Saat mendengar kata Gunung Kawi, mungkin sebagian orang akan langsung
terpikirkan bahwa Gunung Kawi merupakan salah satu tempat pesugihan yang terkenal
di Jawa Timur. Kepopuleran Gunung Kawi sebagai tempat pesugihan bahkan sudah
tersebar ke Asia Tenggara. Banyak turis dari Negara China, Singapura, Malaysia dan
Myanmar yang datang ke Gunung Kawi untuk mencari peruntungan. Selain pesugihan,
Gunung Kawi juga terkenal sebagai tempat melakukan aktivitas mistis lainnya seperti
memperdalam ilmu kanuragan, mengobati orang sakit dan lain sebagainya. Karena
beberapa hal tersebut, Gunung Kawi mendapatkan stigma negatif dari masyarakat luas.
Gunung Kawi dianggap sebagai tempat yang wingit dan sakral.
Namun, dibalik semua rumor negatif yang beredar, ternyata banyak sekali hal
menarik mengenai Gunung yang terletak di Kabupaten Malang, Jawa Timur tersebut.
Faktanya, di Gunung Kawi terdapat pesarean atau makam dua tokoh Islam yang
tersohor, yakni Kyai Zakaria II atau lebih dikenal dengan Eyang Jugo dan Raden Mas
Sudjono atau Eyang Sudjono. Sekitar 4,5 km dari pesarean, terdapat kraton Gunung
Kawi yang merupakan petilasan dari raja-raja terdahulu, salah satunya adalah Raja
Kameswara dari Kerajaan Kediri.
Ternyata Gunung Kawi memiliki banyak sekali hal yang menarik dan beragam.
Namun justru karena keberagaman tersebut, menyebabkan munculnya banyak
pertanyaan baru. Yakni mengenai kehidupan sehari-hari masyarakat Gunung Kawi yang
tinggal di daerah dengan stigma negatif dari masyarakat luas. Bagaimana keseharian
masyarakat Gunung Kawi yang terdiri dari banyak golongan. Selain masyarakat yang
terdiri dari beragam etnis, banyak juga masyarakat luar dan turis yang datang kesana.
Bukan hanya untuk berwisata, namun ada juga yang datang kesana dengan tujuan
bermacam-macam. Artikel ini akan sedikit menjawab pertanyaan yang timbul
dimasyarakat luas mengenai kehidupan masyarakat Gunung Kawi.
Metode Penelitian
Peneliti menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Menurut
Whitney(1960), metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang
tepat. Penelitian ini berlandaskan filsafat postpositivisme yang biasanya digunakan
untuk meneliti pada kondisi objektif yang alamiah dimana peneliti berperan sebagai
instrumen kunci (Sugiyono, 2008:15). Penelitian kualitatif merupakan prosedur dalam
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis ataupun lisan
dari perilaku orang-orang yang dapat diamati (Moleong, 2014:4). Dapat disimpulkan
bahwa penelitian deskriptif kualitatif merupakan penelitian dengan cara mengamati
secara langsung fenomena sekitar secara mendalam, kemudian peneliti menganalisis
dan menyimpulkannya menggunakan bahasanya sendiri.
Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti adalah teknik observasi,
wawancara dan dokumentasi. Menurut Morissan (2017:143), observasi adalah kegiatan
keseharian manusia dengan pancaindra sebagai alat bantu utamanya. Observasi
merupakan metode pengumpulan data dengan pengamatan langsung maupun tidak
langsung (Riyanto, 2010: 96). Observasi adalah pengamatan dan pencatatan sistematik
terhadap unsur-unsur yang nampak dalam suatu gejala pada objek penelitian
(Widoyoko (2014: 46). Observasi adalah teknik mengumpulkan informasi dengan cara
mengamati dan mencatat aspek-aspek penting terkait hal yang ingin diteliti.
Ada sebuah kebiasaan masyarakat Gunung Kawi, dimana ketika tetangga atau
kerabat bertamu, tuan rumah akan menyajikan dan mempersilahkan tamunya untuk
makan. Hal tersebut dilakukan oleh setiap tuan rumah yang dikunjungi. Menurut
peneliti, itu adalah kebiasaan yang unik. Dari kebiasaan tersebut, peneliti dapat
menyimpulkan bahwa masyarakat Gunung Kawi umumnya memiliki sifat terbuka,
ramah dan suka berbagi.
Anak kecil dan remaja terlihat sangat antusias mengikuti kegiatan mengaji di
masjid pada sore hari. Setelah mengaji, mereka bersama-sama membersihkan
masjid dan bermain di sekitar area masjid. Anak-anak disana tidak kecanduan
gadget. Mereka lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bermain bersama
teman-teman mereka. Mereka memainkan dolanan tradisional, bermain disawah, di
sungai dan permainan lainnya. Banyak anak-anak dan remaja yang mencari rumput
untuk hewan ternak mereka, hal tersebut bisa disebut “ngarit”.
Selain kelima tempat tersebut, masih banyak sekali tempat ibadah lain yang
tersebar didaerah Gunung Kawi.
“Gunung Kawi bukan tempat mencari perbedaan, karena yang ada disini
hanyalah keragaman yang bersatu“, kalimat tersebut diucapkan oleh Bapak
Sukarman, ketika peneliti menanyakan perihal perbedaan agama di Gunung Kawi.
Peneliti merasa bahwa penuturan narasumber memang benar. Masyarakat Gunung
Kawi memang sangat beragam, namun semua elemen masyarakat yang berbeda
agama dan etnis tersebut berbaur menjadi satu dan hidup rukun dilereng Gunung
Kawi. Semua orang bebas menjalankan perintah agamanya tanpa gangguan maupun
intimidasi dari kelompok lainnya. Contohnya lainnya seperti di Pesarean Gunung
Kawi dan Keraton Gunung Kawi.
Di Keraton Gunung Kawi, terdapat bangunan Vihara Dewi Kwan Im, area
pemakaman dan area pemujaan. Di Keraton Gunung Kawi juga ada tanaman yang
daunnya dipercaya dapat memperlancar rezeki, masyarakat sekitar menyebutnya
tanaman "dewandaru”. Tanaman tersebut berada diarea pemakaman.
Gambar 8 Vihara Dewi Kwan Im Gambar 9 Area Pemakaman
آٰي َهُّي َا النَّ ُاس ِااَّن َخلَ ْق ٰنمُك ْ ِ ّم ْن َذ َك ٍر َّو ُانْىٰث َو َج َعلْ ٰنمُك ْ ُش ُع ْواًب َّوقَ َب ۤاى َل ِل َت َع َارفُ ْوا
ِٕ
Artinya: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku agar kamu saling mengenal”.
ٓاَل ِا ْك َرا َه ىِف ّ ِادل ْي ِ ۗن قَدْ ت َّ َبنَّي َ ُّالر ْشدُ ِم َن الْغ ّ َِي ۚ فَ َم ْن ي َّ ْك ُف ْر اِب َّلطاغُ ْو ِت َويُْؤ ِم ْۢن اِب هّٰلل ِ فَ َق ِد ا ْس َت ْم َس َك اِب لْ ُع ْر َو ِة الْ ُوثْ ٰقى
ٌ اَل انْ ِف َصا َم لَهَا َۗواهّٰلل ُ مَس ِ ْي ٌع عَ ِلمْي
Artinya: “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah
jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa
ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang
(teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar,
Maha Mengetahui”.
Menurut ayat tersebut, kita tidak boleh memaksakan orang lain untuk
mengikuti agama kita, kita harus menghormati kepercayaan mereka. Kita dilarang
bersikap rasisme mengintimidasi kaum minoritas atau bahkan memusuhinya.
Semua golongan memiliki kedudukan dan derajat yang setara dimasyarakat. Mereka
harus diperlakukan dengan adil tanpa pandang bulu.
Dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat (1) dan (2), diatur mengenai kebebasan
beragama. Ayat (1) menjelaskan bahwa “Setiap orang bebas memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya”. Ayat
(2) berisi “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing, dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu”. Negara mengatur bahwa masyarakat berhak dan bebas
menjalankan kepercayaan mereka tanpa adanya paksakan dan intimidasi dari
siapapun.
Para orang tua dan masyarakat Gunung Kawi mengajarkan nilai multikultural
pada anak-anak dan remaja sekitar. Mereka menanamkan mindset bahwa “beragam
bukan berarti tidak bisa bersatu”. Ketika anak-anak dan remaja sekitar dihadapkan
pada kenyataan bahwa dilingkungan mereka banyak keragaman dan perbedaan.
Mereka menanggapinya dengan sikap yang baik. Mereka menerima dan
menghormati perbedaan yang ada. Mereka ikut juga ikut berpartisipasi ketika ada
kegiatan desa. Mereka memiliki sifat ramah dan supel serta pekerja keras.
Contohnya ketika ada wisatawan yang tersesat atau menanyakan lokasi suatu
daerah, mereka akan dengan senang hati menunjukkan jalan tanpa pamrih bahkan
mengantarkannya ketempat tujuan.
Dalam hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim, Nabi SAW. bersabda:
( َم ْن اَك َن يُؤ ِم ُن اِب ِهلل:هللا صىل هللا عليه وسمل ِ قَا َل َر ُسو َل:َعن َأيِب ه َُر ْي َر َة ريض هللا عنه قَا َل
و َم ْن اَك َن، َو َم ْن اَك َن يُؤ ِم ُن اِب ِهلل َو ْال َيو ِم اآل ِخ ِر فَ َال يُْؤ ِذ َج َار ُه،َو ْال َي ْو ِم اآل ِخ ِر فَلْ َي ُق ْل َخرْي ًا َأو ِل َي ْص ُم ْت
ٌ يُؤ ِم ُن اِب ِهلل وال َيو ِم اآل ِخ ِر فَلْ ُي ْك ِر ْم ضَ ْي َفهُ) َر َوا ُه ْال ُبخ َِاري َو ُم ْسمِل
Artinya: Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: ”Barangsiapa yang beriman kepada Allah subhanahu wa
ta’ala dan hari akhir maka hendaknya dia berbicara yang baik atau (kalau tidak bisa
hendaknya) dia diam. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka
janganlah ia menyakiti tetangganya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan
hari akhir maka hendaknya dia memuliakan tamunya.” (HR. al Bukhari dan Muslim).
Banyak sekali nilai multikultural yang dapat kita ambil dari keberagaman
masyarakat Gunung Kawi. Masyarakat Gunung Kawi menjunjung tinggi adab, sopan
santun dan sangat berbudaya. Terbukti dari sifat keterbukaan dan keramahan
mereka pada siapapun. Mereka memiliki sifat demokratis, semua orang setara dan
diperlakukan dengan adil. Tidak ada perbedaan dalam melaksanakan kebijakan
daerah maupun ketika berinteraksi dimasyarakat.
Sikap toleransi sangat tercermin dari masyarakat Gunung Kawi. Mereka amat
sangat menghargai bahkan menjaga perbedaan yang ada. Mereka tidak pernah
mengintimidasi kaum minoritas dan tidak bermusuhan antar satu dengan yang
lainnya. Mereka membiarkan kelompok lain beribadah dengan tenang. Salah satu
sikap toleransi yang tampak dari masyarakat Gunung Kawi adalah banyaknya
tempat ibadah dari beragam kepercayaan yang berdiri disana.
Sikap cinta damai merupakan salah satu poin penting yang merangkum
beberapa nilai-nilai multikultural diatas. Masyarakat Gunung Kawi tidak pernah
berselisih paham hanya karena keberagaman yang ada. Mereka bersama-sama
menjaga wilayah Gunung Kawi, agar mereka hidup dengan tentram dan sejahtera.
Mereka selalu antusias dan dengan senang hati berpartisipasi dalam kegiatan desa.