Anda di halaman 1dari 39

PANDUAN

MANAJEMEN RISIKO PUSKESMAS

UNIT PELAKSANA TEKNIS


PUSAT KESEHATAN MASYARAKAT KECAMATAN ALAS

TAHUN 2022
I. DEFINISI
A. Risiko adalah kemungkinan terjadinya suatu peristiwa yang berdampak negatif
terhadap pencapaian sasaran organisasi.
B. Manajemen Risiko adalah proses yang proaktif dan kontinu meliputi identifikasi,
analisis, evaluasi, pengendalian, informasi komunikasi, pemantauan, dan
pelaporan Risiko, termasuk berbagai strategi yang dijalankan untuk mengelola
Risiko dan potensinya.
C. Proses Manajemen Risiko adalah suatu proses yang bersifat berkesinambungan,
sistematis, logis, dan terukur yang digunakan untuk mengelola Risiko di instansi.

II. RUANG LINGKUP


A. Identifikasi risiko
B. Prioritas risiko
C. Pelaporan risiko
D. Manajemen risiko
E. Investigasi terhadap insiden yang terjadi baik pada pengguna layanan, petugas
keluarga dan pengunjung
F. Manajemen terkait tuntutan (klaim)

III. TATA LAKSANA


A. IDENTIFIKASI RISIKO
Setiap pemilik risiko harus mengidentifikasi sumber risiko, area dampak,
peristiwa (termasuk perubahan keadaan), penyebabnya dan konsekuensi
potensi risiko. Tujuan dari langkah ini adalah untuk menghasilkan daftar lengkap
risiko berdasarkan peristiwa yang mungkin mendukung, meningkatkan,
mencegah, menurunkan, mempercepat atau menunda pencapaian tujuan.
Metode identifikasi risiko dilakukan dengan metode Risk Breakdown Structure
(RBS), Control Risk Self Assesment (CRSA), Failure Mode and Effect Analysis
(FMEA) atau metode lainnya.
Untuk melaksanakan identifikasi risiko di lingkungan kerja masing-masing,
dilakukan dengan langkah sebagai berikut:
1. Memahami dan mengidentifikasi kegiatan utama unit kerja.
2. Mengidentifikasi tujuan dari masing-masing kegiatan tersebut.
3. Mengumpulkan data dan informasi tentang risiko yang mungkin terjadi atas
kegiatan tersebut, baik risiko yang pernah terjadi maupun yang belum pernah
terjadi.
4. Mencari penyebab dari risiko-risiko yang telah diidentifikasi untuk
mendapatkan penyebab utamanya.
5. Mengidentifikasi apakah penyebab tersebut sifatnya dapat dikendalikan
(controllable) atau tidak dapat dikendalikan (uncontrollable) bagi unit kerja.
6. Mengidentifikasi dampak jika risiko tersebut terjadi.
7. Mengisi hasil butir (a) - (f) dalam formulir identifikasi risiko dan
memperbaharui setiap saat terjadi pernyataan risiko.
ldentifikasi pernyataan risiko dapat dilakukan dengan mendasarkan pada
hasil penilaian risiko sebelumnya dengan penyelarasan terhadap
perkembangan situasi lingkungan internal dan eksternal yang terjadi.

Output identifikasi risiko yaitu:


1. Identifikasi Risiko terhadap kejadian /Insiden yang sudah terjadi
didokumentasikan dalam Register Risiko. Sedangkan risiko yang
2. belum terjadi dan berpotensi menimbulkan kejadian/ insiden
didokumentasikan pada Identifikasi Daftar Potensi Risiko

B. PRIORITAS RISIKO
Prioritas risiko diperoleh setelah melakukan analisis dan evaluasi risiko.
1. Analisis risiko
Analisis risiko melibatkan pengembangan akan pemahaman risiko. Analisis
risiko memberikan masukan mengambil risiko untuk dilakukan evaluasi dan
keputusan apakah risiko perlu ditangani, dan pada strategi risiko dan metode
penanganan yang paling tepat. Analisis risiko juga dapat memberikan
masukan dalam membuat keputusan dan pilihan yang melibatkan berbagai
jenis dan tingkat risiko. Analisis risiko melibatkan pertimbangan penyebab
dan sumber risiko, konsekuensi positif dan negatif, dan kemungkinan bahwa
mereka konsekuensi dapat terjadi. Faktor-faktor yang mempengaruhi
konsekuensi dan kemungkinan harus diidentifikasi. Risiko dianalisis dengan
menentukan konsekuensi dan kemungkinan potensi dan atribut lain dari
risiko. Suatu peristiwa bisa menimbulkan konsekuensi ganda dan dapat
mempengaruhi berbagai tujuan. Pengendalian yang ada, efektivitas dan
efisiensi juga harus diperhitungkan. Cara menyajikan konsekuensi dan
kemungkinan dan cara menggabungkan untuk menentukan tingkat risiko
harus mencerminkan jenis risiko, informasi yang tersedia, tujuan dan hasil
penilaian risiko untuk digunakan dan harus konsisten dengan kriteria risiko.
Hal ini juga penting untuk mempertimbangkan saling ketergantungan risiko
yang berbeda dan sumber yang ada.
Kepercayaan dalam penentuan tingkat risiko dan kepekaan terhadap
prasyarat dan asumsi harus dipertimbangkan dalam analisis, dan
dikomunikasikan secara efektif kepada para pembuat keputusan dan,
pemangku kepentingan lainnya jika diperlukan. Analisis risiko dapat dilakukan
dengan berbagai tingkat secara rinci, tergantung pada risiko, tujuan analisis,
dan informasi, data dan sumber daya yang tersedia. Analisis dapat bersifat
kualitatif, semi kuantitatif atau kuantitatif, atau kombinasi dari, tergantung
pada keadaan. Konsekuensi dan kemungkinan potensi risiko dapat
ditentukan dengan memodelkan hasil dari suatu peristiwa atau serangkaian
peristiwa, atau dengan ekstrapo/asi dari studi eksperimental atau dari data
yang tersedia. Konsekuensi dapat dinyatakan dalam dampak berwujud dan
tidak berwujud. Dalam beberapa kasus, lebih dari satu nilai numerik atau
deskripsi yang diperlukan untuk menentukan konsekuensi dan kemungkinan
potensi risiko untuk waktu, tempat, kelompok atau situasi yang berbeda.

Untuk melaksanakan analisis risiko di lingkungan kerja masing-masing,


dengan urutan langkah sebagai berikut:
a. Dapatkan data hasil identifikasi risiko.
b. Lakukan evaluasi atas kecukupan disain dan penyelenggaraan sistem
pengendalian intern yang sudah ada.
c. Ukur tingkat probabilitas terjadinya risiko.
d. Ukur tingkat besaran dampak jika risiko terjadi.
e. Hitung tingkat/level risiko, yaitu perkalian probabilitas dengan dampak.
f. Buat peringkat risiko untuk menentukan apakah risiko tersebut termasuk
risiko sangat rendah, rendah,sedang, tinggi atau sangat tinggi.
g. lsikan hasil langkah (a) s.d. (f) ke dalam formulir analisis risiko
h. Dari risiko-risiko tersebut di atas, selanjutnya dibuat peta risiko.

Perangkat yang dibutuhkan dalam melakukan analisis risiko adalah sebagai


berikut:
a. Tabel Kemungkinan (Probabilitas) terdiri atas:
b. Tabel Dampak (Konsekuensi) terdiri dari:
c. Kebijakan Skala Risiko:
Level Risiko ditentukan berdasarkan atas 2 (dua) elemen atau dimensi,
yaitu level kemungkinan terjadinya risiko dan level dampak (konsekuensi)
risiko. Kedua dimensi tersebut harus dikombinasikan dan diperhitungkan
secara bersamaan dalam penentuan level Risiko. Level kemungkinan
terjadinya risiko, level dampak, dan level risiko masing- masing
menggunakan 5 (lima) skala tingkatan (level). Penentuan level risiko
beserta dengan urutan prioritasnya menggunakan matriks analisis risiko
sebagai berikut:

Matriks Analisis Risiko


d. Kategori Risiko
Kategori Risiko sangat penting dalam menjamin identifikasi Risiko yang
komprehensif dan pengikhtisaran atau pelaporan Risiko. Kategori Risiko
disusun sesuai dengan kondisi lingkungan organisasi. Kategori Risiko
minimal di puskesmas adalah sebagaimana tabel berikut:

e. Kategori Dampak
Kategori dampak sangat penting dalam menjamin identifikasi risiko yang
komprehensif dan pengikhtisaran atau pelaporan risiko. Kategori dampak
disusun sesuai dengan kondisi lingkungan organisasi. Kategori dampak
minimal di puskesmas adalah sebagaimana tabel berikut:
f. Selera Risiko
Selera Risiko merupakan kebijakan yang menjadi acuan dalam
menentukan apakah suatu Risiko perlu ditangani atau tidak. Selera Risiko
mencerminkan bagaimana organisasi menyeimbangkan efisiensi,
pertumbuhan, hasil, dan risiko.

2. Evaluasi Risiko
Evaluasi risiko adalah proses membandingkan antara hasil analisa risiko
dengan kriteria risiko untuk menentukan apakah risiko dapat diterima atau
ditoleransi. Tujuan evaluasi risiko adalah untuk membantu dalam membuat
keputusan, berdasarkan hasil analisis risiko, berkaitan dengan risiko yang
memerlukan prioritas penanganannya.

Evaluasi risiko menggunakan perbandingan tingkat risiko yang ditemukan


selama prosedur analisis dengan kriteria risiko yang dibuat ketika konteksnya
ditetapkan. Berdasarkan perbandingan ini, penanganan perlu
dipertimbangkan. Keputusan harus mempertimbangkan konteks yang lebih
luas dari risiko dan mencakup pertimbangan toleransi risiko yang ditanggung
oleh pihak lain selain manfat risiko bagi organisasi. Keputusan harus dibuat
sesuai dengan persyaratan hukum, peraturan dan lainnya. Dalam beberapa
situasi, evaluasi risiko dapat menyebabkan keputusan untuk melakukan
analisa lebih lanjut.

Evaluasi risiko juga dapat menyebabkan keputusan untuk tidak


memperlakukan risiko dengan cara lain selain mernpertahankan
pengendalian yang ada. Keputusan ini akan dipengaruhi oleh karakteristik
risiko organisasi dan kriteria risiko yang telah ditetapkan. Hasil evaluasi
Risiko berisi urutan prioritas Risiko dan daftar Risiko yang akan ditangani.

C. PELAPORAN RISIKO

D. MANAJEMEN RISIKO
Manajemen risiko adalah suatu proses mengenal, mengevaluasi,
mengendalikan, dan meminimalkan risiko dalam suatu organisasi secara
menyeluruh (NHS).
1. Lingkup manajemen risiko dalam pelayanan kesehatan:
a. Risiko yang terkait dengan pelayanan pasien atau kegiatan pelayanan
kesehatan: adalah risiko yang mungkin dialami oleh pasien atau sasaran
kegiatan UKM, atau masyarakat akibat pelayanan yang disediakan oleh
FKTP, misalnya: risiko yang dialami pasien ketika terjadi kesalahan
pemberian obat.
b. Risiko yang terkait dengan petugas klinis yang memberikan pelayanan:
adalah risiko yang mungkin dialami oleh petugas klinis ketika memberikan
pelayanan, misalnya perawat tertusuk jarum suntik sehabis melakukan
penyuntikan.
c. Risiko yang terkait dengan petugas non klinis yang memberikan
pelayanan: adalah risiko yang mungkin dialami petugas non klinis, seperti
petugas laundry, petugas kebersihan, petugas sanitasi, petugas lapangan
ketika melaksanakan kegiatan pelayanan.
d. Risiko yang terkait dengan sarana tempat pelayanan: adalah risiko yang
mungkin dialami oleh petugas, pasien, sasaran kegiatan pelayanan,
masyarakat, maupun lingkungan akibat fasilitas pelayanan.
e. Risiko finansial: adalah risiko kerugian finansial yang mungkin dialami
oleh FKTP akibat pelayanan yang disediakan.
f. Risiko lain diluar 5 (lima) risiko di atas: adalah risiko-risiko lain yang tidak
termasuk pada lingkup risiko a. sampai dengan e., misalnya kecelakaan
ambulans, kecelakaan kendaraan dinas yang digunakan.
2. Tahapan manajemen risiko:
Tahapan manajemen risiko dimulai dengan menetapkan lingkup manajemen
risiko, dilanjutkan dengan kajian risiko: mengenal risiko, menganalisis risiko,
mengevaluasi risiko, dan diakhiri dengan menentukan tindakan terhadap
risiko. Setiap tahapan proses manajemen risiko harus dikomunikasikan dan
dikonsultasikan pada pihak-pihak yang berkepentingan. Tiap tahapan
manajemen risiko perlu dimonitor, diaudit, ditinjau, dan memerlukan
dukungan internal.

Gambar: Proses Manajemen Risiko


a. Menetapkan lingkup manajemen risiko:
Lingkup manajemen risiko yang akan dianalisis harus ditetapkan terlebih
dahulu, misalnya: risiko yang terkait dengan pelayanan pasien, risiko yang
terkait dengan pelayanan UKM, risiko yang terkait dengan staf klinis, risiko
yang terkait dengan staf lain, risiko yang terkait dengan fasilitas.
b. Mengenal risiko.
Setelah menentukan lingkup manajemen risiko, misalnya risiko terkait
dengan pelayanan pasien, maka tahap berikutnya adalah mengenali
risiko-risiko apa saja yang mungkin terjadi dalam pelayanan pasien.
Disusun daftar risiko-risiko yang mungkin atau pernah terjadi (register
risiko)
c. Kajian risiko:
1) Kajian tingkat keparahan (severity assessment) risiko:
Jika diidentifikasi ternyata terdapat sekian banyak risiko maka dapat
dilakukan kajian tingkat keparahan risiko dari risiko-risiko yang dikenali
tersebut, demikian juga jika terjadi suatu kejadian, maka dapat dikaji
tingkat keparahan dari insiden tersebut.
2) Root Cause Analysis(RCA): Jika terjadi suatu insiden yang masuk
kategori risiko ekstrem dan risiko tinggi, maka tim KP perlu dilakukan
investigasi lebih lanjut, jika kejadian termasuk risiko rendah atau risiko
minimal maka dilakukan investigasi sederhana oleh atasan langsung
3) Failure Modes and Effects Analysis: Untuk memperbaiki suatu proses
pelayanan agar minim dari risiko dapat dilakukan analisis dengan
menggunakan instrument FMEA
d. Evaluasi risiko:
Setiap risiko atau kejadian harus dievaluasi apakah memerlukan tindak
lanjut atau tidak.Jika perlu tindak lanjut maka harus disusun rencana
tindak lanjut terhadap risiko atau kejadian tersebut.
e. Menyusun rencana dan melaksanakan tindakan/treatment terhadap risiko.
Jika dari hasil evaluasi diperlukan tindak lanjut terhadap risiko, maka perlu
disusun rencana aksi yang berisi kegiatan-kegiatan yang perlu dilakukan
untuk mengatasi akibat risiko dan melakukan tindakan pencegahan agar
tidak terjadi insiden terkait dengan risiko tersebut.

1) Pengendalian Risiko
Ada lima urutan dalam pengendalian risiko dalam K3. Diantaranya
adalah:

a) Eliminasi
Seperti namanya, eliminasi adalah pengendalian risiko K3 untuk
mengeliminir atau menghilangkan suatu bahaya. Misalnya saja
ketika di tempat kerja kita melihat ada oli yang tumpah atau
berceceran maka sesegera mungkin kita hilangkan sumber bahaya
ini. Eliminasi merupakan puncak tertinggi dalam pengendalian
risiko dalam K3. Karena apabila bahaya sudah dihilangkan maka
sangat kecil kemungkinan akan mengancam pekerja. Hierarki
pengendalian risiko ini adalah yang paling utama. Sebab, dengan
menghilangkan risiko kecelakaan maka sangat mungkin
kecelakaan tidak akan terjadi kembali. Oleh karena itu, kita perlu
melakukan eliminasi.
Studi kasus eliminasi:
Anda adalah seorang safety officer. Saat itu, Anda melihat mesin
tua yang dijalankan dengan tidak optimal. Padahal mesin tersebut
berpotensi untuk meledak suatu saat. Maka cara paling ampuh
untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan menghilangkan
mesin tersebut dari jangkauan lalu kita harus membeli mesin yang
baru. Dalam hal ini sumber bahaya telah tereliminasi.
b) Substitusi
Substitusi adalah metode pengendalian risiko yang berfokus pada
penggantian suatu alat atau mesin atau barang yang memiliki
bahaya dengan yang tidak memiliki bahaya. Contoh kasusnya
adalah pada mesin diesel yang terdapat kebisingan tinggi, maka
sebaiknya kita mengganti mesin tersebut dengan yang memiliki
suara lebih kecil agar tidak menimbulkan bahaya kebisingan
berlebih. Substitusi dilakukan apabila proses eliminasi sudah tidak
bisa dilakukan.
Studi Kasus substitusi :
Masih dalam kasus yang sama, anggap saja Anda melihat ada
mesin yang berbahaya jika terus beroperasi. Akan tetapi, untuk
mengganti mesin tersebut perusahaaan tidak memiliki dana karena
harganya mahal. Padahal mesin tersebut rusak pada bagian tangki
minyaknya yang suatu saat jika terjadi kebocoran bisa akibatkan
kebakaran. Sebagai safety officer, Anda harus tahu langkah
selanjutnya jika proses eliminasi tidak bisa dijalankan yaitu
substitusi.

Tangki minyak bisa Anda ganti dengan tangki yang baru tanpa
harus mengganti semua elemen mesin secara keseluruhan.
Dengan begitu, bahaya jadi lebih terorganisir. Akan tetapi,
dahulukanlah mengganti keseluruhan mesin.

c) Engineering control
Engineering control adalah proses pengendalian risiko dengan
merekayasa suatu alat atau bahan dengan tujuan mengendalikan
bahayanya. Engineering control kita lakukan apabila proses
substitusi tidak bisa dilakukan. Biasanya terkendala dari segi biaya
untuk penggantian alat dan bahan oleh karena itu, kita melakukan
proses rekayasa engineering. Contoh kasusnya adalah ketika di
tempat kerja ada mesin diesel yang memiliki suara bising. Akan
tetapi, kita tidak bisa menggantinya dengan yang lain maka kita
harus memodifikasi sedemikian rupa agar suara tidak keluar secara
berlebihan.

Studi Kasus Engineering Control:


Masih membahas yang tadi, yaitu kasus mesin yang tangkinya
bocor. Anggaplah perusahaan Anda sedang collapse dan tidak
punya dana untuk mengganti tangki tersebut, sebagai orang K3
jangan diam berpangku tangan dan membiarkan hal tersebut
terjadi. Anda bisa melakukan engineering control yaitu dengan
menambal bagian yang bocor tersebut dengan bantuan teknisi las.
Dengan menambal bagian tersebut, kebocoran bisa teratasi secara
sementara.

d) Administrasi
Langkah ini adalah terkait dengan proses non teknis dalam suatu
pekerjaan dengan tujuan menghilangkan bahaya. Proses non
teknis ini diantaranya seperti pembuatan prosedur kerja,
pembuatan aturan kerja, pelatihan kerja, penentuan durasi kerja,
penempatan tanda bahaya, penentuan label, pemasangan rambu
dan juga poster. Contoh kasusnya adalah apabila di tempat kerja
ada mesin diesel yang mengeluarkan kebisingan berlebih dan
sudah tidak bisa direkaya secara teknis maka langkah yang harus
dilakukan adalah pembatasan jam kerja, pembuatan prosedur,
pemasangan tanda bahaya dan lain sebagainya. Dengan tujuan,
pekerja tidak berlebihan terpapar kebisingan.

Studi Kasus Administrasi:


Langkah selanjutnya adalah dengan memberikan sentuhan
administrasi pada bahaya. Anda bisa membuat sign atau rambu-
rambu pada mesin tersebut agar tidak digunakan lebih dari sekian
jam atau tidak boleh lebih dari batas normal. Anda juga harus
membuat SOP agar pekerja tahu kapan harus mengecek secara
berkala mesin tersebut.
e) APD
APD atau alat pelindung diri adalah hierarki pengendalian risiko
terakhir dalam K3. Pengendalian ini banyak digunakan karena
sederhana dan murah. Akan tetapi, proteksi yang diberikan tidak
sebaik langkah di atas. APD tidak menghilangkan sumber bahaya
sehingga proteksi yang diberikan tergantung dari individu masing-
masing yang memakai. Contoh APD adalah helm, earmuff, safety
gloves dan lainnya.

Studi Kasus APD :


Langkah terakhir adalah dengan selalu menggunakan APD. Tapi
jangan jadikan APD sebagai prioritas pengendalian masalah. Anda
harus benar-benar memprioritaskan hierarki di atas sebelum
menggunakan APD. Karena APD tidak benar-benar menghilangkan
bahaya.

2) Kesiapan Risiko
Kesiapan risiko dikategorikan menjadi:
No Kesiapan/Sistem Skor
1. Peraturan ada, fasilitas ada, dilaksanakan/ 1
Persiapan sangat bagus/ Solid
2. Peraturan ada, fasilitas ada, tidak selalu 2
dilaksanakan/ Good
3. Peraturan ada, fasilitas ada, tidak 3
dilaksanakan/Fair
4. Peraturan ada, fasilitas tidak ada, tidak 4
dilaksanakan/Poor
5. Tidak ada peraturan/None 5

3) Kontrol Risiko
Kontrol risiko adalah tindakan memodifikasi risiko selain dari aspek
dampak/hasil. Strategi reduksi dan mitigasi dapat berupa kontrol risiko
(Risk control) dan pembiayaan risiko (Risk Financing)
Kontrol risiko terdiri dari:
a) Menghindari risiko (risk avoidance),
b) Mencegah kerugian (Loss Prevention - Frequency)
c) Mereduksi kerugian//dampak (Loss Reduction – Severity)
d) Segregasi dan Transfer Kontraktual yang bukan Asuransi
(Contractual non Insurance) misalnya dengan konsinyasi.
4) Pembiayaan risiko (Risk Financing) adalah memindahkan risiko
kepada pihak lain melalui pembiayaan, misalnya: asuransi kebakaran.

3. Perangkat manajemen risiko:


Beberapa perangkat yang sering digunakan dalam melaksanakan
manajemen risiko adalah sebagai berikut;
a. Kajian tingkat keparahan risiko (severity assessment): Kajian ini dilakukan
untuk menentukan tingkat keparahan risiko, dengan memperhatikan dua
variable, yaitu dampak risiko (severity), dan kemungkinan terjadinya
(probability).
b. RCA
Root Cause Analysis (RCA) adalah suatu proses untuk mengekplorasi
semua faktor yang mungkin berhubungan dengan suatu kejadian dengan
menanyakan apa kejadian yang terjadi, mengapa kejadian tersebut
terjadi, dan apa yang dapat dilakukan untuk mencegah kejadiatan
tersebut terjadi lagi di masa mendatang.
c. Failure Mode and Effect Analysis (FMEA):
Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) merupakan suatu pendekatan
untuk mengenali dan menemukan kemungkinan terjadinya kegagalan
pada sistem dan strategi untuk mencegah terjadinya kegagalan tersebut.
FMEA digunakan untuk mengkaji suatu desain atau prosedur secara rinci
dengan cara mengenali model-model kegagalan atau kesalahan yang
mungkin terjadi pada suatu proses, melakukan penilaian terhadap setiap
model tersebut, mencari akar penyebab terjadinya, mengenali akibat dari
model-model tersebut, dan mencari solusi dengan melakukan perubahan
desain atau prosedur. Jadi hasil akhir dari FMEA adalah disusunnya
disain baru atau prosedur baru.
Adapun langkah-langkah menggunakan FMEA adalah sebagai berikut:
1) Membentuk tim FMEA yang terdiri dari orang-orang yang menjadi
pemilik proses.
2) Menetapkan tujuan analisis, keterbatasan yang dimiliki tim tersebut,
dan menyusun jadwal kegiatan tim untuk melaksanakan FMEA
3) Menetapkan peran dari setiap anggota tim saat melakukan analisis
dengan FMEA.
4) Menggambarkan alur proses yang ada sekarang.
5) Mengenali model-model kegagalan atau kesalahan pada proses
tersebut.
6) Mengenali penyebab terjadinya kegagalan atau kesalahan untuk
setiap model tersebut.
7) Mengenali akibat dari kegagalan untuk setiap model tersebut.
8) Melakukan penilaian terhadap setiap model kegagalan atau
kesalahan.
9) Menghitung Risk Priority Number (RPN).
10) Menentukan batasan (cut-off point) RPN untuk menentukan urutan
prioritas dari model-model yang diidentifikasi
11) Menyusun kegiatan untuk mengatasi (design actions/ solution).
12) Menentukan cara memvalidasi untuk menilai keberhasilan solusi yang
direncanakan.
13) Menggambarkan alur proses yang baru.

Penilaian terhadap setiap model kegagalan pada langkah 8 dilakukan


dengan memerhatikan tiga variabel (sumber: Goodman, S.L., The Basic of
FMEA 1996), yaitu:
1) Sering tidaknya terjadi (O = occurrence) dengan skala pengukuran 1
sampai 10: dari tidak pernah terjadi sampai dengan sangat sering
terjadi. Panduan untuk menentukan sering tidaknya terjadi, dapat
digunakan skala berikut ini:

2) Kegawatan (S = severity) dengan skala pengukuran 1 sampai 10: dari


tidak gawat sampai dengan sangat gawat.Sebagai panduan dapat
digunakan skala berikut ini:
3) Kemudahan untuk dideteksi (D= detectability) dengan skala
pengukuran 1 sampai 10: dari paling mudah dideteksi sampai dengan
sangat sulit dideteksi.

4) Risk Priority Number (RPN) pada langkah 9 dihitung dengan


mengalikan Occurrence dengan Severity dan Detectable. Jadi, RPN
= O x S x D.
Tidak semua model harus diselesaikan, melainkan harus
diprioritaskan. Untuk memprioritaskan dapat dilakukan dengan
menggunakan diagram Pareto, dengan langkah sebagai berikut:
Membuat tabel bantu untuk membuat diagram Pareto, sebagai berikut:

a) Urutkan model-model tersebut dari nilai RPN tertinggi ke nilai RPN


terendah
b) Hitung kumulatif dari nilai RPN dari tiap model
c) Hitung persentase kumulatif dari nilai RPN pada tiap model
d) Perhatikan model dengan persentase kumulatif 80 %
e) Tetapkan nilai RPN pada persentase kumulatif 80 % tersebut
sebagai cut off point.

Failure Mode and Effect Analysis dilakukan menggunakan tabel


berikut:

E. INVESTIGASI TERHADAP INSIDEN YANG TERJADI BAIK PADA PENGGUNA


LAYANAN, PETUGAS KELUARGA DAN PENGUNJUNG
Investigasi adalah pengkajian lebih lanjut laporan insiden dengan mencatat
kronologis kejadian, mengidentifikasi masalah baik masalah asuhan pelayanan
pasien (Care Management Problem (CMP) maupun masalah pelayanan (Service
delivery Problem (SDP), mencatat staf yang terlibat dan menentukan siapa yang
akan diinterview.
Pembatasan kejadian yang diinvestigasi tergantung pada bagian dalam proses
pelayanan yang akan ditelusuri seperti kondisi pasien, kapan dan dimana insiden
terjadi.

Investigasi insiden dibagi dalam tiga tingkat yaitu:


1. Investigasi Sederhana (Concise investigation, Simple investigation, Simple
RCA).
2. Investigasi Komprehensif (Comprehensive Investigation RCA)
3. Investigasi Sentinel yang berdampak Nasional

1. INVESTIGASI SEDERHANA
FORM INVESTIGASI SEDERHANA
(UNTUK BANDS WARNA BIRU DAN HIJAU)

Insiden :
Kronologi Kejadian :
Masalah:
a. Care Management :
Problem (CMP)
b. Service Delivery Problem :
(SDP)
Penyebab Langsung Insiden :
Akar Masalah Insiden :
Faktor Kontributor :
a. Komponen :
b. Sub Komponen :

No. REKOMENDASI PENANGGUNG TANGGAL


JAWAB

No. RENCANA TINDAKAN PENANGGUNG TANGGAL


JAWAB

PJ / KOORDINATOR RUANG TANGGAL INVESTIGASI

Nama : Mulai :

Tanda Tangan : Selesai :

PENANGGUNG JAWAB MUTU Tanggal:

Investigasi Lengkap :  Ya  Tidak

Diperlukan Investigasi Lebih :  Ya  Tidak


Lanjut
Hasil Grading Ulang :  Hijau  Kuning  Merah
2. INVESTIGASI KOMPREHENSIF RCA

1) Identifikasi Insiden
a. Tentukan Insiden “what happened” atau “what nearly happened”
b. Buat pernyataan insiden dengan mengacu pada what is wrong and
focuses on the outcome, NOT why the outcome occurred.
c. Gunakan Tools brainstorming
Contoh Insiden (Sentinel event)
a) Dokter bedah melakukan operasi pada bagian tubuh yang salah
b) Pasien bunuh diri dengan cara gantung diri di kamar mandi
c) Pasien meninggal akibat salah pemberian obat

Identifikasi insiden untuk diinvestigasi


Alasan suatu insiden harus diinvestigasi secara detail:
a) masalah serius / membahayakan pasien / RS
b) masalah potensial untuk pembelajaran dalam unit atau
c) organisasi yang lebih luas.

RCA wajib dilakukan pada keadaan:


a) Semua kematian yang tidak diharapkan
b) Semua insiden yg diduga mengakibatkan cedera permanen,
kehilangan fungsi atau kehilangan bagian tubuh
2) Pilih Tim Investigator
a) Perlu orang yang expert untuk melakukan investigasi suatu insiden
serius.(Terlatih dengan AAM) Idealnya Tim terdiri dari 3-4 orang.
b) Penting mengidentifikasi anggota tim dengan keterampilan berbeda
dan komit terhadap waktu investigasi. Untuk insiden serius Tim
investigasi dapat dibebas tugaskan dari pekerjaan rutinnya agar dapat
fokus pada investigasi insiden dan analisis.
c) Tim ideal untuk investigasi insiden serius / Sentinel Event dapat terdiri
dari:
1. Orang yang expert dalam investigasi insiden dan analisis
2. External expert (misalnya seorang yang tidak berlatar belakang
medis)
3. Senior Management expert (misalnya: Direktur Medis, Direktur
Keperawatan)
4. Senior Clinical expertise (contoh: Direktur Medis atau Konsultan
senior)
5. Seseorang yang mengetahui unit atau departeman dengan baik,
walau orang tersebut tidak langsung terlibat insiden.

3) Kumpulkan data
a) Observasi langsung
Kunjungan langsung untuk mengetahui keadaan, posisi, hal-hal yang
berhubungan dengan insiden. (Foto, gambar, Video, gambaran layout
dimana orang dan alat, lakukan rekonstruksi)
b) Dokumentasi
Untuk mengetahui apa yang terjadi sesuai data, observasi dan
inspeksi.
Tujuan pengumpulan informasi pada tahap ini:
1. Mengamankan informasi untuk memastikan dapat digunakan
selama investigasi dan jika kasus disidangkan di pengadilan
2. Identifikasi kebijakan dan prosedur yang relevan
3. Menggambarkan insiden secara akurat
4. Mengorganisasi informasi
5. Memberikan petunjuk pada Tim Investigasi
Semua bukti yang berhubungan dengan insiden sebaiknya
dikumpulkan sesegera mungkin.
1. Semua catatan medis (misal : cat keperawatan, medis, dan lain-
lain)
2. Hasil pemeriksaan yang berhubungan & penunjang diagnosis misal
Xray, CT Scan)
3. Dokumentasi dan formulir mengenai insiden (Incident Report)
4. Kebijakan & Prosedur (SOP)
5. Integrated care pathway yg berhubungan
6. Pernyataan-pernyataan dan observasi
7. Lakukan interview dengan siapa saja yang terlibat insiden
8. Bukti fisik ( contoh: tata ruang bangsal, dan lain-lain)
9. Daftar staf yg terlibat
10. Informasi mengenai kondisi yang dapat mempengaruhi insiden
(contoh: pergantian jaga, ada tidaknya staf yang terlatih, dan lain-
lain)
c) Interviews
Untuk mengetahui kejadian secara langsung untuk pengecekan pada
hasil observasi dan data dokumentasi (Tape, Notes)

4) Petakan Informasi Kronologi Insiden


Sangat membantu bila kronologi insiden dipetakan dalam sebuah bagan.
Ada berbagai macam cara :
a) Kronologi Narasi
Kronologi insiden sangat berguna pada laporan akhir insiden
b) Tabular Timeline
Sama dengan Timeline tetapi lebih detail menginformasikan Good
practice, CMP.
Merupakan pengembangan Timeline yang berisi 3 data dasar :
tanggal, waktu, cerita kejadian asal dan dilengkapi 3 data lain yaitu :
informasi tambahan, praktek yg baik (good practice) dan masalah /
CMP / SDP
 Kapan digunakan Tabular Timeline ?
Pada tiap tipe insiden. Berguna pada kejadian yang berlangsung
lama
 Bagaimana melengkapi Tabular Timeline ?
Mengisinya seperti garis waktu diagram, dimana waktu dan tanggal
kejadian kemudian pada baris berikutnya diisi kejadian, informasi
tambahan, Good Practice dan masalah.
Nilai Positif :
 Membantu pemeriksaan dengan memetakan kronologi dalam
bentuk diagram sehingga mudah dibaca.
 Teknik ini memudahkan identifikasi kekurangan secara cepat.
 Tambahan informasi dapat dimasukkan tanpa perlu merubah
format.
Nilai Negatif :
• Beberapa orang lebih suka pada pemetaan kasus karena lebih
fleksibel dan dinamis.

c) Time Person Grids


Memungkinkan untuk melacak gerak / kehadiran orang sebelum dan
sesudah insiden.
 Alat pemetaan tabular yang dapat membantu pencatatan
pergerakan orang (Staf, Dokter, pengunjung, pasien dll) sebelum,
selama dan sesudah kejadian.
 Membantu investigator mengetahui keberadaan seseorang pada
saat kejadian /insiden.

Kapan menggunakan Time Person Grid ?


 Jika dalam suatu Insiden terdapat keterlibatan banyak orang dalam
kejadian tersebut dan Investigator ingin memastikan keberadaan
mereka dalam insiden
 Berguna pada keadaan jangka pendek
 Dapat dipetakan ke dalam garis waktu sehingga dapat dipakai
untuk mengetahui kerangka waktu spesifik yang lebih detil

Bagaimana melengkapi Time Person Grid?


• Buatlah tabel yang berisi beberapa baris dan kolom
• Dari tabel tersebut, kolom sebelah kiri berisi daftar staf yang terlibat
• Kolom berikutnya berisi perjalanan waktu (jam, menit) pada baris
atasnya
• Kemudian pada baris dibawah waktu berisi keterangan tempat atau
kegiatan staf yang terlibat

Nilai positif:
 Dapat digunakan pada waktu yang pendek
 Dapat mengidentifikasi keberadaan seseorang dan adanya celah
informasi
 Pemetaan dapat dalam bentuk garis waktu yang efektif
Nilai negatif:
 Hanya dapat digunakan pada waktu yang pendek
 Orang tidak dapat selalu mengingat waktu dimana ia berada
 Terfokus pada individu
5) Identifikasi Masalah CMP (Care Management Problem) / SDP (Service
Delivery Problem)
a) Masalah yang terjadi dalam Insiden bisa diakibatkan karena asuhan
pasien (Care Management Problem (CMP) dan masalah pelayanan
kepada pasien (Service Delivery Problem (SDP).
b) Tim investigator akan mengidentifikasi CMP/ SDP untuk mengetahui
serangkaian masalah yang mengakibatkan insiden
c) Masalah yang terjadi dalam pelayanan baik itu melakukan tindakan
(commision) atau tidak melakukan tindakan yang seharusnya
(ommission)
d) Suatu insiden bisa terdiri dari CMP dan SDP atau hanya salah satu
CMP / SDP.

Prinsip dasar CMP :


a) Pelayanan yang menyimpang dari standar pelayanan yang ditetapkan
b) Penyimpangan memberikan dampak langsung atau tak langsung pada
adverse event.
Adverse event yang berdampak pada pasien baik langsung / tidak
langsung
Misalnya: Kegagalan dalam observasi / tindakan, Penanganan yang
tidak tepat, Tidak mencari bantuan saat dibutuhkan, Kesalahan dalam
menggunakan peralatan, Kesalahan memberikan pengobatan
Beberapa tehnik / instrumen untuk mengungkapkan CMP yaitu:
a) Brainstorming
b) Brainwriting
c) NGT

6) Analisis Informasi
Tools untuk Identifikasi Proximate & Underlying Cause:
• 5 Why
• Change Analysis
• Barrier Analysis
• Fish bone
• Flow chart
• Cause and Effect analysis
Tools untuk Identifikasi Proximate & Underlying Cause
a) 5 Why
Untuk secara konstan bertanya mengapa? Melalui lapisan penyebab
sehingga mengarah ke akar permasalahan dari problem yang
teridentifikasi.
Kapan menggunakan teknik ini?
i. Untuk menanyakan setiap penyebab masalah yang teridentifikasi
dan untuk mengidentifikasi :
• Gejala (Symptom),
• Proximate cause
• Faktor-faktor yang berpengaruh (an influencing factor) atau
• Akar masalah (root cause).
ii. Untuk melanjutkan pencarian akar masalah yang sebenarnya,
meskipun telah diketahui kemungkinan penyebab.

b) Change Analysis
Digunakan untuk menganalisa proses yang tidak bekerja sesuai
rencana (Apa dan mengapa berubah ?). Metode sederhana yg dapat
membantu membandingkan proses yang berjalan efektif atau gagal.
 Analisis komparativ
 Apa yang berubah sehingga menimbulkan kejadian / event
 Mencari dampak dari perubahan (potential dan aktual)
Kapan digunakan ?
 Bila suatu sistem / tugas yang awalnya berjalan efektif kemudian
terjadi kegagalan / terdapat sesuatu yg menyebabkan perubahan
situasi
 Mencurigai suatu perubahan yang menyebabkan ketidaksesuaian
tindakan atau kerusakan alat.
Langkah-langkah Analisis Perubahan :
1. Pelajari Prosedur normal : Apa yg seharusnya dilakukan (Kolom
1)
2. Petakan Alur insiden yg terjadi, bandingkan dgn Langkah 1
(Kolom 2)
3. Bandingkan 2 proses apakah ada perbedaan, Apa sebagai
masalah? catat pada kolom yg telah disediakan (Kolom 3)
4. Catat akar masalah untuk perbaikan yang akan dimasukkan
dalam Rekomendasi
c) Barrier Analysis
Penghalang atau kontrol untuk mencegah terjadinya bahaya. Analisa
penghalang didesain untuk mengidentifikasi :
 Penghalang mana yang seharusnya untuk mencegah insiden
 Mengapa penghalang gagal ?
 Penghalang apa yang dapat digunakan untuk mencegah insiden
terulang kembali ?
Ada 4 tipe “barrier” ;
1. Physical barier : misalnya Bar code, pintu dengan akses masuk
terbatas (Card/password), lemari narkotika (double lock)
2. Natural barrier : mis Dx MBO o/ 2 dr & tunggu 6 jam, pemberian
Vincristin & MTX diberikan di hari yang berbeda oleh dua orang
berbeda
3. Human action barrier : memeriksa suhu air sebelum memandikan
pasien, pengecekan “ mark site”, desain nurse station untuk
perawatan pasien penyakit jiwa
4. Administrative barrier : Supervisi & training, double check obat oleh
2 orang dan diberikan paraf.
d) Fish bone
Tiap masalah (CMP/ SDP) dapat berkaitan dengan beberapa faktor
yang dapat memberikan dampak pada timbulnya insiden. Misalnya
motivasi individu kurang, supervisi tim kurang, kebijakan pelatihan
tidak adekuat dan lain-lain. Berbagai metode dapat digunakan untuk
mencatat
faktor kontribusi yang berkaitan dengan CMP / SDP.
Fish Bone / Analisis Tulang Ikan (FAKTOR KONTRIBUTOR-
KOMPONEN – SUBKOMPONEN)
TABEL FAKTOR KONTRIBUTOR
A. FAKTOR STAF
1. Komponen: Faktor kognitif
Subkomponen:
a. Persepsi/pemahaman
b. Berdasarkan pengetahuan/ 1. Kegagalan menganalisis
pemecahan masalah /bertindak berdasarkan
informasi yang tersedia
2. Masalah dengan kausalitas/
penyebab
3. Masalah dengan kompleksitas
2. Komponen: Faktor kinerja/performance
Subkomponen:
a. Kesalahan teknis dalam Kesalahan: slips (konsentrasi
penatalaksanaan terpecah)/lapses (lupa)
(berdasarkan fisik
keterampilan)
b. Kesalahan teknis dalam 1. Kesalahan penerapan aturan/
penatalaksanaan prosedur
(berdasarkan aturan/ 2. Aturan/prosedur yang tidak
prosedur) sesuai
c. Melakukan pemilihan/ seleksi
d. Bias (cenderung 1. Bias review (berasumsi/beropini
berasumsi/ opini tanpa tanpa review)
data/fakta) 2. Bias konfirmasi (berasumsi/
beropini tanpa konfirmasi)
3. Komponen: Faktor tingkah laku
Subkomponen:
a. Masalah perhatian 1. Gangguan konsentrasi
2. Ketidakpedulian
3. Perhatian berlebihan
4. Hilang konsentrasi
b. Kelelahan/keletihan
c. Terlalu percaya diri
d. Ketidakpatuhan
e. Pelanggaran dilakukan secara rutin
f. Perilaku berisiko
g. Perilaku sembrono
h. Sabotase/tindak pidana
4. Komponen: Faktor komunikasi
Subkomponen:
a. Metode komunikasi 1. Tertulis
2. Elektronik
3. Lisan
b. Perbedaan bahasa
c. Awam tentang kesehatan (health literacy)
d. Dengan siapa 1. Dengan staf
2. Dengan pasien
5. Komponen: Faktor-faktor terkait: faktor patologis/penyakit pasien
Subkomponen:
a. Klasifikasi penyakit (ICD IX/ICD X)
b. Masalah penyalahgunaan
6. Komponen: Faktor emosi
7. Komponen: Faktor sosial

B. FAKTOR PASIEN
1. Komponen: Faktor kognitif
Subkomponen:
a. Persepsi/pemahaman
b. Berbasis pengetahuan/ 1. Kegagalan menganalisa/
pemecahan masalah bertindak berdasarkan yang
tersedia
2. Masalah dengan kausalitas
3. Masalah dengan kompleksitas
2. Komponen: Faktor tingkah laku
Subkomponen:
a. Masalah perhatian 1. Gangguan konsentrasi
2. Ketidakpedulian
3. Perhatian berlebihan
4. Hilang konsentrasi
b. Kelelahan/keletihan
c. Terlalu percaya diri
d. Ketidakpatuhan
e. Pelanggaran dilakukan secara rutin
f. Perilaku beresiko
g. Perilaku sembrono
h. Sabotase/tindak pidana
3. Komponen: Faktor komunikasi
Subkomponen:
a. Metode komunikasi 1. Tertulis
2. Elektronik
3. Lisan
b. Perbedaan bahasa
c. Awam tentang kesehatan (health literacy)
d. Dengan siapa 1. Dengan staf
2. Dengan pasien
4. Komponen: Faktor-faktor terkait: faktor patologis/penyakit pasien
Subkomponen:
a. Klasifikasi penyakit (ICD IX/ICD X)
b. Masalah penyalahgunaan
5. Komponen: Faktor emosi
6. Komponen: Faktor sosial

C. FAKTOR EKSTERNAL
1. Komponen: Faktor lingkungan alam
2. Komponen: Faktor produk teknologi infrastruktur
3. Komponen: Faktor pelayanan, sistem, kebijakan

D. FAKTOR FASYANKES
1. Komponen: Faktor kebijakan, prosedur, protokol, proses
2. Komponen: Faktor keputusan organisasi, budaya organisasi
3. Komponen: Faktor kerjasama tim
4. Komponen: Faktor sumber daya/beban kerja

E. FAKTOR LINGKUNGAN
1. Komponen: Faktor lingkungan fisik/ infrastruktur
2. Komponen: Faktor lokasi yang jauh dari fasilitas pelayanan (remote
area)
3. Komponen: Faktor assessment risiko lingkungan/evaluasi
keselamatan lingkungan
4. Komponen: Faktor regulasi/kode yang digunakan saat ini

7. Buat Rekomendasi & Rencana Tindakan Improvement


F. MANAJEMEN TERKAIT TUNTUTAN (KLAIM)

Dalam industri layanan kesehatan dewasa ini yang kompleks dan tak pernah
berhenti berkembang, para profesional kesehatan menghadapi segudang risiko
terkait pekerjaan mereka sehari-hari. Sementara mereka fokus memberikan
pelayanan kesehatan kepada pasien, mereka mungkin tidak menyadari risiko
yang sedang dihadapi. Menurut Asia Care Group, salah satu konsultan
penasihat kesehatan terkemuka, lima kategori risiko di bawah ini adalah
penyebab utama klaim terkait malapraktik medis.

 Diagnosis keliru atau terlambat


 Kelalaian dalam memberi resep obat (salah dosis, reaksi
berbahaya, cara pemakaian yang salah)
 Kelalaian dalam mencatat riwayat medis/kelalaian dalam
menemukan alergi atau intoleransi
 Kelalaian dalam bertindak berdasarkan hasil dengan cara atau
dalam waktu yang tepat
 Follow-up atau manajemen jangka panjang yang tidak memadai
 Komunikasi yang buruk terkait suatu kondisi/prosedur, sehingga
menyebabkan dampak yang membahayakan
 Kesalahan dalam memilih atau melakukan prosedur
 Persiapan sebelum/sesudah operasi yang kurang memadai,
sehingga menyebabkan dampak yang membahayakan (contoh:
operasi pada sisi tubuh yang salah)
 Kelalaian dalam memberikan obat-obat pencegahan penyakit
(prophylactics)

Risiko Proses

 Protokol waktu tunggu yang tidak layak, yang menyebabkan


keterlambatan proses dan membawa dampak yang
membahayakan
 Proses triage yang tidak memadai sehingga menyebabkan
penanganan yang keliru/perawatan yang terlambat
 Tidak adanya pedoman proses klinis
 Tidak adanya protokol keluar/masuk puskesmas
Risiko Teknologi

 Pelanggaran privasi data


 Malfungsi perangkat medis sehingga membahayakan pasien
 Ketidakmampuan dalam mengakses catatan elektronik yang
mengakibatkan riwayat tidak lengkap/tindakan tidak tepat
 Kesalahan entri data
 Kesalahan barcode, yang mengakibatkan pelacakan atau
penggunaan peralatan/obat secara tidak akurat
 Closed Circuit Television (CCTV) di lokasi-lokasi yang dianggap
pribadi bagi pasien

Risiko Kepatuhan

 Kelalaian dalam mematuhi batasan pengendalian obat


 Kelalaian dalam mematuhi peraturan limbah medis
 Kelalaian dalam mendokumentasikan persetujuan pasien
 Kelalaian dalam memenuhi batasan standar kualitas
 Pelanggaran kesehatan dan keselamatan
 Kelalaian dalam menyimpan catatan perawatan peralatan

Risiko Organisasi

 Tidak adanya protokol keselamatan pasien yang memadai,


seperti pengendalian infeksi umum dan kebijakan sterilisasi
ruang operasi
 Tidak adanya kebijakan pengamanan
 Tidak adanya pemeriksaan kredensial/Sumber Daya Manusia
 Tidak adanya pedoman praktik injeksi dan transfusi darah yang
aman
 Tidak adanya pedoman untuk menghormati pilihan budaya dan
agama pasien dalam perawatan medis
IV. DOKUMENTASI

Anda mungkin juga menyukai