Anda di halaman 1dari 9

Fakta Dibalik Serba Serbi Rumor Gunung Kawi

Oleh: Windi Fitriani

Saat mendengar kata Gunung Kawi, mungkin sebagian orang akan langsung
terpikirkan bahwa Gunung Kawi merupakan salah satu tempat pesugihan yang terkenal
di Jawa Timur. Kepopuleran Gunung Kawi sebagai tempat pesugihan bahkan sudah
tersebar ke Asia Tenggara. Banyak turis dari Negara China, Singapura, Malaysia dan
Myanmar yang datang ke Gunung Kawi untuk mencari peruntungan. Selain pesugihan,
Gunung Kawi juga terkenal sebagai tempat melakukan aktivitas mistis lainnya seperti
memperdalam ilmu kanuragan, mengobati orang sakit dan lain sebagainya. Karena
beberapa hal tersebut, Gunung Kawi mendapatkan stigma negatif dari masyarakat luas.
Gunung Kawi dianggap sebagai tempat yang wingit dan sakral.

Namun, dibalik semua rumor negatif yang beredar, ternyata banyak sekali hal
menarik mengenai Gunung yang terletak di Kabupaten Malang, Jawa Timur tersebut.
Faktanya, di Gunung Kawi terdapat pesarean atau makam dua tokoh Islam yang
tersohor, yakni Kyai Zakaria II atau lebih dikenal dengan Eyang Jugo dan Raden Mas
Sudjono atau Eyang Sudjono. Sekitar 4,5 km dari pesarean, terdapat kraton Gunung
Kawi yang merupakan petilasan dari raja-raja terdahulu, salah satunya adalah Raja
Kameswara dari Kerajaan Kediri.

Masyarakat Gunung Kawi memiliki kepercayaan yang berbeda-beda, yakni Islam,


Kejawen, Konghucu, Kristen, Hindu dan Budha. Karena hal itu, ada banyak sekali tempat
ibadah yang tersebar di wilayah Gunung Kawi. Beberapa tempat ibadah tersebut
diantaranya Masjid Baitul Alam, Vihara Arga Pura, Klenteng Dewi Kwan Im, Pura Luhur
Giri Kawijayan, Gereja GPDI Bukit Hermon dan masih banyak lagi. Masyarakat Gunung
Kawi terdiri dari etnis Tionghoa, Jawa dan Islam. Gunung Kawi memiliki alam yang
masih indah, asri dan terjaga. Sehingga, seiring berkembangnya zaman, banyak dari
wilayah Gunung Kawi yang dijadikan destinasi wisata. Contohnya seperti Lembah
Indah, Umbulan Tanaka, Coban Glotak, puncak batu tulis, hutan pinus dan lain
sebagainya.

Ternyata Gunung Kawi memiliki banyak sekali hal yang menarik dan beragam.
Namun justru karena keberagaman tersebut, menyebabkan munculnya banyak
pertanyaan baru. Yakni mengenai kehidupan sehari-hari masyarakat Gunung Kawi yang
tinggal di daerah dengan stigma negatif dari masyarakat luas. Bagaimana keseharian
masyarakat Gunung Kawi yang terdiri dari banyak golongan. Selain masyarakat yang
terdiri dari beragam etnis, banyak juga masyarakat luar dan turis yang datang kesana.
Bukan hanya untuk berwisata, namun ada juga yang datang kesana dengan tujuan
bermacam-macam. Artikel ini akan sedikit menjawab pertanyaan yang timbul
dimasyarakat luas mengenai kehidupan masyarakat Gunung Kawi.
Metode Penelitian
Peneliti menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Menurut
Whitney(1960), metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang
tepat. Penelitian ini berlandaskan filsafat postpositivisme yang biasanya digunakan
untuk meneliti pada kondisi objektif yang alamiah dimana peneliti berperan sebagai
instrumen kunci (Sugiyono, 2008:15). Penelitian kualitatif merupakan prosedur dalam
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis ataupun lisan
dari perilaku orang-orang yang dapat diamati (Moleong, 2014:4). Dapat disimpulkan
bahwa penelitian deskriptif kualitatif merupakan penelitian dengan cara mengamati
secara langsung fenomena sekitar secara mendalam, kemudian peneliti menganalisis
dan menyimpulkannya menggunakan bahasanya sendiri.

Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti adalah teknik observasi,
wawancara dan dokumentasi. Menurut Morissan (2017:143), observasi adalah kegiatan
keseharian manusia dengan pancaindra sebagai alat bantu utamanya. Observasi
merupakan metode pengumpulan data dengan pengamatan langsung maupun tidak
langsung (Riyanto, 2010: 96). Observasi adalah pengamatan dan pencatatan sistematik
terhadap unsur-unsur yang nampak dalam suatu gejala pada objek penelitian
(Widoyoko (2014: 46). Observasi adalah teknik mengumpulkan informasi dengan cara
mengamati dan mencatat aspek-aspek penting terkait hal yang ingin diteliti.

Wawancara menurut Sugiyono (2016:194) adalah teknik pengumpulan data saat


peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang
harus diteliti dan mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam”.
Wawancara adalah pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui
tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu.
Wawancara merupakan kegiatan saat peneliti melakukan tanya jawab dengan
narasumber terkait fenomena sekitar yang berhubungan dengan penelitian.

Dokumentasi adalah cara memperoleh informasi dalam bentuk buku, arsip,


dokumen, tulisan angka dan gambar yang berupa laporan serta keterangan yang dapat
mendukung penelitian (Sugiyono, 2018:476). Menurut Moleong (2014:160), analisis
dokumentasi merupakan sumber yang stabil, kaya dan mendorong serta bersifat
alamiyah sesuai dengan konteks lahiriyah. Dokumentasi adalah mengabadikan dan
mengarsipkan benda-benda yang terkait dengan penelitian.

Data Hasil Observasi


Peneliti melakukan penelitian di Desa Sembon Durenan, Kecamatan Ngajum,
Kabupaten Malang pada tanggal 7-8 Januari 2023. Peneliti melakukan observasi di
sekitar lereng Timur Gunung Kawi. Peneliti mengamati keseharian masyarakat Gunung
Kawi yang beragam. Untuk memperkuat data hasil observasi, peneliti melakukan
wawancara dengan Bapak Sukarman (54 tahun), yang kebetulan beliau merupakan
kerabat dari peneliti sekaligus tokoh masyarakat di Desa Sembon Durenan. Selain
observasi dan wawancara, peneliti mengambil dokumentasi dibeberapa tempat ibadah
serta mengambil potret kegiatan sehari-hari dari masyarakat Gunung Kawi.
 Karakteristik Penduduk Gunung Kawi
Ketika peneliti memasuki wilayah Gunung Kawi, peneliti merasakan suasana
pedesaan di lereng gunung yang sejuk, asri dan damai. Masyarakat Gunung Kawi
sangat menjunjung tinggi adab, sopan santun dan juga berbudaya. Hal itu dibuktikan
saat peneliti menyapa beberapa orang yang ia temui dijalan, mereka membalas
sapaan dengan ramah khas budaya ketimuran. Beberapa dari penduduk Gunung
Kawi masih mengenakan pakaian adat Jawa. Penduduk pria masih banyak yang
memakai blangkon dalam kesehariannya. Penduduk wanita, biasanya usia lanjut
memakai kebaya kutu baru model lama dan kain batik yang dililitkan sedemikian
rupa sehingga membentuk rok, masyarakat sekitar menyebutnya sebagai “sewek”.

Ada sebuah kebiasaan masyarakat Gunung Kawi, dimana ketika tetangga atau
kerabat bertamu, tuan rumah akan menyajikan dan mempersilahkan tamunya untuk
makan. Hal tersebut dilakukan oleh setiap tuan rumah yang dikunjungi. Menurut
peneliti, itu adalah kebiasaan yang unik. Dari kebiasaan tersebut, peneliti dapat
menyimpulkan bahwa masyarakat Gunung Kawi umumnya memiliki sifat terbuka,
ramah dan suka berbagi.

Anak kecil dan remaja terlihat sangat antusias mengikuti kegiatan mengaji di
masjid pada sore hari. Setelah mengaji, mereka bersama-sama membersihkan
masjid dan bermain di sekitar area masjid. Anak-anak disana tidak kecanduan
gadget. Mereka lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bermain bersama
teman-teman mereka. Mereka memainkan dolanan tradisional, bermain disawah, di
sungai dan permainan lainnya. Banyak anak-anak dan remaja yang mencari rumput
untuk hewan ternak mereka, hal tersebut bisa disebut “ngarit”.

Beberapa orang mungkin menganggap bahwa sebagian besar penduduk


Gunung Kawi menganut kepercayaan Islam Kejawen dan menjalankan ritual ibadah
tertentu. Pemikiran tersebut didasarkan pada rumor pesugihan yang beredar luas di
masyarakat. Namun, saat peneliti menanyakan perihal Islam Kejawen yang ada di
Gunung Kawi kepada Bapak Sukarman, beliau sangat membantah hal tersebut.
Menurut penuturan beliau, sebagian besar masyarakat Gunung Kawi memeluk
agama Islam dan menjalankan ibadah seperti umat Islam pada umumnya. Hanya
saja, penduduk Gunung Kawi mendalami Islam dengan cara Jawa. Penuturan
narasumber tersebut didukung dengan pengamatan yang dilakukan oleh peneliti.
Rata-rata penduduk Gunung Kawi adalah pemeluk agama Islam yang taat, hal itu
dibuktikan dengan ramainya masjid ketika waktu sholat tiba dan antusiasme
masyarakat ketika ada kegiatan agama.

Adapun yang dimaksud dengan masyarakat Gunung Kawi yang mendalami


Islam dengan cara Jawa adalah mempelajari Islam dengan mengikuti ajaran Islam
yang dibawa oleh Walisongo. Karena Walisongo menyebarkan Islam di tanah Jawa,
maka mungkin agar lebih mudah dalam penyebutannya, orang-orang menamainya
sebagai Islam Kejawen. Namun dalam praktiknya sendiri, masyarakat Islam Gunung
Kawi menjalankan ibadah yang sama seperti umat Islami lainnya. Masyarakat
Gunung Kawi banyak yang menjalani amalan khusus untuk mendapatkan “keahlian“.
Keahlian tersebut misalnya bisa menyembuhkan penyakit, bisa menemukan barang
yang hilang, memiliki ilmu kenal dan lain sebagainya. Amalan yang dilakukan pun
tidak bertentangan dengan syariah Islam, misalnya melalui puasa mutih, dzikir
khusus, perenungan dan amalan lainnya.
 Nilai Multikultural Dari Keragaman Masyarakat Gunung Kawi
Di wilayah Gunung Kawi, peneliti menemukan banyak sekali tempat ibadah
dari berbagai agama. Beberapa diantaranya yakni:

Gambar 1 Wihara Arga Pura Gambar 2 GPDI Bukit Hermon (Google)


Kebobang, Wonosari, Kab. Malang Wonosari, Ngajum, Kab. Malang

Gambar 3 Pura Giri Luhur Kawijayan Gambar 4 Masjid Baitul Alam


Keraton Gunung Kawi Sembon Durenan, Kab. Malang

Selain kelima tempat tersebut, masih banyak sekali tempat ibadah lain yang
tersebar didaerah Gunung Kawi.

“Gunung Kawi bukan tempat mencari perbedaan, karena yang ada disini
hanyalah keragaman yang bersatu“, kalimat tersebut diucapkan oleh Bapak
Sukarman, ketika peneliti menanyakan perihal perbedaan agama di Gunung Kawi.
Peneliti merasa bahwa penuturan narasumber memang benar. Masyarakat Gunung
Kawi memang sangat beragam, namun semua elemen masyarakat yang berbeda
agama dan etnis tersebut berbaur menjadi satu dan hidup rukun dilereng Gunung
Kawi. Semua orang bebas menjalankan perintah agamanya tanpa gangguan maupun
intimidasi dari kelompok lainnya. Contohnya lainnya seperti di Pesarean Gunung
Kawi dan Keraton Gunung Kawi.

Banyak orang dari berbagai kalangan datang ke Pesarean Gunung Kawi


dengan berbagai tujuan. Disisi kanan dan kiri tangga menuju Pesarean, banyak
pedagang yang menjual berbagai macam pernak-pernik, warung dan penginapan.
Disisi kanan jalan menuju Pesarean, terdapat bangunan Masjid Agung Imam Sujono.
Disisi kiri tangga menuju pintu masuk Pesarean, terdapat pedagang bunga untuk
keperluan ziarah. Disisi kanannya, terdapat bangunan mencolok berwarna merah
dengan ciri khas China, bangunan itu adalah Ciam Si dan Klenteng Dewi Kwan Im.
Ciam Si sendiri merupakan budaya ramalan yang berasal dari China. Pengunjung
Ciam Si tidak hanya etnis Tionghoa saja, namun masyarakat umum juga.

Gambar 5 Pesarean, Ciam Si dan Gambar 6 Masjid Agung Imam Sudjono


Klenteng Dewi Kwan Im Pesarean Gunung Kawi

Gambar 7 Klenteng Dewi Kwan Im

Di Keraton Gunung Kawi, terdapat bangunan Vihara Dewi Kwan Im, area
pemakaman dan area pemujaan. Di Keraton Gunung Kawi juga ada tanaman yang
daunnya dipercaya dapat memperlancar rezeki, masyarakat sekitar menyebutnya
tanaman "dewandaru”. Tanaman tersebut berada diarea pemakaman.
Gambar 8 Vihara Dewi Kwan Im Gambar 9 Area Pemakaman

Gambar 10 Tempat Pemujaan

Menurut penuturan narasumber, meskipun masyarakat Gunung Kawi


beragam, namun mereka tidsk pernah berselisih paham ataupun bermusuhan antar
kelompok. Masyarakat Gunung Kawi hidup dengan tentram dan bersama mematuhi
aturan pemerintah. Kehidupan masyarakat Gunung Kawi yang rukun dan
menerapkan toleransi beragama tersebut sesuai dengan firman Allah dalam QS. Al-
Hujurat ayat 13 yang berbunyi:

‫آٰي َهُّي َا النَّ ُاس ِااَّن َخلَ ْق ٰنمُك ْ ِ ّم ْن َذ َك ٍر َّو ُانْىٰث َو َج َعلْ ٰنمُك ْ ُش ُع ْواًب َّوقَ َب ۤاى َل ِل َت َع َارفُ ْوا‬
ِٕ
Artinya: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku agar kamu saling mengenal”.

Ayat tersebut memerintahkan kita untuk bergaul dan ramah kepada


siapapun tanpa pandang bulu. Allah juga memerintahkan kita untuk menjaga
kerukunan di masyarakat. Secara tidak langsung, ayat ini memerintahkan kita untuk
bersikap multikultural, kita harus menerima realitas kehidupan bahwa kita
diciptakan beragam oleh Allah. Kita harus mampu beradaptasi dan berbaur dengan
siapapun.

Dalam QS. Al-Baqarah ayat 256, Allah berfirman:

‫ٓاَل ِا ْك َرا َه ىِف ّ ِادل ْي ِ ۗن قَدْ ت َّ َبنَّي َ ُّالر ْشدُ ِم َن الْغ ّ َِي ۚ فَ َم ْن ي َّ ْك ُف ْر اِب َّلطاغُ ْو ِت َويُْؤ ِم ْۢن اِب هّٰلل ِ فَ َق ِد ا ْس َت ْم َس َك اِب لْ ُع ْر َو ِة الْ ُوثْ ٰقى‬
ٌ ‫اَل انْ ِف َصا َم لَهَا َۗواهّٰلل ُ مَس ِ ْي ٌع عَ ِلمْي‬
Artinya: “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah
jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa
ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang
(teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar,
Maha Mengetahui”.

Menurut ayat tersebut, kita tidak boleh memaksakan orang lain untuk
mengikuti agama kita, kita harus menghormati kepercayaan mereka. Kita dilarang
bersikap rasisme mengintimidasi kaum minoritas atau bahkan memusuhinya.
Semua golongan memiliki kedudukan dan derajat yang setara dimasyarakat. Mereka
harus diperlakukan dengan adil tanpa pandang bulu.

Dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat (1) dan (2), diatur mengenai kebebasan
beragama. Ayat (1) menjelaskan bahwa “Setiap orang bebas memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya”. Ayat
(2) berisi “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing, dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu”. Negara mengatur bahwa masyarakat berhak dan bebas
menjalankan kepercayaan mereka tanpa adanya paksakan dan intimidasi dari
siapapun.

Ketika peneliti menanyakan mengenai cara masyarakat Gunung Kawi


menjaga persatuan dan kesatuan, narasumber menuturkan bahwa salah satu cara
untuk menjaga kerukunan masyarakat sekitar adalah dengan mengadakan kegiatan
desa. Ada banyak sekali perayaan dan acara desa yang diselenggarakan oleh
masyarakat Gunung Kawi. Misalnya grebeg suro, karnaval tahun baru imlek,
karnaval tahun baru masehi, bersih desa, pengajian dan wayangan semalam suntuk,
campursari, orkes dangdut dan masih banyak lagi.

Acara-acara tersebut diikuti oleh semua golongan masyarakat. Mereka sangat


antusias dan berpartisipasi dalam setiap acara. Pada acara karnaval misalnya, ada
yang menampilkan tema sedekah bumi untuk mensyukuri nikmat Allah, ada yang
menampilkan drama sayang ramayana dalam cerita Hindu, ada yang menampilkan
naga dan barongsai khas China dan lain sebagainya. Seperti halnya saat salah satu
kelompok mengadakan karnaval perayaan, maka kelompok lainnya akan membantu
dan ikut merayakan acara dengan antusias.

Kadang kala, masyarakat Gunung Kawi juga mengadakan pentas wayang


semalam suntuk. Namun sebelum pementasan wayang dimulai, ada acara pengajian
terlebih dahulu. Konsep acara tersebut mirip seperti strategi dakwah Sunan
Kalijaga, yang mengakulturasikan nilai Islam dan budaya Jawa. Biasanya sebelum
memasuki pengunjung memasuki area penonton, mereka terlebih dahulu
dipersilahkan untuk menikmati hidangan prasmanan yang telah disajikan. Rasa
persatuan, persaudaraan dan kerukunan sangat terasa di Gunung Kawi.
Gambar 9 Karnaval bersih Desa Gambar 9 Khaul RM. Imam Sudjono
Sembon Durenan, 2021 Pesarean Gunung Kawi

Narasumber mengatakan bahwa ketika ada golongan agama lain yang


memperingati hari besar atau hari raya, golongan lainnya ikut mengucapkan
selamat. Ucapan selamat tersebut hanya diniatkan untuk menghargai pemeluk
agama lain. Begitupun ketika umat Islam merayakan hari raya Idul Fitri, umat agama
lain juga ikut memperingati dan merayakannya. Masyarakat Gunung Kawi saling
bersilaturahmi ke tetangga sekitar untuk mempererat persaudaraan.

Para orang tua dan masyarakat Gunung Kawi mengajarkan nilai multikultural
pada anak-anak dan remaja sekitar. Mereka menanamkan mindset bahwa “beragam
bukan berarti tidak bisa bersatu”. Ketika anak-anak dan remaja sekitar dihadapkan
pada kenyataan bahwa dilingkungan mereka banyak keragaman dan perbedaan.
Mereka menanggapinya dengan sikap yang baik. Mereka menerima dan
menghormati perbedaan yang ada. Mereka ikut juga ikut berpartisipasi ketika ada
kegiatan desa. Mereka memiliki sifat ramah dan supel serta pekerja keras.
Contohnya ketika ada wisatawan yang tersesat atau menanyakan lokasi suatu
daerah, mereka akan dengan senang hati menunjukkan jalan tanpa pamrih bahkan
mengantarkannya ketempat tujuan.

Dalam hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim, Nabi SAW. bersabda:

‫ ( َم ْن اَك َن يُؤ ِم ُن اِب ِهلل‬:‫هللا صىل هللا عليه وسمل‬ ِ ‫ قَا َل َر ُسو َل‬:‫َعن َأيِب ه َُر ْي َر َة ريض هللا عنه قَا َل‬
‫ و َم ْن اَك َن‬،‫ َو َم ْن اَك َن يُؤ ِم ُن اِب ِهلل َو ْال َيو ِم اآل ِخ ِر فَ َال يُْؤ ِذ َج َار ُه‬،‫َو ْال َي ْو ِم اآل ِخ ِر فَلْ َي ُق ْل َخرْي ًا َأو ِل َي ْص ُم ْت‬
ٌ ‫يُؤ ِم ُن اِب ِهلل وال َيو ِم اآل ِخ ِر فَلْ ُي ْك ِر ْم ضَ ْي َفهُ) َر َوا ُه ْال ُبخ َِاري َو ُم ْسمِل‬
Artinya: Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: ”Barangsiapa yang beriman kepada Allah subhanahu wa
ta’ala dan hari akhir maka hendaknya dia berbicara yang baik atau (kalau tidak bisa
hendaknya) dia diam. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka
janganlah ia menyakiti tetangganya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan
hari akhir maka hendaknya dia memuliakan tamunya.” (HR. al Bukhari dan Muslim).

Pada hadits tersebut, Rasulullah memerintahkan kita untuk selalu menjaga


hubungan baik dengan orang lain, salah satu caranya adalah dengan menghargai dan
menghormati orang lain. Seperti yang dilakukan oleh masyarakat Gunung Kawi.
Demikian pula ketika kita memiliki tamu, dalam hal ini bisa dimaknai wisatawan
ataupun tetangga dan kerabat yang berkunjung kerumah. Kita harus bersikap baik
dan ramah pada mereka. Menjamu mereka dengan makanan dan minuman. Bahkan
mengantarkan mereka ketempat tujuan.
 Kesimpulan
Masyarakat lereng Timur Gunung Kawi merupakan sebuah potret yang
sempurna mengenai kehidupan multikultural. Mereka sangat plural dan beragam,
namun mereka dapat menjaga persatuan dengan baik. Bahkan keberagaman
tersebut menjadi ciri khas dan keunikan bagi masyarakat Gunung Kawi. Mereka
mampu menerima realita bahwa mereka berbeda dan tidak mempermasalahkannya.
Keragaman yang ada mereka anggap sebagai suatu anugerah dari Tuhan yang harus
dilestarikan dan dijaga. Mereka juga mengajarkan anak cucu mereka hal untuk
menghargai dan melestarikan keragaman yang ada.

Banyak sekali nilai multikultural yang dapat kita ambil dari keberagaman
masyarakat Gunung Kawi. Masyarakat Gunung Kawi menjunjung tinggi adab, sopan
santun dan sangat berbudaya. Terbukti dari sifat keterbukaan dan keramahan
mereka pada siapapun. Mereka memiliki sifat demokratis, semua orang setara dan
diperlakukan dengan adil. Tidak ada perbedaan dalam melaksanakan kebijakan
daerah maupun ketika berinteraksi dimasyarakat.

Sikap toleransi sangat tercermin dari masyarakat Gunung Kawi. Mereka amat
sangat menghargai bahkan menjaga perbedaan yang ada. Mereka tidak pernah
mengintimidasi kaum minoritas dan tidak bermusuhan antar satu dengan yang
lainnya. Mereka membiarkan kelompok lain beribadah dengan tenang. Salah satu
sikap toleransi yang tampak dari masyarakat Gunung Kawi adalah banyaknya
tempat ibadah dari beragam kepercayaan yang berdiri disana.

Sikap cinta damai merupakan salah satu poin penting yang merangkum
beberapa nilai-nilai multikultural diatas. Masyarakat Gunung Kawi tidak pernah
berselisih paham hanya karena keberagaman yang ada. Mereka bersama-sama
menjaga wilayah Gunung Kawi, agar mereka hidup dengan tentram dan sejahtera.
Mereka selalu antusias dan dengan senang hati berpartisipasi dalam kegiatan desa.

Faktanya, kehidupan masyarakat Gunung Kawi sendiri lebih menarik


daripada rumor-rumor negatif yang tersebar diluaran sana. Gunung Kawi telah lebih
dulu mendapatkan stigma negatif dari masyarakat luas, namun kebanyakan dari
mereka tidak tahu kenyataan yang terjadi disana. Dari hal ini, kita dapat mengambil
pelajaran bahwa kita tidak dapat menyimpulkan sesuatu hanya berdasarkan apa
yang kita dengar, namun kita perlu membuktikan kebenarannya secara langsung.

Keindahan Gunung Kawi semakin lengkap dengan masyarakatnya yang hidup


dengan damai dan sangat menjunjung tinggi budaya ketimuran. Kita sebagai
generasi penerus harus meneladani sikap mereka. Lebih dari itu, kita harus
melestarikan keragaman budaya yang ada disana. Karena realita Bangsa Indonesia
sendiri memang merupakan masyarakat yang plural. Gunung Kawi hanyalah salah
satu dari banyaknya potret masyarakat multikultural di Indonesia. Semoga kita juga
dapat menyokong terciptanya masyarakat multikultural didaerah kita sendiri.

Anda mungkin juga menyukai