Anda di halaman 1dari 4

SETITIK ASA REFORMASI DJP

Ada sebuah kata dari judul diatas yang menggelitik untuk diulas lebih lanjut, yaitu
“reformasi”. Dapat diyakini bahwa semua penduduk Indonesia mengenal kata ini. Kata
“reformasi” bergema diseluruh pelosok Indonesia pada tahun 1998, sebagai kata pembakar
semangat untuk menuntut perubahan yang signifikan terhadap pola pemerintahan Republik
Indonesia.

Perubahan adalah sesuatu hal yang tidak dapat dihindari, dan bahkan menjadi hal yang
sangat dibutuhkan, sebagai bagian naluri dasar manusia untuk berkembang. Peristiwa’98
merupakan bukti nyata bahwa setiap kita membutuhkan perubahan. George Bernard Shaw,
seorang peraih Nobel Kesusasteraan tahun 1926 pernah mengatakan, “Kemajuan tidaklah
mungkin tanpa perubahan. Dan mereka yang tak dapat mengubah pemikiran tak akan
dapat mengubah apapun”.

Amanat reformasi rakyat ini sangat merasuk ke dalam relung Kementerian Keuangan, salah
satu bagiannya adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Telah lebih dari satu dasawarsa DJP
menjalankan reformasi perpajakan, sampai saat ini banyak perubahan yang dilakukan. Mulai
dari keterbukaan informasi, sistem pelayanan, sampai tugas dan fungsi masing-masing
personel juga mengalami perubahan, dan dengan tujuan akhir terciptanya proses bisnis dan
sistem inti perpajakan yang sesuai dengan dinamisasi Langkah bisnis komersial dan
kemudahan dalam menjalankan kewajiban perpajakan.

Dalam perjalanannya masih dijumpai beberapa bagian tugas pokok dan fungsi (tupoksi)
yang terkesan “tambal sulam”. Sebagai contoh adalah belum adanya pembatasan tugas dan
fungsi yang jelas di beberapa fungsi pekerjaan. Ini menjadi poin krusial karena pembatasan
tupoksi yang jelas merupakan wajah dari DJP yang baru, hal ini sangat berkaitan erat dengan
profesionalisme sebagai salah satu kata unggulan dalam reformasi perpajakan. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “profesionalisme” adalah mutu, kualitas, dan tindak
tanduk yang merupakan ciri suatu profesi atau orang yang profesional. Untuk dapat
mencapai tingkat profesionalisme maka seorang personel memiliki kewajiban untuk
menguasai bidang pekerjaan yang digelutinya secara maksimal.
Dalam sebuah artikel berjudul “15 steps how to be professional” pada laman indeed.com,
menyatakan bahwa salah satu cara untuk menjadi profesional adalah menjaga fokus. Dalam
artikel tersebut fokus yang dimaksud adalah fokus personel terhadap tugas yang sedang
dijalankan. Penulis berpendapat bahwa fokus tidak hanya menjaga fokus personel dalam
pekerjaannya, hal ini dapat diartikan bahwa untuk menjadi profesional adalah fokus
menjalankan satu jenis pekerjaan secara bersungguh-sungguh dengan kata lain adalah
adanya spesialisasi.

Dalam buku Wealth of Nation, Adam Smith mulai dengan ungkapan terkenalnya yang
melukiskan spesialisasi tenaga kerja dalam sebuah pabrik, Smith menulis :”satu orang
menarik kawat, yang lain meluruskannya, orang ketiga memotongnya, orang keempat
menajamkannya, orang kelima menggulung ujungnya dan membentuk kepalanya…”.
Sepuluh orang yang bekerja dengan cara itu akan mengahasilkan 48.000 peniti dalam satu
hari. Tetapi apabila setiap orang melakukan seluruh pekerjaan itu mandiri paling banyak tiap
orang hanya akan menghasilkan paling banyak 20 peniti satu hari. Menurut Smith, manfaat
terbesar dari pembagian kerja adalah dalam pemilahan seluruh pekerjaan menjadi
pekerjaan kecil, sederhana,dan terpisah di mana setiap karyawan dapat mengkhususkan diri
dan produktivitas total berlipat ganda secara geometris. Hal yang diperoleh dari adanya
spesialisasi ini adalah meningkatnya pengalaman, yang tidak akan dapat diperoleh apabila
seorang personel dipasang sebagai bagian dari “all rounder”.

Terkait dengan all rounder ini terdapat tulisan yang cukup kontroversial namun relevan
dengan kata profesionalisme yang diusung oleh DJP, Prof Ng Aik Kwang dari University of
Queensland dalam bukunya yang berjudul “Why Asians Less Creative Than Westerners”
(2001), menyatakan bahwa apabila personel ditempatkan dalam posisi sebagai “jack of all
trade but king of none” maka sisi profesionalisme-lah yang akan menjadi korban. Didasarkan
kepada tidak semua personel memiliki kapabilitas multi tasking dan multi talented. Tetap
diperlukan posisi dimana fokus dan ketekunan menjadi core dari jobdesk tersebut. “Aku
lebih takut kepada orang yang melatih 1 tendang 1000 kali daripada seorang yang melatih
1000 tendangan 1 kali.” (Bruce Lee) 1
Dalam unit organisasi terdiri dari beberapa tugas dan fungsi, dapat dianalogikan bahwa
masing-masing tugas dan fungsi tersebut sama dengan “ban berjalan” layaknya dalam
sebuah mesin industry, kita mungkin dapat membayangkan bahwa satu roda bergerigi akan
menggerakan bagian roda bergerigi yang lain dalam suatu fungsi yang sama. Apabila satu
roda bergerigi tersebut dipasangkan pada hampir semua roda bergerigi yang memiliki fungsi
yang berbeda-beda maka dapat berakibat bahwa suatu sistem tersebut pada satu waktu
akan macet dan tidak dapat berjalan dengan sesuai dengan keinginan.

Reformasi dalam tubuh DJP dapat menjadi suatu momentum yang sangat tepat untuk
meningkatkan profesionalisme personel dengan cara menjadikan personel tersebut sebagai
satu roda gerigi untuk suatu proses bisnis. Proses ini sebagai penyampai pesan bahwa
reformasi yang sedang dijalankan DJP bukanlah omong kosong belaka, bukan hanya sekedar
berganti baju, tetapi benar-benar mentransformasikan diri, meng-upgrade personel untuk
menjadi lebih baik dan profesional.

Penulis berpendapat bahwa dengan adanya spesialisasi, sangat mendukung program


pemerintah dalam melakukan efektivitas dan efisiensi dalam penggunaan keuangan negara
dalam bidang pelatihan. Proses pendidikan yang mengajarkan bagaimana cara
menyelesaikan pekerjaan lampau di masa lampau diubah. Sistematika dan fokus pelatihan
akan terus bergerak maju sejalan dengan isu-isu terkini, salah satu mekanisme yang dapat
dijalankan adalah dengan sharing session antar personel.

Sebagaimana telah disampaikan diatas, bahwa tidak setiap manusia memiliki kapabilitas
untuk multi tasking atau multi talented, setiap invidu personel adalah unik dalam
kapabilitasnya, sehingga untuk mencapai tujuan organisasi maka dibutuhkan menempatkan
personel dalam posisi yang sesuai dengan kapabilitasnya. Perjalanan reformasi DJP belum
mencapai titik finish, sepanjang relevan dengan tujuan organisasi, seyogyanya perubahan
terus dijalankan.

Tulisan ini mewakili setitik asa penulis untuk reformasi DJP, mewakili kecintaan kepada
organisasi untuk DJP yang bermartabat, untuk Indonesia Raya. Salam Satu Bahu.
Referensi:
1. https://www.academieduello.com/news-blog/bruce-lees-10000-kicks-and-the-real-meaning-of-
mastery/
2. https://www.indeed.com/career-advice/career-development/how-to-be-a-professional

Anda mungkin juga menyukai