatkan kinerja jika
melakukan perubahan dalam perusahaan. Ini membuktikan bahwa BUMD masih bisa mencapai target yang
diberikan oleh pemegang saham dengan melakukan perubahan-perubahan yang positif, salah satunya
LP2M-UMRI ECO - 1
PROSIDING Vol 1-Sep 2016
1th Celscitech-UMRI 2016 ISSN: 2541-3023
adalah dengan memaksimalkan pedoman GCG yang ada, atau dengan memodifikasi pedoman GCG yang
ada sehingga sesuai dengan kultur perusahaan.
Harus diakui, bahwa regulasi yang mengatur BUMD di Indonesia tidak banyak seperti regulasi yang
mengatur Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Hal ini menjadi salah satu kendala eksternal yang dihadapi
oleh BUMD [10]. Termasuk regulasi yang mengharuskan BUMD menyusun pedoman GCG yang sesuai
dengan kultur suatu provinsi. Pada saat ini, BUMD hanya merujuk pada Undang-undang (UU) No.40
Tahun 1997 tentang Perseroan dalam menjalankan operasi perusahaan. Akibatnya, banyak BUMD yang
dijalankan tanpa memiliki rambu-rambu yang jelas. Namun, dengan tanpa rambu-rambu yang jelas, BUMD
tetap diberikan target selayaknya sebuah perusahaan, sebagai konsekuensi BUMD tersebut menerima
setoran modal dari pemerintah daerah.
Buruknya kinerja BUMD ini juga termasuk BUMD di Provinsi Riau. Dalam berbagai pemberitaan
media lokal bahkan nasional, buruknya kinerja BUMD Riau sering menjadi sorotan. Untuk mengantisipasi
masalah ini, BUMD di Provinsi Riau perlu melakukan perbandingan terhadap BUMD yang telah sukses di
Indonesia. BUMD yang telah membuat pedoman GCG yang sesuai dengan kultur provinsi dan perusahaan,
BUMD yang telah memberikan konstribusi terhadap pemegang saham dan BUMD yang telah terdaftar di
lantai bursa saham. Hal ini dilakukan supaya BUMD di Riau bisa merancang dan menetapkan pedoman
GCG yang sesuai dengan kultur provinsi dan kultur perusahaan.
Penerapan GCG bagi BUMD Riau sudah sangat mendesak. Masyarakat Ekonomi ASEAN yang telah
dicadangkan sejak lama telah bergulir sejak akhir 2015. Oleh sebab itu, penerapan GCG yang tepat bagi
BUMD Riau sudah tidak bisa ditawar dan ditunda lagi. Selain dampak positif lainnya dari penerapan GCG
bagi BUMD adalah BUMD dapat menjadi tempat belajar putra daerah Riau dalam dunia kerja dan dunia
profesional. BUMD yang memiliki pedoman GCG yang bagus, tentu saja akan memberikan input yang
bagus pula bagi karyawan-karyawannya. Walaupun secara kuantitas tenaga kerja yang bisa dilatih dan
direkrut oleh BUMD terbatas, namun BUMD dengan segala perangkat pendukungnya diharapkan bisa
memberikan output tenaga kerja yang berkualitas dan berpengalaman.
Skop Penelitian
Penelitian ini dibatasi dengan 5 BUMD milik Pemprov Riau. PT Bank Riau Kepri (BRK) dikeluarkan
dari daftar penelitian disebabkan BRK merupakan perusahaan dalam bentuk perbankan yang telah memiliki
mekanisme GCG tersendiri. Sedangkan PT. Riau Air Lines (RAL), sejak tahun 2011 telah berhenti
beroperasi, sehingga tidak dimasukkan kedalam daftar penelitian. Dengan demikian, penelitian ini hanya
akan membandingkan penerapan GCG pada perusahaan PT. Riau Petrolium (RPM), PT. Pengembangan
Investasi Riau (PIR), PT. Permodalan Ekonomi Rakyat (PER), PT. Sarana Pembangunan Riau (SPR) dan
PT Penjaminan Kredit Daerah (PKD).
Data yang digunakan adalah data pada tahun 2014. Hal ini dilakukan karena PJA sebagai pembanding
telah selesai mengaplikasikan GCG Tahap ke-1 pada seluruh komponen perusahaan pada tahun 2014 [12]
LP2M-UMRI ECO - 2
PROSIDING Vol 1-Sep 2016
1th Celscitech-UMRI 2016 ISSN: 2541-3023
Transparansi
Berdasarkan Tabel 2, hanya PJA yang telah mengaplikasikan pedoman transparansi total, bahkan
keseluruhan pedoman umum GCG. Sementara itu, dari 5 BUMD Riau, hanya ada 3 (tiga) BUMD yang
memenuhi sebagian kriteria. Pada proses pengumpulan data, dari 5 (lima) BUMD yang diteliti, ada 2 (dua)
BUMD Riau yang tidak memiliki website resmi perusahaan. Namun demikian, BUMD yang memiliki
website resmi perusahaan sama sekali tidak menyajikan data (annual report) seperti yang dimaksud dalam
pedoman umum GCG Indonesia untuk pedoman transparansi.
Berbeda dengan PJA, informasi yang disajikan oleh PJA dalam website resminya telah memenuhi
syarat pedoman transparansi. PJA sebenarnya hanya menyampaikan sebagian informasi perusahaan dalam
website tersebut, namun PJA memberikan akses untuk men-download AR PJA. Dalam AR tersebut, PJA
menyampaikan seluruh informasi dan kegiatan yang dilakukan oleh PJA. Sehingga dengan informasi
tersebut, tergambar bahwa PJA telah melaksanakan sepenuhnya pedoman umum GCG Indonesia.
Akuntabilitas
Hanya 1 (satu) BUMD yang memenuhi pedoman umum GCG Indonesia, yaitu R4. Sementara 2 (dua)
BUMD lainnya hanya dapat memenuhi 1 (satu) kriteria, yaitu memiliki job description. Ini menunjukkan
masih lemahnya pelaksanaan pedoman GCG dalam hal akuntabilitas pada BUMD di Provinsi Riau. Tidak
adanya sistem pengendali internal dalam perusahaan akan menyebabkan perusahaan berjalan tanpa
pengawasan dalam mencapai visi dan misi perusahaan. Selain itu, ketiadaan mekanisme reward dan
punishment dalam perusahaan menyebabkan motivasi karyawan yang bekerja akan terganggu. Hal ini
disebabkan karyawan tidak mendapatkan reward jika berprestasi. Selain itu karyawan merasa tidak
terancam jika telah melakukan kesalahan atau kelalaian, disebabkan perusahaan tidak membuat mekanisme
pemberian hukuman.
LP2M-UMRI ECO - 3
PROSIDING Vol 1-Sep 2016
1th Celscitech-UMRI 2016 ISSN: 2541-3023
Sebaliknya PJA telah memiliki mekanisme pengendali internal yang sudah terintegrasi didalam
perusahaan. Hampir keseluruhan pedoman akintabilitas telah dipenuhi oleh PJA.
Responsibilitas
Semua BUMD yang memiliki website resmi perusahaan mematuhi AD/ART dan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku, namun dari ketiga BUMD tersebut, hanya ada 1 (satu) BUMD yang memiliki
program CSR. Namun demikian, BUMD tersebut tidak menjelaskan seperti apa program CSR yang
dimaksud.
Sementara itu PJA dalam AR 2014 menyajikan pelaksanaan program CSR dengan lengkap.
Independensi
Pada pedoman independensi, 3 (tiga) dari 5 (lima) BUMD telah memenuhi semua kriteria yang
ditentukan.
Asas Kewajaran dan Kesetaraan
Pada kriteria kebebasan menyampaikan pendapat, semua BUMD memenuhi kriteria tersebut. Namun
pada penerimaan karyawan yang transparan, hanya ada 1 (satu) BUMD yang menyampaikan informasi
tersebut dalam website resmi perusahaan.
DAFTAR PUSTAKA
[1] G. C. Windah, F. A. Andono, “Pengaruh Penerapan Corporate Governance Terhadap Kinerja Keuangan Perusahaan Hasil
Survey Yhe Indonesian Institute Perception Governance (IICG) Periode 2008-2011, “ Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa
Universitas Surabaya, Vol. 2, pp 1-20, 2013.
[2] S. Jhonson, P. Boone, A. Breach, E. Friedman, “Corporate governance in the Asian financial crisis, ”Journal of Financial
Economics, Vol. 58, pp 141-186, 2000.
[3] S. Clessens, S. Djankov, L. H. P. Lang, “The Separation of ownership and control in East Asian Corporation, “ Journal of
Financial Economics, Vol. 58, pp 81-112, 2000.
[4] B. Wirawan, V. Diyanty, “Kepemilikan keluarga, hubungan politik, dan family aligned board terhadap implementasi tata kelola
perusahaan, ” Jurnal Akuntansi dan Auditing Indonesia, Vol. 18, pp139-155, Desember 2014.
[5] F. Haque, T. G. Arun, C. Kirkpatrick, “Corporate Governance and Financial Performance: A Developing Economy Perspective,
” 2014
LP2M-UMRI ECO - 4
PROSIDING Vol 1-Sep 2016
1th Celscitech-UMRI 2016 ISSN: 2541-3023
[6] G. D. Bruton, D. Ahlstrom, J.C.C Wan, “Turnaround in East Asian Firms: Evidence From Ethnic Overseas Chinese
Communities, “Strategic Management Journal, Vol 24, pp 519-540, 2003.
[7] Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG), Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia. Jakarta: Komite
Nasional Kebijakan Governance, 2006.
[8] D.B. Santosa, “Kebijakan Optimalisasi Peran Badan Usaha Milik Daerah Jawa Timur, ” Jurnal Aplikasi Manajemen, Vol.9, pp
525-534, Maret 2011.
[9] F. Holida, H. Suryadi, ”Pengaruh Good Corporate Governance Terhadap Kinerja Perusahaan Milik Daerah, ” Jurnal Demokrasi
dan Otonomi Daerah, Vol. 10, pp. 1-66, Juni 2012.
[10] K. Widjajanti, “ A Study Performance in Regional Government-Owned Enterprises Indonesia, ” 2012.
[11] M. Nazir, Metode Penelitian. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2014
[12] PT Pembangunan Jaya Ancol, Annual Report PT. Pembangunan Jaya Ancol Tahun 2014. Jakarta: PT. Pembangunan Jaya Ancol,
2015.
LP2M-UMRI ECO - 5