Anda di halaman 1dari 7

Tes Keperawanan yang Melecehkan dan

Mendiskriminasi Perempuan

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Hukum Administrasi Negara

Disusun Oleh:
Nama : Yuli Setiyana Maudini
NIM : 8111418310
Rombel : 06
Dosen Pengampu : Laga Sugiarto, S.H., M.H.

UNNIVERSITAS NEGERI SEMARANG


FAKULTAS HUKUM
TAHUN AJARAN 2019/2020
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Jargon “Kesetaraan Gender” sering digemakan oleh para aktivis sosial,
kaum perempuan hingga para politikus Indonesia. Kesadaran kaum perempuan
akan kesetaraan gender semakin meningkat seraya mereka terus menuntut hak
yang sama dengan laki-laki. Anggapan bahwa hak-hak perempuan setara
dengan hak-hak laki-laki pada kenyataannya tidak terjadi secara menyeluruh.
Dalam bidang-bidang tertentu perempuan sering kali mendapatkan
diskriminasi. Hal yang sangat mencolok terdapat dalam masalah tes
keperawanan (virginity testing). Para wanita diwajibkan mengikuti tes
keperawanan untuk mengikuti serangkaian persyaratan untuk menjadi TNI
ataupun Polri, bahkan ada beberapa pekerjaan yang mewajibkan adanya tes
keperawanan. Dimana hal tersebut akan menimbulkan dampak bagi para
pesertanya.
Dari hal tersebut penulis akan mengusut mengenai diskriminasi
perempuan yang secara khusus dalam hal tes keperawanan, dimana sebagian
besar menimbulkan trauma bagi pesertanya.

2. Rumusan Masalah
1. Peraturan apa sajakah yang dilanggar jika dilakukannya tes keperawan?
2. Dampak apa yang timbul akibat dilakukannya tes keperawan?

3. Tujuan dan Manfaat


1. Untuk mengetahui peraturan yang dilanggar jika dilakukannya tes
keperawan
2. Untuk mengetahui dampak yang timbul akibat dilakukannya tes
keperawan
BAB II
PEMBAHASAN

1. Peraturan yang Dilanggar Jika Dilakukannya Tes Keperawan


Tes keperawanan jelas diskriminatif karena hanya menjadikan perempuan
sebagai ‘sasaran tembak’ (objek). Diskriminasi adalah perbuatan yang
melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap HAM. Indonesia sudah
meratifikasi Konvensi tentang Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan melalui UU No 74 Tahun 1984. Ini menjadikan
Indonesia sebagai negara yang berbudaya dan bermoral karena melindungi
perempuan dari segala bentuk diskriminasi. Tapi tes keperawanan itu kembali
membawa Indonesia ke jurang kenistaan melalui diskriminasi terhadap
perempuan.
Pemberlakuan tes keperawanan juga dinilai bertentangan dengan kodrat
manusia dan menempatkan perempuan pada posisi termarginalkan dalam
lembaga sosial dan ranah publik lain. Hal ini juga melanggar Hak Asasi
Manusia (HAM). Pembukaan UUD 1945 tentang Hak Asasi Manusia telah
menegaskan hak-hak setiap warga. Misalnya Pasal 28C Ayat 2 yang
menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam
memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat,
bangsa, dan Negara. Pasal tersebut pada kenyataannya dilanggar dalam hal
diwajibkannya tes keperawanan bagi calon wan TNI maupun polwan.
Perempuan diharuskan ‘perawan’ untuk menjalankan profesi tersebut.
Padahal pasal 28 ayat 2 tersebut menegaskan bahwa setiap orang berhak
untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif
untuk membangun masyarakat, bangsa, dan Negara.
Virginity test yang dinilai diskriminatif ini juga melanggar kententuan
dalam The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination
Against Women (CEDAW) atau Konvensi tentang Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan atau, International Covenant on
atau Civil and Political Rights (ICCPR) atau Konvensi Internasional tentang
Hak Sipil dan Politik atau, dan Convention against Torture and Other Cruel,
Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (CAT) atau Konvensi
Menentang Penyiksaan, serta beberapa instrumen internasional lainnya.
Virginity test tidak berlaku bagi laki-laki, praktik ini merupakan diskriminasi
terhadap perempuan, yang menghalangi kesetaraan antara laki-laki dan
perempuan dalam hal kesempatan bekerja sebagai polisi atau tentara.
2. Dampak yang timbul akibat dilakukannya tes keperawan
Secara umum, publik mengenal dan memahami definisi dan konsep
mengenai seks dan gender sebagai manusia dengan jenis kelamin laki-laki
dan perempuan; di mana jenis kelamin laki-laki identik dengan maskulinitas
dan jenis kelamin perempuan dengan femininitas, yang diasosiasikan dengan
peran domestik sekaligus fungsi reproduksi. Definisi konsepsi ini umumnya
dipahami bersifat esensial dan universal (sama di mana pun)1.
Adanya perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah
sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities).
Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam pelbagai bentuk ketidakadilan,
yakni: marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau
anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotype
atau melalui pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih
panjang dan lebih banyak (burden), serta sosialisasi ideologi nilai peran
gender 2.
Namun kenyataannya perempuan justru seringkali mendapat diskriminasi.
Dalam hal tes keperawanan misalnya. Selain tidak sensitif gender, tes
keperawanan merupakan salah satu bentuk pelecehan terhadap kuasa
perempuan atas tubuhnya. Pelanggaran terhadap ruang privat yang tidak
boleh diusik oleh publik.

1
Ani Soetjipto, 2013, Gender dan Hubungan Internasional Sebuah Pengantar, Jalasutra,
Yogyakarta, hlm.7.
2
3 Mansour Fakih, 2013, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, cet.XV, Pustaka
Belajar, Yogyakarta, hlm.12.
Tes keperawanan yang dilakukan di Indonesia umumnya adalah berupa
pemeriksaan terhadap himen di vagina perempuan. Tes ini kerap disebut juga
sebagai “tes dua jari” karena biasanya dilakukan dengan memasukkan dua
jari pemeriksa ke dalam anus perempuan yang diperiksa. Tes keperawanan
bisa memberikan dampak kepada orang yang menjalaninya. Dampak jangka
pendek secara fisik adalah timbulnya infeksi dan pendarahan pada daerah
genital. Sedangkan untuk mental dampaknya adalah kepanikan,
kekhawatiran, depresi, trauma hingga perasaan bersalah.
Tes keperawanan juga memiliki dampak psikologis kepada orang yang
menjalaninya, bahwa seksualitas adalah ranah pribadi seseorang. Ketika
seksualitas itu dijadikan konsumsi publik atau pihak yang berwenang, hal itu
bisa memberi dampak negatif pada psikologis seseorang. Dampak psikologis
ini juga bisa berkepanjangan, jika karena tes keperawanan si perempuan gagal
mendapatkan sesuatu. Pasalnya hal ini bisa mempengaruhi cara dia
memandang dan menghargai dirinya sendiri di masa depan.
Bahkan menurut WHO, sebenarnya metode pemeriksaan 'keperawanan' ini
secara medis tidak perlu. Metode ini juga menyakitkan, memalukan dan dapat
menyebabkan korban menjadi trauma. WHO secara tegas mengatakan
sebenarnya tidak ada perbedaan antara selaput dara seorang 'perawan' dengan
yang 'tidak perawan'. Karena tidak semua perempuan lahir memiliki selaput
dara. Ada yang dilahirkan tanpa hymen, ada pula yang memiliki hymen
sangat tipis sehingga mudah koyak akibat aktivitas fisik ringan seperti berlari,
senam, atau bersepeda. Namun, ada juga yang mempunyai hymen yang
elastis dan tebal, sehingga walaupun telah berkali-kali penetrasi, bentuknya
tetap saja utuh.
BAB III
KESIMPULAN

Tes keperawanan merupakan salah satu bentuk pelecehan terhadap kuasa


perempuan atas tubuhnya. Pelanggaran terhadap ruang privat yang tidak
boleh diusik oleh publik. Sehingga tes keperawanan tidak seharusnya
dilakukan. Selain itu tes keperawanan juga bentuk diskriminatif terhadap
perempuan sehingga melanggar peraturan yang berlaku. Tes keperawanan
juga dinilai sebagai tes yang tidak memiliki dasar klinis dan ilmiah. Karena
keperawanan itu bersifat relatif yang merupakan urusan pribadi perempuan
yang tidak boleh diganggu.
Nilai dari seorang perempuan tidak bisa dinilai dari keperawanannya. Nilai
seorang manusia, baik perempuan maupun laki-laki, itu dilihat dari
keseluruhan diri mereka.Jadi kita sebagai manusia, sebagai orang yang
mampu bekerja, mampu berpikir, mampu berpendapat, mampu menghasilkan
sesuatu, dan mampu berkarya, di situlah keberhargaan kita. Karena pada
dasarnya semua manusia itu berharga. Sehingga, kalau misalkan menaruh
keberhargaan di himen (hymen) saja, sayang rasanya.
DAFTAR PUSTAKA

Ani Soetjipto, 2013, Gender dan Hubungan Internasional Sebuah Pengantar,


Jalasutra, Yogyakarta
Mansour Fakih, 2013, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, cet.XV, Pustaka
Belajar, Yogyakarta
https://tirto.id/keperawanan-dalam-dunia-medis-cNcm diakses pada tanggal 8
November pukul 20.00 WIB
https://kumparan.com/kumparansains/pengakuan-mereka-yang-pernah-
terlibat-dalam-tes-keperawanan-1543053379149882065 diakses pada tanggal 8
November pukul 20.30 WIB
Jurnal:
Diskriminasi Perempuan Dalam Virginity Test Sebagai Prasyarat Calon
Polwan Dan Calon Prajurit TNI Dalam Perspektif Hukum Internasional Oleh:
Sally Joanna,Ida Bagus Wyasa Putra,A.A. Sri Utari

Anda mungkin juga menyukai