Anda di halaman 1dari 23

TEORI AKUNTANSI

AKUNTANSI UNTUK ASET-ASET BERSEJARAH: MENGAPA DAN


BAGAIMANA?

(Studi Pustaka pada Cagar Budaya di Indonesia)

Artikel Non Empiris-Ujian Tengah Semester

Di susun oleh:

Wiwin Juliyanti

S431908019 MAKSI B 2019

UNIVERSITAS SEBELAS MARET


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
PROGRAM PASCA SARJANA
PROGRAM STUDI MAGISTER AKUNTANSI
April 2020
AKUNTANSI UNTUK ASET-ASET BERSEJARAH: MENGAPA DAN
BAGAIMANA?
(Studi Pustaka pada Cagar Budaya di Indonesia)

Wiwin Juliyanti
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Sebelas Maret
wiwinjuliyanti22@gmail.com

ABSTRACT

This study aims to provide an overview related to research on heritage assets in Indonesia.
This study classifies and reviews articles based on research methods and results that focus
on accounting treatment in terms of: recognition, valuation, measurement, presentation,
and disclosure of assets in line with financial statements so that questions can be
formulated: Are they in accordance with Government Accounting Standards (SAP). This
research is a literature study that contains theories that are relevant to the research
problem. Research data collection was taken from primary data sources, namely
Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintah No 07 tahun 2010 Aset Tetap Bersejarah and
various scientific articles. The results showed that the treatment of several Cultural
Heritage in Indonesia had referred to the prevailing Standar Akuntansi Pemerintah but the
majority of Indonesian Cultural Heritage had not been presented in the report based on
accounting principles, meaning that the government's accountability requirement to the
parties concerned had not yet been fully achieved.

Keywords: Heritage Assets, Recognition, Assessment, Measurement, Presentation, and


Disclosure, PSAP No. 07 of 2010 concerning Accounting for Fixed Assets

PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara kepulauan yang tidak hanya terkenal dengan

kekayaan alamnya yang melimpah, namun juga terkenal dengan perjalanan sejarahnya

yang panjang. Melalui proses riset manusia menemukan beraneka ragam peninggalan
nenek moyang. Peninggalan-peninggalan ini memiliki manfaat yang besar untuk ilmu

pengetahuan yang berwujud kesenian, adat istiadat, bahasa, situs, arsitektur dan

kawasan bersejarah bernilai budaya yang mengisi ruang-ruang diberbagai daerah di

negeri ini.

Pengikisan nilai kebudayaan yang ada telah menyebabkan banyaknya masalah

yang dihadapi negara dalam menjaga segala bentuk peninggalan bersejarah yang ada.

Salah satu wujud komitmen pemerintah adalah dengan dilakukannya reformasi

keuangan negara di, dimana pemerintah pusat telah membuat komitmen yang kuat

dalam membangun prinsip good governance melalui pengelolaan keuangan yang lebih

transparan dan bertanggungjawab.

Undang-undang No. 1 Tahun 2004 menjadi tonggak sejarah dalam reformasi

pengelolaan kekayaan negara, baik dari segi pengaturan hukum, administrasi hingga segi

kelembagaan. Hal ini, kemudian terwujud dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 2005 sebagaimana yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah

Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan sebagai bentuk

paradigma baru dalam pengelolaan pelaporan keuangan negara yang lebih akuntabel

dengan mengedepankan profesionalisme, transparansi, dan akuntabilitas yang diharapkan

akan mampu meningkatkan kepercayaan para stakeholders.

Transisi ini dipandang sebagai langkah menuju pelaporan keuangan pemerintah

yang baik. Pelaporan keuangan yang merupakan produk akhir akuntansi dianggap

sebagai media untuk melaksanakan kewajiban akuntabilitas pemerintah kepada pihak-

pihak yang berkepentingan.

Akuntabilitas memegang peranan penting dalam sistem pengendalian manajemen

sektor publik, dimana sistem akuntansi menjadi esensi utama dalam pengelolaan
laporan keuangan sektor publik. Laporan keuangan sebagai alat akuntansi hadir

untuk memfasilitasi transparansi dan akuntabilitas pelaporan keuangan pemerintah.

Penggunaan basis akuntansi akrual pada pelaporan keuangan pemerintah telah

mengharuskan baik pemerintah pusat maupun daerah untuk mengakui semua aset,

kewajiban dan ekuitas yang memenuhi kriteria definisi dan kriteria pengakuan di

dalam neraca. Dengan kata lain, basis akrual untuk neraca berarti bahwa aset,

kewajiban dan ekuitas harus diakui dan dicatat pada saat terjadinya transaksi atau

pada saat kejadian dan kondisi lingkungan berpengaruh pada keuangan pemerintahan

tanpa memperhatikan saat kas maupun setara kas diterima atau dibayar.

Salah satu isu yang masih menjadi masalah utama dalam aset tetap adalah

adanya perdebatan terkait dengan penggolongan aset dan perlakuan khusus pada aset.

Perlakuan akuntansi untuk aset tetap pemerintah seperti tanah, peralatan, mesin dan

bangunan nampaknya tidak banyak perdebatan yang terjadi seputar dengan perlakuan

akuntansinya. Namun, untuk aset tetap dengan kriteria “tertentu” seperti aset

bersejarah, aset militer (Barton, 2000) dan aset biologis masih terdapat banyak

pertanyaan dan perdebatan yang belum dapat diselesaikan di dalam domain

pelaporan keuangan (Christiaens, dkk., 2008). Hal ini sesuai dengan pendapat yang

diungkapkan oleh Hines (1998) bahwa akuntansi untuk aset dalam beberapa hal

terlihat memiliki kekurangan dibandingkan dengan akuntansi untuk aspek lainnya,

mengingat sifat alamiah yang dimiliki oleh masing-masing aset tersebut.

Salah satu aset pemerintah yang mendapatkan perlakuan khusus adalah aset

bersejarah. Aset Bersejarah (heritage assets) merupakan aset yang penting bagi

kebudayaan dan sejarah bangsa serta sebagai identitas negara. Heritage Assets

didefinisikan sebagai sebuah aset dengan kualitas sejarah, seni, ilmiah, teknologi, atau

lingkungan yang dipelihara untuk berkontribusi ilmu pengetahuan dan kebudayaan


yang harus dipelihara kelestariaannya serta manfaat ekonomi yang diperoleh dari aset

tersebut (Accounting Standards Board, 2006).

Sedangkan menurut PSAP 07 tahun 2010 aset bersejarah adalah aset yang

menyediakan kepentingan publik dari aspek budaya, lingkungan, dan sejarahnya yang

dilestarikan dan dipertahankan keberadaannya dalam jangka waktu yang tidak

terbatas. Yang termasuk dalam aset bersejarah adalah bangunan bersejarah,

monument, situs-situs purbakala seperti candi.

Pada tahun 2019, Kemendikbud mencatat ada sekitar 1.492 cagar budaya yang

bergerak maupun tidak yang telah terdaftar dan teridentifikasi. Cagar Budaya adalah

warisan budaya yang bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar

Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat

dan atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi

sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan atau kebudayaan melalui proses

penetapan (UU No 11 Tahun 2010).

Permasalahan umum yang berkaitan dengan aset bersejarah adalah inventarisasi

yang masih buruk baik dalam aspek fisik maupun aspek yuridis, pemanfaatan aset

bersejarah yang dimiliki kurang memberikan hasil yang maksimal, dan akuntansi

untuk aset bersejarah itu sendiri. Permasalahan akuntansi ini menyangkut pengakuan,

penilaian, dan pengungkapan dari aset bersejarah. Dalam hal pengakuan aset bersejarah

beberapa ahli masih memperdebatkan diakui sebagai aset ataukah sebagai kewajiban.

Penilaian terhadap aset bersejarah akan sulit dilakukan dan menemukan metode yang

dapat diterima umum dari penilaian aset bersejarah.

Ketidakmungkinan menjual aset bersejarah di pasar terbuka dan tujuan sosial yang

ada di dalam aset bersejarah menjadikan akuntan sulit untuk mendapatkan penilaian

yang relevan atau menunjukkan nilai jasa yang potensial yang ada pada aset tersebut.
Dengan adanya permasalahan pengakuan dan penilaian aset bersejarah, maka secara

otomatis terdapat masalah pada pengungkapan aset tersebut. Menurut PSAP 71 No. 07

tahun 2010 Paragraf 65 “Pernyataan ini tidak mengharuskan pemerintah untuk

menyajikan (heritage assets) di neraca namunaset tersebut harus diungkapkan dalam

Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK)”.

Berdasarkan permasalahan yang telah dijabarkan diatas maka peneliti tertarik

melakukan penelitian dengan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Perlakuan Akuntansi pada Aset-aset Bersejarah (Cagar Budaya) di

Indonesia?

2. Mengapa perlu adanya Pengakuan, Penilaian, Pengukuran, Penyajian, dan

Pengungkapan terhadap Aset-aset Bersejarah (Cagar Budaya) di Indonesia sesuai

Standar Akuntansi Pemerintah?

Fokus Penelitian

Berdasarkan latar belakang diatas maka penelitian ini berfokus terhadap

perlakuan akuntansi dengan mengklasifikasikan hasil artikel penelitian terhadap Aset-aset

Bersejarah di Indonesia (heritage assets) jika dilihat dari aspek pengakuan, penilaian,

pengukuran, penyajian, dan pengungkapan. Kriteria Aset-aset Bersejarah dengan definisi

sebagai aset tetap yang dimiliki atau dikuasai oleh pemerintah yang karena umur dan

kondisi aset tetap tersebut harus dilindungi oleh peraturan yang berlaku dari segala macam

tindakan yang dapat merusak aset tersebut.

Teknik Intepretasi Data

Dalam penelitian ini, teknik interpretasi data yang digunakan peneliti adalah

content analysis dan matching concept. Data-data yang ada dipahami dan dinilai hubungan

kesesuaiannya dengan aturan yang berlaku untuk mendukung kesimpulan yang akan

dibuat.
KAJIAN TEORI

Akuntansi

Pengertian teori akuntansi sangat bergantung pada pengertian atau

pendefinisian akuntansi sebagai bidang pengetahuan. Artinya, kedudukan akuntansi dalam

tatanan (taksonomi) pengetahuan juga akan menentukan pengertian dan lingkup teori

akuntansi. Lagi pula kejelasan status akuntansi mempunyai implikasi terhadap arah

studi dan praktik akuntansi. (Suwardjono, 2016)

Sistem akuntansi yang dirancang dan diselenggarakan harus tetap mengacu

pada ukuran yang disepakati umum yaitu standar akuntansi pemerintahan. Standar

akuntansi mengatur antara lain: (1) pengertian (definition); (2) pengakuan

(recognition); (3) penilaian atau pengukuran (measurment); dan (4) penyajian

(disclosure).

Stakeholder Theory

Istilah stakeholder pertama kali diperkenalkan Standford Research Institute (RSI)

di tahun 1963, dan kemudian secara teoritis dikembangkan oleh Freeman di tahun 1984

dalam karyanya yang berjudul Strategic Management: A Stakeholder Approach. Freeman

(2010) mendefinisikan stakeholder merupakan kelompok maupun individu yang dapat

mempengaruhi dan dipengaruhi oleh proses pencapaian tujuan suatu organisasi. Para

kelompok stakeholder tersebut meliputi: DPRD (Dewan Perwakilan Daerah), Badan

Pengawas Keuangan (BPK), Investor, Kreditor, Donatur, Pemerhati Pemerintah Daerah,

Analis ekonomi, Asosiasi Usaha, Pegawai, Pemerintah Pusat dan Rakyat.

Teori ini, secara umum menjelaskan bagaimana peran manajemen dalam

memenuhi atau mengelola harapan para stakeholder dengan menekankan pada

akuntabilitas organisasi. Teori tersebut lebih mempertimbangkan posisi para

stakeholder yang dianggap powerfull.


Para stakeholder memiliki hak untuk menerima dan memperoleh informasi yang

relevan termasuk informasi yang ada terkait aset bersejarah. Disamping itu,

pengguna utama dari pelaporan keuangan pemerintah bukanlah investor yang tertarik

untuk menerima pendapatan, melainkan wajib pajak yang tertarik untuk menilai

apakah pemerintahan publik telah mengelola sumber daya publiknya secara efisien dan

efektif (Aversano dan Ferrone, 2012). Selain itu, penyediaan informasi aset bersejarah

dan sumber yang dibutuhkan akan meningkatkan akuntabilitas pemerintah untuk

pelestarian dan konservasi pusaka publik kepada para stakeholder.

Fiat Measurement Theory (Teori Pengukuran Fiat)

Teori pengukuran umumnya berfokus pada pengembangan suatu alat ukur

atau instrumen dengan bantuan seorang analis yang dapat mengukur atribut yang

dimiliki oleh suatu objek, fenomena maupun sistem yang diteliti. Suwardjono (2016)

mendefinisikan pengukuran (measurement) sebagai penentuan besarnya unit pengukur

(jumlah rupiah) yang akan dilekatkan pada suatu objek (elemen atau pos) yang terlibat

dalam suatu transaksi, kejadian atau keadaaan untuk merepresentasi makna atribut

(atribute) objek tersebut. Atribut merupakan sesuatu yang melekat pada suatu objek

yang menggambarkan sifat atau ciri yang dikandung oleh objek tersebut. Istilah

pengukuran sering dibatasi penggunaannya untuk menentukan jumlah rupiah pada

saat pemerolehan atau terjadinya suatu objek (Suwardjono, 2016).

Fiat Measurement Theory atau teori pengukuran fiat pertama kali

diperkenalkan oleh Torgerson (1958). Pengukuran Fiat (fiat berarti dekrit) merupakan

hal khas dalam ilmu-ilmu sosial dan dalam akuntansi untuk menggunakan definisi

yang dibangun secara arbitrer (acak) untuk menghubungkan properti-properti tertentu

yang diamati ke suatu konsep tertentu (Godfrey dkk, 2010). Pengukuran fiat tidak

mendasarkan pengukurannya pada teori yang telah ada sehingga dapat digunakan
sebagai acuan untuk melakukan berbagai cara dimana skala dapat dibuat. Torgerson

(1958) juga menambahkan bahwa dalam akuntansi misalnya, berbagai dewan standar

akuntansi menentukan skala akuntansi dengan fiat, bukan dengan mengacu pada teori

pengukuran yang telah dikonfirmasi sebelumnya.

Pengukuran atas aset bersejarah sangat penting dilakukan karena dengan

mengukur suatu aset maka kita dapat mengetahui nilai dari objek tersebut. Dalam

memudahkan untuk melakukan suatu pengukuran sehingga memperoleh suatu hasil yang

akurat dan dapat diandalkan kita dapat memilih tipe pengukuran yang sesuai dengan

karakteristik objek yang diukur. Namun, perlu ditegaskan bahwa hal tersebut seharusnya

tidak dilakukan begitu saja semata-mata untuk menaikkan nilai aset atas dasar harapan

dan ramalan. Jadi, harus ada alasan yang kuat atau suatu kondisi khusus untuk dapat

melakukan pengukuran (Suwardjono, 2016).

Untuk aset tetap sendiri merupakan sumber daya yang memiliki empat

karakteristik yaitu: (1) berujud atau memiliki ujud (bentuk atau ukuran tertentu); (2)

digunakan dalam operasi perusahaan; (3) mempunyai masa manfaat jangka panjang; dan

(4) tidak dimaksudkan untuk diperjualbelikan. Aset semacam ini biasanya memiliki masa

pemakaian yang lama dan diharapkan dapat memberi manfaat pada perusahaan selama

bertahun-tahun (Jusup, 2005)

Barang Milik Negara (BMN)

BMN memiliki jenis yang beragam, baik dalam hal bentuk, tujuan

perolehannya maupun masa manfaat yang diharapkan. PP No 71 tahun 2010 tentang

Standar Akuntansi Pemerintahan membagi BMN menjadi aset lancar, aset tetap, aset tak

berwujud, aset lainnya, dan aset bersejarah


Aset Bersejarah: Cagar Budaya

International Public Sector Accounting Standards (IPSAS) 17 –Property,

Plans, and Equipment menyatakan bahwa, “ beberapa aset dinyatakan sebagai aset

warisan karena budaya mereka, lingkungan, atau signifikasi sejarahnya.” Pernyataan

Standar Akuntansi Pemerintahan No 07 berdasarkan Peraturan Pemerintah No 71

Tahun 2010, aset bersejarah adalah aset yang menyediakan kepentingan publik dari

aspek budaya, lingkungan, dan sejarahnya yang dilestarikan dan dipertahankan

keberadaannya dalam jangka waktu yang tidak terbatas. Dalam aset bersejarah antara

lain meliputi bangunan bersejarah, monument, situs-situs purbakala seperti candi,

karya seni, dan lain-lain.

Menurut PSAP 71 No. 07 tahun 2010 paragraf 69, aset bersejarah (heritage assets)

harus disajikan dalam bentuk unit, misalnya jumlah unit koleksi yang dimiliki atau

jumlah unit monumen, dalam Catatan atas Laporan Keuangan tanpa nilai, kecuali untuk

beberapa aset bersejarah yang memberikan potensi manfaat lainnya kepada pemerintah

selain nilai sejarahnya. Aset tersebut akan diterapkan prinsip-prinsip yang sama seperti

aset tetap lainnya dan aset tersebut dapat disajikan dalam neraca.

Dikatakan Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, atau Struktur

Cagar Budaya apabila memenuhi kriteria :

a. Berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih;

b. Mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 (lima puluh) tahun;

c. Memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan,

d. agama, dan/atau kebudayaan; dan

e. Memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.

Berdasarkan Pasal 3, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010, pelestarian

Cagar Budaya itu sendiri bertujuan untuk melestarikan warisan budaya bangsa dan
warisan umat manusia, mengingatkan harkat dan martabat bangsa melalui Cagar

Budaya, memperkuat kepribadian bangsa, meningkatkan kesejahteraan rakyat,

mempromosikan warisan budaya bangsa kepada masyarakat internasional.

Dalam Pasal 95 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010, di dalam

melakukan perlindungan, pengenbangan, dan pemanfaatan Cagar Budaya, Pemerintah

dan Pemerintahan Daerah mempunyai tugas sesuai dengan tingkatannya, antara lain :

a. Mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan serta meningkatkan kesadaran dan

tanggung jawab akan hak dan kewajiban masyarakat dalam pengelolaan Cagar

Budaya;

b. Mengembangkan dan menerapkan kebijakan yang dapat menjamin terlindunginya

dan termanfaatkannya Cagar Budaya;

c. Menyelenggarakan penelitian dan pengembangan Cagar Budaya;

d. Menyediakan informasi Cagar Budaya untuk masyarakat;

e. Menyelenggarakan promosi Cagar Budaya;

f. Memfasilitasi setiap orang dalam melaksanakan pemanfaatan dan promosi Cagar

Budaya;

g. Menyelenggrakan penanggulangan bencana dalam keadaan darurat untuk benda,

bangunan, struktur, situs, dan kawasan yang telah dinyatakan sebagai Cagar

Budaya serta memberikan dukungan terhadap daerah yang mengalami bencana;

h. Melakukan pengawasan, pemantauan, dan evaluasi terhadap pelestarian warisan

budaya; dan

i. Mengalokasikan dana bagi kepentingan pelestarian Cagar Budaya.

Karakteristik Aset Bersejarah

Standar Akuntansi Pemerintah No 7 berdasarkan PP No 71 Tahun 2010 menjelaskan

beberapa aset tetap dijelaskan sebagai aset bersejarah dikarenakan kepentingan budaya,
lingkungan, dan sejarah. Contoh aset bersejarah meliputi: bangunan bersejarah,

monumen, reruntuhan, candi, museum, situs arkeologi, kawasan konservasi hingga

karya seni. Aset bersejarah mempunyai beberapa aspek yang membedakannya dengan

aset- aset lain,diantaranya adalah:

a. Nilai budaya, lingkungan, pendidikan dan sejarah yang terkandung di dalam aset

tidak mungkin sepenuhnya tercermin dalam istilah moneter;

b. Terdapat kesulitan untuk mengidentifikasi nilai buku berdasarkan harga pasar

yang sepenuhnya mencerminkan nilai seni, budaya, lingkungan, pendidikan atau

sejarah. Terdapat larangan dan pembatasan yang sah menurut undang- undang

untuk masalah penjualan;

c. Keberadaan aset tidak tergantikan dan nilai aset memungkinkan untuk bertambah

seiring berjalannya waktu, walaupun kondisi fisik aset memburuk;

d. Terdapat kesulitan untuk mengestimasikan masa manfaat aset karena masa manfaat

yang tidak terbatas, dan pada beberapa kasus bahkan tidak bisa didefinisikan;

e. Aset tersebut dilindungi, dirawat serta dipelihara.

PSAP Nomor 07 Tahun 2010

Pengertian Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP)

Perlakuan aset bersejarah di Indonesia telah diatur dalam standar yakni

Pernyataan Standar Akuntansi pemerintah (PSAP) No 07 yang menerangkan

mengenai aset pemerintah. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003

tentang Keuangan Negara, SAP ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Setiap entitas

pelaporan pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib menerapkan SAP. Selain itu,

diharapkan adanya upaya pengharmonisan berbagai peraturan baik di pemerintah pusat

maupun pemerintah daerah dengan SAP.


SAP diterapkan di lingkup pemerintahan, yaitu pemerintah pusat, pemerintah

daerah, dan satuan organisasi di lingkungan pemerintah pusat/daerah, jika menurut

peraturan perundang-undangan satuan organisasi dimaksud wajib menyajikan laporan

keuangan. Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan Tentang Aset Bersejarah,

pernyataan ini tidak mengharuskan pemerintah untuk menyajikan aset bersejarah

(heritage assets) di neraca namun aset tersebut harus diungkapkan dalam Catatan atas

Laporan Keuangan.

Perlakuan Akuntansi Aset Bersejarah

Perlakuan akutansi adalah suatu kebijakan-kebijakan atau langkah-langkah yang

dilakukan dalam proses akuntansi yang meliputi pengakuan, pengukuran, pencatatan,

dan penyajian informasi keuangan dalam laporan keuangan suatu entitas. Perlakuan aset

bersejarah adalah kegiatan mengakui, menilai, menyajikan, dan mengungkapkan aset

bersejarah sesuai dengan ketetuan yang berlaku yaitu Pernyataan Standar Akuntasi

Pemerintahan No 07 Tahun 2010, sehingga menghasilkan informasi keuangan

mengenai aset bersejarah yang handal.

a. Pengakuan Aset Bersejarah

Aset diakui pada saat potensi manfaat ekonomi masa depan diperoleh oleh

pemerintah dan mempunyai nilai atau beban yang dapat diukur dengan handal.

Pengakuan atas aset didasarkan pada keterpenuhan definisi aset, kemanfaatan ekonomi

yang mengalir ke entitas serta memiliki nilai dan biaya yang dapat diukur dengan

andal. Meskipun aset bersejarah merupakan aset yang tergolng ke dalam aset tetap,

namun pada pernyataannya beberapa aset bersejarah tidak dapat diukur dengan handal.

b. Penilaian Aset Bersejarah

Aset tetap pada prinsipnya dinilai dengan menggunakan biaya perolehan, apabila

biaya perolehan suatu aset adalah tanpa nilai atau tidak dapat diidentifkasi maka nilai aset
tetap didasarkan pada nilai wajar pada saat perolehan. Namun pada keyataannya, beberapa

aset bersejarah sulit untuk dinilai, disamping merupakan aset yang secara khusus

lebih dikaitkan dengan nilai sejarahnya, aset juga umunya diperoleh dengan berbagai

macam cara, baik dengan cara donasi, hibah, rampasan, sitaan dan pembangunan yan

telah terjadi selama beberapa periode yang lalu.

Namun, khusus pada aset bersejarah yang memberikan potensi manfaat lainnya

kepada pemerintah selain nilai sejarahnya, sebagai contoh bangunan bersejarah

digunakan untuk ruang perkantoran, untuk kasus tersebut aset akan diterapkan

prinsip penilaian yang sama seperti aset tetap pada umumnya. Penggunaan fair value

dalam menilai aset bersejarah merupakan metode yang paling umum digunakan. Menurut

Pernytaan Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP) 07 Tahun 2010, penilaian

kembali (revaluation) tidak diperbolehkan karena SAP menganut penilaian aset

berdasarkan biaya perolehan atau harga pertukaran. Apabila terjadi perubahan harga

secara signifikan, pemerintah dapat melakukan revaluasi atas aset yang dimilki agar nilai

aset tetap pemerintah yang ada sat ini mencerminkan nilai wajar sekarang.

c. Pengukuran Aset Bersejarah

Kriteria dari suatu benda diakui sebagai pengakuan aset karena benda tersebut

dapat diukur nilainya. Pengukuran merupakan proses penetapan jumlah rupiah pada saat

perolehan dan diakui serta dimasukkan dalam laporan keuangan baik di neraca atau laba

rugi. Menurut PSAP 07 Tahun 2010 menyatakan bahwa aset tetap dinilai dengan biaya

perolehan, apabila penilaian aset tetap dengan biaya perolehan tidak memungkinkan

maka nilai aset tetap didasarkan pada nilai wajar. Apabila pengukuran aset bersejarah

memiliki karakteristik yang sama maka aset tersebut diperlukan sama dengan aset tetap.

Pengukuran aset bersejarah dapat menggunakan metode tertentu misalnya hostorical cost

ataupun nilai wajar pada saat pengakuan awal.


d. Penyajian Aset Bersejarah

Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintah No. 07 Tahun 2010 menyatakan bahwa

aset berejarah harus disajikan dalam bentuk unit, misalnya jumlah unit koleksi yang

dimiliki atau jumlah unit monumen, dalam Catatan atas Laporan Keuangan.

e. Pengungkapan Aset Bersejarah

Standar Akuntansi Pemerintahan No 07 Tahun 2010 menyatakan bahwa

terdapat beberapa prinsip akuntansi dan pelaporan keuangan, salah satunya adalah

pengungkapan lengkap (full disclosure). Pengungkapan lengkap berarti laporan

keuangan menyajikan secara lengkap informasi yang dibutuhkan pengguna. Dapat

disajikan pada lembar muka (on the face) laporan keuangan atau Catatan atas Laporan

Keuangan.

Menurut PSAP No 07 Tahun 2010, aset bersejarah diungkapkan dalam Catatan

atas Laporan Keuangan (CaLK) saja tanpa nilai, kecuali untuk beberapa aset

bersejarah yang memberikan potensi manfaat lainnya kepada pemerintah selain nilai

sejarahnya, misalnya gedung untuk ruang perkantoran, aset tersebut aset tersebut

akan diterapkan prinsip-prinsip yang sama seperti aset tetap lainnya. Jadi, aset

bersejarah dapat diungkapkan dengan dua (2) cara yaitu pertama, dimasukkan dalam

CaLK hanya ditulis sejumlah unit dan keterangan tentaang aset tersebut. Dan yang

kedua, dimasukkan dalam neraca hanya yang memberikan potensi manfaat kepada

pemerintah selain nilai sejarahnya.

HASIL TEMUAN DAN PEMBAHASAN

Berikut merupakan tabel yang menunjukkan perbedaan-perbedaan pendapat

menurut para ahli mengenai pengertian aset bersejaarah dan bagaimana praktik akuntansin

yang tepat untuk aset bersejarah.


Tabel 1. Perbedaan Pendapat tentang Aset Bersejarah

Peneliti Pendapat tentang Aset Bersejarah


(Heritage Asset)
Barton (2000) Aset bersejarah harus disajikan dalam anggaran anggaran sebagai “aset
layanan” (Heritage assets must be represented in a separate budget as
“service assets”)
Carnegie dan Aset bersejarah bukanlah aset dan akan lebih tepat diklasifikasikan
Wolnizer (1995) sebagai liabilitas, atau secara alternatif disebut sebagai fasilitas dan
menyajikannya secara terpisah (Heritage assets are not assets and it
wouls be more appropriate to clasify them as liabilities, or
alternatively to call the facilities and show them separately)
Christiaens (2004) Aset bersejarah harus dimasukkan dalam neraca meskipun tidak
Christiaens dan memenuhi definisi resmi (Heritage assets shoud be reported in the
Rommel (2008) balace sheet notwithstandng their non – compliance with the official
Rowles et al. (1998) definitions )
Mautz (1988) Aset bersejarah harus disajikan pada kategori terpisah dari aset sebagai
“fasilitas” (Heritage assets must be represented in a separate category
of assets as “facilities”)
Micallef dan Peirson Aset bersejarah tergolong dalam aset dan dapat dimasukkan dalam
(1997) neraca (Heritage assets are considered assets and they can be included
on the balance sheet)
Nasi et a. (2001) Aset bersejarah tidak harus disajikan dalam neraca (Heritage assets
should not be reported in the balance sheet)
Pallot (1990), Aset bersejarah harus disajikan dalam kategori yang terpisah dari aset
(1992) sebagai “aset daerah” (Heritage assets must be represented in a
separate category of asset as “community assets”)
Sumber : Aversano dan Christiaens, 2012

Berdasarkan tabel tersebut sebagian besar para ahli yang berpendapat bahwa asset

bersejarah sejatinya tergolong sebagai aset bukan sebagai liabilitas. Dari berbagai data

diatas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa aset bersejarah adalah aset tetap dengan umur
yang tidak dapat ditentukan, yang dilindungi atau dikuasai oleh pemerintah, yang

didalamnya terkandung nilai seni, budaya, pendidikan, sejarah, pengetahuan dan

karakteristik unik lainnya sehingga patut untuk dipelihara dan dipertahankan

kelestariannya.

Tabel 02. Ringkasan Hasil Penelitian (Tinjauan Pustaka)

No Artikel Ilmiah Hasil Penelitian


1 Safitri, Mia Rizky dan  Untuk pengakuan aset bersejarah pada Museum Aceh,
Mirna Indriani. 2017. biaya yang dikeluarkan pada tiap pembelian benda
Praktik Akuntansi untuk koleksi museum di bebankan pada anggaran belanja
Aset Bersejarah (Studi tahunan instansi tersebut sesuai dengan standar yang
Fenomenologi pada berlaku pada PSAP No. 07-10 dan didasarkan pada
Museum Aceh). Jurnal Harga Perkiraan Sendiri (HPS).
Ilmiah Mahasiswa  Dari pengamatan yang dilakukan oleh peneliti, pihak
Ekonomi Akuntansi museum memiliki cara tersendiri dalam menetapkan
(Jimeka). 2(2): 1-9 harga perolehan akan suatu aset yang didapatkan. Yaitu
dengan menggabungkan ilmu terapan oleh para filologi
yang berpengalaman dan staff bagian pengadaan yang
handal dalam hal penanganan jual-beli koleksi museum.
Sesuai dengan PSAP 07-10 yang juga menjelaskan
bahwa belum ditemukan metode yang tepat untuk menilai
suatu aset bersejarah, maka hal yang dilakukan oleh
pihak Museum Aceh dinilai sesuai dengan Praktik
Akuntansi yang berlaku.

2 Sholikah, Mar’atus dan  BPCB Jawa Timur tidak melakukan pengungkapan atas
Bety Nur Achadiyah. aset bersejarah atau Candi Rimbi yang dimilikinya.
2017. Perlakuan  Kesulitan yang dialami oleh BPCB dalam melakukan
Akuntansi untuk Aset pengakuan, pengukuran, dan penyajian akan berdampak
Bersejarah ”Candi Rimbi” pada kesulitan dalam melakukan pengungkapan atas aset
Jombang. Jurnal Ilmiah bersejarah Candi Rimbi dalam laporan keuangan yang
Nominal, Volume VI No mereka susun.
2 tahun 2017
3 Daryanti, Ampe. Analisis  Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa laporan
Perlakuan Akuntansi keuangan yang disusun oleh Balai Pelestarian Cagar
Pada Aset Bersejarah Budaya Sulawesi Selatan belum sepenuhnya menerapkan
(Studi pada Pengelolaan PP 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi
Fort Rotterdam Pemerintahan.
Makassar), (Skripsi__  Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sulawesi
UIN Alauddin Makassar, Selatan mengakui Fort Rotterdam sebagai Cagar
2018 Budaya, dan mencatat aset bersejarah Fort Rotterdam
sebagai Inventaris (aset tetap) dikarenakan Fort
Rotterdam merupakan BMN dengan kepemilikan
pemerintah pusat yang oleh BPCB Sulsel diberikan
kuasa untuk digunakan sebagai kantor BPCB Sulsel
sehingga BPCB Sulsel hanya dapat menatausahakan aset
bersejarah tersebut.

4 Anggraini, F. G. dan A.  Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada


Chariri. 2014. Perlakuan definisi yang tepat bagi aset bersejarah. Disamping itu,
Akuntansi untuk Aset penilaian yang dilakukan terhadap candi Borobudur sulit
Bersejarah (Studi untuk dilakukan.
Fenomenologi pada  Namun, pada pengungkapan pelaporan atas candi
Pengelolaan Candi Borobudur telah sesuai dengan peraturan yang berlaku,
Borobudur). Diponogoro dimana candi tersebut diungkapkan di dalam Calk
Journal Of Accounting. dengan tanpa nilai.
2(2): 1-13

5 Masitta, Retha Maya.  Tidak ada definisi yang tepat untuk aset bersejarah.
Problematika Akuntansi Para informan cenderung menghubungkannya dengan
Heritage Assets: Cultural Conservation. Selain itu, pihak terkait masih
Pengakuan, Penilaian, dan menemukan beberapa kesulitan dalam melakukan
Pengungkapan dalam penilaian ekonomi yang sama untuk semua jenis aset
Laporan Keuangan bersejarah.
(Studi Kasus pada  Adapun, praktik akuntansi aset bersejarah oleh pengelola
Pengelolaan Museum Museum Ronggowarsito Jawa Tengah telah sesuai
Jawa Tengah dengan standar akuntansi dimana aset diungkapkan
Ronggowarsito), dalam CaLK dengan tanpa nilai.
(Skripsi__ Universitas
Dipenogoro, 2015)

6 Hassan, L. N., N. Saad, H.  Studi menemukan museum luar negeri juga menghadapi
N. Ahmad, M. S. M. masalah dalam menyampaikan praktik akuntansi yang
Salleh and M. S. Ismail. tepat bagi aset bersejarah. Dalam kasus yang dihadapi
2016. The Accounting museum di Malaysia, masalah akuntansi pada aset
Practices of Heritage bersejarah dapat diatasi melalui adanya ketentuan hukum
Assets. International tertentu, benchmarking dan standar prosedur operasi
Journal of Economics dalam membantu museum dalam meningkatkan praktik
and Financial Issues pelaporan bagi aset bersejarah agar setara dengan
(IJEFI). 6(S6): 80-83 pelaporan aset bersejarah di museum terkemuka di luar
negeri.

7 Ujianto dan Isharyanto  Bahwa museum pemerintah dilaksanakan dengan polaUnit


(2016) yang berjudul Pelaksanaan Teknis (UPT) tetapi model UPT tersebut
“Pengelolaan Museum dirasa kurangtepat karena pengelolaan keuangan dan
Pemerintah dengan Model sumber daya manusia yang tidakfleksibel kemudian
Badan Layanan Umum pemerintah melakukan trobosan baru yaitu
(Suatu Tinjauan) denganmenggunakan model Badan Layanan Umum (BLU).

8 Agustin dan Putra 2011)  Hasil penelitiannya menunjukan bahwapada tahap


yang berjudul “Aset pengakuan heritage assets pemerintah Indonesia
Bersejarah dalam seharusnya memperlakukan sama antara non-operational
Pelaporan Keuangan heritage assets dengan operational hertitage assets. Yaitu
Entitas Pemerintah” diakui sebagai aset tetap dalam laporan keuangan.

9 Wulandari dan Utama  Hasil dari penelitiannya dapat disimpulkan bahwa


hasil (2016) yang pengelolaan Museum Anjuk Landang masih mengaitkan
berjudul “Perlakuan pengertian heritage assets dengan cagar alam. Dalam
Akuntansiuntuk Aset segi pengakuan, pihak Museum Anjuk Ladang akan
Bersejarah: Pengakuan, mengakui koleksi/ temuan sebagai aset bersejarah
Penilaian dan setelah mendapat validasi dari pihak BPCB Jawa Timur.
Pengungkapannya dalam
Laporan Keuangan
(Stusi Kasus pada
Museum Anjuk Ladang
Kabupaten
Nganjuk)
10 Riska. 2017. Analisis  Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa perlakuan
Penerapan Akuntansi akuntansi untuk aset bersejarah Balai Pelestarian Cagar
Accrual Heritage Asset Budaya (BPCB) Yogyakarta belum menerapkan PSAP
dalam Pengungkapan 71 tahun 2010 tentang akuntansi berbasis accrual secara
Laporan Keuangan Balai penuh. Dimana Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB)
Pelestarian Cagar Budaya Yogyakarta menerapkan basis akrual dalam penyusunan
Yogyakarta. Skripsi. dan penyajian Neraca, Laporan Operasional dan Laporan
FEBI IAIN Surakarta. Perubahan Ekuitas

Sumber: Data diolah

Berdasarkan hasil studi kepustakaan (library research) diatas dapat disimpulkan

bahwa masih terdapat kesulitan untuk mengidentifikasi nilai buku berdasarkan harga pasar

yang sepenuhnya mencerminkan nilai seni, budaya, lingkungan, pendidikan atau sejarah.

Terdapat beberapa karakteristik yang membuat para ahli dan peneliti mengalami kesulitan

dalam menentukan akuntansi yang tepat bagi aset bersejarah. Aset bersejarah tidak bisa

sepenuhnya diperlakukan sama dengan aset tetap lainnya, padahal aset bersejarah masuk

dalam jajaran aset tetap. Oleh karena itu, dibutuhkan metode penilaian yang tepat untuk

menilai aset bersejarah.

Jika dikaji dari segi pengungkapan, maka terdapat dua alternatif yang dapat

digunakan dalam pengungkapan aset bersejarah. Pertama, aset tersebut dimasukkan dalam

CaLK saja. Kedua, aset bersejarah dimasukkan ke dalam neraca, yang masuk dalam

kategori ini adalah aset bersejarah yang memberikan potensi manfaat kepada pemerintah

selain nilai sejarahnya. Dalam neraca,aset bersejarah dinilai seperti layaknya aset tetap

lain.
Hasil kajian penelitian ini menunjukkan bahwa di Indonesia penelitian terkait

akuntansi untuk aset bersejarah masih jarang dilakukan, hal ini terjadi karena akibat dari

keterbatasan sumber daya informasi dan anggapan “tabu” mencampurkan sejarah dengan

perihal ekonomi bagi sebagian ahli sejarah dan arkeologi di Indonesia. Hasil kajian teori

penelitian diatas juga menyimpulkan bahwa pada tahap pengakuan aset bersejarah

pemerintah Indonesia seharusnya memperlakukan sama antara non-operational heritage

assets dengan operational heritage asset, yaitu diakui sebagai aset tetap dalam laporan

keuangan.

KESIMPULAN, KETERBATASAN, & SARAN

Kesimpulan

Secara keseluruhan dapat ditarik kesimpulan bahwa sebagian besar heritage assets

yang berbentuk cagar budaya sudah sesuai dengan definisi dan karakteristik aset

bersejarah yang ada pada PSAP No.7 Tahun 2010 dan juga IPSAS No. 17, namun

perlakuan akuntansi yang meliputi: pengakuan, penilaian, pengukuran, penyajian, dan

pengungkapan aset bersejerah belum sepenuhnya sesuai dengan Standar Akuntansi

Pemerintahan sehingga laporan keuangan sebagai alat akuntansi belum mampu

memfasilitasi terwujudnya transparansi dan akuntabilitas pelaporan keuangan

pemerintah.

Keterbatasan

Penelitian ini hanya mengungkap perlakuan akuntansi terhadap aset-aset bersejarah

di Indonesia berdasarkan kajian pustaka dengan sumber primer Standar Akuntansi

Pemerintah (SAP) dan sumber sekunder beberapa artikel ilmiah dimana tidak semua

artikel tersebut terpublish dalam jurnal yang bereputasi. Beberapa kajian masih

menggunakan sumber data skripsi yang diakses secara online.


Saran

Penelitian akuntansi terkait dengan aset bersejarah masih belum banyak

dilakukan. Oleh karena itu, penulis merekomendasikan agar peneliti selanjutnya

mengangkat masalah tentang perlakuan akuntansi dari segi pengakuan, penilaian,

penyajian dan pengungkapan hingga penghapusan atas aset bersejarah baik berupa

barang-barang museum, tugu, naskah kuno maupun peninggalan bersejarah lainnya dengan

metode wawancara, dokumentasi, dan observasi agar data yang diperoleh lebih akurat.

DAFTAR PUSTAKA
Agustini, Aisa Tri dan H. S. Putra. 2011. Aset Bersejarah dalam Pelaporan
Keuangan Entitas Pemerintah. Jeam. 10(1): 1-29.
Amirudin, Abas. 2009. Potensi Museum Mpu Tantular Sebagai Daya Tarik Wisata
Jawa Timur, (Tugas Akhir __ Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2009)
Anggraini, F. G. dan A. Chariri. 2014. Perlakuan Akuntansi untuk Aset Bersejarah (Studi
Fenomenologi pada Pengelolaan Candi Borobudur). Diponogoro Journal Of
Accounting. 2(2): 1-13
Arlinda, Rebecca P.I. Analisis Perlakuan Akuntansi Heritage assets dan Potensi
Peningkatan Pendapatan Asli Daerah Atas Pemanfaatan Aset Bersejarah
Sebagai Obyek Wisata (Studi Kasus pada Pengelolaan Situs Manusia Purba
Sangiran), (Skripsi __ Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2017).
Aversano, Natalia and Caterina Ferrone. 2012. The Accounting Problem of Heritage
Assets. Advanced Research In Scientific Areas.574-578
Aversano, Natalia and Christiaens, Johan. 2012. Govermental Financial Reporting of
Heritage Assets from a User Needs Perspective. Financial Accountability &
Management Accounting
Barton, Allan D. 2000. Accounting for Public Heritage Facilities Assets or Liability of
The Government?. Accounting Auditing And Accountibility Journal. 13(2):
219-235.
Basnan, N., Mohd F. Md. Salleh, A. Ahmad, A. M. Harun and I. Upawi. 2015.
Challenges in Accounting for Heritage Assets and The Way Forward:
Towards Implementing Accrual Accounting in Malaysia. Malaysian Journal
Of Society And Space. 11(11): 63-73.
Bastian, Indra dan Gatot Soepriyanto, Sistem Akuntansi Sektor Publik: Konsep Untuk
Pemerintahan Daerah, jil.2, (Jakarta: Salemba Empat, 2003)
Christiaens, J., J. Rommel, A. Barton and P. Everaet. 2008. Should All Capital
Goods of Governments be Recognised as Assets in Financial Accounting?
Working Paper.1-16.
Daryanti, Ampe. Analisis Perlakuan Akuntansi Pada Aset Bersejarah (Studi pada
Pengelolaan Fort Rotterdam Makassar), (Skripsi__ UIN Alauddin Makassar,
2018)
Financial Reporting Statements (FRS) 30. 2009. Heritage Assets. Accounting
Standards United Kingdom.
Freeman, R. E. 2010. Strategic Manajemen: a Stakeholder Approach. Cambridge
University Press.
Generally Recognised Accounting Practice (GRAP) 103. 2014. Heritage
Assets.Accounting Guideline
Godfrey, J., A. Hodgson, S. Holms , dan A. Tarca. 2010. Accounting Theory. John Wiley
& Sons: Australia
Haditswara, Firsta. Analisis Perlakuan Akuntansi Aset bersejarah Sesuai PSAP 07
Tahun 2010 Pada Pengelolaan Informasi Majapahit, (Skripsi__ UIN Maulana
Malik Ibrahim Malang, 2017)
Hanis, M. H., Trigunarsyah, B., dan Susilawati, C. 2011. The Application of Public Asset
Management in Indonesian Local Government: A case study in South Sulawesi
Province. Journal of Corporate Real Estate. 13(1): 36-47.
Haryono Jusup, Dasar-Dasar Akuntansi, (STIE YKPN: t.t)
Hassan, L. N., N. Saad, H. N. Ahmad, M. S. M. Salleh and M. S. Ismail. 2016. The
Accounting Practices of Heritage Assets. International Journal of
Economics and Financial Issues (IJEFI). 6(S6): 80-83.
Hines , R. D. 1988. Financial Accounting: In Communicating Reality, We Construct
Reality. Accounting, Organizations and Society. 13(3): 251-261.
Hooper, K., Kearins, K. dan R. Green. 2005. Knowing “The Price of Everything and The
Value of Nothing”: Accounting for Herritage Assets. Accounting, Auditing
and Accountability Journal. 18(3): 410-433.
International Public Sector Accounting Standarda (IPSAS) 17: Property, Plant, and
Equipment. 2001. December
Jusup, Haryono. Dasar-Dasar Akuntansi, (STIE YKPN: t.t), hlm. 133
Masitta, Retha Maya. Problematika Akuntansi Heritage Assets: Pengakuan, Penilaian, dan
Pengungkapan dalam Laporan Keuangan (Studi Kasus pada Pengelolaan
Museum Jawa Tengah Ronggowarsito), (Skripsi__ Universitas Dipenogoro,
2015)
Maulida, Devi. 2019. Perlakuan Akuntansi untuk Aset Bersejarah pada Museum Mpu
Tantular Kab Sidoharjo (Skripsi__UIN Sunan Ampel Surabaya.2009)
Pedoman Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP) No. 07 Tahun 2010. Akuntansi Aset
Tetap. Lampiran II.
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 19 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Barang
Milik Negara/Daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 Tentang Pernyataan Standar Akuntansi
Pemerintah
Perlakuan Akuntansi atas Aset Bersejarah (Studi Kasus pada Pengelolaan Museum Timah
Indonesia Pangkalpinang)
Riska. 2017. Analisis Penerapan Akuntansi Accrual Heritage Asset dalamPengungkapan
Laporan Keuangan Balai Pelestarian Cagar Budaya Yogyakarta. Skripsi. FEBI
IAIN Surakarta.
Safitri, Mia Rizky dan Mirna Indriani. 2017. Praktik Akuntansi untuk Aset
Bersejarah (Studi Fenomenologi pada Museum Aceh). Jurnal Ilmiah
Mahasiswa Ekonomi Akuntansi (Jimeka). 2(2): 1-9
Sholikah, Mar’atus dan Bety Nur Achadiyah. 2017. Perlakuan Akuntansi untuk Aset
Bersejarah ”Candi Rimbi” Jombang. Jurnal Ilmiah Nominal, Volume VI No 2
tahun 2017.
Standar Akuntansi Keuangan Per Efektif 1 Januari 2015. 2014. Cetakan Pertama.
Ikatan Akuntan Indonesia.
Suwardjono. 2016. Teori Akuntansi: Perekayasaaan Pelaporan Keuangan. BPFE:
Yogyakarta. Edisi Ketiga, Cetakan Kesembilan.
Torgerson, W. S. 1958. Theory and Methods of Scaling. New Yor. John Wiley and Sons.
Undang-undang No.11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya
Wulandari, Desy. 2016. Penerapan Akuntansi untuk Aset Bersejarah : Pengakuan,
Penilaian, dan Pengungkapannya dalam Laporan Keuangan Pemerintah
Daerah. (Studi Kasus pada Museum Anjuk Ladang Nganjuk Kabupaten).
Skripsi. Surabaya: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga.

Anda mungkin juga menyukai