Anda di halaman 1dari 26

MODUL6

ERGONOMI
Oleh : Ns. Dwiyanti P, M.Kep
Program Studi Keperawatan – STIKes Mahardika Cirebon

PENDAHULUAN
Keselamatan sangat dibutuhkan oleh perawat saat bekerja. Keselamatan merupakan salah satu
kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia nomor 66 tahun 2016 tentang keselamatan dan kesehatan kerja di rumah sakit, pengaturan
keselamatan dan kesehatan kerja rumah sakit dilaksanakan untuk terselenggaranya keselamatan dan
kesehatan kerja di rumah sakit secara optimal. , efektif, efisien, dan berkelanjutan. Pendekatan ini
bertujuan untuk mencegah kecelakaan dan cedera serta menjaga kondisi aman bagi sumber daya
rumah sakit, pasien, pendamping pasien, dan pengunjung. Hal ini dilakukan melalui identifikasi dan
penilaian risiko, area pemetaan risiko, dan upaya pengendalian
Ergonomi menjadi pilar kesehatan dan menjadi salah satu indikator kesejahteraan. Ergonomi
merupakan salah satu cabang ilmu yang mempelajari keefektifan penggunaan objek fisik dan fasilitas
oleh manusia. Menurut Meily (2013), perbaikan ergonomi perlu dilakukan sebagai salah satu upaya
pencegahan terhadap penyakit CTDs (Cumulative Trauma Disorders), Low Back Pain, Fraktur atau
lainnya akibat faktor risiko kerja postur janggal, beban, frekuensi dan durasi yang bersumber dari
pekerjaan, seperti nyeri tengkuk, nyeri pinggang bawah atau low back pain. Menurut penelitian
Sartika, Nurrachmah, Sukirman, et al (2021) bahwa aktivitas berisiko ergonomis tertinggi bagi
perawat terjadi di ruang perawatan intensif yaitu memandikan pasien dengan total skor 13. Di IGD,
skor risiko tertinggi adalah memindahkan pasien dengan total skor 12. Kedua aktivitas tersebut
berada di level 4 dan ini menunjukkan tinggi - kondisi berisiko.

DEFINISI
Ergonomi (ergonomics) berasal dari kata Yunani yaitu ergo yang berarti kerja dan nomos yang berarti
hukum, dimana ergonomi sebagai disiplin keilmuan yang mempelajari manusia dalam kaitannya
dengan pekerjaannya. Istilah ergonomi lebih populer digunakan oleh beberapa negara Eropa Barat,

1
dan di Amerika istilah ini lebih dikenal sebagai Human Faktors Engineerings atau Human
Engineering (Wignjosoebroto, 2003).
Istilah ergonomi didefinisikan sebagai studi tentang aspek-aspek manusia dalam lingkungan kerjanya
yang ditinjau secara anatomi, fisiologi, engineering, manajemen dan desain peralatan (Nurmianto,
2003).
Dalam ergonomi akan dipelajari cara-cara penyesuaian pekerjaan, alat kerja dan lingkungan kerja
dengan manusia, dengan memperhatikan kemampuan dan keterbatasan manusia itu sehingga tercapai
suatu keserasian antara manusia dan pekerjaannya yang akan meningkatkan kenyamanan kerja dan
produktifitas kerja.

A. Sejarah Ergonomi
Ergonomi mulai dicetuskan pada tahun 1949, akan tetapi aktivitas yang berkenaan dengannya telah
bermunculan puluhan tahun sebelumnya. Beberapa kejadian penting diilustrasikan sebagai berikut:
(Suma’mur, 1996):
 T. Thackrah, England, 1831
Trackrah adalah seorang dokter dari Inggris/England yang meneruskan pekerjaan dari seorang Italia
bernama Ramazzini, dalam serangkaian kegiatan yang berhubungan dengan lingkungan kerja yang
tidak nyaman yang dirasakan oleh para operator di tempat kerjanya.
Ia mengamati postur tubuh pada saat bekerja sebagai bagian dari masalah kesehatan. Pada saat itu
Trackrah mengamati seorang penjahit yang bekerja dengan posisi dan dimensi kursi-meja yang
kurang sesuai secara antropometri, serta pencahayaan yang tidak ergonomis sehingga mengakibatkan
menbungkuknya badan dan iritasi indera penglihatan.
 W. Taylor, U.S.A., 1989
Frederick W. Taylor adalah seorang insinyur Amerika yang menerapkan metoda ilmiah untuk
menentukan cara yang terbaik dalam melakukan suatu pekerjaan.
 B. Gilbreth, U.S.A., 1911
Gilbreth juga mengamati dan mengoptimasi metoda kerja, dalam hal ini lebih mendetail dalam
Analisa Gerakan dibandingkan dengan Taylor. Dalam bukunya Motion Study yang diterbitkan pada
tahun 1911 ia menunjukkan bagaimana postur membungkuk dapat diatasi dengan mendesain suatu
sistem meja yang dapat diatur turun-naik (adjustable).

2
 Badan Penelitian untuk Kelelahan Industri (Industrial Fatique Research Board), England,
1918
Badan ini didirikan sebagai penyelesaian masalah yang terjadi di pabrik amunisi pada Perang Dunia
Pertama. Mereka menunjukkan bagaimana output setiap harinya meningkat dengan jam kerja per
hari-nya yang menurun.
 Mayo dan teman-temannya, U.S.A., 1933
Elton Mayo seorang warga negara Australia, memulai beberapa studi di suatu Perusahaan Listrik.
Tujuan studinya adalah untuk mengkuantifikasi pengaruh dari variabel fisik seperti pencahayaan dan
lamanya waktu istirahat terhadap faktor efisiensi dari para operator kerja pada unit perakitan.

 Perang Dunia Kedua, England dan U.S.A


Masalah operasional yang terjadi pada peralatan militer yang berkembang secara cepat (seperti
misalnya pesawat terbang). Masalah yang ada pada saat itu adalah penempatan dan identifikasi utnuk
pengendali pesawat terbang, efektivitas alat peraga (display), handel pembuka, ketidak-nyamanan
karena terlalu panas atau terlalu dingin, desain pakaian untuk suasana kerja yang terlalu panas atau
terlalu dingin dan pengaruhnya pada kinerja operator.
 Pembentukan Kelompok Ergonomi
Pembentukan Masyarakat Peneliti Ergonomi (the Ergonomics Research Society) di England pada
tahun 1949 melibatkan beberapa profesional yang telah banyak berkecimpung dalam bidang ini. Hal
ini menghasilkan jurnal (majalah ilmiah) pertama dalam bidang Ergonomi pada November 1957.
Perkumpulan Ergonomi Internasional (The International Ergonomics Association) terbentuk pada
1957, dan The Human Factors Society di Amerika pada tahun yang sama.
Diketahui pula bahwa Konferensi Ergonomi Australia yang pertama diselenggarakan pada tahun
1964, dan hal ini mencetuskan terbentuknya Masyarakat Ergonomi Australia dan New Zealand (The
Ergonomics Society of Australian and New Zealand).

B. Tujuan dan Manfaat Ergonomi


Pelaksanaan dan penerapan ergonomi di tempat kerja di mulai dari yang sederhana dan pada tingkat
individual terlebih dahulu. Rancangan ergonomi akan dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas dan
produktivitas kerja, serta dapat menciptakan sistem serta lingkungan yang cocok, aman, nyaman dan
sehat (Nurmianto, 2003).

3
Secara umun tujuan dari penerapan Ergonomi adalah: (Nurmianto, 2003)
 Meningkatkan kesejahteraan fisik dan mental melalui upaya pencegahan cedera dan penyakit
akibat kerja, menurunkan beban kerja fisik dan mental, mengupayakan promosi dan kepuasan
kerja.
 Meningkatkan kesejahteraan sosial melalui peningkatan kualitas kontak sosial, mengelola dan
mengkoordinir kerja secara tepat guna dan meningkatkan jaminan sosial baik selama kurun
waktu usia produktif maupun setelah tidak produktif.
 Menciptakan keseimbangan rasional antara berbagai aspek yaitu aspek teknis, ekonomis,
antropologis dan budaya dari setiap sistem kerja yang dilakukan sehingga tercipta kualitas
kerja dan hidup yang tinggi.
Menurut Permenkes No. 52 tahun 2018 dijelaskan bahwa tujuan penerapan ergonomi adalah agar
SDM Fasyankes dapat bekerja secara aman, nyaman, sehat, efektif, efisien dan produktif. SDM
Fasyankes berpotensi mengalami cedera dari bahaya ergonomi pada saat penanganan (handling),
mengangkat, mendorong, dan memindahkan atau merubah posisi, duduk tidak ergonomis, posisi
berdiri lama, posisi statis, gerakan berulang dan posisi yang tidak ergonomi. Risiko ergonomi di
Fasyankes terkait erat dengan reposisi pasien dari tempat tidur ke tempat tidur lain, dari kursi ke
tempat tidur, dari lantai ke tempat tidur, transportasi pasien, termasuk membersihkan dan
memandikan pasien, pemberian asuhan pelayanan dan tindakan medis seperti tindakan operasi,
pelayanan kesehatan gigi, pelayanan kebidanan dan lain lain. Penerapan prinsip ergonomi merupakan
upaya penyesuaian pekerjaan dengan manusia, serta bagaimana merancang tugas, pekerjaan,
peralatan kerja, informasi, serta fasilitas di lingkungan kerja.
Ergonomi merupakan ilmu yang mempelajari keserasian kerja dalam suatu sistem (worksystem).
Sistem ini terdiri dari manusia, mesin dan lingkungan kerja (Bridger, 2003). Menurut Pheasant (2003)
ada beberapa manfaat ergonomic bila diterapkan dalam suatu sistem kerja, yaitu :
1. Peningkatan hasil produksi, yang berarti menguntungkan secara ekonomi. Hal ini antara lain
disebabkan oleh:
a. Efisiensi waktu kerja yang meningkat.
b. Meningkatnya kualitas kerja.
c. Kecepatan pergantian pegawai (labour turnover) yang relatif rendah.
2. Menurunnya probabilitas terjadinya kecelakaan, yang berarti:

4
a. Dapat mengurangi biaya pengobatan yang tinggi. Hal ini cukup berarti karena biaya untuk
pengobatan lebih besar daripada biaya untuk pencegahan.
b. Dapat mengurangi penyediaan kapasitas untuk keadaan gawat darurat
3. Dengan menggunakan antropometri dapat direncanakan atau didesain:
a. Pakaian kerja
b. Workspace
c. Lingkungan kerja
d. Peralatan/ mesin
e. Consumer product
4. Ergonomi dapat digunakan dalam menelaah sistem manusia dan produksi yang kompleks. Hal ini
berlaku dalam industri sektor informal.

C. Metode-Metode Ergonomi
Menurut Nurmianto (2003) dijelaskan bahwa metode ergonomik meliputi :
a. Diagnosis, dapat dilakukan melalui wawancara dengan pekerja, inspeksi tempat kerja penilaian
fisik pekerja, uji pencahayaan, ergonomik checklist dan pengukuran lingkungan kerja lainnya.
Variasinya akan sangat luas mulai dari yang sederhana sampai kompleks.
b. Treatment, pemecahan masalah ergonomi akan tergantung data dasar pada saat diagnosis.
Kadang sangat sederhana seperti merubah posisi meubel, letak pencahayaan atau jendela yang
sesuai. Membeli furniture sesuai dengan demensi fisik pekerja.
c. Follow-up, dengan evaluasi yang subyektif atau obyektif, subyektif misalnya dengan
menanyakan kenyamanan, bagian badan yang sakit, nyeri bahu dan siku, keletihan , sakit kepala
dan lain-lain. Secara obyektif misalnya dengan parameter produk yang ditolak, absensi sakit,
angka kecelakaan dan lain-lain.
Penerapan ergonomi dapat dilakukan melalui dua pendekatan (Anies, 2005), yaitu:
1. Pendekatan Kuratif. Pendekatan ini dilakukan pada suatu proses yang sudah atau sedang
berlangsung. Kegiatannya berupa intervensi, modifikasi atau perbaikan dari proses yang telah
berjalan. Sasaran dari kegiatan ini adalah kondisi kerja dan lingkungan kerja. Dalam
pelaksanaannya terkait dengan tenaga kerja dan proses kerja yang sedang berlangsung.
2. Pendekatan konseptual. Pendekatan ini dikenal sebagai pendekatan sistem dan akan sangat efektif
dan efisien jika dilakukan pada saat perencanaan. Jika terkait dengan teknologi, sejak proses

5
pemilihan dan alih teknologi, prinsip-prinsip ergonomi telah diterapkan. Penerapannya bersama-
sama dengan kajian lain, misalnya kajian teknis, ekonomi, sosial budaya dan lingkungan.
Pendekatan holistik ini dikenal dengan pendekatan teknologi tepat guna.

D. Prinsip Kerja Ergonomi


Setiap individu pekerja dalam menerapkan ergonomic diupayakan untuk berpedoman pada prinsip
kerja secara ergonomis. Hal ini meliputi antara lain:
1. penggunakan tenaga seefisien mungkin saat bekerja. Beban kerja yang berlebih harus
dikurangi atau dihilangkan, bila membawa barang/benda perlu memperhitungkan gaya berat
yang mengacu pada berat badan dan bila perlu gunakan pengungkit/penopang sebagai alat
bantu.
2. Sikap tubuh berdiri, duduk dan jongkok hendaknya disesuaikan dengan prinsip-prinsip
ergonomi.
3. Panca indera dapat dimanfaatkan sebagai alat kontrol, bila susah harus istirahat (jangan
dipaksa) dan bila lapar atau haus harus makan /minum (jangan ditahan).
4. Jantung digunakan sebagai parameter yang diukur lebih dari jumlah maksimum yang
diperbolehkan (Wignjosoebroto, 2003).
Dengan mengetahui prinsip ergonomi tersebut dapat ditentukan pekerjaan apa yang layak digunakan
agar mengurangi kemungkinan keluhan dan menunjang produktivitas.
Menurut Suma’mur (1996) dikemukakan bahwa beberapa prinsip ergonomi sebagai pegangan, antara
lain :
1. Sikap tubuh dalam pekerjaan sangat dipengaruhi oleh bentuk, susunan, ukuran dan
penempatan mesin-mesin, penempatan alat-alat penunjuk, cara-cara harus melayani mesin
(macam, gerak, arah dan kekuatan).
2. Dari sudut otot sikap duduk yang paling baik adalah sedikit membungkuk. Sedangkan dari
sudut tulang duduk yang baik adalah duduk tegak agar punggung tidak bungkuk dan otot
perut tidak lemas. Maka dianjurkan memilih sikap duduk yang tegak yang diselingi istirahat
dan sedikit membungkuk.
3. Pekerjaan berdiri sedapat mungkin dirubah menjadi pekerjaan duduk. Dalam hal tidak
mungkin kepada pekerja diberi tempat dan kesempatan untuk duduk.

6
4. Arah penglihatan untuk pekerjaan berdiri adalah 23-37o kebawah. Arah penglihatan ini sesuai
dengan sikap kepala yang istirahat (relaxed).
5. Ruang gerak lengan ditentukan oleh punggung lengan seluruhnya dan lengan bawah.
Pegangan-pegangan harus diletakkan, lebih-lebih bila sikap tubuh tidak berubah.
6. Macam gerakan yang kontinu dan berirama lebih diutamakan, sedangkan gerakan yang
sekonyong-konyong pada permulaan dan berhenti dengan paksa sangat melelahkan. Gerakan
ke atas harus dihindarkan, berilah papan penyokong pada sikap lengan yang melelahkan.
Hindarkan getaran-getaran kuat pada kaki dan lengan.
7. Pembebanan sebaiknya dipilih yang optimum, yaitu beban yang dapat dikerjakan dengan
pengerahan tenaga paling efisien. Beban fisik maksimum telah ditentukan oleh ILO sebesar
50kg. Cara mengangkat dan menolak hendaknya memperhatikan hukum-hukum ilmu gaya
dan dihindarkan penggunaan tenaga yang tidak perlu. Beban hendaknya menekan langsung
pada pinggul yang mendukungnya.
8. Kemampuan seseorang bekerja seharinya adalah 8-10 jam, lebih dari itu efisien dan kualitas
kerja sangat menurun.

E. Aplikasi Ergonomi di Tempat Kerja


Aplikasi ergonomi dapat dilaksanakan dengan prinsip pemecahan masalah yaitu:
1. melakukan identifikasi masalah yang sedang dihadapi dengan mengumpulkan sebanyak
mungkin informasi.
2. menentukan prioritas masalah dan masalah yang paling mencolok harus ditangani lebih
dahulu. Kemudian dilakukan analisis untuk menentukan alternatif intervensi.
Menurut Anis (2005) bahwa penerapan ergonomi harus memperhatikan hal-hal berikut ini :
1. Kondisi fisik, mental dan sosial harus diusahakan sebaik mungkin sehingga didapatkan tenaga
kerja yang sehat dan produktif.
2. Kemampuan jasmani dapat diketahui dengan melakukan pemeriksaan antropometri, lingkup
gerak sendi dan kekuatan otot.
3. Lingkungan kerja harus memberikan ruang gerak secukupnya bagi tubuh dan anggota tubuh
sehingga dapat bergerak secara leluasa dan efisien.

7
4. Pembebanan kerja fisik dimana selama bekerja peredaran darah meningkat 10 s/d 20 kali.
Meningkatnya peredaran darah pada otot-otot yang bekerja memaksa jantung untuk memompa
darah lebih banyak.
5. Sikap tubuh dalam bekerja. Sikap tubuh dalam bekerja berhubungan dengan tempat duduk, meja
kerja dan luas pandangan. Untuk merencanakan tempat kerja dan perlengkapan yang
dipergunakan, diperlukan ukuran-ukuran tubuh yang menjamin sikap tubuh paling alamiah dan
memungkinkan dilakukan gerakan-gerakan yang dibutuhkan.
Terdapat beberapa aplikasi / penerapan dalam pelaksanaan ilmu ergonomi. Aplikasi / penerapan
tersebut antara lain:
1. Sikap Kerja
Sikap kerja diartikan sebagai kecenderungan pikiran dan perasaan puas atau tidak puas terhadap
pekerjaannya. Kemudian pada saat bekerja perlu diperhatikan postur tubuh dalam keadaan
seimbang agar dapat bekerja dengan nyaman dan tahan lama. Berdasarkan beberapa definisi di atas
dapat dikatakan sikap kerja adalah proses kerja yang sesuai ditentukan oleh anatomi tubuh dan
ukuran peralatan yang digunakan pada saat bekerja (Darlis, 2009).
Sikap tubuh dalam bekerja berhubungan dengan tempat duduk, meja kerja dan luas pandangan.
Untuk merencanakan tempat kerja dan perlengkapannya diperlukan ukuran-ukuran tubuh yang
menjamin sikap tubuh paling alamiah dan memungkinkan dilakukannya gerakan-gerakan yang
dibutuhkan (Nurmianto, 2003). Sikap kerja mencakup sikap duduk dan sikap berdiri.
a. Sikap Duduk

Pekerjaan sejauh mungkin harus dilakukan sambil duduk karena sikap kerja duduk merupakan
sikap kerja dimana kaki tidak terbebani dengan berat tubuh dan posisi stabil selama bekerja.
Duduk memerlukan lebih sedikit energi daripada berdiri karena hal itu dapat mengurangi

8
banyaknya beban otot statis pada kaki. Kegiatan bekerja sambil duduk harus dilakukan secara
ergonomi sehingga dapat memberikan kenyamanan dalam bekerja (Ardana, 2005).
Sikap duduk yang paling baik yaitu tanpa pengaruh buruk terhadap sikap badan dan tulang
belakang adalah sikap duduk dengan sedikit lordosa (sikap tulang punggung ke depan) pada
pinggang dan sedikit mungkin kifosa (sikap duduk ke belakang) pada punggung. Sikap
demikian dapat dicapai dengan kursi dan sandaran punggung yang tepat. Dengan begitu otot
punggung terasa enak (Santoso, 2004).
Sikap duduk yang benar yaitu sebaiknya duduk dengan punggung lurus dan bahu berada
dibelakang serta bokong menyentuh belakang kursi. Caranya, duduk diujung kursi dan
bungkukkan badan seolah terbentuk huruf C. Setelah itu tegakkan badan buatlah lengkungan
tubuh sebisa mungkin. Tahan untuk beberapa detik kemudian lepaskan posisi tersebut secara
ringan (sekitar 10 derajat). Posisi duduk seperti inilah yang terbaik. Duduk dengan lutut tetap
setinggi atau sedikit lebih tinggi panggul (gunakan penyangga kaki) dan sebaiknya kedua
tungkai tidak saling menyilang. Jaga agar kedua kaki tidak menggantung dan hindari duduk
dengan posisi yang sama lebih dari 20-30 menit. Selama duduk, istirahatkan siku dan lengan
pada kursi, jaga bahu tetap rileks (Nurmianto, 2003; Darlis, 2009).
Keuntungan kerja sambil duduk adalah ;
(1) Kurangnya kelelahan,
(2) Berkurangnya pemakaian energi, dan
(3) Berkurangnya sikap keperluan sirkulasi darah.
Namun begitu terdapat pula kerugian-kerugian sebagai akibat kerja sambil duduk antara lain
:
(1) Melembekkan otot-otot perut,
(2) Melengkungkan punggung dan
(3) Tidak baik bagi alat tubuh bagian dalam, khususnya peralatan pencernaan, jika posisi
dilakukan secara membungkuk (Suma’mur, 1996).
Sikap duduk yang keliru merupakan penyebab adanya masalah-masalah punggung. Hal ini
dapat terjadi karena tekanan pada bagian tulang belakang akan meningkat pada saat duduk
dibandingkan dengan saat berdiri ataupun berbaring.
Jika diasumsikan tekanan tersebut sekitar 100% ; maka cara duduk yang tegang atau kaku
(erect posture) dapat menyebabkan tekanan tersebut mencapai 140% dan cara duduk yang

9
dilakukan dengan membungkuk ke depan menyebabkan tekanan tersebut sampai 190%
(Nurmianto, 2003).
Keterbatasan gerak akan akan membiasakan bekerja dengan sikap tubuh yang salah.
Postural/sikap posisi pekerjaan secara salah dan dilakukan menahun akan menyebabkan
keluhan yang dikenal sengan Low back pain (LBP) yaitu otot-otot pingang menjadi lelah
(fatique) menimbulkan ketidakstabilan dari tulang belakang sehingga timbul proses
degeberasi yang dapat menimbulkan keluhan sakit/pegal di daerah pinggang.
Apabila hal ini tidak dikoreksi, maka gangguan kesehatan tersebut akan menyebabkan
penyakit/kelainan dan akhirnya menurunkan kemampuan melakukan aktivitas (Abeysekera,
2002).
Sikap dan sistem kerja yang ergonomis memungkinkan peningkatan produktivitas. Sikap
tubuh dalam bekerja selalu diusahakan dilaksanakan dengan duduk atau dalam sikap duduk
dan sikap berdiri secara bergantian. Duduk lama dengan posisi yang salah akan
menyebabkan otot-otot pinggang menjadi tegang dan dapat merusak jaringan lunak
sekitarnya.
Dan bila ini berlanjut terus akan menyebabkan penekanan pada hernia nucleus
polposus. Hernia polposus yaitu saraf tulang belakang sehingga menyebabkan nyeri
pinggang dan kesemutan yang menjalar ketungkai sampai kaki (Abeysekera, 2002).
Sikap duduk ini sangat dipengaruhi oleh pemakaian kursi. Penerapan ergonomi dalam
pembuatan kursi dimaksudkan untuk mendapatkan sikap tubuh yang ergonomi dalam
bekerja. Tempat duduk (kursi) harus dibuat sedimikian rupa sehingga memberikan relaksasi
pada otot-otot yang sedang dipakai untuk bekerja dan tidak menimbulkan penekanan pada
bagian tubuh yang dapat mengganggu sirkulasi darah dan sensibilitas bagian-bagian tersebut
(Sarmauly, 2009).
Pembuatan bangku dan meja kerja yang buruk atau mesin merupakan penyebab kerja otot
statis dan posisi tubuh yang tidak alamiah. Maka syarat-syarat bangku kerja yang benar
adalah sebagai berikut (Manuaba, 2000):
1. Tinggi area kerja harus sesuai sehingga pekerjaan dapat dilihat dengan mudah dengan
jarak optimal dan sikap duduk yang enak. Makin kecil ukuran benda, makin dekat jarak
lihat optimal dan makin tinggi area kerja.

10
2. Pegangan, handel, peralatan dan alat-alat pembantu kerja lainnya harus ditempatkan
sedemikian pada meja atau bangku kerja, agar gerakan-gerakan yang paling sering
dilakukan dalam keadaan fleksi.
3. Kerja otot statis dapat dihilangkan atau sangat berkurang dengan pemberian penunjang
siku, lengan bagian bawah, atau tangan. Topangan-topangan tersebut harus diberi bahan
lembut dan dapat di sesuaikan, sehingga sesuai bagi pemakainya.
Menurut Nurmianto (2003) bahwa kriteria dan ukuran kursi yang ergonomi berdasarkan
antropometri orang Indonesia adalah :
 Tinggi alas duduk
Diukur dari lantai sampai pada permukaan atas dari bagian depan alas duduk. Ukuran
yang dianjurkan 38-48 cm. Tinggi alas duduk harus sedikit lebih pendek dari jarak
antara lekuk lutut dan telapak kaki
 Panjang alas duduk
Diukur dari pertemuan garis proyeksi permukaan depan sandaran duduk pada
permukaan atas alas duduk sampai kebagian depan alas duduk. Ukuran yang dianjurkan
adalah 36 cm. Panjang alas duduk harus lebih pendek dari jarak antara lekuk lutut dan
garis punggung
 Lebar alas duduk
Diukur pada garis tengah alas duduk melintang. Lebar alas duduk harus lebih besar dari
lebar pinggul. Ukuran yang diusulkan adalah 44- 48 cm
 Sandaran pinggang
Bagian atas dari sandaran pinggang tidak melebihi tepi bawah ujung tulang belikat, dan
bagian bawahnya setinggi garis pinggul
 Sandaran tangan
Jarak antara tepi dalam kedua sandaran tangan (harus lebih lebar dari pinggul dan tidak
melebihi lebar bahu)
 Tinggi Sandaran adalah setinggi siku
Panjang sandaran tangan: sepanjang lengan bawah. Ukuran yang dianjurkan adalah jarak
tepi dalam kedua sandaran tangan: 46-48 cm. Tinggi sandaran tangan adalah 20 cm dari
alas duduk. Panjang sandaran tangan : 21 cm.
 Sudut alas duduk

11
Alas duduk harus sedemikian rupa sehingga memberikan kemudahan bagi pekerja untuk
menentukan pemilihan gerakan dan posisi. Alas duduk hendaknya dibuat horisontal.
Untuk pekerjaan-pekerjaan yang tidak memerlukan sikap sedikit membungkuk ke
depan, alas duduk dapat dibuat ke belakang (3-5 derajat). Bila keadaan memungkinkan,
dianjurkan penyediaan tempat duduk yang dapat diatur.
b. Sikap Berdiri
Sikap kerja berdiri merupakan sikap kerja yang posisi tulang belakang vertikal dan berat
badan tertumpu secara seimbang pada dua kaki. Sikap kerja berdiri dapat menimbulkan
keluhan subjektif dan juga kelelahan bila sikap kerja ini tidak dilakukan bergantian dengan
sikap kerja duduk (Darlis, 2009).
Ukuran tubuh yang penting dalam bekerja dengan posisi berdiri adalah tinggi badan berdiri,
tinggi bahu, tinggi siku, tinggi pinggul, panjang lengan. Bekerja dengan posisi berdiri terus
menerus sangat mungkin akan mengakibatkan penumpukan darah dan beragai cairan tubuh
pada kaki dan ini akan membuat bertambahnya biola berbagai bentuk dan ukuran sepatu
yang tidak sesuai, seperti pembersih (clerks), dokter gigi, perawat, bidan, penjaga tiket,
pasti memerlukan sepatu ketika bekerja (Santoso, 2004).
Apabila sepatu tidak pas maka sangat mungkin akan sobek dan terjadi bengkak pada jari
kaki, mata kaki, dan bagian sekitar telapak kaki. Sepatu yang baik adalah yang dapat
manahan kaki (tubuh) dan kaki tidak direpotkan untuk menahan sepatu, desain sepatu harus
lebih longgar dari ukuran telapak kaki dan apabila bagian sepatu dikaki terjadi penahanan
yang kuat pada tali sendi (ligaments) pergelangan kaki, dan itu terjadi dalam waktu yang
lama, maka otot rangka akan mudah mengalami kelelahan (Santoso, 2004).
Beberapa penelitian telah berusaha untuk mengurangi kelelahan pada tenaga kerja dengan
posisi berdiri, contohnya yaitu seperti yang diungkapkan Granjean (dalam Santoso, 2004)
merekomendasikan bahwa untuk jenis pekerjaan teliti, letak tinggi meja diatur 10 cm di
atas siku. Untuk jenis pekerjaan ringan, letak tinggi meja diatur sejajar dengan tinggi siku,
dan untuk pekerjaan berat, letak tinggi meja diatur 10 cm di bawah tinggi siku (Santoso,
2004).

12
Selain itu, penerapan prinsip ergonomi merupakan upaya penyesuaian pekerjaan dengan manusia,
serta bagaimana merancang tugas, pekerjaan, peralatan kerja, informasi, serta fasilitas di lingkungan
kerja. Menurut Permenkes No. 52 tahun 2018 dijelaskan bahwa penerapan prinsip ergonomi di
Fasyankes dilakukan terhadap:
a. penanganan beban manual;
b. postur kerja;
c. cara kerja dengan gerakan berulang;
d. shift kerja;
e. durasi kerja; dan
f. tata letak ruang kerja.
g. beban kerja
Hal-hal yang perlu diperhatikan yaitu :
a. Penanganan Beban Manual (Manual Handling)
Standar berat objek yang boleh diangkat secara manual tergantung dari letak obyek berada,
dengan rincian sebagai berikut: Penanganan beban manual di Fasyakes sebagian besar terkait
dengan kegiatan memindahkan pasien (mengangkat, mendorong dan memindahkan), contoh
kegiatan memindahkan pasien di tempat tidur sesuai dengan prosedur sebagai berikut:
1) Sesuaikan tinggi tempat tidur dengan pinggang
2) Pastikan tempat tidur/brankar terkunci
3) Badan tidak melintir sebagian dalam menolong, putar badan secara keseluruhan
4) Tekuk kaki untuk penyesuaian bukan membungkukkan punggung (tulang punggung posisi
netral)
5) Ukur kemampuan untuk menolong, upayakan ada penolong atau bantuan.
6) Mengangkat Beban

13
Bermacam-macam cara dalam mengangkat beban yakni, dengan kepala, bahu, tangan,
punggung dan sebagainya. Beban yang terlalu berat dapat menimbulkan cedera tulang
punggung, jaringan otot dan persendian akibat gerakan yang berlebihan (Wignjosoebroto,
2003). Faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan-kegiatan mengangkat dan mengangkut
adalah sebagai berikut :
Beban yang diperkenakan, jarak angkut dan intensitas pembebanan.
a. Kondisi lingkungan kerja yaitu keadaan medan yang licin, kasar, naik turun dll.
b. Keterampilan bekerja
c. Peralatan kerja beserta keamanannya
Harus diperhatikan juga cara mengangkut beban. Cara-cara mengangkut dan mengangkat yang
baik harus memenuhi 2 prinsip kinetis yaitu :
a. Beban diusahakan menekan pada otot tungkai yang keluar dan sebanyak mungkin otot
tulang belakang yang lebih lemah dibebaskan dari pembebanan.
b. Momentum gerak badan dimanfaatkan untuk mengawali gerakan.

14
b. Postur Kerja
Postur kerja dalam memberikan asuhan pelayanan di Fasyankes merupakan salah satu faktor
risiko ergonomi yang menyebabkan gangguan kesehatan jika tidak melakukan proses kerja yang
ergonomi. Postur kerja dalam keadaan duduk harus memperhatikan beberapa hal berikut agar
dapat bekerja dengan nyaman:
1) Pada saat duduk, posisikan siku sama tinggi dengan meja kerja, lengan bawah horizontal dan
lengan atas menggantung bebas.
2) Atur tinggi kursi sehingga kaki Anda bisa diletakkan di atas lantai dengan posisi datar. Jika
diperlukan gunakan footrest terutama bagi SDM yang bertubuh mungil.
3) Sesuaikan sandaran kursi sehingga punggung bawah Anda ditopang dengan baik.
4) Atur meja kerja supaya mendapatkan pencahayaan yang sesuai. Hal ini untuk menghindari
silau, pantulan cahaya dan kurangnya pencahayaan dengan Nilai Ambang Batas peruntukan
pekerjaan yang dilakukan.
5) Pastikan ada ruang yang cukup di bawah meja untuk pergerakan kaki.
6) Hindari tekanan berlebihan dari ujung tempat duduk pada bagian belakang kaki dan lutut.
7) Letakkan semua dokumen dan alat yang diperlukan dalam jangkauan Anda. Penyangga
dokumen (document holder), alat dan bahan dapat digunakan untuk menghindari pergerakan
mata dan leher yang janggal.
Postur kerja dalam keadaan posisi duduk tersebut selengkapnya dapat mengacu kepada peraturan
perundangundangan yang mengatur mengenai standar keselamatan dan kesehatan kerja
perkantoran.
Postur kerja dalam keadaan berdiri harus memperhatikan beberapa hal berikut:

15
1) Postur berdiri yang baik adalah posisi tegak garis lurus pada sisi tubuh mulai dari telinga bahu
pinggul dan mata kaki.
2) Posisi berdiri sebiknya berat badan bertumpu secara seimbang dua kaki
3) Postur berdiri sebaiknya tidak dilakukan dalam jangka waktu yang lama (+12x per menit
dengan beban < 5 kg, contoh: petugas kebersihan.
4) Pekerjaan yang dilakukan dengan menggunakan pergelangan tangan dan jari >20x permenit,
contoh: petugas administrasi, petugas farmasi, dokter gigi, perawat. Untuk mengurangi
gerakan berulang merancang kembali cara dan prosedur kerja yang lebih efektif,
meningkatkan waktu jeda antara aktifitas pengulangan atau mengganti dengan pekerjaan
yang lain.
Duduk yang dilakukan dalam jangka waktu lama dan dalam posisi statis dapat
menimbulkan berbagai gangguan kesehatan. Karena pada sikap kerja statis terjadi kontraksi otot
yang kuat dan lama tanpa ada kesempatan pemulihan yang memadai. Selain itu aliran darah ke
otot juga mengalami hambatan. Umumnya gangguan yang muncul adalah gangguan pada leher,
bahu, punggung, dan lengan. Dari gangguan-gangguan tersebut akan muncul keluhan rasa nyeri
dan pegal-pegal pada beberapa otot tubuh. Adapun keuntungan bekerja dalam posisi duduk
yaitu:
1) Berkurangnya kelelahan pada kaki
2) Terhindarnya sikap-sikap yang tidak alamiah
3) Berkurangnya pemakaian energy
4) Berkurangnya tingkat keperluan sirkulasi darah.
Namun demikian terdapat pula kerugiankerugian sebagai akibat bekerja sambil duduk dalam
posisi yang tidak alamiah, yaitu:
1) Melembeknya otot-otot perut
2) Melengkungnya punggung
3) Tidak baik bagi alat-alat dalam, khususnya organ pencernaan, jika posisi duduk dilakukan
secara membungkuk dalam jangka waktu lama.

16
Sartika, Nurrachmah, Sukirman et al (2021) menjelaskan dalam penelitiannya bahwa salah satu
prinsip ergonomis yang perlu diterapkan oleh individu dalam bekerja adalah posisi berdiri yang
tidak janggal yaitu dengan posisi punggung vertikal dan berat badan seimbang pada kedua kaki.
Postur janggal pada saat duduk atau berdiri akan meningkatkan beban kerja otot sehingga jumlah
kerja yang diperlukan lebih besar, karena tidak efisiennya transfer energi dari otot ke sistem
rangka sehingga mudah menimbulkan kelelahan. Selain itu, postur kerja berdiri dapat
menyebabkan beberapa masalah pada sistem muskuloskeletal seperti LBP terutama pada posisi
kerja berdiri dengan punggung condong ke depan.
c. Proses Kerja
Para pekerja dapat menjangkau peralatan kerja sesuai dengan posisi waktu bekerja dan sesuai
dengan ukuran anthropometrinya. Harus dibedakan ukuran anthropometri barat dan timur
(Wignjosoebroto, 2003). Istilah anthropometri berasal dari kata anthro yang berarti manusia
dan metri yang berarti ukuran. Anthropometri dapat didefinisikan sebagai satu studi yang

17
berkaitan dengan ukuran dimensi tubuh manusia. Adapun faktor-faktor yang turut mempengaruhi
dimensi tubuh manusia yang menyebabkan timbulnya perbedaan antar populasi yaitu jenis
kelamin, usia, jenis pekerjaan, dan faktor kehamilan pada wanita (Nurmianto, 2003).
Data anthropometri sangat penting dalam menentukan alat dan cara mengoperasikannya.
Kesesuaian hubungan antara anthropometri pekerja dengan alat yang digunakan sangat
berpengaruh pada sikap kerja, tingkat kelelahan, kemampuan kerja dan produktivitas kerja.
Anthropometri juga dapat ditentukan dalam seleksi penerimaan tenaga kerja, misalnya orang
gemuk tidak cocok ditempat pekerjaan yang bersuhu tinggi, pekerjaan yang memerlukan
kelincahan, dll. Data anthropometri dapat digunakan untuk mendesai pakaian, tempat kerja,
lingkungan kerja, mesin, alat kerja dan sarana kerja serta produk-produk untuk konsumer
(Nurmianto, 2003).
d. Tata Letak Tempat Kerja
Tempat Kerja adalah tiap ruangan atau lapangan tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap, di
mana Tenaga Kerja bekerja atau yang sering dimasuki Tenaga Kerja untuk keperluan suatu usaha
dan dimana terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya termasuk semua ruangan, lapangan,
halaman dan sekelilingnya yang merupakan bagian-bagian atau yang berhubungan dengan
Tempat Kerja tersebut.
Display harus jelas terlihat pada waktu melakukan aktivitas kerja. Sedangkan simbol yang berlaku
secara internasional lebih banyak digunakan daripada kata-kata (Manuaba, 2000). Ruang Kerja
Setiap ruang kerja harus dibuat dan diatur sedemikian rupa, sehingga tiap sumber daya manusia
yang bekerja dalam ruangan itu mendapat ruang udara yang minimal 10 m3 dan sebaiknya 15 m³.
Tata letak ruang kerja di Fasyankes harus memperhatikan house keeping yang baik, diantaranya:
1) Pelaksanaan Pemeliharaan dan Perawatan Ruang Kerja Lantai bebas dari bahan licin,
cekungan, miring, dan berlubang yang menyebabkan kecelakan dan cidera pada SDM
Fasyankes.
2) Desain Alat dan Tempat Kerja
a) Penyusunan dan penempatan lemari peralatan dan material kerja tidak mengganggu aktifitas
lalu lalang pergerakan SDM Fasyankes.
b) Penyusunan dan pengisian lemari peralatan dan material kerja yang berat berada di bagian
bawah.

18
c) Dalam pengelolaan benda tajam, sedapat mungkin bebas dari benda tajam, serta siku-siku
lemari peralatan dan material kerja maupun benda lainnya yang menyebabkan cidera pada
petugas.
3) Pengelolaan Listrik dan Sumber Api
Dalam pengelolaan listrik dan sumber api, terbebas dari penyebab elektrikal syok. Prosedur
kerja yang aman di ruang kerja Fasyankes harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a) Dilarang berlari di ruang kerja.
b) Semua yang berjalan di lorong ruang kerja dan di tangga diatur berada sebelah kiri.
c) Sumber daya manusia yang membawa tumpukan barang yang cukup tinggi atau berat harus
menggunakan troli dan tidak boleh naik melalui tangga tapi menggunakan lift barang bila
tersedia.
d) Tangga tidak boleh menjadi area untuk menyimpan barang, berkumpul, dan segala aktivitas
yang dapat menghambat lalu lalang.
e) Bahaya jatuh dapat dicegah melalui kerumahtanggaan Fasyankes yang baik, cairan tumpah
harus segera dibersihkan dan potongan benda yang terlepas dan pecahan kaca harus segera
diambil.
f) Bahaya tersandung dapat diminimalkan dengan segera mengganti ubin rusak dan karpet
usang.
g) Menggunakan listrik dengan aman.
Bila ukuran meja dan kursi kerja yang tidak sesuai mengakibatkan posisi kaki menekuk dengan sudut
yang terlalu kecil. Hal ini berdampak pada terhambatnya kelancaran sirkulasi darah di daerah tersebut
dalam waktu yang lama.
d. Shift Kerja
Shift kerja adalah semua pengaturan jam kerja, sebagai pengganti atau sebagai tambahan kerja
pagi dan sore hari sebagaimana yang biasa dilakukan (Lintje, 2010). Menurut Kuswadji (dalam
Revalicha & Sami’an, 2013) shift kerja adalah semua pengaturan jam kerja, sebagai pengganti atau
sebagai tambahan kerja siang hari, sebagaimana yang biasa dilakukan. Definisi yang lebih
operasional dari shift kerja disebutkan sebagai pekerjaan yang secara permanen, pekerjaan yang
jam kerjanya tidak biasa atau pekerjaan yang jamnya selalu berubah dan juga tidak teratur.
Sementara itu, Suma’mur (dalam Supomo, 2014) mengatakan bahwa shift kerja merupakan pola
waktu kerja yang diberikan pada tenaga kerja untuk mengerjakan sesuatu dan biasanya dibagi atas

19
kerja pagi, sore dan malam. Wijaya dan Suparniati (dalam Supomo, 2014) menyatakan bahwa shift
kerja dapat berperan penting terhadap permasalahan pada manusia yang dapat meluas menjadi
gangguan tidur, gangguan fisik dan psikologi, dan gangguan sosial serta kehidupan keluarga.
Adapun aspek-aspek shift kerja menurut Maurits dan Widodo (dalam Badriyah, 2016) adalah
aspek fisiologis, psikologis serta domestik dan social.
Shift kerja harus memperhatikan durasi kerja yang sesuai dengan peraturan yaitu 40 jam per
minggu, sehingga shift kerja yang disarankan sebaiknya yang 3 shift dengan masing-masing shift 8
jam kerja selama 5 hari kerja per minggu atau sesuai peraturan yang ada. Menurut Tayari dan
Smith (1997:201) ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk manajemen Shift kerja adalah
sebagai berikut. 1. Jika memungkinkan lamanya kerja Shift malam dikurangi tanpa mengurangi
kompensasi dan benefit lainnya.
2. Jumlah karyawan Shift malam yang diperlukan seharusnya ditambah untuk mengurangi jumlah
hari kerja pekerja Shift malam.
3. Lamanya kerja Shift tidak melebihi 8 jam.
4. Tiap Shift sore seharusnya diikuti dengan paling sedikit 24 jam libur dan tiap Shift malam
dengan paling sedikit 2 hari libur, sehingga pekerja dapat mengatur kebiasaan tidur mereka.
5. Memungkinkan adanya interaksi sosial dengan teman kerja.
6. Musik yang tidak monoton selama bekerja Shift malam sangat berguna.
Menurut Christopher Wild sebagai kepala dari The International Agency for Research on Cancer
(IARC) (2010:573) mengatakan dalam jurnal yang dipublikasikannya tentang shift kerja bahwa
sistem shift kerja berbeda antara negara satu dengan negara lainnya. Shift kerja dibagi menjadi 3
jenis, yaitu:
1. Permanent. Dimana orang bekerja secara teratur pada satu shift saja yaitu pagi atau sore atau
malam hari, atau dirotasi (2 atau 3 orang bergantian pada shift yang berbeda).
2. Continous & Discontinous. Continous biasanya bekerja dalam waktu seminggu penuh
sedangkan discontinous yaitu libur pada akhir pekan atau pada hari minggu saja.
3. With or Without Night Work. Shift kerja dapat dilakukan pada setiap atau hanya sebagian malam
saja, dan jumlah kerja malam per minggu atau bulan atau tahun bisa bervariasi.
Menurut Kroll (2010:75) shift kerja terdiri dari dua indikator, antara lain:
1. Pembagian waktu shift yaitu perputaran jam kerja yang dilakukan perusahaan secara cepat
maupun lambat dengan jangka waktu dua hari hingga satu bulan.

20
2. Pergantian shift kerja yaitu pergantian jam kerja yang diinginkan karyawan dengan mengubah
jadwal kerja yang sudah ditentukan perusahaan.
e. Durasi Kerja
Durasi kerja merupakan jumlah waktu yang dihabiskan oleh pekerja (dalam hitungan jam) untuk
melakukan aktivitas pekerjaannya dalam 1 hari, tidak termasuk waktu untuk istirahat. Durasi kerja
akan sangat menentukan status kesehatan pekerja, efisiensi, efektivitas, dan produktivitas kerjanya.
Aspek terpenting dalam hal durasi kerja meliputi:
(1) lamanya seseorang mampu bekerjan dengan baik,
(2) hubungan antara durasi kerja dengan istirahat, dan
(3) waktu bekerja sehari menurut periode waktu yang meliputi pagi, siang, sore, dan malam hari
(Suma‟mur, 2014).
Lamanya seseorang bekerja dengan baik dalam sehari pada umumnya berkisar dari 6 hingga 10
jam. Sisanya dipergunakan untuk kehidupan dalam keluarga dan masyarakat, istirahat, tidur, dan
lain-lain. Memperpanjang waktu kerja lebih dari kemampuan lama kerja tersebut biasanya tidak
disertai efisiensi, efektivitas dan produktivitas kerja yang optimal, bahkan biasanya terlihat
penurunan kualitas dan hasil kerja. Bekerja dengan waktu yang berkepanjangan cenderung
menimbulkan terjadinya kelelahan, gangguan kesehatan, penyakit dan kecelakaan serta
ketidakpuasan (Suma‟mur, 2014).
Pengaturan durasi kerja dan durasi istirahat harus disesuaikan dengan sifat, jenis pekerjaan, dan
faktor lingkungan yang mempengaruhinya. Namun demikian, secara umum di Indonesia telah
ditetapkan lamanya waktu kerja sehari maksimum adalah 8 jam kerja dan selebihnya adalah waktu
istirahat (untuk kehidupan keluarga dan sosial kemasyarakatan). Memperpanjang durasi kerja lebih
dari itu hanya akan menurunkan efisiensi kerja, meningkatkan kelelahan, kecelakaan dan penyakit
akibat kerja. Menurut Tarwaka et al. (2004), dalam hal lamanya durasi kerja melebihi ketentuan
yang telah ditetapkan (8 jam per hari atau 40 jam seminggu), maka perlu diatur waktu-waktu
istirahat khusus agar kemampuan kerja dan kesegaran jasmani tetap dapat dipertahankan dalam
batas-batas toleransi. Pemberian waktu istirahat tersebut secara umum dimaksudkan untuk:
a. Mencegah terjadinya kelelahan yang berakibat kepada penurunan kemampuan fisik dan mental
serta kehilangan efisiensi kerja.
b. Memberi kesempatan tubuh untuk melakukan pemulihan atau penyegaran.
c. Memberi kesempatan waktu untuk melakukan kontak sosial.

21
Durasi kerja untuk setiap karyawan menurut Pasal 77 dan 78 UU RI No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan yaitu:
1) 7 (tujuh) jam 1 (hari) dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja
dalam 1 (satu) minggu;
2) 8 (delapan) jam 1 (hari) dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja
dalam 1 (satu) minggu.
2) Jika terdapat kerja lembur harus mendapat persetujuan sumber daya manusia yang bersangkutan
dengan ketentuan waktu kerja lembur paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14
(empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu. Aktivitas rutin setiap 2 jam kerja sebaiknya diselingi
peregangan.
Salah satu latihan peregangan yang dapat dilakukan adalah stretching Mc.Kenzie Extension.
Lima gerakan stretching Mc.Kenzie Extensionyaitu: Prone lying, Prone lying on elbows,Prone
press-ups, Progre ssive extension with pillows, dan Standing extension diberikan secara
berurutan. Setiap gerakan dalam stretching dilakukan sebanyak 10 hitungan dengan repetisi
sebanyak 3 kali pengulangan. Total waktu stretching kurang lebih 10 – 15 menit, dengan
perhitungan waktu setiap gerakan berkisar antara 2 – 3 menit. Metode ini memiliki prinsip
untuk menguatkan otot-otot ekstensor punggung dan merelaksasikan otot abdomen (perut) juga
gluteus maximus. Karena latihan peregangan ini menekankan kepada penguatan, relaksasi,
fleksibilitas, dan penguluran, maka latihan ini termasuk dalam jenis flexibility stretching.
f. Beban kerja
Beban kerja yang berlebihan dapat meminimalkan tenaga yang digunakan saat bekerja sehingga
terhindar dari kelelahan dan kecelakaan kerja. Beban kerja adalah adalah banyaknya tugas
dengan tanggung jawab yang harus dilakukan organisasi atau unit‐unitnya dalam satuan waktu
dan jumlah tenaga kerja tertentu. Menurut Suma’mur bahwa aktivitas kerja yang dilakukan
melibatkan semua organ tubuh, otot, dan otak, sehingga peningkatan aktivitas kerja
mengindikasikan terjadi peningkatan beban kerja. Beban kerja terdiri dari dua, yaitu beban kerja
fisik dan beban kerja mental. Menurut Tarwaka bahwa beban kerja fisik melibatkan penggunaan
otot atau memerlukan usaha fisik untuk melakukan pekerjaan tersebut. Setiap melakukan
aktivitas kerja, maka mengakibatkan perubahan fungsi faal pada organ tubuh, diantaranya
adalah konsumsi oksigen atau kebutuhan oksigen, laju detak jantung, peredaran udara atau
ventilasi paru-paru, temperature tubuh, konsentrasi asam laktat dalam darah, komposisi kimia

22
dalam darah dan jumlah air seni, tingkat penguapan melalui keringat, dan lain-lain. Ambar
mengemukakan bahwa aspek- aspek dari beban kerja meliputi aspek tugas-tugas yang harus
dikerjakan, aspek seorang atau kelompok orang yang mengerjakan tugas-tugas tersebut, aspek
waktu yang digunakan untuk mengerjakan tugastugas tersebut, dan aspek keadaan/ kondisi
normal pada saat tugas-tugas tersebut dikerjakan.
Jika pekerja mengangkat benda yang berat maka akan menyebabkan beban mekanis, iritasi,
peradangan, kelelahan otot, kerusakan otot, tendon, dan jaringan lainnya. Hal ini didukung oleh
penelitian yang dilakukan oleh Nurwahuni et al. (2012), yang melaporkan bahwa persentase
tertinggi pekerja yang mengalami keluhan LBP adalah pekerja dengan berat badan lebih dari 25
kg. Penelitian yang dilakukan oleh Kurniawidjaja et al. (2014) juga menunjukkan bahwa
pemindahan pasien yang dianggap paling berisiko juga ditunjukkan. Studi ini membuktikan
bahwa pemindahan pasien memiliki hubungan yang signifikan dengan tingkat risiko LBP.
Salah satu instrument yang dapat digunakan dalam menilai ergonomic yaitu sebagi berikut :

23
SIMPULAN
Rumah sakit merupakan tempat kerja yang memiliki risiko tinggi terhadap keselamatan dan
kesehatan sumber daya manusia rumah sakit, pasien, pendamping pasien, pengunjung, maupun
lingkungan rumah sakit. Perawat merupakan tenaga kesehatan dengan faktor resiko paparan yang
paling besar Dalam pelayanan kesehatan, pasien berkedudukan sebagai konsumen dibidang
pelayanan kesehatan. Namun,selain sebagai konsumen, pasien juga mempunyai peran untuk
mendukung kinerja pelayanan kesehatan dari Rumah Sakit yang semata-mata tujuan pelayanan
adalah meningkatkan taraf keselamatan pasien.
Faktor lingkungan kerja dan faktor internal adalah dua hal yang mempengaruhi risiko fisik yang
dapat dialami oleh perawat. Ergonomi adalah komponen kegiatan dalam ruang lingkup
Hiperkes(Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja) yang antara lain meliputi penyerasian pekerjaan

24
terhadap tenaga kerja secara timbal-balik untuk efisiensi dan kenyamanan kerja. Penerapan ergonomi
di Rumah Sakit bagi para perawat, berarti suatu ilmu yang mempelajari tentang interaksi antara alat
atau fasilitas kerja di Rumah Sakit dengan perawatnya pada saat mereka melakukan pekerjaan,
kemudian dengan lingkungan kerjanya, sehingga pekerjaan yang dilakukan dapat berjalan secara
aman, efektif dan efisien. Posisi ergonomi merupakan posisi kerja yang seharusnya dilakukan selama
melakukan intervensi keperawatan untuk mencegah terjadinya resiko akibat kerja. Maka,ini
membuktikan bahwa kondisi ergonomis sangat berperan penting dalam penyembuhan atau
pencegahan suatu penyakit pasien serta bertujuan untuk menjangkau agar pasien tetap selamat.

TUGAS INDIVIDU
1. Lakukan evaluasi ergonomic terhadap diri sendiri selama melakukan pekerjaan sebagai perawat di
ruangannya masing-masing. Evaluasi meliputi shift kerja, durasi, beban kerja, jenis kerja, posisi
kerja, keluhan yang dirasakan.
2. Lakukan penilaian diri sendiri menggunakan ERBA instrument.

DAFTAR PUSTAKA
Balaputra, Ishana & Adi, Heru, Sutomo. (2017). Pengetahuan ergonomi dan postur kerja perawat
pada perawatan luka dengan gangguan muskuloskeletal di dr. H. Koesnadi Bondowoso. BKM
Journal of Community Medicine and Public Health, 33(9), 445-448.
Fanny, Nabilatul. (2017). Hubungan Antara Keergonomisan Meja dan Kursi dengan Kinerja Petugas
di Tempat Pendaftaran Pasien RS PKU ‘Aisyiyah Boyolali. Indonesian Journal On Medical
Science, 4(1).
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2016 Tentang Keselamatan Dan
Kesehatan Kerja Rumah Sakit.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 52 Tahun 2018 Tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Santoso, Gempur. 2004. Ergonomi (Manusia, Peralatan, Lingkungan). Jakarta : Prestasi Pustaka.
Sartika D, Nurrachmah E, Sukirman DI, Mansyur M, Supartono B. Ergonomic Risk-prone Activities
toward Nurses in the Intensive Care and Emergency Room. Open Access Maced J Med Sci
[Internet]. 2021 Dec. 25 [cited 2022 Dec. 2];9(T5):48-53. Available from:
https://oamjms.eu/index.php/mjms/article/view/7851

25
Soedirman & Suma‟mur, P. K. (2014). Kesehatan kerja dalam perspektif hiperkes dan keselamatan
kerja. Magelang: Erlangga.
Suma‟mur, P. K. (2014). Higiene perusahaan dan kesehatan kerja (Hiperkes). Jakarta: Sagung Seto.
Tarwaka, Solichul HA, Bakri, Lilik S. 2004. Ergonomi Untuk Keselamatan, Kesehatan
Kerja dan Produktivitas. Surakarta: UNIBA Press.
Tarwaka. (2015). Ergonomi Industri: Dasar-Dasar Pengetahuan Ergonomi Dan Aplikasi Di Tempat
Kerja. Surakarta: Harapan Press.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Waters, TS and Puts, Anderson, V. 2005. Manual Materials Handling Occupational Ergonomics
Theory And Application. New York : Marcell Dekker Inc.
Wignjosoebroto, S. (2009). Pengantar Teknik Dan Manajemen Industri. Surabaya: Guna Widya.

26

Anda mungkin juga menyukai