Anda di halaman 1dari 4

HARI 

ini (18/11) Muhammadiyah genap berusia 104 tahun (18 November 1912–18
November 2016). Dengan usia yang semakin matang, berarti Muhammadiyah harus
lebih serius menunaikan tugas dakwah islamiyah. Semua komunitas yang ada di
tengah-tengah masyarakat harus merasakan dakwah pencerahan (da’wah al-
tanwiriyah) Muhammadiyah. Berangkat dari kesadaran inilah Muhammadiyah
merumuskan dakwah berbasis komunitas.

Jika dilacak ke belakang, model dakwah komunitas itu berkaitan dengan konsep
gerakan jamaah dan dakwah jamaah (GJDJ). Dakwah komunitas dan GJDJ sama-
sama menekankan pentingnya pendekatan kultural. Pendekatan kultural merupakan
jawaban terhadap kritik dakwah Muhammadiyah yang dianggap kurang berempati pada
seni dan budaya. Kemasan (packaging) dakwah Muhammadiyah juga terasa normatif,
kering, kurang adaptif, dan kehilangan selera humor.

Dakwah Muhammadiyah juga belum menyasar komunitas virtual (virtual community).


Kelompok virtual merupakan komunitas yang banyak berinteraksi melalui dunia maya
seperti blog, Facebook, Twitter, Telegram, dan WhatsApp. Jumlah komunitas virtual ini
ternyata sangat besar. Menurut Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia, pengguna
internet terus meningkat. Pada 2015, misalnya, pengguna jasa internet mencapai 139
juta orang. Berarti lebih dari separo jumlah penduduk negeri ini berinteraksi melalui
media sosial.

Dakwah Muhammadiyah juga harus menyasar komunitas khusus seperti kelompok


sosialita yang melibatkan perempuan kelas atas. Sejauh ini, kelompok sosialita di kota-
kota besar belum mendapat perhatian yang memadai. Demikian juga dengan
komunitas penghobi seperti penggemar motor gede
(moge), hijabers, bikers, automotive clubs, bookers, pencinta alam, dan travelers.
Semua komunitas ini seharusnya merasakan sentuhan dakwah Muhammadiyah.

Komunitas marginal di perkotaan juga harus menjadi sasaran dakwah. Di antara


komunitas marginal yang membutuhkan perhatian serius adalah pekerja seks komersial
(PSK) dan anak jalanan. Di antara kisah sukses model dakwah pada komunitas PSK
dan anak jalanan telah dilakukan aktivis Muhammadiyah Kecamatan Krembangan,
Surabaya. Bukan hanya dengan ceramah, dakwah pada komunitas marginal juga
dilakukan dalam bentuk pemberian bantuan usaha.

Di samping itu, juga ada pendampingan untuk memastikan komunitas mantan PSK
tidak kembali ke dunia hitam. Model dakwah pada komunitas PSK di Krembangan
menjadi inspirasi penutupan beberapa pusat lokalisasi di Surabaya, termasuk gang
Dolly. Pemerintah Surabaya kini semakin memantapkan diri sebagai kota metropolis
dengan brand bebas prostitusi. Khusus untuk anak jalanan, aktivis Muhammadiyah
telah menyiapkan rumah-rumah pintar. Dengan cara ini, gerakan literasi di kalangan
anak jalanan bisa terus digelorakan.

Harus diakui bahwa sejauh ini tema sentral dakwah Muhammadiyah masih seputar
pemberantasan takhayul, bidah, dan churafat (TBC). Dampaknya, dakwah
Muhammadiyah kurang bisa diterima masyarakat pedesaan, abangan, sinkretis, muslim
nominalis, kelompok marginal, dan komunitas khusus. Dakwah Muhammadiyah pun
kurang populis. Seakan menyadari kekurangannya, Muhammadiyah mengubah metode
dakwah dengan menggunakan pendekatan kebudayaan.

Pendekatan kebudayaan mengharuskan mubalig Muhammadiyah lebih berempati pada


budaya lokal. Di antara keputusan Muktamar Satu Abad Muhammadiyah di Yogyakarta
pada 2010 adalah keharusan menerapkan metode dakwah kultural. Karena itu, mubalig
Muhammadiyah harus mempelajari budaya lokal. Bukankah pendiri dan ideolog
Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, telah mengajarkan cara mengapresiasi budaya
lokal?

Kiai Dahlan dikenal sangat akomodatif pada budaya lokal. Sebagai contoh, Kiai Dahlan
mengadakan salat dua hari raya (’idayni) di lapangan, berkhotbah dengan bahasa lokal,
dan membentuk badan amil zakat. Bahkan, dalam film Sang Pencerah, Kiai Dahlan
digambarkan sebagai sosok yang mahir bermain biola. Kiai Dahlan telah menjadikan
alunan musik biola yang merdu sebagai media dakwah.

Teladan Kiai Dahlan mengharuskan mubalig Muhammadiyah memahami bahwa


komunitas yang ada di tengah-tengah masyarakat sedang berproses (becoming)
menjadi muslim sejati. Karena itu, dakwah harus disajikan menurut kemampuan berpikir
berbagai komunitas. Dakwah juga harus dikemas dengan mudah (taysir) dan
menggembirakan (tabsyir).

Jika dakwah berbasis komunitas sukses, Muhammadiyah akan menjadi tenda besar
bagi kelompok mana pun. Termasuk komunitas atas, menengah, bawah, marginal,
virtual, dan khusus. Kelompok abangan dan sinkretis juga akan bersahabat dengan
kemasan dakwah Muhammadiyah. Model dakwah anti-TBC barangkali relevan bagi
aktivis Muhammadiyah. Sebaliknya, tema dakwah anti-TBC pasti kurang bisa diterima
komunitas abangan dan sinkretis.

Dengan demikian, mubalig tidak seharusnya menafikan, apalagi menghantam budaya


yang melekat pada komunitas. Justru yang harus dilakukan adalah menjadikan
berbagai budaya sebagai media berdakwah. Jika hal ini dilakukan, dakwah pencerahan
Muhammadiyah akan senantiasa dirindukan masyarakat. Semoga model dakwah
berbasis komunitas sukses mengajak berbagai kelompok keagamaan yang tumbuh di
tengah-tengah masyarakat. Termasuk berbagai paham keagamaan, aliran keyakinan,
dan kebatinan yang telanjur distigma sesat dan menyesatkan. (*)

 
PWMU.CO – Untuk menunaikan amanat Muktamar ke-47 di Makassar terkait dakwah
komunitas, Lembaga Dakwah Khusus (LDK) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah
mengambil empat model yang menjadi strategis dakwahnya.
Demikian disampaikan Wakil Bendahara LDK PP MuhammadiyahDr Suhardin MPd
dalam Rapat Kerja Nasional (Rakornas) dan Halaqah Dai Khusus LDK PP
Muhamadiyah di At Tauhid Tower Universitas Muhammadiyah Surabaya, Jumat
(14/12/18).

Pertama, dakwah untuk komunitas virtual. “Dalam hal ini seorang dai harus mampu
menguasai teknologi internet sehingga mampu memberi warna positif di sana,” ujarnya.

Kedua, sambungnya, dakwah komunitas untuk kalangan masyarakat kelas atas. Yang
termasuk kelompok ini adalah mereka yang memiliki kemampuan ekonomi tinggi.
Profesi, pendidikan, intelektual, dan status sosial juga tinggi. Selain itu mereka juga
punya kemampuan menguasai akses ekonomi, politik, dan budaya.

“Oleh karena itu dakwah pada komunitas ini harus lebih kreatif dan inovatif dengan
kemasan dan gaya bahasa yang sesuai dengan gaya hidup mereka,” terangnya.

Ketiga, dakwah untuk komunitas kalangan marginal. Kelompok ini memiliki karakteristik
ekonomi rentan kemiskinan. Mereka ini adalah buruh, buruh tani, nelayan, pedagang
kecil, pengrajin dan pegawai rendahan.

“Sikap keberagamaan kelompok ini mistikal, sinkretik. Perilaku kelompok ini lebih
pragmatis. Pendekatan dakwah yang perlu dilakukan terhadap kelompok ini adalah
pendekatan humanistik, merakyat dengan materi-materi yang mudah dipahami sesuai
dengan kebutuhan dan problematika kehidupan sehari-hari,” ujarnya.

Keempat, dakwah untuk masyarakat pedalaman atau 3T (tertinggal, terluar, dan


terpencil). Menurut Suhardin, masyarakat suku terdalam seringkali kurang mendapat
perhatian dari banyak pihak secara personal maupun kelembagaan; secara formal
maupun non formal.

“Termasuk mereka juga kurang mendapat perhatian dari para dai akibatnya mereka
terpinggirkan dan tidak mempunyai akses terhadap pembangunan baik yang bersifat
material maupun non material. Mereka juga tidak mempunyai akses terhadap
pendidikan terutama pendidikan agama dimana hal ini menjadi bagian yang vital dalam
kehidupan,” terangnya.

Dia menegaskan, tidak mudah erdakwah di daerah semacam ini. Butuh tekad dan
militansi di atas rata-rata disertai kesiapan untuk berkorban dan komitmen perjuangan.
“Hal inilah kemudian yang menggugah Muhammadiyah untuk melakukan dakwah di
daerah pedalaman, melalui Lembaga Dakwah Khusus Pimpinan pusat Muhammadiyah
bakerja sama dengan berbagai pihak untuk mengkoordinir para dai dan diturunkan di
daerah ini,” ujarnya. (Habibie)

Anda mungkin juga menyukai