Anda di halaman 1dari 8

Nama : Muhammad Abizard Haqun Nadhir

NIM : 2021410154
Mata Kuliah : MNJ Risiko

1. Risiko adalah kemungkinan terjadinya suatu kejadian atau peristiwa yang dapat mengakibatkan
kerugian atau dampak negatif pada suatu organisasi atau individu. Contohnya adalah risiko
kecelakaan kerja, risiko kegagalan produk, risiko kehilangan data, dan lain sebagainya.

Manajemen risiko adalah proses identifikasi, analisis, penilaian, pengendalian, dan pemantauan
risiko dalam rangka mengurangi atau meminimalkan dampak negatif dari risiko tersebut. Tujuan
dari manajemen risiko adalah untuk mengidentifikasi risiko yang mungkin terjadi, mengevaluasi
dampaknya, dan mengambil langkah-langkah untuk mengurangi dampak negatifnya atau
menghindari risiko tersebut sepenuhnya. Manajemen risiko dapat diterapkan pada segala jenis
organisasi, termasuk bisnis, pemerintah, dan organisasi nirlaba.

2. Risiko memiliki beberapa karakteristiki, yaitu:

1. Kemungkinan atau probability: Risiko mencerminkan kemungkinan terjadinya suatu kejadian


yang tidak diinginkan atau kehilangan yang tidak diinginkan. Kemungkinan ini dapat dinyatakan
dalam persentase, rasio, atau probabilitas lainnya.

2. Dampak atau impact: Risiko juga mencerminkan dampak atau konsekuensi dari suatu
peristiwa yang tidak diinginkan atau kehilangan yang tidak diinginkan. Dampak ini bisa berupa
kerusakan fisik atau finansial, atau bahkan bisa berdampak pada reputasi, kesehatan, keamanan,
dan sebagainya.

3. Waktu: Risiko memiliki dimensi waktu. Risiko dapat terjadi dalam waktu yang singkat atau
lama, dan dapat terjadi pada waktu tertentu atau secara acak.

4. Konteks atau lingkungan: Risiko selalu terjadi dalam konteks tertentu atau lingkungan
tertentu. Faktor-faktor seperti budaya, peraturan dan kebijakan, dan kondisi ekonomi dapat
mempengaruhi risiko.

5. Toleransi atau tolerability: Risiko juga memiliki tingkat toleransi atau tolerabilitas tertentu.
Toleransi risiko adalah batas atas atau bawah untuk risiko yang dapat diterima oleh suatu
organisasi atau individu.

6. Keterkaitan atau interkoneksi: Risiko seringkali saling terkait atau berinteraksi satu sama lain.
Risiko dapat muncul dari berbagai sumber dan dapat mempengaruhi satu sama lain.
Dalam mengelola risiko, karakteristik-karakteristik tersebut harus dipertimbangkan dengan
cermat untuk memastikan bahwa risiko dikelola dengan efektif dan efisien.

3. Identifikasi risiko adalah proses mengidentifikasi semua kemungkinan risiko yang mungkin terjadi
dalam suatu organisasi atau kegiatan. Langkah-langkah dalam identifikasi risiko meliputi:
1. Identifikasi sumber risiko: Identifikasi semua sumber risiko yang mungkin terjadi dalam suatu
kegiatan. Sumber risiko dapat berasal dari sumber internal seperti sistem, proses, atau pegawai,
atau sumber eksternal seperti perubahan kebijakan pemerintah atau situasi pasar yang tidak
terduga.

2. Analisis risiko: Analisis risiko dilakukan untuk menilai seberapa sering risiko terjadi, seberapa
besar dampaknya, dan apakah risiko tersebut dapat dikelola dengan tepat. Analisis risiko dapat
dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak khusus atau dengan melakukan diskusi
kelompok untuk mengidentifikasi risiko.

3. Penilaian risiko: Setelah risiko diidentifikasi dan dianalisis, langkah selanjutnya adalah menilai
risiko dengan memberikan nilai pada probabilitas terjadinya risiko dan dampak yang mungkin
terjadi jika risiko tersebut terjadi.

4. Pengendalian risiko: Setelah risiko dinilai, langkah selanjutnya adalah mengendalikan risiko
dengan mengambil tindakan untuk mengurangi dampak negatif dari risiko tersebut.
Pengendalian risiko dapat dilakukan dengan mengurangi kemungkinan terjadinya risiko atau
mengurangi dampaknya.

5.Pemantauan risiko: Langkah terakhir dalam identifikasi risiko adalah pemantauan risiko secara
terus-menerus untuk memastikan bahwa tindakan yang telah diambil efektif dalam mengurangi
risiko dan apabila ada risiko baru yang muncul, maka dapat diidentifikasi kembali dan diambil
langkah pengendalian yang sesuai.

4. Pengendalian risiko adalah salah satu cara pengelolaan risiko yang dilakukan dengan mengambil
tindakan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya risiko atau dampak dari risiko yang terjadi.
Berikut adalah langkah-langkah dalam pengendalian risiko:

1. Identifikasi risiko: Langkah pertama dalam pengendalian risiko adalah mengidentifikasi risiko
yang ada. Risiko dapat diidentifikasi dengan melakukan analisis risiko yang meliputi identifikasi
sumber risiko, kemungkinan terjadinya risiko, dan dampak yang akan ditimbulkan jika risiko
terjadi.

2. Evaluasi risiko: Setelah risiko diidentifikasi, langkah selanjutnya adalah mengevaluasi risiko.
Evaluasi risiko dilakukan untuk menentukan tingkat risiko yang harus diatasi. Tingkat risiko dapat
ditentukan dengan melihat kemungkinan terjadinya risiko dan dampak yang ditimbulkan jika
risiko terjadi.

3. Perencanaan: Setelah tingkat risiko ditentukan, langkah selanjutnya adalah merencanakan


cara untuk mengendalikan risiko. Perencanaan ini meliputi penentuan tindakan yang harus
diambil untuk mengurangi kemungkinan terjadinya risiko atau dampak dari risiko yang terjadi.

4. Implementasi: Setelah perencanaan dilakukan, langkah selanjutnya adalah


mengimplementasikan tindakan yang telah direncanakan. Implementasi tindakan harus
dilakukan dengan cermat dan efektif agar dapat mengurangi risiko yang ada.
5. Monitoring dan pengawasan: Setelah tindakan diimplementasikan, langkah selanjutnya adalah
memonitor dan mengawasi tindakan yang telah dilakukan. Monitoring dan pengawasan
dilakukan untuk memastikan bahwa tindakan yang diambil efektif dalam mengendalikan risiko.

6. Evaluasi: Setelah tindakan diimplementasikan dan dipantau, langkah terakhir adalah


mengevaluasi efektivitas dari pengendalian risiko yang telah dilakukan. Evaluasi dilakukan untuk
mengetahui apakah tindakan yang telah diambil telah berhasil mengendalikan risiko atau tidak.

Dengan mengikuti langkah-langkah di atas, pengendalian risiko dapat dilakukan dengan efektif
dan efisien. Namun, penting untuk diingat bahwa pengendalian risiko hanyalah salah satu cara
pengelolaan risiko dan tidak selalu dapat menghilangkan risiko sepenuhnya.

5. Manajer Risiko dan Departemen/Divisi/Bagian Sumber Daya Manusia (SDM) perlu bekerja sama
dalam mengelola risiko yang berkaitan dengan karyawan dan tenaga kerja. Berikut ini adalah
beberapa contoh cara kerja sama antara Manajer Risiko dan Departemen/Divisi/Bagian SDM:

1. Identifikasi risiko karyawan: Manajer Risiko dan Departemen/Divisi/Bagian SDM dapat bekerja
sama dalam mengidentifikasi risiko yang berkaitan dengan karyawan, seperti risiko kesehatan dan
keselamatan kerja, risiko hukum terkait ketenagakerjaan, atau risiko reputasi yang berkaitan dengan
perilaku karyawan.

2. Penilaian risiko karyawan: Setelah risiko teridentifikasi, Manajer Risiko dan


Departemen/Divisi/Bagian SDM dapat bekerja sama dalam mengevaluasi tingkat risiko dan
dampaknya terhadap karyawan dan perusahaan. Misalnya, risiko kecelakaan kerja dapat
dievaluasi dengan mempertimbangkan tingkat keparahan cedera dan biaya yang terkait dengan
kecelakaan.

3. Pengelolaan risiko karyawan: Setelah risiko dievaluasi, Manajer Risiko dan


Departemen/Divisi/Bagian SDM dapat bekerja sama dalam merencanakan dan
mengimplementasikan tindakan untuk mengelola risiko yang ada. Sebagai contoh, tindakan
pencegahan kecelakaan kerja dapat dilakukan dengan menyediakan pelatihan keselamatan kerja
atau peralatan keselamatan yang memadai.

4. Pengawasan dan pemantauan: Setelah tindakan diimplementasikan, Manajer Risiko dan


Departemen/Divisi/Bagian SDM dapat bekerja sama dalam memantau dan mengevaluasi
efektivitas dari tindakan yang telah diambil. Misalnya, pengawasan dapat dilakukan dengan
melakukan pemeriksaan berkala terhadap peralatan keselamatan kerja dan memastikan bahwa
karyawan mematuhi prosedur keselamatan kerja yang sudah ditetapkan.

5. Pelaporan dan evaluasi: Manajer Risiko dan Departemen/Divisi/Bagian SDM dapat bekerja
sama dalam melaporkan hasil evaluasi dan tindakan yang telah diambil kepada manajemen
perusahaan. Pelaporan ini dapat digunakan sebagai bahan evaluasi untuk memperbaiki program
pengendalian risiko yang ada.
Contoh konkret dari kerja sama antara Manajer Risiko dan Departemen/Divisi/Bagian SDM
adalah pengelolaan risiko kesehatan dan keselamatan kerja di lingkungan kerja. Manajer Risiko
dan Departemen/Divisi/Bagian SDM dapat saling berkolaborasi dalam melakukan identifikasi
risiko, mengevaluasi risiko, merencanakan dan mengimplementasikan tindakan, serta melakukan
pengawasan dan pelaporan hasilnya. Dengan bekerja sama, kedua departemen dapat
memastikan bahwa lingkungan kerja aman dan sehat bagi karyawan serta meminimalkan risiko
kecelakaan kerja.

6. Kerugian potensial dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori, yaitu:

1. Kerugian Finansial: Kerugian finansial adalah kerugian yang berkaitan dengan keuangan
perusahaan, seperti kerugian akibat kerusakan atau hilangnya aset, biaya penggantian, biaya
hukum, atau biaya asuransi.

2. Kerugian Operasional: Kerugian operasional adalah kerugian yang berkaitan dengan


operasional perusahaan, seperti kerugian akibat kesalahan manusia, kesalahan sistem atau
teknologi, atau kegagalan dalam menjalankan proses bisnis.

3. Kerugian Reputasi: Kerugian reputasi adalah kerugian yang berkaitan dengan citra atau
reputasi perusahaan, seperti kerugian akibat publikasi negatif, tuduhan atau gugatan hukum,
atau kegagalan dalam memenuhi tanggung jawab sosial perusahaan.

4. Kerugian Kepatuhan: Kerugian kepatuhan adalah kerugian yang berkaitan dengan pelanggaran
peraturan atau kebijakan, seperti kerugian akibat sanksi atau denda, reputasi buruk, atau
tuntutan hukum.

5. Kerugian Lingkungan: Kerugian lingkungan adalah kerugian yang berkaitan dengan dampak
perusahaan terhadap lingkungan, seperti kerugian akibat pencemaran, degradasi lingkungan,
atau dampak perubahan iklim.

6. Kerugian Kesehatan dan Keselamatan: Kerugian kesehatan dan keselamatan adalah kerugian
yang berkaitan dengan kesehatan dan keselamatan karyawan atau konsumen, seperti kerugian
akibat kecelakaan, cedera, atau penyakit.

Klasifikasi kerugian potensial ini penting dalam proses identifikasi risiko karena dapat membantu
manajer risiko memahami jenis-jenis risiko yang mungkin terjadi dalam perusahaan. Hal ini
memungkinkan manajer risiko untuk memprioritaskan risiko yang paling signifikan dan
mengambil tindakan pencegahan atau pengendalian yang sesuai untuk mengurangi risiko
tersebut.

7. Retensi dalam pengelolaan risiko adalah keputusan untuk menahan atau menanggung risiko
secara langsung oleh perusahaan, tanpa mentransfer risiko tersebut ke pihak lain seperti
asuransi atau kontraktor. Dalam melakukan retensi, perusahaan memutuskan untuk
menanggung risiko tersebut dengan menggunakan sumber daya internal, seperti dana yang
disediakan dalam anggaran atau cadangan keuangan.

Berikut adalah beberapa langkah dalam melakukan retensi:

1. Identifikasi risiko: Langkah pertama dalam melakukan retensi adalah mengidentifikasi risiko
yang ada. Risiko tersebut kemudian dinilai untuk menentukan apakah risiko tersebut dapat
ditanggung oleh perusahaan atau harus ditransfer ke pihak lain.

2. Penentuan batas retensi: Setelah risiko diidentifikasi, perusahaan perlu menentukan batas
retensi, yaitu batas maksimum yang akan ditanggung oleh perusahaan. Batas retensi ini harus
dipertimbangkan dengan cermat, karena jika risiko melampaui batas retensi, maka perusahaan
harus menanggung kerugian yang lebih besar dari yang diperkirakan.

3. Penentuan strategi retensi: Setelah menentukan batas retensi, perusahaan perlu menentukan
strategi retensi yang akan digunakan. Strategi retensi dapat berupa penggunaan dana cadangan
atau aset perusahaan lainnya untuk menanggung risiko tersebut.

4. Pemantauan dan evaluasi: Setelah strategi retensi diimplementasikan, perusahaan perlu


melakukan pemantauan dan evaluasi secara berkala untuk memastikan bahwa risiko yang
ditanggung masih berada dalam batas retensi dan dana cadangan masih cukup.

Pertimbangan perusahaan dalam mengambil keputusan retensi antara lain:

1. Tingkat risiko: Perusahaan harus mempertimbangkan tingkat risiko yang ada dan apakah risiko
tersebut dapat ditanggung oleh perusahaan atau harus ditransfer ke pihak lain.

2. Biaya: Perusahaan perlu mempertimbangkan biaya yang terkait dengan retensi risiko, seperti
biaya dana cadangan dan biaya operasional untuk mengelola risiko tersebut.

3. Kapasitas finansial: Perusahaan perlu mempertimbangkan kapasitas finansial yang dimiliki


untuk menanggung risiko yang ditetapkan dalam batas retensi.

4. Tingkat kepercayaan: Perusahaan harus memiliki tingkat kepercayaan yang cukup tinggi dalam
kemampuan mereka untuk menangani risiko yang ditanggung melalui retensi.

Jika perusahaan memutuskan untuk melakukan retensi, maka perusahaan harus memastikan
bahwa mereka memiliki kemampuan dan sumber daya yang cukup untuk menangani risiko
tersebut. Perusahaan juga harus mempertimbangkan untuk mengambil tindakan pencegahan
atau pengendalian untuk mengurangi risiko serta melakukan pemantauan dan evaluasi secara
berkala untuk memastikan bahwa risiko yang ditanggung masih berada dalam batas retensi dan
dalam kendali perusahaan.
8. Risk financing adalah cara perusahaan membiayai risiko yang dimilikinya. Risk financing dapat
dilakukan melalui beberapa cara, yaitu:

1. Transfer risiko: Perusahaan dapat mentransfer risiko kepada pihak lain, seperti asuransi atau
kontraktor. Dalam hal ini, perusahaan membayar premi atau biaya kontrak kepada pihak yang
menerima risiko tersebut.

2. Retensi risiko: Perusahaan dapat menahan risiko atau menanggung risiko secara langsung
dengan menggunakan sumber daya internal, seperti cadangan keuangan atau dana yang
disediakan dalam anggaran.

3. Penyebaran risiko: Perusahaan dapat menyebar risiko dengan melakukan diversifikasi investasi
atau melakukan bisnis di berbagai sektor untuk mengurangi efek risiko pada satu sektor.

4. Pendanaan risiko: Perusahaan dapat menggunakan instrumen keuangan, seperti obligasi atau
saham preferen, untuk membiayai risiko yang dimilikinya.

Cara penanggulangan risiko yang termasuk dalam risk financing meliputi:

1. Asuransi: Asuransi adalah cara transfer risiko yang paling umum. Perusahaan membayar premi
kepada perusahaan asuransi untuk menanggung risiko tertentu, seperti risiko kebakaran,
pencurian, atau kecelakaan.

2. Dana cadangan: Perusahaan dapat menyiapkan dana cadangan untuk menangani risiko yang
terjadi. Dana cadangan ini dapat digunakan untuk membayar kerugian atau biaya yang terkait
dengan risiko yang terjadi.

3. Pembiayaan luar: Perusahaan dapat memperoleh pembiayaan dari pihak luar, seperti bank
atau investor, untuk menangani risiko tertentu. Pembiayaan ini dapat digunakan untuk
memperkuat cadangan keuangan atau untuk membayar kerugian.

4. Perjanjian kontrak: Perusahaan dapat membuat perjanjian kontrak dengan pihak lain untuk
menangani risiko tertentu. Misalnya, perusahaan dapat membuat perjanjian kontrak dengan
kontraktor untuk menangani risiko konstruksi atau dengan pemasok untuk menangani risiko
pasokan.

5. Instrumen keuangan: Perusahaan dapat menggunakan instrumen keuangan untuk membiayai


risiko tertentu. Misalnya, perusahaan dapat menerbitkan obligasi untuk memperoleh dana yang
dapat digunakan untuk menangani risiko tertentu.

Dalam melakukan risk financing, perusahaan harus mempertimbangkan keuntungan dan


kerugian dari masing-masing cara pembiayaan risiko dan memilih cara yang paling tepat untuk
mengelola risiko yang dimiliki.
9. Pengukuran risiko adalah langkah penting dalam manajemen risiko untuk menetapkan tingkat
risiko dan membantu perusahaan dalam mengambil keputusan. Terdapat beberapa dimensi yang
diukur dalam pengukuran risiko, yaitu:

1. Probabilitas: Dimensi ini mengukur seberapa besar kemungkinan suatu risiko terjadi.
Probabilitas dapat diukur dengan menggunakan data historis atau analisis statistik untuk
memprediksi kemungkinan terjadinya risiko.

2. Dampak: Dimensi ini mengukur seberapa besar kerugian atau dampak yang akan ditimbulkan
jika risiko terjadi. Dampak dapat diukur dengan menggunakan metode kuantitatif atau kualitatif,
seperti nilai aset yang terancam, biaya penggantian, atau reputasi yang terganggu.

3. Frekuensi: Dimensi ini mengukur seberapa sering risiko terjadi dalam periode waktu tertentu.
Frekuensi dapat diukur dengan menggunakan data historis dan menghitung jumlah kejadian risiko
dalam periode waktu tertentu.

4. Durasi: Dimensi ini mengukur waktu yang diperlukan untuk mengatasi risiko atau dampak
yang ditimbulkan jika risiko terjadi. Durasi dapat diukur dengan menggunakan data historis atau
perkiraan waktu yang dibutuhkan untuk mengatasi risiko.

5. Toleransi risiko: Dimensi ini mengukur tingkat risiko yang dapat ditoleransi oleh perusahaan.
Toleransi risiko dapat ditetapkan berdasarkan kebijakan perusahaan atau standar industri yang
berlaku.

6. Kategori risiko: Dimensi ini mengukur jenis risiko yang terkait dengan suatu kegiatan atau
aktivitas. Kategori risiko dapat mencakup risiko finansial, operasional, reputasi, lingkungan,
kesehatan dan keselamatan, atau risiko kepatuhan.

7. Skala: Dimensi ini mengukur tingkat risiko yang dihadapi oleh perusahaan dalam skala yang
berbeda-beda, seperti risiko yang dihadapi oleh departemen atau proyek tertentu, risiko yang
dihadapi oleh perusahaan secara keseluruhan, atau risiko yang dihadapi oleh industri atau sektor
tertentu.

Pengukuran risiko yang dilakukan perusahaan harus mencakup beberapa dimensi tersebut agar
dapat memberikan gambaran yang lengkap tentang risiko yang dihadapi oleh perusahaan dan
memungkinkan perusahaan untuk mengambil keputusan yang tepat dalam manajemen risiko.

10 . Mekanisme transfer risiko dengan non-asuransi adalah cara untuk mentransfer risiko kepada
pihak lain tanpa melalui perusahaan asuransi. Berbeda dengan transfer risiko dengan asuransi,
transfer risiko dengan non-asuransi tidak melibatkan pembayaran premi tetapi mungkin
melibatkan biaya kontrak atau biaya lainnya. Beberapa contoh mekanisme transfer risiko dengan
non-asuransi adalah sebagai berikut:

1. Kontrak: Perusahaan dapat menyelesaikan perjanjian kontrak dengan pihak lain yang
mengalihkan risiko pada pihak tersebut. Misalnya, perusahaan dapat menyelesaikan kontrak
dengan kontraktor untuk membangun proyek yang mengalihkan risiko konstruksi pada
kontraktor.
2. Pemisahan risiko: Perusahaan dapat memisahkan risiko tertentu dari bisnis inti mereka dan
mentransfer risiko tersebut ke pihak lain. Misalnya, perusahaan dapat membentuk anak
perusahaan yang secara khusus menangani risiko tertentu, seperti risiko lingkungan atau risiko
pasokan.

3. Hedging: Perusahaan dapat melakukan hedging, yaitu melindungi aset atau liabilitas mereka
dari perubahan harga atau nilai tukar. Misalnya, perusahaan dapat membeli opsi atau kontrak
berjangka untuk melindungi aset atau pendapatan mereka dari fluktuasi harga pasar.

4. Joint venture: Perusahaan dapat membentuk joint venture dengan pihak lain untuk membagi
risiko dan memperluas kemampuan mereka. Misalnya, perusahaan dapat membentuk joint venture
dengan perusahaan lain untuk memasuki pasar baru secara bersama-sama dan membagi risiko yang
terkait dengan masuk ke pasar baru.

5. Outsourcing: Perusahaan dapat mengalihkan risiko pada pihak ketiga dengan melakukan
outsourcing. Misalnya, perusahaan dapat mengalihkan risiko keamanan teknologi informasi
mereka pada penyedia layanan keamanan teknologi informasi yang terpercaya.

Mekanisme transfer risiko dengan non-asuransi dapat membantu perusahaan untuk mengurangi
risiko dan melindungi aset mereka tanpa harus membayar premi asuransi. Namun, perlu diingat
bahwa mekanisme ini mungkin melibatkan biaya kontrak atau biaya lainnya dan perusahaan
harus mempertimbangkan biaya-biaya tersebut dalam mengambil keputusan transfer risiko.

Anda mungkin juga menyukai