Selamat ultah ke-100 MATAKIN Dalam kehidupan kita beragama, mudah sekali berkembang kecenderungan untuk memisahkan kehidupan ibadah dan kehidupan sosial. Ada semacam keterbelahan perilaku ibadah dan perilaku sehari-hari. Kita bisa melihat, misalnya, perkembangan kehidupan beragama yang begitu pesat, tetapi pada saat yang sama juga terjadi kemerosotan moral dalam bidang sosial, ekonomi dan politik. Dengan gamblang kita bisa melihat berdirinya rumah-rumah ibadah, mesjid dan gereja, dengan megahnya; dan orang beribadah dengan mengharu-birukan; tetapi pada saat yang sama korupsi jalan terus, kekerasan dan perang jalan terus. Kegaduhan politik yang terjadi saat ini juga bersamaan dengan kebangkitan agama-agama yang mengharu-birukan. Maka hari Minggu, umat beribadah di gereja dengan SALEH, tapi hari Senin sampai Sabtu SALAH. Maka pertanyaan pertama yang segera mengemuka adalah, apa dan bagaimana itu ibadah? Terkait dengan ini, saya hendak mengangkat dua aspek penting dari kitab Injil akan hidup peribadahan: pertama, "…kamu akan menyembah Bapa bukan di gunung ini dan bukan juga di Yerusalem…akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran” (Yoh 4:21-23). Di sini jelas ada semacam pengabaian akan tempat dan bentuk ibadah: Bukan di Samaria tetapi di dalam roh; dan bukan di Jerusalem tetapi di dalam kebenaran. Dan, kedua, ada makna radikal tentang ibadah sebagai suatu pengalaman yang esensial bersama Tuhan, "Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari padaKu" (Mat 15:8). Ibadah adalah sebuah pengalaman nyata bersama Tuhan: “Sebab yang sangat kurindukan dan kuharapkan ialah…… Kristus dengan nyata dimuliakan di dalam tubuhku, baik oleh hidupku, maupun oleh matiku” (Pil 1:20). Beribadah berarti memuliakan Tuhan melebihi apapun yang dapat ditawarkan oleh dunia ini dalam hidup dan mati kita. Maka sesungguhnya, keseluruhan hidup ini adalah ibadah, dan olehnya kesalehan personal harus mewujud juga dalam kesalehan sosial, yang terimplementasikan dengan sikap-sikap yang menghargai nilai-nilai dasar dan luhur dari agama yang diimani, yakni kemanusiaan, kesetaraan, keadilan, kejujuran, perdamaian dan kasih sayang. Hidup peribadahan yang menyatu dengan hidup sosial sedemikian akan melahirkan integritas yang utuh, yang nampak dalam keselarasan hidupnya: apa yang dikomunikasikan kepada masyarakat selaras dengan apa yang dilakukan. Orang tak akan begitu saja percaya kepada seseorang yang hanya kelihatan "saleh" di rumah ibadah namun "salah" dalam keluarga, kantor, dan komunitas lainnya. Integritas itu tidak mendua, tetapi satunya kata dan perbuatan, maka tidak ada yang disembunyikan dalam hidupnya. Integritas ini nampak dalam pengakuan: tahu apa yang diyakini dan lakukan, tak mudah tergoyahkan. Ia tahu apa yang harus dilakukan, meski harus membayar harga yang mahal. Integritas juga nampak dari karakter. Seseorang perlu menunjukkan "kejujuran" dalam bertindak. Dengan kesadaran bahwa "Saya tak mau melakukan hal yang salah bukan karena takut dilihat oleh orang- orang di sekitar saya, tapi karena itulah karakter saya" Hidup peribadahan yang menyatu dengan hidup sosial sedemikian juga akan meningkatkan ethos kerja yang berdasar dari keyakinan bahwa Tuhan yang disembah itu adalah Tuhan yang bekerja: Dia bekerja menciptakan dunia ini sejak dulu kala, dan Tuhan yang sama kini juga terus bekerja memelihara dan menciptakan sejarah perjalanan manusia. Dia juga Tuhan yang sama yang mengamanatkan umatNya untuk bekerja mengelola bumi ini. Dari sinilah lahir ungkapan Ora et Labora (Berdoa dan Bekerja) tetapi juga dibarengi dengan Ora es Labora (Berdoa adalah Bekerja). Sebagai demikian, hakekat kerja bukanlah sekedar untuk mempertahankan hidup, melainkan lebih merupakan wujud ibadah itu sendiri. Ethos kerja sedemikian ini akan menumbuhkan kesungguhan dalam berbagai aspek dunia kerja yang akan menumbuhkan kreatifitas, inovasi, kerja keras dan disiplin. Hidup peribadahan yang menyatu dengan hidup sosial juga akan menumbuhkan hubungan antar manusia yang lebih berkualitas, karena perjumpaan manusia dengan Tuhan akan selalu terefleksikan dengan hubungannya dengan sesama manusia. Hidup bersama sesama merupakan panggilan yang paling hakiki dari hidup peribadahan itu, yakni mengasihi sesama manusia. Dan atas dasar itulah budaya gotong royong juga merupakan implementasi dari hidup peribadahan itu sendiri, untuk menggapai kesejahteraan bersama. Inilah Revolusi Mental dalam perspektif gereja! Dengan Revolusi Mental, kita sedang diajak untuk membaharui hidup beragama kita, yang memiliki kecenderungan memisahkan perilaku sosial kita dengan kehidupan ibadah; yang pada gilirannya menempatkan pelayanan sosial sebagai komplementer terhadap kehidupan ibadah. Seolah ada keterbelahan antara kehidupan ibadah dan kehidupan sosial. Fenomena yang segera terlihat adalah, rumah ibadah berdiri dengan megahnya dan kehidupan ibadah mengharu- birukan: tetapi tak umat tetap acuh dengan masalah kemiskinan, ketidak-adilan, kerusakan lingkungan yang begitu nyata di depan mata. Oleh karena itu, mestinya agama-agama tidak menjebak diri menjadikan symbol-simbol agama atau pertambahan umat sebagai tujuan. Jika ini yang menjadi tujuan, maka agama itu akan dengan mudah kehilangan jati diri dan nuraninya sebagai entitas pembawa kedamaian dan keadilan. Sebaliknya, agama haruslah menjadi roh pembebas masyarakat dari ketakutan, represi maupun ketertindasan eksploitasi ekonomi. Dengan kata lain, bukan institusi agama yang menjadi orientasi hidup, melainkan untuk menjadikan hidup ini berorientasi pada kemanusiaan, yang berbasiskan kebersamaan, solidaritas, dan kesetia-kawanan. Pada akhirnya, kualitas beragama bisa diukur bila kesalehan tidak sekedar bermakna individual, tetapi juga kesalehan sosial; yang pada gilirannya akan melahirkan sikap-sikap kemanusiaan dalam berbagai kebijakan politik maupun ekonomi.