Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

Gereja merupakan perkumpulan orang-orang kudus. Pemuridan merupakan bagian dari

gereja yang tidak bisa dipisahkan untuk mendukung spiritualitas. Pemuridan adalah istilah yang

dipakai untuk memberi identitas. Pemuridan mencakup semua orang percaya berkumpul di

gereja. Pemuridan dalam konteks ini tidak bisa dilepaskan dengan kata “Gereja”, sehingga kata

gereja menjadi istilah yang sangat melekat bagi pemuridan. Hal ini menunjukkan bahwa

sebagian besar gereja masih mengurung diri melihat pemuridan sebagai program dan konteks

gereja yang melaksanakan tingkah laku agama.1

Jonathan Wijaya Lo dalam bukunya yang berjudul Pemuridan Intensional dalam Gereja

Tradisional mengatakan:

Gereja seringkali menganggap bahwa murid Kristus yang ideal adalah jemaat
yang secara rutin mengadakan devosi rohani dan menghidupi kehidupan pribadi
benar.2

Menurut Jonathan Wijaya Lo itu bukanlah hal yang keliru, namun sejatinya pemuridan tidak

hanya terikat pada tingkah laku agama seperti berdoa, beribadah, merenungkan firman secara

formal karena pemuridan yang sesungguhnya adalah totalitas kehidupan yang berpatokan kepada

Allah.3

Jika dilihat dari kriteria murid menurut pandangan Coleman dalam buku Disciplesift:

Seseorang harus setia mengikut Yesus. Menjadi seorang murid berarti proses
belajar tidak pernah berakhir. Gereja harus mendefinisikan murid dengan tepat
1
Titus, Pengaruh Pemuridan dan Pelayanan Yang Kreatif Terhadap Pertumbuhan Iman Pemuda Gkii Daerah Kota
Samarinda, (Tesis: 2017). Hal. 9.
2
Jonathan Wijaya Lo, Pemuridan Intensional dalam Gereja Tradisional (Tangerang,: UPH Press, 2018), 21.

3
Ibid.
sebelum menjadikan murid. Pertobatan adalah langkah awal dalam proses
pemuridan.4

Artinya menjadi Kristen saja tidak cukup. Ini sangat berkaitan dengan pemuridan yang bukan

hanya fokus pada kegiatan ibadah setiap minggunya yang belum tentu menjamin spiritualitas

yang ditandai dengan perilaku positif dari orang kristen.

Barna research mengungkapkan dalam penelitian masalah pemuridan yang tidak

memiliki dampak terhadap spiritualitas yang disebabkan gelombang dunia yang mengarahkan

pada focus terhadap layar teknologi seperti gadget bahwa: Di antara orang dewasa Kristen,

seperempat lebih memilih pengaturan kelompok kecil untuk pemuridan (25%). Satu dari lima

lebih memilih kombinasi pemuridan kelompok dan satu-satu (21%) dan 16 persen lebih suka

satu-satu saja. Sekitar sepertiga dari yang mengejar pertumbuhan spiritual termasuk beberapa

elemen dari pemuridan satu-satu, orang-ke-orang.5 Menurut Jonathan Wijaya Lo, pemuridan

merupakan pelayanan yg tidak boleh dianggap sebagai pelayanan sampingan tetapi justru

bersifat inti yang menjadi dasar gereja. 6

Gereja sebagai wadah pemuridan harusnya memiliki ciri yang hdup menurut John Stott yaitu

hereja yang maubelajar menurut ajaran rasul-rasul yang berpegang pada Alkitab (Kis 2:42)

bahkan John Stott berpendapat bahwa Roh Kuduslah yang membuka sekolah di Yerusalem

untuk pemuridan yang memiliki anggota 3000 murid.7 Hal ini tentunya menjadi petunjuk bahwa

begitu pentingnya pemuridan.


4
Jim Putman, Robby Harrington, dan Robert E. Coleman. Discipleshift, pen. Yayasan Gloria (Yogyakarta: Katalis,

2016), 53.

5
https://www.barna.com/research/new-research-on-the-state-of-discipleship/ , diakses: Senin, 10 Januari 2022.
6
Jonathan Wijaya Lo, Pemuridan Intensional dalam Gereja Tradisional (Tangerang,: UPH Press, 2018), 119-120

7
John Stott, “The Living Chruch”, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016). Hal. 4-5.
Gereja sekarang lebih berorientasi pada program dan sekalipun program itu sifatnya

rohani namun belum tentuh menghasilkan pertumbuhan dalam kerohanian atau spiritualitas.

Gereja perlu membedakan perbuatan (doing) yaitu seputar kegiatan gereja dan kesalehan hidup

(being).8

Sebagian besar Gereja rupanya belum membuka diri untuk hal-hal yang baru. Beberapa

orang beranggapan bahwa gereja harus tetap bertahan dan tidak perlu memperhatikan doktrin

gereja secara eksplisit. Hal ini dipicu dari pernyataan Robert Runcie yang sempat menyatakan

bahwa “Gereja harus ada perhatian yang lebih eksplisit terhadap doktrin Gereja”.9 Hal ini

menunjukkan betapa sangat kuatnya tembok yang dibangun gereja untuk tidak perlu terbuka lagi

terhadap gagasan dari luar yang dianggap tidak berdasarkan ajaran alkitab seperti yang

diungkapkan penulis dari buku yang sama di halaman lima. Dalam hal ini penulis tidak

bermaksud untuk menuntut gereja bersifat sekularisme atau membuka diri terhadap konsep-

konsep yang liar di mana beberapa aliran gereja sudah mengadopsi dan tidak sedikit gereja-

gereja yang kelihatannya kaku justru sudah mengadopsi konsep-konsep yang sangat sekularisme.

Misalnya saja beberapa musik yang kelihatan seperti uforia ternyata sudah menjadi hal yang

wajar bagi beberapa aliran gereja dan bahkan menjadikan hal seperti itu menjadi daya tarik

gereja tanpa menimbang efek samping dari keterbukaan yang tidak terkontrol yang akhirnya

menjadi motivasi baru dalam kegiatan rohani yang tidak ada hubungannya dengan inti iman

kristen apa lagi dengan spiritualitas. Benny Cristovel, (dalam Musisi Sekuler dan Gerejawi,

2007) memaparkan bagaimana sifat musik sekuler dan gerejawi yakni:

Pada musisi sekuler penekanan bermusiknya adalah menyesuaikan dengan aturan dunia
atau etika yang diakui oleh dunia, dengan begitu musik mereka akan cepat laku di pasaran dan
segera mencapai ketenaran. Menulis lagu dengan tema-tema cinta yang penuh nafsu,
keputusasaan, pemberontakan kepada pemerintah dan juga terhadap Tuhan, dendam, depresi,

8
Jonathan Wijaya Lo, Pemuridan Intensional dalam Gereja Tradisional (Tangerang,: UPH Press, 2018). Hal. 52.
9
John Stott, “The Living Chruch”, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016). Hal. xv.
kepahitan, kekerasan, kuasa-kuasa kegelapan, lirik lagu yang diselingi kata-kata kotor dan
banyak lagi tema-tema yang biasa diangkat oleh musisi sekuler di dalam karya musiknya.
Namun tema yang paling banyak diangkat yaitu mengenai cinta, karena pasaran musik
cenderung didominasi kaum muda yang senang mengumbar hal-hal berbau cinta, namun artian
cinta yang mengedepankan hawa nafsu birahi. Dapat kita lihat pada video klip, konser-konser,
ataupun sampul album yang cenderung mengumbar hal-hal berbau sex.10

Istilah musik sekuler muncul abad pertengahan ditemukan dalam naskah-naskah berisi

lagu sekuler yang tertua yaitu di abad 12 dalam bahasa Latin. Jenis musik gerejwai yang awalnya

hanya hymne kini mulai hilang dan bergeser pada genre-genre music sekuler seperti rock, jazz,

country, punk, pop, dan metal. Pastor-pastor dan mahasiswa pada masa di mana kampus belum

didirikan selalu mengembara sambal menyanyikan lagu-lagu yang tidak memuliakan Tuhan

yang disebut sebagai musik sekaluer.11

Tidak ada yang terlalu tajam untuk dikritik dari hal tersebut namun menjadi satu petunjuk

bahwa beberapa gereja berorientasi pada hal-hal seperti itu yang tidak terlalu berhubungan

dengan tujuan pemuridan untuk spirituslitas. Meskipun tidak dapat dihindari bahwa orang-orang

yang datang mengharapkan pelayanan seperti itu. Menurut Robert C. Roberts dalam bukunya

yang berjudul “Spiritual Emotions”, emosi manusia itu tidak sempurna dan banyak kekurangan.

Sifatnya rohani dan menunjukkan karakter yang mengalami spiritualitas seakan dapat membantu

untuk bertumbuh secara rohani tetapi sebenarnya emosinya dangkal dan cenderung tidak stabil. 12

Jika ditinjau dari tahap ketiga iman Kristen berdasarkan teori James Fowler yang

dikomunikasikan secara sederhana oleh Pdt. Yakub Susabda yaitu intuitive projective faith yaitu

orang Kristen secara phenomenalogical atau fenomenologi benar dalam spiritualitas ditinjau dari

emosi namun hanya untuk kesenagan sendiri dan memiliki alasan untuk datang beribadah yaitu

10
Benny Cristovel, “Musisi Sekuler & Gerejawi”, (Jakarta: Neliti, 2007). Hal. 38.
11
Ibid,. hal. 30.
12
Robert C. Roberts, Spiritual Emotions, (Grand Rapids, US: 2007), hal. 14.
mungkin suka akan pemain musiknya, suasana di dalam ruangan yang dingin dan lain

sebagainya di luar inti iman Kristen.13

Hal ini bukan bermaksud membatasi cara kerja Allah yang tidak terbatas melalui iman di

mana spiritualitas didefinisikan sebagai praktik kerja iman.14 Namun, perlu diketahui juga

meskipun iman tidak bisa ditelaah dan diukur tetapi bahkan psikologi agama yang berkaitan

dengan spiritualitas tetap saja tidak bisa mengemukankan pendirian tentang kebenaran agama.

Sifat dari psikologi agama adalah mengamati, menganalisis, menggambarkan kejadian-kejadian

religius dari kesadaran dan tingkah laku yang dilihat secara nyata bukan abstrak.15

Jadi bisa dibayangkan ternyata tidak semua hal yang secara fenomenologi itu bisa

menjadi bukti bahwa tingkah laku yang kelihatannya spiritualitas mampu menjadi bukti untuk

menandakan seseorang memiliki spiritualitas. Hegel pernah mengatakan “There is Absoluttly

Nothing you can say about being without in doing so further determining”.16 (Sama sekali tidak

ada yang dapat dikatakan tentang sesuatu yang sudah jelas kelihatan tanpa membuktikan atau

menentukan lebih lanjut tentang apa yang ada itu). Hal ini terbukti melalui khotbah dari Pdt.

Yakub Susabda melalui youtube yang sempat penulis dengarkan yang dipublikasi oleh

Reformed Broadcasting Ministry pada 2015 (Khotbah Retret STTRI) dengan judul “Taking

Captive Every Thought”. Pada menit 18:13 sampai 21:06 dijelaskan bahwa anak muda zaman

sekarang ini memakai cara yang baru untuk beribadah dengan musik yang menjadi daya tarik

serta khotbah yang mengagumkan yang berisi etika dan moral tetapi tidak ada penekanan tentang

inti iman Kristen dan dijelaskan juga mengenai salah satu gereja reform yang dari sekian puluh

majelisnya ada lima majelis yang anaknya itu tidak beribadah di gereja di mana orangnya
13
Yakub Susabda, Mengalami Kemenangan Iman: Integrasi Teologi & Psikologi, (Jakarta: Literatur Perkantas,
2020). Hal. 38.
14
Christian spirituality - What is it? (compellingtruth.org), diakses: Sabtu, 10 Seotember 2022, pkl 07:08
15
Louis Leahy SJ, Ateisme, (Yokyakarta: Kanisius, 1985). Hal. 50.
16
https://www.marxists.org/reference/archive/hegel/help/mean02.htm diakses: Selasa, 13 Agustus 2022, pkl
08:30 WIB
menjadi majelis. Ketika ditanya oleh Pdt. Yakub Susabda mengapa mereka beribadah di salah

satu gereja yang disebutkan sebagai gereja Neo-Karismatik, anak-anak tersebut menjawab

dengan alasan suka.17

Penulis mulai memahami sesuatu bahwa memang tidak dapat dipungkiri bahwa gereja

sebagai wadah di mana pemuridan dilaksanakan tidak lagi menjadi tempat yang secara khusus

hanya sekedar pemuridan namun ada tambahan lain yang menyesuaikan selera manusia salah

satunya musik. David Hajdu, dalam artikelnya yang berjudul “Forever Young? In Some Ways,

Yes”, yang dikutip juga dari Daniel J. Levitin, seorang Prosesor Psikologi juga sebagai direktur

Laboratorium persepsi musik berpendapat bahwa semua yang dialami di usia 14 tahun begitu

mempengaruhi homon pubertal termasuk musik didalamnya yang kelihatan begitu sangat

penting. David Hajdu mengemukan bahwa usia remaja atau lebih tepatnya usia 14 tahun

merupakan usia yang formatif.18 Meskipun demikian, di sisi lain keterbukaan dibutuhkan untuk

menyikapi zaman yang terus dan semakin berkembang di mana selerapun makin berkembang

sehingga tidak bisa hanya memakai cara-cara yang lama dalam pemuridan yang akhirnya orang

Kristen akan meninggalkan gereja dan tidak mengalami pemuridan sebagai penunjang

spiritualitas.

Hal ini dibuktikan banyak orang Kristen yang hilang dan memilih memeluk kepercayaan

lain melalui pernikahan yang menunjukkan betapa lemahnya pemuridan yang menanamkan

dasar-dasar iman kristen dan agama sepertinya lebih kepada aksesoris dari pada sebagai tanda

spiritualitas seseorang. Melihat dari pengertian istilah “agama” sendiri dari beberapa Bahasa,

misalnya dari Bahasa sansekerta, yaitu gama berarti suatu jalan atau suatu Tindakan awal atau

17
https://www.youtube.com/watch?v=DUYXa_FfFnE
18
David Hajdu, Forever Young?, In Some Ways. Yes, (New York, Maerika: 2011).
keberangkatan yang jika diperluas, agama merupakan suatau ilmu atau pelajaran yang bersifat

hukum dimana terkandung norma untuk menilai sesuatu yang baik dan tidak baik atau boleh dan

tidak boleh.19

Dalam Bahasa latin disebuatkan sebagai religio yaitu keyakinan mungkin berdasarkan

perasaan dan batin sehingga tidak perlu mendalaminya cukup dengan perasaan yang dirasa

bahwa suatu agama tertentu benar menurut batinnya makan akan dipeluk. 20 jadi, jika agama

diyakini hanya berdasarkan norma yang dianggap benar menurut setiap pribadi dan

pertimbangannya subjektif karna hanya dirasa oleh setiap pribadi benar menurut perasaannya

atau batinnya, maka semua agama tidak memiliki dasar yang kuat untuk dipegang sebagai suatu

keyakinan yang mutlak dan tidak perlu ada pemuridan di setiap gereja atau organisasi

kekristenan karna semuanya dianggap benar berdasarkan perasaan sendiri atau dirasa benar.

Untuk itulah pentingnya pemuridan sebagai bagian yang fundamental.

Jika demikian, maka dibutuhkan suatu model yang dapat menunjang permasalahan

pemuridan dan dampaknya terhadap spiritualitas. Model yang dipakai dalam konteks pemuridan

tidaklah sempurna tetapi bukan berarti dihilangkan dalam unsur pemuridan oleh karena

meskipun model-model lama itu tidak lagi relevan tetapi tetap saja harus ada supaya dijadikan

koreksi agar dapat diterima. Prof. Dr. Louis Leahy SJ, dalam buku yang berjudul Ateisme,

mengatakan bahwa konsep lama yang dibuktikan salah atau dalam hal ini tidak relevan lagi

karena kemajuan ilmu pengetahuan, namu tetap dipakai tetapi melalui koreksi supaya dapat

diterima lagi.21

Model pemuridan Yesus dalam Perjanjian Baru yang jika ditinjau dari segi waktu adalah

model yang lama bahkan ribuan tahun jaraknya dengan kebutuhan pemuridan di zaman yang

19
Drie S. Brotosudarmo, Pendidikan Agama Kristen untuk perguruan tinggi, (Yogyakarta: ANDI, 2008). Hal. 2-3.
20
Ibid.
21
Louis Leahy SJ, Ateisme, (Yokyakarta: Kanisius, 1985). Hal. 147-148.
sudah berkembang dari segala aspek tetapi bukan berarti model pemuridan yang dilaksanakan

ribuan tahun yang lalu adalah model yang tidak layak untuk dipakai di waktu sekarang ini. Jones

M. Sagala (dalam The Biblical For Retaining Converts In The Chruch, 2017) mengatakan bahwa

dasar dari Misi Kristus harusnya dimiliki di mana Kristus sebagai pemilik otoritas di bumi dan di

surga dan seharusnya orang Kristen kuat dalam segala hal untuk melaksanakan pemuridan.22

Tetapi akan sangat sulit untuk menerapkan pernyataan diatas tanpa mengenali orang-

orang yang menjadi murid, itu sebabnya perlu juga diingatkan bahwa mengajar murid bukan

sekedar menguasai materi tetapi juga penting untuk mengenali murid. Howard G. Hendricks

mengemukakan bahwa pengajar harus mengenali karakteristik dari para murid dari berbagai usia.

Pengajar juga harus mengenal secara pribadi siapa murid yang diajar dan mencari tahu siapa para

murid dari berbagai aspek.23 Pendekatan-pendekatan dibutuhkan dalam menjawab permasalahan.

Kadarmanto Hardjowasito dalam kata pengantarnya di buku Jack L. Seymour yang berjudul

Maping Christian Education, mengatakan bahwa pentingnya sebuah pendekatan yang tepat

sasaran saat menyadari dengan serius Pendidikan Kristen sehingga mencapi tujuan maksimum.24

22
Jones M. Sagala, “the Biblical for Retaining Converts in the Chruch”, (Pematang Siantar: Jurnal Filsafat Teologia
Nusantara, 2017)
23
Howard G. Hendricks, “Mengajar untuk Mengubah Hidup”, (Yogyakarta: Yayasan Gloria, 2016). Hal. 33.
24
Jack L. Seymour, Memetakan Pendidikan Kristiani, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018). Hal. ix.
B. Identifikasi Masalah

1. Ada gereja melaksanakan pemuridan dengan tujuan yang seharusnya (menunjang

spiritualitas) namun tidak sampai pada tujuan.

2. Lahirnya motivasi baru dalam beribadah yang tidak ada hubungannya dengan inti

iman Kristen.

3. Identitas Kristen tidak menjamin spiritualitas orang Kristen.

4. Banyak orang Kristen yang meninggalaka Gereja karena tidak adanya penanaman

dasar yang benar kepada orang Kristen sebagai dasar gereja.

5. Kegiatan Ibadah orang Kristen cenderung bersifat rutinitas dan tidak menyentuh

kehidupan sehari-hari yang menunjukkan spiritualitas kristen.

6. Kurang mengutamakan pengajaran keselamatan yang Alkitab ajarkan.

7. Agama Kristen hanya sebagai aksesoris tanpa dara yang kuat.

C. Rumusan Masalah

Karena dibutuhkan rumusan masalah sebagai acuan untuk penyusuanan tujuan dan manfaat

penelitian, penulis merumuskan masalah secara komparatif dan asosiatif menurut I Made Laut

Martha Jaya dalam buku Metode Penelitian Kualitatif Kepustakaan.25 Alasannya karena rumusan

masalah dibangun dengan unsur:

1. Bagaimana pemahaman pemuridan sebagai bagian Iman Kristen.

2. Bagaimana Model pemuridan Yesus dalam membangun Spiritualitas para murid.


25
I Made Laut Martha Jaya, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, (Yogyakarta: QUADRANT, 2020). 31
3. Bagaimana dampak Model Pemuridan Yesusu Umat.

Batasan masalah

Dari sejumlah variabel yang di duga dalam identifikasi masalah, terlalu banyak untuk diteliti,

maka perlu dibatasi hanya pada salah satu atau dua butir yang disebut dalam identifikasi

masalah. Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas, maka penelitian ini dibatasi

hanya pada:

1. Ada gereja melaksanakan pemuridan dengan tujuan yang seharusnya (menunjang

spiritualitas) namun tidak sampai pada tujuan.

2. Lahirnya motivasi baru dalam beribadah yang tidak ada hubungannya dengan inti iman

Kristen.

3. Kurang mengutamakan pengajaran keselamatan yang Alkitab ajarkan.

D. Tujuan Penelitian

Sesui dengan rumusan masalah yang disebutkan di atas, maka secara rinci penelitian ini

bertujuan
1. Untuk memahami peran Pemuridan dalam Iman Kristen.

2. Untuk mengidentifikasi inti dari model pemuridan Yesus dalam membangun

Spiritualitas para murid

3. Untuk mengetahui sejauh mana dampak pemuridan Yesus terhadap umat.

E. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian yang penulis ingin capai sesuai standar penelitian kualitatif dengan tiga.26

Penulis mengambil hanya dua saja sebagai manfaat penelitian:

1. Manfaat teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi untuk

pengembangan ilmu pengetahuan, kususnya ilmu pengetahuan di bidang

pelayanan pemuridan.

2. Manfaat praktis, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi dan

masukan bagi pemuridan selanjutnya.

26
Ibid,. 33
F. Sistematika Penulisan

Berdasarkan kajian yang dipaparkan, penulis menyusunnya sebagai berikut:

BAB I. PENDAHULUAN

Dalan bab ini dimulai dari latar belakang, identifikasi masalah, rumusan masalah,

Batasan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB II. LANDASAN TEORI

Dalam bab ini akan diuraikan beberapa pengertian pemuridan dan spiritualitas (secara

etimologi, pendapat para ahli, dan konsep pemuridan dan spiritualitas dalam Perjanjian Baru)

BAB III ANALISIS MODEL PEMURIDAN YESUS YANG MENUMBUHKAN

SPIRITUALITAS UMAT

Dalam bab ini penulis akan mengeksegese Matius 28:18-20, yakni melihat historis,

budaya, makna kata dan dampaknya terhadap spiritualitas.

BAB IV RELEVANSI MODEL PEMURIDAN YESUS DAN DAMPAKNYA TERHADAP

SPIRITUALITAS

Dalam bab ini penulis akan menguraikan dampak dari pemahaman pemuridan terhadap

spiritualitas orang Kristen dan apa sebenarnya pemuridan itu dan bagaimana pemuridan itu

dilkasanakan dan diaplikasikan terhadap orang Kristen menurut alkitab yang dikombinasikan

dengan pendapat para ahli mengenai pemuridan dan spiritualitas.

BAB V PENUTUP

Bab ini merupakan bab terakhir yang ditulis untuk memberi kesimpulan dari keseluruhan
bab dan mengkomunikasikan secara praktis agar mudah dipahami dan dapat diaplikasikan
digereja-gereja lokal

Anda mungkin juga menyukai