Anda di halaman 1dari 13

JURNAL HUKUM

HAK ASASI MANUSIA WANITA TERHADAP TEST KEPERAWANAN YANG


DILAKUKAN TERHADAP PRAJURIT TENTARA WANITA

Oleh :

Nama : Tania Taviana

NPM : 02659190010

MAGISTER HUKUM

UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

SURABAYA

2020
ABSTRAK

Hak Asasi Manusia adalah Hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebgai
mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, dan merupakan anugrah yang wajib untuk dihormati,
dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh Negara, Hukum, Pemerintah, dan setiap Orang demi
kehormataan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perubahan seseorang atau kelompok orang
termasuk aparat negara itu sendiri. Test Keperawanan merupakan salah satu bentuk
diskriminasi yang tidak adil bagi kaum wanita karena ada beberapa instansi yang menggunakan
“Test Keperawanan” ini sebagai salah satu patokan diterima atau tidaknya seorang wanita
untuk masuk kedalam instansi tersebut dan hal itu melanggar aturan Undang-Undang pasal 10,
12, dan 21 Undang-Undang no. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa Test Keperawanan merupakan bentuk dari
diskriminasi dan ketidakadilan yang terjadi dan test keperawanan tersebut harus segera
dihentikan karena tidak dapat dibuktikan secara ilmiah ke akuratan-nya.

Kata Kunci: Test Keperawanan, Tentara Nasional Indonesia, Diskriminasi Wanita,


HAM
ABSTRACT

Human Rights are rights inherent in the nature of human existence as creatures created by
God, and are gifts that are obliged to be respected, highly respected, and protected by the State,
Law, Government, and Everyone for the sake of respect and protection of human dignity.

Human Rights Violations are any changes in a person or group of people including the state
apparatus itself. “Virginity Test” is one form of unfair discrimination for women because there
are several agencies that use the "Virginity Test" as one of the standards for whether a woman
is accepted or not to enter the agency and it violates the provisions of Laws Articles 10, 12,
and 21 of Law no. 39 of 1999 concerning of Human Rights.

From the results of the study concluded that the Virginity Test is a form of discrimination and
injustice that occurs and the virginity test must be stopped immediately because it cannot be
proven scientifically to its accuracy.

Keywords: Virginity Test, Indonesian National Army, Women's Discrimination,


Human Rights
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keperawanan dalam konteks wilayah Indonesia masih dianggap sebagai sesuatu yang
memiliki nilai tinggi. Saat ini, perdebatan masalah keperawanan masih menjadi pokok
permasalahan, tes keperawanan yang dilakukan di salah satu instansi menandakan bahwa
keperawanan masih dianggap sebagai suatu simbol untuk membedakan kesucian wanita.
Dengan demikian, wanita yang melepaskan keperawanannya sebelum menikah dianggap sudah
melanggar nilai dan norma yang ada dalam masyarakat Indonesia.
Sebagai contoh tes keperawanan yang dilakukan bagi calon prajurit TNI dan calon istri
anggota TNI. Berdasarkan laporan HRW, semua perempuan yang mendaftar sebagai
prajurit TNI dan tunangan para anggota TNI diwajibkan mengikuti tes keperawanan
"Pelamar atau tunangan yang dinyatakan 'gagal' memang tak lantas dihukum, namun
menurut mereka tes itu menyakitkan, memalukan, dan meninggalkan trauma,"
Perempuan yang diwawancara HRW juga menyatakan hanya mereka yang memiliki
koneksi dengan kekuasaan atau menyuap dokter militerlah yang mendapat pengecualian
dari tes keperawanan. Tes tersebut dilakukan dengan cara memasukkan dua jari tangan
ke dalam alat kelamin perempuan untuk memastikan selaput daranya masih utuh. World
Health Organization menyatakan tes tersebut tidak ilmiah karena sobeknya selaput dara
bisa saja disebabkan oleh kecelakaan, bukan semata hubungan seksual. Kepada HRW,
semua responden menyatakan tes berlaku bagi perempuan calon prajurit. Tak hanya
calon prajurit, calon istri anggota TNI pun harus melalui prosedur serupa. Anggota TNI
yang hendak menikah harus mendapat surat rekomendasi dari komandannya. Surat dapat
dikeluarkan hanya bila calon istri telah melalui pemeriksaan kesehatan, termasuk tes
keperawanan. Seorang perempuan calon prajurit mengaku diberitahu bahwa tes
keperawanan penting untuk menjaga harga diri dan kehormatan bangsa. Istri anggota
TNI juga diberitahu bahwa tes keperawanan berperan menjaga keharmonisan rumah
tangga militer lantaran sang suami kerap bepergian hingga berbulan-bulan.1
Jika dilihat dari kasus-kasus yang dialami oleh kaum perempuan tak seharusnya mereka
diperlakukan semena-mena tanpa melihat kontribusi apa yang telah mereka berikan terhadap
kehidupan sehari-hari.
Mereka memiliki hak atas kehidupannya, memiliki hak atas kontribusi yang telah diberikan,
memiliki hak atas segala aspek dalam kehidupan, maka dari itu perlu adanya perlindungan
terhadap hak mereka sebagai kaum perempuan yang paling sering tertindas.

1 https://nasional.tempo.co/read/666260/cerita-miris-prajuritwanita-tni-saat-tes-keperawanan
tanggal akses 9 desember 2020
Deklarasi hak-hak atas manusia (HAM) di deklarasikan secara universal pada tahun 1948
yang terdiri dari, Mukadimah dan 30 pasal yang mengatur tentang hak asasi dan batas dasar.
Pasal 1 : Deklarasi hak asasi manusia (HAM) menyatakan “Seluruh umat manusia dilahirkan
merdeka dan setara dalam martabat dan hak. Mereka dikaruniai akal serta nurani
dan harus saling bergaul dalam semangat persaudaraan.” Pasal tersebut telah
mendefinisikan asumsi dasar : “Bahwa untuk kebebasan dan persaudaraan
merupakan hak yang di peroleh sejak lahir”.
Pasal 2 : Menyatakan “Melarang adanya pembedaan dalam bentuk apapun, Ras, Warna
kulit, Jenis kelamin, Bahasa, Agama, Politik, Asal bangsa/Sosial, Harta,
Kelahiran, Status lainya”.
Pasal 3 : Deklarasi hak asasi manusia yang mempraktekan tonggak pertama deklarasi yang
mengatur hak untik hidup, hak sipil dan hak politik yang antara lain meliputi
“Tidak merendahkan martabat, kebebasan dari intervensi yang sewenang-wenang
atas kepentingan pribadi, keluarga, hak untuk menikah dan mendirikan keluarga”

Selama lebih dari 25 tahun deklarasi universal hak asasi manusia (HAM) menjadi tonggak
“Standard international bagi manusia dan bangsa-bangsa”
Deklarasi ini dikenal dan diterima keabsahanya baik di negara peserta konvenan, negara yang
tidak meratifikasi, atau melakukan aksesi atas konvenan international tersebut.
Demikian Indonesia yang telah meng-aksesi deklarasi hak asasi manusia, yang di tuangkan di
dalam undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia (HAM), mengingat
objek yang di kaji dalam surat ketentuan ini sangat berkaitan dengan Pasal 16 : “Pria dan wanita
yang sudah dewasa, dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarga-negaraan atau agama, berhak
untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam soal
perkawinan, di dalam masa perkawinan dan pada saat perceraian.”
Perkawinan dapat dilakukan dengan adanya kebebasan dan persetujuan yang penuh dari
pihak yang melangsungkan perkawinan, hal ini di pertegas dan di implementasikan dalam pasal
10 undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia (yang selanjutnya di
singkat UU HAM) yang menyatakan :
(1) “Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah.”
(2) “Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan
calon istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.”
Pasal 21 UU HAM yang mengatur tentang, “Setiap orang berhak atas keutuhan pribadi, baik
rohani maupun jasmani,dan karena itu tidak boleh menjadi objek penelitian tanpa persetujuan
darinya”
Hak-hak asasi wanita dalam undang-undang HAM tercantum dalam pasal 45 sampai dengan
pasal 51. Pasal pokok mengenai hak wanita tercantum di dalam pasal 45 Undang-undang HAM
sebagai berikut: “Hak wanita di dalam undang-undang ini adalah hak asasi manusia”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas penulis mengemukakan rumusan masalah. Sebagai


berikut:

- Apakah test keperawanan wanita di kalangan TNI merupakan pelanggaran terhadap


HAM menurut undang-undang nomor 39 tahun 1999?

C. Tujuan Penulisan

a. Tujuan Akademik :

Untuk memenuhi salah satu pensyaratan akademik dalam ujian akhir semester Magister
Hukum Universitas Pelita Harapan Surabaya.

b. Tujuan Praktis :

Adapun tujuan karya ilmiah ini adalah untuk menganalisis tentang diskriminasi
perempuan dalam Virginity Test dengan melihat pandangan hukum internasional dan
tanggung jawab negara Indonesia sebagai subjek hukum internasional dalam
menangani tes keperawanan yang dinilai diskriminatif.

D. Metode Penulisan

Metode penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Tipe Penelitian
Penelitian ini menggunakan tipe penelitian Yuridis Normatif melalui studi pustaka.
Pemilihan tipe penelitian yuridis normatif ini sebagiamana yang ditulis oleh Peter
Mahmud Marzuki “bahwa penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan
aturan hukum,prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab
isu yang dihadapi”.2

2
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta,2005,Hal.35.
b. Pendekatan Masalah
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Statutes Approach dan
Doctrinal Approach. Menurut Peter Mahmud Marzuki, “Statute Approach adalah
pendekatan yang dilakukan dengan menelaah undang-undang dan regulasi yang
bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani”3
Doctrinal Approach adalah pendekatan yang dilakukan melihat pendapat dan doktrin
para sarjana di bidang ilmu hukum dalam literatur hukum.
c. Badan Hukum Penelitian :
Sebagai pelengkap dan penunjang dalam penelitian ini, bahan hukum yang digunakan,
yaitu :

1. Badan hukum primer, menurut Peter Mahmud Marzuki yaitu “bahan hukum yang
bersifat autoritatif. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan,
catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-
putusan hakim.” Dalam penelitian ini antara lain:

- Deklarasi Universal tentang manusia tahun 1948


- Undang-undang nomor 39 tahun 1999 (tentang hak asasi manusia)
- Undang-undang nomor 7 tahun 1984 (tentang ratifikasi konversi wanita)

2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum berupa doktrin, pendapat para sarjana
(Literatur, Jurnal, Asas-asas)

3
Ibid.hal.133.
BAB II
ISI MAKALAH

A. Hak-Hak Wanita dalam HAM


Berdasarkan Pasal 49 ayat (3) Undang – Undang HAM yang menyatakan bahwa “Hak
khusus yang melekat pada diri wanita, dijamin, dan dilindungi oleh hukum. Sehingga suatu
keperawanan atau tidaknya seorang wanita adalah Hak setiap wanita dalam kehidupan mereka
masing - masing.” Maka dari itu banyak pihak yang mentang adanya test keperawanan sebagai
syarat untuk bergabung/masuk ke dalam sebuah instansi karena melanggar Hak hidup setiap
wanita. Berbagai upaya melaksanakan hak-hak perempuan tanpa diskriminasi melalui
konvensi; yaitu dengan mensahkan “Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Wanita pada tahun 1979”. Indonesia telah meratifikasinya pada tahun 1984, melalui
Undang-undang no 7 tahun 1984 Dalam diktum “Menimbang” UU Republik Indonesia No. 7
tahun 1984, dinyatakan :

a) bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan


pemerintahan, sehingga segala bentuk diskriminasi terhadap wanita harus dihapuskan
karena tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945;
b) bahwa Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di dalam sidangnya tanggal 18
Desember 1979, telah menyetujui Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination of Discrimination against
Women);
c) bahwa ketentuan-ketentuan dalam Konvensi tersebut di atas pada dasarnya tidak
bertentangan dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundang-
undangan Republik Indonesia;
d) bahwa Pemerintah Republik Indonesia telah menanda tangani Konvensi tersebut pada
tanggal 29 Juli 1980 sewaktu diadakan Konferensi Sedunia Perserikatan Bangsa - Bangsa
di Kopenhagen;
e) bahwa berhubung dengan hal tersebut di atas maka dipandang perlu mengesahkan
Konvensi sebagaimana tersebut pada huruf b di atas dengan Undang-undang.
Wanita dalam keluarga pada masa itu dalam melaksanakan hak-haknya, baik sebagai
individu (sebagai warga negara), ketidaksetaraan antara wanita dan pria, bukan karena tindakan
individu secara sengaja tapi akibat dari struktur sosial, politik dan ekonomi yang erat kaitannya
dengan sistem kapitalisme. Hak-hak seorang wanita dibatasi oleh masalah reproduksi
(kehamilan, kelahiran dan pengasuhan anak/seksualitas), inilah yang menjadi ketertinggalan
wanita dibandingkan dari pria. Kemajuan perempuan untuk turut serta dalam pembangunan
baik sebagai pelaku maupun sebagai penikmat.

Perbedaan hak-hak wanita dan pria dikarenakan sex/biologis, sebenarnya adalah karena
sistem patriarki (sistem kekuasaan yang ada dalam masyarakat dan keluarga) yang telah
direseptir dalam adat dan kebiasaan. Ketertindasan kaum perempuan karena adanya hubungan
sosial dalam proses reproduksi bukan hubungan sosial dalam proses produksi, yang cenderung
menjadikan hubungan tersebut menjadi hubungan eksploitatif. Analisis hak-hak wanita
berdasarkan sistem patriarki tersebut mempermasalahkan keadaan biologi wanita dan pria
berbeda adalah kehendak alam (nature), maka hal yang nature seperti takdir dan kodrat tidak
dapat dirubah, hal tersebut bukan untuk dipertentangkan, melainkan saling mengisi agar
terwujud natural order seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa hubungan antara pria dan
wanita bukan dalam proses reproduksi, melainkan dalam proses produksi.

Semua individu dikaruniai oleh alam hak yang melekat atas hidup, kebebasan dan
kepemilikan, ynag memrupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat dicabut atau dipreteli
oleh negara. Melalui suatu kontrak sosial, perlindungan atas hak yang tidak dapat dicabut
ini diserahkan kepada negara. Apabila penguasa negara mengabaikan kontrak social itu
dengan melanggar hak-hak kodrati individu, maka rakyat dinegara itu bebas menurunkan
sang penguasa dan menggantikannya dengan suatu pemerintah yang bersedia menghormati
hak-hak tersebut.

Hak asasi tidak boleh dijatuhkan atau dipisahkan dari eksistensi pribadi setiap
individu/manusia tersebut, hak asasi tidak bisa dilepas dengan kekuasaan atau hal-hal lainya,
bilah hal itu terjadi maka akan memberikan dampak kepada manusia dan manusia akan
kehilangan martabat yang sebenarnya menjadi inti nilai kemanusiaan. Walaupun demikian,
bukan berarti bahwa perwujudan HAM dapat dilaksanakan secara mutlak, karena dapat
melanggar hak asasi orang lain, memperjuangkan hak sendiri sembari mengabaikan hak orang
lain merupakan tindakan yang tidak manusiawi. Kita wajib menyadari bahwa hak asasi kita
selalu berbatasan dengan hak asasi orang lain, karena itulah ketaatan terhadap aturan menjadi
penting4

Setelah proklamasi Deklarasi Universal HAM pada tahun 1948 oleh majelis umum PBB,
diterbitkan berbagai instrument internasional yang tidak saja menekankan pada prinsip non-

4
Ida Sampit Karo Karo, Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita, Bandung, 2006, Hal.237.
diskriminasi, tetapi juga ditunjukkan pada kelompok perempuan yang sangat rentan dalam
suatu konteks tertentu. Konvensi tentang Penindasan Perdagangan Orang dan Eksploitasi
Melacurkan Orang lain pada tahun 1949, adalah Konvensi pertama yang memusatkan perhatian
pada rentannya perempuan dalam keadaan itu. Majelis Umum PBB mengadopsi Deklarasi
Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan pada tahun 1967. Karena suatu Deklarasi tidak
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, dilakukan langkah-langkah untuk merumuskan
suatu Konvensi Internasional yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat Negara-negara
anggota PBB. Semua usaha dilakukan oleh kelompok perempuan di seluruh dunia, termasuk
Indonesia. Dengan menggunakan standard an norma HAM dalam instrument internasional
yang sudah ada, dirumuskan instrument HAM perempuan yang komprehensif yaitu Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan pada tahun 1979.

Kehadiran konsep HAM adalah untuk membangun kesadaran umat manusia akan
pentingnya mengakui, menghormati, dan mewujudkan menusia yang berdaulat dan utuh. Hak
Asasi perempuan adalah hak asasi manusia. Hal ini memberikan penegasan bahwa hak-hak
yang melekat pada diri perempuan adalah merupakan hak asasi manusia, karena perempuan
adalah manusia yang dilahirkan merdeka, mempunyai martabat, sama halnya dengan pria,
sehingga tidak boleh ada diskriminasi dalam bidang apapun. Melalui hak-hak ini, maka
eksistensi hak-hak individu yang mendapat pengakuan kuat. Salah satu norma sosial yang
dianggap perlu yaitu norma mengenai keperawanan wanita yang menjadi sebuah budaya tidak
tertulis yang dipercaya oleh masyarakat Indonesia. Sebaiknya dibuatkan aturan yang konkrit
atau spesifik mengenai tes keperawanan. Sehingga hukum nasional dapat mengadopsinya
untuk mengatasi diskriminasi perempuan dalam tes keperawanan. Negara Indonesia sebaiknya
menanamkan nilai-nilai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, baik melalui sistem
pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial, budaya, keamanan dan pertahanan

B. Diskriminasi Perempuan dalam Virginity Test Dilihat dari Perspektif Hukum


Internasional

“The National Police has confirmed that the virginity test on female cadets is used to
measure their physical fitness as well as their morality.”5 Dikatakan bahwa moralitas
merupakan faktor dilaksanakannya praktik tes keperawanan yang sudah lama berlangsung
tersebut. Moral berasal dari kata “mores” dalam Bahasa Latin yang juga berasal dari

5
http://www.thejakartapost.com/news/2014/11/20/virginity-test-confirm-cadets-morality-police.html
Tanggal akses 9 Desember 2020
kebiasaan.6 Adapun sistem patriakhi yang menjadi faktor tes keperawanan berlanjut. Menurut
teoritisi penindasan gender, situasi wanita sebagai akibat dari hubungan kekuasaan langsung
antara laki-laki dan wanita, laki-laki memiliki kepentingan mendasar dan konkret untuk
mengendalikan, menggunakan, menaklukkan, dan menindas wanita, yaitu untuk melakukan
dominasi. Dominasi adalah setiap hubungan antara satu pihak (individu/kolektif) yang
dominan berhasil membuat pihak lain (individu/kolektif) yang disubordinasikan sebagai alat
keinginannya dan menolak untuk mengakui subjektivitas pihak yang disubordinasikan.

Patriarki adalah struktur kekuasaan primer yang dilestarikan dengan maksud yang disengaja.
Menurut kebanyakan teoritisi penindasan, perbedaan dan ketimpangan gender adalah hasil
sampingan sistem partriarki.7 Diterangkan lagi bahwa pemeriksaan keperawanan itu sendiri
telah mengakibatkan kerusakan fisik pada peserta ujian juga sering mengakibatkan trauma
psikologis dengan efek merugikan jangka panjang, termasuk tetapi tidak terbatas pada
kecemasan, depresi, kehilangan harga diri, dan keinginan bunuh diri. Dan dijelaskan bahwa tes
keperawanan tidaklah akurat. Hal tersebut bila ditelaah bertentangan dengan aturan dalam
ICCPR yang diratifikasi dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005
Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik, yaitu Pasal 7
ICCPR: “Tidak seorang pun yang dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman
lain yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Pada khususnya, tidak seorang
pun dapat dijadikan obyek eksperimen medis atau ilmiah tanpa persetujuan yang diberikan
secara bebas.” Selajutnya dalam pemeriksaan keperawanan juga sering mengakibatkan trauma
psikologis dengan efek merugikan jangka panjang, termasuk tetapi tidak terbatas pada
kecemasan, depresi, kehilangan harga diri, dan keinginan bunuh diri. Human Rights Watch
mewawancara polisi wanita maupun pelamar polisi wanita di enam kota Indonesia yang telah
menjalani tes keperawanan, dua di antaranya pada tahun 2014. Semua narasumber
menjelaskan tes tersebut menyakitkan dan membuat trauma. Melihat pernyataan ini,
menentang isi dalam CAT yang telah diratifikasi oleh Negara Indonesia melalui Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi
Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak
Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia.

6
H.M Agus Santoso, Hukum, Moral & Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2012, Hal 83
7
George Ritzer dan Douglas J. Dougman, Teori Sosiologi Modern, Edisi Ke-6, Cet.5, Prenada Media, Jakarta, 2005, Hal.
427.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat dikemukakan sebagai berikut: Pengaturan


diskriminasi perempuan dalam Test Keperawanan (atau Virginity Test) berdasarkan Hukum
Internasional. Berdasarkan Konvensi CEDAW, bahwa memisahkan perempuan-perempuan
“murni” (perawan) dari perempuan-perempuan “tidak murni” merupakan bentuk diskriminasi
perempuan.

Bahwa setiap hak yang ada pada diri seorang perempuan patut untuk dilindungi, tak
terkecuali hak reproduksi wanita (pasal 49 ayat (3) Undang-undang HAM) yang merupakan
bagian dari hak asasi manusia. Tes keperawanan merupakan sebuah bentuk pelanggaran HAM,
dimana PBB melalui WHO meminta untuk menghentikan praktek tersebut karena merupakan
kekerasan dan diskriminasi berbasis gender.

B. Saran

Angkatan bersenjata Indonesia seharusnya menyadari bahwa 'test keperawanan'


merupakan pelecehan terhadap martabat wanita dan merupakan diskriminasi gender, test
keperawanan juga bertentangan dengan Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 pasal 49 ayat
(3) tentang “Hak khusus yang melekat pada diri wanita karena hak reproduksinya, dijamin dan
dilindungi oleh hukum” test keperawanan bagi calon tentara tidak berpengaruh pada penguatan
keamanan nasional. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai perwakilan rakyat sebaiknya
memberikan tekanan kepada TNI agar dibuat aturan penerimaan anggota TNI dan mengenai
test keperawanan ini.

Agar tidak terjadi diskriminasi gender sehingga hukum nasional dapat mengadopsinya
untuk mengatasi adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki dalam hal tes
keperawanan. Dan negara Indonesia sebaiknya menanamkan nilai-nilai kesetaraan antara baik
laki-laki maupun perempuan dalam segala hal dan hak-hak yang ada, baik melalui sistem
pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial, budaya, keamanan dan pertahanan.
Daftar Pustaka

1. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta,2005.

2. Ida Sampit Karo Karo, Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita, Bandung, 2006.

3. H.M Agus Santoso, Hukum, Moral & Hukum, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, 2012.

4. George Ritzer dan Douglas J. Dougman, Teori Sosiologi Modern, Edisi Ke-6,
Cet.5, Prenada Media, Jakarta, 2005.

Website:

https://nasional.tempo.co/read/666260/cerita-miris-prajuritwanita-tni-saat-tes-keperawanan

http://www.thejakartapost.com/news/2014/11/20/virginity-test-confirm-cadets-morality-
police.html

Anda mungkin juga menyukai