Anda di halaman 1dari 8

SOAL 1

No 1.

Tata Kelola Perusahaan (GCG) adalah kode atau aturan yang harus diikuti yang mengatur hubungan
antara pemangku kepentingan terkait dengan hak dan kewajibannya agar dapat berfungsi secara
efektif sesuai dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan tanggung jawab.Sistem pengendalian
internal perusahaan dalam bentuk buku . , kemerdekaan, ketidakberpihakan dan persamaan hak.

POJK No. 73/POJK.05/2016 tentang Tata Kelola Perusahaan yang Baik Perusahaan Perasuransian
menyebutkan bahwa tata kelola perusahaan yang baik merupakan salah satu pilar untuk
membangun situasi ekonomi yang sehat.

Praktik tata kelola perusahaan yang baik berjalan seiring dengan kredibilitas perusahaan, dan
perkembangan industri asuransi yang pesat harus didukung oleh lingkungan yang kondusif. Penting
bagi industri asuransi untuk menerapkan GCG (Good Corporate Governance) guna mendukung
terwujudnya lingkungan bisnis yang sehat dan persaingan yang sehat.

Membangun tata kelola perusahaan yang baik di industri asuransi merupakan bagian penting dari
manajemen risiko. Tata kelola perusahaan asuransi yang baik berarti manajemen risiko yang baik

Dalam menerapkan Tata Kelola Perusahaan yang Baik (GCG) perusahaan, perlu mematuhi poin-poin
berikut secara khusus.

- Melaksanakan tugas dan tanggung jawab Dewan dan Komite

- Integritas dan kinerja tugas komite review.

- Pelaksanaan fungsi kepatuhan, audit internal dan eksternal.

- Penerapan manajemen risiko termasuk sistem pengendalian internal.

- Rencana strategis perusahaan.

- Mewujudkan transparansi status keuangan dan non keuangan perusahaan.


No 2.

5 pilar dalam tata kelola yang baik adalah :

1. Transparansi (Transparency)

Perusahaan harus transparan dalam memberikan informasi yang relevan kepada para pemangku
kepentingan sehingga mereka dapat dengan mudah mengakses dan memahami informasi tersebut.
Sebagai contoh:

- Informasi harus tepat waktu, akurat, jelas, relevan, mudah diakses oleh pihak yang berkepentingan
dan dapat dibandingkan.

- Pemangku kepentingan harus memahami visi dan misi, strategi perusahaan, kondisi keuangan,
kepemilikan ekuitas, sistem manajemen risiko, sistem penerapan GCG, sistem pengawasan, dan
Anda berhak mengetahui informasi perusahaan, seperti pengendalian internal.

- Namun demikian, diharapkan prinsip transparansi tidak mengurangi kewajiban untuk mematuhi
ketentuan hukum tentang kerahasiaan perusahaan, pribadi dan profesional.

- Kebijakan perusahaan harus dikomunikasikan kepada pemangku kepentingan secara tertulis dan
proporsional.

2. Akuntabilitas (Accountability)

Prinsip etika corporate governance selanjutnya adalah akuntabilitas atau akuntabilitas. Perusahaan
perlu menjelaskan kinerjanya secara transparan dan wajar agar manajemen mempertimbangkan
kepentingan stakeholders serta pencapaian tujuan perusahaan. Sebagai contoh:

- Dengan menetapkan secara tepat tugas dan tanggung jawab seluruh karyawan dan seluruh organ
perusahaan serta meyakini bahwa seluruh karyawan dan organ perusahaan mampu menerapkan
GCG sesuai dengan tugas, peran dan tanggung jawabnya.

- Memastikan bahwa manajemen perusahaan memiliki sistem pengendalian internal yang efektif.

- Setiap orang di perusahaan harus mematuhi etika bisnis dan kode etik yang telah disepakati.

3. Tanggung Jawab (Responsibility)

Perusahaan juga harus bertanggung jawab secara sosial dan lingkungan serta mematuhi undang-
undang dan peraturan untuk mendukung keberlanjutan bisnis jangka panjang. Prinsip tanggung
jawab ini juga membedakan perusahaan sebagai warga korporat yang baik dalam contoh berikut.

- Memenuhi tanggung jawab sosial, termasuk kepedulian terhadap masyarakat lokal dan kelestarian
lingkungan di sekitar perusahaan.

- Mematuhi prinsip kehati-hatian dan memastikan bahwa perusahaan beroperasi sesuai dengan
hukum dan peraturan, aturan perusahaan dan anggaran dasar.
4. Independensi (Independency)

Pengelolaan perusahaan harus independen agar tidak saling mendominasi atau mengganggu pihak
lain. Begitulah penerapan GCG. Contoh independensi adalah:

- penghindaran dominasi antara pihak yang berbeda, bebas dari benturan kepentingan, tidak
terpengaruh oleh kepentingan tertentu, bebas dari tekanan atau pengaruh apapun, sehingga
pengambilan keputusan yang objektif terjamin;

- Tidak bertanggung jawab atas organ perusahaan lainnya dan harus menjalankan fungsi dan
tugasnya sesuai dengan undang-undang, peraturan, dan anggaran dasar.

5. Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness)

Tata kelola perusahaan yang baik juga memperhatikan kepentingan seluruh pemangku kepentingan
dalam menjalankan bisnis dengan menerapkan prinsip kewajaran dan kesetaraan. Contoh dari
prinsip ke 5 tersebut adalah:

- Pemangku kepentingan diberi kesempatan untuk berkontribusi dan memberikan masukan untuk
kepentingan perusahaan.

- Memperlakukan pemangku kepentingan secara adil dan setara sesuai dengan kontribusi dan
manfaatnya bagi perusahaan.

Memberikan kesempatan kerja yang setara tanpa memandang SARA, kondisi fisik, atau jenis
kelamin.

No 3.

Inilah Tiga Akar Masalah Asuransi Jiwasraya (bisnis.com)

Mr Jiwasraya mengatakan PT Asuransi Jiwasraya (Persero) memiliki tiga masalah utama yang
merugikan kinerja perusahaan dan pada akhirnya akan membutuhkan restrukturisasi. Masalah
Jiwasraya antara lain masalah yang mendasari, kurangnya GCG, dan tekanan likuiditas dari produk-
produk tabungan. Ini menumpuk dan mempersulit Jiwasraya.

Jiwasraya tidak melakukan pembayaran dan solvabilitas serta likuiditasnya tidak mampu membayar
atau mengembalikan manfaat yang dijanjikan kepada pemegang polis,” kata Good Corporate
Governance di Industri Perasuransian yang diselenggarakan oleh Bisnis Indonesia.

Sebagai gantinya, perusahaan telah mengeluarkan produk asuransi investasi yang mempercantik
laporan keuangan untuk mengatasi masalah solvabilitas dan menjamin suku bunga tinggi untuk
mengatasi likuiditas. Situasi ini diperparah oleh lemahnya praktik GCG yang tidak memiliki kebijakan
portofolio yang mengatur investasi maksimum pada aset berisiko. Masalah ketiga adalah tekanan
pada produk tabungan, yang pada saat itu menjanjikan 9% hingga 14%. "Waktu itu kalau mau
investasi di bank rata-rata 8% atau 9%. Ini yang kita bagi untuk posisi yang ada, jadi Jiwasraya
mengumumkan default," jelasnya. Untuk menyelesaikan masalah Jiwasraya, pemerintah
membentuk Tim Percepatan Restrukturisasi Jiwasraya sebagai pemegang saham. Tim tersebut
bersifat lintas sektoral, antara lain Kementerian BUMN, Jiwasraya Elements dan IFG Life sebagai
calon induk perusahaan. Misi Tim Percepatan Restrukturisasi Jiwasraya adalah meminimalisir
permasalahan yang ada dan menyelamatkan Polres Jiwasraya untuk diselesaikan. Beberapa langkah
telah dilakukan untuk memenuhi sebagian janji tersebut, antara lain: B. Menerbitkan REPO untuk
menjual aset dan mengembalikannya kepada pemegang polis saat ini. “Namun, posisinya tidak bisa
diturunkan lagi karena aset negatifnya begitu besar. Liabilitasnya sekitar Rp 58,7 triliun, tetapi
asetnya sekitar Rp 13-14 triliun, itu negatifnya Rp 38,7 triliun.

No 4.

Solusi yang tepat agar pertumbuhan industri asuransi dapat berkembang dengan pesat adalah
dengan cara berfokus dalam penjualan produk regular dan unit link yang menguntungkan untuk
meningkatkan laba perusahaan dan melakukan improvement product mix untuk menghadirkan
perlindungan asuransi yang sesuai dengan kebutuhan nasabah yang dinamis

No 5.
SOAL 2

1.A.
2.D.
3.A.
4.B.
5.B.
6.D.
7.C.
8.A.
9.C.
10.D.
11.C.
12.–
13.–
14.B.
15.A.
SOAL 3

Nomor 1

a. Apa yang di maksud dengan nilai perusahaan adalah mencerminkan reaksi investor atas
kinerja internal perusahaan yang direfleksikan dalam harga saham.

b. Jelaskan mengapa GCG mempengaruhi nilai perusahaan dan jelaskan bahwa nilai
perusahaan yang tinggi biasanya merupakan hasil dari manajemen puncak, pusat investasi
perusahaan yang terdaftar. Untuk mencapai nilai perusahaan yang tinggi, perusahaan antara
lain harus memiliki tata kelola perusahaan yang baik, Profitabilitas, kepemimpinan milenial,
bisnis keluarga, ukuran perusahaan.

Nomor 2

Nomor 3

Pengukuran GCG dapat dilakukan dengan menggunakan pengukuran kepemilikan manajerial,


kepemilikan institusional, komisaris independen, dan ukuran komite audit.

Corporate Governance Perception Index (CGPI) merupakan Program Pemeringkatan praktik Good
Corporate Governance (GCG) di Perusahaan yang dilakukan sejak tahun 2001 dengan menggunakan
pendekatan tematik yang menyesuaikan dengan perkembangan bisnis. Program ini merupakan
program tahunan yang menilai implementasi GCG dengan rentang waktu satu tahun penuh.

Informasi tentang CGPI dapat saya akses dan saya peroleh melalui website www.iicg.org

Nomor 4

Nomor 5

Pengukuran CG dengan indeks komposit multidimensi meliputi sepuluh indikator governance, yang
terdiri dari: struktur dewan (ukuran dewan direksi, ukuran dewan komisaris, jumlah komisaris
independen, dan intensitas aktivitas dewan komisaris), struktur kepemilikan (konsentrasi
kepemilikan) dan komite audit sebagai pengendali perusahaan (ukuran dan intensitas aktivitas).

- Struktur dewan dan kinerja perusahaan


Banyak riset telah menganalisis kinerja perusahaan yang dihubungkan dengan struktur
dewan baik yang diukur dengan ukuran, komposisi (keberadaan non eksekutif) dan struktur
kepemimpinan yang diukur melalui dualitas kepemimpinan oleh satu orang dengan peran
ganda serta kualifikasi dan frekuensi pertemuan. Beberapa penelitian fokus pada komposisi
dewan berupa keberadaan non eksekutif dewan yang merupakan akibat dari beberapa
skandal korporasi yang menuntut adanya pihak independen dalam perusahaan. Pihak
independen ini dianggap sebagai alat pengendalian terhadap aktivitas perusahaan, seperti
yang tunjukkan oleh Fama (1980) dalam Weir et al (2002) yang menemukan hasil bahwa
keberadaan dewan yang independen mampu memonitor aksi manajemen dan memastikan
bahwa kebijakan yang diambil oleh manajemen konsisten dengan kepentingan shareholder.
Alonso dan Gonzales (2006) juga mendokumentasikan hasil positif signifikan hubungan
antara non eksekutif dewan dengan kinerja. Namun, sebaliknya keberadaan outsider board
dapat mengganggu kinerja perusahaan dan bahkan tidak memberikan efek apapun bagi
perusahaan (Peasnell et, 2003). Keberadaan dewan independen juga dinilai lebih banyak
dikarenakan alasan politis dari manajemen sehingga tidak berpengaruh pada peningkatan
kinerja (Agrawal dan Knoeber, 1996). Beberapa penelitian lain melihat dimensi ukuran
dewan dan melihat hubungannya dengan kinerja perusahaan. Hasil penelitian menunjukkan
inkonsistensi hasil. Ukuran dewan yang besar memberikan proses monitoring yang lebih baik
dan pengambilan keputusan yang lebih efektif (Klein, 1998; Adams dan Mehran, 2003; Arora
dan Sharma, 2016). Namun penelitian lain menunjukkan temuan sebaliknya, seperti
Staikouras (2007) melaporkan bahwa terdapat hubungan yang negatif signifikan secara
statistik antara kinerja perusahaan yang diukur dengan ROA dan ROE dengan ukuran dewan.
Sementara penelitian Weir et al (2002) pada perusahaan publik di UK menemukan hubungan
yang lemah antara struktur dewan dengan kinerja perusahaan. Penelitian oleh Yermack
(1996) dan Eisenberg (1998) menyimpulkan ukuran dewan yang lebih kecil akan mengarah
pada pengambilan keputusan yang lebih baik sehubungan dengan koordinasi yang lebih baik
dan masalah komunikasi yang lebih kecil. Ukuran dewan yang terlalu besar dianggap
mengacaukan proses pengambilan keputusan karena terlalu banyaknya ide dan pikiran yang
harus dijadikan pertimbangan dalam setiap keputusan dan ketidakmampuan ide-ide
tersebut dalam menampung kepentingan shareholder. Temuan yang tidak signifikan atas
hubungan ukuran dan komposisi dengan kinerja memicu penelitian mengenai CG untuk
memperluas dimensi struktur dewan kepada proses yang diukur melalui intensitas aktivitas
yang dilakukan oleh dewan khususnya bagi dewan komisaris yang berperan sebagai
pengawas manajemen. Ketika dewan lebih sering bertemu dalam suatu rapat kerja, mereka
cenderung untuk berdiskusi mengenai isu-isu yang berkembang di perusahaan termasuk
didalamnya melakukan monitoring sehingga dalam hal ini dewan lebih efektif dalam
menjalankan perannya karena adanya koordinasi yang lebih baik dan dalam bentuk
keselarasan dengan kepentingan pemegang saham (Lipton dan Lorsch, 1992). Lebih lanjut,
Conger et al (1998) menyatakan bahwa waktu pertemuan dewan merupakan sumber
penting dalam meningkatkan efektivitas dewan dan pengambilan keputusan walaupun
terdapat konsekuensi atas aktivitas pertemuan terhadap biaya yang harus ditanggung oleh
perusahaan.
- Struktur kepemilikan dan kinerja perusahaan
Struktur kepemilikan merupakan metode alternatif dalam memitigasi masalah agensi antara
prinsipal dan agen. Sifat kepemilikan dalam suatu perusahaan merupakan dimensi penting
bagi struktur governance dan dipergunakan sebagai alat monitoring perusahaan oleh
karenanya mampu mempengaruhi kinerja. Struktur kepemilikan dapat berupa konsentrasi
kepemilikan dalam mana kepemilikan saham terbesar yang dimiliki oleh investor,
kepemilikan keluarga, kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional. Konflik
kepentingan yang ada dalam suatu perusahaan dapat diatasi jika kepemilikan terkonsentrasi
pada pemegang saham terbesar (Babatunde dan Olaniran, 2009). Lebih lanjut, pemegang
saham terbesar lebih mampu memanfaatkan kekuatan voting mereka untuk mempengaruhi
perilaku manajemen, sebagaimana yang ditemukan oleh Shleifer dan Vishny (1996). La Porta
et al (1999) mengemukakan bahwa konsentrasi tinggi atas kepemilikan saham dapat
meminimalisasi biaya agensi karena berfungsi sebagai pengganti proteksi hukum.
Dinyatakan lebih lanjut bahwa meskipun tanpa institusi legal yang kuat, investor dominan
memiliki alat dan dorongan untuk memantau manajemen dalam mengambil suatu
kebijakan. Namun, hasil penelitian mengenai hubungan pemegang saham subtanstial
dengan kinerja masih terlihat beragam. Penelitian Hiraki (2003), Heugens et al (2009) dan
Darko et al (2016) menemukan adanya hubungan positif antara konsentrasi kepemilikan dan
profitabilitas. Kepemilikan terbesar menunjukkan peran penting pemegang dalam
perusahaan dan bagaimana nilai perusahaan berkorelasi positif dengan peningkatan nilai
pemegang saham terbesar. Namun beberapa penelitian lain menunjukkan hasil yang tidak
siginifikan atau hanya menunjukkan hubungan yang lemah atas hubungan keduanya
(Holderness dan Sheehan, 1988 dalam Babatunde dan Olaniran, 2009).
- Komite audit dan kinerja perusahaan
Komite audit berperan dalam mendukung terciptanya good corporate governance melalui
aktivitas pengawasan terhadap manajemen baik dalam hal pengawasan dalam bentuk
pemeriksaan terhadap laporan keuangan dan kepatuhan terhadap peraturan dan
perundang-undangan. Okeahalam (2004) menambahkan bahwa tugas komite audit adalah
memberikan peringatan kepada dewan terkait isu-isu yang membutuhkan perhatian khusus.
Ukuran dipertimbangkan relevan terhadap efektivitas pelaksanaan tugas komite audit
(Cadburry, 1992). Ukuran komite audit yang lebih besar mengindikasikan status organisasi
yang lebih tinggi serta adanya wewenang dan pengetahuan yang jauh lebih banyak (Kalbers
and Fogarty, 1993; Braiotta et al., 2010 dalam Darko et al, 2016). Di lain pihak, penelitian
oleh Vafeas (1999), Mohd Saleh et al. (2007) and El Mir and Seboui (2008) menyatakan
bahwa ukuran komite audit yang lebih besar dapat berujung pada tata kelola yang tidak
efisien karena tingginya biaya dalam melaksanakan pertemuan maupun pelaksanaan kerja
komite audit yang akhirnya berdampak negatif pada kinerja perusahaan khususnya
profitabilitas. Penelitian Darko et al (2016) justru tidak menemukan bukti yang mendukung
pengaruh komite audit terhadap kinerja perusahaan. Intensitas aktivitas komite audit yang
diukur melalui frekuensi pertemuan dinilai sebagai komponen yang mempengaruhi
efektivitas kerja komite audit. Hubungan positif frekuensi pertemuan komite audit dan
kinerja perusahaan ditemukan dalam penelitian Sharma et al, 2009 dan Darko et al, 2016)
yang mengindikasikan adanya peran penting intensitas pertemuan komite audit dalam
mendukung proses pemeriksaan terhadap aktivitas manajemen. Di sisi lain, penelitian
Rebeiz dan Salameh (2006) tidak menemukan hubungan antara frekuensi pertemuan komite
dan kinerja korporasi.

Anda mungkin juga menyukai