Anda di halaman 1dari 3

PENEGAKAN HUKUM PAJAK

Ketika Presiden Joko Widodo berkunjung ke kantor Direktorat Jenderal Pajak pada 29 Maret 2016, dia
dengan tegas menyatakan “Semua sama. Kalau belum bayar, ya,suruh bayar. Kalau kurang bayar, ya,
suruh bayar.”

Pernyataan Jokowi ini hendak menyatakan semua orang sama di muka hukum (equality before the law).

Ketika pajak menjadi diskusi tak berkesudahan, menjadi wajar jika Presiden memberi dukungan penuh
pada kinerja pajak untuk terus membaik.

Dominasi sumber pajak bagi APBN menjadi taruhan besar kelangsungan pembangunan. Target
penerimaan pajak sebesar Rp1.360 triliun menjadi catatan penting Presiden.

Catatan angka tersebut mestinya bisa direalisasikan jika semua wajib pajak (WP) patuh. Anehnya, dari
27,6 juta wajib pajak orang pribadi yang terdaftar, baru 10,25 juta atau 37,13% melaporkan
penghasilannya. Sungguh ironis kepatuhan pajak masih rendah. Karenanya perlu penegakan hukum di
bidang pajak.

Penegakan hukum pajak bermakna sebagai langkah bagaimana menegakan norma hukum yang terdapat
dalam UU Pajak. UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Nomor 6/1983 (UU KUP) menyatakan
penegakan hukum bisa dilakukan dengan dua cara yaitu, cara administrasi atau pidana.

Pelanggaran hukum dilakukan WP umumnya terjadi dalam dua hal. Pertama, tidak menyampaikan Surat
Pemberitahuan (SPT), dan kedua, menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar. Keduanya merupakan
perbuatan melawan hukum yang perlu ditegakan.

Pada 2016 dicanangkan Ditjen Pajak sebagai ‘Tahun Penegakan Hukum’ bukan semata untuk
meningkatkan kepatuhan tetapi lebih kepada keadilan pajak itu sendiri. Mengapa? Karena tujuan pajak
juga ditujukan pada tujuan keadilan.

Meski disadari bahwa pungutan pajak bukan semata soal jumlah pajak tetapi pada sisi keadilan pajak.
Sejarah pungutan pajak pada masa Raja Salomo atau Sulaiman telah diingatkan supaya pemerintah
memungut pajak dengan adil untuk menegakkan negeri (Kitab Amsal 29:4).

Memahami keadilan pajak sangat mudah dan sangat kentara ketika dua orang yang memiliki
kemampuan sama tetapi membayar pajak dengan jumlah berbeda. Kunci keadilan pajak sangat
sederhana ketika tiap orang membayar pajak sesuai kemampuan finansial yang dimiliki.

Mengapa itu terjadi? Tidak lain karena kesadaran dan kepatuhan pajak berbeda. Supaya keadilan pajak
terwujud, penegakan hukum pantas dilakukan untuk tegaknya negeri seperti disebutkan Raja Salomo di
atas.
Lebih tegas dinyatakan Isa Sindian bahwa pungutan pajak adalah kekuasaan yang berada di tangan
negara yang hukumnya diciptakan negara sendiri. Karenanya harus disertai kepada kesejahteraan umum
sehingga menjelma menjadi keadilan (Pidato Pengukuhan, 1965).

Dasar berfikir Sindian memberi dasar pada sasaran keadilan untuk kemakmuran dan kesejahteraan
bersama. Kalau begitu arahan Jokowi sudah tepat. Mereka yang belum bayar pajak, suruh bayar. Kalau
kurang bayar, ya, suruh bayar.

Ternyata, keadilan pajak tidak semudah membalikan telapak tangan. Kalau begitu, rencana pemerintah
hendak menerjunkan ribuan pemeriksa pajak, menjadi langkah penting supaya penegakan hukum untuk
keadilan pajak bisa dirasakan.

KRIMINALISASI

Menerjunkan ribuan pemeriksa pajak pada prinsipnya tidak dimaksudkan mencari kesalahan. Sepanjang
WP sudah melakukan kewajiban sesuai undang-undang, pemeriksaan tidak perlu ‘ditakuti’ karena
pemeriksaan ditujukan untuk menguji kepatuhan (Pasal 29 UU KUP).

Dalam perspektif hukum, pungutan pajak untuk keadilan merupakan tatanan hukum yang harus ditaati
agar manusia hidup berdampingan. Pungutan pajak yang didasarkan pada keadilan, mesti menjadi titik
sentral segala perbuatan yang dijalankan pemerintah dalam wujud UU (Prins, Putusan MK No.
128/2009).

Persoalannya sekarang, bagaimana memahami penegakan hukum pajak? Semua pihak mestinya setuju
jika koridor hukum sesuai undang-undang pajak menjadi acuan bersama. Jika itu terjadi, praktik
kriminalisasi yang pernah terjadi pada pegawai pajak tidak perlu lagi terjadi.

Kriminalisasi pegawai pajak acapkali menjadi momok penegakan hukum pajak. Kriminalisasi petugas
pajak harus distop/dihentikan. Kekuatan uang tidak boleh menjadi cara mengkerdilkan penegakan
hukum untuk keadilan pajak.

Negara menjadi kerdil dan tidak berwibawa jika kekuatan uang dari WP memberi cara lain bagi
keuntungan dan kepentingan segelintir pihak. Negara akan runtuh jika uang menjadi alat kepentingan
sesaat. Negara hanya akan menjadi ‘boneka’ si pemilik uang dan sangat memalukan bagi kedaulatan
negara.
Dukungan politik Jokowi dengan menginstruksikan kejaksaan dan kepolisian mendukung penegakan
hukum pajak adalah langkah hukum tepat dan amat bijak. Jokowi sangat memahami ketidaknyamanan
pegawai pajak jika kriminalisasi terus berlangsung.

Jaminan Jokowi supaya petugas pajak tidak dikriminalisasi memberi angin segar sekaligus beban amat
berat. Betapa tidak, karena target pajak Rp1.360 triliun mesti dicapai. Kiranya dukungan politik dan
penegakan hukum, tidak sebatas wacana semata, tetapi bisa menjadi harapan dan kenyataan bersama.

Tepatlah jika dikatakan tugas berat menghimpun pajak bukan semata tugas Dirjen Pajak, juga bukan
tugas Menteri Keuangan. Menghimpun pajak adalah juga tugas Presiden dan tugas kita semua. Mari kita
jalani tahun penegakan hukum pajak, supaya negeri ini tetap tegak.

Anda mungkin juga menyukai