ini (18/11) Muhammadiyah genap berusia 104 tahun (18 November 1912–18
November 2016). Dengan usia yang semakin matang, berarti Muhammadiyah harus
lebih serius menunaikan tugas dakwah islamiyah. Semua komunitas yang ada di
tengah-tengah masyarakat harus merasakan dakwah pencerahan (da’wah al-
tanwiriyah) Muhammadiyah. Berangkat dari kesadaran inilah Muhammadiyah
merumuskan dakwah berbasis komunitas.
Jika dilacak ke belakang, model dakwah komunitas itu berkaitan dengan konsep
gerakan jamaah dan dakwah jamaah (GJDJ). Dakwah komunitas dan GJDJ sama-
sama menekankan pentingnya pendekatan kultural. Pendekatan kultural merupakan
jawaban terhadap kritik dakwah Muhammadiyah yang dianggap kurang berempati pada
seni dan budaya. Kemasan (packaging) dakwah Muhammadiyah juga terasa normatif,
kering, kurang adaptif, dan kehilangan selera humor.
Di samping itu, juga ada pendampingan untuk memastikan komunitas mantan PSK
tidak kembali ke dunia hitam. Model dakwah pada komunitas PSK di Krembangan
menjadi inspirasi penutupan beberapa pusat lokalisasi di Surabaya, termasuk gang
Dolly. Pemerintah Surabaya kini semakin memantapkan diri sebagai kota metropolis
dengan brand bebas prostitusi. Khusus untuk anak jalanan, aktivis Muhammadiyah
telah menyiapkan rumah-rumah pintar. Dengan cara ini, gerakan literasi di kalangan
anak jalanan bisa terus digelorakan.
Harus diakui bahwa sejauh ini tema sentral dakwah Muhammadiyah masih seputar
pemberantasan takhayul, bidah, dan churafat (TBC). Dampaknya, dakwah
Muhammadiyah kurang bisa diterima masyarakat pedesaan, abangan, sinkretis, muslim
nominalis, kelompok marginal, dan komunitas khusus. Dakwah Muhammadiyah pun
kurang populis. Seakan menyadari kekurangannya, Muhammadiyah mengubah metode
dakwah dengan menggunakan pendekatan kebudayaan.
Kiai Dahlan dikenal sangat akomodatif pada budaya lokal. Sebagai contoh, Kiai Dahlan
mengadakan salat dua hari raya (’idayni) di lapangan, berkhotbah dengan bahasa lokal,
dan membentuk badan amil zakat. Bahkan, dalam film Sang Pencerah, Kiai Dahlan
digambarkan sebagai sosok yang mahir bermain biola. Kiai Dahlan telah menjadikan
alunan musik biola yang merdu sebagai media dakwah.
Jika dakwah berbasis komunitas sukses, Muhammadiyah akan menjadi tenda besar
bagi kelompok mana pun. Termasuk komunitas atas, menengah, bawah, marginal,
virtual, dan khusus. Kelompok abangan dan sinkretis juga akan bersahabat dengan
kemasan dakwah Muhammadiyah. Model dakwah anti-TBC barangkali relevan bagi
aktivis Muhammadiyah. Sebaliknya, tema dakwah anti-TBC pasti kurang bisa diterima
komunitas abangan dan sinkretis.
PWMU.CO – Untuk menunaikan amanat Muktamar ke-47 di Makassar terkait dakwah
komunitas, Lembaga Dakwah Khusus (LDK) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah
mengambil empat model yang menjadi strategis dakwahnya.
Demikian disampaikan Wakil Bendahara LDK PP MuhammadiyahDr Suhardin MPd
dalam Rapat Kerja Nasional (Rakornas) dan Halaqah Dai Khusus LDK PP
Muhamadiyah di At Tauhid Tower Universitas Muhammadiyah Surabaya, Jumat
(14/12/18).
Pertama, dakwah untuk komunitas virtual. “Dalam hal ini seorang dai harus mampu
menguasai teknologi internet sehingga mampu memberi warna positif di sana,” ujarnya.
Kedua, sambungnya, dakwah komunitas untuk kalangan masyarakat kelas atas. Yang
termasuk kelompok ini adalah mereka yang memiliki kemampuan ekonomi tinggi.
Profesi, pendidikan, intelektual, dan status sosial juga tinggi. Selain itu mereka juga
punya kemampuan menguasai akses ekonomi, politik, dan budaya.
“Oleh karena itu dakwah pada komunitas ini harus lebih kreatif dan inovatif dengan
kemasan dan gaya bahasa yang sesuai dengan gaya hidup mereka,” terangnya.
Ketiga, dakwah untuk komunitas kalangan marginal. Kelompok ini memiliki karakteristik
ekonomi rentan kemiskinan. Mereka ini adalah buruh, buruh tani, nelayan, pedagang
kecil, pengrajin dan pegawai rendahan.
“Sikap keberagamaan kelompok ini mistikal, sinkretik. Perilaku kelompok ini lebih
pragmatis. Pendekatan dakwah yang perlu dilakukan terhadap kelompok ini adalah
pendekatan humanistik, merakyat dengan materi-materi yang mudah dipahami sesuai
dengan kebutuhan dan problematika kehidupan sehari-hari,” ujarnya.
“Termasuk mereka juga kurang mendapat perhatian dari para dai akibatnya mereka
terpinggirkan dan tidak mempunyai akses terhadap pembangunan baik yang bersifat
material maupun non material. Mereka juga tidak mempunyai akses terhadap
pendidikan terutama pendidikan agama dimana hal ini menjadi bagian yang vital dalam
kehidupan,” terangnya.
Dia menegaskan, tidak mudah erdakwah di daerah semacam ini. Butuh tekad dan
militansi di atas rata-rata disertai kesiapan untuk berkorban dan komitmen perjuangan.
“Hal inilah kemudian yang menggugah Muhammadiyah untuk melakukan dakwah di
daerah pedalaman, melalui Lembaga Dakwah Khusus Pimpinan pusat Muhammadiyah
bakerja sama dengan berbagai pihak untuk mengkoordinir para dai dan diturunkan di
daerah ini,” ujarnya. (Habibie)