Anda di halaman 1dari 2

Garden of Death

Sejarah seru

Wafatnya Rasulullah saw. pada 632 Masehi adalah musibah yang amat besar bagi umat
Islam. Kabilah-kabilah murtad pada nongol hampir di seluruh jazirah Arab, ada juga kabilah yang
ogah bayar zakat, dan bahkan, sebagaimana yang dikisahkan Imam Ibnu Katsir, solat Jumat cuma
dilaksanakan di Makkad dan Madinah. Para banget nggak sih?
Khalifah Abu Bakar ra. kemudian mengambil tindakan tegas untuk memerangi semua
kalangan yang dimurkai Allah itu. Salah satu kabilah terkuat yang murtad adalah Bani Hanifah
yang tinggal di kawasan Yamamah. Mereka dipimpin oleh seorang lelaki yang mengaku nabi,
Musailamah al-Kadzab. Khalifah Abu Bakar mengirim jenderalnya yang terbaik, Khalid bin Walid,
untuk menumpas gerombolan murtad ini. Perang Yamamah pun pecah antara tentara Islam di
bawah pimpinan Khalid bin Walid dan bani Hanifah di bawah pimpinan Musailamah al-Kadzab.
Imam Ibnu Katsir mengisahkan dalam Bidayah wan Nihayah: “Pada peperangan ini tampak
kesabaran dan keuletan para sahabat yang tiada bandingannya. Mereka terus menerus maju ke
arah musuh hingga Allah menaklukkan musuh, dan orang kafir lari tunggang-langgang. Kaum
Muslimin terus mengejar mereka sambil menebas leher-leher mereka, dan mengayunkan pedang
ke arah mana saja yang mereka maui. Maka terdesaklah orang-orang kafir hingga Kebun
Kematian (Hadiqatul Maut).
Para sahabat dan pasukan Islam dengan semangat jihad yang berkobar terus menekan
pasukan kafir. Salah seorang penguasa Yamamah, Muhakkam bin Thufail, memberi isyarat
kepada anak buahnya agar membuka gerbang besar kebun itu dan seluruh pasukan kaum murtad
itu masuk ke dalam kebun. Naasnya, Muhakkam bin Thufail yang sedang berpidato untuk
memerintahkan anak buahnya masuk ke dalam kebun harus tewas di tangan Abdurrahman bin
Abu Bakar. Abdurrahman melepaskan sebatang anak panah ke leher Muhakkam hingga dia
tewas.
Sayangnya, pasukan kaum murtad itu berhasil memasuki kebun dan hanya beberapa orang
saja yang berhasil dikejar dan dihabisi oleh pasukan Islam. Gerbang kebun itu pun ditutup rapat-
rapat dan dikunci dari dalam. Musailamah dan pasukannya dari kalangan kaum murtad itu
berlindung di dalam kebun. Mereka mengira bisa menipu maut dengan cara seperti itu. Padahal
Allah swt. berfirman: “Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendati
pun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh,” (An-Nisa’: 78).
Pasukan Islam mengepung perkebunan yang dipagari oleh tembok yang cukup tinggi itu.
Mereka tertahan oleh tumpukan-tumpukan batu dan tanah liat. Datanglah seorang sahabat
bernama al-Bara’ bin Malik: “Wahai kaum Muslimin, lemparkan aku ke dalam perkebunan itu.”
Maka beberapa prajurit Muslim pun mengangkat al-Bara’ di atas sebuah perisai dan
menopangnya untuk naik ke tembok dan kemudian melompat hingga ke bagian dalam tembok.
Begitu mendarat di bagian dalam perkebunan, al-Bara’ segera diserang oleh beberapa pasukan
musuh, namun dengan gigih al-Bara’ berjuang hingga pada akhirnya ia berhasil membukakan
gerbang perkebunan itu.
Ketika melihat gerbang sudah menganga lebar, tanpa membuang-buang waktu, pasukan
Islam menyerbu masuk, mengalir deras bagai air bah. Pasukan murtad yang sudah gelagapan itu
kocar-kacir dan menemui kematian mereka di bawah tebasan pedang kaum Muslimin.
Peperangan yang sengit pecahlah di dalam perkebunan orang-orang Yamamah itu. Pasukan
Islam berjuang habis-habisan untuk melenyapkan kekuatan orang-orang murtad yang dipimpin
Musailamah al-Kadzab, namun pertanyaannya di manakah sang nabi palsu itu?
Sepasang mata dari seorang budak hitam mengawasi peperangan itu dengan jeli. Ia adalah
Wahsyi bin Harb, pembantu Jubair bin Muth’im. Saat itu ia telah masuk Islam, dan berjihad
bersama pasukan kaum Muslimin. Dulu, pada Perang Uhud ketika ia masih musyrik, ia berperang
di pihak kaum Quraisy dan dengan lemparan tombaknya yang jitu, ia membunuh Hamzah bin
Abdul Muthallib, paman Rasulullah Muhammad saw. Dengan tombak yang sama, Wahsyi
menyusuri medan perang itu untuk memburu Musailamah al-Kadzab. Ia ingin menebus
kesalahan-kesalahannya di masa lalu.
Dengan amat sabar Wahsyi memburu mangsanya, hingga dia melihat sosok Musailamah di
kejauhan. Pada salah satu bagian dari perkebunan itu ada sebuah tembok yang retak,
Musailamah sedang berdiri di depan tembok itu dan mengawasi peperangan. Beberapa orang
prajuritnya melindunginya, tanpa mengetahui bahwa maut sedang mengintainya. Musailamah
sedang berada dalam keadaan galau yang amat sangat karena ia menyaksikan pertahanannya di
perkebunan itu sudah berhasil ditembus dan pasukannya sudah terdesak.
Tiba-tiba tubuh Musailamah kejang-kejang seperti orang ayan. Dari mulutnya keluar busa
yang menjijikkan, dan orang-orang mengetahui bahwa dia sedang kerasukan. Setan yang
merasuki tubuhnya itulah yang membisikkan kata-kata yang dia klaim sebagai wahyu.
Wahsyi mencium sebuah kesempatan yang sangat baik. Ia mencari sebuah posisi yang
tepat sambil menenteng tombaknya. Dengan tatapan yang tajam diacungkannya tombaknya, tak
ubahnya malaikat maut yang sedang membidik sasarannya. Tepat, tombak itu melesat cepat dan
menembus dada Musailamah hingga ke punggungnya. Nabi palsu itu tewas seketika. Itulah akhir
dari petualangan dan kesesatannya. Dengan cepat Abu Dujanah Simak bin Kharasyah melesat ke
arahnya dan menebaskan pedangnya hingga Musailamah tersungkur dan mati.
“Aduhai malangnya nasib pemimpin kita, dia dibunuh oleh budak hitam,” pekik para wanita
yang berlindung di dalam sebuah bangunan di kebun itu. Di sanalah berakhirnya petualangan dan
kekufuran Musailamah al Kadzab.[]

Anda mungkin juga menyukai