Anda di halaman 1dari 23

TUTORIAL DAY 2 MINGGU 2 BLOK 2.

Nama : Shakila Angelica Putri


NIM : 2110313014
Kelompok : 9

1. GERD
A. Definisi
GERD atau gastroesophageal reflux disease adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan suatu simtom atau perubahan mukosa yang diakibatkan oleh gangguan
sistem saluran pencernaan, di mana asam lambung dan isi perut mengalir kembali ke
kerongkongan (esofagus). Aliran balik atau refluks ini dapat menyebabkan Anda merasakan
sensasi perih dan panas seperti terbakar di bawah tulang dada atau dikenal dengan
istilah heartburn.

B. Klasifikasi
 Berdasarkan hasil endoskopi,klasifikasi los angeles
o Derajat A : erosi kecil2 pada mukosa esofagus dengan diameter kecil dari 5 mm
o Derajat B : erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter besar 5 mm
o Derajat C : lesi konfluen tapi tidak mengenai/mengelilingi seluruh lumen
o Derajat D : lesi mukosa esofagus yang bersifat sirkumferensial( mengelilingi seluruh
lumen)

C. Epidemiologi
 Umum ditemukan pada populasi di negara-negara barat, namun dilaporkan insidennya
relatif rendah di negara Asia-Afrika.
 Di Amerika dilaporkan bahwa 1 dari 5 orang dewasa mengalami gejala GERD per
minggunya, dimana lebih dari 40% kejadi mengalami gejala tersebut selama 1 bulan
 Kasus tinggi di negara Asia Selatan dan Eropa Selatan dengan presentasi kejadian lebih
dari 25% dan di Amerika Utara  sekitar 18-27%

D. Etiologi
 Etiologi
o Penurunan tonus LES
o Refluks spontan pada saat relaksasi LES yang tidak adekuat
o Aliran retrograd yang mendahului kembalinya tonus LES setelah menelan 
o Meningkatnya tekanan intra abdomen

E. Faktor resiko
 Faktor resiko
o Merokok
o Obesitas
o Alkoholisme
o Orang yang konsumsi aspirin
o Kelainan pada lambung/perubahan anatomis di daerah gastroesofageal.
o Usia besar 40 tahun
o Konsumsi makanan berlemak,kafein

F. Patogenesis dan patofisiologi

G. Manifestasi klinis
1) Khas nyeri epigastrium,nyeri seperti terbakar (heartburn)
2) Kadang bercampur dengan gejala disfagia (sulit menelan saat makan)
3) Mual,rasa pahit pada lidah
4) Odinofagia (rasa sakit waktu menelan makanan) : jika sudah terjadi ulserasi esofagus
yang berat
5) Gejala ekstra esofageal : nyeri dada non kardiak, suara serak, laringitis, batuk karena
aspirasi hingga timbulnya bronkiektasis atau asma.
6) Gerd biasanya terjadi secara perlahan (kronik), dan jarang yang terjadi secara
episodik/akut.
7) Gejala sering terjadi setelah makan dalam jumlah besar dan makan makanan
berlemak
8) Gejala kadang memberat ketika tidur telentang
H. Prinsip diagnosis dan DD
 Anamnesis akan ditemukan manifestasi klinis GERD pada pasien
 Anamnesis yang cermat juga dapat dijadikan sebagai alat utama dalam diagnosis GERD
 Pemfis tidak terdapat gejala spesifik pada pemfis pasien GERD
 Penunjang : 
o Endoskopi  :  gold standar
o Esofagografi dengan barium
o Pemantauan pH 24 jam
o Tes bernstein
o Manometri esofagus
o Sintigrafi gastroesofageal
o PPI test :  yang biasa dilakukan di faskes layanan primer
o Kuisioner GERD

 Diagnosis Banding
o Angina pectoris
o Achalasia
o Dispepsia
o Ulkus peptikum
o Pankreatitis
o Ulkus duodenum

I. Pemeriksaan penunjang
 Endoskopi (EGD) : 
o Pada GERD akan ditemukan mucosal breaks  di esofagus (esofagitis refluks)
o Pada pemeriksaan ini dapat dinilai perubahan makroskopik dari mukosa esofagus
serta dapat menyingkirkan keadaan patologis lain dapat menimbulkan gejala GERD
o Jika mucosal break (-) + gejala gerd khas = NERD (non erosive reflux disease)
o Ditemukannya kelainan esofagitis pada endoskopi dapat dipastikan dengan
pemeriksaan histopatologi dan dapat memperjelas bahwa gejala yang terjadi
merupakan gerd 
o Pemeriksaan histopatologi juga dapat digunakan untuk memastikan adanya barrett’s
esophagus, dysplasia, keganasan
 Esofagografi dengan barium : 
o Pemeriksaan ini dinilai kurang peka daripada endoskopi.
o Pada GERD berat akan didapatkan gambaran penebalan dinding dan lipatan mukosa,
ulkus, penyempitan lumen.
o Pemeriksaan ini lebih dianjurkan daripada endoskopi ketika :
1) Stenosis esofagus derajat ringan akibat esofagitis peptik dengan gejala
disfagia
2) Hiatus hernia
 Pemantauan pH 24 jam : memastikan ada atau tidaknya refluks gastroesofageal,jika 
didapatkan pH dibawah 4 pada jarak 5cm diatas LES dianggap diagnostik untuk gerd
 Tes bernstein : mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang transnasal dan
melakukan perfusi di bagian distal esofagus dengan HCl, merupakan pelengkap dari tes
pH 24 jam
 Manometri esofagus : dilakukan pada pasien dengan nyeri epigastrium dan regurgitasi
yang nyata tapi esofagofrafi barium dan endoskopinya normal
 Sintigrafi gastroesogageal 
 PPI test : 
 Pada dasarnya pemeriksaan ini merupakan bentuk terapi empirik gerd 
 Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai gejala gerd dengan memberikan ppi
dosis tinggi selama 1-2 minggu sambil melihat respon pasien terhadap pemberian
ppi ini.
 Jika didapatkan  respon positif denga perbaikan gejala 50-75% maka hasil tes
dapat dianggap positif
 Dianjurkan jika tidak terdapat pem.penunjang lain dan unutk pasien gerd
tanpa alarm sign

J. Tatalaksana
 Modifikasi lifestyle : untuk mengurangi frekuensi refluks dan mencegah kekambuhan
o Meninggikan kepala saat tidur
o Menghindari makan sebelum tidur
o Berhenti merokok, alkohol
o Kurangi konsumsi lemak dan jumlah makan (sering tapi sedikit)
o Menurunkan bb
o Menghindari makanan yang dapat menstimulasi sekresi asam seperti
makanan/minum bersoda, kafein, dll
o Jika memungkinkan hindari obat2n yang menurunkan tonus LES 
 Medikamentosa
o Awal ppi test (omeprazol 2 x 20mg/hari dan lansoprazol 2 x 30mg/hari)
o Jika respon (+)/dx gerd tegak maka pemeberian ppi dilanjutkan sampai 4 minggu dan
boleh ditambah prokinetik spt domperido 3 x 10mg
o Jika ppi tidak ada maka dapat diberikan H2 blocker 2x/hari spt simetidin 400-800mg
atau ranitidin 150mg atau fomotidin 20mg
 Pada terapi medikamentosa lebih sering dilakukan metode step down yaitu dengan
memberikan ppi terlebih dahulu kemudian setelah ada perbaikan dilanjutkan dengan
tahap pemeliharaan dengan menurunkan dosis atau pemberian antagonis H2 resptor atau
prokinetik atau antasid

K. Prognosis dan komplikasi


Prognosis : tergantung kondisi saat pasien datang dan pengobatan yang dilakukan

Komplikasi
 Striktur
 Barrett's esophagus
 Adeno karsinoma
 Esofagitis
 Ulkus esofagus
 Batuk,asma,inflamasi laring/faring
 Aspirasi paru
2. GASTRITIS
A. Definisi
Gastritis merupakan peradangan yang mengenai mukosa lambung. Peradangan ini dapat
menyebabkan pembengkakan lambung sampai terlepasnya epitel mukosa suferpisial yang
menjadi penyebab terpenting dalam gangguan saluran pencernaan. Pelepasan epitel dapat
merangsang timbulnya inflamasi pada lambung

B. Klasifikasi
Menurut jenisnya gastritis dibagi menjadi 2:
 Gastritis akut
Inflamasi akut mukosa lambung pada sebagian besar merupakan penyakit ringan dan
sembuh sempurna
1) Gastritis akut erosive : apabila kerusakan yg terjadi tdk lebih dalam drpd mukosa
muscularis (otot-otot pelapisan lambung)
2) Gastritis akut hemorrhagic : dijumpai perdarahan mukosa lambung yang
menyebabkan erosi dan perdarahan mukosa lambung dalam berbagai derajat dan
terjadi erosi yang berarti hilangnya kontinuitas mukosa lambung pada beberapa
tempat, menyertai inflamasi pada mukosa lambung tersebut
 Gastritis kronik
Suatu peradangan mukosa lambung yang bersifat menahun
1) Gastritis superficial : manifestasi kemerahan, edema, serta perdarahan dan erosi
mukosa
2) Gastritis atrofik : peradangan terjadi di seluruh lapisan mukosa pada
perkembangannya dihubungkan dengan ulkus dan kanker lambung, serta anemia
pernisiosa. Karakteristik dari penurunan jumlah sel parietal dan sel chief
3) Gastritis hipertrofik : kondisi terbentuknya nodul pd mukosa lambung yg bersifat
ireguler, tipis, dan hemoragik

C. Epidemiologi
Data epidemiologi gastritis menunjukkan bahwa lebih dari 50% penduduk negara
berkembang mengalami gastritis. Hal ini terutama terkait dengan infeksi Helicobacter pylori.
Diperkirakan 50,8% individu di negara berkembang menderita gastritis. Di negara maju,
prevalensi gastritis berkisar 34,7%.

D. Etiologi
Penyebab utama gastritis adalah bakteri Helicobacter pylori, virus, atau parasit lainnya juga
dapat menyebakan gastritis. Kontributor gastritis akut adalah meminum alkohol secara
berlebihan, infeksi dari kontaminasi makanan yang dimakan, dan penggunaan kokain.
Kortikosteroid juga dapat menyebabkan gastritis seperti NSAID aspirin dan ibuprofen.
(Dewit, Stromberg & Dallred, 2016).
Menurut (Gomez 2012) penyebab gastritis adalah sebagai berikut :
1) Infeksi bakteri
2) Sering menggunakan pereda nyeri
3) Konsumsi minuman alcohol yang berlebihan
4) Stress
5) Autoimun
Selain penyebab gastritis di atas, ada penderita yang merasakan gejalanya dan ada juga yang
tidak.

E. Faktor resiko
 Konsumsi makanan dengan kadar pengawet dan garam yang tinggi berlebihan.
 Konsumsi makanan berlemak dan berminyak berlebihan.
 Konsumsi makanan asam dan pedas berlebihan.
 Konsumsi alkohol berlebihan dan dalam jangka panjang.
 Kondisi medis tertentu yang bisa menyebabkan sistem kekebalan tubuh menurun.
 Penggunaan narkoba dan zat-zat berbahaya lainnya.
 Kebiasaan merokok. 

F. Patogenesis dan patofisiologi


Obat-obatan, alkohol, garam empedu, zat iritan lainnya dapat merusak mukosa lambung
(gastritis erosif). Mukosa lambung berperan penting dalam melindungi lambung dari
autodigesti oleh HCl dan pepsin. Bila mukosa lambung rusak maka terjadi difusi HDl ke
mukosa dan HCl akan merusak mukosa. Kehadiran HCl di mukosa lambung menstimulasi
perubahan pepsinogen menjadi pepsin. Pepsin merangsang pelepasan histamine dari sel mast.
Histamin akan menyebabkan peningkatan permeabilitas kepiler sehingga terjadi perpindahan
cairan intrasel ke ekstrasel dan menyebabkan edema dan kerusakan kapiler sehingga timbul
perdarahan pada lambung. Biasanya lambung dapat melakukan regenerasi mukosa oleh
karena itu gangguan tersebut menghilang dengan sendirinya. Namun bila lambung sering
terpapar dengan zat iritan maka inflamasi akan terjadi terus menerus. Jaringan yang meradang
akan diisi oleh jaringan fibrin sehingga lapisan mukosa lambung dapat hilang dan terjadi
atropi sel mukosa lambung. Faktor intrinsik yang dihasilkan oleh sel mukosa lambung akan
menurun atau hilang sehingga cobalamin (vitamin B12) tidak dapat diserap di usus halus.

G. Manifestasi klinis
 Hilang nafsu makan
 Mual dan muntah
 Perut kembung
 Nyeri di perut bagian atas
 Cepat merasa kenyang saat makan
 Sendawa berlebihan

H. Prinsip diagnosis dan DD


 Anamnesis : pasien datang karena rasa nyeri dan panas seperti terbakar pada perut bagian
atas disertai mual muntah serta kembung bila diikuti dengan makan
 Pemeriksaan fisik
o Nyeri tekan epigastrium bagian atas dan BU meningkat
o Bila inflamasi berat dapat ditemukan perdarahan berupa hematemesis dan melena
o Konjungtiva anemis

 Diagnosis Banding
Kolesistitis, kolelitiasis, GERD, gastroenteritis, limfoma, ulkus peptikum, kanker
lambung
I. Pemeriksaan penunjang
 Darah lengkap, bertujuan untuk mengetahui adanya anemia
 Pemeriksaan serum vitamin B12, bertujuan utk mengatahui adanya defisiensi B12
 Analisa feses, bertujuan untuk mengetahui adanya darah dlm feses
 Analisa gaster, bertujuan utk mengetahui kandungan HCl lambung
 Tes antibody serum, bertujuan utk mengetahui adanya antibodi sel parietal dan faktor
intrinsik lambung terhadap H. pylori
 Endoscopy, biopsy, dan pemeriksaan urine jika ada kecurigaan ulkus peptikum
 Sitologi, bertujuan utk mengetahui adanya keganasan sel lambung

J. Tatalaksana
1) Pengobatan di rumah
 Hindari makanan, minuman, dan kebiasaan yang dapat meningkatkan asam
lambung
 Makan sedikit tetapi sering
 Makan masakan yang matang
 Cuci tangan sebelum makan untuk menghindari infeksi
 Ikuti arahan dokter jangan konsumsi obat

2) Diet makanan pada gastritis


 Buat jadwal makan sebanyak 3 jam sekali dengan jumlah porsi yang sedikit
 Jangan menunda waktu makan 

3) Makanan yang boleh dimakan


 Kentang/nasi tim, sereal
 Daging tanpa lemak
 Kacang-kacangan (kacang hijau rebus, tahu/tempe, dll)
 Buah-buahan yang tidak mengandung gas seperti pisang, pepaya
 Sayuran yang tidak terlalu berserat dan mengandung gas
 Minuman (the, sirup, susu dibatasi)

4) Makanan yang tidak boleh dimakan


 Nasi ketan, ubi, singkong, talas, mie
 Daging dengan lemak
 Sayuran bergas/berserat (sawi, kol, kecamba, nangka, oyom, kangkung, daun
singkong)
 Buah-buahan yg masam, bergas (mangga, nanas, durian, kedondong,dll)
 Minuman beralkohol atau bersoda dan kopi
 Merokok
 Gorengan
 Makanan yang pedas

5) Pencegahan
 Jangan merokok
 Menerapkan pola makan sehat
 Kurangi BB
 Konsumsi oba pereda nyeri dengan pengawasan dokter
 Usahakan jadwal makan teratur dan jangan sampai telat
 Kelola stress dengan baik melalui olahraga, relaksasi, dan kegiatan lain yg
disukai

6) Tatalaksana farmakologis
 Antasida yang berisi Al dan Mg, serta karbonat kalsium dan magnesium.
Antasida dapat meredakan mulas ringan atau dispepsia dengan cara
menetralisasi asam di perut.
 Histamin (H2) blocker seperti famotidine dan ranitidine. H2 blocker
mempunyai dampak penurunan produksi asam dengan mempengaruhi lgsg
pada lapisan epitel lambung dengan cara menghambat ransangan sekresi oleh
saraf otonom pada nervus vagus
 PPI seperti omeprazole, lansoprazole, dan dexlansoprazole. Obat ini bekerja
menghambat produksi asam melalui penghambatan thdp elektron yg
menimbulkan potensial aksi saraf otonom vagus.

7) Jika penyebabnya H.pylori diperlukan penggabungan obat antasida, PPI, dan


antibiotik seperti amoksisilin dan klaritromisin untuk membunuh bakteri

K. Prognosis dan komplikasi


Prognosis : dapat sangat tergantung pada kondisi pasien saat datang, komplikasi, dan
pengobatannya. Umumnya prognosis gastritis adalah bonam, namun dapat terjadi berulang
bila pola hidup tidak berubah

Komplikasi
 Tukang lambung
 Perdarahaan di dalam lambung
 Kanker lambung
 Anemia

3. ULKUS GASTER
A. Definisi
Ulkus gaster adalah bagian dari ulkus peptikum yang berupa luka di lapisan mukosa gaster
dengan diameter minimal 0.5 cm (Habeeb et al., 2015). Ulkus gaster dapat terjadi akibat
modifikasi antara unsur agresif dan unsur defensif. Penurunan unsur defensif dapat
menyebabkan lesi pada mukosa gaster karena tidak adanya unsur yang melindungi mukosa
gaster dari unsur agresif

B. Epidemiologi
 Prevalensi ulkus gaster pada pria 11-14% dan pada wanita 8-11%, sekitar 500.000
orang tiap tahunnya menderita ulkus gaster
 Sebanyak 48% penderita ulkus gaster disebabkan karena infeksi helicobacter pylori, 24%
karena penggunaan obat NSAID & sisanya oleh karena gaya hidup yang tidak sehat
C. Etiologi
 Helicobacter pylori : mengeluarkan sitotoksin yang secara langsung merusak sel epitel
mukosa gastroduodenal
 Non-steroid anti inflamation drugs (NSAID)
 Merokok
 Alkohol

D. Patogenesis dan patofisiologi


Patofisiologi ulkus peptikum melibatkan ketidakseimbangan antara faktor protektif dan faktor
destruktif pada mukosa gastroduodenal, sehingga terjadi kerusakan mukosa dan ulkus.
Contoh faktor protektif adalah mukus, bikarbonat, prostaglandin, sel epitel, sel progenitor
mukosa, dan aliran darah mukosa. Sementara itu, contoh faktor destruktif adalah
penggunaan nonsteroidal antiinflammatory drugs, infeksi Helicobacter pylori, asam
lambung, dan pepsin.

Infeksi H. pylori merupakan penyebab ulkus peptikum terbanyak. Mekanisme kerusakan


mukosa oleh bakteri H. pylori merupakan proses yang kompleks, tetapi pada dasarnya
bakteri H. pylori mengandung enzim urease yang mampu memproduksi amonia (NH3) dari
urea. Amonia bereaksi dengan asam lambung (HCl) membentuk monochloramine (NH2Cl).

E. Manifestasi klinis
 Dispepsia
 Konstipasi
 BB menurun
 Melena
 Perdarahan
 Nyeri setelah makan
 Hematemesis
 Emesis

F. Prinsip diagnosis dan DD


 Anamnesis
 Pemeriksaan fisik
o Epigastric pain
o Nyeri tekan
o Muntah-muntah  tanda retensi lambung
o Takikardi, syok hipovolemik  tanda perdarahan
 Pemeriksaan penunjang
o Endoskopi  luka dengan pinggiran teratur, mukosa licin dan normal disertai
lipatan teratur yang keluar dari pinggir ulkus
o UBT
o Tes serologi
 Diagnosis banding
o Varises esofagus
o GERD
o Ca gaster

G. Tatalaksana
 Non-medikamentosa
o Istirahat
o Diet
o Menghentikan kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol
o Kurangi stress
 Medikamentosa
o Eradikasi helicobacter pylori – antibioltik
o Antasida dan anti kolinergik
o Antagonis reseptor H2/ARH2
o Proton pump inhibitor (PPI)
o Site protective agent (sukralfat)

H. Prognosis dan komplikasi


 Perdarahan  akibat penyakit degeneratif dan NSAID
 Perforasi
 Stenosis pilorik  akibat edema dan spasme

4. ULKUS DUODENUM
A. Definisi
Ulkus duodenum adalah luka terbuka yang berkembang di lapisan dalam perut dan bagian
atas usus kecil. Penyakit ini juga dikenal dengan tukak lambung.

B. Epidemiologi
Data epidemiologi ulkus peptikum di Amerika Serikat melaporkan bahwa sekitar 10%
populasi pernah mengalami ulkus peptikum. Di Iran, suatu studi melaporkan bahwa
prevalensi ulkus peptikum adalah sebesar 8,20%, di mana prevalensi ulkus gaster adalah
3,26% dan prevalensi ulkus duodenum adalah 4,94%. Sementara itu, studi di Swedia
menunjukkan bahwa prevalensi ulkus gaster adalah 2,0%.

C. Etiologi
Etiologi TD/Tukak Duodenum yang telah diketahui sebagai faktor agresif yang merusak
pertahanan mukosa adalah Helicobacter pylori, Obat anti inflamasi non-steroid, asam
Iambung/pepsin dan faktor-faktor lingkungan serta kelainan satu atau beberapa faktor
pertahanan yang berpengaruh pada kejadian TD.

D. Faktor resiko
 Umur tua (> 60 tahun) riwayat tentang adanya tukak peptik sebelumnya
 Dispepsia kronik
 Intoleransi terhadap penggunaan oains sebelumnya
 Jenis, dosis dan lamanya penggunaan oains
 Penggunaan secara bersamaan dengan kortikosteroid, antikoagulan dan penggunaan 2
jenis oains bersamaan
 Penyakit penyerta lainnya yang diderita oleh pemakai oains
 Merokok
 Faktor stres, malnutrisi, makanan tinggi garam, defisiensi vitamin.
 Beberapa penyakit tertentu di mana prevalensi tukak duodenum meningkat seperti
sindrom zollinger elison, mastositosis sistemik, penyakit chron dan hiperparatiroidisme.
 Faktor genetik. 

E. Patogenesis dan patofisiologi


Bila terjadi infeksi H.pylori, maka bakteri ini akan melekat pada permukaan epitel dengan
bantuan adhesin sehingga dapat lebih efektif merusak mukosa dengan melepaskan sejumlah
zat sehingga terjadi gastritis akut yang dapat berlanjut menjadi gastritis kronik aktif atau
duodenitis kronik aktif. Untuk terjadi kelainan selanjutnya yang lebih berat seperti tukak atau
kanker Iambung ditentukan oleh virulensi H. pylori dan faktor-faktor Iain, baik dari host
sendiri, maupun adanya gangguan fisiologis Iambung/duodenum.
Apabila terjadi infeksi H.pylori, host akan memberi respons untuk mengeliminasi/
memusnahkan bakteri ini melalui mobilisasi sel-sel PMN/ limfosit yang menginfiltrasi
mukosa secara intensif dengan mengeluarkan bermacam-macam mediator inflamasi atau
sitokinin, seperti interleukin 8, gamma interferon alfa, tumor nekrosis factor dan lain-lain,
yang bersama- sama dengan reaksi imun yang timbul justru akan menyebabkan kerusakan
sel-sel epitel gastroduodenal yang lebih parah namun tidak berhasil mengeliminasi bakteri
dan infeksi menjadi kronik.
Asam Iambung yang tinggi dalam duodenum menimbulkan gastrik metaplasia yang dapat
merupakan tempat hidup H.pylori dan sekaligus dapat memproduksi asam sehingga lebih
menambah keasaman dalam duodenum. Keasaman yang tinggi akan menekan produksi
mukus dan bikarbonat, menyebabkan daya tahan mukosa lebih menurun dan mempermudah
terbentuknya tukak duodenum.
Defek/inflamasi pada mukosa yang terjadi pada infeksi H.pylori atau akibat OAINS akan
memudahkan difusi balik asam/pepsin ke dalam mukosa/jaringan sehingga memperberat
kerusakan jaringan. Pada patogenesis TD, maka asam Iambung yang berlebihan merupakan
faktor utama terjadinya tukak sedangkan faktor lainnya merupakan faktor pencetus.

F. Manifestasi klinis
Nyeri epigastrium terutama malam hari dan menjalar ke punggung, nyaman sesudah makan,
mual, anoreksia, muntah

G. Prinsip diagnosis dan DD


Anamnesis
 Nyeri seperti rasa terbakar, nyeri rasa lapar, rasa sakit/tidak nyaman yang
mengganggu dan tidak terlokalisasi; biasanya terjadi setelah 90 menit -3 jam post
prandial dan nyeri dapat berkurang sementara sesudah makan, minum susu atau
minum antasida. Hal ini menunjukkan adanya peranan asam Iambung/pepsin dalam
patogenesis TD. 
 penggunaan OAINS 
 Tinja berwarna seperti teer (melena)
Pada dispepsia kronik, sebagai pedoman untuk membedakan antara dispepsia fungsional dan
dispepsia organik seperti TD, yaitu pada TD dapat ditemukan gejala peringatan (alarm
symptom) antara lain berupa:
 umur > 45-50 tahun keluhan muncul pertama kali
 adanya perdarahan hematemesis/ melena
 BB menurun > 10%
 anoreksia/ rasa cepat kenyang
 riwayat tukak peptik sebelumnya
 muntah yang persisten
 anemia yang tidak diketahui sebabnya 
Pemeriksaan Fisik
Tidak banyak tanda fisik yang dapat ditemukan selain kemungkinan adanya nyeri palpasi
epigastrium, kecuali bila sudah terjadi komplikasi. 
Diagnosis banding
 Dispepsia non ulcer
 Tukak Iambung
 Penyakit pankreatobilier
 Penyakit Chron's pada gastroduodenal
 Tumor saluran cerna bagian atas 

H. Pemeriksaan penunjang
 Tes darah, untuk mendeteksi antibodi yang muncul akibat infeksi H. pylori
 Tes antigen tinja, untuk memeriksa keberadaan protein pada tinja yang terkait dengan
bakteri H. pylori
 Tes napas urea (urea breath test), untuk mendeteksi gas karbondioksida pada hembusan
napas yang terkait dengan infeksi H. pylori
 CT scan dengan bantuan cairan barium, untuk memeriksa kondisi usus dua belas jari,
lambung, dan kerongkongan
 Endoskopi, untuk memeriksa luka di saluran pencernaan, dan bila diperlukan mengambil
sampel jaringan (biopsi) untuk diteliti di laboratorium

I. Tatalaksana
Pengobatan ulkus duodenum tergantung pada penyebabnya. Pada ulkus duodenum yang
disebabkan oleh infeksi H. pylori, dokter akan memberikan kombinasi antibiotik setidaknya
selama 1 minggu, untuk membunuh bakteri tersebut. Jenis antibiotik yang digunakan antara
lain:
 Tetracycline
 Metronidazole
 Levofloxacin
 Clarithromycin
 Amoxicillin

Sedangkan jika ulkus duodenum disebabkan oleh penggunaan OAINS jangka panjang, obat
yang akan diberikan meliputi:
 Antasida, untuk menetralkan asam lambung dan meredakan nyeri ulu hati dengan
cepat
 Proton pump inhibitor (PPI), seperti lansoprazole atau omeprazole, dan antagonis
H2, seperti ranitidine dan cimetidine, untuk mengurangi produksi asam lambung
 Sukralfat atau misoprostol, untuk membantu melindungi dinding lambung dan usus
dua belas jari

Ulkus duodenum umumnya sembuh dengan obat-obatan. Namun, pada beberapa kasus,
kondisi ini bisa sangat parah dan menyebabkan perdarahan di organ dalam sehingga perlu
ditangani dengan tindakan operasi.
Prosedur operasi yang dilakukan dokter antara lain:

 Vagotomi, dengan memotong saraf vagus yang mengontrol pembuangan asam


lambung
 Antrektomi, dengan mengangkat bagian bawah lambung (antrum) yang berfungsi
memproduksi asam lambung
 Piloroplasti, dengan memperlebar lubang antara usus dua belas jari dan lambung,
agar isi lambung bisa mengalur lebih banyak

J. Prognosis dan komplikasi


 Perdarahan: hematemesis/melena dengan tanda syok apabila perdarahan masif dan
perdarahan tersembunyi yang kronik menyebabkan anemia defisiensi Fe.
 Perforasi: nyeri perut menyeluruh sebagai tanda peritonitis
 Penetrasi tukak yang mengenai pankreas: timbul nyeri tiba-tiba tembus ke belakang.
 Obstruksi outlet bila ditemukan gejala mual + muntah, perut kembung dan adanya suara
deburan (succussion splash) sebagai tanda retensi cairan dan udara, dan berat badan
menurun.
 Keganasan dalam duodenum (walaupun jarang).

5. IBS
A. Definisi
Sindrom iritasi usus besar atau irritable bowel syndrome (IBS) adalah kelainan iritasi yang
umum terjadi pada usus besar. Kondisi ini disebabkan oleh gangguan pada saluran
pencernaan, namun tidak menunjukkan adanya kerusakan struktur jaringan. IBS ditandai
dengan serangkaian gejala, seperti nyeri perut berulang yang dapat semakin parah setelah
mengonsumsi makanan atau minuman tertentu.

B. Klasifikasi
IBS diklasifikasikan menjadi empat tipe berdasarkan konsistensi tinja, yaitu IBS dominan
konstipasi (IBS-C), IBS dominan diare (IBS-D), IBS dengan kebiasaan buang air besar
campuran (IBS-M), dan IBS tidak dapat diklasifikasikan (IBS-U)

C. Epidemiologi
Prevalensi IBS di setiap wilayah geografis bervariasi, secara umum prevalensi IBS
dilaporkan sebesar 11,2%. Prevalensi IBS di Eropa dan Amerika Utara sebesar 10-20%,
sedangkan di wilayah Asia prevalensi IBS antara 6,8% - 33,3%. Di Asia, IBS sering terjadi
pada kelompok usia muda dan dapat terjadi pada pria maupun wanita. Prevalensi IBS di
negara – negara pada wilayah Asia seperti Malaysia, India, dan Bangladesh yaitu 11-14%,
4,2-7,5%, dan 7,7-12,9% (Gwee, Ghoshal & Chen, 2018; Rahman, Mahadeva & Ghoshal,
2017). Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Indonesia pada remaja usia 10-18 tahun
dilaporkan bahwa prevalensi IBS sebesar 32,2% dari 180 responden yang diteliti dengan
didominasi IBS-D dengan prevalensi 39,7%, IBS-C 37,9%, dan IBS-M 22,4%

D. Etiologi
Penyebab IBS sampai saat ini belum diketahui secara pasti, tetapi banyak penelitian
menemukan faktor penyebab terjadinya IBS yaitu gangguan motilitas, intoleransi makanan,
abnormalitas interaksi sumbu otak-usus, hipersensitivitas viseral, dan pasca infeksi usus.
Pada IBS pasca infeksi 7 biasanya keluhan muncul setelah 1 bulan terinfeksi dengan
penyebab tersering yaitu virus, giardia atau amoeba.

E. Faktor resiko
 Masalah psikologis: Irritable bowel syndrome adalah kondisi yang dapat dialami
seseorang ketika sedang stres. Hal ini juga dipengaruhi oleh buruknya kondisi otak saat
stres sehingga berdampak pada sistem pencernaan.
 Infeksi saluran pencernaan: Sindrom ini dapat terjadi setelah seseorang mengalami
infeksi berat akibat virus atau bakteri penyebab diare yang terjadi sebelumnya.
 Riwayat keluarga: Seseorang yang memiliki riwayat keluarga dengan irritable bowel
syndrome berisiko tinggi menderita penyakit ini.
 Mengonsumsi makanan pemicu sindrom usus besar: Beberapa makanan dan minuman
yang dapat memicu irritable bowel syndrome adalah gorengan, alkohol, kopi, daging
merah, atau minuman berkarbonasi.
 Jenis kelamin wanita: Sindrom usus besar lebih sering terjadi pada wanita karena dipicu
oleh hormon yang berkaitan dengan siklus menstruasi.
 Abnormalitas sistem saraf: Kondisi ini dapat menyebabkan rasa tidak nyaman pada
perut dan menimbulkan produksi gas berlebih.
 Perubahan flora normal di usus: Perubahan ketidakseimbangan bakteri baik dalam
usus dapat memicu terjadinya irritable bowel syndrome.

F. Patogenesis dan patofisiologi


G. Manifestasi klinis
 Intensitas buang gas meningkat.
 Perut kembung.
 Tekstur feses tidak menentu, bisa keras atau lembek.
 Terdapat lendir pada feses.
 Nyeri perut, kram, dan rasa tidak nyaman pada perut.
 Diare berair yang bisa lebih dari sekali dalam sehari.
 Masih terasa mengganjal setelah buang air besar.
 Sembelit.
 Gejala yang dirasakan hilang timbul.

H. Prinsip diagnosis dan DD


Didasarkan pada konsensus atau kesepakatan yang tervalidasi dan tidak ada pemeriksaan
penunjang khusus untuk menentukan diagnosis dari IBS tsb.
Kriteria yang digunakan saat ini adalah kriteria Rome III tahun 2006
Kriteria IBS berdasarkan kriteria Rome III
 Nyeri atau tidak nyaman di perut yang berulang sedikitnya 3 hari/bulan selama 3 bulan
terakhir disertai gejala berikut
o Membaik dengan defekasi
o Onset berhubungan dengan perubahan frekuensi dari defekasi
o Onset berhubungan dengan perubahan bentuk feses

Beberapa pertanyaan yang dapat diajukan dalam anamnesis


1. Apakah nyeri yang dirasakan hanya pada satu tempat atau berpindah? (IBS nyeri
berpindah)
2. Seberapa sering merasakan nyeri? (IBS nyeri tidak menentu)
3. Berapa lama nyeri dirasakan? (IBS nyeri sebentar)
4. Bagaimana keadaan nyeri jika pasien BAB atau flatus? (IBS setelah BAB dan flatus
akan terasa lebih nyaman)

Pemeriksaan Lab meliputi :


1. Darah perifer lengkap
2. Biokimia darah
3. Pemeriksaan fungsi hati
4. Pemeriksaan hormon tiroid (jika pasien dg gejala diare kronis)
Diagnosis tegak bila : memenuhi kriteria Rome III dan tidak ditemukan kelainan organik lain.

Selain kriteria Rome III, Kriteria Manning juga dapat digunakan Kriteria Manning lebih
sederhana dan menitik beratkan pada keadaan pada onset nyeri

Kriteria Manning
Gejala yang sering didapat pada penderita IBS yaitu :
I. Feses cair pada saat nyeri
J. Frekuensi buang air besar bertambah pada saat nyeri
K. Nyeri berkurang setelah buang air besar
L. Tampak distensi abdomen

Dua gejala tambahan yang sering muncul pada pasien IBS :


 Lendir saat buang air besar
 Perasaan tidak lampias saat buang air besar

 feses cair disertai frekuensi defekasi yang meningkat pada saat nyeri = perubahan
fungsi intestinal
 nyeri yang berkurang setelah defekasi = nyeri berasal dari gastrointestinal bawah
 kembung = kondisi sakit ini mungkin bukan kelainan organik
 rasa tidak lampias = rektum iritable
 lendir pada saat defekasi = rektum teriritasi

Tanda alarm yang harus diperhatikan agar diagnosis lebih menjurus ke penyakit organik
daripada IBS adalah :
1. Onset umur > 55 tahun
2. Riwayat keluhan pertama kali kurang dari 6 bulan
3. Perjalanan penyakitnya progresif
4. Gejala timbul pada malam hari
5. Perdarahan perianus
6. Anoreksia
7. BB turun
8. Riwayat keluarga menderita kanker
9. Pada pemfis ditemukan kelainan : distensi abdomen, anemia atau demam
Apabila tanda alarm di atas ditemukan selain gejala-gejala IBS maka penyebab organik harus
dipikirkan terlebih dahulu sehingga pemeriksaan lab dan pem penunjang lain harus segera
dilakukan.
Diagnosis banding
DD tersering : defisiensi laktase
DD lain : kanker kolorektal, diverkulitis, IBD, obstruksi mekanik pada usus halus atau kolon,
infeksi usus, iskemia, maldigesti dan malabsorbsi serta endometriosis (pasien nyeri saat
menstruasi)

I. Pemeriksaan penunjang
Dilakukan bila pasien dengan dominan keluhan diare, pemeriksaan yang dilakukan adalah
kolonoskopi diikuti biopsi mukosa kolon guna untuk menyingkirkan adanya kolitis
mikroskopik
J. Tatalaksana
Tiga bentuk pengobatan IBS :
 modifikasi diet
 IBS + konstipasi = perbanyak konsumsi serat dan air disertai olahraga
 IBS + diare = kurangi konsumsi serat
 Beberapa makanan dan minuman dapat mencetuskan IBS, diantaranya yaitu :
gandum, susu, kafein, bawang, coklat dan beberapa sayur
 Intervensi psikologi/psikoterapi
 Kunci utama keberhasilan pengobatan pasien adalah pemahaman pasien
mengenai penyakit IBS dan yakin bahwa IBS dapat diobati dan tidak
membahayakan kehidupan
 Pasien IBS harus diingatkan untuk mengendalikan stressnya dan diminta untuk
tidak bekerja berlebihan dan menyampingkan waktu istirahatnya
 Menyediakan waktu yang cukup untuk BAB secara teratur diluar waktu sibuk
bekerja
 Selama makan disediakan waktu yang cukup agar saat makan dilakukan secara
tenang dan tidak terburu buru
 Farmakoterapi
 Terutama obat untuk menghilangkan gejala yang timbul : nyeri abdomen,
konstipasi, diare dan obat antiansietas
 Obat diberikan secara kombinasi

K. Prognosis dan komplikasi


 Penyakit IBS tidak akan meningkatkan mortalitas
 Gejala pasien IBS biasanya akan membaik dan hilang setelah 12 bulan pada 50% kasus
 <5% kasus akan memburuk
 Sisanya gejala menetap

6. APENDISITIS AKUT
A. Definisi
Apendisitis akut adalah radang yang timbul secara mendadak pada apendik, merupakan salah
satu kasus akut abdomen yang paling sering ditemui, dan jika tidak ditangani segera dapat
menyebabkan perforasi.

B. Epidemiologi
Data epidemiologi mengungkapkan bahwa appendicitis merupakan kegawatdaruratan bedah
abdomen yang paling sering ditemukan. Di Amerika Serikat, dilaporkan bahwa risiko seumur
hidup seseorang mengalami appendicitis adalah 8,6% pada laki-laki dan 6,7% pada wanita.
Sayangnya, belum ada data epidemiologi serupa di Indonesia.

Appendicitis paling umum terjadi pada usia 10-20 tahun. Perbandingan rasio laki-laki dengan
perempuan adalah 1,4:1. Studi di Amerika Serikat menunjukkan risiko seumur hidup
mengalami appendicitis adalah 8,6% untuk laki-laki dan 6,7% pada perempuan.

C. Etiologi
Etiologi appendicitis adalah obstruksi lumen apendiks yang dapat disebabkan oleh hiperplasia
limfoid, infeksi, fekalit, tumor, ataupun infeksi. Obstruksi ini kemudian menyebabkan
distensi lumen dan inflamasi yang menimbulkan manifestasi klinis appendicitis

Fekalit terbentuk dari garam kalsium dan debris feses menjadi berlapis dan menumpuk di
dalam apendiks. Hiperplasia limfoid dikaitkan dengan berbagai gangguan inflamasi dan
infeksi, seperti Crohn’s disease, gastroenteritis, amebiasis, infeksi pernapasan, campak,
dan mononukleosis. Pada beberapa kasus penyebab pasti appendicitis tidak diketahui.
[2,6] Parasit, seperti Enterobius vermicularis, juga berpotensi menyebabkan obstruksi lumen
apendiks dan menyebabkan appendicitis.

D. Faktor resiko
 Fekalit yang mengoklusi lumen apendiks
 Apendiks yang ruptur
 Pembengkakan dinding usus
 Kondisi fibrosa di dinding usus
 Oklusi eksternal usus akibat adesi
 Infeksi organisme Yersinia telah ditemukan pada 30% kasus

E. Patogenesis dan patofisiologi


 Obstruksi proksimal pada lumen apendiks menyebabkan obstruksi “close-loop” dan
berlanjut dengan distensi lumen apendiks yang disebabkan sekresi cairan apendiks yang
terus berlangsung. 
 Distensi ini menyebabkan stimulasi saraf aferen sehingga timbul nyeri samar, tumpul,
dan menyebar pada abdomen bagian tengah atau epigastrium. Peristaltik juga distimulasi
oleh distensi usus yang berlebihan, sehingga menyebabkan rasa mual yang bercampur
dengan nyeri visceral pada awal proses apendisitis.
 Obstruksi lumen apendiks menyebabkan terjadinya pertumbuhan bakteri yang berlebihan
yang diikuti dengan sekresi mukus, sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan
intraluminal lumen. 
 fokal (Kataralis). Dengan adanya kuman dalam submukosa maka tubuh akan bereaksi
berupa peradangan supuratif yang menghasilkan pus. Hal ini disebut dengan apendisitis
supuratif atau pigmentosa.

F. Manifestasi klinis
Nyeri perut kanan bawah, mula-mula daerah epigastrium kemudian menjalar ke Mc Burney.
Apabila telah terjadi inflamasi (>6 jam) penderita dapat menunjukkan letak nyeri karena
bersifat somatik.

G. Prinsip diagnosis dan DD


Anamnesis
 Muntah (rangsangan visceral) akibat aktivasi nervus vagus.
 Anoreksia, nausea dan vomitus yang timbul beberapa jam sesudahnya, merupakan
kelanjutan dari rasa nyeri yang timbul saat permulaan.
 Disuria juga timbul apabila peradangan apendiks dekat dengan vesika urinaria.
 Obstipasi sebelum datangnya rasa nyeri dan beberapa penderita mengalami diare,
timbul biasanya pada letak apendiks pelvikal yang merangsang daerah rektum.
 Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi, yaitu suhu antara
 37,50C - 38,50C tetapi bila suhu lebih tinggi, diduga telah terjadi perforasi.
 Variasi lokasi anatomi apendiks akan menjelaskan keluhan nyeri somatik yang
beragam. Sebagai contoh apendiks yang panjang dengan ujung yang mengalami
inflamasi di kuadran kiri bawah akan menyebabkan nyeri di daerah tersebut,
apendiks retrosekal akan menyebabkan nyeri flank atau punggung, apendiks pelvikal
akan menyebabkan nyeri pada suprapubik dan apendiks retroileal bisa menyebabkan
nyeri testikuler, mungkin karena iritasi pada arteri spermatika dan ureter.

Pemeriksaan Fisik
Inspeksi
 Penderita berjalan membungkuk sambil memegangi perutnya yang sakit
 Kembung bila terjadi perforasi
 Penonjolan perut kanan bawah terlihat pada appendicular abses.
Palpasi
Terdapat nyeri tekan McBurney
 Adanya rebound tenderness (nyeri lepas tekan)
 Adanya defans muscular
 Rovsing sign positif
 Psoas sign positif
 Obturator Sign Positif
Perkusi
 Nyeri ketok (+)
Auskultasi
Peristaltik normal, peristaltik tidak ada pada illeus paralitik karena peritonitis generalisata
akibat appendisitis perforata.

Skor Alvarado
Skor Alvarado dibuat sebagai alat diagnosis dan pengelompokan pasien yang dicurigai
menderita apendisitis akut dengan diagnosa banding yang bermacam-macam. Skor ini terdiri
dari 10 poin dengan akronim MANTRELS, hal ini dinilai berdasarkan gejala klinis,
pemeriksaan fisik dan penunjang. Jumlah skor yang didapatkan akan menentukan apakan
pasien yang dicurigai tersebut akan dipulangkan, diobservasi, atau dioperasi.
 Skor 7-10 (emergency surgery group): Semua penderita dengan skor ini disiapkan
untuk tindakan operasi
 Skor 5-6 (observation group) Semua penderita dengan skor ini di rawat inap dan
dilakukan observasi selama 24 jam dengan evaluasi secara berulang terhadap data
klinis dan hasil. Jika kondisi pasien membaik yang ditunjukkan dengan penurunan
skor, penderita dapat dipulangkan dengan catatan harus kembali bila gejala menetap
atau memburuk.
 Skor 1-4 (discharge home group). Penderita pada kelompok ini setelah mendapat
pengobatan secara simptomatis dapat dipulangkan dengan catatan harus segera
kembali bila gejala menetap atau memburuk.

Diagnosis Banding
 Kolesistitis akut
 Divertikel Mackelli
 Enteritis regional
 Pankreatitis
 Batu ureter
 Cystitis
 Kehamilan Ektopik Terganggu (KET)
 Salpingitis akut

H. Pemeriksaan penunjang
 Laboratorium darah perifer lengkap
1) Pada apendisitis akut, 70-90% hasil laboratorium nilai leukosit dan neutrofil akan
meningkat.
2) Pada anak ditemukan leukositosis 11.000-14.000/mm3, dengan pemeriksaan hitung
jenis menunjukkan pergeseran ke kiri hampir 75%.
3) Jika jumlah leukosit lebih dari 18.000/mm3 maka umumnya sudah terjadi perforasi
dan peritonitis.
4) Pemeriksaan urinalisa dapat digunakan sebagai konfirmasi dan menyingkirkan
kelainan urologi yang menyebabkan nyeri abdomen.
5) Pengukuran kadar HCG bila dicurigai kehamilan ektopik pada wanita usia subur.

 Foto polos abdomen


1) Pada apendisitis akut, pemeriksaan foto polos abdomen tidak banyak membantu.
2) Pada peradangan lebih luas dan membentuk infiltrat maka usus pada bagian kanan
bawah akan kolaps.
3) Dinding usus edematosa, keadaan seperti ini akan tampak pada daerah kanan bawah
abdomen kosong dari udara.
4) Gambaran udara seakan-akan terdorong ke pihak lain.
5) Proses peradangan pada fossa iliaka kanan akan menyebabkan kontraksi otot
sehingga timbul skoliosis ke kanan.
6) Bila sudah terjadi perforasi, maka pada foto abdomen tegak akan tampak udara bebas
dibawah diafragma.
7) Foto polos abdomen supine pada abses apendik kadang- kadang memberi pola bercak
udara dan air fluid level pada posisi berdiri/LLD (dekubitus), klasifikasi bercak rim-
like (melingkar) sekitar perifer mukokel yang asalnya dari apendik.

I. Tatalaksana
Pasien yang telah terdiagnosis apendisitis akut harus segera dirujuk ke layanan sekunder
untuk dilakukan operasi cito. Penatalaksanaan di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat
pertama sebelum dirujuk:
 Bed rest total posisi fowler (anti Trandelenburg)
 Pasien dengan dugaan apendisitis sebaiknya tidak diberikan apapun melalui mulut.
 Penderita perlu cairan intravena untuk mengoreksi jika ada dehidrasi.
 Pipa nasogastrik dipasang untuk mengosongkan lambung agar mengurangi distensi
abdomen dan mencegah muntah.

Tindakan resusitasi yang diikuti dengan operasi apendiktomi merupakan pilihan pertama
pada pasien dengan apendisitis akut. Tidak dianjurkan untuk pemberian obat analgetik karena
akan mengaburkan gejala. Semua pasien harus mendapatkan antibiotika spektrum luas
preoperatif (1-3 dosis) untuk menurunkan resiko infeksi post operatif dan pembentukan abses
intra abdomen.
Apendiktomi dapat dilakukan dengan menggunakan dua metode pembedahan, yaitu secara
teknik terbuka (pembedahan konvensional laparatomi) atau dengan teknik laparoskopi yang
merupakan teknik pembedahan minimal invasif dengan metode terbaru yang sangat efektif.

J. Prognosis dan komplikasi


Pada populasi umum, kemungkinan terjadi perforasi berkisar 20-30%, meningkat pada usia
lanjut yaitu 50-70%. Secara keseluruhan, tingkat keberhasilan operasi sangat tinggi.
Apendisitis berulang dapat terjadi pada 10% kasus.

Komplikasi yang sering terjadi adalah perforasi apendiks yang menyebabkan peritonitis.
Risiko perforasi meningkat 5% setiap 12 jam setelah lewat 36 jam pertama sejak awitan
gejala. Komplikasi pasca operasi dapat berupa abses, atau stump appendicitis yaitu gejala
berulang biasanya pada 9 tahun pasca operasi karena tidak keseluruhan bagian dari apendiks
berhasil diangkat.

7. ABSES APENDIKS
A. Definisi
Suatu komplikasi dari penyakit apendisitis akut. Abses ini sebenarnya menandakan respon
tubuh yang baik sebagai akibat usaha untuk mengatasi peradangan apendiks yang telah
meluas, tubuh berusaha menutup wilayah radang ini yang akan membuat suatu massa yang di
dalamnya terdapat jaringan nekrosis likuefaktif. Lanjutan dari proses ini dapat menimbulkan
keluhan nyeri perut kuadran kanan bawah yang sangat hebat.

B. Epidemiologi
 2 per 3 dari kauss apendisitis akan menimbulkan komplikasi abses apendiks
 Memiliki penyebaran yang luas kepada kedua jenis kelamin

C. Etiologi
Etiologi abses apendiks yang paling sering adalah appendicitis yang perforasi. Pada kasus
appendicitis, obstruksi dari apendiks dapat disebabkan oleh hiperplasia limfoid, infeksi
parasit, fekalit, benda asing, dan tumor. Ketika appendicitis mengalami perforasi, abses
apendiks dapat terjadi sebagai efek dari lokalisasi terkait proses walling-off dari omentum
dan adhesi usus atau organ di sekitar apendiks.
Infeksi yang terjadi pada appendicitis umumnya bersifat polimikrobial.  Pada banyak
studi, Escherichia coli merupakan mikroba yang paling umum ditemukan pada
kasus appendicitis. Mikroba lain yang juga banyak ditemukan adalah Pseudomonas
aeruginosa, Klebsiella pneumonia, Streptococcus, Proteus mirabilis, Bacteroides
fragilis, dan Peptostreptococcus. Appendicitis juga bisa terjadi berkaitan dengan
infeksi Enterobius vermicularis.

D. Patogenesis dan patofisiologi


Patofisiologi terjadinya abses apendiks berhubungan dengan adanya perforasi apendiks. 
Proses iskemia dinding apendiks akibat obstruksi apendiks pada kasus appendicitis, akan
menyebabkan terjadinya perforasi apendiks. Perforasi apendiks dapat mengakibatkan
peritonitis atau bila dapat terlokalisir akan menjadi abses apendiks.
Abses apendiks biasanya terlokalisir oleh karena adanya proses walling-off dari omentum dan
adhesi usus atau organ di sekitarnya akibat inflamasi.  Pus pada abses apendiks biasanya
mengandung campuran bakteri aerob dan anaerob yang berasal dari saluran cerna. [3-5]
Bakteri di rongga peritoneum, khususnya yang berasal dari kolon dan apendiks, merangsang
masuknya sel-sel inflamasi akut. Omentum dan organ terdekat akan  cenderung melokalisir
tempat perforasi.  Area yang sedang inflamasi ini dinamakan sebagai phlegmon dan ditandai
dengan adanya produksi pus.

E. Manifestasi klinis
 Mirip seperti apendisitis akut
o Demam ringan
o Kembung
o Penonjolan perut kanan bawah

F. Prinsip diagnosis dan DD


 Anamnesis
 Pemeriksaan fisik
o Penonjolan perut kanan bawah
 Pemeriksaan penunjang
o Pemeriksaan darah lengkap : leukositosis > 13.000/mm3
o Pemeriksaan urin : sedimen dapat normal atau ada leukosit
o Radiologi
 Diagnosis banding
o Tumor Wilms
o Konstipasi
o Kista ovarium

G. Tatalaksana
Secara umum, pada pasien dengan abses apendiks, terapi non-operatif lebih disukai.
Apendektomi dapat dipertimbangkan jika terapi konservatif gagal. Hal ini karena
pembedahan segera telah dikaitkan dengan tingginya angka abses pasca operasi atau fistula
enterokutan, serta angka reseksi ileocecal yang lebih tinggi, terutama pada pasien dengan
durasi gejala yang lama atau pembentukan abses yang luas.

Antibiotik yang digunakan adalah antibiotik spektrum luas, seperti sefalosporin,


dikombinasikan dengan golongan antibiotik anaerob seperti metronidazole. Pilihan lain
adalah kombinasi penisilin spektrum luas dengan inhibitor beta laktam. Antibiotik umumnya
diberikan secara intravena selama 1-3 hari, dilanjutkan dengan sediaan oral selama 7 hari.
Antibiotik yang dimulai sesegera mungkin dikaitkan dengan luaran yang lebih baik

H. Prognosis dan komplikasi


Prognosis abses apendiks secara umum adalah baik. Abses apendiks memiliki tingkat
mortalitas kurang dari 1%. Meskipun begitu, abses apendiks memiliki tingkat morbiditas
yang lebih tinggi dibandingkan dengan appendicitis non-komplikata terkait dengan
komplikasi pasca operasi.
Abses apendiks sendiri merupakan salah satu bentuk komplikasi dari appendicitis yang
disebabkan oleh adanya perforasi. Komplikasi dari abses apendiks lebih banyak dikaitkan
dengan morbiditas yang dapat terjadi pasca operasi. Ini mencakup kejadian infeksi luka
operasi, abses intraabdomen, hernia insisional, obstruksi usus, fistula enterokutan, dan
kebocoran anastomosis.

Anda mungkin juga menyukai