Anda di halaman 1dari 7

BIAYA PERSATUAN

Sampai sekarang kita perhatikan Biaya Total dan perinciannya atas Biaya Tetap dan Biaya Variabel.

Tetapi kebanyakan pengusaha dan pedagang lebih mementingkan biaya persatuan (harga pokok) merupakan

dasar untuk penentuan harga jual.

Sekali diketahui jumlah produksi dan besarnya biaya total, maka biaya persatuan dengan mudah dapat

diperhitungkan, yaitu dengan membagi jumlah total biaya dengan jumlah produk (Metode Pembagian).

Perhatikan langkah-langkahnya.

Pertama-tama kita susun sebuah tabel, dimana dicantumkan jumlah produk (Q) dan Biaya Total (TC)

y ang diambil dari Tabel diatas. Hasil bagi biaya total (TC) dan jumlah produk (Q) menunjukkan biaya

persatuan (juga disebut biaya rata-rata) atau Average Cost, disingkat AC. Jadi AC = TC : Q.

TABEL BIAYA PERSATUAN PERUSAHAAN ROTI “MANIS”

(1)
(2) (3)
Jumlah
Biaya Total Biaya Persatuan
Produk
TC AC = TC : Q
Q
1 Rp. 10.000.000 Rp. 10.000.000 : 1 Rp. ~
0 10.000.500 10.000.500 : 0 10.000.500
100 10.050.000 10.050.000 : 100 100.500
1.000 10.500.000 10.500.000 : 1.000 10.500
5.000 12.500.000 12.500.000 : 5.000 2.500
10.000 15.000.000 15.000.000 : 10.000 1.500
20.000 20.000.000 20.000.000 : 20.000 1.000
25.000 22.500.000 22.500.000 : 25.000 900
30.000 25.000.000 25.000.000 : 30.000 833
40.000 30.000.000 30.000.000 : 40.000 750
50.000 35.000.000 35.000.000 : 50.000 700

Angka-angka dari Tabel diatas juga dapat digambarkan dalam sebuah diagram. Untuk itu pada sumbu

X kita ukur jumlah produk (Q), dengan skala yang sama seperti pada gambar diatas. Pada sumbu Y diukur

besarnya biaya persatuan dalam rupiah. Dengan melukiskan pasangan-pasangan bilangan dari tabel dalam

grafik, diperoleh sebuah kurve, yaitu kurve biaya persatuan atau kurve AC. Kurve ini secara grafik

memperlihatkan hubungan antara banyaknya jumlah produk yang dihasilkan dan tinggi rendahnya biaya

persatuan.

Dari angka-angka dalam tabel mungkin lebih jelas lagi dari bentuk kurve AC yang turun dari kiri-atas

ke kanan-bawah itu dapat dilihat bahwa dengan bertambahnya jumlah output yang dihasilkan, biaya persatuan

semakin rendah: dari Rp. 100.000,- lebih kalau hanya membuat 100 potong roti menjadi Rp. 700,- kalau

menghasilkan 50.000 potong per bulan. Timbullah pertanyaan: MENGAPA terjadi demikian?
Gambar Kurve AC

Kurve biaya persatuan (Average Cost. Disingkat AC) memperlihatkan bahwa dengan bertambahnya jumlah

yang diproduksikan, biaya persatuan makin rendah.

Rp

1500

1000 AC

500

0 Q
10 20 30 40 50 ribuan

Jawaban atas pertanyaan tersebut harus dicari dalam biaya tetap. Karena biaya tetap itu tetap, padahal

jumlah biaya tetap itu dibagi dengan jumlah produk yang makin banyak, maka hasil bagi, yaitu biaya tetap

persatuan produk makin lama akan makin kecil. Akibatnya biaya persatuan juga semakin rendah.

Biaya tetap persatuan dan biaya variabel persatuan

Untuk memperlihatkan hal itu, sekali lagi kita perhatikan perincian biaya produksi atas biaya tetap dan

biaya variabel, tetapi sekarang dihitung persatuan produk. Untuk itu tabel diatas (tentang biaya persatuan) di

atas dilengkapi dengan perincian biaya persatuan (AC) atas biaya tetap persatuan dan biaya variabel persatuan.

Untuk biaya tetap persatuan dipergunakan istilah Average Fixed Cost, disingkat AFC. Sedang untuk biaya

variabel persatuan dipakai istilah Average Variabel Cost, disingkat AVC. Lihat tabel berikut.

Kemudian angka-angka dari tabel berikut dilukiskan dalam grafik menjadi kurve biaya persatuan

(AC), dan biaya tetap persatuan (AFC). Biaya variabel persatuan (AVC) kelihatan dari selisih antara kurve AC

dan kurve AFC.

Biaya total (TC) diperinci (terdiri dari) Biaya Tetap (FC) dan Biaya Variabel (VC).
Ditulis: TC = FC + VC.
Demikian pula Biaya persatuan (AC) terdiri dari biaya tetap persatuan (AFC) dan
biaya variabel persatuan (AVC). Jadi AC = AFC + AVC.
Biaya persatuan AC diperoleh dengan membagi Biaya Total dan jumlah produk AC
= TC : Q.
Demikian pula Biaya tetap persatuan (AFC) diperoleh dengan membagi Biaya Tetap
dengan jumlah produk  AFC = FC : Q.
Dan biaya variabel persatuan (AVC) kita temukan dengan membagi Biaya Variabel
dengan jumlah produk  AVC = VC : Q.
TABEL PERINCIAN BIAYA PERSATUAN, BIAYA TETAP PERSATUAN
DAN BIAYA VARIABEL, PERSATUAN

(4)
(1)
(2) (3) Biaya variabel
Jumlah
Biaya Total Biaya Persatuan Persatuan
Produk
TC AC = TC : Q AVC
Q
(VC : Q)
1 Rp. 10.000.500 Rp. 10.000.000 : 1 = 10.000.000 Rp. 500
100 100.500 10.000.000 : 100 = 100.000 500
1.000 10.500 10.000.000 : 1.000 = 10.000 500
5.000 2.500 10.000.000 : 5.000 = 2.000 500
10.000 1.500 10.000.000 : 10.000 = 1.000 500
20.000 1.000 10.000.000 : 20.000 = 500 500
25.000 900 10.000.000 : 25.000 = 400 500
30.000 833 10.000.000 : 30.000 = 333 500
40.000 750 10.000.000 : 40.000 = 250 500
50.000 700 10.000.000 : 50.000 = 200 500

Dari grafik dapat dilihat dengan jelas bahwa kurve biaya persatuan (AC) semakin turun karena biaya

tetap persatuan (AFC) makin lama makin rendah. Jarak antara kurve AC dan AFC menunjukkan besarnya biaya

variabel persatuan atau AVC. Ceklah sendiri dalam grafik bahwa jaraj antara kurve AC dan AFC dalam grafik

ini selalu sama, yaitu sebanyak Rp. 500,-

Gambar Kurve AC = AFC + AVC

Kurve biaya persatuan (AC) dan biaya tetap persatuan (AFC). Karena biaya tetap persatuan makin rendah,
biaya persatuan juga makin turun. Selisih antara AC dan AFC menunjukkan besarnya AVC.
Rp

1500

AC
1000

AFC
500

A
0 Q
10 20 30 40 50 ribuan
Rugi/Laba Persatuan

Langkah terakhir adalah : mencari rugi/laba persatuan. Untuk itu kita harus membandingkan biaya

persatuan (AC) dan penerimaan persatuan (Average Revenue, disingkat AR). Penerimaan rata-rata atau

persatuan sama dengan harga jual persatuan. Diatas sudah dikatakan bahwa harga jual persatuan adalah Rp.

1.000,- perpotong. Maka sekarang dapat disusun:

TABEL RUGI/LABA PERSATUAN


(1) (2) (3) (4)
Jumlah Biaya Penerimaan Rugi/Laba
Produk Persatuan Persatuan Persatuan
Q AC AR -/+
1.000 Rp. 10.500 Rp. 1.000,- Rp. - 9.500,-
5.000 2.500 1.000,- - 1.500,-
10.000 1.500 1.000,- - 500,-
20.000 1.000 1.000,- 0,-
25.000 900 1.000,- + 100,-
30.000 833 1.000,- + 166,-
40.000 750 1.000,- + 250,-
50.000 700 1.000,- + 300,-

Angka-angka inipun kita gambarkan dalam grafik. Kurve biaya persatuan (AC) sama dengan yang

diatas tadi. Kemudian ditambah dengan kurve penerimaan persatuan. Karena harga jual Rp. 1.000,-, berapun

yang dijual, kurve penerimaan persatuan (AR) berupa garis lurus sejajar dengan sumbu X. Selisih antara kurve

AC dan kurve AR menunjukkan besarnya rugi/laba persatuan. Lihat gambar berikut ini.

Misalnya pada produksi 40.000 satuan: AFC = Rp. 250,.


AVC = 500,. +
AC = 750,-
P = AR = 1.000,-
Laba/satuan = Rp. 250,-
Ceklah sendiri untuk Q = 10.000 dan Q = 30.000

Gambar Titik Break-Even

Perbandingan antara biaya persatuan (kurve AC) dan penerimaan persatuan (kurve AR) menunjukkan

besarnya rugi/laba persatuan.

Besarnya laba total dapat dilihat juga dari grafik, yaitu luas bidang yang dibatasi oleh RPBC, yaitu sebesar Q

x (AR – AC).
Rp

1500

BEP
B
1000 AR

C
500 AC

A
0 Q
10 20 30 40 50 (000)
Titik potong antara kedua kurve (AC dan AR) sekali lagi menunjukkan Titik Break-Even, yaitu

jumlah dimana perusahaan tidak rugi dan tidak laba. Titik ini menunjukkan produksi sebanyak 20.000 potong

roti per bulan, tepat sama dengan Titik Break-even dalam gambar diatas. Inilah jumlah minimum produksi yang

harus dicapai oleh perusahaan, pada harga jual yang berlaku, supaya tidak menderita kerugian.

Dari kurve biaya persatuan dan penerimaan persatuan dengan segera dapat ditemukan kembali biaya

total dan penerimaan total.

Penerimaan total ialah TR = P x Q. Misalnya pada produksi sebanyak 40.000 potong, penerimaan total

adalah Rp. 1.000,- x 40.000 = Rp. 40 juta. Dalam grafik diatas kelihatan juga: P = 1.000,- = jarak OP.Q adalah

40.000 atau jarak OA. Jadi Penerimaan Total (TR) = OP x OA, yaitu daerah yang dibatasi oleh OABP.

Biaya total (TC) pada Q yang sama ialah : AC (biaya persatuan) x Q. Jumlah produk = Q = OA =

40.000 AC pada produksi sebanyak 40.000 sama dengan jarak OR = AC = Rp. 750,-. Jadi biaya total (TC) = AC

x OA, yaitu daerah yang dibatasi oleh OACR.

Laba total = Q x (AR – AC) kelihatan sebagai luas bidang yang dibatasi oleh RCBP.

Biaya tetap dan modal tetap: suatu kesimpulan

Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan yang penting. Telah kita lihat bahwa dengan

bertambahnya jumlah produk maka biaya persatuan menjadi lihat bahwa bertambahnya jumlah produk maka

biaya persatuan menjadi semakin rendah, karena beban biaya tetap dibagi atas jumlah produk yang semakin

banyak. Hal ini mempunyai akibat yang penting.

Selama cara berproduksi masih sederhana, dengan modal tetap yang hanya sedikit-seperti halnya pada

pertukaran dan industri rumah tangga, maka biaya tetap juga rendah. Kalau produksi masih kecil-kecilan, biaya

variabellah yang terpenting, sedang beban biaya tetap hampir-hampir tak berarti.
Tetapi cara berproduksi modern dalam pabrik, dengan modal tetap yang besar (bangunan, mesin-

mesin, peralatan, kendaraan, dan lain-lain). Mengakibatkan beban biaya tetap juga akan besar (sewa tanah,

penyusutan mesin dan bangunan, listrik/energi, biaya administrasi, staf pegawai tetap, keamanan, asuransi, dan

lain-lain). Dengan modal tetap yang besar, produksi dapat secara besar-besaran sehingga harga pokok (biaya

persatuan) dapat rendah dan harga jual murah. Tetapi produksi juga “harus” besar-besaran, supaya perusahaan

tidak menderita rugi. Sebab kalau produksi hanya sedikit (tegasnya: kalau kurang dari Titik Break-even),

perusahaan akan rugi, justru karena beban biaya tetapi itu berjalan terus.

Produksi Normal

Masih ada lagi segi lain yang berhubungan dengan biaya tetap. Dalam perusahaan dengan modal tetap

yang besar, kalau jumlah produk tidak stabil melainkan sering berubah-ubah, biaya persatuan setiap kali akan

berbeda pula. Hal ini disebabkan karena beban biaya tetap dibagi dengan jumlah produk (Q) yang berbeda-beda.

Maka timbullah persoalan, apakah setiap kali harga pokok (mungkin juga harga jual) harus disesuaikan dengan

naik-turunnya biaya tetap persatuan?

Untuk mengatasi persoalan ini, maka perusahaan mendasarkan kalkulasi harga pokok (dan

menetapkan harga jual) atas dasar jumlah produksi “normal”. Produksi normal tidak sama dengan kapasitas

terpasang, melainkan biasaya sekitar 70-80 % dari kapsitas maksimum. Tegasnya biaya tetap (yang tidak

mengikuti naik-turunnya jumlah produk) dihitung atas dasar produksi normal, sedangkan biaya variabel (yang

mengikuti naik-turunnya jumlah produk) dihitung menurut jumlah produksi yang sesungguhnya. Dengan

demikian rumus untuk perhitungan harga pokok menjadi sebagai berikut :

Biaya Tetap + Biaya Variabel


Harga Pokok
Q normal Q sesungguhnya

Contoh:

Di perusahaan roti MANIS produksi normal misalnya 40.000 potong perbulan (berarti 80 % dari

kapasitas produksi maksimum). Biaya tetap sebesar Rp.10 juta. Biaya tetap per satuan (AFC) sama dengan

biaya tetap dibagi jumlah produksi normal : Rp. 10.000.000 : 40.000 = Rp. 250,-. Dengan biaya variabel Rp.

500,- perpotong maka harga pokok adalah Rp. 750,- perpotong. Dengan harga jual Rp. 1000,- per potong

perusahaan mendapat laba sebesar Rp. 250,- per potong.


Pada bulan tertentu jumlah produknya hanya mencapai 25.000 potong. Pada produksi sebesar 25.000

potong biaya tetap per satuan sebenarnya sama dengan Rp.10.000.000 : 25.000 = Rp. 25.000 = Rp 400,- dan

harga pokok menjadi Rp.900,- per potong. Apakah harga jual sekarang harus disesuaikan?

Untuk menghindari kesimpang siuran maka juga untuk produksi sebanyak 25.000 atau 30.000 potong

beban biaya tetap per satuan dihitung sebesar Rp. 250,- dan harga jual dipertahankan Rp. 1000,- per potong.

Kalau produksi sesungguhnya kurang dari produksi normal (karena pasaran sedang “sepi”) hal ini akan

mengurangi laba perusahaan.

Jadi pengusaha menentukan harga jual atas dasar perhitungan harga pokok untuk

produksi normal (ditambah laba normal) dan akan berusaha agar produksi sesungguhnya

tidaki terlalu jauh menyimpang dari produksi normal.

Anda mungkin juga menyukai