Anda di halaman 1dari 4

Tunggaklah Pajak, Kau Kusandera

By Liputan6

on 24 Jul 2003 at 04:45 WIB

Liputan6.com, Jakarta: "Pajak bikin kita enak." Begitu slogan yang dipropagandakan Dik
Doank dan Ucok Baba dalam iklan di televisi. Namun, jargon itu cuma berlaku buat mereka
yang taat membayar pajak. Sebaliknya, wajip pajak (WP) yang membandel bakal menjalani
hukuman paksa badan alias penyanderaan di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta
Selatan. Nah, urusan gijzeling atau penyanderaan ini dikupas tuntas dalam topik dalam
Dialog SCTV yang ditayangkan Rabu (23/6) malam.

Perbincangan yang dimotori Jakarta Lawyers Club ini menampilkan pembicara Dirjen Pajak
Hadi Poernomo, Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Muhammad
Lutfi, hakim agung Laica Marzuki, dan dosen hukum Universitas Indonesia Rudy Satrio.
Dialog berlangsung seru dipandu reporter SCTV Rosianna Silalahi.

Hadi Poernomo mengatakan, institusi yang dipimpinnya sudah berupaya keras menaikkan
pendapatan dari jumlah tunggakan pajak yang mencapai 30 persen. Pasalnya, tak sedikit
wajib pajak yang bermain petak umpet dengan petugas pajak dan yang sudah ketahuan tidak
beritikad baik menyetor kewajibannya pada negara. Berdasarkan Undang-undang Nomor 19
Tahun 2000 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 37 dibuat Surat Keputusan Bersama
(SKB) antara Menteri Keuangan dan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia soal WP
yang nakal dapat dijerat penyanderaan dan diteken pada 25 Juni silam. Dengan
penandatanganan SKB tersebut, maka WP yang tidak kooperatif memenuhi kewajiban
pajaknya, memiliki utang pajak di atas Rp 100 juta, dan sudah berstatus dicegah untuk
bepergian ke luar negeri akan dilakukan penyanderaan atau paksa badan di Lapas Depkeh
dan HAM.

Dia menjelaskan sandera adalah pengekangan sementara terhadap kebebasan penanggung


pajak di rumah tahanan. "Tujuan kita untuk meningkatkan kepatuhan dan pemasukan uang ke
negara," kata Hadi. Konkretnya, kata Hadi, saat ini ada 36 WP bengal yang masuk status
dicegah ke luar negeri. Meski disandera, lelang jalan terus dan mereka tetap akan membayar
denda. "Jadi di samping penyanderaan proses pelelangan jalan terus. Penyaderaan adalah
upaya mereka mau membayar," ujar dia. Yang ditahan adalah WP yang mengemplang di atas
Rp 100 juta. Masa penahanan adalah enam bulan dan dapat diperpanjang maksimal satu
tahun.

"Saya agak kaget juga," kata Lutfi mendengar langkah Dirjen Pajak tersebut. Di mata dia,
ibarat sapi, sebaiknya digemukkan dahulu baru diperas susunya. Artinya, sebelum menarik
pajak, pemerintah lebih dahulu membangun infrastruktur bagi para pengusaha. Pasalnya,
dalam produktivitas yang lesu darah, para pengusaha sulit membayar pajak. "Pada saat ini,
pemerintah itu maunya minta melulu, tapi apa yang dia kasihkan pada bangsa itu jauh dari
pada sempurna," kata Lutfi.

Dia mengakui banyak pengusaha senior yang menunggak pajak. Tapi, Lutfi mengingatkan
juga agar pajak harus berlaku sama antara A, B, atau Z. Sebab, sejauh ini, masalah pajak
dibereskan kasus per kasus. "Justru ini kami mengkhawatirkan kebijakan case per case yang
sifatnya subyektif," kata dia.

Mencermati ini, Rudy Satrio mengingatkan, untuk memutus rantai tersebut, citra para petugas
pajak harus ditingkatkan. Sebab, sebagus apapun UU selama antara petugas pajak dan
pengusaha masih bermain mata maka akan sulit menggenjot pemasukan dari sektor tersebut.
Dia justru melihat upaya penyanderaan menunjukkan keputusasaan karena tak ada lagi sektor
lain yang bisa digenjot untuk menggemukkan kas negara. Karena itu, perilaku aparat pajak
juga mesti diperbaiki, harus lebih bersih, dan transparan. "Jadi itu bukan faktor penentu
berhasilnya hukum, tetapi ada faktor aparat penegak hukumnya yang penting," kata dia.

Menanggapi itu, Laica Marzuki mengatakan, pajak merupakan iuran wajib. Perikatan antara
pemungut pajak dan WP terletak di bidang hukum publik yang bersifat pemaksaan. Ketika
WP menunggak pajak, petugas pajak diberi kewenangan untuk memungut pajak secara
paksa. "Salah satu upaya pemaksaan ini adalah sandera," kata dia.

Memang, pengadilan pernah enggan melaksanakan hukuman paksa badan karena dianggap
tidak sesuai dengan perikemanusiaan. Kemudian disadari bahwa penyanderaan ini adalah
bagian dari penegakan hukum. "Sehingga bila suatu substansi termasuk aturan perpajakan
dilanggar maka ini harus ditegakkan tidak kepalang tanggung," kata anggota MA ini.

Sebenarnya, gizjeling bukan barang baru dalam upaya penagihan pajak. Sejak 1945 sudah
ada aturan soal paksa badan dan diatur dalam dalam Perpu Nomor 19 Tahun 1957 yang
kemudian ditingkatkan menjadi UU Nomor 19 Tahun 1959 tentang penagihan pajak negara
dengan paksa. Kemudian diubah lagi menjadi UU 19/1997 dan diubah ke UU 19/2000 yang
pada pasal 36 yang menyebutkan Peraturan Pemerintah 37 yang melahirkan SKB tersebut.

Para peserta diskusi banyak yang mempersoalkan kemampuan petugas pajak menentukan
seseorang benar-benar beritikad baik. Pasalnya, pada 2000, Mahkamah Agung (MA)
menghidupkan kembali lembaga paksa badan (penyanderaan) terhitung sejak 30 Juni melalui
Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2000. Perma itu mencabut Surat
Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor Tahun 1964 dan Nomor 4 Tahun 1975 serta
menghidupkan kembali lembaga gijzeling. Pada Perma No 1 tahun 2000 Pasal 1 disebutkan,
paksa badan adalah upaya paksa tidak langsung dengan memasukkan seorang debitor yang
tidak beritikad baik ke dalam rumah tahanan negara yang ditetapkan oleh pengadilan untuk
memaksa yang bersangkutan memenuhi kewajibannya.

Hadi tak menyangkal aturan itu. Menurut dia, untuk sampai ke penyanderaan, memerlukan
proses yang tidak asal-asalan. Sesuai UU 19/2000 Pasal 36, setelah memeriksa, Dirjen Pajak
mengeluarkan surat bahwa si WP belum menyetor pajak sekian rupiah dan diberi tenggat 37
hari untuk membayar. Lewat dari itu, akan diberi surat teguran dengan tempo 21 hari. Jika
lewat dari batas waktu tersebut akan diberi kesempatan 14 hari lagi sebelum mengeluarkan
surat paksa. "Surat paksa ini setingkat keputusan pengadilan yang mempunyai hukum tetap,"
kata Hadi, menekankan. "Setelah kita tahu si wajib pajak punya niat tidak baik, dia telah
menjual barangnya, dia akan meninggalkan Indonesia selama-lamanya, dia dipanggil tidak
datang, tidak kooperatif, maka indikatornya sudah cukup," ujar Hadi. Dia menambahkan,
setelah dua hari disandera, pemerintah melakukan permintaan lelang.

Di sisi lain, Rudy melihat, langkah menghajar para penunggak pajak lebih cenderung
menakut-nakutkan masyarakat. Lagipua, dia mempertanyakan kenapa memprioritaskan pada
saksi bukan pada proses pembuktian apakah wajib pajak itu benar-benar tidak beritikad baik.
Lutfi menambahkan, prinsipnya, para pengusaha juga ingin memberikan kontribusi pada
pemerintah. Namun, mereka membutuhkan posisi tawar yang baik. Jangan sampai mereka
justru merasa diperas dengan peraturan baru tersebut. "Pengusaha juga ingin semua
dijalankan dengan ketebukaan sehingga tidak ada dusta di antara kita," kata dia. "Kita diuji
sebagai aparat, kalau salah dapat ancaman," kata Hadi, menantang.

Rudy juga mempersoalkan bagaimana jika setelah disandera ternyata ada kesalahan pada
kantor pajak. Hadi menjawab, jika ada kesalahan, para WP bisa mengadukan pada pengadilan
tata usaha negara. Jika Dirjen pajak terbukti bersalah, mereka akan mengembalikan duit. Dan,
proses hukumnya bisa di tingkat kasasi MA. Namun, sepanjang proses hukum itu tak
menghilangkan sanksi bagi WP. "Surat paksa atau penagihan tidak tertunda akibat
mengajukan upaya banding maupun kasasi," kata dia.

Di akhir pembicaraan, semua pembicara setuju untuk memberi sanksi bagi para
pengemplang. Tentu saja, dengan syarat semua proses dilaksanakan secara terbuka.
Pertanyaannya kapan aturan ini bisa diberlakukan. "Saya harap jangan ditunda lebih lama,"
kata Laica. Sebab, dengan jika langkah ini benar-benar dilaksanakan akan membuat jera WP-
WP lain yang membandel. Sebaliknya, Dirjen Pajak tak mau berani sesumbar tentang
waktunya. "Bisa Agustus Pak," Rosi bertanya. "Wah wallahualam, mudah-mudahan," kata
Hadi diplomatis.(TNA)

http://news.liputan6.com/read/58982/tunggaklah-pajak-kau-kusandera

Anda mungkin juga menyukai