1. GERD
A. Definisi
GERD atau gastroesophageal reflux disease adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan suatu simtom atau perubahan mukosa yang diakibatkan oleh gangguan
sistem saluran pencernaan, di mana asam lambung dan isi perut mengalir kembali ke
kerongkongan (esofagus). Aliran balik atau refluks ini dapat menyebabkan Anda merasakan
sensasi perih dan panas seperti terbakar di bawah tulang dada atau dikenal dengan
istilah heartburn.
B. Klasifikasi
Berdasarkan hasil endoskopi,klasifikasi los angeles
o Derajat A : erosi kecil2 pada mukosa esofagus dengan diameter kecil dari 5 mm
o Derajat B : erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter besar 5 mm
o Derajat C : lesi konfluen tapi tidak mengenai/mengelilingi seluruh lumen
o Derajat D : lesi mukosa esofagus yang bersifat sirkumferensial( mengelilingi seluruh
lumen)
C. Epidemiologi
Umum ditemukan pada populasi di negara-negara barat, namun dilaporkan insidennya
relatif rendah di negara Asia-Afrika.
Di Amerika dilaporkan bahwa 1 dari 5 orang dewasa mengalami gejala GERD per
minggunya, dimana lebih dari 40% kejadi mengalami gejala tersebut selama 1 bulan
Kasus tinggi di negara Asia Selatan dan Eropa Selatan dengan presentasi kejadian lebih
dari 25% dan di Amerika Utara sekitar 18-27%
D. Etiologi
Etiologi
o Penurunan tonus LES
o Refluks spontan pada saat relaksasi LES yang tidak adekuat
o Aliran retrograd yang mendahului kembalinya tonus LES setelah menelan
o Meningkatnya tekanan intra abdomen
E. Faktor resiko
Faktor resiko
o Merokok
o Obesitas
o Alkoholisme
o Orang yang konsumsi aspirin
o Kelainan pada lambung/perubahan anatomis di daerah gastroesofageal.
o Usia besar 40 tahun
o Konsumsi makanan berlemak,kafein
G. Manifestasi klinis
1) Khas nyeri epigastrium,nyeri seperti terbakar (heartburn)
2) Kadang bercampur dengan gejala disfagia (sulit menelan saat makan)
3) Mual,rasa pahit pada lidah
4) Odinofagia (rasa sakit waktu menelan makanan) : jika sudah terjadi ulserasi esofagus
yang berat
5) Gejala ekstra esofageal : nyeri dada non kardiak, suara serak, laringitis, batuk karena
aspirasi hingga timbulnya bronkiektasis atau asma.
6) Gerd biasanya terjadi secara perlahan (kronik), dan jarang yang terjadi secara
episodik/akut.
7) Gejala sering terjadi setelah makan dalam jumlah besar dan makan makanan
berlemak
8) Gejala kadang memberat ketika tidur telentang
H. Prinsip diagnosis dan DD
Anamnesis akan ditemukan manifestasi klinis GERD pada pasien
Anamnesis yang cermat juga dapat dijadikan sebagai alat utama dalam diagnosis GERD
Pemfis tidak terdapat gejala spesifik pada pemfis pasien GERD
Penunjang :
o Endoskopi : gold standar
o Esofagografi dengan barium
o Pemantauan pH 24 jam
o Tes bernstein
o Manometri esofagus
o Sintigrafi gastroesofageal
o PPI test : yang biasa dilakukan di faskes layanan primer
o Kuisioner GERD
Diagnosis Banding
o Angina pectoris
o Achalasia
o Dispepsia
o Ulkus peptikum
o Pankreatitis
o Ulkus duodenum
I. Pemeriksaan penunjang
Endoskopi (EGD) :
o Pada GERD akan ditemukan mucosal breaks di esofagus (esofagitis refluks)
o Pada pemeriksaan ini dapat dinilai perubahan makroskopik dari mukosa esofagus
serta dapat menyingkirkan keadaan patologis lain dapat menimbulkan gejala GERD
o Jika mucosal break (-) + gejala gerd khas = NERD (non erosive reflux disease)
o Ditemukannya kelainan esofagitis pada endoskopi dapat dipastikan dengan
pemeriksaan histopatologi dan dapat memperjelas bahwa gejala yang terjadi
merupakan gerd
o Pemeriksaan histopatologi juga dapat digunakan untuk memastikan adanya barrett’s
esophagus, dysplasia, keganasan
Esofagografi dengan barium :
o Pemeriksaan ini dinilai kurang peka daripada endoskopi.
o Pada GERD berat akan didapatkan gambaran penebalan dinding dan lipatan mukosa,
ulkus, penyempitan lumen.
o Pemeriksaan ini lebih dianjurkan daripada endoskopi ketika :
1) Stenosis esofagus derajat ringan akibat esofagitis peptik dengan gejala
disfagia
2) Hiatus hernia
Pemantauan pH 24 jam : memastikan ada atau tidaknya refluks gastroesofageal,jika
didapatkan pH dibawah 4 pada jarak 5cm diatas LES dianggap diagnostik untuk gerd
Tes bernstein : mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang transnasal dan
melakukan perfusi di bagian distal esofagus dengan HCl, merupakan pelengkap dari tes
pH 24 jam
Manometri esofagus : dilakukan pada pasien dengan nyeri epigastrium dan regurgitasi
yang nyata tapi esofagofrafi barium dan endoskopinya normal
Sintigrafi gastroesogageal
PPI test :
Pada dasarnya pemeriksaan ini merupakan bentuk terapi empirik gerd
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai gejala gerd dengan memberikan ppi
dosis tinggi selama 1-2 minggu sambil melihat respon pasien terhadap pemberian
ppi ini.
Jika didapatkan respon positif denga perbaikan gejala 50-75% maka hasil tes
dapat dianggap positif
Dianjurkan jika tidak terdapat pem.penunjang lain dan unutk pasien gerd
tanpa alarm sign
J. Tatalaksana
Modifikasi lifestyle : untuk mengurangi frekuensi refluks dan mencegah kekambuhan
o Meninggikan kepala saat tidur
o Menghindari makan sebelum tidur
o Berhenti merokok, alkohol
o Kurangi konsumsi lemak dan jumlah makan (sering tapi sedikit)
o Menurunkan bb
o Menghindari makanan yang dapat menstimulasi sekresi asam seperti
makanan/minum bersoda, kafein, dll
o Jika memungkinkan hindari obat2n yang menurunkan tonus LES
Medikamentosa
o Awal ppi test (omeprazol 2 x 20mg/hari dan lansoprazol 2 x 30mg/hari)
o Jika respon (+)/dx gerd tegak maka pemeberian ppi dilanjutkan sampai 4 minggu dan
boleh ditambah prokinetik spt domperido 3 x 10mg
o Jika ppi tidak ada maka dapat diberikan H2 blocker 2x/hari spt simetidin 400-800mg
atau ranitidin 150mg atau fomotidin 20mg
Pada terapi medikamentosa lebih sering dilakukan metode step down yaitu dengan
memberikan ppi terlebih dahulu kemudian setelah ada perbaikan dilanjutkan dengan
tahap pemeliharaan dengan menurunkan dosis atau pemberian antagonis H2 resptor atau
prokinetik atau antasid
Komplikasi
Striktur
Barrett's esophagus
Adeno karsinoma
Esofagitis
Ulkus esofagus
Batuk,asma,inflamasi laring/faring
Aspirasi paru
2. GASTRITIS
A. Definisi
Gastritis merupakan peradangan yang mengenai mukosa lambung. Peradangan ini dapat
menyebabkan pembengkakan lambung sampai terlepasnya epitel mukosa suferpisial yang
menjadi penyebab terpenting dalam gangguan saluran pencernaan. Pelepasan epitel dapat
merangsang timbulnya inflamasi pada lambung
B. Klasifikasi
Menurut jenisnya gastritis dibagi menjadi 2:
Gastritis akut
Inflamasi akut mukosa lambung pada sebagian besar merupakan penyakit ringan dan
sembuh sempurna
1) Gastritis akut erosive : apabila kerusakan yg terjadi tdk lebih dalam drpd mukosa
muscularis (otot-otot pelapisan lambung)
2) Gastritis akut hemorrhagic : dijumpai perdarahan mukosa lambung yang
menyebabkan erosi dan perdarahan mukosa lambung dalam berbagai derajat dan
terjadi erosi yang berarti hilangnya kontinuitas mukosa lambung pada beberapa
tempat, menyertai inflamasi pada mukosa lambung tersebut
Gastritis kronik
Suatu peradangan mukosa lambung yang bersifat menahun
1) Gastritis superficial : manifestasi kemerahan, edema, serta perdarahan dan erosi
mukosa
2) Gastritis atrofik : peradangan terjadi di seluruh lapisan mukosa pada
perkembangannya dihubungkan dengan ulkus dan kanker lambung, serta anemia
pernisiosa. Karakteristik dari penurunan jumlah sel parietal dan sel chief
3) Gastritis hipertrofik : kondisi terbentuknya nodul pd mukosa lambung yg bersifat
ireguler, tipis, dan hemoragik
C. Epidemiologi
Data epidemiologi gastritis menunjukkan bahwa lebih dari 50% penduduk negara
berkembang mengalami gastritis. Hal ini terutama terkait dengan infeksi Helicobacter pylori.
Diperkirakan 50,8% individu di negara berkembang menderita gastritis. Di negara maju,
prevalensi gastritis berkisar 34,7%.
D. Etiologi
Penyebab utama gastritis adalah bakteri Helicobacter pylori, virus, atau parasit lainnya juga
dapat menyebakan gastritis. Kontributor gastritis akut adalah meminum alkohol secara
berlebihan, infeksi dari kontaminasi makanan yang dimakan, dan penggunaan kokain.
Kortikosteroid juga dapat menyebabkan gastritis seperti NSAID aspirin dan ibuprofen.
(Dewit, Stromberg & Dallred, 2016).
Menurut (Gomez 2012) penyebab gastritis adalah sebagai berikut :
1) Infeksi bakteri
2) Sering menggunakan pereda nyeri
3) Konsumsi minuman alcohol yang berlebihan
4) Stress
5) Autoimun
Selain penyebab gastritis di atas, ada penderita yang merasakan gejalanya dan ada juga yang
tidak.
E. Faktor resiko
Konsumsi makanan dengan kadar pengawet dan garam yang tinggi berlebihan.
Konsumsi makanan berlemak dan berminyak berlebihan.
Konsumsi makanan asam dan pedas berlebihan.
Konsumsi alkohol berlebihan dan dalam jangka panjang.
Kondisi medis tertentu yang bisa menyebabkan sistem kekebalan tubuh menurun.
Penggunaan narkoba dan zat-zat berbahaya lainnya.
Kebiasaan merokok.
G. Manifestasi klinis
Hilang nafsu makan
Mual dan muntah
Perut kembung
Nyeri di perut bagian atas
Cepat merasa kenyang saat makan
Sendawa berlebihan
Diagnosis Banding
Kolesistitis, kolelitiasis, GERD, gastroenteritis, limfoma, ulkus peptikum, kanker
lambung
I. Pemeriksaan penunjang
Darah lengkap, bertujuan untuk mengetahui adanya anemia
Pemeriksaan serum vitamin B12, bertujuan utk mengatahui adanya defisiensi B12
Analisa feses, bertujuan untuk mengetahui adanya darah dlm feses
Analisa gaster, bertujuan utk mengetahui kandungan HCl lambung
Tes antibody serum, bertujuan utk mengetahui adanya antibodi sel parietal dan faktor
intrinsik lambung terhadap H. pylori
Endoscopy, biopsy, dan pemeriksaan urine jika ada kecurigaan ulkus peptikum
Sitologi, bertujuan utk mengetahui adanya keganasan sel lambung
J. Tatalaksana
1) Pengobatan di rumah
Hindari makanan, minuman, dan kebiasaan yang dapat meningkatkan asam
lambung
Makan sedikit tetapi sering
Makan masakan yang matang
Cuci tangan sebelum makan untuk menghindari infeksi
Ikuti arahan dokter jangan konsumsi obat
5) Pencegahan
Jangan merokok
Menerapkan pola makan sehat
Kurangi BB
Konsumsi oba pereda nyeri dengan pengawasan dokter
Usahakan jadwal makan teratur dan jangan sampai telat
Kelola stress dengan baik melalui olahraga, relaksasi, dan kegiatan lain yg
disukai
6) Tatalaksana farmakologis
Antasida yang berisi Al dan Mg, serta karbonat kalsium dan magnesium.
Antasida dapat meredakan mulas ringan atau dispepsia dengan cara
menetralisasi asam di perut.
Histamin (H2) blocker seperti famotidine dan ranitidine. H2 blocker
mempunyai dampak penurunan produksi asam dengan mempengaruhi lgsg
pada lapisan epitel lambung dengan cara menghambat ransangan sekresi oleh
saraf otonom pada nervus vagus
PPI seperti omeprazole, lansoprazole, dan dexlansoprazole. Obat ini bekerja
menghambat produksi asam melalui penghambatan thdp elektron yg
menimbulkan potensial aksi saraf otonom vagus.
Komplikasi
Tukang lambung
Perdarahaan di dalam lambung
Kanker lambung
Anemia
3. ULKUS GASTER
A. Definisi
Ulkus gaster adalah bagian dari ulkus peptikum yang berupa luka di lapisan mukosa gaster
dengan diameter minimal 0.5 cm (Habeeb et al., 2015). Ulkus gaster dapat terjadi akibat
modifikasi antara unsur agresif dan unsur defensif. Penurunan unsur defensif dapat
menyebabkan lesi pada mukosa gaster karena tidak adanya unsur yang melindungi mukosa
gaster dari unsur agresif
B. Epidemiologi
Prevalensi ulkus gaster pada pria 11-14% dan pada wanita 8-11%, sekitar 500.000
orang tiap tahunnya menderita ulkus gaster
Sebanyak 48% penderita ulkus gaster disebabkan karena infeksi helicobacter pylori, 24%
karena penggunaan obat NSAID & sisanya oleh karena gaya hidup yang tidak sehat
C. Etiologi
Helicobacter pylori : mengeluarkan sitotoksin yang secara langsung merusak sel epitel
mukosa gastroduodenal
Non-steroid anti inflamation drugs (NSAID)
Merokok
Alkohol
E. Manifestasi klinis
Dispepsia
Konstipasi
BB menurun
Melena
Perdarahan
Nyeri setelah makan
Hematemesis
Emesis
G. Tatalaksana
Non-medikamentosa
o Istirahat
o Diet
o Menghentikan kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol
o Kurangi stress
Medikamentosa
o Eradikasi helicobacter pylori – antibioltik
o Antasida dan anti kolinergik
o Antagonis reseptor H2/ARH2
o Proton pump inhibitor (PPI)
o Site protective agent (sukralfat)
4. ULKUS DUODENUM
A. Definisi
Ulkus duodenum adalah luka terbuka yang berkembang di lapisan dalam perut dan bagian
atas usus kecil. Penyakit ini juga dikenal dengan tukak lambung.
B. Epidemiologi
Data epidemiologi ulkus peptikum di Amerika Serikat melaporkan bahwa sekitar 10%
populasi pernah mengalami ulkus peptikum. Di Iran, suatu studi melaporkan bahwa
prevalensi ulkus peptikum adalah sebesar 8,20%, di mana prevalensi ulkus gaster adalah
3,26% dan prevalensi ulkus duodenum adalah 4,94%. Sementara itu, studi di Swedia
menunjukkan bahwa prevalensi ulkus gaster adalah 2,0%.
C. Etiologi
Etiologi TD/Tukak Duodenum yang telah diketahui sebagai faktor agresif yang merusak
pertahanan mukosa adalah Helicobacter pylori, Obat anti inflamasi non-steroid, asam
Iambung/pepsin dan faktor-faktor lingkungan serta kelainan satu atau beberapa faktor
pertahanan yang berpengaruh pada kejadian TD.
D. Faktor resiko
Umur tua (> 60 tahun) riwayat tentang adanya tukak peptik sebelumnya
Dispepsia kronik
Intoleransi terhadap penggunaan oains sebelumnya
Jenis, dosis dan lamanya penggunaan oains
Penggunaan secara bersamaan dengan kortikosteroid, antikoagulan dan penggunaan 2
jenis oains bersamaan
Penyakit penyerta lainnya yang diderita oleh pemakai oains
Merokok
Faktor stres, malnutrisi, makanan tinggi garam, defisiensi vitamin.
Beberapa penyakit tertentu di mana prevalensi tukak duodenum meningkat seperti
sindrom zollinger elison, mastositosis sistemik, penyakit chron dan hiperparatiroidisme.
Faktor genetik.
F. Manifestasi klinis
Nyeri epigastrium terutama malam hari dan menjalar ke punggung, nyaman sesudah makan,
mual, anoreksia, muntah
H. Pemeriksaan penunjang
Tes darah, untuk mendeteksi antibodi yang muncul akibat infeksi H. pylori
Tes antigen tinja, untuk memeriksa keberadaan protein pada tinja yang terkait dengan
bakteri H. pylori
Tes napas urea (urea breath test), untuk mendeteksi gas karbondioksida pada hembusan
napas yang terkait dengan infeksi H. pylori
CT scan dengan bantuan cairan barium, untuk memeriksa kondisi usus dua belas jari,
lambung, dan kerongkongan
Endoskopi, untuk memeriksa luka di saluran pencernaan, dan bila diperlukan mengambil
sampel jaringan (biopsi) untuk diteliti di laboratorium
I. Tatalaksana
Pengobatan ulkus duodenum tergantung pada penyebabnya. Pada ulkus duodenum yang
disebabkan oleh infeksi H. pylori, dokter akan memberikan kombinasi antibiotik setidaknya
selama 1 minggu, untuk membunuh bakteri tersebut. Jenis antibiotik yang digunakan antara
lain:
Tetracycline
Metronidazole
Levofloxacin
Clarithromycin
Amoxicillin
Sedangkan jika ulkus duodenum disebabkan oleh penggunaan OAINS jangka panjang, obat
yang akan diberikan meliputi:
Antasida, untuk menetralkan asam lambung dan meredakan nyeri ulu hati dengan
cepat
Proton pump inhibitor (PPI), seperti lansoprazole atau omeprazole, dan antagonis
H2, seperti ranitidine dan cimetidine, untuk mengurangi produksi asam lambung
Sukralfat atau misoprostol, untuk membantu melindungi dinding lambung dan usus
dua belas jari
Ulkus duodenum umumnya sembuh dengan obat-obatan. Namun, pada beberapa kasus,
kondisi ini bisa sangat parah dan menyebabkan perdarahan di organ dalam sehingga perlu
ditangani dengan tindakan operasi.
Prosedur operasi yang dilakukan dokter antara lain:
5. IBS
A. Definisi
Sindrom iritasi usus besar atau irritable bowel syndrome (IBS) adalah kelainan iritasi yang
umum terjadi pada usus besar. Kondisi ini disebabkan oleh gangguan pada saluran
pencernaan, namun tidak menunjukkan adanya kerusakan struktur jaringan. IBS ditandai
dengan serangkaian gejala, seperti nyeri perut berulang yang dapat semakin parah setelah
mengonsumsi makanan atau minuman tertentu.
B. Klasifikasi
IBS diklasifikasikan menjadi empat tipe berdasarkan konsistensi tinja, yaitu IBS dominan
konstipasi (IBS-C), IBS dominan diare (IBS-D), IBS dengan kebiasaan buang air besar
campuran (IBS-M), dan IBS tidak dapat diklasifikasikan (IBS-U)
C. Epidemiologi
Prevalensi IBS di setiap wilayah geografis bervariasi, secara umum prevalensi IBS
dilaporkan sebesar 11,2%. Prevalensi IBS di Eropa dan Amerika Utara sebesar 10-20%,
sedangkan di wilayah Asia prevalensi IBS antara 6,8% - 33,3%. Di Asia, IBS sering terjadi
pada kelompok usia muda dan dapat terjadi pada pria maupun wanita. Prevalensi IBS di
negara – negara pada wilayah Asia seperti Malaysia, India, dan Bangladesh yaitu 11-14%,
4,2-7,5%, dan 7,7-12,9% (Gwee, Ghoshal & Chen, 2018; Rahman, Mahadeva & Ghoshal,
2017). Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Indonesia pada remaja usia 10-18 tahun
dilaporkan bahwa prevalensi IBS sebesar 32,2% dari 180 responden yang diteliti dengan
didominasi IBS-D dengan prevalensi 39,7%, IBS-C 37,9%, dan IBS-M 22,4%
D. Etiologi
Penyebab IBS sampai saat ini belum diketahui secara pasti, tetapi banyak penelitian
menemukan faktor penyebab terjadinya IBS yaitu gangguan motilitas, intoleransi makanan,
abnormalitas interaksi sumbu otak-usus, hipersensitivitas viseral, dan pasca infeksi usus.
Pada IBS pasca infeksi 7 biasanya keluhan muncul setelah 1 bulan terinfeksi dengan
penyebab tersering yaitu virus, giardia atau amoeba.
E. Faktor resiko
Masalah psikologis: Irritable bowel syndrome adalah kondisi yang dapat dialami
seseorang ketika sedang stres. Hal ini juga dipengaruhi oleh buruknya kondisi otak saat
stres sehingga berdampak pada sistem pencernaan.
Infeksi saluran pencernaan: Sindrom ini dapat terjadi setelah seseorang mengalami
infeksi berat akibat virus atau bakteri penyebab diare yang terjadi sebelumnya.
Riwayat keluarga: Seseorang yang memiliki riwayat keluarga dengan irritable bowel
syndrome berisiko tinggi menderita penyakit ini.
Mengonsumsi makanan pemicu sindrom usus besar: Beberapa makanan dan minuman
yang dapat memicu irritable bowel syndrome adalah gorengan, alkohol, kopi, daging
merah, atau minuman berkarbonasi.
Jenis kelamin wanita: Sindrom usus besar lebih sering terjadi pada wanita karena dipicu
oleh hormon yang berkaitan dengan siklus menstruasi.
Abnormalitas sistem saraf: Kondisi ini dapat menyebabkan rasa tidak nyaman pada
perut dan menimbulkan produksi gas berlebih.
Perubahan flora normal di usus: Perubahan ketidakseimbangan bakteri baik dalam
usus dapat memicu terjadinya irritable bowel syndrome.
Selain kriteria Rome III, Kriteria Manning juga dapat digunakan Kriteria Manning lebih
sederhana dan menitik beratkan pada keadaan pada onset nyeri
Kriteria Manning
Gejala yang sering didapat pada penderita IBS yaitu :
I. Feses cair pada saat nyeri
J. Frekuensi buang air besar bertambah pada saat nyeri
K. Nyeri berkurang setelah buang air besar
L. Tampak distensi abdomen
feses cair disertai frekuensi defekasi yang meningkat pada saat nyeri = perubahan
fungsi intestinal
nyeri yang berkurang setelah defekasi = nyeri berasal dari gastrointestinal bawah
kembung = kondisi sakit ini mungkin bukan kelainan organik
rasa tidak lampias = rektum iritable
lendir pada saat defekasi = rektum teriritasi
Tanda alarm yang harus diperhatikan agar diagnosis lebih menjurus ke penyakit organik
daripada IBS adalah :
1. Onset umur > 55 tahun
2. Riwayat keluhan pertama kali kurang dari 6 bulan
3. Perjalanan penyakitnya progresif
4. Gejala timbul pada malam hari
5. Perdarahan perianus
6. Anoreksia
7. BB turun
8. Riwayat keluarga menderita kanker
9. Pada pemfis ditemukan kelainan : distensi abdomen, anemia atau demam
Apabila tanda alarm di atas ditemukan selain gejala-gejala IBS maka penyebab organik harus
dipikirkan terlebih dahulu sehingga pemeriksaan lab dan pem penunjang lain harus segera
dilakukan.
Diagnosis banding
DD tersering : defisiensi laktase
DD lain : kanker kolorektal, diverkulitis, IBD, obstruksi mekanik pada usus halus atau kolon,
infeksi usus, iskemia, maldigesti dan malabsorbsi serta endometriosis (pasien nyeri saat
menstruasi)
I. Pemeriksaan penunjang
Dilakukan bila pasien dengan dominan keluhan diare, pemeriksaan yang dilakukan adalah
kolonoskopi diikuti biopsi mukosa kolon guna untuk menyingkirkan adanya kolitis
mikroskopik
J. Tatalaksana
Tiga bentuk pengobatan IBS :
modifikasi diet
IBS + konstipasi = perbanyak konsumsi serat dan air disertai olahraga
IBS + diare = kurangi konsumsi serat
Beberapa makanan dan minuman dapat mencetuskan IBS, diantaranya yaitu :
gandum, susu, kafein, bawang, coklat dan beberapa sayur
Intervensi psikologi/psikoterapi
Kunci utama keberhasilan pengobatan pasien adalah pemahaman pasien
mengenai penyakit IBS dan yakin bahwa IBS dapat diobati dan tidak
membahayakan kehidupan
Pasien IBS harus diingatkan untuk mengendalikan stressnya dan diminta untuk
tidak bekerja berlebihan dan menyampingkan waktu istirahatnya
Menyediakan waktu yang cukup untuk BAB secara teratur diluar waktu sibuk
bekerja
Selama makan disediakan waktu yang cukup agar saat makan dilakukan secara
tenang dan tidak terburu buru
Farmakoterapi
Terutama obat untuk menghilangkan gejala yang timbul : nyeri abdomen,
konstipasi, diare dan obat antiansietas
Obat diberikan secara kombinasi
6. APENDISITIS AKUT
A. Definisi
Apendisitis akut adalah radang yang timbul secara mendadak pada apendik, merupakan salah
satu kasus akut abdomen yang paling sering ditemui, dan jika tidak ditangani segera dapat
menyebabkan perforasi.
B. Epidemiologi
Data epidemiologi mengungkapkan bahwa appendicitis merupakan kegawatdaruratan bedah
abdomen yang paling sering ditemukan. Di Amerika Serikat, dilaporkan bahwa risiko seumur
hidup seseorang mengalami appendicitis adalah 8,6% pada laki-laki dan 6,7% pada wanita.
Sayangnya, belum ada data epidemiologi serupa di Indonesia.
Appendicitis paling umum terjadi pada usia 10-20 tahun. Perbandingan rasio laki-laki dengan
perempuan adalah 1,4:1. Studi di Amerika Serikat menunjukkan risiko seumur hidup
mengalami appendicitis adalah 8,6% untuk laki-laki dan 6,7% pada perempuan.
C. Etiologi
Etiologi appendicitis adalah obstruksi lumen apendiks yang dapat disebabkan oleh hiperplasia
limfoid, infeksi, fekalit, tumor, ataupun infeksi. Obstruksi ini kemudian menyebabkan
distensi lumen dan inflamasi yang menimbulkan manifestasi klinis appendicitis
Fekalit terbentuk dari garam kalsium dan debris feses menjadi berlapis dan menumpuk di
dalam apendiks. Hiperplasia limfoid dikaitkan dengan berbagai gangguan inflamasi dan
infeksi, seperti Crohn’s disease, gastroenteritis, amebiasis, infeksi pernapasan, campak,
dan mononukleosis. Pada beberapa kasus penyebab pasti appendicitis tidak diketahui.
[2,6] Parasit, seperti Enterobius vermicularis, juga berpotensi menyebabkan obstruksi lumen
apendiks dan menyebabkan appendicitis.
D. Faktor resiko
Fekalit yang mengoklusi lumen apendiks
Apendiks yang ruptur
Pembengkakan dinding usus
Kondisi fibrosa di dinding usus
Oklusi eksternal usus akibat adesi
Infeksi organisme Yersinia telah ditemukan pada 30% kasus
F. Manifestasi klinis
Nyeri perut kanan bawah, mula-mula daerah epigastrium kemudian menjalar ke Mc Burney.
Apabila telah terjadi inflamasi (>6 jam) penderita dapat menunjukkan letak nyeri karena
bersifat somatik.
Pemeriksaan Fisik
Inspeksi
Penderita berjalan membungkuk sambil memegangi perutnya yang sakit
Kembung bila terjadi perforasi
Penonjolan perut kanan bawah terlihat pada appendicular abses.
Palpasi
Terdapat nyeri tekan McBurney
Adanya rebound tenderness (nyeri lepas tekan)
Adanya defans muscular
Rovsing sign positif
Psoas sign positif
Obturator Sign Positif
Perkusi
Nyeri ketok (+)
Auskultasi
Peristaltik normal, peristaltik tidak ada pada illeus paralitik karena peritonitis generalisata
akibat appendisitis perforata.
Skor Alvarado
Skor Alvarado dibuat sebagai alat diagnosis dan pengelompokan pasien yang dicurigai
menderita apendisitis akut dengan diagnosa banding yang bermacam-macam. Skor ini terdiri
dari 10 poin dengan akronim MANTRELS, hal ini dinilai berdasarkan gejala klinis,
pemeriksaan fisik dan penunjang. Jumlah skor yang didapatkan akan menentukan apakan
pasien yang dicurigai tersebut akan dipulangkan, diobservasi, atau dioperasi.
Skor 7-10 (emergency surgery group): Semua penderita dengan skor ini disiapkan
untuk tindakan operasi
Skor 5-6 (observation group) Semua penderita dengan skor ini di rawat inap dan
dilakukan observasi selama 24 jam dengan evaluasi secara berulang terhadap data
klinis dan hasil. Jika kondisi pasien membaik yang ditunjukkan dengan penurunan
skor, penderita dapat dipulangkan dengan catatan harus kembali bila gejala menetap
atau memburuk.
Skor 1-4 (discharge home group). Penderita pada kelompok ini setelah mendapat
pengobatan secara simptomatis dapat dipulangkan dengan catatan harus segera
kembali bila gejala menetap atau memburuk.
Diagnosis Banding
Kolesistitis akut
Divertikel Mackelli
Enteritis regional
Pankreatitis
Batu ureter
Cystitis
Kehamilan Ektopik Terganggu (KET)
Salpingitis akut
H. Pemeriksaan penunjang
Laboratorium darah perifer lengkap
1) Pada apendisitis akut, 70-90% hasil laboratorium nilai leukosit dan neutrofil akan
meningkat.
2) Pada anak ditemukan leukositosis 11.000-14.000/mm3, dengan pemeriksaan hitung
jenis menunjukkan pergeseran ke kiri hampir 75%.
3) Jika jumlah leukosit lebih dari 18.000/mm3 maka umumnya sudah terjadi perforasi
dan peritonitis.
4) Pemeriksaan urinalisa dapat digunakan sebagai konfirmasi dan menyingkirkan
kelainan urologi yang menyebabkan nyeri abdomen.
5) Pengukuran kadar HCG bila dicurigai kehamilan ektopik pada wanita usia subur.
I. Tatalaksana
Pasien yang telah terdiagnosis apendisitis akut harus segera dirujuk ke layanan sekunder
untuk dilakukan operasi cito. Penatalaksanaan di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat
pertama sebelum dirujuk:
Bed rest total posisi fowler (anti Trandelenburg)
Pasien dengan dugaan apendisitis sebaiknya tidak diberikan apapun melalui mulut.
Penderita perlu cairan intravena untuk mengoreksi jika ada dehidrasi.
Pipa nasogastrik dipasang untuk mengosongkan lambung agar mengurangi distensi
abdomen dan mencegah muntah.
Tindakan resusitasi yang diikuti dengan operasi apendiktomi merupakan pilihan pertama
pada pasien dengan apendisitis akut. Tidak dianjurkan untuk pemberian obat analgetik karena
akan mengaburkan gejala. Semua pasien harus mendapatkan antibiotika spektrum luas
preoperatif (1-3 dosis) untuk menurunkan resiko infeksi post operatif dan pembentukan abses
intra abdomen.
Apendiktomi dapat dilakukan dengan menggunakan dua metode pembedahan, yaitu secara
teknik terbuka (pembedahan konvensional laparatomi) atau dengan teknik laparoskopi yang
merupakan teknik pembedahan minimal invasif dengan metode terbaru yang sangat efektif.
Komplikasi yang sering terjadi adalah perforasi apendiks yang menyebabkan peritonitis.
Risiko perforasi meningkat 5% setiap 12 jam setelah lewat 36 jam pertama sejak awitan
gejala. Komplikasi pasca operasi dapat berupa abses, atau stump appendicitis yaitu gejala
berulang biasanya pada 9 tahun pasca operasi karena tidak keseluruhan bagian dari apendiks
berhasil diangkat.
7. ABSES APENDIKS
A. Definisi
Suatu komplikasi dari penyakit apendisitis akut. Abses ini sebenarnya menandakan respon
tubuh yang baik sebagai akibat usaha untuk mengatasi peradangan apendiks yang telah
meluas, tubuh berusaha menutup wilayah radang ini yang akan membuat suatu massa yang di
dalamnya terdapat jaringan nekrosis likuefaktif. Lanjutan dari proses ini dapat menimbulkan
keluhan nyeri perut kuadran kanan bawah yang sangat hebat.
B. Epidemiologi
2 per 3 dari kauss apendisitis akan menimbulkan komplikasi abses apendiks
Memiliki penyebaran yang luas kepada kedua jenis kelamin
C. Etiologi
Etiologi abses apendiks yang paling sering adalah appendicitis yang perforasi. Pada kasus
appendicitis, obstruksi dari apendiks dapat disebabkan oleh hiperplasia limfoid, infeksi
parasit, fekalit, benda asing, dan tumor. Ketika appendicitis mengalami perforasi, abses
apendiks dapat terjadi sebagai efek dari lokalisasi terkait proses walling-off dari omentum
dan adhesi usus atau organ di sekitar apendiks.
Infeksi yang terjadi pada appendicitis umumnya bersifat polimikrobial. Pada banyak
studi, Escherichia coli merupakan mikroba yang paling umum ditemukan pada
kasus appendicitis. Mikroba lain yang juga banyak ditemukan adalah Pseudomonas
aeruginosa, Klebsiella pneumonia, Streptococcus, Proteus mirabilis, Bacteroides
fragilis, dan Peptostreptococcus. Appendicitis juga bisa terjadi berkaitan dengan
infeksi Enterobius vermicularis.
E. Manifestasi klinis
Mirip seperti apendisitis akut
o Demam ringan
o Kembung
o Penonjolan perut kanan bawah
G. Tatalaksana
Secara umum, pada pasien dengan abses apendiks, terapi non-operatif lebih disukai.
Apendektomi dapat dipertimbangkan jika terapi konservatif gagal. Hal ini karena
pembedahan segera telah dikaitkan dengan tingginya angka abses pasca operasi atau fistula
enterokutan, serta angka reseksi ileocecal yang lebih tinggi, terutama pada pasien dengan
durasi gejala yang lama atau pembentukan abses yang luas.