Anda di halaman 1dari 5

Kehendak Manusia di antara Jurang Fatalisme dan Free Will

Pengetahuan akan adanya kehendak dalam diri manusia sama status kebenarannya dengan
pengetahuan kita terhadap adanya akal, bahwa ia bersifat aksiomatis. Tidak ada seorangpun
yang dapat menyangkal akan keberadaan kehendak dalam diri kita. Dengan kehendak, kita
bebas memilih melakukan sesuatu ataupun tidak melakukan. Kita dapat menyadari secara pasti,
bila kita hendak melakukan sesuatu dengan bantuan dari pengetahuan yang sudah diproses
sebelumnya oleh akal kita dan kehendak kita setuju akan melakukan perbuatan, perbuatan itu
akan terjadi sesuai yg kita inginkan. Begitupun sebaliknya jika kita tidak ingin melakukan
sesuatu, hal itu tidak terjadi. Sebab kehendak kita memilih untuk tidak melakukan hal itu. Jadi
dapat kita simpulkan bahwa memang terdapat sinergitas antara akal dan kehendak dalam diri
kita. Hingga dengan keduanya kita dapat menjalankan kehidupan kita sehari-hari dengan baik.
Selama kehendak dalam diri kita bersifat bebas, maka akan timbul pertanyaan penting.
Apakah kehendak kita yang bebas ini memiliki batasan? Bahkan pertanyaan yang lebih penting
lagi, apa hubungan antara kehendak manusia dengan takdir Allah SWT yang kita kenal sebagai
qada dan qadar? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, alangkah baiknya kita jelaskan dulu
apa yang dimaksud dengan qada dan qadar dalam Islam.
Qada dan qadar memiliki definisi yang berbeda satu sama lain. Sebagaimana dijelaskan
oleh Muhammad Salim Abu Ashi dalam bukunya Asy’ariy Ana, Qada adalah pengetahuan
Allah SWT yang sempurna akan sesuatu sejak zaman Azali secara menyeluruh. Sedangkan
qadar adalah aktualisasi terjadinya sesuatu secara terperinci sesuai dengan apa yang sudah
diketahui melalui Qada-Nya 1
Sebagai misal, jika Allah mengetahui saya lahir pada tahun 2000, maka pengetahuan Allah
SWT ini disebut sebagai qada. Dan aktualisasi terjadinya kelahiran saya tepat di tahun 2000
disebut sebagai qadar. Semua yang terjadi di dunia ini (qadar) pastilah akan sesuai dengan
pengetahuan Allah SWT (qada). Tidak ada kejadian di dunia ini yang kontradiksi ataupun
berbeda dengan qada-Nya. Sebab kalau hal itu terjadi, maka berimplikasi pada kesalahan
pengetahuan yang dimiliki Allah SWT. Akhirnya pengetahuan Allah SWT tidaklah sempurna
dan menyeluruh. Ketidaksempurnaan pengetahuan ini mustahil terjadi pada Allah SWT. Sebab
ia dapat menciderai kemahasempurnaan yang ada pada Allah SWT.
Lalu, keyakinan akan ketentuan qada dan qadar ini merupakan salah satu prinsip dasar
keimanan seseorang dalam Islam. Pengertian beriman kepada qada dan qadar dijelaskan oleh

1 Asy’ariy Ana, Muhammad Salim Abu Ashi, hlm 101.


Imam Besar Al – Azhar, Syekh Ahmad al-Tayeb dalam bukunya Muqawwimat al-Islam dalam
beberapa poin :
1. Keyakinan bahwa Allah SWT itu Maha Mengetahui sejak zaman azal ihwal seluruh
ciptaanya dan seluruh perbuatan mereka baik taat, maksiat, rezeki, maut, kebahagiaan
dan kesengsaraan mereka. (Pengetahuan observasi mutlak)
2. Keyakinan bahwa Allah SWT sudah mencantumkan semua hal tersebut di dalam Lauh
al-Mahfuz sejak zaman azal. Dan konsekuensi atas keyakinan ini adalah bahwa apa
yang diterima oleh manusia tidak mungkin salah, dan yang kelirupun tidak akan
mengenainya.
3. Keyakinan bahwa Allah SWT memiliki kehendak yang universal terhadap apapun.
Bahwa apa yang Allah SWT kehendaki pastilah terjadi dan apa yang tidak dikehendaki-
Nya tidaklah terjadi. Oleh karenanya, perbuatan manusia berada pada koridor
kehendak-Nya.
4. Keyakinan bahwa seluruh hal terjadi atas dasar kuasa Allah SWT. Tak ada pencipta
selain-Nya. Tidaklah ada perbedaan antara perbuatan manusia ataupun selain itu. 2
Keseluruhan 4 poin inilah yang dimaksud dalam Islam akan prinsip dasar iman terhadap
qada dan qadar yang sedang dibahas. Lalu, setelah kita mengetahui apa yang dimaksud dengan
qada dan qadar, maka kita bisa mulai menjawab pertanyaan yang sudah diajukan.
Pertanyaan tentang keterkaitan kehendak manusia dengan kehendak Ilahi memang
pertanyaan yang gampang-gampang susah untuk diuraikan masalahnya. Baik hal tersebut
dilihat dari segi paradigma pemikiran manusia secara umum, maupun paradagima keagamaan
secara khusus. Terbukti dari rekam jejak historis, umat Islam banyak berselisih pendapat terkait
hal tersebut.
Mayoritas umat Islam yang memang tidak ingin terlalu tenggelam dalam sulitnya
pembahasan ini, akhirnya mengarahkan pendapatnya kepada fatalisme yang berkonsekuensi
bahwa manusia tidaklah memiliki kebebasan ataupun kehendak apapun. Mereka mengarah ke
pendapat ini sebab mereka tidak ingin meniadakan kehendak Ilahi yang Allah SWT punya.
Sedangkan kehendak Ilahi adalah hal mutlak yang tidak terbatas sama sekali. Dalam pandangan
mereka ini, manusia diibaratkan seperti daun-daun yang berterbangan di udara yang mana
dedaunan itu tidak memiliki kemampuan apapun untuk mencegah dirinya terombang ambing
di udara. Menurut pamdangan ini manusia tidaklah mampu keluar ataupun mengelola
kehendak yang ia punya. Manusia haruslah lemah dan tunduk mutlak terhadap hal yang sudah

2 Muqawwimat al-Islam, Ahmad al-Tayeb, hlm 77.


ditentukan oleh kehendak Ilahi. Mereka yang berkeyakinan seperti ini dalam Islam disebut
sebagai kaum Jabbariyyun / Jabariah.
Yang jelas, pendapat kaum Jabariah ini mempunyai dasar yang salah dalam memahami
nas Al Quran maupun pengertian qada dan qadar. Sebab pada dasarnya, kita sebagai manusia
mengerti dan mengetahui dengan jelas bahwa kita memiliki kebebasan untuk berbicara ataupun
melakukan sesuatu. Andaikan kita terima manusia tidak memiliki kebebasan itu, maka sia-
sialah nilai moralitas ataupun tanggung jawab akan kewajiban (taklif syariat) yang
diperintahkan oleh agama kita. Sebab kewajiban tidaklah mungkin terjadi tanpa adanya
kebebasan untuk melaksanakannya. Dan juga ganjaran ataupun siksaan yang diberitakan bila
kita lalai dari kewajiban yang kita punya tidaklah mempunyai arti apa-apa lagi (sebab manusia
tidak punya kebebasan). Bagaimana mungkin kita diperintahkan melakukan sesuatu tapi di
waktu yang sama kita tidak punya kemampuan apapun untuk melakukan perintah itu dan pada
saat yang sama kita diberikan ganjaran atas kelemahan kita itu? Maka kebebasan merupakan
faktor terpenting untuk kewajiban bisa terlaksanakan serta untuk menjaga nilai-nilai etika.
Dari kesimpulan barusan, bisa kita ketahui bahwa Allah SWT telah menciptakan 2 jenis
makhluk di dunia ini. Makhluk yang tidaklah punya daya upaya dan selalu tunduk kepada Allah
SWT dan Makhluk yang memiliki kehendak untuk melakukan sesuatu yaitu Manusia. Dengan
tersedianya kehendak tersebutlah Allah SWT membebankan kepada manusia taklif syariat.
Tanpa adanya kebebasan melakukan atau meninggalkan sesuatu dalam diri manusia, tidaklah
mungkin adanya taklif. Dan dari kebebasan ini pula muncul adanya pahala dan dosa dari
perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Dari semua pemaparan ini akhirnya akan muncul
pertanyaan, Apakah pemahaman ini akan berimplikasi atau jatuh terhadap pemahaman
Qadariah/Free Will yang menyatakan adanya kehendak bebas mutlak pada manusia tanpa
campur tangan kehendak Ilahi? atau bagaimana menyikapi kehendak manusia ini dengan poin-
poin yang sudah dijelaskan dalam masalah mengimani qada dan qadar yang dibawakan oleh
Syekh al-Akbar?
Benar, Allah SWT memang Maha Mengetahui semua hal yang ada di dunia. Baik masa
lampau, sekarang ataupun masa depan, baik iman atau kafirnya seseorang, dsb. Tidaklah
mungkin kejadian yang ada di dunia ini luput dari pengetahuan Allah SWT. Yang perlu
diperhatikan lebih teliti adalah bahwa tidak ada kontradiksi atau masalah yang muncul terhadap
pengetahuan Allah SWT tersebut bila manusia punya kehendak bebas.
Sebelum membuktikan tidak adanya kontradiksi, kita perlu menjelaskan mislead yang
sering terjadi yaitu seringnya mencampuradukkan fungsi daripada sifat Ilm (Pengetehuan),
sifat Qudrah (Kuasa) dan sifat Iradah (Kehendak). Salah kaprah yang terjadi adalah dengan
menyamakan semua tugas dari ketiga sifat tersebut. Fungsi sifat Ilm adalah observasi mutlak,
Fungsi sifat Qudrah adalah kuasa mutlak atas realisasi sesuatu akan kehendak yang Allah
punya, baik itu mewujudkan sesuatu ataupun meniadakan. Fungsi sifat Iradah adalah kehendak
dalam menentukan karakteristik sesuatu ingin seperti apa berdasarkan sifat Ilm yang punya
tupoksi observasi mutlak.
Sampai sini, janganlah kita salah memahami apa yang dimaksud dengan pengetahuan
Allah SWT yang universal. 3 Pengetahuan Allah SWT yang dimaksud adalah sifatnya observasi
mutlak dan menyeluruh. Observasi ini tidaklah diketahui dari sebuah titik ketidaktahuan akan
sesuatu dan juga tidak dapat memaksa suatu hal harus terjadi. Memaksa suatu hal terjadi
bukanlah fungsi dari pengetahuan Allah SWT, sebab fungsinya sifat Ilm hanyalah observasi
mutlak. Adapun suatu hal yang dapat memaksa ataupun menciptakan suatu hal pasti terjadi itu
adalah fungsinya sifat Qudrah atau kuasanya Allah SWT. Fungsi kuasa Allah SWT akan pasti
terjadinya sesuatu ini tetap berdasarkan kehendak hambanya yang mana kehendak ini pastilah
juga sesuai dengan Pengetahuan Allah SWT sebagaimana yang sudah kita ketahui akan konsep
qada dan qadar sebelumnya.
Analogi sederhana dalam masalah ini misalnya, bila kita bayangkan pertama kali yang
ada di hadapan kita adalah pilihan untuk memilih memukul atau tidak. Lalu kita memilih untuk
memukul dengan kehendak yang kita punya dan hal tersebut terjadi. Keterjadian pukulan
tersebut tetap berdasarkan kehendak kita, akan tetapi informasi akan adanya keterjadian
pukulan tersebut tetaplah sesuai dengan observasi mutlak yang Allah SWT punya. Dengan kata
lain, bahwa Allah SWT sudahl tau dari sejak zaman azali kita akan memilih melakukan hal itu.
Bila hal itu sudah sesuai dengan apa yang telah diobservasi 4 maka Allah SWT menggunakan
kehendaknya dan juga kuasanya menakdirkan pilihan hamba tersebut terjadi. Dan dari uraian
yang sudah disebutkan, bisa dikatakan ruang lingkup kehendak yang manusia punya adalah
memilih untuk melakukan sesuatu atau tidak.
Tapi yang perlu diperhatikan adalah Allah SWT menakdirkan akan terjadinya sesuatu
tidak disebabkan oleh kehendak manusia semata, tapi tetap berdasarkan pengetahuan observasi
yang Allah SWT punya. Pemahaman ini perlu diperhatikan sebab bila kita memahami Allah
menakdirkan sesuatu terjadi atas kehendak hambanya, maka pandangan ini akan mengarah
kepada mazhab Qadariah. Pandangan yang menyatakan bahwa manusia memiliki kehendak
bebas tanpa intervensi apapun dari Allah SWT, sedangkan pandangan ini tertolak.

3 Poin 1 dalam penjelasan iman qada dan qadar oleh Syekh al-Azhar.
4 Makna telah disini hanya pendekatan sederhana, bukan berarti berlaku zaman terhadap zat Allah SWT.
Bila manusia memiliki kehendak bebas-pilih dan Allah SWT akhirnya menciptakan
perbuatan hamba tersebut berdasarkan kehendak hamba semata, maka perbuatan Allah (sesuai
kehendak hamba) pastilah menjadi memiliki sebab (yaitu disebabkan atas kehendak hamba).
Sedangkan perbuatan yang memiliki sebab berimplikasi pada lemahnya hal tersebut. Ini
mustahil terjadi pada Allah SWT.
Jadi perlu adanya penggarisbawahan bahwa Allah SWT menakdirkan sesuatu terjadi,
tetap atas dasar pengetahuan Allah SWT. Manusia tetap memiliki andil melakukan perbuatan
dengan kehendaknya itu dan kehendak itu jelas sesuai dengan pengetahuan Allah SWT.
Akhirnya hamba pun sah dikenakan beban kewajiban syariat dan juga akan mendapat ganjaran
atas apa yang ia perbuat. Dengan pemahaman ini kiranya dapat terurai masalah sulit dalam
hubungan antara kehendak hamba dan kehendak Ilahi.
Kesimpulan akhir yang perlu diperhatikan untuk kita adalah jangan cepat-cepat
memahami sebagian nas tanpa betul-betul mendalami keseluruhan nas yang dikehendaki
maknanya oleh Allah SWT. Supaya kita tidak terjatuh kepada kesalahan dalam memahami
yang dikehendaki oleh-Nya. Sebagaimana juga Allah SWT sudah memperingatkan kita bahwa
janganlah kita mengambil sebagian ayat dan membuang sebagian yang lain (QS. al Baqarah :
85).
Dari sini bisa kita simpulkan bahwa adanya kehendak Ilahi dan pengetahuan Allah
SWT atas segala sesuatu tidaklah mengarah kepada pemahaman Jabariah/Fatalisme. Dan
adanya kehendak bebas pada manusia tidaklah mutlak tanpa adanya campur tangan kehendak
Ilahi yang dapat mengarah kepada pemahaman Qadariah/Free Will.

Anda mungkin juga menyukai