Anda di halaman 1dari 9

BETH PERJANJIAN KERJA LAUT

 
8.
Yang diartikan dengan perjanjian kerja-laut adalah perjanjian yang diadakan antara seorang
pengusaha perkapalan pada satu pihak dengan seorang buruh di pihak lain, di mana yang
terakhir ini mengikat dirinya untuk melakukan pekerjaan dalam dinas pada pengusaha
perkapalan dengan mendapat upah sebagai nakhoda atau anak buah kapal. Dasar hukum dari
perjanjian kerja laut atau yang dalam bahasa Belanda disebut  zee-arbeids   overeenkomst
adalah pada prinsipnya mengacu pada Buku II Bab 4 KUHD tentang Perjanjian Kerja Laut,
khususnya Bagian Pertama tentang Perjanjian Kerja Laut Pada Umumnya. Ketentuan
Perjanjian Kerja Laut (PKL) dalam KUHD tersebut juga mengatur hal-hal bersifat khusus,
misalnya: isi (substansi) PKL yang lebih luas dan pembuatan PKL harus di hadapan
Syahbandar (vide Pasal 400 dan Pasal 401 KUHD jo Pasal 18 PP No. 7 Tahun 2000

 
 
I.
 
Pengertian Perjanjian Kerja Laut dan Dasar Hukumnya
Yang diartikan dengan perjanjian kerja-laut adalah perjanjian yang diadakan antara seorang
pengusaha perkapalan pada satu pihak dengan seorang buruh di pihak lain, di mana yang
terakhir ini mengikat dirinya untuk melakukan pekerjaan dalam dinas pada pengusaha
perkapalan dengan mendapat upah sebagai nakhoda atau anak buah kapal. Dasar hukum dari
perjanjian kerja laut atau yang dalam bahasa Belanda disebut  zee-arbeids   overeenkomst
adalah pada prinsipnya mengacu pada Buku II Bab 4 KUHD tentang Perjanjian Kerja Laut,
khususnya Bagian Pertama tentang Perjanjian Kerja Laut Pada Umumnya. Ketentuan
Perjanjian Kerja Laut (PKL) dalam KUHD tersebut juga mengatur hal-hal bersifat khusus,
misalnya: isi (substansi) PKL yang lebih luas dan pembuatan PKL harus di hadapan
Syahbandar (vide Pasal 400 dan Pasal 401 KUHD jo Pasal 18 PP No. 7 Tahun 2000).
Walaupun demikian, (beberapa) ketentuan PKL dalam KUHD tersebut, merujuk lebih lanjut
pada ketentuan perjanjian-perjanjian melakukan pekerjaan (Bab Ketujuh A  –  Buku II) KUH
Perdata, seperti misalnya disebut dalam Pasal 396 KUHD , yang menyebutkan bahwa,
“Terhadap PKL berlakulah selain ketentuan-ketentuan dari Bab (PKL) ini, (juga berlaku)
ketentuan-ketentuan dari Bagian Kedua, Ketiga, Keempat, dan Kelima dari Bab Ketujuh A
dari Buku Ketiga KUH Perdata, sekedar berlakunya ketentuan-ketentuan itu tidak dengan
tegas dikecualikan”. Artinya, selain diatur dalam KUHD, PKL juga tunduk pada Bab Ketujuh
A (tentang Perjanjian- perjanjian Untuk Melakukan Pekerjaan) dari Buku Ketiga (tentang
Perikatan) KUH Perdata, sepanjang tidak diatur khusus (dengan tegas) dalam KUHD

II.
 
Bentuk dan Isi Perjanjian Kerja Laut
Bentuk perjanjian kerja laut dapat dilakukan untuk 3 macam ikatan kerja (Pasal 398 KUHD),
yaitu: 1.
 
Perjanjian kerja laut yang diselenggarakan untuk waktu kerja tertentu atau perjanjian kerja
laut periode, misalnya: untuk 2 tahun, 3 tahun, 5 tahun, dst. Dalam perjanjian ini  para pihak
telah menentukan secara tegas mengenai lamanya waktu untuk saling mengikatkan diri,
dimana masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban.
2. Perjanjian kerja laut yang diselenggarakan untuk waktu kerja tidak tertentu. Dalam
perjanjian ini hubungan kerja berlaku terus sampai ada pengakhiran oleh para pihak atau
sebalikanya hubungan kerja berakhir dalam waktu dekat jika salah satu pihak
menghendakinya.

3.Perjanjian kerja laut yang diselenggarakan untuk satu atau beberapa perjalanan adalah
perjanjian kerja laut yang diselenggarakan berdasarkan pelayaran yang diadakan  perusahaan
pelayaran dari suatu pelabuhan ke pelabuhan lain. Isi dari perjanjian kerja laut (Pasal 401
KUHD) adalah:
1). nama dan nama depan buruh itu, hari kelahirannya atau setidak-tidaknya perkiraan
umumnya, tempat kelahirannya;
2). tempat dan hari penutupan perjanjian itu;
3).  penunjukan kapal atau kapal-kapal tempat buruh itu mengikat diri akan bekerja;
4).  perjalanan atau perjalanan -perjalanan yang akan dilakukan, bila ini sudah pasti;
5).  jabatan yang akan dipegang buruh dalam dinasnya;
6).  penyebutan apakah buruh juga mengikat diri untuk melakukan pekerjaan di darat dan bila
demikian pekerjaan apa;
7).  bila mungkin, hari dan tempat di mana akan dimulainya dinas di kapal;
8). ketentuan pasal 415 tentang hak atas hari-hari libur
9). mengenai pengakhiran hubungan kerja:
a.  bila perjanjian diadakan untuk waktu tertentu, hari pengakhiran hubungan kerjanya,
dengan menyebutkan isi pasal 448;
 b.  bila perjanjian diadakan menurut perjalanan, pelabuhan yang diperjanjikan untuk
pengakhiran hubungan kerja itu, dengan menyebutkan isi pasal 449 alinea kedua, bila
pelabuhannya adalah pelabuhan Indonesia, juga pasal 452 alinea pertama dan kedua, sekedar
disebut atau tidak nama pelabuhan itu;
c.  bila perjanjian itu diadakan untuk waktu tak tertentu, isi pasal 450 alinea pertama. Bila
nama tempat dan hari kelahiran buruh tidak diketahui, hal itu diberitahukan dalam
perjanjian. Penunjukan kapal atau kapal-kapal dalam perjanjian di mana buruh mengikatkan
diri akan melakukan dinas dapat juga dilakukan dengan menentukan, bahwa ia akan
melakukan dinasnya di atas sebuah kapal atau lebih yang ditunjuk oleh pengusaha kapal,
yang termasuk kapal yang digunakan oleh pengusaha kapal untuk pelayaran di laut. Bila
pihak-pihak itu menghendaki penyimpangan dari ketentuan pasal-pasal 415, 448, 449 alinea
kedua, 450 alinea pertama, atau 452 pertama atau kedua, bila hal itu menurut undang-undang
diperkenankan, untuk gantinya pengaturan yang menyimpang itu dimuat dalam perjanjian
tersebut.
 
III. Pihak-Pihak yang Terlibat dalam Pelayaran

Pihak-pihak yang terlibat dalam pelayaran yaitu:


1. Perusahaan kapal ( Rederij)
Yaitu apabila sebuah kapal menjadi kepunyaan berbagai orang, yang memakainya
atas  biaya bersama guna pelayaran di laut, lain daripada menurut suatu persetujuan
peseroan sebagaimana termaksud dalam bab ketiga buku kesatu, maka terjadilah
antara mereka itu suatu perusahaan perkapalan. Perusahaan perkapalan diatur dalam
pasal 323-340 KUHD.
2. Nahkoda  
Nahkoda adalah pemimpin kapal. Diatur dalam pasal 341-374 KUHD.
3. Anak kapal Untuk setiap kapal, di hadapan seorang pegawai yang diangkat oleh
pemerintah, harus dibuat suatu daftar dari semua orang yang harus melakukan dinas
sebagai anak kapal, daftar nama dinamakan daftar anak kapal (monsterrol ).
Yang dinamakan dinas anak kapal ialah pekerjaan yang lazimnya dilakukan oleh
mereka yang telah diterima untuk  bekerja di kapal kecuali pekerjaan nahkoda (375
KUHD). Anak kapal diatur dalam pasal 375-392 KUHD. Daftar anak kapal selain
memuat nama anak kapal, juga memuat (376 KUHD):
 1.Nama kapalnya
 2. Nama pengusaha kapal
 3.Pekerjaan apa yang di kapal akan dilakukan oleh masin-masing anak kapal
dan siapa dari anak kapal itu yang akan mendapat tingkatan  perwira.
 4.Pengusaha kapal (Reder ) Yaitu dia yang memakai sebuah kapal guna
pelayaran di laut dan mengemudikannya oleh seorang nahkoda yang bekerja
padanya. Pengusaha terikat oleh segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh
mereka, yang bekerja tetap atau sementara pada kapalnya, di dalam  jabatan
mereka dalam lingkungan kekuasaan mereka. Pengusaha kapal diatur dalam
pasal 320-322 KUHD. 5.
 
Penumpang Yang menaati segala perintah yang diberikan nahkoda untuk kepentingan
keamanan guna mempertahankan ketertiban. Seorang penumpang tidak diperbolehkan
mengangkut  barang-barang di kapal atas tanggungannya sendiri, kecuali berdasarkan
perjanjian dengan atau izin dari pengusaha, dan apabila kapal itu telah dicarterkan juga dari
pencarter. Penumpang diatur dalam pasal 393-394 KUHD
PERJANJIAN KERJA LAUT

Pertanyaan:
Apa Dasar Hukum Perjanjian Kerja Laut?
Apakah yang menjadi dasar hukum dibuatnya perjanjian kerja laut antara pemberi pekerjaan
dengan penerima pekerjaan? Dalam satu pasal dalam perjanjian kerja laut, disebutkan 'jika
pekerja sakit atau mendapat kecelakaan dalam hubungan kerja maka baginya berlakulah
peraturan kecelakaan awak kapal tahun 1940 dan UU kecelakaan awak kapal tahun 1940 ...'.
Apakah ada ketentuan lain atau ketentuan baru yang mengalahkan atau menyatakan peraturan
tahun 1940 tersebut tidak berlaku, mengingat sekarag ada Peraturan Pemerintah No. 7/2000
tentang Kepelautan? Apakah PP 7/2000 tersebut menggantikan peraturan tahun 1940?
Kemudian, bagaimana pengaturan jam kerja pekerja yang bekerja di laut?
firdian_afik

 Tweet

Jawaban:
Umar Kasim

1.   Dasar hukum dibuatnya perjanjian kerja laut – “PKL” (zee-arbeidsovereenkomst) -- pada
prinsipnya mengacu pada Buku II Bab 4 KUHD tentang Perjanjian Kerja Laut,
khususnya Bagian Pertama tentang Perjanjian Kerja Laut Pada Umumnya. Ketentuan
PKL dalam KUHD tersebut juga mengatur hal-hal bersifat khusus, misalnya: isi
(substansi) PKL yang lebih luas dan pembuatan PKL harus di hadapan Syahbandar (vide
Pasal 400 dan Pasal 401 KUHD jo Pasal 18 PP No. 7 Tahun 2000).

Walaupun demikian, (beberapa) ketentuan PKL dalam KUHD tersebut, merujuk lebih
lanjut pada ketentuan perjanjian-perjanjian melakukan pekerjaan (Bab Ketujuh A –
Buku II) KUH Perdata, seperti misalnya disebut dalam Pasal 396 KUHD, yang
menyebutkan bahwa, “Terhadap PKL berlakulah selain ketentuan-ketentuan dari Bab
(PKL) ini, (juga berlaku) ketentuan-ketentuan dari Bagian Kedua, Ketiga, Keempat, dan
Kelima dari Bab Ketujuh A dari Buku Ketiga KUH Perdata, sekedar berlakunya
ketentuan-ketentuan itu tidak dengan tegas dikecualikan”.

Artinya, selain diatur dalam KUHD, PKL juga tunduk pada Bab Ketujuh A (tentang
Perjanjian-perjanjian Untuk Melakukan Pekerjaan) dari Buku Ketiga (tentang Perikatan)
KUH Perdata, sepanjang tidak diatur khusus (dengan tegas) dalam KUHD.

 
Ketentuan yang dirujuk dalam KUH Perdata sebagaimana dimaksud Pasal 396 tersebut di
atas, adalah: Bagian Kedua (mengenai Perjanjian Perburuhan Pada Umumnya), Bagian
Ketiga (mengenai Kewajiban Majikan), Bagian Keempat (mengenai Kewajiban Buruh),
dan Bagian Kelima (mengenai Bermacam-macam Cara Berakhirnya Perhubungan Kerja
Yang Diterbitkan dari Perjanjian).

Saat ini, ketentuan-ketentuan dalam Bab Ketujuh A KUH Perdata dimaksud sebagian
besar (hampir seluruhnya) sudah diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”). Dengan demikian rujukan ketentuan dalam
KUH Perdata (sebagaimana dimaksud Pasal 396 KUHD) sudah mengacu pada UU
Ketenagakerjaan yang sekarang.

Di samping itu, sebagian lagi ketentuan yang bersifat khusus sebagaimana dimaksud
dalam KUHD, juga telah diatur dalam UU Pelayaran (sekarang UU No. 17 Tahun 2008,
pengganti dari UU No. 21 Tahun 1992), khususnya (secara detail) dimuat dalam PP No. 7
Tahun 2000 tentang Kepelautan (yang masih merupakan peraturan pelaksanaan dari
UU No. 21 Tahun 1992 dan masih berlaku sampai ada penggantinya).

Permasalahannya, apakah dengan adanya ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan (saat ini)


maka ketentuan dalam KUHD menjadi tidak mempunyai kekutan hukum yang mengikat?
Menurut hemat kami, tidak demikian karena ketentuan yang diatur dalam KUHD (Bab
Keempat) bersifat khusus (lex specialis), dan ketentuan yang diatur dalam KUH Perdata
(Bab Ketujuh A) bersifat umum. Oleh karena itu, berlaku azas “lex specialis derogat legi
generali”.

Dengan perkataan lain, apabila suatu hal (terkait dengan PKL) terdapat pengaturannya
dalam KUHD/UU Pelayaran, maka ketentuan dalam KUH Perdata/UU Ketenagakerjaan
dikesampingkan. Dalam kaitan ini, berlaku azas metaprinciple yang mengatakan “lex
posterior generalis, non derogat legi priori specialis” (Philipus M. Hadjon, Titiek Sri
Djatmiati, “Argumentasi Hukum”, Gajah Mada University Press, hal. 54, vide Gert
Frederik M, dalam P.W. Brouwer, hal. 215). Artinya UU –yang terbit– kemudian yang
generalis (bersifat umum) tidak mengalahkan (mengesampingkan) pendahulunya yang
spesialis (bersifat khusus). Oleh karena itu, dengan telah adanya pengaturan umum dalam
UU Ketenagakerjaan menggantikan ketentuan dalam Bab Ketujuh A KUH Perdata,
tentunya tidak mengesampingkan ketentuan dalam KUHD/UU Pelayaran (yang bersifat
khusus).

2.   Secara historis, dalam rangka menjamin kesinambungan penerimaan upah bagi buruh
(pekerja), dibuatlah peraturan yang memberikan –perlindungan– kepada buruh terutama
ketika tidak dapat menjalankan pekerjaannya saat mengalami sakit, cacat atau hari tua.
 

Bentuk perlindungan tersebut, berawal dari terbitnya Peraturan Kecelakaan 1939


(Ongevallenregeling 1939) dan Peraturan Pelaksanaannya (Ongevallen-verordening
1939) dan Peraturan Kecelakaan Pelaut 1940 (Schepelingen Ongevallen-Regeling Stbl.
No. 447-1940) dan Peraturan Pelaksanaannya (Schepelingen-ongevallen-verordening –
Stbl. No. 534-1940).

Kemudian, khusus untuk Peraturan Kecelakaan 1939 (Ongevallenregeling),


disempurnakan menjadi UU Kecelakaan Tahun 1947 No. 33 (cq. UU No. 2 Tahun 1951
tentang Pernyataan Berlakunya UU Kecelakaan Tahun 1947 No. 33 Dari Republik
Indonesia Untuk Seluruh Indonesia).

 
 

Dalam kaitan penyempurnaan itu, Prof. Iman Soepomo, S.H., (buku Pengantar Hukum
Perburuhan, hal. 139) berpendapat bahwa dalam UU Kecelakaan tidak dengan tegas
mencabut dan menggantikan Peraturan Kecelakaan (Ongevallenregeling 1939) dan
peraturan pelaksanaannya (Ongevallen-verordening 1939), namun demikian harus
diartikan sebagai telah mencabut dan menggantikan Peraturan Kecelakaan 1939 dimaksud.
Pandangan Prof. Iman Soepomo, S.H. tersebut, tidak menyinggung mengenai Peraturan
Kecelakaan Pelaut (Schepelingen Ongevallen-Regeling Stbl No.447-1940) dan peraturan
pelaksanaannya (Schepelingen-ongevallen-verordening –Stbl No. 534-1940). Oleh karena
itu, hemat kami Peraturan Kecelakaan Pelaut ini masih berlaku (secara khusus) hingga
saat ini, sepanjang tidak diikutsertakan dalam program jaminan sosial (social secutiry)
yang ada saat ini.

Substansi peraturan-peraturan kecelakaan, pada dasarnya menegaskan –adanya–


kewajiban majikan untuk memberikan ganti kerugian kepada buruh yang mengalami
kecelakaan pada waktu menjalankan pekerjaan atau saat masih dalam hubungan kerja.
Artinya, pemberian ganti kerugian kepada buruh (sewaktu mengalami kecelakaan kerja)
adalah merupakan tanggung-jawab majikan dan merupakan resiko menjalankan
perusahaan (risqué professionnel). Walau faktanya, pelaksanaan ketentuan peraturan-
peraturan kecelakaan tersebut tidak memuaskan (khususnya) bagi –pihak / kalangan–
buruh.

Oleh karena itu, dalam perkembangannya kemudian, tanggung-jawab (beban) majikan


dalam UU Kecelakaan Tahun 1947 No. 33, dialihkan kepada program jaminan sosial
(social secutiry) dengan dibentuknya Asuransi Sosial Tenaga Kerja (Astek) pada 26
Nopember 1977 dengan terbitnya PP No. 33 Tahun 1977 tentang Asuransi Sosial Tenaga
Kerja (yang sekaligus merupakan amanat dari Pasal 9 dan Pasal 10 UU No. 14 Tahun
1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja) yang tetap berpedoman
pada UU Kecelakaan No. 33 Tahun 1947.
 

Kemudian, terbit UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek dan peraturan


pelaksanaannya, PP No. 14 Tahun 1993 yang mencabut UU Kecelakaan 1947. Coverage
(cakupan) UU Jamsostek ini secara umum meng-cover tenaga kerja dalam hubungan kerja
di Perusahaan (lihat Pasal 4 ayat [1] jo Pasal 1 angka 3 dan 4 UU No. 3 Tahun 1992)
namun tidak menyinggung coverage tenaga kerja pelaut di kapal-kapal berbendera
Indonesia. Walaupun berdasarkan Pasal 1 angka 3 dan angka 4 UU No. 3 Tahun 1992,
program jamsostek mencakup semua perusahaan / pengusaha dalam yurisdiksi NKRI.

3.   Pengaturan mengenai jam kerja awak kapal (schepeling, pelaut, “anak kapal”) tidak diatur
dalam KUHD, akan tetapi menjadi coverage UU Pelayaran (cq. Pasal 21 PP No. 7 Tahun
2000 tentang Kepelautan), sebagai berikut :

a.        Ketentuan jam kerja (waktu kerja dan waktu istirahat/”WKWI”) bagi awak kapal
menganut pola 6:1 dengan maksimum 44 jam per-minggu. Artinya, 6 (enam) hari
kerja dan 1 (satu) hari istirahat mingguan, masing-masing 8 (delapan) jam/hari.

b.    Apabila awak kapal bekerja melebihi ketentuan waktu kerja dimaksud dan
dipekerjakan pada hari istirahat mingguan atau pada hari libur nasional, maka dihitung
lembur.

c.     Setiap awak kapal harus diberikan waktu istirahat paling sedikit 10 (sepuluh) jam
dalam jangka waktu 24 (dua puluh empat) jam sehari. Waktu istirahat tersebut dapat
dibagi 2, yang salah satu di antaranya tidak kurang dari 6 (enam) jam kecuali dalam
keadaan darurat.

d.    Pengecualian dari WKWI dimaksud, antara lain pelaksanaan tugas-tugas darurat demi
keselamatan berlayar dan muatan, termasuk latihan-latihan di kapal, atau untuk
memberikan pertolongan dalam bahaya sesuai peraturan keselamatan pelayaran, dalam
kaitan itu tidak dihitung lembur.

e.     Demikian juga, bagi pelaut muda atau pelaut yang berumur antara 16 tahun sampai
dengan 18 tahun dan dipekerjakan sebagai apapun di atas kapal, tidak diperbolehkan
untuk :

1)     dipekerjakan melebihi 8 jam sehari dan 40 jam seminggu;


2)     dipekerjakan pada waktu istirahat, kecuali dalam hal-hal tugas-tugas darurat demi
keselamatan berlayar dan muatan.

Demikian penjelasan kami, semoga penjelasan tersebut yang Sdr. maksud.

 
Dasar hukum:

1.      Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek Van Koophandel Voor Indonesie,
Staatsblad tahun 1847 No. 43);

2.      Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23);

3.      Undang-Undang No. 2 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya UU Kecelakaan


Tahun 1947 No. 33 Dari Republik Indonesia Untuk Seluruh Indonesia

4.      Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja

5.      Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2000 tentang Kepelautan

6.      Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

7.      Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran;

8.      Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan
Sosial Tenaga Kerja
nformasi Prosedur Layanan

Judul : Penyijilan Awak Kapal pada Buku Pelaut dan Pengesahan Perjanjian Kerja Laut
Kontak : Direktorat Perkapalan dan Kepelautan
Hits : 2008
Lampiran : uu._no.17_tahun_2008.pdf
pm_70_tahun_2013.pdf

Persyaratan :

1. Surat permohonan dari Perusahaan


2. Perjanjian Kerja Laut
3. Buku Pelaut

Lama Proses :
2 hari kerja

Masa Berlaku :
Sesuai Kontrak

Catatan :

 Apabila diperlukan pemeriksaan fisik, akan memerlukan tambahan waktu 1 hari kerja
untuk pemeriksaan COC pelaut asing
 Seluruh persyaratan dilengkapi dan  teridentifikasi secara berurutan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku
 Waktu pelayanan berdasarkan atas penghitungan terhadap satu permohonan dan/ atau
satu kapal

Anda mungkin juga menyukai