Kata Pengantar
.........................................................................................................................
Daftar isi
...................................................................................................................................
Bab 1
Pendahuluan.............................................................................................................
......
1.1.Latar
Belakang ..............................................................................................................
........
1.2.Rumusan
Masalah................................................................................................................
..
1.3.
Tujuan .................................................................................................................
.................
1.4.Manfaat ...............................................................................................................
...................
a. Pemeriksaan
SuhuTubuh..................................................................................................
b. Pengukuran
Nadi..............................................................................................................
c. Menghitung
Pernapasan...................................................................................................
d. Pengukuran Tekanan
Darah.............................................................................................
Bab 3 Penutup
3.1.
Kesimpulan ...............................................................................................................
............
3.2.
Saran ..........................................................................................................................
..........
BAB I
PENDAHULUAN
TINJAUAN TEORI
1.
2.
2.1. Tanda-Tanda Vital
Tanda-tanda vital (TTV) merupakan indikator dari status kesehatan yang
menandakan keefektifan sirkulasi, respirasi, fungsi neural, dan endokrin
tubuh (Potter & Perry, 2005).
Pemeriksaan tanda-tanda vital adalah suatu kegiatan yang dilakukan
untuk mengkaji keadaan klien sebelum kita menentukan diagnosa
keperawatan yang selanjutnya sebagai dasar melakukan asuhan
keperawatan (BPPSDM Kesehatan, 2016).
Pemeriksaan tanda-tanda vital wajib dilakukan untuk memberi gambaran
awal klien atau pasien. Dengan pemeriksaan tanda-tanda vital yang akurat
dapat diketahui keadaan klien baik yang baru maupun yang sudah lama
dirawat, karena perubahan tanda vital merupakan indikator perkembangan
klien.
Tujuan dari pemeriksaan tanda – tanda vital yaitu memantau kondisi atau
mengidentifikasi masalah klien, mengevaluasi respon klien terhadap
intervensi keperawatan maupun medis yang dilakukan. Teknik dasar
tanda–tanda vital seperti inspeksi, palpasi, dan auskultasi untuk
memperoleh tanda vital. Tanda vital dan pemeriksaan fisiologis lainnya
adalah dasar dari pemecahan masalah klinis.
Tanda–tanda vital meliputi suhu, denyut nadi, pernapasan, dan tekanan
darah. Pengukuran tanda vital menyediakan data untuk menentukan status
kesehatan klien (data dasar).
Banyak faktor yang dapat menyebabkan perubahan tanda vital sampai
keluar rentang normal, seperti umur, sex, berat badan, suhu lingkungan,
kegiatan fisik klien, dan pengaruh penyakit. Perubahan tanda vital
menunjukan adanya perubahan pada fungsi fisiologis. Pemeriksaan tanda
vital menyediakan data untuk mengenali diagnosis keperawatan, melalui
intervensi, dan mengevaluasi hasil perawatan. Perubahan tanda vital
menandakan dibutuhkannya intervensi medis atau keperawatan.
1.
2.
2.1.
2.2.
2.2.1.
2.) Faktor yang Mempengaruhi Suhu Tubuh
Perawat harus tanggap dengan sejumlah faktor yang dapat
mempengaruhi suhu tubuh klien sehingga mereka dapat mengenali
variasi suhu tubuh yang normal dan tidak. Faktor - faktor yang
mempengaruhi suhu tubuh antara lain :
Usia. Bayi sangat dipengaruhi oleh suhu lingkungan dan
harus dilindungi dari perubahan suhu yang sangat ekstrim.
Suhu tubuh anak akan terus bervariasi dibandingkan suhu
orang dewasa hingga menginjak pubertas atau masa
remaja. Sebagaian lansia terutama mereka yang berada
diatas usia 75 tahun, beresiko mengalami hiportemia (suhu
tubuh dibawah 36oc) karena berbagai alasan, seperti diet
makanan yang tidak adekuat, kehilangan lemak subkutan,
kurangnya aktifitas, dan penurunan efisiensi pengaturan
suhu (Termoregulator).
Variasi diurnal (irama sirkadian). Suhu tubuh normalnya
akan berubah sepanjang hari, dengan perbedaan 1oC antara
pagi dan sore hari. Suhu tubuh tertinggi biasanya terjadi
antara pukul 20.00 dan 24.00 (pukul 08.00 malam dan
tengah malam), dan titik suhu terendah terjadi pada saat
tidur, yaitu pada pukul 04.00 - 06.00 (pukul 4 dan 6 pagi).
Olahraga. Kerja berat dan olahraga yang keras dapat
meningkatkan suhu tubuh hingga 38,3OC - 40oC apabila
diiukkur melalui rektal.
Hormon. Wanita biasanya mengalami fluktuasi hormon
lebih sering dari pada pria. Pada wanita, sekresi
progesteron pada saat ovulasi dan meningkatkan suhu
tubuh sekitar 0,3 - 0,6oC diatas suhu basal (Ladewig,
London, & Olds, 1998).
Stress. Stimulsi pada sistem saraf simpatis dapat
meningkatkan produksi epinefrin dan norepinefrin yang
akan meningkatkan aktifitas basal dan produksi panas.
Lingkungan. Suhu tubuh ekstrim dapat mempengaruhi
sistem pengaturan suhu tubuh seseorang. Jika suhu tubuh
dikaji dalam ruangan yang hangat dan tidak dapat di
modifikasi melalui proses konfeksi, konduksi, atau radiasi,
suhu tubuh akan meningkat. Selain itu, apabila klien
berada diluar ruangan yang suhunya sangat dingin tanpa
menggunakan pakaian yang sesuai suhu tubuhnya akan
rendah.
1.
2.
2.1.
2.2.
2.2.1.
2.2.2.
3.) Perubahan Suhu Tubuh
Ada dua jenis perubahan yang utama pada suhu tubuh: Pireksia
dan Hipotermia.
Pireksia
Suhu tubuh yang berada diatas rentang umum disebut sebagai
Pireksia, Hipertermia, atau (dalam bahas umum) demam.
Demam yang sangat tinggi, seperti 41oC disebut dengan
hiperpireksia. Klien yang mengalami demam biasanya
disebut Febris, dan klien yang tidak mengalami demam
disebut Afebris.
Semua tanda tersebut muncul akibat adanya perubahan set
point pada mekanise pengontrolan suhu yang diatur oleh
hipotalamus. Pada kondisi normal, ketika suhu inti naik
diatas 37oC, laju pengeluaran panas akan meningkat sehingga
suhu tubuh akan meningkat ke set point. Meskipun demikian
dalam keadaan demam, set point pada termostat hipotalamus
berubah secara tiba-tiba dari tingkat normal ketingkat lebih
tinggi (seperti 39,50C) akibat pengaruh kerusakan sel, zat-zat
pirogen, atau dehidrasi pada hipotalamus. Meskipun set point
berubah secara cepat, suhu inti tubuh (misalnya suhu darah)
baru akan mencapai set point yang baru dalam beberapa jam.
Selama interfal tersebut, terjadi respon produksi panas yang
biasanya muncul, yakni meriang, kedinginan, kulit dingin
akibat vasokontriksi, dan menggigil yang dapat menyebabkan
peningkatan suhu tubuh .
Ketika suhu inti mencapai set point yang baru, individu tidak
akan merasakan dingin ataupun panas dan tidak lagi meriang.
Tanda-tanda yang lain dapat muncul selama proses demam,
tergantung pada derajat peningkatan suhu. Suhu yang sangat
tinggi, seperti 41-42oC dapat merusak parenkim sel di seluruh
tubuh, terutama otak. Kerusakan pada sel neuron ini sifatnya
ireversibel. Kerusakan pada hati, ginjal, dan ogan tubuh
lainnya juga cukup berat sehingga dapat mengganggu fungsi
tubuh dan pada akhirnya menyebabkan kematian.
Ketika penyebab kenaikan suhu tubuh dihilangkan secara
tiba-tiba, set point pada termorstat hipotalamus akan
langsung turun ke nilai yang lebih rendah, bahkan mungkin
kembali ketingkat yang normal. Pada keadaan ini,
hipotalamus mencoba menurunkan suhu menjadi 37oC. Lalu
muncul respon pengeluaran panas yang mengakibatkan
penurunan suhu tubuh, yakni keringat dan kulit panas
kemerahan akibat fase dilatasi yang tiba-tiba. Perubahan
yang tiba-tiba ini dikenal dengan tahap krisis , semburat, atau
tahap penurunan demam (pemulihan) pada kondisi pireksia.
Intervensi keperatawan bagi klien yang mengalami demam
ditujukan untuk mendukung proses fisiologis normal tubuh,
meberikan kenyamanan, dan menjegah komplikasi. Selama
episode demam, perawat perlu mengawasi tanda-tanda vital
klien secara saksama.
Tindakan keperawatan selama fase meriang ditujukan untuk
membantu klien mengurangi pengeluaran panas. Pada masa
ini, porses fisiologis tubuh berupa meningkatkan suhu initi ke
suhu set point yang baru. Selama fase sembura atau fase
kritis, proses dalam tubuh berupaya menurunkan suhu inti ke
suhu set point yang normal atau yang telah turun. Pada masa
ini perawat melakukan sejumlah tindakan untuk
meningkatkan pengeluaran panas dan menurunkan produksi
panas.
Hipotermia
Hiportemia adalah nilai suhu inti yang berada dibawah nilai
normal. Tiga mekanisme hiportemia antara lain :
a.) pengeluaran panas yang berlebihan.
b.) produksi panas yang tidak adekuat untuk mengimbangi
kehilangan panas.
c.) kerusakan termoregulasi hipotalamus.
1.
2.
2.1.
2.2.
2.2.1.
2.2.2.
2.2.3.
4.) Macam – macam Pengukuran Suhu Tubuh
Empat lokasi yang bisa digunakan untuk mengukur suhu tubuh
adalah oral, rektum, aksila, dan membran timpani. Setiap lokasi
tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing.
a.) Metode oral menggambarkan perubahan suhu tubuh yang
lebih cepat daripada metode rektal. Perlu diperhatikan pada
pengukuran suhu secara oral yaitu sebelum diukur pastikan
pasien tidak minum air panas atau dingin sebelum
pengukuran dan metode ini hanya dilakukan pada orang
dewasa . Apabila pasien/klien baru saja mengkonsumsi
makanan atau cairan yang panas atau dingin, perawat harus
menunggu selama 30 menit sebelum mengukur suhu
secara oral untuk meyakinkan bahwa suhu yang ada
dibawah lidah tidak dipengaruhi oleh suhu makanan,
cairan, atau asap rokok yang hangat. Metode lewat oral ini
membutuhkan waktu + 2 menit (Baker et al, 1984).
Cara pengukuran:
Pasien/Klien harus punya termometer sendiri
Pasien diberitahu apa yang akan dilakukan
Mulut dibuka, letakan termometer dibawah lidah
Mulut dikatupkan kurang lebih selama 2 - 5 menit
Bernafas melalui hidung
Setelah 2 - 5 menit termometer diangkat dan
langsung dibaca dan dicatat.
b.) Pengukuran suhu tubuh secara rektal terbukti sangat
akurat. Pengukuran suhu melalui rektal memerlukan waktu
+ 2 menit (dewasa 2,5 – 3,5 cm dan anak 1,2 – 2,5 cm).
Pada beberapa lembaga, pengukuran suhu secara rektal
dikontraindikasikan untuk klien yang menderita infark
miokard. Beberapa orang meyakini bahwa ketika
memasukan termometer ke dalam rektum akan terjadi
stimulasi vagal, yang pada akhirnya dapat menyebabkan
kerusakan miokardium. Pengukuran suhu secara rektal
dikontraindikasikan untuk klien yang menjalani bedah
rektum, menderita diare atau penyakit lain pada rektum,
mengalami gangguan imun, memiliki kelainan pembekuan
darah, atau menderita hemoroid yang parah (Kucha, 1972).
Cara pengukuran:
Alat-alat disiapkan
Pasien diberitahu
Miringkan (posisi Sim)
Turunkan pakaian pasen sampai bokong
Termometer dioles vaselin, masukan melalui anus
sebatas reservoir air raksa.
Tunggu 3 menit
Keluarkan, lap dan baca serta catat
c.) Pengukuran melalui aksila (ketiak) biasanya merupakan
lokasi yang digunakan untuk mengukur suhu tubuh pada
bayi baru lahir, sebab lokasinya mudah dijangkau dan
tidak berpeluang menimbulkan perforasi rektum.
Pengukuran suhu tubuh dengan metode ini sesuai
dilakukan pada klien dewasa yang mengalami inflamasi
oral atau terpasang kawat pada rahang, klien yang baru
pulih dari bedah oral, klien yang tidak bisa bernafas
melalui hidung, klien irasional dan klien yang
dikontraindikasikan untuk menjalani pengukuran suhu
ditempat lain. Pengukuran suhu melalui aksila memerlukan
waktu sekitar 5 menit (Eoff dan Joyce, 1981).
Alat Cara pengukuran menggunakan termometer air raksa:
pengukur didekatkan
Pasien diberitahu apa yang akan dilakukan
Lengan baju dibuka
Ketiak dikeringkan
Termometer di chek/air raksa di posisi nol
Letakan reservoir ditengah ketiak dan jepit
Tunggu 10 menit ---- angkat dan langsung baca dan
catat
Termometer bersihkan dan keringkan
Air raksa diturunkan ke nol
d.) Pengukuran suhu melalui membran timpani, atau jaringan
disekitar saluran telinga, merupakan lokasi lain untuk
pengukuran suhu inti tubuh. Membran timpani memiliki
suplai aliran darah yang sangat banyak, terutama dari
cabang arteri karotis. Termometer timpani elektronik telah
banyak digunakan di tatanan rawat jalan dan perawatan
ambulasi.
Selain empat lokasi yang biasa digunakan untuk mengukur
suhu diatas, dahi juga bisa dijadikan tempat untuk
mengukur suhu dengan termometer kimiawi. Pengukuran
suhu pada dahi paling bermanfaat untuk bayi dan anak-
anak karena tidak membutuhkan pengukuran yang lebih
invasif. Apabila dahi mengindikasikan peningkatan suhu,
perawat perlu menggunakan termometer kaca atau
elektronik untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat.
b. Pengukuran Nadi
Nadi merupakan gelombang darah yang dihasilkan oleh konterksi
ventrikel kiri jantung. Umumnya, gelombang nadi mewakili volume
sekuncup dan jumlah darah yang memesuki arteri pada setiap kontaksi
vetrikel. Pengukuran nadi merupakan cara menghitung frekuensi
denyut nadi (loncatan aliran darah yang dapat teraba pada berbagai
titik tubuh) melalui perabaan pada nadi.
Tujuan dari pengukuran nadi yaitu untuk menghitung jumlah denyut
nadi, mengetahui keadaan umum klien, mengetahui integritas sistem
sistem kardiovaskuler, mengikuti perkembangan jalannya penyakit.
Pengkajian pada nadi ada frekuensi, irama, pengisian nadi, dan
ekualitas nadi. Frekuensi yang abnormal ada takikardi (denyut nadi
>100 x/menit) dan bradikardi (denyut nadi <60 x/menit). Kemudian
ada irama ritmis dan aritmis. Pengisian nadi ada yang normal (cukup),
pulpus seler, pulpus tardus, pulpus alternans, dan pulpus paradoksus.
Ekualitas di 4 ekstremitas antara sama atau tidak sama.
Cara mengukur denyut nadi:
Persiapan alat: jam tangan dengan penunjuk detik, apols teller
atau stop watch.
Persiapan pasien/klien : diberitahu dan supaya relax
Pelaksanaan : Waktu pengukuran bersamaan dengan
pengukuran suhu
Posisi pasien tiduran atau duduk
Menghitung nadi dengan jari telunjuk dan jari tengah diatas
arteri.
Tekanan pada arteri jangan terlalu kuat
Lama menghitung ½ menit hasil dikalikan 2
Pada anak-anak dihitung dalam satu menit.
a. Volumenya,
b. Rythmenya teratur atau tidak,
c. Keras atau lemahnya tekanan,
d. Frekuensi/jumlah permenit
e. Jangan menghitung nadi bila tangan baru memegang es
f. Setelah selesai jangan lupa cuci tangan
g. Selalu berkomunikasi dengan pasien/klien
1. Lokasi Nadi
a. Temporalis : mengkaji nadi pada anak
b. Karotis : digunakan pada saat syok, dimana nadi lain tidak
teraba
c. Apikal : untuk mengauskultasi nadi/denyut jantung
d. Brakialis : mengkaji sirkulasi ke lengan
bawah/mengauskultasi tekanan darah
e. Radialis : mengkaji karakter nadi perifer
f. Ulnar : mengkaji sirkulasi ke tangan
g. Femoralis : mengkaji sirkulasi ke tungkai
h. Poplitea : mengkaji sirkulasi ke tungkai bagian bawah
i. Tibialis posterior : mengkaji sirkulasi ke kaki
j. Dorsal pedis : mengkaji sirkulasi ke kaki
Nadi radialis paling sering digunakan pada orang dewasa. Nadi
tersebut mudah ditemukan pada kebanyakan orang dan mudah
diakses.
c. Menghitung Pernapasan
Pernapasan adalah istilah kerja bernapas. Pernapasan eksternal
mengacu pada proses pertukaran oksigen dan karbodioksida antara alveoli
paru dan darah dalam paru. Sebaliknya, pernapasan internal berlangsung di
seluruh tubuh, ini merupakan proses pertukaran gas yang sama antara darah
yang beredar dan sel-sel jaringan tubuh.
Inhalasi atau inspirasi mengacu pada penarikan udara ke dalam paru-
paru. Ekshalasi atau ekspirasi mengacu pada pengeluaran atau pergerakan
gas dari paru-paru menuju atmosfer. Ventilasi juga digunakan untuk
menyebut pergerakan udara masuk dan keluar paru-paru.
Menghitung pernapasan merupakan menghitung jumlah pernapasan
(inspirasi yang diikuti ekspirasi) terdiri dari frekuensi, kedalaman, irama,
dan pola pernapasan. Tujuan dari menghitung pernapasan yaitu untuk
mengetahui keadaan umum klien, mengetahui frekuensi pernapasan dan
sifat/jenis pernapasan, mengikuti perkembangan penyakit, dan membantu
menegakkan diagnosa.
1. Batas Normal Frekuensi Pernapasan
a. Bayi : 30 – 60 x/menit
b. Anak : 20 – 30 x/menit
c. Remaja : 15 – 24 x/menit
d. Dewasa : 16 – 20 x/menit
2. Mengkaji Pernapasan
Pernapasan harus dikaji ketika klien relaks sebab olahraga akan
memengaruhi pernapasan, yaitu meningkatkan frekuensi dan kedalaman
pernapasan. Kecemasan cenderung memengaruhi frekuensi dan
kedalaman pernapasan. Perawat juga perlu mengkaji pernapasan setelah
klien berolahraga untuk mengidentifikasi toleransi klien terhadap
aktivitas. Sebelum mengkaji pernapasan klien, perawat tanggap terhadap
hal-hal berikut :
a. Pola pernapasan normal klien.
b. Pengaruh masalah kesehatan klien terhadap pernapasan.
c. Setiap obat terapi yang dapat mempengaruhi pernapasan.
d. Hubungan antara pernapasan klien dan fungsi kardiovaskular.
2. Kriteria Hipertensi
Tekanan darah yang terus-menerus berada di atas nilai normal disebut
hipertensi. Menurut WHO, hipertensi terjadi apabila diukur dalam
keadaan istirahat dan kondisi
tenang tekanan darah sistole 160 mmHg, dan diastole 90 mmHg.
3. Hipotensi
Hipotensi adalah tekanan darah yang berada di bawah nilai normal,
artinya, tekanan sistolik terus-menerus berada di antara nilai 85 dan 110
mmHg pada individu dewasa yang memiliki tekanan sistolik normal
lebih tinggi dari nilai tersebut.
Hipotensi ortostatik adalah tekanan darah yang turun drastis ketika
klien duduk atau berdiri. Keadaan ini biasanya terjadi akibat vasodilatasi
perifer saat darah meninggalkan organ tubuh pusat, terutama otak, dan
bergerak ke area perifer, yang kerap membuat seseorang merasa pusing.
Hipotensi juga dapat disebabkan oleh penggunaan obat analgesik seperti
meperidin hidroklorida (Demerol), perdarahan, luka bakar serius, dan
dehidrasi. Penting untuk mengawasi klien yang mengalami hipotensi
secara ketat untuk mencegahnya terjatuh.
4. Mengkaji Tekanan Darah
a. Hal – hal yang harus diperhatikan:
1) Hindari pengukuran pada ekstremitas yg terpasang infus, trauma
tertutup gips, atau terpasang fistula arteriovena (misalnya untuk
dialisis ginjal) pada bagian tubuh tersebut.
2) Bila akan mengulang prosedur pengukuran, tunggu 30 detik setelah
skala 0
3) Memeriksa arteri Brachialis
b. Komponen suara Jantung (korotkoff) yang berasal dari suara vibrasi
saat maset dikempiskan. Suara korortkoff menjadi 5 fase :
1) Fase I Saat bunyi terdengar, dimana 2 suara terdengar pada
waktu bersamaam, disebut sebagai tekanan sistolik
2) Fase II Bunyi berdesir akibat aliran darah meningkat, intensitas
lebih tinggi dari fase I
3) Fase III Bunyi ketukan konstan tapi suara berdesir hilang, lebih
lemah dari fase I
4) Fase IV Ditandai bunyi yang tiba-tiba meredup/melemah dan
meniup
5) Fese V Bunyi tidak terdengar sama sekali, disebut sebagai
tekanan diastolik
c. Tekanan arteri rata-rata adalah tekanan rata-rata yang bertanggung
jawab mendorong darah maju ke jaringan selama seluruh siklus
jantung.
Tekanan arteri rata-rata = tekanan diastolik +1/3 (tekanan sistolik –
tekanan diastolik) Contoh : pada 120/80 mmHg, tekanan arteri rata-
rata = 80 mmHg + 1/3 (120 - 80 mmHg) = 93 mmHg.
d. Cara mengukur tekanan darah
1) Persiapan alat: stetoskop, sphygmomanometer aneroid/air raksa,
Alat Pelindung Diri, buku catatan dan alat tulis.
2) Persiapan pasien: memberi privasi untuk klien, atau posisikan dan
tutup klien
sesuai kebutuhan, istirahatkan klien setidaknya sekitar 5 menit
sebelum dilakukan pengukuran dan pastikan klien dalam keadaan
tenang dan nyaman.
3) Berikan penjelasan kepada pasien
4) Mempersiapan alat tensimeter
5) Mencuci tangan
6) Persiapan klien :
a) Pasien berbaring dengna posisi supine
b) Lengan baju klien digulung
c) Pasang manset Sfigmomanometer
d) Manset dipasang setinggi letak jantung
e) Tepi bawah manset letakan 2 – 3 Cm di atas fossa cubiti
7) Pengukuran takanan darah dengan cara auskultasi:
a) Naikkan tekanan dalam manset sambil meraba arteri radialis
sampai denyutnya hilang
b) Tekanan dinaikan lagi sampai kurang lebih 30 mmHg
c) Letakkan stetoskop pada arteri brakhialis pada fossa cubiti
dengan cermat dan tentukan tekanan sistolik
d) Turunkan tekanan dalam manset dengan kecepatan 4
mmHg/detik sambil mendengar bunyi pembuluh yang
mengikuti 5 fase korotkoff
e) Ulangi pengukuran satu kali lagi dengan air raksa dalam
sfigmomanometer dikembalikan pada angka 0. Lakukan
tindakan seperti di atas
8) Mencuci tangan
9) Mencatat pada catatan perawat
e. Saturasi Oksigen
Oksimeter nadi merupakan alat non-invasif yang dapat mengukur
saturasi oksigen dalam darah arteri klien (Sa02) dengan meletakkan sensor
pada jari, ibu jari kaki, hidung, dan telinga, atau dahi klien (atau disekeliling
tangan atau kaki bayi baru lahir). Oksimeter nadi dapat mendeteksi
hipoksemia sebelum munculnya tanda dan gejala klinis, seperti warna kulit
dan dasar kuku yang berubah keabu-abuan.
Sensor oksimeter nadi memiliki dua bagian : (a) dua buah light-
emmiting diodes (LED) satu merah dan satu lagi inframerah yang
meneruskan cahaya melalui kuku, jaringan, darah vena, dan (b) detektor
cahaya yang terletak tepat diseberang LED (misalnya sisi lain jari, ibu jari
kaki, atau hidung). Detektor cahaya mengukur jumlah cahaya merah dan
inframerah yang diserap oleh hemoglobin teroksigenasi dalam darah arteri
dan mencatatnya sebagai SaO2. SaO2 normal adalah 95% - 100% dan SaO2
yang kurang dari 70% dapat mengancam jiwa.
Unit oksimeter terdiri atas lubang penghubung untuk kabel sensor,
layar datar yang menunjukan nilai saturasi oksigen (tertulis dalam
persentase) dan frekuensi nadi. Tersedia pula unit pada kabel. Sistem alarm
yang telah diatur sebelumnya akan mengirim sinyal saat nilai SaO 2 rendah
dan tinggi dan saat frekuensi nadi cepat dan lambat. Kadar SaO 2 yang tinggi
dan rendah umumnya diatur pada 100% dan 85%, terutama untuk orang
dewasa. Alarm untuk frekuensi nadi yang cepat dan lambat biasanya diatur
pada 140 dan 50 kali per menit pada orang dewasa. Meski demikian, semua
limit pada alarm ini dapat diubah sesuai petunjuk pabrikan.
PENUTUP
1.
2.
3.
3.1.Kesimpulan
Tanda - tanda vital adalah pengukuran yang paling sering dilakukan
oleh perawat. Tanda – tanda vital meliputi : tekanan darah, denyut nadi,
suhu tubuh, dan frekuensi pernafasan. Tanda vital mempunyai nilai yang
sangat penting bagi fungsi tubuh. Adanya perubahan tanda vital maka
mempunyai arti sebagai indikasi adanya kegiatan organ-organ di dalam
tubuh.
Pengkajian dan interpretasi tanda vital merupakan bagian yang tak
terpisahkan untuk menilai status kesehatan klien. Tujuan dari pemeriksaan
tanda – tanda vital yaitu memantau kondisi atau mengidentifikasi masalah
klien, mengevaluasi respon klien terhadap intervensi keperawatan maupun
medis yang dilakukan. Teknik dasar tanda–tanda vital seperti inspeksi,
palpasi, dan auskultasi untuk memperoleh tanda vital. Tanda vital dan
pemeriksaan fisiologis lainnya adalah dasar dari pemecahan masalah klinis.
3.2.Saran