Anda di halaman 1dari 9

Tunggak Pajak Rp 4 Miliar, Pengusaha Komputer Divonis 1

Tahun Penjara
Senin, 25 April 2016 | 18:15 WIB KOMPAS

Julianto (baju putih) saat menjalani sidang putusan di Pengadilan Negeri Pontianak (25/4/2016)

PONTIANAK, KOMPAS.com - Pengusaha aksesoris dan peralatan komputer Yulianto (36)


dijatuhi hukuman satu tahun penjara dalam sidang putusan kasus penunggakan wajib pajak di
Pengadilan Negeri Pontianak, Senin (25/4/2016).

Selain itu, Yulianto juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp 377 Juta dalam sidang yang
dipimpin Hakim Bonny Sanggah tersebut.

Kuasa hukum Yulianto, Cecep Priatna mengatakan, pihaknya menerima hasil keputusan hakim, dan
tidak mengajukan banding terhadap putusan tersebut.

"Putusan ini adalah merupakan apreasiasi daripada prinsip keadilan perpajakan terhadap orang yang
diposisikan lebih mengedepankan aspek denda," kata Cecep usai persidangan.

Menurut dia, perhitungan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebesar Rp 4 miliar
bukan hasil penghitungan yang sebenarnya. Penghitungan tersebut, sebutnya, hanya berdasarkan
aspek administrasi, yaitu untuk mencapai target.

"Peradilan ini sistemnya, adalah untuk mencapai kebenaran aspek riil, dia sudah bayar pajak belum
terhadap barang yan dibelinya. Sudah bayar, tetapi pajak melihat selain sisi pidana, juga
menerapkan sisi administrasi, makanya tidak kena," katanya.

Pihak DJP Kalbar, lanjutnya, tidak memasukan aspek data mengenai hasil penjualan
Yulianto. "Logika tidak, kalau kita jual barang dihitung dengan pajak pembelian, kan tidak kena,"
katanya.

Sebelumnya diberitakan, Yulianto diduga dengan sengaja menghindari pajak atas usaha penjualan
komputer. Usaha tersebut dimulai pada 2010 dan 2011. Selama masa itu, Yulianto selaku wajib
pajak, dengan sengaja tidak menyampaikan PPN dan SPPT kepada Direktorat Jenderal Pajak
Kalimantan Barat.
Sementara itu, Kepala Bidang P2 Humas Kanwil DJP Kalbar Taufik Wijiyanto mengatakan, dalam
persidangan tersebut, dari sisi pidana hakim secara tegas menyatakan terdakwa terbukti bersalah
dengan tidak melaporkan kewajiban terkait pajak. Namun, hakim tidak sependapat dengan
perhitungan kerugian negara yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum (JPU) maupun hasil
penghitungan penyidik DJP.

"Atas putusan itu, JPU menyatakan akan mengajukan banding, dan terus terang DJP dalam hal ini
akan berkoordinasi dengan JPU untuk melanjutkan ke tingkat banding," kata Taufik.

Dia mengatakan, pengadilan ini merupakan upaya terakhir yang dilakukan DJP untuk melakukan
penegakan hukum terhadap para penunggak pajak.

"Ini salah satu pelajaran, bahwa mereka yang tidak lapor SPT, atau mereka yang melaporkan SPT
tapi isinya tidak benar, itu ada unsur pidana yang terjadi atas tindakan tersebut," kata Taufik.
Menunggak Rp 5 Triliun, Google Hanya Dipajaki Rp 988 Miliar di Indonesia

KOMPAS.com - Masalah Pajak Google di Indonesia akhirnya menemui titik tengah. Direktorat
Jenderal Pajak (DJP) menawarkan penyelesaian pajak atau tax settlement pada raksasa mesin
pencari tersebut.
Angka kesepakatan dikatakan berkisar 73 juta dollar AS atau setara Rp 988 miliar. Kisaran itu tak
akan melebihi angka yang dipatok, tapi bisa jadi kurang.
"Dipertimbangkan sebagai pengampunan pajak bagi Google," kata Kepala Kanwil Jakarta DJP
Khusus, Muhammad Haniv, sebagaimana dilaporkan WSJ dan dihimpun KompasTekno, Jumat
(25/11/2016).
Sebelumnya, pada September lalu, pemerintah mengatakan Google berutang pajak dan denda
hingga Rp 5 triliun. Angka kesepakatan Rp 988 miliar tentu jauh di bawah patokan awal.
Haniv menjelaskan, asal-usul Rp 988 miliar itu dikarenakan pemerintah sepakat mengampuni denda
Google sebesar Rp 4 triliun. Jika merujuk pada pajak asli Google, perusahaan Mountain View itu
cuma berutang sekitar Rp 1 triliun.
Angka Rp 4 triliun sendiri merupakan denda tunggakan pajak Google sejak 2011 hingga 2015
lalu. Haniv menargetkan permasalahan pajak Google bisa diselesaikan sebelum akhir 2016.
Google belum berkomentar soal kesepakatan yang sudah diumbar Haniv. Sebelumnya, Google
Indonesia menegaskan telah menjalankan kewajiban sebagai perusahaan yang beroperasi di Tanah
Air sesuai porsinya.
Menurut Google, unit usaha di Indonesia hanya sebagai event organizer promosi di bawah
pengawasan Google Asia Pasifik yang berkantor pusat di Singapura. Kantor di Singapura-lah yang
menangani semua kontrak dari pengiklan di Indonesia.
Google sesumbar selama ini rutin membayar pajak unit Indonesia dan menambahkan 8 persen
dari yang dibukukan sebagai laba unit.
Diketahui, transaksi bisnis periklanan digital di Indonesia pada tahun 2015 saja mencapai 850
juta dollar AS atau sekitar Rp 11,6 triliun. Pemerintah mengatakan 70 persen dari angka itu adalah
kontribusi Google dan Facebook.
Pemerintah berharap jika permasalahan dengan Google selesai, penagihan pajak ke perusahaan
asing lain seperti Facebook dan Twitter bisa lebih mudah.
Masalah Pajak Google tak cuma terjadi di Indonesia, namun juga beberapa negara Eropa. Di
Inggris, pada Januari lalu Google sepakat membayar tax settlement sebesar 130 juta poundsterling.
Bagi sebagian orang jumlah tersebut masih sangat kecil dibandingkan pendapatan Google di negeri
itu yang mencapai miliaran poundsterling selama 10 tahun.
TERKAIT KONFLIK PAJAK AIR, LUHUT AKAN PANGGIL
INALUM DAN PEMPROV SUMUT
JUMAT , 13 JANUARY 2017, 04:36 WIB
Rep: Muhyiddin/ Red: Hazliansyah
Republika/Tahta Aidilla

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konflik pajak air permukaan (PAP) antara PT Indonesia


Asahan Alumunium (Inalum Persero) dengan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprov
Sumut) semakin mengerucut. Setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kini Menteri
Koordinator Bidang Kemaritiman RI Luhut Binsar Panjaitan angkat bicara.

Mantan Menkopolhukam itu berencana memanggil kedua belah pihak untuk duduk bersama dan
mencari benang merah dalam permasalahan tersebut. "Keduanya nanti akan kami panggil secara
resmi untuk duduk bersama menyelesaikan permasalahan pajak air permukaan yang masih belum
mencapai titik temu," ujarnya, Kamis (12/1).

Luhut mengungkapkan, pihaknya akan terus mempelajari sejauhmana kasus PAP Inalum ini.
"Untuk kasus PT Inalum akan kita flash back terlebih dahulu, bagaimana pun ini menjadi tanggung
jawab pemerintah," ucapnya.

Yang pasti, lanjut dia, masalah ini harus mencapai titik temu antara PT Inalum dan Pemprov Sumut
yang sudah berlarut-larut.

"Tunggu surat panggilan resminya untuk PT Inalum dan Pemprov Sumut. Semoga setelah kedua
belah pihak didudukkan bersama akan mencapai titik temu dan permasalahan pajak air permukaan
ini dapat segera terselesaikan dengan baik," kata dia.

Direktur Utama PT Inalum Winardi memberikan tanggapan positif terhadap rencana Menko
Kemaritiman untuk memanggil dan mempertemukan pihak Inalum dengan Pemprov Sumut. "Ini
suatu langkah yang sangat bijak dari pemerintah untuk membuat solusi terbaik," ujar Winardi.

Ia menjelaskan, pihaknya sesungguhnya tidak ingin melangkah ke upaya hukum di Pengadilan


Pajak, namun dikarenakan adanya batasan waktu yang tidak boleh terlampaui maka dengan
terpaksa pihak Inalum melakukannya.

"Sebab, bila tidak dilakukan maka Inalum dianggap bisa menerima beban pajak yang ditetapkan
oleh Pemprov Sumut, lha kan beban pajaknya sangat memberatkan dan tidak adil," ucapnya.

Karena itu, tambah Winardi, pihaknya sangat berterima kasih bila ada upaya pemerintah untuk
memfasilitasi pertemuan dan mencari solusi terbaik yang tidak saling merugikan.

"Sekali lagi, kami berterimakasih kepada pemerintah yang akan memfasilitasi mencarikan solusi,"
jelasnya.

Sebagaimana diketahui, sebelumnya Pemerintah Provinsi Sumatera Utara menerapkan tarif pajak
permukaan air permukaan kepada PT Inalum. Pemprov Sumut yang saat itu dinahkodai Gatot Pujo
Nugroho membebani Inalum untuk membayar pajak air permukaan lebih dari Rp 500 miliar.

Muncul tanggapan berbagai pihak menanggapi permasalahan tersebut. Mulai para pakar, Menteri
Keuangan, Menko Perekonomian, anggota DPR, hingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Mereka miris dengan perlakuan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara yang tidak adil terhadap
Inalum. Bahkan, tak sedikit di antara mereka yang mengkhawatirkan Inalum akan jatuh bangkrut
bila pajak air permukaan perusahaan tersebut menembus lebih dari setengah triliun rupiah.
Rabu , 16 Desember 2015, 17:52 WIB REPUBLIKA

TAK BAYAR PAJAK, PENGUSAHA SEPATU DIJEBLOSKAN KE


PENJARA
Rep: C37/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah

REPUBLIKA.CO.ID, BEKASI -- Terjerat kasus hukum tindak pidana perpajakan, seorang


pengusaha pembuatan sepatu di Bekasi, RY (52 tahun) dijebloskan Kejaksaan Negeri Bekasi ke
Lembaga Pemasyarakatan Bulak Kapal, Bekasi Timur, Rabu (16/12). RY diduga menyebabkan
kerugian negara sebesar Rp 1,6 Miliar karena tidak memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan
tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan (SPT PPh) ke instansi
terkait.

"Tersangka tidak membayar PPN dan tidak menyampaikan SPT PPh ke negara pada tahun 2006
lalu, sehingga diduga menimbulkan kerugian sebesar Rp 1,6 miliar," kata Edison, Kepala Bidang
Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jendral Pajak Wilayah Jawa Barat III
di Kejaksaan Negeri Bekasi, Rabu (16/12).

Menurut Edison, perbuatan tersangka telah melanggar UU No. 16 tahun 1983 sebagaimana diganti
dengan UU No. 16 tahun 2000, tentang ketentuan umum perpajakan. Dalam peraturan itu
disebutkan, perusahaan yang memiliki omzet di atas Rp 600 juta per tahun, diwajibkan membuat
SPT PPh dan memungut PPN.

"Tersangka ini pengusaha yag seharusnya wajib mengukuhkan dirinya sebagai pengusaha kena
pajak. Tapi ia tidak melakukan kewajibannya itu,"katanya.

Edison menjelaskan, dalam perkara pajak apabila ditemukan indikasi pelanggaran pajak, terlebih
dahulu petugas akan melakukan himbauan untuk membayar pajaknya. Padahal saat penyelidikan
dimulai sejak 2009, tersangka masih diberikan kesempatan untuk membayar sebelum kasus
dilimpahkan ke pengadilan.
"Penyidik telah melayangkan surat imbauan yang berisi kewajiban memungut PPN dan membuat
SPT PPh terhadap 25 karyawannya. Tapi dengan berbagai alasan dia tidak bayar," ungkap Edison.

Penyidik kemudian menggelar Pengungkapan Ketidakbenaran terhadap tersangka, sebagaimana


Pasal 8 ayat 3 UU KUP. Namun, RY kembali tidak mengacuhkan peraturan yang mewajibkannya
melakukan pelunasan kekurangan pembayaran pajak disertai denda 150 persen.

Karena tersangka masih belum membayar kewajibannya, penyidik kemudian menjerat tersangka
dengan Pasal 44 B KUP. Dalam pasal tersebut, tersangka diwajibkan membayar denda sebanyak
400 persen (4 kali lipat) kepada negara. Hingga beberapa bulan dikenakan pasal itu, RY tetap tidak
melaksanakan kewajibannya.

"Akhirnya penyidik menyerahkan dia ke Kejari Bekasi untuk diproses hukum," katanya.

Penyidik Direktorat Jendral Pajak Jawa Barat III, Nengah Karta menambahkan, kasus ini terungkap
saat petugas memperoleh informasi dari rekan bisnis RY bahwa perusahaan tersebut tidak
melaksanakan kewajibannya.

Berbekal laporan itu, kemudian penyidik mendatangi perusahaan RY di daerah Harapan Indah,
Kecamatan Medan Satria, Kota Bekasi pada 2009 lalu. Dari pemeriksaan itu, terungkap bahwa RY
tidak memungut PPN dan membuat SPT PPh tahun 2006 lalu.

Sementara untuk tahun 2007 hingga 2015, penyidik belum mengetahui apakah pihak yang
bersangkutan mulai melaksanakan kewajibannya atau tidak.
Kasus Pajak BCA Hadi Purnomo
Menggantung di MA
Kamis, 10 Maret 2016, 09:00:00 WIB - Hukum

Kabag Informasi dan Pemberitaan KPK Priharsa Nugraha (kanan) bersama Pelaksana Harian (Plh) Kepala
Humas KPK Yuyuk Andriati Iskak (kiri) memberi keterangan pers mengenai perkembangan kasus korupsi
yang ditangani KPK di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (1/3). (ANTARA)

JAKARTA, GRESNEWS.COM - Masih ingat kasus keberatan pajak PT Bank Central Asia
(BCA) yang melibatkan mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Purnomo? Kasus
ini sempat membuat heboh masyarakat beberapa waktu lalu karena beberapa alasan.

Pertama, Hadi Purnomo ditetapkan sebagai tersangka ketika ia merayakan ulang tahunnya yang ke-
67. Dan hari itu juga bertepatan dengan satu hari sebelum ia menjalani masa pensiun sebagai Ketua
BPK.

Kedua, Hadi Purnomo mengajukan praperadilan atas perkara tersebut. Dengan penuh percaya diri,
Hadi hadir tanpa didampingi pengacara terutama pada saat pembacaan putusan seakan tahu apa
yang akan dibacakan hakim tunggal Haswandi. Benar saja, Haswandi mengabulkan gugatan
tersebut dan memenangkan Hadi Purnomo.

Ketiga, Hadi Purnomo mendapat perlakuan "berbeda" dari yang lain dalam hal ini mantan Walikota
Makassar Ilham Arief Sirajuddin. Ilham juga memenangkan praperadilan namun KPK kembali
menetapkannya sebagai tersangka.

Ilham pun kembali mengajukan gugatan serupa, dan kali ini praperadilannya ditolak oleh hakim.
Sedangkan Hadi Purnomo tidak diperlakukan demikian, KPK menggunakan cara lain yaitu
mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung.

Hal ini pun menimbulkan polemik, pihak Hadi Purnomo menganggap apa yang dilakukan KPK
tidak beralasan. Karena PK hanya bisa diajukan oleh terpidana, ataupun ahli waris, sedangkan KPK
merupakan aparat penegak hukum.
ALASAN KPK TUNGGU PK - Peninjauan Kembali yang diajukan KPK juga hingga ini belum
berujung manis. Meskipun begitu, KPK tetap bersikukuh tetap menunggu putusan PK dari
Mahkamah Agung dan tidak akan membuka Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) baru terhadap
Hadi Purnomo.

"KPK akan menunggu proses PK terlebih dahulu," kata Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi
KPK Priharsa Nugraha kepada gresnews.com, Rabu (9/3).

Priharsa pun mempunyai alasan mengapa tidak kembali menetapkan Hadi Purnomo sebagai
tersangka. "Kami kan gugat keputusan hakim praperadilan agar tidak jadi yurisprudensi, termasuk
pertimbangan-pertimbangan hukumnya," tutur Priharsa.

Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Haswandi mengabulkan gugatan praperadilan yang
diajukan Hadi atas penetapannya sebagai tersangka kasus rekomendasi keberatan pajak terhadap
Bank BCA ketika ia masih menjabat sebagai Direktur Jenderal Pajak.

Salah satu pertimbangan Haswandi adalah penyelidik dan penyidik KPK yang menangani perkara
Hadi bukan berasal dari kepolisian. Karena itu, proses penyelidikan, penyidikan, penyitaan, serta
upaya hukum lainnya oleh KPK terhadap Hadi tidak sah.

Pertimbangan lainnya, Haswandi menyatakan perkara Hadi merupakan pidana administrasi.


Sehingga, perbuatan Hadi tidak termasuk tindak pidana korupsi. Dan penetapan KPK tersebut
dianggap tidak tepat karena pidana administrasi bukan menjadi kewenangan KPK.

TAK ADA KEJELASAN - Mahkamah Agung hingga sekarang belum juga memutuskan pengajuan
tersebut, prosesnya pun hingga kini belum jelas sampai mana hasil pengajuan itu. Padahal, lembaga
pimpinan Agus Rahardjo itu sudah mengajukan sejak Juli 2015 lalu ke Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan.

Memori Peninjauan Kembali memang pada mulanya diajukan ke pengadilan awal, dalam hal ini
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, setelah itu baru ke Mahkamah Agung.

Kepala Humas PN Jakarta Selatan Made Sutrisna mengatakan sudah mengirim memori ini sejak
Februari 2016 lalu. "Sudah dikirim dengan surat tertanggal 16 Februari 2016 dan telah diterima MA
tanggal 19 Februari 2016," kata Made kepada gresnews.com.

Tetapi saat gresnews.com coba menanyakan tentang perkara ini pihak Mahkamah Agung baik
Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Ridwan Mansyur maupun Juru Bicara Suhadi, tidak
memberi jawaban berarti.

Suhadi hanya menanyakan nomor untuk perkara tersebut. Tetapi ketika gresnews.com memberikan
perkara dengan Nomor 11/pid/pk/2015/pn.jaksel, Suhadi tidak lagi memberi jawaban tentang
kelangsungan kasus ini.

Sama halnya dengan Ridwan Mansyur. Ia meminta agar gresnews.com mencari sendiri perkara
tersebut di situs Mahkamah Agung di kolom info perkara. Tetapi setelah ditelusuri, ternyata hasil
PK ini belum juga muncul.

Saat dikonfirmasi mengenai hal ini, Ridwan mengatakan situs itu merupakan informasi satu-satunya
jika ingin mengetahui hasil perkara. Dan jika tidak ada informasi mengenai perkara yang dimaksud
di situs tersebut, maka perkara itu masih dalam proses. "Berarti masih proses, kalau belum ada di
situs MA itu belum putusan. Hanya bisa searching di sistem informasi," tutur Ridwan.

Anda mungkin juga menyukai