Anda di halaman 1dari 4

Revolusi Mental (Integritas, Ethos Kerja dan

Gotongroyong); Perspektif Gereja

Pdt Gomar Gultom, Ketum PGI

Wei De Dong Tian


Selamat ultah ke-100 MATAKIN
Dalam kehidupan kita beragama, mudah sekali berkembang
kecenderungan untuk memisahkan kehidupan ibadah dan kehidupan
sosial. Ada semacam keterbelahan perilaku ibadah dan perilaku
sehari-hari. Kita bisa melihat, misalnya, perkembangan kehidupan
beragama yang begitu pesat, tetapi pada saat yang sama juga terjadi
kemerosotan moral dalam bidang sosial, ekonomi dan politik.
Dengan gamblang kita bisa melihat berdirinya rumah-rumah ibadah,
mesjid dan gereja, dengan megahnya; dan orang beribadah dengan
mengharu-birukan; tetapi pada saat yang sama korupsi jalan terus,
kekerasan dan perang jalan terus. Kegaduhan politik yang terjadi saat
ini juga bersamaan dengan kebangkitan agama-agama yang
mengharu-birukan.
Maka hari Minggu, umat beribadah di gereja dengan SALEH, tapi
hari Senin sampai Sabtu SALAH. Maka pertanyaan pertama yang
segera mengemuka adalah, apa dan bagaimana itu ibadah?
Terkait dengan ini, saya hendak mengangkat dua aspek penting dari
kitab Injil akan hidup peribadahan: pertama, "…kamu akan
menyembah Bapa bukan di gunung ini dan bukan juga di
Yerusalem…akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran” (Yoh
4:21-23). Di sini jelas ada semacam pengabaian akan tempat dan
bentuk ibadah: Bukan di Samaria tetapi di dalam roh; dan bukan di
Jerusalem tetapi di dalam kebenaran.
Dan, kedua, ada makna radikal tentang ibadah sebagai suatu
pengalaman yang esensial bersama Tuhan, "Bangsa ini memuliakan
Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari padaKu" (Mat 15:8).
Ibadah adalah sebuah pengalaman nyata bersama Tuhan: “Sebab
yang sangat kurindukan dan kuharapkan ialah…… Kristus dengan
nyata dimuliakan di dalam tubuhku, baik oleh hidupku, maupun oleh
matiku” (Pil 1:20). Beribadah berarti memuliakan Tuhan melebihi
apapun yang dapat ditawarkan oleh dunia ini dalam hidup dan mati
kita.
Maka sesungguhnya, keseluruhan hidup ini adalah ibadah, dan
olehnya kesalehan personal harus mewujud juga dalam kesalehan
sosial, yang terimplementasikan dengan sikap-sikap yang
menghargai nilai-nilai dasar dan luhur dari agama yang diimani,
yakni kemanusiaan, kesetaraan, keadilan, kejujuran, perdamaian dan
kasih sayang.
Hidup peribadahan yang menyatu dengan hidup sosial sedemikian
akan melahirkan integritas yang utuh, yang nampak dalam
keselarasan hidupnya: apa yang dikomunikasikan kepada masyarakat
selaras dengan apa yang dilakukan. Orang tak akan begitu saja
percaya kepada seseorang yang hanya kelihatan "saleh" di rumah
ibadah namun "salah" dalam keluarga, kantor, dan komunitas
lainnya. Integritas itu tidak mendua, tetapi satunya kata dan
perbuatan, maka tidak ada yang disembunyikan dalam hidupnya.
Integritas ini nampak dalam pengakuan: tahu apa yang diyakini
dan lakukan, tak mudah tergoyahkan. Ia tahu apa yang harus
dilakukan, meski harus membayar harga yang mahal. Integritas
juga nampak dari karakter. Seseorang perlu menunjukkan
"kejujuran" dalam bertindak. Dengan kesadaran bahwa "Saya tak
mau melakukan hal yang salah bukan karena takut dilihat oleh orang-
orang di sekitar saya, tapi karena itulah karakter saya"
Hidup peribadahan yang menyatu dengan hidup sosial sedemikian
juga akan meningkatkan ethos kerja yang berdasar dari keyakinan
bahwa Tuhan yang disembah itu adalah Tuhan yang bekerja: Dia
bekerja menciptakan dunia ini sejak dulu kala, dan Tuhan yang sama
kini juga terus bekerja memelihara dan menciptakan sejarah
perjalanan manusia. Dia juga Tuhan yang sama yang
mengamanatkan umatNya untuk bekerja mengelola bumi ini.
Dari sinilah lahir ungkapan Ora et Labora (Berdoa dan Bekerja)
tetapi juga dibarengi dengan Ora es Labora (Berdoa adalah Bekerja).
Sebagai demikian, hakekat kerja bukanlah sekedar untuk
mempertahankan hidup, melainkan lebih merupakan wujud ibadah
itu sendiri. Ethos kerja sedemikian ini akan menumbuhkan
kesungguhan dalam berbagai aspek dunia kerja yang akan
menumbuhkan kreatifitas, inovasi, kerja keras dan disiplin.
Hidup peribadahan yang menyatu dengan hidup sosial juga akan
menumbuhkan hubungan antar manusia yang lebih berkualitas,
karena perjumpaan manusia dengan Tuhan akan selalu terefleksikan
dengan hubungannya dengan sesama manusia. Hidup bersama
sesama merupakan panggilan yang paling hakiki dari hidup
peribadahan itu, yakni mengasihi sesama manusia. Dan atas dasar
itulah budaya gotong royong juga merupakan implementasi dari
hidup peribadahan itu sendiri, untuk menggapai kesejahteraan
bersama.
Inilah Revolusi Mental dalam perspektif gereja!
Dengan Revolusi Mental, kita sedang diajak untuk membaharui
hidup beragama kita, yang memiliki kecenderungan memisahkan
perilaku sosial kita dengan kehidupan ibadah; yang pada gilirannya
menempatkan pelayanan sosial sebagai komplementer terhadap
kehidupan ibadah. Seolah ada keterbelahan antara kehidupan ibadah
dan kehidupan sosial. Fenomena yang segera terlihat adalah, rumah
ibadah berdiri dengan megahnya dan kehidupan ibadah mengharu-
birukan: tetapi tak umat tetap acuh dengan masalah kemiskinan,
ketidak-adilan, kerusakan lingkungan yang begitu nyata di depan
mata.
Oleh karena itu, mestinya agama-agama tidak menjebak diri
menjadikan symbol-simbol agama atau pertambahan umat sebagai
tujuan. Jika ini yang menjadi tujuan, maka agama itu akan dengan
mudah kehilangan jati diri dan nuraninya sebagai entitas pembawa
kedamaian dan keadilan. Sebaliknya, agama haruslah menjadi roh
pembebas masyarakat dari ketakutan, represi maupun ketertindasan
eksploitasi ekonomi. Dengan kata lain, bukan institusi agama yang
menjadi orientasi hidup, melainkan untuk menjadikan hidup ini
berorientasi pada kemanusiaan, yang berbasiskan kebersamaan,
solidaritas, dan kesetia-kawanan.
Pada akhirnya, kualitas beragama bisa diukur bila kesalehan tidak
sekedar bermakna individual, tetapi juga kesalehan sosial; yang pada
gilirannya akan melahirkan sikap-sikap kemanusiaan dalam berbagai
kebijakan politik maupun ekonomi.

Anda mungkin juga menyukai