Anda di halaman 1dari 16

Machine Translated by Google

Jurnal Akuntansi dan Investasi Vol. 21 No.1, Januari 2020

Jenis Artikel: Makalah Penelitian

Perlakuan Akuntansi untuk Aset Pusaka:


Studi Kasus Pengelolaan Candi Pari
Heri Widodo*, Nur Ravita Hanun, Retno Wulandari

Abstrak:
Tujuan Penelitian: Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana
perlakuan akuntansi Aset Pusaka Candi Pari, bagaimana aset tersebut diakui,
dicatat dan dilaporkan dalam laporan keuangan dengan menggunakan sudut pandang studi kasus.
AFILIASI:
Desain/Metodologi/Pendekatan: Peneliti mengumpulkan data penelitian dalam
Universitas Muhammadiyah
tiga tahap; pertama peneliti mewawancarai narasumber atau narasumber dari
Sidoarjo. Sidoarjo. Indonesia.
dinas terkait atau pengelola candi pari yaitu Balai Pelestarian Cagar Budaya
*KORESPONDENSI: (BPCB) Jawa Timur, kedua peneliti mengecek dokumen Aset Cagar Budaya Candi
heriwidodo@umsida.ac.id Pari, bagaimana diakui, seperti apa, dicatat , sampai saat ini nilai Aset Pusaka, dan
pencarian data terakhir. Metode analisis data dalam penelitian dibagi menjadi tiga
ARTIKEL INI TERSEDIA DI: tahap, pertama, reduksi data, pemilihan data, pemusatan, perhatian, abstraksi dan
http://journal.umy.ac.id/index.php/ai transformasi data mentah dari lapangan, kedua, penyajian data, penyajian data
dalam bentuk naratif dan tabel untuk menjelaskan. fenomena yang diteliti dan yang
DOI: 10.18196/jai.2101138 terakhir adalah kesimpulan.
Hasil Penelitian: Hasil dari penelitian ini adalah pengakuan BPCB Jawa Timur
KUTIPAN:
bahwa Candi Pari tercatat sebagai aset tumbuhan, dan Candi Pari sengaja tidak
Widodo, H., Hanun, NR, &
Wulandari, R. (2020). Perlakuan
memiliki nilai, sehingga Aset Cagar Budaya tidak dapat diperjualbelikan. Besaran
Akuntansi Aset Pusaka: Studi Kasus pencatatan ini sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan (PSAP) no. 07
Pengelolaan Candi Pari. Jurnal tahun 2010 pernyataan no 69 bahwa Harta Peninggalan harus dicatat dalam
Akuntansi dan Investasi, 21(1), 74-89. jumlah satuan tanpa nilai.
Kontribusi Teoritis/Originalitas: Penelitian ini memberikan kontribusi untuk
mengetahui bagaimana perlakuan akuntansi terhadap Aset Cagar Budaya Candi
SEJARAH ARTIKEL
Pari Praktisi/Kebijakan Implikasi: Aset cagar budaya adalah benda cagar budaya
Diterima:
berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, bangunan cagar budaya,
08 Mei 2019
Ditinjau:
bangunan cagar budaya, situs cagar budaya dan kawasan cagar budaya di darat
18 Juli 2019 maupun di air yang perlu dilestarikan karena memiliki nilai esensial bagi sejarah,
Diperbaiki: ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, atau kebudayaan melalui proses penetapan.
12 Agustus 2019 Keterbatasan/Implikasi Penelitian: Keterbatasan penelitian ini adalah jumlah
Diterima: informan yang sedikit karena untuk meningkatkan efektifitas waktu penelitian,
01 Januari 2020 peneliti lebih memfokuskan pada perlakuan pembukuan Candi Pari sebagai aset
pusaka.
Kata Kunci: Aset Cagar Budaya; Pengakuan; Rekaman; Penilaian; Candi pari;
BPCB Jawa Timur

Perkenalan

Bangunan cagar budaya merupakan salah satu bangunan bersejarah yang


merupakan aset cagar budaya bagi pemerintah. Penelitian tentang aset
pusaka sudah sering dilakukan di luar negeri, namun tidak di Indonesia.
Hal ini dikarenakan masih banyak hal yang membingungkan dari aset
pusaka, terutama masalah perlakuan akuntansi yang paling tepat untuk pusaka
Machine Translated by Google

Widodo, Hanun, & Wulandari


Perlakuan Akuntansi Aset Pusaka: Studi Kasus Pengelolaan Candi Pari

aktiva. Akuntansi aset pusaka merupakan salah satu isu yang masih diperdebatkan. Banyak
definisi yang menggambarkan sifat aset warisan. Namun hingga saat ini, belum ada definisi
hukum yang pasti mengenai benda cagar budaya.

Aset pusaka merupakan aset yang unik karena aset tersebut memiliki berbagai cara untuk
memperolehnya, tidak hanya melalui pembangunan tetapi juga pembelian, sumbangan,
warisan, rampasan, atau penyitaan. Pemerintah seringkali kesulitan dalam memantau
pengelolaan keuangan dalam pertanggungjawaban berbagai potensi aset Cagar Budaya.
Kendalanya ada pada kebijakan pemerintah pusat yang tidak mewajibkan pemerintah daerah
menyajikan aset cagar budaya dalam Laporan Posisi Keuangan. Penelitian ini dianggap penting
karena dapat memberikan kejelasan tentang standar akuntansi aset pusaka yang harus
diterapkan oleh Candi Pari.

Aset pusaka adalah aset dengan kualitas artistik, ilmiah, teknologi, geofisika, atau lingkungan
yang dimiliki dan dipelihara untuk memberikan kontribusi ideologis bagi ilmu pengetahuan
dan budaya. Aset cagar budaya terdiri dari beberapa jenis antara lain bangunan cagar budaya,
monumen, siklus arkeologi, kawasan konservasi, dan karya seni (Barton, 2000).
Aset warisan adalah sumber daya yang setiap negara menetapkan sistem peraturan yang
dirancang untuk melindunginya, sebagai barang publik bersama (Aversano, 2016). Di tingkat
internasional, UNESCO (Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan
Bangsa-Bangsa) adalah organisasi yang dibentuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa yang
bertugas untuk mengidentifikasi, melindungi, dan menjaga warisan budaya dan alam di seluruh
dunia agar dapat diteruskan ke generasi masa depan warisan masa lalu.

Aset cagar budaya merupakan salah satu aset yang dilindungi oleh negara. Aset-aset tersebut
sangat vital bagi suatu bangsa karena aset-aset pusaka merupakan manifestasi budaya,
sejarah dan identitas bagi negara itu sendiri. Tidak hanya nilai ekonomi yang dapat dihasilkan
dari aset tersebut, tetapi juga nilai-nilai yang terkandung di dalamnya seperti nilai seni, budaya,
sejarah, pendidikan, pengetahuan dan lain-lain, harus dijaga dan dipertahankan demi
keberlanjutan (Agustini, 2011).

Persoalan aset pusaka pada tahap pengakuan adalah masih adanya perdebatan mengenai
klasifikasi aset pusaka sebagai aset atau kewajiban di neraca. Beberapa dewan standar
akuntansi nasional dan internasional (misalnya IPSASB, Australia AASB, New Zealand FRSAB,
United Kingdom ASB dan PSAP) setuju bahwa aset Heritage adalah aset yang dimasukkan
dalam neraca untuk meningkatkan kualitas informasi yang dilaporkan (Agustini, 2011;
Aversano, 2016). Aset warisan tidak dapat digambarkan sebagai aset keuangan dan tidak
memenuhi persyaratan untuk diakui sebagai aset. Aset warisan bukan aset, baik dalam hal
akuntansi konvensional maupun dalam istilah konversi. Akan lebih tepat untuk mengklarifikasi
aset warisan ini sebagai kewajiban atau hanya sebagai fasilitas dan hadir secara terpisah.

Permasalahan selanjutnya adalah tahapan penilaian aset pusaka, masing-masing negara


memiliki metode penilaiannya sendiri-sendiri yang mengikuti kondisi dan situasi di masing-
masing negara bagian, dan untuk aset-aset tersebut, standar akuntansi nasional dan
internasional belum memiliki aturan metode penilaian aset pusaka yang dapat digunakan secara universal atau menyel

Jurnal Akuntansi dan Investasi 2020 | 75


Machine Translated by Google

Widodo, Hanun, & Wulandari


Perlakuan Akuntansi Aset Pusaka: Studi Kasus Pengelolaan Candi Pari

Masalah dengan aset warisan juga ditemukan dalam pengungkapan. Tahapan ini paling
krusial karena sebagai pengelola dan pemelihara aset pusaka, pemerintah harus menyajikan
laporan keuangan untuk transparansi dan akuntabilitas atas manfaat yang mereka peroleh
dari aset pusaka (Barton, 2000). Selain itu, pengungkapan dilakukan untuk melihat kinerja
pemerintah terhadap aset pusaka seperti pendapatan dan pengeluaran yang dikeluarkan
untuk aset pusaka (Ouda, 2014).

Penelitian terkait sulit ditemukan karena terbatasnya sumber informasi tentang anggapan
“tabu” bercampurnya sejarah dengan ekonomi bagi sebagian sejarawan dan arkeolog di
Indonesia (Anggraini, 2014). Dapat disimpulkan bahwa pada tahap pengakuan aset pusaka,
pemerintah Indonesia harus memperlakukan sama antara aset pusaka non-operasional dan
aset pusaka operasional, yang diakui sebagai aset tetap dalam laporan keuangan (Agustini,
2011).

Penelitian lain dilakukan di Selandia Baru. Dalam kajian tersebut, Wild mengkritisi ideologi
politik dan praktik NPM (New Public Management). Asumsinya bahwa laporan keuangan
sektor swasta berdasarkan GAAP dapat diterapkan pada manfaat publik dan nirlaba seperti
HCA (Heritage, Cultural, and Community Assets). Dia mengusulkan model pelaporan
alternatif berdasarkan seperangkat budaya daripada nilai ekonomi untuk pelaporan HCA
(Wild, 2013).

Dari berbagai data yang diperoleh di atas dapat disimpulkan bahwa aset cagar budaya
adalah aset tetap dengan umur yang tidak dapat ditentukan yang dimiliki atau dikuasai oleh
pemerintah sehingga harus dilindungi karena memiliki nilai seni, budaya, warisan,
pendidikan, pengetahuan. dan karakteristik unik di dalamnya.

Penelitian ini berfokus pada bagaimana perlakuan akuntansi aset pusaka di Indonesia
dijelaskan dalam pengakuan, penilaian, penyajian, dan pengungkapan laporan keuangan.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologis.

Candi Pari dipilih sebagai obyek penelitian karena Candi Pari merupakan salah satu aset
heritage di Indonesia, salah satu cagar budaya yang dapat dikatakan masih utuh hingga
saat ini. Selain itu Candi Pari memiliki keunikan arsitektur pada Candi Pari yang terdiri dari
kaki candi, badan candi, bilik candi, dan atap candi. Secara keseluruhan terbuat dari batu
bata, hanya ada beberapa bagian yang terbuat dari andesit. Kaki candi terdiri dari dua
bagian; bagian pertama memiliki empat kotak, memiliki dua pintu masuk ke ruangan dengan
arah utara dan selatan-utara. Hal seperti itu tidak pernah ditemukan dalam arsitektur Jawa
Timur. Kaki candi kedua berbentuk bujur sangkar dengan panjang 10 m dan lebar 10 m
dengan tinggi 1,95 m. Di satu sisi ada tangga naik ke booth, BP3 Jatim sudah merenovasi
tangga ini. Tubuh candi berbentuk bujur sangkar sedangkan pintu masuk candi berbentuk
persegi panjang, dan Candi Pari juga merupakan pusat pariwisata di Sidoarjo. Candi Pari
terletak di Desa Pari, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo.

Penelitian Wulandari dan Utama (2016) menjelaskan Museum Anjuk Ladang akan mengakui
koleksi/temuan tersebut sebagai aset sejarah setelah mendapatkan pengesahan dari BPCB
Jatim. Pengelola Museum Anjuk Ladang tidak memenuhi syarat tersebut

Jurnal Akuntansi dan Investasi 2020 | 76


Machine Translated by Google

Widodo, Hanun, & Wulandari


Perlakuan Akuntansi Aset Pusaka: Studi Kasus Pengelolaan Candi Pari

standar pemerintah No. 07 (PSAP) karena tidak ada penyajian dan pengungkapan aset cagar
budaya dalam laporan CALK. Sementara itu, Darmawan, Yadnyana, dan Sudana (2017)
menjelaskan pengungkapan objek koleksi Museum Semarajaya di neraca telah disajikan sesuai
PSAP No. 07 namun belum diungkapkan dalam CALK.

Kajian ini didasarkan pada hasil penelitian dari Wulandarai dan Utama (2016) dan Darmawan,
Yadnyana, dan Sudana (2017). Dengan demikian, rumusan masalah yang ingin dijawab dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut: bagaimana penjelasan perlakuan akuntansi aset pusaka
di Indonesia dalam pengakuan, penilaian, penyajian dan pengungkapan laporan keuangan.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi berupa saran dan masukan terkait
aset cagar budaya. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat Meningkatkan kualitas
laporan keuangan untuk mencapai transparansi dan reliabilitas.

Kajian Pustaka dan Fokus Kajian


Akuntansi dapat didefinisikan dalam istilah akuntansi sebagai seni, ilmu; teknologi bahkan
dapat ditentukan berdasarkan perspektif lain. Salah satunya adalah akuntansi dapat didefinisikan
sebagai suatu proses. Akuntansi adalah proses mengidentifikasi, mengukur, mencatat, dan
melaporkan transaksi ekonomi dari suatu organisasi atau entitas untuk terjadinya informasi
dalam rangka pengambilan keputusan (Halim, 2014).

Akuntansi juga merupakan alat komunikasi yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang
berkepentingan dalam pengambilan kebijakan. Pihak-pihak yang terlibat dalam penggunaan
informasi adalah pihak internal dan pihak eksternal. Pihak internal adalah pengelola organisasi,
sedangkan pihak eksternal adalah pemegang saham, kreditur, dan pemerintah.

Aset pusaka adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh pemerintah
sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari manfaat komersial dan/atau sosial di masa
mendatang yang diharapkan dapat diperoleh, baik oleh pemerintah maupun masyarakat dan
dapat diukur dalam satuan uang, termasuk sumber daya non-keuangan yang diperlukan untuk
menyediakan pakaian umum bagi masyarakat umum dan sumber daya yang dipelihara untuk
Warisan dan alasan budaya (PSAP, 2010).

Aset adalah pengorbanan ekonomi yang dilakukan oleh perusahaan atau badan untuk
mendapatkan keuntungan di masa depan, dari beberapa definisi aset, dapat disimpulkan
beberapa karakteristik aset, yaitu: a. Aset adalah sumber daya yang dikendalikan atau dimiliki
oleh suatu entitas; B. Dikendalikan oleh entitas c. Aset memiliki manfaat ekonomi di masa
depan dan d. hasil dari transaksi atau peristiwa masa lalu.

Kata “warisan” secara umum disebut sebagai hasil “dari masa lalu”, sedangkan istilah “aset”
mengacu pada barang, aktivitas, atau sumber daya (Aversano, 2016). Aset warisan

Jurnal Akuntansi dan Investasi 2020 | 77


Machine Translated by Google

Widodo, Hanun, & Wulandari


Perlakuan Akuntansi Aset Pusaka: Studi Kasus Pengelolaan Candi Pari

merupakan salah satu aset sektor publik yang mengalami keragaman konsep, terminologi. Dan klasifikasi.
Beberapa penulis menyebut aset Cagar Budaya sebagai aset komunitas. Walaupun tidak semua aset
masyarakat merupakan aset pusaka (Pallot, 1992). Banyak definisi yang menjelaskan aset pusaka, yang
membuat kriteria berbeda yang akan digunakan dalam menentukan definisi aset pusaka. Sama seperti
kriteria yang digunakan untuk mengatur (properti, pabrik dan peralatan) menyatakan bahwa beberapa
aset digambarkan sebagai aset Warisan karena budaya, signifikansi lingkungan atau sejarahnya (IPSAS,
2010). “Beberapa aset tetap dijelaskan sebagai aset pusaka karena kepentingan budaya, lingkungan dan
Cagar Budaya. Contoh aset pusaka adalah bangunan Cagar Budaya, monumen, situs arkeologi seperti
candi dan karya seni” (PSAP, 2010).

SAP dalam PSAP Nomor 07 Tahun 2010 karakteristik aset cagar budaya adalah sebagai berikut: a.
Nilai-nilai budaya, lingkungan, pendidikan, dan Warisan tidak dapat dilambangkan secara memadai oleh
nilai finansial berdasarkan harga pasar.
B. Peraturan dan undang-undang yang berlaku melarang atau membatasi secara ketat
pelepasan mereka untuk dijual. C. Tidak mudah diganti, dan nilainya akan terus meningkat selama berlari
meski kondisi fisik menurun.
D. Sulit untuk memperkirakan masa manfaatnya. Dalam beberapa kasus, bisa mencapai beberapa tahun.

Berbeda dengan pendapat yang menyatakan bahwa aset pusaka memiliki beberapa aspek yang
membedakannya dengan aset lainnya (Aversano, 2012), antara lain: a. Nilai-nilai budaya, lingkungan,
pendidikan dan Warisan yang terkandung dalam aset tidak sepenuhnya tercermin dalam istilah moneter.
B. Ada kesulitan dalam menentukan nilai buku berdasarkan harga pasar yang mencerminkan
sepenuhnya
pentingnya seni, budaya, lingkungan, pendidikan, dan sejarah.
C. Ada batasan hukum dan larangan menurut hukum untuk masalah penjualan. D. Keberadaan aset
tidak tergantikan, dan nilai aset memungkinkannya
meningkat dari waktu ke waktu, meskipun kondisi aset memburuk.
e. Ada kesulitan dalam memperkirakan masa manfaat tak terbatas, dan dalam beberapa kasus, itu
belum dapat didefinisikan.
F. Aset ini dilindungi, dipelihara dan dipelihara,

Dari beberapa karakteristik aset pusaka, dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa karakteristik aset
tetap yang tidak dapat kita temukan pada ciri-ciri aset pusaka.
Karena aset pusaka memiliki cakupan yang cukup luas, maka sebelum kita menentukan harganya, kita
harus mengetahui kegunaan dari aset pusaka itu sendiri. Dalam harta tetap terdapat muatan yang
melekat pada bendanya sehingga yang muda menentukan berapa rupiah yang terkandung dalam harta
tetap tersebut. Penggunaan beberapa metode dapat digunakan untuk menilai nilai rupiah aset tetap.
Namun tidak demikian halnya dengan aset warisan; perumahan yang melekat sangat sulit dilacak,
sehingga memerlukan perlakuan khusus terhadap aset cagar budaya. Penggunaan aset pusaka dan
waktu perolehan aset pusaka akan mempengaruhi perlakuan pengakuan aset dalam laporan keuangan.
Karena pihak kos juga akan mengubah atribut yang akan ditampilkan di laporan keuangan.

Pemanfaatan aset pusaka akan mempengaruhi pengukuran dan penilaian terhadap aset pusaka itu
sendiri. Meskipun item dalam aset bersejarah memenuhi kriteria untuk diakui

Jurnal Akuntansi dan Investasi 2020 | 78


Machine Translated by Google

Widodo, Hanun, & Wulandari


Perlakuan Akuntansi Aset Pusaka: Studi Kasus Pengelolaan Candi Pari

aset tetap, bukan berarti semua aset warisan harus diakui dalam laporan keuangan. Beberapa aspek
perlu diperhatikan dalam memahami aset cagar budaya. Untuk memudahkan pengakuan aset cagar
budaya terdiri dari dua jenis, yaitu:

A. Aset Cagar Budaya atau aset Cagar Budaya untuk Kegiatan Operasional
Aset bersejarah ini merupakan jenis aset yang memiliki fungsi ganda; selain sebagai bukti Cagar
Budaya, aset ini juga berperan sebagai tempat operasional pemerintahan sehari-hari. Misalnya
digunakan sebagai kantor. Jenis aset bersejarah ini perlu dikapitalisasi dan dicatat di neraca
sebagai aset tetap (PSAP, 2010).
B. Aset Cagar Budaya Non Operasional
Aset Cagar Budaya Non-operasional adalah aset murni yang digunakan karena nilai estetika dan
nilai Cagar Budaya. Berbeda halnya dengan aset cagar budaya yang digunakan untuk kegiatan
operasional, aset ini tidak memiliki manfaat ganda. Di Amerika, aset jenis ini disebut aset heritage,
sedangkan aset yang digunakan untuk kegiatan operasional disebut aset heritage multi guna.

Jenis aset pusaka non-operasional dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu: a. Tanah dan
Bangunan Cagar Budaya (Aset Cagar Budaya) b. Karya Seni (Koleksi Aset Cagar Budaya) c.
Situs atau Lansekap Arkeologi (Aset Warisan Alam)

Di Indonesia, aset jenis ini tidak perlu diakui dalam neraca, tetapi cukup dilaporkan dalam Catatan
atas Laporan Keuangan (PSAP, 2010).
Pengakuan aset pusaka termasuk dalam aset pusaka non-operasional. Namun jenis aset cagar
budaya non operasional yang dapat diakui di neraca adalah jenis aset tanah dan bangunan cagar
budaya yang diperoleh pada periode berjalan. Hal ini sejalan dengan pengakuan aset warisan yang
dapat diakui sebagai aset tetap di neraca jika memiliki pengurus yang andal. Dalam menentukan kost
yang terpercaya, diperlukan bukti untuk menunjukkan papan apa yang melekat pada suatu barang.
Selama ini, alasan untuk tidak mengakui aset warisan non-operasional rumit untuk mendapatkan nilai
yang andal; hal ini dikarenakan:

A. Tidak ada data atau catatan atau bukti yang menunjukkan harga perolehan sehingga entitas
pemerintah sulit menentukan kos yang melekat pada benda atau aset bersejarah yang sudah tua.
Keandalan dalam menentukan rumah kos adalah untuk mengetahui ketepatan dalam
memperkirakan harga atau nilai dari aset bersejarah tersebut.
B. Jika kita merasa sulit untuk menilai reliabilitas pentingnya benda-benda tersebut, Pusaka
aktiva tidak dapat dicatat dalam neraca.
C. Pertimbangan biaya dan manfaat untuk mendapatkan perkiraan nilai wajar aset Warisan yang
diperoleh pada periode sebelumnya. Tidak mudah untuk menentukan harga benda yang melekat
pada suatu benda, apalagi jika dikaitkan dengan nilai Cagar Budaya yang dimiliki. Butuh waktu
lama, dan harga tinggi. Nilai Heritage yang dikapitalisasi juga kurang berguna dan kurang dapat
dibandingkan dengan entitas lain karena ketidakmampuan untuk mengukur aset Heritage yang
memiliki atribut unik untuk dibandingkan dengan asrama yang andal.

Jurnal Akuntansi dan Investasi 2020 | 79


Machine Translated by Google

Widodo, Hanun, & Wulandari


Perlakuan Akuntansi Aset Pusaka: Studi Kasus Pengelolaan Candi Pari

Di Indonesia, aset cagar budaya dikategorikan sebagai aset tetap, namun untuk tata cara pengakuan
aset cagar budaya memiliki aturan tersendiri (PSAP, 2010) yaitu: a. Pemerintah mungkin memiliki
banyak aset Cagar Budaya yang diperoleh selama bertahun-tahun dan dengan berbagai cara termasuk
pembelian, sumbangan, warisan, rampasan, atau penyitaan.
Aset ini jarang dikuasai karena alasan kemampuannya untuk menghasilkan arus kas masuk dan
akan memiliki masalah sosial dan hukum ketika menggunakannya untuk tujuan ini. B. Biaya untuk
mendapatkan konstruksi, peningkatan, rekonstruksi harus dibebankan sebagai pengeluaran untuk
tahun terjadinya pengeluaran. Biaya ini mencakup semua biaya yang dikeluarkan untuk membuat
aset bersejarah tersebut dalam kondisi dan lokasi di
periode saat ini.

Aset atau barang daerah, termasuk bangunan selain bangunan, adalah monumen (Yusuf, 2010).
Monumen adalah bangunan atau tempat yang memiliki nilai warisan dan arena yang dipelihara dan
dilindungi oleh negara. Kemudian pencatatan aset harus lengkap karena datanya akan digunakan
sepanjang periode. Sama halnya dengan form input lainnya, form input pencatatan aset berupa
monumen tidak jauh berbeda terutama mengenai sumber data yang dibutuhkan yaitu nama kegiatan
dan asal rekening dalam dokumen pelaksanaan anggaran (Wulandari & Utama , 2016). Dokumen
inilah yang menjadi dasar bahwa suatu perbuatan patut dicatat dalam pembukuan barang atau harta
kekayaan. Data lain yang dibutuhkan seperti jenis monumen berupa bangunan bersejarah, tugu
peringatan, candi, bangunan bersejarah lainnya, rambu monumen, dan rambu.

Dari data input tersebut perlu dipindahkan ke data output sebagai tanggung jawab informasi, dimana
nantinya data tersebut dapat diberikan kepada pihak lain (stakeholder), baik dalam rangka pencatatan
atau administrasi usaha untuk dicatat dalam laporan keuangan maupun Neraca dan Catatan Atas
Laporan Keuangan (CALK)
(Darmawan, Yadnyana, & Sudana, 2017).

Penilaian adalah suatu proses untuk menentukan nilai ekonomis atau obyek, pos, atau unsur
(Statement of Financial Accounting Concept No.5). Penilaian biasanya digunakan untuk menunjuk
proses penentuan jumlah rupiah yang harus dilampirkan pada setiap elemen atau pos pernyataan
kenangan selama presentasi. Tujuan penilaian aset adalah untuk merepresentasikan atribut pos-pos
aset yang terkait dengan tujuan laporan keuangan dengan menggunakan dasar penilaian yang tepat.

Indonesia belum memiliki standar atau aturan untuk menilai aset cagar budaya. Aset cagar budaya
memiliki model penilaian yang berbeda di setiap negara karena disesuaikan dengan kondisi dan
situasi di setiap negara bagian.

Model penilaian meliputi:


A. Institusi harus menggunakan model revaluasi untuk semua aset warisan dan mengukur aset
tersebut pada nilai wajar. Ini cocok dengan GAAP. Setelah nilai wajar aset ditetapkan
ditentukan, aset tersebut harus direvaluasi berdasarkan siklus penilaian 3 tahun. Nilai wajar harus
ditemukan pada hak penjualan pasar saat ini untuk aset yang sama atau serupa. Namun, banyak
jenis aset pusaka yang memiliki sifat unik, sehingga tidak dapat diukur berdasarkan harga jual
pasar. Oleh karena itu, nilai wajar suatu aset dapat diestimasi dengan menggunakan pendekatan
pendapatan terdepresiasi atau penggantian. Aktiva

Jurnal Akuntansi dan Investasi 2020 | 80


Machine Translated by Google

Widodo, Hanun, & Wulandari


Perlakuan Akuntansi Aset Pusaka: Studi Kasus Pengelolaan Candi Pari

dapat dinilai dengan biaya penggantian dengan aset yang sama dan tidak identik tetapi memberikan
manfaat yang sama (Accounting Policy Act 2009). B. Aset warisan diperoleh tanpa biaya atau biaya
nominal; aset ini harus diukur pada nilai wajar pada tanggal akuisisi. Dalam menentukan nilai wajar aset
Warisan yang diperoleh dari transaksi non-pertukaran, entitas harus menerapkan prinsip-prinsip
penentuan nilai wajar. Setelah itu, entitas dapat memilih untuk mengadopsi model revaluasi atau
model biaya mengikuti Praktek Akuntansi yang Diakui Secara Umum (GRAP) 103 (GRAP, 2012).

C. Revaluasi tidak diperbolehkan karena SAP menganut penilaian aset berdasarkan


biaya perolehan atau harga pertukaran. Apabila terjadi perubahan harga yang signifikan, pemerintah
dapat menilai kembali aset yang dimiliki sehingga nilai aset tetap pemerintah saat ini mencerminkan
nilai wajar saat ini (PSAP, 2010).

Pengungkapan adalah penyajian informasi dalam bentuk laporan keuangan sebagai langkah akhir dalam
proses akuntansi. Sebelum mengetahui cara pengungkapan dan penyajian aset pusaka, sebaiknya Anda
mengetahui terlebih dahulu jenis-jenis laporan keuangan dimana aset pusaka akan diungkapkan dan
disajikan. Dasar laporan keuangan yang harus disusun dan disajikan oleh entitas pelapor sesuai SAP
Cash-Based Towards Accrual (Halim, 2014; Safitri & Indriani, 2017), yaitu sebagai berikut: a. Laporan
Realisasi Anggaran (LRA) b. Neraca c. Laporan Arus Kas d. Catatan atas Laporan Keuangan (CALK)

Sedangkan SAP Berbasis Akrual mensyaratkan entitas pelapor untuk menyusun dan menyajikan tujuh
laporan keuangan yang diperlukan yang dibagi menjadi dua jenis pelaporan, yaitu pelaporan keuangan
berbasis akrual, pelaporan pelaksanaan anggaran berbasis kas, dan catatan atas laporan keuangan
(Catatan Atas Laporan Keuangan/ CALK).

A. Pelaporan keuangan terdiri dari: 1.


Neraca 2. Laporan Operasional (OP)

3. Laporan Arus Kas 4.


Laporan Perubahan Ekuitas (LPE)

B. Laporan pelaksanaan anggaran terdiri dari: 1. Laporan


Realisasi Anggaran Berbasis Kas 2. 2. Laporan
Perubahan Saldo Anggaran (SAL)

CALK merupakan rincian laporan atau pos-pos dalam laporan pelaksanaan anggaran dan laporan
keuangan serta merupakan laporan yang tidak terpisahkan dari kedua laporan tersebut. Penyajian dan
pengungkapan aset pusaka, aset pusaka yang diungkapkan dalam Catatan atas Laporan Keuangan
(CALK) saja tanpa nilai, kecuali beberapa aset pusaka yang memberikan potensi manfaat lain kepada
pemerintah selain nilai pusakanya, misalnya bangunan untuk ruang perkantoran , prinsip ini akan
diterapkan sama seperti aktiva tetap lainnya. Aset warisan yang termasuk dalam kelompok akan
dimasukkan ke dalam neraca. Aset warisan harus disajikan dalam

Jurnal Akuntansi dan Investasi 2020 | 81


Machine Translated by Google

Widodo, Hanun, & Wulandari


Perlakuan Akuntansi Aset Pusaka: Studi Kasus Pengelolaan Candi Pari

bentuk satuan, misalnya jumlah satuan koleksi yang dimiliki atau jumlah kelompok monumen dalam
Catatan atas Laporan Keuangan tanpa nilai. Artinya pernyataan ini tidak mensyaratkan penyajian aset
Warisan (Heritage Assets) di neraca tetapi harus diungkapkan dalam Catatan atas Laporan Keuangan
(PSAP, 2010).

Pengukuran merupakan bagian penting dari penyelidikan ilmiah, yang juga merupakan proses pemberian
angka atau label kepada unit analisis untuk menyajikan atribut konsep, sedangkan atribut adalah sesuatu
yang melekat pada suatu objek yang menggambarkan sifat atau karakteristik yang terdapat pada objek
tersebut. (Suwardjono, 2010). Pengukuran ini membuat data yang dihasilkan lebih informatif dan karena
itu lebih bermanfaat. Teori pengukuran ini diperlukan dalam melakukan penilaian ekonomi terhadap aset
pusaka yang memiliki dimensi waktu dan unsur intrinsik yang unik. Ukuran yang digunakan dalam
penelitian ini adalah:

1. Ukuran yang diperoleh secara langsung dan tidak


langsung yaitu: a. Ukuran langsung atau utama adalah ukuran nyata dari suatu objek atau atribut
yang dimiliki. Ukuran ini dapat dikaitkan dengan aset warisan yang memiliki pasar aktif. B. Ukuran
tidak langsung atau sekunder berasal dari transformasi banyak angka yang mencerminkan ukuran
langsung dari beberapa objek atau atribut intrinsik dari tindakan tidak langsung. Langkah ini
dapat dikaitkan dengan aset warisan yang tidak memiliki pasar aktif dan yang memiliki warisan
atau keunikan artistik.

2. Ukuran berkaitan dengan dimensi waktu pada saat pengukuran dilakukan, yaitu: a. Ukuran masa
lalu 1) Ukuran masa lalu retrospektif 2) Ukuran masa lalu kontemporer 3) Ukuran masa lalu
prospektif

B. Ukuran saat ini


1) Ukuran kontemporer kontemporer 2)
Ukuran masa depan prospektif 3) Ukuran
masa depan Semua ukuran masa depan
bersifat prospektif.

3. Pengukuran juga bisa berupa:


C. Pengukuran mendasar
Dimana suatu bilangan dapat diberikan pada suatu sifat menurut acuannya pada hukum alam dan
tidak bergantung pada pengukuran variabel lain.
D. Pengukuran turunan
Hal itu tergantung pada pengukuran dua besaran atau lebih dan adanya teori empiris yang telah
dibuktikan kebenarannya dan menghubungkan ciri-ciri tertentu dengan ciri-ciri lainnya.

Teori pengukuran dapat dikaitkan dengan metode penilaian ekonomi aset warisan, di mana pemilihan
teori pengukuran diterapkan sesuai dengan sifat dan kondisi yang melekat pada aset warisan yang unik.

Jurnal Akuntansi dan Investasi 2020 | 82


Machine Translated by Google

Widodo, Hanun, & Wulandari


Perlakuan Akuntansi Aset Pusaka: Studi Kasus Pengelolaan Candi Pari

Akuntansi aset pusaka diatur dalam Pedoman Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP)
No. 07 Tahun 2010. Berdasarkan sudut pandang, aset pusaka tidak diperbolehkan
melakukan revaluasi, tetapi mengikuti penilaian aset berdasarkan biaya perolehan atau
pertukaran. harga. Dalam hal terjadi perubahan harga yang signifikan, pemerintah dapat
menilai kembali aset yang dimiliki sehingga nilai aset tetap pemerintah saat ini
mencerminkan nilai wajar saat ini.

Jika dilihat dari segi penyajian dan pengungkapan dalam laporan keuangan, aset Cagar
Budaya diungkapkan dalam Catatan atas Laporan Keuangan (CALK) tanpa nilai, kecuali
beberapa aset cagar budaya yang memberikan potensi manfaat lain kepada pemerintah
selain nilai Cagar Budaya, untuk misalnya gedung perkantoran. Untuk kasus jenis aset
ini, penilaian aset didasarkan pada prinsip yang sama dengan aset tetap lainnya. Aset
pusaka yang termasuk dalam kelompok akan dimasukkan ke dalam neraca (PSAP, 2010).

Metode penelitian

Berdasarkan uraian landasan teori yang telah dijelaskan. Prosesnya dimulai dengan
mengidentifikasi definisi aset cagar budaya terlebih dahulu. Setelah mengetahui
pengertian aset, dapat ditentukan metode penilaian alternatif yang paling tepat. Tahap
akhir akan didapatkan bagaimana seharusnya aset pusaka disajikan dalam laporan
keuangan.

Serangkaian proses di atas diharapkan dapat menghasilkan informasi yang bermanfaat


bagi pihak eksternal maupun internal. Informasi ini merupakan wujud tanggung jawab
entitas pengelola aset pusaka kepada kedua belah pihak. Pihak eksternal merujuk pada
masyarakat sebagai pembayar pajak, sedangkan pihak internal merujuk pada pemerintah
daerah dan pemerintah pusat.

Data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer diperoleh
langsung dari penelitian lapangan. Data berupa wawancara dengan informan penelitian
yaitu bagian pengelolaan Keuangan dan bagian pengelolaan BMN (Barang Milik Negara)
Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Timur. Wawancara dilakukan di BPCB Jawa Timur
dengan Bapak HY sebagai bagian Manajer Keuangan dan Ibu HS sebagai Bagian
Pengelolaan BMN di Unit Umum. Penelitian ini melakukan triangulasi sumber informasi
untuk menguji keabsahan data dengan memanfaatkan sesuatu yang lain untuk
membandingkan hasil wawancara dengan objek penelitian.

Untuk mendapatkan data primer, peneliti menggunakan metode wawancara. Wawancara


dilakukan untuk menghasilkan data kualitatif yang mendalam. Metode wawancara yang
dilakukan peneliti adalah wawancara terstruktur dan tidak terstruktur. Wawancara
terstruktur adalah wawancara dimana pewawancara mendefinisikan masalah dan
pertanyaan yang akan ditanyakan (Moleong, 1993). Sedangkan wawancara tidak
terstruktur digunakan untuk memperoleh informasi yang mendalam melalui narasumber
yang mendalami situasinya dan lebih mengetahui informasi yang sedang dibutuhkan oleh pewawancara. Untu

Jurnal Akuntansi dan Investasi 2020 | 83


Machine Translated by Google

Widodo, Hanun, & Wulandari


Perlakuan Akuntansi Aset Pusaka: Studi Kasus Pengelolaan Candi Pari

menggunakan metode analisis dokumen. Dokumen diperoleh langsung dari yang bersangkutan
agen.

Mengingat data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data kualitatif, maka uji
validasi data yang dilakukan lebih ditekankan pada uji validasi data kualitatif. Langkah-
langkah yang dilakukan dalam mengembangkan validasi data penelitian adalah: 1.
Triangulasi Sumber Triangulasi sumber menguji kredibilitas data dengan cara mengecek
data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber. Dalam penelitian ini penulis
melakukan konfirmasi kepada koordinator wilayah mengenai perlakuan akuntansi
terhadap aset pusaka (Sugiyono, 2009).

2. Uji Triangulasi
Triangulasi data dengan menggabungkan wawancara dan dokumentasi. Triangulasi
pengujian ini dilakukan dengan mendokumentasikan perlakuan pembukuan aset pusaka
di Candi Pari dan mewawancarai pihak yang berkepentingan secara langsung, dan pihak
tersebut adalah Balai Pelestarian Cagar Budaya (Moleong, 1993). Triangulasi pengujian
ini dilakukan dengan cara pendokumentasian perlakuan akuntansi terhadap harta
peninggalan Candi Pari dan wawancara dengan pihak terkait yaitu BPCB Jawa Timur.

Secara umum metode analisis data dalam penelitian kualitatif terbagi menjadi dua bagian;
pertama adalah reduksi data, dan yang kedua adalah tampilan data. Jika diuraikan, metode
analisis data dalam penelitian kualitatif adalah sebagai berikut:

Pengumpulan data Tampilan Data

Reduksi Data

Kesimpulan:

menggambar/ memverifikasi

Gambar 1 Metode Analisis Data


Source: Sugiyono (2009)

Hasil dan Diskusi

Aset pusaka dalam Perspektif Pengelolaan

Berdasarkan BPCB Jatim selaku pengelola candi Pari, ciri-ciri aset Cagar Budaya yang
memiliki nilai dalam perjalanan sejarah negara ini, segala sesuatu yang berupa benda,
bangunan, situs, kawasan termasuk dalam kategori cagar budaya akan termasuk dalam
kategori aset cagar budaya. Aset pusaka termasuk dalam kelompok aset karena memiliki
sesuatu yang bernilai karena ada nilai yang melekat pada benda tersebut.

Jurnal Akuntansi dan Investasi 2020 | 84


Machine Translated by Google

Widodo, Hanun, & Wulandari


Perlakuan Akuntansi Aset Pusaka: Studi Kasus Pengelolaan Candi Pari

Dalam pengakuan suatu aset bersejarah diperlukan suatu anggaran tertentu yang
akan dibebankan pada anggaran pelayanan rutin terkait pengembalian jasa
penemuan. Biaya yang diberikan berdasarkan keaslian dan kondisi aset. Hal ini
diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

Pengakuan Aset Cagar Budaya Candi Pari

Berdasarkan BPCB Jatim sebagai pusat Cagar Budaya Jatim bahwa untuk pengakuan
semua aset Cagar Budaya yang ditemukan, tetap akan diakui sebagai aset daerah.
Aset warisan memang hak untuk diakui dalam kelas aset; dalam penelitian ini, aset
peninggalan Candi Pari. Aset Cagar Budaya Candi Pari meliputi bangunan dan
bangunan yang merupakan monumen Cagar Budaya. Selain dapat menghasilkan
keuntungan ekonomi di masa depan, aset warisan juga merupakan sesuatu yang
dimiliki oleh suatu entitas. Berbeda dengan kewajiban yang dikemudian hari akan
memiliki kewajiban yang harus dipenuhi yaitu kewajiban untuk menyerahkan barang atau jasa kepada piha

Daftar Aset Warisan Pari

Berdasarkan hasil analisis dengan narasumber di BPCB Jatim sebagai pusat Cagar
Budaya Jatim bahwa BPCB Jatim hanya melakukan pencatatan Laporan Proksi
Pengguna Semester, dalam laporan aset pusaka terbagi menjadi tiga jenis yaitu
peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, serta aset tetap lainnya, dalam laporan
aset pusaka dicatat dalam satuan. Hal ini sesuai dengan SAP No. 07 Tahun 2010
tentang Standar Akuntansi Pemerintahan yang mengamanatkan penyajian aset
pusaka dalam Catatan atas Laporan Keuangan.

Penilaian Aset Cagar Budaya Candi Pari

Berdasarkan hasil analisis dengan narasumber di BPCB Jawa Timur sebagai pusat
Cagar Budaya Jawa Timur, penilaian Candi Pari sebagai Aset Nasional diharapkan
dapat dijadikan pedoman untuk penilaian benda Cagar Budaya lainnya, namun
hingga saat ini studi belum menemukan cahaya dan masih dievaluasi. Hak atas aset
warisan. Dalam keterangannya, dalam menilai aset cagar budaya BPCB Jatim sebagai
pusat Cagar Budaya Jatim, hanya mencatatnya dalam bentuk satuan dan tak ternilai harganya.

Sulitnya menilai Candi Pari sebagai aset sejarah dapat dikaitkan dengan makna aset
pusaka. Aset Cagar Budaya adalah warisan, kekayaan budaya berupa benda cagar
budaya, bangunan cagar budaya, bangunan cagar budaya, situs cagar budaya dan
kawasan cagar budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan karena
mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/
atau kebudayaan melalui proses penetapan. Makna ini menunjukkan bahwa aset
pusaka tidak terkait langsung dengan aspek ekonomi, sehingga tidak mudah untuk
menilai besaran rupiah yang melekat pada aset pusaka termasuk Candi Pari (Dhani,
Husaini, & Abdullah, 2017).

Jurnal Akuntansi dan Investasi 2020 | 85


Machine Translated by Google

Widodo, Hanun, & Wulandari


Perlakuan Akuntansi Aset Pusaka: Studi Kasus Pengelolaan Candi Pari

Penyajian dan Pengungkapan Candi Pari dalam Laporan Keuangan

Gambar 2 Presentasi Aset Pusaka


Source: Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) East Java 2018

Berdasarkan hasil analisis BPCB Jawa Timur sebagai pusat Cagar Budaya Jawa Timur,
penyajian Candi Pari tercatat dalam bentuk satu kesatuan dan tak ternilai harganya. Dalam
laporan rujukan BMN dan Catatan atas Laporan Keuangan, BPCB Jatim mencatat seluruh
aset Cagar Budaya yang ada di Jatim.

Menurut PSAP 07 - Pemerintah tidak diharuskan menyajikan aset cagar budaya dalam
Laporan Posisi Keuangan, namun aset tersebut harus diungkapkan dalam Catatan atas
Laporan Keuangan. Sesuai dengan kewajibannya, maka penyajian dan pengungkapan
yang dilakukan oleh BPCB Jatim tertuang dalam PP 71 N0. 07 tentang Pelaporan Harta
Pusaka pada CaLK, sehingga Harta Pusaka juga dilaporkan dalam penyajian Catatan atas
Laporan Keuangan.

Pengukuran Aset Pusaka Pari

Aset cagar budaya adalah aset yang dimiliki atau dikuasai oleh pemerintah karena
peraturan yang berlaku harus melindungi umur dan kondisi aset cagar budaya tersebut
dari segala macam tindakan yang dapat merusak aset tersebut. Pengukuran dalam
akuntansi menunjukkan proses penentuan jumlah rupiah pada objek pada saat perolehan.
Besaran rupiah akan menjadi ukuran kekayaan entitas dan akan menjadi bahan akuntansi
yang disebut kost. Pengukuran dapat dipertimbangkan jika ada transaksi pertukaran
dengan bukti pembelian aset yang mengidentifikasi biayanya.

Jurnal Akuntansi dan Investasi 2020 | 86


Machine Translated by Google

Widodo, Hanun, & Wulandari


Perlakuan Akuntansi Aset Pusaka: Studi Kasus Pengelolaan Candi Pari

Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh dari BPCB Jawa Timur sebagai Pusat Cagar
Budaya Jawa Timur, pengukuran aset cagar budaya Candi Pari masih menjadi kendala
terkait perlakuan akuntansinya. Aset Pusaka lainnya, baik berupa barang museum
maupun aset cagar budaya lainnya yang diperoleh pada periode sekarang, dapat
diketahui nilainya. Namun khusus untuk aset Cagar Budaya berupa monumen belum
pernah dilakukan penilaian.

Pengukuran candi pari adalah aset yang diperoleh dengan transaksi, seperti membeli
dan menukar dapat diukur dengan biaya perolehan aset tersebut. Barang yang
diterima melalui hibah biasanya jelas memiliki manfaat ekonomi yang signifikan yang
diperoleh entitas tanpa nilai yang substansial, dengan kata lain bangunan dan tanah
yang diperoleh entitas merupakan contoh perolehan aset tanpa harga. Penelitian
Basnan, Salleh, Ahmad, Harun, dan Upawi (2015) menjelaskan bahwa peralihan dari
akuntansi berbasis kas ke akuntansi berbasis akrual telah menimbulkan beberapa
permasalahan, khususnya berkaitan dengan aset yang memiliki karakteristik khusus
dan unik seperti aset warisan. Aset ini menimbulkan tantangan yang cukup besar,
terutama dalam hal pengakuan dan pengukuran aset. Terlepas dari tantangannya, aset
tersebut harus dipertanggungjawabkan dan dilaporkan secara akurat sesuai dengan
karakteristik khusus dan sifatnya yang unik sehingga para pemangku kepentingan
akan mendapatkan gambaran yang komprehensif dan akurat tentang nilai keuangan
aset dan posisi keuangan pemerintah secara keseluruhan. Dengan demikian, tantangan
seperti yang dijelaskan dalam makalah ini harus mendapat perhatian serius untuk
memfasilitasi perlakuan dan pelaporan akuntansi yang tepat dan akurat untuk aset dan untuk memastikan k

Menurut Biondi dan Lapsley (2014), investigasi mengungkapkan bahwa tingkat


pertama, atau tingkat minimal, transparansi, tidak mungkin dicapai untuk organisasi
publik dengan aset warisan, terutama karena masalah pengakuan dan penilaian aset
yang mendalam dan merusak. . Perubahan terbaru dalam arahan akuntansi untuk aset
warisan yang dipegang oleh pemerintah, otoritas lokal, dan badan amal di Inggris
memerlukan perhatian mereka dalam laporan keuangan dan pengukuran nilai
ekonominya. Selanjutnya, banyak penjualan aset warisan oleh otoritas lokal muncul.
Di ketiga negara tersebut, jelas bahwa keterbandingan laporan keuangan antar negara
bukan urusan pembuat kebijakan dan keterbandingan antar kota di masing-masing
negara bukan urusan penyusun.

Kesimpulan

Aset cagar budaya adalah warisan budaya kebendaan berupa benda cagar budaya,
bangunan cagar budaya, bangunan cagar budaya, situs cagar budaya dan kawasan
cagar budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena
mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/
atau kebudayaan melalui proses penetapan.

BPCB Trowulan Jawa Timur mengakui aset pusaka sebagai aset dan tercantum dalam
daftar aset pada laporan pengurusan dan pembukuan barang milik negara (SIMAK MBN),

Jurnal Akuntansi dan Investasi 2020 | 87


Machine Translated by Google

Widodo, Hanun, & Wulandari


Perlakuan Akuntansi Aset Pusaka: Studi Kasus Pengelolaan Candi Pari

khususnya dalam Laporan Barang Kuasa Pakai Bagi Pengguna Semester Pusaka, dalam
laporan ini jenis-jenisnya yaitu peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, serta aset tetap
lainnya, dalam laporan ini aset pusaka dicatat dalam bentuk satuan. Aset cagar budaya di
Indonesia memiliki acuan hukum yaitu undang-undang nomor 10 tahun 2010 dan PSAP 07 tahun 2010.

Keterbatasan penelitian ini adalah jumlah informan yang sedikit karena untuk meningkatkan
efektifitas waktu penelitian, peneliti lebih memfokuskan pada perlakuan akuntansi pada
Candi Pari sebagai aset pusaka. Penelitian ini sebaiknya menambah informan dan objek
penelitian seperti bangunan, museum, artefak. Kajian lebih lanjut diharapkan kepada
Informan Akademik dari dosen atau badan standar untuk memperkaya informasi perlakuan
akuntansi aset pusaka

Referensi

UU Kebijakan Akuntansi (2009). Warisan dan Aset Komunitas: Pengukuran Warisan


dan Aset Masyarakat.
Agustini, A. T. (2011). Arah Pengakuan Pengukuran, Penilaian dan Penyajian Aset Bersejarah
dalam Laporan Keuangan pada Entitas Pemerintah Indonesia (Studi Literatur). Skripsi,
Universitas Jember, Jember. Retrieved from http://repository.unej.ac.id/bitstream/handle/
123456789/187/AISA%20TRI%20A AKT2.pdf;sequence=1 Anggraini, F. G. (2014).
Perlakuan Akuntansi untuk Aset Bersejarah (Studi Fenomenologi pada Pengelolaan Candi
Borobudur). Skripsi, Universitas Diponegoro, Semarang.

Diambil dari http://eprints.undip.ac.id/42920/1/10_ANGGRAINI.pdf


Aversano, N. (2016). Aset Warisan. Springer International Publishing Swiss. Diambil dari https://
link.springer.com/referenceworkentry/10.1007%2F978-3-319-31816- 5_2274-1

Aversano, N. d. JC (2012). Pelaporan Keuangan Pemerintah Aset Pusaka Dalam Perspektif


Kebutuhan Pengguna. Ilmu kemasyarakatan.
Barton, AD (2000). Akuntansi fasilitas warisan publik - aset atau kewajiban pemerintah?
Akuntansi. Jurnal Audit & Akuntabilitas, 13(2), 219-235. https://doi.org/
10.1108/09513570010323434
Basnan, N., Salleh, MFM, Ahmad, A., Harun, AM, & Upawi, I. (2015). Tantangan dalam
akuntansi untuk aset warisan dan jalan ke depan: Menuju penerapan akuntansi akrual
di Malaysia. Jurnal Masyarakat Malaysia, 11, (63-73). Diambil dari https://
www.semanticscholar.org/paper/Challenges-in-accounting-for-heritage assets-and-in-
Basnan-Salleh/328f254e4537bc773b16a38c265f9d117abb1421
Biondi, L. & Lapsley, I. (2014). Akuntansi, transparansi dan tata kelola: masalah aset warisan.
Penelitian Kualitatif Akuntansi & Manajemen, 11(2), 146-164. https://doi.org/10.1108/
QRAM-04-2014-0035
Darmawan, C. B., Yadnyana, I. K. & Sudana, I. P. (2017). Menguak Perlakuan Akuntnasi Aset
Bersejarah (Studi interpretif pada Museum Semarjaya Klungkung). E-Journal Ekonomi
dan Bisnis Universitas Udayana. 6(5), 1785-1816. Retrieved from https://ojs.unud.ac.id/
index.php/EEB/article/view/28032 Dhani, U. O., Husaini, & Abdullah T. (2017). Peranan
Balai Pelestarian Cagar Budaya
(BPCB) Aceh Dalam Pelestarian Situs-Situs Bersejarah di Kota Banda Aceh Tahun
1990-2015. Jurnal Ilmiah Mahasiswa (JIM) Program Studi Pendidikan Sejarah. 2(1), 114-125.
Diambil dari http://www.jim.unsyiah.ac.id/sejarah/article/download/2521/1334

Jurnal Akuntansi dan Investasi 2020 | 88


Machine Translated by Google

Widodo, Hanun, & Wulandari


Perlakuan Akuntansi Aset Pusaka: Studi Kasus Pengelolaan Candi Pari

GRAP. (2012). Praktek Akuntansi yang Diakui Secara Umum: Perbendaharaan Nasional. Departemen
Perbendaharaan Nasional Republik Afrika Selatan.
Halim, A. d. M. S. K. (2014). Teori, Konsep, dan Aplikasi Akuntansi Sektor Publik, Vol. 2.
Jakarta: Salemba Empat.
IPSAS. (2010). Standar Akuntansi Sektor Publik Internasional (IPSAS) 17 Properti Pabrik dan Peralatan. New
York: Federasi Akuntansi Internasional.
Moleong, L. ( 1993). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Ouda, HAGT (2014). Menuju Pendekatan Akuntansi Praktis untuk Aset Warisan: Model Pelaporan Alternatif
untuk Praktik NPM. Jurnal Keuangan dan Akuntansi, 2(2), 29. Diambil dari https://www.researchgate.net/
publication/303390426_Towards_a_Practical_Accoun
ting_Approach_for_Heritage_Assets_An_Alternative_Reporting_Model_for_the_NP M_Practices

Pallot, J. (1992). Elemen kerangka teoritis untuk akuntansi sektor publik.


Jurnal Akuntansi, Audit & Akuntabilitas, 5(1), 3859. Diambil dari http://www.sciepub.com/
reference/48737
PSAP. (2010). Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP) Nomor 07 Tahun 2010 Tentang Aset
Tetap.
Safitri, M. R., & Indriani, M. (2017). Praktik Akuntansi untuk Aset Bersejarah Studi Fenomenologi
pada Museum Aceh. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Ekonomi Akuntansi (JIMEKA). 2(2), 1-9.
Retrieved from http://www.jim.unsyiah.ac.id/EKA/article/view/2387

Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfa
Beta.
Suwardjono. (2010). Teori Akuntansi :Pengungkapan dan Sarana Interpretatif (Vol. 3). Yogyakarta
BPFE.
Liar, S. (2013). Akuntansi Warisan, Budaya, dan Aset Komunitas-Alternatif
Metrics from a New Zealand Maori Education Institution. AABFJ, 7(1). Retrieved from https://
ro.uow.edu.au/aabfj/vol7/iss1/2/ Wulandari, D., & Utama, A. A. G. S. (2016). Perlakuan Akuntansi
untuk Aset Bersejarah: Pengakuan, Penilaian dan Pengungkapannya dalam Laporan Keuangan (Studi
kasus pada Museum Anjuk Ladang Kabupaten Nganjuk). Diponegoro Journal of Accounting.

4(3), 1-11. Retrieved from


https://jurnal.unej.ac.id/index.php/prosiding/article/view/3693 Yusuf. (2010).
Langkah Pengelolaan Aset Daerah Menuju Pengelolaan Keuangan Daerah Terbaik.
Jakarta: Salemba Empat.

Jurnal Akuntansi dan Investasi 2020 | 89

Anda mungkin juga menyukai