Anda di halaman 1dari 28

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Histori Kerusakan Refractory Sealpot PLTU Unit 2


Berdasarkan data pareto loss output tahun 2018, PLTU Tenayan Unit 2
mengalami kerusakan refractory sebanyak 3x sehingga menyebabkan munculnya
titik hotspot pada surface casing sealpot boiler. Hotspot pada surface sealpot dapat
menyebabkan crack atau deformasi casing sealpot. Dari data XRF tahun 2017,
material casing sealpot adalah low alloy carbon steel. Berdasarkan referensi API
RP 530, bahwa limiting design metal temperature carbon steel adalah 540 °C,
ketika casing sealpot diberikan temperatur yang tinggi maka akan sangat
berpengaruh terhadap laju penurunan modulus elastisitas, kekuatan leleh dan
kekuatan tarik yang maksimum apabila diberi temperature yang semakin tinggi.
Guna mengatasi temperature casing sealpot tidak semakin tinggi, maka
PLTU Tenayan Unit 2 harus shutdown untuk melakukan perbaikan refractory.
Selama tahun 2018, PLTU Tenayan Unit 2 mengalami kerugian kerugian finansial
sebesar Rp 120.358.342.000,00.

Tabel 4.1 Deskripsi Pareto Loss Output PLTU Tenayan Unit 2 Tahun 2018

PARETO LOSS
NO TANGGAL PROBLEM DAMPAK ACTION
OUTPUT (kWh)
Kerusakan Hotspot Sealpot Perbaikan
1 18-01-2018 34.543.670
Refractory 605 ºC Refractory Sealpot
Kerusakan Hotspot Sealpot Perbaikan
2 01-02-2018 23.527.170
Refractory 557 ºC Refractory Sealpot
Kerusakan Hotspot Sealpot Perbaikan
3 22-06-2018 34.512.500
Refractory 659 ºC Refractory Sealpot
Total Loss Output 92.583.340
Kerugian Finansial = (Total Loss Output x Harga per kWh)
= 92.583.340 kWh x Rp 1300
= Rp 120.358.342.000, 00

53
54

Tabel 4.2 Data Visual Cek dan Thermography Sealpot Tahun 2018

VISUAL CEK INSIDE


TANGGAL SURFACE TEMPERATURE
NO DESKRIPSI SEALPOT PASCA UNIT
KEJADIAN CASING SEALPOT
SHUTDOWN
1 18-01-2018 Hotspot
Sealpot
605 ºC

2 01-02-2018 Hotspot
Sealpot
557 ºC

3 22-06-2018 Hotspot
Sealpot
659 ºC

(°C) 956 °C
927 °C 932 °C
1000

800 605 °C 557 °C 659 °C

600

400

200

0
18 Januari 2018 01 Februari 2018 22 Juni 2018

Inlet Temperatur Sealpot Surface Temperatur Sealpot

Gambar 4.1 Grafik Inlet Temperature vs Surface Temperature


55

Gambar 4.2 Area Sealpot Yang Mengalami Hotspot

4.2 Validasi Kerusakan Refractory Berdasarkan Perhitungan Thermal.

Gambar 4.3 Sirkit Thermal Didalam Sealpot

Keterangan Gambar 4.3 :


T∞1 : Temperatur Flue Gas Sealpot (°C)
T1 : Temperatur Surface Wearable Castable (°C)
T2 : Temperatur Surface Thermal Castable (°C)
T3 : Temperatur Surface Insulant Castable (°C)
T4 : Temperatur Surface Ceramic Blanket (°C)
T5 : Temperatur Surface Carbon Steel (°C)
T6 : Temperatur Surface Dinding Sealpot (°C)
56

h1 : Convection Heat Transfer Coefficient (W/m2.°K)


h2 : Conduction Heat Transfer Coefficient Wearable Castable (W/m 2.°K)
h3 : Conduction Heat Transfer Coefficient Thermal Castable (W/m 2.°K)
h4 : Conduction Heat Transfer Coefficient Insulant Castable (W/m 2.°K)
h5 : Conduction Heat Transfer Coefficient Ceramic Blanket (W/m 2.°K)
h6 : Conduction Heat Transfer Coefficient Carbon Steel (W/m2.°K)
r1 : Jari – Jari Dimensi Flue Gas (m)
r2 : Jari – Jari Dimensi Flue Gas + Wearable Castable (m)
r3 : Jari – Jari Dimensi Flue Gas + Thermal Castable (m)
r4 : Jari – Jari Dimensi Flue Gas + Insulant Castable (m)
r5 : Jari – Jari Dimensi Flue Gas + Ceramic Blanket (m)
r6 : Jari – Jari Dimensi Flue Gas + Carbon Steel (m)

Tabel 4.3 Lapisan Material Insulasi Sealpot


Thermal
Thickness Jari – Jari (r)
Material Conductivity (k)
(m) (m)
(W/m.°K)
0,705 (r1)
Wearable Castable 0,1 1,5 (k1) 0,805 (r2)
Thermal Castable 0,12 0,16 (k2) 0,925 (r3)
Insulant Castable 0,16 0,12 (k3) 1,085 (r4)
Ceramic Blanket 0,02 0,12 (k4) 1,105 (r5)
Carbon Steel 0,01 54 (k5) 1,115 (r6)

Berikut perhitungan kondisi refractory saat normal operasi :


 Temperatur Flue Gas Sealpot (T∞1) = 930 °C
 Temperatur Surface Wearable Castable (T1) = 927 °C
 Temperatur Normal Casing Sealpot (T6) = 103 °C
 Berdasarkan tabel Physical Properties of Air at Atmospheric Pressure, Pada
temperatur T = 927 °C = 1200 °K didapatkan nilai
 𝜇 (Dynamic Viscosity) = 473 𝑥 10−7 = 0,0000473 𝑁. 𝑠/𝑚2
 𝜌 (𝑑𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑦) = 0,2902 𝑘𝑔/𝑚3
 𝑃𝑟 (𝑃𝑟𝑎𝑛𝑑𝑡𝑙 𝑁𝑢𝑚𝑏𝑒𝑟) = 0,728
57

 Berdasarkan grafik manual book boiler dongfang, bahwa air flow sebesar
168407 Nm3/h dengan bed temperature sebesar 872,92 °C didapatkan velocity
boiler sebesar 3,8 m/s.
 Asumsi ketinggian area hotspot adalah 1 meter.
 Menghitung Nilai 𝑅𝑒

𝜌 .𝜐 .𝐿
𝑅𝑒 =
𝜇
0,2902 . 3,8 . 1
𝑅𝑒 =
0,0000473
𝑅𝑒 = 23314,16
Keterangan :
𝑅𝑒 : Reynold Number
𝜌 : Density (𝑘𝑔/𝑚3 )
𝜐 : Velocity (m/s)
𝐿 : Linier Dimension (m)
𝜇 : Dynamic Viscosity (𝑁. 𝑠/𝑚2 )
 Menghitung nilai ℎ1
ℎ1
𝑁𝑢 = 𝑘⁄
𝐿

𝑁𝑢 . 𝑘
ℎ1 =
𝐿
4 1
(0,0296 . 𝑅𝑒 5 . 𝑃𝑟 3 ) . 𝑘
ℎ1 =
𝐿
4 1
(0,0296 . 23314,16 5 . 0,728 3 ) . 1,5
ℎ1 =
1
ℎ1 = 124,601 𝑊⁄𝑚2 . °𝐾

Keterangan :
𝑁𝑢 : Nusselt Number
(𝑊⁄
ℎ1 : Convection Heat Transfer Coefficient 𝑚2 . °𝐾)
𝑘 : Thermal Conductivity Wearable Castable (𝑊⁄𝑚 . °𝐾)
58

𝐿 : Linier Dimension (m)


𝑅𝑒 : Reynold Number
𝑃𝑟 : Prandtl Number
 Menghitung nilai heat flux convection (𝑞̇ 𝐾𝑜𝑛𝑣𝑒𝑘𝑠𝑖 )
= ℎ1 . ( 𝑇∞1 − 𝑇1 )
= 124,601 . (930 − 927)
= 467,877 W/𝑚2
 Menghitung nilai Conduction Heat Transfer Coefficient (h2 sampai h6)
𝑟1 𝑟2 0,705 0,805
ℎ2 = . 𝐿𝑛 = ( . 𝑙𝑛 ) = 0,0623 𝑊⁄𝑚2 . °𝐾
𝑘1 𝑟1 1,5 0,705
𝑟1 𝑟3 0,705 0,925
ℎ3 = . 𝐿𝑛 = ( . 𝑙𝑛 ) = 0,6122 𝑊⁄𝑚2 . °𝐾
𝑘2 𝑟2 0,16 0,805
𝑟1 𝑟4 0,705 1,085
ℎ4 = . 𝐿𝑛 =( . 𝑙𝑛 ) = 0,9373 𝑊⁄𝑚2 . °𝐾
𝑘3 𝑟3 0,12 0,925
𝑟1 𝑟5 0,705 1,105
ℎ5 = . 𝐿𝑛 = ( . 𝑙𝑛 ) = 0,1073 𝑊⁄𝑚2 . °𝐾
𝑘4 𝑟4 0,12 1,085
𝑟1 𝑟6 0,705 1,115
ℎ6 = . 𝐿𝑛 = ( . 𝑙𝑛 ) = 0,0001 𝑊⁄𝑚2 . °𝐾
𝑘5 𝑟5 54 1,105
 Menghitung Overall Heat Transfer Coefficient (U)
1
𝑈= = 0,582 𝑊⁄𝑚2 . °𝐾
ℎ1 + ℎ2 + ℎ3 + ℎ4 + ℎ5 + ℎ6
 Heat Flux Konduksi (𝑞̇ 𝐾𝑜𝑛𝑑𝑢𝑘𝑠𝑖 ) :
= (𝑇1 − 𝑇6 ) . 𝑈
= (927 − 80) ∗ 0,582
= 492,628 W/𝑚2
 Perhitungan T2
𝑟
𝑞̇ 𝐾𝑜𝑛𝑑 . 𝑟1 . ln 𝑟2
1
𝑇2 = 𝑇1 − ( )
𝑘1
59

0,805
492,628 . 0,705 . ln 0,705
𝑇2 = 927 − ( )
1,5

𝑇2 = 897,122 °𝐶

 Perhitungan T3
𝑟
𝑞̇ 𝐾𝑜𝑛𝑑 . 𝑟1 . ln 𝑟3
2
𝑇3 = 𝑇2 − ( )
𝑘2

0,925
492,628 . 0,705 . ln 0,805
𝑇3 = 897,122 − ( )
0,16

𝑇3 = 603,701 °𝐶

 Perhitungan T4
𝑟
𝑞̇ 𝐾𝑜𝑛𝑑 . 𝑟1 . ln 𝑟4
3
𝑇4 = 𝑇3 − ( )
𝑘3

1,085
492,628 . 0,705 . ln 0,925
𝑇4 = 603,701 − ( )
0,12

𝑇4 = 154,50 °𝐶

 Perhitungan T5
𝑟
𝑞̇ 𝐾𝑜𝑛𝑑 . 𝑟1 . ln 𝑟5
4
𝑇5 = 𝑇4 − ( )
𝑘4

1,105
492,628 . 0,705 . ln 1,085
𝑇5 = 154,50 − ( )
0,12

𝑇5 = 103,07 °𝐶
60

 Perhitungan T6
𝑟6
𝑞̇ 𝐾𝑜𝑛𝑑 . 𝑟1 . ln
𝑟5
𝑇6 = 𝑇5 − ( )
𝑘5

1,115
492,628 . 0,705 . ln 1,105
𝑇6 = 103,07 − ( )
54

𝑇6 = 103,01 °𝐶
Wearable Castable
Flue Gas

Thermal Castable

Insulant Castable

Ceramic Casing
Blanket Sealpot

Gambar 4.4 Grafik Heat Transfer Refractory Sealpot

Dari perhitungan diatas, didapatkan grafik heat transfer masing masing


layer refractory sealpot. Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa ketika inlet flue
gas sealpot di kisaran 930 °C, maka dalam kondisi normal operasi surface
temperatur casing sealpot adalah 103 °C.

Jika melihat data thermography tanggal 18 Januari tahun 2018, terdapat


selisih antara temperatur flue gas dan temperatur casing sealpot sebesar 322 °C.
Hal ini dapat disimpulkan melalui grafik heat transfer, bahwa refractory di area
sealpot sudah mengalami kerusakan sampai dengan lapisan insulant castable.
61

4.3 Validasi Kerusakan Menggunakan Simulasi CPFD.


Simulasi CPFD adalah simulasi dimana pergerakan partikel solid dan
fluida sama-sama bersifat dominan. Simulasi CPFD lebih sesuai untuk analisa
aliran di boiler CFB karena fraksi partikel cukup besar dan dapat mempengaruhi
aliran fluida. Pada tahapan awal pemodelan, masukkan ekstaksi data input dari data
operasi boiler (Tabel 4.4) dan rises (Tabel 4.5) pada beban maksimum di 110 MW.

Tabel 4.4 Data Operasi Boiler Di Daerah Furnace Bed

Tabel 4.5 Data Operasi Boiler Di Daerah Riser


62

Langkah selanjutnya membuat geometri boiler dimana geometri sealpot


disederhanakan menjadi penampang bujur sangkar karena keterbatasan jumlah
meshing pada domain simulasi. (Gambar 4.5)

Gambar 4.5 Geometri Boiler PLTU Tenayan

Setelah mendapatkan geometri, kemudian menentukan nilai syarat batas diambil


berdasarkan data operasi. Hal ini dapat dilihat pada gambar 4.6.

Gambar 4.6 Boundary Simulasi Boiler CFB PLTU Tenayan

Setelah dilakukan boundary, tahapan selanjutnya adalah melakukan iterasi


pada pemodelan hingga didapatkan hasil yang konvergen. Dari hasil simulasi dapat
dilihat bahwa pergerakan partikel menunjukkan bahwa pasir bed material memiliki
sirkulasi partikel yang sangat besar. Karakteristik pasir bed material mendekati
kondisi aerable, dimana pasir terlalu mudah terbawa aliran. Karakter aerable pada
pasir bed material akan sangat mempengaruhi karakter fluidized bed boiler, kondisi
ini menyebabkan abrasi yang merata pada boiler (Gambar 4.7).
63

Gambar 4.7 Sirkulasi Partikel Pasir Bed Material Boiler PLTU Tenayan

Abrasi pada penggunaan pasir bed material terjadi pada area yang lebih
luas berdasarkan kontur volume seperti ditunjukkan pada Gambar 4.8.

Gambar 4.8 Indeks Abrasi Pada Boiler PLTU Tenayan

Distribusi tekanan pada penggunaan pasir bed material pada Gambar 4.9 memiliki
selisih tekanan yang tinggi pada daerah sealpot. Fraksi pasir yang tinggi
menyebabkan kenaikan hambatan aliran yang tinggi.
64

Gambar 4.9 Distribusi Tekanan Boiler PLTU Tenayan

Simulasi aliran khusus di daerah sealpot dilakukan untuk mengetahui


beban yang terjadi di dalam sealpot. Gambar 4.10 menunjukkan geometri dan
meshing di sealpot yang lebih akurat.

Gambar 4.10 Geometri Dan Meshing Di Sealpot

Syarat batas diambil dari ekstrak data di penampang sebelum dan sesudah
sealpot, pada simulasi sebelumnya (Gambar 4.11).

Gambar 4.11 Boundary Simulasi Aliran Di Sealpot


65

Hasil simulasi menunjukkan bahwa partikel dengan ukuran kecil banyak


yang tertinggal di dasar sealpot dan terjadi penumpukan partikel di dasar sealpot
sebesar 56% selama 500 detik (Tabel 4.6).
Tabel 4.6 Keseimbangan Partikel Pasir di Sealpot

Kondisi ini akan menghambat sirkulasi aliran partikel, termasuk partikel


batu bara, residence time partikel yang lebih lama, dan dapat menyebabkan terjadi
penyumbatan dan overheating pada daerah tersebut. Pada Gambar 4.12a
menunjukkan bahwa pasir tertinggal di dasar sealpot sedangkan gambar 4.12b.
menunjukkan indeks abrasi yang rendah.

(a) (b)

Gambar 4.12 Hasil Simulasi Sealpot : a). Aliran Partikel, b). Indeks Abrasi

Berdasarkan data operasional boiler PLTU Tenayan pada kondisi beban


110 MW, bahwa flow udara yang digunakan untuk proses bubbling sebesar 168497
Nm3/h dengan bed temperatur sebesar 872 °C (Gambar 4.13)
66

Gambar 4.13 Data operasi PLTU Tenayan Pada Beban 110 MW

Untuk mengetahui nilai velocity yang terjadi di dalam furnace boiler,


maka digunakan grafik hubungan antara air flow to bed terhadap velocity dan bed
temperature. Dari grafik tersebut dapat disimpulkan bahwa velocity yang ada di
sistim boiler CFB Tenayan di kisaran 3,8 m/s (Gambar 4.14)

Gambar 4.14 Velocity PLTU Tenayan Pada Beban 110 MW

Berdasarkan referensi buku Prof. Prabir Basu perihal velocity ideal yang
terjadi pada boiler CFB di kisaran 4 – 6 m/s (Tabel 4.7). Jika melihat nilai velocity
boiler PLTU Tenayan saat beban 110 MW (Gambar 4.14), maka velocity boiler
PLTU Tenayan sudah termasuk ke dalam regime fluidizing CFB Boiler
67

Tabel 4.7 Comparasion of Fluidized Bed With Other Types of Boilers

Sumber : P. Basu, S.A. Fraser, Circulating Fluidized Bed Boilers, Springer, 1991.

Dikarenakan velocity boiler sudah sesuai, maka boiler CFB di PLTU


Tenayan tidak memiliki potensi abrasi yang terlalu kritis. Potensi kegagalan operasi
justru ditimbulkan oleh overhating di sealpot karena terjadi penumpukan pasir dan
menyebabkan residence time yang besar pada partikel batu bara. Overheating di
sealpot dapat berpotensi menyebabkan kerusakan refractory.

4.4 Analisa Permasalahan


Metode yang dipakai untuk mencari akar permasalahan adalah dengan
Fish Bone Diagram. Dari beberapa mode penyebab kerusakan, peneliti melakukan
identifikasi semua kemungkinan penyebab & masing-masing penyebab
diidentifikasi sampai dengan ditemukan penyebab awalnya. Tahapan selanjutnya
adalah melakukan verifikasi setiap akar penyebab dan menentukan akar penyebab
yang sesungguhnya.
Akar penyebab yang sudah didapatkan akan dilakukan analisa agar dapat
menghasilkan failure defense task untuk mengatasi, menghilangkan dan
meminimalisasi kegagalan agar tidak terjadi lagi.
68

Gambar 4.15 Fishbone Diagram Kerusakan Refractory Sealpot

Bedasarkan fish bone diagram, kerusakan refractory sealpot disebabkan


oleh dua hal yaitu karena kegagalan material refractory dan pengaruh temperatur
yang ada di dalam sealpot. Penjelasan fishbone diagram akan dibahas pada sub bab
dibawah ini.

4.4.1 Choice and Mixing Refractory.


Berdasarkan manual instruction dari Dongfang Boiler Group Co. Ltd,
Drawing no. 29H8321-23 Lining Detail of Circumfluence Fitting, konfigurasi
refractory dapat disampaikan sebagai berikut :

Flue Gas Surface


Sealpot

Gambar 4.16 Konfigurasi Refractory Inlet U – Valve Sealpot Boiler


69

Sesuai dengan kondisi di lapangan yang ditunjukkan di gambar 4.17


mengindikasikan bahwa pemasangan refractory tidak mengikuti kaidah seperti
yang ada di gambar 4.6. Terdapat material glass wool yang terpasang di inlet u-
valve sealpot boiler pada permukaan steel casing. Sedangkan berdasarkan manual
instruction, pada titik tersebut yang terpasang seharusnya adalah Ceramic Blanket.
Dengan adanya hal tersebut maka hal ini berpotensi menyebabkan rendahnya
kekuatan refractory yang terpasang pada daerah tersebut dan menyebabkan
refractory rentan untuk pecah, terutama di daerah “overhead”.

Gambar 4.17 Pemasangan Tidak Mengikuti Kaidah Manual Instruction

4.4.2 Surface Preparation


Berdasarkan Manual Instruction, surface preparation dibagi menjadi steel
surface preparation, refractory surface preparation dan refractory interlayer
surface preparation. Construction notes untuk refractory daerah sealpot dapat
dijabarkan sebagai berikut :
 Sebelum melakukan pemasangan refractroy, pastikan permukaan plat sealpot
sudah dibersihkan.
 Semua permukaan logam yang kontak dengan refractory di lapisi dengan
aluminium – silicate refractory fiber (ASRF) ketebalan 2 mm.
 Pemasangan wearable castable dibuat per segmen dengan ukuran 600 – 800 mm.
Jarak antar segmen diberi jarak pemuaian sekitar 2 mm dengan aluminium –
silicate refractory fiber (ASRF) ketebalan 2 mm.
 Sebelum pemasangan wearable castable, anchor harus dilapisi oleh asphaltum
dengan ketebalan 1 – 2 mm.
70

 Antar layer diberikan jarak pemuaian sekitar 3 mm dengan aluminium – silicate


refractory fiber (ASRF) ketebalan 4 mm.
 Diantara lapisan thermal castable dan no-asbestos calcium-silicate di beri kertas
minyak untuk menyerap air.
 Diameter anchor sebesar 6 mm dengan material SA-479GR309S.
Aturan pemasangan dari vendor boiler menunjukkan metode pemasangan
refractory yang dianjurkan. Mulai dari surface preparation, pemasangan anchor,
pemasangan material ekspansi, maupun bentuk dari ekspansi. Aturan vendor ini
sudah sesuai dengan best practice pemasangan refractory untuk boiler CFB.
Sehingga penerapan di lapangan jika menerapkan aturan tersebut, akan memberikan
service life yang cukup panjang untuk refractory.
Selain aturan tertulis, ditunjukkan juga gambar pemasangan. Hal ini
memperjelas lokasi dan bentuk pemasangan untuk setiap titik yang memiliki
karakteristik berbeda.
Dari gambar terlihat dimensi maupun bentuk dari refractory. Seperti
terlihat di gambar 4.16, terdapat berbagai jenis refractory dengan ketebalan masing-
masing yang berbeda. Hal ini menyesuaikan dengan kebutuhan lingkungan kerja,
maupun kontur geometri sealpot. Dapat terlihat di gambar, ketebalan lapisan
wearable castable adalah 100 mm. Namun, penerapan di lapangan menunjukkan
hal yang berbeda. Gambar 4.18 menunjukkan ketebalan refractory yang terpasang
mencapai lebih dari 130 mm. Perbedaan ketebalan ini menyebabkan kenaikan
beban kerja yang disebabkan oleh naiknya berat refractory. Karena tingginya berat,
maka potensi terjadinya keretakan dan kerusakan refractory meningkat.

Gambar 4.18 Ketebalan Wearable Castable Sealpot


71

4.4.3 Installation Method Refractory


Pada perbaikan refractory tanggal 28 Juni 2018, digunakan refractory
repair jenis corundum dengan spesifikasi sesuai tabel 4.8 sebagai berikut :

Tabel 4.8 Spesifikasi Refractory Repair Dari EPC Contractor

Refractoriness > 1790 oC


Temperature > 1500 oC
Bulk Density (after drying) 2800 kg / m3
Plastic Index 25 to 40 %
Thermal Conductivity (hot surface 1000 oC) > 1.5 W / m.K
Porosity < 17 %
The rate of change line (815 oC ~ 1100 oC) 0 ~ -0.2 %

Compressive Strength (110 oC) > 65 Mpa


(815 oC) > 85 Mpa

(1100 oC) > 95 Mpa

Lanjutan
Flexural Strength (110 oC) > 10 Mpa
(815 oC) > 15 Mpa
(1100 oC) > 18 Mpa
Thermal shock times (1000 oC water cooling) > 25 times
(1350 oC air cooled) > 50 times
Abrasion resistance (ASTMC-704) < 8 cc
72

Use : boiler furnace water wall, platen superheater, platen reheaters and
air inside the chamber at the top, which are pin area, sealpot and imported
flue at the site has a pin

Berdasarkan data-data di tabel tersebut, refractory repair bisa digunakan


sebagai metoda repair. Namun perlu diperhatikan metode mixing dan aplikasi pada
sealpot. Metoda mixing yang digunakan Pihak EPC Contractor adalah
menggunakan mesin mixer seperti terlihat pada gambar 4.19.

Gambar 4.19 Mesin Mixer Refractory Yang Digunakan EPC Contractor

Mixing dengan mesin mixer relatif lebih menjamin homogenitas dari


adonan refractory + binder, sehingga proses pencampuran akan lebih sempurna.
Namun pihak EPC Contractor kurang memperhatikan komposisi pencampuran.
Tidak adanya gelas ukur atau alat timbangan di lapangan menyebabkan komposisi
masing-masing bahan kurang terukur. Hal ini berpotensi menyebabkan kurang
homogennya refractory, sehingga mengurangi kekuatan refractory.
Pada saat proses pemasangan, pihak EPC Contractor menggunakan
metode aplikasi manual dengan alat Hand Trowel. Hal ini diperbolehkan, meskipun
kurang memadai dalam hal homogenitas campuran. Selain itu, tidak ada bekisting
(frame cetak semen) pada proses pemasangan di lapangan. Dengan tidak adanya
bekisting, maka ketebalan permukaan akan tidak rata. Mengingat bahwa kecepatan
aliran di daerah sealpot cukup signifikan, maka ketidak-rataan permukaan akan
menyebabkan rugi aliran yang berdampak pada terganggunya aliran di sealpot,
maupun adanya takikan-takikan kecil sebagai pemicu awal kerusakan refractory.
73

Salah satu titik perbaikan ditunjukkan pada gambar 4.20.

Gambar 4.20 Contoh Perbaikan Refractory Yang Dilakukan EPC

Dari gambar terlihat bahwa pemasangan refractory kurang rata. Hal ini
berdampak pada rugi aliran pada sealpot. Selain itu, tidak memperhitungkan laju
ekspansi refractory. Hal ini dapat terlihat pada tidak adanya pemasangan lapisan
ekspansi refractory 2 layer ASRF fiber felt, dan permukaan anchor tidak di lapisi
dengan aspal sesuai dengan instruction notes vendor sealpot. Hal ini menimbulkan
potensi keretakan pada temperatur tinggi yang berdampak pada kerusakan
refractory.

Gambar 4.21 Metoda Perbaikan Refractory Sesuai Dengan Best Practices


Sebaiknya pemasangan refractory baik baru maupun repair mengikuti
aturan instruction notes, dan mengikuti kaidah-kaidah pemasangan refractory.
Salah satu contoh metoda perbaikan yang bisa digunakan adalah seperti pada
gambar 4.21.
74

4.4.4 Anchor Design


Anchor design untuk sealpot PLTU Tenayan menggunakan plat dengan
ketebalan 5 mm dan panjang 335 mm menggunakan material yang belum diketahui
spesifikasinya, yang dikombinasikan dengan Rod berbentuk “Y”. Mengingat tidak
ada spesifikasi yang jelas tentang material yang terpasang, maka tidak bisa
diketahui ketahanan material yang dipergunakan, maupun metoda pengelasan (tipe
pengelasan, jenis kawat las yang digunakan dan keahlian pemasangan yang
diperlukan). Maka diperlukan uji komposisi kimia untuk melihat anchor yang
dipergunakan dan melihat karakteristik ketahanan material pada pembebanan
temperatur kerja.
Umumnya material yang digunakan pada boiler CFB sebagai anchor
adalah SS 304, SS 316, Incoloy-800HT, dan Hayness-230. Pertimbangan pemilihan
material berdasarkan pada kekuatan dan ketahanan pada temperatur kerja.

4.4.5 Installation Anchor Welding


Pengelasan Anchor pada Steel Casing memiliki pengaruh yang sangat
dominan pada kekuatan refractory. Stabilitas refractory terutama pada posisi
“overhead” sangat dipengaruhi pada kekuatan anchor. Lepasnya Anchor dari Steel
Casing akan menyebabkan rapuhnya refractory dan menyebabkan terjadinya
fracture. Hal ini bisa terlihat pada gambar berikut :

Gambar 4.22 Kegagalan Pengelasan Anchor Pada Steel Casing

Dari gambar terlihat bahwa pengelasan anchor tidak sempurna (incomplete


weld), dan pola patahan mengindikasikan anchor dan Steel Casing tidak menyatu
(incomplete fusion). Anchor design untuk sealpot PLTU Tenayan menggunakan
plat dengan ketebalan 5 mm. Berdasarkan standart SNI 03-1729-2000, dengan tebal
75

metal 5 mm maka didapatkan tebal mimimal las sudut sebesar 3 mm sepanjang


pengelasan (L).

Tabel 4.13 Ukuran Minimal Las Sudut

Sumber : Standart SNI 03-1729-2000

Gambar 4.23 Design Fillet Weld Anchor

Dari pengamatan di lapangan, ketebalan pengelasan tidak merata dengan ukuran 1-


5 mm sehingga menyebabkan anchor mudah lepas sehingga tidak ada kekuatan
penahan refractory dan menyebabkan refractory mudah lepas (spallation).

4.4.6 Mechanical Properties Refractory.


Refractory yang tersusun di dalam sealpot terdiri dari tiga lapisan. Lapisan
pertama yang berhubungan langsung dengan flue gas adalah wearable castable.
Lapisan kedua adalah thermal castable, sedangkan lapisan ketiga adalah insulant
castable. Masing masing lapisan refractory memiliki fungsi kandungan mechanical
properties yang berbeda beda antar lapisannya sesuai dengan beban yang terjadi di
dalam sealpot. Guna mengetahui kandungan mechanical properties pada
refractory, maka bahan refractory harus dilakukan pengujian di laboratorium untuk
didapatkan nilai yang akan dibandingkan dengan dengan technical data sheet. Nilai
dari sifat mechanical properties dapat digunakan untuk melakukan analisa
penyebab kegagalan refractory dari sisi material refractory.
76

Berikut perbandingkan nilai refractory hasil laboratorium dengan data


manufacrture.
A. Lapisan Pertama (Wearable Castable)

Tabel 4.9 Hasil Pengujian Wearable Castable


No Tested Items Test Method Unit Test Result Standart
Manufacture
1 Bulk Density ASTM C-134

After drying at 1000 °C G/cm3 2,7 2,5 ~ 2,8

2 Cold Crushing Strength ASTM C-133

After firing at 1000 °C N/mm2 13,4 ≥ 20

3 Modulus of Rupture ASTM C-133

After firing at 1000 °C N/mm2 3,6 ≥ 2,5

4 Permanent Linier Change ASTM C-113

After firing at 1000 °C % 0 0 ~ (-0,2)

Berdasarkan hasil pengujian pada tabel 4.9, bahwa nilai Cold Crushing
Strength jauh lebih rendah dari nilai standart manufacture, hal ini mengindikasikan
bahwa refractory tidak mampu menahan beban yang tinggi seperti beban panas
tinggi dan beban thermal shock sehingga refractory mengalami crack. Crack pada
lapisan wearable castable membentuk kontur celah sehingga memudahkan pasir
bed material masuk kedalam refractory lapisan kedua.
B. Lapisan Kedua (Thermal Castable)

Tabel 4.10 Hasil Pengujian Thermal Castable


No Tested Items Test Method Unit Test Result Standart
Manufacture
1 Bulk Density ASTM C-134

After drying at 1000 °C G/cm3 0,92 0,8 ~ 1

2 Cold Crushing Strength ASTM C-133

After firing at 1000 °C N/mm2 2,3 ≥ 1,5

3 Modulus of Rupture ASTM C-133

After firing at 1000 °C N/mm2 1,6 ≥2


77

Lanjutan

4 Permanent Linier Change ASTM C-113

After firing at 1000 °C % -0,1 0 ~ (-0,1)

Berdasarkan hasil pengujian pada tabel 4.10, bahwa nilai modulus of


rupture lebih rendah dari nilai standart manufacture, hal ini mengindikasikan bahwa
refractory tidak mampu menahan beban abrasi yang tinggi. Dikarenakan pada layer
pertama sudah terjadi crack dan pasir bed material sudah masuk ke lapisan kedua,
maka berpotensi terjadinya abrasi refractory yang mengakibatkan refractory cepat
habis karena gesekan secara terus menerus.
C. Lapisan Ketiga (Insulant Castable)

Tabel 4.11 Hasil Pengujian Insulant Castable


No Tested Items Test Method Unit Test Result Standart
Manufacture
1 Bulk Density ASTM C-134

After drying at 1000 °C G/cm3 0,3 0,5 ~ 0,6

2 Cold Crushing Strength ASTM C-133

After firing at 1000 °C N/mm2 3,7 ≥ 0,4

3 Modulus of Rupture ASTM C-133

After firing at 1000 °C N/mm2 1,5 ≥2

4 Permanent Linier Change ASTM C-113

After firing at 1000 °C % 1 0 ~ (-0,2)

Berdasarkan hasil pengujian pada tabel 4.11, bahwa nilai bulk density lebih
rendah dari nilai standart manufacture, hal ini mengindikasikan bahwa refractory
lebih ringan dan berongga dibanding dengan layer pertama dan kedua. Hal ini di
perparah dengan nilai modulus of rupture dan permanent linier change yang juga
rendah. Dampak dari hal tersebut adalah volume refractory tidak stabil dan tidak
mampu menahan beban abrasi dari bed material sehingga refractory mudah
menjadi rapuh dan bed material mudah menembus ke lapisan berikutnya yaitu
ceramic blanket dan kontak langsung dengan carbon steel. Hal ini yang menjadi
penyebab terjadinya hotspot pada casing sealpot.
78

4.4.7 Ekpansi Thermal Antara Refractory Dan Metal


Material refractory memiliki koefisien ekspansi thermal yang berbeda
dengan koefisien ekspansi thermal metal (casing dan anchor). Manufacture boiler
Dongfang sudah menyebutkan pada Manual Instruction beberapa tindakan yang
diperlukan untuk memfasilitasi perbedaan ekspansi thermal ini. Diantaranya adalah
pelapisan aspal pada permukaan steel dan anchor, serta membungkus dengan
Alumunium-Silicate Refractory Fiber (ASRF) Felt 2 mm. Dengan menggunakan
metoda ini diharapkan bisa memfasilitasi ekspansi thermal terutama pada material
anchor dan steel yang terjadi pada saat diaplikasikan pada temperatur operasi.
Pada program pemeliharaan refractory tanggal 28 Juni 2018, tidak
ditemukan adanya pelapisan aspal setebal 2 mm pada anchor. Hal ini bisa
menyebabkan timbulnya crack akibat perbedaan ekspansi thermal antara anchor
dan refractory.

4.4.8 Pemuaian Refractory


Disintegrasi pada refractory dapat terjadi akibat thermal stress yang
diakibatkan oleh perbedaan koefisien ekspansi antara binder dan aggregat. Untuk
memfasilitasi ini, pada saat instalasi refractory, dibagi menjadi beberapa segmen
dengan ukuran expand - gap diatur sebesar 2 mm mengikuti kontur atau mengikuti
sumbu dengan jarak antar segmen adalah sebesar 600 ~ 800 mm. Expand-gap ini
diisi menggunakan 2 Alumunium - Silicate Refractory sepanjang arah lebar dan
panjang dengan berbentuk “T”. Namun pada aplikasi di lapangan, aturan ini tidak
sepenuhnya diikuti, menyebabkan timbulnya crack akibat thermal stress pemuaian
refractory, seperti terlihat pada gambar 4.14. berikut :

Gambar 4.24 Keretakan Akibat Thermal Stress Pemuaian


79

4.4.9 Proses Curing Dan Dry-Out Refractory


Curing merupakan proses mengontrol laju dan tingkat hilangnya moisture
dari refractory. Curing membutuhkan perhatian khusus terutama proses curing
insitu dimana kondisi lingkungan lebih susah untuk dikontrol. Refractory sebaiknya
dilakukan curing setelah pemasangan, namun sebelum proses start-up Furnace.
Direkomendasikan permukaan refractory tetap lembab (curing compound, wet
canvas bags, penyemprotan air atau cetakan/bekisting basah) dalam kurun waktu
paling sedikit 24 jam. Dry-up (pengeringan) dilakukan setelah proses curing selesai.
Langkah ini menghilangkan semua air yang tertinggal di refractory. Skedul
pengeringan merupakah langkah kritis untuk mencapai kekuatan memadai dari
refractory. Contoh diagram curing dan dry-out dapat terlihat pada gambar 4.25.
Temperatur kritis fase dry-out adalah 100 oC, dimana pada temperatur
tersebut, semua air dalam refractory akan berubah menjadi uap. Uap yang
mengembang secara cepat dapat mengerosi refractory pada saat keluar dari
permukaan dalam refractory. Jika kenaikan temperatur terlalu cepat, maka timbul
kantong bertekanan pada refractory yang akan mendorong (internal stress) dan
membuat rongga (void) atau retak sehingga menimbulkan kerusakan refractory.
Umur refractory di boiler hampir sangat tergantung pada bagaimana
perlakuan awal pada saat start-up pasca instalasi refractory. Dengan menggunakan
slow warm-up boiler yang terkontrol, umur yang panjang dari refractory dapat
dipastikan. Dry-out refractory dapat menggunakan ignitor atau burner portable.
Operasi dengan ignitor atau burner portable akan memberikan input panas yang
lambat, sehingga grafik pemanasan bisa mendekati grafik heat curing curve

Gambar 4.25 Refractory Heat Curing Curve Standart API 936


80

Setiap jenis refractory memiliki grafik Heat Curing Curve sendiri,


sehingga pemasangan refractory perlu memperhatikan curing curve yang sesuai
dengan jenis refractory.

Gambar 4.26 Curing Curve Untuk Repair Refractory Dari EPC Contractor
Pada perbaikan tanggal 28 Juni 2018, pihak EPC Contractor memberikan
diagram curing curve sebagai berikut :
Pada aplikasi di lapangan, heat curing curve ini kurang begitu
diperhatikan. Hal ini bisa terlihat dari tidak adanya langkah-langkah untuk menjaga
curing curve. Durasi kurang dari 10 jam, Unit #1 langsung firing. Hal ini berpotensi
menyebabkan kerusakan awal karena fase curing yang belum sempurna, dan fase
dry-out yang terlalu cepat, sehingga timbul pressure pocket dan void pada
refractory yang menyebabkan retak awal sebagai pemicu kerusakan refractory.

4.4.10 Kondisi Pengoperasian


Kondisi operasi akan mempengaruhi kekuatan refractory. Pembebanan
cyclic terutama start-stop dan fluktuasi beban besar dengan grafik perubahan
temperatur yang terlalu cepat akan menyebabkan terjadinya perbedaan ekspansi
thermal antara refractory dan steel (anchor dan sealpot). Hal ini akan meningkatkan
laju kerusakan pada material refractory.
Mengingat bahwa pengoperasian PLTU Tenayan pada tahun 2018 masih
mengikuti supervisi vendor EPC, maka kemungkinan kerusakan akibat pola operasi
yang tidak sesuai dengan prosedur relatif kecil.

Anda mungkin juga menyukai