Anda di halaman 1dari 5

Misteri Halloween

Sayf Muhammad Isa

Hantu-hantu bergentayangan, dan monster-monster buruk rupa merajalela! Semuanya


menakutkan. Tapi ternyata mereka bukanlah hantu dan monster sungguhan, mereka cuma
memakai topeng dan kostum menyeramkan di malam Halloween. Setiap malam tanggal 31
Oktober, Halloween dirayakan banyak orang di berbagai belahan dunia. Malam itu, anak-anak
dibiarkan oleh orangtuanya untuk bermain sampai larut malam, mengenakan kostum Dracula
atau monster Frankenstain, berkeliling ke setiap orang dengan meneriakkan “trick or treat.”
Bahkan bukan cuma anak-anak, kemeriahan Halloween menjalar hampir ke segala usia.
Remaja dan dewasa pun tidak ingin ketinggalan serunya malam pesta topeng dan kostum itu.

Malam Halloween telah menjadi perayaan dunia. Selain menggelar pesta kostum seram
dan trick of treat, orang-orang merayakannya dengan membuat api unggun, memahat labu
kuning sehingga memiliki wajah yang seram -dikenal dengan nama Jack-o-lantern-, berlomba
menangkap apel dengan mulut (dikenal sebagai apple bobbing), bertukar cerita-cerita seram,
nonton film-film horor, dan lain-lain. Semua aktifitas itu sangat seru dan mengasyikkan,
sehingga Halloween menjadi salah satu hari raya yang ditunggu-tunggu.

Namun, sebagai seorang Muslim, pernahkan kita bertanya, dari manakah Halloween itu
berasal? Sebab, tentu saja, kita tidak boleh sembarangan ikut-ikutan merayakannya hanya
karena ia seru dan mengasyikkan. Ingat, setiap perkataan dan tindakan kita akan dimintai
pertanggungjawaban. Firman Allah: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak
mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati,
semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya,” (TQS. Al-Isra: 36). Dengan demikian,
sangatlah penting bagi kita, sebagai seorang Muslim, untuk menelusuri misteri Halloween.

Misteri Halloween

Di dalam agama Kristen, ada hari raya yang jatuh setiap tanggal 1 November, namanya
All Hallows Day atau All Saints Day. Hari raya ini diikuti dengan hari berikutnya, tanggal 2
November, yang dikenal sebagai All Souls Day. Seluruh rangkaian hari raya ini, ditujukan
untuk mengenang dan mendoakan para santo (orang suci), dan siapa saja yang telah
mengorbankan nyawanya bagi agama. Hallow dan saint sendiri bermakna orang suci. Di
tanggal 2, penghormatan diberikan bukan Cuma untuk para santo saja, tetapi kepada siapa saja
yang telah meninggal dunia, karenanya perayaan tanggal 2 ini dinamai All Souls Day (Hari
Setiap Jiwa).

Sementara itu, malam tanggal 31 Oktober, yang pada momen itulah Halloween
dirayakan, adalah dalam rangka mempersiapkan dan bergembira menjelang perayaan tanggal
1 November keesokan harinya. Istilah Halloween sendiri berasal dari All Hallow’s Eve (malam
para santo) atau Hallow’s Eve dalam bahasa Inggris kuno, dan istilah ini mirip dengan,
misalnya, Christmass Eve (Malam Natal, yakni malam menjelang Natal di keesokan harinya).
Sementara itu dalam dialek orang Skotlandia, istilah “eve” ini seringkali diucap “even” atau
“een”, karenanya kemudian penyebutannya melebur menjadi “Hallowe’en” atau “Halloween”.
Seperti itulah asal-usul istilah Halloween.

Dari sini kita melihat, bahwa seluruh rangkaian hari raya ini sangat erat kaitannya dengan
tradisi Kristen. Selain untuk mengenang para santo dan para martir, hari raya ini akan diisi

1
dengan mengunjungi pemakaman dan berdoa untuk roh-roh orang yang sudah mati. Karangan-
karangan bunga akan diletakkan di batu-batu nisan, dan lilin-lilin akan dinyalakan sepanjang
malam. Yang pasti, sejak malam tanggal 31 Oktober hingga hari-hari berikutnya, semua
penghormatan didedikasikan untuk orang-orang yang telah mati.

Para sejarawan kemudian menelusuri asal-usul Halloween ini lebih dalam lagi, hingga
pada periode yang lebih kuno. Sejarawan Nicholas Rogers, dalam bukunya yang berjudul
Halloween: From Pagan Ritual to Party Night menjelaskan, bahwa walaupun nama Halloween
itu kental dengan nuansa Kristen, tetapi asal-usulnya sangat erat kaitannya dengan agama
pagan (penyembah berhala), jauh sebelum berkembangnya agama Kristen. Selain itu,
Halloween juga seringkali dikaitkan dengan hal-hal supranatural, sehingga diyakini bahwa ia
memiliki akar yang kuat dalam agama pagan, dan hal ini tidak pernah benar-benar hilang
sampai sekarang.

Beberapa teori menjelaskan, bahwa banyak tradisi Halloween dipengaruhi oleh festival
panen bangsa Celtic, khususnya dari cabang etnis Gael, yang dari sanalah orang Skotlandia dan
Irlandia berasal. Festival ini dikenal dengan nama Samhain (baca: sawen), dan ia memiliki akar
dalam agama pagan. Festival Samhain inilah yang kemudian “dikristenkan” sehingga menjadi
All Hallows Day atau Halloween.

Samhain atau Samuin (baca: sawen dan sawin) artinya “akhir musim panas.” Dalam
naskah Tochmarc Emire -sebuah naskah Gael dari abad ke-10 Masehi- pahlawan wanita Emer
menyebutkan bahwa Samhain adalah hari pertama dari empat kuartal hari-hari dalam kalender
Irlandia abad Pertengahan, “ketika musim panas pergi ke tempat peristirahatannya.”
Berpasangan dengan hari raya Beltane, yang merayakan kekuatan matahari yang membawa
sinar kehidupan, Samhain menjadi penanda datangnya musim dingin dan malam-malam gelap
di depan. Menurut Lesley Bannatyne, penulis Halloween Nation, “Samhain adalah juga sebuah
peringatan bahwa tak lama lagi musim akan berubah menjadi gelap dan dingin. Maka sudah
waktunya pulang, dan jangan membiarkan ada seorang pun yang keluar rumah sendirian.”
Menurut John Arnott MacCulloch, seorang ahli sejarah bangsa Celtic, pada dasarnya Samhain
adalah “festival pertanian dan penggembalaan kuno, yang pada waktunya dipandang sebagai
sarana untuk mendorong kekuatan-kekuatan guna menumbuhkan dan meredam merajalelanya
kerusakan tanaman.”

Hari raya Samhain adalah juga momen untuk mengumpulkan hasil panen,
menyimpannya, dan mengorganisasikannya, juga melakukan koordinasi terhadap penduduk
desa dalam menghadapi bulan-bulan musim dingin yang panjang dan berat. Selain itu, juga
mempersiapkan pondokan untuk melayani para prajurit dan para shaman (dukun) yang biasa
singgah ke desa-desa.

Dalam momen Samhain, orang-orang Celtic juga meyakini bahwa kuasa makhluk-
makhluk halus pun meningkat, dan mereka akan merajalela ke dunia orang hidup. Mereka akan
keluar dari sidh, yaitu kuburan-kuburan tua dan gundukan-gundukan tanah yang ada pinggiran
desa. Lisa Bitel, sejarawan dari University of Southern California berpendapat, “Orang Celt
juga percaya bahwa pada waktu Samhain, ruang dan waktu menjadi bisa ditembus dan
fleksibel. Karenanya roh-roh orang yang sudah mati akan berkeliaran dan masuk ke dalam
dunia nyata, begitu juga sebaliknya, orang yang hidup bisa saja tersesat ke dunia orang yang
sudah mati.”

Untuk mengusir arwah-arwah itu, orang Irlandia membuat api unggun yang sangat besar,
guna memohon pertolongan para dewa melalui pengorbanan binatang dan bahkan

2
kemungkinan pengorbanan manusia. Namun sebenarnya para sejarawan tidak mengetahui
secara pasti apa saja yang dilakukan orang-orang Celt pada momen Samhain ini. Yang pasti
mereka menekankan bahwa dalam upacara Samhain ini selalu ada unsur primitivisme,
pemujaan terhadap dewa-dewa (berhala), dan hubungannya yang kuat dengan dunia gaib.

Kira-kira pada abad ke-9 Masehi, tanggal 1 November ini kemudian diadopsi oleh
institusi Gereja Katolik sebagai All Saints Day di bawah pengaruh dan arahan seorang pendeta
bernama Alcuin dari York. Alcuin bukanlah orang sembarangan, dia adalah guru besar dan
cendekiawan di Istana Dinasti Carolingian di Prancis. Dia diundang oleh raja besar Prancis,
Charlemagne, dan dalam biografi tentang Charlemagne yang ditulis oleh Einhardt, Alcuin
disebut sebagai “satu-satunya orang terpelajar yang masih ada.” Karena tanggal 1 November
dijadikan hari raya, makanya malam tanggal 31 Oktober pun dijadikan malam suci yang
disebut Halloween. Para sejarawan meyakini bahwa benar-benar terjadi sinkretisasi antara
budaya pagan dengan hari raya Kristen di dalam Halloween.

Pada pertengahan abad ke-19 Masehi, perayaan Halloween dibawa oleh para imigran
Irlandia dan Skotlandia menuju Amerika. Pada masa itu, Amerika baru saja dihantam oleh
bencana besar, berupa meletusnya Perang Sipil (The American Civil War) yang menewaskan
kira-kira satu juta jiwa. Ketertarikan dengan hal-hal yang gaib di tengah-tengah orang Amerika
berkembang pesat, karena banyak orang kehilangan mereka yang dicintainya, dan mereka
berkeinginan untuk bisa “berinteraksi” dengan roh-roh orang yang dicintai tadi. Karenanya
perayaan semacam Halloween -yang pada momen itu diyakini pula kita bisa berinteraksi
dengan orang yang sudah mati- jadi mendapat tempat dan diterima.

Seiring berjalannya waktu, perayaan Halloween mengalami perkembangan. Tentu kita


mengetahui bahwa di dalam Halloween ada tradisi trick or treat, yaitu tradisi di mana anak-
anak dengan bergerombol mendatangi rumah-rumah untuk meminta permen. Tradisi ini bisa
dilacak berawal dari abad pertengahan. Orang Katolik meyakini apa yang disebut purgatory,
yaitu semacam tempat yang terletak antara surga dan neraka, di mana di tempat inilah roh orang
yang sudah mati akan dibersihkan dari dosa-dosa dengan disiksa. Ketika datang hari raya untuk
menghormati mereka yang telah mati, tanggal 2 November, pihak Gereja menyerukan supaya
setiap orang banyak-banyak memanjatkan doa, supaya mereka yang berada di dalam purgatory
bisa naik ke surga. Mereka meyakini bahwa semakin banyak doa yang dipanjatkan, akan
semakin mudah dan cepat pula suatu jiwa selamat dari purgatory. Anak-anak kemudian
berkeliling ke rumah-rumah melakukan sesuatu yang pada masa itu dikenal sebagai “souling”.
Mereka meminta kue yang disebut “soul cake” (kue jiwa), semacam kue yang ditaburi kismis,
dan sebagai balasan atas pemberian itu, mereka mendoakan anggota keluarga yang telah wafat
dari penghuni rumah itu. Praktik ini ternyata bukan hanya dilakukan anak-anak, para pengemis
pun melakukan hal yang sama. Mereka meminta kue jiwa dengan imbalan mereka akan
mendoakan sanak keluarga yang telah wafat itu. Dari tradisi inilah trick or treat berasal.

Lantas bagaimana orang-orang bisa memakai topeng -umumnya topeng seram- ketika
merayakan Halloween? Lisa Morton dalam karyanya The Halloween Encyclopedia
menjelaskan, bahwa tidaklah diketahui sudah berapa lama topeng menjadi bagian tak
terpisahkan dari Halloween. Walaupun ada dugaan bahwa bangsa Celt mengenakan topeng dan
kostum di hari raya Samhain, tidak ada bukti yang mendukung ke arah sana. Walaupun begitu,
Lisa Morton menganalisa bahwa memakai topeng dan kostum telah menjadi bagian integral
dari Halloween sejak abad ke-19 Masehi. Hanya saja penggunaan topeng secara meluas pada
saat Halloween tidak selalu disambut baik. Sebuah buku pesta Halloween yang terbit pada 1951
menyatakan bahwa “topeng bisa saja dengan mudah menyulut kekacauan jika dipakai dalam
skala besar, dan seharusnya pemakaiannya tidak diizinkan.”
3
Pada beberapa tahun belakangan ini, aspek supranatural dari Halloween telah memicu
kontroversi. Nicholas Rogers menjelaskan, bahwa dari kontroversi itu muncullah dua kutub
besar yang berlawanan: pihak penganut paganisme baru, dan pihak sayap kanan relijius. Yang
pertama, penganut paganisme baru, menekankan pada aspek “keanehan alami” dari Halloween
dan sisi kemampuan penyembuhannya dalam menolong orang-orang untuk “menyentuh dunia
mitos dan imajinasi” dan dari sana meraih “kemampuan untuk menghadapi ketakutan akan
perubahan dan kematian.” Sementara itu kalangan kedua, yakni sayap kanan relijius, atau
Kristen Evanjelis, mencela Halloween dari aspek “satanisme” yang mereka yakini terkandung
di dalamnya dan pengagungan hari raya ini terhadap setan. Kalangan ini juga mengklaim
bahwa Halloween itu adalah “salah satu dari empat momen Black Sabbath, di mana para
penyihir bertemu dengan setan dan menyembah mereka.” Mereka juga mendesak sekolah-
sekolah supaya melarang perayaan Halloween.

Jika kita telusuri lebih dalam dari berbagai sumber, akan semakin nampak bahwa
Halloween adalah perayaan yang berkembang karena percampuran antara budaya pagan dan
tradisi-tradisi Kristen. Halloween sama sekali tidak pernah berasal dari Islam.

Teror Halloween

Halloween identik dengan hal-hal seram dan suram. Karenanya ia pun membawa dampak
yang tak jauh berbeda dengan kesan yang kita rasakan tentangnya. Pada malam Halloween,
orang-orang saling menakut-nakuti, mereka melakukan prank yang menyeramkan kepada
orang-orang di sekitar mereka. Namun ternyata banyak kejahatan yang terjadi pada malam
Halloween, dan itu bukan prank.

Halloween terbukti bukannya menginspirasi kebaikan, tetapi sebaliknya, malah


menyulut perbuatan jahat. Pada 1930-an ketika trick or treat modern mulai muncul, masyarakat
mengalami ancaman serius setiap malam Halloween, sebab bermunculan kelompok-kelompok
remaja berandal yang berbuat jahat dan menyebabkan kekacauan, dan mereka dengan riang
gembira melakukan itu karena merasa perbuatan demikian memang sudah sewajarnya
dilakukan pada malam Halloween. Mereka akan melumuri jendela dan dinding rumah orang
dengan telur, atau melumuri mobil orang dengan sabun, mereka juga membongkar dan
merusak pagar-pagar, dan pintu-pintu rumah. Melempari rumah orang dengan sayuran busuk,
atau melumuri halaman rumah orang dengan kotoran anjing atau kucing. Melempari di
halaman rumah orang dengan tisu toilet, sampai mengotori seluruh halaman. Yang paling
ringan adalah, memencet bel rumah orang lalu kabur.

Lesley Bannatyne menjelaskan bahwa ada banyak sekali kekacauan yang terjadi pada
saat Halloween. Hal itu bukanlah hal baru, dan ia sudah terjadi sejak berabad-abad yang lalu.
Para remaja akan melakukan berbagai “trick” pada malam Halloween, dan “trick” itu tidak lagi
lucu, tetapi sudah mengarahkan kepada tindakan vandalisme (perbuatan mengacau dan
merusak fasilitas publik serta milik pribadi).

Lisa Morton menjelaskan bahwa trick yang dilakukan itu gila-gilaan. Ia memiliki
selembar kartu pos tua yang terbit di Iowa dan berasal dari tahun 1910. Pada kartu pos itu
tercetak sebuah foto yang memperlihatkan sekelompok remaja sedang memblokir sebuah jalan
utama dengan berbagai perabot. Ada bak mandi; lemari; gerobak; dan berbagai perabot lainnya.
Ternyata mereka menggotong perabot itu ke tengah jalan pada malam Halloween. Ini jelas
sebuah tindakan yang sangat merugikan masyarakat.

4
Dari tahun ke tahun, aksi-aksi jahat itu terus meningkat. Tindakan vandalisme kecil itu
sudah tidak seru lagi, aksi-aksi itu berkembang menjadi, misalnya, membakar rumah orang
dengan sengaja. Tindakan seperti ini menghebat sejak tahun 1970-an. Sampai-sampai setiap
tahun pasti terjadi aksi-aksi pembakaran rumah pada malam Halloween. Aksi-aksi pembakaran
ini paling parah terjadi pada pertengahan hingga akhir dekade 1980-an di Detroit. Pada tahun
1984 saja, ditemukan 800 titik api di Detroit, dan aksi-aksi ini terus terjadi setiap tahunnya,
hingga mencapai angka ratusan titik api, sampai tahun 2011. Kacau kan!

Karenanya, pada perkembangan selanjutnya, dilakukanlah berbagai pesta yang meriah


untuk merayakan Halloween, dan anak-anak serta remaja itu disogok dengan permen atau
cokelat, untuk meredam kekacauan dan kejahatan yang mereka timbulkan. Makanya mereka
akan berkeliling ke rumah-rumah sambil memberi pilihan kepada penghuni rumah, “trick or
treat” (tipuan atau traktir?). Sederhananya, kalau tidak mau kami mengacau (trick), maka
traktirlah kami (treat) dengan memberi permen atau cokelat. Yang kemudian ketiban rejeki,
adalah perusahaan permen dan perusahaan cokelat. Penjualan permen pada Halloween tahun
2015 mencapai angka 2,63 miliar Dollar, dan pada momen inilah permen paling banyak terjual.
Julia Belluz dan Javier Zarracina dalan artikelnya menjelaskan, bahwa kalau semua permen
yang terjual pada pekan Halloween itu dikumpulkan, luasnya sama dengan enam kali luas kapal
Titanic, dan beratnya mencapai 300.000 ton permen. Adeuhhh!

Islam dan Halloween

Agak aneh sebenarnya kalau kita menyandingkan Halloween dengan Islam. Sebab, sama
sekali tidak ada hubungan antara keduanya. Dari berbagai sumber bisa kita telusuri bahwa tidak
ada seujung kuku pun hubungan antara Halloween dengan Islam, bahkan keduanya bertolak
belakang. Sejak dari akarnya hingga ke pucuk-pucuknya, Halloween hukumnya haram. Nah
kalau bicara halal-haram, tentu dibutuhkan dalil. Kalau kita lihat berbagai hal yang ada di
dalam Halloween, cukup satu dalil saja yang kita butuhkan untuk mengharamkan Halloween,
Allah Ta’ala berfirman di dalam Al-Quran: “Katakanlah, Dialah Allah Yang Maha Esa,”
(TQS. Al-Ikhlas: 1).

Dari akarnya saja, Halloween, ketika ia masih berada dalam bentuk aslinya yakni
Samhain, maupun ketika ia telah mengalami sinkretisasi dengan tradisi Kristen, adalah
perayaan kekufuran. Hari raya ini mengagungkan dewa-dewa, merayakan setan-setan, dan
menyuburkan kejahatan, jelaslah hari raya ini haram hukumnya. Kaum Muslimin dilarang ikut-
ikutan dalam merayakan momen ini.

Anton Szandor LaVey, seorang penyembah setan, pendiri Gereja Setan, dan seorang
pengkhotbah ajaran setan, diduga pernah berkata seperti ini: “Saya senang bahwa orangtua-
orangtua Kristen membiarkan anak-anaknya menyembah setan setidaknya setahun sekali.”
Maksud “setahun sekali” itu tentu saja pada momen Halloween. Namun akun resmi Gereja
Setan di Twitter, @ChurchofSatan, membantah bahwa LaVey pernah mengatakan hal tersebut.
Namun, terlepas dari apakah LaVey benar-benar mengatakan hal itu atau tidak, kata-kata itu
cukup relevan. Halloween adalah hari raya penyembahan setan, dan jika kita ikut-ikutan
merayakannya, berarti kita ikut-ikutan menyembah setan. Lebih dari itu, Rasulullah
Muhammad Shalallahu’alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa menyerupai suatu kaum,
maka ia bagian dari mereka,” (HR. Abu Dawud).[]

Anda mungkin juga menyukai