Anda di halaman 1dari 777

Panduan Rancangan

INTEGRASI SISTEM BANGUNAN TINGGI


dan KONSTRUKSI BERKELANJUTAN
untuk Arsitek dan Praktisi Bangunan Gedung

JIMMY SISWANTO JUWANA


Jimmy S. Juwana i
PANDUAN RANCANGAN
INTEGRASI SISTEM BANGUNAN TINGGI
dan KONSTRUKSI BERKELANJUTAN

Jimmy S. Juwana i
Panduan Rancangan Integrasi Sistem Bangunan Tinggi
dan Konstruksi Berkelanjutan
Oleh: Jimmy Siswanto Juwana

Diterbitkan pertama kali oleh


Penerbit

Gedung Jakarta Design Center Lt. 7


Jl. Jend Gatot Subroto Kav. 53 – Jakarta Pusat 10260
Email : yk.arsitek.id@gmail.com
Website : https://yk-ai.or.id
Bekerja sama dengan Ikatan Arsitek Indonesia

Hak cipta dilindungi undang-undang


Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku
tanpa izin tertulis dari Penerbit

ISBN 978-623-0900185-0
ISBN Digital

Dicetak oleh Yayasan Kesejahteraan Arsitek Indonesia


Isi di luar tanggung jawab Percetakan

Sanksi Pelanggaran Pasal 113


Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014
tentang Hal Cipta

1. Setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).
2. Setiap orang yang dengan tanpa hal dan/atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta melakukan
pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf
f, untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
3. Setiap orang yang dengan tanpa dan/atau izin pencipta atau pemegang hak cipta melakukan
pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b,
huruf e, dan/atau huruf g untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling
lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).
4. Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk
pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp. 4.000.000.000,- (empat miliar rupiah).

Jimmy S. Juwana ii
Panduan Rancangan Integrasi Sistem Bangunan Tinggi
dan Konstruksi Berkelanjutan
untuk Arsitek dan Praktisi Bangunan Gedung

Jimmy Siswanto Juwana

Penerbit

Jimmy S. Juwana iii


Juwana, Jimmy Siswanto
Panduan Rancangan Integrasi Sistem Bangunan Tinggi
dan Konstruksi Berkelanjutan

untuk Arsitek dan Praktisi Bangunan Gedung


editor, Badan Pendidikan Ikatan Arsitek Indonesia
Jakarta, 14 Juli 2022

Panduan Rancangan Integrasi Sistem Bangunan Tinggi


dan Konstruksi Berkelanjutan
untuk Arsitek dan Praktisi Bangunan Gedung

Hak Cipta @ 2022 pada Penerbit

Berdasarkan perjanjian

Disusun oleh:
Jimmy Siswanto Juwana

Editor:
Badan Pendidikan Ikatan Arsitek Indonesia

Buku ini diset dan di-layout oleh Badan Pendidikan Ikatan Arsitek Indonesia

Desain Sampul: Badan Pendidikan Ikatan Arsitek Indonesia

Percetakan: Yayasan Kesejahteraan Arsitek Indonesia

Dilarang keras mengutip, menjiplak, memfotokopi sebagian atau seluruh isi serta
memperjualbelikannya tanpa izin tertulis dari Penerbit

HAK CIPTA DILINDUNGI OLEH UNDANG-UNDANG

Jimmy S. Juwana iv
This book is dedicated to those people who fight for
their integrity, and stand up for humanity and diversity,
with the highest appreciation to my family and friends

Jimmy S. Juwana v
KATA PENGANTAR

Bangunan tinggi mengalami kemajuan yang pesat sejalan dengan


berkembangnya ilmu teknik bangunan gedung dan teknologi bahan, teknologi
informasi dan komputer serta metode pelaksanaan konstruksi. Ketinggian dan
ragam penampilan bentuknyapun sangat bervariasi dengan gaya arsitektur post
modern, yang dikombinasikan dengan upaya mengejar efisiensi melalui
pendekatan konstruksi berkelanjutan dan konsep bangunan gedung hijau (green
building), bangunan gedung cerdas (smart building), menuju pengurangan jejak
karbon (net zero carbon). Hal ini menjadikan bangunan tinggi menghasilkan
keharmonisan antara estetika arsitektural, dengan keterpaduan dengan aspek
struktural dan utilitas bangunan gedung serta kelestarian lingkungan alam
sekitarnya.

Bangunan tinggi masa kini telah menjadi bagian dari gaya hidup abad milenial
yang merupakan dampak dari pengaruh industri 4.0. Building Information
Modelling (BIM) bukan saja dapat menyajikan gambar rancangan dalam bentuk
tiga dimensi, tetapi juga dapat mengantarkan manusia secara maya untuk dapat
menikmati suasana bangunan gedung dan melewati ruangan-ruangan yang
dirancangnya.

Namun secanggih apapun kemajuan teknologi, arsitek, tanpa berkolaborasi


dengan para ahli struktur dan geoteknik, ahli mekanikal dan elektrikal bangunan
gedung, ahli arsitektur lansekap, dan ahli perencanaan kota dan wilayah,
bangunan tinggi tidak akan berfungsi secara optimal dalam memenuhi standar
keandalan bangunan gedung dan memenuhi fungsi untuk aktivitas manusia di
dalamnya.

Pada tahun 2005 buku Panduan Sistem Bangunan Tinggi diterbitkan dan
diharapkan buku ini dapat saling melengkapi dengan mengintegrasikan sistem
bangunan gedung dan pertimbangan keberlanjutannya.

Pada bab pertama, dibahas hal-hal pokok tentang integrasi sistem bangunan
gedung dalam kaitan dengan regulasi dan Standar Nasional Indonesia (SNI)
yang menjadi acuan dalam merancang bangunan tinggi.

Dalam dua bab berikutnya disajikan hal-hal terkait dengan sistem arsitektural
bangunan tinggi dan pertimbangan serta kriteria rancangan yang diperlukan.

Bab keempat membahas sistem struktural bangunan tinggi, yang meliputi hal-hal
yang perlu diperhatikan dalam merancang struktur atas dan fondasi. Untuk
memberikan gambaran perbedaan antara perubahan dari sistem satuan
centimeter-gram-sekon (cgs)/meter-kilogram-sekon (MKS) ke sistem satuan

Jimmy S. Juwana vi
internasional (SI), terutama terkait dengan beban, tekanan dan daya (Paskal,
Newton, Joule), kedua sistem satuan tetap dicantumkan.

Selanjutnya, pembahasan difokuskan pada sistem mekanikal bangunan gedung,


yang terdiri dari sistem transportasi vertikal dalam gedung, sistem tata udara,
sistem proteksi kebakaran, serta sistem plambing dan pompa mekanik.

Dua bab berikutnya membahas sistem elektrikal bangunan gedung, mulai dari
jaringan komunikasi, tata suara dan sistem alarm, jaringan catu daya listrik,
pencahayaan sampai dengan proteksi petir dan sistem pembumian.
Pembahasan dibagi menjadi dua bab, agar dapat secara lebih jelas
membedakan antara sistem listrik arus lemah dan sistem listrik arus kuat.

Setelah pembahasan yang ada kaitannya dengan sistem bangunan gedung, satu
bab membahas lingkungan sekitar bangunan, dan dilanjutkan dengan
menjelaskan hal-hal terkait anggaran dan penyelenggaraan proyek, termasuk
pemanfaatan Building Information Modeling (BIM) dan hal-hal terkait
keselamatan kerja konstruksi (K3).

Pada bab terakhir dibahas isu keberkelanjutan, mulai dari konsep bangunan
gedung hijau sampai inovasi terkini di bidang bahan bangunan dan komponen
bahan bangunan.

Buku ini disusun untuk memberikan petunjuk praktis dan perkiraan awal bagi
arsitek dan praktisi bangunan gedung untuk merancang bangunan tinggi sesuai
regulasi dan standar teknis. Untuk pengembangan rancangan yang
menghasilkan gambar kerja tetap diperlukan keterlibatan tenaga ahli lain di
bidangnya masing-masing-masing, seperti ahli geoteknik dan struktur bangunan
gedung, ahli mekanikal dan elektrikal untuk bangunan gedung, serta tenaga ahli
lainnya yang terkait pada hal-hal khusus dalam mendukung tercapainya standar
keandalan bangunan gedung dan prinsip konstruksi berkelanjutan.

April 2022

Ir. Ar. Jimmy S. Juwana, MSAE

Jimmy S. Juwana vii


PENGANTAR KETUA UMUM
PENGURUS NASIONAL IKATAN ARSITEK INDONESIA

Perkembangan rancangan arsitektur dan teknologi konstruksi pada rancangan


bangunan tinggi dalam tiga dasa warsa berkembang secara eksponensial,
didukung oleh software yang marak bertumbuh menjadikan rancangan
bangunan tinggi lebih eksploratif. Namun, tanpa pemahaman dasar akan prinsip-
prinsip rancangan dan pemahaman akan substansi integrasi bangunan tinggi
eksplorasi rancangan tidak akan mencapai standar kinerja rancangan bangunan
yang baik dan benar.

Dengan kehadiran Undang-Undang No.6 Tahun 2017 Tentang Arsitek, Profesi


Arsitek diakui oleh Negara sebagai Profesi Teregulasi /Regulated Profession,
yang bermakna semua rancangan seorang Arsitek berkonsekuensi hukum.

Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) berkewajiban memastikan bahwa setiap Arsitek


memiliki standar kompetensi yang sesuai dengan standar kinerja arsitek yang
mumpuni, setara dengan kompetensi yang dimiliki oleh arsitek-arsitek dunia.
Oleh karena itu IAI berkewajiban untuk membina kompetensi Arsitek Indonesia
dalam program pembinaan terstruktur dan terjadwal termasuk dalam
menerbitkan publikasi yang sejatinya akan mendukung hal tersebut.

Ikatan Arsitek Indonesia, menyambut baik Kerjasama penerbitan sebuah karya


dari Ar.Jimmy Siswanto Juwana, Panduan Rancangan Integrasi Sistem
Bangunan Tinggi dan Konstruksi Berkelanjutan, yang merupakan hasil riset dan
pengalaman empiris berharga dan berbagi dengan Arsitek Indonesia. Semoga
keberadaan buku ini akan menjadi salah satu referensi dalam perancangan
bangunan tinggi di Indonesia.

Jakarta, 14 Juli 2022

Ar. Georgius Budi Yulianto, IAI., AA


Ketua Umum
Ikatan Arsitek Indonesia 2021-2024

Jimmy S. Juwana viii


UCAPAN TERIMA KASIH DAN APRESIASI

Pada kesempatan ini ijinkan saya menyampaikan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada jajaran pimpinan dan teman sejawat di Universitas Trisakti
yang memberikan dukungan selama lebih dari 40 tahun sebagai dosen di
Jurusan Arsitektur. Apresiasi dan penghargaan yang setinggi-tingginya juga
ditujukan kepada kawan-kawan dan pejabat publik di pusat dan daerah,
pemegang kebijakan di Kementerian dan Lembaga Negara yang telah
memberikan dukungan, kesempatan dan kepercayaan untuk berpartisipasi di
banyak kegiatan dalam upaya untuk memajukan, mencerdaskan dan
meningkatkan kapasitas (capacity building) masyarakat di hampir seluruh
penjuru Nusantara. Kegiatan tersebut ikut memperkaya khasanah dan substansi
materi bahasan pada buku ini.

Apresiasi dan terima kasih juga saya sampaikan kepada Pengurus Nasional
Ikatan Arsitek Indonesia yang mendukung dan merealisasi penerbitan buku ini
sebagai bagian dari usaha meningkatkan jati diri dan mutu arsitek Indonesia
serta memperluas cakrawala, baik terkait sistem bangunan tinggi maupun
penyelenggaraan bangunan gedung pada umumnya.

Tanpa mengurangi rasa hormat dan terima kasih kepada semua yang telah
memberikan usul, gagasan, masukan, dan kritik, baik dari kalangan akademisi,
pemerintahan, maupun dari asosiasi profesi jasa konstruksi, lembaga swadaya
masyarakat, serta kawan-kawan semasa sekolah, kuliah dan mitra kerja, secara
khusus ucapan rasa syukur dan terima kasih ini saya sampaikan kepada alm. Dr.
(HC) Ir. Suyono Sosrodarsono – Menteri Pekerjaan Umum 1983 – 1988 atas
nasehatnya; alm. Ir.Yan Rambitan dan Wara Harjono, Dipl. Arch. – Pengajar
Jurusan Arsitektur Trisakti; alm. Prof. Maurice L. Albertson, Phd. – Pembimbing
program doktor dari Colorado State University, Ir. Totok Sulistiyanto, MEng –
Wakil Ketua Umum Masyarakat Konservasi & Efisiensi Energi Indonesia; Ir.
Achmad Sutowo Sutopo, MARS, ACPE – Ketua Umum Himpunan Ahli Elektro
Indonesia; Dr. Hari Nugraha Nurjaman, ST, MT – Ketua Umum Ikatan Ahli
Pracetak dan Prategang Indonesia; Prof. Ir. Paulus Purnomo Raharjo, MSc.,
PhD. – Guru Besar Universitas Parahyangan; Ir. Jatmika Adi Suryabrata, MSc,
PhD. – Dosen Universitas Gajah Mada; dan Dr. Wahyu Sujatmiko, ST, MT –
Perekayasa Madya Kementerian Pekerjaan Umum & Perumahan Rakyat, untuk
masukan yang tidak ternilai pada bidang-bidang terkait; serta Ir. Achmad Setianto
yang berjasa menyiapkan buku ini dalam versi Bahasa Inggris.

Secara istimewa saya sampaikan pula rasa hormat dan apresiasi kepada
almarhum orang tua, guru dan dosen yang telah memberikan ilmu dan
pengalaman hidup serta kearifan yang sangat berharga; kepada isteri saya
tercinta, Rosma Said, putri saya Tasya dan Yudith, serta seluruh anggota

Jimmy S. Juwana ix
keluarga, yang tidak jemu-jemu dan terus menerus memberikan dukungan
spiritual sepanjang perjalanan karir saya.

Akhirnya, di atas segalanya, kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa, untuk
segala berkah, rahmat dan karuniaNya, yang Alhamdulillah dalam keterbatasan
pada masa Pandemi Covid 19 ini, masih memberikan kesempatan kepada saya
untuk dapat menyelesaikan buku ini.

Insya Allah buku ini dapat memberikan tambahan informasi yang bermanfaat.
Aamiin YRA.

“… fortis cadere, cedere non potest…”


‘… yang berani dapat jatuh, tetapi dia tidak akan mundur…’

Jimmy S. Juwana x
SEKILAS TENTANG PENGARANG
Jimmy S. Juwana menghabiskan sebagian besar
waktunya di dunia akademik sebagai dosen tetap
di Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Sipil dan
Perencanaan Universitas Trisakti. Di samping itu,
ia sempat mengajar di Jurusan Teknis Sipil
Universitas Tarumanagara, Jurusan Arsitektur
Universitas Mercu Buana dan Universitas Bina
Nusantara, di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi
Trisakti dan Swiss German University. Secara
berkala menjadi dosen tamu di beberapa
Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta di tanah air.

Insinyur Teknik Sipil dari Universitas Trisakti - Jakarta, Akta Mengajar V dari
Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Bandung/Universitas Terbuka, tiga
tahun studi bidang Ekonomi di Fakultas Ekonomi ‘Ekstension’ Universitas
Indonesia, memperoleh Master Science in Architectural Engineering dari
Pennsylvania State University, dan mengambil program Doktor di Universitas
Trisakti dan Colorado State University untuk bidang Sustainable Development
Management. Pengalaman akademis ini memberinya kompetensi profesional di
beberapa bidang, di antaranya: bidang teknik bangunan gedung, arsitektur,
pemeliharaan dan perawatan bangunan gedung, bangunan gedung hijau,
manajemen proyek dan manajemen konstruksi, penyusunan dan
pengembangan kurikulum, pengkaji teknis, serta sebagai manggala penilai ahli.

Duapuluh tahun terakhir ia juga banyak membantu di berbagai Kementerian dan


Lembaga Negara, khususnya di bidang bangunan gedung, pelatihan tenaga
kerja konstruksi, penyusunan kebijakan, percepatan perancangan dan
pembangunan fasilitas pendidikan dan kesehatan, gedung peribadatan, sarana
olah raga, pasar dan penanganan bangunan gedung pasca bencana, serta
mereviu rancangan bangunan gedung negara.

Beberapa karya publikasi, baik secara mandiri maupun bersama, telah


dihasilkan, baik sebagai pengarang, penyusun maupun editor. Aktif di berbagai
kegiatan seminar, loka karya dan penjurian, baik di dalam maupun di luar negeri.

Keikutsertaan dalam berbagai asosiasi profesi dalam skala nasional dan


internasional, serta ikut aktif dalam program pelatihan manajemen, rekayasa,
dan jasa konstruksi, memberikannya bekal pengetahuan dan wawasan serta
jejaring kerja, yang membantunya dalam memberi solusi dan jawaban atas
berbagai masalah yang ada.

Jimmy S. Juwana xi
DAFTAR ISI

Kata Pengantar vi
Pengantar Ketua Umum Pengurus Nasional Ikatan Arsitek Indonesia viii
Ucapan Terima Kasih dan Apresiasi ix
Sekilas tentang Pengarang x
Daftar Isi xii
Daftar Tabel xiii
Daftar Gambar xx
Bab I Pengantar 1
Bab II Sistem Arsitektural 17
Bab III Inti Bangunan Gedung 70
Bab IV Sistem Struktural 99
Bab V Sistem Transportasi Vertikal 168
Bab VI Sistem Tata Udara dan Ventilasi 210
Bab VII Sistem Proteksi Kebakaran 267
Bab VIII Sistem Plambing dan Pompa Mekanik 334
Bab IX Sistem Listrik Arus Lemah 374
Bab X Sistem Listrik Arus Kuat 408
Bab XI Tata Ruang Luar 463
Bab XII Biaya Penyelenggaraan Bangunan 507
Bab XIII Penyelenggaran Proyek 544
Bab XIV Konstruksi Berkelanjutan 591
Lampiran-Lampiran 686
Indeks 724

Jimmy S. Juwana xii


DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Klasifikasi Ketinggian Bangunan .................................................. 7


Tabel 1.2. Beberapa Bangunan Tinggi di Dunia ............................................ 10
Tabel 2.1. Nisbah Luas Bersih terhadap Luas Lantai Kotor ........................... 20
Tabel 2.2. Rancangan Luas Kotor sesuai Fungsi per Unit Okupansi ............. 21
Tabel 2.3. Ketentuan Dasar Rancangan Hotel .............................................. 21
Tabel 2.4. Kategori Hotel dan Jumlah Minimum Kamar................................. 24
Tabel 2.5. Tingkat Kamar Hotel..................................................................... 22
Tabel 2.6. Variasi Jenis Kamar Hotel ........................................................... 23
Tabel 2.7. Ketentuan Dasar Rumah Sakit ..................................................... 24
Tabel 2.8. Pengaturan Parkir ........................................................................ 57
Tabel 2.9. Penentuan SRP ........................................................................... 61
Tabel 2.10. Kebutuhan Ruang Parkir untuk Pusat Pekantoran...................... 62
Tabel 2.11. Kebutuhan Ruang Parkir untuk Pasar Swalayan ........................ 62
Tabel 2.12. Kebutuhan Ruang Parkir untuk Pasar ........................................ 62
Tabel 2.13. Kebutuhan Ruang Parkir untuk Sekolah/Perguruan Tinggi ......... 63
Tabel 2.14. Kebutuhan Ruang Parkir untuk Tempat Rekreasi ....................... 63
Tabel 2.15. Kebutuhan Ruang Parkir untuk Hotel berdasarkan Tarif ............. 63
Tabel 2.16. Kebutuhan Ruang Parkir untuk Hotel berdasarkan Klasifikasi .... 64
Tabel 2.17. Kebutuhan Ruang Parkir untuk Rumah Sakit ............................. 64
Tabel 2.18. Kebutuhan Ruang Parkir untuk Bioskop ..................................... 64
Tabel 2.19. Kebutuhan Ruang Parkir untuk Gelanggang Olah Raga ............ 65
Tabel 2.20. Standar Jumlah Parkir ................................................................ 65
Tabel 2.21. Koefisien Kebutuhan Parkir Hotel ............................................... 66
Tabel 2.22. Faktor Penggunan Parkir Hotel .................................................. 66
Tabel 3.1. Konfigurasi Tata Letak Inti Bangunan Gedung ............................. 71
Tabel 4.1 Beban Mati Desain Minimum ......................................................... 116
Tabel 4.2. Beban Mati menurut Jenis Struktur Bangunan ............................. 119

Jimmy S. Juwana xiii


Tabel 4.3. Perkiraan Volume Tulangan Baja dan Beton ................................ 120
Tabel 4.4. Beban Hidup pada Lantai Gedung ............................................... 120
Tabel 4.5. Faktor Kepentingan Berdasarkan Kategori Risiko Bangunan
dan Struktur Lainnya Untuk Beban Salju, Es, dan Gempa .......... 122
Tabel 4.6. Koefisien Tekanan Internal (GCpi) ................................................ 124
Tabel 4.7. Koefisien Situs, Fa ........................................................................ 128
Tabel 4.8. Koefisien Situs, Fv ........................................................................ 128
Tabel 4.9. Kategori Risiko Bangunan Gedung & Struktur Lainnya untuk
Beban Gempa .............................................................................. 130
Tabel 4.10. Faktor Keutamaan Gempa – I .................................................... 132
Tabel 4.11. Faktor R, Cd dan W 0 untuk Sistem Penahan Gaya Gempa ......... 132
Tabel 4.12. Koefisien untuk Batas Atas pada Perioda yang Dihitung ............ 139
Tabel 4.13. Nilai Parameter Perioda Pendekatan Ct dan x ............................ 139
Tabel 4.14. Dimensi Perkiraan Nisbah Tinggi Elemen Struktur Horizontal
dengan Bentangan ..................................................................... 150
Tabel 4.15. Mutu Tulangan Baja (Beban Tetap) ............................................ 152
Tabel 4.16. Luas Penampang Tulangan [cm2]............................................... 153
Tabel 4.17. Luas Tulangan [cm2] per meter lebar Pelat ................................. 153
Tabel 4.18. Momen Pelat Dua Arah akibat Beban Terbagi Rata ................... 154
Tabel 4.19. Mutu Baja Profil .......................................................................... 155
Tabel 4.20. Daftar Mutu Beton ...................................................................... 156
Tabel 4.21. Korelasi Kekuatan Tekan Beton ................................................. 157
Tabel 5.1. Kriteria WTR dan TAS .................................................................. 182
Tabel 5.2. Terkaan Jumlah Hentian (Probable Stop) ..................................... 185
Tabel 5.3. Short Running Time [detik] ........................................................... 185
Tabel 5.4. Kecepatan Pintu ........................................................................... 186
Tabel 5.5. Waktu Pembukaan Pintu .............................................................. 186
Tabel 5.6. Kecepatan Lif yang Direkomendasi [m/menit]............................... 187
Tabel 5.7. Kecepatan Lif yang Direkomendasi [m/detik] ................................ 187
Tabel 5.8. Rekomendasi Ragam Kapasitas Lif [kg] ....................................... 188

Jimmy S. Juwana xiv


Tabel 5.9. Kapasitas Lif [kg] – [orang] ........................................................... 188
Tabel 5.10. perkiraan Jumlah dan Kapasitas Lif (Bangunan Perkantoran) .... 190
Tabel 5.11. Daya Tahan Start-Stop Lif .......................................................... 191
Tabel 5.12. Rekomendasi Ukuran Dumbwaiter ............................................. 196
Tabel 5.13. Karakteristik Dumbwaiter berdasarkan Bukaan .......................... 197
Tabel 5.14. Daya Angkut dalam Waktu Lima Menit ....................................... 198
Tabel 6.1. Persyaratan Udara untuk Berbagai Fungsi Ruang.............. 239
Tabel 6.2. Beban Pendingin ................................................................. 239
Tabel 6.3. Beban Kalor Kulit Bangunan ............................................... 240
Tabel 6.4. Tingkat Metabolik untuk Kegiatan Tertentu ......................... 240
Tabel 6.5. Nilai Absorbtans Radiasi Matahari untuk Dinding Luar dan
Atap Tidak Transparan............................................................... 246
Tabel 6.6. Nilai Absorbtans Radiasi Matahari untuk Cat Permukaan Dinding
Luar ............................................................................................ 246
Tabel 6.7. Nilai U untuk Kusen dan Jendela.................................................. 247
Tabel 6.8. Nilai R lapisan udara permukaan untuk dinding dan atap ............. 248
Tabel 6.9. Nilai k Bahan Bangunan ............................................................... 248
Tabel 6.10. Nilai R Lapisan Rongga Udara ................................................... 249
Tabel 6.11. Beda Temperatur Ekuivalen untuk Dinding................................. 249
Tabel 6.12. Faktor Radiasi Matahari (SF), [W/m2] untuk Berbagai
Orientasi .................................................................................... 250
Tabel 6.13. Nilai Transmitans Termal Atap (Ur) Maksimum .......................... 253
Tabel 6.14. Beda Temperatur Ekuivalen Berbagai Penutup Atap.................. 254
Tabel 6.15. Koefisien Peneduh (SC) untuk Skylight ...................................... 254
Tabel 7.1. Pengaruh Gas pada Tubuh Manusia ............................................ 272
Tabel 7.2. Kriteria Tingkat Risiko Bahaya Kebakaran ................................... 273
Tabel 7.3. Volume Bangunan Gedung untuk Penentuan Jalur Akses ........... 278
Tabel 7.4. Jumlah Minimum Saf Kebakaran Untuk Bangunan Gedung yang
Dipasang Sprinkler Otomatis........................................................ 289

Jimmy S. Juwana xv
Tabel 7.5. Lintasan Bersama, Ujung Buntu dan Batas Jarak Tempuh.......... 296
Tabel 7.6. Klasifikasi Bangunan .................................................................... 314
Tabel 7.7. Warna Cairan Tabung Gelas Sprinkler ......................................... 315
Tabel 7.8. Warna Segel Sprinkler ................................................................. 316
Tabel 7.9. Klasifikasi APAP ........................................................................... 318
Tabel 7.10. APAP yang Disyaratkan ............................................................. 320
Tabel. 7.11. Ukuran APAP dan Penempatannya untuk Bahaya Kebakaran
Kelas A ..................................................................................... 321
Tabel. 7.12. Ukuran APAP dan Penempatannya untuk Bahaya Kebakaran
Kelas B ..................................................................................... 322
Tabel 7.13. Penempatan APAP .................................................................... 322
Tabel 7.14. Jumlah Hidran Per Luas Lantai Bangunan ................................. 323
Tabel 7.15. Jumlah maksimum Kepala Sprinkler........................................... 328
Tabel 7.16. Ketentuan Jarak Kepala Sprinkler ............................................. 328
Tabel 8.1. Warna Pipa yang Digunakan ........................................................ 339
Tabel 8.2. Kebutuhan Minimun Alat Plambing/Saniter .................................. 356
Tabel 8.3. Unit Beban Alat Plambing Sistem Penyediaan Air dan Ukuran
Minimum Pipa Cabang ................................................................. 361
Tabel 8.4. Unit Beban Katup Gelontor (Flushometer).................................... 362
Tabel 8.5. Konversi UBAP dan GPM............................................................. 363
Tabel 8.6. Kebutuhan Air Bersih (Air Dingin) per hari .................................... 364
Tabel 8.7. Kebutuhan Air Panas per hari ...................................................... 364
Tabel 8.8. Kebutuhan Air per m2 Bangunan .................................................. 365
Tabel 8.9. Kebutuhan Air Peralatan Saniter .................................................. 365
Tabel 8.10. Perkiraan Populasi ..................................................................... 366
Tabel 8.11. Prakiraan Volume Tambahan Tangki Bawah Tanah................... 367
Tabel 8.12. Unit Beban Alat Plambing Untuk Air Limbah............................... 369
Tabel 8.13. Prakiraan Tingkat Aliran Limbah Cair ......................................... 370
Tabel 8.14. Dimensi Septik Tank .................................................................. 371
Tabel 8.15. Perkiraan Volume IPAL .............................................................. 371

Jimmy S. Juwana xvi


Tabel 8.16. Perkiraan Jumlah Sampah ......................................................... 372
Tabel 9.1. Erlang – B untuk 1 -50 Sambungan, E = 0,01% - 40% ................. 381
Tabel 9.2. Tingkat Kebisingan ....................................................................... 386
Tabel 10.1. Jenis-Jenis Kabel Daya Listrik .................................................... 410
Tabel 10.2. Panjang Gelombang Warna Kasat Mata .................................... 424
Tabel 10.3. Tingkat Pencahayaan Rata-rata, dan Temperatur Warnayang
Direkomendasikan ..................................................................... 429
Tabel 10.4. Iluminans dan Beban Pencahayaan Terpasang ......................... 431
Tabel 10.5. Karakteristik Jenis-Jenis Lampu ................................................. 436
Tabel 10.6. Kuat Penerangan dan Jenis Lampu ........................................... 438
Tabel 10.7. Tabel Penggunaan Kuat Penerangan dan Intensitas Daya ........ 441
Tabel 10.8. Faktor Daya untuk Penggunaan Lif ............................................ 443
Tabel 10.9. Konsumsi Energi Rata-Rata ....................................................... 448
Tabel 10.10. Ukuran Tipikal Ruang Telepon ................................................. 449
Tabel 10.11. Daerah yang Terlindungi .......................................................... 456
Tabel 10.12. Perkiraan Bahaya Petir (R) ....................................................... 457
Tabel 10.13. Macam Struktur Bangunan (A) ................................................. 457
Tabel 10.14. Konstruksi Bangunan (B).......................................................... 458
Tabel 10.15. Tinggi Bangunan (C) ................................................................ 458
Tabel 10.16. Situasi Bangunan (D) ............................................................... 459
Tabel 10.17. Pengaruh Kilat (E) .................................................................... 459
Tabel 10.18. Jenis Bahan dan Ukuran Terkecil ............................................. 460
Tabel 11.1. Baku Mutu Air Limbah Domestik Tersendiri ................................ 473
Tabel 11.2. Data Curah Hujan Harian (Minimum 10 Tahun) .......................... 474
Tabel 11.3. Data Curah Hujan Harian di Atas 2,5 mm per Hari yang
telah Diurutkan .......................................................................... 475
Tabel 11.4. Curah Hujan Harian Persentil 0% - 100% ................................... 476
Tabel 11.5. Koefisien Permeabilitas Tanah ................................................... 478
Tabel 11.6. Baku Mutu Kualitas Udara Ambien Indonesia ............................. 481
Tabel 11.7. Komposisi Polutan Udara di Lapisan Atmosfer ........................... 482

Jimmy S. Juwana xvii


Tabel 11.8. Vegetasi untuk RTH ................................................................... 487
Tabel 11.9. Contoh Tanaman untuk Roof Garden ......................................... 490
Tabel 12.1. Bobot Pekerjaan Standar Bangunan Gedung ............................. 514
Tabel 12.2. Bobot Pekerjaan Nonstandar Bangunan Gedung ....................... 514
Tabel 12.3. Faktor Pengali Fungsi Bangunan atau Ruangan di Rumah
Sakit ........................................................................................... 515
Tabel 12.4. Faktor Perkalian Tinggi Lantai .................................................... 515
Tabel 12.5. Harga Dasar Bangunan .............................................................. 517
Tabel 12.6. Volume Bahan Struktur .............................................................. 518
Tabel 12.7. Analisis Penggunaan Bahan ...................................................... 519
Tabel 12.8. Bobot Biaya Bangunan ............................................................... 522
Tabel 12.9. Biaya Investasi ........................................................................... 523
Tabel 12.10. Bobot Perlengkapan Tetap ....................................................... 523
Tabel 12.11. Bobot Pengembangan Tapak ................................................... 523
Tabel 12.12. Bobot Peralatan Bergerak/Perabot ........................................... 524
Tabel 12.13. Tingkat Penurunan Nilai Bangunan per Tahun ......................... 533
Tabel 13.1. Tingkat Pengembangan BIM ……………………………………… 576
Tabel 13.2. Hirarki Pengendalian Risiko ....................................................... 580
Tabel 13.3. Identifikasi Bahaya dan Peniliaian Risiko ................................... 585
Tabel 13.4. Matriks Bahaya, Risiko dan K3 ................................................... 587
Tabel 13.5. Rekomendasi Isi Kotak P3K ....................................................... 588
Tabel 14.1. Peluang Konservasi Energi pada Bangunan Gedung ................. 593
Tabel 14.2. Penghematan Biaya Pendingin .................................................. 595
Tabel 14.3. Efisiensi Energi Minimum ........................................................... 595
Tabel 14.4. Kandungan Refrigeran ............................................................... 602
Tabel 14.5. Kandungan APAP ...................................................................... 603
Tabel 14.6. Daur Pembaharuan Komponen Bangunan ................................. 607
Tabel 14.7. LCC Bahan Penutup Lantai ........................................................ 613
Tabel 14.8. Parameter BGH.......................................................................... 617
Tabel 14.9. Pemeringkatan BGH di Indonesia .............................................. 618

Jimmy S. Juwana xviii


Tabel 14.10. Daftar Pohon Tepi Jalan Berukuran Sedang ............................ 625
Tabel 14.11. Daftar Pohon Tepi Jalan Berukuran Kecil ................................. 625
Tabel 14.12. Daftar Perdu/Semak untuk Tepi Jalan ...................................... 626
Tabel 14.13. Daftar Palem Tepi Jalan ........................................................... 627
Tabel 14.14. Ukuran Up Flow Filter ............................................................... 628
Tabel 14.15. Ukuran Kolam Sanita ............................................................... 628
Tabel 14.16. Nilai Albedo untuk Permukaan Tanah ...................................... 629
Tabel 14.17. Nilai Albedo dan Emisivitas Atap .............................................. 630
Tabel 14.18. Koefisien Limpasan Air Hujan................................................... 631
Tabel 14.19. Indeks Efisiensi Energi (IEE) .................................................... 633
Tabel 14.20. Standar Daya Pencahayaan ..................................................... 636
Tabel 14.21. Kebutuhan Ventilasi Mekanik ................................................... 637
Tabel 14.22. Kebutuhan Laju Udara Ventilasi ............................................... 637
Tabel 14.23. Pemakaian Air Dingin Minimum ................................................ 641
Tabel 14.24. Penggunaan Air pada Peralatan Saniter .................................. 642
Tabel 14.25. Informasi Air Daur-ulang........................................................... 643
Tabel 14.26. Standar Baku Mutu Air Bersih .................................................. 645
Tabel 14.27. Minimum Laju Ventilasi............................................................. 649
Tabel 14.28. Nilai Maksimum Kadar VOC pada Produk Cat ......................... 651
Tabel 14.29. Batas Nilai Emisi Formaldehida pada Produk Kayu .................. 651
Tabel 14.30. Batas Maksimum Merkuri pada Lampu ................................... 652
Tabel 14.31. Nilai Maksimum Kadar VOC pada Produk Perekat ................... 652
Tabel 14.32. Tingkat Pencahayaan Rata-rata yang Direkomendasikan ........ 653
Tabel 14.33. Rancangan Tingkat Kebisingan yang Direkomendasi ............... 654
Tabel 14.34. Kandungan Energi pada Material ............................................. 659
Tabel 14.35. Jejak Air ................................................................................... 660
Tabel 14.36. Baku Mutu Air Limbah Domestik Tersendiri .............................. 663

Jimmy S. Juwana xix


DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. Integrasi Sistem Bangunan ...................................................... 1


Gambar 1.2. Bagan Alir Urutan Integrasi Perancangan Bangunan ............... 2
Gambar 1.3. Tahapan Rancangan Terintegrasi ............................................ 3
Gambar 1.4. Acuan Regulasi dalam Penyelenggaraan Bangunan Gedung .. 4
Gambar 1.5. Acuan SNI dalam Penyelenggaraan Bangunan Gedung .......... 5
Gambar 1.6. SNI untuk Bangunan Gedung ................................................... 6
Gambar 1.7. Perbandingan Ketinggian Beberapa Bangunan Tinggi di
Dunia ........................................................................................ 9
Gambar 1.8. Bangunan Tinggi di Jakarta dan Menara Jakarta ..................... 11
Gambar 1.9. Standar Kinerja Bangunan Tinggi ............................................. 12
Gambar 1.10. Standar Keandalan Bangunan Gedung .................................. 13
Gambar 1.11. Pendekatan Integrasi Sistem Bangunan ................................. 14
Gambar 2.1. Saluran Utilitas Terpadu ........................................................... 18
Gambar 2.2. Integrasi Sistem Bangunan dalam Rancangan ......................... 19
Gambar 2.3. Patokan Pengukuran GSB ....................................................... 25
Gambar 2.4. Contoh KKPR ........................................................................... 26
Gambar 2.5. Kertas Kerja Analisis Jumlah Lantai ......................................... 27
Gambar 2.6. Jarak Bebas dan Ketinggian Bangunan Gedung ...................... 28
Gambar 2.7. Jarak Bebas Dua Bangunan Gedung Transparan .................... 28
Gambar 2.8. Jarak Bebas antar Bangunan Gedung Transparan dan Masif .. 29
Gambar 2.9. Jarak Bebas Dua Bangunan Gedung Masif .............................. 29
Gambar 2.10. Jarak GSB – GSJ < Y............................................................. 30
Gambar 2.11. Lantai Dasar sampai Lantai Tertinggi Vertikal......................... 30
Gambar 2.12. Bangunan Gedung dengan Bentuk Denah ‘U’ atau ‘H’ ........... 31
Gambar 2.13. Jarak Maksimum antar Lantai Bangunan Gedung .................. 31
Gambar 2.14. Pendekatan back to back ....................................................... 33
Gambar 2.15. Pendekatan Multiplex ............................................................. 34
Gambar 2.16. Lease Span ............................................................................ 35

Jimmy S. Juwana xx
Gambar 2.17. Leasing Space ....................................................................... 35
Gambar 2.18. Floor to Floor .......................................................................... 36
Gambar 2.19. Floor to Floor pada Hotel ........................................................ 37
Gambar 2.20. Kertas Kerja Analisis Floor to Floor ........................................ 37
Gambar 2.21. Kulit Bangunan Pengendali Panas dan Sinar Matahari........... 38
Gambar 2.22. Kulit Bangunan untuk Ventilasi Alami ..................................... 39
Gambar 2.23. Inti di Tengah Bangunan Menara Berbentuk Bujur Sangkar ... 40
Gambar 2.24. Inti di Tengah Bangunan Menara Berbentuk Segi Tiga........... 41
Gambar 2.25. Inti di Tengah Bangunan Berbentuk Lingkaran ....................... 41
Gambar 2.26. Inti Di Luar Bangunan – Satu Jalur Koridor............................. 42
Gambar 2.27. Inti Diapit oleh Dua Sayap Bangunan .................................... 42
Gambar 2.28. Inti Berada Di Tengah Bangunan – Koridor Mengelilingi Inti ... 43
Gambar 2.29. Inti Di Tengah Bangunan – Dua Jalur Koridor ........................ 43
Gambar 2.30. Inti Di Tengah Bangunan ........................................................ 44
Gambar 2.31. Inti di Pusat Bangunan ........................................................... 44
Gambar 2.32. Inti Ditempatkan Acak – Jalur Koridor Tidak Berpola .............. 45
Gambar 2.33. Ruang Bebas Kolom .............................................................. 45
Gambar 2.34. Sistem Balok Satu Arah.......................................................... 46
Gambar 2.35. Alternatif Balok Satu Arah ...................................................... 46
Gambar 2.36. Refuge Floor .......................................................................... 47
Gambar 2.37. Aspect Ratio Beberapa Bangunan Tinggi di Dunia ................. 48
Gambar 2.38. Rotasi dan Perpindahan Tangga Kebakaran/Lif ..................... 49
Gambar 2.39. WTC di Bahrain ...................................................................... 50
Gambar 2.40. National Exhibition Center, Abu Dhabi.................................... 50
Gambar 2.41. Integrasi Sistem MEP dan ICT ............................................... 51
Gambar 2.42. Komponen Pra-pabrikasi & Pracetak ...................................... 52
Gambar 2.43. Bangunan Gedung dapat Dipantau dari Luar ......................... 53
Gambar 2.44. Ketentuan Ram ...................................................................... 54
Gambar 2.45. Stair Lift .................................................................................. 54
Gambar 2.46. Dimensi dan Kelengkapan Toilet Difabel ................................ 55

Jimmy S. Juwana xxi


Gambar 2.47. Beberapa Jenis Gondola ........................................................ 55
Gambar 2.48. Base Isolation dan Seismic Damper ....................................... 57
Gambar 2.49. Sirkulasi Kendaraan dan Parkir .............................................. 58
Gambar 2.50. Ram Gedung Parkir ................................................................ 58
Gambar 2.51. Lokasi Ram dan Arus Sirkulasi pada Gedung Parkir .............. 59
Gambar 2.52. Alternatif Pola Parkir Kendaraan ............................................ 60
Gambar 2.53. Posisi Kendaraan pada Areal Parkir ....................................... 61
Gambar 2.54. Automatic Parking System ..................................................... 67
Gambar 3.1. Fleksibiltas Zona Penyewa ....................................................... 72
Gambar 3.2. Federal Reserve Bank .............................................................. 73
Gambar 3.3. The Grosvenor Place Development .......................................... 74
Gambar 3.4. The Renaissance Center .......................................................... 74
Gambar 3.5. Menara Boustead ..................................................................... 75
Gambar 3.6. Century Tower .......................................................................... 76
Gambar 3.7. The Bank of China di Hong Kong ............................................. 76
Gambar 3.8. Koridor Lif dengan Satu Zona Layanan .................................... 77
Gambar 3.9. Koridor Lif dengan Dua Zona Layanan ..................................... 77
Gambar 3.10. Koridor Lif dengan Tiga Zona Layanan ................................... 78
Gambar 3.11. Alternatif Pola Koridor Lif dengan Tiga Zona Layanan ............ 78
Gambar 3.12. Pola Koridor Lif lebih dari Tiga Layanan (Multi Zone) ............. 78
Gambar 3.13. Alternatif Lebar Koridor Lif ...................................................... 79
Gambar 3.14. Zona Layanan Lif dan Ekspresi Arsitektur .............................. 79
Gambar 3.15. Modul ‘Magic Square’ ............................................................. 80
Gambar 3.16. Skema Layanan Lif ................................................................. 81
Gambar 3.17. Denah Inti di Lantai Dasar ...................................................... 81
Gambar 3.18. Denah Inti pada Zona I ........................................................... 82
Gambar 3.19. Denah Inti di Lantai Transfer I – II Bawah ............................... 82
Gambar 3.20. Denah Inti di Lantai Tranfer I – II Atas .................................... 83
Gambar 3.21. Denah Inti pada Zona II .......................................................... 83
Gambar 3.22. Denah Inti di Lantai Transfer II – III Bawah ............................. 84

Jimmy S. Juwana xxii


Gambar 3.23. Denah di Lantai Tranfer II – III Atas (alternatif 1) .................... 84
Gambar 3.24. Denah di Lantai Tranfer II – III Atas (alternatif 2) .................... 85
Gambar 3.25. Denah Inti pada Zona III ........................................................ 85
Gambar 3.26. Denah Inti di Lantai Observasi Bawah (lower deck)................ 86
Gambar 3.27. Denah Inti di Lantai Observasi Atas (upper deck) ................... 87
Gambar 3.28. Denah Inti di Lantai Atap ........................................................ 87
Gambar 3.29. Skematik Layanan Lif Bangunan 60 Lantai............................. 88
Gambar 3.30. Denah Inti Bangunan Zona 1 dan Zona 2 ............................... 89
Gambar 3.31. Denah Inti Bangunan Zona 2 sampai Zona 4 ......................... 90
Gambar 3.32. Denah Inti Bangunan Zona 5 sampai Zona 6 ......................... 91
Gambar 3.33. Penambahan Leasing Space.................................................. 92
Gambar 3.34. Alternatif Struktur Penahan Gaya Lateral ............................... 93
Gambar 3.35. Alternatif Jalur Saluran Udara................................................. 94
Gambar 3.36. Alokasi Ruang Sisa di Daerah Inti .......................................... 95
Gambar 3.37. Lif dengan Akses ke Samping ................................................ 95
Gambar 3.38. Penempatan Lif Berpasangan ................................................ 96
Gambar 3.39. Lif dengan Akses ke Belakang ............................................... 96
Gambar 4.1. Sistem Struktur Bangunan Tinggi ............................................. 100
Gambar 4.2. Rangka Pengaku ...................................................................... 100
Gambar 4.3. Perilaku Sistem Gabungan Penahan Gaya Lateral................... 101
Gambar 4.4. Bahan Fondasi Tiang ............................................................... 102
Gambar 4.5. Jenis Fondasi Tiang ................................................................. 102
Gambar 4.6. Jenis Daya Dukung Tiang ........................................................ 103
Gambar 4.7. Hasil Penyelidikan Tanah ......................................................... 104
Gambar 4.8. Alternatif Struktur Bagian Atas.................................................. 104
Gambar 4.9. Ketinggian Bangunan dan Bahan Utama Struktur .................... 105
Gambar 4.10. Ragam Penampang Kolom .................................................... 106
Gambar 4.11. Dinding Geser (Shear Wall) .................................................... 106
Gambar 4.12. Dinding Penahan Beban (Bearing Wall) ................................. 107
Gambar 4.13. Komponen Balok dan Rangka Atap ........................................ 107

Jimmy S. Juwana xxiii


Gambar 4.14. One Way Solid Slab ............................................................... 108
Gambar 4.15. One Way Band Slab ............................................................... 108
Gambar 4.16. One Way Band & Beam ......................................................... 109
Gambar 4.17. One Way Joist Slab ................................................................ 109
Gambar 4.18. One Way Band Joist Slab....................................................... 110
Gambar 4.19. Two Way Flat Plate ................................................................ 110
Gambar 4.20. Two Way Flat Slab ................................................................. 111
Gambar 4.21. Two Way Slab on Beam ......................................................... 111
Gambar 4.22. Two Way Waffle Slab ............................................................. 112
Gambar 4.23. Konfigurasi Massa yang Teratur ............................................. 112
Gambar 4.24. Konfigurasi Massa yang Tidak Teratur ................................... 113
Gambar 4.25. Alternatif Penyelesaian Bangunan tidak Simetris.................... 113
Gambar 4.26. Penumpukan Kolom di Daerah dilatasi ................................... 114
Gambar 4.27. Alternatif Dilatasi .................................................................... 114
Gambar 4.28. Beberapa Perlemahan Struktur terhadap Beban Lateral ........ 115
Gambar 4.29. Percepatan Muka Tanah (PGA) Puncak – MCEG ................... 125
Gambar 4.30. Peta MCER untuk Perioda Pendek (T = 0,2 detik) ................... 125
Gambar 4.31. Peta MCER untuk Perioda T = 1,0 detik .................................. 126
Gambar 4.32. Peta CR1 Risiko Tertarget untuk Perioda Pendek
(T = 0,2 detik) ........................................................................ 126
Gambar 4.33. Peta CR1 Risiko Tertarget untuk Perioda T = 1 detik .............. 127
Gambar 4.34. Spektrum Respon Desain ....................................................... 129
Gambar 4.35. Perhitungan Spektrum Respon Desain ................................... 130
Gambar 4.36. Perilaku Struktur Bangunan Tinggi Terhadap Gempa ............ 141
Gambar 4.37. Perencanaan Bangunan Tahan Gempa Berbasis Kinerja ....... 142
Gambar 4.38. Aksonometri Massa Bangunan ............................................... 144
Gambar 4.39. Kertas Kerja Analisis Stabilitas Bangunan .............................. 146
Gambar 4.40. Bangunan Tinggi dengan Podium .......................................... 146
Gambar 4.41. Bangunan Tinggi dengan Tiang Pancang ............................... 147
Gambar 4.42. Bangunan Tinggi dengan Basemen........................................ 148

Jimmy S. Juwana xxiv


Gambar 4.43. Bangunan Tinggi dengan Podium dan Basemen .................... 148
Gambar 4.44. Penampang Balok Segi Empat dengan Diagram
Distribusi Tegangan................................................................ 152
Gambar 4.45. Panjang Tekuk ....................................................................... 158
Gambar 4.46. Luas Lantai (Tributary Area) yang Dipikul Kolom .................... 159
Gambar 4.47. Luas Lantai yang Dipikul Kolom Pinggir ................................. 159
Gambar 4.48. Fondasi Tiang dan Poer ......................................................... 162
Gambar 4.49. Skematik Basemen ................................................................ 163
Gambar 4.50. Fondasi Rakit dan Tiang......................................................... 164
Gambar 5.1. Lif Hidrolik ................................................................................ 169
Gambar 5.2. Lif dengan Motor Traksi ............................................................ 170
Gambar 5.3. Roomless Lift ........................................................................... 171
Gambar 5.4. Lif Kapsul/Panoramik ............................................................... 171
Gambar 5.5. Double Decker Lift .................................................................... 172
Gambar. 5.6. Ultra High Speed Lift ............................................................... 172
Gambar 5.7. Lif Kebakaran ........................................................................... 173
Gambar 5.8. Lif Kembar ................................................................................ 174
Gambar 5.9. Tata Letak Konfigurasi Lif ......................................................... 175
Gambar 5.10. Tata Letak Lif Cul de-Sac dan Melingkar ................................ 175
Gambar 5.11. Zona Lif, Transfer Level, Sky Lobby dan Interlevel
Connection ............................................................................... 178
Gambar 5.12. Lokasi Tempat Interlevel Connection...................................... 179
Gambar 5.13. Lokasi Operasi Lif Double Decker .......................................... 179
Gambar 5.14. Kertas Kerja Perencanaan Lif ................................................. 192
Gambar 5.15. Dimensi Ruang Luncur Lif ...................................................... 193
Gambar 5.16. Dimensi dan Jarak Bebas Lobi Lif .......................................... 193
Gambar 5.17. Dimensi Ruang Mesin dan Pit Lif ............................................ 194
Gambar 5.18. Dumbwaiter dengan Ruang Luncur ........................................ 195
Gambar 5.19. Bukaan pada Dumbwaiter ...................................................... 196
Gambar 5.20. Tangga Berjalan (Escalator) ................................................... 198

Jimmy S. Juwana xxv


Gambar 5.21. Ram Berjalan (Moving Ramp) ................................................ 199
Gambar 5.22. Tata Letak Bersilangan.......................................................... 200
Gambar 5.23. Tata Letak Sejajar (Alur Berputar) .......................................... 201
Gambar 5.24. Tata Letak Sejajar (Alur Menerus) ......................................... 201
Gambar 5.25. Ruang Eskalator ..................................................................... 202
Gambar 5.26. Eskalator Melingkar ................................................................ 203
Gambar 5.27. Eskalator Helikal..................................................................... 203
Gambar 5.28. Helixator ................................................................................. 204
Gambar 5.29. Perspektif Stair Lift ................................................................. 204
Gambar 5.30. Denah dan Tampak/Potongan Stair Lift ................................. 205
Gambar 5.31. Alternatif Pemasangan Stair Lift ............................................. 205
Gambar 5.32. Gondola Statis ........................................................................ 206
Gambar 5.33. Gondola yang Dapat Bergerak ............................................... 207
Gambar 5.34. Jenis Gondola ........................................................................ 207
Gambar 6.1. Standar ANSI/ASHRAE 62.1-2019 dan ANSI/ASHRAE
62.2-2019 ............................................................................... 212
Gambar 6.2. Tingkat Kelembapan Relatif dalam Ruang................................ 214
Gambar 6.3. Standar Efisiensi Minimum Sistem Tata Udara......................... 219
Gambar 6.4. AC Window .............................................................................. 220
Gambar 6.5. Skematik Proses Pertukaran Udara.......................................... 220
Gambar 6.6. Skematik Proses Aliran Refrigeran ........................................... 221
Gambar 6.7. AC Split .................................................................................... 222
Gambar 6.8. Sistem AC VRF Multi Outdoor dan Multi Indoor Unit ................ 223
Gambar 6.9. Package Unit ............................................................................ 223
Gambar 6.10. Sistem AC Central .................................................................. 224
Gambar 6.11. Unit Penghantar Udara (AHU) ................................................ 224
Gambar 6.12. Fan Coil Unit .......................................................................... 225
Gambar 6.13. Mesin Pembuat Air Sejuk (Chiller) .......................................... 226
Gambar 6.14. Kondensor (Condenser) ......................................................... 227
Gambar 6.15. Menara Pendingin .................................................................. 227

Jimmy S. Juwana xxvi


Gambar 6.16. Jenis Menara Pendingin ........................................................ 228
Gambar 6.17. Potongan Ruang Sewa Bangunan Perkantoran ..................... 229
Gambar 6.18. Tipikal Saluran Tata Udara (Ducting)...................................... 229
Gambar 6.19. Integrasi Saluran Tata Udara dengan Struktur Lantai ............. 230
Gambar 6.20. Saluran Tata Udara Di Atas Plafon (Sistem Plenum) .............. 230
Gambar 6.21. Letak Saluran Tata Udara di Bawah Lantai ............................ 231
Gambar 6.22. Integrasi Saluran Tata Udara dan Jaringan Utilitas Lainnya ... 231
Gambar 6.23. Letak Saluran Tata Udara di Jalur Koridor Hotel..................... 232
Gambar 6.24. Sistem Zona Tunggal – VV..................................................... 233
Gambar 6.25. Sistem Zona Tunggal – CV .................................................... 234
Gambar 6.26. Sistem Zona Ganda – VV ....................................................... 235
Gambar 6.27. Diagram Proses Refrigerasi dan Siklus Kompresi Uap ........... 236
Gambar 6.28. Keseimbangan Energi dalam System Boundary ..................... 237
Gambar 6.29. Zona Nyaman untuk Wilayah dengan Iklim Berbeda .............. 238
Gambar 6.30. Unsur Perolehan Panas Melalui Kulit Bangunan .................... 243
Gambar 6.31. Jenis-Jenis Tirai Matahari ....................................................... 244
Gambar 6.32. Skylight .................................................................................. 255
Gambar 6.33. Kertas Kerja Analisis OTTV .................................................... 256
Gambar 6.34. Bagan Psikrometrik ................................................................ 258
Gambar 6.35. Bagan Bioklimatik ................................................................... 259
Gambar 6.36. Zona Kenyamanan dalam Bagan Psikrometrik ....................... 260
Gambar 6.37. Kebutuhan Ruang untuk Peralatan AC Sentral ....................... 262
Gambar 6.38. Kebutuhan Ruangan untuk Peralatan AHU dan
Saluran Udara ........................................................................ 262
Gambar 7.1 Segi Tiga Api dan Piramida Api (Tetrahedron) .......................... 268
Gambar 7.2. Penyebaran Api dan Upaya Menghilangkan Unsur
Segi Tiga Api ............................................................................ 268
Gambar 7.3. Respon Manusia terhadap Api ................................................. 272
Gambar 7.4. Beberapa Cara untuk Menjadikan Baja Tahan terhadap Api .... 277
Gambar 7.5. Lokasi Parkir Mobil Pemadam Kebakaran ................................ 278

Jimmy S. Juwana xxvii


Gambar 7.6. Jarak Aman Hidran Halaman.................................................... 279
Gambar 7.7. Hidran Halaman dan Katup Siamese....................................... 279
Gambar 7.8. Kendala Akses Pemadam Kebakaran ...................................... 278
Gambar 7.9. Tangki Penyimpanan Air Berfungsi Ganda ............................... 282
Gambar 7.10. Sarana Evakuasi .................................................................... 284
Gambar 7.11. Pintu Kebakaran (Darurat) ...................................................... 285
Gambar 7.12. Jarak Antar Pintu Keluar ......................................................... 286
Gambar 7.13. Lokasi Tangga Kebakaran dan Pipa Tegak ............................ 287
Gambar 7.14. Bangunan yang Memerlukan Saf Pemadam Kebakaran ........ 288
Gambar 7.15. Tipikal Tangga Kebakaran ...................................................... 292
Gambar 7.16. Tipikal Tangga Kebakaran di Lantai Dasar ............................. 293
Gambar 7.17. Tangga dan Saf Kebakaran .................................................... 293
Gambar 7.18. Penempatan Peralatan Tekanan Udara ................................. 294
Gambar 7.19. Tipikal Tangga Kebakaran Tahan Api ..................................... 295
Gambar 7.20. Tipikal Pintu Kedap Asap ....................................................... 295
Gambar 7.21. Lokasi Tanda EKSIT............................................................... 298
Gambar 7.22. Kompartemen untuk Difabel dan Pintu Otomatis ................... 299
Gambar 7.23. Tirai Penghalang Asap ........................................................... 300
Gambar 7.24. Pengendalian Asap pada Bangunan Tinggi ............................ 301
Gambar 7.25. Ventilasi Atap Bangunan ........................................................ 301
Gambar 7.26. Dimensi Minimum Atrium ....................................................... 302
Gambar 7.27. Simulasi Evakuasi Orang dari Dalam Bangunan Gedung ....... 304
Gambar 7.28. Sistem Evakuasi Darurat ........................................................ 305
Gambar 7.29. Chute System ......................................................................... 306
Gambar 7.30. Penempatan Chute ................................................................ 306
Gambar 7.31. Lokasi Peluncur ...................................................................... 307
Gambar 7.32. Peluncur ................................................................................. 307
Gambar 7.33. Evacuator Sky Saver ............................................................. 308
Gambar 7.34. Sky Saver ............................................................................... 309
Gambar 7.35. Parasut Back Pack ................................................................. 309

Jimmy S. Juwana xxviii


Gambar 7.36. Sistem Proteksi Kebakaran Aktif ............................................ 310
Gambar 7.37. Jenis-Jenis Peringatan Dini Bahaya Kebakaran ..................... 311
Gambar 7.38. Kotak Hidran .......................................................................... 313
Gambar 7.39. Tipikal Letak Pipa Kebakaran dan Kotak Hidran ..................... 313
Gambar 7.40. Sprinkler ................................................................................. 315
Gambar 7.41. Radius Pancaran Air .............................................................. 315
Gambar 7.42. Susunan Pipa Sprinkler .......................................................... 316
Gambar 7.43. Jaringan Sprinkler Pipa Kering ............................................... 317
Gambar 7.44. Jaringan Sprinkler Pipa Basah ............................................... 317
Gambar 7.45. Sistem Tangki Air dan Pompa ................................................ 317
Gambar 7.46. Berbagai Jenis APAP ............................................................ 319
Gambar 7.47. Tipe Bahan dan Pernggunaanya ........................................... 320
Gambar 7.48. Jalur Distribusi Pipa Air dengan Hidran/Selang Kebakaran .... 325
Gambar 7.49. Jalur Distribusi Pipa Air dengan Sprinkler ............................... 325
Gambar 7.50. Alternatif Pemasangan Kepala Sprinkler ................................ 327
Gambar 7.51. Pemasangan Sprinkler Tambahan ......................................... 327
Gambar 7.52. Penempatan Kepala Sprinkler ................................................ 329
Gambar 7.53. Diagram Sistem Tanda Bahaya Kebakaran ............................ 320
Gambar 8.1. Tipikal Sistem Plambing ........................................................... 335
Gambar 8.2. Tipikal Saluran Pipa ................................................................. 338
Gambar 8.3. Skema Pemipaan untuk Bangunan Tinggi ................................ 340
Gambar 8.4. Sistem Pasokan Air Bersih ....................................................... 341
Gambar 8.5. Pompa Air untuk Bangunan Tinggi ........................................... 342
Gambar 8.6. Pemanas Air Kapasitas Kecil.................................................... 342
Gambar 8.7. Pemanas Air Kapasitas Besar .................................................. 343
Gambar 8.8. Pemanas Air Tenaga Surya ..................................................... 343
Gambar 8.9. Alat penyaring Air Bertekanan .................................................. 344
Gambar 8.10. Alat Pemberi Kaporit .............................................................. 344
Gambar 8.11. Diagram Isometrik Saluran Air Kotor dan Ventilasi ................. 345
Gambar 8.12. Percabangan Jaringan Pipa Air Kotor dan Ventilasi ............... 346

Jimmy S. Juwana xxix


Gambar 8.13. Perangkap Udara Pipa dan Tabung ....................................... 347
Gambar 8.14. Bak Kontrol............................................................................. 347
Gambar 8.15. Leher Angsa ........................................................................... 348
Gambar 8.16. Perangkap Lemak .................................................................. 348
Gambar 8.17. Lubang Kontrol untuk Pembersihan........................................ 349
Gambar 8.18. Tipikal Letak Lubang Saluran Pemipaan ................................ 349
Gambar 8.19. Skema Tipikal Sistem Pengolahan Limbah............................. 350
Gambar 8.20. IPAL Bangunan Gedun........................................................... 351
Gambar 8.21. Tempat Sampah ..................................................................... 352
Gambar 8.22. Saluran Pembuangan Sampah............................................... 353
Gambar 8.23. Integrasi Sistem Pemipaan ..................................................... 354
Gambar 8.24. Integrasi Skematik Sistem Daur-ulang Air .............................. 355
Gambar 8.25. Kertas Kerja Analisis Perkiraan Kebutuhan Air ....................... 368
Gambar 9.1. Arsitektur Sistem Integrasi …………………………… ................ 376
Gambar 9.2. Jaringan Instalasi Komunikasi dalam Bangunan ...................... 377
Gambar 9.3. Jaringan Telepon dalam Jaringan Integrasi .............................. 382
Gambar 9.4. Interkoneksi antar PABX Konvensional .................................... 383
Gambar 9.5. Interkoneksi antar PABX Berbasis IP (SIP) .............................. 384
Gambar 9.6. Jaringan Instalasi Tata Suara ................................................... 384
Gambar 9.7. Public Address Berbasis IP/SIP................................................ 385
Gambar 9.8. Konfigurasi Layanan Jaringan Komputer .................................. 387
Gambar 9.9. Komunikasi Jarak Jauh melalui Satelit ..................................... 390
Gambar 9.10. Contoh Sistem Bangunan Pintar di Jakarta ............................ 391
Gambar 9.11. Sistem Keamanan Elektronik Terpadu ................................... 392
Gambar 9.12. Semi Addressable .................................................................. 393
Gambar 9.13. Full Addressable..................................................................... 393
Gambar 9.14. Pemasangan Sensor Infra Merah ........................................... 395
Gambar 9.15. Peralatan Sistem Keamanan .................................................. 396
Gambar 9.16. Master Key ............................................................................. 397
Gambar 9.17. Kunci Tombol Digital dan Kartu .............................................. 398

Jimmy S. Juwana xxx


Gambar 9.18. Integrasi Sistem Perkuncian dan Pengamanan Ruangan ....... 399
Gambar 9.19. Pemantauan CCTV melalui Jaringan Internet ......................... 400
Gambar 9.20. Sistem CCTV melalui Jaringan Kabel ..................................... 400
Gambar 9.21. Sistem CCTV melalui Jaringan Nirkabel ................................. 401
Gambar 9.22. Sistem CCTV Analog melalui Jaringan Digital ........................ 401
Gambar 9.23. Sistem CCTV Digital melalui Jaringan Digital ......................... 402
Gambar 9.24. Berbagai Jenis Kamera CCTV................................................ 402
Gambar 9.25. Suasana di Pusat Pengendali Keamanan............................... 403
Gambar 9.26. Lokasi Penempatan Kamera CCTV ........................................ 403
Gambar 9.27. Sudut Arah Kamera CCTV ..................................................... 404
Gambar 9.28. Termometer Digital ................................................................. 405
Gambar 9.29. Kamera Infra Merah ............................................................... 405
Gambar 9.30. QR Code PeduliLindungi ........................................................ 405
Gambar 9.31. Konfigurasi Sistem Integrasi Elektronik .................................. 406
Gambar 10.1. Kode Warna Kabel ................................................................. 409
Gambar 10.2. Jenis Kabel untuk Jaringan Komunikasi & Data...................... 409
Gambar 10.3. Pasokan Listrik ke Bangunan ................................................. 412
Gambar 10.4. Pasokan Listrik dengan Kabel Bawah Tanah ......................... 412
Gambar 10.5. Pasokan Listrik dengan Kabel Udara ...................................... 413
Gambar 10.6. Instalasi Kabel Di Atas Plafon................................................. 413
Gambar 10.7. Instalasi Kabel pada Pelat Lantai ........................................... 414
Gambar 10.8. Pemasangan Pipa Kabel ........................................................ 414
Gambar 10.9. Jenis Saluran Kabel ............................................................... 415
Gambar 10.10 Tegangan 220/380 Volt, Fase Tiga – Empat Kabel ............... 416
Gambar 10.11. Tegangan 220/380 Volt, Fase Satu – Tiga Kabel ................. 417
Gambar 10.12. Pembagian Jalur Listrik ........................................................ 419
Gambar 10.13. Diagram Tipikal Pasokan Listrik ........................................... 420
Gambar 10.14. Panel Distribusi Daya Listrik ................................................. 421
Gambar 10.15. Tipikal Pemasangan Pembangkit Listrik Cadangan .............. 421
Gambar 10.16. Pembagian Gelombang Elektro Magnetik............................. 422

Jimmy S. Juwana xxxi


Gambar 10.17. Gelombang Berkas Sinar yang Kasat Mata .......................... 423
Gambar 10.18. Skala Suhu warna ................................................................ 424
Gambar 10.19. Penetrasi Sinar pada Permukaan Bumi ................................ 426
Gambar 10.20. Korelasi antara Lumen/Flux dan Kuat Cahaya...................... 426
Gambar 10.21. Hubungan antar Besaran Cahaya ........................................ 427
Gambar 10.22. Berbagai Jenis Lampu Pijar .................................................. 432
Gambar 10.23. Berbagai Jenis Lampu Fluoresen ......................................... 434
Gambar 10.24. Lampu Metal Halida, Merkuri dan Sodium ............................ 435
Gambar 10.25. Komponen Lampu LED ........................................................ 436
Gambar 10.26. Distribusi Cahaya ................................................................. 439
Gambar 10.27. Berbagai Konfigurasi Reflektor Lampu ................................. 440
Gambar 10.28. Kertas Kerja Analisis Kebutuhan Daya Listrik ....................... 446
Gambar 10.29. Borang Tabel Beban Daya Listrik ......................................... 447
Gambar 10.30. Tipikal Ruang Panel ............................................................. 448
Gambar 10.31. Skematik Sistem Proteksi Petir Sangkar Faraday................. 450
Gambar 10.32. Pemotong Arus Petir (Lightning Arresters) .......................... 451
Gambar 10.33. Berbagai Jenis Conductor .................................................... 452
Gambar 10.34. Beberapa Jenis Terminal Hubung ........................................ 453
Gambar 10.35. Sistem Proteksi Petir pda Bangunan Gedung ....................... 454
Gambar 10.36. Metode Rolling Sphere……………………………. ................. 455
Gambar 11.1. Skema Daur-ulang Hidrologi................................................... 465
Gambar 11.2. Sumber dan Proses Kontaminasi Air Tanah ........................... 467
Gambar 11.3. Alternatif Sumur Resapan Biasa ............................................. 468
Gambar 11.4. Sumur Resapan Dalam .......................................................... 469
Gambar 11.5. Sumur Resapan ‘Tirta Sakti’ ................................................... 470
Gambar 11.6. Kotak Filter ‘Tirta Sakti’........................................................... 472
Gambar 11.7. Kertas Kerja Analisis Pengelolaan Air Hujan .......................... 480
Gambar 11.8. Kelompok dan Tinggi Tanaman .............................................. 483
Gambar 11.9. Pohon Tajuk Bulat .................................................................. 484
Gambar 11.10. Pohon Tajuk Memayung ....................................................... 484

Jimmy S. Juwana xxxii


Gambar 11.11. Pohon Tajuk Oval ................................................................. 484
Gambar 11.12. Pohon Tajuk Kerucut ............................................................ 485
Gambar 11.13. Pohon Tajuk Menyebar Bebas ............................................. 485
Gambar 11.14. Pohon Tajuk Persegi Empat ................................................. 485
Gambar 11.15. Pohon Tajuk Kolom .............................................................. 486
Gambar 11.16. Pohon Tajuk Vertikal ............................................................ 486
Gambar 11.17. Lapisan Pelat Atap Beton untuk Pot Tanaman ..................... 491
Gambar 11.18. Lapisan Pelat Atap Beton untuk Roof Garden ...................... 491
Gambar 11.19. Lapisan Perkerasan Fleksibel............................................... 495
Gambar 11.20. Lapisan Perkerasan Kaku .................................................... 496
Gambar 11.21. Jenis-Jenis Blok Beton Terkunci ........................................... 496
Gambar 11.22. Pola pemasangan Blok BetonTerkunci Masif ....................... 497
Gambar 11.23. Pola Pemasangan Grass Block ............................................ 497
Gambar 11.24. Lapisan Konstruksi Perkerasan Blok Beton Terkunci............ 498
Gambar 11.25. Lapisan Konstruksi Grass Block ........................................... 498
Gambar 11.26. Lapisan Konstruksi Lapangan Rumput ................................. 499
Gambar 11.27. Jalur Pejalan Kaki................................................................. 499
Gambar 11.28. Jendulan pada Lintasan Sebidang........................................ 500
Gambar 11.29. Titik Kumpul ......................................................................... 501
Gambar 11.30. Bangku Taman ..................................................................... 502
Gambar 11.31. Rambu Larangan dan Peringatan ......................................... 502
Gambar 11.32. Selokan Alami ...................................................................... 503
Gambar 11.33. Gambar Selokan Beton ........................................................ 503
Gambar 11.34. Saluran Air Hujan di Tepi Jalan ............................................ 504
Gambar 11.35. Integrasi Selokan Tepi Jalan dengan Resapan Air ............... 504
Gambar 12.1. Keterkaitan Biaya dengan Pengaturan Arsitektural ................. 508
Gambar 12.2. Dampak Keputusan pada Biaya ............................................. 509
Gambar 12.3. Biaya Daur Hidup Bangunan .................................................. 510
Gambar 12.4. Daur Hidup Bangunan ............................................................ 510
Gambar 12.5. Dampak pada Biaya, Mutu dan waktu .................................... 511

Jimmy S. Juwana xxxiii


Gambar 12.6. Korelasi Usia Fisik, Fungsional dan Ekonomis ....................... 512
Gambar 12.7. Kertas Kerja Analisis Pagu Anggaran ..................................... 517
Gambar 12.8. Grafik Kurva ‘S’ ...................................................................... 521
Gambar 12.9. Penurunan Nilai Bangunan ..................................................... 525
Gambar 12.10. Berbagai Nilai pada Tingkat Suku Bunga 8% per Tahun ...... 528
Gambar 12.11 Metode Segitiga Nilai Waktu.................................................. 528
Gambar 12.12. Grafik Analisis Titik Impas .................................................... 530
Gambar 12.13. Kertas Kerja Analisis Titik Impas .......................................... 541
Gambar 12.14. Kertas Kerja Analisis Tingkat Pengembalian Investasi ......... 542
Gambar 13.1. Penyelenggaraan Bangunan Gedung..................................... 545
Gambar 13.2. Pihak-Pihak yang Terlibat dalam Proyek ................................ 546
Gambar 13.3. Tahapan Pekerjaan Proyek .................................................... 547
Gambar 13.4. Alternatif Penyelenggaraan Proyek ........................................ 552
Gambar 13.5. Proses Pelaksanaan Konstruksi Konvensional ....................... 555
Gambar 13.6. Mobil Derek untuk Tiang Pancang dan Tiang Bor................... 556
Gambar 13.7. Sistem Pemompaan Air dari Basemen ................................... 556
Gambar 13.8. Struktur Dinding Penahan Tanah ........................................... 557
Gambar 13.9. Berbagai Jenis Struktur Turap ................................................ 557
Gambar 13.10. Jenis Tower Crane ............................................................... 558
Gambar 13.11. Ember Semen (Concrete Bucket) ......................................... 558
Gambar 13.12. Jenis Mobil Derek (Mobile Crane)......................................... 559
Gambar 13.13. Peralatan Concrete Pump dan Truck Concrete Mixer ........... 559
Gambar 13.14. Skema Urutan Tahapan Rancangan Pabrikasi ..................... 560
Gambar 13.15. Pilihan Ukuran Linier untuk Komponen Bangunan ................ 560
Gambar 13.16. Koordinasi Dimensi Komponen Bangunan ........................... 561
Gambar 13.17. Toleransi pada Perencanaan Dimensi Komponen Pracetak . 562
Gambar 13.18. Strategi Perencanaan Beton Pracetak .................................. 563
Gambar 13.19. Proses Pabrikasi sampai Pemasangan Beton Pracetak ....... 563
Gambar 13.20. Detail Sambungan Bolok ke Kolom ...................................... 564
Gambar 13.21. Detail Sambungan Kolom ..................................................... 564

Jimmy S. Juwana xxxiv


Gambar 13.22. Detail Sambungan Pelat dengan Balok ................................ 565
Gambar 13.23. Skematik Tahapan Konstruksi .............................................. 566
Gambar 13.24. Prinsip Penggalian dengan Metode Top-Down Construction 567
Gambar 13.25. Grafik Pemantau Kemajuan Pekerjaan ................................. 568
Gambar 13.26. Over Costs – Behind Schedule ............................................. 569
Gambar 13.27. Under Costs – Ahead Schedule ........................................... 569
Gambar 13.28. Under Costs – Ahead Schedule ........................................... 570
Gambar 13.29. Over Costs – Ahead Schedule ............................................. 571
Gambar 13.30. Building Information Modeling .............................................. 572
Gambar 13.31. Hasil yang Diperoleh dari BIM .............................................. 573
Gambar 13.32. Delapan Dimensi BIM ........................................................... 573
Gambar 13.33. Manfaat Penggunaan BIM .................................................... 575
Gambar 13.34. Pendekatan BIM dan Konvensional ...................................... 577
Gambar 13.35. Dampak Pendekatan BIM pada Biaya Bangunan ................. 577
Gambar 13.36. Hirarki Pengendalian Risiko.................................................. 581
Gambar 13.37. Alat Pelindung Diri ................................................................ 581
Gambar 13.38. Contoh Rambu-rambu K3 ..................................................... 582
Gambar 13.39. Contoh Rekayasa K3............................................................ 583
Gambar 13.40. Contoh Substitusi K3 ............................................................ 583
Gambar 13.41. Pemantauan dan Pengendalian Bahaya............................... 586
Gambar 13.42. Kotak P3K ............................................................................ 587
Gambar 14.1. Kerangka Kerja Konstruksi Berkelanjutan............................... 592
Gambar 14.2. Tahapan Penghematan Energi Bangunan .............................. 596
Gambar 14.3. Toilet Duduk dengan Dua Tombol .......................................... 597
Gambar 14.4. Urinal dengan Sensor ............................................................. 598
Gambar 14.5. Aerator ................................................................................... 598
Gambar 14.6. Diagram Penghematan Air ..................................................... 599
Gambar 14.7. Skema Daur-ulang Air ........................................................... 600
Gambar 14.8. Jenis/Kelompok Tanaman Penyerap Polutan ......................... 601
Gambar 14.9. Hukum Pareto ........................................................................ 603

Jimmy S. Juwana xxxv


Gambar 14.10. Skema Biaya pada LCC ...................................................... 604
Gambar 14.11. Biaya Daur Hidup Dua Alternatif Desain ............................... 611
Gambar 14.12. Kertas Kerja Analisis Biaya Daur-ulang ................................ 615
Gambar 14.13. Tiga Pilar/Dasar Manfaat ...................................................... 615
Gambar 14.14. Biaya Daur Hidup BGH......................................................... 616
Gambar 14.15. Bagan Alir Perancangan BGH .............................................. 621
Gambar 14.16. Jarak Titik Tanam dengan Tepi Perkerasan ......................... 624
Gambar 14.17. Ukuran dan Susunan Parkir Sepeda .................................... 627
Gambar 14.18. Orientasi Bangunan Gedung ................................................ 631
Gambar 14.19. Penentuan Peneduh dan Diagram Matahari ......................... 632
Gambar 14.20. Alternatif Peneduh dan Tirai Matahari .................................. 633
Gambar 14.21. Ilustrasi Penghematan dari Penggantian Lampu .................. 634
Gambar 14.22. Simulasi Intensitas Cahaya Alami......................................... 635
Gambar 14.23. Sistem Panggilan Lif ............................................................. 639
Gambar 14.24. Panel Surya dan Turbin Angin .............................................. 640
Gambar 14.25. PLTS off grid ........................................................................ 640
Gambar 14.26. Skematik Proses Daur-ulang Air pada Bangunan Gedung ... 644
Gambar 14.27. Penyiraman Konvensional .................................................... 647
Gambar 14. 28. Sprinkler System ................................................................. 648
Gambar 14.29. Drip Water System ............................................................... 648
Gambar 14.30. Kondisi Ruang di sekitar Roof Garden .................................. 653
Gambar 14.31. Produk Pipa Plastik .............................................................. 656
Gambar 14.32. Skematik Proses LCA........................................................... 657
Gambar 14.33. Ruang Lingkup LCA ............................................................. 658
Gambar 14.34. Beberapa Parameter LCA .................................................... 659
Gambar 14.35. Tahapan Pengelolaan Sampah ............................................ 662
Gambar 14.36. Roof Top Photovoltaic .......................................................... 666
Gambar 14.37. Ragam Lampu LED .............................................................. 666
Gambar 14.38. Lampu LED Organik ............................................................. 667
Gambar 14.39. Hydro Wall ............................................................................ 667

Jimmy S. Juwana xxxvi


Gambar 14.40. Jendela/Pintu Elektrokromik ................................................. 668
Gambar 14.41. Alat Pengendali Penggunaan Energi .................................... 668
Gambar 14.42. Penghantar Cahaya Alami .................................................... 669
Gambar 14.43. Structural Insulated Panel .................................................... 669
Gambar 14.44. Self-Healing Concrete .......................................................... 670
Gambar 14.45. 3D Graphene ........................................................................ 671
Gambar 14.46. Aerographite ......................................................................... 671
Gambar 14.47. Laminated Timber ................................................................ 672
Gambar 14.48. Modular Bambu .................................................................... 672
Gambar 14.49. Aluminium Transparan ......................................................... 673
Gambar 14.50. Kayu Transparan .................................................................. 673
Gambar 14.51. Light Generating Concrete ................................................... 674
Gambar 14.52. Microbial Cellulose ............................................................... 675
Gambar 14.53. Aluminium Foam .................................................................. 676
Gambar 14.54. Kristal Nano .......................................................................... 676
Gambar 14.55. Wool Brick ............................................................................ 677
Gambar 14.56. Bata Penyerap Polutan......................................................... 677
Gambar 14.57. Hydroceramics ..................................................................... 678
Gambar 14.58. Solar Sel Tembus Pandang .................................................. 679

Jimmy S. Juwana xxxvii


BAB I
PENGANTAR

“…Good buildings come from good


people, and all problems are solved by
good design…”

Stephen Gardiner

Bangunan tinggi yang merupakan karya arsitek dibangun untuk mencari


keserasian antara bahan dan alam tanpa harus mencederai lingkungan dan
bumi, sehingga ruang kota tidak dipadati oleh bangunan gedung. Itulah alasan
mengapa bangunan yang didirikan terutama di pusat kota di mana harga lahan
sangat tinggi, memilih untuk membangun secara vertikal. Hal ini agar tercapai
efektivitas dan efisiensi pemanfaatan ruang kota, serta pertimbangan investasi.

Investasi bangunan tinggi yang sangat besar, menyebabkan perancangan


bangunan tinggi perlu dilakukan secara teliti dan terintegrasi serta memenuhi
regulasi dan standar keandalan bangunan gedung, sehingga bangunan gedung
dapat bertahan untuk waktu yang lama.

1.1. Arsitektur dan Integrasi Sistem Bangunan

Bangunan gedung merupakan refleksi dari masa lalu dan sekarang dengan
pertimbangan masa yang akan datang. Oleh karenanya bangunan gedung
merupakan kolaborasi dari berbagai disiplin ilmu yang diintegrasikan dalam
bentuk rancangan. Gagasan dasar muncul dari kreativitas sang arsitek, baik
dalam bentuk intuisi (black box) maupun dalam bentuk pemrograman yang
dapat ditelusuri (glass box). Rancangan tersebut selanjutnya dapat
diekspresikan dalam satu atau beberapa massa bangunan, yang tampilan
fisiknya dihasilkan dari pertimbangan dan rumusan konsep-konsep sistem
bangunan, seperti arsitektural, struktural, mekanikal dan elektrikal, serta
lingkungan sekitar.

Plambing Alarm Elektrikal Struktural Mekanikal Arsitektural


Gambar 1.1. Integrasi Sistem Bangunan

Jimmy S. Juwana 1
Bangunan gedung dapat diibaratkan seperti tubuh manusia, di mana sistem
pencernaan identik dengan sistem plambing, jaringan syaraf, dapat disamakan
dengan sistem deteksi dini (alarm), pembuluh darah yang mengalirkan darah ke
seluruh tubuh yang membawa oksigen diibaratkan sebagai sistem elektrikal,
rangka dan tulang belulang merupakan sistem struktur, otot yang
menggerakkan anggota tubuh seperti halnya sistem mekanikal, dan kulit serta
bagian tubuh yang terlihat dari luar adalah sistem arsitektural (Gambar 1.1).
Sistem-sistem yang ada pada bangunan berfungsi secara terpadu dan
komprehensif, sehingga perlu dipertimbangkan secara holistik agar diperoleh
hasil rancangan akhir yang optimal. Pertimbangan yang hanya didasari atas
masing-masing unsur elemen arsitektural dan ranah (domain) pembentuk hasil
karya arsitektur, bukan saja akan menghasilkan karya yang sulit dipertanggung
jawabkan secara etika moral, tetapi juga akan membawa dampak pada saat
pemanfaatan bangunan gedung dengan munculnya berbagai masalah
operasional dan kesulitan pemeliharaan/perawatannya yang perlu ditanggung
oleh pengguna/penghuni bangunan (user) sepanjang usia manfaat bangunan
gedung (building life time) tersebut.

Kemajuan dan temuan di berbagai bidang teknologi sangat mendukung karya


arsitektur, khususnya di bidang struktural, konstruksi, mekanikal dan elektrikal
serta bahan bangunan. Hal ini membuka peluang bagi arsitek untuk merancang
bangunan gedung, bukan saja untuk memberi rasa nyaman dan berwawasan
lingkungan, tetapi juga memberi alternatif pilihan agar menghasilkan metode
pengoperasian dan pemeliharaan/perawatannya yang lebih ekonomis dan
efisien.

Urutan integrasi rancangan di antara sistem bangunan yang ada dapat


digambarkan pada bagan alir berikut ini (Gambar 1.2).

UMPAN BALIK

PERTIMBANGAN TIDAK
ARSITEKTURAL

SESUAI ANALISIS
FUNGSI PERTIMBANGAN SESUAI
MULAI REGULASI TEKNO SELESAI
BANGUNAN STRUKTURAL YA ANGGARAN YA
& SNI EKONOMI

PERTIMBANGAN
MEP TIDAK

UMPAN BALIK

Gambar 1.2. Bagan Alir Urutan Integrasi Perancangan Bangunan

Setelah ditetapkan fungsi bangunan, yang dilakukan berikutnya adalah


pertimbangan arsitektural, berupa program dan besaran serta hubungan antar

Jimmy S. Juwana 2
ruang yang menjadi dasar bagi analisis struktur dan analisis sistem mekanikal,
elektrikal dan plambing (MEP), di mana diperiksa kesesuaiannya terhadap
regulasi dan standar teknis (Standar Nasional Indonesia – SNI). Setelah semua
terpenuhi, dilanjutkan dengan analisis tekno-ekonomi yang ditujukan untuk
mengetahui biaya konstruksi/investasi, titik impas dan tingkat pengembalian
investasi, serta disesuaikan dengan kesediaan anggaran. Umpan balik yang
dihasilkan setelah peninjauan keseuaian atas regulasi dan standar serta
anggaran, masing-masing akan menjadi masukan/umpan balik bagi proses
rancangan yang berlangsung secara berulang (cyclic).

Khusus terkait analisis tekno ekonomi dimaksudkan untuk mengevaluasi


rancangan bangunan gedung, utamanya terhadap optimasi biaya daur hidup
bangunan (building life cycle costs). Hal ini penting agar dalam perancangan
bangunan gedung, pertimbangan yang dilakukan tidak semata-mata ditujukan
pada mendapatkan biaya awal yang rendah, tetapi juga mempertimbangkan
berbagai kemungkinan yang akan terjadi pada saat bangunan tersebut
dimanfaatkan, termasuk pertimbangan biaya operasional, pemeliharaan dan
perawatan bangunan (Gambar 1.3).

Gambar 1.3. Tahapan Rancangan Terintegrasi

Persyaratan umumnya mengacu pada peraturan perundang-undangan, yang


dalam hal ini pada Undang-Undang (UU) nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta
Kerja dan UU nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung serta
turunannya, baik berupa Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Daerah (Perda),
Peraturan Presiden (Perpres), Peraturan Menteri (Permen) dan/atau Peraturan
Gubernur/Walikota/Bupati (Pergub/Perwal/Perbup) yang terkait dengan
penyelenggaraan bangunan gedung. Sedang standar teknis yang digunakan
mengacu pada SNI atau standar internasional yang diakui, sejauh SNI belum
ada.

Jimmy S. Juwana 3
Dua gambar berikut (Gambar 1.4) menunjukkan regulasi yang digunakan dalam
penyelenggaraan bangunan gedung, mulai dari tahap pembangunan,
pelaksanaan, pemanfaatan hingga tahap pembongkaran bangunan gedung.

Undang-Undang Peraturan Menteri PUPR


- UU no. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja - Permen PUPR no. 19/PRT/M/2017
- UU no. 26/2007 tentang Penataan Ruang tentang Standar Remunerasi Minimal
- UU no. 1/2011 tentang Perumahan & Tenaga Kerja Konstruksi pada Jenjang Ahli
SLF-n
Kawasan Permukiman PENDATAAN / PENDAFTARAN TIDAK untuk Layanan Jasa Konsultasi Konstruksi
- UU no. 20/2011 tentang Rumah Susun - Permen PUPR no. 22/PRT/M/2018
- UU no. 28/2022 tentang Bangunan Gedung YA PERUBAHAN tentang Pembangunan Gedung Negara
FUNGSI/BENTUK
- UU no. 11/2010 tentang Cagar Budaya - Permen PUPR no 6/2021 tentang Standar
- UU no. 12/2008 tentang Ketertiban Umum YA/ Kegiatan Usaha dan Produk pada
- UU no. 11/2014 tentang Keinsinyuran SLF-1
YA LULUS Penyelenggara Perizinan Berusaha
- UU no. 1/2009 tentang Penerbangan Berbasis Resiko Sektor PUPR
LAPORAN TIDAK TIDAK
- UU no. 6/2017 tentang Arsitek PBG PEMERIKSAAN
KAJIAN RTB - Permen PUPR no. 8/2021 tentang Penilai
TEKNIS
- UU no. 2/2017 tentang Jasa Konstruksi BERKALA Ahli, Kegagalan Bangunan, dan Penilaian
Kegagalan Bangunan
Peraturan Pemerintah - Permen PUPR no. 9/2021 tentang
- PP no. 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pedoman Penyelenggaraan Konstruksi
PEMERIKSAAN
Pelaksanaan UU Nomor 28 Tahun 2002 PERENCANAAN PELAKSANAAN PEMELIHARAAN PERAWATAN
BERKALA
Berkelanjutan
tentang Bangunan Gedung PEMBONGKARAN - Permen PUPR no. 10 Tahun 2021 tentang
- PP no. 5/2021 tentang Penyelenggaraan PEMANFAATAN Pedoman Sistem Manajemen Keselamatan
PEMBANGUNAN
Perizinan Berusaha Berbasis Resiko Konstruksi (SMKK)
- PP no. 6/2021 tentang Penyelenggaraan - Permen PUPR no. 18/2021 tentang
Perizinan Berusaha di Daerah Standar Pembongkaran BGN
- PP no. 14/2021 tentang Perubahan atas PP - Permen PUPR no. 19/2021 tentang
TIDAK KAJIAN
No 22/2020 tentang Peraturan Pelaksanaan IDENTIFIKASI Pedoman Teknis Penyelenggaraan BGCB
UU No 2/2017 tentang Jasa Konstruksi. yang Dilestarikan.
- PP no. 42/2020 tentang Aksesibilitas - Permen PUPR no. 20/2021 tentang BGFK
Terhadap Permukiman, Pelayanan Publik, YA - Permen PUPR no. 21/2021 tentang
Dan Pelindungan dari Bencana Bagi Penilaian BGH
Penyandang Disabilitas - Permen PUPR no. 22/2021 tentang
- PP no. 22/2020 tentang Peraturan PELESTARIAN Pendataan BG
Pelaksanaan UU no. 2/2017 tentang Jasa PENYELENGGARAAN BANGUNAN GEDUNG
- Permen PU No. 11/2014 tentang
Konstruksi Pengelolaan Air Hujan pada Bangunan
- PP no. 26/2007 tentang Rencana Tata Gedung & Persilnya
Ruang Wilayah Nasional DIDUKUNG OLEH TIM PROFESI AHLI (TPA) & PENYEDIA JASA (KONSULTAN & KONSTRAKTOR) - Permen PU No. 16/2010 tentang
- PP no. 4/1988 tentang Rumah Susun Pedoman Teknis Pemeriksaan Berkala
Bangunan Gedung
Peraturan Presiden - Permen PU No. 18/2010 tentang
- Perpres RI no. 73/2011 tentang mengenai Pedoman Revitalisasi Kawasan
Pembangunan Gedung Negara - Permen PU No. 29/2006 tentang Panduan - Permen PU No. 24/2008 tentang - Peraturan Menteri PU Nomor 20 Tahun
- Perpres RI no. 12/2021 tentang Perubahan Teknis Persyaratan Bangunan Gedung Pedoman Pemeliharaan Bangunan Gedung 2009 tentang Pedoman Teknis Manajemen
Perpres 16/2018 tentang Pengadaan - Permen PU No. 29/2006 tentang Panduan - Permen PU No. 26/2008 tentang
Teknis Fasilitas & Aksesibilitas pada Persyaratan Teknis Sistem Proteksi
Bangunan Gedung & Lingkungan Kebakaran pada Bangunan Gedung &
- Permen PU No. 05/2007 tentang Pedoman Lingkungan
Teknis Pembangunan Rumah Susun - Permen PU No. 26/2007 tentang
Sederhana Bertingkat Tinggi Pedoman Tim Ahli Bangunan Gedung

Sumber: Juwana, 2021 diperbaharui


Gambar 1.4. Acuan Regulasi dalam Penyelenggaraan Bangunan Gedung

Saat ini, sejumlah peraturan terkait bangunan gedung sudah dirangkum dalam
Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan turungannya PP
nomor 16 tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang nomor
28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.

Di samping itu, sejumlah SNI juga digunakan sebagai acuan bagi


penyelenggaraan bangunan gedung (Gambar 1.5).

Jimmy S. Juwana 4
SNI ARSITEKTUR SNI MEP
- SNI 02 -1733 - 2004 – Tata Cara SLF-n - SNI 0225 Tahun 2020 tentang Persyaratan
PENDATAAN / PENDAFTARAN TIDAK
Perencanaan Lingkungan Perumahan di Umum Instalasi Listrik (PUIL) 2020
Perkotaan - SNI 0225 Tahun 2011 tentang Persyaratan
YA PERUBAHAN
FUNGSI/BENTUK
Umum Instalasi Listrik (PUIL) 2011
- SNI 6390 Tahun 2020 tentang Konservasi
SNI STRUKTUR YA/ Energi Sistem Tata Udara pada Bangunan
- SNI 1726 Tahun 2019 tentang Tata Cara YA LULUS
SLF-1 Gedung
Perencanaan Ketahanan Gempa untuk - SNI 6389 Tahun 2020 tentang Konservasi
LAPORAN
Struktur Bangunan Gedung dan Non Gedung, PBG PEMERIKSAAN
TIDAK KAJIAN TIDAK RTB
Energi Selubung Bangunan pada Bangunan
TEKNIS
- SNI 1727 Tahun 2020 tentang Beban BERKALA
Gedung
Desain Minimum dan Kriteria terkait untuk - SNI 6197 Tahun 2020 tentang Konservasi
Bangunan Gedung dan Struktur Lain, Energi pada Sistem Pencahayaan
- SNI 1729 Tahun 2020 tentang Spesifikasi - SNI 8153 Tahun 2015 tentang Sistem
PEMERIKSAAN
untuk Bangunan Gedung Baja Struktural PERENCANAAN PELAKSANAAN PEMELIHARAAN PERAWATAN
BERKALA Plambing pada Bangunan Gedung
- SNI 8900 Tahun 2020 tentang Panduan PEMBONGKARAN
- SNI 04-0227 Tahun 2003 tentang Tegangan
Desain Sederhana untuk Banguna Gedung PEMBANGUNAN PEMANFAATAN Standar
- SNI 7860 Tahun 2020 tentang Ketentuan - SNI 03-1746 Tahun 2000 tentang Tata cara
Seismik untuk Bangunan Gedung Baja Perencanaan dan Pemasangan Sarana Jalan
Struktural Keluar untuk Penyelamatan terhadap Bahaya
- SNI 2847 Tahun 2019 tentang Persyaratan kebakaran pada Bangunan Gedung.
TIDAK KAJIAN
Beton Struktural untuk Bangunan Gedung, IDENTIFIKASI
- SNI 03-6573 Tahun 2001 tentang Tata cara
- SNI 2052 Tahun 2017 tentang Baja perancangan Sistem Transportasi Vertikal dalam
Tulangan Beton Gedung (lif)
- SNI 8046 Tahun 2016 tentang Stabilitas
YA - SNI 05-7052 Tahun 2004 tentang Syarat-syarat
Lereng Umum Konstruksi Lift Penumpang yang
- SNI 03-1734 Tahun 1989 tentang Tata Cara Dijalankan dengan Motor Traksi Tanpa Kamar
PELESTARIAN Mesin
Perencanaan Beton & Struktur Dinding
-SNI 03 – 3987 – 1995 – Tata Cara
Bertulang untuk Rumah & Gedung PENYELENGGARAAN BANGUNAN GEDUNG
Perencanaan, Pemasangan Pemadam Api
- SNI 03-3976 Tahun 1995 tentang Tata Cara Ringan untuk Pencegahan Bahaya Kebakaran
Pengadukan dan Pengecoran Beton pada Bangunan Rumah & Gedung
DIDUKUNG OLEH TIM PROFESI AHLI (TPA) & PENYEDIA JASA (KONSULTAN & KONSTRAKTOR)
- SNI 03-2834 Tahun 2000 tentang Tata Cara -SNI 03 – 1745 – 2000 – Tata Cara
Pembuatan Rencana Campuran Beton Perencanaan & Pemasangan Sistem Pipa
Normal Tegak & Slang untuk Pencegahan Bahaya
- SNI 03-3449 Tahun 2002 tentang Tata Cara - SNI 03-2459 Tahun 2002 tentang - SNI 03 – 6169 -2000 – Prosedur Audit kebakaran pada Bangunan Gdung
rencana Pembuatan campuran Beton Ringan Spesifikasi Sumur Resapan Air Hujan untuk Energi pada Bangunan Gedung - SNI 03 – 3985 – 2000 – Tata Cara
dengan Agregat Ringan Lahan Pekarangan -SNI – 03 – 7017.2 – 2004 – Lift Traksi Perencanaan,Pemasangan dan Pengujian
- SNI 03 – 2847 – 2002 – Jumlah Benda Uji - SNI 03-6481 Tahun 2000 tentang Sistem Listrik pada Bangunan Gedung – Bagian 2: Sistem Deteksi & Alarm Kebakaran untuk
- SNI 03 – 4803 – 1998 – Uji Pantul Beton Plambing 2000 Pemeriksaan & Pengujian Berkala Pencegahan Bahaya Kebakaran pada
GSJ
A TransparanMasif

GSJ

GSB
4
3
2
1

Y A+Yn0,5YB
n>4
B

- SNI 03 – 1973 – 1980 – Metode Pengujian - SNI 04-7018 Tahun 2004 tentang Sistem - SNI 03-6575 Tahun 2001 tentang Tata Bangunan Gedung
Berat Isi Beton Pasokan Daya Listrik Darurat dan Siaga Cara Perancangan Sistem Pencahayaan -SNI 03 – 3989 – 2000 – Tata Cara
- SNI 03-4330- 1997 – Metode Pengujian - SNI 04-7019 Tahun 2004 tentang Sistem Buatan pada Bangunan Gedung Perencanaan dan Pemasangan Sistem
Elemen Struktur Beton dengan alat palu Pasokan Daya Listrik Darurat Menggunakan - SNI 03-2453 Tahun 2002 tentang Tata Springkler Otomatik untuk Pencegahan Bahaya
beton. Energi Tersimpan Cara Perencanaan Perancangan Sumur Kebakaran pada Bangunan Gedung
- SNI 03-6572 Tahun 2001 tentang Tata Cara Resapan Air Hujan untuk Lahan - SNI 03-6571 Tahun 2001 tentang Sistem
Perancangan Sistem Ventilasi dan Pekarangan Pengendalian Asap Kebakaran pada Bangunan
Pengkondisian Udara pada Bangunan - SNI 03-2396 Tahun 2001 tentang Tata Gedung
Gedung Cara Perancangan Sistem Pencahayaan -SNI 03 – 0712 – 2004 – Sistem Manajemen
Alami pada Bangunan Gedung Asap dalam Mal, Atrium, dan Ruangan
Bervolume Besar

Sumber: Juwana, 2021 diperbaharui


Gambar 1.5. Acuan SNI dalam Penyelenggaraan Bangunan Gedung

Daftar regulasi dan SNI yang terkait dengan penyelenggaraan bangunan


gedung dapat dilihat pada Lampiran 1.

PP no 16 tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan UU no 28 tahun 2002


tentang Bangunan Gedung, yang merupakan turunan UU no 11 tahun 2020
tentang Cipta Kerja disebut juga sebagai persyaratan penyelenggaraan
bangunan gedung (building code) yang terdiri dari perancangan, pelaksanaan
dan pengawasan, pemanfaatan serta pembongkaran bangunan gedung.

Gambar 1.6 menunjukkan SNI yang kerap digunakan dari sekitar 270 SNI yang
terkait dengan penyelenggaraan bangunan gedung. Beberapa di antaranya
sudah ada SNI yang mengalami revisi dengan edisi yang terbaru dan/atau
penambahan SNI baru.

Di samping itu ada SNI yang terkait dengan fungsi bangunan gedung, seperti
SNI 8152:2021 tentang Pasar Rakyat, SNI 03-746-2004 tentang Terminal
Penumpang Bandar Udara, SNI 03-3846-1994 tentang Tata Cara Perencanaan
Teknik Bangunan Stadion, SNI 03-3847-1994 tentang Tata Cara Perencanaan
Teknik Bangunan Gedung Olah Raga, dan SNI lainnya yang juga perlu dijadikan
pertimbangan.

Jimmy S. Juwana 5
Sumber: Juwana, 2020 dimodifikasi
Gambar 1.6. SNI untuk Bangunan Gedung

1.2. Perkembangan Bangunan Tinggi

Perkembangan bangunan tinggi dimulai di Amerika Serikat pada akhir abad 19


yang dimulai setelah terjadi kebakaran besar di kota Chicago pada tanggal 8 –
10 Oktober 1871 yang menewaskan sekitar 300 orang dan menyebabkan
musnahnya sekitar 17.500 bangunan gedung di areal seluas 9 km2 dan lebih
dari 100.000 orang kehilangan tempat tinggalnya. Setelah kejadian ini kota
Chicago mengubah peraturan bangunan gedungnya untuk mencegah
penyebaran api. Karena luas lahan terbatas, dan agar tetap tersedia lahan
terbuka di antara bangunan, bangunan gedung dirancang secara vertikal.

Perkembangan ini dipercepat dengan adanya penemuan bahan bangunan yang


ringan dan kuat, seperti almunium, baja, berbagai ragam kaca, serta beton mutu
tinggi. Hal ini membuat orang mempunyai alternatif pilihan bagi rancangan
bangunan tinggi. Berbagai peralatan konstruksi yang dihasilkan pada era
revolusi industri menyebabkan bangunan tinggi dapat dilaksanakan secara lebih
cepat dan ekonomis dengan berbagai metode pelaksanaan konstruksi. Saat ini
dengan kemajuan di bidang teknologi informasi dan komputer menyebabkan
para perancang dengan mudah melakukan simulasi terhadap rancangan
bangunan tinggi yang akan dibangun.

Jimmy S. Juwana 6
Tabel 1.1. Klasifikasi Ketinggian Bangunan

Jumlah
Klasifikasi Ketinggian [m] Keterangan
Lantai
Bangunan Rendah 1–4 < 12 Tidak menggunakan lif
Bangunan Menengah 5–8 12 – 30 Lif dengan satu zona layanan
Lif dengan beberapa zona
Bangunan Tinggi 9 – 40 >30 – 160
layanan
Bangunan Pencakar Memiliki satu sky lobby
41 – 100 >160 – 400
Langit
Bangunan Super Tinggi > 100 > 400 Memiliki beberapa sky lobby
Sumber: PP no 16 tahun 2021

Batasan kategori bangunan tinggi sampai sekarang masih belum dapat


disepakati secara bulat, ada yang menentukan dengan batasan jumlah lantai,
ketinggian bangunan atau perbandingan antara sisi terpendek bangunan
dengan total ketinggian bangunan, namun untuk sementara Tabel 1.1 dapat
memberikan gambaran terkait batasan bangunan tinggi tersebut.

Perkembangan bangunan tinggi diawali dengan selesai dibangunnya Gedung


St. Paul karya arsitek George B. Post di Broadway, New York yang tingginya 19
lantai pada tahun 1894. Sebelumnya di Philadelphia, Boston dan Chicago
bangunan-bangunan yang ada tingginya hanya mencapai 10 lantai.
Selanjutnya, pada awal tahun 1900-an, didirikan bangunan bergaya Gothic,
Gedung Singer, yang tingginya 21 lantai, Menara Times (tingginya 120 m),
Gedung Flatiron (tinggi 95 m), gedung Trinity dan Gedung United States Realty
berlantai 34. Setelah itu dalam kurun waktu satu abad dibangun puluhan
bangunan tinggi, gedung pencakar langit, yang tingginya mencapai lebih dari
100 lantai.

Perancangan bangunan tinggi mengalami beberapa tahapan:

a. Periode fungsional (The Functional Period) ditandai dengan karya Louis


Sullivan dan John Wellborn Root merupakan arsitek yang mempelopori
pendirian gedung pencakar langit di Chicago, seperti gedung Montouk karya
Root, yang dibangun tahun 1882 merupakan bangunan tinggi yang pertama
kali menggunakan lif dengan kemampuan mencapai ketinggian hingga 10
lantai.
b. Periode elektik (The Electic Period) ditandai dengan berdirinya beberapa
bangunan tinggi di New York, di antaranya Metropolitan Life Insurance
Tower, karya Pierre LeBrun, Woolworth Building, karya Cass Gilbert
Equitable Building dan lainnya.

Jimmy S. Juwana 7
c. Periode elektik ini kemudian dilanjutkan dengan periode dengan munculnya
desain art deco (The Art Deco Period) dengan munculnya gedung seperti
Rockeffeler Center, karya Raymmond Hood dan Chrysler Building, karya
William Van Alen dan Empire State Building, karya Shreve, Lamb & Harmon
di New York serta Wrigley Building, karya William Wrigley di Chicago.

d. Memasuki pertengahan tahun 1900an, muncul gaya bangunan tinggi yang


dikenal dengan gaya internasional (The International Style), yang dipelopori
oleh konsultan arsitek Skidmore, Owings & Merill (SOM) dengan bangunan
Lever House di New York, yang kemudian diikuti oleh arsitek Mies van der
Rohe dengan Seagram Building di New York dan Frank Lloyd Wright di
Kansas City berupa gedung Price Tower serta di banyak kota-kota besar di
Amerika Serikat seperti Philadelphia, Boston, Houston, Seattle, Los
Angeles, San Fransisco yang bermunculan bangunan tinggi dan gedung
pencakar langit.

e. Pada periode super tinggi (The Supertall Period) banyak dibangun gedung
pencakar langit, di antaranya, Gedung John Hancock Center dan Menara
Sears (sekarang berubah menjadi Menara Willis) karya SOM di Chicago,
Menara Kembar World Trade Center, karya Minoru Yamasaki di New York
(yang runtuh pada peristiwa 11 September 2001), Gedung PPG Place dan
US Steel di Pittsburg, Gedung UCB dan First Interstate Bank World Center
di Los Angeles, Menara Transamerica di San Fransisco, serta sejumlah
bangunan pencakar langit lainnya.

f. Setelah periode ini, banyak arsitek mulai mencoba melakukan berbagai


pendekatan agar bangunan tinggi memiliki interaksi sosial dengan
lingkungan sekitarnya (The Social Skyscraper) dengan membebaskan lantai
dasar (street level) sebagai bagian dari ruang publik, yang ditandai dengan
dibangunnya beberapa gedung, seperti Citicorp Center, karya Hugh
Stubbins & Le Messurier di New York, Xerox Center karya Helmut Jahn di
Chicago, Westcoast Transmission Building di Vancouver, Canada, dan
Hongkong Shanghai Bank di Hongkong.

g. Pada dua puluh tahun terakhir bangunan tinggi banyak menggunakan


pendekatan arsitektur post modern (The Post Modern Period), dengan
bangunan pencakar langi yang menjulang tinggi, seperti Bank of China,
karya I.M. Pei di Hongkong, Menara kembar Petronas karya Cesar Pelli di
Kuala Lumpur, karya Kohn Pedersen Fox (KPF) dengan bangunan di South
Wacker Drive di Chicago, sejumlah bangunan tinggi lain yang tersebar di
manca negara, di antaranya di Shanghai dan Beijing di Tiongkok, Taiwan,
serta Dubai, Uni Emirat Arab.

Jimmy S. Juwana 8
Gambar 1.7. Perbandingan Ketinggian Beberapa Bangunan Tinggi di Dunia

Di Jepang, Hongkong dan Singapura di mana lahan yang tersedia terbatas,


bangunan cenderung dibangun secara vertikal, di antaranya Gedung OUB dan
Menara Scotts di Singapura, Olympia Plaza dan Central Plaza di Hongkong,
serta Menara Landmark di Yokohama dan Menara Millenium di Tokyo. Di
kawasan Asia Pasific lainnya juga berkembang bangunan tinggi, seperti
Gedung UMNO di Pulau Penang, Malaysia, Menara Jin Mao di Shanghai,
China, Kingdom Center di Riyadh, Arab Saudi, Burj Khalifa di Dubai, Uni Emirat
Arab, dan Rialto Center di Melbourne serta Macquarie Street Tower di Sydney,
Australia.

Jimmy S. Juwana 9
Di Eropa, ada Commerzbank di Frankfurt, Jerman, dan Menara Millenium di
London, Inggris, serta Carlton Centre di Johannesburg, Afrika Selatan.
Perbandingan ketinggian beberapa bangunan pencakar langit yang ada di dunia
dapat dilihat pada Gambar 1.7.

Dalam satu dekade terakhir ini, di Cina saja lebih dari 100 bangunan tinggi
didirikan di berbagai kota, di antaranya Shanghai Tower dengan 128 lantai
dengan tinggi bangunan 632 m, Ping An Finance Center di Shenzhen dengan
jumlah 115 lantai dengan total ketinggian hampir 600 m, dan bangunan tinggi
lain yang didirikan di kota Wuhan, Nanjin, Beijing, dan belasan kota lainnya di
daratan Tiongkok.

Saat ini bangunan tinggi telah melalui berbagai tahapan gaya rancang bangun
yang masing-masing menghasilkan bentuk sky line kota-kota besar dan
memacu orang untuk merancang bangunan yang lebih tinggi lagi, di antaranya
dapat dilihat pada Tabel 1.2.
Tabel 1.2. Beberapa Bangunan Tinggi di Dunia

Tinggi
No Bangunan Gedung Lokasi
[m]
1 Messeturm Frankfurt, Jerman 260
2 Landmark Tower Yokohama, Jepang 295
3 Bank of China Tower Hong Kong 295
4 Central Plaza Hong Kong 368
5 Empire State Building New York City, AS 381
6 Latour Sans Fin Paris, Perancis 419
7 Jin Mao Building Shanghai, Tiongkok 421
8 Asia Plaza Kaohsiung, Taiwan 427
9 Willis Tower (dulu Sears Tower) Chicago, AS 442
10 Petronas Towers Kuala Lumpur, Malaysia 452
11 Chongqing Tower Kuala Lumpur, Malaysia 457
12 Taipei 101 Taipei, Taiwan 509
13 Lotte World Tower Seoul, Korea Selatan 556
14 Abraj Al Bait Mekkah, Saudi Arabia 559
15 Entisar Tower Dubai, Uni Emirat Arab 570
16 Goldin Finance 117 Tanjin, Tiongkok 597
17 Shanghai Tower Shanghai, Tiongkok 632
18 Millenium Tower Tokyo, Jepang 800
19 Burj Khalifa Dubai, Uni Emirat Arab 828
20 Tokyo-Nara Tower Tokyo, Jepang 880
Sumber: Fu, 2018, dimodifikasi

Jimmy S. Juwana 10
Di Indonesia, bangunan tinggi dimulai pada tahun 1962 dengan didirikannya
Gedung Sarinah, Hotel Indonesia dan Wisma Nusantara di Jalan Thamrin –
Jakarta. Selanjutnya, dalam kurun waktu tiga dekade, bermunculan bangunan-
bangunan tinggi di kota-kota besar di Indonesia.

Di Jakarta, saat ini sudah ada lebih dari 800 bangunan tinggi di atas delapan
lantai, sebagian besar berfungsi sebagai gedung perkantoran, hotel dan
Apartemen. Di antara sekian banyak gedung yang ada di Jakarta tercatat:
Gedung Wisma BNI, Gedung Menara Niaga, Gedung Artha Graha, Apartemen
Taman Anggrek, Hotel Sultan Jakarta, dan lain-lain. Sedang yang masih dalam
konsep rancangan adalah Gedung Menara Jakarta (Indonesia Tower) karya
Jean-Paul Viguier, bangunan dengan ketinggian 395 m yang tediri dari 125
lantai (Gambar 1.8).

Gambar 1.8. Bangunan Tinggi di Jakarta dan Menara Jakarta

Bangunan tinggi di Indonesia perlu dirancang dengan kehati-hatian, karena


sebagian besar wilayah Indonesia termasuk dalam zona rawan bencana gempa
bumi, sehingga ketinggian bangunan perlu mempertimbangkan kemampuan
strukturnya dalam menahan beban gempa, di samping beban-beban lain yang
bekerja.

1.3. Persyaratan Kinerja Bangunan Tinggi

Untuk medukung aktivitas di dalamnya, bangunan perlu menyediakan hal-hal


yang dibutuhkan bagi metabolisme manusia, seperti udara sehat dan air yang
bersih, pengolahan limbah, kenyamanan termal (pengendalian suhu,
kelembapan udara dan laju aliran udara), privasi, keamanan, dan keperluan
aktivitas lainnya, baik yang berkaitan dengan aspek kenyamanan visual maupun
kebisingan/getaran. Oleh karenanya, diperlukan pasokan tenaga listrik untuk
mengoperasikan perlengkapan/peralatan bangunan yang ada, baik untuk
transportasi dan distribusi, maupun untuk keperluan komunikasi, seperti

Jimmy S. Juwana 11
telepon, siaran radio dan televisi, serta beroperasinya sistem tata udara, tata
suara dan pencahayaan, pompa serta sistem keamanan.

Dalam kaitan dengan hal-hal tersebut di atas, maka bangunan perlu dipilah-
pilah. Setiap elemen bangunan disesuaikan dengan kriteria dan persyaratan
yang ditentukan, agar mutu bangunan yang dihasilkan sesuai dengan fungsi
yang diinginkan. Keterlibatan dan keterpaduan antara sistem bangunan, metode
konstruksi, teknologi bahan dan bangunan sangat berpengaruh atas kinerja
bangunan yang dihasilkan (Gambar 1.9).

Sumber: Sebestyen, 2003, dimodifikasi


Gambar 1.9. Standar Kinerja Bangunan Tinggi

Menurut PP nomor 16 tahun 2021, kinerja bangunan bangunan gedung harus


memenuhi standar keandalan bangunan gedung; standar keselamatan, standar
kesehatan, standar kenyamanan dan standar kemudahan (Gambar 1.10).

Jimmy S. Juwana 12
Sumber: Juwana, 2021
Gambar 1.10. Standar Keandalan Bangunan Gedung

Dari Gambar 1.8 standar keandalan bangunan gedung dapat dirinci:


a. Keselamatan, meliputi di antaranya:
1) pemenuhan fungsi;
2) kemampuan mendukung beban;
3) kemampuan mencegah dan menanggulangi bahaya kebakaran; dan
4) aksesibilitas (mengacu pada universal designs).
b. Kesehatan, meliputi di antaranya:
1) penghawaan;
2) pencahayaan;
3) sanitasi; dan
4) penggunaan bahan bangunan.
c. Kenyamanan, meliputi di antaranya:
1) kenyamanan ruang gerak dan hubungan antar ruang;
2) kenyamanan termal;
3) kenyamanan audio
4) kenyamanan visual; dan
5) getaran.
d. Kemudahan, meliputi di antaranya:
1) kemudahan hubungan dalam ruang; dan
2) kelengkapan sarana prasarana dalam pemanfaatan bangunan.

Di samping itu, bangunan harus stabil dan dapat bertahan terhadap intervensi
eksternal berupa bahaya api, sambaran petir dan gaya-gaya yang disebabkan
oleh angin dan gempa bumi, serta agar tidak mengakibatkan kerusakan

Jimmy S. Juwana 13
lingkungan sekitarnya, perlu juga dilakukan penataan ruang luar yang sesuai
dan serasi dengan menanam berbagai jenis vegetasi yang dapat mengurangi
panas kawasan, menjerap polusi, mengurangi kebisingan dan menyaring debu.

Pemenuhan kinerja bangunan gedung tersebut dilakukan dengan melakukan


rancangan yang menggunakan pendekatan integrasi sistem bangunan
(Gambar 1.11).

Sumber: Ching, Onouye & Zuberbuhler, 2014.

Gambar 1.11. Pendekatan Integrasi Sistem Bangunan

Soal-Soal Latihan

1. Sistem apa saja yang perlu dipertimbangkan dalam perancangan


bangunan gedung.

2. Mengapa faktor biaya merupakan hal yang juga perlu dipertimbangkan


dalam merancang bangunan gedung.

3. Apa regulasi yang dijadikan acuan bagi penyelenggaraan bangunan


gedung.

4. Kapan awal perkembangan bangunan tinggi.

Jimmy S. Juwana 14
,
5. Apa alasan utama orang membangun gedung secara vertikal.

6. Jelaskan ciri dan rentang waktu tiap tahapan perkembangan bangunan


tinggi.

7. Di mana bangunan tertinggi di dunia saat ini. Jelaskan secara singkat.

8. Apa yang mendukung percepatan perkembangan bangunan tinggi.

9. Bagaimana perkembangan bangunan tinggi di Indonesia dan apa yang


dijadikan batasan untuk menentukan kategori bangunan gedung tinggi.

10. Sebutkan kinerja sistem struktural dan MEP pada bangunan tinggi yang
perlu dipertimbangkan.

Daftar Kepustakaan dan Rujukan

… (2021); https://web.ii.cad’nalyd’skyscrapers/tallones.htm, Nalyd’s Skyscraper Page.

… (2021); Peraturan Pemerintah nomor 16 tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan


Undang-Undang nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, Jakarta.

… (2020); SkycraperPage.com, “Skyscraper Diagram”, Skyscraper Source Media,


Barclays Capital.

Bennet, D et al, (1995); Skyscraper – Form & Function. Simon & Schuster, New York

Ching F.D.K., Onouye B., & Zuberbuhler D., (2014); Building Structures Illustrated 2nd
Edition, John Wiley & Sons., Inc., Hoboken.

Fu, (2018); Design and Analysis of Tall And Complex Structures, Elsevier, Oxford.

Garreta, A.A., (2004); Skycrapers, Atrium Group, Barcelona.

Howeler, E., (2003); Skyscraper – Design of Recent Past and For the Near Future,
Thames & Hudson, London.

Juwana J, S., (2020); “Perencanaan & Perancangan untuk Tertib Membangun dan
Peraturan Bangunan, Bekasi, Jawa Barat.

Juwana J. S., (2021); “Pertimbangan Rancangan Bangunan Tinggi”, Jakarta.

Sebestyen, G., (2003); New Architecture and Technology, Architectural Press, Oxford.

Wright H., (2008); Skycrapers – Fabulous Buildings that Reach the Sky, Parragon, Bath.

Jimmy S. Juwana 15
BAB II
SISTEM ARSITEKTURAL

“…Architecture is a social act and the


material theatre of human activity…”
Spiro Kostof

Pendekatan dalam merancang bangunan tinggi berbeda dengan perancangan


bangunan rendah, khususnya jika dibandingkan dengan bangunan hunian
tapak (landed house), di mana pada perancangan bangunan hunian umumnya
dilakukan dengan melakukan penataan ruang terlebih dahulu dan selanjutnya
baru menyusul pengaturan sistem struktur dan utilitas.

Pada bangunan tinggi, setelah konfigurasi dan bentuk bangunan ditentukan,


pola, sistem dan bahan struktur dianalisis untuk diintegrasikan dengan sistem
utilitas dan sirkulasi dalam bangunan. Hal ini dilakukan secara cermat untuk
memperoleh fleksibilitas dalam penataan ruang yang merupakan ranah
arsitektur agar menghasilkan efisiensi dan efektivitas penataan ruang dalam,
dengan tetap mempertimbangkan aspek anggaran dan metode pelaksanaan
konstruksi serta pemanfaatan bangunan gedung setelah proses pelaksanaan
konstruksi selesai.

2.1. Pendekatan Rancangan Arsitektur

Beberapa pendekatan rancangan arsitektur dilakukan dengan melibatkan


aplikasi teknologi dan sistem bangunan secara terpadu, agar menghasilkan
bangunan tinggi yang lebih efisien dan peduli terhadap lingkungan.

Pendekatan pertama dilakukan berdasarkan kepedulian atas peningkatan iklim


globat yang diakibatkan oleh polusi udara dan efek rumah kaca serta
berdampak pada kerusakan lapisan Ozon. Tipologi dan bentuk bangunan
umumnya beradaptasi dengan kondisi setempat, di mana bangunan gedung
tersebut berada, agar serasi dan selaras dengan lingkungan sekitarnya.

Bangunan/hunian tradisional (bangunan vernakular) yang dirancang dengan


mempertimbangkan dan pendekatan potensi serta kearifan lokal, biasanya lebih
ramah terhadap lingkungan. Pendekatan ini tentunya tidak terbatas pada suatu
lingkup yang hanya dibatasi oleh pemilihan bahan bangunan
konvensional/tradisional, kepercayaan, metode pelaksanaan yang digunakan,
tetapi juga pengaruh budaya dan tradisi masyarakat setempat serta
mempertimbangkan rantai pasok (supply chain) bagi keperluan
pembangunannya. Di lokasi yang iklimnya panas dan kering, orang memilih
bentuk yang masif dan bukaan yang sedikit pada bangunan yang didirikan,

Jimmy S. Juwana 16
untuk menghindari cuaca yang panas pada siang hari dan dingin pada malam
hari. Sedang di lain pihak pada lokasi beriklim panas dan lembap, bangunan
terkesan ringan dengan bukaan besar dan kadang merupakan bangunan
panggung, untuk menangkap sebanyak mungkin manfaat matahari dan sirkulasi
udara alami.

Pendekatan ini dilakukan di Indonesia di mana orientasi bukaan bangunan,


dimensi dan tata letak serta pemilihan bahan bangunan yang sesuai menjadi
titik tolak perancangan, sehingga menghasilkan bangunan sercara optimal
dapat memanfaatkan potensi alam, terutama sinar matahari dan angin.
Bangunan ini dapat memilih pendekatan bangunan tropis atau bangunan
bioklimatik.

Selanjutnya, untuk melakukan penghematan atas penggunaan sumber daya


alam yang ada di bumi, khususnya ditujukan pada penggunaan tenaga listrik
yang masih banyak menggunakan energi berasal dari fosil (minyak bumi dan
batu bara), secara bertahap mulai melakukan upaya konservasi dan efisiensi
dengan menggunakan energi baru terbarukan seperti panel surya, kincir/turbin
angin, mikro hidro atau dari pengolahan sampah domestik.

Pendekatan lain yang ditujukan untuk menjaga kerapian lingkungan sekitar


melalui saluran jaringan utilitas bangunan, seperti instalasi MEP dijadikan satu
dengan saluran distribusi air bersih (clean water), pembuangan air buangan
(grey water), air limbah/kotor (black water) dalam satu saluran utilitas terpadu
(integrated utility duct). Dengan adanya saluran utilitas terpadu ini, perubahan
(penambahan) jaringan baru tidak perlu melakukan penggalian/penimbunan
tanah berulang-ulang (Gambar 2.1).

Gambar 2.1. Saluran Utilitas Terpadu

Kolaborasi di antara tenaga ahli profesional yang mendukung keterpaduan antar


sistem bangunan gedung, terlihat pada bidang keahlian yang diwakilinya,
sehingga alokasi kebutuhan ruang dan keterkaitan satu dengan lainnya dapat
tertata dengan baik (Gambar 2.2).

Jimmy S. Juwana 17
Sumber: Bovill, 1991 dimodifikasi

Gambar 2.2. Integrasi Sistem Bangunan dalam Rancangan

Dalam Gambar 2.2 terlihat peran sentral dari arsitek untuk merangkum dan
mengintegrasikan berbagai produk rancangan para tenaga ahli lain untuk
menghasilkan bangunan gerdung sesuai dengan fungsinya.

2.2. Intensitas Bangunan Gedung

Pengertian intensitas bangunan gedung umumnya dikaitkan dengan kepadatan


bangunan terhadap tapak atau persil yang ditempatinya, baik berupa
perbandingan antara luas lantai dasar dengan tapak, dan perbandingan antara
total luas lantai dengan tapak, maupun perbandingan ketersediaan ruang
terbuka atau intensitas bangunan karena adanya basemen. Namun pada
pembahasan lebih difokuskan pada perbandingan antara luas lantai yang ada
(luas lantai kotor/bruto/gross) dengan areal lantai yang dapat digunakan untuk
aktivitas.

Dalam merancang bangunan gedung. Arsitek menghitung luas lantai bangunan


yang dibutuhkan bagi kegiatan penghuni/pengguna bangunan (luas netto) dan
selanjutnya ditambah luasan yang diperlukan untuk sirkulasi (horizontal dan
vertikal), ruang utilitas untuk penempatan perlengkapan/peralatan bangunan
baik berupa peralatan mekanikal maupun elektrikal. Perlu diingat luasan

Jimmy S. Juwana 18
ruangan masih perlu dikurangi dengan luas lantai yang ditempati oleh
komponen struktur bangunan, baik berupa kolom maupun dinding geser/inti
bangunan.
Perbandingan antara luas efektif yang sering juga disebut sebagai
luasbersih/netto (net floor area – NFA) dan luas kotor (bruto) atau gross floor
area (GFA) dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Nisbah Luas Bersih terhadap Luas Lantai Kotor

Koefisien
Fungsi Bangunan Gedung
(NFA = koef x GFA)
Apartemen 0,64
Asrama 0,65
Auditorium 0,70
Balai Pertemuan Umum 0,58
Bank 0,72
Bangunan Institusional/Administrasi 0,67
Gedung Parkir 0,85
Gudang 0,93
Hotel 0,63
Museum 0,80
Pengadilan 0,61
Perbelanjaan/Pertokoan 0,81
Perkantoran 0,80
Perpustakaan 0,76
Restoran 0,70
Rumah Sakit 0,55
Sekolah (Laboratorium) 0,59
Sekolah (Ruang Peragaan Biologi) 0,62
Sekolah (Ruang Kelas) 0,66
Sumber: Swinburne, 1980

Untuk menghitung perkiraan awal total luas bangunan gedung yang diperlukan
(luas kotor), dapat mengacu unit okupansi, baik mengacu pada jumlah unit,
tempat tidur, kursi, mobil, maupun jumlah orang untuk fungsi bangunan gedung
tertentu, sebagaimana tercantum dalam Tabel 2.2.

Setelah diperoleh total luas kotor, nilai ini digunakan untuk berbagai keperluan
lanjutan, seperti untuk memperkirakan keperluan sistem MEP yang pendukung
fungsi bangunan gedung, kepadatan struktur bangunan gedung, penentuan
jumlah massa dan ketinggian bangunan, pagu anggaran untuk pelaksanaan
konstruksi dan biaya investasi, serta standar teknis lainnya.

Jimmy S. Juwana 19
Tabel 2.2. Rancangan Luas Kotor sesuai Fungsi per Unit Okupansi

Fungsi Bangunan Gedung Unit Luas Bruto [m2]


Apartemen Unit 80,0
Asrama Tempat tidur 18,5
Auditorium Kursi 2,5
Bioskop/Teater Kursi 1,5
Gedung Parkir Mobil 33,5
Hotel Kamar 85,0
Rumah Sakit Tempat tidur 30,0
Restoran Kursi 3,0
Sekolah Dasar Murid 7,0
Sekolah Lanjutan Pertama Murid 10,0
Sekolah Menengah Umum Murid 12,0
Sumber: Bovill, 1991 dimodifikasi.

2.2.1. Rancangan Hotel

Hotel terbagi dalam beberapa peringkat dan jenis; untuk kategori yang
digolongkan menurut peringkat ‘bintang’, luas per unit kamar hotel, luas lantai
kotor dan jumlah minimal kamar ditentukan berdasarkan Tabel 2.3.

Tabel 2.3. Ketentuan Dasar Rancangan Hotel

Luas Lantai
Luas Kamar Jumlah Kamar
Klasifikasi Hotel Kotor
[m2] Minimum*)
per Kamar [m2]
Bintang 5 36 (4,5 x 8,0) 150 500
Bintang 4 32 (4,0 x 8,0) 120 400
Bintang 3 30 (4,0 x 7,5) 100 300
Bintang 2 28 (4,0 x 7,0) 80 200
Bintang 1 24 (4,0 x 6,0) 60 100
*) Tergantung pada operator dan kategori hotel Sumber: Juwana, 2005, dimodifikasi

Perhitungan untuk jumlah kamar dapat juga ditentukan dari jenis hotel, dengan
tidak mengaitkan dengan klasifikasi hotel, meskipun pada kenyataannya ada
korelasi antara jenis hotel dengan klasifikasi hotel.

Jumlah kamar yang dihitung berdasarkan jenis hotel tertera pada Tabel 2.4
berikut ini.

Jimmy S. Juwana 20
Tabel 2.4. Kategori Hotel dan Jumlah Minimum Kamar

Jenis Hotel Jumlah Kamar*)


Family-run hotel/guesthouses < 25
Independent hotels/country houses 50 – 80
Budget Inns/Lodges 80 – 120
Suburban hotel/Motel/Airport hotel 120 – 200
Resort hotels 200 – 300
Luxury hotels/Boutique hotels 150 – 250
City-center convention hotels 300 – 500
Integrated Resort Village/Cottages 300 – 800
Mega resorts/casino hotels 500 – 1.000+
Sumber: Penner, Adams & Robson , 2013
*) Tergantung pada operator hotel

Selanjutnya, untuk menyederhanakan rancangan, jenis kamar hotel dibagi


dalam beberapa tingkatan (terkait mutu layanan), yang umumnya mengacu
pada satuan ukuran kamar ‘standar’ (standard room) atau dikenal dengan room
bay (1 room bay = 1 ukuran satu kamar standar). Untuk luasan tingkat kamar
dengan layanan yang lebih tinggi, koefisien perkaliannya tertera dalam Tabel
2.5.
Tabel 2.5. Tingkat Kamar Hotel

Koefisien terhadap
Tingkat Kamar
Luas Kamar Standar*)
Junior Suite 1,50 x
Standard Suite 2,00 x
Deluxe Suite 4,00 x
Super Deluxe Suite 4,00 x
Presidential Suite 6,00 x
Sumber: Penner, Adams & Robson , 2013
*) Tergantung pada operator hotel

Setelah total jumlah kamar yang tertera pada Tabel 2.4 diketahui, selanjutnya
kamar-kamar tersebut dirinci jumlahnya berdasarkan tingkat kamar, sehingga
dapat diketahui jumlah dari tiap jenis kamar untuk nantinya digunakan untuk
menghitung luas areal tipikal hotel.

Setiap kategori hotel dan operator hotel memiliki kebijakan terkait komposisi
jumlah kamar standar, deluxe dan suite. Namun secara umum, pembagian jenis
kamar dapat menggunakan acuan pada Tabel 2.6 berikut ini.

Jimmy S. Juwana 21
Tabel 2.6. Variasi Jenis Kamar Hotel

Persen Jumlah Kamar [%]*)


Jenis
Standard- Standard- Presidential
Hotel Deluxe
double single Suite
Business (down town) 30 60 3 7
Boutique Hotel 10 75 3 12
Suburban/airport 50 40 5 5
hotel
Road side inn/Motel 60 35 5 0
Budget Inn 80 20 0 0
Resort/Family 75 10 10 5
Resort/couple 20 70 5 5
Convention hotel 55 35 0 10
Conference center 30 60 5 5
All-suite hotel 30 70 0 0
Super-luxury 20 70 0 10
Mega-hotel 50 40 5 5
Casino hotel 50 40 0 10
*) Tergantung pada operator hotel Sumber: Penner, Adams & Robson , 2013

Perhitungan kebutuhan luas kotor untuk hotel dapat pula digunakan pendekatan
lain. Dengan asumsi bahwa luas yang diperlukan untuk sirkulasi horizontal (10%
luas kotor) dan untuk sirkulasi vertikal (25% luas kotor), maka luas kotor untuk
kamar:
 1 1 
Lkm bruto    . kamar .L kamar  Persamaan 2.1.
 1,10 1,25 

di mana :  kamar adalah jumlah kamar yang akan disediakan.


Lkamar adalah luas bersih kamar tidur (Tabel 2.3)
Di samping luas lantai untuk kamar tidur, hotel juga memerlukan ruangan-
ruangan pendukung layanan bagi keperluan penghuni hotel, seperti restoran,
banquet, toko, dan lain-lain:
L penj prod  40%L kmbruto Persamaan 2.2.

Dengan demikian jumlah luas lantai hotel produktif menjadi:

𝐿𝑝𝑟𝑜𝑑 = 𝐿𝑘𝑚−𝑏𝑟𝑢𝑡𝑜 + 𝐿𝑝𝑒𝑛𝑗−𝑝𝑟𝑜𝑑 Persamaan 2.3.

Jimmy S. Juwana 22
Lantai hotel produktif masih perlu ditambah dengan lantai hotel non-produktif,
ruangan pengelolaan hotel, ruang mekanikal & elektrikal, dan lain-lain) yang
perbandingannya dengan lantai hotel produktif:
𝐿𝑝𝑟𝑜𝑑 : 𝐿𝑛𝑜𝑛−𝑝𝑟𝑜𝑑 = 60%: 40% Persamaan 2.4.

Jadi, luas lantai hotel non produktif adalah:


2
𝐿𝑛𝑜𝑛−𝑝𝑟𝑜𝑑 = 3 𝐿𝑝𝑟𝑜𝑑 Persamaan 2.5.

Dengan demikian jumlah luas lantai kotor untuk hotel:

𝐿𝑏𝑟𝑢𝑡𝑜 = 𝐿𝑝𝑟𝑜𝑑 + 𝐿𝑛𝑜𝑛−𝑝𝑟𝑜𝑑 Persamaan 2.6.

Nilai yang dihasilkan dari Persamaan 2.6. biasanya mendekati nilai yang
tercantum dalam Tabel 2.3.

Luasan yang diperlukan untuk kamar (Lkm-bruto) biasanya menempati lantai


tipikal, sedang sisanya (Lbruto – Lkm-bruto) ditempatkan pada bangunan podium.
Adapun luas dan jumlah lantai podium disesuaikan dengan ketentuan Koefisien
Dasar Bangunan (KDB) dan jumlah lantai tipikal harus memenuhi ketentuan
Koefisien Lantai Bangunan (KLB).

Dalam hal bangunan hotel yang berbentuk menara (tower), jumlah kamar per
lantai tipikal biasanya dibatasi antara 24 – 36 kamar, sedang untuk hotel yang
berbentuk memanjang (slab) jumlahnya disesuaikan dengan fasilitas layanan
dan standar keselamatan, khususnya terkait jarak ke lif dan tangga kebakaran
(lihat: persyaratan lorong/ujung buntu – Bab VII, Tabel 7.5), dilatasi dan lain-
lain.

2.2.2. Rancangan Rumah Sakit

Rancangan rumah sakit, sama halnya dengan hotel, juga dibagi atas beberapa
klasifikasi, seperti tertera dalam Tabel 2.7. Luas kotor ini sudah termasuk untuk
sirkulasi yang berkisar antara 20 – 25% luas kotor.

Tabel 2.7. Ketentuan Dasar Rumah Sakit

Klasifikasi Rumah Luas Lantai Kotor Kapasitas Tempat


Sakit per tempat tidur [m2] Tidur
Kelas A 100 400
Kelas B 80 200
Kelas C 60 100
Kelas D 50 50
Sumber: Kemenkes, 201

Jimmy S. Juwana 23
2.2.3. Rancangan Kantor
Kantor sewa pada bangunan tinggi umumnya memiliki luas lantai kotor berkisar
antara 1.200 m2 hingga 2.000 m2 yang dirancang berupa lantai tipikal yang
dapat digunakan oleh satu sampai tujuh penyewa, dengan luas minimum kantor
sewa berukuran 140 m2.

Khusus untuk kriteria rancangan kantor sewa, dalam hal pada satu lantai
digunakan oleh lebih dari satu penyewa fasilitas layanan tetap harus sama;
begitu juga jika ada penyewa yang menggunakan lebih dari satu lantai, perlu
disiapkan kemudahan untuk sirkulasi internalnya. Hal ini secara rinci akan
dibahas pada Bab II – butir 2.4).
2.3. Intensitas Bangunan Gedung
Dalam ketentuan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) yang dahulu dikenal
dengan Ijin Mendirikan Bangunan Gedung (IMB), setiap bangunan harus
memenuhi persyaratan peruntukan tata guna lahan, dan intensitas bangunan
gedung, berupa: Koefisen Dasar Bangunan (KDB), Koefisien Lantai Bangunan
(KLB), Koefisien Dasar Hijau (KDH), Koefisien Tapak Basemen (KTB),
maksimum ketinggian lantai, Garis Sempadan Bangunan (GSB), Garis
Sempadan Jalan (GSJ) dan Jarak Bebas antar Bangunan.
Terkait patokan pengukuran GSB pada penjelasan Pasal 23 ayat (1) huruf a PP
nomor 16 tahun 2021 tertulis bahwa GSB merupakan garis yang membatasi
jarak bebas minimum dari bidang terluar suatu massa bangunan gedung
terhadap batas as jalan, tepi sungai, tepi danau, tepi pantai, as jalan kereta api,
dan/atau as jaringan listrik tegangan tinggi. Pengertian batas as jalan bukan
berarti diukur dari as jalan (tengah-tengah jalan), melainkan dari batas ruang
milik jalan (penjelasan Pasal 33 PP nomor 34 tahun 2006 tentang Jalan).
Dengan demikian GSB adalah jarak minimum dari bidang massa bangunan
gedung dengan batas persil/tapak/lahan (Gambar 2.3).

Gambar 2.3. Patokan Pengukuran GSB

Jimmy S. Juwana 24
Selanjutnya, perhitungan intensitas bangunan gedung dilakukan dengan:
𝐿𝑙𝑡.𝑑𝑎𝑠𝑎𝑟
𝐾𝐷𝐵 = 𝐿𝐷𝑃
Persamaan 2.7.

𝐿𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
𝐾𝐿𝐵 = 𝐿𝐷𝑃
Persamaan 2.8.

di mana : LDP adalah luas daerah perencanaan


luas tanah dibelakang GSJ

Ltotal adalah luas total lantai bangunan

Di dalam peta Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) yang dalam


PP nomor 21 tahun 2021 masih menggunakan nama Keterangan Rencana
Kota/Kabupaten (KRK) data terkait peruntukan lahan dan intensitas bangunan
gedung ditentukan untuk setiap lokasi, dan dijadikan untuk acuan penempatan
masa bangunan gedung (Gambar 2.4).

Gambar 2.4. Contoh KKPR

Dari KKPR dapat dirancang luas lantai dasar yang tidak boleh melebihi
ketentuan KDB, jumlah lantai yang dibatasi dengan nilai KLB di lokasi tertsebut,
termasuk batas ketionggian bangunan, lapis basemen yang tidak melebihi
ketentuan KTB, jarak bangunan gedung terhadap pagar persil/jalan dan jarak
bebas yang diijinkan ke bangunan gedung di sisi samping dan belakangnya.

Jimmy S. Juwana 25
ANALISIS JUMLAH LANTAI BANGUNAN TINGGI

Nama Gedung
Lokasi

Luas Tapak Lt = m2
Ketentuan KDB %
KLB
GSB meter
Jarak Bebas meter

Total Luas Lantai Ag = m2


Luas Lantai dasar Ad = m2
Jumlah Lantai Podium np = lantai
Total Luas Lantai Podium (termasuk Lantai Dasar) Atp = m2

Total Luas untuk Lantai Tipikal Att = m2

Jumlah lantai yang dapat dibangun n= lantai


Jumlah Lantai Tipikal rt = lantai

Luas Lantai Tipikal At = m2 per lantai

Gambar 2.5. Kertas Kerja Analisis Jumlah Lantai

Jika luas podium tidak mungkin lebih besar dari ketentuan KDB, dan total luas
lantai tidak melebihi KLB, maka dengan bantuan kertas kerja seperti pada
Gambar 2.5, jumlah lantai yang dapat dibangun dapat ditentukan.

Menurut ketentuan PP nomor 16 tahun 2021, ketentuan tentang jarak bebas


dan lantai-lantai bangunan disyaratkan untuk memberikan ruang dan jarak
aman di antara bangunan gedung yang bukan saja dimaksudkan untuk
pencegahan penjalaran api pada saat kebakaran, tetapi juga ada ruang di persil
bangunan gedung untuk dapat digunakan untuk sirkulasi dan mitigasi dalam
keadaan darurat.

Ketentuan jarak bebas minimum (Y) di lantai dasar, menurut PP nomor 16 tahun
2021 ditentukan 4,00 m. Jarak bebas di atasnya ditambah 0,5 m per lapis lantai,
dan mulai lantai ke-21 jarak bebasnya tetap sebesar 12,50 m (Gambar 2.6).

Jimmy S. Juwana 26
Sumber: PP nomor 16 tahun 2021

Gambar 2.6. Jarak Bebas dan Ketinggian Bangunan Gedung

Untuk jarak bebas antar massa bangunan gedung dalam satu daerah
perencanaan (DP), atau dengan gedung di sebelahnya, ketentuannya adalah
sebagai berikut:

a. Kedua Dinding Luar Bangunan Berjendela/Transparan

Y = YA + YB (Gambar 2.7)

A Transparan B

YA YB
Sumber: PP nomor 16 tahun 2021

Gambar 2.7. Jarak Bebas Dua Bangunan Gedung Transparan

Jimmy S. Juwana 27
b. Satu Dinding Luar Transparan dan Dinding Luar Sebelahnya Masif

Y = YA + 0,5YB (Gambar 2.8)

A Transparan B
Masif

Y A+ 0,5YB
Sumber: PP nomor 16 tahun 2021

Gambar 2.8. Jarak Bebas antar Bangunan Gedung Transparan dan Masif

c. Kedua Dinding Luar Bangunan Masif

Y = (YA + YB) x 0,5 (Gambar 2.9)

A Masif B

0,5 (Y + Y )
A B
Sumber: PP nomor 16 tahun 2021

Gambar 2.9. Jarak Bebas Dua Bangunan Gedung Masif

d. Nilai Jarak GSB – GSJ kurang dari Y

Untuk ketinggian lebih dari empat lapis, Y bidang terluar massa bangunan
dengan GSJ = Yn (lihat Gambar 2.6).

Jimmy S. Juwana 28
Untuk ketinggian bangunan empat lapis, Y bidang terluar massa bangunan
dengan GSJ = nilai GSB (Gambar 2.10).

n>4

4
3
GSJ GSJ 2
1

GSB

Yn

Gambar 2.10. Jarak GSB – GSJ < Y

e. Denah dari Lantai Dasar sampai Denah Lantai Tertinggi sama

Dalam hal denah lantai dasar suatu bangunan gedung sampai dengan denah
lantai tertinggi membentuk bidang vertikal (yang lurus), maka Y diberi reduksi
sebesar 10% dari ketentuan (Gambar 2.11).

YA
10% YA

Gambar 2.11. Lantai Dasar sampai Lantai Tertinggi Vertikal

f. Massa Bangunan Gedung Berbentuk U atau H

Apabila suatu massa bangunan berbentuk ‘U’ atau ‘H’ (dengan lekukan) dan
bila kedalaman lekukan melebihi Y, maka bangunan tersebut dianggap dua

Jimmy S. Juwana 29
massa bangunan dan antara kedua massa tersebut harus mempunyai lebar
minimum lekukan = Y (Gambar 2.12).

Y
Gambar 2.12. Bangunan Gedung dengan Bentuk Denah ‘U’ atau ‘H’

Ketentuan lainnya, adalah menyangkut jarak lantai ke lantai, sebagaimana


terlihat pada Gambar 2.13. Jadi jika ada jarak lantai ke lantai melebihi 5 m, maka
dianggap dua lantai.

Max. 5 m

Max. 10 m

Gambar 2.13. Jarak Maksimum antar Lantai Bangunan Gedung

Jika pada bangunan terdapat basemen, maka:

1) Jarak basemen > 3,00 m dari batas pagar persil.


2) Tinggi elevasi lantai dasar < 1,20 m dari elevasi lahan.
3) Kemiringan (ram) untuk kendaraan < 1 : 7.
4) Jarak ketinggian bebas (clearance height) basemen > 2,25 m.

2.3. Kriteria Rancangan Bangunan Tinggi

Pada perencanaan bangunan tinggi, secara khusus akan dibahas fungsi


perkantoran dengan luas lantai tipikal yang ideal antara 1.600 – 2.000 m2, di
mana luasan ini dikaitkan dengan bentuk konfigurasi bangunan dan jumlah
tangga darurat serta pengaturan utilitas lainnya.

Dari 19 hal yang perlu menjadi pertimbangan ada yang bersifat umum, namun
sebagian besar lebih banyak digunakan pada perancangan bangunan tinggi
dengan fungsi perkantoran. Ke-19 hal tersebut terdiri dari:

Jimmy S. Juwana 30
a. fungsi bangunan;
b. bentang manfaat (lease span);
c. ruang manfaat (leasing space);
d. jarak lantai ke lantai (floor to floor);
e. kulit bangunan (fascade)
f. inti bangunan gedung (core);
g. ruang bebas kolom;
h. sistem dan bahan struktur;
i. lantai antara (transfer level) dan hubungan antar lantai (interlevel
connection);
j. perbandingan lebar dan tinggi bangunan (aspect ratio);
k. perpindahan dan rotasi ruang utilitas dalam core;
l. bentuk massa bangunan;
m. ekspresi arsitektur;
n. sistem utilitas;
o. koordinasi modul;
p. keamanan dan keandalan bangunan gedung;
q. pemanfaatan bangunan (building operation & maintenance);
r. basemen (basement) dan parkir; serta
s. efisiensi rancangan.

a. Fungsi Bangunan

Pada bangunan tinggi umumnya digunakan untuk fungsi kantor, hotel dan
Apartemen, baik yang dirancang sebagai fungsi tunggal (single use), maupun
sebagai fungsi majemuk/ganda (mixed use). Dalam hal bangunan tinggi ini
digunakan sebagai fungsi majemuk, ada dua pendekatan yang dapat dilakukan,
yaitu:

1) Disusun bersebelahan (back to back).

Pada pendekatan ini pada setiap lantai terdapat lebih dari satu fungsi
kegiatan, misalnya hunian dan kantor, seperti contoh pada gedung Price
Tower di Kansas yang dirancang oleh arsitek Frank Lloyd Wright (Gambar
2.14).

Jimmy S. Juwana 31
Sumber: https://en.wikiarquitectura.com/building/price-tower/

Gambar 2.14. Pendekatan back to back

2) Disusun berlapis secara vertikal (dari dupleks sampai multipleks).

Pada pendekatan ini bangunan tinggi secara vertikal dibagi atas lebih dari
satu zona, yang masing-masing zona memiliki fungsi yang berbeda. Jika
hanya ada dua fungsi disebut dupleks, misalnya zona bagian bawah untuk
perdagangan dan zona bagian atas untuk hunian. Banyaknya aktivitas
disesuaikan dengan keperluan bangunan tersebut.

Pada Gambar 2.15 (kiri) ditunjukkan bangunan tinggi dengan fungsi


majemuk yang memiliki lebih dari empat fungsi kegiatan; basemen
digunakan untuk areal parkir kendaraan, podium sampai lantai 5,
digunakan untuk fungsi usaha (retail, pusat perdagangan/perbelanjaan),
kantor menempati lantai 6 sampai dengan lantai 60, lantai 61 dan lantai 62
digunakan sebagai sky lobby, lantai 63 sampai dengan lantai 73 digunakan
untuk fungsi hotel, dan lantai teratas difungsikan sebagai ball room.

Pada Gambar 2.15 (kanan) basemen dan sampai lantai keenam


penggunaannya untuk parkir dan retail (back to back), kantor menempati
empat zona (dari lantai 7 sampai dengan 52), setelah sky lobby dan fasilitas
penunjang di lantai 52 sampai 57, lantai 58 sampai lantai 77 digunakan
untuk hotel dan zona teratas untuk condominium yang menempati 18 lantai.

Jimmy S. Juwana 32
Gambar 2.15. Pendekatan Multiplex

b. Bentang Manfaat (Lease Span)

Istilah ini menunjukkan jarak bentangan antara dinding selubung bangunan


(kulit luar bangunan) dengan dinding yang merupakan bagian dari inti bangunan
(core).

Makin besar bentang manfaat akan berdampak pada makin besarnya dimensi
(tinggi balok) balok struktur. Untuk membatasi dimensi balok agar tidak terlalu
besar, lease span dibatasi antara 9 m sampai 13 m, sehingga tinggi balok
berkisar antara 75 m sampai 100 cm (Gambar 2.16). Jika bentang maanfaat
kurang dari 9 m, luas tipikalnya yang hanya sekitar 700 m2, sehingga menjadi
kurang ideal untuk fungsi kantor, yang biasanya berkisar antara 1.200 m 2
sampai 2.000 m2.

Jimmy S. Juwana 33
Gambar 2.16. Lease Span

c. Ruang Manfaat (Leasing Space)

Pada bangunan tinggi yang lantainya disewakan pada pihak lain (kantor sewa),
dikenal beberapa istilah, seperti: luas lantai bruto (gross floor area), luas lantai
yang disertakan dalam biaya sewa (rentable floor area), dan luas lantai yang
disewa/dimanfaatkan oleh pengguna/penyewa (tenant), biasa dinamakan
dengan leasing space atau usable floor area (Gambar 2.17).

Gambar 2.17. Leasing Space

Jimmy S. Juwana 34
d. Jarak lantai ke lantai (floor to floor)

Merupakan jarak antara lantai yang satu dengan lantai berikutnya. Pada
bangunan tinggi setiap centimeter perlu dihitung secara seksama, karena jika
dikalikan dengan kelipatan jumlah lantai, nilainya akan cukup signifikan. Jika
jarak floor to floor cukup 3.80 m tidak perlu dibulatkan menjadi 4.00 m, karena
jika lantai bangunan tersebut berjumlah 60 lantai, maka sudah terjadi
pemborosan sebesar 0,20 x 60 m = 12 m atau setara dengan tiga lapis lantai.

Patokan utama untuk menentukan floor to floor adalah jarak dari lantai ke langit-
langit/plafon, untuk ruangan antara 2,60 – 2,80 m (ketentuan menurut PP nomor
16 tahun 2021 minimum 2,70 m) seperti ditunjukkan pada Gambar 2.18.

Gambar 2.18. Floor to Floor

Dari Gambar 2.18, terlihat bahwa ada beberapa parameter yang mempengaruhi
nilai floor to floor, dimensi balok (beserta pelat lantai) yang tergantung dari
panjang lease span, rongga di atas langit-langit dan di bawah balok yang
digunakan untuk saluran tata udara, instalsi listrik dan plambing.

Pada bangunan hotel atau apartemen, mengingat ukuran unitnya tidak begitu
luas, sistem struktur dapat menggunakan sistem flat slab, sehingga pelat lantai
tidak dipikul oleh balok tetapi langsung dipikul oleh kolom. Dengan penggunaan
sistem flat slab atau flat plate, parameter di atas langit-langit hanya tinggal
rongga untuk sistem tata udara dan pelat lantai, sehingga jarak floor to floor
menjadi lebih kecil. Selanjutnya, dengan memanfaatkan tinggi koridor yang
sekitar 2,20 – 2,40 m, diperoleh efisiensi dan integrasi dengan sistem utilitas
lainnya (Gambar 2.19).

Jimmy S. Juwana 35
Gambar 2.19. Floor to Floor pada Hotel
Untuk mempermudah penentuan tinggi jarak lantai ke lantai, pada Gambar 2.20
diberikan kertas kerja untuk proses analisisnya.

ANALISIS TINGGI LANTAI KE LANTAI


(Floor to Floor Height Analysis)
Bentang Bersih (Lease Span ) L= cm
Flat Slab /Flat Plate - Tebal Pelat Lantai t= cm
Material Balok [ ] Beton Bertulang
[ ] Baja WF
Lihat Tabel 4.14.
[ ] Rangka Baja
[ ] Beton Prategang

Tinggi Balok Lantai (termasuk Pelat Lantai) hb = cm


Tebal Rangka Plafond trp = cm
Tebal Plafon tp = cm
Alokasi Saluran Utilitas hu = cm
Tebal Lapisan Lantai tl = cm
Total cm
Jarak Bersih Lantai ke Plafon (2,6 - 2,8 m) hn = cm
Tinggi Lantai ke Lantai h= cm

Gambar 2.20. Kertas Kerja Analisis Floor to Floor

Jimmy S. Juwana 36
e. Kulit Bangunan/Fasad (Fascade)

Kulit bangunan dilandasi tidak semata-mata untuk pertimbangan estetika,


fungsi, penampilan dan kemudahan pemeliharaan, tetapi juga untuk
mengurangi panas yang masuk ke dalam bangunan, dan memberi
kemungkinan untuk masuknya udara luar ke dalam bangunan.

Perkembangan teknologi material untuk pengakhiran (finishing) kulit bangunan


sangat cepat dan berguna sebagai pelapis kedua (second skin) yang
difungsikan sebagai:

1) mengendalikan cahaya dan panas matahari yang masuk ke dalam


bangunan;
2) menyediakan ventilasi alami pada bangunan;
3) mempengaruhi penataan dan penggunaan ruang dalam; dan/atau
4) memberi karakter dan citra tertentu pada bangunan.

Beberapa jenis kulit bangunan yang sering dijumpai:

1) Kulit bangunan untuk mengendalikan cahaya dan panas matahari.

Penambahan selubung bangunan ditujukan untuk membatasi masuknya


sinar matahari ke dalam ruangan dan/atau memantulkan sinar matahari
yang jatuh pada bagian luar bangunan gedung, dengan menambahkan
peneduh horizontal dan/atau peneduh vertikal (Gambar 2.21).

Sumber: https://id.pinterest.com/taras_senkiv/facade-details/

Gambar 2.21. Kulit Bangunan Pengendali Panas dan Sinar Matahari

2) Kulit bangunan untuk ventilasi alami.

Penambahan selubung bangunan tidak hanya untuk membatasi masuknya


sinar matahari ke dalam bangunan, tetapi juga dapat memberi kesempatan

Jimmy S. Juwana 37
masuknya udara alami/segar ke dalam ruangan dan mengeluarkan udara
panas dan/atau udara yang mengandung polutan keluar bangunan (Gambar
2.22).

Sumber: https://id.pinterest.com/taras_senkiv/facade-details/

Gambar 2.22. Kulit Bangunan untuk Ventilasi Alami

Kulit bangunan memberi manfaat, di antaranya:


1) dua lapis kulit bangunan menberi peluang efisiensi energi;
2) sistem pertukaran udara pasif memberi kemungkinan untuk mengendalikan
konveksi panas di antara rongga yang ada dan mengurangi panas yang
masuk melalui kaca;
3) bukaan berupa tirai matahari/sirip jendela tetap memungkinkan melihat
keluar bangunan dan kenyamanan termal; dan

Jimmy S. Juwana 38
4) desain selubung bangunan dapat menghasilkan solusi yang ekonomis dan
berkelanjutan.

Namun ada beberapa kendala, di antaranya:


1) kadang sirip di jendela dapat mengganggu pandangan keluar bangunan;
2) rongga di antara dua kulit bangunan mengurangi luasan lantai yang dapat
dimanfaatkan (leasing space);
3) penggunaan material yang keliru dapat berpotensi menjadi media yang
dapat merambatkan api; dan
4) dua lapis kulit bangunan ini menambah biaya konstruksi.

f. Inti Bangunan Gedung (Core)

Pada bangunan tinggi lokasi dan konfigurasi inti bangunan (core) sangat
penting. Secara umum ada delapan pola penempatan inti bangunan, yang
terbagi dalam dua kelompok, bangunan dengan bentuk menara (tower) dan
bangunan bentuk memanjang (slab).

Bentuk menara umumnya digunakan untuk fungsi kantor, sedang bentuk


memanjang lebih diminati untuk fungsi hotel. Untuk fungsi apartemen pemilihan
bentuk bangunan lebih fleksibel; untuk condominium dan apartemen mewah
umumnya menggunakan bentuk menara.

1) Inti pada Bangunan Bentuk ‘Bujur Sangkar’

Massa bangunan gedung yang berbentuk bujur sangkar (Gambar 2.23)


umum digunakan untuk bangunan perkantoran dengan koridor mengelilingi
inti bangunan. Gedung Blok ‘G’ DKI, Gedung Indosat, Wisma Bumi Putera di
Jakarta, dan One Park Plaza di Los Angeles, Amerika Serikat merupakan
beberapa gedung dari sekian banyak gedung yang menggunakan inti
bangunan seperti ini.

Sumber: Guise, 1985 & Juwana, 2005 dimodifikasi


Gambar 2.23. Inti di Tengah Bangunan Menara Berbentuk Bujur Sangkar

Jimmy S. Juwana 39
2) Inti pada Bangunan Bentuk ‘Segi Tiga’

Bentuk massa bangunan secara geometris dapat berbentuk segitiga. Hotel


Mandarin di Jakarta, Gedung US Steel di Pittsburgh, Amerika Serikat,
Riverside Development di Brisbane, Australia dan Central Plaza di Hongkong
merupakan beberapa contoh bangunan yang menggunakan inti segitiga
seperti ini (Gambar 2.24).

Sumber: Guise, 1985 & Juwana, 2005 dimodifikasi

Gambar 2.24. Inti di Tengah Bangunan Menara Berbentuk Segi Tiga

3) Inti pada Bangunan Bentuk ‘Lingkaran’

Bangunan Shin – Yokohama Prince Hotel di Jepang, Marina City di Chicago,


Amerika Serikat dan Gedung Tabung Haji di Kuala Lumpur Malaysia
menggunakan inti bangunan dengan bentuk ‘lingkaran’ (Gambar 2.25),
mengikuti bentuk massa bangunannya.

Sumber: Guise, 1985 & Juwana, 2005 dimodifikasi

Gambar 2.25. Inti di Tengah Bangunan Berbentuk Lingkaran

Menara dengan massa berbentuk lingkaran cenderung digunakan dengan


fungsi hunian (apartemen dan hotel) dengan koridor berada di sekeliling inti
bangunan sebagai akses ke unit-unit hunian.

Jimmy S. Juwana 40
4) Inti pada Bangunan Bentuk ‘Memanjang’

Bangunan dengan bentuk memanjang umumnya digunakan untuk hotel.


Namun demikian bentuk memanjang ini dapat pula digunakan untuk fungsi
lain, seperti apartemen dan perkantoran.

Gedung Central Plaza di Jakarta, Gedung Inland Steel di Chicago, Amerika


Serikat merupakan contoh dari penggunaan inti bangunan yang diletakkan di
luar bangunan utama (Gambar 2.26).

Sumber: Guise, 1985 & Juwana, 2005 dimodifikasi

Gambar 2.26. Inti Di Luar Bangunan – Satu Jalur Koridor

Hotel Century Park, Hotel Horizon dan Wisma Metropolitan di Jakarta adalah
contoh bangunan yang menggunakan inti seperti ini. Pola ini memungkinkan
diletakkan dua jalur koridor (Gambar 2.27).

Sumber: Guise, 1985 & Juwana, 2005 dimodifikasi

Gambar 2.27. Inti Diapit oleh Dua Sayap Bangunan

Inti bangunan seperti ini (Gambar 2.28) banyak digunakan untuk perkantoran
yang bangunannya berbentuk empat persegi panjang. Gedung-gedung yang
menggunakan inti bangunan seperti ini di antaranya: Wisma Indocement di
Jakarta, Connaught Center (Jardine House) di Hongkong, Rockefeller Center
dan Chase Manhattan Bank di New York, Amerika Serikat.

Jimmy S. Juwana 41
Sumber: Guise, 1985 & Juwana, 2005 dimodifikasi

Gambar 2.28. Inti Berada Di Tengah Bangunan – Koridor Mengelilingi Inti

Gedung Phoenix-Rheinrohr di Dusseldorf, Jerman merupakan contoh


gedung yang menggunakan inti bangunan seperti Gambar 2.29.

Sumber: Guise, 1985 & Juwana, 2005 dimodifikasi

Gambar 2.29. Inti Di Tengah Bangunan – Dua Jalur Koridor

5) Inti pada Bangunan Bentuk ‘Silang’

Bangunan dengan bentuk ‘silang’ dan ‘Y’, ‘T’ ‘H’ atau ‘V’, merupakan variasi
dari bangunan bentuk memanjang. Bentuk seperti ini dimaksudkan untuk
mendapatkan luas lantai tipikal yang cukup luas, tetapi bangunan tetap dapat
memanfaatkan pencahayaan alamiah, memiliki potensi sirkulasi udara, dan
dan pandangan ke arah luar bangunan. Namun konfigurasi massa bangunan
seperti ini kurang cocok untuk dibangun di daerah yang rentan bahaya
gempa bumi.

Bangunan bentuk ini banyak digunakan untuk fungsi hotel, apartemen dan
perkantoran. Apartemen bentuk ini banyak dibangun di Hong Kong,
Singapura dan kota-kota besar di Amerika Serikat. Perkantoran yang
menggunakan bentuk ini, misalnya Gedung Patra Jasa di Jakarta.

Inti bangunan bentuk ‘silang’ dapat dilihat pada Gambar 2.30.

Jimmy S. Juwana 42
Sumber: Guise, 1985 & Juwana, 2005 dimodifikasi

Gambar 2.30. Inti Di Tengah Bangunan

6) Inti pada Bangunan Bentuk ‘Y’

Gedung Unilever di Hamburg, Jerman, Gedung Unesco di Paris, Perancis,


rancangan hotel Duta Merlin di Jakarta dan Burj Khalifa di Dubai
menggunakan pola tata letak inti bangunan pada bangunan yang berbentuk
‘Y’ (Gambar 2.31).

Sumber: Guise, 1985 & Juwana, 2005 dimodifikasi

Gambar 2.31. Inti di Pusat Bangunan

7) Inti pada Bangunan Bentuk ‘Acak’:

Bangunan dengan inti yang diletakkan di luar titik berat massa bangunan dan
ditempatkan secara acak (Gambar 2.32) kurang menguntungkan bagi
perencanaan bangunan tahan gempa.

Jimmy S. Juwana 43
Gedung MBf Tower di Penang, Malaysia dan Conrad International Centennial
di Singapura merupakan contoh dari penempatan inti bangunan yang tidak
beraturan.

Sumber: Guise, 1985 & Juwana, 2005 dimodifikasi

Gambar 2.32. Inti Ditempatkan Acak – Jalur Koridor Tidak Berpola

Penjelasan lebih rinci terkait inti bangunan gedung akan dibahas pada Bab III.

g. Ruang Bebas Kolom

Untuk memudahkan dan fleksibilitas pengaturan tata ruang dalam dan sekaligus
memberikan pandangan langsung ke luar bangunan, antara inti bangunan dan
selubung bangunan gedung tidak terhalang oleh adanya kolom struktural
(Gambar 2.33).

Gambar 2.33. Ruang Bebas Kolom

Jimmy S. Juwana 44
h. Sistem Dan Bahan Struktur

Gambar 2.34. Sistem Balok Satu Arah

Dalam perancangan struktur, dikenal dengan penggunaan balok satu arah (one
way beam/rib) dan balok dua arah (two way beam/rib). Untuk memudahkan
keterpaduan dengan sistem utilitas bangunan, utamanya sistem tata udara,
yang membutuhkan saluran udara (ducting), penggunaan balok satu arah lebih
disarankan, agar saluran udara dari inti bangunan ke dalam ruangan tidak
terganggu adanya balok melintang (Gambar 2.34).

Pendekatan lain penggunaan balok satu arah dengan pola seperti tergambar
pada Gambar 2.35. di mana arah yang bersilangan pada ujung bangunan
dimaksudkan untuk memperkaku bangunan secara keseluruhan (shear drift).

Gambar 2.35. Altenatif Balok Satu Arah.

Jimmy S. Juwana 45
Pembahasan sistem struktur terkait penyaluran beban, kestabilan terhadap
beban gempa dan perkiraan dimensi kompoenen struktur akan dibahas lebih
rinci pada Bab IV buku ini.

i. Lantai Antara (Transfer Level) dan Hubungan Antar Lantai (Interlevel


Connection)

Dalam mendukung sistem utilitas bangunan tinggi dan untuk mitigasi terhadap
kemungkinan bahaya akibat gempa dan kebakaran, diperlukan suatu lantai
pada setiap interval ketinggian yang dapat digunakan untuk tempat kumpul
sementara (refuge floor). Lantai ini juga dipergunakan untuk menempatkan
peralatan MEP, termasuk peralatan elektronik/teknologi informasi (information
communication technology – ICT), serta ruangan lain yang diperlukan terkait
dengan pengoperasian dan pemeliharaan bangunan gedung (operation &
maintenance) seperti Gambar 2.36. Dalam hal posisi atau lokasi tangga akan
berubah, di lantai ini pula koridor pengarah ditempatkan (lihat juga Gambar
2.38).

Sumber: Sultanzadech, Alaghmandan & Sultabzadech, 2018.

Gambar 2.36. Refuge Floor

Jimmy S. Juwana 46
Penempatan peralatan dan fasilitas tempat berkumpul sementara ini diletakkan
pada transfer level yang terkait dengan pembahasan sistem transportasi vertikal
dalam gedung. Demikian pula halnya dengan fasilitas pergerakan vertikal antar
beberapa lantai tertentu (interlevel connection) akan dibahas pada Bab V yang
membahas sistem transportasi vertikal dalam gedung.

j. Perbandingan Lebar dan Tinggi Bangunan (Aspect Ratio)

Pada bangunan tinggi perbandingan antara ketinggian bangunan dengan lebar


terkecil bangunan menjadi salah satu hal yang perlu diperhatikan, terkait
dengan kestabilan bangunan tinggi terhadap kemungkinan tumbang/guling.

Nilai perbandingan ini (aspect ratio) untuk Indonesia saat ini dibatasi maksimum
7, karena alasan ketahanan terhadap beban gempa, sedang di negara-negara
lain yang dengan pertimbangan kemajuan teknologi bahan dan metode
pelaksanaan, dapat memiliki nilai aspect ratio yang lebih tinggi (Gambar 2.37).

Sumber: Eisele J. & Kloft E, 2022

Gambar 2.37. Aspect Ratio Beberapa Bangunan Tinggi di Dunia

k. Perpindahan dan Rotasi Ruang Utilitas dalam Core

Lokasi dan penempatan ruang utilitas, khususnya lif dan tangga kebakaran yang
selama ini berada pada jalur vertikal yang sama (lihat pembahasan pada Bab
3.2.2 – Perancangan Inti Bangunan), dapat dipindahkan agar tercapai tingkat
pemanfaatan ruangan yang lebih optimal. Agar tidak tersesat pada saat
evakuasi, orang diarahkan melalui koridor yang menghubungkan antara tangga
yang di atasnya menuju tangga selanjutnya (Gambar 2.38).

Jimmy S. Juwana 47
Sumber: Al-Kodmany, 2015 dimodifikasi
Gambar 2.38. Rotasi dan Perpindahan Tangga Kebakaran/Lif
Gambar 2.38 kiri memperlihatkan perpindahan dan rotasi tangga kebakaran A,
B dan C dari lantai atas menuju keluar di lantai dasar. Tangga A dan C
mengalami beberapa perpindahan dan rotasi, sedang tangga B hanya satu kali
mengalami perpindahan. Gambar 2.38 kanan memperlihatkan contoh detail
perpindahannya.

Syarat pemindahan tetap mengacu pada terjaminnya kemudahan dalam proses


evakuasi jika terjadi kondisi darurat. Perpindahan ruang tangga diletakkan pada
lantai transisi (transfer level) sehingga perubahan yang terjadi tidak
menimbulkan permasalahan, khususnya pada saat evakuasi pengguna
bangunan gedung.

l. Bentuk Massa Bangunan

Walaupun rancangan lokasi dan konfigurasi inti bangunan memiliki


keterbatasan, namun bentuk masa bangunan secara keseluruhan masih dapat
diolah agar tercapai identitas bangunan yang diinginkan.

Rancangan bentuk massa bangunan juga diperuntukan untuk memberi


kestabilan terhadap kemungkinan beban luar dan/atau upaya untuk memberi
fasilitas bagi sistem utilitas yang ada.

Gambar 2.39 memperlihatkan bentuk massa bangunan yang sekaligus


dimanfaatkan sebagai terowongan angin (wind tunnel) untuk menggerakkan

Jimmy S. Juwana 48
turbin angin pembangkit listrik yang digunakan untuk memasok kebutuhan
energi gedung tersebut.

Sumber: https://www.skyscrapercenter.com/complex/589 dan


https://www.cgtrader.com/3d-models/exterior/skyscraper/bahrain-world-trade-center

Gambar 2.39. WTC di Bahrain


m. Ekspresi Arsitektur

Tidak ada satupun bangunan tinggi yang tidak didukung oleh sistem struktur
yang prima; beberapa gedung memperlihatkan dimensi komponen struktur yang
sangat besar dibandingkan dengan ukuran manusia, namun harus diakui
banyak bangunan tinggi yang struktur sangat indah dan merupakan bagian
bangunan tinggi yang tidak mungkin dipisahkan satu dengan lainnya.

Berbagai inovasi di bidang teknologi bahan, dan kemajuan di bidang ICT,


memungkinkan orang untuk mengeksplorasikan kreativitas dan imajinasi
arsitekturnya dengan menonjolkan struktur sebagai bagian dari ekspresi
arsitektur (Gambar 2.40).

Sumber: https://www.kindpng.com/imgv/hhJTJwR_abu-dhabi-national-exhibition-centre-adnec-hd-png/

Gambar 2.40. National Exhibition Center, Abu Dhabi

Jimmy S. Juwana 49
n. Sistem Utilitas

Pada era industri 4.0, peranan sistem MEP dan ICT dalam mendukung
bangunan tinggi yang ramah lingkungan dengan konsep bangunan gedung
hijau (green building) dan cerdas (smart building), menjadi sangat penting.
Berbagai efisiensi dan pengaturan pada bangunan tinggi dapat dilakukan
dengan mengintegrasikan sistem MEP serta ICT (Gambar 2.41).

Sumber: https://personal.cityu.edu.hk dimodifikasi

Gambar 2.41. Integrasi Sistem MEP dan ICT

o. Koordinasi Modul

Pelaksanaan bangunan tinggi membutuhkan dana yang tidak sedikit, sehingga


setiap kemungkinan dan peluang untuk memperoleh efisiensi, baik pada saat
pelaksanaan konstruksi maupun pada saat pemanfaatannya perlu dilakukan,
salah satunya dengan mengurangi sampah konstruksi (construction waste).

Pendekatan yang lazim dilakukan adalah dengan menggunakan metode pra-


pabrikasi yang menggunakan bahan-bahan pracetak. Untuk itu diperlukan
koordinasi modul: modul arsitektur (modul ruang), modul struktur-konstruksi,
modul bahan, modul utilitas dan modul perabot (furniture). Dengan
menggunakan pendekatan ini bangunan tinggi dapat dilaksanakan dengan

Jimmy S. Juwana 50
waktu yang sangat singkat dan sekaligus meminimalkan sampah konstruksi dan
kesalahan pelaksanaan.

Modul-modul tersebut selanjutnya dikelompokkan menjadi bagian dari


komponen dinding, komponen lantai, komponen langit-langit, komponen utilitas
dan komponen finishing (Gambar 2.42).

Sumber: https://www.researchgate.net/figure/Corner-supported-modular-system_fig3_331306591

Gambar 2.42. Komponen Pra-pabrikasi & Pracetak

Teknologi digital telah dikembangkan untuk memberikan dampak yang besar


dalam melakukan percepatan pembangunan infrastruktur, yang dikenal dengan
Building Information Modelling (BIM). BIM adalah sebuah perangkat digital yang
menggunakan software 3D, real time, desain pemodelan dinamis untuk
meningkatkan produktivitas dalam desain dan konstruksi bangunan.

p. Keamanan dan Keandalan Bangunan Gedung

Bangunan tinggi rentan terhadap gangguan keamanan dari luar, peristiwa


runtuhnya gedung WTC di New York tahun 2001 menjadi bukti sejarah
bagaimana bangunan yang begitu kokoh, dalam sekejap runtuh. Gangguan
keamanan juga dapat timbul dari dalam bangunan, bentuknya dapat berupa
sabotase, penyanderaan dan/atau bentuk gangguan kejahatan lainnya. Oleh
karenanya, sistem keamanan (security system) menjadi hal yang wajib
diperhatikan.

Sistem pengamanan dapat berupa kamera telivisi tertutup (closed circuit


television – CCTV), pintu akses (access door), sensor gerak dan bunyi, serta
sistem kunci (key system). Hal ini akan dibahas secara rinci pada Bab IX bagian
9.6.2 – Sistem Keamanan terhadap Bahaya Kejahatan).

Jimmy S. Juwana 51
Di samping itu, perlu dipenuhi seluruh standar keandalan bangunan gedung,
gedung juga harus dapat dipantau dari luar dengan mudah (Gambar 2.43) agar
potensi gangguan keamanan dapat diketahui sejak dini.

Sumber: Juwana, 2022

Gambar 2.43. Bangunan Gedung dapat Dipantau dari Luar

Standar keselamatan ditentukan juga dari sistem struktur yang mampu


menahan beban yang terjadi pada bangunan gedung, sistem proteksi
kebakaran, sistem proteksi petir dan pembumian, serta sistem evakuasi dan
tanggap darurat.

Standar kesehatan dipenuhi dari sistem tata udara, tata cahaya dan tata suara,
serta instalasi pengolahan limbah (IPAL), yang menjamin kondisi dalam
bangunan gedung bebas dari kemungkinan sindrom sakit bangunan (sick
building syndrome – SBS) dan/atau bahan bahan yang beracun dan berbahaya
yang dapat menyebabkan orang terpapar bahan berbahaya yang dapat
menyebabkan terganggu kesehatannya (bulding related illness – BRI).

Selanjutnya, kenyamanan termal, kenyaman visual dan kenyamanan terhadap


gangguan kebisingan dan getaran juga merupakan bagian dari standar yang
harus dipenuhi, di samping kenyamanan gerak, baik arah vertikal melalui sistem
transportasi vertikal (lif, stair lift, dan eskalator), maupun melalui koridor.

Kemudahan bagi pengguna bangunan gedung termasuk untuk orang dengan


kebutuhan khusus (difabel) perlu dipenuhi, antara lain berupa tersedianya ram,
toilet difabel, tulisan braile dan sarana serta prasarana kemudahan lainnya.

Jimmy S. Juwana 52
Beberapa persyaratan terkait fasilitas difabel di antaranya:

1) Ram

Dimensi dan kemiringan ram perlu diperhatikan; untuk ram yang berada di
luar bangunan gedung, kemiringan maksimum 5o (1:12), sedang untuk di
dalam bangunan gedung maksimum 6o (1:10), dengan lebar 92 – 184 cm
dan setiap panjang 9 m, ram harus disediakan permukaan datar minimum
120 cm dan dilengkapi dua railing dengan tinggi 65 cm dan 800 cm (Gambar
2.44).

Sumber: PP no 16, 2021


Gambar 2.44. Ketentuan Ram

Untuk bangunan gedung yang tidak memiliki luas lantai yang cukup besar,
penyediaan ram di dalam bangunan menjadi kendala. Untuk bangunan
tinggi dapat menggunakan lif, namun untuk bangunan rendah, atau hotel
yang umumnya memiliki tangga sirkulasi (grand stair) untuk mencapai lantai
satu atau mezzanine dapat menggunakan alternatif lain berupa
pemasangan stair lift (Gambar 2.45).

Sumber: PP no 16, 2021


Gambar 2.45. Stair Lift

Jimmy S. Juwana 53
2) Toilet

Banyak bangunan gedung tidak dilengkapi dengan toilet difabel, sedang


toilet yang tersedia tidak memadai ukuran dan/atau konfigurasinya sehingga
menyulitkan bagi pergerakan kursi roda. Jika dimungkinkan pintu dapat
bergerak 180o, agar dapat didorong dari luar dan dari dalam (Gambar 2.46).

Sumber: PP no 16, 2021

Gambar 2.46. Dimensi dan Kelengkapan Toilet Difabel

q. Pemanfaatan Bangunan (Building Operation & Maintenance)

Usia manfaat bangunan gedung menurut regulasi ditentukan 50 tahun, artinya


selama rentang waktu tersebut bangunan gedung harus mampu beroperasi dan
memenuhi persyaratan laik fungsi bangunan gedung. Untuk itu secara rutin
bangunan gedung harus dipelihara dan dirawat serta dilakukan pemeriksaan
berkala, agar setiap kerusakan yang terjadi dapat segera diperbaiki.

Pada bangunan tinggi kelengkapan untuk pemanfaatan bangunan gedung


harus menjadi perhatian yang sungguh-sungguh, karena pemeliharaan
bangunan tinggi jauh lebih sulit dibandingkan dengan bangunan rendah. Salah
satu peralatan yang harus disiapkan adalah tersedianya gondola untuk dapat
digunakan dalam melakukan pemeliharaan, perawatan dan pemeriksaan
berkala. Jenis gondola harus disesuaikan dengan bentuk arsitektur
bangunannya (Gambar 2.47).

Gambar 2.47. Beberapa Jenis Gondola

Jimmy S. Juwana 54
r. Basemen Dan Parkir

Bangunan tinggi juga memerlukan areal parkir yang luas, dan pada areal
perkotaan di mana lahan sulit diperoleh dan juga biayanya tinggi, memaksa
bangunan tinggi menggunakan basemen dan/atau menyediakan gedung parkir.

Banyak terjadi kekeliruan yang menganggap adanya basemen untuk keperluan


areal parkir, karena pada hakekatnya basemen merupakan bagian dari sistem
fondasi bangunan (sub structure), yang dari pada kosong, dimanfaatkan untuk
keperluan tertentu, seperti untuk keperluan penempatan sistem/peralatan
utilitas, lokasi instalasi pengolahan limbah (IPAL), bak penampungan air, lokasi
pembangkit listrik cadangan (generator set), ruang pompa, ruang chiller dan
juga areal parkir.

Untuk mengurangi jumlah areal parkir pada bangunan tinggi, sekaligus untuk
memenuhi konsep bangunan gedung hijau (green building), lokasi bangunan
tinggi diletakkan berdekatan dengan sarana dan prasarana umum kota,
sehingga pengguna bangunan tinggi dapat memanfaatkan transportasi publik
dan keperluan lainnya dalam jarak yang tidak terlalu jauh tempatnya beraktivitas
(maksimum 400 m atau sepuluh menit berjalan kaki).

Prasarana dan sarana umum yang dimaksud adalah:

1) halte dan/atau stasiun transportasi publik;


2) fasilitas perbankan;
3) fasiltas/pos keamanan;
4) fasilitas kesehatan;
5) fasilitas pendidikan;
6) fasilitas pertokoan/mini market/pasar;
7) fasilitas ibadah; dan
8) kantor layanan publik (kantor pos, kantor kelurahan/kecamatan).

Khusus terkait parkir kendaraan, akan dibahas dengan lebih rinci di Bab V –
bagian 2.5 – Parkir Kendaraan).

s. Efisiensi Rancangan

Pada 20 tahun terakhir ini, orang berlomba untuk membangun gedung yang
makin lama makin tinggi, namun harus disadari bahwa ada keterbatasan, bahwa
makin tinggi bangunan makin diperlukan kestabilan dan kekokohan strukturnya,
lebih-lebih pada daerah di mana beban gempa bumi menjadi hal yang perlu
diperhatikan..

Getaran gempa akan menyebabkan bangunan tinggi lebih rentan dibandingkan


dengan bangunan rendah, sehingga berbagai upaya dilakukan agar getaran

Jimmy S. Juwana 55
gempa dapat diredam, sehingga dimensi struktur dapat dikurangi dan ketinggian
bangunan yang diinginkan dapat terpenuhi.

Saat ini banyak gedung tinggi sudah menggunakan peralatan peredam getaran
gempa, baik berupa base isolation, untuk mengurangi getaran tanah mengalir
ke struktur bagian atas dan/atau menggunakan seismic damper agar struktur
bagian atas lebih mampu menahan getaran gempa (Gambar 2.48).

Sumber: Miyamoto, 2008

Gambar 2.48. Base Isolation dan Seismic Damper

2.4. Parkir Kendaraan

a. Standar Parkir

Tempat parkir kendaraan merupakan fasilitas yang perlu disediakan oleh


bangunan, dan jika jumlah tempat parkir yang disediakan melebihi 20
kendaraan, maka harus disediakan ruang duduk untuk istirahat sopir dengan
ukuran minimal 2,00 m x 3,00 m.

Penataan halaman parkir juga harus mengupayakan adanya pohon peneduh,


dan perkerasan halaman parkir harus menggunakan bahan yang dapat
meresap air dan pengaturan parkir pada ruang terbuka antara Garis Sepadan
Bangunan (GSB) dan Garis Sempadan Jalan (GSJ) diatur menurut Tabel 2.8.

Tabel 2.8. Pengaturan Parkir

Lebar Rencana Jalan [m] Luas Maksimum Lahan Parkir [%]


L < 30 100
30 < L < 50 50
L > 50 0 (ruang terbuka hijau)

Pintu keluar/masuk ke dalam wilayah bangunan minimum 20 m dari tikungan


dan jika tidak memenuhi persyaratan tersebut, letak pintu diletakkan pada ujung
sisi muka (frontage) terjauh dari tikungan.

Jimmy S. Juwana 56
Untuk parkir di dalam bangunan, disyaratkan ruang bebas struktur (head room)
untuk ruang parkir maksimal 2,25 m (Gambar 2.49).

Gambar 2.49. Sirkulasi Kendaraan dan Parkir

Sumber: Suryabrata, 2021

Gambar 2.50. Ram Gedung Parkir

Jimmy S. Juwana 57
Gambar 2.51 menunjukkan letak dan arus sirkulasi kendaraan di gedung parkir,
baik yang menggunakan ram lurus maupun ram spiral.

Pada lantai yang digunakan untuk parkir di mana luasnya mencapai 500 m2 atau
lebih, lantai parkir harus dilengkapi ram naik dan ram turun minimum masing-
masing dua unit. Lebar ram lurus satu arah minimum 3,00 m dan untuk ram dua
arah harus dilengkapi dengan pemisah dengan lebar minimum 50 cm, sehingga
lebar minimum ram menjadi 6,50 m. Kemiringan ram lurus ditentukan
maksimum 1:5 dengan ruang bebas struktur di kanan dan kiri sebesar 60 cm.

Jika menggunakan ram spiral dua arah, maka jari-jari terpendek ditentukan 4,00
m dengan lebar ram 3,60 m untuk setiap arah dengan pemisah minimum 50 cm,
sehingga lebar minimum ram menjadi 7,50 m. Bagi bangunan parkir yang
menggunakan ram spiral, di antara jalur jalan harus ada ruang bebas minimal
60 cm dan ketinggian bangunan parkir dibatasi tidak boleh melebihi lima lapis
(Gambar 2.50).

Sumber: Chrest et al, 2001 dan ISE, 2011 dimodifikasi

Gambar 2.51. Lokasi Ram dan Arus Sirkulasi pada Gedung Parkir

Lantai untuk parkir tidak dihitung KLB (maksimal 50% KLB, selebihnya
diperhitungkan 50%), dengan lantai bangunan parkir maksimal 150% KLB.

Jimmy S. Juwana 58
Ram dan tangga terbuka dihitung 50% (maksimal 10% KDB), dan ram di luar
bangunan minimum berjarak 60 cm dari pagar/batas daerah perencanaan dan
berjarak minimum 2,00 m dari GSJ.

Perencanaan luas bangunan basemen dan/atau sub struktur harus sedemikian


rupa sehingga dapat memenuhi batasan KDH yang ditetapkan. Bangunan
basemen wajib memenuhi ketentuan jarak minimum dari GSJ dan/atau
pagar/batas daerah perencanaan.

Setiap lantai parkir harus memiliki sarana transportasi dan/atau sirkulasi vertikal
untuk orang berupa tangga. Tangga spiral dilarang digunakan, dan radius
pelayanan tangga 25 m untuk yang tidak dilengkapi dengan sprinkler dan/atau
40 m untuk yang dilengkapi dengan sprinkler.

Pola pengaturan parkir mobil juga memiliki beberapa alternatif, di mana tata
letak kendaraan akan terkait pada lebar lajur kendaraan dan kapasitas
kendaraan yang dapat ditampung untuk luasan tertentu (Gambar 2.52).

Sumber: PP no 16, 2021


Gambar 2.52. Alternatif Pola Parkir Kendaraan
Untuk menghitung alokasi ruang tempat parkir, digunakan satuan ruang parkir
(SRP) sesuai dengan Tabel 2.9.

Jimmy S. Juwana 59
Tabel 2.9. Penentuan SRP

Jenis Kendaraan SRP [m2]


Mobil Penumpang Golongan I 2,30 x 5,00
Mobil Penumpang Golongan II 2,50 x 5,00
Mobil Penumpang Golongan III 3,00 x 5,00
Bus/Truk 3,40 x 12,50
Sepeda Motor 0,75 x 2,00
Sumber: Dirjen Hubdat, Kemenhub, 1996.

Pola pengaturan parkir ditunjukkan juga memiliki beberapa alternatif, di mana


tata letak kendaraan akan terkait pada lebar lajur kendaraan dan kapasitas
kendaraan yang dapat diakomodasikan untuk luasan tertentu (Gambar 2.53).
B O R Bp B O R Bp

a1 a1

L
SRP Lp
L
SRP Lp

a2
a2
Keterangan :
B = lebar kendaraan R = jarak bebas samping Keterangan :
L = panjang kendaraan Bp = lebar minimum SRP B = lebar kendaraan R = jarak bebas samping
L = panjang kendaraan Bp = lebar minimum SRP
O = lebar bukaan pintu Lp = panjang minium SRP O = lebar bukaan pintu Lp = panjang minium SRP
a1/a2 = jarak bebas depan/belakang a1/a2 = jarak bebas depan/belakang

Sumber: Dirjen Hubdat, Kemenhub, 1996.

Gambar 2.53. Posisi Kendaraan pada Areal Parkir

Tabel 2.8 sampai dengan Tabel 2.19 menunjukkan pengaturan tempat parkir
yang lebih rinci disesuaikan dengan fungsi bangunan gedung, dari mulai untuk
pusat perkantoran, pasar swalayan, pasar, sekolah dan perguruan tinggi, taman
rekreasi, hotel, rumah sakit, bioskop, dan gedung olah raga.

Khusus untuk keperluan areal parkir hotel, perhitungannya juga dapat dilakukan
dengan pendekatan yang lebih spesifik terkait jenis hotel dan pengguna tempat
parkir, yang akan dibahas setelah Tabel 2.20.

Jimmy S. Juwana 60
Tabel 2.10. Kebutuhan Ruang Parkir untuk Pusat Pekantoran

Sumber: Dirjen Hubdat, Kemenhub, 1996.

Tabel 2.11. Kebutuhan Ruang Parkir untuk Pasar Swalayan

Sumber: Dirjen Hubdat, Kemenhub, 1996.

Tabel 2.12. Kebutuhan Ruang Parkir untuk Pasar

Sumber: Dirjen Hubdat, Kemenhub, 1996.

Jimmy S. Juwana 61
Tabel 2.13. Kebutuhan Ruang Parkir untuk Sekolah/Perguruan Tinggi

Sumber: Dirjen Hubdat, Kemenhub, 1996.

Tabel 2.14. Kebutuhan Ruang Parkir untuk Tempat Rekreasi

Sumber: Dirjen Hubdat, Kemenhub, 1996.

Tabel 2.15. Kebutuhan Ruang Parkir untuk Hotel berdasarkan Tarif

Sumber: Dirjen Hubdat, Kemenhub, 1996.

Jimmy S. Juwana 62
Tabel 2.16. Kebutuhan Ruang Parkir untuk Hotel berdasarkan Klasifikasi

Sumber: Dirjen Hubdat, Kemenhub, 1996.

Tabel 2.17. Kebutuhan Ruang Parkir untuk Rumah Sakit

Sumber: Dirjen Hubdat, Kemenhub, 1996.

Tabel 2.18. Kebutuhan Ruang Parkir untuk Bioskop

Sumber: Dirjen Hubdat, Kemenhub, 1996.

Jimmy S. Juwana 63
Tabel 2.19. Kebutuhan Ruang Parkir untuk Gelanggang Olah Raga

Sumber: Dirjen Hubdat, Kemenhub, 1996.

Ketentuan jumlah parkir yang perlu disediakan untuk masing-masing fungsi


bangunan gedung dapat juga dihitung berdasarkan Tabel 2.20. berikut ini.

Tabel 2.20. Standar Jumlah Parkir*)

Fungsi Bangunan Gedung Predikat Standar Parkir per mobil Keterangan


Apartemen Setiap unit
Bangunan Olah Raga Setiap 15 penonton/kursi
Kelas A-I Setiap 7 kursi
Bioskop Kelas A-II Setiap 10 kursi
Kelas A-III Setiap 15 kursi
Padat Setiap 4 m2 lantai bruto *)
Tidak Padat Setiap 10 m2 lantai bruto Dimungkinkan
Gedung
untuk dihitung
Pertemuan/Konvensi Bintang 4 – 5 Setiap 5 kamar secara lebih
Hotel Bintang 2 – 3 Setiap 7 kamar rinci
< Bintang 1 Setiap 10 kamar
Tingkat Kota Setiap 100 m2 lantai bruto
Tingkat Wilayah Setiap 200 m2 lantai bruto **) Luas parkir
Pasar
Tingkat yang
Setiap 300 m2 lantai bruto diperlukan
Lingkungan
antara 37,5 –
Perdagangan/Toko Setiap 60 m2 lantai bruto
50,0
Pergudangan Setiap 200 m2 lantai bruto m2/tempat
Perguruan Tinggi Setiap 200 m2 lantai bruto parkir
Kelas I Setiap 10 m2 lantai bruto
Restoran/Hiburan
Kelas II Setiap 20 m2 lantai bruto
VIP Setiap 1 tempat tidur
Rumah Sakit **) Kelas I Setiap 5 tempat tidur
Kelas II Setiap 10 tempat tidur
Sekolah Setiap 100 m2 lantai bruto
Catatan: Lantai netto : lantai yang efektif digunakan Sumber: Juwana, 2005
Lantai bruto : seluruh luas lantai, termasuk WC, gudang,
selasar/koridor, tangga, dan lain-lain.

Jimmy S. Juwana 64
Perhitungan kebutuhan parkir di hotel, dapat dilakukan dengan menghitung
perkiraan beban parkir per kamar seperti Tabel 2.21.

Tabel 2.21. Koefisien Kebutuhan Parkir Hotel

Koefisien Kebutuhan Parkir


Jenis Hotel
Per Kamar Hotel
Business (Downtown) 0,4 – 0,8
Boutique hotel 0,3 – 0,8
Suburban hotel 1,2 – 1,4
Airport hotel 0,6 – 1,0
Road side Inn 1,0 – 1,2
Resort (all types) 0,2 – 1,4
Convention hotel 0,8 – 1,4
Conference center 1,0 – 1,3
Condominium hotel 1,2 – 2,0
All-suite hotel 0,8 – 1,2
Super-luxury hotel 1,0 – 1,2
Mega hotel 1,0 – 1,2
Mixed-use hotel 0,6 – 1,2
Casino hotel 0,8 – 2,0
Sumber: Penner, Adams & Robson , 2013

Selanjutnya, penggunaan parkir dibagi atas pengguna parkir dan waktu


penggunaannya (Tabel 2.22).

Tabel 2.22. Faktor Penggunan Parkir Hotel


Jam Penggunaan
Pengguna 00 – 04 04 – 08 08 – 12 12 – 16 16 – 20 20 – 24
Tamu yang Menginap 1,00 0,95 0,60 0,60 0,90 0,95
Tamu Restoran & Bar 0,05 0,10 0,10 0,10 0,20 0,25
Peserta Rapat/Pertemuan 0,05 - 0,10 0,10 0,40 0,40
Anggota Pusat Kebugaran - 0,20 0,10 0,20 0,20 0,05
Pengunjung - 0,10 0,20 0,10 0,20 0,40
Karyawan Hotel 0,25 0,25 0,40 0,40 0,35 0,35
Jumlah 1,35 1,60 1,50 1,50 2,25 2,40
Sumber: Penner, Adams & Robson , 2013

Jika diketahui data tentang total jumlah kamar hotel (N), tingkat okupansi (x%),
perkiraan tamu yang membawa kendaraan (y%), dan jumlah orang per
kendaraan (z), maka jumlah parkir yang perlu disediakan untuk tamu yang
menginap mengacu pada penggunaan antara pukul 00.00 – 04.00, di mana
semua tamu yang menginap diasumsikan telah memarkirkan kendaraannya.

Jimmy S. Juwana 65
𝐽𝑃𝑇 = 𝑁. 𝑥. 𝑦. 𝑧. 𝑘 kendaraan Persamaan 2.9.
di mana : JPT : jumlah alokasi parkir kendaraan tamu hotel
x : tingkat okupansi hunian hotel rata-rata
y : tamu hotel yang membawa kendaraan sendiri
z : rata-rata jumlah orang per kendaraan tamu hotel
k : koefisien dari Tabel 2.19
Untuk menampung kebutuhan parkir hotel bagi pengunjung dapat dianalisis
menggunakan Tabel 2.22.

b. Sistem Parkir
Dengan terbatas dan makin mahalnya harga lahan, untuk mengurangi alokasi
kebutuhan luasan areal parkir, saat ini banyak digunakan sistem parkir (parking
system), baik yang manual, semi otomatis, maupun otomatis (Gambar 2.54).

Sumber: PP no 16, 2021.


Gambar 2.54. Automatic Parking System
Dengan menggunakan sistem parkir seperti ini, areal luasan parkir yang
diperlukan untuk kendaraan dapat dikurangi dari 25 m2 per kendaraan roda
empat (termasuk untuk manuver kendaraan) menjadi sekitar 15 m2 per
kendaraan.

Soal-Soal Latihan
1. Di samping arsitek, tenaga ahli apa saja yang terlibat dalam
perancangan bangunan tinggi. Jelaskan perannya masing-masing.
2. Untuk apa penambahan luasan setelah prakiraan ruang aktivitas telah
diketahui.
3. Apa yang menjadi patokan dasar untuk memperkirakan luas bangunan
hotel.
4. Ketentuan apa saja yang tertera dalam dokumen KKPR.

Jimmy S. Juwana 66
5. Mengapa jarak antar lantai pada bangunan tinggi memiliki peran penting
dalam perencanaan bangunan tinggi.

6. Suatu bangunan kantor didirikan di atas tapak seluas 3 hektar dengan


KDB 50% dan KLB = 8. Gambar sketsa bangunan kantor tersebut, jika
di kiri kanan nya ada bangunan lain, dan bangunan menghadap jalan
yang lebarnya 20 m.
7. Ada berapa banyak model inti bangunan tinggi, dan mana yang umum
digunakan pada bangunan dengan fungsi apartemen.
8. Apa yang dimaksud dengan standar keandalan bangunan gedung.
9. Sebutkan lima prasarana dan sarana yang mendukung keberadaan
bangunan tinggi.
10. Untuk luas areal yang sama, mana pola parkir yang paling banyak dapat
menampung móbil. Jelaskan.

Daftar Kepustakaan dan Rujukan


… (2021); Peraturan Pemerintah nomor 16 tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-Undang nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, Jakarta.

… (2019); Peraturan Menteri Kesehatan nomor 30, BN.2019/No.1107 tentang


Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit.

… (1996); Keputusan Direktorat Jenderal Hubungan Darat (Hubdat), Kementerian


Perhubungan nomor 272 tahun 1996 tentang Fasilitas Parkir untuk Umum.

… (2010); https://www.skyscrapercenter.com/complex/589

… (2021); https://www.researchgate.net/figure/Corner-supported-modular-
system_fig3_331306591

… (2021); https://id.pinterest.com/taras_senkiv/facade-details/

… (2022); https://www.kindpng.com/imgv/hhJTJwR_abu-dhabi-national-exhibition-
centre-adnec-hd-png/

… (2022); https://www.cgtrader.com/3d-models/exterior/skyscraper/bahrain-world-
trade-center

… (2017); https://en.wikiarquitectura.com/building/price-tower/

… (2020); https://personal.cityu.edu.hk

… (2011); Design Recommendations for Multi-storey and Underground Car Parks 4th
Edition, The Institution of Structural Engineers (ISE), London.

Jimmy S. Juwana 67
Al-Kodmany K., (2015); “Tall Buildings and Elevators: A Review of Recent Technological
Advances”, Buildings 2015, 5(3),1070-
104; https://doi.org/10.3390/buildings5031070
Bee H. S., (Editor), (2003); Tall Buildings, The Museum of Modern Art, New York.
Bovill C., (1991); Architectural Design – Integration of Structural and Environmental
Systems, Van Nostrand Reinhold, New York.

Cerver F. A.. (1997); The Architecture of Skyscrapers. Arco for Hearst Books
International, New York.

Chrest A. P. Et al, (2001); Parking Structures Planning, Design, Construction,


Maintenance and Repair 3rd Edition, Springer Science+Business Media New
York.

Dupre J., (1996); Skyscrapers – A History of the World’s Most Famous and Important
Skyscrapers, Black Dog & Leventhal Publishers. Inc., New York.

Eisele J. & Kloft E., (editors) (2002); High-Rise Manual – Typology and Design,
Construction and Technology, Birkhauser – Publisher for Architecture, Basel.

Guise D., (1985); Design and Technology in Ardchitecture. John Wiley & Sons, New
York.

Juwana J. S., (2005); Panduan Sistem Bangunan Tinggi untuk Arsitek dan Praktisi
Bangunan, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Juwana J. S., (2022); “Sistem Keamanan & Keselamatan Bangunan Gedung dan
Lingkungan”, Pengembangan Keprofesian Arsitek 1 – Ikatan Arsitek Indonesia,
Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam.

Konis K. & Selkowittz S., (2017); Effective Daylighting with High-Performance Facades
– Emerging Design Practices. Springer International Publishing, Swiss.

Miyamoto K., (2008); https://www.taylordevices.com/seismic-protection/

Murray S., (2009); Contemporary Curtain Wall Architecture, Princeton Architectural


Press, New York.

Penner, R. H., Adams, L. & Robson, S. K. A., (2013); Hotel Design – Planning and
Development 2nd Edition, Routledge, New York.

Suryabrata J. A., (2021); “Persyaratan Teknis Bangunan Gedung (Arsitektur}”, Solo.

Sultanzadech A, Alaghmandan M. & Sultanzadech M., (2018); “Performance Evaluation


of Refuge Floors in Combination with Egress Components in High-rise Building”,
Journal of Building Engineering – Volume 19, September 2018.

Swinburne, H., (1980); Design Cost Analysis for Architects and Engineers, McGraw-Hill
Book Company, New York.

Jimmy S. Juwana 68
BAB III
INTI BANGUNAN GEDUNG

“…Each of us is carving a stone erecting a


column, or cutting a piece of stained glass
in the construction of something much
bigger than ourselves…”

Adriene

Inti bangunan gedung (core), meskipun dari luasannya merupakan bagian yang
kecil dari luas lantai, namun memiliki peran penting pada bangunan tinggi,
karena merupakan lokasi di mana sistem transportasi gedung, dan jaringan
utilitas didistribusikan dari bawah ke atas melalui shaft vertikal. Inti bangunan
gedung bukan merupakan bagian yang disewakan (bukan leasing space),
karena itu pengaturannya perlu dilakukan secermat dan seefisien mungkin
melalui integrasi antara konfigurasi bangunan dengan sistem MEP dan sistem
ICT yang ada.

Di samping itu, inti bangunan gedung juga bermanfaat untuk memperkokoh


struktur bangunan tinggi dan stabilitas terhadap beban lateral/horizontal akibat
angin dan gempa.

3.1. Konfigurasi Inti Bangunan

Meskipun dinamakan inti bangunan gedung, namun lokasinya tidak harus selalu
berada di tengah-tengah bangunan, tapi dapat juga diletakkan di ujung, di luar,
di sudut atau diletakkan secara acak.

Inti bangunan dapat digunakan untuk menunjukkan bagaimana pengaruh lokasi


inti pada kinerja bangunan gedung, sehingga dapat dijadikan pertimbangan
terkait fungsi bangunan gedung dari berbagai aspek.

Perbedaan fungsi bangunan akan berpengaruh pada pola tata letak inti
bangunan. Pada bangunan tinggi, luas lantai bersih, sirkulasi dan jaringan
utilitas serta pemanfaatan pencahayaan alamiah, menjadi pertimbangan bagi
letak inti bangunan.

Penempatan letak inti bangunan akan memberikan pengaruh pada bangunan,


seperti fleksibilitas pengaturan ruang dalam, tata letak ruang di sisi perimeter
bangunan, pemanfaatan lantai dasar, pengaruh jaraknya terhadap aktivitas
kegiatan, kejelasanan pola sirkulasi, pengaruh cahaya alami, korelasi dengan
peralatan utilitas di atap bangunan gedung dan di lantai dasar, serta

Jimmy S. Juwana 69
pengaruhnya dalam menahan gaya lateral, sebagaimana ditunjukkan dalam
Tabel 3.1.

Tabel 3.1. Konfigurasi Tata Letak Inti Bangunan Gedung

L etak In ti

P en g aru h p ad a D i U ju n g D i L u ar D i T en g ah In ti G an d a Di Sudut Acak

F leksib ilitas R u an g B aik S angat B aik C ukup K urang B aik K urang S ekali

R u an g D i S isi
K urang C ukup S angat B aik S angat B aik K urang S ekali B aik
K elilin g B an g u n an

P em an faatan L an tai
C ukup S angat B aik C ukup K urang B aik K urang S ekali
D asar

Jarak d ari In ti K urang K urang S ekali B aik S angat B aik C ukup C ukup

K ejelasan P o la
C ukup K urang B aik S angat B aik C ukup K urang S ekali
S irku lasi

P en cah ayaan Alam i B aik S angat B aik K urang S ekali K urang S ekali S angat B aik K urang

H u b u n g an d en g an
C ukup K urang S ekali S angat B aik B aik K urang C ukup
U tilitas d i Atap

H u b u n g an d en g an C ukup K urang B aik S angat B aik K urang S ekali C ukup


U tilitas d i L t. D asar

K ekaku an S tru ktu r


K urang K urang S ekali S angat B aik S angat B aik B aik C ukup
(G aya L ateral)

Sumber: Allen, E & Iano, J, 2017

Selanjutnya, ruangan-ruangan di luar inti bangunan disesuaikan dengan fungsi


bangunan gedung dan konfigurasi massa bangunan gedungnya, yang dapat
berbentuk menara (tower) atau memanjang (slab).

Pada lantai tipikal luas inti bangunan gedung tidak melebihi 20%, sedang luasan
sisa yang sekitar 80% itu masih perlu dikurangi dengan luasan yang diperlukan
untuk jalur sirkulasi horizontal (koridor). Hal ini menyebabkan luas efektif
bangunan gedung berkurang. Oleh karena itu pemilihan lokasi inti bangunan
gedung perlu mempertimbangkan berbagai aspek yang ada.

Bangunan tinggi dengan fungsi kantor sewa memerlukan fleksibilitas dalam


menata ruangan di setiap lantainya, karena jumlah penyewa (tenant) di setiap

Jimmy S. Juwana 70
lantai dapat berbeda-beda, dari hanya satu penyewa sampai sekitar enam atau
tujuh penyewa.

Sebagai gambaran, sekitar 4% dari luas tipikal diperuntukkan untuk lubang


utilitas/saf (shaft), digunakan untuk keperluan jaringan/saluran sistem MEP,
yang dapat terdiri dari satu atau lebih dari satu zona distribusi. Pemisahan
lubang-lubang bagi sistem tata udara dimaksudkan agar tidak terjadi konflik di
antara saluran utilitas (ducting) dan dengan sistem struktur yang ada. Khusus
untuk saluran tata udara perbandingan antara panjang dan lebar ruang saf
berkisar antara 1:2 sampai 1:4 agar pada saat ada aliran udara di dalamnya
tidak menimbulkan efek pluit (menimbulkan suara).

Sumber: https://www.sefindia.org/rangarajan/CoreDesign.pdf

Gambar 3.1. Fleksibiltas Zona Penyewa

Gambar 3.1 adalah ilustrasi bangunan tinggi dengan konfigurasi menara (tower)
dengan beberapa alternatif lokasi inti bangunan yang dikaitkan dengan
fleksibilitas kemungkinan jumlah penyewa (tenant) pada tiap lantainya.

Berbagai bangunan di manca negara menggambarkan beberapa contoh


integrasi tata letak inti bangunan, dengan saluran jalur sirkulasi, alokasi ruang
aktif dan penempatan shaft serta tangga.

Jimmy S. Juwana 71
Bangunan pertama adalah Gedung Federal Reserve Bank di Minneapolis,
Amerika Serikat yang dirancang oleh arsitek Birkerts (Gambar 3.2). Bangunan
berlantai sepuluh ini mempunyai tiga inti, dua di ujung bangunan dan satu di
tengah sisi panjang bangunan. Antara kedua inti dihubungkan dengan rangka
batang menyerupai konstruksi jembatan yang digunakan untuk menggantung
struktur lantai, sehingga di antara kedua sisi pendek bangunan tidak terdapat
kolom, sehingga memiliki fleksibilitas pengaturan tata ruang dalam. Pada lantai
dasar (street level) digunakan untuk keperluan aktivitas publik, sekaligus untuk
maksud keamanan gedung itu sendiri, karena aktivitas kantor berada di lantai
satu ke atas.

Sumber: Hart, Henn, & Sontag, 1985 dan Juwana, 2005 dimodifikasi

Gambar 3.2. Federal Reserve Bank

Grosvernor Place Development, bangunan perkantoran di Sydney, Australia


yang dirancang oleh Harry Seidler dan rekan, merupakan bangunan berbentuk
dua tembereng lingkaran dengan inti di tengahnya (Gambar 3.3). Sisi luar yang
melengkung memberikan bukaan yang lebih luas, sehingga pandangan dari
dalam kantor ke luar menjadi lebih baik. Balok transfer memberi ruang gerak
dan lalu lintas yang lebih luas bagi aktivitas di lantai dasar.

Bangunan multi used di Detroit, Amerika Serikat, The Renaissance Center


(Gambar 3.4) karya arsitek John Portman. Inti bangunan Gedung diletakkan
pada kedua ujung atrium bangunan yang berbentuk ‘V’ dan deretan lif diletakkan
pada sisi atrium. Deretan lif yang menghadap atrium menggunakan lif
kapsul/panoramik. Selasar yang mengelilingi atrium berupa single loaded
corridor, sedang selasar yang di tengah bangunan ‘V’ berupa double loaded

Jimmy S. Juwana 72
corridor. Terlihat ada lantai antara (transfer level) yang digunakan sebagai
tempat kumpul sementara dalam keadaan darurat (refuge floor).

Sumber: Binder, 2001 dan Juwana, 2005 dimodifikasi

Gambar 3.3. The Grosvenor Place Development

Sumber: Juwana, 2005 dimodifikasi


Gambar 3.4. The Renaissance Center

Jimmy S. Juwana 73
Bangunan Menara Boustead (Gambar 3.5) berlokasi di kota Kuala Lumpur,
Malaysia, karya arsitek Ken Yeang, dengan ketinggian 31 lantai dan berfungsi
sebagai kantor sewa. Inti bangunan ada dua, yang besar berisi 10 lif, terletak di
ujung massa bangunan yang berbentuk gabungan setengah lingkaran dan segi
empat. Ada tambahan tangga kebakaran dan lif dengan luasan yang lebih kecil
pada ujung lain agar tidak terdapat lorong buntu (dead end) pada koridor
bangunan gedung ini.

Sumber: Binderr, 2001 dan Juwana, 2005 dimodifikasi

Gambar 3.5. Menara Boustead

Bangunan kantor Century Tower karya Norman Foster ini berlokasi di kota
Tokyo, Jepang. Inti bangunan diletakkan pada kedua sisi bagian Barat dan
Timur. Tangga kebakaran ditempatkan pada setiap ujung bangunan. Bangunan
terdiri dari dua massa dengan atrium di tengahnya. Massa sebelah Utara lebih
rendah, oleh karenanya hanya ada satu tangga darurat, sedang massa sebelah
Selatan dengan ketinggian 22 lantai, masing-masing mempunyai dua buah
tangga kebakaran di setiap sisinya (Gambar 3.6).

The Bank of China dirancang oleh I.M. Pei di Hong Kong, merupakan bangunan
dengan struktur yang unik. Inti bangunan gedung diletakkan terpisah satu
dengan lainnya untuk mengantisipasi adanya pengurangan lantai di lantai atas
bangunan, sebagaimana terlihat pada lantai tipikal, di mana mulai dari lantai 26
–31 lantai tipikalnya berkurang 25%, kemudian berkurang lagi menjadi 50%
pada lantai tipikal 38 – 44, dan akhirnya luas lantai tinggal tersisa 25% pada
lantai tipikal 51 – 66 (Gambar 3.7).

Jimmy S. Juwana 74
Sumber: Davis & Lambot, 1882 dan Juwana, 2005 dimodifikasi

Gambar 3.6. Century Tower

Sumber: Ali & Armstrong, 1995 dan Juwana, 2005 dimodifikasi

Gambar 3.7. The Bank of China di Hong Kong

Jimmy S. Juwana 75
3.2. Perancangan Praktis Inti Bangunan.

3.2.1. Perancangan Koridor Lobby Lif

Jumlah lif untuk melayani satu zona berkisar antara 4 – 6 buah lif, termasuk lif
barang, oleh karenanya konfigurasi koridor yang berfungsi sebagai lobby lif
disesuaikan dengan layanan lif tersebut.

Kelompok lif di mana bangunan gedung hanya memiliki satu zona layanan lif,
bentuk koridor yang terbentuk sederhana dan linear, seperti terlihat pada
Gambar 3.8.
LB

LP LP Anti
I I room

Anti LP LP
room I I

LB

Gambar 3.8. Koridor Lif dengan Satu Zona Layanan

Jika bangunan Gedung memiliki dua zona layanan lif, alternatif koridor lif
terbatas pada dua alternatif (Gambar 3.9).

LP LP LP LP
I I I I
TOILET TOILET
LP LP LP LP
I I I I

LP LP LP LP LP
II II II II II
TOILET TOILET
LP
LB LB AHU
II

Gambar 3.9. Koridor Lif dengan Dua Zona Layanan

Dengan bertambahnya zona layanan lif, maka jumlah koridor juga bertambah,
sebanding dengan zona yang dilayani, Gambar 3.10 merupakan salah satu
alternatif pola koridor yang melayani tiga zona.

Jimmy S. Juwana 76
LP LP
LO
I I
TOILET
AHU
wanita
LP LP
LB
I I

LP LP LP
LB
II II III
TOILET
pria
LP LP LP LP
II II III III

Gambar 3.10. Koridor Lif dengan Tiga Zona Layanan

Secara skematik alternatif lain untuk pola koridor untuk yang melayani tiga zona
dapat seperti pada Gambar 3.11.

Gambar 3.11. Alternatif Pola Koridor Lif dengan Tiga Zona Layanan

Untuk kelompok lif yang memiliki lebih dari tiga zona layanan (multi zone) pola
koridornya akan berbentuk seperti pada Gambar 3.12.

Gambar 3.12. Pola Koridor Lif lebih dari Tiga Layanan (Multi Zone)

Pada Gambar 3.9 koridor lif dapat menerus, sehingga dapat diakses dari dua
sisi, tapi juga dapat dibuat tidak menerus (buntu), karenanya lebar koridor lif
mengalami penyesuaian (Gambar 3.13).

Jimmy S. Juwana 77
Gambar 3.13. Alternatif Lebar Koridor Lif
3.2.2. Perancangan Inti Bangunan
Perancangan inti bangunan gedung tidak lepas dari pengaturan jumlah lif,
pembagian zona layanan lif dan penempatan sky lobby atau lantai transfer untuk
MEP dan ICT. Hal ini akan mempengaruhi bentuk tampilan arsitektur eksterior
bangunan gedung.

Sumber: Juwana, 2005 dimodifikasi


Gambar 3.14. Zona Layanan Lif dan Ekspresi Arsitektur

Jimmy S. Juwana 78
Pada lokasi tranfer level tampilan bagian luar bangunan mengikuti fungsi ruang
yang ada di dalamnya, dengan demikian ada kesesuaian antara lantai-lantai
untuk keperluan utilitas dengan ekspresi arsitekturalnya. Ekspresi yang dapat
diperlihatkan dapat berupa struktur pengaku (outriggers) atau memundurkan
sisi luar bangunannya (set back). Gambar 3.14 memperlihatkan empat alternatif
dari bangunan yang mempunyai enam sampai sembilan zona layanan lif
dengan lantai transfer yang berbeda, sehingga mempengaruhi ekspresi
arsitekturnya.

Untuk memudahkan rancangan inti bangunan, maka digunakan modul 3,00 m x


3,00 m, atau yang biasa disebut sebagai modul ‘bujur sangkar ajaib’ (‘magic
square’) sebagaimana terlihat pada Gambar 3.15.

Anti/Ante room ditambahkan di muka lif barang, jika pintu lif barang dan lif orang
terbuka pada areal/ruang lobby lif yang sama.

LIF LIF LIF 1 Modul


ANTI-ROOM
ORANG BARANG OBSRV 3mx3m

Tangga

WC WC 2 Modul
‘AHU’
WNT PRIA 3mx6m

Sumber: Juwana, 2005

Gambar 3.15. Modul ‘Magic Square’

Untuk perkiraan awal, jumlah lif dapat diasumsikan bahwa untuk setiap 5.000
m2 luas lantai diperlukan satu lif penumpang, dan setiap empat lif penumpang
diperlukan satu lif barang. Namun perkiraan jumlah lif ini harus diperiksa ulang
dengan analisis yang menggunakan standar perhitungan lif.

Sebagai contoh, pada bangunan yang mempunyai tiga zona layanan lif, di mana
zona I diperlukan empat buah lif penumpang, zona II diperlukan empat lif
penumpang dan zona III diperlukan tiga lif penumpang. Lif barang berjumlah
dua buah, sedang lif untuk observasi berjumlah satu buah.

Pertama kali dibuat sketsa pembagian zona layanan lif dan jenis lif apa saja
yang ada pada bangunan tersebut (Gambar 3.16).

Jimmy S. Juwana 79
RG MESIN LIF OBSERVASI & BARANG
RG MESIN LIF II I RG LUNCUR LIF OBSERVASI & BARANG
RG LUNCUR LIF III

ZONA III

TRANSFER LEVEL RG MESIN LIF II


II - III RG LUNCUR LIF II

ZONA II

TRANSFER LEVEL RG MESIN LIF I


I - II RG LUNCUR LIF I

ZONA I

LT. DASAR

Gambar 3.16. Skema Layanan Lif


Selanjutnya, dengan adanya sky lobby atau lantai transfer dan dengan
melakukan rancangan tata letak lif secara baik, maka pada zona-zona atas
dapat diperoleh tambahan leasing space akibat berkurangnya jumlah lif yang
ada pada inti bangunan.

LP LP
LO
I I
TOILET
AHU
wanita
LP LP
LB
I I

LP LP LP
LB
II II III
TOILET
pria
LP LP LP LP
II II III III

LANTAI DASAR
Gambar 3.17. Denah Inti di Lantai Dasar
Pada lantai dasar semua pintu lif terbuka, baik untuk menuju zona I (LP I), zona
II (LP II), zona III (LP III) maupun untuk menuju lantai observasi (LO) dan lif

Jimmy S. Juwana 80
barang (LB). Bukaan pintu LB pada sisi koridor yang bukan merupakan koridor
di mana pintu lif orang terbuka, agar arus barang tidak mengganggu sirkulasi
orang (Gambar 3.17).

Pada zona I, hanya pintu LP I dan LB saja yang dapat terbuka, sedang lif-lif lain
tertutup pintunya, sehingga koridor tempat LP III dapat ditutup untuk
dimanfaatkan sebagai ruangan utilitas (Gambar 3.18). Pada kondisi darurat
pintu lif dapat dibuka dengan akses keluar melalui daerah toilet (lihat Gambar
3.38).

LP LP
LO
I I
TOILET
AHU
wanita
LP LP
LB
I I

LP LP LP
LB
II II III
TOILET
pria
LP LP LP LP
II II III III

ZONA I
Gambar 3.18. Denah Inti pada Zona I

Pada lantai transfer I – II bagian bawah, di mana LP I tidak aktif (hanya ada
lubang/ruang luncurnya saja), pintu LP II sudah terbuka, agar pada saat terjadi
kondisi darurat, pengguna areal zona II dapat menuju lantai transfer (transfer
level) yang digunakan juga sebagai tempat kumpul sementara (refuge floor)
seperti terlihat pada Gambar 3.19.

LP LP
LO
I I
TOILET
AHU
wanita
LP LP
LB
I I

LP LP LP
LB
II II III
TOILET
pria
LP LP LP LP
II II III III

RUANG LUNCUR ZONA I


Gambar 3.19. Denah Inti di Lantai Transfer I – II Bawah

Jimmy S. Juwana 81
Pada lantai tranfer I – II atas, terdapat ruang mesin LP I, dan lantai ini dapat
dipergunakan sebagai ruang utiilitas sesuai keperluan dan tambahan tempat
kumpul sementara (Gambar 3.20).

RG MESIN LIFT I LO
TOILET
AHU
wanita
RUANG LIFT I LB

LP LP LP
LB
II II III
TOILET
pria
LP LP LP LP
II II III III

TRANSFER LEVEL ZONA I - II


Gambar 3.20. Denah Inti di Lantai Tranfer I – II Atas

Pada zona II, di mana sudah tidak lagi dilayani oleh LP I, areal alokasi LP I dapat
menjadi tambahan perluasan areal kantor (leasing space), dengan menggeser
ruang air handling unit (AHU) mendekati lokasi LB dan LO (Gambar 3.21).

LO
TAMBAHAN
TOILET
LEASING AHU
wanita
SPACE
LB

LP LP LP
LB
II II III
TOILET
pria
LP LP LP LP
II II III III

ZONA II
Gambar 3.21. Denah Inti pada Zona II

Pada denah lantai tranfer II – III bawah, pintu LP III sudah dapat dibuka, oleh
karenanya toilet pria dipindah ke sebelah ruang AHU (Gambar 3.22). Transfer
level ini digunakan untuk perpindahan jaringan utilitas dan dapat difungsikan
sebagai refuge floor juga untuk menampung penghuni di lantai-lantai di atasnya.

Jimmy S. Juwana 82
LO
TAMBAHAN
TOILET TOILET
LEASING AHU
pria wanita
SPACE
LB

LP LP LP
LB
II II III

LP LP LP LP
II II III III

RUANG LUNCUR ZONA II


Gambar 3.22. Denah Inti di Lantai Transfer II – III Bawah

Pada lantai transfer II – III terdapat jalur pengalih, yang merupakan koridor yang
mengarahkan orang yang sedang evakuasi pindah dari tangga di zona III ke
lokasi tangga di zona II tanpa khawatir tersesat.

LO
TAMBAHAN
TOILET TOILET
LEASING AHU
pria wanita
SPACE
LB

JALUR PENGALIH

LP
RG MESIN LIFT II LB
III

LP LP
RG MESIN LIFT II
III III

TRANSFER LEVEL II - III

LO
TAMBAHAN
TOILET TOILET
LEASING
pria wanita
SPACE
LB

JALUR PENGALIH

LP
LB
III
AHU
LP LP
III III

TRANSFER LEVEL II – III (ALT. 1)


Gambar 3.23. Denah di Lantai Tranfer II – III Atas (alternatif 1)

Pada lantai transfer II – III atas, ada dua alternatif yang dapat dipilih:

Jimmy S. Juwana 83
a. disiapkan jalur pengalihan untuk memindahkan ruang tangga ke tengah
untuk pilihan alternatif 1 (Gambar 3.23); atau
b. tetap di lokasi tangga yang sekarang jika menggunakan alternatif 2 (Gambar
3.24).
LO
TAMBAHAN
LEASING
SPACE LB

LP
LB
III
TOILET TOILET
AHU
wanita pria
LP LP
III III

TRANSFER LEVEL II – III (ALT. 2)


Gambar 3.24. Denah di Lantai Tranfer II – III Atas (alternatif 2)

Kedua alternatif ini memberikan lagi tambahan leasing space, alternatif 1


menambah luasan pada sisi di seberang tambahan leasing space sebelumnya,
sedang alternatif 2 memperluas leasing space yang ada sebelumnya di sisi
gedung yang sama, dan terlihat pada Gambar 3.25.

LO
TAMBAHAN
TOILET TOILET
LEASING
pria wanita
SPACE
LB

LP
LB
TAMBAHAN III
LEASING AHU
SPACE LP LP
III III

ZONA III (ALT 1)

LO
TAMBAHAN
LEASING
SPACE
LB

LP
LB
III
TOILET TOILET
AHU
wanita pria
LP LP
III III

ZONA III (ALT.2)


Gambar 3.25. Denah Inti pada Zona III

Jimmy S. Juwana 84
Pada Gambar 3.25 terlihat, jika yang dipilih alternatif 1, ruang tangga bergeser,
sehingga tidak merupakan satu garis vertikal dari atas ke lantai dasar, tapi
berpindah di lantai transfer (lihat Gambar 2.39). Karena jalur koridor untuk LP III
sudah berfungsi, toilet wanita yang juga dipindah ke sebelah toilet pria.

Dengan adanya tambahan leasing space, menyebabkan bentang leasing span


bertambah panjang. Untuk menghindari bertambah besar dimensi balok, pada
ujung leasing space ditambahkan kolom.

Pada ruang luncur LP III, pintu akses untuk LO sudah berfungsi (Gambar 3.26),
sedang untuk menuju lantai observasi bagian atas (upper deck) menggunakan
tangga.

LO
TAMBAHAN
TOILET TOILET
LEASING
pria wanita
SPACE
LB

LP
LB
TAMBAHAN III
LEASING AHU
SPACE LP LP
III III

RUANG LUNCUR ZONA III (ALT 1) – TANGGA


LANTAI OBSERVASI BAWAH KE UPPER
DECK

LO
TAMBAHAN
LEASING
SPACE
LB

LP
LB
III
TOILET TOILET
AHU
wanita pria
LP LP
III III

RUANG LUNCUR ZONA III (ALT.2) - TANGGA


LANTAI OBSERVASI BAWAH KE UPPER
DECK

Gambar 3.26. Denah Inti di Lantai Observasi Bawah (lower deck)

Selanjutnya, pada lantai observasi atas (upper deck) ada akses tangga ke ruang
mesin di lantai atap (Gambar 3.27).

Jimmy S. Juwana 85
LO
TAMBAHAN
TOILET TOILET
LEASING
pria wanita
SPACE
LB

RG MSN
LB
TAMBAHAN LIFT III
LEASING AHU
SPACE TANGGA
RG MESIN LIFT III
KE ATAP

RUANG MESIN LIFT ZONA III (ALT 1) –


LANTAI OBSERVASI ATAS & RG LUNCUR
LIFT OBSERVASI & BARANG

LO
TAMBAHAN
LEASING
SPACE
LB

RG MSN
LB
LIFT III
TOILET TOILET
AHU
wanita pria TANGGA
RG MESIN LIFT III
KE ATAP

RUANG MESIN LIFT ZONA III (ALT.2) -


LANTAI OBSERVASI ATAS & RG LUNCUR
LIFT OBSERVASI & BARANG

Gambar 3.27. Denah Inti di Lantai Observasi Atas (upper deck)

Akhirnya, pada lantai atap yang tersisa tinggal ruang mesin LO dan LB dan
akses tangga untuk pemeliharaan dan perawatan (maintenance access) seperti
terlihat pada Gambar 3.28.

RG MESIN
LIFT OBSV

RG MESIN
LIFT BRG
TANGGA
KE ATAP

RG MESIN
LIFT BRG

RUANG MESIN LIFT OBSERVASI &


BARANG
Gambar 3.28. Denah Inti di Lantai Atap.

Jimmy S. Juwana 86
Dari Gambar 3.17 sampai dengan Gambar 3.28 terlihat bahwa gambar denah
inti bangunan gedung berjumlah lebih banyak (11 gambar) dibandingkan
dengan gambar denah tipikal lantai yang hanya berjumlah tiga ditambah satu
gambar denah lantai dasar.

Ilustrasi berikutnya memperlihatkan konfigirasi alternatif penempatan lif dengan


arah bukaan untuk bangunan gedung 60 lantai yang dilengkapi dengan sky
lobby (Gambar 3.29).
TANGGA MAINTENANCE

ME T 27 RUANG ME
ME M 26 &
25 OBSERVASI
LIF OBSERVASI

T
D
24 LIF ZONA 6 - ATAS

23
ME 22
T
21
TRANSFER LEVEL 4
D

TANGGA DARURAT

20 LIF ZONA 5 - TENGAH

ME 19
TRANSFER LEVEL 3
18
T
D

17 LIF ZONA 4 - BAWAH

16 ESKALATOR
P P P T 15
ME D 14 SKY LOBBY
13

T
D 12 LIF ZONA 3 - ATAS

ME 11
10
TRANSFER LEVEL 2

TANGGA DARURAT
T
D
09 LIF ZONA 2 - TENGAH

LIF EKSPRES
08
ME 07
06
TRANSFER LEVEL 1
50.00

LIF BARANG 27.00

05 LIF ZONA 1 - BAWAH LO LO Lo LO LO LO

T
Bsmn
TG Z1 Z1 Eks Obs Obs WC
DRT Wn LO
L0 LO Lo LB LB
40.00

15.00

Bsmn
Z1 Z1 EKS 1 2

D
LO LO LO LO
Z2 Z2 Z3 Z3 TG WC
AHU
LO LO LO LO DRT Lk
Z2 Z2 Z3 Z3

04 LOBBY DENAH LANTAI DASAR


Pit Lif T 03
P D 02 LOBBY
ZONA BASEMEN
01
50.00
P 00

Gambar 3.29. Skematik Layanan Lif Bangunan 60 Lantai

Jimmy S. Juwana 87
LO LO LO
RM RM LO LO LO TG WC Eks WC Obs Obs
AHU
TG Z1 Z1 Eks WC Obs Obs DRT Lk LO Wn LB LB
DRT RM RM LO Wn LB LB EKS 1 2
Z1 Z1 EKS 1 2
LIF ZONA 2 09
RUANG MESIN LIF ZONA 1 07
LO LO LO LO
LO LO LO LO Z2 Z2 Z3 Z3 TG
Z2 Z2 Z3 WC Z3 TG LO LO LO LO DRT
AHU
LO LO LO Lk LO DRT Z2 Z2 Z3 Z3
Z2 Z2 Z3 Z3

RL RL LO LO LO LO LO LO
TG Z1 Z1 Eks WC Obs Obs TG TG WC Eks WC Obs Obs
AHU AHU
DRT RL RL LO Wn LB LB DRT DRT Lk LO Wn LB LB
Z1 Z1 EKS 1 2 EKS 1 2

RUANG LUNCUR LIF ZONA 1 06 TRANSISI ZONA 2 KE ZONA 1 08


LO LO LO LO LO LO LO LO
Z2 Z2 Z3 WC Z3 TG Z2 Z2 Z3 Z3 TG
LO LO LO Lk LO DRT LO LO LO LO DRT
Z2 Z2 Z3 Z3 Z2 Z2 Z3 Z3

LO LO LO LO LO
TG Z1 Z1 Eks WC Obs Obs
DRT L0 LO LO Wn LB LB
Z1 Z1 EKS 1 2

LIF ZONA 1 05
LO LO LO LO
Z2 Z2 Z3 WC Z3 TG
AHU
LO LO LO Lk LO DRT
Z2 Z2 Z3 Z3
62.50

LO LO LO LO LO LO
TG Z1 Z1 Eks Obs Obs WC Bsmn TG 27.00
DRT L0 LO LO LB LB Wn LO DRT
Z1 Z1 EKS 1 2 Bsmn TG
LO
Z1
LO
Z1
Lo
Eks
LO
Obs
LO
Obs WC
LO
Bsmn
DRT L0 LO Lo LB LB Wn LO
50.00

15.00

Z1 Z1 EKS 1 2 Bsmn

LOBBY 04
LO LO LO LO
Z2 Z2 Z3 Z3 TG WC
AHU
DRT Lk
LO LO LO LO LO
Z2
LO
Z2
LO
Z3
LO
Z3

Z2 Z2 Z3 Z3 TG WC
AHU
LO LO LO LO DRT Lk
Z2 Z2 Z3 Z3 DENAH LANTAI DASAR

PIT PIT PIT PIT PIT LO


TG Z1 Z1 Eks Obs Obs Bsmn TG
DRT PIT PIT PIT PIT
LB PIT
LB LO DRT
Z1 Z1 Eks Brg
1 Brg
2 Bsmn

PIT LIF ZONA 1 - 3 Bongkar-Muat 03


Barang
PIT PIT PIT PIT
Z2 Z2 Z3 Z3
PIT PIT PIT PIT
Z2 Z2 Z3 Z3
BASEMEN 1

LO ZONA BASEMEN
TG LIF BASEMEN Bsmn TG
DRT 02 AREAL PARKIR
& PIT PIT LO DRT
Brg Brg Bsmn
PIT LIF
BARANG BASEMEN 2

LO
TG 01 Bsmn TG
LIF BASEMEN
DRT LO DRT
Bsmn
BASEMEN 3

PIT
00 Bsmn
PIT LIF BASEMEN PIT
Bsmn
BASEMEN 3'

Gambar 3.30. Denah Inti Bangunan Zona 1 dan Zona 2

Jimmy S. Juwana 88
RL LO LO LO LO LO LO
TG Eks Obs Obs TG Z2 Z2 WC Obs Obs
AHU
DRT RL LB LB DRT LO LO Lk LB LB
EKS 1 2 Z2 Z2 1 2

RUANG MESIN LIF ZONA 3 14 RUANG MESIN LIF ZONA 4 19


RM RM ESKALATOR RM RM LO LO
Z3 Z3 TG Z4 Z4 Z6 WC Z6 TG
AHU
RM RM DRT RM RM LO Wn LO DRT
Z3 Z3 Z4 Z4 Z6 Z6

LO LO LO LO LO LO LO
TG TG WC Eks Obs Obs TG Z2 Z2 WC Obs Obs
AHU AHU
DRT DRT Lk LO LB LB DRT LO LO Lk LB LB
EKS 1 2 ESKALATOR Z2 Z2 1 2

RUANG LUNCUR LIF ZONA 3 13 RUANG LUNCUR LIF ZONA 4 18


RL RL RL RL LO LO
WC Z3 Z3 TG Z4 Z4 Z6 WC Z6 TG
Wn RL RL DRT RL RL LO Wn LO DRT
Z3 Z3 Z4 Z4 Z6 Z6

LO LO LO LO LO LO LO
TG WC Eks WC Obs Obs TG Z5 WC Z5 WC Obs Obs
AHU AHU
DRT Lk LO Wn LB LB DRT LO Wn LO Lk LB LB
EKS 1 2 Z5 Z5 1 2

LIF ZONA 3 12 LIF ZONA 4 17


LO LO L0 L0 LO LO
Z3 Z3 TG Z4 Z4 Z6 Z6 TG
LO LO DRT L0 L0 LO LO DRT
Z3 Z3 Z4 Z4 Z6 Z6

LO LO LO LO LO LO LO
TG WC Eks WC Obs Obs TG Z5 Z5 WC Obs Obs WC
AHU AHU
DRT Lk LO Wn LB LB DRT LO LO Lk LB LB Wn
EKS 1 2 Z5 Z5 1 2

RUANG MESIN LIF ZONA 2 11 SKY LOBBY ATAS 16


RM RM LO LO LO LO LO LO ESKALATOR
Z2 Z2 Z3 Z3 TG Z4 Z4 Z6 Z6 TG
RM RM LO LO DRT L0 LO LO LO DRT
Z2 Z2 Z3 Z3 Z4 Z4 Z6 Z6

LO LO LO PIT PIT RM LO LO
TG WC Eks WC Obs Obs TG Z5 Z5 Eks Obs Obs
AHU
DRT Lk LO Wn LB LB DRT PIT PIT RM LB LB
EKS 1 2 Z5 Z5 EKS 1 2

RUANG LUNCUR LIF ZONA 2 10 PIT LIF ZONA 4 - 6 15


RL RL LO LO PIT PIT PIT PIT ESKALATOR
Z2 Z2 Z3 Z3 TG Z4 Z4 Z6 Z6 TG
AHU
RL RL LO LO DRT PIT PIT PIT PIT DRT
Z2 Z2 Z3 Z3 Z4 Z4 Z6 Z6

LO LO LO RL LO LO
TG WC Eks WC Obs Obs TG Eks Obs Obs
AHU
DRT Lk LO Wn LB LB DRT RL LB LB
EKS 1 2 EKS 1 2

LIF ZONA 2 09 RUANG LUNCUR LIF EKSPRESS 14


LO LO LO LO RM RM ESKALATOR
Z2 Z2 Z3 Z3 TG Z3 Z3 TG
AHU
LO LO LO LO DRT RM RM DRT
Z2 Z2 Z3 Z3 Z3 Z3

Gambar 3.31. Denah Inti Bangunan Zona 2 sampai Zona 4

Pada Gambar 3.30 (denah 08) dan Gambar 3.31 (denah 13) terlihat adanya
perpindahan lokasi tangga darurat, begitu juga pada Gambar 3.32 (denah 23).

Jimmy S. Juwana 89
Perpindahan terjadi pada transfer level melalui koridor khusus agar orang tidak
mungkin tersesat dari tangga semula ke tangga di bawahnya.

LO LO
TG WC WC Obs Obs
AHU
DRT Wn Lk LB LB
1 2

LIF ZONA 6 24
LO LO
Z6 Z6 TG
LO LO DRT
Z6 Z6

TG LO LO
TG DRT TG WC WC Obs Obs
AHU
DRT DRT Wn Lk LB LB
1 2

TRANSISI ZONA 6 - ZONA 5 23


LO LO
Z6 Z6 TG
LO LO DRT
Z6 Z6

RM RM
Obs Obs
RM RM LO LO
TG Z5 Z5 WC Obs Obs
AHU RM RM
DRT RM RM Lk LB LB
Brg Brg
Z5 Z5 1 2
27
RUANG MESIN LIF ZONA 5 22
LO LO TG
WC Z6 Z6 TG Mtnc
Wn LO LO DRT
Z6 Z6
RG MESIN LIF BARANG & OBSERVASI

RL RL LO LO RL RL
TG Z5 Z5 WC Obs Obs Obs Obs
AHU
DRT RL RL Lk LB LB RL RL
Z5 Z5 1 2 Brg Brg

RUANG LUNCUR LIF ZONA 5 21 RG LUNCUR LIF BARANG & OBSERVASI 26


LO LO RM RM
WC Z6 Z6 TG Z6 Z6 TG
Wn LO LO DRT RM RM Mtnc
Z6 Z6
PIT PIT Z6 Z6
Brg Brg

LO LO LO LO LO LO
Z2 Z2 Obs Obs Obs Obs
TG
AHU
WC TG WC
AHU
WC LANTAI
DRT LO LO Lk LB LB DRT Wn Lk LB LB
Z2 Z2 1 2 1 2
OBSERVASI

LIF ZONA 5 20 RUANG LUNCUR LIF ZONA 6 25


LO LO RL RL
WC Z6 Z6 TG Z6 Z6 TG
Wn LO LO DRT RL RL DRT
Z6 Z6 Z6 Z6

LO LO LO LO LO LO
TG Z2 Z2 WC Obs Obs TG WC WC Obs Obs
AHU AHU
DRT LO LO Lk LB LB DRT Wn Lk LB LB
Z2 Z2 1 2 1 2

RUANG MESIN LIF ZONA 4 19 LIF ZONA 6 24


RM RM LO LO LO LO
Z4 Z4 Z6 WC Z6 TG Z6 Z6 TG
RM RM LO Wn LO DRT LO LO DRT
Z4 Z4 Z6 Z6 Z6 Z6

Gambar 3.32. Denah Inti Bangunan Zona 5 sampai Zona 6

Dari ilustrasi tadi, terlihat bahwa bangunan 60 lantai dengan tiga lapis basemen
memerlukan 28 gambar denah inti yang memperlihatkan sistem fasilitas yang

Jimmy S. Juwana 90
ada dalam inti bangunan, termasuk lif dan tangga darurat. Eskalator di sky lobby
penempatannya diletakkan di luar inti bangunan (Gambar 3.31 denah 14, 15
dan 16).

Dari pembahasan tadi, diperlihatkan adanya potensi penambahan luas kantor


(leasing space) pada zona atas akibat pengurangan luas inti bangunan gedung
(Gambar 3.33).

Sumber: Juwana, 2005 dimodifikasi

Gambar 3.33. Penambahan Leasing Space


Berkurangnya luas inti bangunan gedung, menyebabkan bentang ruang sewa
bertambah besar. Agar penambahan bentang ini tidak mengakibatkan
bertambah besar dimensi balok, maka pada daerah inti bangunan ditambahkan
beberapa kolom, sehingga jarak bentang semula tidak berubah. Mega
structures berupa ‘kolom raksasa’, yang ditempatkan pada ujung bangunan dan
diikat dengan sabuk (belt) atau outrigger, seperti buku-buku pada pohon bambu,
berfungsi sebagai struktur penahan gaya lateral. Struktur lain yang juga dapat
digunakan sebagai penahan gaya lateral adalah struktur tabung atau pengaku
(silang/diagonal atau ‘K’), sedang lantai bangunan tetap berfungsi sebagai
diafragma (Gambar 3.34).

Jimmy S. Juwana 91
Sumber: Juwana, 2005 dimodifikasi

Gambar 3.34. Alternatif Struktur Penahan Gaya Lateral

3.3. Lubang Utilitas/Saf (Shaft) dan Jalur Utilitas

Penempatan inti bangunan akan berdampak pada kemungkinan penempatan


jalur distribusi untuk jaringan utilitas, baik pada arah vertikal (saf vertikal) yang
berdampak pada rancangan denah bangunan, maupun pada arah horizontal
(saf horizontal) yang berpengaruh pada potongan bangunan, sebagaimana
dapat dilihat pada Gambar 3.35.

Permasalah yang sering dijumpai pada perancangan bangunan tinggi adalah


alokasi ruangan yang digunakan untuk saluran utilitas tersebut, terutama alokasi
untuk saf vertikal.

Pemilihan balok satu arah (one way girder/beam/rib) akan membantu distribusi
arah saf horizontal dari daerah inti ke ruang yang dimanfaatkan, di mana seluruh
jaringan utilitas umumnya dipusatkan pada daerah inti (lihat juga Gambar 3.36).

Jimmy S. Juwana 92
Alternatif
Distribusi Vertikal

Alternatif
Distribusi Horizontal Pada Inti Bangunan Pada Struktur Pada Ujung Bangunan

Pada Jalur Sirkulasi

Pada Struktur

Pada Sisi Bangunan

Seluruh Permukaan
Di atas atau Di bawah
Lantai

Sumber: Grondzik et al, 2010

Gambar 3.35. Alternatif Jalur Saluran Udara


Pada proses perancangan sering dijumpai kendala mencari lokasi saf tanpa
menyebabkan perubahan pola tata ruang dalam. Namun, dengan
menggunakan pendekatan ‘magic square’ (3 m x 3 m) memberikan solusi bagi
alokasi ruang yang diperlukan, karena pada dasarnya ukuran aktual lif sekitar
2,5 m x 2,5 m, sehingga setiap ‘kotak’ masih tersisa ruang yang dapat
dimanfaatkan untuk saluran vertikal (shaft), baik untuk sistem MEP maupun
untuk sampah (Gambar 3.36).

Jimmy S. Juwana 93
Pada Gambar 3.36 kiri terlihat alokasi luasan awal untuk lif, sedang pada
Gambar 3.36. kanan terlihat adanya alokasi ruangan (untuk saf) setelah
menggunakan ukuran aktual lif.

S SH AFT
HI DRAN
LP LP H LP LP
LO A LO
I I I I
TOILET F TOILET
AHU AHU
T
wanita wanita
LP LP LP LP
LB LB
I I A ISH AFT SH IAFT
C T ELKO M LI ST RIK

SH AFT SH AFT SH AFT


T ATA SUA RA CCTV ALARM
LP LP LP LP LP LP
LB II I LB
II II III II II
TOILET SH AFT
SA MPAH
SH AFT
PLAM BING
TOILET
pria pria
LP LP LP LP LP LP LP LP
II II III III SHII
AFT II III III
HI DRAN

LANTAI DASAR
Gambar 3.36. Alokasi Ruang Sisa di Daerah Inti
3.4. Modifikasi Inti Bangunan untuk Mitigasi Kondisi Darurat
Di beberapa negara yang memiliki bangunan tinggi, dilakukan semacam
protokol, termasuk penyelamatan bagi orang yang terjebak di dalam lif. Berapa
pendekatan yang dilakukan, di antaranya:

a. Modifikasi Akses Keluar Lif


Untuk mempermudah evakuasi, lif dilengkapi dengan akses menyamping
(Gambar 3.37), yang berhubungan dengan lif kebakaran agar orang yang dapat
dievakuasi lebih cepat dan lebih banyak.

Sumber: Jahya, 2016

Gambar 3.37. Lif dengan Akses ke Samping


Pendekatan lain dengan adalah dengan memasang lif berpasangan (lihat
Gambar 5.8 – Lif Kembar), sehingga jika salah satu lif mengalami kerusakan,
maka lif yang bersebelahan dapat berfungsi sebagai ‘lif penyelamat’ (rescue lift).
Jadi jika diperlukan dua lif, lif diletakkan bersebelahan bukan saling berhadapan
(Gambar 3.38).

Jimmy S. Juwana 94
Sumber: Jahya, 2016

Gambar 3.38. Penempatan Lif Berpasangan

Pada pembahasan sebelum, pada saat lif lokal tidak melayani zona tertentu
(lihat Gambar 3.18, Gambar 3.20 dan Gambar 3.21), lobi lif digunakan untuk
fungsi toilet. Dengan menyiapkan akses ke bagian belakang lif, sehingga dalam
keadaan darurat, lif dapat dibuka dan orang dapat keluar melalui toilet (Gambar
3.39).

Sumber: Strakosh G. R. & Caporale, 2010

Gambar 3.39. Lif dengan Akses ke Belakang

b. Penambahan Shaft untuk Akses Darurat

Saat ini berkembang peralatan evakuasi untuk bangunan tinggi, di antaranya


menggunakan peluncur atau chute (lihat Bab VII, Gambar 7.29 – Penempatan
Chute), di mana orang dari lantai atas dapat meluncur ke refuge floor atau ke
lantai dasar. Dengan demikian pada inti bangunan yang biasanya diisi dengan
lif, tangga darurat, toilet, AHU dan shaft utilitas, dapat juga disiapkan untuk

Jimmy S. Juwana 95
ruangan peluncur, sekitar 3 m x 9 m (lihat Bab VII, Gambar 7.30 – Lokasi
Peluncur).

Soal-Soal Latihan

1. Mana konfigurasi tata letak inti bangunan gedung yang memiliki tingkat
fleksibilitas ruang yang kurang baik. Jelaskan.

2. Pada bangunan gedung kantor sewa yang memiliki lebih dari lima
penyewa, di mana sebaiknya letak inti bangunan gedung.

3. Apa yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan tata letak lif pada
inti bangunan gedung.

4. Berapa maksimum zona layanan lif pada bangunan gedung tinggi.

5. Apa manfaat penggunaan ‘magic square’ pada perancangan tata letak


lif pada inti bangunan gedung.

6. Suatu menara kantor sewa dengan tinggi 45 lantai dengan luas tipikal
sekitar 1.700 m2 (bentuk denah tipikal adalah segi empat atau bujur
sangkar) menggunakan struktur tabung. Buat rancangan inti bangunan
tersebut dengan memperhatikan kebutuhan lif, zona layanan lif dan
penempatan lantai transfer/sky lobby.

7. Setelah diperoleh perkiraan awal tata letak lif, tentukan alokasi shaft,
dengan melakukan finalisasi tata letak lif dengan menggunakan ukuran
lif yang sebenarnya (tentukan merk lif yang digunakan).

8. Dengan menggunakan soal 3 di atas, gambar denah inti bangunan


gedung di lantai dasar jika bentuknya lingkaran.

9. Apa manfaat adanya transfer level pada bangunan tinggi.

10. Pendekatan apa yang dapat dilakukan untuk mempermudah


penyelamatan orang yang terjebak di dalam lif.

Jimmy S. Juwana 96
Daftar Kepustakaan dan Rujukan

… (2021); https://www.sefindia.org/rangarajan/CoreDesign.pdf

Allen E, & Iano J., (2017); The Architect’s Studio Companion – Rules of Thumb for
Preliminary Design 6th Edition, John Wiley & Sons, Inc., New York.

Ali M. M. & Armstrong P. J., (editor) (1995), Architecture of Tall Buildings, McGraw-Hill,
Inc., New York.

Binder G., (editor) (2001); Tall Buildings of Asia & Australia, Images Publishing Group
Pty Ltd., Mulgrave.
Davis C. & Lambot I., (1992); Century Tower – Foster Associated Build in Japan

Grondzik W.T. et al. (2010); Mechanical and Electrical for Buildings, John Wiley & Sons,
Inc., Hoboken, New Jersey.

Hart F., Hemm W. & Somtag H., (1985); Multy-storey Buildings in Steel 2nd Edition,
Collins Professional and Technical Books, London.

Jahya A., (2016); “Beberapa Permasalahan Penerapan Peraturan Bangunan pada


Bangunan Tingkat Tinggi”, Jakarta

Juwana J.S., (2005); Panduan Sistem Bangunan Tinggi untuk Arsitek dan Praktisi
Bangunan, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Strakosh G. R. & Caporale, (Editors) (2010); The Vertical Transportation Handbook 4th
Edition, John Wiley & Sons, Inc., Hobolen, New Jersey.

Jimmy S. Juwana 97
BAB IV
SISTEM STRUKTURAL

“…Architecture is not based on concrete


and steel, and the elements of soil, it’s
based on wonder…”
Daniel Libeskind

Struktur bangunan tinggi terdiri dari struktur bagian bawah (sub structure)
berupa fondasi dan struktur bagian atas (upper structure) yang merupakan
gabungan komponen vertikal, kolom atau dinding geser (shear wall) dan
komponen horizontal, balok dan pelat lantai/atap, yang dapat dilengkapi oleh
komponen pengaku atau peredam getaran untuk menambah stabilitas dan
kekokohannya.

Sistem struktural merupakan bagian penting dari bangunan gedung, karena


sistem ini berfungsi untuk mampu menampung seluruh aktivitas yang ada di
dalamnya. Untuk itu sistem struktural harus mampu menahan seluruh beban
yang bekerja pada bangunan ini, beban mati dan beban hidup (beban gravitasi),
serta beban lateral (horizontal) yang disebabkan oleh angin atau gempa bumi.

Pemilihan sistem dan bahan dimaksudkan agar bangunan tinggi tetap kuat,
kokoh dan stabil serta mampu bertahan pada saat terjadi bencana alam,
kebakaran atau kondisi darurat lainnya.

4.1. Sistem Struktural Bangunan Tinggi

Dalam proses perancangan sistem struktural bangunan tinggi selalu dihadapi


oleh beberapa kendala, berupa adanya pertimbangan atas persyaratan
arsitektural, sistem MEP, metode konstruksi dan pertimbangan biaya konstruksi.
Namun demikian pada dasarnya sistem struktural berfungsi agar bangunan
gedung dapat berdiri kokoh dan stabil dalam menerima beban, baik berupa
beban vertikal/gravitasi yang berasal dari beban sendiri (beban mati/dead load
– D) dan beban hidup (live load – L) yang terkait fungsi bangunan; tetapi juga
mampu memikul beban horizontal berupa beban gempa (earthquake load – E)
dan/atau beban angin (wind load – W) seperti terlihat pada Gambar 4.1.

Jimmy S. Juwana 98
Gambar 4.1. Sistem Struktur Bangunan Tinggi
Hal yang penting pada struktur bangunan tinggi adalah stabilitas dan
kemampuannya untuk menahan gaya lateral, baik yang disebabkan oleh angin
atau gempa bumi. Beban angin lebih terkait pada dimensi ketinggian bangunan,
sedang beban gempa lebih terkait pada massa bangunan.

Kolom pada bangunan tinggi perlu diperkokoh dengan 99ndustr pangaku untuk
dapat menahan gaya lateral, agar deformasi yang terjadi akibat gaya horizontal
tidak melampaui ketentuan yang disyaratkan (P- Effect).

Pengaku gaya lateral yang lazim digunakan adalah portal penahan momen,
dinding geser atau rangka pengaku (lihat Gambar 4.2).

Gambar 4.2. Rangka Pengaku

Portal penahan momen terdiri dari komponen (sub-sistem) horizontal berupa


balok dan komponen (sub-sistem) vertikal berupa kolom yang dihubungkan

Jimmy S. Juwana 99
secara kaku (rigid joints). Kekakuan portal tergantung pada dimensi balok dan
kolom, serta proporsional terhadap jarak lantai ke lantai dan jarak kolom ke
kolom.

Dinding geser (shear wall) didefinisikan sebagai komponen struktur vertikal


yang relatif sangat kaku. Dinding geser pada umumnya hanya boleh mempunyai
bukaan sekitar 5% agar tidak mengurangi kekakuannya. Fungsi dinding geser
berubah menjadi dinding penahan beban (bearing wall), jika dinding geser
menerima beban tegak lurus dinding geser.

Rangka pengaku (braced frame) terdiri dari balok dan kolom yang ditambahkan
pengaku diagonal. Adanya pengaku diagonal ini akan berpengaruh pada
fleksibilitas perpanjangan/perpendekan lantai di mana pengaku tersebut
ditempatkan. Rangka pengaku banyak digunakan pada bangunan tinggi yang
menggunakan struktur baja. Jenis rangka pengaku yang sering digunakan, di
antaranya adalah pengaku diagonal tunggal/ganda, pengaku ‘K’
(horizontal/vertikal), atau rangka pengaku eksentris (lihat Gambar 4.1).

Pada bangunan tinggi sering digunakan gabungan antara portal penahan


momen dengan dinding geser, terutama pada bangunan tinggi yang dibangun
di daerah yang terkena pengaruh gempa bumi atau tiupan angin yang kencang.
Penggabungan antara portal dan dinding geser, terutama bagi bangunan tinggi
dengan struktur beton. Hal ini dapat memberikan hasil yang baik untuk
memperoleh kekenyalan/daktilitas (ductility) dan kekakuan sistem struktur
(Gambar 4.3).

Penempatan dinding geser dapat dilakukan pada sisi luar bangunan atau pada
pusat bangunan. Dinding geser yang ditempatkan pada bagian dalam bangunan
biasa disebut dengan inti struktural (structural cored).

Ditahan
Oleh
Portal

Ditahan
Oleh
Dinding
Geser

Vdinding geser
Gaya Portal Penahan Dinding Geser Gabungan Portal dan
Lateral Vtotal
Momen (Individual) Dinding Geser
(Individual)

Sumber: Juwana, 2005

Gambar 4.3. Perilaku Sistem Gabungan Penahan Gaya Lateral

Jimmy S. Juwana 100


Pengelompokan sistem struktural pada bangunan gedung dibagi atas struktur
bagian bawah (sub structure) dan struktur bagian atas (upper structure).
Struktur bagian bawah merupakan fondasi bangunan sedang struktur bagian
atas merupakan bagian struktur yang terlihat di atas tanah, berupa kolom,
dinding, balok, pelat dan rangka atap.

4.1.1. Struktur Bagian Bawah


Pilihan untuk fondasi bangunan tinggi adalah fondasi tidak langsung, baik
berupa tiang pancang atau tiang bor, yang dimensi, jumlah dan kedalamannya
tergantung kondisi tanah yang ada. Bahan yang digunakan untuk fondasi tiang
dapat berupa beton, pipa baja, kayu, profil baja, beton pracetak atau komposit
(Gambar 4.4).

Gambar 4.4. Bahan Fondasi Tiang

Dari metoda pekerjaannya, fondasi tiang yang umum digunakan adalah tiang
pancang (driven pile) dan fondasi tiang bor (bored pile) Gambar 4.5.

Gambar 4.5. Jenis Fondasi Tiang

Jimmy S. Juwana 101


Keuntungan menggunakan tiang pancang adalah dapat digunakannya berbagai
jenis bahan, seperti beton, pipa baja, kayu, profil baja dan beton pracetak:
a. umum digunakan dan cocok untuk berbagai kondisi lahan;
b. dimensi tiang beragam dari tiang berukuran mini sampai ukuran besar;
c. tiang dapat dikerjakan secara pracetak dan pra-pabrikasi sehingga standar
mutu, panjang tiang dapat seragam;
d. dapat dipasang sampai kedalaman lebih dari 80 m;
e. sangat efektif pada lahan yang jauh dari kawasan penduduk;
f. tidak terpengaruh pada muka air tanah; dan
g. dapat dikerjakan dengan cepat.

Keuntungan menggunakan tiang bor yang diameternya berkisar antara 0,45 m


sampai 3 m:
a. dapat memikul beban yang sangat besar;
b. dapat dilakukan pada berbagai jenis kondisi tanah;
c. deformasi dan penurunan tanah (settlement) kecil; dan
d. tidak menimbulkan getaran pada saat pengerjaan kecil.

Kemampuan fondasi tiang untuk mendukung beban bangunan gedung dapat:


a. disalurkan sampai mencapai tanah keras (point/end bearing pile);
b. ditahan oleh kemampuan rekatan sekeliling tiang (friction pile); atau
c. gabungan antara point bearing dan friction pile.

Kedua jenis daya dukung tiang dapat dilihat pada Gambar 4.6.

.
Gambar 4.6. Jenis Daya Dukung Tiang

Untuk mengetahui jenis fondasi apa yang dipilih, perlu dilakukan penyelidikan
kondisi tanah (soil test) untuk mengetahui jenis lapisan tanah, kondisi muka air
tanah, dan keberadaan lapisan tanah keras. Jika lapisan tanah keras berada

Jimmy S. Juwana 102


jauh di dalam tanah, pilihan analisis daya dukung tiang menggunakan
pendekatan friction pile (Gambar 4.7).

Gambar 4.7. Hasil Penyelidikan Tanah

Hasil penyelidikan tanah selanjutnya digunakan oleh ahli geoteknik untuk


merancang fondasi bangunan gedung secara cermat.

4.1.2. Struktur Bagian Atas

Bangunan tinggi memiliki beragam pilihan struktur bagian atas tergantung


ketinggian dan bahan struktur yang digunakan, namun secara umum dapat
dikelompokkan menjadi empat pilihan dengan kombinasinya (Gambar 4.8).

RANGKA
RANGKA

TABUNG
&
RANGKA

RANGKA INTI
& &
DINDING RANGKA

TABUNG

TABUNG
TABUNG
&
&
DINDING
INTI

DINDING
DINDING & INTI
INTI

Gambar 4.8. Alternatif Struktur Bagian Atas

Jimmy S. Juwana 103


Pada kenyataannya, sistem struktur bangunan tinggi yang dipilih tergantung
jumlah ketinggian lantai dan bahan utama struktur yang digunakan (Gambar
4.9).

Sumber: Sarkisan, 2016.

Gambar 4.9. Ketinggian Bangunan dan Bahan Utama Struktur

Jimmy S. Juwana 104


Struktur bagian atas secara umum dibagi atas:

a. Sub Sistem Vertikal

Sub sistem vertikal berupa komponen kolom dan dinding, umumnya dominan
menerima gaya normal tekan, meskipun pada kenyataannya pada kolom dan
dinding juga bekerja momen lentur. Jika kolom dapat memikul gaya dari arah
tegak lurus permukaan kolom, namun dinding hanya mampu memikul beban
sejajar bidang dinding.

Dengan kondisi seperti ini, bahan struktur utama yang digunakan adalah bahan
yang memiliki kemampuan memikul gaya normal tekan, seperti beton misalnya
(Gambar 4.10).

Gambar 4.10. Ragam Penampang Kolom

Sumber: Schueller. 1977 & 1996 dimodifikasi


Gambar 4.11. Dinding Geser (Shear Wall)

Jimmy S. Juwana 105


Dinding geser (shear wall), umumnya terbuat dari beton bertulang (Gambar
4.11), sedang dinding penahan beban (bearing wall) terdiri dari pasangan batu
bata merah, batako atau bata ringan (Gambar 4.12).

Sumber: Ballast, 1990 dimodifikasi


Gambar 4.12. Dinding Penahan Beban (Bearing Wall)

b. Sub Sistem Horizontal

Jika pada pada sub sistem vertikal beban dominan yang dipikul merupakan
beban aksial (gaya normal), pada komponen balok, pelat lantai dan/atau rangka
atap harus mampu menahan momen lentur (di tengah bentangan) dan gaya
geser pada ujung bentangan (tumpuan) seperti terlihat pada Gambar 4.13.

Sumber: Ballast, 1990 dimodifikasi


Gambar 4.13. Komponen Balok dan Rangka Atap

Jimmy S. Juwana 106


Di samping komponen balok dan rangka atap, pelat lantai juga merupakan sub
sistem horizontal yang berfungsi sebagai diafragma, agar jika bangunan gedung
menerima gaya horizontal/lateral, pelat dapat menyalurkan gaya horizontal dari
sisi bangunan yang satu ke sisi yang lainnya.

Beberapa jenis sistem lantai yang sering dijumpai pada bangunan Gedung yang
dapat berupa beton bertulang konvensional (k) atau beton pra-tegang (p)
dengan perkiraan bentang, tebal pelat dan dimensi kolom untuk jarak lantai ke
lantai 3,05 – 4,90 m (Gambar 4.14 sampai Gambar 4.22).

Sumber: https://dimension.com/element/
/
Gambar 4.14. One Way Solid Slab

Sumber: https://dimension.com/element
Gambar 4.15. One Way Band Slab

Jimmy S. Juwana 107


Sumber: https://dimension.com/element

Gambar 4.16. One Way Band & Beam

Sumber: https://dimension.com/element

Gambar 4.17. One Way Joist Slab

Jimmy S. Juwana 108


Sumber: https://dimension.com/element

Gambar 4.18. One Way Band Joist Slab

Sumber: https://dimension.com/element

Gambar 4.19. Two Way Flat Plate

Jimmy S. Juwana 109


Sumber: https://dimension.com/element

Gambar 4.20. Two Way Flat Slab

Sumber: https://dimension.com/element

Gambar 4.21. Two Way Slab on Beam

Jimmy S. Juwana 110


Sumber: https://dimension.com/element

Gambar 4.22. Two Way Waffle Slab

4.1.3. Konfigurasi Massa Bangunan Gedung


Konfigurasi yang berbentuk geometris, teratur dan memiliki sumbu simetris
(Gambar 4.23) tentunya akan membuat rancangan struktur bangunan gedung
lebih sederhana, lebih hemat dan lebih efektif dalam menahan beban horizontal.

Gambar 4.23. Konfigurasi Massa yang Teratur

Pada dasarnya setiap sistem struktur suatu bangunan merupakan


penggabungan berbagai elemen struktur secara tiga dimensi yang cukup rumit.
Oleh karenanya, bentuk konfigurasi massa yang tidak teratur (Gambar 4.24),

Jimmy S. Juwana 111


bukan saja menyulitkan proses analisis strukturnya, tapi juga akan berdampak
pada rumitnya pengaturan grid (jarak antar kolom) dan pemisahan massa
bangunannya (dilatasi)

Sumber: Arnold & Reitherman,1982 – dimodifikasi

Gambar 4.24. Konfigurasi Massa yang Tidak Teratur


Gambar 4.25 memperlihatkan beberapa alternatif dilatasi bagi bangunan
Gedung dengan massa yang tidak teratur.

Ekstra
Dilatasi Dilatasi Gradual Kaku

DENAH/BLOK Alternatif dengan atau Tanpa Dilatasi (Horizontal)

Set Back

Dilatasi Gradual

TAMPAK/POTONGAN
Alternatif dengan atau Tanpa Dilatasi (Vertikal)
Sumber: Arnold & Reitherman,1982 – dimodifikasi

Gambar 4.25. Alternatif Penyelesaian Bangunan tidak Simetris

Dalam banyak hal, rancangan bangunan gedung merupakan gabungan massa


bangunan, sehingga jika diperlukan dilatasi pada dua arah sisi bangunan, maka
akan terjadi penumpukan kolom pada titik tertentu (Gambar 4.26). Hal ini
menjadi lebih rumit jika bentuk geometri bangunan yang dipisahkan tidak sama,
sehingga perlu pengaturan jarak antar kolom (grid) yang paling efektif (Gambar
4.27).

Jimmy S. Juwana 112


Gambar 4.26. Penumpukan Kolom di Daerah Dilatasi

Gambar 4.27. Alternatif Dilatasi

Fungsi utama dari sistem struktur ditujukan untuk memikul beban yang bekerja
pada bangunan secara aman dan efektif, serta dapat menyalurkan atau
menahan beban-beban tersebut tanpa adanya gangguan (Gambar 4.28).

Jimmy S. Juwana 113


Sumber: Arnold & Reitherman,1982 – dimodifikasi

Gambar 4.28. Beberapa Perlemahan Struktur terhadap Beban Lateral

Beban yang bekerja pada bangunan terdiri dari beban vertikal, baik berupa
beban mati maupun beban hidup, beban horizontal berupa beban angin, beban
gempa, tekanan tanah atau tekanan air. Di samping itu ada beban yang timbul
akibat adanya perbedaan temperatur, getaran, dan akbat ledakan.
4.2. Pembebanan

Pelat lantai bangunan gedung merupakan bagian terbesar dari struktur


bangunan tinggi, sehingga pemilihan jenis sistem lantai perlu
mempertimbangkan hal-hal:

a. berat sendiri yang kecil;


b. kapasitas untuk memikul aktivitas yang ada;
c. ruang bagi saluran utilitas yang diperlukan;
d. ketahanan terhadap api;
e. pengembangan dan kesinambungan pekerjaan selanjutnya; dan
f. penggunaan alat bantu pekerjaan pada saat pelaksanaan konstruksi.

4.2.1. Beban Mati (D)

Beban mati adalah berat sendiri dari semua bagian dari suatu bangunan yang
bersifat tetap, termasuk segala unsur tambahan, mesin-mesin serta peralatan
tetap (fixed equipment) berupa peralatan untuk sistem utilitas yang tak
terpisahkan dari bangunan itu.

Menurut SNI 1727:2020, berat sendiri bahan bangunan dan komponen gedung
dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Jimmy S. Juwana 114


Tabel 4.1 Beban Mati Desain Minimuma
KOMPONEN Beban [kN∕m2]
CEILINGS
Acoustical fiberboard 0,05
Gypsum board (per mm thickness) 0,008
Mechanical duct allowance 0,19
Plaster on tile or concrete 0,24
Plaster on wood lath 0,38
Suspended steel channel system 0,10
Suspended metal lath and cement plaster 0,72
Suspended metal lath and gypsum plaster 0,48
Wood furring suspension system 0,12
COVERINGS, ROOF, AND WALL
Asbestos-cement shingles 0,19
Asphalt shingles 0,10
Cement tile 0,77
Clay tile (for mortar add 0.48 kN∕m2)
Book tile, 51 mm 0,57
Book tile, 76 mm 0,96
Ludowici 0,48
Roman 0,57
Spanish 0,91
Composition:
Three-ply ready roofing 0,05
Four-ply felt and gravel 0,26
Five-ply felt and gravel 0,29
Copper or tin 0,05
Corrugated asbestos-cement roofing 0,19
Deck, metal, 20 gauge 0,12
Deck, metal, 18 gauge 0,14
Decking, 51-mm wood (Douglas fir) 0,24
Decking, 76-mm wood (Douglas fir) 0,38
Fiberboard, 13 mm 0,04
Gypsum sheathing, 13 mm 0,10
Insulation, roof boards (per mm thickness)
Cellular glass 0,0013
Fibrous glass 0,0021
Fiberboard 0,0028
Perlite 0,0004
Polystyrene foam 0,0015
Urethane foam with skin 0,0009
Plywood (per mm thickness) 0,0060

Jimmy S. Juwana 115


KOMPONEN Beban [kN∕m2]
Rigid insulation, 13 mm 0,0400
Skylight, metal frame, 10-mm wire glass 0,38
Slate, 5 mm 0,34
Slate, 6 mm 0,48
Waterproofing membranes: 0,26
Bituminous, gravel-covered 0,07
Bituminous, smooth surface 0,05
Liquid applied 0,03
Single-ply, sheet Wood sheathing (per mm thickness)
Plywood 0,0057
Oriented strand board 0,0062
Wood shingles 0,1400
FLOOR FILL
Cinder concrete, per mm 0,017
Lightweight concrete, per mm 0,015
Sand, per mm 0,015
Stone concrete, per mm 0,023
FLOORS AND FLOOR FINISHES
Asphalt block (51 mm), 13-mm mortar 1,440
Cement finish (25 mm) on stone–concrete fill 1,530
Ceramic or quarry tile (19 mm) on 13-mm mortar bed 0,770
Ceramic or quarry tile (19 mm) on 25-mm mortar bed 1,100
Concrete fill finish (per mm thickness) 0.023
Hardwood flooring, 22 mm 0.190
Linoleum or asphalt tile, 6 mm 0.050
Marble and mortar on stone–concrete fill 1.580
Slate (per mm thickness) 0.028
Solid flat tile on 25-mm mortar base 1.100
Subflooring, 19 mm 0.140
Terrazzo (38 mm) directly on slab 0.910
Terrazzo (25 mm) on stone–concrete fill 1.530
Terrazzo (25 mm), 51-mm stone concrete 1.530
Wood block (76 mm) on mastic, no fill 0.480
Wood block (76 mm) on 13-mm mortar base 0.770
FLOORS, WOOD-JOIST (NO PLASTER) DOUBLE WOOD FLOOR
305-mm spacing 406-mm spacing 610-mm spacing
Joint sizes (mm):
[kN∕m2] [kN∕m2] [kN∕m2]
51 × 152 0.29 0.24 0.24
51 × 203 0.29 0.29 0.24
51 × 254 0.34 0.29 0.29
51 × 305 0.38 0.34 0,29

Jimmy S. Juwana 116


KOMPONEN Beban [kN∕m2]
FRAME PARTITIONS
Movable steel partitions 0,19
Wood or steel studs, 13-mm gypsum board each side 0,38
Wood studs, 51 × 102, un-plastered 0,19
Wood studs, 51 × 102, plastered one side 0,57
Wood studs, 51 × 102, plastered two sides 0,96
FRAME WALLS
Exterior stud walls:
51 mm × 102 mm@406 mm, 16-mm gypsum, insulated, 10-mm
0,53
siding
51 mm × 152 mm@406 mm, 16-mm gypsum, insulated, 10-mm
0,57
siding
Exterior stud walls with brick veneer 2,30
Windows, glass, frame, and sash 0,38
Clay brick wythes:
102 mm 1,87
203 mm 3,78
305 mm 5,51
406 mm 7,42
Hollow concrete masonry unit wythes:
Wythe thickness [in mm] 102 152 203 254 305
Density of unit [16.49 kN∕m3]
with grout spacing as follows:
No grout 1.05 1.29 1.68 2.01 2.35
1,219 mm 1.48 1.92 2.35 2.78
1,016 mm 1.58 2.06 2.54 3,02
813 mm 1.63 2.15 2.68 3,16
610 mm 1.77 2.35 2.92 3,45
406 mm 2.01 2.68 3.35 4,02
Full grout 2.73 3.69 4.69 5,70
Density of unit [19.64 kN∕m ] 3

with grout spacing as follows:


No grout 1.25 1.34 1.72 2.11 2,39
1,219 mm 1.58 2.11 2.59 2,97
1,016 mm 1.63 2.15 2.68 3,11
813 mm 1.72 2.25 2.78 3,26
610 mm 1.87 2.44 3.02 3,59
406 mm 2.11 2.78 3.50 4,17
Full grout 2.82 3.88 4.88 5,89
Density of unit [21.21 kN∕m3]
with grout spacing as follows:
No grout 1.39 1.68 2.15 2.59 3,02

Jimmy S. Juwana 117


KOMPONEN Beban [kN∕m2]
1,219 mm 1.70 2.39 2.92 3,45
1,016 mm 1.72 2.54 3.11 3,69
813 mm 1.82 2.63 3.26 3,83
610 mm 1.96 2.82 3.50 4,12
406 mm 2.25 3.16 3.93 4,69
Full grout 3.06 4.17 5.27 6,37
Solid concrete masonry unit
Wythe thickness [in mm] 102 152 203 254 305
Density of unit [16,49 kN∕m3] 1,53 2,35 3,21 4,02 4,88
Density of unit [19,64 kN∕m3] 1,82 2,82 3,78 4,79 5,79
Density of unit [21,21 kN∕m3] 1,96 3,02 4,12 5,17 6,27
Catatan: Sumber: SNI1727:2020
aBerat mansonry termasuk mortar tetapi bukan plesteran. Untuk plesteran,

tambahkan 0,24 kN/m3 untuk setiap permukaan yang diplester. Nilai yang
diberikan mewakili rata-rata. Dalam beberapa kasus, ada rentang berat yang
cukup untuk konstruksi yang sama.

Pendekatan lain dalam menghitung Beban Mati dapat dilakukan dengan


memperhatikan struktur bangunan yang digunakan, sebagaimana tertera dalam
Tabel 4.2.

Tabel 4.2. Beban Mati menurut Jenis Struktur Bangunan

Beban Mati
Jenis Struktur
[kg/m2] [kN/m2]
Beton Bertulang
- Portal 0,30 x 2.400 = 720 150
- Portal & Inti/Dinding Geser 0,35 x 2.400 = 840 170
- Tabung dalam Tabung 0,40 x 2.400 = 960 200
- Kotak/Panil 0,20 x 2.400 = 480 100
Baja:
- Ketinggian < 30 lantai 100 20
- Ketinggian > 30 lantai 150 30
- Balok Anak 20 4
- Balok Induk 35 7
- Deck Plate 15 3
- Kolom 30 6
Komposit:
- Ketinggian < 30 lantai 100 + 480 = 580 115
- Ketinggian > 30 lantai 150 + 480 = 630 125
Partisi 100 20
Elemen Arsitektural (finishing) 100 20
Sumber: Poerbo, 2001

Jimmy S. Juwana 118


Selanjutnya, perkiraan berat tulangan baja pada konstruksi beton bertulang dan
volume beton untuk fondasi dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3 Perkiraan Volume Tulangan Baja dan Beton

Uraian Perkiraan Volume


Pelat Lantai 1% luas penampang beton = 100 kg/m3 beton
Balok 3% luas penampang beton = 250 kg/m3 beton
Kolom 4% luas penampang beton = 300 kg/m3 beton
Fondasi:
Basemen 0,5 m3 beton per m2 lantai basemen
Rakit 1,2 m3 beton per m2 lantai fondasi
Sumber: Poerbo, 2001

4.2.2. Beban Hidup (L)

Beban hidup adalah semua beban yang terjadi akibat penghunian atau
penggunaan suatu bangunan, dan di dalamnya termasuk beban-beban pada
lantai yang berasal dari barang-barang yang dapat berpindah (moveable
equipment), mesin-mesin serta peralatan yang tidak merupakan bagian yang
tak terpisahkan dari bangunan dan dapat diganti selama masa hidup dari
bangunan itu, sehingga mengakibatkan perubahan dalam pembebanan lantai
dan atap bangunan tersebut. Khusus pada atap ke dalam beban hidup dapat
termasuk beban yang berasal dari air hujan (rain water – R), baik akibat
genangan maupun akibat tekanan jatuh (energi kinetik) butiran air. Beban hidup
tidak termasuk Beban Angin (W) dan Beban Gempa (E).

Menurut SNI 1727:2020 tentang Beban Minimum untuk Perancangan Bangunan


Gedung dan Struktur Lain, beban hidup pada lantai bangunan dapat dilihat
pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4. Beban Hidup pada Lantai Gedung

Fungsi Bangunan Gedung [kN/m2]


Apartemen (lihat rumah tinggal) 1,92
Sistem Lantai Akses: - Ruang Kantor 2,40
- Ruang Komputer 4,79
Ruang Latihan 7,18
Ruang Pertemuan: - Kursi tetap 4,79
- Lobi 4,79
- Kursi dapat Dipindahkan 4,79
- Panggung Pertemuan 4,79
- Lantai Podium 7,18

Jimmy S. Juwana 119


Fungsi Bangunan Gedung [kN/m2]
Balkon 4,79
Jalur Akses Pemeliharaan 1,92
Koridor 4,79
Restoran (Ruang Makan) 4,79
Jalur Evakuasi Darurat 4,79
Parkir Kendaraan 1,92
Helipad 2,87
Rumah Sakit: - Ruang Operasi/Laboratorium 2,87
- Ruang Pasien 1,92
- Koridor 3,83
Hotel 4,79
Perpustakaan: - Ruang Baca 2,87
- Ruang Penyimpanan 7,18
- Koridor 3,83
Perkantoran: - Ruang Arsip/Komputer 4,79
- Lobi 4,79
- Kantor 2,40
- Koridor 3,83
Rekreasi: - Bowling, Kolam Renang 3,59
- Bangsal, Ruang Dansa 4,79
- Gimnasium 4,79
- Tempat Menonton 2,87
Atap: - Datar 0,96
- Roof Garden 4,79
- Tumpuan Struktur Rangka Atap 0,24
Sekolah: - Ruang Kelas 1,92
- Koridor Lantai Atas 3,83
- Koridor Lantai Dasar 4,79
Toko: - Eceran Lantai Dasar 4,79
- Eceran Lantai Atas 3,59
- Grosir 6,00
Sumber: SNI 1727:2020

4.2.3. Beban Angin (W)

Beban angin adalah semua beban yang bekerja pada bangunan atau bagian
bangunan yang disebabkan oleh selisih dalam tekanan udara.

Menurut SNI 1727-2020 tentang Beban Minimum untuk Perancangan


Bangunan Gedung dan Struktur Lain, perhitungan beban angin dilakukan
dengan pertimbangan faktor risiko (Tabel 4.5).

Jimmy S. Juwana 120


Tabel 4.5. Faktor Kepentingan Berdasarkan Kategori Risiko Bangunan
dan Struktur Lainnya Untuk Beban Salju, Es, dan Gempaa)

Kategori Faktor Faktor Faktor Faktor


Risiko Kepentingan Kepentingan Kepentingan Kepentingan
(dari Tabel Salju, Is Es- Ketebalan, Es-Angin, Iw Seismik, Ie
4.9) Ii
I 0,80 0,80 1,00 1,00
II 1,00 1,00 1,00 1,00
III 1,10 1,25 1,00 1,25
IV 1,20 1,25 1,00 1,50
Sumber: SNI 1727:2020

a) Faktor kepentingan komponen, Ip, berlaku untuk beban gempa, tidak termasuk
dalam tabel ini karena tergantung pada kepentingan dari komponen individual
daripada bangunan secara keseluruhan, atau huniannya (lihat Tabel 4.10).

Beban angin menurut SNI 1727:2020 harus diambil sebesar 0,77 kN/m2 untuk
dinding dan struktur lain, serta 0,28 kN/m2 untuk atap. Menurut SNI 1727-1989
F beban angin harus diambil minimum 25 kg/m2 (0,25 kN/m2), dan di tepi laut
sampai sejauh 5 km dari pantai harus diambil minimum 40 kg/m2 (0,40 kN/m2).
.
Beban angin menurut SNI 1727:2020 dihitung berdasar tiga metode:

a. Metode 1 – Prosedur Pengarah (Directional Procedure)


Prosedur untuk menentukan beban angin pada bangunan gedung dan
struktur lainuntuk arah-arah angin tertentu, di mana koefisien tekanan
eksternal yang digunakan diperoleh dari pengujian terowongan angin model
bangunan gedung prototipikal yang sebelumnya untuk arah angin yang
sesuai.

b. Metode 2 – Prosedur Ampelop (Envelope Procedure)


Prosedur untuk menentukan kasus beban angin pada bangunan gedung, di
mana koefisien tekanan eksternal-tiruan diperoleh dari pengujian
terowongan angin model bangunan gedung prototipikal sebelumnya yang
diputar bertahap sampai 360o, seperti kasus tekanan-tiruan yang
menghasilkan aksis struktural utama (angkat, geser horizontal, momen
lentur, dan lain-lain) yang merupakan amplop dari nilai-nilai maksimum di
antara semua kemungkinan arah angin.

Jimmy S. Juwana 121


c. Metode 3 – Terowongan Angin (Wind Tunnel).

Prosedur boleh digunakan untuk setiap bangunan atau struktur sebagai


pengganti prosedur desain yang ditetapkan dalam prosedur pengarah
(Sistem Penahan Beban Angin Utama – SPBAU, untuk bangunan gedung
dari semua ketinggian dan bangunan diafragma sederhana dengan h ≤ 48,8
m, prosedur ampelop (SPBAU bangunan bertingkat rendah dan bangunan
bertingkat rendah diafragma sederhana), prosedur pengarah untuk konsol
dan parapet serta struktur lain (SPBAU untuk semua struktur lain), dan
prosedur pengarah untuk komponen dan klading untuk semua tipe
bangunan gedung dan struktur lain.

Tekanan angin desain untuk SPBAU bangunan gedung dari semua ketinggian
harus ditentukan persamaan berikut:

p  q.G.C p  qi G.C pi  [N/m2] Persamaan 4.1.

di mana : q = qz untuk dinding di sisi angin datang yang diukur pada


ketinggian z di atas permukaan tanah
q = qh untuk dinding di sisi angin pergi, dinding samping, dan
atap yang diukur pada ketinggian h
qi = qh untuk dinding di sisi angin datang, dinding samping,
dinding di sisi angin pergi, dan atap bagunan gedung
tertutup untuk mengevaluasi tekanan internal negatif pada
bangunan gedung tertutup sebagian
qi = qz untuk mengevaluasi tekanan internal positif pada
bangunan gedung tertutup sebagian bila tinggi z
ditentukan sebagai level dari bukaan tertinggi pada
bangunan gedung yang dapat mempengaruhi tekanan
internal positif. Untuk bangunan gedung yang terletak di
wilayah berpartikel terbawa angin, kaca yang tidak tahan
impak atau dilindungi dengan penutup tahan impak, harus
diperlakukan sebagai bukaan sesuai dengan ketentuan
SNI 1727:2020. Untuk menghitung tekanan internal positif,
qi secara konservatif boleh dihitung pada ketinggian h (qi=
qh)
G = faktor efek-tiupan angin, untuk suatu bangunan gedung
dan struktur lain yang kaku boleh diambil sebesar 0,85.
Cp = koefisien tekanan eksternal sesuai pada SNI 1727:2020.
GCpi = koefisien tekanan internal sersuai SNI 1727:2020.

Q dan qi harus dihitung dengan menggunakan eksposur yang ditetapkan dalam


SNI 1727:2020. Tekanan harus diterapkan secara bersamaan pada dinding di

Jimmy S. Juwana 122


sisi angin datang dan di sisi angin pergi pada permukaan atap seperti ditetapkan
dalam SNI 1727:2020.
Tabel 4.6. Koefisien Tekanan Internal (GCpi)
Klasifikasi Ketertutupan (GCpi)
Bangunan gedung terbuka 0,00
Bangunan gedung tertutup sebagian + 0,55 – 0,55
Bangunan gedung tertutup + 0,18 – 0,18
Sumber: SNI 1727:2020

Catatan:
1. Tanda positif dan negatif menandakan tekanan yang bekerja menuju dan
menjauhi dari permukaan internal.
2. Nilai (GCpi) harus digunakan dengan qz atau qh seperti yang ditetapkan.
3. Dua kasus harus dipertimbangkan untuk menentukan persyaratan beban kritis
untuk kondisi yang sesuai:
(a) nilai positif dari (GCpi) diterapkan untuk seluruh permukaan internal
(b) nilai negatif dari (GCpi) diterapkan untuk seluruh permukaan internal

4.2.4. Beban Gempa (E)

Beban gempa adalah semua beban statik ekivalen yang bekerja pada bangunan
atau bagian bangunan yang menirukan pengaruh dari gerakan tanah akibat
gempa. Dalam hal pengaruh gempa pada struktur bangunan ditentukan
berdasarkan suatu analisis dinamik, maka yang diartikan dengan beban gempa
di sini adalah gaya-gaya di dalam struktur tersebut yang terjadi oleh gerakan
tanah akibat gempa itu.

a. Koefisien Gempa Dasar


Peta gempa pada Gambar 4.29 digunakan untuk menentukan nilai tengah
geometrik tertimbang maksimum (MCEG).

Jimmy S. Juwana 123


Sumber: SNI 1726:2019

Gambar 4.29. Percepatan Muka Tanah (PGA) Puncak – MCEG

Peta gempa pada Gambar 4.30 untuk menentukan Ss

Sumber: SNI 1726:2019

Gambar 4.30. Peta MCER untuk Perioda Pendek (T = 0,2 detik)

Peta gempa pada Gambar 4.31 untuk menentukan S1

Jimmy S. Juwana 124


Sumber: SNI 1726:2019

Gambar 4.31. Peta MCER untuk Perioda T = 1,0 detik

Peta gempa pada Gambar 4.32 dan Gambar 4.33 untuk menentukan nilai CR1

Sumber: SNI 1726:2019

Gambar 4.32. Peta CR1 Risiko Tertarget untuk Perioda Pendek (T = 0,2 detik)

Jimmy S. Juwana 125


Sumber: SNI 1726:2019

Gambar 4.33. Peta CR1 Risiko Tertarget untuk Perioda T = 1 detik

Untuk menentukan respons spektral percepatan gempa MCER di permukaan


tanah, diperlukan suatu faktor amplifikasi gempa pada perioda 0,2 detik dan
perioda 1 detik. Faktor amplifikasi meliputi faktor amplifikasi getaran terkait
percepatan pada getaran perioda pendek (Fa) dan faktor amplifikasi terkait
percepatan yang mewakili getaran perioda 1 detik (Fv). Parameter spektrum
respon percepatan pada perioda pendek (SMS) dan perioda 1 detik (SM1) yang
dipengaruhi oleh klasifikasi situs (jenis tanah):
S MS  Fn S s Persamaan 4.2.
S M 1  Fv S 1 Persamaan 4.3.

di mana Ss adalah parameter respon spektral percepatan gempa MCER


terpetakan untuk perioda pendek
S1 adalah parameter respon spektral percepatan gempa MCER
terpetakan untuk perioda 1,0 detik
Tabel 4.7 dan Tabel 4.8 untuk menentukan nilai Fa dan Fv untuk klasifikasi situs
dan parameter respon spektral percepatan gempa CER terpetakan untuk
perioda pendek dan perioda 1,0 detik.

Jimmy S. Juwana 126


Tabel 4.7. Koefisien Situs, Fa

Parameter Respon Spektral Percepatan Gempa MCER


Kelas
Terpetakan pada Perioda Pendek T = 0,2 detik, Ss
Situs
Ss < 0,25 Ss = 0,5 Ss = 0,75 Ss = 1,0 Ss > 1,25
SA 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8
SB 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0
SC 1,2 1,2 1,1 1,0 1,0
SD 1,6 1,4 1,2 1,1 1,0
SE 2,5 1,7 1,2 0,9 0,9
SF SSb (ditentukan melalui invesigasi geoteknik spesifik)
Sumber: SNI 1726:2019
Tabel 4.8. Koefisien Situs, Fv

Parameter Respon Spektral Percepatan Gempa MCER


Kelas
Terpetakan pada Perioda 1 detik, S1
Situs
S1 < 0,1 S1 = 0,2 S1 = 0,3 S1 = 0,4 S1 > 0,5
SA 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8
SB 1,0 1.0 1,0 1,0 1,0
SC 1,7 1,6 1,5 1,4 1,3
SD 2,4 2,0 1,8 1,6 1,5
SE 3,5 3,2 2,8 2,4 2,4
SF SSb (ditentukan melalui invesigasi geoteknik spesifik)
Catatan: SA – batuan keras Sumber: SNI 1726:2019
SB – batuan
SC – tanah keras, sangat padat dan batuan lunak
SD – tanah sedang
SE – tanah lunak
SF – tanah khusus
Ss – parameter percepatan respons spektral MCE dari peta gempa pada
perioda
pendek, redaman 5% (Gambar 4.30)
S1 – parameter percepatan respons spektral MCE dari peta gempa pada
perioda
I detik, redaman 5% (Gambar 4.31)

Selanjutnya, percepatan spektral desain untuk perioda pendek (SDS) dan


percepatan spektral desain untuk perioda 1,0 detik (SD1), ditentukan sebagai
berikut:

2
S DS  S MS Persamaan 4.4.
3
2
S D1  S M 1 Persamaan 4.5.
3

Jimmy S. Juwana 127


Jika prosedur gerak tanah dari spesifik situs tidak digunakan dan spektrum
desain diperlukan, kurva spektrum respons desain harus dikembangkan dengan
menggunakan Gambar 4.34, dengan ketentuan:
a. Untuk perioda T < To, spektrum respon percepatan desai (Sa) harus
dihitung dengan:
 T 
S a  S DS  0,4  0,6  Persamaan 4.6.
 To 
b. Untuk perioda T > To, dan T < Ts, spektrum respon percepatan desain:

Sa S DS Persamaan 4.7.

c. Untuk perioda T > Ts, spektrum respon percepatan desain:

S D1
Sa  Persamaan 4.8.
T
di mana: SDS adalah parameter respon spektral percepatan desain pada
perioda pendek
SD1 adalah parameter respon spektral percepatan desain pada
perioda 1,0 detik
T adalah perioda getar fundamental struktur
S D1 S D1
To  0,2 dan Ts 
S DS S DS

Sumber: SNI 1726:2019


Gambar 4.34. Spektrum Respon Desain

Dengan menggunakan aplikasi yang dirancang oleh Pusat Penelitian dan


Pengembangan Permukiman (Puslitbangkim) Kementerian PU PR, melalui
tautan (link) http://rsapuskim2019.litbang.pu.go.id, dapat diperoleh spektrum
respon desain dengan beberapa data yang terkait (Gambar 4.35).

Jimmy S. Juwana 128


Sumber: Pulitbangkim, 2019

Gambar 4.35. Perhitungan Spektrum Respon Desain

b. Kategori Risiko dan Faktor Keutamaan – I

Untuk berbagai kategori risiko struktur bangunan gedung sesuai Tabel 4.9,
pengaruh gempa rencana terhadapnya harus dikalikan dengan suatu faktor
keutamaan I sebagaimana tertera pada Tabel 4.10. Khusus untuk struktur
bangunan dengan kategori risiko IV, bila dibutuhkan pintu masuk untuk
operasional dari struktur bangunan yang bersebelahan, struktur bangunan yang
bersebelahan tersebut harus didesain sesusai dengan kategori risiko IV.

Tabel 4.9. Kategori Risiko Bangunan Gedung


& Struktur Lainnya untuk Beban Gempa

Kategori
Jenis Pemanfaatan
Risiko
Gedung dan struktur lainnya yang memiliki risiko rendah terhadap jiwa
manusia pada saat terjadi kegagalan, termasuk, tapi tidak dibatasi untuk:
- Fasilitas pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan
I
- Fasilitas sementara
- Gudang penyimpanan
- Rumah jaga dan struktur kecil lainnya
Semua gedung dan strukur lain, kecuali yang termasuk dalam kategori
risiko I, III, IV, termasuk, tapi tidak dibatasi untuk:
- Perumahan II
- Rumah toko dan rumah kantor
- Gedung perkantoran

Jimmy S. Juwana 129


Kategori
Jenis Pemanfaatan
Risiko
- Gedung apartemen/rumah rusun
- Pusat perbelanjaan/mal
- Bangunan industri
- Fasilitas manufaktur
- Pabrik
Gedung dan struktur lainnya yang memiliki risiko tinggi terhadap jiwa
manusia pada saat terjadi kegagalan, termasuk, tapi tidak dibatasi untuk:
- Bioskop
- Gedung pertemuan
- Stadion
- Fasilitas kesehatan yang tidak memiliki unit bedah dan unit gawat
darurat
- Fasilitas penitipan anak
- Bangunan untuk orang jompo
Gedung dan struktur lainnya, tidak termasuk ke dalam kategori risiko IV,
yang memiliki potensi untuk menyebabkan dampak sosial yang besar
dan/atau gangguan massal terhadap kehidupan masyarakat sehari-hari
bila terjadi kegagalan, termasuk, tapi tidak dibatasi untuk: III
- Pusat pembangkit listrik biasa
- Fasilitas penanganan air
- Fasilitas penanganan limbah
- Pusat telekomunikasi
Gedung dan struktur lainnya yang tidak termasuk dalam kategori risiko IV,
(termasuk, tetapi tidak dibatasi untuk fasilitas manufaktur, proses,
penanganan, penyimpanan, penggunaan atau tempat penbuangan bahan
bakar berbahaya, bahan kimia berbahaya, limbah berbahaya, atau bahan
yang mudah meledak) yang mengandung bahan beracun atau peledak di
mana jumlah kandungan bahannya melebihi nilai batas yang disyaratkan
oleh instansi yang berwenang dan cukup menimbulkan bahaya bagi
masyarakat jika terjadi kebocoran.
Gedung dan struktur lainnya yang ditunjukkan sebagai fasilitas yang
penting, termasuk, tetapi tidak dibatasi untuk:
- Bangunan-bangunan monumental
- Bangunan sekolah dan fasilitas pendidikan
- Rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya yang memiliki
fasilitas bedah dan unit gawat darurat
IV
- Fasilitas pemadam kebakaran, ambulans, dan kantor polisi, serta
garasi kendaraan darurat
- Tempat perlindungan terhadap gempa bumi, angin badai, dan
tempat perlindungan darurat lainnya
- Fasilitas kesiapan darurat, komunikasi, pusat operasi dan
fasilitas lainnya untuk tanggap darurat

Jimmy S. Juwana 130


Kategori
Jenis Pemanfaatan
Risiko
- Pusat pembangkit energi dan fasilitas publik lainnya yang
dibutuhkan saat keadaan darurat
- Struktur tambahan (termasuk menara telekomunikasi, tangki
penyimpanan bahan bakar, menara pendingin, struktur stasiun
listrik, tangki air pemadam kebakaran atau struktur pendukung air
atau material atau peralatan pemadam kebakaran) yang
disyaratkan untuk beroperasi pada saat keadaan darurat
Gedung dan struktur lainnya yang dibutuhkan untuk mempertahankan
fungsi struktur bangunan lain yang masuk ke dalam kategori risiko IV
Sumber: SNI 1726:2019

Tabel 4.10. Faktor Keutamaan Gempa – I

Kategori Risiko Nilai Is


I atau II 1,00
III 1,25
IV 1,50
Sumber: SNI 1726:2019

c. Struktur Penahan Beban Gempa

Sistem struktur yang dipilih untuk menahan gaya gempa memiliki daktilitas dan
modifikasi respon yang sesuai PARA, faktor kuat lebih 131ndustr (0) dan faktor
pembesaran defleksi Cd sebagaimana tertera pada Tabel 4.11.

Tabel 4.11. Faktor R, Cd dan 0 untuk Sistem Penahan Gaya Gempa

Batasan Sistem
Struktur & Batasan
Tinggi Struktur [m]
No Sistem Penahan Gaya Gempa R Cd W0
Katergori Desain
Gempa
B C D E F
A Sistem Dinding Penumpu
Dinding Geser Beton Bertulang
1 5,00 2,50 5,00 TB TB 48 48 30
Khusus
Dinding Geser Beton Bertulang
2 4,00 2,50 4,00 TB TB TI TI TI
Biasa
Dinding Geser Beton Polos
3 2,00 2,50 2,00 TB TI TI TI TI
Didetail
4 Dinding Geser Beton Polos Biasa 1,50 2,50 1,50 TI TI TI TI TI
Dinding Geser Pracetak
5 4,00 2,50 4,00 TB TB 12 12 12
Menengah

Jimmy S. Juwana 131


Batasan Sistem
Struktur & Batasan
Tinggi Struktur [m]
No Sistem Penahan Gaya Gempa R Cd W0
Katergori Desain
Gempa
B C D E F
6 Dinding Geser Pracetak Biasa 3,00 2,50 3,00 TB TI TI TI TI
Dinding Geser Batu Bata
7 5,00 2,50 3,50 TB TB 48 48 30
Bertulang Khusus
Dinding Geser Batu Bata
8 3,50 2,50 2,25 TB TB TI TI TI
Bertulang Menengah
Dinding Geser Batu Bata
9 2,00 2,50 1,75 TB 48 TI TI TI
Bertulang Biasa
Dinding Geser Batu Bata Polos
10 2,00 2,50 1,75 TB TI TI TI TI
Didetail
Dinding Geser Batu Bata Polos
11 1,50 2,50 1,25 TB TI TI TI TI
Biasa
Dinding Geser Batu Bata
12 1,50 2,50 1,75 TB TI TI TI TI
Prategang
Dinding Geser Bata Ringan (AAC)
13 2,00 2,50 2,00 TB 10 TI TI TI
Bertulang Biasa
Dinding Geser Bata Ringan (AAC)
14 1,50 2,50 1,50 TB TI TI TI TI
Polos Biasa
Dinding Rangka Ringan (Kayu)
Dilapisi dengan Panel Struktur
15 Kayu yang Ditujukan untuk 6,50 3,00 4,00 TB TB 20 20 20
Tahanan Geser, atau dengan
Lembaran Baja
Dinding Rangka Ringan (Baja
Canai Dingin) yang dilapisi
16 dengan Panel Struktur Kayu yang 6,50 3,00 4,00 TB TB 20 20 20
Ditujukan untuk Tahanan Geser,
atau dengan Lembaran Baja
Dinding Rangka Ringan dengan
17 Panel Gesr dari Semua Material 2,00 2,50 2,00 TB TB 10 TI TI
Lainnya
Sistem Dinding Rangka Ringan
18 (Baja Canai Dingin) menggunakan 4,00 2,00 3,50 TB TB 20 20 20
Bresing Strip Datar
B Sistem rangka Bangunan
Rangka Baja dengan Bresing
1 8,00 2,00 4,00 TB TB 48 48 30
Eksentris

Jimmy S. Juwana 132


Batasan Sistem
Struktur & Batasan
Tinggi Struktur [m]
No Sistem Penahan Gaya Gempa R Cd W0
Katergori Desain
Gempa
B C D E F
Rangka Baja dengan Bresing
2 6,00 2,00 5,00 TB TB 48 48 30
Konsentris Khusus
Rangka Baja dengan Bresing
3 3,25 2,00 3,25 TB TB 10 10 TI
Konsentris Biasa
Dinding Geser Beton Bertulang
4 6,00 2,50 5,00 TB TB 48 48 30
Khusus
Dinding Geser Beton Bertulang
5 5,00 2,50 4,50 TB TB TI TI TI
Biasa
6 Dinding Geser Beton Polos Detail 2,00 2,50 2,00 TB TI TI TI TI
7 Dinding Geser Beton Polos Biasa 1,50 2,50 1,50 TB TI TI TI TI
Dinding Geser Pracetak
8 5,00 2,50 4,50 TB TB 12 12 12
Menengah
9 Dinding Geser Pracetak Biasa 4,00 2,50 4,00 TB TI TI TI TI
Rangka Baja dan Beton Komposit
10 8,00 2,00 4,00 TB TB 48 48 30
dengan Bresing Eksentris
Rangka Baja dan Beton Komposit
11 dengan Bresing Konsentris 5,00 2,00 4,50 TB TB 48 48 30
Khusus
Rangka Baja dan Beton Komposit
12 3,00 2,50 3,00 TB TB TI TI TI
dengan Bresing Biasa
Dinding Geser Pelat Baja dan
13 6,50 2,50 5,50 TB TB 48 48 30
Beton Komposit
Dinding Geser Baja dan Beton
14 6,00 2,50 5,00 TB TB 48 48 30
Komposit Khusus
Dinding Geser Baja dan Beton
15 5,00 2,50 4,50 TB TB TI TI TI
Komposit Biasa
Dinding Geser Batu Bata
16 5,50 2,50 4,00 TB TB 48 48 30
Bertulang Khusus
Dinding Geser Batu Bata
17 4,00 2,50 4,00 TB TB TI TI TI
Bertulang Menengah
Dinding Geser Batu Bata
18 2,00 2,50 2,00 TB 48 TI TI TI
Bertulang Biasa
Dinding Geser Batu Bata Polos
19 2,00 2,50 2,00 TB TI TI TI TI
Didetail
Dinding Geser Batu Bata Polos
20 1,50 2,50 1,25 TB TI TI TI TI
Biasa

Jimmy S. Juwana 133


Batasan Sistem
Struktur & Batasan
Tinggi Struktur [m]
No Sistem Penahan Gaya Gempa R Cd W0
Katergori Desain
Gempa
B C D E F
Dinding Geser Batu Bata
21 1,50 2,50 1,75 TB TI TI TI TI
Prategang
Dinding Rangka Ringan (Kayu)
yang Dilapisi dengan Panel
22 7,00 2,50 4,50 TB TB 22 22 22
Struktur Kayu yang dimaksudkan
untuk Tahanan Geser
Dinding Rangka Ringan (Baja
Canai Dingin) yang dilapisi
dengan Panel Struktur Kayu yang
23 7,00 2,50 4,50 TB TB 22 22 22
dimaksudkan untuk Tahanan
Geser, atau dengan Lembaran
Baja
Dinding Rangka Ringan dengan
24 Panel Geser dari Semua Material 2,50 2,50 2,50 TB TB 10 TB TB
Lainnya
Rangka Baja dengan Bresing
25 8,00 2,50 5,00 TB TB 48 48 30
Terkekang terhadap Tekuk
26 Dinding Geser Pelat Baja Khusus 7,00 2,00 6,00 TB TB 48 48 30
C Sistem Rangka Pemikul Momen
Rangka Baja Pemikul Momen
1 8,00 3,00 5,50 TB TB TB TB TB
Khusus
Rangka Batang Baja Pemikul
2 7,00 3,00 5,50 TB TB 48 30 TI
Momen Khusus
Rangka Baja Pemikul Momen
3 4,50 3,00 4,00 TB TB 10 TI TI
Menengah
Rangka Baja Pemikul Momen
4 3,50 3,00 3,00 TB TB TI TI TI
Biasa
Rangka Beton Bertulang Pemikul
5 8,00 3,00 5,50 TB TB TB TB TB
Momen Khusus
Rangka Beton Bertulang Pemikul
6 5,00 3,00 4,50 TB TB TI TI TI
Momen Menengah
Rangka Beton Bertulang Pemikul
7 3,00 3,00 2,50 TB TI TI TI TI
Momen Biasa
Rangka Baja dari Beton Komposit
8 8,00 3,00 5,50 TB TB TB TB TB
Pemikul Momen Khusus
Rangka Baja dan Beton Komposit
9 5,00 3,00 4,50 TB TB TI TI TI
Pemikul Momen Menengah

Jimmy S. Juwana 134


Batasan Sistem
Struktur & Batasan
Tinggi Struktur [m]
No Sistem Penahan Gaya Gempa R Cd W0
Katergori Desain
Gempa
B C D E F
Rangka Baja dan Beton Komposit
10 Terkekang Parsial Pemikul 6,00 3,00 5,50 48 48 30 TI TI
Momen
Rangka Baja dan Beton Komposit
11 3,00 3,00 2,50 TB TI TI TI TI
Pemikul Momen Biasa
Rangka Baja Canai Dingin
12 Pemikul Momen Khusus dengan 3,50 3,00 3,50 10 10 10 10 10
Pembautan
Sistem Ganda dengan Rangka
Pemikul Momen Khusus yang
D Mampu Menahan Paling Sedikit
25% Gaya Gempa yang
Ditetapkan
Rangka Baja dengan Bresing
1 8,00 2,50 4,00 TB TB TB TB TB
Eksentris
Rangka Baja dengan Bresing
2 7,00 2,50 5,50 TB TB TB TB TB
Konsentris Khusus
Dinding Geser Beton Bertulang
3 7,00 2,50 5,50 TB TB TB TB TB
Khusus
Dinding Geser Beton Bertulang
4 6,00 2,50 5,00 TB TB TI TI TI
Biasa
Rangka Baja dan Beton Komposit
5 8,00 2,50 4,00 TB TB TB TB TB
dengan Bresing Eksentris
Rangka Baja dan Beton Komposit
6 dengan Bresing Konsentris 6,00 2,50 5,00 TB TB TB TB TB
Khusus
Dinding Geser Pelat Baja dan
7 7,50 2,50 6,00 TB TB TB TB TB
Beton Komposit
Dinding Geser Baja dan Beton
8 7,00 2,50 6,00 TB TB TB TB TB
Komposit Khusus
Dinding Geser Baja dan Beton
9 6,00 2,50 5,00 TB TB TI TI TI
Komposit Biasa
Dinding Geser Batu Bata
10 5,50 3,00 5,00 TB TB TB TB TB
Bertulang Khusus
Dinding Geser Batu Bata
11 4,00 3,00 3,50 TB TB TI TI TI
Bertulang Menengah

Jimmy S. Juwana 135


Batasan Sistem
Struktur & Batasan
Tinggi Struktur [m]
No Sistem Penahan Gaya Gempa R Cd W0
Katergori Desain
Gempa
B C D E F
Rangka Baja dengan Bresing
12 8,00 2,50 5,00 TB TB TB TB TB
Terkekang terhadap Tekuk
13 Dinding Geser Pelat Baja Khusus 8,00 2,50 6,50 TB TB TB TB TB
Sistem Ganda dengan Rangka
Pemikul Momen Menengah
E Mampu Menahan Paling Sedikit
25% Gaya Gempa yang
Ditetapkan
Rangka Baja dengan Bresing
1 6,00 2,50 5,00 TB TB 10 TI TI
Konsentris Khusus
Dinding Geser Beton Bertulang
2 6,50 2,50 5,00 TB TB 48 30 30
Khusus
Dinding Geser Batu Bata
3 3,00 3,00 2,50 TB 48 TI TI TI
Bertulang Biasa
Dinding Geser Batu Bata
4 3,50 3,00 3,00 TB TB TI TI TI
Bertulang Menengah
Rangka Baja dan Beton Komposit
5 dengan Bresing Konsentris 5,50 2,50 4,50 TB TB 48 30 TI
Khusus
Rangka Baja dan Beton Komposit
6 3,50 2,50 3,00 TB TB TI TI TI
dengan Bresing Biasa
Dinding Geser Baja dan Beton
7 5,00 3,00 4,50 TB TB TI TI TI
Komposit Biasa
Dinding Geser Beton Bertulang
8 5,50 2,50 4,50 TB TB TI TI TI
Biasa
Sistem Interaktif Dinding Geser-
Rangka dengan Rangka
F Pemikul Momen Beton 4,50 2,50 4,00 TB TI TI TI TI
Bertulang Biasa dan Dinding
Geser Beton Bertulang Biasa
Sistem Kolom Kantilever
G Didetail untuk Memenuhi
Persyaratan untuk:
Sistem Kolom Baja dengan
1 2,50 1,25 2,50 10 10 10 10 10
Kantilever Khusus
Sistem Kolom Baja dengan
2 1,25 1,25 1,25 10 10 TI TI TI
Kantilever Biasa

Jimmy S. Juwana 136


Batasan Sistem
Struktur & Batasan
Tinggi Struktur [m]
No Sistem Penahan Gaya Gempa R Cd W0
Katergori Desain
Gempa
B C D E F
Rangka Beton Bertulang Pemikul
3 2,50 1,25 2,50 10 10 10 10 10
Momen Khusus
Rangka Beton Bertulang Pemikul
4 1,50 1,25 1,50 10 10 TI TI TI
Momen Menengah
Rangka Beton Bertulang Pemikul
5 1,00 1,25 1,00 10 TI TI TI TI
Momen Biasa
6 Rangka Kayu 1,50 1,50 1,50 10 10 10 TI TI
Sistem Baja Tidak Didetail
Secara Khusus untuk
H 3,00 3,00 3,00 TB TB TI TI TI
Ketahanan Gempa, Tidak
Termasuk Kolom Kantilever
Catatan: TB – Tidak dibatasi Sumber: SNI 1726:2019
TI – Tidak diijinkan

Untuk perhitungan gaya lateral ekuivalen, gaya geser gempa dihitung


menggunakan formula:

V  CsW [kN] Persamaan 4.9.

di mana : Cs adalah koefisien respon gempa (Persamaan 4.10)


W adalah beban gempa efektif [kN]

Beban gempa efektif diambil dari kombinasi beban mati dan beban hidup
sebagaimana diatur dalam SNI 1726:2019:
S DS
Cs  Persamaan 4.10.
R
 
 Ie 
di mana : SDS adalah parameter percepatan spektrum respons desain
rentang perioda pendek (Gambar 4.10)
R adalah faktor modifikasi respon (Tabel 4.11)
Ie adalah faktor keutamaan gempa (Tabel 4.10)

Nilai Cs yang diperoleh (menggunakan Persamaan 4.10) tidak perlu melebihi:

Jimmy S. Juwana 137


S D1
Cs  dan tidak kurang dari Cs = 0,044 SDSIe > 0,01
R
 
 Ie 

Sebagai tambahan, untuk struktur yang berlokasi di daerah di mana S1 > 0,6 g,

0,5S1
Cs  Persamaan 4.11.
R
 
 Ie 
di mana SD1 adalah parameter percepatan spektrum respon desain pada
perioda 1,0 detik (Gambar 4.11)
T adalah perioda fundamental struktur (detik) yang dihitung
dengan Persamaan 4.12.
S1 adalah parameter percepatan spektrum respon maksimum
yang dipetakan (Gambar 4.11)
Dalam hal struktur bangunan gedung beraturan dan tingginya tidak lebih dari
lima tingkat dan mempunyai perioda (T) < 0,5 detik, Cs boleh dihitung dengan
menggunakan nilai Ss = 1,5.

d. Perioda Fundamental

Perioda fundamental struktur (T) dalam arah yang ditinjau harus diperoleh
dengan menggunakan properti struktur dan karakteristik deformasi elemen
penahan dalam analisis yang teruji. Hasil nilai T tidak boleh melebihi hasil
koefisien untuk batasan atas pada perioda yang dihitung (Cu) yang tertera pada
Tabel 4.12, dan perioda fundamental pendekatan (Ta) yang dihitung dengan
formula perioda fundamental pendekatan (Persamaan 4.5).

Ta  C1hnx Persamaan 4.12.


di mana hn adalah ketinggian struktur [m], dan nilai n dan x dari Tabel 4.13.
Tabel 4.12. Koefisien untuk Batas Atas pada Perioda yang Dihitung

Parameter Percepatan Respon


Koefisien Cu
Spektral Desain pada 1 detik, SD1
> 0,40 1,4
0,30 1,4
0,20 1,5
0,15 1,6
< 0,10 1,7
Sumber: SNI 1726:2019

Jimmy S. Juwana 138


Tabel 4.13. Nilai Parameter Perioda Pendekatan Ct dan x

Tipe Struktur Ct x
Sistem Rangka Pemikul Momen di mana Rangka Pemikul
100% Gaya Gempa yang Disyaratkan dan Tidak Dilingkupi
atau Dihubungkan dengan Komponen yang Lebih Kaku dan
akan Mencegah Rangka dan Defleksi jika dikenai Gaya
Gempa
Rangka Baja Pemikul Momen 0,0724 0,80
Rangka Beton Pemikul Momen 0,0466 0,90
Rangka Baja dengan Bresing Eksentris 0,0731 0,75
Rangka Baja dengan Bresing Terkekang Terhadap Tekuk 0,0731 0,75
Semua Sistem Struktur Lainnya 0,0488 0,75
Sumber: SNI 1726:2019

Nilai Ta untuk struktur ketinggian: 12 N < H > 3 m, di mana sistem penahan gaya
gempa secara keseluruhan terdiri dari rangka penahan momen beton atau baja,
nilai Ta:

Ta  0,1N Persamaan 4.13.

di mana: N adalah jumlah tingkat

Nilai Ta untuk struktur dinding geser batu bata atau beton dihitung berdasarkan
Persamaan 4.14:

0,0062
Ta  hn Persamaan 4.14.
Cw
Di mana:
2
100 x  hn  Ai
Cw    

AB i 1  hi  1  0,83  
hi 2
Persamaan 4.15.
Di

di mana AB adalah luas dasar struktur [m2]


Ai adalah luas badan dinding geser ‘I’ [m2]
Di adalah panjang dinding geser ‘I’ [m]
Hi adalah tinggi dinding geser ‘I’ [m]
x adalah jumlah dinding geser dalam bangunan yang efektif
dalam menahan gaya lateral dalam arah yang ditinjau

Beban geser dasar akibat gempa (V), selanjutnya harus dibagikan sepanjang
tinggi bangunan menjadi beban-beban horizontal terpusat (gaya gempa tingkat,

Jimmy S. Juwana 139


Fx), yang mempunyai titk tangkap pada masing-masing taraf lantai tingkat,
menurus rumus:

Wx .hx
Fx  .V [kN] Persamaan 4.16.
Wi .hi
di mana : V adalah gaya lateral desain total atau gaya geser di dasar
struktur [kN]
W i adalah bagian berat gempa efektif total struktur (W) yang
ditempatkan atau dikenakan di tingkat i
W x adalah bagian berat gmpa efektif total struktur (W) yang
ditempatkan atau dikenakan di tingkat x
hi adalah ketinggian lantai sampai tingkat i diukur dari dasar
bangunan [m]
hx adalah ketinggian lantai sampai tingkat x diukur dari dasar
bangunan [m]
Dan Momen Guling tingkat, Mi adalah:

H  hi
Mi  .M E [Nm] Persamaan 4.17.
H
di mana : H adalah tinggi bangunan
ME adalah momen guling bangunan

Setiap struktur bangunan harus memiliki kemampuan menahan bahaya gempa


yang mengacu pada SNI 1726:2019 tentang Tata Cara Perencanaan
Ketahanan Gempa untuk Bangunan Gedung, SNI 1726:2019 memiliki tata cara
berbeda dengan SNI 1726 sebelumnya, oleh karena itu analisis struktur untuk
bangunan tinggi harus dilakukan oleh ahli struktur yang kompeten.

Secara umum perilaku struktur mengantisipasi beban gempa seperti terlihat


pada Gambar 4.36.

Jimmy S. Juwana 140


LJJLJK

Sumber: Juwana, 2005, dimodifikasi


GGGG
Gambar 4.36. Perilaku Struktur Bangunan Tinggi Terhadap Gempa

Perencanaan struktur bangunan tinggi, khususnya berkaitan dengan


ketahanannya terhadap beban gempa, dapat dilakukan melalui beberapa
pendekatan (perancangan berbasis kinerja), mulai dari tetap dapat beroperasi
(operational), segera setelah gempa bangunan dapat dimanfaatkan kembali
(immediate occupancy), boleh terjadi kerusakan namun orang di dalam
bangunan terselamatkan (life safety), atau pencegahan kerusakan fatal
(collapse prevention) seperti diperlihatkan pada Gambar 4.37.

Jimmy S. Juwana 141


Tingkat Kinerja Rancangan
Immediate Ocupancy

Bangunan Bangunan Bangunan


Beroperasi Tetap Life Safety Hampir
100% Laik Fungsi Runtuh

Sering Terjadi
50% dalam
kurun waktu 500 tahun
Rancangan Gempa

Kadang-kadang Terjadi
20% dalam
kurun waktu 500 tahun

Jarang Terjadi
10% dalam
kurun waktu 500 tahun

Sangat Jarang Terjadi


5% dalam
kurun waktu 500 tahun

Sumber: PP nomor 16/2021 dan Juwana, 2006 dimodifikasi

Gambar 4.37. Perencanaan Bangunan Tahan Gempa Berbasis Kinerj

4.2.5. Kombinasi Pembebanan

Struktur, komponen, dan fondasi, menurut SNI 1727:2020, harus dirancang


sedemikian rupa sehingga kekuatan desainnya sama atau melebihi efek dari
beban terfaktor (Load & Resistance Factor Design – LRFD), dalam kombinasi
berikut:

Jimmy S. Juwana 142


a. 1,4 D
b. 1,2 D + 1,6 L + 0,5 (Lr atau S atau R)
c. 1,2 D+ 1,6 (Lr atau S atau R) + (L atau 0,5 W)
d. 1,2 D + 1,0 W+ L + 0,5 (Lr atau S atau R)
e. 1,2 D + 1,0 E + L + 0,2 S
f. 0,9 D + 1,0 W
g. 0,9 D + 1,0 E
Pengecualian:
1). Faktor beban pada L dalam kombinasi c, d, dan e diizinkan sebesar 0,5
untuk semua tingkat hunian bila Lo pada Tabel SNI 1727:2020 kurang
dari atau sama dengan 4,79 kN/m2 (100 psf), dengan pengecualian
daerah garasi atau luasan yang ditempatimerupakantempat pertemuan
umum.
2). Dalam kombinasi b, d, dan e, beban pendamping Beban Salju (snow
load – S) harus diambil sebagai salah satu beban atap rata bersalju (pf)
atau beban atap miring bersalju (ps).
Bila ada beban fluida (F), kombinasi harus menyertakan faktor beban
yang sama seperti beban mati (D) pada kombinasi a sampai e dan g.

Bila ada beban horizontal (H), mereka harus dimasukkan sebagai berikut:
1). Bila efek H menambah variabel utama efek beban, termasuk H dengan
faktor beban sebesar 1,6;
2). Bila efek H menahan variabel utama efek beban, termasuk H dengan
faktor beban sebesar 0,9 di mana beban adalah tetap atau faktor beban
dari 0 untuk semua kondisi lain.

Efek dari satu atau lebih beban yang tidak bekerja harus diselidiki. Efek yang
paling tidak menguntungkan baik dari beban angin dan gempa harus
diselidiki, sesuai kondisinya, tapi tidak perlu diperhitungkanbekerja secara
bersamaan. (Lihat SNI 1726 untuk definisi spesifik dari efek beban gempa –
E).

Beban yang tercantum berikut ini (pendekatan Allowable Stress Design –


ASD), harus dianggap bekerja dalam kombinasi berikut; mana saja yang
menghasilkan efek yang paling tidak baik di dalam bangunan gedung,
fondasi, atau komponen struktural yang diperhitungkan. Efek dari satu atau
lebih beban yang tidak bekerja harus dipertimbangkan.
a. D
b. D+L
c. D + (Lr atau S atau R)
d. D + 0,75 L + 0,75(Lr atau S atau R)
e. D + (0,6 W atau 0,7 E)
f-1. D + 0,75 L + 0,75(0,6 W) + 0,75(Lr atau S atau R)

Jimmy S. Juwana 143


f-2. D + 0,75 L + 0,75(0,7 E) + 0,75 S
g. 0,6 D + 0,6 W
h. 0,6 D + 0,7 E

4.3. Ketentuan Rancangan Stuktur

Setelah aspek perancangan arsitektural yang meliputi penentuan luas lantai


dasar dan luas lantai tipikal telah diperiksa berdasarkan kebutuhan fungsional,
dan batasan intensitas bangunan (KDB dan KLB), maka pertama-tama
bangunan tinggi perlu diuji stabilitasnya, terutama akibat gempa bumi.

4.3.1. Stabilitas Bangunan

Untuk memberikan gambaran awal terhadap stabilitas bangunan tinggi, analisis


terhadap stabilitas bangunan gedung dilakukan dengan metode pendekatan,
yang selanjutnya perlu dilakukan analisis struktur yang lebih rinci.

Perhatikan bangunan dengan bentuk prismatis dengan lantai tipikal berbentuk


empat persegi panjang (Gambar 4.38) dan pada bangunan tersebut dibebani
oleh beban geser akibat gempa (V) dan massa bangunan sebesar W G.

Gambar 4.38. Aksonometri Massa Bangunan

Stabilitas Bangunan, khususnya terhadap beban gempa, dapat diperoleh dari:

a. Berat Sendiri Bangunan

Penahan Momen Guling (Tumbang) Gempa, MG, diperoleh dari:

Jimmy S. Juwana 144


M G  WG .d Persamaan 4.18.

di mana: 𝑊𝐺 = 1,2𝐷 + 1,6𝐿 [Nm] Persamaan 4.19.


d adalah jarak dari titik berat massa bangunan ke titik guling

Dalam analisis stabilitas bangunan, Momen Guling (Tumbang) akibat beban


gempa, ME, diperoleh dari:
2
M E  H E .hE  V . H [Nm] Persamaan 4.20.
3
di mana : V adalah beban geser dasar akibat gempa, yang dapat
diperoleh dari Persamaan 4.9.
H adalah tinggi bangunan

Stabilitas bangunan tercapai jika memenuhi persyaratan:

MG
 1,5 Persamaan 4.21.
ME

Jika seandainya Persamaan 4.21 tidak terpenuhi, maka dapat dilakukan


beberapa modifikasi, yaitu dengan membuat podium, basemen, dan
pendekatan lainnya.

Proses pemeriksaan terhadap stabilitas bangunan dapat menggunakan kertas


kerja seperti Gambar 4.39 (satuan yang digunakan masih dimunculkan dengan
versi cgs dan SI).

Jimmy S. Juwana 145


ANALISIS KESTABILAN BANGUNAN TINGGI
Nama Gedung
Jumlah Lantai n=
Tinggi antar Lantai h= meter
Tinggi Lobi hlb = meter
Total Tinggi Bangunan H= meter
Luas Lantai Tipikal At = m2
Jumlah Lantai Podium np =
Tinggi Lantai Podum hp = meter
Dimensi Lantai Dasar Pd = meter Ld = meter
Jumlah Lapis Basemen nb =
Tinggi Lantai Basemen hb =
Dimensi Basemen Pb = Lb = meter

Jenis Peruntukan Bangunan [ ] tunggal Fungsi:


[ ] ganda zona 1 Fungsi: - lantai
zona 2 Fungsi: - lantai
zona 3 Fungsi: - lantai

Sistem Struktur [ ] Portal


[ ] Portal dengan Dinding Geser/Inti
[ ] Tabung
[ ] Tabung dalam Tabung
Material Struktur [ ] Beton Bertulang
[ ] Baja
[ ] Komposit
Pekiraan Beban Gravitasi
Perkiraan Beban Mati kg/m2 kN/m2
Beban Hidup Zona 1 kg/m2 kN/m2
Zona 2 kg/m2 kN/m2
Zona 3 kg/m2 kN/m2
Total Berat Gedung WG = kg kN

Perkiraan Beban Gempa


Koefisien Respons Gempa Cs =
Faktor Keutamaan Ir =
Modifikasi Respons Sesuai R=
Faktor Kuat Sistem 0 =
Total Beban Gempa W= kg kN
Gaya Geser Dasar Gempa V= kg kN
Stabilitas Bangunan
Jarak ke titik Guling d= meter
Momen Penahan Guling MG = kgm kNm
Momen Guling ME = kgm kNm

Stabilitas MG/ME = > 1,5

Gambar 4.39. Kertas Kerja Analisis Stabilitas Bangunan

b. Membuat Podium
Penambahan podium (Gambar 4.40) akan memperbesar jarak ‘d’, sehingga nilai
MG akan bertambah besar, dan diharapkan dapat memenuhi persyaratan
Persamaan 4.23.

Titik Guling

d>

Gambar 4.40. Bangunan Tinggi dengan Podium

Jimmy S. Juwana 146


c. Dengan Tiang Pancang

Tiang pancang di dasar bangunan, menyebabkan bangunan seakan-akan


mempunyai ‘akar’ yang mengikat tanah di sekitar tiang pancang. Jumlah
Hambatan Pelekat (JHP) membuat bangunan menjadi lebih kokoh dan stabil
(Gambar 4.41) atau dengan membuat basemen (Gambar 4.42).

Titik Guling

Lekatan
antara
Tiang Pancang
dengan Tanah

Gambar 4.41. Bangunan Tinggi dengan Tiang Pancang

d. Membuat Basemen

Adanya basemen pada bangunan tinggi menyebabkan penambahan pada nilai


MG yang diperoleh dari Tekanan Tanah Pasif (P), sehingga Momen Penahan
Guling menjadi:

M G  WG .d  P.e [kgm atau Nm] Persamaan 4.22.

di mana : P adalah resultante tekanan pasif tanah pada basemen


e adalah titik tangkap gaya resultante terhadap muka tanah

Jimmy S. Juwana 147


Titik
Guling

Tekanan Tanah Pasif

Gambar 4.42. Bangunan Tinggi dengan Basemen

e. Gabungan Podium dan Basemen

Penggabungan Podium dan Basemen (dengan atau tanpa Tiang Pancang)


pada bangunan tinggi bukan saja akan memperbesar nilai ‘d’ tetapi juga nilai MG
(Gambar 4.43).

Titik Guling

d>
Tekanan Tanah Pasif

Gambar 4.43. Bangunan Tinggi dengan Podium dan Basemen

Jimmy S. Juwana 148


Akhirnya, stabilitas bangunan perlu diperiksa terhadap simpangan horizontal
antar tingat di arah memanjang bangunan, yang dihitung berdasarkan rumus:

Vi .hi3 2.Vi .hi .Lbalok


    0,005 hi [cm] Persamaan 4.23.
12 .E.I kolom 12 .E.I balok

di mana : adalah simpangan horizontal antar tingkat


Vi adalah gaya geser antar tingkat
E adalah Modulus Elastisitas bahan struktur:

Ebaja  2,1.106 [kg/cm2] atau Ebaja  200.000 [Mpa]

 kg/cm2
Ebeton  6400  bk atau Ebeton  0,043 fc' [Mpa]

Ikolom adalah momen inersia kolom [m3 atau cm3]


Ibalok adalah momen inersia balok [m3 atau cm3]
Lbalok adalah panjang bentang balok [m atau cm]
Dan simpangan inti bangunan:

V .H 3 3.V .H M .H 2
 inti     0,002H [cm] Persamaan 4.24.
3.E.I E. A 2.E.I
di mana :V adalah gaya geser dasar
H adalah tinggi inti bangunan
M adalah momen guling
A adalah luas penampang inti bangunan
I adalah momen inersia inti bangunan
E adalah modulus elastisitas bahan struktur inti bangunan

Sedang simpangan gedung:

H .Vkolom.h 2 H .Vbalok.L2balok 2.N kolom.H 2


   [cm] Persamaan 4.25.
12 .I kolom 12 .E.I balok 3.E. Akolom.B

di mana : Vkolom adalah gaya lintang kolom


h adalah jarak lantai ke lantai
H adalah tinggi bangunan
Vbalok adalah gaya lintang Balok
Lbalok adalah panjang bentang balok
Nkolom adalah gaya aksial kolom
Ikolom adalah momen inersia kolom
Ibalok adalah momen inersia balok

Jimmy S. Juwana 149


E adalah modulus elastisitas bahan struktur
B adalah lebar bangunan pada arah yang ditinjau

Momen Guling dengan menggunakan Persamaan 4.18 merupakan perhitungan


dengan metode pendekatan. Perhitungan gempa dapat pula dilakukan dengan
lebih teliti, yaitu dengan menghitung Gaya Gempa Tingkat, Gaya Geser Tingkat,
dan Momen Guling Tingkat, yang biasanya disusun dalam bentuk tabel.

4.3.2. Perkiraan Dimensi Struktur

Untuk menggambar detail interior dan penempatan jaringan utilitas, besaran


dimensi elemen struktur diperlukan. Hal ini dimaksudkan agar kebutuhan ruang
dan jarak bebas yang diperlukan bagi penempatan perlengkapan/peralatan
bangunan, ruangan mekanikal dan elektrikal serta jalur sirkulasi, dapat
disediakan secara lebih tepat.

Pada tahap gambar pra rencana, dimensi struktur dapat dihitung dengan
metode pendekatan (rule of thumb) atau penyederhanaan dengan
menggunakan rumus dasar dengan teori elastis dan analisis statis (static
analysis). Setelah diperoleh perkiraan dimensi struktur, analisis struktur dapat
dilanjutkan dengan lebih teliti dan untuk bangunan tinggi (dengan ketinggian
lebih dari 40 m) perlu dilakukan dengan analisis dinamis (dynamic analysis).

a. Sub Sistem Struktur Horizontal

Pada bangunan tinggi elemen struktur horizontal tidak dipengaruhi oleh


banyaknya lantai atau ketinggian bangunan. Dimensi elemen struktur ini hanya
dipengaruhi oleh panjang bentang dan beban yang bekerja padanya.

Sebagai pendekatan dapat digunakan Tabel 4.14. di mana ditunjukkan nilai


nisbah antara tinggi elemen struktur horizontal dengan panjang bentang.

Tabel 4.14. Dimensi Perkiraan


Nisbah Tinggi Elemen Struktur Horizontal dengan Bentangan

Rata- Bentang Tipikal


Jenis Elemen Struktur Maksimum
Rata [m]
Beton Bertulang:
- Pelat Masif 28 32 3–8
- Pelat Dua Arah 30 36 7 – 12
- Pelat Wafel 20 24 10 – 14
- Rusuk (rib) 22 26 8 – 15
- Balok Anak (beam) 16 20 5 – 14
- Balok Induk (girder) 12 16 7 – 20

Jimmy S. Juwana 150


Rata- Bentang Tipikal
Jenis Elemen Struktur Maksimum
Rata [m]
- Balok Tertekuk (tidak lurus) 24 30 14 – 28
- Balok Busur:
- Tinggi Lengkungan 8 12 20 – 50
- Tinggi Balok 30 40
Baja:
- Pelat dan Balok – I 18 24 5 – 20
- Rangka Batang Bidang 14 20 14 – 35
- Balok Tertekuk (tidak lurus) 30 40 17 – 40
- Balok Busur:
- Tinggi Lengkungan 8 16 27 – 68
- Tinggi Balok 40 50
Beton Prategang:
- Pelat Masif 40 44 7 – 12
- Pelat Dua Arah 44 48 12 – 15
- Pelat Wafel 28 32 12 – 24
- Pelat Berongga (hollow
36 40 10 – 20
slab)
- Rusuk (rib) 32 36 14 – 20
- Balok Anak (beam) 24 28 10 – 28
- Balok Induk (girder) 20 24 14 – 30
Sumber: Lin & Stotesbury, 1981

Struktur yang menggunakan bahan beton bertulang harus mengacu pada


2847:2019 tentang Persyaratan Beton Struktural untuk Bangunan Gedung,
sedang untuk struktur yang menggunakan bahan baja harus mengacu pada SNI
1729:2020 tentang Spesifikasi untuk Bangunan Gedung Baja Struktural.

Elemen struktur horizontal lebih dominan memikul momen lentur dan gaya
geser, dibandingkan dengan gaya aksial, oleh sebab itu struktur yang
menggunakan bahan beton perlu diperkuat dengan tulangan baja, terutama
pada daerah serat tariknya (lihat Gambar 4.44).

Untuk balok beton bertulang, maka perkiraan luas tulangan tarik (A) dapat
diperoleh dengan menggunakan rumus (pendekatan elastis):
M maksimum
A Persamaan 4.26
7 .h.
8 a

di mana :h adalah tinggi efektif balok/pelat (lihat Gambar 4.20)


a adalah tegangan tarik ijin tulangan baja (lihat Tabel 4.15)

Jimmy S. Juwana 151


Tulangan Tekan : A'

C

h
ht z = 7/8 h

T
'
Tulangan Tarik : A

Gambar 4.44. Penampang Balok Segi Empat dengan Diagram Distribusi


Tegangan

Tabel 4.15. Mutu Tulangan Baja (Beban Tetap)

Mutu Tulangan Mutu Tulangan

S  a [kg/cm2]  au S Fy [Mpa] Fu [Mpa]


[kg/cm2]
U-22 1.250 2.200 34 210 340
U-24 1.400 2.400 37 240 370
U-32 1.950 3.200 41 250 410
U-39 2.259 3.900 50 290 500
U-50 2.750 4.800 55 410 550
U-52 2.900 5.000
U-umum 0,58 x  au

sedang untuk tulangan tekannya (A’), dapat ditentukan dengan:

𝐴′ = 𝛿. 𝐴 Persamaan 4.27.

di mana nilai antara 0,2 sampai 1,0 (tulangan simetris).

Untuk pelat satu arah, maka nilai ‘h’ adalah tebal efektif pelat, sedang lebar
adalah 100 cm (per satu meter lebar pelat).

Banyaknya tulangan yang diperlukan dapat dicari dengan menggunakan Tabel


4.16 untuk balok dan Tabel 4.17 untuk penulangan pelat.

Jimmy S. Juwana 152


Tabel 4.16. Luas Penampang Tulangan [cm2]

Berat Jumlah Tulangan Balok [cm2]


Diamete
Per m’
r [mm] 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
[kg]
6 0,222 0,28 0,57 0,85 1,13 1,41 1,70 1,98 2,26 2,54 2,83
8 0,385 0,50 1,00 1,51 2,01 2,51 3,01 3,52 4,02 4,52 5,02
10*) 0,617 0,79 1,57 2,36 3,14 3,93 4,71 5,50 6,28 7,07 7,85
12 0,888 1,13 2,26 3,39 4,52 5,65 6,78 7,91 9,04 10,17 11,30
13*) 1,042 1,33 2,65 3,98 5,31 6,63 7,96 9,29 10,61 11,94 13,27
14 1,21 1,54 3,08 4,62 6,15 7,69 9,23 10,77 12,31 13,85 15,39
16*) 1,58 2,01 4,02 6,03 8,04 10,05 12,06 14,07 16,08 18,09 20,10
19*) 2,23 2,83 5,67 8,50 11,34 14,17 17,00 19,84 22,67 25,50 28,34
22*) 2,98 3,80 7,60 11,40 15,20 19,00 22,80 26,60 30,40 34,19 37,99
25*) 3,85 4,91 9,71 14,72 19,63 24,53 29,44 34,34 39,25 44,16 49,06
28 4,83 6,15 12,31 18,46 24,62 30,77 36,93 43,08 49,24 55,39 61,54
29*) 5,18 6,60 13,20 19,81 26,41 33,01 39,61 46,21 52,81 59,42 66,02
32*) 6,31 8,04 16,08 24,12 32,15 40,19 48,23 56,27 64,31 72,35 80,38
36*) 7,99 10,17 20,35 30,52 40,69 50,87 61,04 71,22 81,39 91,56 101,74
40*) 9,86 12,56 25,12 37,68 50,24 62,80 75,36 87,92 100,48 113,04 125,60
Catatan: *) tersedia dalam bentuk tulangan ulir (deformed bar)

Tabel 4.17. Luas Tulangan [cm2] per meter lebar Pelat

Jarak Diameter Tulangan [mm]


Tulangan 5 6 8 10 12 14 16 19 20
[cm]
5,0 3,93 5,65 10,05 15,70 22,61 30,77 40,19 56,68 62,80
7,5 2,62 3,77 6,70 10,47 15,07 20,51 26,79 37,78 41,87
10,0 1,96 2,83 5,02 7,85 11,30 15,39 20,10 28,34 31,40
12,5 1,57 2,26 4,02 6,28 9,04 12,31 16,08 22,67 25,12
15,0 1,31 1,88 3,35 5,23 7,54 10,26 13,40 18,89 20,93
17,5 1,12 1,61 2,87 4,49 6,46 8,79 11,48 16,19 17,94
20,0 0,98 1,41 2,51 3,93 5,65 7,69 10,05 14,17 15,70
22,5 0,87 1,26 2,23 3,49 5,02 6,84 8,93 12,59 13,96
25,0 0,79 1,13 2,01 3,14 4,52 6,15 8,04 11,34 12,56

Untuk pelat dua arah (two way slab), maka penentuan besar Momen maksimal
(baik untuk di tengah-tengah bentangan, maupun di tumpuan) dapat
menggunakan Tabel 4.18, di mana ly sisi terpanjang pelat dan lx merupakan sisi
terpendek pelat lantai.

Jika perbandingan antara ly dengan lx lebih dari tiga, pelat dihitung sebagai pelat
satu arah (one way slab).

Jimmy S. Juwana 153


Tabel 4.18. Momen Pelat Dua Arah akibat Beban Terbagi Rata
Penyaluran beban ly
SKEMA berdasarkan 'metoda amplop' ----- 1,0 1,2 1,4 1,6 1,8 2,0 2,5 3,0
x qd lantai . l x lx
ly/3
1/2 2
m l x = 0,001 q lx x 41 54 67 79 87 97 110 117
2
m l y = 0,001 q lx x 41 35 31 28 26 25 24 23
lx

I 1/2 1/2 m tl x = ½ m lx
lx/3
m tl y = ½ m ly
1/2
ly 1/2 2
m l x = 0,001 q lx x 25 34 42 49 53 58 62 65
2
m l y = 0,001 q lx x 25 22 18 15 15 15 14 14
II 1/2 1/2 2
m t x = - 0,001 q lx x 51 43 72 78 81 82 83 83
2
m t y = - 0,001 q lx x 51 54 55 54 54 53 51 49
1/2
5/8 2
m l x = 0,001 q lx x 30 41 52 61 67 72 80 83
2
m l y = 0,001 q lx x 30 27 23 22 20 19 19 19
III 5/8 1/2 2
m t x = - 0,001 q lx x 68 84 97 106 113 117 122 124
lx/3

2
m t y = - 0,001 q lx x 68 74 77 77 77 76 73 71
1/2 m tl x = ½ m lx
ly/3
m tl y = ½ m ly
1/2
2
m l x = 0,001 q lx x 24 36 49 63 74 85 101 113
2
IV A 1/2 1/2 m l y = 0,001 q lx x 33 33 32 29 27 24 21 20
2
m t y = - 0,001 q lx x 69 85 97 105 110 112 112 112
1/2 m tl x = ½ m lx
1/2
2
m l x = 0,001 q lx x 33 40 47 52 55 58 62 65
2
1/2 1/2 m l y = 0,001 q lx x 24 20 18 17 17 17 16 16
2
IV B m t x = - 0,001 q lx x 69 76 80 82 83 83 83 83
1/2 m tl y = ½ m ly

2
1/2 m l x = 0,001 q lx x 31 45 58 71 81 91 106 115
2
m l y = 0,001 q lx x 39 37 34 30 27 25 24 23
5/8 2
m t y = - 0,001 q lx x 91 102 108 111 113 114 114 114
VA
lx/3

m tl x = ½ m lx
1/2
1/2 m tl y = ½ m ly
ly/3
1/2 2
m l x = 0,001 q lx x 39 47 57 64 70 75 81 84
lx/3

2
m l y = 0,001 q lx x 31 25 23 21 20 19 19 19
1/2 1/2 2
VB m t x = - 0,001 q lx x 91 98 107 113 118 120 124 124
m tl x = ½ m lx
5/8
m tl y = ½ m ly
1/2
2
m l x = 0,001 q lx x 25 36 47 57 64 70 79 83
2
1/2 1/2 m l y = 0,001 q lx x 28 27 23 20 18 17 16 16
VI A 2
m t x = - 0,001 q lx x 54 72 88 100 108 114 121 124
2
5/8 m t y = - 0,001 q lx x 60 69 74 76 76 76 73 71
m tl x = ½ m lx

2
m l x = 0,001 q lx x 28 37 45 50 54 58 62 65
5/8 1/2 2
m l y = 0,001 q lx x 25 21 19 18 17 17 16 16
VI B 2
m t x = - 0,001 q lx x 60 70 76 80 82 83 83 83
1/2 2
m t y = - 0,001 q lx x 54 55 55 54 53 53 51 49
m tl y = ½ m ly

= terletak bebas
= menerus pada perletakan
Sumber: Vis & Sagel, 1987.

Jimmy S. Juwana 154


Untuk balok yang menggunakan bahan baja, maka pemilihan profil baja yang
pada umumnya menggunakan profil baja berbadan lebar, profil baja WF (wide
flange) dilakukan dengan rumus:

M M maksimum
 atau W x  Persamaan 4.28.
Wx a

di mana : W x adalah momen tahanan profil baja (lihat Lampiran 2)


a adalah tegangan ijin baja (lihat Tabel 4.19)

Tabel 4.19. Mutu Baja Profil

Jenis Tegangan Leleh Baja Tegangan Putus Baja Tegangan Ijin Baja
Baja  l [kg/cm2] Fy [Mpa]  p [kg/cm2] Fu [Mpa]  a [kg/cm2] Fa [Mpa]
Bj 33 2.000 200 3.300 330 1.333 133,3
Bj 34 2.100 210 3.400 340 1.400 140,0
Bj 37 2.400 240 3.700 370 1.600 160,0
Bj 41 2.500 250 4.100 410 1.666 166,6
Bj 44 2.800 280 4.400 440 1.867 186,7
Bj 50 2.900 290 5.000 500 1.933 193,3
Bj 52 3.600 360 5.200 520 2.400 240,0

Bj umum
l
1,5

b. Sub-Sistem Struktur Vertikal

Elemen struktur vertikal (seperti kolom) lebih dominan memikul gaya aksial dan
oleh karenanya dibedakan antara struktur yang menggunakan bahan beton
dengan yang menggunakan bahan baja.

Perkiraan dimensi struktur yang menggunakan bahan beton (beton bertulang),


dapat digunakan dua pendekatan:

1) Seluruh gaya aksial dipikul oleh beton

Dimensi kolom atau dinding geser dihitung dengan menggunakan rumus


(Hukum Hooke):

P
 Persamaan 4.29.
F

Jimmy S. Juwana 155


sehingga untuk dimensi kolom:
Pkolom
Akolom  Persamaan 4.30
b
di mana : b 
adalah tegangan tekan ijin beton yang nilainya 0,33  bk
 dapat dilihat pada Tabel 4.20)
(  bk

Selanjutnya, untuk menghitung ketebalan dinding geser, Persamaan 4.30.


menjadi:

Pdinding. geser
t dg  Persamaan 4.31.
l. b
di mana : t dg adalah tebal dinding geser
l adalah panjang dinding geser

2) Gaya aksial dipikul oleh beton dan tulangan baja


Perkiraan dimensi dilakukan dengan menggunakan rumus empiris (new
engineering formula):

 u  c0,85 . bk
 1      . au  
Pkolom
Persamaan 4.32.
Akolom
di mana : u adalah tegangan batas rata-rata
 bk adalah tegangan tekan hancur karakteristik (Tabel 4.20)
 au adalah tegangan batas tulangan baja (lihat Tabel 4.15)
 adalah prosentase tulangan baja (  = 10% untuk kolom
komposit)
c adalah faktor reduksi untuk tekuk
c = 0,65 untuk penampang persegi empat/bujur sangkar
c = 0,70 untuk penampang lingkaran

Tabel 4.20. Daftar Mutu Beton

fc’ [Mpa]
K atau  bk [kg/cm2] K atau  bk fc’ [Mpa]
(silnder 15 x 20) silinder Kubus*)
[kg/cm2]
5,0 60,24 100 8,30 10,0
10,0 120,48 125 10,36 12,5
12,0 144,58 150 12,45 15,0
15,0 180,72 175 14,53 17,5

Jimmy S. Juwana 156


fc’ [Mpa]
K atau  bk [kg/cm2] K atau  bk fc’ [Mpa]
(silnder 15 x 20) silinder Kubus*)
[kg/cm2]
16,0 192,77 200 16,60 20,0
20,0 240,96 225 18,68 22,5
22,5 271,08 250 20,75 25,0
25,0 301,20 275 22,83 27,5
30,0 361,45 300 25,90 30,0
35,0 421,69 325 26,98 32,5
40,0 481,93 350 29,05 35,0
Catatan: Nilai fc’ diambil dari hasil uji tekan beton dengan menggunakan benda uji
Silinder ukuran diameter 15 cm dan tinggi 30 cm.
*) Benda uji kubus berukuran 15 cm x 15 cm x 15 cm.

Korelasi perbandingan mutu beton dengan benda uji yang berbeda dapat dilihat
pada Tabel 4.21.

Tabel 4.21. Korelasi Kekuatan Tekan Beton

Benda Uji Perbandingan Kekuatan Beton


Kubus 15 cm x 15 cm x 15 cm 1,00
Kubus 20 cm x 20 cm x 20 cm 0,95
Silinder dia. 15 cm, tinggi 30 cm 0,83

Mutu beton yang boleh digunakan untuk struktur bangunan tinggi tidak boleh
lebih kecil dari fc’ = 21 Mpa (dulu setara dengan mutu beton K-250).

Dalam hal elemen struktur menggunakan bahan baja, maka tegangan ijin baja
perlu diperhitungkan dengan kemungkinan bahaya tekuk:

P
 Persamaan 4.33.
F
di mana : 
adalah faktor tekuk (lihat Tabel 4.15)
F adalah luas penampang profil baja
Faktor tekuk (tergantung dari angka kelangsingan (dan jenis baja.

Angka kelangsingan diperoleh dari rumus;

lk
 Persamaan 4.34.
iy
di mana : lk adalah panjang tekuk, yang ditentukan mengikuti jenis
perletakannya, seperti pada Gambar 4.45.

Jimmy S. Juwana 157


Setelah nilai  diperoleh, maka faktor tekuk ( dapat dicari dengan
menggunakan tabel di Lampiran 3.

P P P P

Sendi Sendi Jepit Bebas

Sendi Jepit Jepit Jepit

P P P P

kl l kl  0,7.l l k  0,5.l l k  2.l


Sumber: Ballast, 1990 dimodifikasi

Gambar 4.45. Panjang Tekuk

Distribusi beban lantai ke kolom dihitung berdasarkan:

Pkolom  n. Abeban.q Persamaan 4.24.a.

Pd  geser  n. Abeban.q Persamaan 4.34.b.

di mana : n adalah jumlah lantai yang ditinjau


q adalah beban lantai (kombinasi D + L)
Abeban adalah luas lantai yang dipikul oleh kolom/dinding geser
(tributary area)

Untuk struktur portal dan dinding geser (Gambar 4.46), maka:

Untuk Kolom Tengah:


Abeban = a x b Persamaan 4.35.a.

Untuk Kolom Pinggir:

Jimmy S. Juwana 158


Abeban = ½ a x b atau a x ½ b Persamaan 4.35.b.

Untuk Kolom Ujung:


Abeban = ½ a x ½ b Persamaan 4.35.c.

Untuk Dinding Geser:

Abeban = 1½ a x ½ b Persamaan 4.35.d.

Kolom Tengah Kolom Pinggir


Dinding Geser

0,5 a

a
1,5 a
0,5 a 0,5 b 0,5 b 0,5 a

0,5 a 0,5 a

0,5 a 0,5 b 0,5 b 0,5 b

0,5 b

b b b b b b
Kolom Ujung

Gambar 4.46. Luas Lantai (Tributary Area) yang Dipikul Kolom

Untuk struktur tabung (Gambar 4.47), maka:

k
A
keliling inti

INTI
BANGUNAN Kolom
b < h Pinggir

0,5 k

0,5 k

0,5 k 0,5 k k

Gambar 4.47. Luas Lantai yang Dipikul Kolom Pinggir

Jimmy S. Juwana 159


Untuk Kolom Luar:
Abeban = Alantai tipkal – (Akeliling inti + Ainti) Persamaan 4.36.a.
Untuk Inti :
Abeban = Akeliling inti + Ainti Persamaan 4.36.b.

Beban yang diterima oleh elemen struktur vertikal (kolom dan dinding geser)
merupakan akumulasi dari beban-beban lantai di atasnya; jadi makin ke bawah
gaya yang dipikul oleh kolom makin besar. Oleh sebab itu dimensi penampang
kolom makin ke bawah makin besar.

Dalam hal diinginkan dimensi penampang kolom/dinding geser bagian bawah


memiliki dimensi yang sama dengan yang ada di atasnya, dapat dilakukan
beberapa upaya, di antaranya:

1) Jika menggunakan bahan beton (beton bertulang):

a) mutu beton yang digunakan kolom/dinding geser pada bagian bawah


bangunan lebih tinggi dibandingkan dengan yang digunakan pada
kolom/dinding geser bangunan bagian atas;

b) prosentase tulangan pada kolom/dinding geser pada bagian bawah


bangunan lebih besar dibandingkan yang ada pada kolom/dinding geser
bangunan bagian atas; dan/atau

c) mutu tulangan baja yang digunakan kolom/dinding geser pada bagian


bawah bangunan lebih tinggi dibandingkan dengan yang digunakan
pada kolom/dinding geser bangunan bagian atas.

2) Jika menggunakan bahan baja profil:

a) mutu baja yang digunakan kolom pada bagian bawah bangunan lebih
tinggi dibandingkan dengan yang digunakan pada kolom bangunan
bagian atas; dan/atau

b) ketebalan profil kolom baja, termasuk untuk kolom dari pipa atau tabung
segi empat (square tube) pada bagian bawah bangunan lebih tebal
dibandingkan dengan yang digunakan kolom bangunan bagian atas.

Pada struktur bangunan bertingkat harus berpatokan pada kolom harus lebih
kuat dari balok (strong column weak beam) agar jika terjadi goncangan akibat
beban gempa, kolom harus mampu bertahan, walaupun ada bagian lantai atau
balok yang mengalami kerusakan.

Jimmy S. Juwana 160


c. Fondasi

Pada bangunan tinggi umumnya menggunakan fondasi dalam (fondasi tak


langsung), baik berupa tiang pancang maupun tiang bor. Di samping itu, kerap
kali digunakan fondasi rakit/basemen yang kadang kala diperkuat dengan
fondasi tiang.

Dalam perencanaan fondasi tiang, perlu dilakukan penyelidikan tanah,


khususnya percobaan sondir untuk memperoleh nilai konus (qc) dan Jumlah
Hambatan Pelekat (JHP = ). Nilai qc dan  ini diperlukan untuk menghitung
kapasitas daya pikul satu tiang. Selain itu, sering juga dilakukan pengujian
dengan metode Soil Penetration Test (SPT) dan pengambilan sampel tanah
dengan bor dalam (deep boring) dengan minimum kedalaman 30 m.

Contoh jenis tanah yang diperoleh digunakan untuk analisis penurunan fondasi
akibat beban bangunan (building settlement) dan/atau risiko lainnya seperti
longsor, dan likuifaksi.

Dewasa ini, banyak dikenal berbagai jenis fondasi tiang, di antaranya: Frankie
Pile, Baja Profil ‘H’, Pipa Baja. Namun yang paling sering digunakan adalah
tiang pancang beton bertulang berpenampang bujur sangkar atau pipa beton
pra tegang atau fondasi bor (dengan atau tanpa selubung casing).

Perencanaan fondasi untuk bangunan tinggi harus dilakukan oleh ahli geoteknik
yang kompeten dengan mengacu pada hasil penyelidikan tanah. Perencanaan
fondasi perlu dilakukan terkait jenis tanah, lokasi tanah keras, daya dukung
tanah, muka air tanah dan hal-hal lain, terutama di daerah zona gempa yang
berpotensi terjadinya likuifaksi atau jika tanah merupakan tanah ekspansif.

Pada fondasi tiang, dikenal dua jenis fondasi tiang:

1) Fondasi yang bertumpu pada lapisan keras (point bearing pile)

Pada kondisi ini, dianggap tiang bertumpu pada lapisan keras dengan nilai
qc > 200 kg/cm2 (19,6 Mpa).

2) Fondasi yang mengandalkan lekatan tanah (friction pile)


Mengingat lapisan tanah keras berada jauh di dalam tanah, maka daya pikul
tiang pancang dihitung berdasarkan rumus:

A.q c O. .L
Ptiang   Persamaan
3 6
4.37.

Jimmy S. Juwana 161


di mana : A adalah luas penampang tiang
qc adalah tegangan konus tanah keras (qc= 200 kg/cm2 = 19,6
Mpa)
adalah keliling penampang tiang
adalah Jumlah Hambatan Pelekat (=0,2 kg/cm2 = 0,196
Mpa)
L adalah panjang tiang pancang yang tertanam dalam tanah

Gambar 4.48. Fondasi Tiang dan Poer

Di atas fondasi tiang (Gambar 4.48), terutama jika menggunakan kelompok


tiang, diberi pelat pengikat yang diberi nama poer (pile cap). Ketebalan poer ini
diperhitungkan dengan memperhatikan tegangan pons:

1  P 
 pons    bk 1  kolom  Persamaan 4.38.
6  14 Akolom 

Selanjutnya ketebalan poer dapat diperoleh dengan rumus (lihat Gambar 4.23):

Jimmy S. Juwana 162


P kolom
 pons  (kolom persegi empat) Persamaan
a  b  2t 2t
4.39.
Pkolom
 pons  (kolom lingkaran) Persamaan 4.40.
2r  t  .t
di mana :r adalah jari-jari penampang kolom

Bangunan tinggi yang menggunakan fondasi rakit berupa basemen, daya


dukung fondasinya dihitung berdasarkan:

Prakit  WG  Wfondasi  Wtan ah   tan ah.Afondasi Persamaan 4.41.

di mana : WG adalah berat bangunan


W fondasi adalah berat fondasi rakit
W tanah adalah berat tanah yang dipindahkan
= Afondasi x f x tanah (lihat Gambar 4.49)
(berat jenis tanah :  tan ah = 1.700 kg/cm3)
 tan ah adalah daya dukung tanah keras di bawah fondasi
(daya dukung tanah keras :  tan ah > = 0,294 Mpa
Atau 3 kg/cm2)
Afondasi adalah luas telapak fondasi rakit
= L x B (lihat Gambar 4.49)

Gambar 4.49. Skematik Basemen

Jimmy S. Juwana 163


Jika fondasi bangunan merupakan gabungan antara fondasi rakit dan fondasi
tiang (Gambar 4.50), maka jumlah tiang pancang yang diperlukan adalah:

WG  Prakit
n Persamaan 4.42.
Ptiang

di mana : W G adalah beban bangunan


Prakit adalah daya pikul fondasi rakit (Persamaan 4.41)
Ptiang adalah daya pikul satu fondasi tiang (Persamaan 4.37)

W
G

Prakit

P
tiang

Gambar 4.50. Fondasi Rakit dan Tiang

4.4. Analisis Struktur

Tahapan yang dilakukan untuk análisis struktur bagian atas, khususnya untuk
perencanaan bangunan tahan gempa:

a. Tentukan kategori risiko bangunan gedung, (I-IV);


b. tentukan faktor keutamaan;
c. tentukan parameter percepatan tanah (SS, S1);
d. tentukan klasifikasi situs (SA-SF);
e. tentukan faktor Koefisien Situs (Fa, Fv);
f. hitung parameter percepatan desain (SDS, SD1);
g. tentukan Kategori Desain Seismik, KDS (A-F);
h. pilih sistem dan parameter struktur (R, Cd, Ωo);
i. evaluasi sistem struktur terkait dengan ketidakberaturan konfigurasi;
j. tentukan fleksibilitas diafragma (fleksibel, semi-kaku, kaku);
k. tentukan faktor redundansi (ρ);
l. tentukan prosedur analisis gaya lateral;

Jimmy S. Juwana 164


m. hitung beban lateral;
n. tambahkan beban ortogonal, bila dipersyaratkan;
o. tambahkan beban torsi, bila dipersyaratkan;
p. lakukan analisis;
q. kombinasikan hasilnya; dan
r. cek kekuatan, defleksi, dan stabilitas.

Selanjutnya, untuk perencanaan komponen struktur khusus:

a. struktur rangka: desain kapasitas: strong column weak beam, kapasitas join;
b. struktur dinding pemikul: desain kapasitas, boundary element;
c. struktur bracing eksentris dan konsentris khusus;
d. struktur pracetak: stress control; dan
e. struktur prategang: stress control, dan loss of prestress.

Untuk análisis struktur bagian bawah, perlu memperhatikan hasil penyelidikan


tanah dengan secara khusus mempertimbangkan:

a. kondisi muka air tanah;


b. kondisi tanah ekspansi;
c. kondisi kemungkinan terjadinya likuifaksi;
d. penurunan fondasi (settlement); dan
e. kelongsoran (khususnya di daerah lereng).

Soal-Soal Latihan

1. Jelaskan berbagai sistem struktur yang lazim digunakan pada bangunan


tinggi.

2. Bagian struktur manakah yang memikul beban gravitasi dan yang mana
memikul beban lateral.

3. Suatu bangunan perkantoran di Jakarta bertingkat 45 lantai dengan luas


tipikal sekitar 1.700 m2, dengan menggunakan struktur portal dan
dinding geser. Hitung jumlah tinggi lantai yang dapat dibangun dengan
menggunakan pendekatan stabilitas gempa (kinerja life safety dan
gempa 200 tahunan).

4. Jika bangunan pada soal 3 dibangun di atas lahan seluas 3 ha dengan


KDB = 40% dan KLB = 4, berapakah maksimal jumlah lantai yang
diijinkan dibangun, dengan mempertimbangkan stabilitas terhadap
beban gempa.

Jimmy S. Juwana 165


5. Apa konsekuensi penggunaan mutu bahan yang sama untuk seluruh
bangunan pada dimensi komponen vertikalnya (kolom dan dinding
geser).

6. Jika diinginkan dimensi komponen vertikal sama dari bawah hingga


lantai teratas, apa yang perlu dilakukan oleh perancang bangunan tinggi.

7. Jika pada soal 3 digunakan struktur dengan bahan beton bertulang


dengan mutu beton fc’ 25 Mpa dan mutu tulangan Fu’ 41 Mpa, maka
hitung dimensi kolom dan dinding geser bangunan tersebut dengan
menggunakan formulasi pendekatan (tributary area dan new
engineering formula). Buat sketsa sistem strukturnya.

8. Jika pada soal 3, digunakan struktur bahan komposit dengan mutu beton
fc’ 25 Mpa dan mutu profil baja Bj.52 (Bj 50), maka hitung dimensi kolom
bangunan tersebut. Buat sketsa sistem strukturnya.
9. Hitung fondasi yang diperlukan oleh bangunan tinggi pada soal 3, jika
menggunakan tiang pancang 40 x 40 cm2, dengan kedalaman tanah
keras di 18 meter (qc > 200 kg/cm2).

10. Hitung volume dan kepadatan struktur bangunan pada soal 3 tersebut.

Daftar Kepustakaan dan Rujukan

… (2021); Peraturan Pemerintah nomor 16 tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan


Undang-Undang nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, Jakarta.

,,, (2020); SNI 1727:2020 tentang Beban Minumum untuk Perancangan Bangunan
Gedung dan Struktur Lain, Badan Standardisasi Nasional, Jakarta.

… (2019); SNI 1726:2019 tentang Standar Perencanaan Ketahanan Gempa untuk


Bangunan Gedung, Badan Standardisasi Nasional, Jakarta.

… (2019); SNI 2827:2019 tentang Persyaratan Beton Struktural untuk Bangunan


Gedung, Badan Standardisasi Nasional, Jakarta.

… (2020); SNI 1729:2020 tentng Spesifikasi untuk Bangunan Gedung Baja Struktural,
Badan Standardisasi Nasional, Jakarta.

… (2022); https://dimension.com/element/

Arnold C. & Reitherman R, (1982); Building Configuration Seismic Design, John Wiley
& Sons, Inc., New York.

Ballast D.K., (1990); Architecture Exam Review – Ballast’s Guide to the A.R.E. – Volume
I; Structural Topics 3rd Edition, Professional Publication, Inc., Belmont.

Jimmy S. Juwana 166


Engel H (1981); Structure Systems, Van Nostrand Reinhold Company, New York.

Har F., et al (1982); Multi-storey Buildings in Steel 2nd Edition, Collins Professional &
Technical Books, London.

Juwana J.S. (2005); Panduan Sistem Bangunan Tinggi untuk Arsitek dan Praktisi
Bangunan, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Juwana J. S. (2006); “Pendekatan ‘Immediate Occupancy’ pada Perancangan


Bangunan Tahan Gempa, Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam.

Lin T. Y, & Stotesbury S.D. (1981); Structural Concepts and System for Ardchitects and
Engineers, John Wiley & sons, Inc., New York.

Nurjaman H. N. (2021); “Pemenuhan Standar Teknis Bangunan Gedung Bidang


Struktur Atas”, Solo.

Oentoeng (1999). Konstruksi Baja, Penerbit Andi, Yogyakarta.


Parker H. & Anbrose J. (1993); Simplified Engineering for Architects and Builders 8th
Edition, John Wiley & Sons, Inc., New Yirk.

Poerbo H (2001); Struktur dan Konstruksi Bangunan Tinggi – Jilid III: Detail Struktur dan
Konstruksi, Penerbit Djambatan, Jakarta.

Rahardjo P, P. (2021); “Pemenuhan Standar Teknis Bangunan Gedung Bidang Struktur


Bawah dan Best Practice”, Solo.

Sarkisan M. (2016); Designing Tall Buildings – Structure as Architecture 2nd Edition,


Routledge, New York.

Schueller W. (1977); High-Rise Building Structure, John Wiley & Soms, New York.

Schueller W. (1996); The 167ndustry167 Building Structures, Prentice Hall, Upper Sadle
River.

Vis W, C, & Sagel R. (1987); Perhitungan Perencanaan Sederhana untuk Beton


Bertulang, Stuvo, Belanda.

Jimmy S. Juwana 167


BAB V
SISTEM TRANSPORTASI VERTIKAL

“…The elevator can take you up to greater


height ONLY IF you take positive action by
pressing the button. Greatness in life is all
about the right choices you make …”

Olawale Daniel

Bangunan tinggi memerlukan sistem transportasi vertikal untuk dapat


menghubungkan lantai dasar ke lantai-lantai di atasnya, baik untuk pergerakan
(mobilisasi) orang dan barang, maupun untuk keperluan evakuasi dalam
keadaan darurat.

Pada abad 19, tambang dan katrol digunakan untuk mengangkut orang dan
barang pada bangunan bertingkat. Peralatan ini digerakkan oleh tenaga air atau
uap yang selanjutnya berkembang dengan ditemukannya motor listrik. Pada
tahun 1852 Otis mendemonstrasikan lif untuk pertama kali dengan
memperhatikan aspek-aspek keselamatan manusia dan gedung pencakar
langit yang pertama menggunakan lif dengan mesin traksi yang diletakkan di
puncak bangunan adalah gedung Woolworth yang dibangun di New York tahun
1914.

5.1. Jenis-Jenis Lif

Ada dua jenis lif yang umum digunakan pada bangunan gedung, yaitu jenis
dengan motor penggerak (traction lift) dan jenis dengan dongkrak hidrolik
(hydraulic lift).

Untuk lif dengan motor penggerak, perletakan mesin dapat berada di atas ruang
luncur (di griya tawang/penthouse) atau di basemen (di samping ruang luncur).
Namun saat ini lif traksi ada yang tidak membutuhkan ruang mesin khusus
(roomless lift).

Untuk lif hidrolik ketinggian layanan lif terbatas, umumnya maksimum 6 – 7


lantai.

Kedua jenis ini dapat terlihat pada Gambar 5.1. dan Gambar 5.2.

Jimmy S. Juwana 168


Sumber: Strakosch & Caporale, 2010

Gambar 5.1. Lif Hidrolik

Kecepatan lif hidrolik antara 0,30 sampai 0,90 m/detik dan mempunyai
kapasitas angkut maksimum 10 ton (dengan tuas tunggal) dan dapat
mengangkut sampai dengan beban 50 ton (dengan tuas ganda). Tuas silinder
hidrolik dapat diletakkan di atas tanah atau masuk ke dalam tanah.

Lif hidrolik ini mempunyai karakteristik:

a. tidak mengakibatkan tambahan beban di puncak bangunan;


b. hanya digunakan untuk kecepatan yang relatif rendah;
c. hanya digunakan untuk melayani lantai yang jumlahnya sedikit;
d. ada kemungkinan bau minyak merebak ke dalam kereta lif;
e. sangat baik untuk mengangkut beban berat;
f. alas lantai kereta dapat berada pada elevasi bangunan secara tepat;
g. tidak membutuhkan beban pengimbang (counterweight); dan

Jimmy S. Juwana 169


h. menimbulkan suara yang lebih berisik dibandingkan dengan lif yang
digerakkan oleh motor traksi.

Sumber: Strakosch & Caporale, 2010

Gambar 5.2. Lif dengan Motor Traksi

Kecepatan lif dengan penggerak motor di atas antara 2,5 m/detik sampai 9
m/detik. Lantai kereta lif mempunyai perbedaan sekitar 6 mm dengan
permukaan lantai bangunan. Pergerakan lif sangat halus dan sangat efisien
dalam penggunaan energi listrik, namun harganya termasuk yang termahal
dibandingkan sistem lif lainnya.

Pada lif dengan motor di bawah hanya dapat digunakan untuk melayani paling
banyak delapan lantai dan biayanya sekitar 50% lebih mahal dibandingkan
dengan yang bermesin di atas. Di samping itu, kecepatannya juga terbatas
(sekitar 1 m/detik).

Sekarang sudah ada lif dengan penggerak motor traksi yang tidak
membutuhkan ruang mesin (roomless lift) seperti pada Gambar 5.3.

Jimmy S. Juwana 170


Gambar 5.3. Roomless Lift

Banyak bangunan tinggi, terutama yang memiliki atrium (void) di dalam


bangunannya, atau ada pemandangan indah di sekitar bangunan, dilengkapi
dengan lif kapsul (capsule lift) atau lif panoramik (panoramic lift) agar orang
dalam lif dapat melihat keluar dari dalam kereta (Gambar 5.4).

Gambar 5.4. Lif Kapsul/Panoramik

Jimmy S. Juwana 171


Pada bangunan super tinggi di mana terdapat lebih dari satu sky lobby
diperlukan kereta lif tingkat (double decker lift) untuk dapat mengangkut orang
lebih banyak dalam waktu yang bersamaan, sekaligus untuk mengurangi luasan
inti (core area) di lobi lantai dasar (Gambar 5.5).

Gambar 5.5. Double Decker Lift

GambaTr. 5.6. Ultra High Speed Lift

Jimmy S. Juwana 172


Di samping double decker lift, diperlukan juga lif dengan kecepatan sangat tinggi
(ultra high speed lift) yang berfungsi untuk melayani penumpang dari lobi utama
di lantai dasar ke sky lobby (lif ekspress) dan/atau ke lantai observasi (Gambar
5.6). Lif ini berkapasitas 24 orang (1.600 kg) dan mampu naik dengan kecepatan
hampir 17 m/detik dan turun dengan kecepatan 10 m/detik, karenanya
diperlukan alat pengaman (safety device) berupa rem yang mampu bekerja
dengan baik. Bentuk kereta lifnya berupa kapsul aerodinamik agar
meminimalkan guncangan akibat gesekan dengan udara antara kereta lif dan
ruang luncur, dengan pintu yang kedap suara dan kedap udara. Kereta lif juga
dilengkapi dengan sistem pengendali atmosphere agar dapat beradaptasi
dengan kondisi cuaca di luar bangunan dan active mass damper untuk
meredam getaran akibat beban gempa atau angin.

Pada bangunan tinggi, evakuasi pada saat terjadi kondisi darurat, khususnya
pada saat terjadi kebakaran, melalui tangga darurat, namun pada bangunan
super tinggi, evakuasi melalui tangga akan memerlukan waktu yang cukup
lama. Untuk itu perlu disiapkan khusus lif kebakaran, yang digunakan untuk
mitigasi bencana (Gambar 5.7).

Gambar 5.7. Lif Kebakaran

Jimmy S. Juwana 173


Saat ini di beberapa negara mensyaratkan penggunaan lif kembar (twin lift)
yang manakala terjadi kondisi darurat dapat berfungsi sebagai jalur evakuasi
antara lif yang satu dengan lif lainnya. Lif dirancang untuk memiliki banyak
bukaan dan dapat berpindah dari ruang luncur yang satu ke ruang luncur di
sebelahnya (Gambar 5.8).

Sumber: https://www.urban-hub.com/technology/new-era-of-elevator-to-revolutionize-high-rise-and-mid-rise-
construction/

Gambar 5.8. Lif Kembar

5.2. Tata Letak Lif

Ruang luncur lif ditentukan dari jumlah dan konfigurasi tata letak lif dengan
jumlah maksimal empat buah dalam satu deretan. Hal ini dimaksudkan agar
orang yang ingin menggunakan lif masih dapat melihat dengan jelas ke arah
pintu dari empat lif yang ada di hadapannya.

Tata letak lif dapat dikelompokkan pada satu sisi atau berhadap-hadapan. Jika
letak lif berhadapan, lebar lobi lif akan lebih lebar dibandingkan dengan lif yang
ditempatkan pada satu sisi saja.

Diagram pada Gambar 5.9. menunjukkan tata letak sekelompok lif yang baik
dan alternatif lain yang masih dapat dilakukan. Perlu diingat bahwa semua
hambatan yang dapat mengganggu arus lalu lintas perlu dihilangkan. Tata letak
lain yang juga sering dijumpai adalah bentuk Cul-de-Sac dan melingkar
(Gambar 5.10).

Di sini terlihat bahwa lobi lif pada penataan dengan bentuk Cul-de-Sac
berdampak pada luasan lobi lif yang ada. Hal ini dimaksudkan agar pergerakan
orang yang masuk dan keluar lif tidak berdesak-desakan.

Jimmy S. Juwana 174


BAIK ALTERNATIF LAIN

LOBI
LOBI

LOBI
LOBI

LOBI
LOBI

LOBI LOBI

Sumber: Parlour, 1994

Gambar 5.9. Tata Letak Konfigurasi Lif

LOBI
LOBI
Sumber: Parlour, 1994

Gambar 5.10. Tata Letak Lif Cul de-Sac dan Melingkar

Jimmy S. Juwana 175


Untuk bangunan yang tingginya lebih dari 25 lantai, dianjurkan untuk membagi
layanan lif dengan mengelompokkan lantai yang dilayani, ‘konsep zona’, di
mana tiap zona dilayani oleh sejumlah lif tertentu.

Jumlah zona yang diijinkan maksimum tiga zona, dan di antara setiap zona ada
lantai antara (transfer level), yang digunakan untuk penempatan perlengkapan
MEP, bengkel (workshop), gudang, kantor pengelola dan tempat berkumpul
sementara (refuge floor).

Dalam hal pembagian zona melebihi tiga zona, dapat digunakan ‘pintu masuk’
(entrance) terpisah yang disebut sky lobby. Sky lobby ini digunakan untuk
tempat transfer dari kumpulan zona yang lebih rendah kumpulan ke zona di
atasnya. Di samping itu, areal sky lobby ini dapat digunakan untuk tempat
penampungan sementara (refuge floor) pada kondisi darurat (kompartemen
kebakaran) dan kebutuhan aktivitas lainnya, seperti ruang mekanikal elektrikal
– ME (mesin pengkondisian udara dan pompa air), bak penampungan air
(reservoir), restoran, lobi (lobby) hotel (jika bangunan tinggi berfungsi ganda),
ruang pengelola, ruang rapat/konperensi, kolam renang, dan lain-lain.

Mengingat sky lobby memuat peralatan ME, maka secara struktural lantainya
sangat kaku dan kokoh (outriggers), sehingga menambah ketahanan bangunan
terhadap gaya-gaya lateral yang diakibatkan oleh angin atau gempa bumi.

Pada bangunan yang tinggi dan luas, jumlah lif yang diperlukan meningkat
sebanding dengan jumlah lantai yang dilayani. Dengan demikian, jika mencapai
suatu ketinggian tertentu, maka areal luas yang digunakan untuk menempatkan
lif menjadi meningkat dan melebihi ketentuan ekonomis (di atas 20% luas
lantai). Jadi, pada umumnya sebuah lif hanya melayani sekitar 8 – 15 lantai,
agar tidak melampaui batas tunggu dan jumlah waktu perjalanan yang
disyaratkan.

Bangunan tinggi yang yang memiliki jumlah lantai yang lebih dari 40, maka
dapat dilakukan pendekatan sebagai berikut:

a. Sejumlah lantai dibagi atas beberapa zona: group I melayani sejumlah lantai
zona bawah, group II melayani sejumlah lantai zona tengah, dan group III
melayani sejumlah lantai zona atas. Dengan pembagian zona tersebut
beban lif menjadi berkurang. Namun pembagian zona tidak memberi
dampak pada pengurangan luas inti, sebab ruang mesin lif tetap berada di
lantai yang sama, yang letaknya di atas group III (di griya tawang/penthouse
atau ruang observasi).

b. Untuk mengurangi luas inti, khususnya pada lantai-lantai bagian atas,


gedung dibagi atas lantai antara (transfer level) dan sky lobby yang

Jimmy S. Juwana 176


ditempatkan pada lantai-lantai tertentu. Selanjutnya, lif dengan kapasitas
besar dan berkecepatan tinggi melayani penumpang dari lobby utama di
lantai dasar ke sky lobby, atau dari sky lobby yang satu ke sky lobby
berikutnya. Dari sky lobby orang dapat pindah dengan menggunakan
eskalator ke sejumlah lif yang melayani zona di atasnya (Gambar 5.11).

c. Konsep ini memungkinkan dikuranginya ruang yang digunakan untuk lubang


lif, sebab alur perjalanan lif tidak perlu setinggi bangunan. Penggunaan
transfer level dan/atau sky lobby ini memungkinkan bangunan berfungsi
ganda: Apartemen atau hotel di bagian atas, perkantoran di bagian tengah,
dan fasilitas perbelanjaan serta parkir di bagian bawah.

d. Untuk mempermudah perhitungan waktu tunggu lif, setiap zona hanya


melayani zonanya masing-masing, dengan semua pintu masuk lif berada di
lantai dasar. Bagi penyewa yang menggunakan beberapa lantai sekaligus,
untuk memberi kemudahan bergerak antar lantai pada areal ruang yang
ditempatinya, dapat diberikan fasilitas tambahan untuk menghubungkan
beberapa lantai tersebut (interlevel connection). Dengan demikian tidak
perlu menggunakan lif umum yang berada di inti bangunan (core).

e. Untuk keperluan persiapan fasilitas interlevel connection, beberapa bagian


pelat lantai digunakan pelat beton pracetak, sehingga jika diperlukan dapat
dibuka untuk penempatan tangga, eskalator atau lif yang dapat
menghubungkan beberapa lantai tertentu (Gambar 5.12).

f. Pada bangunan tinggi yang memiliki griya tawang (penthouse) atau lantai
observasi/restoran di puncak bangunan, disediakan lif khusus (lif observasi)
yang hanya melayani lantai dasar dan lantai penthouse atau lantai
observasi/restoran.

g. Hanya lif barang yang melayani seluruh lantai, dan untuk tidak mengganggu
pengguna gedung, lif barang dibuka pada areal basemen untuk
mempermudah angkut dan muat barang.

Jimmy S. Juwana 177


a.

M&E
M&E

Lif Observasi

Lif Lokal
Zona 3 - atas
tangga/eskalator
daerah
Transfer Level M&E core tangga/eskalator

tangga/eskalator

Leasing space
Lif Lokal korid or
Zona 2 - atas

Ruang
Mekanikal Interlevel Connection
Transfer Level M&E
Lif Barang

Lif Lokal ZONA 2


ATAS
Zona 1 - atas Pit
Ruang Lift Ruang
Mekanikal
M&E 1-2 h Mekanikal /
Transfer
Sky Lobby
h Eskalator

ZONA 1
Lif Lokal ATAS
Sky Lobby
Zona 3 - bawah
Ruang ‘SKY LOBBY’
Mekanikal ‘SKY
LOBBY’
M&E M&E
Transfer Level Lif Ekspres
Ruang
Mekanikal / Ruang
Transfer Mekanikal

Lif Lokal Lif Lokal


Zona 2 - bawah Zona 2/atas

ZONA 2 ZONA 2
BAWAH
Transfer Ruang
Transfer Level
Ruang Transfer
LevelLevel
Mekanikal
M&E
Lif Barang
Mekanikal

Lif Lokal Lif Lokal


Zona 1 - bawah Zona 1/bawah
ZONA 1
ZONA 1
BAWAH
Lobby Utama Lobby Utama
LOBI
pit lift LIFT pit lift
LOBI
Basemen EKSPRES
Pit Lift Basemen
‘Pit’ Lif ‘Pit’ Lif
TANPA 'SKY LOBBY'
Sumber: Juwana, 2005 dimodifikasi.

Gambar 5.11. Zona Lif, Transfer Level, Sky Lobby dan


Interlevel Connection

Jimmy S. Juwana 178


Gambar 5.12. Lokasi Tempat Interlevel Connection

h. Arah pintu masuk dan keluar pintu barang tidak pada koridor yang sama
dengan arah pintu masuk dan keluar lif penumpang, agar arus lalu lintas
orang tidak sama dengan arus barang. Dalam hal tidak dimungkinkan
membedakan koridor untuk lif orang dan lif barang, pada lif barang perlu
disediakan ruang antara di muka lif (anti/ante room) tempat barang-barang
untuk sementara diletakkan sebelum dipindahkan ke tempat yang dituju.

i. Lif dari basemen ke lantai dasar dapat diletakkan di luar inti bangunan
(core), pada umumnya menjadi bagian dari areal podium bangunan.

Sumber: Strakosch & Caporale, 2010 dimodifikasi

Gambar 5.13. Lokasi Operasi Lif Double Decker

Jimmy S. Juwana 179


j. Jika penggunaan sky lobby belum juga dapat memenuhi ketentuan luas inti
yang disyaratkan, maka dapat digunakan double decker lift. Untuk itu pada
lobi utama di lantai dasar (ground floor) dan di semi basemen (lower ground)
atau di lantai satu/lantai mezzanine (upper ground) memiliki akses untuk
masuk ke double decker lift tersebut. (Gambar 5.13).

5.3. Perancangan Lif

Rancangan, instalasi dan pemeliharaan dari berbagai jenis peralatan lif sangat
tergantung dari peraturan dan ketentuan daerah setempat. Di Indonesia
rekomendasi penggunaan lif diberikan oleh Kementerian Ketenagakerjaan,
karena menyangkut kesehatan dan keselamatan kerja (K3) orang yang ada
pada bangunan tersebut.

Ketentuan rancangan juga menyangkut pada dimensi ruang mesin, akses yang
diperlukan, pencahayaan dan ventilasi. Persyaratan dan peraturan mungkin
berbeda antar daerah yang satu dengan yang lainnya, tetapi pada dasarnya
menganjurkan untuk disediakannya suatu sistem peralatan baik yang manual
maupun yang otomatis, sehingga dapat secara aman dioperasikan untuk
kepentingan umum, dalam hal ini mengacu pada SNI 03-6573-2001 tentang
Tata Cara Perancangan Sistem Transportasi Vertikal dalam Gedung (lif).

Kapasitas atau daya angkut suatu sistem lif harus cocok dengan kebutuhan
transportasi vertikal pada bangunan tertentu yang secara konsisten mengacu
pada kriteria rancangan kualitas bangunan. Rancangan yang tepat dapat
dilakukan berdasarkan jumlah mesin, ukuran dan kecepatannya. Namun
demikian perhitungan perjalanan penumpang dilakukan berdasarkan anggapan
yang diperoleh dari pengalaman atau pengamatan terdahulu.

Perhitungan harus dilakukan secara realistik terhadap kebutuhan sekarang dan


perkiraan di masa yang akan datang, mengingat sangat sulit untuk melakukan
modifikasi setelah sistem lif terpasang. Penyempurnaan hanya mungkin
dilakukan dengan meningkatkan sistem pengendalian, atau mungkin
menambah kecepatan mesin lif. Secara ideal lif dirancang pada waktu beban
puncak (peak atau rush hour).

5.3.1. Pelayanan Optimal

Dasar-dasar perancangan sistem transportasi vertikal dengan menggunakan lif


terdiri dari:

a) Aspek yang harus ditinjau, meliputi:

Jimmy S. Juwana 180


1) kelompok konfigurasi lif;
2) tata letak; dan
3) perhitungan jumlah, kapasitas dan kecepatan yang merujuk pada kriteria
(parameter).

b) Faktor yang mempengaruhi perhitungan dan pemilihan sistem, berupa:

1) jumlah lantai yang dilayani;


2) jarak lantai ke lantai (floor to floor) dan jarak lintasan;
3) jumlah penghuni tiap lantai;
4) penggunaan khusus lif tertentu;
5) lantai-lantai fungsi khusus; dan
6) fungsi/lokasi gedung dan pola sirkulasi saat sibuk (peak hour).

c) Hasil optimal dapat dicapai, dengan memastikan adanya data:

1) jumlah penghuni bangunan (PB) atau Potential Traffic (PT), atau luas
lantai efektif/besih (net area), jumlah kamar (untuk hotel), jumlah tempat
tidur rawat inap (untuk rumah sakit), jumlah unit keluarga (untuk
Apartemen);
2) jumlah orang pengguna lif baik waktu turun maupun naik, pada saat
waktu sibuk (rush hour).

Jika kepastian PB belum dapat ditentukan, diambil asumsi patokan umum


kepadatan lantai terpakai bersih dalam satuan m2/orang, atau rata-rata
orang per kamar, atau rata-rata pengunjung pasien per tempat tidur.

d) Kelompok lif dalam suatu sistem pelayanan, harus memenuhi kriteria:

1) waktu interval (Interval time) harus lebih kecil dari waktu tunggu rata-rata
(WTR) sesuai dengan kriteria yang ditetapkan;
2) tuntutan arus sirkulasi – TAS (peak traffic demand – PTD) harus lebih
kecil dari kriteria TAS yang ditetapkan untuk bangunan tertentu.

TAS adalah jumlah penghuni bangunan yang harus terangkut oleh sistem
layanan lif dalam selang waktu lima menit (300 detik) pada saat waktu sibuk,
dinyatakan dalam persen terhadap penghuni bangunan (% dari PB).

Kedua kriteria tersebut dalam huruf d) harus dipenuhi sekaligus dalam


perhitungan pemilihan lif. Perhitungan harus diulangi jika salah satu kriteria
tersebut belum dipenuhi.

Jimmy S. Juwana 181


L 
TAS  12,5% netto  per 5 menit Persamaan 5.1
 PB 

5.3.2. Perencanaan Lif

TLNT merupakan jumlah waktu terpakai untuk naik, turun (round trip time –
RTT), pembukaan pintu dan tempo pemberhentian, yang terdiri dari:

a. tempo lintas naik (jumlah satuan waktu start stop);


b. tempo lintas turun (gedung kantor di pagi hari, lif turun tidak
berhenti/nonstop);
c. tempo untuk buka tutup pintu (door time);
d. tempo pembukaan pintu selama berhenti (dwelling time/stopping
time/transfer time), dan
e. toleransi 10% dari door time dan dwelling time.

WTR diperoleh dari TLNT tiap lif dibagi oleh jumlah lif dalam kelompok (N):

TLNT
WTR   kriteria [detik] Persamaan 5.2.
N
Di mana: N adalah jumlah kelompok lif yang digunakan.

Kriteria WTR di lobi utama dan Kriteria TAS mengacu pada Tabel 5.1 berikut
ini.

Tabel 5.1. Kriteria WTR dan TAS

TAS [% PB
WTR Pola Sirkulasi
No Bangunan Gedung tiap 5
[detik] Jam Sibuk
menit]
1 Kantor Mewah 25 – 35 10 – 12 Pagi hari, naik
2 Kantor Komersial 25 – 35 11 – 13 Pagi hari, naik
3 Kantor Pemerintah 30 – 40 14 – 17 Pagi hari, naik
4 Hotel Berbintang 40 – 60 8 – 10 Tengah hari, imbang
5 Hotel Resort 60 – 90 6–8 Pagi hari, turun
6 Rumah Sakit 40 – 60 10 Tengah hari, imbang
7 Apartemen 60 – 90 6–8 Pagi hari, turun
Pagi hari, naik
8 Pendidikan Tinggi 40 – 90 12,5 – 25
Tengah hari, imbang
Sumber: SNI 03-6573-2001

Jimmy S. Juwana 182


Jumlah penumpang lif terangkut oleh satu lif dari lobi tiap selang waktu lima
menit (300 detik) pada saat jam sibuk (rush hour) dinyatakan dengan:

300 x0,8K
DAS  Persamaan 5.3.
TLNT
di mana: K adalah kapasitas angkut nominal dari satu lif.

Sedang

TAS
N [unit] Persamaan 5.4.
DAS
Interval Lintasan Puncak – ILP (Peak Traffic Interval – PTI) diperoleh dari:

TLNT
ILP  [detik] Persamaan 5.5.
N
Waktu Tunggu Rata-rata:

WTR  70%ILP [detik] Persamaan 5.6

DAG merupakan daya angkut seluruh kelompok lif yang ada, diperoleh:

DAG  N .DAS Persamaan 5.7

Perbandingan DAG terhadap penghuni bangunan (dalam persentase, %),


nilainya harus lebih besar atau sama dengan kriteria TAS.

Dari analisis yang dilakukan, dapat dihitung waktu pengisian bangunan - WPB
(Filing Up Time):

100
WPB  5 [menit] Persamaan 5.8.
DAG
Untuk memperoleh nilai, diperlukan data awal berupa:

a. Jumlah penghuni bangunan – PB (Potential Traffic – PT)


b. Tuntutan Arus Sirulasi – TAS (Traffic Demand – TD)
c. Tempo Lalu Lintas Naik Turun (lintasan) – TLNT
d. Terkaan Jumlah Hentian (TJH):

Jimmy S. Juwana 183


 n  1
P

TJH  n  n   Persamaan 5.9.


 n 

di mana: n adalah jumlah lantai di atas lobi utama

 S  1
2

SP  S  S   Persamaan 5.10.
 S 

di mana: SP adalah probable stop


S adalah possible stop
L adalah loading (80% dari kapasitas satu lif)

TJH ini juga dapat diperoleh dengan menggunakan Tabel 5.2.

a. Tempo naik = TJH x UT


b. Tempo turun
c. Terkaan Jumlah Hentian – TJH (lihat Tabel 5.2)
d. Total Lintasan (TL)
e. Unit Run (UR)
f. Unit Time (UT) – (lihat Tabel 5.3)
g. Waktu buka tutup pintu (lihat Tabel 5.4)
h. Waktu Pembukaan Pintu (lihat Tabel 5.5)

Jumlah penghuni bangunan diperkirakan:

a. Perkantoran mewah : 12 m2 – 14 m2 per orang


b. Kantor Sewa : 8 m2 – 10 m2 per orang
c. Hotel Bisnis : 1,4 x jumlah kamar
d. Hoel Resort : 1,7 x jumlah kamar
e. Apartemen : 5 x unit Aartemen
f. Rumah Sakit : 4 x jumlah tempat tidur pasien
g. Gedung Sekolah : 30 x jumlah kelas

Jimmy S. Juwana 184


Tabel 5.2. Terkaan Jumlah Hentian (Probable Stop)
n = jumlah lantai P = muatan (loading - L) = 80% kapasitas lift
di atas lobby 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
6 4,0 4,6 5,0 5,3 5,5 5,7 5,8 5,8 5,9
7 3,8 4,2 4,6 5,0 5,3 5,5 5,7 5,9 6,1 - - - - - - - - -
8 3,9 4,4 4,9 5,3 5,5 5,9 6,0 6,4 6,6 6,8 6,9 7,0 7,2 7,3 7,4 7,5 7,5 7,6
9 4,0 4,6 5,1 5,5 5,9 6,2 6,5 6,8 7,1 7,3 7,5 7,6 7,8 7,9 8,0 8,2 8,2 8,3
10 4,1 4,7 5,2 5,8 6,1 6,5 6,9 7,2 7,5 7,7 7,9 8,2 8,3 8,5 8,6 8,8 8,9 9,0
11 4,2 4,8 5,4 5,9 6,3 6,7 7,1 7,5 7,8 8,1 8,4 8,6 8,8 9,0 9,2 9,4 8,7 9,6
12 4,2 4,9 5,5 6,0 6,5 6,9 7,3 7,8 8,1 8,5 8,8 9,0 9,1 9,5 9,7 9,9 10,1 10,2
13 4,3 5,0 5,6 6,1 6,9 7,0 7,6 8,0 8,4 8,7 9,1 9,4 9,8 9,9 10,2 10,4 10,7 10,8
14 4,3 5,0 5,7 6,3 6,8 7,3 7,6 8,3 8,5 9,0 9,4 9,7 9,9 10,3 10,6 10,8 10,9 11,3
15 4,4 5,1 5,8 6,4 6,9 7,5 7,8 8,5 8,9 9,3 9,7 10,0 10,4 10,7 11,0 11,2 11,5 11,7
16 - 5,1 5,8 6,5 7,0 7,6 8,0 8,6 9,1 9,5 9,9 10,3 10,6 11,0 11,3 11,6 11,9 12,1
17 - - 5,9 6,5 7,2 7,7 8,1 8,8 9,3 9,7 10,2 10,6 10,9 11,3 11,6 11,9 12,2 12,5
18 - 5,2 - 6,6 7,2 7,8 8,3 8,9 9,4 9,9 10,4 10,8 11,2 11,6 11,9 12,3 12,6 12,9
19 - - - - 7,3 7,9 8,4 9,1 9,6 10,1 10,6 11,0 11,4 11,8 12,2 12,6 12,9 13,2
20 - 5,3 - 6,7 - 8,0 8,5 9,2 9,7 10,3 10,7 11,2 11,6 12,1 12,5 12,8 13,2 13,5
22 - 5,4 - 6,8 - 8,2 8,6 9,4 - 10,5 - 11,6 - 12,5 - 13,3 - 14,1
24 - 5,4 - 6,9 - 8,3 - 9,6 - 10,8 - 11,9 - 12,8 - 13,8 - 14,6
26 - 5,5 - 7,0 - 8,5 - 9,8 - 11,2 - 12,2 - 13,1 - 14,1 - 15,1
28 - 5,5 - 7,2 - 9,0 - 10,1 - 11,6 - 12,5 - 13,5 - 14,6 - 15,6

Sumber: SNI 03-6573-2001

Tabel 5.3. Short Running Time [detik]


Rated Speed Short Run (jump) Each
acc/dcc additional
[m/s] [m/m] 2,70 3,00 3,35 3,65 4,00 4,30 4,60 5,00 5,50 6,10 7,00 8,00 9,10
[m/s/s] 3m
0,50 0,75 45 6,7 7,1 7,5 7,9 8,3 8,7 9,1 9,8 10,5 11,1 12,4 13,0 15,1 4,0
0,50 1,00 60 5,8 6,1 6,4 6,7 7,0 7,3 7,6 8,1 8,6 9,1 10,1 11,2 12,1 3,0
0,70 1,50 90 5,2 5,4 5,6 5,8 6,0 6,2 6,4 6,7 7,0 7,4 8,1 8,8 9,4 2,0
0,85 2,00 120 4,8 4,8 5,1 5,2 5,4 5,6 5.7 6,0 6,2 6,5 6,6 6,8 7,0 1,5
0,95 2,50 150 - - 4,3 4,4 4,5 4,6 4,7 4,9 5,3 5,4 5,6 6,0 6,4 1,2
1,10 3,00 180 - - 4,3 4,4 4,5 4,6 4,7 4,9 5,3 5,4 5,6 6,0 6,4 0,9
1,20 3,50 210 - - 4,3 4,4 4,5 4,6 4,7 4,9 5,1 5,3 5,6 6,0 6,4 0,6
1,25 4,00 240 - - 4,3 4,4 4,5 4,6 4,7 4,9 5,1 5,3 5,6 6,0 6,4 0,6
1,25 5,00 300 - - 4,3 4,4 4,5 4,6 4,7 4,9 5,1 5,3 5,6 6,0 6,4 0,6
1,25 6,00 360 - - - - - - - - 5,1 5,3 5,6 6,0 6,4 0,6
1,25 7,00 420 - - - - - - - - 5,1 5,3 5,6 6,0 6,4 0,6
1,30 8,00 480 - - - - - - - - 5,1 5,3 5,6 6,0 6,4 0,6

Catatan: Tabel 4.3. di atas merupakan pengembangan dari Tabel 4.1 di SNI 03-6573-2001

Jumlah kebutuhan lif penumpang telah dibahas sebelumnya, sedang untuk lif
ekspres dapat diasumsikan:

1
N ekspresd  N penumpang [unit] Persamaan
2
5.11.
Sedang untuk lif barang:

1
N barang 
6
 N penumpanng [unit] Persamaan 5.12.

Jimmy S. Juwana 185


Kecepatan buka tutup pintu (door time) dapat dilihat pada Tabel 4.4. dan waktu
pembukaan pintu (dwelling time) dapat dilihat pada Tabel 5.5.
Tabel 5.4. Kecepatan Pintu
Jumlah waktu buka Toleransi
No Jenis Pintu Lebar Pintu [mm]
tutup [detik] [%]
Pintu Tunggal 900 6,1 10
1
(single side opening) 1100 6,5 7
900 5,4 10
1100 6,1 7
Dua Panel Buka Samping
2 1200 7,2 5
(side opening)
1400 8,3 5
1600 9,4 5
900 3,5 8
1100 4,1 5
Dua Penel Buka Tengah
3 1200 4,8 5
(center opening)
1400 5,5 5
1600 6,0 5
4 Empat Panel Buka Tengah 1600 5,0 5
Sumber: SNI 03-6573-2001

Tabel 5.5. Waktu Pembukaan Pintu

Di Lobi Lantai-Lantai Lain


Bangunan Gedung (maksimal) Karena Hall Call Karena Car Call
[detik] [detik] [detik]
Kantor 8 2 1
Hotel, Toserba dan Rumah Sakit 10 -16 4 2
Apartemen dan Pendidikan Tinggi 10 2 1
Sumber: SNI 03-6573-2001

Pada bangunan yang tidak begitu tinggi, sulit terjadi lif melaju dalam kecepatan
maksimum yang tetap, karena sebelum mencapai kecepatan maksimum, laju
kecepatan lif sudah menurun untuk berhenti di lantai tertentu. Buka tutup pintu
lif merupakan bagian terbesar dari waktu yang diperlukan dalam RTT,
karenanya akan lebih baik untuk menggunakan pintu dengan kecepatan buka-
tutup yang tinggi atau menggunakan dua daun pintu.

5.3.3. Kecepatan Lif

Kecepatan lif untuk berbagai ketinggian bangunan dapat dilihat pada Tabel 5.6
dan Tabel 5.7 (dengan variasi fungsi bangunan gedung), sedang untuk
kapasitas lif dapat dilihat pada Tabel 5.8 dan Tabel 5.9.

Jimmy S. Juwana 186


Tabel 5.6. Kecepatan Lif yang Direkomendasi [m/menit]

Jumlah Lantai yang Dilayani Tinggi Lintas Minimum


Jenis Mesin Lif
termasuk Lobby [m] Kecepatan Lif
Lif Lokal
4–5 14,40 60 Geared Traction
6–7 21,60 75 Geared Traction
8–9 28,80 90 Geared Traction
10 – 11 36,00 105 Geared Traction
11 – 12 39,60 120 Geared / Gearless
12 – 15 46,80 150 Geared / Gearless
14 – 16 54,00 180 – 210 Geared / Gearless
Lif Ekspres – Menengah Rendah
Langsung 10 – 20 33 + 36 = 69 120 Geared / Gearless
Langsung 10 = 22 33 + 43 = 76 150 Geared / Gearless
Lif Ekspres – Menengah Tinggi
Langsung 20 – 28 68 + 29 = 97 180 Geared / Gearless
Langsung 20 – 31 68 + 40 = 108 210 Geared Traction
Lif Ekspres – Tinggi
Langsung 30 – 39 104 + 35 = 139 210 Geared / Gearless
Langsung 39 – 47 136 + 40 = 176 240 – 300 Geared / Gearless
Langsung 39 – 51 137 + 43 + 180 300 – 360 Geared / Gearless
Langsung 39 – 54 137 + 53 = 190 360 – 420 Geared / Gearless
Sumber: SNI 03-6573-2001

Tabel 5.7. Kecepatan Lif yang Direkomendasi [m/detik]

Jumlah Lif Kecil Lif Menengah Lif Besar Lif Barang


lantai
Kantor
2–5 1,25 1,50 – 2,00 2,00 1,00
5 – 10 2,00 2,00 2,50 1,50
10 – 15 2,00 2,00 – 2,50 2,50 – 3,50 2,00
15 – 25 2,50 2,50 – 3,50 3,50 2,50
25 – 35 - 4,00 – 5,00 5,00 2,50
35 – 45 - 5,00 – 6,00 6,00 3,50
45 – 60 - 6,00 – 7,00 7,00 – 8,00 4,00
Di atas 60 - - 9,00 4,00
Gedung Parkir
2–5 1,25
5 – 10 1,00 – 2,00
10 – 15 1,50 – 2,50
Hotel
2–6 0,50 – 1,50 1,00

Jimmy S. Juwana 187


Jumlah Lif Kecil Lif Menengah Lif Besar Lif Barang
lantai
6 – 12 1,00 – 2,50 1,50
12 – 20 2,00 – 2,50 2,00
20 – 25 2,50 – 3,50 2,50
25 – 30 3,50 – 4,00 2,50
20 – 40 3,50 – 5,00 3,50
40 – 50 5,00 – 6,00 4,00
Apartemen/Asrama/Rumah Sakit
2–6 0,50 1,00
6 – 12 1,00 1,00
12 – 20 1,50 – 2,50 1,00
20 – 25 2,00 – 2,50 1,50
25 – 30 2,50 1,500
Sumber: Ballast, 1995

Tabel 5.8. Rekomendasi Ragam Kapasitas Lif [kg]

Fungsi
Lif
Bangunan Lif Kecil Lif Besar Lif Barang
Menengah
Gedung
Kantor 1250/1500 1500/1600 1600/2000 2000/3200
Parkir 1250 1500 1600 -
Komersial 1600 1600 2000 2000/4000
Hotel 1500 1600 1600 2000
Apartemen 1000/1250 1250 1500 -
Rumah sakit 1000 1500 2000 2000
Sumber: Ballast, 1995

Catatan: Kapasitas Lif (kg) Kapasitas Penumpang (orang)


1000 12
1250 17
1500 20
1600 23
2000 28

Tabel 5.9. Kapasitas Lif [kg] – [orang]

Fungsi Bangunan Gedung Kapasitas Lif


No
6 – 20 Lantai [kg] [orang]
750 11
900 15
1 Kantor
1.000 15
1.150 17

Jimmy S. Juwana 188


Fungsi Bangunan Gedung Kapasitas Lif
No
6 – 20 Lantai [kg] [orang]
1.250 18
1.000 15
2 Hotel 1.150 17
1.250 18
600 9
3 Rumah Sakit 750 11
1.000 15
600 9
4 Apertemen 750 11
1.000 15
1.000 15
5 Toko Serba Ada 1.150 17
1.250 18
Fungsi Bangunan Gedung
20 – 30 Lantai
1.250 18
1 Kantor Mewah
1.350 20
1.250 18
2 Hotel Berbintang
1.350 20
1.600 23
3 Rumah Sakit
1.800 25
1.150 17
4 Apartemen
1.250 18
Fungsi Bangunan Gedung
Ganda (Mix Used) > 30 Lantai
1.350 20
1 Kantor 1.650 24
1.800 26
2 Hotel 1.350 20
3 Rumah Sakit 1.600 23
1.350 20
4 Toko Serba Ada
1.650 24
Sumber: SNI 03-6573-2001

Meskipun tersedia kecepatan lif 9m/detik, tetapi pada umumnya penggunaan lif
dibatasi pada kecepatan 7 m/detik, agar tidak mendekati kecepatan gravitasi
bumi (9,8 m/detik). Hal ini dimaksudkan untuk menghindari rasa tidak nyaman
(mual) bagi penumpang lif.

Sebagai perkiraan, jumlah lif untuk kantor adalah satu lif untuk tiap 5.000 m2
luas lantai bruto, dan tambahan satu lif barang untuk 5 – 6 lif penumpang.

Jimmy S. Juwana 189


Jumlah dan kapasitas lif untuk bangunan perkantoran dapat juga diperoleh
dengan bantuan Tabel 5.10.

Untuk hotel Tabel 5.5 dapat digunakan dengan pertimbangan klasifikasi hotel,
dan hal-hal sebagai berikut:
1) untuk setiap 100 kamar hotel perlu disediakan satu lif barang.
2) Untuk pelayanan yang memuaskan setiap 75 kamar dilayani oleh satu lif.
3) Kapasitas lif yang digunakan minimal untuk 16 orang.
4) Lif yang digunakan harus mampu mengangkut barang bawaan tamu yang
berat (koper atau meja saji makanan)
5) Ruang kamar tidak boleh berdekatan dengan ruang mesin lif.

Tabel 5.10. perkiraan Jumlah dan Kapasitas Lif (Bangunan Perkantoran)

LANTAI
Luas Lantai Bruto [x 100m2]
YANG
DILAYANI 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
18 4c 5c 5d 6d
17 4b 4d 5c 5e 6d
16 46 4c 5c 5d 6d 6e
15 3c 4b 4d 5c 5d 6d 6e
14 3b 4b 4c 4d 5c 5d 6d 6e
13 3b 4b 4c 4d 4d 5d 5c 6d 6e
12 3b 3c 4b 4c 4d 4e 5d 5e 6d 6e
11 3b 3b 3c 4b 4c 4d 4e 5b 5d 5e 6d 6d
10 2e 3b 3c 4b 4c 4c 4d 5c 5d 6e 6c 6d
9 2c 2d 3b 3c 3d 4b 4b 4c 4d 4c 5c 5d
8 2a 2c 2d 3a 3b 3b 3c 3d 4b 4b 4c 4d
7 2a 2a 2b 2c 2e 3a 3b 3b 3c 3d 4b
6 2a 2a 2a 2a 2b 2c 2d 2e 3a 3b
5 1c 1c 2a 2a 2a 2a 2a 2a 2a 2b
4 1b 1b 1b 1c 1c 1c 1c 2a 2a
Sumber: Parlour, 1994

Catatan: a = kapasitas lif 10 orang


b = kapasitas lif 12 orang
c = kapasitas lif 16 orang
d = kapasitas lif 20 orang
e = kapasitas lif 24 orang

Untuk bangunan yang tingginya kurang dari empat lantai harus


dilengkapi dengan minimal dua buah tangga, ramp, eskalator,
atau lif untuk penyandang disabilitas.

Untuk luas lantai bruto > 25.000 m2, perlu ada satu lif barang.

Jimmy S. Juwana 190


Untuk Apartemen, perlu diperhatikan:

1) Untuk setiap 300 unit hunian perlu disediakan satu lif barang
2) lif barang diperlukan jika blok hunian di mana pintu utama berada
ditempatkan pada ketinggian dua lantai dari lantai dasar.
3) Kapasitas lif yang digunakan minimal untuk 12 orang
4) Unit hunian tidak boleh berdekatan dengan ruang mesin lif.

5.3.4. Pelayanan untuk Lantai Basemen

Jika di lantai-lantai basemen yang digunakan sebagai tempat parkir, maka


setiap 150 kendaraan mobil diperlukan satu buah lif dengan kapasitas 11 orang
(750 kg).

5.3.5. Start-Stop per Jam

Daya tahan mesin lif tergantung dari start-stop lif per jam, Tabel 5.11.
menunjukkan kemampuan yang harus dimiliki lif utk masing-masing fungsi
bangunan gedung.

abel 5.11. Daya Tahan Start-Stop Lif

Fungsi Bangunan Gedung Start-Stop/Jam


Kantor, Hotel Bisnis 180
Hotel, Kantor Kecil 160
Toserba, Pusat Petokoan 140
Rumah Sakit, Rumah Susun 120
Apartemen, Ruang Pamer Di bawah 100
Sumber: SNI 03-6573-2001

Untuk mempermudah proses perencanaan lif yang dilakukan dengan


pendekatan coba-coba (trial & error), seluruh proses dapat dilakukan dengan
bantuan komputer (spreadsheet), agar pengulangan perhitungan dapat lebih
cepat (Gambar 5.14).

Jimmy S. Juwana 191


ANALISIS PERHITUNGAN LINTAS LIF (METODE COBA - COBA)
(Calculation of LiftTraffic Analysis - trial & error method)
Gedung: Fungsi: Percobaan [1]
Lokasi: [2]
Luas Lantai Kotor (Bruto) m2 Efisiensi Lantai % [3]
Tinggi rata-rata meter Tinggi Lobi meter [4]
[ ] zona tunggal [ ] zona ganda
Zona ganda: [ ] zona bawah [ ] zona tengah [ ] zona atas
Lintasan padat [ ] Pagi [ ] Sore [ ] Siang
[ ] Padat ke atas [ ] Padat ke Bawah [ ] Imbang
Kapasitas Lift P= orang
M= kg.
Penghuni Bangunan PB = orang
Muatan L= orang Dibulatkan orang
Kecepatan s= meter/detik
meter/menit
Tinggi lantai ke lantai h= meter
Jumlah lantai yang dilayani (di atas lobi) n= lantai
Total Lintasan TL = neter
Layanan Lif Ekspres : LE = meter Layanan Lif lokal: meter
Lintasan Lokal LL= meter
Potensi Lintasan PT = orang
Tuntutan Arus Sirkulasi TAS = % PT = orang per 5 menit
Terkaan Jumlah Hentian TJH = (lihat Tabel 4.2 )
Unit Short Run D= meter (lihat Tabel 4.3)
Unit time t= detik
Unit Long Run d= meter t= detik

Waktu tunggu (detik) naik turun


Waktu Transfer di Lobi detik detik
Waktu Transfer Lantai Atas detik detik
Waktu Buka-Tutup Lantai Atas detik detik
Waktu Buka-Tutup di Lobi detik detik
Sub total detik detik detik
Toleransi (10% atau 15%) % detik
Total detik
Waktu Perjalanan
Lif Lokal - naik detik
Lif Ekspres - naik detik
Lif Lokal - turun detik
Lif Ekspres - turun detik
Total detik detik detik
Tempo Lintas Naik Turun TLNT = detik
Daya Angkut Satuan DAS = orang/5 menit
Jumlah Lif N= unit
Interval Lintasan Puncak ILP = detik
Waktu Tunggu Rata-Rata WTR = detik
Daya Angkut Gabungan DAG = %PT
Waktu Pengisian Bangunan detik
Kesimpulan: WTR = detik
DAG = % PT
N= unit
s= m/detik
[ ] Sangat baik [ ] Cukup Memuaskan [ ] Dapat diterima
[ ] Analisis Diulangi

Gambar 5.14. Kertas Kerja Perencanaan Lif

5.3.6. Kebutuhan Ruang Lif

Kebutuhan ruang lif tergantung dari jenis dan merk dari lif yang dipilih, data
tersebut biasanya sudah ada dalam spesifikasi teknis yang dikeluarkan oleh
masing-masing pabrikan/produsen lif. Namun sebagai panduan nilai-nilai yang
diberikan berikut ini merupakan dimensi generik dari lif.

Jimmy S. Juwana 192


a. Ruang luncur Lif (Shaft Lift)

Secara umum kebutuhan luas ruang lif adalah:


1) Luas ruang luncur, antara 0,30 – 0,36 m2/orang
Dalam rancangan biasa diambil nilai 0,36 m2/orang.
2) Luas kereta lif (car lift), antara 0,18 – 0,22 m2/orang
Dalam rancangan biasa diambil nilai 0,20 m2/orang, dengan jarak antar
kereta kurang lebih 0,30 meter (Gambar 5.15).
0,15 m

BEBAN
W PENGIMBANG
0,30 m 0,30 m ('COUNTER
WEIGHT’)

0,15 m

0,30 m

D + 0,55 m KERETA LIF D (Lebar Sisi Dalam Kereta)


('CAR LIFT')

0,25 m

0,15 m

W + 0,60 m 1,0 - 1,2 m

0,15 m

Sumber: Parlour, 1994

Gambar 5.15. Dimensi Ruang Luncur Lif

b. Ruang Lobi Lif


Jarak bebas koridor dan bukaan lif dapat dilihat pada Gambar 5.16.

Sumber: Parlour, 1994

Gambar 5.16. Dimensi dan Jarak Bebas Lobi Lif

Jimmy S. Juwana 193


c. Dimensi Ruang Mesin Lif / Pit Lif
Dimensi ruang mesin yang perlu disediakan untuk motor penggerak traksi yang
ditempatkan tepat di atas ruang luncur lif, dan pit yang perlu disediakan di dasar
ruang luncur untuk menahan mendaratnya lif di lantai dasar (Gambar 5.17).

Sumber: Parlour, 1994

Gambar 5.17. Dimensi Ruang Mesin dan Pit Lif


5.4. Dumbwaiter

Penggunaan dumbwaiter, sejenis lif yang berfungsi untuk memindahkan


barang-barang yang relatif kecil dan ringan dari lantai yang satu ke lantai yang
lain. Di pusat perbelanjaan, misalnya, unit ini biasa digunakan untuk
memindahkan persediaan barang dari gudang ke kios (counter) penjualan, atau
di rumah sakit untuk mengantarkan makanan, obat-obatan, keperluan ruang
rawat inap (sprei, selimut, dan lainnya), atau pada restoran berlantai banyak
untuk mengantarkan pesanan makanan dari dapur dan memindahkan peralatan
bekas pakai/kotor ke tempat cuci.

Ruang luncur yang dibutuhkan oleh dumbwaiter relatif kecil, sekitar 1,00 m2
dengan tinggi maksimum 1,25 m. Kecepatannya antara 0,20 sampai 0,75 m/det.

Jimmy S. Juwana 194


dengan kapasitas daya angkut maksimum 250 kg. Seperti halnya dengan lif,
dumbwaiter mempunyai motor pergerak yang letaknya di atas (motor traksi)
atau di bawah (motor silinder) seperti Gambar 5.18.

Sumber: https://www.mr-dumbwaiter.com/product.html

Mesin Di Atas Mesin Di Bawah

Sumber: Parlour, 1994

Gambar 5.18. Dumbwaiter dengan Ruang Luncur

Jimmy S. Juwana 195


Rekomendasi dimensi dumbwaiter dan kapaitas daya angkutnya dapat dilihat
pada Tabel 5.12.

Tabel 5.12. Rekomendasi Ukuran Dumbwaiter

Kapasitas Dumbwaiter [kg] Kereta [m] Ruang Luncur [m]


Traksi Silinder
D D
0,5 0,25 0,20
w d W Tanpa Dengan
m/det m/det m/det
Pintu Pintu
200 250 200 0,65 0,80 1,05 0,95 1,00
200 250 200 0,65 1,00 1,05 1,10 1,15
200 250 200 0,80 0,80 1,20 0,95 1,00
200 250 200 0,80 1,00 1,20 1,10 1,15
200 250 200 1,00 0,80 1,35 0,95 1,00
200 250 200 1,00 1,00 1,35 1,10 1,15
200 250 200 1,15 0,80 1,35 0,95 1,00

Sumber: Parlour, 1994

Dumbwaiter juga dibedakan atas letak bukaan pintu (Gambar 5.19)

Catatan
* tambahan 5 cm ke samping untuk ruang luncur yang berdiri sendiri
** jika bukaan memiliki pintu dua lapis, perlu tambahan ruang 1,5 cm
di antara pintu
Sumber: https://www.efficiencysystemsinc.com/services/accessibility-division/dumbwaiters-electric/

Gambar 5.19. Bukaan pada Dumbwaiter

Jimmy S. Juwana 196


Karakteristik kedua jenis dumbwaiter pada Gambar 5.19 dapat dilihat pada
Tabel 5.13.

Tabel 5.13. Karakteristik Dumbwaiter berdasarkan Bukaan

Kebutuhan
Maksimum
Lokasi Bukaan Lokasi Ruang di
Kapasitas Kecepatan Jarak
Muat Barang Mesin atas kereta
Layanan
Di Lantai Di atas
0,3 m/detik 17 m Di atas 120 – 135 cm
250 kg
Di Ketinggian Meja Di bawah
0,3 m/detik 17 m Di bawah 90 – 120 cm
250 kg
Sumber: https://www.efficiencysystemsinc.com/services/accessibility-division/dumbwaiters-electric/

5.5. Tangga Berjalan (Eskalator)

5.5.1. Karakteristik Eskalator

Eskalator pertama kali ditemukan pada awal abad 20 dalam upaya memenuhi
keinginan untuk dapat mengangkut manusia dalam jumlah banyak secara
berkesinambungan dari lantai bawah ke lantai di atasnya. Sedang ram (ramp)
berjalan atau travelator (moving walks) baru diperkenalkan pada sekitar tahun
1950-an, peralatan yang sanggup menghantarkan manusia ke tempat yang
jaraknya cukup jauh dan relatif mendatar (sudut kemiringan yang kecil).

Pemilihan eskalator dan ram berjalan didasarkan pada jumlah maksimum orang
yang perlu dipindahkan dalam waktu lima menit (sama halnya dengan lif).
Kemampuan sekelompok eskalator untuk mengangkut orang harus cocok
dengan waktu tersibuk yang direncanakan. Hal ini perlu dilakukan secara
cermat, terutama untuk aplikasi tertentu seperti stasiun kereta api (sub way)
yang pada saat yang bersamaan sejumlah penumpang ke luar dari kereta api
dan ingin secara cepat ke luar.

Eskalator dan ram berjalan digerakkan oleh motor listrik yang berputar secara
tetap dan dilengkapi dengan pegangan tangan yang bergerak sama
kecepatannya dengan kecepatan bergeraknya anak tangga/ram. Kecepatan
yang biasa digunakan antara 0,45 – 0,60 m/detik, tetapi dengan rancangan
khusus kecepatan eskalator dapat dipercepat di atas 0,70 m/detik.

Eskalator hanya mempunyai dua jenis, jalur tunggal (untuk satu orang berdiri)
dengan lebar 60 cm – 81 cm, dan jalur ganda (untuk dua orang berdiri
bersamaan dalam satu anak tangga) dengan lebar 100 cm – 120 cm.

Jimmy S. Juwana 197


Kemiringan maksimum yang dapat 35o dengan ketinggian maksimum 20 m.
Sedang ram berjalan hanya mampu mempunyai kemiringan maksimum 15o,
dengan kecepatan antara 0,60 m/detik sampai 1,33 m/detik (Gambar 5.20).

Sumber: Kusasi, 2002


Gambar 5.20. Tangga Berjalan (Eskalator)

Kemampuan eskalator mengangkut orang dapat dilihat pada Tabel 5.14.

Tabel 5.14. Daya Angkut dalam Waktu Lima Menit

Jenis Eskalator Kecepatan [m/detik] Jumlah Penumpang


[orang]
Tunggal 0,45 170
Tunggal 0,60 225
Ganda 0,45 340
Ganda 0,60 450
Sumber: ASME A17.2-2001

Eskalator atau ramp berjalan (moving ramp/walk) sangat efektif, jika:

a. keseragaman kecepatan lalu lintas orang diperlukan;


b. kesinambungan arus manusia diutamakan; dan
c. pergerakan mesin pergerak dapat diubah arahnya.

Baik eskalator maupun ram berjalan:

a. mempunyai kapasitas untuk memindahkan orang dalam jumlah banyak;


b. dapat menggantikan fungsi tangga;

Jimmy S. Juwana 198


c. tidak membutuhkan waktu tunggu, kecuali pada kondisi lalu lintas manusia
yang sangat padat;
d. sangat bermanfaat untuk kebutuhan lalu lintas yang dapat meningkat dalam
waktu-waktu tertentu;
e. dapat mengarahkan arus manusia ke jalur tertentu;
f. memudahkan orang untuk melihat-lihat sekelilingnya;
g. memperlancar perpindahan dari lantai ke lantai;
h. memiliki alternatif untuk digunakan di ruang terbuka, yang tahan air (water-
proofed escalator/moving ramp);
i. menjamin arus lalu lintas pada kecepatan tertentu;
j. menjadikan lantai basemen aksesibel, sama halnya dengan lantai di
permukaan tanah;
k. menyediakan titik pemeriksaan (check point) yang efektif;
l. merupakan pilihan untuk penggunaan lif double decker;
m. memudahkan untuk penggunaan lif dengan layanan ganjil/genap; dan
n. merupakan pilhan yang baik untuk jarak vertikal yang tidak terlalu
panjang..

Jika dibandingkan dengan eskalator, ram berjalan (Gambar 5.21):

a. lebih mahal sekitar 50%;


b. luasan ruang yang lebih besar untuk pemasangannya;
c. penggunaan dapat untuk kereta barang belanjaan (trolleys);
d. gangguan pada arus pergerakan orang tidak begitu besar, jika mesin
berhenti bergerak;
e. kemiringan antara 6o – 12o;
f. lebih cocok bagi penyandang disabilitas; dan
g. penggunaan rangka struktur penyokong/penopang yang lebih besar.

Sumber: https://www.archify.com/id/product/tamiang/product/5333
Gambar 5.21. Ram Berjalan (Moving Ramp)

Jimmy S. Juwana 199


5.5.2. Perancangan dan Tata Letak Eskalator

Untuk bangunan kantor dan pusat perbelanjaan yang jumlah tingginya paling
banyak tujuh lantai, penggunaan eskalator untuk naik-turun orang sangat
membantu memperlancar arus orang.

Eskalator dipasang berdasarkan luas lantai:

a. sepasang eskalator beralur tunggal untuk luas lantai 10.000 m2; atau
b. sepasang eskalator beralur ganda untuk luas lantai 20.000 m2

Untuk kompleks pertokoan, di samping perlu disediakan satu lif untuk setiap
10.000 m2 lantai, juga perlu disediakan satu eskalator (alur tunggal) untuk setiap
3.000 m2 atau satu eskalator (alur ganda) untuk setiap 5.000 m2 luas lantai.

Ada bebarapa macam tata letak eskalator yang sering digunakan: bersilangan
(Gambar 5.22), sejajar dengan alur berputar (Gambar 5.23), dan alur menerus
(Gambar 5.24).

Sumber: https://dimension.com/element/

Gambar 5.22. Tata Letak Bersilangan

Jimmy S. Juwana 200


Tunggal Ganda

Sumber: https://dimension.com/element/

Gambar 5.23. Tata Letak Sejajar (Alur Berputar)

Tunggal Ganda

Sumber: https://dimension.com/element/

Gambar 5.24. Tata Letak Sejajar (Alur Menerus)

Tata letak eskalator yang bersilangan merupakan konfigurasi eskalator yang


paling sering digunakan, karena minimal dalam alokasi luasan yang diperlukan
dan efisien dalam penggunaan strukturnya. Tata letak paralel lebih mahal dan
kurang efisien, namun digunakan pada kondisi di mana orang yang ingin
diarahkan dalam jumlah yang banyak, seperti halnya pada bangunan terminal,
bandar udara dan stasiun kereta api atau kereta bawah tanah (mass rapid transit
– MRT).

Jimmy S. Juwana 201


Kapasitas eskalator dihitung dengan formula:

3600 .P.V . cos 


N [unit] Persamaan 5.14.
L

di mana: N adalah jumlah orang yang diangkut per jam


P adalah jumlah orang per anak tangga
V adalah kecepatan eskalator [meter/detik]
Cos adalah sudut kemiringan eskalator
L adalah lebar anak tangga (antrede) [meter]

5.5.3. Kebutuhan Ruang Eskalator

Kebutuhan ruang untuk pemasangan eskalator berikut motor penggeraknya


dapat dilihat pada Gambar 5.25, sedang untuk menghitung panjang eskalator:

Sumber: https://dimension.com/element/

Gambar 5.25. Ruang Eskalator

Jimmy S. Juwana 202


Untuk kemiringan 30o:
L  1,732.H  4765 [mm] Persamaan 5.15.

Untuk kemiringan 35o:

L  1,428.H  4905 [mm] Persamaan 5.16.

5.5.4. Eskalator Melingkar, Helikal dan Helixator

Kreativitas dan kemajuan teknologi di bidang permodelan menyebabkan hal-hal


yang dahulu tidak mungkin dilaksanakan, sekarang menjadi kenyataan. Dahulu
eskalator hanya diproduksi dalam bentuk seperti tangga lurus memanjang, itu
sebabnya eskalator sering disebut sebagai tangga berjalan. Sekarang bentuk
eskalator tidak lagi lurus, tapi dapat juga berbentuk melingkar (Gambar 5.26)
dan helikal (Helical Escalator), seperti Gambar 5.27 berikut ini.

Sumber: Michel, 2011


Gambar 5.26. Eskalator Melingkar

Sumber: Michel, 2011


Gambar 5.27. Eskalator Helikal.

Jimmy S. Juwana 203


Helixator (Gambar 5.28) dapat memiliki kecepatan hingga 12 km/jam, dengan
kecepatan capaian vertikal 1 m/detik, atau kira-kira 5 detik per lantai, dengan
kapasitas yang dapat ditampung mencapai 14.500 orang per jam. Penggunaan
helixator pada bangunan dengan luasan besar dapat mengurangi jumlah lif yang
digunakan.

Sumber: Michel, 2011

Gambar 5.28. Helixator


5.6. Stair Lift

Pada bangunan tinggi yang memiliki satu atau dua basemen dan/atau penyewa
(tenant) yang menyewa dua sampai tiga lapis lantai (atau sebagian lantai),
kemudahan turun naik dapat menggunakan stair lift sebagai alternatif
penggunaan eskalator.

Stair lift digunakan untuk menghilangkan kendala arsitektural untuk


memecahkan pergerakan bagi orang yang memiliki kebutuhan khusus (difabel),
karena stair lift dapat digunakan juga untuk orang yang menggunakan kursi
roda.

Sumber:
https://www.researchgate.net/figure/A-curved-path-of-the-track-for-the-designed-stair-
lift_fig2_336932717
Gambar 5.29. Perspektif Stair Lift

Jimmy S. Juwana 204


Stair Lift (Gambar 5.29) memiliki berat sekitar 225 kg, dengan kecepatan 0,07
sampai 0,15 m/detik, yang digerakkan oleh motor dengan penggunaan daya
listrik antara 350 Watt sampai 1.125 Watt. Stair Lift dapat dipasang pada tangga
dengan kemiringan antara 20o sampai 45o dengan lebar tangga 1,80 cm
(Gambar 5.30).

Sumber: PP nomor 16/2021

Gambar 5.30. Denah dan Tampak/Potongan Stair Lift

Ada banyak ragam dan varian Stair Lift yang dapat dipasang, mengikuti bentuk
dan panjang serta kemiringan tangga yang ada (Gambar 5.31).

Sumber: https://www.ameriglide-tulsa-ok.com/platinum-cad.htm
Gambar 5.31. Alternatif Pemasangan Stair Lift

Jimmy S. Juwana 205


5.7. Gondola

Untuk keperluan pemeliharaan dan perawatan bagian luar bangunan, bangunan


tinggi dilengkapi dengan gondola, khususnya untuk membersihkan kaca yang
sering digunakan sebagai selubung (fascade) bangunan tinggi.

Gondola yang digunakan pada bangunan tinggi ada yang statis, yang dapat
dipindahkan secara manual (gambar 5.32), atau dapat bergerak di lintasan rel
yang disiapkan di pelat atap bangunan (Gambar 5.33).

Sumber: https://www.buildinglift.com/products/suspended-gondola
Gambar 5.32. Gondola Statis

Gondola Statis dapat mengangkat beban hingga 200 kg dengan menggunakan


katrol yang digerakkan oleh tenaga listrik antara 1,5 kW sampai 1,8 kW. Kunci
pengamannya memiliki kemampuan menahan gaya hingga 30 kN. Agar gondola
dapat stabil diberi pengimbang beban (counterweight) seberat 1.000 kg.

Gondola pada Gambar 5.33 ditempatkan di atas dudukan yang dapat bergerak
sepanjang rel yang dipasang di atap bangunan. Dudukannya dapat berputar
360o. Seperti halnya dengan mesin derek lainnya, lengan derek dapat dinaik-
turunkan dengan menggerakkan piston yang dapat mengangkat lengan derek
sampai kemiringan 55o sehingga melalui spreader akan mengurai tali baja dan
melalui pengatur kemiringan sudut, mampu mengangkat/memiringkan kereta
gondola sampai 60o.

Penggunaan gondola bukan saja dapat digunakan untuk membersihkan


selubung bangunan, tetapi juga dapat digunakan untuk menyelamatkan orang
yang terjebak di lantai tertentu. Lengan derek dengan panjang 4,50 m mampu

Jimmy S. Juwana 206


menahan beban sampai 6.000 kg, namun beban kerja yang diijinkan hanya 240
kg.

Sumber: https://www.xsplatforms.com/news-worlds-first-bmu-for-rescue-training-is-close-to-delivery-
video/
Gambar 5.33. Gondola yang Dapat Bergerak

Gambar 5.34 adalah beberapa jenis gondola yang dapat bergerak, disesuaikan
dengan bentuk luar bangunan gedung. Lengan derek ada yang ganda dan tidak
dapat digerakkan, dan ada pula yang berbentuk seperti periskop yang dapat
dipanjang-pendekkan tungkainya.

Sumber: https://skyclimber.com/product/bmus/

Gambar 5.34. Jenis Gondola

Jimmy S. Juwana 207


Soal-Soal Latihan

1. Sebutkan alat transportasi vertikal yang lazim digunakan pada bangunan


tinggi.

2. Kapan diperlukan pembagian zona layanan lif pada bangunan tinggi.

3. Kapan diperlukan lantai transisi (transver level) dan sky lobby. Jelaskan
fungsi sky lobby pada bangunan tinggi.

4. Apa yang dimaksud dengan lif ekspres dan lif barang, serta apa
perbedaannya dengan dumb waiter.

5. Apa yang dimaksud dengan lif double decker, dan bagaimana


penempatannya pada lantai dasar.

6. Dengan menggunakan soal 4.3 rencanakan jumlah lif yang diperlukan.


Buat skestsa untuk menunjukkan rancangan lif yang digunakan.

7. Apa manfaat penggunaan eskalator dan apa pula perbedaan yang


mendasar dibandingkan dengan lif.

8. Mengapa stair lift jarang digunakan pada bangunan tinggi

9. Mengapa pada bangunan tinggi harus disiapkan gondola.

10. Apa persyaratan bagi tata letak lif dan tangga darurat.

Daftar Kepustakaan dan Rujukan

... (2001); ASME A17.2-2001

… (2021); Peraturan Pemerintah nomor 16 tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan


Undang-Undang nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, Jakarta.

… (2001); SNI 03-6573-2001 tentangTata Cara Prancangan Sistem Transportasi


Vertikal dalam Gedung (Lif), Badan Standardisasi Nasional, Jakarta.

... (2022); https://www.archify.com/id/product/tamiang/product/5333

… (2022); https://dimension.com/element/

… (2021); https://www.efficiencysystemsinc.com/services/accessibility-division/
dumbwaiters-electric/

Jimmy S. Juwana 208


... (2022); https://www.mr-dumbwaiter.com/product.html

… (2021); https://www.urban-hub.com/technology/new-era-of-elevator-to-revolutionize-
high-rise-and-mid-rise-construction/

… (2020); https://www.researchgate.net/figure/A-curved-path-of-the-track-for-the-
designed-stair-lift_fig2_336932717

… (2020); https://www.ameriglide-tulsa-ok.com/platinum-cad.htm
… (2020); https://www.buildinglift.com/products/suspended-gondola

… (2020); https://www.xsplatforms.com/news-worlds-first-bmu-for-rescue-training-is-
close-to-delivery-video/

… (2020); https://skyclimber.com/product/bmus/

Ballast D. K. (1995); Architect Exam Review Volume II: Nonstructural Topics 3rd Edition,
Professional Publication, Inc, Belmont, California.

Juwana J.S. (2005); Panduan Sistem Bangunan Tinggi untuk Arsitek dan Praktisi
Bangunan, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Kusasi S. (2002); Operasi dan Perawatan Lift pada Bangunan Gedung, PT Mediatama
Sapta Karya (PT MEDISA), Yayasan Badan Penerbit Pekerjaan Umum,
Jakarta.

Michel (2011); “Future Transportation”, https://helixator.wordpress.com/2011/03/22/


the-mitsubishi-spiral-escalator/

Parlour R. P. (1994); Building Services – Engineering for Architects and Builders,


Integral Publishing, Pymble.

Poerbo H. (1992); Utilitas Bangunan. Penerbit Djambatan, Jakarta.

Strakosh G. R. & Caporale (Editors) (2010); The Vertical Transportation Handbook 4th
Edition, John Wiley & Sons, Inc., Hoboken, New Jersey.

Jimmy S. Juwana 209


BAB VI
SISTEM TATA UDARA

“…Forests are the world’s air conditioning


system – the lungs of the planet, and we
are on the verge of switching it off…”

Prince Charles

Sejak ditemukannya mesin pembuat es yang menggunakan kompresor oleh


John Gorrie tahun 1830 dan diciptakannya sistem tata udara pertama yang
dapat mengendalikan suhu dan kelembapan oleh Willis Haviland Carrier di
tahun 1902, sampai sekarang pemakaian teknologi sistem pendingin paling
banyak adalah untuk penyimpanan makanan, pendinginan minuman, sistem
tata udara, pengendalian kelembapan udara dan sistem refrigerasi dalam
proses-proses di bidang industri.

Pada bangunan tinggi, berbeda pada bangunan rendah yang masih


memungkinkan dirancang dengan menggunakan penghawaan alami, bangunan
tinggi harus menggunakan sistem tata udara, baik untuk ventilasi dan
pertukaran udara, maupun untuk pengkondisian udara. Keharusan adanya
sistem tata udara pada bangunan tinggi menyebabkan sebagian besar energi
konsumsi energi bangunan tinggi digunakan untuk sistem tata udara.
Berkurangnya udara alami/segar (fresh air) yang masuk ke dalam bangunan
tinggi dapat menyebabkan menurunnya mutu udara dalam bangunan, sehingga
dapat berdampak pada kesehatan pengguna bangunan gedung.

Dari total pemakaian energi di bangunan gedung (hotel, perkantoran,


Apartemen, rumah sakit, supermarket, bandara, dan lainnya), sistem tata udara
mengkonsumsi energi paling banyak. Demikian juga dari segi biaya, sistem tata
udara dan peralatan pendukungnya memerlukan biaya awal dan biaya
operasional yang tinggi. Untuk itu bila dari awal perencanaan bangunan
(gedung baru) beserta fasilitasnya termasuk sistem tata udara perlu dilakukan
dengan cermat, penghematan biaya-biaya yang dapat dihemat cukup besar
berkisar 30 – 80%1. Demikian pula untuk bangunan-bangunan yang sudah
jadipun peluang penghematannya ternyata masih cukup tinggi.

Dengan tingginya biaya sistem tata udara pada bangunan gedung,


menyebabkan pemilihan sistem tata udara yang paling hemat energi menjadi
penting untuk mengurangi biaya operasional bangunan gedung.

1 UNEP 2019, Energy Efficiency for Buildings

Jimmy S. Juwana 210


6.1. Mutu Udara dalam Bangunan

Sejak awal tahun 2020 dunia dilanda oleh pandemi Covid 19, dan hal itu
menyadarkan orang akan pentingnya udara yang sehat dalam bangunan
gedung. Selama ini orang yang beraktivitas dalam bangunan gedung
dimanjakan oleh udara sejuk yang berasal dari sistem pengkondisian udara (air
conditioning – AC) dan tidak pernah terpikirkan bahwa mutu udara dalam
ruangan (indoor air quality) dapat mempengaruhi nasib orang.

Setelah terjadinya pandemi Covid 19, orang mulai peduli tentang perlunya
ventilasi dan orientasi matahari, karena secara langsung berhubungan dengan
tingkat kenyamanan orang yang ada dalam ruangan. Ventilasi diperlukan agar
cukup udara alami/segar (fresh air) yang masuk ke dalam ruangan dan
terjadinya sirkulasi udara, sebab jika pertukaran udara cukup baik, maka bibit
penyakit/virus yang ada dalam ruangan dapat didelusi. Arah masuknya sinar
matahari bukan saja memberi penerangan sehingga pencahayaan buatan dapat
ditiadakan atau dikurangi, tetapi juga sinar infra merah dan ultra violet dalam
tingkat tertentu memberi dampak bagi kesehatan manusia.

Untuk orang yang tinggal di daerah tropis, seperti Indonesia, kedua faktor
tersebut di atas, sirkulasi udara dan sinar matahari, akan berpengaruh pada
rancangan bangunan dan penggunaan energi untuk
penghawaan/pengkondisian udara serta pencahayaan buatan dapat dibuat
seefisien mungkin. Penggunaan energi terbesar pada bangunan gedung
digunakan untuk sistem tata udara, dan setelah itu digunakan untuk sistem
penerangan.

American National Standard Institute (ANSI)/American Society of Heating and


Air-Conditioning Engineers (ASHRAE) 62.1 dan 62.2 adalah standar yang diakui
dan dijadikan acuan seluruh dunia untuk desain sistem ventilasi dan kualitas
udara dalam ruangan (Indoor Air Quality – IAQ) dari tahun 1973. Dari tahun ke
tahun mengalami pemutakhiran dan direvisi terbaru tahun 2019, kedua standar
menentukan tingkat ventilasi minimum dan langkah-langkah lain untuk
meminimalkan dampak pada kesehatan yang merugikan bagi penghuni
bangunan gedung (Gambar 6.1).

Ada dua istilah yang dibakukan dalam Standar ANSI/ASHRAE 62.1 dan 62.2
yaitu:

a. Prosedur Tingkat Ventilasi (Ventilation Rate Procedure – VRP)


1) Kualitas udara luar minimum yang disyaratkan
2) Membutuhkan pembersihan udara untuk ozon, PM10 dan PM2.5

Jimmy S. Juwana 211


b. Prosedur Kualitas Udara dalam Ruangan (Indoor Air Quality Procedure –
IAQP):

Memungkinkan keseimbangan antara terjaga nya kualitas udara ruangan


dengan pencapaian konservasi energi.

Gambar 6.1. Standar ANSI/ASHRAE 62.1-2019 dan ANSI/ASHRAE 62.2-2019

6.1.1. Polutan dalam Udara

Mutu udara dalam ruang (Indoor Air Quality – IAQ) merupakan salah satu isu
penting yang harus diperhatikan demi menjaga kelangsungan aktivitas
penghuni gedung. Orang menghabiskan waktunya sekitar 70-98% per hari di
dalam ruangan, untuk beragam kegiatan, seperti bekerja, beristirahat,
berolahraga, bercengkerama atau santai mengisi waktu luang. Dalam
beraktivitas orang secara tidak sadar menghirup udara yang dapat berisiko
terhadap masalah kesehatannya. Hal ini karena adanya polutan udara di dalam
ruangan, baik berupa zat kimia, gas, partikel/debu, maupun dalam bentuk
organisme hidup seperti jamur.
Polutan udara berasal benda-benda yang banyak ditemukan di dalam ruangan,
seperti kayu lapis/multipleks, papan partikel (particle board), perekat, cat,
fiberglass, cairan pembersih, karpet, plastik dan tenunan. Bahan lain adalah
yang mudah menguap pada temperatur kamar, seperti: gas methan, gas
hidrokarbon, kapur barus, parafin, formaldehida (berasal dari lem), aseton
(berasal dari tinta printer dan mesin foto kopi), karbit, lilin, minuman keras,
deterjen, cat dan serat sintetik.

Jimmy S. Juwana 212


6.1.2. Pestisida

Bahan ini digunakan untuk mencegah adanya serangga (nyamuk, kecoa, lipan,
kumbang) yang mengganggu manusia dan juga untuk membasmi serangga
tanaman. Di samping itu, bahan ini juga ada dalam pengharum ruangan yang
sekaligus digunakan agar di dalam ruangan bebas dari serangga. Racun
pembasmi rayap, jamur yang tumbuh di permukaan dinding atau kayu, atau
sarang semut/lebah.

6.1.3. Bahan yang Mudah Terbakar/Meletup

Bahan-bahan yang termasuk mudah terbakar atau berbahaya, di antaranya:

a. kayu;
b. rokok/tembakau;
c. gas bakar (liquid petrolium gas);
d. nitrogen dioksida (NO2);
e. nitrogen oksida (NO);
f. sulfur oksida (SOx);
g. hidrogen sianida (HCN);
h. karbon mono-oksida (CO);
i. karbon dioksida (CO2);
j. formaldehida (H2CO); dan
k. hidrokarbon (CnH2n).

yang berasal dari asap rokok, asap knalpot kendaraan bermotor, tungku
pembakaran, dan dapur.

6.1.4. Bahan Alamiah yang Polutan

Bahan-bahan ini di antaranya:

a. tanaman;
b. binatang;
c. logam berat (merkuri, timbal dan tembaga); dan
d. gas yang mengandung radio aktif (gas Radon).

Bahan-bahan ini terbawa oleh binatang peliharaan, air yang dikonsumsi, atau
tanaman dan pakaian manusia.

6.1.5. Medan Elektromagnit

Banyak kantor dan ruang kerja diberi alas untuk mencegah elektro statik agar
terhindar dari elektromagnit.

Jimmy S. Juwana 213


Pemasangan instalasi listrik yang tidak sempurna, peralatan motor listrik,
berada di dekat saluran utama tegangan ekstra tinggi (SUTET) atau sistem
pembumian (grounding system) yang tidak baik, ditengarai dapat menyebabkan
timbulnya medan elektro magnit.

6.1.6. Kelembapan Udara

Tingkat kelembapan udara dalam ruang dapat berpengaruh pada tingkat


pertumbuhan bakteri, virus, jamur dan gangguan kesehatan (Gambar 6.2).

Sumber: Johnson, 1994

Gambar 6.2. Tingkat Kelembapan Relatif dalam Ruang

6.1.7. Pengaruh Mutu Udara bagi Kesehatan

Ada dua kondisi yang mempengaruhi kesehatan manusia terkait dengan mutu
udara dalam gedung:

Jimmy S. Juwana 214


a. Sick Building Syndrome (SBS)

SBS terjadi bila sejumlah penghuni bangunan gedung secara substansial


mengalami ketidaknyamanan dan gangguan kesehatan. Penyebab dari gejala
ini umumnya tidak begitu diketahui, namun biasanya terkait dengan mutu udara
dalam bangunan. Gejala ini berkurang atau hilang jika keluar dari bangunan.
Kondisi ini disebabkan oleh kondisi mutu udara yang kurang baik, dapat berupa
adanya organisme yang berbahaya (volatile organic compound – VOC), kadar
CO2 di atas ambang batas, atau udara dalam ruangan tercemar oleh debu atau
partikel lainnya.

Pola yang muncul terkait SBS ini:


1) gejalanya tidak spesifik;
2) bangunan efisien dalam penggunaan energi;
3) ada alat bantu yang memaksa udara masuk ke dalam ruangan;
4) penghuni tidak cukup memiliki kendali atas lingkungannya;
5) keluhan bertambah dengan bertambahnya populasi dalam ruangan; dan
6) gejala kerap timbul pada siang hari.

Gejala yang timbul akibat SBS ini, antara lain:


1) cepat lelah;
2) mengantuk;
3) iritasi pada mata dan kulit;
4) gangguan pernafasan dan tenggorokan; dan
5) alergi.

SBS ini dapat dimitigasi dengan:


1) menambah udara alami/segar ke dalam ruangan;
2) memastikan bahwa sistem ventilasi terpelihara baik dan benar;
3) mencegah gangguan sirkulasi udara pada ruangan yang sedang digunakan;
4) menjaga suhu dan kelembapan yang dapat tingkat yang seimbang; dan
5) mewaspadai kemungkinan adanya kontaminasi udara.

Perbaikan dan/atau pembersihan sistem tata udara dan ventilasi serta ruangan
dari debu dan mengganti jenis tanaman tertentu dapat mengatasi hal ini.

b. Building Related Illness (BRI).

BRI merupakan hal yang lebih berbahya dibandingkan dengan SBS, namun
dapat dikenali atau diidentifikasi melalui pemeriksaan klinis. Gejalanya mungkin
saja mirip dengan gejala SBS, tetapi tidak mudah hilang dengan cepat. Hal ini
umumnya disebabkan oleh adanya kontaminasi dari mikroba dan/atau zat kimia
tertentu yang menyebabkan timbulnya alergi dan/atau gangguan kesehatan.

Jimmy S. Juwana 215


Pada kasus BRI terjadi pembatas yang jelas antara gejala dan pengaruh satu
atau lebih dari adanya bahan beracun atau zat tertentu yang memicu munculnya
penyakit, seperti:
1) alergi pernapasan, seperti sinusitis dan rhinosinusitis, pharyngitis, asma,
pneumonia dan pneumonitis hipersensitif, serta demam inhalasi;
2) iritasi pada jaringan lendir;
3) penyakit menular, seperti Legionair, demam; dan
4) dermatitis, seperti alergi dan iritasi
5) penyakit psikogenik, dan keracunan gas karbon.

Beberapa hal yang umumnya muncul dari kontaminasi biologis:


1) jamur;
2) bakteri;
3) virus;
4) racun mikroba;
5) tepung sari;
6) kutu, bulu dan kulit binatang;
7) serangga;
8) tikus dan binatang pengerat; serta
9) burung dan unggas.

Tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah BRI di antaranya mencegah


masuknya air dan uap air ke dalam bangunan melalui kebocoran, kelembapan
relatif yang tinggi, banjir, limpasan air, penetrasi air tanah dan barang yang
basah.

Tempat di dalam bangunan yang dapat menyebabkan mikro organisme


berkembang biak, seperti pada:
1) plafon yang rusak akibat kebocoran;
2) lapisan dinding yang lembap;
3) lapisan penutup dinding;
4) kayu;
5) karpet; dan
6) lapisan insulasi.

BRI merupakan situasi di mana penghuni suatu gedung mengalami efek


kesehatan akut yang tampak berhubungan dengan waktu yang dihabiskan
dalam suatu gedung, tetapi tidak ada penyakit atau penyebab spesifik yang
dapat diidentifikasi.

Jimmy S. Juwana 216


c. Penyakit yang Disebabkan oleh Adanya Bahan Berbahaya dan
Beracun.

Berbeda dengan SBS, keberadaan bahan-bahan beracun dan berbahaya yang


secara terus menerus dialami oleh orang yang bekerja, lama kelamaan akan
menyebabkan timbulnya penyakit yang serius, oleh karenanya ada beberapa
jenis bahan bagunan sudah tidak boleh lagi digunakan karena akan berdampak
pada kesehatan manusia.

Di antara sekian banyak material, kandungan bahan berbahaya dan gas, berikut
ini beberapa jenis bahan dan dampaknya pada manusia:

1) asbestos dapat menyebabkan kanker paru-paru;


2) formaldehida dapat menyebabkan kanker dan kerusakan ginjal;
3) bakteri Legionair dapat menyebabkan kematian;
4) gas radon dapat menyebabkan kanker; dan
5) tikus dapat menyebabkan penyakit leprosis.

Pemilihan perabot, bahan cat dan perekat perlu memperhatikan kandugan zat
kimia yang terkandung di dalamnya. Selanjutnya, daerah di bawah peralatan
sistem tata udara (cooling tower) yang selalu tergenang air, lembap dan
berlumut dapat menyebabkan bakteri Legionair berkembang biak, dan ruang
yang lembap dapat menyebabkan tumbuhnya jamur dan renik-renik organis
yang dapat mengganggu kesehatan.

6.2. Sistem Tata Udara

Mesin penyejuk/pendingin udara atau pengkondisian udara (Air Conditioning –


AC) atau pada sistem tata udara yang dipusatkan menggunakan Unit
Penghantar Udara (Air Handling Unit – AHU) semakin banyak digunakan pada
bangunan tinggi. Penggunaan sistem tata udara ini sejalan dengan
perkembangan teknologi dan kebutuhan manusia untuk mendapatkan
kenyamanan di dalam bangunan.

Fungsi sistem tata udara adalah mempertahankan suhu dan kelembapan dalam
ruangan dengan cara menyerap panas yang ada dalam ruangan. Agar terjadi
proses penyerapan panas dalam ruangan, maka harus terjadi penguapan.
Untuk penguapan suatu zat diperlukan kalori (panas), di mana panas diperoleh
dari panas zat yang ada di sekitar zat yang menguap tadi, sehingga zat yang
ada di sekitar zat yang menguap tersebut akan kehilangan panasnya. Dengan
diserapnya sebagian panas zat tersebut, maka zat tadi akan menjadi dingin.
Bahan yang mudah sekali menguap biasa disebut dengan istilah refrigerant, dan
bahan yang sering digunakan dikenal dengan istilah Freon (CCI3F CH4 –

Jimmy S. Juwana 217


Trichloro Mono Fluoro Methan, CCl2F3 CH4 – Dichloro Difluoro Methan, CCl3F
C2H6 – Trichloro Trifluoro Ethan, C2Cl2F4 C2H6 – Dichloro Tetrafluoro Ethane).

Secara umum sistem tata udara dengan siklus refrigerasi mempunyai


komponen dasar yang sama namun bentuk fisik dan konfigurasinya dapat
berlainan. Klasifikasi sistem tata udara dapat didasarkan pada berbagai macam
seperti: jenis teknologi, sistem pengendali, tujuan pemakaian, kapasitas, dan
lain-lain.

Jenis teknologi sistem tata udara berbasis siklus refrigerasi antara lain
mencakup sistem tata udara berbasis refrigerasi:

a. kompresi;
b. absorbsi;
c. elektroluks
d. expendable refrigerant;
e. termoelektrik;
f. es kering (dry ice); dan
g. steam-Jet.

Dari sistem-sistem tata udara tersebut yang sampai saat ini paling banyak
pemakaiannya dan semakin berkembang sistemnya adalah yang berbasis
refrigerasi kompresi. Dalam bahasan buku ini yang banyak dibicarakan adalah
sistem tata udara berbasis refrigerasi kompresi, dan selanjutnya hanya disebut
sistem tata udara.

Mesin tata udara terdiri dari kompresor yang berfungsi untuk mengalirkan zat
pendingin (refrigerant) ke dalam pipa tembaga yang berbentuk kumparan (coil).
Udara ditiupkan oleh kipas udara (blower atau fan) di sela-sela kumparan tadi,
sehingga panas yang ada dalam udara diserap oleh pipa refrigerant dan
kemudian mengembun. Udara yang melalui kumparan, dan telah diserap
panasnya, masuk ke dalam ruangan dalam keadaan sejuk/dingin. Selanjutnya,
udara dalam ruang diisap untuk kemudian proses penyerapan panas diulang
kembali.

6.3. Jenis Mesin dan Peralatan Sistem Tata Udara Sistem Kompresi

Pengkondisian udara yang terkait dengan pengendalian kelembapan udara


pertama kali digunakan di pemintalan tekstil di Amerika pada permulaan abad
20, dan mulai tahun 1920-an mulai digunakan untuk keperluan yang lebih luas
bagi kebutuhan kenyamanan. Setelah itu terjadi peningkatan yang cukup tinggi
pada bangunan komersial yang membutuhkan cara yang efektif untuk
mendapatkan udara sejuk/dingin dan cara menurunkan kelembapan udara
dalam ruangan (Gambar 6.3).

Jimmy S. Juwana 218


Sumber: Sulistyanto, 2016 Sumber: SNI 6390:2020

Catatan: *) Perhitungan efisiensi menggunakan metode Cooling


Seasonal Performance Factor (CSPF)
**) Perhitungan efisiensi menggunakan metode
Seasonal Coefficient of Performance (SCOP)

Gambar 6.3. Standar Efisiensi Minimum Sistem Tata Udara

Jika kelembapan dalam ruang terlalu rendah (udara terlalu kering), maka akan
timbul kemungkinan terjadinya ‘elektro statik’, namun jika kelembapan dalam
ruang terlalu tinggi (udara basah), maka akan dapat menyebabkan gangguan
kesehatan akibat berkembangnya jamur, bakteri dan virus.

Meskipun banyak ragam dan jenis mesin tata udara, namun pada dasarnya
hanya ada dua sistem tata udara, yaitu Sistem Tata Udara Langsung dan Tidak
Lansung. Dari pengelompokan tersebut, di dalam SNI 03-6390 – 2020,
diurutkan dari yang paling boros energi ke yang paling efisien sesuai dengan
tipe mesin refrigerasinya.

6.3.1. Sistem Tata Udara Langsung (Direct Cooling)

Pada sistem tata udara jenis ini, udara diturunkan suhunya oleh refrigerant dan
disalurkan ke dalam ruangan tanpa saluran udara (ducting). Jenis yang umum
digunakan adalah pada jenis AC Window dengan kapasitas antara 0,75 TR –
2,5 TR (Gambar 6.4), AC Split Unit dengan kapasitas 0,75 TR – 3 TR. Dan AC
Package Unit dengan kapasitas sampai 5 – 10 TR.

Jimmy S. Juwana 219


Gambar 6.4. AC Window

Pada AC Window (Gambar 6.4), Kondensor, Kompresor, Evaporator dan


Blower berada dalam satu kotak. Proses pendingian udara terlihat pada
Gambar 6.5.

Sumber: https://learnmech.com/window-air-conditioner-working-and-installation/

Gambar 6.5. Skematik Proses Pertukaran Udara

Mesin Tata Udara jenis Split Unit terbagi atas dua unit terpisah, satu di bagian
luar ruangan (outdoor unit) yang berisi kondensor dan kompresor, sedang unit
yang lain berada di dalam ruangan (indoor unit) berisi evaporator dan kipas
udara (fan atau blower). Kompresor memompakan cairan refrigerant (freon)
yang dingin ke indoor unit melalui pipa tembaga (yang diinsulasi). Pada indoor

Jimmy S. Juwana 220


unit udara akan ditiup dengan bantuan blower melalui sela-sela kumparan pipa
tembaga (Evaporator). Akibat penyerapan panas, cairan refrigeran (freon)
berubah menjadi gas freon dan dialirkan kembali ke outdoor unit.

Sumber: https://inspectapedia.com/aircond/Air-Conditioner-Operating-Defects-FAQs.php

Gambar 6.6. Skematik Proses Aliran Refrigeran

Selanjutnya, oleh kondensor gas freon didinginkan dan berubah menjadi cairan
dan siap dialirkan ke indoor unit (Gambar 6.6). Air akibat kondensasi dialirkan
keluar melalui pipa pembuangan. Jarak antara outdoor unit dengan indoor unit
berkisar antara 15 – 20 m.

Untuk jenis AC Split dengan kapasitas yang besar, unit dalam ruang dapat lebih
dari satu unit (multi split) sedang unit ruang luarnya (outdoor unit) tetap satu.
Unit dalam ruang mempunyai berbagai alternatif pemasangan: di dinding (wall
mounted) sebagaimana terlihat pada Gambar 6.7, di plafon/langit-langit (ceiling
mounted) dan di lantai (floor standing). Di samping itu, ada jenis yang dipasang
pada langit-langit di tengah ruangan (model cassette).

Keunggulan model cassette, AC dapat dilengkapi dengan pipa yang dapat


memasok udara segar (fresh air), sehingga mutu udara dalam bangunan dapat
lebih baik.

Jimmy S. Juwana 221


Gambar 6.7. AC Split
Sistem Variable Refrigerant Flow (VRF) mirip dengan sistem multi-split yang
menghubungkan satu bagian luar ke beberapa evaporator. Perbedaannya
adalah pada sistem multi-split unit indoor dan unit outdoor posisi off atau on
sepenuhnya diatur oleh satu master controller, sedangkan sistem VRF
refrigeran dalam sistem tetap mengalir terus dan jumlah refrigeran yang
mengalir menyesuaikan ke setiap evaporator dalam ruangan. Kendali dicapai
dengan memvariasikan aliran pendingin secara kontinu melalui katup modulasi
pulsa (Pulse Modulating Valve – PMV) yang bukaannya ditentukan oleh
mikroprosesor yang menerima informasi dari sensor termistor di setiap unit
dalam-ruang. Unit dalam ruangan dihubungkan oleh kabel pengendali ke unit
luar ruang yang merespon permintaan dari unit dalam ruang dengan
memvariasikan kecepatan kompresornya agar sesuai dengan total kebutuhan
pendinginan. Jenis indoor unit dapat bervariasi dari tipe wall mounted, ceiling
mounted cassette, ceiling mounted duct, ceiling suspended, 4-way flow ceiling
suspended, floor standing, floor standing duct, dan concealed floor standing
seperti terlihat di Gambar 6.8.

Sistem VRF menjanjikan strategi yang lebih hemat energi (perkiraan berkisar
antara 11% hingga 17% lebih hemat energi dibandingkan dengan unit
konvensional) dengan biaya awal yang agak lebih tinggi.

Jimmy S. Juwana 222


Sumber: Sulistyanto, 2016

Gambar 6.8. Sistem AC VRF Multi Outdoor dan Multi Indoor Unit

Unit Paket (Package Unit) sebagaimana terlihat pada Gambar 6.9. kadang-
kadang dihubungkan dengan saluran udara (ducting); dinamakan Package
System – Duct Mounted. Sistem ini kadang-kadang mempunyai dua unit
terpisah (seperti model AC Split). Unit luar terdiri dari Kondensor, Kompresor
dan Kipas Udara, sedang unit dalam terdiri dari Kumparan Pendingin
(Evaporator), Saringan Udara, Filter dan Panel Kendali.

Sumber: https://climate-mastersinc.com/hvac-repair/central-air-repair/

Gambar 6.9. Package Unit


6.3.2. Sistem Tata Udara Tidak Langsung (Indirect Cooling)

Berbeda dengan sistem tata udara langsung, dalam sistem ini refrigeran yang
digunakan bukan Freon tetapi air sejuk (chilled water) dengan suhu sekitar 5oC.

Jimmy S. Juwana 223


Air sejuk dihasilkan dalam chiller. Sistem ini dikenal sebagai sistem tata udara
terpusat (Central Air Conditioning System) yang secara umum dapat dilihat
pada Gambar 6.10.

Gambar 6.10. Sistem AC Central

a. Unit Penghantar Udara (Air Handling Unit – AHU)

Pada sistem ini, udara ditiupkan di antara kumparan yang berisi air sejuk dalam
unit penghantar udara (Air Handling Unit – AHU). Dalam unit ini di samping
terdapat kumparan pipa (coil) yang berisi air sejuk terdapat pula blower dan
saringan udara (Gambar 6.11).

Sumber: https://www.quora.com/Whats-the-difference-between-fan-coil-and-AHU

Gambar 6.11. Unit Penghantar Udara (AHU)

Jimmy S. Juwana 224


Fungsi AHU adalah sebagai pengolah udara dengan tahapan proses sebagai
berikut:

1) Mencampur udara balik dari ruangan dengan udara luar pada prosentase
tertentu.
2) Mendinginkan udara tersebut sesuai dengan suhu yang diinginkan.
3) Menyaring udara hingga bersih dari partikel debu.
4) Mengalirkan sejumlah udara dingin ke ruangan yang membutuhkan melalui
saluran udara (ducting).

Sumber: https://priceengineering.co.uk/fan-coil-units/

Gambar 6.12. Fan Coil Unit

Ada tiga jenis AHU yang sering digunakan:

1) fan-Coil Unit (Gambar 6.12);


2) suspended AHU;
3) floor-mounted AHU; dan
4) built-up AHU.

b. Mesin Pembuat Air Sejuk (Chiller)

Dengan bantuan kompresor, kondensor dan pendingin (cooler) dihasilkan


sejumlah air sejuk yang kemudian dipompakan dan dialirkan melalui pipa ke
AHU yang memerlukannya (Gambar 6.13).

Jenis yang umum digunakan adalah:

1) air-cooled chiller; dan


2) water-cooled chiller.

Jimmy S. Juwana 225


Air-cooled Chiller

Water-cooled Chiller

Sumber:https://www.hvacinvestigators.com/webinars/the-basics-of-chillers-how-they-work-where-theyre-
used-

Gambar 6.13. Mesin Pembuat Air Sejuk (Chiller)

c. Kondensor (Condenser)

Fungsinya adalah melepas kalor refrigerant ke medium sekelilingnya (air atau


udara) agar refrigerant dapat dikondensasikan dan diuapkan kembali ke
evaporator (Gambar 6.14).

Jimmy S. Juwana 226


.Sumber: https://www.cooperclimatecontrol.com/wp-content/uploads/2014/05/condensercutaway.jpg
Gambar 6.14. Kondensor (Condenser)

Ada tiga jenis yang umum digunakan:

1) air cooled condenser;


2) water cooled condenser; dan
3) evaporative condenser.

d. Menara Pendingin (Cooling Tower)

Fungsinya adalah sebagai alat penukar kalor dan massa antara air dengan
udara, sehingga air pendingin kondensor dengan suhu tinggi dapat diturunkan
dan untuk selanjutnya air dapat digunakan kembali untuk kebutuhan pendingin
kondensor (Gambar 6.15).

Sumber: https://www.aesarabia.com/cooling-tower-packages/
Gambar 6.15. Menara Pendingin

Jimmy S. Juwana 227


a. Mechanical Draft b. Natural Atmospheric Draft
Sumber: Poerbo, 1992
Gambar 6.16. Jenis Menara Pendingin
Ada tiga jenis yang digunakan:

1) mechanical draft atau force draft (Gambar 6.16.a);


2) natural atmospheric draft atau induce draft (Gambar 6.16.b); dan
3) mechanical & atmospheric.

6.4. Jalur dan Saluran Udara Dingin (Ducting)

Telah dibahas pada bab sebelumnya bahwa lease span, akan terkait dengan
tinggi lantai ke lantai 3,70 m, jika menggunakan balok beton, atau 3,40 m jika
menggunakan balok rangka baja. Dengan tinggi bersih lantai ke plafon sebesar
2,60 m (optimal untuk bangunan perkantoran), maka alokasi ruang untuk
saluran tata udara seperti Gambar 6.17.

Jimmy S. Juwana 228


Gambar 6.17. Potongan Ruang Sewa Bangunan Perkantoran
Pada pengkondisian yang menggunakan AC window, split system atau sistem
paket (package system) tidak diperlukan saluran udara dingin. Namun jika
menggunakan sistem pengkondisian udara yang dipusatkan (central air
conditioning), maka saluran udara dingin diperlukan (Gambar 6.18).

Sumber: Nelson, 1995

Gambar 6.18. Tipikal Saluran Tata Udara (Ducting)

Pemasangan saluran distribusi tata udara perlu diintegrasikan dengan sistem


dan pola struktur yang ada (Gambar 6.19).

Jimmy S. Juwana 229


Sumber: https://www.portableac.com/blog/commercial-hvac-residential-hvac/

Gambar 6.19. Integrasi Saluran Tata Udara dengan Struktur Lantai

Alternatif sistem tata udara dapat juga dilakukan tanpa saluran (Plenum) seperti
pada Gambar 6.20, di mana udara sejuk dipasok di atas plafón dan
disemprotkan dengan blower yang dilengkapi filter.

Sumber: https://www.gotopac.com/turnkey-cleanroom-environments

Gambar 6.20. Saluran Tata Udara Di Atas Plafon (Sistem Plenum)

Udara sejuk dapat juga disalurkan melalui lantai yang berongga di bawahnya
(raised floor) seperti terlihat pada Gambar 6.21 dan tanpa rongga jaringan
utilitas lainnya. Hal ini umum digunakan pada bangunan pusat data atau kantor
yang banyak menggunakan peralatan elektronik.

Jimmy S. Juwana 230


Sumber: https://cbe.berkeley.edu/underfloorair/benefits_pr.htm

Gambar 6.21. Letak Saluran Tata Udara di Bawah Lantai

Gambar 6.22 menunjukkan integrasi sistem tata udara dengan jaringan utilitas
lainnya.

Sumber: Nelson, 1995

Gambar 6.22. Integrasi Saluran Tata Udara dan Jaringan Utilitas Lainnya

Pada bangunan di mana jarak lantai ke langit-langit terbatas (misalnya pada


kamar hotel), maka koridor dengan ketinggian langit-langit yang lebih rendah
dapat digunakan sebagai penempatan saluran udara (ducting) horizontal, yang
kemudian percabangannya digunakan untuk memasok udara dingin ke dalam
ruangan (Gambar 6.23).

Jimmy S. Juwana 231


Sumber: Nelson, 1995

Gambar 6.23. Letak Saluran Tata Udara di Jalur Koridor Hotel


6.5. Pengendalian Pasokan Udara

Untuk mengatasi beban udara panas dalam suatu ruangan, ada dua sistem tata
udara yang dapat dilakukan, yaitu dengan sistem zona tunggal dan zona ganda.

Pada sistem tata udara yang dipusatkan (Central AC), ada dua sistem
pengendalian volume udara, sistem pengendalian volume udara tetap (Constant
Volume – CV) dan pengendalian volume udara tidak tetap (Variable Volume –
VV).

a. Pengendalian Volume Udara Tetap

Sistem ini menjaga volume pasokan udara pada suhu yang berubah-ubah, dan
mempunyai keuntungan karena menyediakan suatu pergerakan udara dan
pasokan udara sejuk/segar yang tetap pada ruangan yang mebutuhkan. Suara
yang timbul pada salura udara juga tetap, sehingga mengurangi gangguan bagi
penghuni/ pengguna bangunan. Namun demikian sistem ini membutuhkan
energi yang cukup besar.

b. Pengendalian Volume Udara Tidak Tetap

Pada sistem ini volume pasokan aliran udara akan berkurang dengan turunnya
suhu udara dalam ruangan (turunnya beban kalor). Sistem ini membutuhkan
energi yang rendah, mengingat daya yang dibutuhkan oleh kipas udara akan
berkurang sejalan dengan berkurangnya beban kalor. Namun demikian, aliran
udara yang tidak tetap akan menyebabkan pergerakan udara yang kurang
memadai dan menyebabkan timbulnya suara bising dalam saluran udara, yang
disebabkan oleh aliran udara yang tidak tetap.

6.5.1. Sistem Zona Tunggal

Sistem zona tunggal biasanya digunakan untuk ruangan besar, seperti ruangan
pertemuan, bioskop/teater, perpustakaan atau laboratorium. Keuntungan dari
sistem ini adalah biaya awal yang relatif murah, sederhana, mudah

Jimmy S. Juwana 232


perancangan, pemasangan dan pemeliharaan/perawatannya. Namun demikian
sistem ini membutuhkan saluran udara utama dengan dimensi yang besar,
sehingga terjadi pemborosan ruangan. Di samping itu, sistem zona tunggal ini
sulit untuk mengatur suhu dan kelembapan udara untuk ruangan yang banyak,
jika tidak dilengkapi dengan pengatur suhu udara (thermostat) yang terpisah
(independen).

Gambar 6.24 merupakan skema penggunaan sistem zona tunggal dengan


pengendalian pasokan volume udara tak tetap (VV), sedang Gambar 6.25
adalah sistem zona tunggal dengan pengendalian pasokan volume udara tetap
(CV).

Sumber: Allen, E & Iano, J, 2017, dimodifikasi

Gambar 6.24. Sistem Zona Tunggal – VV

Jimmy S. Juwana 233


Sumber: Allen, E & Iano, J, 2017, dimodifikasi
Gambar 6.25. Sistem Zona Tunggal – CV

6.5.2. Sistem Zona Ganda

Pada sistem ini diperlukan pengendalian yang terpisah (independen) bagi zona
yang ingin dilayani dengan saluran udara yang sederhana (seperti halnya
sistem zona tunggal). Termostat (alat pengatur suhu udara ruangan) pada tiap
zona mengatur sebuah damper untuk mengendalikan laju aliran udara dingin
menuju zona tertentu (Gambar 6.26). Pada beban pendingin yang rendah laju
aliran udara diturunkan sehingga beban pendingin yang dibutuhkan pada
kumparan (coil) juga menurun.

Jimmy S. Juwana 234


Sumber: Allen, E & Iano, J, 2017, dimodifikasi

Gambar 6.26. Sistem Zona Ganda – VV

6.6. Termodinamika Sistem Tata Udara

6.6.1. Diagram Proses Refrigerasi dan Siklus Kompresi Uap

Di dalam mesin sistem tata udara terdapat substansi kimia yang disebut
refrigeran (freon) yang bekerja dalam siklus tertutup dengan perubahan fase
cair ke gas dan sebaliknya melalui proses-proses kompresi, kondensasi,
ekspansi, dan evaporasi. Komponen dasarnya dapat dilihat di Gambar 6.27, dan
siklus refrigerasinya dapat dilihat di berikut. Komponen tersebut adalah:

Jimmy S. Juwana 235


a. Kompresor, untuk mengalirkan dan menaikkan tekanan gas refrigeran.
b. Kondensor, menerima gas refrigeran tekanan tinggi selanjutnya dicairkan
dengan membuang kalor laten melalui pendinginan udara atau pendinginan
air.
c. Alat ekspansi, berfungsi untuk menurunkan tekanan dan menyemprotkan
refrigeran ke dalam evaporator.
d. Evaporator, menguapkan refrigeran yang bertekanan rendah karena
menyerap kalor dari udara atau media yang didinginkan di sekeliling.

Sumber: Arismunandar & Saito, 1991 dan Sulistyanto, 2016 – dimodifikasi

Gambar 6.27. Diagram Proses Refrigerasi dan Siklus Kompresi Uap

Dari diagram P-h berikut, siklus refrigerasinya ditunjukkan oleh garis A-B-C-D,
dengan komponen:
A-B : gas dikompresi menyebabkan tekanan naik mencapai entalpi yang sama
dengan jumlah energi yang diberikan kompresor, semua terjadi pada
daerah panas lanjut dengan proses entropi.
B-B`: gas panas lanjut didinginkan di kondensor sampai suhu uap jenuh.
B`-C: kalor dibuang di kondensor, dan gas dikondensasikan ke fase cair.
C-D : tekanan turun karena melewati katup ekspansi tanpa perubahan entalpi
adiabatik).
D-A : penguapan ke kondisi jenuh kering di dalam evaporator, kalor laten
ditunjukkan oleh pertambahan entalpi yang disebut efek refrigerasi.

Koefisien Prestasi (Coefficient of Performance – COP) dari siklus refrigerasi


dipakai untuk menentukan efisiensi siklus yaitu merupakan perbandingan dari
kalor yang diserap oleh evaporator dengan energi kalor ekivalen yang dicatu ke
kompresor. Istilah tersebut dapat diaplikasikan ke mesin refrigerasi yang
sebenarnya dan dirumuskan sebagai berikut:

COP = (efek refrigerasi) / (kerja kompresi) Persamaan 6.1

Jimmy S. Juwana 236


Q m(h - h ) h -h
𝑪𝑶𝑷 = Q e = m(hA - hD) = hA - hD Persamaan 6.2
w B A B A

di mana : Qe = efek refrigerasi [kW]


Qw = kerja kompresi [kW]
m = laju alir refrigreran yang disirulasi dalam sistem
[kg/s]
hA = entalpi dari gas yang masuk kompresor [kJ/kg]
hB = entalpi dari gas yang masuk kodensor [kJ/kg]
hD = entalpi cair jenuh masuk ke katup ekspansi [kJ/kg]

Harga dari masing-masing entalpi dapat diperoleh dengan pengukuran tekanan


absolut dan suhu refrigeran pada titik yang diinginkan. Standar COP minimum
untuk berbagai tipe sistem tata udara ditunjukkan pada Gambar 6.3.

6.7. Perancangan Tata Udara

6.7.1. Ruang Dingin Ditinjau Sebagai Sistem Termodinamika

Sumber: Modifikasi dari Stanford, 1988 dan Sulistyanto, 1993.

Gambar 6.28. Keseimbangan Energi dalam System Boundary.

Ruang dingin atau bangunan ber AC bila ditinjau menurut hukum termodinamika
I, bahwa semua energi yang masuk ke system boundary dapat dihitung sebagai
energi yang tersimpan di dalam system boundary atau dikembalikan ke luar.
Berarti akan terjadi proses pemasukan dan pelepasan energi karena perubahan
kondisi sekeliling seperti suhu dan kelembapan. Gambar 6.28 a menunjukkan
konsep umum system boundary yang diterapkan pada ruang dingin, Gambar
6.28 b menunjukkan proses keseimbangan energi, yaitu energi masuk ke sistem
dalam bentuk tertentu dan keluar dalam bentuk lain.

Jimmy S. Juwana 237


6.7.2. Kondisi Nyaman

Kenyamanan bagi orang di dalam ruangan umumnya sekitar 10o C di bawah


suhu rata-rata tubuh manusia (sekitar 26o C). Namun tentunya persyaratan suhu
dan kelembapan udara dalam ruangan kadang-kadang ditentukan pula oleh
persyaratan yang dibutuhkan oleh peralatan/perlengkapan bangunan yang ada
di dalamnya (khususnya peralatan/perlengkapan elektronik).

Dalam perhitungan desain sistem tata udara hal yang sangat perlu diperhatikan
adalah kondisi ‘nyaman’ (comfort). Clifford, 1984, mendefinisikan ‘nyaman’ ini
sebagai kondisi ruangan yang orang merasa enak, dan akan merasa tidak enak
bila kondisinya dirubah.

Zona kenyamanan untuk tiap daerah juga berbeda, sehingga persyaratan tata
udara perlu dirancang sesuai dengan kondisi setempat (Gambar 6.29).

Sumber: PP nomor 16, 2021

Gambar 6.29. Zona Nyaman untuk Wilayah dengan Iklim Berbeda

6.7.3. Beban Pendinginan

Persyaratan tata udara, khususnya yang terkait dengan pasokan udara untuk
ventilasi dapat dilihat pada Tabel 6.1.

Jimmy S. Juwana 238


Tabel 6.1. Persyaratan Udara untuk Berbagai Fungsi Ruang
Pasokan Udara untuk Ventilasi
[m3] per [m3] per
Jenis Ruang jam per Jenis Ruang jam per
orang orang
Sekolah : Balai/Rg. Pertemuan 4 – 10
- Ruang Kelas 60 – 70 Bowling/Bilyar 10 – 20
- Ruang Pertemuan 35 – 45 Pabrik 2–4
- Ruang 70 Gedung Parkir 6 – 10
Senam/O.R.
Bioskop/Teater 60 – 120 WC Umum 10 – 20
Rawat Inap RS 70 – 95 Ruang Ganti/Locker 6 – 10
Ruang Isolasi RS 200 – 245 Binatu 10 – 30
Ruang Makan 55 – 120 Ruang Operator 6 – 10
Bangsal Pesta 70 – 85 Ruang Merokok 10 – 20

Untuk kebutuhan udara dingin, sebagai pendekatan dapat digunakan Tabel 6.2.

Tabel 6.2. Beban Pendingin

Fungsi Bangunan Gedung Beban per 100 m3 Ruangan [TR]


Apartemen 0,5 – 1,0
Hotel 1,0 – 1,5
Kampus 1,5 – 2,0
Kantor 1,5 – 2,0
Rumah Sakit 1,0 – 1,6
Catatan: 1 TR = 12.000 BTU = 1,5 HP = 1,12 KW

Untuk perhitungan beban pendingin secara rinci, maka perlu diketahui ukuran
ruangan (panjang, lebar dan tinggi), suhu (t0) dan kelembapan (RH0) di luar
ruangan, suhu (t1) dan kelembapan (RH1, biasanya sekitar 50 – 80%) di dalam
ruangan, kulit bangunan, tinggi jendela dan langit-langit, serta tingkat
penghunian bangunan (okupansi).
𝐿𝑏𝑟𝑢𝑡𝑜
𝑂𝑘𝑢𝑝𝑎𝑛𝑠𝑖 = 𝐿 Persamaan 6,3.
𝑝𝑒𝑟−𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔

di mana : Lper-orang = luas per orang diambil antara 15 – 20 per m2

a. Beban Sensibel Bangunan

Selanjutnya, untuk menghitung beban sensibel, baik beban kalor yang melalui
bidang kaca, maupun beban kalor yang disebabkan oleh transmisi bidang
dinding, perlu ditentukan nilai-nilai yang terkait (Tabel 6.3)

Jimmy S. Juwana 239


Tabel 6.3. Beban Kalor Kulit Bangunan

Bidang Kulit Bangunan Beban Kalor [BTU/Jam/m2]


Kaca:
Sisi Utara 800
Sisi Selatan 400
Sisi Timur 900
Sisi Barat 1.000
Dinding:
Arah Utara 2,15 (t0 – t1)
Arah Selatan 2,15 (t0 – t1)
Arah Timur 2,15 (t0 – t1)
Arah Barat 2,15 (t0 – t1)
Catatan: Untuk Indonesia : (t0 – t1) = 5O C

Jadi Beban Sensibel Bangunan (BSB):

BSB Lbidang.Bebankalor
Persamaan 6.4.

b. Beban Kalor Internal

Beban internal terdiri dari beban sensibel orang, yang dihitung dari tingkat
metabolik untuk kegiatan tertentu (Tabel 6.4), atau melalui pendekatan dapat
digunakan nilai Beban Sensibel Orang (BSO) dan Beban Latent Orang (BLO),
sebagai berikut:

Tabel 6.4. Tingkat Metabolik untuk Kegiatan Tertentu

Kegiatan Tingkat Metabolik Watt/m2


Istirahat:
- Tidur 0,7 40
- Berbaring 0,8 46
- Duduk Diam 1,0 58
- Berdiri Santai 1,2 69
Berjalan – mendatar:
- Lambat (0,9 m/detik) 2,0 116
- Sedang (1,3 m/detik) 2,6 151
- Cepat (1,7 m/detik) 3.8 221
Kegiatan Kantor:
- Duduk Membaca 1,0 58
- Menulis 1.0 58
- Mengetik 1,1 64
- Mengarsip, Duduk 1,2 69

Jimmy S. Juwana 240


Kegiatan Tingkat Metabolik Watt/m2
- Mengarsip, Berdiri 1,4 81
- Berjalan Mondar Mandir 1,7 98
- Mengangkat Barang 2,1 122
Kegiatan Keseharian:
- Memasak 1,6 – 2,0 93 – 116
- Membersihkan Rumah 2,0 – 3,4 116 – 197
- Duduk, Bergoyang-
2,2 128
goyang
- Menggergaji (di Meja) 1,8 194
- Peralatan Listrik Ringan 2,0 – 2,4 116 – 139
- Peralatan Berat 4,0 232
- Mengangkat Beban 50
4,0 232
kg.
- Menyekop 4,0 – 4,8 132 – 279
Kegiatan Santai:
- Berdansa 2,4 – 4,4 139 – 256
- Latihan Gerak 3,0 – 4,0 174 – 232
- Bermain Tenis (Tunggal) 3,6 – 4,0 209 – 232
- Bermain Bola Basket 5,0 – 7,6 291 – 442
- Gulat (Pertandingan) 7,0 – 8,7 407 – 506

Catatan: 1 unit metabolik = 58,2 Watt/m2

𝐵𝑆𝑂 = 𝑜𝑘𝑢𝑝𝑎𝑛𝑠𝑖. 200 [BTU/Jam] Persamaan 6.5.


𝐵𝐿𝑂 = 𝑜𝑘𝑢𝑝𝑎𝑛𝑠𝑖. 250 [BTU/Jam] Persamaan 6.6.

Beban sensibel lampu Fluorecent (TL), digunakan:

𝐵𝑆𝐿 = (∑ 𝑊𝑎𝑡𝑡). (1,25). (3,4) [BTU/Jam] Persamaan 6.7.

c. Beban Ventilasi atau Infiltrasi

Kebutuhan udara dapat dihitung dengan rumus pendekatan:

1) CFM Infiltrasi (CFM1), yaitu:


𝑃.𝐿.𝑇.𝐴𝐶.35,31
𝐶𝐹𝑀1 ⥂= [BTU/Jam] Persamaan 6.8.
60

di mana : P adalah panjang ruangan [meter]


L adalah lebar ruangan [meter]
T adalah tinggi ruangan [meter]
AC adalah jumlah pertukaran udara per jam
(menggunakan nilai pada Tabel 6.1 atau

Jimmy S. Juwana 241


AC minimum = 2)
2) CFM Ventilasi (CFM2), yaitu:

𝐶𝐹𝑀2 = [(𝑡0 − 𝑡1 ). 1,08 + (𝑅𝐻0 − 𝑅𝐻1 ). 0,67] Persamaan 6.9.

Jadi beban pendingin (BP):


𝐵𝑃 = 𝐵𝑆𝐵 + 𝐵𝑆𝑂 + 𝐵𝐿𝑂 + 𝐵𝑆𝐿 + 𝐶𝐹𝑀1 + 𝐶𝐹𝑀2 Persamaan 6.10.
di mana : BSB adalah Beban Sensibel Bangunan (Persamaan 6.4)
BSO adalah Beban Sensibel Orang (Persamaan 6.5)
BLO adalah Beban Latent Orang (Persamaan 6.6)
BSL adalah Beban Sensibel Lampu (Persamaan 6.7)
CFM1 adalah Beban Infiltrasi (Persamaan 6.8)
CFM2 adalah Beban Ventilasi (Persamaan 6.9)
Kapasitas Pengkondisian Tata Udara (Q):
𝐵𝑃
𝑄 = 12000 TR Persamaan 6.11

Formula sederhana yang dapat digunakan untuk menghitung kapasitas


pengkondisian tata udara suatu ruangan:
𝐿.𝑊.𝐻.𝐼.𝐸
𝑄= [BTU/Jam] Persamaan 6.12
60

di mana: L adalah panjang ruang [feet] 1 feet = 30,48 cm


W adalah lebar ruang [feet]
H adalah tinggi ruang [feet]
I adalah koefisien ruang:
10 untuk ruangan di lantai bawah/berimpit dengan ruang
lain
18 untuk ruangan di lantai atas
E adalah koefisein arah dinding terpanjang:
16 untuk menghadap Utara
17 untuk menghadap Timur
18 untuk menghadap Selatan
20 untuk menghadap Barat
60 adalah nilai konstanta

6.7.4. Perambatan Panas melalui Selubung Bangunan

Panas matahari masuk ke dalam bangunan melalui selubung/kulit bangunan,


baik dari dinding maupun atap. Panas yang masuk melalui dinding dan bukaan
ini akan mempengaruhi beban pendingin dalam ruangan. Panas matahari

Jimmy S. Juwana 242


inimasuk melalui proses konduksi dari dinding/atap dan bukaan (kaca), serta
radiasi melalui jendela (Gambar 6.30).

Sisi atau orientasi bukaan menjadi hal yang utama bagi pertimbangan
pemanfaatan cahaya alamiah, sekaligus menjadi masalah bagi kemungkinan
perolehan panas yang dihantarkan melalui kaca atau dinding bangunan. Hal ini
dikenal dengan Nilai Perpindahan Termal Menyeluruh – NPTM (Overall Thermal
Transfer Value – OTTV).

KONDUKSI
ATAP
KONDUKSI
ATAP
KONDUKSI
DINDING

RADIASI

KONDUKSI
KONDUKSI KACA
DINDING
ALIRAN
UDARA

RADIASI

KONDUKSI
DINDING KONDUKSI KACA

ALIRAN
UDARA

ALIRAN
UDARA KONDUKSI
DINDING

Sumber: Juwana, 2005

Gambar 6.30. Unsur Perolehan Panas Melalui Kulit Bangunan

Usaha penyelesaian untuk mengurangi radiasi matahari biasanya dilakukan


dengan berbagai tindakan, seperti: memilih bentuk dan bahan atap, membuat
overstek, tirai matahari, memilih bahan kulit bangunan, merencanakan
bukaan/ventilasi dan pengendalian angin serta kelembapan, seperti yang
dilakukan pada beberapa bangunan di Jakarta.

Jimmy S. Juwana 243


Dalam lingkup kawasan, dilakukan pengaturan letak bangunan terhadap
bangunan yang di sekitarnya dan penataan ruang di antara bangunan, baik
yang berkaitan dengan arah lintasan matahari, maupun arah aliran angin.

Pertimbangan akan rancangan gedung yang ‘hemat energi’ menjadi pemikiran


para arsitek untuk membantu mengurangi dampak pemanasan global yang
diakibatkan dari efek ‘rumah kaca’ dengan menempatkan tirai matahari pada
kulit bangunan.

Berbagai jenis kulit bangunan digunakan untuk mengurangi sengatan matahari


pada bangunan, di antaranya:

a. sirip vertikal;
b. sirip horizontal;
c. gabungan sirip vertikal dan horizontal;
d. dinding tirai; dan
e. dinding masif.

Jenis-jenis sirip/tirai matahari (sun screen) ini akan menghasilkan nilai OTTV
yang berbeda, sebagaimana hasil perhitungan/pengukuran, pada beberapa
bangunan perkantoran di Jakarta (Gambar 6.31).

Sumber: http://revit-windsurfer.blogspot.com/2015/07/alternative-uses-for-revit-curtain-walls.html

Gambar 6.31. Jenis-Jenis Tirai Matahari

Untuk menghitung nilai OTTV digunakan Persamaan 6.13.

(𝐴𝑤 .𝑈𝑤 .𝑇𝐷𝑒𝑘 )+(𝐴𝑓 .𝑈𝑓 .𝛥𝑇)+(𝐴𝑓 .𝑆𝑐 .𝑆𝑓 )


𝑂𝑇𝑇𝑉 = 𝐴𝑂
[W/m2] Persamaan 6.13.

Jimmy S. Juwana 244


di mana : Aw adalah luas dinding [m2]
Uw adalah transmisi termis dinding masif [W/m2 oK]
TDek adalah beda suhu ekivalen [oK]
Af adalah luas penetrasi [m2]
Uf adalah transmisi termis dari penetrasi [W/m2 oK]
T adalah beda suhu di luar dan dalam ruangan [5 oK]
Sc adalah faktor surya [W/m2]
Sf adalah koefisien peneduh
AO adalah luas bruto dinding luar = Aw + Af [m2]
Untuk setiap bidang dinding luar bangunan gedung dengan orientasi tertentu,
OTTV pada dinding luar yang memiliki arah atau orientasi tertentu harus dihitung
melalui persamaan seperti pada SNI 6389:2020 tentang Konservasi Energi
Selubung Bangunan pada Bangunan Gedung:

𝑂𝑇𝑇𝑉 = 𝛼[𝑈𝑤 (1 − 𝑊𝑊𝑅)𝑇𝐷𝐸𝐾 ] + (𝑈𝑓 . 𝑊𝑊𝑅. 𝛥𝑇) + 𝑆𝐶. 𝑊𝑊𝑅. 𝑆𝐹 Persamaan 6.14

di mana: α = absorbtans radiasi matahari. (Tabel 6.5 dan Tabel 6.6);


UW = Transmitans termal dinding tidak tembus cahaya
[W/m2.K];
WWR = Perbandingan luas jendela dengan luas seluruh dinding
luar pada orientasi yang ditentukan;
TDEK = Beda temperatur ekuivalen (K); (Tabel 6.11)
SF = Faktor radiasi matahari [W/m2];
SC = Koefisien peneduh dari sistem fenestrasi;
Uf = Transmitans termal fenestrasi [W/m2.K];
ΔT = Beda temperatur perencanaan antara bagian luar dan bagian
dalam. [diambil 5o K]

Persamaan 6.13 dan Persamaan 6.14 ini dapat disederhanakan menjadi:

𝑂𝑇𝑇𝑉 = 𝑄 = 𝑄𝑑𝑖𝑛𝑑𝑖𝑛𝑔 + 𝑄𝑗𝑒𝑛𝑑𝑒𝑙𝑎 + 𝑄𝑚𝑎𝑡𝑎ℎ𝑎𝑟𝑖 [W/m2] Persamaan 6.15

di mana: Qdinding adalah konduksi panas melalui dinding massif


Qjendela adalah konduksi panas melalui kaca pada dinding
Qmatahari adalah radiasi panas melalui kaca pada dinding

a. Konduksi Panas melalui Dinding (Qdinding)

𝑄𝑑𝑖𝑛𝑑𝑖𝑛𝑔 = 𝛼[𝑈𝑤 (1 − 𝑊𝑊𝑅)𝑇𝐷𝐸𝐾 ] Persamaan 6.16

di mana: α = absorbtans radiasi matahari. (Tabel 6.5 dan


Tabel 6.6));

Jimmy S. Juwana 245


UW = Transmitans termal dinding tidak tembus cahaya
[W/m2.K]
WWR = Perbandingan luas jendela dengan luas seluruh dinding
luar pada orientasi yang ditentukan;
TDEK = Beda temperatur ekuivalen (K); (lihat Tabel 6.11)

Tabel 6.5. Nilai Absorbtans Radiasi Matahari untuk Dinding Luar


dan Atap Tidak Transparan

Bahan dinding luar α


Beton berat 1) 0,91
Bata merah 0,89
Bituminous felt 0,88
Batu sabak 0,87
Beton ringan 0,86
Aspal jalan setapak 0,82
Kayu permukaan halus 0,78
Beton ekspos 0,61
Ubin putih 0,58
Bata kuning tua 0,56
Atap putih 0,50
Cat alumunium 0,40
Kerikil 0,29
Seng putih 0,25
Bata glazur putih 0,26
Lembaran alumunium yang dikilapkan 0,12
1) Untuk bangunan nuklir. Sumber: SNI 6389-2020

Tabel 6.6. Nilai Absorbtans Radiasi Matahari untuk Cat Permukaan Dinding
Luar

Cat Permukaan Dinding Luar α


Hitam merata 0,95
Pernis hitam 0,92
Abu-abu tua 0,91
Pernis biru tua 0,91
Cat minyak hitam 0,90
Coklat tua 0,88
Abu-abu/biru tua 0,88
Biru/hijau tua 0,88
Coklat medium 0,84
Pernis hijau 0,79
Hijau medium 0,59
Kuning medium 0,58

Jimmy S. Juwana 246


Cat Permukaan Dinding Luar α
Hijau/biru medium 0,57
Hijau muda 0,47
Putih semi kilap 0,30
Putih kilap 0,25
Perak 0,25
Pernis putih 0,21
Sumber: SN: 6389-2020

Untuk dinding tidak transparan dan fenestrasi yang terdiri dari beberapa
lapis komponen bangunan, maka besarnya U dihitung dengan rumus:
1
𝑈=𝑅 Persamaan 6.17.
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙

di mana: RTotal = Resistansi termal total = ∑𝑖=0 𝑅𝑖

Nilai U untuk kusen dan jendela seperti pada Tabel 6.7:

Tabel 6.7. Nilai U untuk Kusen dan Jenela

Bahan Dasar Kusen Nilai U [W/m2K]


Alumunium / metal lainnya 8.0
Kayu 3.0
Vinyl / plastik lainnya 2.0
Kusen dengan pemutus termal (thermal break) tetap harus menggunakan nilai U yang sama,
sesuai dengan bahan dasar kusen. Untuk memperbaiki nilai U dengan adanya pemutus termal,
maka nilai U harus dihitung dengan simulasi atau disertifikasi oleh oleh lembaga uji yang
terakreditasi.
Sumber: SNI SNI 6389-2020

Resistansi termal total terdiri dari:

1) Resistansi Termal Lapisan Udara (RUL)


Besarnya nilai RUL dapat diperoleh dari Tabel 6.8.

Tabel 6.8. Nilai R lapisan udara permukaan untuk dinding dan atap

Jenis Permukaan Resistans Termal R (m2 .K/W)


Emisivitas tinggi 1) 0,120
Permukaan dalam
(R ) Emisivitas rendah
UP
2) 0,299
Permukaan luar (RUL) Emisivitas tinggi 0,044
Sumber: SNI SNI 6389-2020

Jimmy S. Juwana 247


Keterangan:
1) Emisifitas tinggi adalah permukaan halus yang tidak mengkilap (non
reflektif).
2) Emisifitas rendah adalah permukaan dalam yang sangat reflektif, seperti
aluminium foil.

2) Resistensi Termal Bahan


𝑡
𝑅𝑘 = 𝑘 Persamaan 6.18.

di mana: t = tebal bahan (m);


k = nilai konduktivitas termal bahan (W/m.K).

Besarnya nilai k untuk berbagai jenis bahan dapat dilihat pada


Tabel 6.9.

Tabel 6.9. Nilai k Bahan Bangunan


Densitas k
No Bahan bangunan
[kg/m3] [W/m.K]
1 Beton 2.400 1,448
2 Beton ringan 960 0,303
3 Bata dengan lapisan plester 1.760 0,807
4 Plesteran pasir semen 1.837 0,533
5 Kaca lembaran 2.512 1,053
6 Papan gypsum 880 0,170
7 Kayu lunak 608 0,125
8 Kayu keras 702 0,138
9 Kayu lapis 528 0,148
10 Glasswool 32 0,035
11 Fibreglass 32 0,035
12 Paduan Alumunium 2.672 211
13 Tembaga 8.784 385
14 Baja 7.840 47,6
15 Granit 2.640 2,927
16 Marmer/Batako/terazo/keramik/mozaik 2.640 1,298
Sumber: SNI SNI 6389-2020
3) Resistensi Termal Rongga Udara (Tabel 6.10)

Jimmy S. Juwana 248


Tabel 6.10. Nilai R Lapisan Rongga Udara

Resistensi Termal [m2K/W]


No Jenis celah udara
5 mm 10 mm 100 mm
RRU untuk dinding Rongga udara vertikal
(aliran panas secara horizontal).
1
1. Emisifitas tinggi 0,110 0,148 0,160
2. Emisifitas rendah 0,250 0,578 0,606
RRU untuk atap Rongga udara horizontal/ miring
(aliran panas kebawah).
rongga udara horizontal 0,110 0,148 0,174
rongga udara dengan
0,110 0,148 0,165
1. Emisifitas tinggi kemiringan 22,5o
rongga udara dengan
2 0,110 0,148 0,158
kemiringan 45o
rongga udara horizontal 0,250 0,572 1,423
rongga udara dengan
0,250 0,571 1,095
2. Emisifitas rendah kemiringan 22,5o
rongga udara dengan
0,250 0,570 0,768
kemiringan 45o
1. Emisifitas tinggi 0,458
3 RRU untuk loteng
2. Emisifitas rendah 1,356
Sumber: SNI SNI 6389-2020

Beda temperatur ekuivalen (TDEK ) dipengaruhi oleh:

1) Tipe, massa dan densitas konstruksi


2) Intensitas radiasi dan lama penyinaran
3) Lokasi dan orientasi bangunan
4) Kondisi perancangan

Untuk menyederhanakan perhitungan OTTV, maka nilai TDEK untuk berbagai


tipe konstruksi tercantum pada Tabel 6.11.

Tabel 6.11. Beda Temperatur Ekuivalen untuk Dinding

Berat/satuan luas (kg/m2 ) TDEK


Kurang dari 125 15
126 ~ 195 12
lebih dari 195 10
Sumber: SNI 6389-2020

Jimmy S. Juwana 249


b. Konduksi melalui Jendela Kaca (Qjendela)

𝑄𝑗𝑒𝑛𝑑𝑒𝑙𝑎 = (𝑈𝑓 . 𝑊𝑊𝑅. 𝛥𝑇) Persamaan 6.19.

di mana: Uf = Transmitans termal fenestrasi [W/m2.K]


ΔT = Beda temperatur perencanaan antara bagian luar dan bagian dalam
[diambil 5o K]
c. Radiasi melalui Jendela Kaca (Qmatahari)

𝑄𝑚𝑎𝑡𝑎ℎ𝑎𝑟𝑖 = 𝑆𝐶. 𝑊𝑊𝑅. 𝑆𝐹 Persamaan 6.20.

di mana: SF = Faktor radiasi matahari [W/m2];


SC = Koefisien peneduh dari sistem fenestrasi;
Nilai SF merupakan nilai untuk kota Jakarta, dapat dilihat pada Tabel 6.12.

Jika yang diketahui adalah Koefisien Tambahan Panas Matahari (Solar Heat
Gain Coeficient – SHGC), maka nilai SHGC = 0,87 SC.

Tabel 6.12. Faktor Radiasi Matahari (SF), [W/m2] untuk Berbagai Orientasi
Timur Teng- Sela- Barat Barat Atap/
Kota Utara Timur Barat
Laut gara tan Daya Laut Horizontal
Aceh 116 138 166 154 142 179 200 159 397
Lhokseumawe 117 141 161 142 120 140 160 142 375
Medan 122 150 177 158 138 173 195 158 393
Padang 131 152 171 147 123 153 181 160 431
Pekanbaru 125 135 152 138 129 171 200 166 428
Tanjungpinang 136 150 169 153 142 183 211 175 405
Batam 125 146 170 151 132 170 196 162 423
Jambi 132 136 147 132 122 160 196 173 412
Singkep 110 124 136 123 109 123 135 123 339
Bengkulu 140 152 165 139 119 159 197 175 439
Palembang 136 148 159 135 119 157 192 171 425
Pangkalpinang 150 160 172 147 131 173 213 189 415
Belitung 135 145 155 133 117 152 187 169 422
Lampung 141 148 156 132 116 158 198 179 422
Serang 162 168 173 142 123 172 224 205 430
Tangerang 146 151 156 129 111 152 197 183 376
Jakarta 148 161 171 138 112 152 197 181 427
Bandung 150 157 164 135 113 154 198 183 426
Tegal 130 140 143 121 105 121 143 140 430
Cilacap 136 152 159 131 107 132 160 153 400
Yogyakarta 152 168 170 130 105 139 178 168 380
Semarang 156 170 177 138 111 155 205 191 434
Bawean 123 134 138 119 104 119 137 134 357

Jimmy S. Juwana 250


Timur Teng- Sela- Barat Barat Atap/
Kota Utara Timur Barat
Laut gara tan Daya Laut Horizontal
Surabaya 155 179 194 149 110 158 211 192 470
Madura 150 166 167 130 104 129 167 166 366
Banyuwangi 132 162 179 144 108 143 177 162 426
Denpasar 153 169 178 141 111 152 197 184 410
Pontianak 125 130 139 125 120 157 186 161 384
Banjarmasin 140 151 161 135 117 161 203 180 432
Palangkaraya 135 139 150 132 121 167 208 181 371
Samarinda 142 154 172 153 139 184 219 187 413
Balikpapan 128 141 155 139 124 157 185 161 396
Bulungan 131 147 168 156 146 179 197 163 400
Tarakan 116 125 139 131 131 169 188 153 351
Manado 124 145 165 145 129 161 185 155 432
Gorontalo 125 140 161 145 130 168 196 164 443
Palu 133 170 198 164 127 164 198 170 460
Masamba
147 160 177 154 135 180 218 189 425
Luwu Utara
Majene 140 161 179 148 122 164 203 178 444
Makassar 146 163 173 138 112 149 190 176 426
Kendari 140 151 164 144 127 160 190 170 395
Bau Bau 140 151 160 133 114 154 192 174 394
Banggai 131 158 182 156 129 164 192 164 398
Mataram 153 171 172 132 104 132 172 171 431
Bima 128 141 155 139 124 157 185 161 422
Waingapu 154 174 176 134 103 134 176 174 416
Kupang 167 177 175 131 102 142 196 194 428
Ambon 130 146 163 142 122 159 188 162 407
Ternate 126 143 165 148 132 166 191 160 395
Saumlaki 125 137 141 121 105 121 141 137 381
Fak Fak 129 144 159 140 122 150 173 152 343
Manokwari 140 151 167 148 135 173 205 178 406
Jayapura 124 140 152 131 113 134 157 143 405
Merauke 149 160 167 135 111 150 192 179 378
Catatan:
Untuk daerah yang tidak tersebut dalam tabel, merujuk ke daerah terdekat atau yang kondisi cuacanya mirip
yang ada di tabel
Sumber: SNI SNI 6389-2020

Asumsi perhitungan OTTV untuk faktor radiasi matahari dihitung berdasarkan


radiasi matahari tahunan yang ditransmisikan melalui jendela kaca bening
setebal 3 mm. Untuk sistem bukaan yang lain, arus perolehan kalor matahari
dimodifikasi dengan koefisien peneduh yang didefinisikan sebagai
perbandingan antara perolehan kalor matahari melalui sistem bukaan yang

Jimmy S. Juwana 251


mempunyai kombinasi bukaan kaca dan koefisien peneduh dengan perolehan
kalor matahari yang melalui kaca bening dengan tebal 3 mm.
Perbandingan ini merupakan karakteristik unik pada setiap jenis bukaan dan
rumusnya adalah sebagai berikut:

𝑆𝐶
𝑃𝑒𝑛𝑔𝑎𝑟𝑢ℎ_𝑘𝑎𝑙𝑜𝑟_𝑚𝑎𝑡𝑎ℎ𝑎𝑟𝑖_𝑚𝑒𝑙𝑎𝑙𝑢𝑖_𝑘𝑎𝑐𝑎_𝑏𝑒𝑛𝑖𝑛𝑔_𝑡𝑒𝑏𝑎𝑙_3_𝑚𝑚
=
𝑃𝑒𝑛𝑔𝑎𝑟𝑢ℎ_𝑘𝑎𝑙𝑜𝑟_𝑚𝑎𝑡𝑎ℎ𝑎𝑟𝑖_𝑝𝑎𝑑𝑎_𝑠𝑒𝑡𝑖𝑎𝑝_𝑘𝑎𝑐𝑎&𝑘𝑜𝑚𝑏𝑖𝑛𝑎𝑠𝑖_𝑘𝑜𝑒𝑓𝑖𝑠𝑖𝑒𝑛_𝑝𝑒𝑛𝑒𝑑𝑢ℎ
Secara umum koefisien peneduh pada setiap sistem fenestrasi didapatkan
dengan mengalikan koefisien peneduh kaca (atau koefisien peneduh efektif dari
kaca dengan solar control film (kaca film) yang ada pada kaca dengan koefisien
peneduh peralatan peneduh matahari seperti pada rumus berikut:
𝑆𝐶 = 𝑆𝐶𝑘 . 𝑆𝐶𝑒𝑓𝑓 Persamaan 6.21.

di mana: SC = koefisien peneduh sistem fenestrasi


SCk = koefisien peneduh kaca atau atau koefisien
peneduh
efektif dari kaca dengan kaca film
SCeff = koefisien peneduh efektif peralatan peneduh luar
Peneduh luar adalah sirip vertikal dan/atau horizontal yang dipasang di luar
jendela untuk mengurangi masuknya sinar matahari ke dalam bangunan.

Analisis terkait SF dan SC dapat dilihat pada SNI 6389:2020 atau edisi terbaru.

d. Radiasi dari Atap

Di samping dari dinding bangunan, panas masuk ke dalam bangunan melalui


atap, terutama jika ada bukaan di atap bangunan (sky light).

Nilai perpindahan termal dari penutup atap bangunan gedung dengan orientasi
tertentu, harus dihitung melalui persamaan:
𝛼(𝐴𝑟 .𝑈𝑟 .𝑇𝐷𝐸𝐾 )+(𝐴𝑠 .𝑈𝑠 .𝛥𝑇)+(𝐴𝑠 .𝑆𝐶.𝑆𝐹)
𝑅𝑇𝑇𝑉 = 𝐴𝑜
Persamaan 6.22.

di mana: RTTV = nilai perpindahan termal menyeluruh atap [W/m2]


α = absorbtans radiasi matahari.
Ar = luas atap yang tidak transparan [m2]
As = luas skylight [m2]
Ur = transmitans termal atap tidak transparan [W/m2.K]
TDEk = beda temperatur ekuivalen (K). (Tabel 6.12)
SC = koefisien peneduh dari sistem fenestrasi (jika
SF = faktor radiasi matahari [W/m2]

Jimmy S. Juwana 252


Us = transmitans termal fenestrasi (skylight) [W/m2.K]
ΔT = beda temperatur antara kondisi perencanaan luar dan
bagian dalam (diambil 5 K).
Ao = luas total atap = Ar + As [m2]

Bila digunakan lebih dari satu jenis bahan penutup atap, maka transmitans
termal rata-rata untuk seluruh luasan atap dihitung berdasarkan persamaan
sebagai berikut:

𝑈𝑟 = 𝐴𝑟1 𝐴𝑟2 . . . . . . 𝐴𝑟𝑛 (𝐴𝑟1 . 𝑈𝑟1 )(𝐴𝑟2 . 𝑈𝑟2 ). . . (𝐴𝑟𝑛 . 𝑈𝑟𝑛 ) Persamaan 6.23.

di mana: Ur = transmitans termal rata-rata [W/m2.K]


Ur1, Ur2, Urn = transmitans termal dari berbagai bagian atap
yang
berbeda [W/m2.K].
Ar1, Ar2, Arn = luas dari berbagai jenis atap yang berlainan [m2]

Bila digunakan lebih dari satu jenis bahan penutup atap, maka berat atap
rata-rata dapat dihitung berdasarkan persamaan sebagai berikut:

𝑊𝑟 = 𝐴𝑟1 𝐴𝑟2 . . . 𝐴𝑟𝑛 (𝐴𝑟1 . 𝑊𝑟1 )(𝐴𝑟2 . 𝑊𝑟2 ). . . (𝐴𝑟𝑛 . 𝑊𝑟𝑛 ) Persamaan 6.24

dengan : Wr = berat atap rata-rata [kg/m2]


Wr1, Wr2, Wrn = berat dari jenis atap yang berlainan [kg/m2]

Nilai transmitans termal maksimum penutup atap (Ur), ditunjukkan pada


Tabel 6.13 di bawah ini.

Tabel 6.13. Nilai Transmitans Termal Atap (Ur) Maksimum

Tarnsmitansi termal
Berat per satuan luas atap (kg/m2 )
maksimum (W/m2 .K)
Di bawah 50 1) 0.4
50 ~ 230 2) 0,8
lebih dari 230 3) 1.2
Keterangan:
1) Atap genteng
2) Atap beton ringan
3) Atap beton ketebalan > 15 cm (6 inci)

Untuk menyederhanakan perhitungan nilai perpindahan termal menyeluruh


untuk atap, maka nilai beda temperatur ekuivalen untuk berbagai konstruksi
atap ditentukan sesuai angka-angka pada Tabel 6.14

Jimmy S. Juwana 253


Tabel 6.14. Beda Temperatur Ekuivalen Berbagai Penutup Atap

Berat atap per satuan luas Beda temperatur ekuivalen (TDEQ ),


(kg/m2) K
Kurang dari 50 24
50 ~ 230 20
lebih dari 230 16

Nilai faktor radiasi matahari untuk bidang horizontal yang dihitung antara
jam 07.00 sampai dengan 18.00 adalah SF = 316 W/m2

Koefisien peneduh (SC) untuk skylight (Gambar 6.32) dari bahan plastik,
tercantum pada Tabal 6.15.

Tabel 6.15. Koefisien Peneduh (SC) untuk Skylight

Penahan (curb)
Koefisien
Diffuse ringan Perbandingan
Lengkungan Transmitan peneduh
(tembus Tinggi lebar terhadap
s (τ) (SC)
cahaya) tinggi
0 ∞ 0.61
Jernih 0.86 Ada 230 5 0.58
460 2.5 0.50
0 ∞ 0.99
Jernih Tidak ada 230 5 0.88
0.86
460 2.5 0.80
Bening, 0 ∞ 0.57
tembus 0.52 Tidak ada
cahaya 460 2.5 0.46

Bening, 0 ∞ 0.34
tembus 0.27 Tidak ada 230 5 0.30
cahaya 460 2.5 0.28

G1 = 1 – R1 (cos Φ1 tan θ1 + sin Φ1)

Jimmy S. Juwana 254


Lengkungan
Transparan
Penahan

Tinggi
Diffuser Ringan

Gambar 6.32. Skylight

Untuk mempermudah proses perhitungan OTTV yang dilakukan dengan


berbagai alternatif kulit bangunan, seluruh proses dapat dilakukan dengan
bantuan komputer (spreadsheet), agar pengulangan perhitungan dapat lebih
cepat (Gambar 6.33).

ANALISIS OTTV

Bangunan Gedung: Alternatif ke-


Lokasi:

Konduksi Melalui Dinding Masif


Luas Kulit Luas
NO ELEVATION Bangunan Nilai a Bukaan WWR (1-WWR) Nilai U [W/m2k] TDEK 0TTV A X OTTV
[m2] [m2 ]
Utara
Timur Laut
Timur
Tenggara
Selatan
Barat Daya
Barat
Barat Laut
Total W/m2

a 
Analisis Nilai U:
Tebal Konduktivitas Resistensi
Lapisan Termal Termal
2
[mm] [W/mk] [m k/W]
1 Lapisan Luar Nilai U kaca:
2 Dinding Luar Asumsi U=
3 Batu Bata
4 Dinding Dalam R1 =
5 Lapisan Dalam
Total R
Nilai U (1/R) W/m2k

Jimmy S. Juwana 255


Konduksi Melalui Jendela Kaca

Luas Luas Nilai U


NO ELEVATION Nilai a WWR 0TTV A X OTTV
Kulit Bukaan [W/m2k]
Utara
Timur Laut
Timur
Tenggara
Selatan
Barat Daya
Barat
Barat Laut
Total W/m2

Ukaca =
Radiasi Melalui Jendela Kaca

Luas Luas
NO ELEVATION Nilai a WWR SF SC=SC1xSC2 0TTV A X OTTV
Kulit Bukaan
Utara
Timur Laut
Timur
Tenggara
Selatan
Barat Daya
Barat
Barat Laut
Total W/m2

Koefisien Peneduh
R1 R2 SC2 SC1 X SC2
Utara
Timur Laut SC1 =
Timur
Tenggara SC2 =
Selatan
Barat Daya
Barat
Barat Laut

Peneduh Horizontal Peneduh Vertikal


SC1 = SC2 =

Total OTTV = W/m2

Gambar 6.33. Kertas Kerja Analisis OTTV

Jimmy S. Juwana 256


Dari perhitungan OTTV ini dapat diperoleh besarnya beban pendingain:

𝑄𝑐ℎ𝑖𝑙𝑙𝑒𝑟 = 𝑘1 + 𝑘2 (𝑂𝑇𝑇𝑉) Persamaan 6.25.

di mana: k1 = koefisien regresi kombinasi dari faktor-faktor internal yang


mempengaruhi beban chiller (seperti pencahayaan, orang,
peralatan, dan lain-lain).

K2 = k2A x k2B x k2C Persamaan 6.26.

di mana: k2A = koefisien regresi ekuivalen untuk ΔTDEk.


K2B = koefisien regresi ekuivalen untuk ΔT.
K2C = koefisien regresi ekuivalen untuk SF

Dari hasil penelitian di negara tetangga terdekat dengan Indonesia, persamaan


tersebut telah lebih dispesifikasikan menjadi bentuk:

𝑄𝑐ℎ𝑖𝑙𝑙𝑒𝑟 = 𝐿𝑜 + (𝐵. 𝑊𝑊𝑅. 𝑆𝐶) {Mbtu/m2 .tahun] Persamaan 6.27.

di mana: QChiller = beban chiller per luas total selubung bangunan


(jendela, dinding, dan atap)
Lo = beban chiller dari beban internal seperti pencahayaan,
orang, dan peralatan. = 786 Mbtu/m2.tahun = 230.400
kWh/m2.tahun.
B = beban konduktif dari jendela, dinding, dan atap =
1.034 Mbtu/m2.tahun = 303.000 kWh/m2.tahun.

1 tahun = 3.050 jam chiller beroperasi.

6.7.5. Bagan Psikrometrik (Psychrometric Chart)

Perencanaan pengkondisian udara yang dilakukan oleh ahli sistem tata udara
adalah dengan menggunakan bagan psikrometrik (Gambar 6.34). Dari bagan
ini keperluan beban pendingin dapat ditentukan dengan lebih akurat.

Jimmy S. Juwana 257


Sumber: Wujek & Dagostino, 2010 dimodifikasi

Gambar 6.34. Bagan Psikrometrik


Dari bagan ini kondisi udara dalam ruangan dapat digambarkan
karakteristiknya, seperti:

a. Suhu Bola Kering (Dry Bulb Temperature)


Diukur dengan pengukrur suhu ruangan biasa (termasuk suhu uap air yang
ada dalam udara).

b. Suhu Bola Basah (Wet Bulb Temperature)


Hanya suhu udara kering tanpa ada uap air, sehingga Suhu Bola Basah
selalu lebih rendah dari suhu bola kering, kecuali pada saat kelembapan
relatif 100% (Suhu Bola Kering = Suhu Bola Basah).

c. Kelembapan Relatif (Relative Humidity)


Uap air yang ada dalam udara pada suhu tertentu. Makin tinggi suhu udara
dalam ruang makin tinggi kelembapannya, dan makin rendah suhu udara
dalam ruangan makin rendah kelembapannya.

d. Suhu Jenuh Air (Saturation Temperature)


Di mana uap air maksimum yang dapat ditampung dalam udara pada
ruangan tertentu.

e. Enthalphy
Energi panas dalam udara, yang berasal dari panas sensibel dan panas
latent; sensibel adalah suhu udara dalam ruangan, dan latent adalah suhu
uap air dalam ruangan.

Jimmy S. Juwana 258


f. Kelembapan Mutlak/Kelembapan Spesifik (Absolute/Specific Humidity)
Merupakan nisbah (ratio) berat uap air dalam udara dengan berat udara
kering dalam ruangan.

g. Suhu Titik Embun (Dew Point Temperature)


Batas suhu di mana uap air dalam ruangan mulai mengembun.

h. Volume Spesifik (Specific Volume)


Volme pada berat udara yang pada kondisi tertentu.

i. Tekanan Uap Air (Vapor Presure)


Jumlah molekul uap air pada 1 m3 udara, dan berbanding lurus denagn
tingkat evaporasi. Makin tinggi kelembapan makin tiggi tingkat
evaporasinya.

Sumber: Nelson, 1995


Catatan:
1. Zona Nyaman
2. Zona dengan pengaruh suhu inersia
3. Zona dengan pengaruh ventilasi
4. Zona dengan pengaruh perilaku pengguna
5. Zona dengan pengkondisian udara ruangan
6. Zona dengan pemanas ruangan

Gambar 6.35. Bagan Bioklimatik

Jimmy S. Juwana 259


Penentuan kenyamanan termal juga dapat diperoleh dari bagan bioklimatik
(bioclimatic chart) yang juga didasarkan pada bagan psikrometrik yang
kemudian dibagi atas enam zona yang memberi batasan atas pengaruh iklim di
luar bangunan dan bagaimana ruangan dipengaruhi oleh strategi pengendalian
lingkungan (Gambar 6.35).

Dengan mengetahui karakteristik udara dalam ruangan, dan dengan


menggunakan Bagan Psikrometrik, dapat dirancang secara teliti sistem tata
udara (beban pendingin, beban chiller, dan AHU) untuk memperoleh suhu dan
kelembapan relatif ruangan yang memenuhi persyaratan kenyamanan (Gambar
6.36).

Sumber: Juwana et al, 2012

Gambar 6.36. Zona Kenyamanan dalam Bagan Psikrometrik

6.7.6. Aplikasi Sistem Tata Udara

Pada bangunan perkantoran, pusat perbelanjaan dan pertokoan yang


menggunakan AC Central, unit penghantar udara – AHU dapat ditempatkan di
setiap lantai, atau satu AHU melayani dua atau beberapa lantai (tergantung dari
kapasitas AHU yang digunakan).

Hotel, asrama dan rumah sakit umumnya menggunakan unit fan coil di tiap
ruangan, agar suhu udara tiap ruangan dapat disesuaikan dengan kebutuhan,
sedang ruang besar yang ada di hotel dapat menggunakan AC Paket dengan
saluran udara horizontal.

Rumah sakit, karena membutuhkan mutu udara dalam ruangan yang harus
terjaga kebersihan untuk mencegah penyebaran virus atau bakteri, maka setiap
ruangan yang ada dibagi menjadi beberapa zona, sehingga tidak terjadi
percampuran udara yang mengandung kuman penyakit. Di samping itu

Jimmy S. Juwana 260


digunakan penyaring udara (filter) yang khusus (high efficiency particulate air =
HEPA filter).

6.7.7. Kebutuhan Ruangan

Secara sederhana, kebutuhan ruangan bagi 261ndustr tata udara dapat


ditentukan:

𝑅𝑢𝑎𝑛𝑔𝐴𝐻𝑈 = 0,5𝑚2 per TR Persamaan 6.28.

∑ 𝐶𝐹𝑀.929
𝐿𝑑𝑢𝑐𝑡𝑖𝑛𝑔 = 𝑉𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎
Persamaan 6.29.

di mana : Lducting adalah luas penampang saluran udara


CFM adalah CFM1 + CFM2
Vudara adalah kecepatan aliran udara (1200 – 1700 fpm)

Sedang syarat dimensi saluran udara:

𝐵𝑑𝑢𝑐𝑡𝑖𝑛𝑔 = (1 ÷ 2)𝑇𝑑𝑢𝑐𝑡𝑖𝑛𝑔 Persamaan 6.30.

di mana : Bducting adalah lebar saluran udara


Tducting adalah tinggi saluran udara

Dan minimum jarak bebas langit-langit (JBL):

𝐽𝐵𝐿 = (𝑇𝑑𝑢𝑐𝑡𝑖𝑛𝑔 + 10) [cm] Persamaan 6.31.

Jarak maksimum saluran udara (Lmax):

𝐿(30 ÷ 40)𝑚𝑎𝑥 [meter] Persamaan 6.32.

Untuk perhitungan beban pendingin dan dimensi ruangan tata udara dapat pula
menggunakan grafik yang tertera pada Gambar 6.37 dan Gambar 6.38.

Jimmy S. Juwana 261


Sumber: Allen, E & Iano, J, 2017, dimodifikasi

Gambar 6.37. Kebutuhan Ruang untuk Peralatan AC Sentral

Jimmy S. Juwana 262


Sumber: Allen, E & Iano, J, 2017, dimodifikasi

Gambar 6.38. Kebutuhan Ruangan untuk Peralatan AHU dan Saluran Udara

Selanjutnya, kebutuhan luas ruangan akan digunakan untuk menata pembagian


ruang dalam inti bangunan atau bagian lantai tertentu, sedang kapasitas beban
pendingin digunakan untuk menghitung:

Daya listrik yang dibutuhkan:

1 TR = 12.000 Btuh = 1,5, PK = 1,12 kW Persamaan 6.33.

Jimmy S. Juwana 263


Pasokan air yang dibutuhkan untuk sirkulasi adalah 8 – 11 liter/menit/TR, dan
tambahan 1,5 – 2% air sirkulasi untuk menara pendingin.

Soal-Soal Latihan

1. Apa pengaruh mutu udara dalam bangunan tinggi terhadap


penghuni/penggunanya.

2. Bahan-bahan apa saja yang dapat mencemarkan mutu udara dalam


ruangan pada bangunan tinggi.

3. Apa gejala-gejala yang menunjukkan adanya Sickness Building


Syndrome pada bangunan tinggi.

4. Apa prinsip yang digunakan pada sistem pengkondisian udara pada


bangunan tinggi.

5. Ada berapa jenis sistem pengkondisian udara (tata udara) yang lazim
digunakan pada bangunan tinggi.

6. Apa fungsi chiller, cooling tower dan air handling unit pada sistem
penglondisian udara yang dipusatkan (centralized air conditioning).

7. Hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan jika menggunakan sistem


pengkondisian udara tanpa menggunakan saluran udara (ducting) tetapi
menggunakan ruang di atas plafon (plenum system)

8. Dengan menggunakan soal 4.3, hitung OTTV dengan alternatif kulit


bangunan, dinding tanpa dan dengan rongga 15 cm, dengan
perbandingan bukaan dan dinding masif 30%.

9. Hitung kebutuhan pengkondisian udara pada soal 4.3.

10. Hitung kebutuhan ruang untuk keperluan pengkondisian udara hasil


perhitungan soal nomor 9.

Daftar Kepustakaan dan Rujukan

… (2019); UNEP 2019, Energy Efficiency for Buildings

… (2019); ANSI/ASHRAE 62.1 & 62.2

… (2021); Peraturan Pemerintah nomor 16 tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan


Undang-Undang nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, Jakarta.

Jimmy S. Juwana 264


… (2020; SNI 6389:2020 tentang Konservasi Energi Selubung Bangunan pada
Bangunan Gedung, Badan Standardisasi Nasional, Jakarta.

… (2020); SNI 6390:2020 tentang Konservasi Energi Sistem Tata Udara pada
Bangunan Gedung, Badan Standardisasi Nasional, Jakarta.

… (2021); https://www.aesarabia.com/cooling-tower-packages/

… (2022); https://www.cooperclimatecontrol.com/wp-content/uploads/2014/05/
condensercut away.jpg

… (2022); https://www.hvacinvestigators.com/webinars/the-basics-of-chillers-how-they-
work-where-theyre-used-

… (2021); https://inspectapedia.com/aircond/Air-Conditioner-Operating-Defects-
FAQs.php

… (2012); https://cbe.berkeley.edu/underfloorair/benefits_pr.htm

… (2021); https://climate-mastersinc.com/hvac-repair/central-air-repair/

… (2021); https://www.gotopac.com/turnkey-cleanroom-environments

… (2019); https://learnmech.com/window-air-conditioner-working-and-installation/

… (2020); https://www.portableac.com/blog/commercial-hvac-residential-hvac/

… (2021); https://priceengineering.co.uk/fan-coil-units/

… (2022); https://www.quora.com/Whats-the-difference-between-fan-coil-and-AHU

… (2022); http://revit-windsurfer.blogspot.com/2015/07/alternative-uses-for-revit-
curtain-walls.html

Allen E, & Iano J. (2017); The Architect’s Studio Companion – Rules of Thumb for
Preliminary Design 6th Edition, John Wiley & Sons, Inc., New York.

Arismunandar W & Saito H. (1991); Penyegaran Udara, PT Pradnya Paramita, Jakarta.

Curd E. F. & Howard C. A. (1996); Introduction to Building Services 2nd, Macmillan


Education Ltd., Houndmills.

Hall F. (1994); Building Services & Equipment 3rd Edition, Longman Scientific &
Technical, Essex.

Hall F. & Greeno R. (2007); Building Services Handbook 4th Edition, Elsevier,
Amsterdam.

Jimmy S. Juwana 265


Howard C. A. (1988); An Introduction to Building Services, Macmillan Education Ltd.,
Houndmills.

Johnson D. (1994); How a House Works, Reader;s Digest Association, Inc.


Pleasantville, New York.

Juwana et al (2012); Buku Panduan Energi Efisiensi untuk Desain Bangunan Gedung
di Indonesia – 2 Pedoman Teknis Desain, EECCHI, DANIDA, Kementerian
Enerbi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jakarta.

Juwana J.S. (2005); Panduan Sistem Bangunan Tinggi untuk Arsitek dan Praktisi
Bangunan, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Kernan P. (2001); Healthy High-Rise – A Guide to Innovation in the Design and


Construction of High-Rise Residential Buildings, Canada Mortgage and
Housing Corporation (CMHC).

Poerbo H. (1992); Utilitas Bangunan, Penerbit Djambatan, Jakarta.

Nelson G (1995); The Architecture of Building Services, B. T. Batsford Ltd., London

Sulistiyanto T., (2016); “Energy Saving Measure and Green Building Rating System”,
Jakarta

Wujek J.B. & Dagostino F.R. (2010); Mechanical and Electrical Systems in Architecture,
Engineering, and Construction, Prentice Hall. Upper Saddle River.

Jimmy S. Juwana 266


BAB VII
SISTEM PROTEKSI KEBAKARAN

“…Fire tests gold, suffering tests brave


men…”

Seneca

Mitigasi dan evakuasi pada bangunan tinggi merupakan bagian dari pemenuhan
persyaratan keselamatan bangunan gedung. Persyaratan tersebut meliputi
kemampuan struktur menahan gempa bumi, sistem proteksi petir dan
pembumian, serta sistem proteksi terhadap bahaya kebakaran.

Dewasa ini, sudah banyak bangunan tinggi yang melebihi 100 lantai dan oleh
karenanya memerlukan sistem proteksi kebakaran yang makin canggih dengan
metode penyelamatan orang dengan peralatan yang bermacam-macam, di
samping pengendalian kebakaran secara pasif.

7.1. Definisi Api, Teori Segitiga Api dan Piramida Api

Api bukanlah sesuatu yang asing dalam kehidupan sehari-hari. Kehadirannya


memberikan manfaat yang besar bagi manusia. Namun, bagai pisau bermata
dua, api juga dapat menjadi musuh mematikan bagi kehidupan manusia.
Kehilangan harta dan jiwa yang diakibatkan oleh tidak terkendalinya api sudah
diketahui banyak orang, dan sudah banyak pula upaya yang dilakukan selama
bertahun-tahun untuk mengetahui bagaimana api dapat terjadi dan pola
penyebarannya.

Definisi Api adalah suatu reaksi kimia (oksidasi) cepat yang terbentuk dari tiga
unsur yaitu: bahan bakar (material mudah terbakar), panas, dan udara/oksigen
yang akan menghasilkan panas dan cahaya.

Teori Segitiga Api adalah proses terjadi persenyawaan (bergabungnya) tiga


unsur tersebut. Pertama, unsur material yang mudah terbakar, seperti kertas,
kayu, kain, dan gas. Kedua, udara sebagai zat pengoksidasi, misalnya oksigen,
hidrogen, dan klorin. Ketiga, unsur panas sebagai pemicu timbulnya api. Panas
dapat timbul akibat terjadinya gesekan, hubungan arus pendek listrik, reaksi
kimia, dan lain-lain (Gambar 7.1. kiri). Untuk berlangsungnya suatu
pembakaran, diperlukan komponen keempat, yaitu rantai reaksi kimia (chemical
chain reaction). Teori ini dikenal sebagai Piramida Api atau Tetrahedron
(Gambar 7.1. kanan). Rantai reaksi kimia adalah peristiwa di mana ketiga
elemen yang ada saling bereaksi secara kimiawi, sehingga yang dihasilkan
bukan hanya pijar tetapi berupa nyala api atau peristiwa pembakaran.

Jimmy S. Juwana 267


Gambar 7.1 Segi Tiga Api dan Piramida Api (Tetrahedron)

Segitiga api dapat diatasi agar tidak terjadi persenyawaan yang dapat
menimbulkan api dan akhirnya membesar menjadi kebakaran, caranya adalah
dengan memperkecil kemungkinan ketiga unsur tersebut berkumpul dalam
suatu ruang. Pisahkan panas atau penghasil panas dari bahan yang mudah
terbakar, menghilangkan udara dengan melakukan pengisolasian, serta
menghilangkan panas dengan melakukan pendinginan merupakan tiga cara
yang bisa dilakukan untuk memutus segitiga api. Mengetahui cara penyebaran
api juga sangat penting untuk mencegah terjadinya kebakaran.

Intensitas api tergantung dari jumlah bahan bakar yang ada dalam bangunan,
biasanya dalam bentuk kertas, kayu dan plastik. Tingkat kemudahan bahan-
bahan ini untuk dapat terbakar tergantung pada seberapa kecil/halusnya bahan-
bahan ini, bagaimana kondisi permukaan bahan-bahan ini terhadap
kemungkinan kehadiran oksigen dan panas. Hal ini dapat mudah dilihat dari
betapa cepatnya sehelai kertas terbakar dibandingkan dengan buku yang tebal.

Gambar 7.2. Penyebaran Api dan Upaya Menghilangkan Unsur Segi Tiga Api

Setelah diketahui bagaimana unsur api terbentuk, sesuai dengan teori segitiga
api, api tidak akan membesar jika salah satu unsur itu kita hilangkan (Gambar
7.2 kanan).

Jimmy S. Juwana 268


Berikut ini upaya yang bisa dilakukan saat terjadi kebakaran yang belum
membesar:

a) Menghilangkan Panas dengan Pendinginan: Biasanya dilakukan dengan


menyemprotkan air ke sumber api.
b) Menghilangkan Udara dengan Pengisolasian: Agar api tidak bereaksi
dengan oksigen, maka dilakukan isolasi/penutupan titik api.
c) Memisahkan bahan bakar: Menjauhkan barang yang mudah terbakar dari
titik api.
d) Dilusi: Menekan gas oksigen dengan gas CO2.
e) Pemutusan rantai reaksi/penjalaran api.

Jika Piramida Api telah timbul, maka penyebaran api ke seluruh bangunan
gedung dapat terjadi melalui empat mekanisme; konduksi, konveksi, radiasi dan
penyalaan langsung (Gambar 7.2 kiri).

Konduksi terjadi jika panas dipindahkan langsung melalui suatu bentuk struktur
dari sumber api yang terdekat, sebagaimana yang terjadi pada pengurangan
kekuatan tulangan baja pada struktur beton bertulang, jika suhu meningkat di
atas 400o C.

Konveksi terjadi jika gas/udara panas meningkat di dalam gedung, di mana api
dengan mudah menjalar dari tanah ke lantai di atasnya melalui lubang tangga
atau lubang saluran/saf (shaft).

Radiasi merupakan penjalaran api menurut garis lurus dari bahan yang terbakar
kepada bahan terdekat yang mudah terbakar. Jendela kaca merupakan tempat
penjalaran radiasi, juga pada gedung yang letaknya berdekatan.

Penyalaan langsung adalah penjalaran api yang langsung terkena lidah api,
terkena lompatan api, atau terkena lompatan material bara/nyala api.

Berbagai data yang diperoleh dari penelitian atas titik api dan penyebarannya
selalu terkait pada kondisi kebakaran yang spesifik, sehingga tidak dapat
digunakan untuk semua kasus secara umum. Mengingat tidak ada satu
bangunan yang dapat 100% aman terhadap bahaya kebakaran, maka risiko
pada tingkat tertentu yang diakibatkan oleh bahaya kebakaran, harus dapat
diterima. Oleh karena itu, biaya yang diperlukan untuk sistem proteksi
kebakaran harus seimbang dengan kemungkinan akan terjadinya kebakaran,
dan kerugian yang disebabkannya. Para arsitek dan tenaga profesional yang
terkait pada rancangan bangunan tinggi perlu melakukan analisis bagi
rancangan bangunannya secara seksama, agar terjamin bagi tersedianya
fasilitas yang memadai bagi pencegahan dan penanggulangan bahaya

Jimmy S. Juwana 269


kebakaran. Semua kemungkinan bahaya api perlu diantisipasi untuk menjamin
adanya sistem yang baik, sejak awal proses perancangan bangunan.

7.2. Rantai Reaksi Kimia dan Flammable Range

Dalam proses kebakaran terjadi rantai reaksi kimia, di mana setelah terjadi
proses difusi antara oksigen dan uap bahan bakar, dilanjutkan dengan
terjadinya penyalaan dan terus dipertahankan sebagai suatu reaksi kimia
berantai, sehingga terjadi kebakaran yang berkelanjutan.

Flammable Range adalah batas antara maksimum dan minimum konsentrasi


campuran uap bahan bakar dan udara normal, yang dapat menyala/meledak
setiap saat bila diberi sumber panas. Di luar batas ini tidak akan terjadi
kebakaran.

a) Low Explosive Limit/Low Flammable Limit (LEL/LFL): adalah batas minimum


dari konsentrasi campuran uap bahan bakar dan udara yang akan menyala
atau meledak, bila diberi sumber nyala yang cukup. Kondisi ini disebut
terlalu miskin kandungan uap bahan bakarnya (too lean).

b) Upper Explosive Limit/Upper Flammable Limit (UEL/UFL): adalah batas


maksimum dari konsentrasi campuran uap bahan bakar dan udara, yang
akan menyala atau meledak, bila diberi sumber nyala yang cukup. Kondisi
ini disebut terlalu kaya kandungan uap bahan bakarnya (too rich).

7.3. Material Mudah Terbakar/Bahan Bakar

Mudah atau tidaknya sebuah gedung terbakar kurang lebih diukur dari
bagaimana bahan-bahan bangunan tersebut membuat kebakaran semakin
menyebar di dalam suatu gedung. Konstruksi bangunan yang mudah terbakar
dapat menyebabkan api menyebar dengan sangat cepat di antara area-area
berjauhan dalam suatu gedung, sehingga kerugian yang diderita bisa menjadi
jauh lebih besar. Bisa jadi bahan bakar yang disebutkan dalam Segitiga Api di
atas berasal dari material bangunan yang sudah menyatu dengan bangunan
tersebut.

Benda apa pun yang dapat mengeluarkan uap yang mudah terbakar saat
dipanaskan termasuk dalam bahan yang mudah terbakar. Bahan bangunan
yang mudah terbakar pada umumnya adalah kayu dan plastik, termasuk juga
kertas, tekstil, karet, bahan perekat, bitumen (aspal), dan lapisan kimia.

Berikut ini adalah istilah-istilah yang menentukan tingkat mudah nya terbakar
suatu material atau cairan:

Jimmy S. Juwana 270


a) Titik Nyala (Flash Point): Temperatur terendah di mana suatu zat/bahan
bakar cukup mengeluarkan uap dan menyala (terbakar sekejap) bila dikenai
sumber panas yang cukup.
b) Titik Bakar (Fire Point): Temperatur terendah di mana suatu zat/bahan bakar
cukup mengeluarkan uap dan terbakar (menyala terus) bila diberi sumber
panas.
c) Temperatur Bakar (Ignition Temperature): Temperatur terendah dari suatu
bahan di mana proses pembakaran tetap berlangsung walaupun sumber api
telah disingkirkan.
d) Temperatur Penyalaan Sendiri (Self Ignition Temperature): Temperatur di
mana suatu zat dapat menyala dengan sendirinya tanpa adanya sumber
panas dari luar.
e) Pengembangan Api (Flash Over): Suatu tahap pengembangan api pada
ruangan tertutup di mana pada saat itu kecepatan penjalaran api meningkat
sedemikian rupa hingga seluruh ruangan menyala hebat.

7.4. Bahaya Api

Pengertian bahaya kebakaran, dalam PP nomor 16 tahun 2021, adalah bahaya


yang diakibatkan oleh adanya ancaman potensial dan derajat terkena pancaran
api sejak awal kebakaran hingga penjalaran api yang menimbulkan asap dan
gas. Pada saat terjadi kebakaran, ada empat hal yang perlu diperhatikan dalam
kaitan dengan bahaya api, yaitu: penghuni/pengguna bangunan (manusia),
harta/isi bangunan, struktur bangunan, dan bangunan yang letaknya
bersebelahan.

Tiga urutan pertama berkaitan dengan bahaya api yang ada pada bangunan
yang terbakar, sedang yang terakhir merupakan pertimbangan bagi bangunan
gedung lainnya dan lingkungan komunitas secara menyeluruh.

Bahaya utama bagi manusia adalah keracunan akibat terhirupnya asap/gas


beracun (non termal). Sekitar 75% kematian manusia pada bangunan yang
terbakar diakibatkan oleh asap, sedang sekitar 25% kematian disebabkan oleh
panas yang ditimbulkan oleh api (termal). Asap akan menyebabkan orang sulit
untuk melihat dan mengaburkan pertimbangan akan tindakan yang ingin
dilakukan (bingung), menghalangi pandangan untuk mencapai jalan ke luar, dan
penyebaran asap ini meliputi wilayah yang cukup luas dan jauh dari sumber api.
Hal ini juga dapat menyebabkan timbulnya kepanikan, terutama bagi orang-
orang yang kurang memahami dan mengenal seluk beluk dan tata letak ruang
dalam bangunan, sehingga bukan tidak mungkin mengakibatkan kecelakaan
yang menimbulkan luka yang serius akibat kepanikan yang timbul karena orang
berjejal berlari menuju pintu keluar. Di samping pengaruhnya pada tubuh
manusia (Tabel 7.1), beberapa jenis asap juga dapat berdampak pada
timbulnya kerusakan pada isi bangunan.

Jimmy S. Juwana 271


Tabel 7.1. Pengaruh Gas pada Tubuh Manusia
Volume di
Gas Pengaruh
Udara [%]
10 Pusing-pusing
7 Pingsan
O2
5 Konsentrasi mínimum untuk dapat hidup
2–3 Kematian dalam beberapa menit
2 Penafasan 30% lebih cepat
4 Mulai merasa mual
4,5 – 5,0 Pernafasan cepat sekali, timbul mual
7–9 Batas toleransi
CO2
10 – 11 Tidak sadar dalam 10 menit
15 – 20 Gejala-gejala iritasi bertambah
Pernafasan berkurang, tekanan darah turun, mati suri, kematian setelah
25 – 30
beberapa saat
0,02 Sakit kepala selama 2 – 3 jam
0,04 Berkeringat, pingsan dalam 1 – 2 jam
0,08 Tidak sadar diri dalam 2 jam
CO 0,16 Pusing, mual dalam 20 menit
0,32 Pusing dalam 5 – 10 menit, kematian dalam 30 menit
0,64 Pusing dalam 1 – 2 menit, kematian dalam 10 menit
1,20 Tidak sadar diri, kematian dalam 1 – 2 menit
o
C
200
200
Kerusakan fatal berupa kekeringan
190 kulit dalam waktu 30 detik
180
180
170

160

150
150
Tidak dapat ditolerir dalam 5 menit
140

130 Tidak dapat ditolerir dalam 15 menit


120
120
Tidak dapat ditolerir dalam 25 menit
100
95
90

80
Masih dapat ditolerir selama kurang
70 dari 1 jam (tergantung kelembaban
65 pakaian dan aktivitas
60

50

40
35 Daerah nyaman termal (tergantung
30 kelembaban, gerakan udara, dan
faktor-faktor lainnya)
20

10
10
0
0

Gambar 7.3. Respon Manusia terhadap Api

Jimmy S. Juwana 272


Intensitas api perlu dikendalikan, karena api akan memberi respon pada
manusia (Gambar 7.3.). Akses ke lokasi titik api disiapkan untuk memungkinkan
petugas pemadam kebakaran dapat mematikan apinya dengan menggunakan
peralatan yang ada padanya. Hal ini dimungkinkan jika luas lantai dibatasi
dengan sistem kompartemen, keberadaan bahan yang dapat terbakar diketahui
secara pasti, dan struktur bangunan juga dapat tahan terhadap api.

Tingkat risiko bahaya kebakaran dapat dikelompokkan seperti pada Tabel 7.2.

Tabel 7.2. Kriteria Tingkat Risiko Bahaya Kebakaran

Parameter Rendah Sedang Tinggi


Seluruh fungsi
Hunian tunggal dan bangunan kecuali
Fungsi hunian deret hunian tungga dan Fungsi khusus
sederhana hunian deret
sederhana
Ketinggian
< 4 lantai 4 – 8 lantai > 8 lantai
Bangunan
- Hunian tunggal tidak
bertingkat dengan - Hunian tunggal
luas < 250 m2 dengan luas > 250
- Hunian deret m2
Bangunan
sederhana tidak - Hunian deret dengan
Luas Bangunan umum dengan
bertingkat dengan panjang > 45 m
luas > 5.000 m2
panjang < 45 m - Bangunan umum
- Bangunan umum dengan luas > 500
dengan luas < 500 m2
m 2

Jumlah Pengguna < 500 orang > 500 orang


Sumber: PP nomor 16/2021

Kemudahan penjalaran api di dalam, dan dari suatu bangunan tertentu


tergantung dari banyaknya bahan-bahan yang mudah terbakar, kemampuan
struktur bangunan untuk dapat tahan terhadap api dan lokasi gedung terhadap
sumber api. Hal itu dapat dikelompokkan menjadi:
a. Bahaya Kebakaran Ringan
Bangunan yang mempunyai nilai kemudahan terbakar rendah dan apabila
terjadi kebakaran melepaskan panas rendah, dan menjalarnya api lambat.

b. Bahaya Kebakaran Rendah Kelompok I

Jimmy S. Juwana 273


Bangunan yang mempunyai nilai kemudahan terbakar rendah penimbunan
bahan yang mudah terbakar sedang dengan tinggi tidak lebih dari 2,50 m
dan apabila terjadi kebakaran melepaskan panas sedang, penjalaran api
sedang. Contoh: bangunan yang fungsinya bukan bangunan industri, dan
memliki ruangan terbesar tidak melebihi 125 m2.
c. Bahaya Kebakaran Sedang Kelompok II
Bangunan yang mempunyai nilai kemudahan terbakar sedang, penimbunan
bahan yang mudah terbakar dengan tinggi tidak lebih dari 4,00 m dan
apabila terjadi kebakaran melepaskan panas sedang, sehingga penjalaran
api sedang. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah bangunan komersial
dan industri yang berisi bahan-bahan yang dapat terbakar.
d. Bahaya Kebakaran Sedang Kelompok III
Bangunan yang mempunyai nilai kemudahan terbakar tinggi dan apabila
terjadi kebakaran, melepaskan panas tinggi, sehingga menjalarnya api
cepat.
e. Bahaya Kebakaran Berat
Bangunan yang mempunyai nilai kemudahan kebakaran tinggi dan apabila
terjadi kebakaran melepaskan panas tinggi dan penjalaran api cepat. Yang
termasuk dalam kelompok ini adalah bangunan komersial dan bangunan
industri yang berisi bahan-bahan yang mudah terbakar, seperti karet busa,
cat, spiritus dan bahan bakar lainnya.

Prinsip dasar pencegahan penjalaran api dimaksudkan untuk memastikan


bahwa kerusakan yang terjadi akibat kebakaran hanya terbatas pada bangunan
yang terbakar, dan dapat dimengerti bahwa kemungkinan yang terburuk adalah
kerusakan total struktur bangunan dan isinya. Sedang penjalaran api ke
bangunan yang berdekatan, akibat radiasi atau percikan api, tergantung dari
lokasinya dan bukaan yang ada pada dinding sebelah luar, oleh karenanya
disyaratkan jarak bebas minimum antar bangunan.

Berdasarkan PP nomor 16 tahun 2021, bangunan gedung dibagi dalam


beberapa klas bangunan gedung, yaitu:

a. Klas 1: Bangunan Gedung Hunian Biasa


Satu atau lebih bangunan gedung yang merupakan:
1) Klas 1a, bangunan gedung hunian tunggal yang berupa:
a) Satu rumah tinggal, atau
b) Satu atau lebih bangunan gedung, yang masing-masing bangunan
gedungnya dipisahkan dengan struktur dinding tahan api, termasuk
rumah deret, rumah taman, unit town house, vila, atau

Jimmy S. Juwana 274


2) Klas 1b, rumah asrama/kost, rumah tamu (guest house), hotel atau
sejenisnya dengan luas total < 300 m2 dan tidak ditinggali > 12 orang
secara tetap, dan tidak terletak di atas atau di bawah bangunan gedung
hunian lain atau bangunan klas lain selain tempat garasi pribadi.

b. Klas 2: Bangunan gedung hunian, terdiri atas dua atau lebih unit hunian
yang masing-masing merupakan tempat tinggal terpisah.

c. Klas 3: Bangunan gedung hunian di luar bangunan gedung Klas 1 atau Klas
2, yang umum digunakan sebagai tempat tinggal lama atau sementara oleh
sejumlah orang yang tidak berhubungan, termasuk:

1) rumah asrama, rumah tamu (guest house), losmen; atau


2) bagian untuk tempat tinggal dari suatu hotel atau motel; atau
3) bagian untuk tempat tinggal dari suatu sekolah; atau
4) panti untuk lanjut usia, cacat atau anak-anak; atau
5) bagian untuk tempat tinggal dari suatu bangunan gedung perawatan
kesehatan yang menampung karyawan-karyawannya.

d. Klas 4: Bangunan gedung hunian campuran.


Tempat tinggal yang berada di dalam suatu bangunan gedung klas 5, 6, 7,
8 atau 9 dan merupakan tempat tinggal yang ada dalam bangunan gedung
tersebut.

e. Klas 5: Bangunan gedung kantor.


Bangunan gedung yang dipergunakan untuk tujuan-tujuan usaha
profesional, pengurusan administrasi, atau usaha komersial, di luar
bangunan gedung klas 6, 7, 8 atau 9.

f. Klas 6: Bangunan gedung perdagangan.


Bangunan gedung toko atau bangunan gedung lain yang dipergunakan
untuk tempat penjualan barang-barang secara eceran atau pelayanan
kebutuhan langsung kepada masyarakat, termasuk:
1) ruang makan, kafe, restoran; atau
2) ruang makan malam, bar, toko atau kios sebagai bagian dari suatu
hotel atau motel; atau
3) tempat potong rambut/salon, tempat cuci umum; atau
4) pasar, ruang penjualan, ruang pamer, atau bengkel.

g. Klas 7: Bangunan gedung penyimpanan/Gudang.


Bangunan gedung yang dipergunakan untuk penyimpanan, termasuk:
1) tempat parkir umum; atau
2) gudang, atau tempat pamer barang-barang produksi untuk dijual atau
cuci gudang.

Jimmy S. Juwana 275


h. Klas 8: Bangunan gedung Laboratorium/Industri/Pabrik.
Bangunan gedung laboratorium dan bangunan gedung yang dipergunakan
untuk tempat pemrosesan suatu produk, perakitan, perubahan, perbaikan,
pengepakan, finishing, atau pembersihan barang-barang produksi dalam
rangka perdagangan atau penjualan.

i. Klas 9: Bangunan gedung Umum.


Bangunan gedung yang dipergunakan untuk melayani kebutuhan
masyarakat umum, yaitu:
1) Klas 9a: bangunan gedung perawatan kesehatan, termasuk bagian-
bagian dai bangunan gedung tersebut yang berupa laboratorium.
2) Klas 9b: bangunan gedung pertemuan, termasuk bengkel kerja,
laboratorium atau sejenisnya di sekolah dasar atau sekolah lanjutan,
hall, bangunan gedung peribadatan, bangunan gedung budaya atau
sejenis, tetapi tidak termasuk setiap bagian dari bangunan gedung yang
merupakan kelas lain.

j. Klas 10: Bangunan gedung atau struktur yang bukan hunian.


1) Klas 10a: bangunan gedung bukan hunian yang merupakan garasi
pribadi, carport, atau sejenisnya.
2) Klas 10b: struktur yang berupa pagar, tonggak, antena, dinding
penyangga atau dinding yang berdiri bebas, kolam renang, atau
sejenisnya.

Untuk pengamanan terhadap bahaya kebakaran pada bangunan gedung dan


lingkungan secara rinci SNI 03 – 1736 – 2000 tentang Tata Cara Perencanaan
Sistem Proteksi Pasif untuk Pencegahan Bahaya Kebakaran pada Bangunan
Gedung, SNI 03 – 6571 – 2000 tentang Pengendalian Asap Kebakaran pada
Bangunan Gedung, SNI 03-7012-2004 tentang Sistem Manajemen Asap di
dalam Mal, Atrium, dan Ruangan Bervolume Besar, SNI 03 – 1746 – 2000
tentang Tata Cara Perencanaan dan Pemasangan Sarana Jalan Keluar untuk
Penyelamatan terhadap Bahaya Kebakaran pada bangunan Gedung, dan SNI
03 – 3989 – 2000 tentang Tata Cara Perencanaan dan Pemasangan Sistem
Sprinkler Otomatis untuk Pencegahan Bahaya Kebakaran pada Bangunan
Gedung.

7.5. Persyaratan Teknis Proteksi Kebakaran

7.5.1. Konstruksi Tahan Api

Konsep konstruksi tahan api terkait pada kemampuan dinding luar, lantai dan
atap untuk dapat menahan api di dalam bangunan atau kompartemen. Dahulu,
276ndustr yang mengukur ketahanan terhadap kebakaran dihitung dalam
jumlah jam, dan kandungan bahan struktur tahan api. Namun sekarang, hal ini

Jimmy S. Juwana 276


dianggap tidak cukup, dan spesifikasi praktis yang digunakan adalah suatu
konstruksi yang mempunyai tingkat kemampuan untuk bertahan terhadap api
(tingkat ketahanan api – TKA). Definisi ini menyatakan beberapa ketentuan
yang terkait pada kemampuan struktur untuk tahan terhadap api tanpa terjadi
perubahan bentuk (deformasi) yang berarti, dan mencegah menjalarnya api ke
seluruh bangunan.

Untuk itu setiap bangunan gedung harus memperhatikan dan meminimalkan


penyebaran api melalui tiga mekanisme, yaitu konduksi, konveksi dan radiasi
ke seluruh bangunan gedung.

Dengan demikian, setiap komponen bangunan, dinding, lantai, kolom dan balok,
termasuk lubang saf setiap lantai harus dilindungi material fire stop. Agar dapat
tetap bertahan dan dapat menyelamatkan isi bangunan, meskipun bangunan
dalam keadaan terbakar.

Bahan baja meskipun tidak dapat terbakar (fire proof), tetapi akan meleleh jika
terkena panas yang tinggi (non-fire resistant). Oleh karenanya perlu dilindungi
agar panas yang ditimbulkan oleh api dapat dihambat penjalaran panasnya,
terutama pada kolom bangunan (Gambar 7.4.). Untuk balok baja dapat
digunakan pendekatan yang sama, atau menggunakan langit-langit yang dapat
mencegah perambatan api/panas.

Gambar 7.4. Beberapa Cara untuk Menjadikan Baja Tahan terhadap Api

7.5.2. Akses dan Pasokan Air untuk Pemadam Kebakaran

Ketentuan jalan akses pemadam kebakaran harus memenuhi PP nomor 16


tahun 2021 dan SNI 03-1735-2000 tentang Tata Cara Perencanaan Akses
Bangunan dan Akses Lingkungan untuk Pencegahan Bahaya Kebakaran pada
Bangunan Gedung.

Jimmy S. Juwana 277


a. Akses Pemadam Kebakaran

Untuk bangunan gedung dengan fungsi hunian yang memiliki ketinggian lebih
dari 10 m harus dilengkapi dengan akses yang diberi perkerasan degan area
operasional (bidang kerja) sekurang-kurangnya memiliki lebar 4 m dan Panjang
tidak melebihi 45 m.

Setiap bangunan gedung (kecuali yang memiliki risiko kebakaran rendah) harus
dilengkapi dengan akses yang bebas dari hambatan bagi pemadam kebakaran
yang meliputi jalan kendaraan mobil pemadam kebakaran dan/atau tempat
parkir mobil pemadam kebakaran
Ketentuan jalur masuk harus diperhitungkan berdasarkan volume kubikasi
bangunan gedung sebagai Tabel 7.3 berikut:

Tabel 7.3. Volume Bangunan Gedung untuk Penentuan Jalur Akses

Volume bangunan
No Keterangan
gedung [m3]
1 > 7.100 Minimal 1/6 keliling bangunan gedung
2 >28.000 Minimal ¼ keliling bangunan gedung.
3 > 56.800 Minimal ½ keliling bangunan gedung.
4 > 85.200 Minimal ¾ keliling bangunan gedung
5 > 113.600 Harus sekeliling bangunan gedung.
Sumber: PPP nomor 16/2021

Ketentuan pada Tabel 7.3 digunakan untuk menentukan jumlah daerah


perkerasan untuk parkir mobil pemadam kebakaran (hard standing), yang
jaraknya ke bangunan gedung antara 2 – 10 m dan berukuran 6 m x 15 m,
dengan kemampuan daya dukung 12 ton. Pada beberapa kota besar di
Indonesia ukuran tempat parkir salah satunya berukuran 10 m x 18 m.

Sumber: PP nopmor 16, 2021 dimodifikasi

Gambar 7.5. Lokasi Parkir Mobil Pemadam Kebakaran

Jimmy S. Juwana 278


Berdekatan dengan tempat parkir yang paling mudah dijangkau dari jalan
raya/jalan umum ditempatkan kantor pusat pengendalian kebakaran (fire
command center – FCC) dengan luas tidak kurang dari 10 m2 (dan lebar
minimum ruangan 2,5 m) dengan pintu tahan api dua jam dan membuka ke arah
luar.

Di dekat tempat parkir, diletakkan katup Siamese yang ukuran koneksinya


disesuaikan dengan ukuran standar pemadam kebakaran setempat. Dari
tempat parkir dan ruang FCC petugas pemadam kebakaran akan memasuki
bangunan gedung melalui pintu kebakaran yang terdekat.

Hidran ditempatkan di luar bangunan pada lokasi yang aman dari api (Gambar
7.6) dan untuk menyalurkan pasokan air kedalam bangunan dilakukan dengan
melalui katup Siamese (Gambar 7.7).

Sumber: Parlour, 1994

Gambar 7.6. Jarak Aman Hidran Halaman

Gambar 7.7. Hidran Halaman dan Katup Siamese

Hidran kota bentuknya sama dengan hidran halaman, tetapi mempunyai dua
atau tiga lubang untuk selang kebakaran.

Jimmy S. Juwana 279


Komponen hidran kebakaran terdiri dari sumber air, pompa-pompa kebakaran,
selang kebakaran, penyambung dan perlengkapan lainnya.

Untuk hidran kebakaran diperlukan persyaratan teknis sesuai ketentuan,


sebagai berikut:

1) sumber persediaan air untuk hidran harus diperhitungkan minimum untuk


pemakaian selama 45 menit;
2) pompa kebakaran dan peralatan listrik lainnya harus mempunyai aliran listrik
tersendiri dan sumber daya listrik darurat;
3) selang kebakaran dengan diameter minimum 3,8 cm (1,5 inci) harus terbuat
dari bahan yang tahan panas, dengan panjang maksimum 30 m;
4) harus disediakan kopling penyambung yang sama dengan kopling dari
Petugas Pemadam Kebakaran setempat; dan
5) semua peralatan hidran harus dicat dengan warna merah.

Selanjutnya, pemasangan hidran kebakaran juga perlu memperhatikan hal-hal


sebagai berikut:

1) pipa pemancar harus sudah terpasang pada selang kebakaran;


2) hidran bangunan yang menggunakan pipa tegak (riser) ukuran 15 cm (6 inci)
harus dilengkapi dengan kopling outlet dengan diameter 6,35 cm (2,5 inci)
yang bentuk dan ukurannya sama dengan kopling dari barisan/unit
pemadam kebakaran dan ditempatkan pada tempat yang mudah dicapakai
oleh petugas pemadam kebakaran;
3) hidran halaman harus disambungkan dengan pipa induk dengan ukuran
diameternya minimum 15 cm (6 inci) dan mampu mengalirkan air 1.000
liter/menit. Maksimal jarak antar hidran adalah 200 meter dan penempatan
hidran harus mudah dicapai oleh petugas pemadam kebakaran (lihat
Gambar 7.6).
4) hidran halaman yang mempunyai dua kopling outlet harus menggunakan
katup pembuka dengan diameter 10 cm (4 inci) dan yang mempunyai tiga
kopling outlet harus menggunakan katup pembuka dengan diameter 15 cm
(6 inci); dan
5) kotak hidran bangunan harus mudah dibuka, dapat terlihat dan terjangkau
dan tidak terhalang oleh benda apapun.

Di samping itu, penataan ruang luarnya juga memudahkan petugas pemadam


kebakaran untuk dapat masuk dan parkir di tempat tertentu untuk melakukan
upaya pemadaman bangunan gedung yang terbakar. Beberapa hal yang dapat
menjadi kendala bagi akses pemadam kebakaran, antara lain seperti yang
terlihat pada Gambar 7.8.

Jimmy S. Juwana 280


Sumber: SNI 03-1735-2000
Gambar 7.8. Kendala Akses Pemadam Kebakaran

b. Pasokan Air

Pada kota-kota besar, diperlukan air untuk keperluan hidran, selang kebakaran
dan sistem sprinkler yang dapat dipasok dari jaringan pipa air di jalan-jalan
utama. Untuk keperluan praktis, air dapat diperoleh dengan menyedot air dari
kolam renang, waduk, saluran riol kota atau sungai. Pengambilan air laut juga
cukup efektif, asal saja pipa yang digunakan telah dipertimbangkan terhadap
kemungkinan terjadinya korosi. Pada daerah pinggiran kota, di mana kadang
kala pipa distribusi air pada jalan-jalan utama belum tersedia, maka tangki
persediaan air atau bendungan dengan kapasitas penyimpanan yang cukup
besar diperlukan untuk dapat memadamkan api, jika terjadi kebakaran.

Sejumlah cadangan air diperlukan untuk hidran dan sistem sprinkler, dan
umumnya disimpan dalam tempat penyimpanan air tertentu (reservoir). Jika
dimungkinkan/diijinkan, suatu tangki penyimpanan air dapat difungsikan ganda,
baik untuk keperluan keseharian maupun untuk keperluan pemadaman api.
Agar supaya di dalam tangki selalu tetap tersedia cadangan air yang dapat
dipergunakan jika sewaktu-waktu terjadi kebakaran, maka lubang pasokan
(outlet) untuk kebutuhan keseharian dibedakan dengan yang untuk keperluan
pemadaman api. (Gambar 7.9).

Jimmy S. Juwana 281


Pelampung

AIR Untuk
Keperluan
Keseharian
Cadangan Persediaan Air
Untuk
Keperluan
Pemadaman
Kebakaran
Untuk
Pasokan Air Keperluan
Pengurasan
Sumber: Parlour, 1994, dimodifikasi

Gambar 7.9. Tangki Penyimpanan Air Berfungsi Ganda

Pasokan air dari luar harus ditanam di dalam tanah dan jika seandainya
dipasang di atas permukaan tanah, maka pipa perlu ditopang oleh struktur yang
tidak runtuh pada saat terjadi kebakaran.

c. Tangki Air

Untuk bangunan tinggi, diperlukan tangki air di atas bangunan untuk


menyediakan air dengan tekanan tinggi yang dibutuhkan untuk penyemprotan
melalui hidran di bawahnya. Air tersimpan di dalam tangki harus cukup untuk
kebutuhan awal terjadinya api (sekitar 45 menit), di mana waktu itu diperkirakan
cukup bagi mobil barisan/unit pemadam kebakaran untuk melakukan persiapan.
Tangki air perlu dihitung mengacu pada luasan lantai bangunan gedung dengan
volume yang cukup untuk memasok kebutuhan minimum untuk dua hidran yang
beroperasi selama sekitar 45 menit. Untuk beberapa kota karena alasan
kepadatan lalu lintas, diperhitungkan sampai 60 menit.

d. Tekanan Air

Tekanan air di berbagai lokasi kota berbeda. Pada umumnya tekanan air tidak
cukup kuat untuk hidran/selang kebakaran yang ditempatkan pada ketinggian
lebih dari 14 m dari permukaan tanah. Untuk kondisi ini, pompa sangat
diperlukan untuk memberikan tekanan yang cukup. Pada lokasi di mana
pasokan air tidak cukup, maka tangki air di atas bangunan dan pompa tekan
(booster pump) diperlukan untuk bangunan yang mempunyai ketinggian kurang
dari 25 m.

Untuk efektivitas pengoperasian, tekanan hidran harus dapat menjangkau


ketinggian antara 26 – 66 m (0,5 kg/cm2). Jika tekanan air terlalu rendah, jarak

Jimmy S. Juwana 282


semprotan air menjadi pendek, sebaliknya jika tekanan terlalu tinggi, selang sulit
dikendalikan. Pada bangunan tinggi (> 40 m), tekanan hidran perlu dibagi dalam
tingkatan agar memenuhi kriteria yang disyaratkan.

Untuk bangunan yang tingginya lebih dari 14 m, perlu ditempatkan penghubung


hidran (Katup Siamese) di luar bangunan, agar petugas pemadam kebakaran
dapat menghubungkan selang ke peralatan di mobil pemadam kebakaran,
sehingga jumlah dan tekanan air yang masuk ke dalam instalasi/jaringan hidran
di dalam bangunan dapat ditingkatkan.

7.6. Sistem Proteksi Kebakaran Pasif

Sistem pencegahan secara pasif bertumpu pada rancangan bangunan yang


memungkinkan orang keluar dari bangunan dengan selamat pada saat terjadi
kebakaran atau kondisi darurat lainnya.

Pencegahan pasif meliputi sarana evakuasi, lokasi penempatan tangga


kebakaran agar tidak terjadi lorong/ujung buntu (dead end) dan saf kebakaran,
serta kompartemen pencegah penajalaran api dan asap.

7.6.1. Sarana Evakuasi

Seusai PP nomor 16 tahun 2021 dan SNI 03 – 1746 – 2000 tentang Tata Cara
Perencanaan dan Pemasangan Sarana Jalan Keluar untuk Penyelamatan
terhadap Bahaya Kebakaran pada bangunan gedung, harus disediakan sarana
evakuasi (means of egress) untuk evakuasi keselamatan jiwa dari bahaya
kebakaran yang menerus dan tidak terhalang oleh benda apapun.
Sarana evakuasi terdiri dari (Gambar 7.10):

1) akses eksit (exit access);


berupa pintu menuju tangga darurat/tangga kebalaran
2) eksit (exit);
jalur dalam tangga atau koridor, dan
3) eksit pelepasan (exit discharge).
pintu keluar menuju titik kumpul atau lokasi yang aman.

Jimmy S. Juwana 283


Sumber: PP nomor 16/2021

Gambar 7.10. Sarana Evakuasi

Sarana evakuasi dalam bangunan dapat merupakan jalan vertikal dan


horizontal dan mencakup ruang-ruang antara (intervening room spaces), pintu
akses (doorways), lorong (hallways), koridor, lorong antara (passageways),
balkon, ramp, tangga, elevator, selungkup (enclosures), lobi, eskalator, eksit
horizontal, lapangan (courts), dan pekarangan (yards).

Sarana evakuasi perlu dilengkapi dengan sarana pendukung lainnya seperti:


1) rencana evakuasi;
2) sistem peringatan bahaya;
3) pencahayaan eksit dan tanda arah;
4) area tempat berlindung (refuge area);
5) titik berkumpul; dan
6) lif kebakaran.

Salah satu komponen sarana evaluasi adalah akses eksit berupa pintu tahan
api. (TKA sekurang-kurangnya dua jam). Beberapa syarat akses eksit yang
perlu dipenuhi oleh pintu keluar (Gambar 7.11), di antaranya akses eksit:

1) harus terproteksi dari bahaya kebakaran.


2) harus bebas dari segala hambatan/halangan seperti pagar penghalang,
gerbang, minimum ketinggian, dekorasi, atau benda yang menghalangi
pintu keluar, akses ke dalamnya, jalan keluar darinya, atau visibilitas.

Jimmy S. Juwana 284


3) harus diberi penanda yang mudah terlihat agar mudah ditemukan dan
dikenali.
4) satu arah menuju ke satu eksit, lebar minimal akses eksit harus paling
sedikit bisa dilalui oleh kursi roda.
5) lebih dari dua arah menuju ke satu eksit, masing-masing akses eksit harus
memiliki lebar yang cukup untuk jumlah orang yang dilayaninya.
6) lebarnya jika diukur dari titik tersempit dalam hal akses eksit memiliki lebar
yang tidak seragam.
7) di luar ruangan dapat melalui balkon, serambi atau atap.
8) di luar ruangan harus dilengkapi dengan kantilever, dinding pengaman dan
menggunakan material penutup lantai yang lembut dan solid.
9) pintunya dapat dipasang di sepanjang jalur penyelamatan menuju eksit
atau sebagai akses ke ruangan atau ruang selain toilet, kamar tidur, ruang
utilitas, dan sejenisnya
10) pintunya harus secara jelas mudah dikenali.
11) pintunya jika dari ruangan berkapasitas lebih dari 50 orang yang terbuka,
koridor umum tidak boleh melebihi setengah dari lebar koridor.
12) jarak ayunan pintunya ke tangga eksit tidak boleh melebihi setengah dari
lebar bordes tangga.

Sumber: PP nomor 16/2021

Gambar 7.11. Pintu Kebakaran (Darurat)

7.6.2. Tangga Kebakaran

a. Lokasi Tangga Kebakaran

Jarak antar pintu tangga kebakaran yang disyaratkan tidak terlalu berdekatan
dan juga memiliki batas jarak maksimum antara tangga yang satu dengan yang
lainnya (Gambar 7.12).

Jimmy S. Juwana 285


Sumber: Allen & Iano, 2017

Sumber: NFPA 1 & NFPA 101, 2021

Gambar 7.12. Jarak Antar Pintu Keluar

Pada tangga kebakaran yang dilengkapi dengan pipa tegak yang digunakan
untuk memasok air bagi pemadaman di suatu lantai bangunan tinggi, jarak
maksimum antar pintu tangga kebakaran maksimum 38 m. Adapun pipa tegak
dapat diletakkan di dalam lobi lif kebakaran (dalam kompartemen pencegah
asap), di luar tangga daurat dalam saf yang terlindung, dan/atau di dalam ruang
tangga kebakaran (Gambar 7.13).

Jimmy S. Juwana 286


Sumber: PP nomor 16/2021 dimodifikasi

Gambar 7.13. Lokasi Tangga Kebakaran dan Pipa Tegak

Jumlah Tangga dan Lebar Tangga Kebakaran pada bangunan bertingkat yang
digunakan untuk kepentingan umum memiliki lebar minimal 1,20 m, dan jumlah
tangga yang perlu disediakan minimal dua buah untuk sirkulasi manusia,
dengan.

Untuk bangunan dengan ketinggian kurang dari 7,5 m, tangga sirkulasi dapat
dipergunakan sebagai tangga kebakaran, sedang untuk bangunan di atas
delapan lantai, kurang dari 20 m, dan bangunan yang lebih dari 20 m. Perlu
dilengkapi dengan tangga kebakaran dan persyaratan evakuasi darurat lainnya.

Bangunan-bangunan yang memerlukan saf untuk pemadam kebakaran


tersebut dapat ditunjukkan pada Gambar 7.14.

Jimmy S. Juwana 287


Sumber: Furness & Muckett 2007, dimodifikasi

Gambar 7.14. Bangunan yang Memerlukan Saf Pemadam Kebakaran

Persyaratan saf kebakaran:

1). Bangunan gedung yang lantainya terletak lebih dari 20 m di atas


permukaan tanah atau di atas level akses masuk bangunan gedung atau
yang besemennya lebih dari 10 m di bawah permukaan tanah atau level
akses masuk bangunan gedung, harus memiliki saf untuk pemadaman
kebakaran yang berisi di dalamnya lif untuk pemadaman kebakaran.

2). Bangunan gedung yang bukan tempat parkir sisi terbuka dengan luas
tingkat bangunan gedung seluas 600 m2 atau lebih, yang bagian atas
tingkat tersebut tingginya 7,5 m di atas level akses, harus dilengkapi dengan
saf untuk tangga pemadam kebakaran yang tidak perlu dilengkapi dengan
lif pemadam kebakaran.

3). Bangunan gedung dengan dua atau lebih lantai besemen yang luasnya lebih
dari 900 m2 harus dilengkapi dengan saf tangga kebakaran yang tidak perlu
memasang lif pemadam kebakaran.

4). Bilamana saf tangga kebakaran terlindung untuk pemadaman kebakaran


diperlukan untuk melayani basemen, maka saf tersebut tidak perlu harus
melayani lantai-lantai di atasnya, kecuali bila lantai-lantai atas tersebut bisa
dicakup berdasarkan ketinggian atau ukuran bangunan gedung.

Jimmy S. Juwana 288


Demikian pula halnya suatu saf yang melayani lantai-lantai di atas lantai
dasar tidak perlu harus melayani basemen, meskipun tidak begitu besar
atau dalam yang memungkinkan dapat dipenuhi. Hal yang penting adalah
bahwa tangga untuk pemadaman kebakaran dan lif kebakaran harus
mampu melayani semua tingkat-tingkat menengah yang terletak di antara
tingkat bangunan gedung tertinggi dan terendah yang dilayani.

5). Kompleks perbelanjaan harus dilengkapi dengan saf untuk pemadaman


kebakaran.

Jumlah saf kebakaran untuk petugas pemadam kebakaran harus:

1). Jumlah saf untuk pemadaman kebakaran harus:

a) Memenuhi Tabel 7.4 apabila bangunan gedung dipasangi seluruhnya


dengan sistem sprinkler otomatis yang sesuai dengan standar yang
berlaku.
b) Bila bangunan gedung tidak memiliki sprinkler, harus disediakan
sekurang-kurangnya satu saf pemadam kebakaran untuk setiap 900 m2
luas lantai dari lantai terbesar yang letaknya lebih dari 20 m di atas
permukaan tanah (atau di atas 7,5 m dalam hal seperti pada butir a).
c) Kriteria yang sama mengenai luasan 900 m2 untuk setiap saf
pemadaman kebakaran, harus diterapkan untuk menghitung jumlah saf
yang diperlukan bagi basemen bangunan gedung.

2). Penempatan saf untuk pemadaman kebakaran harus sedemikian rupa,


hingga setiap bagian dari tiap lapis atau tingkat bangunan gedung di luar
level akses masuk petugas pemadam kebakaran, tidak lebih dari 60 m
diukur dari pintu masuk ke lobby. Tindakan pemadaman kebakaran
ditentukan pada rute yang tepat untuk pemasangan selang, apabila denah
internal tidak diketahui pada tahap desain, maka setiap bagian dari setiap
tingkat bangunan gedung harus tidak lebih dari 40 m, diukur berdasarkan
garis lurus yang ditarik langsung dari pintu masuk ke lobby pemadaman
kebakaran.
Tabel 7.4. Jumlah Minimum Saf Kebakaran
Untuk Bangunan Gedung yang Dipasang Sprinkler Otomatis

Luas lantai maksimum Jumlah 289ndustr saf pemadam


[m2] kebakaran
< 900 1
900 ~ 2.000 2
2 ditambah 1 untuk tiap penambahan 1.500
> 2.000
m2
Sumber: PP nomor 16/2021

Jimmy S. Juwana 289


Sedang untuk persyaratan lif kebakaran, menurut Permen PU nomor 26/2008
adalah sebagai berikut:
a. Untuk penanggulangan saat terjadi kebakaran, sekurang-kurangnya ada
satu buah lif yang disebut sebagai lif kebakaran atau lif darurat (emergency
lift) dan harus dipasang pada:
1) bangunan gedung yang memiliki ketinggian efektif lebih dari 25 m (atau
lebih dari 5 lantai), dan
2) bangunan gedung kelas 9a yang daerah perawatan pasiennya
ditempatkan di atas level permukaan jalur penyelamatan langsung ke
arah jalan umum atau ruang terbuka.
b. Semua lif yang mempunyai jarak tempuh 7,6 m atau lebih di atas atau di
bawah lantai dan melayani keperluan petugas darurat untuk
penanggulangan kebakaran atau tugas penyelamatan harus mengikuti
ketentuan baku atau standar tentang keselamatan untuk lif dan eskalator.
c. Pada saat tidak terjadi kebakaran, lif kebakaran dapat dikombinasikan
sebagai lif penumpang.
d. Bila ada dua lif atau lebih terpasang pada satu saf (ruang luncur) yang
berbeda dan melayani lantai-lantai yang sama, di luar lif yang terdapat
dalam atrium, sekurang-kurangnya satu lif kebakaran tersedia untuk
melayani lantai-lantai tersebut.
e. Lif kebakaran harus terdapat dalam ruang luncur yang tahan api minimum
satu jam.
f. Lif kebakaran harus:
1) memenuhi standar untuk lif kebakaran yang berlaku.
2) pada bangunan gedung kelas 9a (rumah sakit) yang melayani ruang
perawatan pasien, maka:
a) memiliki ukuran atau dimensi minimum yang diukur dalam keadaan
bebas penghalang termasuk pegangan tangga, sebagai berikut:
(1) kedalaman minimum: 2.280 mm;
(2) lebar minimum: 1.600 mm;
(3) jarak dari lantai ke plafon, minimum: 2.300 mm;
(4) tinggi pintu minimum: 2.100 mm;
(5) lebar pintu minimum: 1.300 mm; dan
b) dihubungkan dengan sistem pembangkit tenaga listrik darurat
yang selalu siaga; dan
c) mempunyai kapasitas sekurang-kurangnya 600 kg untuk
bangunan gedung yang memiliki ketinggian efektif lebih dari 75 m.
g. Lif kebakaran dioperasikan oleh petugas pemadam kebakaran untuk
keperluan penanggulangan keadaan darurat kebakaran, dan harus dapat
berhenti di setiap lantai.
h. Keberadaan lif kebakaran diberi tanda tertentu di setiap lantai dekat pintu lif.
i. Sumber daya listrik untuk lif kebakaran harus direncanakan dari dua sumber
dan menggunakan kabel tahan api minimal satu jam.

Jimmy S. Juwana 290


j. Lif kebakaran harus memiliki akses ke tiap lantai hunian di atas atau di
bawah lantai tertentu atau yang ditunjuk, harus berdekatan dengan tangga
eksit serta mudah dicapai oleh petugas pemadam kebakaran di setiap lantai.
k. Lif kebakaran harus dilengkapi dengan sarana operasional yang dapat
digunakan oleh petugas pemadam kebakaran untuk membatalkan
panggilan awal atau sebelumnya yang dilakukan secara tidak sengaja atau
aktif karena kelalaian terhadap lif tersebut.
l. Tanda peringatan terhadap penggunaan lif pada saat terjadi kebakaran,
harus:
1) dipasang di tempat yang mudah terlihat dan terbaca, di antaranya:
a) dekat setiap tombol panggil untuk setiap lif penumpang atau
kelompok lif pada bangunan gedung, kecuali
b) dumbwaiter atau sejenisnya yang digunakan untuk mengangkut
barang-barang.
2) dibuatkan tulisan ‘DILARANG MENGGUNAKAN LIF BILA TERJADI
KEBAKARAN’ dengan tinggi huruf minimal 20 mm dengan ketentuan:
a) huruf yang diukur/dipahat atau huruf timbul pada logam, kayu,
plastik atau sejenisnya dan dipasang tetap di dinding, atau
b) huruf diukir atau dipahat langsung dipermukaan lapis penutup
dinding.
c) bila diperlukan, dengan penampilan khusus sehingga dapat
terbaca pada keadaan gelap atau sewaktu-waktu terjadi
kebakaran.

b. Jenis Tangga Darurat/Tangga Kebakaran

1) Persyaratan Umum Tangga Kebakaran

Fungsi sistem pintu eksit (Gambar 7.10) dimaksudkan untuk memberikan


akses bagi penghuni/pengguna bangunan untuk dapat menuju tempat yang
aman dengan selamat, baik di tempat pemberhentian sementara dalam
bangunan gedung (refuge floor), maupun di luar bangunan berupa titik
kumpul.

Peraturan tentang tangga kebakaran dan pintu darurat berbeda antara satu
negara dengan negara lain, namun pendekatan bagi sistem pintu keluar
pada dasarnya sama, yaitu memberi kemudahan bagi penghuni/pengguna
bangunan untuk dapat selamat keluar dari bangunan yang terbakar atau
terkena musibah/bencana lainnya.
Persyaratan tangga kebakaran, khususnya yang terkait dengan kemiringan
tangga, jarak pintu dengan anak, tinggi pegangan tangga dan lebar serta
ketinggian anak tangga, dapat dilihat pada Gambar 7.15 dan diwajibkan
untuk bangunan yang memiliki ketinggian antara 7,5 m dan 20 m (lihat
Gambar 7.14 tengah).

Jimmy S. Juwana 291


Sumber: Furness & Muckett 2007, dimodifikasi dan PP nomor 16/2021

Gambar 7.15. Tipikal Tangga Kebakaran

Pintu pada tangga kebakaran hanya terbuka ke arah dalam tangga, kecuali
pintu di lantai dasar, pintu hanya terbuka ke arah luar. Jika bangunan
mempunyai basemen, maka tangga turun dari lantai 1 dan tangga naik dari
basemen harus disekat, agar orang yang ingin ke lantai dasar tidak tersesat
(Gambar 7.16).

Jimmy S. Juwana 292


Gambar 7.16. Tipikal Tangga Kebakaran di Lantai Dasar

Untuk bangunan tinggi yang ketinggiannya lebih dari 20 m (lihat Gambar 7.14
kiri), tangga kebakarannya harus dilengkapi dengan saf kebakaran dan lobi
pengendali asap serta memiliki pipa tegak di dalamnya (Gambar 7.17).

Lobby untuk
Pemadam Kebakaran

Pintu yang Tangga untuk


Menutup Sendiri Pemadam Kebakaran

Lif untuk
Pemadam Kebakaran
Berada di dalam
Shaft Kebakaran

Sumber: Furness & Muckett 2007, dimodifikasi dan Juwana, 2005

Gambar 7.17. Tangga dan Saf Kebakaran

Pada saat kebakaran atau kondisi darurat, terutama pada bangunan tinggi,
tangga kedap api/asap merupakan tempat yang paling aman dan harus bebas
dari gas panas dan beracun. Ruang tangga yang bertekanan (pressurized stair
well) diaktifkan secara otomatis pada saat kebakaran (Gambar 7.18).

Jimmy S. Juwana 293


Pengisian ruang tangga dengan udara segar bertekanan positif akan mencegah
menjalarnya asap dari lokasi yang terbakar ke dalam ruang tangga. Tekanan
udara dalam ruang tangga tidak boleh melampaui batas aman, karena jika
tekanan udara dalam ruang tangga terlalu tinggi, maka akan menyebabkan
pintu tangga sulit/tidak dapat dibuka.

Pada gedung yang sangat tinggi perlu ditempatkan beberapa kipas udara
(blower) untuk memastikan bahwa udara segar yang masuk ke dalam ruang
tangga jauh dari kemungkinan masuknya asap. Di samping itu, pada bangunan
yang sangat tinggi perlu dilengkapi dengan saf kebakaran yang berisi tangga
darurat, lobby untuk pemadam kebakaran dan lif kebakaran.

Sumber: Patterson, 1993.dimodifikasi

Gambar 7.18. Penempatan Peralatan Tekanan Udara

Beberapa tipikal tangga kebakaran tahan api lain yang juga kerap digunakan
(Gambar 7.19).

Jimmy S. Juwana 294


Sumber: NFPA 1 & NFPA 5000, 2020

Gambar 7.19. Tipikal Tangga Kebakaran Tahan Api

Beberapa tipikal tangga kedap asap, baik yang menggunakan ventilasi alamiah
(Gambar 7.20.a dan Gambar 7.20.b) maupun dengan ventilasi mekanik
(Gambar 7.20.c).

Tangga

D
D
min.
180
cm

A
a. Tangga Kedap Asap dengan Ventilasi Alamiah

Tangga

Balkon
Terbuka

min. 3 meter dari Bukaan


yang Tidak Dilindungi

b. Tangga Kedap Asap dengan Ventilasi Alamiah dan Balkon

Tangga

D
min. 180 cm
Saluran Udara
Ventilasi Mekanik
c. Tangga Kedap Asap dengan Ventilasi Mekanis

Catatan:

A : Pintu Tahan Api – 1,5 jam


B : Pintu Tahan Api – 1,0 jam
C : Pintu Tahan Api – 30 menit
D : Dinding Tahan Api – 2 jam
Sumber: Allen & Iano, 2017
Gambar 7.20. Tipikal Pintu Kedap Asap

Jimmy S. Juwana 295


7.6.3. Koridor dan Jalan Keluar

Hal lain yang penting untuk diperhatikan adalah lokasi pintu keluar dan jarak
dari pintu keluar ke tempat yang aman di luar bangunan dan tidak memiliki
lorong/ujung buntu. Lintasan yang berupa koridor memiliki batasan
sebagaimana tertera pada Tabel 7.5.

Tabel 7.5. Lintasan Bersama, Ujung Buntu dan Batas Jarak Tempuh

Batas lintas bersama Batas ujung buntu Batas jarak tempuh


Fungsi Bangunan Tanpa Ber Tanpa Ber Tanpa Ber
Gedung sprinkler sprinkler sprinkler sprinkler sprinkler sprinkler
(m) (m) (m) (m) (m) (m)
Hunian Pertemuan:
Baru 6,1/23 a) 6,1/23 a) 6,1 b) 6,1 b) 61 c) 76 d)
Yang sudah ada 6,1/23 a) 6,1/23 a) 6,1 b) 6,1 b) 61 c) 76 d)

Hunian Pendidikan:
Baru 23 30 6,1 15 45 d) 61 d)
Yang sudah ada 23 30 6,1 15 45 d) 62 d)
Hunian Perawatan:
Harian Baru 23 30 6,1 15 45 d) 61 d)
Yang sudah ada 23 30 6,1 15 45 d) 61 d)

Perawatan Kesehatan:
Baru TS TS 9,1 9,1 TT 61 d)
Yang sudah ada TS TS TS TS 45 d) 61 d)
Perawatan Ambulatori:
Baru 23 e) 30 e) 6,1 15 45 d) 61 d)
Yang sudah ada 23 g) 30 f) 1,5 15 45 d) 61 d)
Hunian Rumah Tahanan
dan Lembaga
Pemasyarakatan:

Baru-memakai kondisi 15 30 15 15 45 d) 61 d)
II,III, IV
Baru memakai kondisi V 15 30 6,1 6,1 45 d) 61 d)
Yang sudah ada
memakai kondisi 15 f) 30 f) TS TS 45 d) 61 d)
II,III,IV,V

Hunian Tempat Tinggal:


Rumah tinggal satu atau TS TS TS TS TS TS
dua keluarga.

Jimmy S. Juwana 296


Batas lintas bersama Batas ujung buntu Batas jarak tempuh
Fungsi Bangunan Tanpa Ber Tanpa Ber Tanpa Ber
Gedung sprinkler sprinkler sprinkler sprinkler sprinkler sprinkler
(m) (m) (m) (m) (m) (m)
Wisma TS TS TS TS TS TS

Hotel dan asrama:


Baru 10,7 g.h) 15 g.h) 10,7 15 53 d.a) 99 d.a)
Yang sudah ada 10,7 g) 15 15 15 53 d.h) 99 d.b)

Apartemen:
Baru 10,7 g) 15 g) 10,7 15 53 d.a) 99 d.a)
Yang sudah ada 10,7 g) 15 g) 15 15 53 d.b) 99 d.b)

Singgah dan perawatan:


Kecil, baru dan yang
sudah ada TS TS TS TS TS NR
Besar, baru TT 38 h) TT 15 TT 99 d.a)
Besar, yang sudah ada 33 49 15 15 53 d.a) 99 d.a)
Hunian Perdagangan
Kelas A, B, C:
Baru 23 30 6,1 15 45 76
Yang sudah ada 23 30 15 15 45 76
Udara terbuka TS TS 0 0 TS TS
Mal:
Baru 23 30 6,1 15 45 120 f)
Yang sudah ada 23 30 15 15 45 120 f)
Hunian bisnis:
Baru 23 k) 30 k) 6,1 15 61 91
Yang sudah ada 23 k) 30 k) 15 15 61 91
Keterangan: Sumber: PP nomor 16, 2021

TS = tidak disyaratkan.
TT = tidak diterapkan.
a) = untuk lintasan bersama melayani > 50 orang, 6,1 m; untuk lintasan
bersama melayani 50 orang 23 m.
b) = ujung buntu di koridor diizinkan 6,1 m, ujung buntu di gang diizinkan 6,1 m.
c) = pada hunian pertemuan, pertimbangan khusus untuk tempat duduk di arena
atau stadion yang diproteksi terhadap asap.
d) = dimensi ini untuk jarak tempuh total, dianggap bagian yang menanjak
mempunyai utilitas penuh untuk maksimum yang diizinkan; untuk jarak
tempuh di dalam ruangan,dan dari pintu akses eksit ruangan ke eksit lihat
kondisi hunian yang sesuai.
e) = lihat jenis hunian bisnis.
f) = lihat jenis hunian rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan untuk
pertimbangan khusus dari jalur bersama yang sudah ada.
g) = dimensi ini adalah dari pintu akses eksit ruangan/koridor atau suite/koridor
ke eksit, jadi diterapkan ke jalur bersama koridor.

Jimmy S. Juwana 297


h) = lihat jenis hunian yang sesuai untuk persyaratan dari akses eksit kedua
didasarkan pada luas ruangan.
i) = lihat jenis hunian yang sesuai untuk pertimbangan jarak tempuh khusus
untuk jalan di luar dari akses eksit.
j) = lihat jenis hunian mal, untuk pertimbangan jarak tempuh khusus dalam mal
tertutup yang digunakan untuk jalan orang.
k) = lihat jenis hunian bisnis untuk pertimbangan jalur bersama ruangan dengan
penyewa tunggal.

Komponen penting lain dari sarana jalan keluar adalah koridor dan jalan keluar.
Pada koridor dan jalur keluar harus dilengkapi dengan tanda yang menunjukkan
arah dan lokasi pintu keluar (Gambar 7.21). Tanda ‘EXIT’ atau ‘EKSIT’ dengan
anak panah, yang menunjukkan arah menuju pintu keluar atau tangga
kebakaran/darurat, dan harus ditempatkan pada setiap lokasi di mana pintu
keluar terdekat tidak dapat langsung terlihat.

Sumber: PP nomor 16/2021

Gambar 7.21. Lokasi Tanda EKSIT

Tanda ‘EXIT’ harus dapat dilihat dengan jelas, diberi lampu yang menyala pada
kondisi darurat dengan kuat cahaya tidak kurang dari 50 lux dengan luas tanda
minimum 155 cm2 dan ketinggian huruf tidak kurang dari 15 cm (tebal huruf
minimum 2 cm).

Jimmy S. Juwana 298


7.6.4. Kompartemen

Kompartemen merupakan konsep yang penting dalam usaha penyelamatan


manusia dalam menghadapi bahaya kebakaran. Gagasan dasarnya adalah
untuk menahan dan membatasi penjalaran api agar dapat melindungi
penghuni/pengguna bangunan dan barang-barang dalam bangunan untuk tidak
secara langsung bersentuhan dengan sumber api. Pada bangunan tinggi, di
mana tidak mungkin mengevakuasi seluruh orang dalam gedung dengan cepat,
maka kompartemen dapat menyediakan penampungan sementara bagi
penghuni/pengguna bangunan untuk menunggu sampai api dipadamkan atau
jalur menuju pintu keluar sudah aman (Gambar 7.22 atas).

Gambar 7.22. Kompartemen untuk Difabel dan Pintu Otomatis

Pada lantai yang memiliki luas > 5.000 m2, perlu dilengkapi dengan pintu
otomatis untuk mencegah penjalaran api dan asap (Gambar 7.22 bawah)

7.6.5. Pengendalian Asap

Asap menjalar akibat perbedaan tekanan yang disebabkan adanya perbedaan


suhu ruangan. Pada bangunan tinggi perambatan asap juga disebabkan oleh
dampak timbunan asap yang mencari jalan keluar dan dapat terhisap melalui

Jimmy S. Juwana 299


lubang vertikal yang ada, seperti ruang tangga, ruang luncur lif, ruang saluran
vertikal (shaft) atau atrium. Perambatan ini dapat pula melalui saluran tata udara
yang ada dalam bangunan.

Gambar 7.23. Tirai Penghalang Asap

Pengalaman menunjukkan bahwa ruang yang luas, seperti pusat perbelanjaan,


mal, bioskop dan ruang pertemuan/konvensi, berpeluang untuk menghasilkan
timbunan asap dan panas pada waktu terjadi kebakaran. Pada situasi seperti
ini, asap dapat menjalar secara horizontal, menghalangi petugas pemadam
kebakaran dan menyebabkan terjadinya panas lebih awal sebelum api menjalar
ke tempat itu. Asap panas dapat menimbulkan titik api baru dan mengurangi
efektivitas sistem sprinkler. Untuk mencegah terjadinya penjalaran asap secara
horizontal dalam gedung perlu dipasang penghalang (Gambar 7.23).

Mengalirkan asap dari dalam gedung akan mengurangi bahaya bagi petugas
pemadam kebakaran dan akan mempercepat pencarian sumber api.
Pengeluran asap melalui atap akan menyebabkan terjadinya pertukaran udara
yang lebih dingin berasal dari luar yang masuk dari lantai yang lebih rendah.
Masuknya udara segar ini akan menyebabkan api bertambah besar (adanya
tambahan pasokan oksigen). Hal ini tentunya bukan sesuatu hal yang dilematis,
karena pertimbangan utama adalah mengurangi jumlah asap dalam bangunan
dan memungkinkan petugas pemadam kebakaran untuk dapat melihat dengan
lebih jelas, sehingga mengetahui dengan pasti permasalahan yang dihadapi.
Adanya pengaliran asap memungkinkan petugas pemadam kebakaran untuk
mengendalikan api tanpa kesulitan pandangan. Di samping itu, bekerja pada
kondisi yang lebih dingin tanpa menggunakan alat bantu pernapasan akan lebih
memudahkan pekerjaan pemadaman api.

Beberapa media yang dapat digunakan untuk mengendalikan asap sangat


tergantung dari fungsi dan luas bangunan, di antaranya:

Jimmy S. Juwana 300


a. Jendela, pintu, dinding/partisi dan lain-lain yang dapat dibuka sebanding
dengan 10% luas lantai.
b. Saluran ventilasi udara yang merupakan sistem pengendalian asap
otomatis. Sistem ini dapat berupa bagian dari sistem tata udara atau
ventilasi dengan peralatan mekanis (exhaust fan atau blower) sebagaimana
terlihat pada Gambar 7.24.

Sumber: Ballast, 1995

Gambar 7.24. Pengendalian Asap pada Bangunan Tinggi

c. Ventilasi di atap gedung, dapat secara permanen terbuka atau dibuka


dengan alat bantu tertentu atau terbuka secara otomatis. (Gambar 7.25).
d. Sistem penyedotan asap melalui saluran kipas udara di atas bangunan.

Sumber: Grondzik et al, 2010

Gambar 7.25. Ventilasi Atap Bangunan

Sebelum tahun 1982, atrium dilarang pada bangunan tinggi, karena dikuatirkan
atrium dapat menjadi cerobong asap bagi penjalaran api dan asap ke seluruh
bangunan. Tetapi sekarang banyak bangunan tinggi mempunyai atrium di
dalamnya. Hal ini diijinkan dengan mempertimbangkan hal-hal sebagaimana
terlihat pada Gambar 7.26.

Jimmy S. Juwana 301


Sumber: Petterson, 1993.
Gambar 7.26. Dimensi Minimum Atrium

Di samping itu, ada tambahan persyaratan yang perlu diperhatikan, yaitu:

a. Pintu keluar yang berada pada sekeliling atrium harus menggunakan


pintu tahan api.
b. Bangunan dengan fungsi hotel, Apartemen dan asrama hanya boleh
mempunyai atrium maksimal 110 m2 dan dilengkapi dengan pintu keluar
yang tidak menuju atrium.
c. Adanya pemisahan vertikal, sehingga lubang atrium maksimal terbuka
setinggi tiga lantai.
d. Pemisahan vertikal ini berlaku pula bagi ruang pertemuan dengan
kapasitas 300 orang atau lebih dan perkantoran yang berada di bawah
apartemen, hotel atau asrama.
e. Mesanin dibuat dengan bahan yang tahan api sekurang-kurangnya dua
jam.
f. Ruangan yang bersebelahan dengan mesanin dibuat dengan bahan
tahan api sekurang-kurangnya satu jam.
g. Jarak dari lantai dasar ke lantai mesanin sekurang-kurangnya 2,2 m.

Jimmy S. Juwana 302


h. Mesanin tidak boleh terdiri dari dua lantai.
i. 10% dari luas mesanin dapat ditutup (misalnya untuk kamar kecil, ruang
utilitas dan kompartemen).
j. Ruang mesanin yang tertutup harus mempunyai dua pintu keluar.
k. Jarak tempuh antar pintu keluar maksimum 35 m.

Ketentuan lain dalam hunian di sekitar atrium sebagaimana di atur dalam


Permen PU 26 tahun 2008, pengaturan beban api hunian dibatasi rendah dan
sedang, jika dinding bukan dinding tahan api tapi bukaan dan dinding kaca maka
harus dipasang sprinkler pada kedua sisi dinding kaca dengan jarak masimum
180 cm, jarak sprinkler dari dinding kaca tidak melebihi 30 cm, dan dinding kaca
merupakan dinding kaca khusus (tempered glass).

Pemasangan pengendalian asap pada bangunan perlu memperhatikan hal-hal


sebagai berikut:

a. Bangunan berlantai satu


Menggunakan Sistem ‘A’, ‘B’, ‘C’ atau ‘D’, jika luasnya kurang dari 1.000 m2,
dan jika luasnya lebih dari 1.000 m2, maka sistem ‘A’ tidak dapat digunakan.

b. Bangunan tinggi
Menggunakan sistem ‘A’ atau ‘B’, jika luasnya kurang dari 1.000 m 2 dan
ketinggian bangunan kurang dari 25 m, tetapi jika luasnya lebih dari 1.000
m2, maka digunakan sistem ‘B’.

c. Mal dan pusat perbelanjaan tertutup


Menggunakan sistem ‘D’, jika panjang mal lebih dari 40 m dan jika luas toko-
toko yang berorientasi ke dalam mal lebih dari 500 m2. Sistem ‘C’ atau ‘D’
boleh digunakan jika tinggi bangunan kurang dari 14 m.

d. Bangunan dengan atrium


Sistem ‘D’ dapat digunakan jika atrium menghubungkan lebih dari dua lantai,
sedang sistem ‘C’ atau ‘D’ digunakan untuk bangunan dengan tinggi kurang
dari 14 m.

e. Bioskop, teater, ruang publik, hall atau lobby

Menggunakan sistem ‘D’, jika luas panggung pertunjukkan lebih dari 200 m2,
dan menggunakan sistem ‘C’ atau ‘D’, jika bangunan kurang dari 14 m.

Untuk penghuni/pengguna pada lantai atas suatu bangunan tinggi, untuk orang
penyandang disabilitas atau orang sakit dan orang lanjut usia, maka tempat
yang aman adalah suatu ruangan di dalam bangunan itu yang dapat menahan
bahaya api untuk jangka waktu tertentu. Dindingnya harus dapat menahan api

Jimmy S. Juwana 303


sekurang-kurangnya selama dua jam, dan pintu darurat yang digunakan harus
dapat menahan api sekurang-kurangnya selama satu setengah jam.

7.6.6. Evakuasi Darurat

a. Evakuasi Darurat pada Bangunan Tinggi

Dewasa ini makin banyak didirikan bangunan gedung tinggi, sehingga menuntut
pemenuhan keselamatan kebakaran yang lebih ketat. Pemenuhan keselamatan
kebakaran selain dengan pendekatan preksriptif juga dengan pendekatan
berbasis kinerja (performance-based fire protection) dengan dukungan simulasi
kebakaran dan evakuasi. Dan dengan makin banyaknya ancaman bahaya teror
pada bangunan tinggi, maka perlu dicari upaya untuk dapat mengevakuasi
5.000 orang dalam waktu kurang dari 30 menit tanpa menggunakan tangga atau
lif. Sekarang banyak digunakan perangkat lunak (software) untuk melakukan
simulasi waktu yang diperlukan untuk evakuasi orang dalam bangunan gedung
jika terjadi kebakaran (Gambar 7.27).

Gambar 7.27. Simulasi Evakuasi Orang dari Dalam Bangunan Gedung

Dari Gambar 7.27 terlihat bahwa dalam waktu 382,3 detik sudah 577 dari 588
orang yang berhasil keluar dari dalam bangunan gedung.
Di Amerika Serikat baru-baru ini dikembangkan suatu sistem yang merupakan
fasilitas evakuasi, sebagai uapaya yang terakhir, jika orang terperangkap pada
bangunan tinggi. Teknologi ini bergantung pada tahanan udara dinamik.

Jimmy S. Juwana 304


Pada saat evakuasi darurat, di mana tangga dan lif tidak lagi berfungsi, maka
penghuni/pengguna bangunan akan menggunakan sejenis ‘sabuk pengaman’
yang dikaitkan pada gulungan kabel. Begitu gulungan ini terkunci pada ‘sistem
inti’, yang merupakan perangkat kipas udara yang kokoh dan diangkur pada
bangunan, maka orang dapat melompat dan mendarat di tanah dengan selamat
(Gambar 7.28). Tahanan dari bilah baling-baling kipas udara akan berputar
pada saat gulungan kabel terurai pada kecepatan di bawah 3,7 m/detik.

Sumber: Fortner, 2002


Gambar 7.28. Sistem Evakuasi Darurat

Sistem yang terlihat pada Gambar 7.28 ini terdiri dari kipas udara dengan empat
bilah baling-baling yang lebarnya 30 cm. Di mana ujung yang satu terkunci pada
sumbu gulungan. Rangka utama ini dilengkapi dengan landasan luncur yang
menjorok sekitar 30 cm. Keluar bukaan jendela atau balkon. Orang dengan
berat sekitar 45 kilogram akan mendarat pada kecepatan 2,4, sampai 2,7
m/detik, sama dengan kecepatan orang melompat dari ketinggian kursi. Setiap
orang memiliki gulungannya masing-masing dan akan terlepas dengan
sendirinya begitu orang tersebut tiba di tanah, sehingga gulungan kabel dapat
digunakan oleh orang berikutnya.

Evakuasi darurat lain yang dapat digunakan adalah menggunakan semacam


‘kantong peluncur’ (chute system) yang ditempatkan pada ruang tangga
(Gambar 7.29). Dengan adanya sistem ini orang dapat memilih keluar bangunan
melalui tangga darurat atau menggunakan ‘kantong peluncur’. Chute system ini
aman bagi orang dengan kebutuhan khusus (difabel), orang lanjut usia,
dan/atau ibu yang sedang hamil, untuk turun/meluncur dari lantai atas dan tiba
di lantai dasar dengan aman, selamat dan cepat.

Jimmy S. Juwana 305


Sumber: https://escapeconsult.com/35/product-category/ingstrom-escape-chute.html

Gambar 7.29. Chute System

Penempatan Chute dapat juga dilakukan di luar ruang tangga, tapi tetap berada
di dalam saf kebakaran, seperti terlihat pada Gambar 7.30.

Catatan:
A – pada di bawah lantai 3, 5, 7, 15, 17, 19, dan 21
B – pada di bawah lantai Lobby Utama, 1, 9, 11, 13, 22, dan 24
C – pada di bawah lantai podium
D – pada di bawah lantai Lobby Atas, 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14, 16, 18, 20, fire check, 23 dan atap

Gambar 7.30. Penempatan Chute

Jimmy S. Juwana 306


b. Peralatan Evakuasi Lainnya

1) Peluncur

Banyak bangunan tinggi di samping menggunakan chute, juga ada yang


melengkapinya dengan peluncur yang diletakkan dalam inti bangunan
(Gambar 7.31).

Sumber: Mansor H. Et al, 2019.

Gambar 7.31. Lokasi Peluncur

Ada dua jenis peluncur, peluncur tunggal dan peluncur ganda yang arah
berputarnya dapat searah jarum jam atau berlawanan arah jarum jam
(Gambar 7.32).

Sumber: Mansor H. Et al, 2019.


Gambar 7.32. Peluncur

Jimmy S. Juwana 307


2) Evacuator

Berbeda dengan alat untuk evakuasi yang tertera pada Gambar 7.28,
evacuator dipasang di dinding dekat jendela. Evacuator memiliki pilihan
dari yang digunakan untuk perorangan (individual) sampai untuk yang
dapat digunakan untuk beberapa orang sekaligus.

Kapasitas alat ini mampu memikul beban sampai 254 kg dan dapat
digunakan untuk ketinggian dari 6 – 300 m. Sebelum keluar dari jendela
ujung tali baja dikaitkan pada rompi yang dikenakan pada orang dan
orang akan meluncur sesuai dngan beratnya ke bawah (Gambar 7.33).
Alat ini dilengkapi dengan sistem rem hidrolik otomatis, agar orang tiba
di tanah dengan aman.

Sumber: https://evacuator.com/en/product/

Gambar 7.33. Evacuator Sky Saver

Dengan cara kerja mirip dengan yang ada di Gambar 7.28 dan evacuator
(Gambar 7.34), sky saver ditempatkan dalam tas punggungl (back pack)
dan digunakan untuk perorangan (Gambar 7.34). Alat ini sangat praktis,
kenakan seperti tas punggung, kunci seperti menguci sabuk pengaman,
lalu kaitkan ujung tali baja pada pengait dekat jendela dan orang dapat
melompat melalui jendela.

Jimmy S. Juwana 308


Sumber: Woollaston, 2015
Gambar 7.34. Sky Saver
3) Parasut Back Pack

Alat ini mungkin yang paling canggih dan aman. Dalam keadaan normal,
alat ditempel pada dinding. Pada saat ada kondisi bahaya, penutup atap
dibuka dan semacam tas punggung dikenakan pada manusia.
Sebagaimana halnya dengan Sky Saver dan E-vast, pada alat ini
dilengkapi dengan tali baja yang satu ujungnya dipasang di tempat alat
di tembok dan ujung lain ada di pengunci tas punggung. Kemudian,
orang duduk membelakangi jendela dan parasut dalam tas mulai
mengembang jika tuas ditarik. Dalam hitungan detik parasut
mengembang dan ujung tali kabel lepas, dan orang terdorong keluar.
Tali baja akan lepas secara otomatis pada saat orang sudah berada di
luar gedung.

Alat ini dapat digunakan sampai pada ketinggian 1.000 m, dilengkapi


dengan sistem pengaman tubuh pneumatik, sehinga aman terhadap api,
benturan dan mendarat di tanah dengan mulus seperti jatuh dari
ketinggian 0,50 m. Begitu mendarat pelindung samping akan terbuka
dengan menarik tuas yang ada di dalam parasut, dan orang di dalamnya
akan keluar dengan selamat (Gambar 7.35).

Sumber: https://cosmic-rs.com/index.php/2019/02/12/evacuation-system-parachute/?lang=en

Gambar 7.35. Parasut Back Pack

Jimmy S. Juwana 309


7.7. Sistem Proteksi Kebakaran Aktif

Tinggi bangunan merupakan faktor utama dalam sistem proteksi kebakaran. Di


beberapa negara, bangunan yang mempunyai ketinggian maksimum 25 m
dapat dengan mudah dipadamkan dari luar dengan menggunakan tangga dan
selang penyemprot yang dibawa oleh petugas pemadam kebakaran. Untuk
bangunan yang tingginya melebihi 25 m, pemadamannya perlu dilakukan dari
dalam gedung. Oleh karena itu, bangunan yang tingginya lebih dari 25 m perlu
dilengkapi dengan penyembur air/sprinkler yang bekerja secara otomatis, dan
disediakan lif darurat/kebakaran yang dapat digunakan oleh petugas pemadam
kebakaran (Gambar 7.36).

Gambar 7.36. Sistem Proteksi Kebakaran Aktif.

7.7.1. Alat Penginderaan/Peringatan Dini (Detektor)

Kecepatan evakuasi orang pada bangunan pada saat kebakaran baru saja
terjadi, akan mengurangi kemungkinan penghuni/pengguna bangunan yang
celaka/luka. Untuk keperluan ini, detektor asap dan panas akan memberikan
peringatan dini dan dengan demikian memberikan banyak manfaat pada
bangunan, karena biasanya evakuasi orang keluar gedung umumnya
membutuhkan waktu yang cukup panjang.

Jimmy S. Juwana 310


Ada beberapa jenis detektor yang dapat digunakan dalam gedung (Gambar
7.37). Detektor ionisasi, umumnya ditempatkan di dapur atau ruangan yang
berisi gas yang mudah terbakar/atau meledak. Detektor ini akan memberikan
peringatan jika terjadi kebocoran gas pada tingkat tertentu, sebelum terjadinya
kebakaran. Detektor asap, merupakan alat yang diaktifkan oleh
photoelektrik/photoelektronik atau sel ion sebagai sensornya, sedang detektor
panas terdiri dari sebuah elemen yang sensitif terhadap perubahan suhu dalam
ruangan, yang diaktifkan oleh sirkuit elektronik. Selanjutnya, detektor ini
dihubungkan dengan alarm dan juga papan indikator untuk mengetahui lokasi
sumber api.

Sumber: Grondzik et al, 2010, dimodifikasi

Gambar 7.37. Jenis-Jenis Peringatan Dini Bahaya Kebakaran

Jimmy S. Juwana 311


Pemasangan detektor panas harus memenuhi persyaratan:
a. Dipasang pada posisi 15 mm hingga 100 mm di bawah permukaan langit-
langit.
b. Pada satu kelompok sistem ini tidak boleh dipasang lebih dari 40 buah.
c. Untuk setiap luas lantai 46 m2 dengan tinggi langit-langit 3,00 m.
d. Jarak antar detektor tidak lebih dari 7,00 m untuk ruang aktif, dan tidak lebih
dari 10,00 m untuk ruang sirkulasi.
e. Jarak detektor dengan dinding minimum 30 cm.
f. Pada ketinggian berbeda, dipasang satu buah detektor untuk setiap 92 m2
luas lantai.
g. Di puncak lekukan atap ruangan tersembunyi, dipasang sebuah detektor
untuk setiap jarak memanjang 9,00 m.

Pemasangan detektor asap harus memenuhi persyaratan:


a. Untuk setiap luas lantai 92 m2.
b. Jarak antar detektor maksimum 12,00 m di dalam ruang aktif dan 18,00 m
untuk ruang sirkulasi.
c. Jarak detektor dengan dinding minimum 6,00 m untuk ruang aktif dan 12,00
m untuk ruang sirkulasi.
d. Setiap kelompok sistem dibatasi maksimum 20 buah detektor untuk
melindungi ruangan seluas 2.000 m2.

Pemasangan detektor api harus memenuhi persyaratan:


a. Setiap kelompok dibatasi maksimum 20 buah detektor.
b. Detektor yang dipasang di ruang luar, harus terbuat dari bahan yang tahan
karat, tahan pengaruh angin dan getaran.
c. Untuk daerah yang sering mengalami sambaran petir, harus dilindungi
sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan tanda bahaya palsu.

7.7.2 Hidran dan Selang Kebakaran

Jika kebakaran diketahui secara lebih awal, maka kebakaran yang terjadi dapat
ditanggulangi oleh penghuni/pengguna bangunan itu sendiri, sebelum api
menjadi besar dan tak terkendali. Sangat penting untuk segera memberitahukan
barisan/unit pemadam kebakaran tentang adanya suatu kebakaran. Alat
Pemadam Api Portabel – APAP (Fire Extinghuiser) telah membuktikan manfaat
bagi penggunaan praktis oleh orang sebagai pencegah kebakaran kecil,
termasuk oleh orang yang tidak berpengalaman.

Berdasarkan lokasi penempatan, jenis hidran kebakaran dibagi atas:


a. Hidran Bangunan (Kotak Hidran – Box Hydrant)

Lokasi dan jumlah hidran dalam bangunan diperlukan untuk menentukan


kapasitas pompa yang digunakan untuk menyemprotkan air. Hidran perlu

Jimmy S. Juwana 312


ditempatkan pada jarak 35 m satu dengan lainnya, karena panjang selang
kebakaran dalam kotak hidran 30 m dan ditambah sekitar 5 m jarak semprotan
air. Pada atap bangunan yang tingginya lebih dari delapan lantai perlu
disediakan hidran untuk mencegah menjalarnya api ke bangunan yang
bersebelahan (Gambar 7.38).

Gambar 7.38. Kotak Hidran

Kotak hidran/selang kebakaran di mana juga terdapat pipa tegak untuk pasokan
air harus diletakkan di tempat yang mudah terjangkau dan relatif aman,
umumnya diletakkan di dekat pintu darurat (Gambar 7.39).
Saluran Udara Tekan

Kotak Pipa
Hidran Kebakaran

min. 120 cm

Sumber: Allen & Iano, 2017, dimodifikasi

Gambar 7.39. Tipikal Letak Pipa Kebakaran dan Kotak Hidran

Jarak penempatannyapun diatur sedemikian rupa, menyesuaikan dengan


panjang selang yang tersedia dalam kotak hidran, dengan radius jangkauan
maksimum 38 m (lihat Gambar 7.13).

b. Hidran Halaman (Pole Hydrant)

Lokasi ditempatkan di luar bangunan yang aman dari api dan penyaluran
pasokan air ke dalam bangunan dengan menggunakan katup Siamese yang
ditempatkan dekat dengan Hard Standing (lihat Gambar 7.6 dan Gambar 7.7).

Hidran halaman ditempatkan pada setiap jarak 50 m satu dengan lainnya.

Jimmy S. Juwana 313


7.7.3. Sprinkler

Untuk gedung yang tidak secara terus menerus digunakan, peringatan dini
kebakaran dengan menggunakan peralatan otomatis sangat diperlukan, agar
barisan/unit pemadam kebakaran dapat segera menanggulangi kebakaran
yang terjadi. Penyembur air/gas (sprinkler) menyediakan suatu bentuk
peringatan dan terbukti merupakan alat pencegah/pemadam api yang baik,
sebelum api menjadi besar dan tak terkendali serta menimbulkan banyak
kerugian pada manusia, bangunan dan isinya. Pada banyak bengunan tinggi,
sprinkler ini memberikan reaksi (response) yang cepat pada saat terjadinya api
dan memberikan waktu yang cukup bagi penghuni/pengguna bangunan untuk
mengatur proses evakuasi.

Air tidak selalu cocok untuk memadamkan api yang berasal dari cairan yang
berat jenisnya lebih ringan dari air (seperti: bensin dan spritus/alkohol), atau api
yang disebabkan oleh arus pendek listrik, karena dapat membahayakan orang
akibat sengatan listrik. Air juga dapat merusak isi bangunan (misalnya: buku dan
alat-alat elektronik). Oleh karenanya, tempat penyimpanan benda-benda seni,
penggunaan busa, zat kimia kering dan karbon dioksida (CO2) mungkin lebih
cocok untuk memadamkan api.

Di beberapa negara maju, sprinkler otomatis disyaratkan untuk dipasangkan


pada bangunan yang tingginya lebih dari 25 m. Di Indonesia mengikuti
ketentuan pada Tabel 7.6.

Tabel 7.6. Klasifikasi Bangunan

Klasifikasi Tinggi/Jumlah Lantai Penggunaan


Bangunan Sprinkler
Ketinggian < 8 meter
A. Tidak Bertingkat Tidak Diharuskan
atau satu lantai
Ketinggian < atau dua
B. Bertingkat Rendah Tidak Diharuskan
lantai
Ketinggian < 14 meter
C. Bertingkat Rendah Tidak Diharuskan
atau 4 lantai
Ketinggian < 40 meter Diharuskan,
D. Bertingkat Tinggi
atau 8 lantai mulai dari lantai satu
Ketinggian > 40 Meter Diharuskan,
E. Bertingkat Tinggi
atau di atas 8 lantai mulai dari lantai satu

Sprinkler dipasang pada jarak tertentu dan dihubungkan dengan jaringan pipa
air bertekanan tinggi (minimum 0,5 kg/cm2). Kepala sprinkler dirancang untuk
berfungsi jika mencapai suhu tertentu (Gambar 7.40). Umumnya dirancang
untuk suhu 68o C dan air akan memancar pada radius sekitar 2,50 m (Gambar

Jimmy S. Juwana 314


7.41). Suhu kerja sprinkler dapat dilihat dari warna cairan yang ada dalam
tabung gelas pada Kepala Sprinkler (Tabel 7.7) atau untuk sprinkler yang
menggunakan segel dapat dilihat pada Tabel 7.8.

Gambar 7.40. Sprinkler

Sumber: Grondzik et al, 2010

Gambar 7.41. Radius Pancaran Air

Tabel 7.7. Warna Cairan Tabung Gelas Sprinkler

Warna Cairan Suhu Pecah Tabung [oC]


Jingga 53
Merah 68
Kuning 79
Hijau 93
Biru 141
Ungu 182
Hitam 201/260

Jimmy S. Juwana 315


Tabel 7.8. Warna Segel Sprinkler

Warna Segel Suhu Leleh Segel [oC]


Tak Berwarna 68/74
Putih 93
Biru 141
Kuning 182
Merah 227

Jika sprinkler bekerja, tekanan air dalam pipa akan turun, dan sensor otomatis
akan memberi tanda bahaya (alarm) dan lokasi yang terbakar akan terlihat pada
panel pengendalian kebakaran. Meskipun sistem sprinkler tidak pernah aktif
untuk jangka waktu yang cukup panjang, namun sistem tersebut harus selalu
dalam keadaan siap jika sewaktu-waktu terjadi kebakaran. Untuk itu perlu
dilakukan pemeriksaan dan latihan kebakaran secara berkala.

Susunan pemasangan pipa sprinkler dapat berupa tertutup (loop) atau


bercabang (tree) seperti terlihat pada Gambar 7.42.

Sumber: Ochshorn, 2022

Gambar 7.42. Susunan Pipa Sprinkler

Pada sistem jaringan sprinkler, dikenal dengan dua tipikal jaringan sprinkler,
yaitu jaringan sprinkler pipa kering (Gambar 7.43) dan jaringan sprinkler pipa
basah (Gambar 7.44).

Jimmy S. Juwana 316


Sumber: Grondzik et al, 2010, dimodifikasi

Gambar 7.43. Jaringan Sprinkler Pipa Kering

Sumber: Grondzik et al, 2010, dimodifikasi

Gambar 7.44. Jaringan Sprinkler Pipa Basah

Untuk mendukung sistem jaringan sprinkler sebagaimana Gambar 7.43 dan


Gambar 7.44, sistem tangki air dan pompa juga berbeda (Gambar 7.45).

Sumber: https://www.minimax.com/ro/en/technologies/water-suppression-systems/sprinkler-systems/
Gambar 7.45. Sistem Tangki Air dan Pompa

Jimmy S. Juwana 317


7.7.4. Alat Pemadam Api Portabel (APAP)

APAP harus ditempatkan sedemikian rupa sehingga mudah dilihat dan dicapai
serta tidak terhalang. Untuk semua jenis APAP yang biasanya dikemas dalam
bentuk tabung harus memenuhi syarat yang mengacu pada SNI 180:2021
tentang Alat Pemadam Api Portabel (APAP) yang dulu dikenal dengan Alat
Pemadam Api Ringan (APAR), sebagai berikut:
a. Tabung harus dalam keadaan baik
b. Etiket/Label mudah dibaca dengan jelas dan dapat dimengerti
c. Sebelum digunakan, segel harus dalam keadaan baik (tidak rusak).
d. Selang harus tahan terhadap tekanan tinggi.
e. Bahan baku pemadam selalu dalam keadaan baik.
f. Isi tabung gas sesuai dengan tekanan yang disyaratkan.
g. Belum kadaluwarsa penggunaannya
h. Warna tabung harus mudah dilihat (merah, hijau, biru atau kuning).

Tabel 7.9. Klasifikasi APAP

Tanda
Golongan Zat/bahan pemadam Memadamkan
Pengenal
Huruf ‘A’ pada
Air bertekanan, zat-zat Bahan padat bukan
dasar
kimia larut, asam soda, logam, kayu, kertas,
A berbentuk ‘segi
busa Mono-amonium fosfat, plastik, karpet tekstil,
tiga’ warna
diamonium fosfat. dll.
hijau
Zat asam arang (CO2), zat
Huruf ‘B’ pada
kimia kering dengan natrium
Bahan cair, bensin, dasar
dan kalium bikarbonat,
B minyak tanah, LPG, berbentuk ‘segi
bromiumtrifluoromethan
solar, dll. empat’ warna
karbon tetra klorida,
merah
khlorobromethan
Zat yang tidak
menghantarkan listrik, zat
Huruf ‘C’ pada
azam arang (CO2), zat kimia Peralatan listrik
dasar
kering dengan batrium dan bertegangan,
C berbentuk
kalium bikarbonat, transformator, instalasi
‘lingkaran’
bromiumtrifluoromethan listrik, dll.
warna biru
karbon tetra klorida,
khlorobromethan
Bahan logam,
Bubuk kering, senyawa
magnesium, lithium,
D mengandung garam dapur,
senyawa natrium-
grafit, grafit-fosfor.
kalium, dll.

Jimmy S. Juwana 318


APAP digolongkan atas klasifikasi sebagaimana tercantum dalam Tabel 7.9.,
sedang bahan pemadam api ringan dapat berupa: serbuk kimia kering, busa,
karbon dioksida (CO2), air dan cairan kimia serta gas halon (Gambar 7.46).

Gambar 7.46. Berbagai Jenis APAP

APAP yang menggunakan air dapat berupa air (wáter) dengan pompa tangan,
air bertekanan dan asam soda (soda acid).

Ada dua macam busa (foam), busa kimia dan busa mekanik. Busa kimia
dihasilkan dari larutan dua macam bahan kimia, yaitu AlSO4 (aluminium sulfat)
dan NaHCO3 (sodium bikarbonat).

Serbuk kimia kering (dry powder) yang digunakan adalah NH4H2PO4 (amonium
hidro fosfat), 2 NaHCO3 (natrium bikarbonat), 2 CaHCO3 (kalsium bikarbonat)
dan CO2 (karbon dioksida).

Gas halon adalah gas yang pada sekitar 485o C akan mengalami proses
penguraian dan akan mengikat hidrogen dan oksigen dari udara dan
menghasilkan unsur baru HF (hidrogen florida), HBr (hidrogen bromida) dan
senyawa-senyawa karbon halida (COF2 dan COBr2). Jenis gas halon yang
digunakan adalah Halon 1301 (BTM – bromotrifluormethan CBrF3), Halon 1211
(BCF – bromokhlorodifluoromethan CBrClF2), Halon 1202 (DBF –
dibromodifluoromethan CBr2F2), Halon 1011 (CBM – khlorobromethan
CH2BrCl), Halon 1040 (CTC – karbontetrakhlorida CCl4) dan Halon 1001
(methylbromide CH3Br). Halon 1301 digunakan untuk kebakaran terhadap
peralatan elektronik.

Penggunaan dari tipe bahan yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 7.47
berikut ini.

Jimmy S. Juwana 319


Sumber: https://surreyfire.co.uk/fire-extinguisher-colours/ - dimodifikasi

Gambar 7.47. Tipe Bahan dan Penggunaanya

Persyaratan APAP sebagaimana tertera pada PP nomor 16 tahun 2021 tertera


pada Tabel 7.10, sedang penempatannya untuk bahaya kebakaran kelas A
tertera pada Tabel 7.11, serta untuk bahaya kelas B tertera pada Tabel 7.13.

Tabel 7.10. APAP yang Disyaratkan

Penggunaan hunian Disyaratkan


Hunian perawatan kesehatan ambulatori Ya
Hunian Apartemen, rumah susun a) Ya
Hunian pertemuan. b) Ya
H unian bisnis Ya
Hunian perawatan harian Ya
Hunian rumah tahanan dan lembaga
Ya
pemasyarakatan.c,d)
Hunian pendidikan Ya
Hunian pelayanan kesehatan. Ya
Hunian hotel dan asrama. Ya
Hunian industri. Ya
Hunian wisma, rumah singgah. Ya
Hunian perdagangan. Ya
Hunian dengan struktur khusus. Ya
Hunian rumah tinggal satu dan dua keluarga. Tidak
Hunian perawatan dan rumah tinggal. Ya
Hunian gudang e) Ya

Jimmy S. Juwana 320


Catatan:
a) APAP diizinkan untuk diletakkan pada lokasi bagian luar atau lokasi bagian
dalam sehingga semua bagian dalam bangunan gedung pada jarak lintasan
23 m ke unit pemadam api.
b) Apabila pertemuan di luar gedung APAP tidak disyaratkan.
c) Akses ke APAP harus diizinkan untuk dikunci.
d) APAP hanya diizinkan diletakkan dilokasi staf.
e) Di daerah gudang apabila isi utamanya forklift, truk industri bertenaga, atau
operator kereta, maka APAP yang dipasang tetap, seperti ditentukan dalam
ketentuan yang berlaku, tidak dibutuhkan apabila:
1) Menggunakan kendaraan yang dilengkapi APAP yang disetujui otoritas
berwenang setempat (OBS).
2) Setiap kendaraan dilengkapi dengan alat pemadam api 5 kg, 40ª; 80B;
C, terpasang tetap di kendaraan dengan pengikat yang disetujui oleh
manufaktur alat pemadam api atau OBS untuk kendaraan yang
digunakan.
3) Tidak kurang dari dua buah APAP cadangan yang berdaya padam
sama atau lebih besar kapasitasnya tersedia di lapangan untuk
penggantian APAP yang sudah disemprotkan.
4) Operator kendaraan terlatih dalam penggunaan APAP.
5) Pemeriksaan APAP yang terpasang pada kendaraan dilakukan setiap
hari.

Tabel. 7.11.
Ukuran APAP dan Penempatannya untuk Bahaya Kebakaran Kelas A

Hunian Hunian Hunian


bahaya bahaya bahaya
Kriteria
kebakaran kebakaran kebakaran
ringan sedang berat
Daya padam minimum APAP
2-A* 2-A* 4-A*1
tunggal
Luas lantai maksimum per unit A. 278 m2 139 m2 93 m2
Luas lantai maksimum untuk
100 m2 *2 100 m2 *2 100 m2 *2
APAP.
Jarak tempuh maksimum ke
23 m 23 m 23 m
APAP
Catatan:
* Sampai dengan dua APAP jenis air, setiap kemampuan 1-A, dapat digunakan
untuk memenuhi persyaratan kemampuan satu APAP 2-A.
*1 Dua APAR jenis air dengan kapasitas 9 liter (2,5 gallon), dapat digunakan
untuk memenuhi persyaratan 1 APAP dengan kemampuan 4-A.
*2 Ukuran minimal APAP untuk bahaya kebakaran terdaftar harus disediakan
dengan dasar Tabel 7.12. APAP harus ditempatkan sehingga jarak tempuh
maksimumnya tidak melebihi seperti ditentukan dalam tabel yang dipakai.

Jimmy S. Juwana 321


Tabel. 7.12.
Ukuran APAP dan Penempatannya untuk Bahaya Kebakaran Kelas B

Dasar Kemampuan Jarak lintasan


Jenis bahaya
minimum alat maksimum untuk alat
kebakaran
pemadam pemadam [m]
5-B 9
Rendah
10-B 15
10-B 9
Sedang
20-B 15
40-B 9
Berat (Ekstra)
80-B 15
Catatan:
1) Kemampuan yang ditentukan tidak menyatakan secara langsung bahwa
besarnya kebakaran ditunjukkan oleh kemampuan ini akan terjadi, tetapi cukup
tersedia untuk memberikan waktu lebih bagi operator dan perwakilannya untuk
menangani kebakaran yang sulit, akibat tumpahan cairan yang mungkin terjadi.
2) Untuk kebakaran yang melibatkan cairan mudah terbakar yang larut dalam air,
ukuran minimal APAP untuk bahaya kebakaran terdaftar harus disediakan
dengan dasar Tabel 7.13. APAP harus ditempatkan sehingga jarak tempuh
maksimumnya tidak melebihi seperti ditentukan dalam tabel yang dipakai.
3) Untuk penerapan bahaya kebakaran khusus, Ukuran minimal APAP untuk
bahaya kebakaran terdaftar harus disediakan dengan dasar Tabel 7.12. APAP
harus ditempatkan sehingga jarak tempuh maksimumnya tidak melebihi seperti
ditentukan dalam tabel yang dipakai.

Secara umum penempatan APAP dapat menggunakan Tabel 7.13.

Tabel 7.13. Penempatan APAP


Luas
Berat Jarak
Jenis Bangunan Jangkauan
Minimum [kg] Maksimum [m]
[m2]
Industri 2 150 15
Umum 2 100 20
Perumahan 2 250 25
Campuran 2 100 20
Parkir 2 135 25
Bangunan Tinggi 2 100 20

7.7. Perancangan Sistem Proteksi Kebakaran

Rancangan sistem proteksi kebakaran terpadu perlu mengikuti setiap langkah


yang ditentukan yang urutannya adalah sebagai berikut:

Jimmy S. Juwana 322


a. Tentukan sistem proteksi kebakaran yang dibutuhkan oleh suatu bangunan.
b. Hitung luasan lantai bangunan agar dapat ditentukan volume tangki
persediaan air, ruangan pusat pengendalian kebakaran, ruang pompa, dan
sebagainya.
c. Padukan seluruh sistem proteksi kebakaran dengan sistem bangunan
lainnya (arsitektural, struktural dan utilitas lainnya).

7.7.1. Jalur dan Pipa Kebakaran serta Hidran


Selang kebakaran harus dipasang pada:

a. Semua bangunan yang tingginya lebih dari dua lantai.


b. Bangunan kesehatan yang luas lantainya lebih dari 500 m2.
c. Bangunan yang memerlukan kotak hidran.

Hidran perlu dipasang pada semua gedung yang mempunyai ketinggian lebih
dari tiga lantai, dengan pengecualian:

a. Bangunan dengan luas keseluruhan kurang dari 500 m2.


b. Bangunan yang tingginya satu atau dua lantai yang mempunyai hidran
halaman dengan jarak kurang dari 60 m.

Beberapa syarat yang perlu dipertimbangkan, di antaranya:

a. Tangki air di atas bangunan diperlukan untuk bangunan yang tingginya lebih
dari 25 m, dan pada bangunan yang tingginya kurang dari 25 m yang
pasokan air dari saluran distribusi tidak mencukupi.
b. Sebuah pompa tekan dengan tenaga diesel/listrik dipasang berdekatan
dengan tangki air di atas bangunan.
c. Sebuah pompa tekan dipasang di lantai dasar, jika ketinggian bangunan
lebih dari 14 m.
Jalur distribusi dan jaringan pipa untuk instalasi hidran dapat dilihat pada
Gambar 7.48 dan untuk instalasi yang menggunakan sprinkler dapat dilihat
pada gambar 7.49.

Pemakaian hidran kebakaran harus disesuaikan dengan klasifikasi bangunan


seperti tertera dalam Tabel 7.14.

Jimmy S. Juwana 323


Tabel 7.14. Jumlah Hidran Per Luas Lantai Bangunan

Bangunan Tertutup
Bangunan Tertutup
Klasifikasi dengan Ruangan
Jumlah per luas
Bangunan Terpisah
lantai
Jumlah per luas lantai
A 1 buah per 800 m2 2 buah per 800 m2
B 1 buah per 1000 m2 2 buah per 800 m2
C 1 buah per 1000 m2 2 buah per 1000 m2
D Ditentukan sendiri Ditentukan sendiri

Catatan:

Bangunan Klas A
Bangunan yang komponen struktur utamanya harus tahan terhadap api sekurang-
kurangnya tiga jam.

Bangunan Klas B
Bangunan yang komponen struktur utamanya harus tahan terhadap api sekurang-
kurangnya dua jam.

Bangunan Klas C
Bangunan yang komponen struktur utamanya harus tahan terhadap api sekurang-
kurangnya setengah jam.

Bangunan Klas D
Bangunan yang tidak tercakup dalam klas A, B dan C, tidak diatur dalam ketentuan
ini, tetapi diatur secara khusus, seperti: instalasi nuklir dan bangunan-bangunan yang
digunakan sebagai bahan-bahan yang mudah meledak.

Secara empiris jumlah hidran dapat diperoleh:


Lbangunan.2
 hidran  800
[unit hidran] Persamaan 7.1.

Jimmy S. Juwana 324


Gambar 7.48. Jalur Distribusi Pipa Air dengan Hidran/Selang Kebakaran

Gambar 7.49. Jalur Distribusi Pipa Air dengan Sprinkler

Jimmy S. Juwana 325


7.7.2. Pemasangan Sprinkler

Pemasangan sprinkler diharuskan pada:

a. Semua bangunan (kecuali gedung parkir terbuka) yang tingginya lebih dari
25 m.
b. Luas area yang ada lebih besar dari luas kompartemen yang disyaratkan.
c. Bangunan dengan tingkat bahaya kebakaran berat yang luasnya lebih dari
2.000 m2.
d. Ruang publik (lobby bioskop/teater) dengan luas panggung pertunjukan
lebih dari 200 m2.
e. Bangunan dengan atrium yang menghubungkan lebih dari dua lantai.
f. Gedung parkir tertutup yang mempunyai kapasitas parkir lebih dari 40 mobil.

Beberapa pertimbangan tambahan, di antaranya:

a. Tangki persediaan air harus dipasang dalam bangunan yang tingginya lebih
dari 25 m (kecuali gedung parkir tebuka).
b. Sebuah pompa tekan dengan tenaga diesel/listrik dipasang berdekatan
dengan tangki air di atas bangunan.
c. Sebuah pompa tekan dipasang pada lantai dasar, jika ketinggian bangunan
lebih dari 14 m.
d. Sebuah ruang pengendalian kebakaran diharuskan ada di dalam bangunan
yang besar.

Sensor termal pada kepala sprinkler harus dipasang dekat langit-langit. Istilah
respons cepat (seperti istilah respons cepat yang digunakan untuk menentukan
jenis sprinkler tertentu) mengacu pada sensitivitas termal dalam elemen operasi
sprinkler, bukan waktu operasi dalam instalasi tertentu. Banyak faktor lain,
seperti ketinggian langit-langit, jarak, suhu ruang sekitar, dan jarak di bawah
langit-langit, memengaruhi waktu respons sprinkler. Pada sebagian besar
skenario kebakaran, waktu aktivasi sprinkler akan terpendek di mana elemen
termal berada 25,4 mm (1 inci) hingga 76,2 mm (3 inci) di bawah langit-langit.
Sprinkler respons cepat diharapkan beroperasi lebih cepat daripada sprinkler
respons standar dalam orientasi pemasangan yang sama. Untuk tujuan
pemodelan, sprinkler tersembunyi (concealed sprinkler) dapat dianggap setara
dengan pendent springler yang memiliki sensitivitas respons termal yang sama
dipasang 305 mm (12 inci) di bawah langit-langit mulus tanpa halangan, dan
sprinkler tertanam (recessed sprinkler) dapat dianggap setara dengan pendent
sprinkler memiliki sensitivitas respons termal serupa dipasang 203 mm (8 inci)
di bawah langit-langit mulus tanpa halangan (Gambar 7.50).

Jimmy S. Juwana 326


Gambar 7.50. Alternatif Pemasangan Kepala Sprinkler

Letak sprinkler yang berdekatan dengan dinding, balok dan kolom ditentukan
jaraknya berdasarkan peraturan yang berlaku, di mana jarak antar dinding dan
kepala sprinkler tidak boleh melebihi 2,30 m dan dalam hal bahaya kebakaran
sedang atau berat, tidak boleh melebihi 2,00 m.

Apabila gedung tidak dilengkapi dengan langit-langit, maka jarak kepala


sprinkler dan dinding tidak boleh melebihi 1,50 m. Bangunan yang mempunyai
sisi terbuka, jarak kepala sprinkler sampai sisi terbuka tidak boleh lebih dari 1,50
m.
Ruang langit-langit yang lebih besar dari 40 cm. (langsung di bawah atap) dan
lebih besar dari 80 cm. (di antara lantai bangunan), harus dilengkapi dengan
sprinkler yang ditempatkan di atas langit-langit.

Kepala sprinkler harus ditempatkan bebas dari kolom. Apabila kolom tersebut
tidak dapat dihindari dan jarak kepala sprinkler terhadap kolom kurang dari 0,60
m, maka harus ditempatkan sebuah kepala sprinkler tambahan pada jarak 2,00
m dari sisi kolom yang berlawanan (Gambar 7.51).

Sumber: CIBSE, 2003

Gambar 7.51. Pemasangan Sprinkler Tambahan

Jimmy S. Juwana 327


Penempatan kepala sprinkler didasarkan pada luas daerah kerja maksimum tiap
kepala sprinkler dan jarak maksimum antara pipa cabang (Gambar 7.43),
sedang jumlah maksium kepala sprinkler tertera pada Tabel 7.15 dan jaraknya
dapat dilihat pada Tabel 7.16.

Tabel 7.15. Jumlah maksimum Kepala Sprinkler

Jenis Bahaya Kebakaran Jumlah Kepala Sprinkler


Ringan 300
Sedang 1.000
Berat 1.000

Kebutuhan jumlah kepala sprinkler dapat diperoleh secara empiris :


𝐿𝑏𝑎𝑛𝑔𝑢𝑛𝑎𝑛
∑ 𝑠𝑝𝑟𝑖𝑛𝑘𝑙𝑒𝑟 = unit Persamaan 7.2.
25

Untuk menghitung diameter pipa sprinkler digunakan rumus:


4.Q
d sprinker  [m] Persamaan 7.3.
V
di mana: Q = debit air per sprinkler [0,001 m3/detik per sprinkler]
V = kecepatan air dalam pipa sprinkler [Vmin = 3 m/detik]

Sedang volume tangki air yang diperlukan untuk jaringan sprinkler, secara
empiris diperoleh:

Voltan gki  20% sprinkler.18. 30 liter Persamaan 7.4.

Tabel 7.16. Ketentuan Jarak Kepala Sprinkler

Jenis Bahaya Kebakaran D maksimum [m] S x D [m2]


Ringan 4,60 21,00
Sedang 4,00 12,00
Berat 3,70*) 9,00
Catatan: *) kecuali jika persyaratan jenis bahaya sedang diijinkan

Jimmy S. Juwana 328


Penempatan kepala sprinkler seperti terlihat pada Gambar 7.52.

Sumber: Hall, 1994 dan CIBSE, 2003

Gambar 7.52. Penempatan Kepala Sprinkler.

7.8. Sistem Tanda Bahaya (Alarm System)

Secara umum sistem tanda bahaya dibagi atas dua kelompok, tanda bahaya
untuk keadaan darurat yang terkait pada keamanan bangunan (seperti
kebakaran atau gempa), dan yang terkait pada keamanan dari aksi kejahatan
terhadap penghuni/pengguna bangunan (seperti perampokan, pencurian, aksi
teror dan bentuk kejahatan lainnya) dan/atau menjaga kehilangan harta benda
yang ada dalam bangunan.

Sebagai alat pemberi tanda jika terjadi kebakaran, maka bangunan dilengkapi
dengan sistem tanda bahaya (alarm system) yang panel induknya berada dalam
ruang pengendali kebakaran, sedang sub-panelnya dapat dipasang di setiap
lantai berdekatan dengan kotak hidran. Pengoperasian tanda bahaya dapat
dilakukan secara manual dengan memecahkan kaca tombol skakelar tanda
kebakaran atau bekerja secara otomatis di mana tanda bahaya kebakaran
dihubungkan dengan sistem detektor (detektor asap atau panas) atau sistem
sprinkler (Gambar 7.53).

Jimmy S. Juwana 329


Sumber: Hall, 1994

Gambar 7.53. Diagram Sistem Tanda Bahaya Kebakaran

Pada saat detektor berfungsi, maka pada saat yang bersamaan terlihat pada
monitor yang ada pada panel utama pengendalian kebakaran, dan tanda
bahaya dapat dibunyikan secara manual, atau dapat dilakukan secara otomatis,
yaitu pada saat detektor berfungsi maka terjadi arus pendek, sehingga akan
menyebabkan tanda bahaya tertentu berbunyi (lihat juga pembahasan di Bab
IX butir 9.5.1 – Deteksi dan Alarm Kebakaran).

Soal-Soal Latihan

1. Jelaskan hubungan antara lokasi hard standing, ruang FCC dan tangga
kebakaran,

2. Jelaskan prinsip pencegahan dan penanggulangan bahaya kebakaran


secara pasif.

3. Apa persyaratan bagi pintu kebakaran. Jelaskan dengan sketsa.

4. Apa persyaratan bagi evakuasi bagi bangunan gedung tinggi, dan ada
berapa jenis sistem evakuasi yang ada.

5. Sebutkan beberapa alternatif peralatan evakuasi yang dapat digunakan


pada bangunan tinggi.

6. Bagaimana pengendalian asap dilakukan pada bangunan tinggi.

7. Apa persyaratan atrium pada bangunan tinggi.

Jimmy S. Juwana 330


8. Jelaskan penggunaan alat peringatan dini (detector) dalam kaitan
dengan tingkat bahaya kebakaran.

9. Apa persyaratan perbedaan sprinkler dengan jaringan pipa kering dan


jaringan pipa basah.

10. Dengan menggunakan soal 4.3. hitung jumlah sprinkler dan hidran yang
diperlukan pada bangunan tinggi itu.

Daftar Kepustakaan dan Rujukan

… (2003); Fire Engineering – CIBSE Guide E, CIBSE Publications Department,


Dorchester.

… (2020); National Fire Protection Association (NFPA) 1 – Fire Code 2021, Quincy,
Massachusetts.

… (2020); National Fire Protection Association (NFPA) 101– Life Safety 2021, Quincy,
Massachusetts.

… (2020); National Fire Protection Association (NFPA) 5000– Building Construction and
Safety Code 2021, Quincy, Massachusetts.

… (2021); Peraturan Pemerintah nomor 16 tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan


Undang-Undang nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, Jakarta.

… (2021). SNI 180:2021, Alat Pemadam Api Portabel (APAP), Badan Standardisasi
Nasional, Jakarta

… (2000). SNI 03-1735-2000, Tata Cara Perencanaan Akses Bangunan dan


Lingkungan untuk Pencegahan Bahaya Kebakaran pada Bangunan Gedung,
Badan Standardisasi Nasional, Jakarta.

… (2000). SNI 03-1736-2000, Tata Cara Perencanaan Sistem Proteksi Pasif untuk
Pencegahan Bahaya Kebakaran pada Bangunan Gedung, Badan
Standardisasi Nasional, Jakarta.

… (2000); SNI 03 – 6571 – 2000 tentang Pengendalian Asap Kebakaran pada


Bangunan Gedung, Badan Standardisasi Nasional, Jakarta.

… (2000); SNI 03 – 1746 – 2000 tentang Tata Cara Perencanaan dan Pemasangan
Sarana Jalan Keluar untuk Penyelamatan terhadap Bahaya Kebakaran pada
bangunan Gedung, Badan Standardisasi Nasional, Jakarta.

… (2000); SNI 03 – 3989 – 2000 tentang Tata Cara Perencanaan dan Pemasangan
Sistem Sprinkler Otomatis untuk Pencegahan Bahaya Kebakaran pada
Bangunan Gedung, Badan Standardisasi Nasional, Jakarta.

Jimmy S. Juwana 331


… (2004); SNI 03-7012-2004 tentang Sistem Manajemen Asap di dalam Mal, Atrium,
dan Ruangan Bervolume Besar, Badan Standardisasi Nasional, Jakarta.

… (2019); https://cosmic-rs.com/index.php/2019/02/12/evacuation-system-parachute/
?lang=en

… (2019); https://escapeconsult.com/35/product-category/ingstrom-escape-chute.html

… (2019); https://evacuator.com/en/product/

… (2021); https://www.minimax.com/ro/en/technologies/water-suppression-systems/
sprinkler -systems/

... (2020); https://blog.qrfs.com/75-fire-sprinkler-systems-history-types-and-uses/

… (2020); https://surreyfire.co.uk/fire-extinguisher-colours/

Allen E, & Iano J. (2017); The Ardchitect’s Studio Companion – Rules of Thumb for
Preliminary Design 6th Edition, John Wiley & Sons, Inc., New York.

Ballast D. K. (1995); Architect Exam Review Volume II: Nonstructural Topics 3rd
Edition, Professional Publication, Inc, Belmont, California.

Dadras A.S. (1995); Mechanical Systems for Architects, McGraw-Hill, Inc., New York.

Fortner B., (2002); “Emergency Escape System Developed for High-rises”, Civil
Engineering Volume 72, nomor 10, Oktober 2002, American Society of Civil
Engineering, Reston.

Furness A. & Muckett M. (2007); Introduction to Fire Safety Management, Elsevier,


Amsterdam.

Grondzik W.T. et al (2010); Mechanical and Electrical for Buildings, John Wiley & Sons,
Inc., Hoboken, New Jersey.

Hall F, (1994); Building Services & Equipment 2nd Edition, Longman Scientific &
Technical. Essex, England.

Juwana J.S. (2005); Panduan Sistem Bangunan Tinggi untuk Arsitek dan Praktisi
Bangunan, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Mansor H. Et al (2019); “Evacuation egress in high rise building: Review of the current
design evacuation solution”, MATEC Web of Conferences Volume 258, 2019,
International Conference on Sustainable Civil Engineering Structures and
Construction Materials (SCESCM 2018).

Ochshorn J. (2022); https://cource.cit.cornell.edu

Jimmy S. Juwana 332


Parlour R. P. (1994); Building Services – Engineering for Architects and Builders,
Integral Publishing, Pymble.

Petterson J. (1993); Simplified Design for Building Fire Safety, John Wiley & Soms, Inc.,
New York.

Sujatmiko W. Et al, Hariono A. (editor) (2020); Pengantar Keselamatan Kebakaran


Hunian Rumah Susun; Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat, Direktorat Bina Teknik Permukiman dan Perumahan, Balai Sains
Bangunan, Jakarta.

Woollaston (2015), “SkySaver backpack lets you ABSEIL down multi-storey buildings to
escpe fires”, Mail Online, 10 Agustus 2015.

Jimmy S. Juwana 333


BAB VIII
SISTEM PLAMBING DAN POMPA MEKANIK

“… Men, an ingenious assembly of


portable plumbing…”

Christopher Morley

Sistem pemipaan/plambing (plumbing system) terdiri dari pipa distribusi air


bersih (clean water) terdiri atas jaringan air dingin dan air panas, air buangan
(grey water) yang berasal dari kamar mandi, tempat cuci, dan wudhu), dan air
limbah (black water) dari WC, dapur, dan buangan medis, serta ventilasinya.
Jaringan air buangan biasanya dihubungkan dengan saluran di luar bangunan
yang juga berkaitan dengan pengelolaan air hujan. Di samping itu, jaringan pipa
gas alam untuk masak, juga termasuk dalam sistem plambing.

Pipa untuk sprinkler meskipun tidak termasuk dalam sistem plambing, namun
karena pasokan airnya dapat menyatu dengan penampungan air keseharian,
jaringannya kadang-kadang diintegrasikan dengan jaringan pipa plambing.
Jaringan pipa ini dilengkapi dengan fitur air, seperti keran air, perangkap udara
(air trap), pembuangan (clean out) dan perlengkapan saniter (tempat cuci,
kloset, dan urinal)

Untuk tujuan konservasi air, sistem palmbing juga dilengkapi dengan jaringan
pipa daur-ulang, yang mengubah air limbah menjadi setara air buangan melalui
proses di instalasi pengolahan air limbah – IPAL (sewerage treatment plant –
STP). Air buangan ini selanjutnya dengan instalasi penjernihan air (water
treatment plant – WTP) dihasilkan air bersih yang dapat digunakan untuk
keperluan keseharian. Selanjutnya, dengan melakukan penyaringan yang baik,
air bersih ini dapat dijadikan air yang dapat langsung diminum (potable water).

8.1. Prinsip Sistem Plambing

Sistem plambing adalah salah satu sistem utilitas pada bangunan gedung yang
berkaitan dengan pemasangan jaringan pipa dan perlengkapannya, untuk
menyediakan air bersih yang cukup dan disalurkan ke seluruh bagian bangunan
gedung, serta menyediakan sistem pembuangan air buangan dan air limbah,
termasuk jaringan pipa gas alam (Gambar 8.1) yang memenuhi standar
kesehatan dan kenyamanan bangunan gedung.

Untuk memenuhi persyaratan distribusi air yang baik, diperlukan:

a. mutu air yang didistribusikan melalui pipa tidak terkontaminasi dan memenuhi
baku mutu air bersih;

Jimmy S. Juwana 334


b. mampu memasok air/gas dalam volume dan tekanan yang cukup pada
ruangan/tempat yang memerlukannya;
c. mampu menyediakan jumlah air yang cukup pada saat terjadi kebakaran;
d. sistem plambing dirancang agar tetap dapat memasok air/gas, walau ada
perbaikan pada salah satu bagian jaringan pipanya;
e. seluruh pipa distribusi air bersih harus terletak minimum 1 m dari jaringan
pipa air kotor; dan
f. seluruh jaringan pipa bebas dari kebocoran yang dapat berpengaruh pada
tekanan dan pasokan air/gas.

Sumber: Vandervort, 2022

Gambar 8.1. Tipikal Sistem Plambing

Prinsip-prinsip dasar yang harus diperhatikan tersebut adalah:

a. Konsep denah serta peralatan plambing yang digunakan


Konsep denah yang ada dalam sebuah konstruksi bangunan akan sangat
mempengaruhi peletakan saluran plumbing. Dengan memperhatikan denah,
maka peletakan peralatan plumbing bisa dipilih pada area yang tidak merusak
konstruksi bangunan ataupun mengurangi estetikanya.

b. Perlindungan konstruksi
Peletakan pipa dan segala perlengkapan plambing bisa membebani dan
merusak konstruksi gedung. Oleh karenanya, dalam pemasangan plambing

Jimmy S. Juwana 335


harus memperhatikan prinsip perlindungan dengan cara membuat selubung
pada tempat yang akan ditembus pipa.

c. Perlindungan pipa
Selain perlindungan konstruksi, pipa yang dipasang juga harus terlindungi dari
kerusakan. Untuk melindunginya, pipa bisa diberi lapisan cat atau aspal.
Dengan begitu, kondisi pipa tetap aman dan bebas dari korosi ataupun berkarat.

d. Perencanaan pemasangan sistem plambing yang baik


Sistem plambing yang baik adalah yang memiliki tempat pengeluaran udara
sehingga bebas dari penyumbatan. Cara membuatnya adalah dengan
memasang katup menggunakan posisi yang benar. Misalnya pada pipa
mendatar, pemasangannya agak miring dan searah dengan aliran.

e. Perencanaan dalam sistem pembuangan


Untuk mencegah pembuangan pipa tersumbat, maka posisi pemasangannya
adalah kemiringan pipa harus sama atau lebih dari besar dari diameter pipa.
Dengan demikian, pipa akan terbebas dari risiko turbulensi aliran.

Selanjutnya, berdasarkan penggunaannya sistem plambing dibagi atas:


a. Jaringan air bersih (clean water), yang menyalurkan air bersih untuk
kebutuhan pokok sehari-hari seperti mandi, memasak dan mencuci.

b. Jaringan air buangan (grey water), yakni saluran air untuk membuang air
bekas dipakai yang masih bisa diproses lagi seperti bekas mandi dan air
wastafel.

c. Jaringan air kotor/limbah (black water), jenis plumbing untuk saluran


pembuangan air kotor yang sudah tidak bisa diolah lagi atau memerlukan
penanganan khusus. Misalnya bekas limbah dapur ataupun kloset.

d. Jaringan ven plambing (plumbing ventilation), berupa instalasi untuk


mengisi udara pada saluran air bekas dan kotor. Dengan adanya saluran
ven yang terisi udara, maka saluran air bekas dan kotor bebas dari macet
atau buntu.

e. Jaringan gas alam, berupa instalasi gas alam yang digunakan untuk
keperluan masak.

f. Jaringan pengelolaan air hujan,

saluran air untuk menyalurkan air hujan agar bisa digunakan kembali dan
disalurkan ke saluran air kota.

Jimmy S. Juwana 336


Meskipun terdengar asing, ternyata plambing memiliki peran yang sangat besar
dalam membantu proses penyaluran air di seluruh bagian bangunan. Plambing
adalah bagian penting yang harus dilakukan agar proses pengaliran air berjalan
lancar sesuai dengan jenis air yang disalurkan.

8.2. Sistem Plambing pada Bangunan Tinggi

Jika dilihat dari arah pengalirannya, plambing pada gedung bisa dibedakan
menjadi dua yaitu transfer atau pengaliran ke atas, dan distribusi atau
pengaliran ke bawah. Sementara sistem plambing berdasarkan cara kerjanya
bisa dibedakan menjadi beberapa jenis, di antaranya:

a. Penyambungan Sistem Plambing Secara Langsung


Sistem ini tergolong sangat praktis, karena hanya perlu menyambungkan
langsung saluran pipa utama dari pusat dengan saluran pipa distribusi yang ada
dalam rumah atau gedung.

b. Menggunakan Tangki
Sistem ini tentu sudah umum digunakan di kalangan masyarakat, khususnya
mereka yang memiliki rumah bertingkat. Untuk menyalurkan air ke seluruh
bagian rumah, hanya dibutuhkan tangki penampung yang menampung air
langsung dari saluran pipa utama.

c. Air dalam Tangki Ditekan

Air ditekan menggunakan pompa sehingga naik ke tangki air yang ada di atas.
Air yang sudah terisi di tangki atas, kemudian akan dialirkan ke seluruh saluran
air yang ada dalam bangunan dengan tekanan gaya gravitasi.

d. Menggunakan Tangki Tekan

Walaupun sama-sama menggunakan tangki, namun sistem ini tergolong lebih


praktis, karena hanya menggunakan satu tangki saja, yaitu tangki bawah.
Tangki bawah yang sudah menampung air dari pipa utama, selanjutnya akan
ditekan dengan pompa ke seluruh saluran air di bangunan.

e. Sistem Booster Pump


Cara kerjanya dengan menyambungkan langsung pipa utama dengan pompa
air. Dari sambungan ini akan menghasilkan output berupa air bertekanan yang
langsung mengalir pada saluran air di rumah dan gedung.

Instalasi pipa pada bangunan tinggi, digunakan untuk mengalirkan air bersih
(panas dan dingin), air sejuk untuk keperluan tata udara, air untuk keperluan

Jimmy S. Juwana 337


proteksi kebakaran, pembuangan air kotor, air buangan, air limbah/kotor dan air
hujan. Di samping itu, ada pula jaringan pipa untuk ventilasi dan saluran gas
masak, serta di rumah sakit ada saluran gas medik.

Jenis pipa yang digunakan juga beragam jenisnya: air bersih dialirkan melalui
pipa besi (steel pipe atau black pipe), pipa galvanis, pipa Poly Vinyl Chloride
(PVC) atau pipa tembaga (copper pipe). Pipa baja (black steel pipe) digunakan
untuk keperluan jaringan pipa hidran dan sprinkler, untuk keperluan
pencegahan dan penanggulangan bahaya kebakaran, karena disyaratkan agar
mampu menahan tekanan tertentu.

Jaringan pipa diatur menurut arah vertikal (riser, down feed, atau stand pipe)
yang disembunyikan dalam saluran di dalam tembok/saf (shaft) sebagaimana
terlihat pada Gambar 8.2, sedang pada arah horizontal, biasanya ditempatkan
di atas langit-langit atau di bawah lantai (lantai mekanikal dan elektrikal).

Sumber: Allen, E & Iano, J, 2017, dimodifikasi

Gambar 8.2. Tipikal Saluran Pipa

Untuk membedakan pipa yang satu dengan yang lainnya, maka pipa diberi
warna dan diberi arah alirannya (Tabel 8.1).

Jimmy S. Juwana 338


Tabel 8.1. Warna Pipa yang Digunakan

Fungsi Pipa Warna Pipa


Air Bersih Biru
Air Buangan Kuning
Air Limbah Coklat
Air untuk Sprinkler Merah

8.2.1. Jaringan Pipa Air Bersih

Pasokan kebutuhan air bersih pada bangunan tinggi biasanya menggunakan


pompa agar air dapat disalurkan ke tempat yang letaknya jauh dari permukaan
tanah dan jika bangunannya sangat tinggi, maka jaringan pemipaan dibagi atas
beberapa zona.

Diagram distribusi air bersih (air dingin dan air panas), pasokan untuk kotak
hidran dan menara pendingin, serta jaringan air buangan untuk bangunan tinggi
yang dibagi atas beberapa zona (zona utilitas biasanya melayani sekitar 15
lantai), sebagaimana terlihat pada Gambar 8.3.

Pompa tekan dipasang pada atap atau pada lantai tertentu di mana tangki air
diletakkan, agar dua lantai di bawah tangki air tetap memiliki tekanan air yang
cukup, sedang lantai di bawahnya dialirkan dengan menggunakan gaya
gravitasi.

Jimmy S. Juwana 339


Sumber: Juwana, 2005

Gambar 8.3. Skema Pemipaan untuk Bangunan Tinggi.

Umumnya ada dua sistem pasokan air bersih dengan sistem pasokan ke atas
(up feed), baik dengan atau tanpa tangki penampung air, dan pasokan ke bawah
(down feed).

Jimmy S. Juwana 340


Pada sistem pasokan ke atas (up feed) air bersih dialirkan dengan tekanan
pompa (Gambar 8.4.a dan gambar 8.4.b), sedang pada pasokan ke bawah
(down feed), pompa digunakan untuk mengisi tangki air di atas atap. Dengan
menggunakan sekakelar pelampung, pompa akan berhenti bekerja, jika air
dalam tangki sudah penuh dan selanjutnya air dialirkan dengan memanfaatkan
gaya gravitasi (Gambar 8.4.c). Pompa yang biasa digunakan untuk bangunan
tinggi adalah pompa sentrifugal (Gambar 8.5).

Sumber: McGuinness W J & Stein B.,1971

Gambar 8.4. Sistem Pasokan Air Bersih

Jimmy S. Juwana 341


Sumber: Hall, 1994.

Gambar 8.5. Pompa Air untuk Bangunan Tinggi

Selanjutnya, untuk air panas biasa dihasilkan oleh peralatan pemanas air, dari
yang kapasitasnya kecil (Gambar 8.6) sampai dengan yang kapasitasnya besar
(Gambar 8.7). Pemanas air ini ada yang menggunakan pembakaran gas,
pemanas listrik atau tenaga surya (Gambar 8.8).

Sumber: Noerbambang & Morimura, 2000

Gambar 8.6. Pemanas Air Kapasitas Kecil

Jimmy S. Juwana 342


Sumber: Noerbambang & Morimura, 2000

Gambar 8.7. Pemanas Air Kapasitas Besar

Sumber: Noerbambang & Morimura, 2000

Gambar 8.8. Pemanas Air Tenaga Surya

Pada bangunan yang membutuhkan pasokan air dengan mutu terjamin (bebas
dari polutan) atau penggunaan air yang didaur-ulang, seperti halnya pada
keperluan untuk kolam renang, maka pasokan air perlu disaring melalui alat
penyaring bertekanan (pressure filter) sebagaimana terlihat pada Gambar 8.9.

Jimmy S. Juwana 343


Selanjutnya, pasokan air tersebut ditambahkan kaporit untuk mematikan
kuman-kuman yang ada melalui alat pemberi kaporit (Gambar 3.10).

Sumber: Hall, 1994.

Gambar 8.9. Alat penyaring Air Bertekanan

Sumber: Hall, 1994.

Gambar 8.10. Alat Pemberi Kaporit

Jimmy S. Juwana 344


8.2.2. Jaringan Pipa Air Buangan, Air Kotor/Limbah dan Pipa Ventilasi

Dalam praktik gambar pemipaan biasanya menggunakan diagram isometrik,


sehingga secara jelas dapat terlihat jaringan pemipaan air buangan, air kotor
dan ventilasi (Gambar 8.11). Penggunaan diagram isometrik dimaksudkan agar
secara rinci dapat diketahui jenis, jumlah dan ukuran pipa beserta alat
penyambungnya. Pada Gambar 8.11 terlihat hubungan antara gambar denah
dan penempatan peralatan saniter dengan jaringan pipanya.

Sumber: Andrews, 1977

Gambar 8.11. Diagram Isometrik Saluran Air Kotor dan Ventilasi

Jimmy S. Juwana 345


Gambar isometrik seperti pada Gambar 8.11 dilakukan untuk keseluruhan
bangunan gedung, yang kemudian dirinci dengan ukuran pipa, jenis sambungan
dan fitur (fixture) serta perlengkapan saniter yang ada.

Untuk lebih menjelaskan bagaimana pipa-pipa pembuangan air kotor dan pipa
ventilasi tersebut dihubungkan satu dengan lainnya, maka Gambar 8.12
memperlihatkan salah satu contoh aplikasi yang biasa dilakukan pada
bangunan tinggi.

Sumber: Dadras, 1995

Gambar 8.12. Percabangan Jaringan Pipa Air Kotor dan Ventilasi

Jimmy S. Juwana 346


Untuk menghindari masuknya udara yang baunya tak sedap, maka pada
saluran pembuangan dipasang perangkap udara (air trap), berupa genangan air
yang tertahan akibat adanya sekat perangkap (menggunakan konsep pipa
bejana berhubungan).

Perangkap udara dapat berbentuk pipa, tabung (Gambar 8.13), bak kontrol
(Gambar 8.14), atau leher angsa (Gambar 8.15). Perangkap udara ini juga
dapat mencegah masuknya binatang kecil (kecoa, tikus, dan serangga lainnya)
ke dalam ruangan melalui pipa.

Sumber: Noerbambang & Morimura, 2000 dfimodifikasi

Gambar 8.13. Perangkap Udara Pipa dan Tabung

Sumber: Noerbambang & Morimura, 2000 dimodifikasi

Gambar 8.14. Bak Kontrol

Jimmy S. Juwana 347


Sumber: Noerbambang & Morimura, 2000

Gambar 8.15. Leher Angsa

Selanjutnya, untuk air buangan atau air kotor yang mengandung lemak (air
buangan dari dapur), maka perlu digunakan perangkap lemak/minyak (grease
trap) seperti terlihat pada Gambar 8.16. Dan untuk memudahkan perbaikan atau
pembersihan saluran pipa, jika terjadi penyumbatan oleh benda-benda atau
kotoran, maka pada saluran pembuangan disediakan lubang kontrol untuk
pembersihan (clean out – CO), yang dapat ditempatkan pada lantai atau berupa
sumbat pada ujung pipa (Gambar 8.17).

Sumber: Noerbambang & Morimura, 2000

Gambar 8.16. Perangkap Lemak

Jimmy S. Juwana 348


Sumber: Hall, 1994.

Gambar 8.17. Lubang Kontrol untuk Pembersihan

Untuk menghemat penggunaan pipa vertikal, lubang saluran pemipaan


(plumbing shaft) untuk distribusi air bersih, air kotor, air buangan dan pipa
ventilasi, biasanya diletakkan dalam dinding di antara dua ruang WC yang
bersebelah (Gambar 8.18).

Gambar 8.18. Tipikal Letak Lubang Saluran Pemipaan

8.2.3. Peralatan Pengolah Air Limbah

Pada bangunan rumah tinggal, air buangan/air kotor dibuang melalui septik tank
dan selanjutnya dialirkan kembali ke dalam tanah melalui rembesan. Namun
pada bangunan tinggi penggunaan septik tank dirasa kurang memadai, oleh

Jimmy S. Juwana 349


karenanya umumnya digunakan sistem pengolahan air limbah (Sewerage
Treatment Plant – SPT).

Sistem pengolah limbah pada dasarnya terdiri dari dua proses utama, yaitu
proses mekanikal, berupa penyaringan, pemisahan dan pengendapan, serta
proses biologi/kimia, berupa proses aktivitas bakteri yang memanfaatkan O2 dari
udara (aerob) dan proses netralisasi cairan dengan asam atau memasukkan
bahan kimia untuk oksidasi, seperti aerasi dengan menggunakan molekul O2,
proses pengolahan endapan aktif (activated sludge process) dan pemusnahan
kuman (desinfection) dengan menggunakan kaporit (chlorine).

Secara skematik, proses pengolahan limbah dapat dilihat pada Gambar 8.19.

Sumber: PP nomor 16/2021.

Gambar 8.19. Skema Tipikal Sistem Pengolahan Limbah

Jimmy S. Juwana 350


Saat ini, untuk bangunan gedung tunggal (single building) sudah ada jenis IPAL
yang lebih praktis bentuknya, IPAL model pada Gambar 8.19 masih dijumpai
untuk skala kawasan yang memiliki beberapa bangunan tinggi (Gambar 8.20).

Gambar 8.20. IPAL Bangunan Gedung

8.2.4. Sampah

Sampah pada bangunan gedung terdiri dari:

a. Sampah Organik (biodegradable waste)

1) sisa-sisa makanan;
2) kulit biji, sayur mayur & buah-buahan;
3) tulang hewan;
4) kotoran hewan;
5) kotoran manusia;
6) kayu;
7) dedaunan;
8) bangkai hewan; dan
9) sampah organik dari rumah sakit.

b. Sampah Non-organik/anorganik

1) bahan kertas;
2) bahan plastik;
3) bahan kain/tekstil;
4) bahan kaca/gelas; dan
5) bahan metal/logam (aluminium/kaleng).
6)

Jimmy S. Juwana 351


c. Sampah Bahan Berbahaya & Beracun (B3)

1) limbah radioaktif;
2) limbah batere;
3) limbah komponen elektronik;
4) limbah pelarutan kerak (bahan kimia);
5) limbah minyak; dan
6) limbah cucian (sabun/deterjen).

Pada bangunan tinggi, sampah dikelola dengan dua cara, ditampung


menggunakan tempat sampah yang ditempatkan pada tiap lantai (Gambar
8.21), dan melalui corong khusus untuk sampah (Gambar 8.22).

Gambar 8.21. Tempat Sampah

Corong pembuangan sampah dibuat serong ke bawah agar sampah yang


dibuang dari atas tidak masuk ke lantai di bawahnya. Sampah non organik akan
mengisi bagian bak dan terdesak oleh sampah yang dibuang belakangan.
Setelah penuh sampah akan dipadatkan dan selanjutnya bak penampungan
yang sudah penuh akan dibuang keluar bangunan dengan kendaraan (Gambar
8.22 kiri). Untuk mengurangi volume sampah yang dibuang, saluran sampah
dilengkapi dengan alat pembakar sampah (incinerator), di mana sampah
disalurkan melalui pengangkut sampah spiral ke dalam ruang pembakaran, dan
sampah yang dibuang berupa abu (Gambar 8.22 kanan). Penampungan
sampah dengan alat pembakaran ini baik untuk sampah yang mengandung
bakteri (seperti yang ada pada rumah sakit).

Jimmy S. Juwana 352


Sumber: Hall, 1994

Gambar 8.22. Saluran Pembuangan Sampah

Saat ini, pembuangan sampah dengan menggunakan corong sudah jarang


digunakan karena dinilai kurang higienis. Meskipun corong ini umumnya hanya
digunakan untuk sampah non-organis, namu orang masih kerap membuang
sampah organis ke dalam corong ini, sehingga kerap menimbulkan bau yang
kurang sedap akibat pembusukan sampah organis tersebut.

8.2.6. Integrasi Pemipaan

Adakalanya mesin pendingin air yang biasa digunakan untuk sistem tata udara
berfungsi pula sebagai pemanas air, khususnya yang menggunakan Absorption
Chiller/Heater.

Gambar 8.23 menunjukkan integrasi pemipaan yang digunakan untuk air dingin,
air sejuk/dingin, air hangat, air panas, pipa pembuangan dan pemasok bahan
bakar, serta cerobong asap.

Jimmy S. Juwana 353


Gambar 8.23. Integrasi Sistem Pemipaan

Gambar 8.24 menunjukkan skematik sistem plambing yang ditujukan untuk


konservasi air, agar penggunaan air dapat dikurangi dengan memanfaatkan air
hujan, air buangan dan air kotor. Di beberapa pusat perbelanjaan dan hotel
sudah banyak yang mengintegrasikan sistem plambing dengan jaringan pipa
daur-ulang, sehingga pasokan air bersih dapat dikurangi. Di samping itu
penggunaan peralatan plambing hemat air juga digunakan agar konsumsi air
bersih dapat dikurangi.

Jimmy S. Juwana 354


Gambar 8.24. Integrasi Skematik Sistem Daur-ulang Air

8.3. Perancangan Sistem Plambing

Untuk membuat instalasi plambing yang sesuai dengan wilayah dan bentuk
bangunannya, maka plambing membutuhkan perencanaan yang cermat dan
teliti. Hal wajib yang harus diperhatikan dalam perancangan sistem plambing
meliputi:

a. denah bangunan untuk merencanakan titik plambing dan pengaruhnya


terhadap konstruksi bangunan;
b. pemilihan akses pipa yang aman untuk konstruksi bangunan -gedung;
c. perlindungan pipa dari kerusakan; dan
d. penggunaan sistem plambing yang sesuai dengan standar pemasangan.

8.3.1. Kebutuhan Keseharian

Perhitungan perkiraan kebutuhan air dimaksudkan untuk memperoleh


gambaran tentang volume tangki penyimpanan air yang perlu disediakan dalam
suatu bangunan dan kapasitas pompa yang diperlukan.

Kebutuhan air bersih dapat dihitung berdasarkan:

1) Kebutuhan minimum Alat Plambing/Saniter (Tabel 8.2)


2) Beban peralatan saniter (Tabel 8.3)
3) Jumlah standar pemakaian rata-rata per hari per unit (orang, tempat duduk
atau tempat tidur, dan lain-lain).

Jimmy S. Juwana 355


Perlengkapan plambing yang dipasang pada bangunan gedung, harus
memenuhi persyaratan minimal seperti tertera pada Tabel 8.2. Asumsi
penggunaan alat plambing antara pria dan wanita sama, 50% digunakan oleh
pria dan 50% digunakan oleh wanita.

Tabel 8.2. Kebutuhan Minimun Alat Plambing/Saniter

Jenis Kloset Bathtub/


Urinal Kamar Mandi Pancuran Lainnya
Penggunaan2 Shower

-
Tempat Pria Wanita Pria Pria Wanita 1: 1-250 1 tempat cuci/jemur
1: 1-100 1: 1-25 1: 1-200 1: 1-200 1: 1-200 2: 251-500
berkumpul
2: 101-200 2: 26-50 2: 201-300 2: 201-400 2: 201-400 3: 501-750
(bioskop, tempat 3: 201-400 3: 51-100 3: 301-400 3: 401-600 3: 401-600
konser, 4: 101-200 4: 401-600 4: 601-750 4: 601-750
auditorium) 6: 201-300
8: 301-400

Lebih 400, penambahan 1 Lebih 600, Lebih 750, penambahan 1 Lebih 750,
setiap tambahan 500 pria dan penambahan setiap tambahan 250 pria dan penambahan
penambahan 1 setiap 1 setiap penambahan 1 setiap 1 setiap
tambahan 125 wanita tambahan tambahan 200 wanita tambahan
300 pria 500 orang

-
Tempat Pria Wanita Pria Pria Wanita 1: 1-250 1 tempat cuci/jemur
berkumpul 1: 1-50 1: 1-25 1: 1-200 1: 1-150 1: 1-150 2: 251-500
(restoran, pubs, 2: 51-150 2: 26-50 2: 201-300 2: 151-200 2: 151-200 3: 501-750
lounge, night 3: 151-300 3: 51-100 3: 301-400 3: 201-400 4: 201-400
clubs dan aula 4: 301-400 4: 101-200 4: 401-600
makan) 6: 201-300
8: 301-400

Lebih 400, penambahan 1 Lebih 600, Lebih 400, penambahan 1 Lebih 750,
setiap tambahan 250 pria penambah setiap tambahan 250 pria penambah
dan penambahan 1 setiap an 1 setiap dan penambahan 1 setiap an 1 setiap
tambahan 125 wanita tambahan tambahan 200 wanita tambahan
300 pria 500 orang

-
Tempat Pria Wanita Pria Pria Wanita 1: 1-250 1 tempat cuci/jemur
berkumpul 1: 1-100 1: 1-25 1: 1-200 1: 1-200 1: 1-100 2: 251-500
dengan tempat 2: 101-200 2: 26-50 2: 201-300 2: 201-400 2: 101-200 3: 501-750
duduk permanen 3: 201-400 3: 51-100 3: 301-400 3: 401-600 4: 201-300
maupun tidak 4: 101-200 4: 401-600 4: 601-750 5: 301-500
permanen 6: 201-300 6: 501-750
(museum, tempat 8: 301-400
ibadah, Masjid,
perpustakaan,
ruang ajar besar, Lebih 400, penambahan 1 Lebih 600, Lebih750, penambahan 1 Lebih 750,
gymnasium, setiap tambahan 500 pria penambah setiap tambahan 250 pria penambah
tempat renang dan penambahan 1 setiap an 1 setiap dan penambahan 1 setiap an 1 setiap
indoor) tambahan 125 wanita tambahan tambahan 200 wanita tambahan
300 pria 500 orang

Tempat Wudhu
Pria Wanita Pria Pria Wanita 1 untuk
1 untuk 50 1 untuk 50 1: 1-25 1: 1-50 1: 1-50 150 Pria Wanita
2: 26-50 2: 51-100 2: 51-100 1: 1-10 1: 125
3: 51-100 3: 101-150 3: 101-150 2: 11-20 2: 26-50
4: 101-200 4: 151-200 4: 151-200 3: 21-30
6: 201-300 4: 31-40
8: 301-400 5: 41-50

Jimmy S. Juwana 356


Jenis Kloset Bathtub/
Urinal Kamar Mandi Pancuran Lainnya
Penggunaan2 Shower

Penambah- Penambah- Lebih 400, Lebih 200, penambahan 1 Lebih 50, penambahan
an 1 untuk an 1 untuk penam- untuk setiap tambahan 100 1 untuk setiap
setiap setiap bahan 1 pria dan penambahan 1 tambahan 15 pria dan
tambahan tambahan untuk untuk setiap tambahan 100 penambahan 1 untuk
100 pria 100 wanita setiap wanita. setiap tambahan 30
tambahan wanita
50 pria

-
Tempat Pria Wanita Pria Pria Wanita 1: 1-250 1 tempat cuci/jemur
berkumpul 1: 1-100 1: 1-25 1: 1-200 1: 1-200 1: 1-100 2: 251-500
dengan tempat 2: 101-200 2: 26-50 2: 201-300 2: 201-400 2: 101-200 3: 501-750
duduk terbatas 3: 201-400 3: 51-100 3: 301-400 3: 401-750 4: 201-300
(kolam renang, 4: 101-200 4: 401-600 5: 301-500
skating rinks, 6: 201-300 6: 501-750
arena dan 8: 301-400
gymnasium)

Lebih 400, penambahan 1 Lebih 600, Lebih 750, penambahan 1 Lebih 750,
setiap tambahan 500 pria penambah setiap tambahan 250 pria penambah
dan penambahan 1 setiap an 1 setiap dan penambahan 1 setiap an 1 setiap
tambahan 125 wanita tambahan tambahan 200 wanita tambahan
300 pria 500 orang

-
Tempat Pria Wanita Pria Pria Wanita 1: 1-250 1 tempat cuci/jemur
berkumpul 1: 1-100 1: 1-25 1: 1-200 1: 1-200 1: 1-100 2: 251-500
(Taman Hiburan, 2: 101-200 2: 26-50 2: 201-300 2: 201-400 2: 101-200 3: 501-750
stadion) 3: 201-400 3: 51-100 3: 301-400 3: 401-750 3: 201-300
4: 101-200 4: 401-600 4: 301-500
6: 201-300 6: 501-750
8: 301-400

Lebih 400, penambahan 1 Lebih 600, Lebih 750, penambahan 1 Lebih 750,
setiap tambahan 500 pria penambah setiap tambahan 250 pria penambah
dan penambahan 1 setiap an 1 setiap dan penambahan 1 setiap an 1 setiap
tambahan 125 wanita tambahan tambahan 200 wanita tambahan
300 pria 500 orang

-
Fasilitas Usaha Pria Wanita Pria Pria Wanita 1 untuk 1 tempat cuci/jemur
(bank, klinik, cuci 1: 1-50 1: 1-15 1: 1-200 1: 1-75 1: 1-50 150
mobil, salon 2: 51-100 2: 16-30 2: 201-300 2: 76-150 2: 51-100
kecantikan, health 3: 101-200 3: 31-50 3: 301-400 3: 151-200 3: 101-150
care, laudry dan 4: 201-400 4: 51-100 4: 401-600 4: 201-300 4: 151-200
dry ceaning, 6: 101-200 5: 301-400 5: 201-300
institusi 8: 201-400 6: 301-400
pendidikan,
fasilitas pelatihan, Lebih 400, penambahan 1 Lebih 600, Lebih 400, penambahan 1
kantor pos dan setiap tambahan 500 pria penambah setiap tambahan 250 pria
pecetakan dan penambahan 1 setiap an 1 setiap dan penambahan 1 setiap
tambahan 150 wanita tambahan tambahan 200 wanita
300 pria
-
Fasilitas Pria Wanita Pria Pria Wanita 1 untuk 1 tempat cuci /jemur
Pendidikan 1 untuk 50 1 untuk 30 1 untuk 25 1 untuk 40 1 untuk 40 150
(sekolah swasta
dan sekolah
umum)

Jimmy S. Juwana 357


Jenis Kloset Bathtub/
Urinal Kamar Mandi Pancuran Lainnya
Penggunaan2 Shower

-
Fasilitas Pabrik Pria Wanita Pria Wanita Satu 1: 1-250 1 tempat cuci/jemur
atau untuk 1: 1-50 1: 1-50 1: 1-50 1: 1-50 pancuran 2: 251-500
industri, atau 2: 51-75 2: 51-75 2: 51-75 2: 51-75 untuk 15 3: 501-750
fabrikasi, atau 3: 76-100 3: 76-100 3: 76-100 3: 76-100 orang
tempat perakitan untuk
meng-
atasi
kepanas-
an,
kontami-
nasi
racun,
iritasi
material

Lebih100, penambahan 1 Lebih100, penambahan 1 Lebih 750,


setiap tambahan 40 setiap tambahan 40 penambah
pekerja pekerja an 1 setiap
tambahan
500 orang

Rumah (rumah Pria Wanita - Pria Wanita 1 untuk 8 1 untuk 1 tempat cuci/jemur
tinggal lebih dari 1 untuk 15 1 untuk 15 1 untuk 15 1 untuk 15 150
16 orang) untuk
24 jam

Rumah Ru 1 untuk setiap kamar - 1 untuk setiap kamar 1 untuk 1 untuk 1 tempat cuci/jemur
pengo mah setiap 150
batan, pengo kamar
klinik, -
rumah batan,
opera- pera 1 untuk 8 pasien 1 untuk 10 pasien 1 untuk
si dan wat- 20 pasien
rumah an de
pera- ngan
watan kamar
indivi
du
dan
bang
sal

Ru 1 untuk setiap kamar - 1 untuk setiap kamar - 1 untuk -


mah setiap
sakit kamar
tung
gu
atau
ruang
tung
gu

Wanita
Untuk Pria Wanita - Pria 1 untuk 40 - - -
Pega- 1: 1-15 1: 1-15 1 untuk 40
wai 2: 16-35 3: 16-35
3: 36-55 4: 36-55

Lebih 55, penambahan 1


setiap tambahan 40 orang

Jimmy S. Juwana 358


Jenis Kloset Bathtub/
Urinal Kamar Mandi Pancuran Lainnya
Penggunaan2 Shower

Rumah Penja 1 untuk setiap kamar sel - 1 untuk setiap kamar sel 1 untuk 1 untuk -
untuk ra 20 orang perblok
lebih atau
dari 5 perlantai
orang

Ru 1 untuk setiap 8 orang - 1 untuk setiap 10 orang 1 untuk 8 1 untuk 1 tempat cuci/jemur
mah orang setiap
Reha lantai
bilitasi

Untuk Pria Wanita - Pria Wanita - 1 untuk -


Pega 1: 1-15 1: 1-15 1 untuk 40 1 untuk 40 150 orang
wai 2: 16-35 3: 16-35
3: 36-55 4: 36-55

Lebih 55, penambahan 1


setiap tambahan 40 orang

Rumah Pria Wanita - Pria Wanita - 1 untuk 1 tempat cuci/jemur


perawatan 1: 1-15 1: 1-15 1 untuk 40 1 untuk 40 150 orang
kurang dari 24 2: 16-35 3: 16-35
jam 3: 36-55 4: 36-55

Lebih 55, penambahan 1


setiap tambahan 40 orang

Fasiltas Pria Wanita Pria Pria Wanita - 1: 1-250 1 tempat cuci/jemur


Perdagangan 1: 1-100 1: 1-100 0: 1-200 1: 1-200 1: 1-200 2: 251-500
2: 101-200 2: 101-200 1: 201-400 2: 201-400 2: 201-300 3: 501-750
3: 201-400 4: 201-300 3: 301-400
6: 301-400
Lebih 400,
Lebih 400, penambahan 1 penambah Lebih 400, penambahan 1 Di atas
setiap tambahan 500 orang an 1 untuk setiap tambahan 500 pria 750,
pria dan penambahan 1 setiap dan penambahan 1 setiap penambah
untuk 200 wanita tambahan tambahan 400 wanita an 1 setiap
500 pria tambahan
500 orang

Tempat tinggal, 1 untuk setiap kamar tidur - 1 untuk setiap kamar tidur - 1 untuk 1 tempat cuci/jemur
Hotel, Motel setiap
dengan sarapan kamar tidur
pagi

Tem- Asra Pria Wanita 1 untuk 25 Pria Wanita 1 untuk 8 1 untuk 1 tempat cuci /jemur
pat ma 1 untuk 10 1 untuk 8 orang 1 untuk 12 1 untuk 12 orang 150
tinggal orang orang orang orang
(perma-
nen Tambahan 1 untuk setiap Tambahan 1 untuk setiap
atau penambahan 25 pria dan penambahan 20 pria dan
jangka penambahan 1 untuk 20 penambahan 1 untuk 15
waktu wanita wanita
lama)
Ru - -
mah 1 untuk setiap kamar 1 untuk setiap kamar 1 untuk
Pega- setiap
wai kamar

Jimmy S. Juwana 359


Jenis Kloset Bathtub/
Urinal Kamar Mandi Pancuran Lainnya
Penggunaan2 Shower

Apar-
temen Pria Wanita - Pria Wanita 1 per - 1 tempat cuci
1: 1-15 1: 1-15 1 untuk 40 1 untuk 40 Aparteme dapur/APAPt emen.
2: 16-35 3: 16-35 orang orang n 1tempat jemur atau 1
3: 36-55 4: 36-55 tempat cuci gabungan
setiap 12 unit
Lebih 55, penambahan 1 Apartemen
setiap tambahan 40 orang

Tempat tinggal Pria Wanita - Pria Wanita 1 untuk 8 1 untuk 1 Dapur cuci dan 1
untuk lebih dari 5 1 untuk 10 1 untuk 8 1 untuk 12 1 untuk 12 orang 150 orang mesin cuci otomatis
orang dan tidak orang orang orang orang untuk 1 dan 2 keluarga
lebih dari 16
orang Tambahan 1 untuk setiap Tambahan 1 untuk setiap
penambahan 25 pria dan penambahan 20 pria dan
penambahan 1 untuk 20 penambahan 1 untuk 15
wanita wanita

Tempat tinggal 1 untuk 1 atau 2 keluarga - 1 untuk 1 atau 2 keluarga 1 untuk 1 - 1 Dapur cuci dan 1
untuk perawatan atau 2 mesin cuci otomatis
atau untuk keluarga untuk 1 dan 2 keluarga
pembantu

Tempat tinggal Pria Wanita - Pria Wanita 1 untuk 8 1 untuk 1 tempat cuci/jemur
untuk perawatan 1 untuk 10 1 untuk 8 1 untuk 12 1 untuk 12 orang 150 orang
atau untuk orang orang orang orang
pembantu
Tambahan 1 untuk setiap Tambahan 1 untuk setiap
penambahan 25 pria dan penambahan 20 pria dan
penambahan 1 untuk 20 penambahan 1 untuk 15
wanita wanita

Gudang, Pria Wanita - Pria Wanita - 1: 1-250 1 tempat cuci/jemur


hanggar, gudang 1: 1-100 1: 1-100 1: 1-200 1: 1-200 2: 251-500
makanan 2: 101-200 3: 101-200 2: 201-400 3: 201-400 3: 501-750
3: 201-400 4: 201-400 3: 401-750 4: 401-750

Lebih 750,
Lebih 400, penambahan 1 Lebih 750, penambahan 1 penambah
setiap tambahan 500 pria untuk setiap penambahan an 1 untuk
dan penambahan 1 setiap 500 orang setiap
tambahan 150 wanita penambah
an 500

Sumber: SNI 8153:2015 (UPC 2012 – IAPMO Tabel 422.1)

Catatan:

1. Angka-angka yang ditampilkan didasarkan pada satu alat plambing minimum yang diperlukan untuk
jumlah orang yang ditunjukkan atau bagiannya.
2. Sebuah restoran; fasilitas cuci tangan harus tersedia di dapur bagi karyawan dan pengunjung.
3. Jumlah total kloset yang diperlukan untuk wanita tidak boleh kurang dari jumlah kloset dan urinal yang
diperlukan untuk pria.

Jarak maksimum dari setiap fasilitas umum 92 m, dan untuk pusat perbelanjaan
jaraknya ke toilet tidak boleh lebih dari 152 m.

Jimmy S. Juwana 360


Untuk menghitung beban kebutuhan air bersih, pasokan air yang diperlukan
pada setiap perlengkapan plambing dinyatakan dalam unit beban alat plambing
– UBAP (fixture unit – FU) seperti tertera pada Tabel 8.3.

Tabel 8.3. Unit Beban Alat Plambing Sistem Penyediaan Air


dan Ukuran Minimum Pipa Cabang

Ukuran pipa
Tempat
cabang Pribadi Umum
Perlengkapan atau peralatan2) berkumpul6)
minimum 1,4) [UBAP] [UBAP]
(UBAP)
[inci]
Bak rendam atau kombinasi bak dan shower 0,50 4,0 4,0 –
Bak rendam dengan katup 0,75 inci 0,75 10,0 10,0 –
Bidet 0,50 1,0 – –
Pencuci pakaian 0,50 4,0 4,0 –
Unit dental 0,50 – 1,0 –
Pencuci piring, rumah tangga 0,50 1,5 1,5 –
Pancuran air minum, air pendingin 0,50 0,5 0,5 0,75
Hose Bibb8) 0,50 2,5 2,5 –
Hose Bibb, tiap pertambahan 0,50 1,0 1,0 –
Lavatory 0,50 1,0 1,0 1,0
Sprinkler halaman5) – 1,0 1,0 –
Sink/Bak
- Bar 0,50 1,0 2,0 –
- Kran klinik 0,50 – 3,0 –
- Katup gelontor klinik dengan atau tanpa kran 1,00 – 8,0 –
- Dapur, rumah tangga dengan atau tanpa pencuci 0,50 1,5 1,5 –
piring
- Laundry 0,50 1,5 1,5 –
- Bak pel 0,50 1,5 3,0 –
- Cuci muka, tiap set kran 0,50 – 2,0 –
Shower 0,50 2,0 2,0 –
Urinal, katup gelontor 3,8 LPF (Liter per flush) 0,75 Lihat catatan7) –
Urinal, tangki pembilas 0,50 2,0 2,0 3,0
Pancuran cuci, spray sirkular 0,75 – 4,0 –
Kloset, tangki gravitasi 6 LPF (Liter per flush) 0,50 2,5 2,5 3,5
Kloset, tangki meter air 6 LPF (Liter per flush) 0,50 2,5 2,5 3,5
Kloset, katup meter air 6 LPF (Liter per flush) 1,00 Lihat catatan7) –
Kloset, tangki gravitasi > 6 LPF (Liter per flush) 0,50 3,0 5,5 7.0
Kloset, Flushometer > 6 LPF (Liter per flush) 1,00 Lihat catatan7) –
Sumber: SNI 8153:2015 (UPC 2012 – IAPMO Tabel 610.3)

Jimmy S. Juwana 361


Catatan:

1) Ukuran dari pipa cabang air dingin, pipa cabang air panas, atau keduanya.
2) Alat, peralatan, atau perlengkapan yang tidak dirujuk dalam tabel ini harus diijinkan untuk
menjadi ukuran dengan mengacu pada perlengkapan yang memiliki laju aliran dan
frekuensi penggunaan yang sama.
3) Nilai UBAP mewakili beban untuk air dingin. Nilai UBAP untuk air dingin dan air panas
yang terpisah atau yang digabung harus diperbolehkan dengan mengambil nilai 0,75 dari
total nilai alat plambing.
4) Untuk alat plambing individu, ukuran minimum pipa cabang pemasok adalah ukuran
nominal (ND).
5) Perhitungan suplai untuk aliran menerus, menentukan besaran aliran (L/detik) dan perlu
penambahan kebutuhan untuk sistem distribusi terpisah.
6) Penggunaan untuk tempat berkumpul, lihat Tabel 8.2.
7) Ukuran sistem penggelontor (flushometer system), lihat Tabel 8.4.
8) Pengurangan UBAP untuk kran sambungan selang (Hose Bibbs) tambahan digunakan
untuk total beban bangunan dan untuk ukuran pipa di mana lebih dari satu selang
dipasok oleh segmen pipa distribusi air. Cabang peralatan plambing untuk setiap selang
harus dihitung dengan 2,5 UBAP.

Bila dalam merencanakan sistem plambing menggunakan katup penggelontor,


khususnya untuk pelayanan publik, kebutuhan UBAP mengikuti ketentuan Tabel
8.5.
Tabel 8.4. Unit Beban Katup Gelontor (Flushometer)

Kategori alat plambing: Kloset dengan katup gelontor


Nilai beban setiap katup
Jumlah katup
gelontor untuk setiap Nilai kumulatif beban katup
gelontor
penambahan jumlah katup gelontor untuk kloset [UBAP]
(Flushometer valve)
gelontor [UBAP]
1 40 40
2 30 70
3 20 90
4 15 105
115 (10 untuk setiap
5 atau lebih Tiap 10 penambahan katup
gelontor selanjutnya)
Kategori alat plambing: Urinal dengan katup gelontor
Jumlah katup Nilai beban setiap katup
Nilai kumulatif beban katup
gelontor gelontor untuk setiap
gelontor untuk urinal
(Flushometer penambahan jumlah
[UBAP]
valve) katup gelontor [UBAP]
1 20 20
2 15 35
3 10 45
4 8 53

Jimmy S. Juwana 362


Kategori alat plambing: Urinal dengan katup gelontor
58 (5 untuk setiap
5 atau lebih Tiap 5 penambahan katup
gelontor selanjutnya)
Sumber: SNI 8153:2015 (UPC 2012 – IAPMO Tabel 610.10)

Konversi antara UBAP dan GPM (gallon per menit), di mana satu galon sama
dengan 4,754 liter, dapat dicari berdasarkan Tabel 8.5 berikut ini.

Tabel 8.5. Konversi UBAP dan GPM


UBAP UBAP UBAP
GPM GPM GPM
FVT FV FVT FV FVT FV
1 0 43 99 33 125 506 396
2 1 44 103 35 130 533 430
3 3 45 107 37 135 559 460
4 4 46 111 39 140 585 490
5 6 47 115 42 145 611 521
6 7 48 119 44 150 639 559
7 8 49 123 46 155 665 596
8 10 50 127 48 160 692 631
9 12 51 130 50 165 719 666
10 13 52 135 52 170 748 700
11 15 53 141 54 175 778 739
12 16 54 146 57 180 809 775
13 18 55 151 60 185 840 811
14 20 56 155 63 190 874 850
15 21 57 160 66 200 945 931
16 23 58 165 69 210 1.018 1.009
17 24 59 170 73 220 1.091 1.091
18 26 60 175 76 230 1.173 1.173
19 28 62 185 82 240 1.254 1.254
20 30 64 195 88 250 1.335 1.335
21 32 66 205 95 260 1.418 1.418
22 34 5 68 215 102 270 1.500 1.500
23 36 6 70 225 108 280 1.583 1.583
24 39 7 72 236 116 290 1.668 1.668
25 42 8 74 245 124 300 1.755 1.755
26 44 9 76 254 132 310 1.845 1.845
27 46 10 78 264 140 320 1.926 1.926
28 49 11 80 275 148 330 2.018 2.018
29 51 12 82 284 158 340 2.110 2.110
30 54 13 84 294 168 350 2.204 2.204
31 56 14 86 305 176 360 2.298 2.298
32 58 15 88 315 186 370 2.388 2.388
33 60 16 90 326 195 380 2.480 2.480
34 63 18 92 337 205 390 2.575 2.575
35 66 20 94 349 214 400 2.670 2.670
36 69 21 96 359 223 410 2.765 2.765
37 74 23 98 373 234 420 2.862 2.862
38 78 25 100 383 245 430 2.960 2.960
39 83 26 105 405 270 440 3.060 3.060
40 86 28 110 434 295 450 3.150 3.150
41 90 30 115 455 329 500 3.620 3.620
42 95 31 120 479 365 1 GPM = 3,785 liter/detik

Sumber: SNI 8153:2015

Kebutuhan air per hari dapat juga dihitung melalui pendekatan yang tertera pada
Tabel 8.6 (untuk air dingin) dan Tabel 8.7 (untuk air panas).

Jimmy S. Juwana 363


Tabel 8.6. Kebutuhan Air Bersih (Air Dingin) per hari
Fungsi Bangunan
Unit Kebutuhan [liter]
Gedung
Apartemen orang 135 – 225
Bioskop kursi 15
Hotel orang 185 – 225
Kantor orang 45 – 90
Restoran kursi 70
Rumah Sakit tempat tidur 280 – 470
Sekolah
- Tanpa Asrama murid 45 – 90
- Dengan Asrama murid 135 – 225
Sumber: Juwana, 2005

8.3.2. Kebutuhan Boiler

Jika kebutuhan akan air panas mencapai jumlah yang cukup besar, seperti pada
hotel, maka air panas yang dihasilkan diperoleh dari boiler, dengan kebutuhan
air:

Vairboiler  20 [liter/PK/jam] Persamaan 8.1.

Tabel 8.7. Kebutuhan Air Panas per hari


Kebutuhan
Fungsi Bangunan Gedung Unit
(liter)
Apartemen
- dengan shower orang 45
- dengan bak mandi orang 135
Rumah Sakit
- Pasien orang 180
- Paramedis/dokter orang 90
- Pengunjung orang 10
- Laundry kg cucian 20 **)
Hotel
- dengan shower orang 70 – 90
- dengan bak mandi orang 135
- Karyawan orang 25 – 45
- Pengunjung orang 15
- Kolam Renang orang 45
- Restoran/Dapur menu 5 *)
- Laundry kg cucian 20 **)

Jimmy S. Juwana 364


Kebutuhan
Fungsi Bangunan Gedung Unit
(liter)
Kantor
- Karyawan orang 45
- Pengunjung orang 5 – 10
Sumber: Juwana, 2005

Catatan: *) 3 x jumlah tempat tidur + 2 x jumlah kursi restoran


**) 3 – 7 kg per tempat tidur (untuk rumah sakit)
3 – 5 kg per kamar (untuk hotel)

Kebutuhan air dapat juga dihitung dengan pendekatan luasan bangunan, seperti
tertera pada Tabel 8.8. berikut ini.

Tabel 8.8. Kebutuhan Air per m2 Bangunan

Fungsi Bangunan Gedung Kebutuhan per hari [liter]


Apartemen 20
Hotel 30
Kantor 10
Pertokoan 5
Rumah Sakit 15
Sumber: Poerbo, 1995

Kebutuhan air untuk perlengkapan bangunan dihitung berdasarkan pendekatan


Tabel 8.9.

Tabel 8.9. Kebutuhan Air Peralatan Saniter

Jenis Peralatan Volume Air


AC sentral 0,2 m3/menit/TR
Boiler 20 liter/PK/jam
Pengaman Kebakaran 20 m3
Tangki Minimum 10 m3
Sumber: Poerbo, 1992

8.3.3. Kebutuhan Sistem Proteksi Kebakaran

Sprinkler dan hidran membutuhkan cadangan air yang diperhitungkan untuk


jangka waktu selama 30 menit (di beberapa kota disyaratkan selama 45 – 60
menit) Selang waktu ini diambil dengan asumsi, jika api belum juga padam,
maka petugas pemadam kebakaran sudah tiba di lokasi.

V airsprinkler  sprinkler.(18).(30) liter Persamaan 8.2.

Jimmy S. Juwana 365


Vairhidran   hidran.(400).(30) liter Persamaan 8.3.

8.3.4. Kebutuhan Tata Udara

Pada sistem tata udara, air diperlukan untuk air es yang disirkulasikan dari
chiller, AHU, cooling tower dan kembali lagi ke chiller. Di samping itu, air juga
dibutuhkan untuk menurunkan suhu air pada proses yang terjadi di cooling
tower:

Vairsirkulasi  8  13 liter/menit/TR Persamaan 8.3.


Vair pendingin  1,5  2%Vairsirkulasi Persamaan 8.4.
Adapun perkiraan populasi untuk bangunan dapat dilihat pada Tabel 8.10.

Tabel 8.10. Perkiraan Populasi

Fungsi Bangunan
Unit Orang
Gedung
Apartemen unit hunian 4,50 – 5,00
Kantor
- Karyawan m2 0,10 – 0,15
- Pengunjung m2 0,01 – 0,015
Sekolah
sesuai dengan yang
- Murid -
ada
- Pengajar murid 0,05
- Karyawan murid 0,01
- Pengunjung murid 0,02 – 0,05
Hotel
- Tamu tempat tidur 1,00
- Karyawan tempat tidur 2,50 – 3,00
- Restoran kursi 2,00 – 4,00
- Pengunjung tempat tidur 0,02 – 0,05
Rumah Sakit
- Pasien tempat tidur 1,00
- Paramedis/Dokter pasien 10 – 15
- Karyawan pasien 25 – 30
- Pengunjung pasien 0,50 – 1,00
Sumber: Juwana, 2005

Jimmy S. Juwana 366


Jadi kebutuhan air bersih:

qd V airboilerVairkeseharian  Vairkebakaran  Vair AC Persamaan 8.5.

di mana : Vair-keseharian = Vair-dingin + Vair-panas


Vair-kebakaran = Vair-sprinkler + Vair-hidran
Vair-AC = Vair-sirkulasi + Vair-pendingin

Dengan diketahuinya kebutuhan air, qd, maka kapasitas tangki penampungan


air dapat dihitung:

Volume tangki bawah tanah:

Vbt  40 %.q d Persamaan 8.6.

Volume tangki atas:

V a 15%.qd Persamaan 8.7.

Volume tangki penyimpanan air minimal 60 m3 dan volume tambahan tangki


penyimpanan air bawah tanah berdasarkan pada luas lantai bangunan dapat
pula dilakukan sebagaimana terlihat pada Tabel 8.11.

Tabel 8.11. Prakiraan Volume Tambahan Tangki Bawah Tanah

Fungsi Bangunan Gedung x luas lantai bangunan [m3]


Apartemen 0,012 – 0,015
Hotel 0,015 – 0,020
Perbelanjaan 0,005 – 0,006
Perkantoran 0,008 – 0,010
Rumah Sakit 0,015 – 0,020
Sumber: Juwana, 2005

Sedang kapasitas pompa diambil pada kebutuhan air pada waktu puncak
(Qmax), yaitu:
c.q d
Qmax  (m3/menit) Persamaan
T
8.8.
di mana : T adalah waktu pemakaian air rata-rata per hari:
T = 8 – 10 jam untuk kantor, hotel, Apartemen & rumah sakit
T = 5 – 7 jam untuk restoran, sekolah & gedung pertemuan
c adalah faktor pemakaian pada jam puncak (c = 1,5 – 2,0)

Jimmy S. Juwana 367


Dan kapasitas pompa:
0,163. 1,2.Qmax .H t . air
P (kW) Persamaan 8.9.

di mana : air adalah berat jenis air (= 1 kg/liter)


 adalah efisiensi motor pompa ( = 0,40 – 0,70)
Ht adalah tinggi angkat total

H t  h . n . 1,3 (meter) Persamaan 8.10.

di mana : h adalah jarak dari lantai ke lantai


n adalah jumlah lantai bangunan

Untuk mempermudah proses perencanaan kebutuhan air beserta bak


penampungan dapat dilakukan dengan bantuan komputer (spreadsheet), agar
perhitungan dapat lebih cepat (Gambar 8.25).

ANALISIS KEBUTUHAN AIR BERSIH & KUANTITAS AIR LIMBAH

Nama Gedung
Lokasi
Fungsi

Total luas lantai m2


Jumlah penghuni orang
Keseharian: Air dingin Air panas Air limbah
Kloset duduk unit liter/hari liter/hari
Kloset jongkok unit liter/hari liter/hari
Urinal unit liter/hari liter/hari
Wastafel/Lavatori unit liter/hari liter/hari liter/hari
Bak mandi unit liter/hari liter/hari liter/hari
Shower bh liter/hari liter/hari liter/hari
Bak cuci unit liter/hari liter/hari liter/hari
Lain: unit liter/hari liter/hari liter/hari
Jumlah liter/hari liter/hari liter/hari
3 3 3
Total Kebutuhan m m m
Poteksi Kebakaran:
Kotak Hidran unit liter
Sprinkler titik liter
Hidran Halaman unit liter
Jumlah liter
3
Total kebutuhan m
Tata Udara:
Beban Pendingin TR
Air Pendingin liter
Air sirkulasi liter
Jumlah liter
Total Kebutuhan m3

Total Kebutuhan Air m3


Volume Tangki Bawah m3
Volume Tangki Atas m3
Volume Septik Tank m3

Gambar 8.25. Kertas Kerja Analisis Perkiraan Kebutuhan Air

Jimmy S. Juwana 368


8.4. Perancangan Limbah dan Sampah

Perancangan limbah yang dimaksud adalah untuk air buangan (grey water) dan
air kotor/limbah (black water).

8.4.1. Air Limbah

Untuk menghitung beban air limbah dan ukuran pipanya digunakan Tabel
8.12.

Tabel 8.12. Unit Beban Alat Plambing Untuk Air Limbah

Ukuran
Tempat
Perangkap/Lengan Pribadi Umum
Alat Plambing atau Kelompok Alat Plambing Berkumpul
Perangkap [UBAP] [UBAP]
[UBAP]
Minimum [Inci]
Bak mandi atau kombinasi mandi/shower 1,50 2,0 2,0 -
Bidet 1,25 1,0 - -
Bidet 1,50 2,0 - -
Mesin cuci pakaian, rumah tangga, pipa tegak5 2,00 3,0 3,0 3,0
Unit dental, peludahan 1,25 - 1,0 1,0
Mesin cuci piring rumah tangga dengan saluran 1,50 2,0 2,0 2,0
sendiri2
Pancaran air minum atau alat pendingin air 1,25 0,5 0,5 1,0
Penggerus sisa makanan, komersial 2,00 - 3,0 3,0
Lubang pengering lantai, keadaan darurat 2,00 - 0,0 0,0
Lubang pengering lantai (untuk ukuran tambahan ) 2,00 2,0 2,0 2,0
Shower, perangkap tunggal 2,00 2,0 2,0 2,0
Lavatori, tunggal 1,25 1,0 1,0 1,0
Lavatori, dalam set dua atau tiga 1,50 2,0 2,0 2,0
Washfountain 1,50 - 2,0 2,0
Washfountain 2,00 - 3,0 3,0
Receptor, buangan tidak langsung1,3 1,50 Lihat catatan1,3
Receptor, buangan tidak langsung1,4 2,00 Lihat catatan1,4
Receptor, buangan tidak langsung1 3,00 Lihat catatan1
Sink/bak
Bar 1,50 1,0 - -
Bar2 1,50 - 2,0 2,0
Klinik 3,00 - 6,0 6,0
Komersial dengan sampah makanan2 1,50 - 3,0 3,0
Bak cuci dapur untuk rumah tangga2 dengan atau
tanpa unit penggerus sisa makanan, mesin cuci 1,50 2,0 2,0 -
piring, atau keduanya

Jimmy S. Juwana 369


Ukuran
Tempat
Perangkap/Lengan Pribadi Umum
Alat Plambing atau Kelompok Alat Plambing Berkumpul
Perangkap [UBAP] [UBAP]
[UBAP]
Minimum [Inci]
Laundry2 (dengan atau tanpa pipa pelepas dari
1,50 2,0 2,0 2,0
pencuci pakaian)
Pelayanan atau bak pel 2,00 - 3,0 3,0
Pelayanan atau bak pel 3,00 - 3,0 3,0
Kran pencuci, setiap set kran - - 2,0 2,0
Urinal, perangkap terpadu 3,8LPF2 2,00 2,0 2,0 5,0
Urinal, perangkap terpadu > 3,8LPF 2,00 2,0 2,0 6,0
Urinal, perangkap exposed2 1,00 2,0 2,0 5,0
Kloset, Tangki gelontor 6 LPF6 3,00 3,0 4,0 6,0
Kloset, Tangki pembilas 6 LPF6 3,00 3,0 4,0 6,0
Kloset, katup pembilas 6 LPF6 3,00 3,0 4,0 6,0
Kloset,Tangki gelontor > 6 LPF6 3,00 4,0 6,0 8,0
Kloset, flushometer > 6 LPF6 3,00 4,0 6,0 8,0
Sumber : SNI 8153:2015 (UPC 2012 – IAPMO tabel702.1)
CATATAN:
1) Reseptor air limbah tidak langsung harus didasarkan pada ukuran kapasitas perlengkapan
air
limbah total yang mengalir.
2) Minimum pipa pengering 2 inci (63 mm).
3) Untuk pendingin dan kebutuhan air yang sedikit untuk unit serupa.
4) Untuk sink komersial, mesin cuci piring, dan kebutuhan air yang banyak lainnya untuk unit
serupa.
5) Bangunan yang mempunyai area pencucian pakaian dengan mesin cuci pakaian dengan
tiga atau lebih harus dinilai pada 6 UBAP setiap peralatan untuk ukuran pipa horisontal dan
vertikal.
6) Kloset harus dihitung sebagai 6 UBAP.

Untuk memperkirakan tingkat aliran aliran limbah cair dapat digunakan Tabel
8.13.
Tabel 8.13. Prakiraan Tingkat Aliran Limbah Cair
Fungsi Bangunan Gedung Liter per hari per orang
Sekolah
- Hanya wastafel dan WC 56
- Ditambah dengan kafetaria 94
- Ditambah dengan kafetaria dan shower 132
- Pekerja harian 56
Hunian
- Perumahan mewah 567
- Rumah tinggal 283
- Asrama 189
- Hotel (satu kamar dua orang) 378
- Sekolah berasrama 378

Jimmy S. Juwana 370


Fungsi Bangunan Gedung Liter per hari per orang
- Rumah Sakit Umum 567
- Asrama perawat 283
Institusi lain (bukan rumah sakit) 378
Restoran 94
Pertokoan 1.514 per kamar kecil
Ruang pertemuan 8 per tempat duduk
Sumber: Juwana, 2005
Catatan:
Untuk digunakan pada perancangan IPAL

Air kotor yang dihasilkan oleh suatu bangunan ditampung dalam septik tank
atau diolah dalam IPAL. Tabel 8.14 menunjukkan perkiraan volume dengan
pendekatan jumlah orang yang ada dalam bangunan dapat pula ditentukan
besar septik tank yang diperlukan, yaitu rata-rata 0,10 m3/orang.

Tabel 8.14. Dimensi Septik Tank

Jumlah orang Volume [m3] Ukuran [m3]


60 4 1,20 x 2,50 x 1,50
120 8 1,50 x 3,50 x 1,90
180 12 1,80 x 4,00 x 1,90
240 16 1,80 x 5,40 x 2,00
300 20 2,20 x 5,40 x 2,00
360 24 2,40 x 6,00 x 1,50
Jumlah orang Volume [m3] Ukuran [m3]
420 28 2,50 x 6,00 x 2,10
480 32 2,50 x 7,00 x 2,10
Sumber: Poerbo, 1992

Perkiraan dimensi IPAL berdasarkan luas bangunan dapat dilhat pada Tabel
8.15.
Tabel 8.15. Perkiraan Volume Ipal

Fungsi Bangunan Gedung x luas lantai bangunan [m3]


Apartemen 0,020 – 0,024
Hotel 0,022 – 0,026
Perbelanjaan 0,016 – 0,020
Perkantoran 0,026 – 0,030
Rumah Sakit 0,022 – 0,026
Sumber: Juwana, 2005

Jimmy S. Juwana 371


8.4.2. Sampah
Prakiraan jumlah sampah untuk keperluan penampungan dan pembakaran
sampah dapat dilihat pada tabel 8.16.

Tabel 8.16. Perkiraan Jumlah Sampah

Fungsi Bangunan Gedung Jumlah Sampah per Hari


Apartemen 1.0 kg/orang
Rumah Pribadi 1,5 kg/orang
Restoran 1,5 kg/orang
Rumah Sakit 3,3 kg/tempat tidur
Sekolah 0,3 kg/siswa
Perkantoran 4,5 kg/m2
Kawasan (perkotaan) 1,5 kg/penduduk
Sumber: Juwana, 2005

Catatan: Untuk perhitungan bak penampungan sampah dan/atau incinerator

Soal-SoaL Latihan

1. Sebutkan prinsip sistem plambing yang harus diperhatikan.

2. Ada berapa jenis pipa yang umum dijumpai dalam bangunan tinggi.

3. Bagaimana cara membedakan antara jaringan pipa yang digunakan


untuk air bersih, air kotor, air untuk sprinkler dan pipa-pipa untuk
keperluan lainnya.

4. Apa upaya yang dilakukan untuk menghindari masuknya serangga atau


bau busuk dari saluran pipa pembuangan.

5. Bagaimana pengelolaan sampah pada bangunan tinggi.

6. Dengan menggunakan kasus pada soal 4.3, hitung kebutuhan air untuk
keperluan keseharian bangunan tersebut.

7. Pada kasus soal 4.3, berapa kebutuhan air yang diperlukan untuk sistem
pengkondisian udara dan untuk proteksi kebakaran.

8. Berapa volume air limbah yang dihasilkan pada kasus soal 4.3.

9. Bagaimana pengaturan letak tempat penampungan air pada bangunan


tinggi, dan berapa volume daya tampung masing-masing reservoir untuk
kasus soal. 4.3.

Jimmy S. Juwana 372


10. Jika pada kasus 4.3. bangunan berada di lahan seluas 5 ha, dengan
KDB 50% hitung volume air hujan wajib kelolanya.

Daftar Kepustakaan dan Rujukan

… (2021); Peraturan Pemerintah nomor 16 tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan


Undang-Undang nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, Jakarta.

… (2015); SNI 8153:2015 tentang Sistem Plambing pada Bangunan Gedung, Badan
Standardisasi Nasional, Jakarta.

Allen E, & Iano J. (2017); The Architect’s Studio Companion – Rules of Thumb for
Preliminary Design 6th Edition, John Wiley & Sons, Inc., New York.

Andrew F. T. (1977); Building Mechanical Systems, MCGraw-Hill Book Company, New


York.

Dadras A. S. (1995); Mechanical Systems for Architects, McGraw-Hill, Inc., New York.

Hall F, (1994); Building Services & Equipment 2nd Edition, Longman Scientific &
Technical. Essex, England.

Juwana J.S. (2005); Panduan Sistem Bangunan Tinggi untuk Arsitek dan Praktisi
Bangunan, Penerbit Erlangga, Jakarta.

McGuinness W J & Stein B. (1971); Mechanical and Electrical Equipment for Buildings
5th Edition; John Wiley & Sons, Inc., New Yok.

Noerbambang S. M. & Morimura (2000); Perancangan dan Pemeliharaan Sistem


Plambing, PT Pradnya Paramita, Jakarta.

Poerbo H. (1992); Utilitas Bangunan. Penerbit Djambatan, Jakarta,

Vabdervort D.; (2002); https://www.hometips.com/plumbing_fixtures.html

Jimmy S. Juwana 373


BAB IX
SISTEM LISTRIK ARUS LEMAH

“… Although companies could automate all


customer communication with a system, they
should resist the urge, because people tend
to prefer human touchpoints…”

John Fleming

Istilah sistem listrik arus lemah umumnya digunakan untuk instalasi yang
menggunakan arus searah (direct current – DC) dan dalam istilah praktisi umum
disebut tegangan untuk mencatu daya peralatan elektronik yang menggunakan
tegangan rendah (arus lemah), meskipun pasokan daya listrik utamanya tetap
menggunakan arus bolak balik (alternate current – AC).

Untuk mengubah arus AC menjadi DC pada peralatan sering disebut rectifier


yang dilengkapi dengan komponen filter untuk menjaga kestabilan arus dan
tegangan listriknya agar peralatan tidak mudah rusak akibat terdampak dari
naik-turunnya tegangan listrik yang bersumber dari PLN. Adapun alat untuk
mengubah arus dari bentuk DC menjadi bentuk AC disebut inverter.

Dalam bentuk lain, teknologi inverter sering digunakan pada peralatan


Uninterruptable Power Supply (UPS) System.

Pada saat ini, sebagai alternatif pengganti energi berbasis fosil, banyak
digunakan energi yang bersumber pada cahaya matahari (Solar Cell) yang
diprediksi akan menggantikan keberadaan energi dari bahan bakar fosil.
Teknologi ini menghasilkan pasokan tenaga listrik berbentuk DC. Untuk
memanfaatkan listrik ini, bagi peralatan-peralatan yang menggunakan listrik
berbentuk AC, maka di perlukan peralatan inverter, yang berfungsi untuk
mengubah listrik berbentuk DC menjadi berbentuk AC, Alat ini dilengkapi
dengan peralatan transformer yang berfungsi untuk menaik-turunkan tegangan
yang dihasilkan agar sesuai dengan kebutuhan.

Dengan makin maraknya permintaan produk yang menggunakan energi Solar


Cell, banyak produsen yang mengembangkan teknologi ini.

Di samping Solar Cell, sebagai alternatif juga di gunakan turbin yang .


memanfaatkan energi angin, yang juga merupakan energi terbarukan. Dengan
bertambahnya penggunaan panel surya dan turbin angin, banyak peralatan
yang dahulu menggunakan listrik AC, sekarang dapat juga difungsikan dengan
listrik DC.

Jimmy S. Juwana 374


Perangkat-perangkat yang digolongkan pada kategori arus lemah adalah:

a. telepon;
b. sound system/public address system, dan sound evacuation;
c. fire alarm;
d. CCTV;
e. televisi;
f. pengendali akses (access control);
g. video phone; dan
h. building automation system (BAS).

9.1. Sistem Teknologi Integrasi

Teknologi ini menyatukan perhubungan dari banyak peralatan elektronik, yang


saat ini berkembang untuk memenuhi kebutuhan pembangunan gedung-
gedung, vertikal dan horizontal.

Pada awalnya, peralatan-peralatan elektronik, seperti Telepon, CCTV, MATV,


Fire Alarm, pengendali Akses, BAS dan lain-lain, yang masing-masing peralatan
tadi menggunakan jaringan kabel tersendiri. Kabel-kabel tersebut ditarik dari
titik-titik yang terletak di setiap lantai menuju ke saf. Kemudian dari ruang
penghubung yang ada di dalam saf ditarik kabel tersebut dan di hubungkan ke
masing-masing server yang ditempatkan di Ruang Pengendali (Control Room),
melalui ruang/lubang yang disediakan untuk penarikan kabel-kabel tersebut.
Kondisi ini mengakibatkan di dalam saf akan terdapat banyak sekali berbagai
jenis kabel-kabel yang sesuai dengan spesifikasi dari peralatan masing-masing.
Hal ini dapat menyebabkan dimensi saf yang disediakan harus cukup luasnya.

Pada saat ini, dengan perkembangan teknologi hanya perlu membangun satu
macam infra struktur, dengan hanya membangun satu macam jenis kabel Fiber
Optic, yang dapat dipakai untuk menyalurkan seluruh kebutuhan peralatan
elektronik. Berkat kemajuan teknologi Sistem Informasi yang berbasis Internet
Protocol (IP), semua perangkat yang berbasis teknologi IP, dapat di salurkan
melalui jaringan infra struktur ‘Sistem Integrasi’ (Gambar 9.1).

Secara teknis, jaringan IP, diibaratkan sebuah jaringan pipa yang digelar di
dalam gedung, baik bangunan vertikal, maupun bangunan horizontal, dan
kombinasinya, yang menghubungkan dari Ruang Pengendali ke seluruh unit-
unit penggunanya melalui pipa yang sangat besar dimensinya. Kapasitasnya
dapat mencapai kecepatan 10.000 Megabitepersecond – Mbps (lebar
bandwidth satuan transmisi data/informasi) yang dibagikan ke seluruh unit
pengguna yang membutuhkan, kira kira sekitar 30-50 Mbps. Dengan demikian
dalam jaringan pipa tersebut secara virtual dapat diprogram dan dibagi menjadi

Jimmy S. Juwana 375


kesatuan pipa-pipa kecil untuk menyalurkan informasi yang dibutuhkan dalam
bangunan tersebut.

Gambar 9.1. Arsitektur Sistem Integrasi

Dengan kapasitas 10.000 Mbps (10 Gigabite per second – Gbps), dan jika
diasumsikan bahwa per unit pengguna membutuhan hanya 30 MBps, maka
jaringan pipa besar (10GBps) tersebut bisa dipakai oleh setkitar 300 unit
pengguna. Kebutuhan penyaluran informasi ke dalam unit-unit tersebut antara
lain:

a. Telepon, 0,1Mbps,
b. TV Channel, 10 MBps,
c. Internet, 15 Mbps, dan
d. Pengendali Akses, Fire Alam serta Sound System, keseluruhan
membutuhkan sekitar 1 MBps.

Dengan disediakan pipa virtual LAN (VLAN) dengan kapasitas 30 MBps per unit
untuk setiap VLAN-nya, dapat digunakan untuk menyalurkan informasi yang
dibutuhkan tersebut di atas dalam jumlah yang cukup besar. Dan masih dapat
menampung untuk kebutuhan penyaluran informasi dari kamera CCTV, yang
dipasang di setiap lantai dan/atau di setiap sudut pandang yang dibutuhkan
untuk pengawasan, dan ini di perkirakan hanya membutuhkan sekitar 10 MBps
per kamera.

9.2. Sistem Telekomunikasi/Telepon

Jimmy S. Juwana 376


Sistem Telekomunikasi Telepon dalam bangunan pribadi/swasta (private),
terdapat sentral data yang disebut Private Automatic Branch Exchange (PABX),
ada juga yang menyebut sebagai Private Branch Exchange (PBX), ditempatkan
di Ruang Pengendali, yang kemudian terhubung dengan pesawat telepon
(telepon ini sering disebut sebagai extension) yang berada di dalam bangunan
gedung, di lokasi user. PABX/PBX ini berfungsi untuk mengkoordinir kegiatan-
kegiatan perteleponan dalam bangunan dalam berkomunikasi internal (antar
extension/unit) maupun eksternal (telepon yang berada di luar bangunan, baik
dalam satu kota, maupun di luar kota, bahkan hubungan keluar negeri) yang
jaringannya terlihat pada Gambar 9.2.

Sumber; Juwana, 2005

Gambar 9.2. Jaringan Instalasi Komunikasi dalam Bangunan

Jimmy S. Juwana 377


Cara untuk menghubungi tujuan telepon dapat langsung menekan (dial) nomor
pesawat ekstention atau dengan menambahkan satu atau beberapa nomor
sebagai awalan sebelum menekan nomor tujuannya, misalnya: 1xxxx (untuk
pesawat eksetension), 9 + 848xxxx (untuk nomor telepon lokal dalam satu kota),
9 + 022 (kode area luar kota) 12xxxx (untuk nomor telepon luar kota di
Indonesia), dan 9 + 001 (kode area negara) + 88 (kode area kota di negara
tertentu) 657xxxx (untuk nomor telepon di manca negara).

Biasanya PABX/PBX dilengkapi dengan Call Detail Recorder (CDR) yang


fungsinya mencatat setiap kegiatan telepon, maka secara otomatis terkirim
setelah telepon ditutup, meliputi informasi tanggal, jam, menit, detik telepon
dilakukan, kemudian tercatat nomor tujuan, nomor extension pemanggil dan
durasi serta informasi status telepon berupa outgoing atau incoming call.

Berdasarkan data-data tersebut di atas, dapat diolah menggunakan software


Billing System maka akan dapat secara langsung menghitung biaya panggilan
dengan opsi banyak pilhan.

Untuk bisa terhubung dengan dunia luar, PABX/PBX ini memiliki interface yang
dihubungkan dengan sambungan telepon sentral kota, yang dikelola oleh PT.
Telkom Indonesia, di mana setiap panggilan keluar yang menggunakan jaringan
telepon dari Telkom, Telkom akan mencatat setiap kegiatan telepon, sehingga
di setiap akhir bulan tagihan akan dikeluarkan atas pemakaian/penggunaan
telepon keluar melalui saluran yang disediakan oleh Telkom. Saluran ini disebut
sebagai jalur Trunk Lines dan saluran telepon dari Telkom (Trunk Lines) ini
dapat diganti atau di kombinasi dengan memanfaatkan nomor telepon cellular.
Setelah diubah sifatnya, saluran telepon menjadi telepon kabel yang
menggunakan Gateway Global System for Mobile Communications (GSM).

PABX/PBX dapat diprogram agar memilih jalur pemakaian berbagai opsi, agar
memilih jalur yang paling murah, kemudian apabila jalur yang paling murah
terpakai semua, sambungan berikutnya menggunakan jalur yang lebih mahal.
Hal ini dilakukan agar supaya biaya penggunaan telepon dapat dihemat.

Pada pemakaian sehari-hari, yang perlu dipertimbangkan dalam membuat


disain/perencanaan adalah menentukan berapa jumlah Trunk Lines yang harus
dipasang agar supaya pemilik/pengelola gedung tidak terbebani oleh biaya
pembayaran telepon, yang berpotensi meningkatkan biaya opersional
bangunan.

Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan agar mendapatkan disain yang


efisien adalah sebagai berikut:

1) Jumlah extension yang diperlukan.

Jimmy S. Juwana 378


Untuk menghitung jumlah extension yang diperlukan adalah dengan
menghiung jumlah personil yang akan menggunakan telepon, apabila tidak
bisa diketahui, cara menghitungnya dengan asumsi, misalnya
besaran/luasan ruang kerja dibagi luas kamar kerja. Misalnya dalam satu
lantai luas lantai 1.000 m2, dipotong luasan sarana umum, seperti misalnya
Lobi, koridor dan ruang terbuka lainnya, misalnya total 400 m2, maka rung
kerja per lantai tinggal 600 m2. Apabila kamar kerja rata-rata 50 m2, maka
diperkirakan jumlah extension per lantai adalah 600 : 50 = 12 extension, lalu
dikalikan dengan jumlah lantai.

2) Tipe/peruntukan bisnis dari bangunan gedung yang akan dibangun, akan


menentukan berapa besar jumlah saluran Trunk Lines yang harus
disiapkan, misalnya: untuk kantor bank akan membutuhkan saluran lebih
besar dibandingkan dengan kebutuhan hunian/perumahan

Ketepatan jumlah Trunk Lines (saluran Telkom) akan menghasilkan efisiensi


yang optimal, antara lain dengan mempertimbangkan berbagai hal seperti
berapa kali orang menelpon dalam satu jam/hari, berapa banyak orang
menghubungi kantor tersebut dalam satu jam, jumlah pekerja yang sering
menelepon, berapa pekerja yang sering menerima telepon, durasi/lamanya
menelpon, dan lainnya.

Untuk menghitung jumlah saluran ‘Telkom’ yang dibutuhkan, maka pertama kali
diperkirakan jumlah extension yang akan dipasang ( E). Selanjutnya dibuat
perkiraan jumlah pembicaraan selama satu hari (P). Dengan asumsi selang jam
kerja perhari adalah h jam, maka jumlah kemungkinan pembicaraan tiap
pesawat rata-rata per jam adalah:

 E.P 
 Pbc  Persamaan 9.1.
 E.h 
Kemudian jumlah pembicaraan total dalam satu jam:

1
 Pbc total 
0,63
 Pbc Persamaan 9.2.

Dengan menggunakan fungsi Gauss, maka diperoleh:

   
F t    Pbc total . sin  .t  Persamaan 9.3.
  7 

sehingga jumlah pembicaraan pada jam sibuk adalah:

Jimmy S. Juwana 379


       
PS    Pbctotal . sin  .t  dt    Pbctotal . sin  .t  dt Persamaan 9.4.
4 8

0   7  5   7 

Dari Persamaan 9.4 ini dapat dihitung jumlah rata-rata tiap jam pada jam sibuk,
yaitu:

PS
PS rata rata  Persamaan 9.5.
h
Jadi pembicaraan rata-rata adalah:

Pbcratarata   E.PSratarata  Persamaan 9.5.

Bila tiap kali pembicaraan memiliki selang waktu t detik (biasanya waktu
pembicaraan dibatasi selama tiga menit atau 180 detik), sehingga berdasarkan
rumus Erlang diperoleh jumlah lalu lintas telepon (trafik):

Pbc rata rata.t 


 Trafik  3600
Erl Persamaan 9.6.

Dengan menggunakan Tabel Erlang (Tabel 9.1), maka dapat diperoleh jumlah
sambungan telepon yang diperlukan untuk bangunan tersebut. Dan dengan
demikian dapat pula ditentukan kapasitas dan jenis PABX yang akan digunakan.
Kapasitas PABX menentukan berapa maksimum jumlah sambungan extension
yang dapat dipasang pada bangunan tersebut.

Jimmy S. Juwana 380


Tabel 9.1. Erlang – B
untuk 1 – 50 Sambungan, E = 0,01% - 40%

Sistem telekomunikasi/telepon seperti ini dapat disebut sebagai sistem


konvensional dan saat ini sudah banyak digantikan dengan sistem yang lebih
modern dan menggunakan teknologi terkini, seperti sistem Voice Over IP (VoIP)
dan/atau Session Initative Protocol (SIP) yang merupakan jaringan terintegrasi
(Gambar 9.3).

Jimmy S. Juwana 381


Gambar 9.3. Jaringan Telepon dalam Jaringan Integrasi

9.2.2. Voice Over IP (VoIP) -- nomor 9.2.2. dobel

Perkembangan teknologi berikutnya, berkat teknologi Voice over IP (VoIP), di


mana antar PABX dihubungkan sebagai client, dan dimungkinkan untuk saling
memberikan informasi yang dibutuhkan dengan menggunakan protokol

Sistem telepon ini tergabung dalam jaringaan Sistem Integrasi, berkat


pengembangan teknologi digital, dengan pengkinian teknologi informasi.

Sinyal suara yang dihasilkan dari pesawat telepon (yang dikirim) semula
berbentuk analog, diubah/dicacah bentuknya menjadi sinyal digital, agar dapat
mengalir pada jaringan integrasi dalam bentuk data/digital. Sesampainya pada
sisi penerima, sinyal telepon tersebut diubah kembali menjadi bentuk analog,
sehingga dapat didengarkan sebagaimana sinyal aslinya, setelah mengalami
proses digitalisasi.

Proses tersebut di atas, mengakibatkan terdapat jeda waktu, antara A (kalimat


yang dikirim saat diucapkan) kemudian di proses digitalisasi, sampai di lokasi
penerima, namun dengan perkembangan teknologi jaringan, lebar dan
kecepatan pengiriman data bisa lebih cepat, sehingga jeda waktu antara suara
A pengirim dan A penerima, semakin kecil.

Jimmy S. Juwana 382


9.2.3. Session Initiative Protocol (SIP)

Pada era teknologi konvensional, para pabrikan memproduksi perangkat


PABX/PBX dengan teknologinya yang mereka ciptakan, untuk fitur-fitur
unggulan dalam rangka menarik perhatian pembeli, dengan standar yang sudah
disepakati sebelumnya yaitu:

a. standar International Telecommunication Union (ITU) – Eropa; dan


b. standar Consultative Committee on International Telephone and Telegraph
(CCIT) – Amerika.

Dengan standar di atas, produk-produk antar merek bisa saling


diinterkoneksikan, dengan menggunakan protokol antara lain E&M, E1, T1,
bahkan ada pabrikan yang membuat standar sendiri (Proprietary). Interkoneksi
antar PABX dapat dilihat pada Gambar 9.4.

Gambar 9.4. Interkoneksi antar PABX Konvensional

Antar PABX saat itu sudah bisa saling berhubungan, sampai taraf transparan,
yaitu nomor extension dan nama penelpon dari PABX seberang dapat diketahui,
namun belum fully transparent.

SIP tidak hanya digunakan pada sistem telepon (PABX), tetapi juga pada
beberapa aplikasi. Hal ini umumnya untuk keperluan evakuasi, di mana
dibutuhkan integrasi antara perangkat terkait misalnya alarm kebakaran, CCTV,
dan pengendali akses.

Tujuannya agar apabila terjadi kondisi kedaruratan yang terdeteksi oleh salah
satu atau beberapa, dan bahkan oleh seluruh perangkat, sesuai dengan yang
diprogramkan, secara otomatis perangkat tersebut akan memberikan perintah
kepada Public Address System (PAS) dan memperdengarkan suara rekaman
(pre recorded announcement), ke speaker di lokasi tertentu, atau ke speaker di
seluruh gedung, dan pada saat bersamaan, atas perintah yang sama,
memberikan perintah ke PABX untuk menghubungi nomor-nomor tertentu yang
sudah diprogramkan (Gambar 9.5).

Jimmy S. Juwana 383


Gambar 9.5. Interkoneksi antar PABX Berbasis IP (SIP)

9.3. Sistem Tata Suara

Jaringan tata suara pada bangunan tinggi biasanya digabungkan dengan sistem
keamanan, sistem tanda bahaya/suara evakuasi dan sistem pengatur waktu
terpusat.

Sumber; Juwana, 2005


Gambar 9.6. Jaringan Instalasi Tata Suara

Jimmy S. Juwana 384


Sistem tata suara biasanya diintegrasikan dengan sistem tanda bahaya,
sehingga bila terjadi kondisi darurat (kebakaran), maka sistem tanda bahaya
mendapatkan prioritas sinyal (signal) dari sistem tata suara untuk membunyikan
tanda bahaya (sirene) atau program panduan suara evakuasi ke seluruh
bangunan.

Antara sistem tata suara atau sistem public address konvensional (Gambar 9.6)
dengan sistem yang berbasis IP pada dasarnya adalah sama. Perbedaannya
terletak pada back bone (vertikal) dan perangkat amplifier-nya yang sudah
menggunakan teknologi IP, sementara instalasi kabel horizontalnya tetap sama
dengan yang digunakan pada jaringan konvensional.

Di samping itu, perangkat sistem Public Address juga memproduksi perangkat


speaker aktif yang berstandar SIP, speaker ini tersambung dengan konfigurasi
seperti Gambar 9.7.

Gambar 9.7. Public Address Berbasis IP/SIP

Sistem tata suara untuk daerah lobi, koridor, arena parkir dan ruang administrasi
selain digunakan untuk keperluan panduan evakuasi, digunakan pula untuk
pemanggilan (paging) atau untuk keperluan program musik (Gambar 9.6).

Perencanaan tata suara tidak terlepas dari persyaratan kebisingan yang


disesuaikan dengan fungsi bangunan, agar rasa nyaman penghuni/pengguna
bangunan dapat tetap terpenuhi (Tabel 9.2).

Jimmy S. Juwana 385


Tabel 9.2. Tingkat Kebisingan

Tingkat Kebisingan
Sumber Suara Keterangan
[db]
- 150 Dapat menyebabkan
Pesawat tinggal landas 140 telinga tuli
Suara ledakan peluru 130 Ambang rasa sakit
Suara sirene pada jarak
120 Kuping terasa pekak
30 m
Suara musik rock, gergaji
110 Ambang tidak nyaman
kayu
Suara kereta api 100 Bising, sulit bagi
Suara pabrik, knalpot terjadinya
90
mobil percakapan
Percetakan, supermarket 80 Berisik, berbicara perlu
Lalu lintas sedang 70 berteriak
Lobby hotel, restoran 60 Pembicaraan dapat
secara
Kantor, rumah sakit, bank 50
normal
Kantor pribadi, rumah 40
Cukup sunyi
Studio radio 30
Auditorium kosong,
20
berbisik Sangat sunyi
Napas manusia 10
Ambang batas
0
pendengaran
Catatan:
60 db merupakan ambang batas background noise yang nyaman bagi telinga.

Agar tingkat suara/informasi dan sumber suara (loud speaker) dapat jelas
didengar oleh manusia normal, maka diperoleh persyaratan yang dirumuskan
sebagai berikut:

N  M  10 log P  SPL1  20 log R Persamaan 9.6.

di mana :N adalah kebisingan (noise) ruangan [dB]


M adalah Margin [dB]
P adalah daya dari sumber suara (speaker) dalam Watt
SPL1 adalah Sound Presure Level untuk daya 1Watt pada
jarak 1 meter
R adalah jarak sumber suara dari pendengar [meter]

SPL1 Speaker diperoleh dari spesifikasi teknis speaker, dan data ini digunakan
untuk menentukan daya speaker yang digunakan.

Jimmy S. Juwana 386


Jika nilai N, M, P dan SPL1 Speaker diketahui, maka diperoleh jarak
penempatan sumber suara (speaker).

Sebalinya, jika N, M, R dan SPL1 Speaker diketahui, maka dapat ditentukan


daya speaker yang diperlukan.

9.4. Sistem Jaringan Komputer/Data/Multimedia

Adanya server komputer memungkinkan disajikannya pelayanan yang beragam


dalam suatu bangunan, antara lain: untuk keperluan ruang kerja (work station)
dengan penggunaan komputer personal (Personal Computer – PC), untuk
layanan jaringan lokal (local area network – LAN) dengan beberpa terminal dan
printer, untuk telecopier dan mesin faks (facsimile), baik untuk dihubungkan
dengan pesawat telepon maupun untuk pengendalian lingkungan dan
keselamatan (Gambar 9.8).

Komputer Telepon
Personal (PC)

Terminal &
Printer

SERVER
Printer
Jaringan
Eksternal

Pengendalian
Limgkungan &
Keselamatan
Facsimile &
Telecopier
Sumber: Dirdjojuwono, 2001 & Juwana, 2005 – dimodifikasi

Gambar 9.8. Konfigurasi Layanan Jaringan Komputer

Dengan makin berkembangnya teknologi informasi dan computer, penggunaan


laptop dan telepon gengam cerdas/telepon selular (smart handphone)
menyebabkan komunikasi dan pertukaran data juga dapat dilakukan secara nir
kabel (wireless) lewat perangkat jaringan wifi dan peralatan penguatan
kapasitas jangkauan (router).

Jimmy S. Juwana 387


Selanjutnya, dengan bantuan modem, V-sat, atau antena microwave, sistem
komputer/data/multimedia pada suatu bangunan dihubungkan dengan jaringan
eksternal melalui provider atau fasilitas satelit.

9.5. Sistem Otomatisasi Bangunan

Sistem Otomatisasi Bangunan (Building Automation System – BAS) yang


diintegrasikan dalam suatu sistem bangunan pintar (intelligent building atau
smart building).

Integrasi sistem dari bangunan pintar ini menyediakan kepada


penghuni/pengguna bangunan secara maya (virtual) semua kemampuan untuk
kebutuhan suatu lingkungan kantor yang modern, seperti:

1) telepon dan integrasinya dengan ruang kerja;


2) komputer personal;
3) proses pembuatan teks dan tulisan;
4) berita/pesan, baik berupa suara (voice mail), maupun dalam bentuk surat
elektronik (e – mail);
5) mesin faks (facsimile);
6) akses data melalui jaringan komputer (on-line database);
7) teks video (videotext); dan/atau
8) konperensi jarak jauh (teleconference dan video conference).

Sistem informasi pada bangunan pintar terdiri dari empat komponen utama:

9.5.1. Telekomunikasi

Telekomunikasi merupakan pusat pada bangunan yang mempunyai banyak


penghuni/pengguna, yang didasarkan pada penggunaan jaringan telepon.

Sistem yang umumnya digunakan adalah Private Branch Exchange (PBX) atau
Private Automatic Branch Exchange (PABX) atau Sistem Telepon Kunci (Key
Telephone). Dewasa ini berbagai fitur (feature) yang dapat disajikan dalam
sistem telekomunikasi, termasuk fasilitas Short Message Service (SMS) atau
berbagai fasilitas komunikasi dan media sosial yang tersedia dalam aplikasi
smart phone.

9.5.2. Jaringan data

Menghubungkan setiap komputer langsung pada jaringan komunikasi (telepon)


akan menyebabkan meningkatnya jumlah sambungan telepon yang perlu
disediakan, mengingat tidak selalu komputer digunakan untuk mengambil data

Jimmy S. Juwana 388


dari luar yang membutuhkan modem dan saluran telekomunikasi. Penggunaan
satu atau beberapa lease line yang dihubungkan dengan server akan lebih
efisien, karena saluran komunikasi dapat digunakan bersama-sama (shared).
Data-data yang disimpan dalam server atau disimpan secara maya (cloud),
demikian juga peralatan lainnya (printer atau plotter) juga dapat digunakan
secara bersama-sama dalam satu jaringan penggunaan komputer yang
terpadu.

9.5.3. Local Area Network (LAN)

LAN merupakan sistem piranti keras (hardware) dan piranti lunak (software)
yang menyediakan sambungan untuk komunikasi suara dan data. LAN
memungkinkan dihasilkannya suatu hubungan dari berbagai peralatan
komputer dengan sangat cepat, efisien dan dapat diandalkan.

Komputer yang dihubungkan tidak perlu dari jenis dan model yang sama dan
dapat dihubungkan secara memusat (star), linear (bus) dan radial (ring) dan
dapat memberikan layanan, berupa:

1) surat elektronik (e-mail);


2) transmisi data dan teks, serta grafik;
3) akses data eksternal;
4) input dari alat baca optik (Optical Character Reader – OCR);
5) pencetakan, baik melalui printer maupun plotter;
6) transfer data untuk diperbaiki (edit);
7) Piringan video laser atau cakram padat (compact disk)
8) flash disk dan eksternal hard disk;
9) keamanan jaringan; dan
10) statistik pengelolaan jaringan.

Media transmisi LAN dapat menggunakan kabel koaksial (coaxial cable), twisted
pair atau kabel fiber optik (lihat Gambar 10.2 – Jenis Kabel untuk Jaringan
Komunikasi & Data).

9.5.4. Jaringan Jarak Jauh

Jaringan keluar bangunan dapat menggunakan fasilitas jaringan kabel


komunikasi (kabel telepon), gelombang pendek (microwave), sinar infra merah
atau satelit

Penggunaan microwave hanya digunakan jika lokasi berada pada radius sekitar
15 km, sedang penggunaan cahaya infra merah digunakan untuk lokasi yang
dipisahkan oleh jarak yang sangat pendek (maksimum sekitar tujuh kilometer)
dan harus bebas dari benda atau bangunan yang menghalangi sinar tersebut.

Jimmy S. Juwana 389


Penggunaan microwave yang terhubung dengan satelit pada orbit tertentu akan
mempermudah dan mempercepat pengiriman informasi dari satu tempat ke
tempat yang lain (Gambar 9.9). Dan waktu pengiriman ini semakin pendek
dengan ditemukannya teknologi generasi kelima (5 G) pada komunikasi melalui
telepon nirkabel (cellular mobile communications) yang dapat mengirim data di
atas 20 Giga Byte piksel (pixel) per detik (Gbps).

Sumber: Pearson, 2007

Gambar 9.9. Komunikasi Jarak Jauh melalui Satelit

Penggunaan jaringan telepon (jaringan Telkom) dapat menghubungi lokasi yang


jauh, tetapi akan menyebabkan melonjaknya tagihan penggunaan jasa telepon.
Penggunaan satelit merupakan cara yang paling hemat untuk melakukan
transmisi jarak jauh dan dapat mencapai ratusan malah ribuan kilometer.

Penggunaan komputer dan smart phone dalam sistem bangunan pintar


merupakan gabungan dari dua teknologi yang terpisah, otomatisasi bangunan
dan teknologi informasi. Otomatisasi bangunan meliputi sistem pengendalian
dan pengelolaan energi, sistem keamanan dan sistem pendukung operasional
bangunan. Sedang teknologi informasi menyediakan transmisi untuk
pendeteksian, citra, suara, jaringan radio, dan integrasinya terhadap sistem
pengendalian dan pengelolaan energi beserta sistem keselamatan dan
keamanan bangunan.

Dalam sistem bangunan pintar dipadukan berbagai faktor yang mempengaruhi


operasional bangunan, termasuk kondisi lingkungan, arsitektural, mekanikal
dan elektrikal. Pendekatan multi disiplin ini dimaksudkan agar seluruh

Jimmy S. Juwana 390


komponen bangunan dapat efisien, efektif dan flksibel terhadap adanya
perubahan, yang meliputi sistem otomatisasi perkantoran dan bangunan, sistem
telekomunikasi, prasarana konstruksi bangunan, perencanaan lingkungan dan
rancangan ruang dalam.

Aspek-aspek tersebut di atas diterapkan pada Gedung BNI 46 di Jakarta, yang


diharapkan dapat mencapai keterpaduan sistem bangunan secara maksimal
(Gambar 9.10).

Sumber: Dirdjojuwono, 2001

Gambar 9.10. Contoh Sistem Bangunan Pintar di Jakarta

9.6. Sistem Keselamatan dan Keamanan

Saat ini sistem keselamatan dan keamanan dilaksanakan melalui sistem


elektronik (electronic security system – ESS) yang mengintegrasikan antara

Jimmy S. Juwana 391


deteksi adanya kebakaran dan/atau gangguan keamanan dalam gedung
(Gambar 9.11).

Sumber: Pearson, 2007

Gambar 9.11. Sistem Keamanan Elektronik Terpadu

9.6.1. Sistem Deteksi dan Alarm Kebakaran

Sistem deteksi dan alarm kebakaran dimaksudkan untuk mewujudkan


penyelenggaraan bangunan gedung yang aman terhadap bahaya kebakaran.
Sistem deteksi awal bila terjadi kebakaran akan memberikan indikasi secara
audio maupun visual, yang menunjukkan dari mana titik asal kebakaran terjadi,
sehingga dapat diambil tindakan pencegahan lebih lanjut.

Ada dua sistem alarm kebakaran, semi-addressable dan full addressable.

Dalam hal menggunakan Sistem semi addressable (Gambar 9.12), panel utama
kendali kebakaran (master control panel fire alarm – MCPFA) hanya akan
menunjukkan zone lingkup cakupan detektor, di mana detektor mengindikasi
adanya kebakaran.

Jimmy S. Juwana 392


Sumber: Sutopo, 2021
Gambar 9.12. Semi Addressable

Dalam hal sistem alarm menggunakan full addressable (Gambar 9.13), panel
utama kendali kebakaran akan menunjukkan lokasi yang tepat di mana detektor
tertentu mengindikasi adanya kebakaran.

Sumber: Sutopo, 2021


Gambar 9.13. Full Addressable

Sistem alarm kebakaran dilengkapi catu daya dari dua sumber, listrik yang
berasal dari PLN dan/atau pembangkit tenaga listrik darurat atau batere. Dalam
keadaan pasokan daya listrik dari PLN terputus, sistem ini harus digantikan
(back up) oleh pasokan daya cadangan selama 24 jam agar sistem masih tetap
dapat bekerja.

Sistem deteksi kebakaran merupakan sistem yang bekerja secara otomatis


karena adanya detektor kebakaran dan sensor lain serta sistem manual seperti
pada titik panggil manual (manual call point). Pemasangan detektor untuk
memberikan indikasi segera dan akurat kepada petugas pemadam kebakaran,

Jimmy S. Juwana 393


sedang penetapan jenis penginderaan/detektor dipilih dan disesuaikan dengan
fungsi aktivitas ruangan.

Selanjutnya, pembagian zona kebakaran dimaksudkan untuk memudahkan


petugas menentukan rute gerak yang secara cepat dapat menuju lokasi
kebakaran.

Penempatan peralatan utama Panel Pengendali Utama (Master Control Fire


Alarm – MCFA) diletakkan dalam ruang pengendali di lantai dasar, sedang
penempatan tombol isyarat kebakaran (Manual Call Point – MCP) ditempatkan
pada 394ndu terbuka yang sering dilalui orang (daerah publik), di dekat setiap
jalan keluar dan pada setiap kotak hidran (hydrant box) dengan ketentuan teknis
material serta standar pemasangan yang sesuai dengan ketentuan SNI.

Bel alarm digunakan untuk memberikan indikasi alarm secara audio (suara)
pada saat diberi catu daya oleh sinyal alarm dari MCFA. Bel alarm ditempatkan
menyebar pada setiap lantai.

Selain itu, ada lampu darurat (flasher lamp) yang digunakan untuk memberikan
indikasi alarm secara visual pada saat diberi catu daya oleh sinyal dari MCFA.
Lampu darurat ini juga ditempatkan menyebar pada setiap lantai, sehingga
dapat terlihat pada jarak tertentu sebagai tambahan peringatan bagi penderita
tuna runggu (yang tidak dapat mendengar suara bel alarm).

Komunikasi internal/Interkom (fire intercom) digunakan untuk berkomunikasi


dan berkoordinasi pada saat terjadi kebakaran atau pada saat pemeliharaan
berkala.

Sebagai tambahan pada pipa cabang sprinkler di tiap lantai dipasang flow
switch.

Seluruh kabel yang digunakan pada sistem alarm, baik untuk riser dan
pengendali (control) ke sistem mekanikal dan elektrikal lainnya, menggunakan
kabel tahan api (fire resistance cable – FRC).

9.6.2. Sistem Keamanan terhadap Bahaya Kejahatan

Perbedaan sistem tanda bahaya pada pencegahan kebakaran dan pencegahan


bahaya kejahatan adalah pada peralatan detektornya. Pada tanda bahaya
sistem keamanan (security system) digunakan berbagai jenis detektor/sensor,
yaitu: sensor ultrasonik (ultrasonic), sensor gelombang mikro (microwave),
sensor infra merah (infra red) atau sensor suara (sound discriminating).

Secara sederhana sensor dapat berupa skakelar yang ditempatkan pada lokasi
tertentu yang dapat difungsikan secara manual untuk membuat tanda bahaya
berfungsi.

Jimmy S. Juwana 394


Pada benda-benda yang tetap panjang pantulan gelombang sama, tetapi jika
ada objek yang bergerak, maka terjadi perubahan panjang pantulan gelombang,
dan hal ini akan mengaktifkan tanda bahaya. Prinsip ini digunakan pada sensor
ultrasonik dan sensor gelombang mikro. Sensor ultrasonik dapat dikacaukan
jika terjadi turbulensi udara akibat sistem tata udara atau adanya bunyi yang
disebabkan oleh dering telepon, suara kipas udara, atau getaran peralatan
dalam ruangan. Sensor ultrasonik dapat mencakup luas 7,00 m x 9,00 m. Pada
gelombang mikro, sensor baru berfungsi jika objek telah mencapai jarak
tertentu, dan dapat diatur perkiraan dimensi objek yang bergerak. Hal ini untuk
menghindari kemungkinan kekeliruan antara manusia dan binatang peliharaan
dan gangguan akibat adanya turbulensi atau getaran benda-benda. Sensor
gelombang mikro juga dapat menembus kaca, kayu, partisi dan lantai, tetapi
akan memantul pada benda-benda yang terbuat dari logam.

Sensor ultrasonik dan gelombang mikro termasuk sistem aktif, karena alat
tersebut selalu bekerja memancarkan gelombang suara. Sedang sensor yang
menggunakan infra merah termasuk sensor pasif, karena tubuh manusia dan
benda-benda yang mempunyai panas akan mengeluarkan radiasi infra merah.
Dan panjang gelombang infra merah ini yang ditangkap oleh sensor infra merah.
Sensor infra merah dapat dipasang sampai jarak 30 m (Gambar 9.14).

Sumber: Sinnott, 1985

Gambar 9.14. Pemasangan Sensor Infra Merah

Sensor suara menggunakan sensor 395ndustry akustik, juga merupakan sensor


pasif, dan akan berfungsi jika terjadi perubahan frekuensi tertentu.

Jimmy S. Juwana 395


9.5.3. Sistem Pengamanan Ruangan

Dewasa ini, banyak bangunan melengkapi dengan detektor logam (metal


detector) dan/atau kotak sinar-X (X-ray) yang dapat mendeteksi adanya bahan
peledak, amunisi dan senjata api serta bahan-bahan berbahaya lainnya
(Gambar 9.15). Hal ini dimaksudkan untuk mencegah berbagai tindak kejahatan
terorisme. Di samping itu, untuk memudahkan pemantauan, dipasang jaringan
televisi tertutup (closed circuit television – CCTV) pada lokasi yang rawan
kejahatan. Dengan adanya peralatan elektronik ini, pemantauan dapat
dilakukan selama 24 jam penuh, dan jika terjadi tindak kejahatan rekaman
televisi dapat ditayangkan secara ulang, lengkap dengan waktu kejadiannya.

Sumber: Nadel. 2004 dimodifikasi

Gambar 9.15. Peralatan Sistem Keamanan

Jimmy S. Juwana 396


9.5.4. Sistem Perkuncian

1) Master Key

Secara umum pengamanan dilakukan dengan memasang kunci pada setiap


pintu yang dibuka dengan menggunakan anak kunci tertentu. Pada prinsipnya
ada dua sistem perkuncian (key system), yaitu: dengan sistem master key dan
sistem penguncian yang dipusatkan (central locking system).

Dalam sistem master key, sebuah anak kunci dapat digunakan untuk membuka
beberapa pintu yang berada di bawah tingkatannya, yang disusun berdasarkan
hirarki (Gambar 9.16). Kunci grand master dapat digunakan untuk membuka
seluruh pintu yang ada dalam satu bangunan. Kunci master dapat digunakan
untuk membuka seluruh pintu pada satu lantai tertentu dalam bangunan; jadi
jika ada 20 lantai, maka ada 20 buah kunci master. Selanjutnya, jika setiap lantai
bangunan dibagi atas beberapa zona, maka pintu-pintu yang berada pada zona
tertentu dapat dibuka oleh kunci sub master. Dan akhirnya, pintu-pintu ruangan
menggunakan pintu individual. Sistem ini biasa digunakan untuk bangunan
hotel, kantor, pendidikan dan industri.

Sumber: Sinnott, 1985

Gambar 9.16. Master Key

Jimmy S. Juwana 397


Anak kunci nomor 10 dalam Gambar 9.15 dinamakan kunci pass group, atau
dikenal dengan kunci duplikat, yang digunakan oleh beberapa orang untuk
membuka satu pintu tertentu.

Dalam sistem central lock, beberapa anak kunci tertentu yang berbeda dapat
digunakan untuk membuka satu pintu tertentu. Sistem ini biasanya digunakan
untuk beberapa blok Apartemen. Setiap penghuni Apartemen, dengan anak
kuncinya masing-masing, dapat membuka pintu blok Apartemennya, pintu unit
Apartemennya dan pintu untuk ke tempat cuci (laundry).

2) Kunci Digital dan Elektronik

Pintu dibuka dengan menekan tombol angka yang ada pada pintu, baik yang
difungsikan secara mekanik maupun elektronik. Jika angka-angka yang ditekan
sesuai dengan kode kunci pintu, maka pintu akan dapat dibuka. Penggunaan
kartu dengan pita magnetik atau kartu berlubang dapat pula digunakan sebagai
pengganti anak kunci (Gambar 9.17). Penggunaan kartu sebagai pengganti
kunci konvensional banyak digunakan pada hotel dan tempat pengambilan uang
(Anjungan Tunai Mandiri – ATM).

Sumber: Sinnott, 1985

Gambar 9.17. Kunci Tombol Digital dan Kartu

Jenis alat pembuka pintu lainnya adalah dengan menggunakan transmiter


gelombang radio atau pengendalian jarak jauh (remote sensing) yang
mengirimkan gelombang pada frekuensi tertentu, dan diterima oleh sensor yang
ditempatkan pada pintu.

Jimmy S. Juwana 398


Kunci Elektronik/Kunci Akses yang menggunakan kartu magnetik, sidik jari,
pupil kornea mata, tapak tangan, dan suara sebagai pengganti anak kunci
merupakan sistem pengendalian akses (access control system) yang makin
sering digunakan, karena dapat dicatat secara otomatis melalui perangkat
komputer. Dengan demikian setiap orang yang masuk ke dalam ruangan
tertentu akan tercatat, sehingga memudahkan jika diperlukan untuk pelacakan,
karena kartu elektronik memuat data-data pemilik kartu tersebut. Tata letak dan
sistem ini biasanya dihubungkan dengan sensor infra merah atau kamera CCTV
dan peralatan tanda bahaya yang akan berfungsi, jika pintu dibuka secara paksa
oleh orang yang tidak berwenang (Gambar 9.18).

Koridor dapat dilengkapi


dengan kamera CCTV dan KE = Kunci Elektronik
WC WC
Sensor Infra Merah KM = Kunci 'Master'

Kunci 'Sub Master' = KE / KM KSM


KSM KI
ZONA - A KSM KSM ZONA - D
KI
KI KI Kunci Individual =KI KI KI
KI

KI KI
ZONA - B ZONA - C
KI
KI KI
KI

Sumber: Juwana, 2005

Gambar 9.18. Integrasi Sistem Perkuncian dan Pengamanan Ruangan

9.7. Sistem Sirkuit Televisi Tertutup


Salah satu cara yang cukup efektif untuk memantau keadaan lingkungan dan
keadaan aktivitas dalam bangunan gedung dengan memasang jaringan CCTV.
Gambar yang diperoleh dapat direkam dalam cakram keras (hard disk) dalam
alat perekam video (digital video reorder – DVR) yang merupakan kelengkapan
dari sistem CCTV yang terhubung dengan kamera pemantau.

CCTV yang merupakan alat pemantau ini dapat terhubung melalui jarngan
internet (Gambar 9.19).

Jimmy S. Juwana 399


Sumber: Kruegle, 2007

Gambar 9.19. Pemantauan CCTV melalui Jaringan Internet

Sistem CCTV dapat menggunakan kamera analog dan kamera digital (IP
camera) dan masing-masing dapat terhubung melalui kabel koaksial (coaxial
cable), unshield twisted pair (UTP) dan/atau kabel fiber optik (Gambar 9.20),
atau dapat juga dihubungkan dengan jaringan nirkabel (400ndustry) seperti
yang terlihat pada Gambar 9.21.

Sumber: Kruegle, 2007

Jimmy S. Juwana 400


Gambar 9.20. Sistem CCTV melalui Jaringan Kabel

Sumber: Kruegle, 2007

Gambar 9.21. Sistem CCTV melalui Jaringan Nirkabel

Sumber: Kruegle, 2007

Gambar 9.22. Sistem CCTV Analog melalui Jaringan Digital

Jimmy S. Juwana 401


Sumber: Kruegle, 2007

Gambar 9.23. Sistem CCTV Digital melalui Jaringan Digital

Pada Gambar 9.22 dan Gambar 9.23 terlihat sistem CCTV analog dan CCTV
digital yang terhubung dengan jaringan digital.

Jenis kamera CCTV yang kerap digunakan dapat dilihat pada Gambar 9.24:

Sumber: www.cctvinstallationdubai.ae, 2022

Gambar 9.24. Berbagai Jenis Kamera CCTV

Jimmy S. Juwana 402


Kamera yang dapat digunakan pada malam hari dilengkapi dengan infra merah.
Kamera yang dapat bergerak sering disebut sebagai kamera P- T – Z (Pan –
Tilt – Zoom), di mana kamera ini dapat berputar, naik/turun dan lensanya dapat
dimaju-mundurkan (di-zoom). Kamera ini digerakkan oleh pengendali di pusat
pengendali keamanan (security control center – SCC) – Gambar 9.25.

Sumber: Juwana, 2021

Gambar 9.25. Suasana di Pusat Pengendali Keamanan

Hal yang perlu diperhatikan dalam sistem CCTV adalah penempatan kamera
yang dapat memantau areal seluas-luasnya dengan meminimalkan areal blind
spot (Gambar 9.26) dan sudut arah kamera (Gambar 9.27).

Sumber: Juwana, 2021

Gambar 9.26. Lokasi Penempatan Kamera CCTV

Jimmy S. Juwana 403


Sumber: Juwana, 2021

Gambar 9.27. Sudut Arah Kamera CCTV

9.8. Sistem Deteksi Pencegahan Covid-19


Sejak dunia dilanda oleh Pandemi corona virus disease (Covid)–19, di semua
negara berusaha dengan berbagai cara untuk mencegah dan mengurangi
penyebaran Covid-19. Salah satu metode yang dilakukan adalah dengan
mendeteksi suhu tubuh orang yang akan mengunjungi tempat atau memasuki
bangunan gedung tertentu.

9.8.1. Deteksi Panas Tubuh


Dengan adanya Pandemi Covid-19, pada pintu masuk bangunan gedung
ditambah dengan perlengkapan lain yang digunakan untuk mendeteksi suhu
tubuh manusia. Alat deteksi panas tubuh manusia ini dipasang untuk mencegah
orang memasuki bangunan gedung yang suhu tubuhnya berpotensi terpapar
virus Covid-19.

Alat deteksi ini umumnya terdiri dari dua jenis, berupa termometer digital dan
kamera infra merah (thermografic camera).

Termometer digital (Gambar 9.28) biasanya digunakan oleh petugas keamanan


di pintu masuk, orang yang suhu tubuhnya lebih dari 37,5o C tidak
diperkanankan masuk, sedang kamera infra merah (Gambar 9.29) akan secara
otomatis mendeteksi suhu tubuh orang yang akan masuk.

Jimmy S. Juwana 404


Gambar 9.28. Termometer Digital

Sumber: https://shop5y.tk/products.aspx?cname=infrared+camera+detection&cid=109 dimodifikasi

Gambar 9.29. Kamera Infra Merah

9.8.2. Deteksi dan Pencatat Kondisi Kesehatan


Untuk mendata kondisi orang, termasuk data terkait vaksinasi, digunakan
aplikasi ‘peduli lindungi’ di mana orang yang akan masuk ke dalam gedung
diharuskan memidai (scan) gambar dalam bentuk quick reference code (QR
code) yang secara otomatis akan mendata seseorang dan dapat dengan mudah
melacak riwayat kesehatan seseorang termasuk riwayat perjalanannya
(Gambar 9.30).

Gambar 9.30. QR Code PeduliLindungi

Jimmy S. Juwana 405


9.9. Integrasi Sistem Elektronik

Dengan perkembangan sistem ICT, seluruh sistem elektronik dalam gedung


dapat diintegrasikan sehingga memudahkan untuk melakukan pemantauan
melalui monitor layar lebar (Gambar 9.31).

Gambar 9.31. Konfigurasi Sistem Integrasi Elektronik

Soal-Soal Latihan

1. Sebutkan alat pengubah arus AC ke DC dan sebaliknya

2. Berapa tingkat kebisingan yang masih dapat diterima dalam bangunan


gedung, agar orang masih nyaman beraktivitas.

3. Mengapa dewasa ini makin banyak komunikasi dilakukan dengan


menggunakan teknologi digital dan microwave.

4. Jelaskan sistem alarm kebakaran yang sering digunakan.

5. Perlengkapan utama yang sering digunakan dalam sistem keamanan


dalam bangunan gedung.

6. Apa keunggulan kunci elektronik dibandingkan dengan kunci


konvensional.

7. Apa yang membedakan antara sistem CCTV analog dengan sistem


CCTV digital. Jelaskan.

Jimmy S. Juwana 406


8. Bagaimana cara mengendalikan kamera CCTV yang ditempatkan di luar
bangunan gedung.

9. Apa yang dimaksud dengan blind spot terkait sistem CCTV.

10. Jelaskan aplikasi PeduliLindungi terkait Deteksi Pencegahan Covid-19.

Daftar Kepustakaan dan Rujukan

… (2022); www.cctvinstallationdubai.ae, 2022

…(2022);
https://shop5y.tk/products.aspx?cname=infrared+camera+detection&cid=109

Dirdjojuwono R. W. (2001), Sistem Bangunan Pintar – Intelligent Building the Future,


Penerbit Pustaka Wirausaha Muda, Bogor.

Juwana J.S. (2005); Panduan Sistem Bangunan Tinggi untuk Arsitek dan Praktisi
Bangunan, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Juwana J. S. (2021); ”Sistem Keamanan & Keselamatan Bangunan Gedung dan


Lingkungan”, Banda Aceh, Naggroe Aceh Darussalam.

Kruegle H. (2007); CCTV Surveillance – Analog & Digital Video Practices and
Technoloqy, Elsevier, Amsterdam.

Nadel B. A. (2004); Building Security Handbook for Architectural Planning and Design,
McGraw-Hill Companies, New York.

Pearson R. L. (2007); Electronic Security Systems – A Manager’s Guide to Evaluating


and Selecting System Solution, Elsevier, Amsterdam

Sinnott R. (1985); Safety and Security in Building Design, Collins, London.

Sutopo A. S. (2021); “Pertimbangan Rancangan MEP”, Solo

Jimmy S. Juwana 407


BAB X
SISTEM LISTRIK ARUS KUAT

“… The fascinating thing about our


body is that it works by sending
electrical signals into a central
nervous system…”

Madhu Bhaskaran

Bangunan tinggi tanpa dukungan catu daya listrik adalah suatu kenistaan,
sistem transportasi vertikal, jaringan distribusi air dan tata udara tergantung
adanya pasokan listrik, belum lagi ditambah dengan keperluan penerangan, tata
suara, deteksi dini alarm kebakaran, jaringan komunikasi, dan otomatisasi
bangunan gedung serta sistem keamanan bangunan gedung.

Isu yang juga menjadi pertimbangan adalah perlunya dicari sumber energi
terbarukan sejalan dengan langkah-langkah penghematan konsumsi energi
yang berasal dari fosil (minyak bumi dan batu bara).

10.1. Daya Listrik dan Penerangan

Sebelum ditemukan gas dan listrik, penerangan dihasilkan dari api yang
dibakarkan pada kayu atau kemudian menggunakan lilin. Ditemukannya minyak
bakar, mengalihkan penggunaan lilin ke sumbu yang terendam dalam minyak,
dan dikenal dengan lampu minyak.

Pada abad ke-18 Benyamin Franklin menemukan arus listrik dan selanjutnya,
sejak ditemukannya bola lampu pijar oleh Thomas Alva Edison di tahun 1931,
listrik secara masif menggantikan sumber penerangan dengan berbagai temuan
dan kemajuan untuk menghasilkan lampu yang hemat energi. Listrik juga
digunakan untuk berbagai keperluan lain untuk menggerakkan peralatan dan
perlengkapan pada bangunan gedung.

10.1.1. Dasar Instalasi Listrik

Listrik dihantarkan oleh kabel yang berfungsi sebagai konduktor. Kabel yang
digunakan beragam jenisnya dan ukurannya, biasanya disesuaikan dengan
penggunaan dan tingkat tegangan yang perlu dihantarkan.

Selanjutnya, kabel diberi warna untuk membedakan bagi penggunaannya


dalam instalasi jaringan listrik (Gambar 10.1).

Jimmy S. Juwana 408


Sumber: PUIL, 2011

Gambar 10.1. Kode Warna Kabel

Di samping kabel-kabel yang digunakan untuk menghantar daya listrik (arus


AC), ada beberapa kabel khusus yang digunakan untuk keperluan
telekomunikasi, tata suara, jaringan komputer/internet dan sistem alarm, seperti
kabel koaksial (coaxial cable), unshield twisted pair (UTP), kabel fiber optik, dan
lainnya (Gambar 10.2).

Gambar 10.2. Jenis Kabel untuk Jaringan Komunikasi & Data

Jimmy S. Juwana 409


Beberapa jenis kabel listrik yang diperdagangkan dapat dilihat pada Tabel 10.1.
berikut ini.

Tabel 10.1. Jenis-Jenis Kabel Daya Listrik

TIPE KABEL KONSTRUKSI PENGGUNAAN

Berkawat satu atau lebih Untuk instalasi tetap di


Ukuran: 0,5 - 400 mm 2 dalam pipa
NYA
Berkawat halus lebih dari satu Untuk instalasi luar (tanpa
Ukuran: 0,5 - 400 mm 2 pipa) di luar jangkauan tangan

Isolasi dari plastik PVC Sebagai kabel penyambung


dalam panel listrik

Tegangan: 1.000 Volt.

Berkawat satu atau lebih Di ruangan kering, lembab, dan


basah
Isolasi dari plastik PVC
Di bengkel, gudang, dan di
Jika lebih dari satu, maka dipilin dan udara terbuka (tidak dalam
dibungkus oleh selubung dalam tanah)

Ukuran: 1 x (1,5 - 16 mm 2) Untuk instalasi tetap di dalam


(2 - 5) x (1,5 - 35 mm2) atau luar tembok

Tegangan: 500 Volt

Berinti dua atau tiga yang terdiri dari Di ruangan kering untuk alat-
kawat tembaga halus yang sejajar alat listrik kecil, seperti: radio,
satu dengan lainnya dan berisolasi dan lain-lain.
plastik PVC
Tegangan: 380 Volt
Ukuran:
NYZ : 2 x (0,5 - 0,75 mm 2)
NYD : 3 x (0,5 - 0,75 mm 2)

Penghantar dari kawat-kawat Di ruangan kering untuk alat-


tembaga halus berisolasi alat listrik yang dapat dipindah-
plastik PVC, penghantar sejajar pindahkan, alat-alat yang
(dua inti) atau dipilin ringan atau setengah berat,
seperti: alat bor tangan, dan
Ukuran: lain-lain
NYLHY : (2 - 3 - 4) x (0,5 - 1,5 mm 2)
NYMHY: (2 - 3 - 4) x (0,75 - 2,5 mm 2) Tegangan: NYLHY - 380 Volt
NYMHY - 500 Volt

Jimmy S. Juwana 410


TIPE KABEL KONSTRUKSI PENGGUNAAN

Inti berkawat satu atau lebih Di ruangan kering, lembab, dan


berisolasi plastik PVC basah

Jika berinti lebih dari satu, maka Di bengkel, gudang, dan pabrik
dipilin dan dibungkus dengan selubung
dalam. Selubung luar dari plastik PVC Untuk instalasi tetap, juga
untuk di dalam tanah, jika
Ukuran: 1 x (1,5 - 400 mm 2) pada waktu pemasangan tidak
(2 - 5) x (1,5 - 200 mm2) ada gangguan mekanis
(7 - 40) x (1,5 - 2,5 mm2)
Tegangan: 600 / 1.000 Volt

Inti berkawat satu atau lebih. Khusus untuk ditanam di


Bentuk bulat atau sektor, berisolasi dalam tanah, di dalam ruangan,
plastik PVC. Inti-inti dibungkus oleh dan di udara terbuka
selubung dalam sebagai pelindung
terhadap gangguan mekanis. Tegangan: 600 / 1.000 Volt
Kawat baja berbentuk pipih (F) atau 3.500 / 6.000 Volt
bulat (R) yang berlapis timah dibalut
pita baja

Ukuran: (3 - 4) x (10 - 150 mm 2)

Inti berkawat satu atau lebih. Khusus untuk instalasi tetap di


Bentuk bulat atau sektor, berisolasi dalam tanah, di dalam ruangan,
plastik PVC. Sebagai pelindung dan di udara terbuka
terhadap bahaya listrik, setelah
lapisan selubung dalam, terdapat Tegangan: 600 / 1.000 Volt
kawat-kawat tembaga sebagai
penghantar konsentris. Selubung luar
dari plastik PVC

Ukuran: (3 - 4) x (10 - 100 mm 2)

Sumber: PUIL, 2020

Daya listrik umumnya dipasok dari pembangkit tenaga listrik melalui jaringan
kabel tegangan tinggi (TT, di atas 20.000 Volt), yang kemudian diturunkan
menjadi tegangan menengah (TM, antara 1.000 – 20.000 Volt) dan tegangan
rendah (TR, di bawah 1.000 Volt) oleh transformator yang ditempatkan pada
gardu-gardu listrik (Gambar 10.3).

Jimmy S. Juwana 411


Sumber: Dadras, 1995 Dimodifikasi

Gambar 10.3. Pasokan Listrik ke Bangunan

Daya listrik dipasok ke dalam bangunan yang disalurkan melalui kabel bawah
tanah untuk bangunan tinggi (Gambar 10.4) atau kabel udara dari tiang listrik
untuk bangunan rendah/menengah Gambar 10.5).

Sumber: Dadras, 1995 Dimodifikasi

Gambar 10.4. Pasokan Listrik dengan Kabel Bawah Tanah

Jimmy S. Juwana 412


Sumber: Dadras, 1995

Gambar 10.5. Pasokan Listrik dengan Kabel Udara

Distribusi dalam bangunan juga dapat dilakukan pada pelat lantai atau
diletakkan pada ruang di plafon dan pelat lantai (Gambar 10.6 dan Gambar
10.7).

Sumber: Dadras, 1995

Gambar 10.6. Instalasi Kabel Di Atas Plafon

Jimmy S. Juwana 413


Sumber: Dadras, 1995

Gambar 10.7. Instalasi Kabel pada Pelat Lantai

Untuk bangunan yang tidak menggunakan plafon, jaringan kabel listrik biasanya
ditempatkan dalam pipa yang dijepit (di-clamp) pada rak kabel (Gambar 10.8).

Sumber: Dadras, 1995

Gambar 10.8. Pemasangan Pipa Kabel

Jimmy S. Juwana 414


Untuk kabel yang ditanam di dalam dinding, kabel dimasukkan dalam saluran
kabel yang pada umumnya terdiri dari empat jenis, yaitu: saluran yang terbuat
dari bahan logam, aluminium, logam fleksibel dan bukan logam (Gambar 10.9).
Untuk saluran yang terbuat dari bahan logam, selanjutnya dibedakan atas: pipa
galvanis (hot-dip galvanized), pipa berlapis enamel (enameled), pipa berlapis
seng (sheranized) dan pipa berlapis plastik (plastic-covered). Keempat jenis
saluran ini digunakan untuk daerah yang tingkat kemungkinan terjadinya korosif
sangat tinggi. Sedang untuk pipa yang bukan logam, digolongkan atas: pipa
plastik PVC, pipa high-density polyethylene (HDPE) dan pipa asbes semen.

Sumber: Dadras, 1995

Gambar 10.9. Jenis Saluran Kabel

Pipa logam digunakan, karena dapat:

1) melindungi konduktor (kabel) dari bahaya korosif dan benturan;


2) menyediakan perlindungan terhadap bahaya api, pada saat kebakaran atau
suhu yang terlalu tinggi;
3) merupakan penyokong kabel; dan
4) menjadi saluran pengebumian untuk sistem kabel.

Pipa aluminium digunakan, karena:

1) beratnya lebih ringan dibandingkan dengan pipa logam;


2) lebih murah untuk pipa dan pemasangannya;
3) lebih tahan terhadap korosi;
4) tidak perlu dicat;
5) tidak terpengaruh magnit; dan

Jimmy S. Juwana 415


6) penurunan tegangan listrik kecil.

Pipa plastik lebih murah dibandingkan dengan pipa logam dan pipa aluminium,
namun perlu memenuhi kriteria:
a. untuk penggunaan dalam ruangan, pipa perlu kuat dan tahan api;
b. untuk penggunaan dalam tanah, pipa perlu kuat dan tahan api; dan
c. untuk penggunaan di luar ruangan, di samping pipa perlu kuat dan tahan
api, pipa juga harus tahan terhadap cuaca (tahan terhadap panas matahari,
hujan, dan lain-lain).

Tegangan yang digunakan untuk keperluan bangunan tinggi biasanya 220/380


Volt (fase 3) dapat dijelaskan melalui Gambar 10.10.

Catatan:
Daya pada arus fase tiga = Pfase3  3.VL .S L cos 

Gambar 10.10 Tegangan 220/380 Volt, Fase Tiga – Empat Kabel

Di samping itu penggunaan tegangan 220 Volt (fase satu) juga sering dijumpai
pada bangunan tinggi (Gambar 10.11).

Jimmy S. Juwana 416


Gambar 10.11. Tegangan 220/380 Volt, Fase Satu – Tiga Kabel

Pada arus listrik fase satu, daya listrik dapat dihitung dengan:

P  E.I . cos [Watt] atau Persamaan 10.1.a

E.I
P cos  [kW] Persamaan 10.1.b
1000

di mana :E adalah tegangan listrik fase netral [Volt]


I adalah kuat arus listrik [Ampere]
Cos adalah faktor kerja, = 0,8 – 0,9
PF adalah faktor daya
P
di mana: PF  cos  
E.I

P biasa disebut sebagai daya aktif (real power), sedang EI atau sering
dinyatakan dalam VA adalah daya semu.

Untuk menghitung arus konduktor, Persamaan 10.2. dapat diubah menjadi:

P
I Persamaan 10.2.
E. cos

Sedang untuk menghitung penampang konduktor (kabel penghantar),


digunakan rumus:

2. cos .I .l
A Persamaan 10.3.
 .u

Jimmy S. Juwana 417


di mana : A adalah luas penampang konduktor [mm2]
I adalah kuat arus dalam konduktor [Ampere]
l adalah panjang konduktor [meter]
 adalah koefisien daya hantar bahan
untuk tembaga:  = 58 x 106 [Ohm.m-1]
u adalah rugi tegangan penghantar [Volt]

Nilai u (voltage drop) diperoleh dari selisih antara tegangan kirim (Es) dan
tegangan terima (Eg):

u  Es  E g Persamaan 10.4.

Nilai u ini berkisar antara 1 – 1,5% nilai Es.

Untuk kabel-kabel transmisi daya di mana mengalir tegangan yang cukup tinggi,
maka nilai u dihitung berdasarkan:

I
u  2.R.I . cos  2 cos Persamaan 10.5.
 .A

Selanjutnya, untuk arus listrik fase tiga, sebagaimana terlihat pada Gambar
10.9:

Karena I  I f dan E  E f . 3  1,732 E f , maka daya listrik:

P  1,732.E.I . cos  3.E f .I . cos Persamaan 10.6.


Atau
P
I  Persamaan 10.7.
1,732.E.I . cos 

di mana :E adalah tegangan listrik antar fase


Ef adalah tegangan listrik pada fase netral
I adalah arus listrik dalam konduktor
If adalah arus listrik dalam fase

Jadi, untuk luas penampang konduktor diperoleh:

1,732. cos .I .l
A Persamaan 10.8.
 .u

Jimmy S. Juwana 418


10.1.2. Instalasi Listrik dalam Bangunan

Pada umumnya jaringan kabel dalam bangunan dibuat dalam bentuk diagram
satu garis (single line diagram), baik untuk jaringan kabel listrik, telepon, tata
suara maupun jaringan komputer.

Pada instalasi listrik Fase Tiga secara skematik jalur listrik dirangkai
sebagaimana dapat terlihat pada Gambar 10.12.

Gambar 10.12. Pembagian Jalur Listrik

a. Jaringan Kabel Listrik

Pasokan daya listrik untuk instalasi dalam bangunan gedung, dipasok dari PLN
atau dari pembangkit cadangan listrik (genset) yang disiapkan manakala
pasokan daya listrik untuk bangunan yang berasal dari PLN terganggu.

Jika pasokan dari PLN merupakan TM maka diperlukan transformator (trafo)


untuk menjadikannya TR, dan baru masuk ke panel utama setelah melewati
meter PLN. Selanjutnya, didistribusikan ke panel-panel di setiap lantai dan/atau
ke panel untuk peralatan khusus, seperti untuk lif, AC, pompa dan lainnya
(Gambar 10.13)

Jimmy S. Juwana 419


Sumber: McGuinness, 1971 dan Sutopo, 2020 – dimodifikasi

Gambar 10.13. Diagram Tipikal Pasokan Listrik

Jimmy S. Juwana 420


Sumber: Dadras, 1995

Gambar 10.14. Panel Distribusi Daya Listrik

Pada panel distribusi daya listrik (Gambar 10.14), umumnya dibagi dalam
kelompok: daya listrik untuk stop kontak, daya listrik untuk penerangan dan daya
listrik untuk perlengkapan/peralatan bangunan lainnya, seperti: pemanas air,
lemari es, dan mesin photo kopi, dan lain-lain.

Sumber: Cote, 2008

Gambar 10.15. Tipikal Pemasangan Pembangkit Listrik Cadangan

Jika aliran listrik PLN terhenti, maka pasokan daya listrik diambil dari
pembangkit listrik cadangan (Generator Set – Genset), yang digerakkan dengan
bantuan mesin diesel. Genset diletakkan dalam ruangan yang kedap suara,

Jimmy S. Juwana 421


agar suara yang ditimbulkan oleh mesin diesel tidak mengganggu aktivitas
dalam bangunan (Gambar 10.15).

10.1.3. Dasar – Dasar Penerangan

a. Gelombang Elektro Magnetik

Cahaya adalah suatu bentuk energi, radiasi dalam bentuk gelombang


elektromagnetik yang mempunyai kecepatan 300.000 km/detik. Dari sekian
banyak gelombang elektro magnetik, hanya pada rentang frekuensi tertentu
yang berupa cahaya yang kasat mata, sedang sisanya merupakan cahaya yang
tidak dapat terlihat oleh mata manusia (Gambar 10.16).

Sumber: Bovill, 1991 & Dadras, 1995 – dimodifikasi

Gambar 10.16. Pembagian Gelombang Elektro Magnetik

Gelombang radio merupakan gelombang yang paling panjang. Di samping


digunakan untuk pemancar radio, digunakan pula pada siaran televisi, radio
selular. Antena pada peralatan radio, televisi dan telepon digunakan untuk
menerima sinyal berupa gelombang elektro magnetik.

Gelombang mikro (Microwave) mempunyai panjang gelombang yang dapat


diukur, yang merupakan gelombang yang dapat menimbulkan panas (seperti
yang digunakan pada alat masak microwave).

Jimmy S. Juwana 422


Microwave juga baik untuk digunakan untuk keperluan mengirimkan informasi
dari tempat yang satu ke tempat yang lain, karena energi yang dihasilkan oleh
mikcrowave dapat menembus kabut, hujan rintik-rintik dan asap.

Microwave dengan gelombang pendek digunakan untuk penginderaan jarak


jauh (remote sensing), seperti banyak digunakan pada peralatan radar. Pada
masa sekarang microwave digunakan untuk mengirimkan berita seperti pada
telepon dan data komputer yang dipancarkan melalui satelit.

Sinar infra merah (Infra Red – IR) berada di antara sinar yang dapat terlihat
dengan gelombang mikro. Bentang sinar infra merah dibagi atas tiga bagian,
yang dekat, menengah dan jauh. Sinar infra merah yang jauh mempunyai
ukuran gelombang seperti ujung jarum, sedang yang dekat berukuran seperti
sebuah sel.

Infra merah yang jauh menghasilkan radiasi panas, karenanya manfaat sinar
infra merah ini untuk membedakan suhu benda yang ada atau dapat pula
digunakan untuk memanaskan makanan.

Selanjutnya, sinar infra merah dapat diwakili dengan adanya panas yang
ditimbulkan, oleh karenanya sinar ini dapat menyebabkan terbakarnya kulit dan
mata (terkait dengan gejala katarak mata), dapat digunakan untuk pemanas
atau terapi dan dapat untuk mengeringkan serat.

Warna yang terlihat pada benda-benda merupakan perwujudan dari sinar yang
dapat terlihat oleh mata manusia, yang mempunyai panjang gelombang antara
380 – 770 milimikron (Gambar 10.17). Warna-warna tersebut memiliki panjang
gelombang yang berbeda (Tabel 10.2).

Sumber: Dadras, 1995 dimodifikasi

Catatan: 1milimikron = 10-6 meter.

Gambar 10.17. Gelombang Berkas Sinar yang Kasat Mata

Jimmy S. Juwana 423


Tabel 10.2. Panjang Gelombang Warna Kasat Mata

Panjang Gelombang
Warna
milimikron [nm]
Merah Tua 780
Merah 620 – 770
Jingga 590 – 620
Kuning 560 – 590
Hijau 490 – 560
Biru 440 – 490
Nila 440 – 420
Ungu 380 – 420
Hitam 330
Sumber: Dadras, 1995

Warna merah, hijau dan biru disebut warna primer, sedang warna sekunder
adalah campuran dari warna-warna primer tadi.
o
Kelvin
25.000
Langit Biru

Langit Biru Cerah


10.000

Biru Pucat
8000 - 10000
Langit Terang
Benderang

8.000

7.000 Langit Mendung

Lampu Fluoresen
Langit Mendung 6.500 'Daylight'

Langit Cerah 6.000


5800
Sinar Matahari
5.500 Tengah Hari

Putih Bersih 5.000


Lampu Pijar
'Daylight'
4.500
Putih Sejuk
Lampu 4.000
Putih
Fluoresen
Standar Lampu Tungsten Halogen
3.500 Lampu Sorot
3000 - 4200 Putih Hangat
Putih Kekuning-
Lampu Standar Biasa 3.000 kuningan
Lampu Pijar
2600 - 3000
2.500

Cahaya Matahari Terbit 2.000


Cahaya Lilin
1.500

1.000
Merah
800 - 900

Sumber: Dadras, 1995 dimodifikasi


Gambar 10.18. Skala Suhu warna

Jimmy S. Juwana 424


Setiap warna memiliki temperatur/suhu yang berbeda, yang dikaitkan dengan
penyerapan panas yang dimulai dari hitam, merah tua, merah, jingga, biru dan
putih (Gambar 10.18).

Nilai Kelvin dikaitkan dengan pengaruh dan kesan yang ditimbulkan, serta
penggunaanya untuk hal-hal yang cocok, seperti:
1) 2700°K terkesan bersahabat, personal, intim digunakan untuk rumah
tinggal, perpustakaan dan restoran.
2) 3000°K terkesan lembut, hangat, menyenangkan, digunakan untuk rumah
tinggal, kamar dan lobby hotel, restoran dan toko retail.
3) 3500°K terkesan bersahabat, kesan mengundang, tidak menakutkan,
digunakan untuk kantor eksekutif, di area resepsionis dan supermarket.
4) 4100°K terkesan rapih, bersih, dan dapat digunakan pada kantor-kantor
kecil, ruang kelas, ruang pamer dan ruang penjualan.
5) 5000°K terkesan terang dan aman, untuk industri grafis dan rumah sakit.
6) 6500°K terkesan terang dan sejuk, cocok untuk toko perhiasan, salon
kecantikan, galeri dan museum.
Sinar ultra ungu (ultra violet – UV) mempunyai panjang gelombang yang lebih
pendek dari sinar yang dapat terlihat. Meskipun sinar UV tidak dapat dilihat oleh
mata manusia, namun beberapa jenis serangga dapat melihat sinar UV ini.
Sinar UV dapat meningkatkan intensitas penerangan, membantu pembentukan
vitamin D dalam tubuh manusia, terkait dengan proses penuaan dari mata dan
kulit, serta dapat membuat tekstil dan kertas menjadi getas.

Selanjutnya, para ilmuwan membagi sinar UV atas tiga bagian: dekat, jauh dan
sangat jauh. Pembagian ini dimaksud untuk membedakan energi yang
dihasilkan akibat radiasi yang ditimbulkan oleh sinar UV ini.

Sejalan dengan berkurangnya panjang gelombang, energi yang dihasilkan oleh


suatu sinar akan meningkat. Sinar X mempunyai panjang gelombang yang lebih
pendek dari sinar UV.

Sinar Gamma mempunyai panjang gelombang yang terpendek dibandingkan


dengan sinar yang terdapat dalam spektrum elektromagnetik. Sinar ini terjadi
pada proses radioaktif dan ledakan bom nuklir. Sinar Gamma dapat membunuh
sel hidup, oleh karenanya digunakan untuk membunuh sel kanker pada tubuh
manusia.

Perjalanan sinar Gamma yang menempuh jarak yang sangat jauh dari angkasa
luar hanya dapat diserap oleh atmosphere bumi, sehingga peralatan observasi
angkasa yang dapat menjangkau ketinggian yang jauh dari permukaan bumi
yang dapat menangkap berkas sinar Gamma. Perbedaan panjang gelombang
dari masing-masing jenis sinar akan menentukan seberapa jauh sinar tersebut
dapat mendekati bumi (Gambar 10.19).

Jimmy S. Juwana 425


Gambar 10.19. Penetrasi Sinar pada Permukaan Bumi

b. Besaran Cahaya

Arus cahaya (luminous flux) dinyatakan dalam F atau  adalah banyaknya


cahaya tampak yang dipancarkan oleh sumber cahaya dalam setiap detik. Arus
cahaya dinyatakan dalam satuan lumen, di mana 1 lumen = 1/680 Watt cahaya
(Light Watt) atau 1 Watt cahaya = 680 lumen.

Jika didefinisikan, maka Watt cahaya merupakan banyaknya energi cahaya


yang dapat terlihat yang dipancarkan pada gelombang 555 nm (555 x 10-9
meter).

Sedang Lumen adalah banyaknya energi cahaya yang diterima oleh permukaan
lengkung/bola (spheric curve) seluas 1 ft2 dengan radius 1 ft dari sumber cahaya
sebesar 1 lilin (candella) yang berada di titik pusat bola (Gambar 10.20).

Sumber: Bovill, 1991 & Dadras, 1995 – dimodifikasi

Gambar 10.20. Korelasi antara Lumen/Flux dan Kuat Cahaya

Jimmy S. Juwana 426


luminasi atau kuat cahaya (illumination atau illuminace), biasanya dituliskan
dalam notasi ‘E’ adalah banyaknya arus cahaya yang mengenai permukaan
bidang lengkung persatuan luas (lux/m2 atau footcandle – lumen/ft2).

Selanjutnya Intensitas Cahaya (Luminous Intensity) adalah banyaknya arus


cahaya yang dipancarkan persatuan sudut ruang. Intensitas cahaya
menggunakan notasi ‘I’ dengan satuan lilin (candella).

Satu lilin didefinisikan sebagai 1/60 kali kuat sumber cahaya yang dipancarkan
dari kotak hitam (black body radiator) pada suhu platina cair 1773o C.

Luminasi atau Kecemerlangan (Luminance atau Brightness) adalah terang


permukaan yang ditimbulkan dari intensitas cahaya terhadap luas
permukaannya. Pengertian lain menyebutkan sebagai kuat cahaya yang
dipantulkan dan dilihat oleh mata manusia. Notasi yang digunakan adalah ‘L’
atau ‘B’ dengan satuan cd/m2 atau cd/cm2 (Stilb) atau cd/ft2 (foot lambert), di
mana 1 foot lambert = 10,764 cd/m2.

Dari definisi tersebut di atas, maka diperoleh hubungan antar besaran cahaya
(Gambar 10.24), sebagai berikut:

I
E [lux] Persamaan 10.17.
R2
Di mana : E adalah kuat cahaya [lux]
I adalah intensitas cahaya [lilin atau candela]
R adalah jarak dari sumber cahaya ke permukaan [meter]
Mata
Sumber
Cahaya
Luminasi (L)
(S)
Intensitas
 Cahaya (I)

Kuat Cahaya (E)

Luas Permukaan (A)

Sumber: Dadras, 1995 & Hall, 1994 – dimodifikasi


Gambar 10.21. Hubungan antar Besaran Cahaya

Jimmy S. Juwana 427



E rata rata  [lux] Persamaan 10.18.
A

di mana :  adalah arus cahaya [lumen]


A adalah luas permukaan [m2]

I [candela] Persamaan 10.19.

di mana : I adalah intensitas cahaya [candela]
 adalah arus cahaya [lumen]
 adalah sudut ruang [radial]

I [cd/m2] Persamaan 10.20.


L
Aa

di mana : L adalah luminasi [cd/m2]


I adalah intensitas cahaya [cd/m2]
Aa adalah bidang yang diterangi [m2]

E. 
L [cd/m2] Persamaan 10.21.

di mana: E adalah kuat cahaya [lux]
 adalah faktor refleksi permukaan
= 0,70 untuk warna putih terang
= 0,50 untuk warna terang
= 0,10 untuk warna gelap
adalah nilai 3,14….
c. Penerangan Buatan

Cara yang paling umum digunakan untuk merancang penerangan buatan


adalah menentukan tata letak lampu yang dapat memberikan kuat cahaya pada
bidang datar yang letaknya berada di sebelah bawah dari letak sumber cahaya.

Metode ini membutuhkan arus cahaya (dalam lumen) yang akan digunakan
untuk menentukan kuat cahaya tertentu:

.N .U .M .
E [lux] Persamaan 10.22.
A

di mana adalah arus cahaya [lumen]


N adalah jumlah lampu yang dipasang
U adalah faktor utilitas

Jimmy S. Juwana 428


U = 0,45 untuk distribusi cahaya langsung
U = 0,20 untuk distribusi cahaya tidak langsung
U = 0,30 untuk distribusi cahaya difuse
M adalah faktor perawatan
M = 0,9 untuk ruang dengan sistem tata udara
M = 0,8 untuk ruang standar
M = 0,5 untuk ruang yang selalu kotor (industri)
A adalah luas bidang datar [m2]

Untuk memperoleh tingkat kenyamanan dan kelancaran operasional bagi


penghuni/pengguna bangunan dalam melakukan aktivitasnya, maka setiap
kegiatan atau fungsi ruang mempunyai tingkat kuat penerangan yang berbeda
(Tabel 10.3).

Tabel 10.3. Tingkat Pencahayaan Rata-rata, dan


Temperatur Warna yang Direkomendasikan
Temperatur warna
Tingkat Kelompok
Fungsi ruangan pencahayaan renderasi Warm Warm white Cool
(Lux) warna <3300 3300Kelvin Daylight >
Kelvin ~5300Kelvin 5300Kelvin
Rumah tinggal :
Teras 60 1 atau 2  
Ruang tamu 150 1 atau 2 
Ruang makan 250 1 atau 2 
Ruang kerja 300 1  
Kamar tidur 250 1 atau 2  
Kamar mandi 250 1 atau 2  
Dapur 250 1 atau 2  
Garasi 60 3 atau 4  
Perkantoran:
Ruang resepsionis. 300 1 atau 2  
Ruang direktur 350 1 atau 2  
Ruang kerja 350 1 atau 2  
Ruang komputer 350 1 atau 2  
Ruang rapat 300 1  
Ruang gambar 750 1 atau 2  
Gudang arsip 150 1 atau 2  
Ruang arsip aktif 300 1 atau 2  
Ruang tangga darurat 150 1 atau 2 
Ruang parkir 100 3 atau 4 
Lembaga pendidikan:
Ruang kelas 350 1 atau 2  
Perpustakaan 300 1 atau 2  
Laboratorium 500 1  
Ruang praktek komputer. 500 1 atau 2  
Ruang laboratorium 300 1 atau 2  
bahasa.

Jimmy S. Juwana 429


Temperatur warna
Tingkat Kelompok
Fungsi ruangan pencahayaan renderasi Warm Warm white Cool
(Lux) warna <3300 3300Kelvin Daylight >
Kelvin ~5300Kelvin 5300Kelvin
Ruang guru 300 1 atau 2  
Ruang olahraga 300 2 atau 3  
Ruang gambar 750 1  
Kantin 200 1  
Hotel dan restauran:
Ruang resepsionis dan 300 1 atau 2  
kasir
Lobi 350 1  
Ruang serba guna 200 1  
Ruang rapat 300 1  
Ruang makan 250 1  
Kafetaria 200 1  
Kamar tidur 150 1 atau 2 
Koridor 100 1  
Dapur 300 1  
Rumah sakit/balai pengobatan:
Ruang tunggu 200 1 atau 2  
Ruang rawat inap 250 1 atau 2   
Ruang operasi, ruang
300 1   
bersalin
Laboratorium 500 1 atau 2   
Ruang rekreasi dan
250 1   
rehabilitasi
Ruang koridor siang hari 200 1 atau 2   
Ruang koridor malam
50 1 atau 2   
hari
Ruang kantor staff 350 1 atau 2   
Kamar mandi & toilet
200 2 
pasien
Pertokoan/ruang pamer:
Ruang pamer dengan
obyek berukuran besar 500 1   
(misalnya mobil)
Area penjualan kecil 300 1 atau 2   
Area penjualan besar 500 1 atau 2   
Area kasir 500 1 atau 2   
Toko kue dan makanan. 250 1   
Toko bunga 250 1   
Toko buku dan alat tulis/
300 1   
gambar
Toko perhiasan, arloji 500 1   
Toko barang kulit dan
500 1  
sepatu
Toko pakaian 500 1  
Pasar swalayan 500 1 atau 2   
Toko mainan 500 1   

Jimmy S. Juwana 430


Temperatur warna
Tingkat Kelompok
Fungsi ruangan pencahayaan renderasi Warm Warm white Cool
(Lux) warna <3300 3300Kelvin Daylight >
Kelvin ~5300Kelvin 5300Kelvin
Toko alat listrik (TV,
radio/tape, mesin cuci 250 1 atau 2   
dan lain-lain)
Toko alat musik dan
250 1   
olahraga
Industri (umum) :
Gudang 100 3  
Pekerjaan kasar 200 2 atau 3  
Pekerjaan menengah 500 1 atau 2  
Pekerjaan halus 1.000 1  
Pekerjaan amat halus 2.000 1  
Pemeriksaan warna 750 1   
Rumah ibadah:
Masjid 200 1 atau 2   
Gereja 200 1 atau 2   
Vihara 200 1 atau 2   
Sumber: SNI 6197:2011
Catatan: Tanda  artinya dapat digunakan.
Kelompok renderasi warna (pengaruh warna):
1 – Ra indeks 81% - 100%.
2 – Ra indeks 61% - 80%.
3 – Ra indeks 40% - 60%.
4 – Ra indeks < 40%.

d. Iluminans dan Beban Pencahayaan Terpasang

Iluminans dan beban pencahayaan terpasang per m2 diharapkan mencpai


target acuan seperti pada Tabel 10.4.
Tabel 10.4. Iluminans dan Beban Pencahayaan Terpasang
Nilai beban pencahayaan sebagai pedoman
Nilai iluminans
nominal (Lux) Standar (W/m2) Target acuan (W/m2)

50 3,2 2,5
100 4,5 3,5
300 10,0 7,5
500 15,0 11,0
750 20,0 16,0
1.000 25,0 21,0
Sumber: SNI 6197:2011

Jimmy S. Juwana 431


e. Sumber Cahaya Penerangan Buatan

Dalam bangunan digunakan berbagai ragam lampu. Secara umum lampu-


lampu digolongkan atas lampu pijar, lampu fluoresen (lampu neon), lampu metal
halida, lampu merkuri dan lampu sodium.

Lampu-lampu tersebut dibedakan atas:


1) konstruksi dan cara bekerjanya;
2) persyaratan untuk menyalakannya (seperti menggunakan balast);
3) mutu cahaya yang dihasilkan oleh lampu, termasuk warna cahaya;
4) efisiensi, yang umumnya dinyatakan dalam perbandingan antara lumen dan
watt;
5) usia operasional lampu;
6) depresiasi cahaya yang dipancarkan sehubungan dengan usia
penggunaan; dan
7) ragam daya lampu (watt) dan konfigurasinya pada penggunaan.

1) Lampu Pijar (Lampu Tungsten)

Lampu pijar mempunyai efficacy (Q) yang rendah, sehingga biayanya


menjadi tinggi. Namun dari segi arsitektural, lampu pijar dapat menonjolkan
unsur dekoratif sehingga sering digunakan sebagai lampu sorot.

Lampu pijar mempunyai banyak ragam (Gambar 10.22), antara lain: lampu
pijar standar, lampu halogen (MR) dan lampu dengan reflektor, dan
mempunyai rentang daya antara 5 – 500 Watt. Khusus untuk lampu halogen
kecil mempunyai daya antara 4 – 40 Watt, sedang yang besar mempunyai
daya antara 200 – 2.000 Watt.

.
Sumber: Dadras, 1995 & Hall, 1994 – dimodifikasi

Gambar 10.22. Berbagai Jenis Lampu Pijar

Jimmy S. Juwana 432


Pada lampu pijar cahaya dihasilkan akibat panas yang dihasilkan oleh
filamen. Makin panas filamen, makin efisien lampu pijar tersebut. Jika
filamen menimbulkan panas yang berkelebihan, maka akan berakibat
berkurangnya usia lampu pijar.

Ada beberapa hal yang mengurangi efisiensi dalam mengkonversikan


energi listrik menjadi cahaya; dari 100% daya yang diterima oleh filamen:

a) 72% menjadi panas yang diakibatkan oleh sinar infra merah


b) 18% menjadi radiasi panas
c) 6% – 12% menjadi cahaya

Suhu lampu berkisar antara 37o – 260o C dan biasanya menghasilkan suhu
cahaya sekitar 2700o – 3200o K.

Lampu sorot eksternal (flood light) digunakan untuk penerangan suatu objek
(biasanya berupa papan reklame atau gedung). Kesan yang diperoleh dari
sorotan lampu ini tergantung pada posisi sumber cahaya terhadap objek,
posisi sumber cahaya terhadap pengamat dan posisi objek terhadap
pengamat.

Lampu sorot juga ada yang digunakan untuk keperluan interior (spot light),
yang biasanya digunakan pada etalase toko dan ruang pameran (galeri)
untuk menyinari benda atau lukisan tertentu. Lampu sorot ini ada yang
berupa lampu halogen. Lampu halogen ini banyak digunakan karena
bentuknya kecil, tidak ada kerlip cahaya (flicker), usia pemakaiannya lebih
lama, colour rendering-nya tinggi, warnanya sejuk dan dapat berfungsi
sebagai lampu dekorasi serta memberikan kesan mewah.

Lampu jenis lain yang sering digunakan adalah lampu gas yaitu lampu yang
dapat diisi dengan bermacam-macam gas sehingga menimbulkan efek
warna:

a) Gas neon menimbulkan warna jingga atau merah


b) Gas helium menimbulkan warna putih
c) Gas natrium menimbulkan warna putih
d) Gas xenon menyamai cahaya matahari
e) Campuran gas neon, argon dan uap air raksa menimbulkan warna biru

2) Lampu Fluoresen

Lampu fluoresen (lampu TL/TLD, PL dan SL) mempunyai efficacy tinggi,


sehingga biayanya rendah. Di samping itu, lampu ini memberikan suasana
sejuk dan dapat memantulkan warna benda seperi aslinya. Oleh karenanya,

Jimmy S. Juwana 433


lampu jenis ini baik digunakan untuk penerangan umum. Penggunaan
lampu TL lebih disukai dibandingkan dengan lampu pijar, karena:

a) menghasilkan 3 – 5 kali lumen per Watt


b) usia lampu 7 – 20 kali lampu pijar
c) menghasilkan panas yang lebih kecil
d) dapat tetap beroperasi pada suhu rendah, sampai – 28o C
e) suhu lampu maksimal 40o C

Lampu TL/TLD mempunyai daya antara 10 – 60 Watt, lampu PL mempunyai


daya antara 5 – 36 Watt, sedang lampu SL mempunyai daya 9 Watt, 13
Watt, 18 Watt, dan 25 Watt. Lampu fluoresen memiliki banyak ragam dan
bentuk sebagaimana terlihat pada Gambar 10.23.

Distribusi energi yang dikeluarkan oleh lampu fluoresen, kira-kira:

a) 20% menjadi radiasi ultra ungu


b) 30% menjadi panas infra merah
c) 40% menjadi radiasi panas
d) 5% menjadi cahaya

Sumber: Dadras, 1995 & Hall, 1994 – dimodifikasi

Gambar 10.23. Berbagai Jenis Lampu Fluoresen

Lampu fluoresen berisi gas neon, natrium, uap air raksa, helium dan argon.
Lampu TL (tube light) menggunakan uap air raksa yang mengeluarkan sinar
ultra ungu. Karena memberikan sinar menyebar, maka bayangan-bayangan

Jimmy S. Juwana 434


yang keras dapat dihindarkan. Salah satu kelemahannya adalah sangat
buruk jika daya listrik mempunyai tegangan yang rendah. TL dengan katode
dingin membutuhkan voltage yang tinggi, karenanya dibutuhkan
transformator untuk menstabilkan tegangan listrik, sedang TL katode panas
membutuhkan balast.

3) Lampu Metal Halida, Merkuri dan Sodium

Lampu jenis ini cocok untuk penerangan di luar bangunan. Lampu Metal
Halida mempunyai daya antara 250 – 2000 Watt, Lampu Merkuri
mempunyai daya antara 50 – 1000 Watt, dan Lampu Sodium tekanan tinggi
mempunyai daya antara 70 – 2000 Watt (Gambar 10.24), sedang Lampu
Sodium tekanan rendah mempunyai daya antara 18 – 180 Watt.

Sumber: Dadras, 1995 & Hall, 1994 – dimodifikasi

Gambar 10.24. Lampu Metal Halida, Merkuri dan Sodium

4) Lampu Light-emitting Diode (LED)

Pada dasarnya LED adalah suatu komponen listrik yang mengeluarkan


cahaya jika ada aliran listrik satu arah dari anoda (postif) ke katoda (negatif)
seperti pada Gambar 10.25. Sedang bentuk penampilannya dapat
berbentuk seperti bola lampu pada umumnya.

Jimmy S. Juwana 435


Gambar 10.25. Komponen Lampu LED

Jika lampu compact fluorescent (CFL) memerlukan 60 Watt untuk


menghasilkan 800 lumen, lampu LED hanya memerlukan 10 Watt untuk
menghasilkan 800 lumen.

Perbandingan jika akan mengganti lampu jenis lain dengan lampu LED:

a) Lampu pijar 60 Watt dapat diganti dengan compact fluorescent (CFL)13


Watt, atau lampu LED yang 10 Watt.
b) Lampu sorot kecil R20 50 Watt yang sering digunakan untuk jalan
setapak, dan lampu taman (yang ditanam) dapat diganti dengan lampu
LED R20 yang 8 Watt.
c) Lampu voltage rendah MR16 50 Watt yang umumnya dijumpai hanya di
jalan setapak dapat dikonversikan dengan lampu LED MR16 yang 7
Watt untuk mengurangi panas yang ditimbulkan.
d) Lampu sorot besar BR30 65 atau 75 Watt yang dipasang dalam atas
dapat diganti dengan lapu sorot LED yang 14 Watt.

Lampu LED memiliki bentukyang sama dengan lamu pijar atau lampu CLF
dan memiliki usia manfaat yang dapat mencapai 25.000 jam.

Karakteristik dari berbagai jenis lampu dapat dilihat pada Tabel 10.5, sedang
kaitan kuat penerangan yang ingin dicapai dengan jenis lampu yang dapat
digunakan seperti yang ada dalam Tabel 10.6.

Tabel 10.5. Karakteristik Jenis-Jenis Lampu


Suhu Bentuk
Jenis Ra/ Tampilan Usia Lampu Efikasi Posisi Luminansi
Warna &
Lampu CRI Warna [Jam] [lumen/W] Nyala [lilin/m2]
[oKelvin] Ukuran
Pijar 3.000 100 Prima 1.000 12– 15 Bebas 700 kecil bulat
sangat
Haloen 3.000 100 Prima 1.000 – 2.000 15 – 25 Bebas 1.500
kecil

Jimmy S. Juwana 436


Suhu Bentuk
Jenis Ra/ Tampilan Usia Lampu Efikasi Posisi Luminansi
Warna &
Lampu CRI Warna [Jam] [lumen/W] Nyala [lilin/m2]
[oKelvin] Ukuran
Reflektor 100 Prima 750 10 – 14 Bebas 1.000 kecil bulat
W: 3000 kecil
8.000 –
TL/TLD C : 4000 60 – 90 Prima
15.000
40 – 105 Horizontal 0,4 – 1,2 memanja
D : 6000 ng
W: 3000
PL C : 4000 60 – 90 Prima 8.000 70 – 90 Bebas 2 kecil
D : 6000
SL Day Light 60 – 90 Prima 8.000 50 – 90 Bebas 1,5 kecil
Bebas
Sedang Sedang
(kecuali
Merkuri 5.000 20 – 40 (ada yang 24.000 30 – 50
lampu
460 (ada yang
biru) 12)
blended)
Metal Sedang
8.000 –
Halida 5.000 65 Baik
10.000
75 – 80 Horizontal 600 (ada yang
14)
Sodium
Horizontal
Tek.Rendah 3.000 25 Buruk 18.000 70 – 180
& 150o
10 Sedang

Sodium Sedang 600 (ada


3.000 25 24.000 60 – 110 Bebas Besar
Tek.Tinggi (kuning) yang 25)
W: 3.500 Kecil
LED C: 5.000 99 Prima 40.000 70 Bebas bervariasi sampai
D: 8.300 besar
Sumber: SNI
6197:2020
Catatan:
TL : lampu neon (Tube Light)
W : Warm , C : Cool, D : Day Light
Blended : lampu merkuri tanpa ballast (trafo)

Warm light (2700k – 3000k)


Cahaya hangat, cahaya kekuningan menghasilkan perasaan santai, nyaman, intim
dan personal, mendekati lampu pijar. Suhu cahaya yang hangat cocok untuk rumah
tinggal, perpustakaan, hotel, took retail, dan restoran.

Cool light (3500k – 4100k)


Cahaya sejuk memberikan suasana bersahabat, mengundang, tidak mengesankan
adanya ancaman, rapih, bersih dan efisien. Cahaya ini lebih terang dibandingkan
dengan lampu pijar putih (cool white) dan suhu cahaya yang sejuk cocok untuk
kantor eksekutif, areal resepsionis, supermarket, ruang kelas, dan ruang peragaan
(showroom).

Daylight (5000k – 6500k)


Cahaya ini putih kebiruan seperti pada saat siang hari yang berawan. Cahaya ini
cocok untuk membaca dan cahaya untuk memfokuskan sesuatu (accent light).
Lampu dengan cahaya terang cocok untuk toko perhiasan, rumah sakit, salon
kecantikan, galeri dan museum.

Jimmy S. Juwana 437


Tabel 10.6. Kuat Penerangan dan Jenis Lampu
Fungsi
Kuat Penerangan
Bangunan Nama Ruangan Jenis-Jenis Lampu
[lux]
Gedung
TL, Down Light, Lampu
Ruang Kerja 250 – 350 PL, SL atau Lampu Pijar,
LED
Kantor TL, Down Light, CFL,
Komputer 500
LED
Ruang Gambar TL, Down Light, CFL,
1000
Ruang Serba Guna LED
Ruang Makan TL, Down Light, TL
Ruang Tamu 120 – 150 Bulat, Lampu Dekoratif,
Ruang Kerja CFL, LED
Hunian Km Tidur Orang Tua TL, Down Light, TL
250
Km Mandi, Dapur Bulat, CFL, LED
Ruang Cuci TL. Down Light, CFL,
120
Km Tidur Anak LED
TL, Down Light, CFL,
Km Tidur, Restoran 120
LED
TL, Down Light, CFL,
Hall, Lobby 250 – 350
LED
Hotel
Lampu Pijar Dekoratif,
Restoran Cepat Saji
CFL, LED
TL, Down Light, CFL,
Dapur 500
LED
Pameran Lampu Sorot Halogen,
250 TL, Down Light, Lampu
Ruang Penjualan
Merkuri, LED
TL, Down Light, Lampu
Toko Pusat Perbelanjaan 500 Pijar Dekoratif, CFL,
LED
Lampu Sorot Halogen,
Etalase Toko 1.000 TL, Down Light, Merkuri,
LED
TL, Down Light, CFL,
Km Tidur Pasien 120
LED
TL, Down Light, Lampu
Rumah Sakit Hall, Ruang Tunggu 250 Halogen & Merkuri, CFL,
LED
Laboratorium, Ruang TL, Down Light, Lampu
1.000
Operasi Sorot Halogen
TL, Down Light, Lampu
Basemen, Gudang,
100 – 150 Pijar, Lampu Baret, CFL,
Umum Tangga, Teras, WC
LED
Koridor 150 – 250 Down Light, CFL.

Jimmy S. Juwana 438


Fungsi
Kuat Penerangan
Bangunan Nama Ruangan Jenis-Jenis Lampu
[lux]
Gedung
Ruang dengan
Langit- Langit
Gantung/Miring
Parkir, Penerangan Lampu Halida, Merkuri,
150 – 250
jaan Natrium, LED

f. Distribusi Cahaya

Distribusi cahaya terdiri dari cahaya langsung, tidak langsung dan baur atau
menyebar (diffuse), sebagaimana terlihat pada Gambar 10.26.

Sumber: Dadras, 1995 & Hall, 1994 – dimodifikasi

Gambar 10.26. Distribusi Cahaya

Distribusi cahaya disebut langsung (direct lighting) bila 100% cahaya mengarah
ke bawah, dan sebaliknya disebut tidak langsung (indirect lighting) jika 100%
cahaya mengarah ke atas. Distribusi di antara 100% mengarah ke atas dan
100% mengarah ke bawah disebut cahaya baur/menyebar.

Jimmy S. Juwana 439


Distribusi cahaya sebagian tidak langsung (semidirect lighting) sekitar 60% -
90% cahaya mengarah ke atas dan hanya sekitar 10% - 40% cahaya yang
mengarah ke bawah. Pada distribusi cahaya langsung tidak langsung (direct
indirect lighting) cahaya yang mengarah ke atas dan ke bawah berimbang
(sekitar 50% mengarah ke atas dan 50% mengarah ke bawah).
Warna langit-langit dan dinding akan mempengaruhi pantulan cahaya:

1) warna putih dan mengkilap akan memantulkan cahaya sekitar 80%


2) warna hitam (tidak mengkilap) tidak memantulkan cahaya
3) warna antara hitam dan putih akan memantulkan cahaya sesuai tingkat
kecerahan dan kondisi tekstur permukaan bahan.

Penempatan lampu dengan berbagai jenis reflektor akan menyebabkan


perbedaan arah cahaya yang dihasilkan (Gambar 10.27), demikian pula halnya
dengan penggunaan kisi-kisi (diffuser) atau kap lampu.

Sumber: Dadras, 1995 & Hall, 1994 – dimodifikasi

Gambar 10.27. Berbagai Konfigurasi Reflektor Lampu

10.2. Perancangan Kebutuhan Daya Listrik

Kebutuhan daya listrik suatu bangunan ditentukan berdasarkan fungsi


bangunan yang dikaitkan dengan perlengkapan/peralatan bangunan yang
digunakan.

Jimmy S. Juwana 440


Kebutuhan daya listrik pada bangunan dialirkan melalui panel-panel listrik yang
dibedakan, antara lain untuk penerangan, untuk transportasi dalam gedung, tata
udara, tata suara, sistem alarm, dan pengisian batere untuk keperluan darurat.

10.2.1. Kebutuhan Daya Listrik untuk Penerangan

Daya listrik untuk penerangan, sangat tergantung dari fungsi bangunan/ruangan


serta jenis lampu yang digunakan, yang perkiraannya dapat dilihat pada Tabel
10.7.

Tabel 10.7. Tabel Penggunaan Kuat Penerangan dan Intensitas Daya

Daya pencahayaan maksimum (W/m2)


Fungsi
(termasuk rugi-rugi ballast)
Ruangan
Rumah tinggal :
Teras 3
Ruang tamu 5
Ruang makan 7
Ruang kerja 7
Kamar tidur 7
Kamar mandi 7
Dapur 7
Garasi 3
Perkantoran :
Ruang resepsionis 13
Ruang direktur 13
Ruang kerja 12
Ruang komputer 12
Ruang rapat 12
Ruang gambar 20
Gudang arsip tidak aktif 6
Ruang arsip aktif 12
Ruang tangga darurat 4
Ruang parkir 4
Lembaga pendidikan :
Ruang kelas 15
Perpustakaan 11
Laboratorium 13
Ruang praktek komputer 12
Ruang laboratorium bahasa 13
Ruang guru 12
Ruang olahraga 12
Ruang gambar 20
Kantin 8
Hotel dan restauran :
Ruang resepsionis dan kasir 12
Lobi 12
Ruang serba guna 8
Ruang rapat 10

Jimmy S. Juwana 441


Daya pencahayaan maksimum (W/m2)
Fungsi
(termasuk rugi-rugi ballast)
Ruangan
Ruang makan 9
Kafetaria 8
Kamar tidur 7
Koridor 5
Dapur 10
Rumah sakit/ balai pengobatan
Ruang tunggu 12
Ruang rawat jalan 10
Ruang rawat inap 12
Ruang operasi, ruang bersalin 10
Laboratorium 15
Ruang gawat darurat 15
Ruang tindakan 15
Ruang rekreasi dan rehabilitasi 10
Ruang pemulihan 8
Ruang koridor siang hari 9
Ruang koridor malam hari 3
Ruang kantor staf 10
Kamar mandi & toilet pasien 7
Pertokoan/ruang pamer :
Ruang pamer dengan obyek berukuran besar
13
(misalnya mobil)
Area penjualan kecil 10
Area penjualan besar 15
Area kasir 15
Toko kue dan makanan. 9
Toko bunga 9
Toko buku dan alat tulis/ gambar 9
Toko perhiasan, arloji 15
Toko barang kulit dan sepatu 15
Toko pakaian 15
Pasar swalayan 15
Toko mainan 15
Toko alat listrik (TV, radio/tape, mesin cuci
9
dan lain-lain)
Toko alat musik dan olahraga 9
Industri (umum) :
Gudang 5
Pekerjaan kasar 7
Pekerjaan menengah 15
Pekerjaan halus 25
Pekerjaan amat halus 50
Pemeriksaan warna 20
Rumah ibadah :
Masjid 10
Gereja 13
Vihara dan sejenisnya 10

Jimmy S. Juwana 442


10.2.2. Kebutuhan Daya Listrik untuk Transportasi Vertikal
Daya (P) adalah usaha persatuan waktu, sedang usaha adalah gaya dikalikan
jarak. Jadi daya diperlukan untuk satu buah lif untuk mengangkut satu orang
adalah:

Worg .h.U l Worg .U l .s


P  [HP] Persamaan 10.23.
t. 
di mana : W org adalah berat orang/penumpang [1 orang = 75 kg.]
h adalah jarak [m]
Ul adalah unbalanced load [Ul = 0,6]
t adalah waktu tempuh [detik]
s adalah kecepatan [m/detik]
 adalah efisiensi motor lif
 = 75% - 85% untuk gearless
 = 50% - 70% untuk geared
Daya listrik untuk keperluan Transportasi Vertikal (Lift) tergantung dari
kapasitas, kecepatan dan jumlah lantai yang dilayani:

0,6.m.Worg .s
P .0,746 [kW] Persamaan 10.24.

di mana : m adalah kapasitas lif

Dalam hal penggunaan lif lebih dari satu buah, maka daya listrik yang digunakan
dikalikan dengan faktor daya, sebagaimana tertera pada Tabel 10.8.
Tabel 10.8. Faktor Daya untuk Penggunaan Lif
Motor Faktor Daya
Motor Lif Terbesar 125% Beban Penuh
Motor Lif Terbesar Kedua 75% Beban Penuh
Motor Lainnya 50% Beban Penuh
Untuk keperluan kelompok beban ini, arus beban
penuh suatu motor lif berarti arus dari suplai pada
saat mengagngkat beban pengenal maksimum
pada kecepatan pengenal maksimum
Sumber: PUIL, 2011

Sedang untuk eskalator diperkirakan diperlukan daya sekitar 10 –15 HP per unit
(1 HP = 0,746 kilo Watt).

Jimmy S. Juwana 443


10.2.3. Kebutuhan Daya Listrik untuk Sistem Tata Udara

Sistem tata udara, membutuhkan beban pendingin yang dinyatakan dalam ton
refrigeran (TR), dan disesuaikan dengan fungsi bangunan, sehingga daya listrik
yang dibutuhkan:

1.TR  12000.BTU  1,5.PK  1,12.KWatt Persamaan 10.25.

10.2.4. Kebutuhan Daya Listrik untuk Kondisi Darurat


Untuk keperluan pompa air dan pemadam kebakaran, diperhitungkan sebesar
5 Watt/m2.

Di samping itu, pada saat terjadinya pemadaman listrik diperlukan daya listrik
darurat berupa tenaga Generator Set (Genset), dengan kapasitas:

a. kantor : sekitar 40% - 50% kebutuhan daya listrik;


b. Apartemen : sekitar 20% - 30% kebutuhan daya listrik; dan
c. hotel/rumah sakit : sekitar 40% - 60% kebutuhan daya listrik.

Untuk kebutuhan komputer, biasanya digunakan UPS (Uninterupted Power


Supply) dengan daya sekitar 20% dari kapasitas Genset.

10.2.5. Kebutuhan Daya Listrik untuk Pompa Air


Kapasitas pompa ditentukan dari kebutuhan air pada jam puncak (Qh-maks):

0,163. 1,2.Qhmaks .H t
P [kW] Persamaan 10.26.

di mana :P adalah daya pompa [kW]


Qh-maks adalah kebutuhan air pada jam puncak [m3/menit]
 adalah efisiensi pompa [= 0,5 – 0,65]
Ht adalah tinggi angkat total [meter]

Sedang :

H t  1,3.h. n  [meter] Persamaan 10.27.

di mana : h adalah jarak lantai ke lantai


n adalah jumlah lantai
Selanjutnya:
Qh  maks 
c . Q  [m3/menit] Persamaan 10.28.
T

Jimmy S. Juwana 444


di mana : c adalah faktor pemakaian pada jam puncak [c = 1,5 – 2]
Q adalah kebutuhan air rata-rata per hari [m3]
T adalah jangka waktu pemakaian air rata-rata per hari [jam]

T = 8 – 10 jam, untuk kantor, hotel, Apartemen dan rumah sakit


T = 5 – 7 jam, untuk restoran, sekolah dan gedung pertemuan.

10.2.6. Kebutuhan Daya Listrik untuk Lain-Lain

Peralatan lain yang membutuhkan daya listrik, seperti untuk keperluan PABX,
sistem tata suara dan kipas udara relatif kecil.
Untuk kebutuhan ini diperkirakan: 2 Watt/m2.

Untuk memudahkan merinci keperluan daya listrik, analisis dapat menggunakan


Gambar 10.28 atau dapat menggunakan Borang Tabel Beban Listrik seperti
yang terlihat di Gambar 10.29, di mana secara rinci dapat diketahui Kapasitas
beban daya listrik yang diperlukan dan kapasitas Genset yang perlu disiapkan
untuk back up daya listrik.

ANALISIS PERKIRAAN KEBUTUHAN DAYA LISTRIK

Nama Gedung
Lokasi
Fungsi

Kantor m2
Hotel m2
Hunian/Apartemen m2
Restoran/Toko m2
Perbelanjaan m2
Basement/Hall m2
Parkir m2
Lainnya: m2
Total Luas m2

Penerangan:
Kantor Watt/m2 Watt
2
Hotel Watt/m Watt
2
Hunian/Apartemen Watt/m Watt
2
Restoran/Toko Watt/m Watt
2
Perbelanjaan Watt/m Watt
Basement/Hall Watt/m2 Watt
2
Parkir Watt/m Watt
JimmyLainnya:
S. Juwana 2
Watt/m Watt 445
Total Watt/m2 Watt
Transportasi Vertikal:
Kapasitas Lif m= orang kg
Kecepatan lif s= m/detik
Jumlah Lif N= unit
Jumlah lantai dilayani n= lantai
Efisiensi motor lif h=
Faktor daya
Daya listrik untuk Lif Watt
Lebar eskalator b= m
Panjang Eskalator L= m
Jumlah Eskalator N= unit
Kecepatan Eskalator s= m/detik
Daya listrik untuk eskalator Watt
Total Watt
Kondisi Darurat:
Kantor Watt
Apartemen Watt
Hotel Watt
Total Watt
Pemanas Air dan Pompa:
3
Konsumsi air Q= m /detik
Jarak lantai ke lantai h= m
Jumkah lantai n= lantai
Tinggi angkat total Ht = m
Efisiensi Pompa h=
Total Watt
Lain-lain:
Plug Load Watt/m2 Watt
2
Lainnya: Watt/m Watt
Total Watt
Total Kebutuhan Listrik Watt

Gambar 10.28. Kertas Kerja Analisis Kebutuhan Daya Listrik

Jimmy S. Juwana 446


CONTOH TABEL BEBAN ELEKTRIKAL BANGUNAN TINGGI

BEBAN TERPASANG [Watt] BEBAN MAKSIMUM [Watt]


DEMAND GENSET
LANTAI NO NAMA PANEL KETERANGAN
GENSET FACTOR PLN GENSET
PLN ON FIRE ON
ON NORMAL ON FIRE
NORMAL
1 LIF A1 LIF ORG 1 1
LIF ORG 2 1
LIF ORG 3 1

2 LIF A2 LIF ORG 4 1


LIF ORG 6 1
LIF ORG 3 1

3 LIF BRG LIF BRG 1 1


LIF BRG 2 1
PRES. FAN 1
LANTAI ATAP

4 LIF FIRE LIF F 1 1


LIF F 2 1
PRES. FAN 1

5 POMPA BOOSTER 1

6 GONDOLA STOP KONTAK 1

7 ATAP 1 LAMPU & S K 0,70


TATA UDARA 0,85

8 ATAP 2 LAMPU & SK 0,70


TATA UDARA 0,85

JUMLAH

9 PP 20 A LAMPU & SK 0,70


MCB UNIT X 0,80

10 PP 20 B LAMPU & SK 0,70


MCB UNIT Y 0,80
LANTAI 20

11 PP T UDARA ZONA 1
ZONA 2

12 PP ALAT UTAMA ARUS UTAMA 1

JUMLAH

82 PP 1 A LAMPU & SK 0,70


MCB UNIT X 0,80

83 PP 1 B LAMPU & SK 0,70


MCB UNIT Y 0,80
LANTAI 1

84 PP T UDARA ZONA 1 0,85


ZONA 2 0,85

85 PP ALAT UTAMA ARUS UTAMA 1

JUMLAH

86 PP D A LAMPU & SK 0,70

87 PP D B LAMPU & SK 0,70


LANTAI DASAR

88 PP T UDARA LOBI 0,85

89 PP POMPA TRANSFER 1
SUMUR DALAM 1

90 PP ALAT UTAMA ARUS UTAMA 1

JUMLAH

TOTAL [Watt]
TOTAL [kVA]

BEBAN MAX DIBAGI DIVESITY FACTOR - PLN 0N 1 2 [kVA]


RAKAPITULASI BEBAN MAX DIBAGI DIVESITY FACTOR - GENSET 0N 1 2 [kVA]
IZIN SAMBUNGAN DAYA PLN kVA
BEBAN TRAVO kVA
BEBAN GENSET kVA

Sumber: Sutopo, 2020


Gambar 10.29. Borang Tabel Beban Daya Listrik

Jimmy S. Juwana 447


10.2.7. Intensitas Konsumsi Energi (IKE)

Nilai ini merupakan hasil bagi antara besarnya energi yang digunakan oleh
bagunan pada periode waktu tertentu (Energi = Daya x Waktu) dengan satuan
luas bangunan, yang dinyatakan dalam satuan kWh/m2.tahun.

Rata-rata penggunaan untuk berbagai fungsi bangunan dapat dilihat pada Tabel
10.9.

Tabel 10.9. Konsumsi Energi Rata-Rata

Fungsi Bangunan Gedung IKE [kWh/m2.tahun]


Kantor 246
Pertokoan 332
Hotel 307
Rumah Sakit 382

10.3. Ruang Panel Elektrikal dan Telepon

Ruang panel untuk jaringan elektrikal dan telepon harus disusun secara baik
agar memudahkan bagi keperluan pemeriksaan (Gambar 10.30).

Sumber: Allen & Iano, 2017 dimodifikasi

Gambar 10.30. Tipikal Ruang Panel

Jimmy S. Juwana 448


Untuk ruang distribusi jaringan Telepon dapat dilihat pada Tabel 10.10.

Tabel 10.10. Ukuran Tipikal Ruang Telepon

Luas Lantai Tipikal[m2] Dimensi Ruang [cm]


500 50 x 350
1.000 125 x 225
2.000 251 250

10.4. Sistem Proteksi Petir

Salah satu pesyaratan keselamatan bangunan gedung adalah adanya sistem


proteksi petir, terutama untuk bangunan tinggi yang puncaknya melebihi
ketinggian pohon dan/atau bangunan lain di sekitarnya.

Bangunan tinggi yang tidak dilengkapi oleh sistem proteksi petir dapat
berdampak pada kerusakan dan/atau kebakaran jika disambar petir.

10.4.1. Perlengkapan dan Peralatan Sistem Proteksi Petir

Petir merupakan kejadian alam yang selalu melepaskan muatan listrik ke bumi
tanpa dapat dikendalikan dan menyebabkan kerugian harta benda dan
kematian pada mahluk hidup. Untuk menghindari/mengurangi kerugian yang
disebabkan oleh petir, maka jika digunakan suatu sistem perlindungan yang
tepat, dapat dihindari/dibatasi kerugian yang disebabkan oleh petir baik berupa
kebakaran maupun kehancuran/kerusakan jaringan listrik dan peralatan
elektronik.

Prinsip dasar dari sistem proteksi petir adalah untuk menyediakan jalur menerus
dari logam ke tanah pada saat terjadi sambaran petir pada bangunan.

Menurut SNI 03-6652-2002 tentang Tata Cara Perencanaan Proteksi Bangunan


dan Peralatan terhadap Sambaran Petir dan SNI 03-7015-2004 tentang Sistem
Proteksi Petir pada Bangunan Gedung, instalasi suatu sistem proteksi petir
dilakukan dengan komponen-komponen dan peralatan-peralatan yang secara
keseluruhan berfungsi untuk menangkap petir, dan menyalurkannya ke tanah.
Sistem tersebut dipasang sedemikian rupa sehingga semua bagian dari
bangunan beserta isinya, atau benda-benda yang dilindunginya terhindar dari
bahaya sambaran petir, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Jimmy S. Juwana 449


a. Tiang Penangkap Petir (lightning rods)

Penangkap petir adalah penghantar-penghantar di atas atap berupa elektroda


logam yang dipasang tegak, dan elektroda logam yang dipasang mendatar.
Tiang-tiang dari logam dan logam lainnya yang dapat dimanfaatkan sebagai
penangkap petir.

Terminal udara (air teminal) umumnya terdiri dari tiang pendek (finial) yang
biasa dipasang pada bangunan atap datar dan menggunakan sistem proteksi
petir konvensional, sangkar Faraday (Gambar 10.31). Selanjutnya, lokasi
penempatan ujung finial diperoleh dengan menggunakan analisis bola
bergulir/gelinding.

Sumber: Anggoro, 2016 dimodifikasi

Gambar 10.31. Skematik Sistem Proteksi Petir Sangkar Faraday

b. Pemotong Arus Petir (lightning arresters)

Digunakan untk mencegah kerusakan pada peralatan listrik, elektronik dan


telepon, termasuk sebagai proteksi petir internal (Gambar 10.32).

Jimmy S. Juwana 450


Sumber: Dadras, 1995

Gambar 10.32. Pemotong Arus Petir (Lightning Arresters)

c. Penghantar Penyalur Arus Petir (lightning conductors)

Penghantar penyalur (conductor) terbagi dalam penghantar penyalur utama dan


penghantar penyalur pembantu yang terbuat dari logam yang menghubungkan
penangkap petir ke sistem pembumian (grounding system).

Penghantar penyalur utama adalah penghantar dari logam dengan ketentuan


luas penampang, jenis bahan dan lain-lain yang disyaratkan, dan berfungsi
utama untuk menyalurkan arus petir ke tanah. Penghantar diletakkan secara
mendatar disebut penghantar penyalur datar (horizontal conductor) dan jika
dipasang secara tegak disebut sebagai penghantar penyalur tegak (vertical
conductor).

Penghantar pembantu adalah semua penghantar lain seperti pipa air hujan dari
logam, konstruksi-konstruksi logam dan lain-lain yang dimanfaatkan sebagai
pembantu penyalur arus petir.

Penghantar hubung adalah penghantar dari logam yang menghubungkan


masing-masing penangkap petir atau dengan bagian-bagian logam di dalam
dan di luar bangunan atau dengan penghantar-penghantar lain yang ada di atas
tanah.

Jimmy S. Juwana 451


Berbagai penghantar arus kini dapat diperoleh di pasaran, dari yang berbentuk
kabel sampai yang pipih (copper tape), pejal maupun serabut (Gambar 10.33).

Gambar 10.33. Berbagai Jenis Conductor

d. Terminal Hubung (connectors atau fasteners)

Alat ini terdiri dari terminal hubung dan sambungan. Terminal hubung
merupakan suatu dudukan dari logam yang berfungsi sebagai titik hubung
bersama dari beberapa elektroda-elektroda pengebumian dan benda logam lain
yang akan ditanam dalam tanah (pembumian).

Sambungan adalah suatu konstruksi penyambung secara listrik antara


penangkap petir dengan penghantar dan antara penghantar dengan sistem
pengebumian. Sedang sambungan ukur adalah sambungan listrik antara
penghantar penyalur dengan pengebumian dengan cara penyambungan yang
dapat dilepas untuk mengukur besar tahanan penghantar dan tahanan
pembumian (Gambar 10.34).

Jimmy S. Juwana 452


Sumber: BS EN 50164 Series, 2000, 2002 dan 2006,

Gambar 10.34. Beberapa Jenis Terminal Hubung

e. Sistem Pembumian (grounding system)

Sistem pembumian adalah suatu sistem dengan elektroda-elektroda


pengebumian yang saling berhubungan dengan penghantar pengebumiannya,
berfungsi menyebarkan arus petir di dalam tanah. Hubungan elektroda-
elektroda pembumian dapat dengan melalui suatu terminal hubung.

Pembumian dapat berupa pita elektroda, batang elektroda (ground rod),


elektroda mendatar dan pembumian fondasi.

Jimmy S. Juwana 453


Pita elektroda adalah elektroda-elektroda berbentuk pita atau kawat-kawat
dengan tanpa mempertimbangkan luas penampangnya ditanam di dalam tanah.
Elektroda ini dapat berupa elektroda pita tunggal, menyebar atau melingkar.
Elektroda menyebar adalah beberapa elektroda berbentuk pita yang terpusat
pada suatu titik dan menyebar ke beberapa arah, sedang elektroda melingkar
adalah suatu elektroda yang ditanam di dalam tanah dan melingkari bangunan
yang dilindungi.

Batang elektroda adalah elektroda berbentuk batang di mana dapat berbentuk


pipa logam, batang logam bulat pejal/padat/masif atau pelat strip yang ditanam
di dalam tanah.

Pembumian mendatar adalah pembumian yang dapat berupa pelat, jaring kawat
dan lain-lain yang ditanam di dalam tanah dengan maksud untuk menghindari
terjadinya bahaya tegangan langkah (suatu tegangan pada permukaan tanah,
sehingga menyebabkan adanya beda potensial langkah, antara kaki manusia
dan kaki binatang).

Pada fondasi adalah pembumian memanfaatkan tulangan beton fondasi


sebagai penyebar arus petir ke dalam tanah.

Secara keseluruhan sistem proteksi petir dapat diperlihatkan pada Gambar


10.35.

Gambar 10.35. Sistem Proteksi Petir pada Bangunan Gedung

10.4.2. Metode Bola Bergulir/Gelinding (Rolling Sphere)

Metode ini yang paling umum digunakan yang mengacu pada SNI 03-6652-
2002 tentang Tata Cara Perencanaan Proteksi Bangunan dan Peralatan
terhadap Sambaran Petir dan SNI 03-7015-2004 tentang Sistem Proteksi Petir
pada Bangunan Gedung.

Jimmy S. Juwana 454


Sumber: Anggoro, 2016

Gambar 10.36. Metode Rolling Sphere

Bola fiktif dengan jari-jari 45 meter digelindingkan pada seluruh permukaan


struktur bangunan gedung, yang dianggap memiliki potensi yang sama untuk
disambar oleh petir (Gambar 10.36).

Struktur yang terkena bola diberi finial, sedangkan yang tidak terkena bola
berarti terlindungi dari sambaran petir.

Daerah yang terlindungi tergantung dari tinggi finial yang dipasang, Tabel 10.11
memperlihatkan jangkauan daerah yang terlindungi terkait dengan tinggi finial
yang dipasang dengan menggunakan sistem sangkar Faraday.

Jimmy S. Juwana 455


Tabel 10.11. Daerah yang Terlindungi

Sumber: lectrotech.co.za, 2020

Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam merencanakan dan


memasang sistem proteksi petir, antara lain:
a. keamanan secara teknis;
b. penampang hantaran-hantaran pembumian;
c. ketahanan mekanis;
d. ketahanan terhadap korosi;
e. bentuk dan ukuran bangunan yang dilindungi; dan
f. faktor ekonomis.

10.5. Persyaratan Instalasi Proteksi Petir pada Bangunan

Besarnya kebutuhan suatu bangunan akan perlunya suatu instalasi proteksi


petir, ditentukan oleh besarnya kemungkinan kerusakan serta bahaya yang
ditimbulkan bila bangunan tersebut disambar petir.

Jimmy S. Juwana 456


Besarnya kebutuhan tersebut dinyatakan dengan:

R  A B C  D E Persamaan 10.29.

di mana : A adalah macam struktur bangunan (Tabel 10.13)


B adalah konstruksi bangunan (Tabel 10.14)
C adalah tinggi bangunan (Tabel 10.15)
D adalah situasi bangunan (Tabel 10.16)
E adalah pengaruh kilat (Tabel 10.17)

Sedang Ketentuan R dinyatakan dalam Tabel 10.12.

Tabel 10.12. Perkiraan Bahaya Petir PARA

Nilai R Perkiraan Bahaya Pengamanan


< 11 Diabaikan Tidak Perlu
= 11 Kecil Tidak Perlu
= 12 Sedang Agak Dianjurkan
= 13 Agak Besar Dianjurkan
= 14 Besar Sangat Dianjurkan
> 14 Sangat Besar Sangat Perlu

Tabel 10.13. Macam Struktur Bangunan (A)

Penggunaan dan Isi Nilai Indeks


Bangunan biasa yang tak perlu diamankan, baik
– 10
bangunan maupun isinya
Bangunan dan isinya jarang dipergunakan, seperti
dangau di tengah sawah, gudang, menara atau 0
tiang metal
Bangunan yang berisi peralatan sehari-hari atau
tempat tinggal orang, seperti rumah tinggal rumah 1
tangga, toko, pabrik kecil, tenda atau stasiun KA
Bangunan atau isinya cukup penting, seperti menara
air, tenda yang berisi cukup banyak orang tinggal,
2
toko barang-barang berharga, kantor, atau pabrik,
gedung pemerintah, tiang atau menara non-metal
Bangunan yang berisi banyak sekali orang, seperti
bioskop, mesjid, gereja, sekolah, atau monumen 3
bersejarah yang sangat penting
Instalasi gas, minyak atau bensin, atau rumah sakit 5
Bangunan yang mudah meledak 15

Jimmy S. Juwana 457


Tabel 10.14. Konstruksi Bangunan (B)

Konstruksi Bangunan Nilai Indeks


Seluruh bangunan terbuat dari logam (mudah
menyalurkan listrik) 0
Bangunan dengan konstruksi beton bertulang,
atau rangka besi dengan atap logam 1
Bangunan dengan konstruksi beton bertulang
kerangka besi dan atap bukan logam. Bangunan 2
kayu dengan atap bukan logam
Bangunan kayu dengan atap bukan logam 3

Tabel 10.15. Tinggi Bangunan (C)

Tinggi Bangunan Nilai Indeks


sampai dengan 6 meter 0
sampai dengan 12 meter 2
sampai dengan 17 meter 3
sampai dengan 25 meter 4
sampai dengan 35 meter 5
sampai dengan 50 meter 6
sampai dengan 70 meter 7
sampai dengan 100 meter 8
sampai dengan 140 meter 9
sampai dengan 200 meter 10

Tabel 10.16. Situasi Bangunan (D)

Situasi Bangunan Nilai Indeks


Di tanah datar pada semua ketinggian 0
Di kaki bukit sampai tiga perempat tinggi bukit
1
atau di pegunungan sampai ketinggian 1.000 m
Di puncak gunung atau pegunungan dengan
2
ketinggian lebih dari 1.000 meter

Jimmy S. Juwana 458


Tabel 10.17. Pengaruh Kilat (E)

Hari Guruh per tahun Nilai Indeks


2 0
4 1
8 2
16 3
32 4
64 5
128 6
256 7
Catatan: untuk daerah DKI Jakarta dan sekitarnya
Nilai Indeks PARA: 75 – 100

Sistem pengamanan terbaik untuk bangunan atap datar (lazimnya bangunan


tinggi), terhadap sambaran petir adalah dengan prinsip sangkar Faraday
dengan penghantar-penghantar penyalur utama mendatar dipasang di bagian
teratas dari bangunan yang seolah-olah membentuk sangkar pelindung, untuk
melindungi bangunan tersebut dari sambaran petir.

Penghantar penyalur mendatar tersebut berfungsi sebagai penangkap petir


sehingga bagian-bagian lain dari atap bangunan akan terlindung. Jarak
maksimum antara setiap bagian dari atap bangunan dengan penghantar
mendatar terdekat adalah 7,50 m, atau jarak maksimum dua penghantar
mendatar yang sejajar adalah 15 m. Untuk memperbaiki 459ndustr Faraday ini,
perlu ditambahkan beberapa batang pendek (finial) pada bagian-bagian ujung,
sisi, bagian-bagian dari atap bangunan yang diperkirakan mudah disambar
petir. Finial-finial ini dihubungkan secara listrik dengan penghantar mendatar
yang terdekat. Untuk finial yang dipasang pada penghantar mendatar, jarak
maksimum antara dua finial yang berdekatan adalah 5 m dengan tinggi finial
minimum 20 cm.

Setiap bangunan paling sedikit harus mempunyai dua buah penghantar


penyalur petir, dan untuk bangunan dengan lebar lebih dari 12 m, diperlukan
paling sedikit empat buah penghantar penyalur petir, sedang untuk bangunan
yang lebih dari 20 meter diperlukan lagi tambahan sebuah penghantar penyalur
petir berikutnya untuk setiap mulai kelebihan panjang dari 20 m. Tambahan ini
cukup pada salah satu sisi saja, jika lebar bangunan kurang dari 12 m, tetapi
untuk lebar bangunan lebih dari 12 m harus dipasang pada kedua sisi
bangunan.

Adapun jenis dan ukuran terkecil dari sistem proteksi petir secara rinci dapat
dilihat pada Tabel 10.18.

Jimmy S. Juwana 459


Tabel 10.18. Jenis Bahan dan Ukuran Terkecil

Komponen Jenis Bahan Bentuk Ukuran Terkecil


Penangkap Petir:
Penangkap Petir
Tegak
pejal runcing 1 inci –
tembaga
- Kepala dan dudukan tembaga
pejal runcing
galvanis 1 inci dari pipa
aluminium pejal runcing 1 inci
silinder pejal
10 mm
tembaga
pita pejal 25 mm x 3 mm
pipa pejal 1 inci
-Batang Tegak baja galvanis
pita pejal 25 mm x 3 mm
silinder pejal
1 inci
aluminium
pita pejal 25 mm x 3 mm
silinder pejal
8 mm
tembaga
pita pejal 25 mm x 3 mm
silinder pejal
Penangkap Petir 8 mm
baja galvanis
Tiang Pendek
pita pejal 25 mm x 3 mm
silinder pejal
1/2 inci
aluminium
pita pejal 25 mm x 4 mm
silinder pejal
8 mm
tembaga
Penangkap Petir pita pejal 25 mm x 3 mm
Datar kabel pilin 50 mm2
silinder pejal 1/2 inci
baja galvanis
pita pejal 25 mm x 3 mm
silinder pejal
8 mm
tembaga
pita pejal 25 mm x 3 mm
Penghantar Penyalur kabel pilin 50 mm2
Utama silinder pejal 8 mm
baja galvanis
pita pejal 25 mm x 3 mm
silinder pejal 1/2 inci
aluminium
pita pejal 25 mm x 4 mm

Jimmy S. Juwana 460


Komponen Jenis Bahan Bentuk Ukuran Terkecil
silinder pejal
1/2 inci
tembaga
Elektroda Pembumian pita pejal 25 mm x 4 mm
silinder pejal 1/2 inci
baja galvanis
pita pejal 25 mm x 4 mm
Catatan: Petir di Indonesia 200.000 Ampere Sumber: Poerbo,
1992

Soal-Soal Latihan

1. Penggunaan energi listrik terbesar pada suatu bangunan umumnya


untuk keperluan pengkondisian udara. Upaya apa yang dapat dilakukan
untuk mengurangi pemborosan nergi.

2. Dalam bangunan tinggi ada berapa macam jaringan yang menggunakan


kabel, dan bagaimana cara membedakannya.

3. Jika tiap 50 m2 luas netto bangunan diperlukan satu pesawat ekstension,


maka dengan menggunakan bangunan kantor pada soal 4.3, berapa
banyak saluran ‘Telkom’ yang diperlukan, agar hubungan komunikasi
dengan telpon ke bangunan tersebut dapat berlangsung baik.

4. Dengan menggunakan kasus soal 4.3 berapa daya listrik yang


diperlukan untuk keperluan penerangan.

5. Berapa daya listrik yang diperlukan untuk lif untuk kasus soal 4.3.

6. Berapa daya listrik yang diperlukan untuk keperluan pengkondisian


udara pada soal 4.3.

7. Hitung kebutuhan daya listrik yang diperlukan untuk pompa pada soal
4.3.

8. Jika 60% kebutuhan daya listrik bangunan pada soal 4.3 disiapkan
cadangan listriknya, berapa besar kapasitas pembangkit listrik cadangan
(genset) yang perlu disediakan.

9. Sebutkan sistem proteksi petir yang digunakan untuk bangunan tinggi.

10. Berapa nilai R untuk kasus soal 4.3.

Jimmy S. Juwana 461


Daftar Kepustakaan dan Rujukan

… (2002); SNI 03-6652-2002 tentang Tata Cara Perencanaan Proteksi Bangunan dan
Peralatan terhadap Sambaran Petir, Badan Standardisasi Nasional, Jakarta.

… (2004); SNI 03-7015-2004 tentang Sistem Proteksi Petir pada Bangunan Gedung,
Badan Standardisasi Nasional, Jakarta.

…(2011); SNI 6197:2020 tentang Konservasi Energi pada Sistem Pencahayaan, Badan
Standardisasi Nasional, Jakarta.

…(2011); SNI 0226-7-701:2020 tentang Persyaratan Umum Instalasi Listrik (PUIL),


Badan Standardisasi Nasional, Jakarta.

… (2020); www. Lectrotech.co.za

… (2000, 2002, 2006); BS EN 50164 Series.

Allen E, & Iano J. (2017); The Ardchitect’s Studio Companion – Rules of Thumb for
Preliminary Design 6th Edition, John Wiley & Sons, Inc., New York.

Anggoro B., (2016); “Sistem Proteksi Petir Eksternal dan Internal pada Bangunan
Gedung Tinggi”, Jakarta.

Bovill C., (1991); Architectural Design – Integration of Structural and Environmental


Systems, Van Nostrand Reinhold, New York.

Cote A. E. (Editor), (2008); Fire Protection Handbook 12th Edition, National Fire
Protection Association, Quincy.

Dadras A. S. (1995); Electrical Systems for Architects, McGraw-Hill, Inc., New York.

Hall F. (1994); Building Services & Equipment 3rd Edition, Longman Scientific &
Technical, Essex.

Juwana J.S. (2005); Panduan Sistem Bangunan Tinggi untuk Arsitek dan Praktisi
Bangunan, Penerbit Erlangga, Jakarta.

McGuinness W J & Stein B. (1971); Mechanical and Electrical Equipment for Buildings
5th Edition; John Wiley & Sons, Inc., New Yok.

Poerbo H. (1992); Utilitas Bangunan. Penerbit Djambatan, Jakarta,

Sutopo A. S. (2021); “Pertimbangan Rancangan MEP”, Solo

Wujek J.B. & Dagostino F.R. (2010); Mechanical and Electrical Systems in Architecture,
Engineering, and Construction, Prentice Hall. Upper Saddle River.

Jimmy S. Juwana 462


BAB XI
TATA RUANG LUAR

“…Places matter. Their rules, their scale,


their design include or exclude civil
society, pedestrianism, equality,
diversity, understanding of where water
comes from garbage goes, consumption
or conservation. They map our live ...”

Rebecca Solnit

Lingkungan sekitar bangunan gedung merupakan bagian dari penataan yang


juga perlu mendapat perhatian, mengingat ruang terbuka hijau yang berada
dalam tapak/persil berfungsi sebagai penyanggah di antara jalan dan/atau
bangungan lain dengan bangunan gedung yang dirancang. Hal ini menjadi
lebih penting jika dalam satu tapak terdiri dari beberapa massa bangunan,
sehingga ruang di antara bangunan memerlukan penataan agar hubungan
antar bangunan dapat terhubung oleh taman, jalur pejalan kaki, dan jalan
lingkungan.

Penataan lansekap yang baik, bukan saja dapat memperbaiki mutu


lingkungan sekitar bangunan gedung, tetapi juga akan berdampak pada
tersedianya lahan hijau yang dapat menyerap air hujan.

11.1. Air dan Lingkungan

Bumi terdiri dari tanah dan air dengan perbandingan 28% daratan dan 72% air,
dan dari sekian banyak air yang ada, hanya 2,5% yang berupa air tawar yang
bisa diminum, sisanya berupa air asin atau air yang tidak/belum layak diminum.

11.1.1. Mutu Air

Sebagian besar bumi kita terdiri dari air, namun demikian hanya sebagian kecil
dari air yang ada itu dapat secara langsung dapat digunakan untuk hidup
manusia dan ketersediaan air yang bersih tergantung dari kondisi lingkungan
alam. Lingkungan alam di negara berkembang dan sedang berkembang,
khususnya di daerah perkotaan dan kawasan pemukiman yang baru dibuka
biasanya condong mengalami kerusakan. Kejadian ini diperburuk dengan
banyaknya pemukiman penduduk yang liar yang tumbuh secara acak, sporadis
dan tidak tertata.

Pada umumnya kawasan pemukiman ini tidak mempunyai pasokan air bersih
(dari Perusahaan Daerah Air Minum – PDAM) dan sistem sanitasi yang

Jimmy S. Juwana 463


memadai. Hal ini menyebabkan penduduk kawasan tersebut menggantungkan
pasokan air bersih dari sumur dangkal dan/atau sumur bor/alam, tanpa
menyadari bahwa akibat sistem sanitasi yang kurang baik, air bersih yang
dikonsumsikan tersebut tidak memenuhi persyaratan kesehatan, di satu pihak,
dan pemompaan air secara berlebihan dan tak terkendali akan menyebabkan
terjadinya kerusakan lingkungan.

Kerusakan lingkungan ini akan berdampak pada potensi ketersediaan air tanah,
khususnya jika pembangunan pemukiman itu terletak di daerah resapan air.
Hal-hal ini menyebabkan tanah kehilangan daya serap air, sehingga air hujan
yang turun tidak lagi dapat diserap oleh tanah, tetapi mengalir di permukaan
tanah menuju selokan atau sungai yang kemudian mengalir ke laut, yang
dikenal sebagai aliran air permukaan (overland flow atau run off).

Jika hal ini berlangsung untuk periode waktu yang cukup panjang akan
berakibat pada terjadinya erosi, banjir, longsor atau intrusi air laut, yang pada
akhirnya berdampak pada kondisi tanah yang kering dan tandus, sehingga pada
gilirannya akan mengganggu keseimbangan eko sistem yang berpengaruh
pada daur-ulang hidrologi (Gambar 11.1).

Di samping itu, akibat pemompaan air tanah yang berlebihan dapat berakibat
penurunan muka tanah, karena tanah yang sebelumnya terisi air, menjadi
kosong (berongga) dan akibat beban di atasnya, baik akibat kendaraan maupun
bangunan, tanah tertekan dan turun.

Khusus untuk daerah pemukiman padat, akibat parahnya sistem sanitasi,


banyak air yang berasal dari sumur dangkal telah terkontaminasi oleh bakteri
(coliform dan e-coli) yang biasanya banyak dijumpai dalam limbah rumah
tangga (limbah domestik), dan jika lokasi permukiman ini berdekatan dengan
kawasan industri, ada kemungkinan air sumur dangkal tersebut, yang
dikonsumsi oleh penduduk, sudah tercemar oleh limbah industri, yang biasanya
mengadung unsur logam berat (air raksa/Hg, timbal/Pb, dan lain-lain), intrusi air
laut serta unsur-unsur ‘polutan’ lainnya.

Jimmy S. Juwana 464


Sumber: https://www.researchgate.net/figure/The-hydrological-cycle_fig1_227365036, 2021

Gambar 11.1. Skema Daur-ulang Hidrologi

11.1.2. Polusi Air

Pencemaran air tanah adalah berubahnya tatanan air tanah di bawah


permukaan tanah oleh kegiatan manusia atau proses alam, sehingga mutu air
tanah menurun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tanah tersebut
tidak lagi sesuai dengan pemanfaatannya.

Proses pencemaran ini dapat disebabkan oleh pelarutan bahan limbah cair atau
padat di permukaan tanah dan peresapan air sungai, saluran atau kolam yang
telah tercemar airnya. Penyebab lain yang dapat mengakibatkan menurunnya
mutu air tanah adalah meningkatnya kegaraman air karena terjadinya
penyusupan air laut (air asin) ke dalam lapisan air tawar (intrusi air laut).

Ciri-ciri air yang tercemar tergantung dari jenis air dan unsur-unsur yang
mengakibatkan terkontaminasinya air (polutan-nya). Air yang terkena polusi
akan mengalami perubahan rasa, bau dan warna serta tanda-tanda lain yang
sukar untuk dideteksi tanpa melalui pemeriksaan laboratorium. Polutan dapat
berupa zat yang dapat menyebabkan penyakit (bakteri, virus, protozoa dan
cacing parasit), bahan-bahan parasit dan bahan organik yang larut dalam air,
seperti asam, garam, dan logam yang bersifat racun (timah dan merkuri/air
raksa).

Jimmy S. Juwana 465


Selanjutnya, jenis polutan air dapat digolongkan berdasarkan sifat-sifatnya:

a. padatan;
b. bahan buangan yang membutuhkan oksigen;
c. mikro-organisme;
d. komponen organik sintetik;
e. nutrien tanaman;
f. minyak;
g. sendawa an-organik dan mineral;
h. bahan radioaktif; dan/atau
i. panas.

Untuk menentukan tingkat polusinya, air diuji dalam laboratorium, yang


selanjutnya dilakukan analisis terhadap parameter air yang ada, seperti:

a. nilai pH;
b. suhu;
c. warna, bau dan rasa;
d. jumlah padatan (terendap, tersuspensi dan terlarut) dan kesadahan air
e. nilai Biochemical Oxygen Demand (BOD) dan Chemical Oxygen Demand
(COD);
f. pencemaran mikro-organisme patogen (bakteri);
g. kandungan minyak dan lemak;
h. kandungan logam berat (Hg, Pb, As, Cd, Cr dan Ni); dan
i. kandungan bahan radioaktif

Pola kebiasaan makan, mencuci, tingkat kepadatan penduduk, ketersediaan


sistem jaringan sanitasi dan air bersih, akan menentukan karakteristik limbah
rumah tangga (limbah domestik). Di samping itu, pembuangan sampah dan
limbah, ternak dan binatang peliharaan juga dapat mempengaruhi tingkat
pencemaran air.

Selanjutnya, fasilitas pengumpulan dan pembuangan limbah harus dikaitkan


dengan tersedianya sarana saluran, badan air penerima, dan dampak
penyebarannya. Hal ini dimaksudkan agar dapat dirancang sumur resapan yang
spesifik di mana kondisi lingkungan lokal dijadikan dasar acuannya.

Sumber dan proses pencemaran air tanah secara skematik dapat dilihat pada
Gambar 11.2. Pencemaran air oleh penduduk (limbah domestik) biasanya
berasal dari rembesan kakus (septic tank) atau saluran air kotor, yang ditandai
dengan tingginya kadar zat organik, BOD, COD, Mangan (Mn), Nitrat dan
adanya bakteri coli serta deterjen (surfaktan anion – MBAS).

Jimmy S. Juwana 466


Sumber: https://www.gdrc.org/uem/water/water-pollution.html

Gambar 11.2. Sumber dan Proses Kontaminasi Air Tanah

11.1.3. Sumur Resapan

a. Sumur Resapan Biasa (SRB)

Sebagai salah satu upaya untuk melestarikan air tanah adalah dengan
membuat sumur resapan yang berfungsi sebagai tempat untuk menampung dan
menyimpan curahan air hujan, sehingga dapat menambah kandungan air tanah.
PP nomor 16 tahun 2021, pembuatan sumur resapan (retention/detention well)
dan/atau kolam penampungan air hujan merupakan bagian dari pencegahan
terjadinya aliran permukaan (water run off). Pengelolaan air hujan dilakukan
dengan menentukan status wajib kelola air hujan.

Penempatan sumur resapan ditempatkan pada daerah yang tidak mudah


longsor dan/atau terjal, dan tidak dibuat pada lokasi timbunan sampah dan/atau
tanah yang mengandung bahan pencemar. Oleh sebab itu lokasi sumur resapan
diharapkan sejauh mungkin dari resapan septik tank dan hanya boleh diisi oleh
air hujan yang langsung atau melalui atap atau talang bangunan (Gambar 11.3).

Jimmy S. Juwana 467


Sumber: PP nomor 16, 2021.

Gambar 11.3. Alternatif Sumur Resapan Biasa

b. Sumur Resapan Dalam (SRD)

Sumur resapan dalam (Gambar 11.4) dibuat jika tanah di permukaan sudah
jenuh air, atau tanah merupakan lapisan kedap air, sehingga air dialirkan ke
dalam lapisan tanah di bawahnya yang memiliki potensi menyerap air.

Jimmy S. Juwana 468


Sumber: PP nomor 16, 2021.

Gambar 11.4. Sumur Resapan Dalam

c. Sumur Resapan Tirta Sakti (SRTS)

SRTS termasuk ke dalam kelompok SRD yang pembuatannya dapat dirangkai


dengan kotak filter (Gambar 11.5).

Perbedaan yang mendasar antara SRD dengan SRTS terletak pada optimasi
dan pendayagunaannya, serta manfaat yang diperolehnya. SRTS merupakan
sumur resapan yang dirancang berdasarkan kondisi setempat, sehingga SRTS
tidak dapat dibuat generik. Namun demikian secara prinsip SRTS mempunyai
kesamaan dalam gagasan dasar dan proses kerjanya.

SRTS dapat dirangkai dengan kotak filter (Gambar 11.6), sebagai bagian dari
sistem daur-ulang dari air kotor (black water), air buangan (grey water) menjadi
air bersih. Namun jika hanya digunakan sebgai bagian dari pengelolaan air
hujan, SRTS dapat dirangkai dengan embung atau kolam penampungan air
hujan.

Jimmy S. Juwana 469


Air kotor

Bak
Penampung

Kotak 'Tirta Sakti'

Lapisan tidak kedap air

Pipa
Lapisan tidak kedap air

Lapisan tidak kedap air

Lapisan tidak kedap air

Lapisan akifer
('Aquifer')

Sumber: Juwana & Sabri, 2001

Gambar 11.5. Sumur Resapan ‘Tirta Sakti’


Walaupun SRD (Gambar 11.4) telah dibuat secara benar, sumur ini hanya
berfungsi pada musim penghujan di mana pasokan air diperoleh dari curah
hujan yang kemudian mengalirkan air hujan melalui SRD ke lapisan tidak kedap
air di dalam tanah. Pada musim kemarau, di mana pasokan air hujan tidak ada,
lapisan yang tadinya terisi air kembali kosong, disebabkan oleh penguapan
dan/atau pemompaan sumur-sumur, sehingga akan mengakibatkan terjadinya
rongga-rongga di dalam lapisan tersebut dan berpotensi untuk diisi oleh air laut
(intrusi) atau kemungkinan terjadinya penurunan muka tanah, yang disebabkan
rongga-rongga di dalam tanah tertekan oleh beban di atasnya, baik yang
berasal dari bangunan maupun kendaraan.

Berbeda dengan SRD, pasokan air pada musim hujan, oleh SRTS mampu
dialirkan ke beberapa lapisan tanah di bawahnya, baik pada lapisan tidak kedap
air, maupun lapisan akifer (aquifer), sehingga permukaan tanah terhindar dari
genangan air yang diakibatkan oleh jenuhnya tanah permukaan dan/atau

Jimmy S. Juwana 470


perkerasan. Pada musim kemarau, di mana tidak ada/berkurang pasokan air ke
sumur resapan, digunakan air limbah rumah tangga (limbah domestik) yang
sudah disaring (difilter) untuk menggantikan pasokan air hujan. Proses filtrasi ini
dilakukan dengan menggunakan kotak ‘Tirta Sakti’, sebagai bagian integral dari
SRTS. Dengan demikian SRTS dapat berfungsi sepanjang tahun, baik pada
waktu musim hujan maupun pada musim kemarau, sehingga rongga-rongga
dalam lapisan tanah selalu terisi dan oleh karenanya intrusi air laut atau
penurunan tanah dapat dihindari.

Untuk menjamin agar air laut tidak mengisi rongga-rongga di dalam lapisan
tanah tidak kedap air dan/atau lapisan akifer, rancangan SRTS yang dilengkapi
dengan bak penampungan air tawar (yang telah difilter). Bak ini dimaksudkan
agar dapat menampung air dengan volume yang cukup besar sebelum dialirkan
secara vertikal melalui pipa yang diameternya jauh lebih lebih kecil
dibandingkan dengan diameter bak penampung di atasnya. Hal ini dimaksudkan
agar menghasilkan tekanan hidrostatik yang cukup tinggi pada pipa yang
dilubangi pada tempat di mana terdapat lapisan tanah tidak kedap air dan/atau
pada ujung pipa yang berada pada lapisan akifer di bawahnya. Tekanan ini
diperoleh akibat gaya gravitasi yang berasal dari berat sendiri air dalam bak
penampungan, yang besar tekanannya dan laju alirannya dapat dihitung
dengan menggunakan rumus-rumus hidrolika (hukum Bernoulli dan Darcy).
Tekanan air tawar yang keluar dari lubang pipa cukup besar untuk dapat
berpengaruh hingga radius tertentu dari pipa tersebut..

Rancangan SRTS spesifik untuk kondisi setempat, karenanya untuk


memperoleh pemanfaatan SRTS yang optimal diperlukan penyelidikan tanah
(soil investigation tests). Dari hasil contoh tanah (boring log) dapat diketahui
secara rinci jenis dan ketebalan lapisan tanah yang dibutuhkan untuk
menentukan koefisien rembesan tanah (pada lapisan tidak kedap air) beserta
kedalaman dan tebal lapisannya. Hal ini diperlukan untuk dapat menentukan
kedalaman pipa yang perlu dipasang, dimensi pipa dan jumlah serta besaran
lubang pada pipa. Selanjutnya, volume bak penampungan diperoleh dari data
tentang kebutuhan debit pasokan air, curah hujan rata-rata dan tingkat
penguapan pada musim kemarau. Kondisi limbah domestik, dalam hal ini yang
sudah berupa grey water, perlu dianalisis untuk menentukan rancangan kotak
(filter) ‘Tirta Sakti’, baik dalam penentuan jumlah bilik, dimensi kotak dan bahan
filter yang digunakan, serta dipastikan sudah memenuhi baku mutu limbah cair
sesuai ketentuan peraturan perundangan-undangan (Gambar 11.6).

Pencemaran air pada lapisan akifer harus dihindarkan, mengingat kontaminasi


air pada lapisan tanah ini dapat berdampak buruk di kemudian hari dan sangat
sulit untuk diperbaiki. Persyaratan mutu baku air limbah domestik didasarkan
pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia
nomor P.68/Menlhk/Setjen/Kum.1/8/2016, sedang persyaratan air bersih yang

Jimmy S. Juwana 471


digunakan adalah persyaratan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan
yang mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor
32 tahun 2017 tentang Baku Mutu Air Bersih.
.50 m .50 m .50 m .60 m

B B
inlet
atas
atas
.50 m

.50 m
7 6 1
bawah Pipa Pipa
Dia. Dia.
4" 4"
Bak CATATAN:
bawah bawah Kontrol
.25 m Posisi lubang inlet dan outlet dari kotak 1
.50 m

8 5 2 sampai kotak 9 makin menurun:


atas - posisi dasar lubang atas 1 = posisi atas lubang atas 2 ke 3
- posisi dasar lubang bawah 1 ke 2 = posisi dasar lubang bawah 3 ke 4
A A - dst.
DENAH FILTER
atas - Tentukan lebih dahulu titik tertinggi lubang atas inlet (dari bak
outlet atas & kontrol ke kotak 1)
.50 m

BAK KONTROL - Tentukan lebih dahulu titik trendah lubang bawah outlet (dari kotak
9 4 3 9 ke saluran distribusi)
bawah bawah .60 m
Pipa
Dia. .50 m .50 m .50 m
.50 m .50 m .50 m
4"

IJUK IJUK
Pipa inlet

.60 m
KERIKIL KERIKIL
agak
miring ke
PASIR PASIR atas

KERIKIL KERIKIL

IJUK IJUK
3 1
6 BAK KONTROL
1.50 m

4 7 Katup
ARANG AKTIF ARANG AKTIF

0.15 m
kuras
9 IJUK IJUK
Lumpur
KERIKIL KERIKIL

PASIR PASIR

KERIKIL KERIKIL

IJUK IJUK

POTONGAN A- A POTONGAN B - B

Gambar 11.6. Kotak Filter ‘Tirta Sakti’


Kotak Filter ‘Tirta Sakti’, berfungsi sebagai tempat untuk menyaring air
kotor/limbah rumah tangga (limbah domestik). Kotak filter ini terdiri dari
beberapa sekat yang saling berhubungan dengan kapasitas kotak antara 15 –
20 m3. Pada kotak filter ini, akibat adanya reaksi dan proses un-aerob, terjadi
akumulasi panas yang suhunya mencapai sekitar 50oC (thermophilic digestion).
Pada suhu sekitar 50oC konsentrasi oksigen yang terlarut menjadi sangat
rendah (5,6 ppm), sehingga membunuh mahluk hidup, termasuk bakteri coli
yang biasanya banyak terdapat dalam air limbah domestik.

Meskipun air hujan boleh secara langsung diserap ke dalam tanah, namun
mengingat di kota-kota besar yang penuh dengan kendaraan dan sampah yang
berpotensi bagi pencemaran air hujan yang ada dalam selokan, maka aliran air
hujan yang ada dalam selokan, jika hendak dialirkan ke dalam sumur resapan,
perlu melalui proses penyaringan yang dilakukan di dalam kotak filter ‘Tirta
Sakti’, agar mutu air yang masuk ke dalam tanah tidak tercemar. Pemeriksaan
atas mutu air perlu dilakukan, agar lapisan akifer tidak dicemari oleh unsur-
unsur yang dapat menyebabkan terkontaminasinya sumber daya air.

Jimmy S. Juwana 472


Pemeriksaan mutu air perlu dilakukan pada dua titik; pertama pada selokan
sebelum air dialirkan ke dalam kotak filter ‘Tirta Sakti’ (inlet), dan kedua pada
bilik terakhir kotak filter ‘Tirta Sakti’ (outlet) sebelum air tersebut dialirkan ke bak
kedua, yang merupakan bak penampungan, sebelum air tersebut ‘disuntikkan’
ke dalam lapisan tidak kedap air dan/atau lapisan akifer untuk memastikan
bahwa air yang akan dimasukkan ke dalam tanah sudah memenuhi ketentuan
baku mutu air limbah domestik (Tabel 11,1).

Tabel 11.1. Baku Mutu Air Limbah Domestik Tesendiri’

Parameter Satuan Kadar Maksimal*)


pH - 6–9
BOD mg/L 30
COD mg/L 100
TSS mg/L 30
Minyak & Lemak mg/L 5
Amonial mg/L 10
Total Coliform Jumlah/100mL 3.000
Debit L/orang/hari 100
Keterangan: Sumber; Permen LHK nomor P.68/2016
*) Rumah susun, penginapan, asrama, pelayanan kesehatan, lembaga
pendikan, perkantoran, perniagaan, pasar. Rumah makan, balai
permukiman, IPAL perkotaan, pelabuhan, bandara, stasiun kereta api,
terminal dan lembaga permasyarakatan,

Catatan: TSS = Total Suspended Solid

11.1.4. Penyaluran Air Hujan dan Sumur Resapan

Tata cara perencanaan sarana dan prasarana pengelolaan air hujan terbagi
menjadi dua cara sesuai dengan ketetapan status wajib kelola air hujan yang
diterbitkan oleh pemerintah daerah, yaitu:
a. perencanaan status wajib kelola air hujan persentil 95; dan
b. perencanaan status wajib kelola berdasarkan analisis hidrologi spesifik.

11.1.5. Tata Cara Perencanaan Sarana Pengelolaan Air Hujan

a. Curah hujan persentil 95

1) Tata cara perhitungan curah hujan persentil 95


a) Data curah hujan harian
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setempat
menyediakan informasi curah hujan harian untuk kepentingan analisis
curah hujan persentil 95. Informasi curah hujan bisa juga didapatkan
pada bandara lokal, universitas, instalasi pengolahan air, atau

Jimmy S. Juwana 473


fasilitas lain yang mempunyai kompetensi untuk mendata curah hujan
jangka panjang.

Format pelaporan data curah hujan bisa berbeda bergantung pada


sumber datanya. Secara umum, setiap catatan harus mempunyai
informasi sebagai berikut:
(a) lokasi (stasiun pemantau);
(b) waktu pencatatan (biasanya berupa waktu mulai dari waktu-
tahapan);
(c) total kedalaman curah hujan selama waktu-tahapan.

b) Perhitungan curah hujan persentil 95


Ada beberapa langkah dalam memproses data untuk menentukan
persentil curah hujan ke-95 dengan menggunakan lembar kerja.
Langkah-langkah tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1) Dapatkan data curah hujan harian yang dapat mewakili kejadian
curah hujan pada persil bangunan gedung yang bersangkutan
dengan rentang waktu minimal 10 tahun.
2) Masukan data curah hujan tersebut ke dalam lembar kerja.
3) Atur seluruh catatan curah hujan harian menurut urutan
kejadiannya (Tabel 11.2).

Tabel 11.2. Data Curah Hujan Harian (Minimum 10 Tahun)


Tanggal Curah Hujan Harian [mm]
01/01/1999 0,5
02/01/1999 6
03/01/1999 6
04/01/1999 9
05/01/1999 19
06/01/1999 0
07/01/1999 0
08/01/1999 0
09/01/1999 19
10/01/1999 16
11/01/1999 21
12/01/1999 29
--- dst
Sumber: PP nomor 16, 2021

Catatan:
- Hapus semua data yang kurang baik
(misal: data yang salah) dari set data
tersebut.

Jimmy S. Juwana 474


- Hapus semua data curah hujan kecil
(kurang dari 2,5 mm per hari)

Selanjutnya, curah hujan diurutkan dari yang terkecil, seperti contoh pada
Tabel 11.3.

Tabel 11.3.
Data Curah Hujan Harian di Atas 2,5 mm per Hari yang Telah Diurutkan

No. Tanggal Curah Hujan Harian [mm]


1 01/02/2004 2,5
2 23/02/2004 2,5
3 22/03/2005 2,5
4 22/03/2006 2,5
5 31/03/2007 2,5
6 24/11/2008 2,5
7 07/12/2008 2,5
8 03/06/2012 2,5
9 18/02/2003 2,6
10 05/12/1999 2,7
Dst
Sumber: PP nomor 16, 2021

Setelah curah hujan diurutkan, kemudian hitung ranking ordinal untuk


persentil 95 sebagai berikut:
95 1
n N Persamaan 11.1.
100 2

di mana: n adalah ranking ordinal untuk persentil 95


N adalah Jumlah data curah hujan pada dataset

Lakukan pembulatan terhadap n, kemudian cari kesesuaian hasilnya


pada kolom i dan tentukan tinggi curah hujan persentil 95 sebagai nilai
curah hujan pada baris yang sama. Persentil 95 telah dihitung pada
tahap sebelumnya. Disusun dalam tabel yang menunjukkan persentil
dibandingkan dengan kedalaman curah hujan (Tabel 11.4).

Tabel 11.4. Curah Hujan Harian Persentil 0% - 100%

Persentil Curah Hujan (mm)


0% 2.54
10% 2.79
20% 3.56
30% 4.32

Jimmy S. Juwana 475


Persentil Curah Hujan (mm)
40% 5.33
50% 6.60
60% 8.13
70% 10.16
80% 12.19
90% 18.03
93% 20.80
94% 22.35
95% 23.88
96% 26.92
97% 29.24
98% 31.45
99% 43.33
100% 69.34
Sumber: PP nomor 16, 2021

b. Volume air hujan yang wajib dikelola di dalam persil bangunan gedung.

Perhitungan volume wajib kelola air hujan diperoleh dari formula:

Vwk  t h . A [m3] Persamaan 11.2.

di mana: Vwk adalah volume wajib kelola [m3]


th adalah tinggi curah hujan [mm]
A adalah luas persil [m2]
th diperoleh dari peta curah hujan persentil 95 atau perhitungan
curah hujan persentil 95.

Volume wajib kelola (Vwk) tidak seluruhnya harus dikelola dalam bentuk
sarana pengelolaan air hujan. Air hujan yang jatuh pada pekarangan yang
tidak tertutupi perkerasan direncanakan sebagai air hujan yang mengalami
infiltrasi langsung dari permukaan tanah.

Volume air hujan yang wajib dikelola dengan sarana pengelolaan air hujan
adalah air hujan yang berpotensi melimpas yang disebabkan oleh
tertutupnya tanah oleh bangunan dan perkerasan.
c. Volume andil banjir

Volume andil banjir adalah bagian dari volume wajib kelola air hujan yang
berpotensi melimpas keluar dari persil bangunan gedung.

Jimmy S. Juwana 476


Apabila seluruh persil bangunan gedung tertutup oleh bangunan dan
perkerasan, volume andil banjir sama dengan volume wajib kelola air hujan.

Vab  Vwk [m3] Pesamaan 11.3.

di mana: Vab adalah Volume andil banjir [m3]


Vwk adalah Volume wajib kelola [m3]

Namun, apabila persil bangunan memiliki pekarangan/ruang hijau yang


mampu menyerapkan tanah, volume andil banjir hanya dihitung dari area
yang tertutupi bangunan dan perkerasan.

Vab  0,855 .Ctadah. Atadah.t h [m3] Persamaan 11.4.

di mana: Atadah = KDB x A


KDB adalah Koefisien Dasar Bangunan
A adalah luas persil [m2]
Ctadah adalah koefisien limpasan penampang bangunan yang air
hujannya akan disalurkan ke dalam sumur resapan
Atadah adalah luas proyeksi penampang bangunan terhadap
bidang horizontal yang air hujannya akan disalurkan ke
dalam sumur resapan [m2]

Volume andil banjir (Vab), selanjutnya wajib dikelola melalui sumur/kolam


retensi dan/atau sumur/kolam detensi pada persil bangunan gedung.

d. Jumlah dan dimensi sarana pengelolaan air hujan

1) Volume sumur resapan


Perhitungan volume sumur resapan (Vsr)
Vsr  Vab  Vrsp [m3] Persamaan 11.5.

di mana: Vsr adalah volume sumur resapan [m3]


Vab adalah volume andil banjir [m3]
Vrsp adalah volume air yang meresap ke dalam tanah
selama hujan berlangsung [m3]

Volume air yang meresap ke dalam tanah selama hujan berlangsung (Vrsp)
dihitung dengan formula:
t
Vrsp  e . Atotal.K rata rata [m3] Persamaan 11.6.
24

di mana: te = durasi hujan efektif [jam]

Jimmy S. Juwana 477


te  0,9.t h 
0,92
Persamaan 11.7.
Atotal adalah luas dinding sumur + luas alas sumur [m2]
K adalah koefisien permeabilitas tanah [m/hari]

sumur resapan dinding kedap, nilai:

Kv  Kh Persamaan 11.8.
sumur resapan dinding tidak kedap, nilai Krata-rata:
K v . Ah  K h . Av
K rata rata  Persamaan 11.9.
Ah  Av
di mana: Krata-rata adalah koefisien permeabilitas tanah rata-rata
[m/hari]
Kv adalah koefisien permeabilitas tanah pada dinding
sumur [m/hari] = 2 Kh
Kh adalah koefisien permeabilitas tanah pada alas sumur
[m/hari]
Ah adalah luas alas sumur:
penampang lingkaran = 0,25 .π.D2 [m2]
penampang segi empat = P.L [m2]
Av adalah luas dinding sumur:
penampang lingkaran = π.D.H [m2]
penampang segi empat = 2.P.L [m2]

Koedisien permeabilitas tanah dapat dilihat pada Tabel 11.5.

Tabel 11.5. Koefisien Permeabilitas Tanah


Koefisien
Tingkat
Jenis Tanah Permeabilitas
Permeabilitas
[cm/jam] [m3/m2/hari]
Geluh kelanauan Sedang 2 – 3,6 0,48 – 0,864
Pasir halus Agak Cepat 3,6 – 36 0,864 – 8,64
Pasir kasar Cepat >36 >8,64
Sumber: PP nomor 16, 2021

2) Volume bak/tandon/kolam detensi


Volume bak/tandon/kolam detensi sama dengan volume andil banjir,
yaitu

Jimmy S. Juwana 478


Vab  Vbd [m3] Persamaan 11.10.

di mana: Vab adalah volume andil banjir


Vbd adalah volume bak detensi

Vbd  0,855 .Ctadah. Atadah.t h [m3] Persamaan 11.11.

di mana: KDB adalah Koefisien Dasar Bangunan


A adalah luas persil [m2]
Ctadah adalah koefisien limpasan penampang bangunan
yang hujannya akan disalurkan ke dalam sumur
resapan
Atadah adalah luas proyeksi penampang bangunan terhadap
bidang horizontal dimana air hujannya akan
disalurkan ke dalam sumur resapan [m2]
th adalah tinggi hujan [mm]

e. Tata Cara Perencanaan Sarana Pengelolaan Air Hujan

(Status Wajib Kelola Air Hujan Berdasarkan Analisis Hidrologi Spesifik)


Jika pemerintah daerah menetapkan status wajib kelola air hujan dengan
analisis hidrologi spesifik, analisis dilakukan dengan bantuan tenaga ahli teknik
hidrologi, teknik sipil, geoteknik, dan ahli dengan kompetensi terkait lainnya

Lingkup studi analisis hidrologi spesifik yang dimaksud sekurang-kurangnya


meliputi:
1) analisis hidrologi pada persil, dengan melampirkan peta topografi dan peta
kondisi geologi pada persil;
2) studi kondisi dan karakteristik tanah pada persil;
3) sistem pengelolaan air hujan pada bangunan gedung dan persilnya,
termasuk di dalamnya penempatan titik-titik lokasi sarana dan prasarana
air hujan. Sistem pengelolaan air hujan harus memprioritaskan prinsip
optimalisasi penggunaan dan peresapan air hujan; dan
4) perhitungan dimensi dan jumlah sarana dan prasarana pengelolaan air
hujan. Pembuktian zero runoff atau preservasi kondisi hidrologi eksisting.

Untuk mempermudah proses perencanaan pengelolaan air hujan beserta sumur


resapan dapat dilakukan dengan bantuan komputer (spreadsheet), agar
perhitungan dapat lebih cepat (Gambar 11.7).

Jimmy S. Juwana 479


ANALISIS PENGELOLAAN AIR HUJAN
Nama Gedung
Lokasi

Luas Persil m2
KDB %

Tinggi hujan th = mm/hari liter/m2/hari


Volume wajib kelola Vw k = m3

Koefisien limpasan Ctadah =


Luas Proyeksi Bangunan Atadah = m2
3
Volume andil banjir Vab = m

Sumur Resapan
Diameter sumur D= m
Kedalaman sumur H= m
Koefisien Permeabilitas K= m3/hari
K rata-rata Krata-rata = m3/hari
Luas alas sumur Ah = m2
2
Luas dinding sumur Av = m
At = m2
Durasi hujan efektif te = jam
Volume air meresap Vrsp = m3
3
Volume sumur resapan Vsr = m

Bak Detensi
Volume bak detensi Vbd = m3

Gambar 11.7. Kertas Kerja Analisis Pengelolaan Air Hujan


11.2. Udara dan Lingkungan

Salah satu komponen yang ada di bumi yang dibutuhkan oleh manusia di
samping air, adalah udara. Udara dibutuhkan untuk bernafas. Ada lima lapisan
udar di bumi: atmosfer, troposfer, mesosfer, termofer, dan eksofer.

Di lapisan atmosfer yang paling dekat dengan permukaan bumi, udara terdiri
dari oksigen dan sisanya berupa gas nitrogen, karbon, hidroegn, dan lainnya.

11.2.1. Mutu Udara


Udara ambien adalah udara di lapisan troposfer yang sehari-hari dihirup oleh
manusia. Udara biasanya tidak memiliki warna, bau, maupun rasa. Dalam
keadaan normal, udara ambien terdiri atas campuran gas, terutama nitrogen

Jimmy S. Juwana 480


sekitar 78%, dan oksigen sekitar 21%, dengan sisanya 1% terdiri dari
karbondioksida, metan, hidrogen, argon, dan helium.

Peningkatan jumlah penduduk dan aktivitas di perkotaan akan menyebabkan


kualitas lingkungan menurun, termasuk mutu udara. Hal ini disebabkan oleh
karena sebagian besar orang melakukan aktivitas dan pergi bekerja dengan
menggunakan kendaraan bermotor. Kota-kota besar cenderung mengalami
penurunan mutu udara (mutu udara ambien) sangat tinggi akibat polusi yang
dihasilkan dari gas buang kendaraan bermotor, dan pohon serta vegetasi akan
dapat menyerap dan menjerap polutan yang dikeluarkan oleh kendaraan
bermotor melalui daunnya.

Ambang batas mutu udara sesuai Peraturan Pemerintah Republik Indonesia


Nomor: 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dapat dilihat
pada Tabel 11.6.

Tabel 11.6. Baku Mutu Kualitas Udara Ambien Indonesia

Waktu
Parameter Baku Mutu
Pengukuran
1 Jam 900 g/Nm3
SO2 (Sulfur Dioksida) 24 Jam 365 g/Nm3
1 Tahun 60 g/Nm3
1 Jam 30.000 g/Nm3
CO (Karbon Monoksida) 24 Jam 10.000 g/Nm3
1 Tahun -
1 Jam 400 g/Nm3
NO2 (Nitrogen Dioksida) 24 Jam 150 g/Nm3
1 Tahun 100 g/Nm3
1 Jam 235 g/Nm3
O3 (Oksidan)
1 Tahun 50 g/Nm3
HC (Hidro Karbon) 3 Jam 160 g/Nm3
PM10 (Partikel < 10 m) 24 Jam 150 g/Nm3
24 Jam 65 g/Nm3
PM2,5 (Partikel < 2,5 m)
1 Tahun 15 g/Nm3
24 Jam 230 g/Nm3
TSP (Debu)
1 Tahun 90 g/Nm3
24 Jam 2 g/Nm3
Pb (Timah Hitam)
1 Tahun 1 g/Nm3
10 ton/km2/Bulan
Dustfall (Debu Jatuh) 30 hari
(Pemukiman)

Jimmy S. Juwana 481


Waktu
Parameter Baku Mutu
Pengukuran
20 ton/km2/Bulan
(Industri)
24 Jam 3 g/Nm3
Total Fluorides (as F)
90 hari 0,5 g/Nm3
40 mg/100 cm2
Fluor Indeks 30 hari
dari kertas limed filter
Khlorine 24 Jam 150 g/Nm3
1 mg SO3 /100 cm3
Sulphat Indeks 30 hari
dari Lead Peroksida
Sumber: PP nomor 41, 1999.

11.2.2. Polusi Udara

Pada tahun 1995 Japan International Cooperation Agency (JICA) melakukan


penelitian terkait mutu udara di perkotaan dan hasilnya menunjukkan bahwa
sektor transportasi menyumbang 69% dari total pencemar NOx, 15% dari total
pencemar SO2 dan 40% dari total pencemar PM10. Penelitian ini juga diperkuat
dengan kajian lain dari Bank Dunia di Tahun 1997 yang menyebutkan 73% dari
total NOx dan 15% dari total PM10 berasal dari kendaraan bermotor, dan studi
terakhir pada tahun 2002 menyimpulkan bahwa 76% dari total NOx, 17% dari
total SO2 dan 55% dari total PM10 juga berasal dari kendaraan bermotor.

Polusi udara dapat berupa partikel debu atau batuan yang dihasilkan dari
letupan gunung berapi atau gas yang berasal dari kendaraan bermotor yang
mengandung karbon dioksida (CO2) dan partikel logam berat timbal (Pb) atau
asap pabrik yang mengandung sulfur dioksida (SO2).

Komposisi polutan yang ada di lapisan atmosfer dapat terlihat pada Tabel 11.7.
Tabel 11.7. Komposisi Polutan Udara di Lapisan Atmosfer
Jenis Polutan (%)
Debu 20
Abu 10
Garam 40
Asap 5
Spora,virus dll. 25
Jumlah 100
Sumber: Samsoedin et al, 2015

Jimmy S. Juwana 482


11.3. Penataan Lasekap

Penataan lansekap pada tapak/persil bangunan gedung terdiri atas:

a. vegetasi (softscape);
b. perkerasn (hardscape); dan
c. perabot taman (landscape furniture).

Penataan dan perancangan lansekap membutuhkan keahlian khusus, agar


penataan ruang terbuka hijau pada tapak/persil bangunan gedung bukan saja
memberi manfaat bagi keasrian lingkungan, tapi juga dapat mengurangi
dampak polusi udara dan kebisingan pada bangunan gedung.

11.3.1. Vegetasi

Dari bentuknya, pohon ditentukan dari kelompok dan tinggi tanaman (Gambar
11.8), tajuk tanaman yang dapat berbentuk bulat (Gambar 11.9), seperti pohon
kiara payung (filicim decipiens) dan biola cantik (ficus pandurate), bentuk
memayung (Gambar 11.10) seperti pohon bungur (lagerstroemia) dan dadap
(erythrina sp), bentuk oval (Gambar 11.11) seperti pohon tanjung (mimusops
elengi) dan johar (cassia siamea), bentuk kerucut (Gambar 11.12) seperti pohon
cemara (casuarina eqisetifolia), glodokan (polyalthea longifolia), kayu manis
(glycyrrhiza glabra) dan kenari (cannarium communeae), bentuk menyebar
bebas (Gambar 11.13) seperti angsana (ptherocarphus indicus) dan akasia
daun besar (accasia mangium), bentuk persegi empat (Gambar 11.14) seperti
mahoni (switenia mahagoni), bentuk kolom (Gambar 11.15) seperti bambu
(bambusa sp) dan glodokan tiang (polyalthea sp), dan bentuk vertikal (Gambar
11.16) seperti jenis palem raja (oreodoxa regia).

Sumber: Permen PU nomor 05/2012

Gambar 11.8. Kelompok dan Tinggi Tanaman

Jimmy S. Juwana 483


Sumber: Permen PU nomor 05/2012

Gambar 11.9. Pohon Tajuk Bulat

Sumber: Permen PU nomor 05/2012

Gambar 11.10. Pohon Tajuk Memayung

Sumber: Permen PU nomor 05/2012

Gambar 11.11. Pohon Tajuk Oval

Jimmy S. Juwana 484


Sumber: Permen PU nomor 05/2012

Gambar 11.12. Pohon Tajuk Kerucut

Sumber: Permen PU nomor 05/2012

Gambar 11.13. Pohon Tajuk Menyebar Bebas

Sumber: Permen PU nomor 05/2012

Gambar 11.14. Pohon Tajuk Persegi Empat

Jimmy S. Juwana 485


Sumber: Permen PU nomor 05/2012

Gambar 11.15. Pohon Tajuk Kolom

Sumber: Permen PU nomor 05/2012

Gambar 11.16. Pohon Tajuk Vertikal

Adapun tanaman-tanaman tersebut dapat berfungsi untuk mengurangi


pencemaran/polusi udara (menjerap gas buangan kendaran dan bahan
beracun), penyerap kebisingan, penghalang silau, pembatas pandang,
pengarah, estetika lingkungan, penahan benturan, pencegah erosi, penyedia
tempat habitat satwa, dan pemecah angin (Tabel 11.8 – Permen PU nomor 5
tahun 2008).

Di samping itu, pohon-pohon yang ditanam sebaiknya menggunakan jenis


pohon endemik yang berasal dari tanaman lokal dan diupayakan agar tetap
mempertahankan keragaman hayati (bio diversity) yang ada.

Jimmy S. Juwana 486


Tabel 11.8. Vegetasi untuk RTH

Perawakan Daya Tarik Potensi di RTH

Pengenal Lingkungan

Dapat Dikonsumsi
Reduktor Polutan
Pohon Sedang

Bentuk Tajuk
Pohon Besar

Pohon Kecil

Wrna Daun

Pengarah
No Nama Lokal Nama Latin

Tekstur
Semak
Bunga
Perdu

Buah
1 Akalipa hijau kuning Acalypha wilkesiana ● ●
2 Akasia daun besar Accacia mangium ●
3 Akasia kuning Acacia uriculaeformis ● ●
4 Angrek Tanah Spathoglotis plicata ● ●
5 Angsana Pthecarpus indicus ● ●
6 Apel Chrysophyllum caimito ● ● ●
7 Asam Tamarindus indica ● ●
8 Asem landi Pitchecolobium dulce ● ● ● ●
9 Bakung Crinum asiaticum ● ●
10 Bambu Jepang Bambusa sp. ● ● ●
11 Beringin Ficus benyamina ● ●
12 Bintaro Cerbera manghas ● ● ●
13 Bogenvil Bougenvillea sp ● ●
14 Bunga pukul empat Mirabilis jalapa ● ●
15 Bunga saputangan Amherstia nobilis ● ● ●
16 Bungur Lagerstromea loudonii ● ●
17 Cemara gunung Casuarina junghuniana ● ●
18 Cemara laut Casuarina equisetifolia ● ● ●
19 Cemara Norfolk Araucaria heterophylla ● ● ●
20 Cempaka Michelia champaca ● ●
21 Dadap belang Erythrina variegate ● ●
22 Dadap merah Erythrina cristagalli ● ●
23 Damar Agathis alba ● ● ● ● ●
24 Durian Durio zibethinus ● ● ●
25 Ebony/Kayu hitam Dyospiros celebica ●
26 Flamboyan Delonix regia ● ● ●
27 Ganitri Elaeocarpus randisflora ● ● ●
28 Glodogan pohon Polyathea sp. ● ● ●
29 Glodogan tiang Polyathea longifolia ● ● ● ●
30 Hujan Mas Cassia fistula ● ● ●
31 Iris Belamcanda chinensis ● ●
32 Jambu air Eugenia aquea ● ● ●
33 Jambu batu Psidium guajava ● ●

Jimmy S. Juwana 487


Perawakan Daya Tarik Potensi di RTH

Pengenal Lingkungan

Dapat Dikonsumsi
Reduktor Polutan
Pohon Sedang

Bentuk Tajuk
Pohon Besar

Pohon Kecil

Wrna Daun

Pengarah
No Nama Lokal Nama Latin

Tekstur
Semak
Bunga
Perdu

Buah
34 Jambu monyet Anacardium occidentale ● ●
35 Jarak Jatropha integerima ● ●
36 Jati Tectona grandis ●
37 Jeruk bali Citrus grandisty ● ● ●
38 Jeruk nipis Citrus aurantifolia ● ● ●
39 Johar Cassia siamea ● ●
40 Kalak Polyantha lateriflora ●
Caliandra
41 Kaliandra
haematocepala
● ●
42 Kana Canna Hibrida ● ●
43 Kantil Michelia alba ● ●
44 Karet Munding Ficus elastica ● ●
45 Kasia singapur Cassia spectabilis ● ● ● ●
46 Kelapa Cocos nucifera ● ● ● ● ●
Caesalphinia
47 Kembang merak
pulcherima
● ● ● ●
48 Kembang Sepatu Hibiscusrosa sinensis ● ● ●
49 Kemboja merah Plumeria rubra ●
50 Kemuning Muraya paniculate ● ●
51 Kenanga Cananga odorata ● ●
52 Kenari Canarium commune ● ● ● ●
53 Kersen Muntingiacalabura ● ● ●
54 Kesumba Bixa Orellana ● ●
55 Ketapang Terminalia cattapa ● ● ●
Spathodea
56 Ki acret
companulata
● ● ● ●
57 Kiara Payung Filicium decipiens ● ● ●
58 Kol Banda */ Pisonia alba ● ●
59 Kupu-kupu Bauhinia purpurea ● ● ●
60 Lamtorogung Leucaena leccocephala ●
61 Landep Baleria priontis ● ●
62 Lantana Lantana camara ● ● ●
63 Lengkeng Euphoria longan ● ● ● ●
64 Lontar/Siwalan Borassus flabellifer ● ● ●
65 Mahoni Switenia mahagoni ● ● ●
66 Mangga Mangifera indica ● ● ●

Jimmy S. Juwana 488


Perawakan Daya Tarik Potensi di RTH

Pengenal Lingkungan

Dapat Dikonsumsi
Reduktor Polutan
Pohon Sedang

Bentuk Tajuk
Pohon Besar

Pohon Kecil

Wrna Daun

Pengarah
No Nama Lokal Nama Latin

Tekstur
Semak
Bunga
Perdu

Buah
Nothopanax
67 Mangkokan ● ●
scutellarium
68 Matoa Pometia pinata ●
69 Menteng Baccaurea motleyana ● ●
70 Merawan Hopea mangarawan ●
71 Mimba Azadirachta indica ● ●
72 Nagasari Mesua ferrea ● ●
73 Nangka Artocarpus heterophylla ● ●
74 Nusa Indah Musaenda sp. ● ● ●
Callophyllum
75 Nyamplung ●
inophyllum
76 Oleander Nerium oleander ● ● ●
77 Palem Ekor Tupai Wodyetia bifurca ● ● ●
78 Palem kubis Licuala grandis ● ●
Chrysalidocarpus
79 Palem Kuning ● ●
lutescens
80 Palem Merah Cytostachys renda ● ● ●
81 Palem Raja Oreodoxa regia ● ● ● ●
82 Palem Sadeng Livistona rotundifolia ● ●
83 Pangkas kuning Duranta sp. ● ●
84 Pepaya Carica papaya ● ● ● ●
85 Pinang Jambe Areca catechu ● ● ● ● ●
Ptychosperma
86 Pinang Mac-arthur ● ●
macarthurii
87 Pinus, tusam Pinus mercusii ● ● ● ●
88 Puspa Schima wallichii ●
89 Salam Eugenia polyantha ● ● ● ●
Sansiviera/Lidah
90 Sanseviera trifasciata L ● ● ●
mertua
91 Sarai raja Caryota mitis ●
92 Sawo kecik Manilkara kauki ● ● ● ● ●
93 Serunai rambat Widelia sp. ● ●
94 Sikat botol Callistemon lanceolatus ● ●
95 Soka Ixora stricata ● ●
96 Sukun Artocarpus altilis ● ● ● ●
97 Sutra Bombay Portulaca gransiflora ● ●

Jimmy S. Juwana 489


Perawakan Daya Tarik Potensi di RTH

Pengenal Lingkungan

Dapat Dikonsumsi
Reduktor Polutan
Pohon Sedang

Bentuk Tajuk
Pohon Besar

Pohon Kecil

Wrna Daun

Pengarah
No Nama Lokal Nama Latin

Tekstur
Semak
Bunga
Perdu

Buah
98 Tanjung Mimusops elengi ● ●
99 Tapak dara Catharanthus roseus ● ●
100 Teh-tehan Pangkas Acalypha sp. ● ●
101 Trembesi Samanea saman ● ●
Sumber: Permen PU nomor 05/2008

11.3.2. Roof Garden

Di samping pada persil bangunan gedung, vegetasi juga dapat ditanam di atas
atap bangunan gedung (roof garden), dengan kriteria tanaman, sebagai berikut:
a. tidak berakar dalam sehingga mampu tumbuh baik dalam pot atau bak
tanaman;
b. relatif tahan terhadap kekurangan air;
c. perakaran dan pertumbuhan batang yang tidak mengganggu struktur
bangunan;
d. tanaman yang disukai oleh burung dan satwa lainnya;
e. tahan dan tumbuh baik pada temperatur lingkungan yang tinggi; dan
f. mudah dalam pemeliharaan.

Tanaman yang dapat ditanam pada roof garden tertera pada Tabel 11.9.
Tabel 11.9. Contoh Tanaman untuk Roof Garden

Jenis dan Nama


No. Nama Latin Keterangan
Tanaman
I Perdu/semak
1 Akalipa merah Acalypha wilkesiana Daun berwarna
2 Nusa Indah merah Musaenda erytthrophylla Berbunga
3 Daun Mangkokan Notophanax scutelarium Berdaun unik
4 Bogenvil merah Bougenvillea glabra Berbunga
5 Azalea Rhododendron indicum Berbunga
6 Soka daun besar Ixora javonica Berbunga
7 Bakung Crinum asiaticum Berbunga
8 Oleander Nerium oleander Berbunga
9 Palem Kuning Chrysalidocaus lutescens Daun berwarna

Jimmy S. Juwana 490


Jenis dan Nama
No. Nama Latin Keterangan
Tanaman
10 Sikas Cycas revolata Bentuk unik
11 Alamanda Aalamanda cartatica Merambat berbunga
12 Puring Codiaeum varigatum Daun berwarna
13 Kembang Merak Caesalphinia pulcherima Berbunga
II Ground Cover
1 Rumput Gajah Axonophus compressus Tekstur kasar
2 Lantana ungu Lantana camara Berbunga
3 Rumput kawat Cynodon dactylon Tekstur sedang
Sumber: Permen PU nomor 05/2008.

Penempatan vegetasi di roof garden dapat dilakukan dengan dua cara, ditanam
di atas pelat atap dan/atau ditanam dalam pot.

Untuk vegetasi yang ditanam dalam pot, lapisan pelat atap cukup dilapisi bahan
atau campuran kedap air (Gambar 11.17), sedang untuk vegetasi yang ditanam
di atas lapisan pelat atap beton, di samping lapisan kedap air, perlu ditambah
dengan lapisan penahan akar (Gambar 11.18).

Gambar 11.17. Lapisan Pelat Atap Beton untuk Pot Tanaman


Pelat beton diberi lapisan Exposed Fully Adhered System untuk mencegah
kebocoran dengan berbagai pilihan warna: putih, abu-abu muda, biru, coklat,
hijau muda dan abu-abu tua. Dapat menyerap suara, tahan terhadap pukulan
(benda jatuh), dan tahan lama.

Sumber: Sukaton, Juwana & Sulistyantara, 2004

Gambar 11.18. Lapisan Pelat Atap Beton untuk Roof Garden

Jimmy S. Juwana 491


Permukaan pelat beton juga dberi lapisan Protected Loosely Laid System untuk
mencegah kebocoran dengan kemungkinan dapat diberi penghijauan (vegetasi)
di atasnya.

Atap perlu dilengkapi dengan saluran pembuangan air (drainage) sebagaimana


lazimnya pada pelat datar konvensional. Lapisan drainase dari butiran kasar
(sejenis kerikil) perlu ditambahkan agar air dengan mudah mengalir ke lubang-
lubang saluran, lebih-lebih di kala hujan lebat untuk menghindari genangan air
yang akan menyebabkan bertambahnya beban.

Pasir atau lembaran yang dapat menyerap air (porous) dari sejenis bahan
polystyrene atau susunan batu apung sering kali digunakan, juga tumbukan
batu merah yang ringan memiliki keunggulan dalam menyerap air dan menjaga
kelembapan pada tingkat yang sesuai. Penggunaan lembaran polystyrene
gelombang akan menghasilkan aliran air ke saluran dengan baik, sedang
lekukan bawah gelombang dapat berfungsi sebagai tempat cadangan air untuk
keperluan tanaman.

Filter yang terbuat dari bahan geo textile dapat berfungsi sebagai pengganti
‘ijuk’, yang mengalirkan air ke bawah, tetapi menahan butiran tanah agar tidak
menyumbat saluran air. Untuk mengurangi rambatan panas diberi lapisan
insulasi, maka perlu diberi lapisan penahan, agar akar tanaman tidak merusak
lapisan kedap air dan beton di bawahnya. Penahan akar tanaman terbuat dari
bahan campuran karet sintetis yang keras atau lembaran campuran aspal
dengan kerikil.

11.3.3. Manfaat Tanaman


Beberapa jenis tanaman hias yang diyakini dapat mengurangi debu dan
menjerap polutan (Pb), di antaranya:
a. tanaman laba-laba (spider plant – chlorphytum comosum);
b. drasena (dracaena);
c. tanaman karet (rubber plant – ficus elastic);
d. sri rejeki (Chinese evergreen – aglaonema);
e. english Ivy (hedera helix);
f. peace lily (spathipyllum wallisii);
g. lidah mertua (sanseviera trifasciata);
h. palem bambu (chamaedorea seifrizli);
i. palem kuning (chrysalidocarpus lutecens);
j. krisan (crysantemum);
k. asam kranji (pithecelobium);
l. ki hujan (samanea saman);
m. lamtoro (leucaena leucocephala);

Jimmy S. Juwana 492


n. albisia (albizia chinensis);
o. johar (caessia siamea);
p. kayu manis (cinnamomum burmannii);
q. tusam/pinus (pinus merkusii);
r. flamboyan (delonix regia rafin);
s. angsana (pterocarpus indicus);
t. kayu putih (melaleuca cajuputi/leucadendra);
u. krei payung (filicium decipiens); dan
v. cemara natal (araucaria heteropylla).

Di samping itu, beberapa jenis tanaman sering digunakan untuk mengusir


nyamuk:

a. serai wangi (cymbopogon nardus);


b. lemon balm (mlissa officinalis);
c. lavender (lavendulan angustifolia);
d. catnip (nepeta cataria);
e. bawang putih (dieffenbachia alba); dan
f. geranium (geranium sp).

Pohon yang dapat mengurangi kebisingan:

a. bambu (melocanna bambusoides);


b. lilly pilly (syzygium smithii);
c. cemara leyland cupressus leylandii);
d. photinia ‘red robin’ (photinia);
e. holy bushes (Ilex sp.);
f. juniper (juniperus);
g. evergreen scrubs, seperti:
1) cypress (genus chamaecyparis);
2) hemlock (tsuga sieboldii);
3) thuja (genus cupressaceae);
4) winter creeper (euonymus fortune);
5) bunga kamelia (camellia japonica); dan
6) teh-tehan (malphigia coccigera);
h. pucuk merah (syzygium myrtifolium);
i. imodia (imodium);
j. walisongo (schefflera actinophylia);
k. soka (Ixora stricata);
l. puring telur (codiaeum variegatum sp.); dan
m. puring tissue (codiaeum variegatum sp.).

Pohon-pohon dan vegetasi juga digunakan sebagai vertical garden yang

Jimmy S. Juwana 493


berfungsi sebagai secondary skin, yang bukan saja memberikan keindahan
tetapi juga dapat berfungsi sebagai filter untuk menyaring debu dan sekaligus
untuk menurunkan panas yang masuk ke dalam bangunan.

11.4. Perkerasan

Perkerasan di luar bangunan gedung dapat berupa jalan setapak, jalan


kendaraan, lapngan parkir kendaraan dan/atau lapangan upacara.

Pengaturan pola parkir sudah dibahas pada Bab II (pada bagian 2.5. butir a –
Standar Parkir), namum terkait lapisan yang digunakan untuk perkerasan akan
dbahas di sini dan terbagi atas:
a. sistem perkerasan fleksibel/aspal (flexible pavement);
b. sistem perkerasan kaku/beton (rigid pavement); dan
c. perkerasan dengan blok beton terkunci (paving block).

Jalan sebagai jalur lalu lintas orang sudah ada sejak sekitar 3.000 tahun
sebelum Masehi (SM), dan beberapa jalan yang pernah dibangun, di antaranya:
a. jalur sutera yang sudah ada sejak 2.600 SM dan dikembangkan pada saat
Dinasti Han pada 130 SM menghubungkan Tiongkok denga Eropa yang
digunkan sampai sekitar tahun 1.453, dan ditutup pada saat Kesultanan
Ottoman.

b. jalan sepanjang sekitar 7.500 km yang dibangun padan zaman Romawi


dari Cadiz di pantai Barat Spanyol sampai ke Turki melalui Perancis,
Jerman, Italia, pantai Adriatik, pantai utara Afrika, Alexandria, Cartago dan
Tangier.

c. jalan raya pos (de groote postweg) atau dikenal dengan jalan Daendels
yang dibangun sepanjang sekitar 1.000 km oleh Jenderal Daendels pada
tahun 1809 dan masih berfungsi sampai sekarang, menghubungkan kota
Anyer, Banten dengan kota Panarukan, Jawa Timur.

Pada zaman modern telah berkembang métode dan penggunaan bahan untuk
pembuatan konstruksi jalan, dari yang diperuntukan sebagai jalan lingkungan
sampai dengan jalan bebas hambatan.

11.4.1. Sistem Perkerasan Fleksibel

Pada umumnya perkerasan fleksibel terdiri dari empat lapisan seperti Gambar
11.19.

Jimmy S. Juwana 494


Sumber: https://vaasphalt.org/pavement-guide/structural-design/structural-design-methods/

Gambar 11.19. Lapisan Perkerasan Fleksibel.

Bahan utama lapisan perkerasan fleksibel dari campuran kerikil pasir dan aspal,
karenanya perkerasan jenis ini rentan terhadap genangan air. Genangan air
dapat memperlemah ikatan antar butiran yang dilekatkan asat dengan lainnya
oleh aspal.

Saat ini sudah berkembagan green asphalt yang tidak kedap air, sehingga daya
tahan perkerasan fleksibel meningkat, karena air yang ada dipermukaan jalan
langsung dapat dialirkan ke lapisan tanah di bawahnya yang dapat meresap air.

11.4.2. Sistem Perkerasan Kaku

Perkerasan kaku lebih tahan terhadap air, karena bahan utama yang digunakan
adalah campuran beton mutu tinggi. Kadang-kadang campuran beton ini
dicampurkan dengan serat sintetik (synthetic fiber) atau serat baja (steel fiber)
untuk meningkatkan kemampuan beton terhadap beban bergerak.

Gambar 11.20 menunjukkan lapisan konstruksi perkerasan kaku,

Jimmy S. Juwana 495


Sumber: https://www.aboutcivil.org/types-of-pavements.html

Gambar 11.20. Lapisan Perkerasan Kaku

11.4.3. Perkerasan dengan Blok Beton Terkunci

Perkersaan jenis ini banyak digunakan untuk jalan lingkungan perumahan,


lapangan parkir atau alur pejalan kaki (pedestrian/trotoar). Pemasangannya
mengacu pada SIN 03-2403-1991 tentang Tata cara Pemasangan Blok Beton
Teerkuci untuk Permukaan Jalan.dan SIN 03-2443-1991 tentang Spesifikasi
Trotoar.

Berbagai jenis blok terkunci yang beredar di pasar dengan variasi warna,
bentuk, ukuran, serta ketebalannya (Gambar 11.21), di antaranya:

Gambar 11.21. Jenis-Jenis Blok Beton Terkunci

Blok beton terkunci ini ada yang masif dan ada yang berlubang untuk tempat
tumbuhnya rumput (grass block), yang pola pemasangannya dapat bermacam-
macam seperti terlihat pada contoh di Gambar 11.22 dan Gambar 11.23.

Jimmy S. Juwana 496


Gambar 11.22. Pola Pemasangan Blok BetonTerkunci Masif

Gambar 11.23. Pola Pemasangan Grass Block

Blok beton terkunci ini memiliki lapisan yang beragam, tergantung dari fungsi
dan manfaat yang diinginkan. Pada Gambar 11.24, lapisan permukaan
menggunakan blok beton berkunci (paving block) biasanya digunakan untuk
lintasan kendaraan, sedang pada Gambar 11.25, menggunakan grass block
yang dapat digunakan untuk areal parkir, dan permukaan pada Gambar 11.26)
hanya ditanami oleh rumput; biasanya digunakan untuk lapangan olah raga atau
lapangan upacara.

Jimmy S. Juwana 497


Sumber: https://dot.ca.gov/programs/design/lap-erosion-control-design/tool-1-lap-erosion-control-
toolbox/tool-1nn-
40-permeable-paving, dimodifikasi

Gambar 11.24. Lapisan Konstruksi Perkerasan Blok Beton Terkunci

Sumber:https://www.duratex.co.uk/ground-stabilisation/173-heavy-duty-permeable-paving-grid-80mm-
thick.html

Gambar 11.25. Lapisan Konstruksi Grass Block

Jimmy S. Juwana 498


Sumber: http://www.galdeck.co.il/images/TurfPave%20XD1.pdf

Gambar 11.26. Lapisan Konstruksi Lapangan Rumput

11.4.4. Jalur Pejalan Kaki/Trotoar

Fasilitas pejalan kaki disediakan untuk orang yang berjalan kaki, baik yang
berada pada ruang milik jalan (Rumija) atau di dalam tapak/persil untuk
menghubungkan tempat/bangunan gedung yang satu ke tempat/bangunan
gedung yang lain. Fasilitas pejalan kaki ini dapat berupa trotoar/pedestrian,
pelintasan jalan sebidang, dan/atau pelintasan jalan tidak sebidang (jembatan
penyeberangan di atas jalan atau terowongan di bawah jalan).

Ketentuan dan persyaratan terkait jalur pejalan kaki, sekurangnya hal-hal yang
ada pada Gambar 11.27.

Gambar 11.27. Jalur Pejalan Kaki

Dari sekian ketentuan terkait jalur pejalan kaki, yang perlu diperhatikan, di
antaranya:
a. lebar mínimum adalah 1,50 m untuk daerah perumahan dan 2,00 untuk
daerah publik/komersial;
b. kemiringan arah memanjang maksimal 5º atau 1/12, dengan daerah datar
sepanjang minimal 1,50 m, setiap 9 m;

Jimmy S. Juwana 499


c. kemiringan arah melintang maksimal 1/25;
d. tersedia blok pemandu (guiding block);
e. pembatas dengan jalur kendaraan; dan
f. ada pohon pelindung.

Pada pelintasan sebidang, jalur kendaraan diberi jendulan (‘polisi tidur’) yang
elevasinya sama dengan elevasi trotoar/jalur pejalan kaki di sisi jalur kendaraan,
sehingga pejalan kaki melintas pada elevasi yang sama (Gambar 11.28).

Gambar 11.28. Jendulan pada Lintasan Sebidang

11.4.4. Titik Kumpul

Titik kumpul dapat berupa lapangan dengan perkerasan atau lahan rumput yang
digunakan untuk berkumpulnya penghuni bangunan gedung pada saat terjadi
kondisi darurat (Gambar 11.29).

Persyaratan titik kumpul sesuai dengan PP nomor 16 tahun 2021, sebagai


berikut:

a. jarak minimum titik berkumpul dari bangunan gedung adalah 20 m untuk


melindungi pengguna bangunan gedung dan pengunjung bangunan
gedung dari keruntuhan atau bahaya lainnya;
b. titik berkumpul dapat berupa jalan atau ruang terbuka’
c. lokasi titik berkumpul tidak boleh menghalangi akses dan manuver mobil
pemadam kebakaran;
d. memiliki akses menuju ke tempat yang lebih aman, tidak menghalangi
dan mudah dijangkau oleh kendaraan atau tim medis; dan
e. persyaratan lain mengenai titik berkumpul mengikuti ketentuan
peraturan perundang-undangan tentang sistem proteksi kebakaran
pada bangunan gedung dan lingkungan.

Jimmy S. Juwana 500


Sumber: Suryabrata, 2021

Gambar 11.29. Titik Kumpul

11.5. Perabot Taman

Ruang terbuka juga perlu dilengkapi dengan perabot taman (landscape


furniture) yang dapat berupa bangku taman (Gambar 11.30), tempat
pembuangan sampah, lampu, rambu peringatan, larangan dan/atau petunjuk
arah, serta patung/monumen atau kolam.

SumberL PP nomor 16, 2021


Gambar 11.30. Bangku Taman

Jimmy S. Juwana 501


Sumber: UU nomor 1, 1970

Gambar 11.31. Rambu Larangan dan Peringatan

11.6. Drainase Tapak dan Air Hujan

Untuk menghindari genangan air pada tapak/persil bangunan gedung, ruang


terbuka perlu dilengkapi dengan sumur resapan dan jaringan drainase, yang
limpasannya dapat dialirkan ke saluran drainasi kota.

Saluran drainase di dalam tapak/persil bangunan dapat berupa selokan alami


(bioswale) yang dapat ditumbuhi rumput dengan sisinya ditanam pohon
pelindung dan perdu (Gambar 11.32) atau saluran beton yang terhubung
dengan saluran drainase kota (Gambar 11.33).

.
Sumber: https://www.susdrain.org/delivering-suds/using-suds/suds-components/swales-and-
conveyance-channels/Swales-conveyance-channels.html
Gambar 11.32. Selokan Alami

Jimmy S. Juwana 502


Sumber: https://www.mississauga.ca/services-and-programs/home-and-yard/stormwater/stormwater-
system/

Gambar 11.33. Gambar Selokan Beton

Pada tepi jalan juga disiapkan lubang untuk mengalirkan air hujan dari jalan ke
selokan drainase kota (Gambar 11.34). Saluran tepi jalan juga dapat
diintegrasikan dengan selokan alami (bioswale) dan resapan air (Gambar
11.35).

Sumber: https://www.researchgate.net/figure/Accumulation-of-sewage-in-combined-sewerage-stormwater-
drainage-systems-5-sewage_fig1_334713457

Jimmy S. Juwana 503


Gambar 11.34. Saluran Air Hujan di Tepi Jalan

Sumber: https://id.pinterest.com/artufts/storm-water-drain/

Gambar 11.35. Integrasi Selokan Tepi Jalan dengan Resapan Air

Soal-Soal Latihan

1. Sebutkan berbagai polutan air dan udara yang berdampak pada


bangunan gedung.

2. Apa fungsi sumur resapan pada bangunan gedung.

3. Mengapa perlu melakukan analisis volume wajib kelola air hujan dan
volume andil banjir

4. Sebutkan manfaat pohon bagi bangunan gedung.

5. Apa yang perlu diperhatikan dalam merancang roof garden..

6. Apa yang membedakan antara lapisan konstruksi perkerasan dengan


menggunakan blok beton terikat dengan pekerasan kaku.

7. Hal-hal yang perlu diperhatikan untuk jalur pejalan kaki.

8. Apa saja persyaratan titk kumpul.

9. Apa yang mebedakan antara rambu petunjuk arah dengan rambu


larangan.

10. Apa manfaat selokan alami dibandingkan dengan selokan beton.

Jimmy S. Juwana 504


Daftar Kepustakaan dan Rujukan

… (1995), Undang-Undang nomor 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, Jakarta

… (2021); Peraturan Pemerintah nomor 16 tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan


Undang-Undang nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, Jakarta.

… (2008); Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 05/PRT/M/2012 tentang


Pedoman Penanaman Pohon pada Sistem Jaringan Jalan, Jakarta.

… (2016); Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.


P.68/Menlhk/Setjen/Kum.1/8/2016 tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik,
Jakarta.

… (2008); Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 05/PRT/M/2008 tentang


Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan
Perkotaan, Jakarta.

… (2017); SE Menteri PUPR nomor 02/SE/M/2018 tentang Pedoman Perencanaan


Teknis Fasilitas Pejalan Kaki, Kememterian Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat, Jakarta.

… (1991); SNI 03-2403-1991 tentang Tata Cara Pemasangan Blok Beton Terkunci
untuk Permukaan Jalan, Badan Standardisasi Nasional, Jakarta.

… (1991); SIN 03-2443-1991 tentang Spesifikasi Trotoar, Badan Standardisasi


Nasional, Jakarta.

… (2021); https://www.researchgate.net/figure/The-hydrological-cycle_fig1_227365036

…. (2021); https://www.gdrc.org/uem/water/water-pollution.html,

… (2022); https://vaasphalt.org/pavement-guide/structural-design/structural-design-
methods/

… (2022). https://www.aboutcivil.org/types-of-pavements.html

… (2022); https://dot.ca.gov/programs/design/lap-erosion-control-design/tool-1-lap-
erosion-control-toolbox/tool-1nn-40-permeable-paving,

… (2022); https://id.pinterest.com/artufts/storm-water-drain/

… (2022); http://www.galdeck.co.il/images/TurfPave%20XD1.pdf

… (2022); https://www.researchgate.net/figure/Accumulation-of-sewage-in-combined-
sewerage-stormwater-drainage-systems-5-sewage_fig1_334713457

Jimmy S. Juwana 505


… (2020); https://lifestyle.kompas.com/read/2020/02/21/155616920/10-tanaman-hias-
yang-bisa-menyerap-debu-dalam-rumah?page=all

… (2002); https://www.duratex.co.uk/ground-stabilisation/173-heavy-duty-permeable-
paving-grid-80mm-thick.html

Juwana J. S., & Sabri A. (2001); “Sumur Resapan Tirta Sakti dalam Kaitan Potensi
Persediaan Air Tanah”, Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Sipil dan
Perencanaan, Universitas Trisakti, Jakarta.

Juwana J. S., (2005); Panduan Sistem Bangunan Tinggi – untuk Arsitek dan Praktisi
Bangunan, Penerbit Erlangga, Jakarta

Kendrick P. et al, (2004); Roadwork: Theory and Practice 5th Edition, Elsevier,
Amsterdam

Pochwat K., et al (2019); “Odours in Sewerage—A Description of Emissions and of


Technical Abatement Measures”, Environments 2019, 6, 89; doi:10.3390/
environments6080089, www.mdpi.com/journal/environments.

Samsoedin I. et al, (Arifin H.S., Gunawan H. & Turjaman M. – Editor) (2015); Peran
Pohon dalam Menjaga Kualitas Udara di Perkotaan, Forda Press. Jakarta.

Shafique M., Kim R. & Kyung-Ho K. (2020); “Evaluating the Capability of Grass Swale
for the Rainfall Runoff Reduction from an Urban Parking Lot”, Seoul, Korea.

Sukaton A,. Juwana J. S. & Sulistyantara (2004), Panduan Rancang Bangun Roof
Garden, Suku Dinas Pertamanan Jakarta Pusat, Jakarta.

Suryabrata J. A. (2021); “Persyaratan Teknsi Bangunan Gedung (Arsitektur}”, Solo.

Jimmy S. Juwana 506


BAB XII
BIAYA PENYELENGGARAAN BANGUNAN GEDUNG

“…The bitterness of poor quality remains


long after the sweetness of low price is
forgotten…”

Benyamin Franklin

Suatu bangunan tidak saja perlu memenuhi persyaratan teknis (technically


possible), tetapi juga memenuhi kelaikan secara ekonomis (economically
feasible). Persyaratan kelayakan ekonomis ini dipengaruhi oleh berbagai aspek,
di antaranya: pemilihan proyek yang dibangun, pemilihan sistem bangunan,
metode pelaksanaan konstruksi, skema penyelenggaraan proyek, pendanaan
dan cara pengelolaan serta operasional bangunan tersebut. Dari aspek-aspek
yang terkait, maka jelas bahwa analisis tekno ekonomi perlu dilakukan pada
saat proses perancangan yang berorientasi pada rentang waktu pemanfaatan
bangunan di masa mendatang.

Dari semua lingkup analisis tekno ekonomi untuk bangunan gedung yang paling
umum dilakukan adalah menghitung biaya pelaksanaan konstruksi.
Berdasarkan biaya pelaksanaan konstruksi biaya-biaya lain, seperti biaya
perencanaan, biaya pengawasan dan biaya pengelolaan proyek dihitung.

12.1. Ekonomi Bangunan

Proses terjadinya bangunan gedung akan melibatkan banyak komponen di


dalamnya, yang semuanya akan berpengaruh terhadap besarnya biaaya yang
diperlukan. Di samping pertimbangan teknis, putusan yang diambil juga perlu
mempertimbangkan hal-hal non teknis, salah satunya adalah pertimbangan
ekonomis.

Peran arsitek dalam menentukan suatu bangunan efisien atau tidak sangat
besar, utamanya dalam menentukan besaran ruang, bentuk massa bangunan
dan hubungan antar ruang atau hubungan antar massa bangunan.

PENGATURAN
BENTUK MASSA

PENGATURAN SALING
BIAYA MEMPENGARUHI

PENGATURAN
RUANGAN

Gambar 12.1. Keterkaitan Biaya dengan Pengaturan Arsitektural

Jimmy S. Juwana 507


Besar kecilnya dampak suatu keputusan dan/atau besar kecilnya konsekuensi
pembiayaan juga bermacam-macam, namun hal tersebut dapat diperlihatkan
pada Gambar 12.2 berikut ini.

PENGEMBANGAN DESAIN
+

PEMROGRAMAN

PELAKSANAAN
KEPUTUSAN
BENAR

(KEUNTUNGAN)

HULU HILIR

PEMANFAATAN
DOKUMEN PELAKSANAAN
RANCANGAN SKEMATIK
ANALISIS DAMPAK

KEPUTUSAN
SALAH
(KERUGIAN)

Sumber: Swinburne, 1980


Gambar 12.2. Dampak Keputusan pada Biaya

12.1.1. Biaya Daur Hidup Bangunan

Istilah biaya daur hidup bangunan (building life cycle costs) dimaksudkan untuk
mendapatkan gambaran tentang besarnya biaya yang diperlukan untuk seluruh
proses penyelenggaraan bangunan gedung, dari proses perancangan (tahap
pra konstruksi), proses pembangunan (tahap konstruksi) dan proses
pengoperasian, di mana termasuk pemeliharaan/perawatan bangunan (tahap
pasca konstruksi), sampai dengan bangunan tersebut dibongkar, disebut juga
sebagi masa hidup fisik.
Dengan mengetahui biaya daur hidup, perkiraan biaya pemanfaatan bangunan
selama usia manfaat bangunan gedung per periode waktu (per tahun) dapat
dihitung.

Pembobotan biaya konstruksi, biaya investasi dan biaya daur hidup bangunan
dapat dilihat pada Gambar 12.3.

Jimmy S. Juwana 508


Sumber: Swinburne, 1980
Gambar 12.3. Biaya Daur Hidup Bangunan

Adapun siklus daur hidup bangunan dapat dilihat pada Gambar 12.4.

Sumber: Mills, 1994


Gambar 12.4. Daur Hidup Bangunan

Jimmy S. Juwana 509


12.1.2. Korelasi Biaya terhadap Tahapan Penyelenggaraan Bangunan

Dampak terhadap biaya, mutu dan waktu pelaksanan bangunan terlihat pada
Gambar 12.5. di mana menunjukkan bahwa perubahan rancangan tidak boleh
dilakukan pada saat bangunan sudah mencapai tahapan pelaksanaan
konstruksi, karena akan mengakibatkan bertambahnya biaya bangunan secara
signifikan.

Gambar 12.5. Dampak pada Biaya, Mutu dan waktu

Sehubungan dengan daur hidup bangunan, maka ada beberapa kriteria yang
dapat digunakan untuk memperkirakan rentang usia bangunan gedung, adalah:

a. Usia Fisik

Waktu yang diperkirakan di mana suatu fasilitas dapat bertahan, sebelum rusak
akibat daya tahan bahan bangunan tidak dapat diperpanjang. Biasanya
pemeliharaan dan perbaikan gedung yang teratur dapat memperpanjang usia
fisik bangunan.

b. Usia Fungsional

Waktu yang diperkirakan di mana suatu fasilitas dapat memenuhi tuntutan


kegiatan atau fungsi yang diharapkan. Biasanya perpanjangan usia fisik
mempunyai dampak pada perpanjangan usia fungsional bangunan.

c. Usia Ekonomis

Usia ekonomis dilampaui, bila evaluasi finansial mengisyaratkan bahwa


penggunaan gedung baru lebih ekonomis dibandingkan dengan tetap

Jimmy S. Juwana 510


menggunakan gedung yang ada (exsisting building). Pemeliharaan gedung
secara baik akan memperpanjang usia ekonomis suatu gedung.

Korelasi dari ketiga usia ini dapat terlihat pada Gambar 12.6 berikut ini.

USIA FISIK

USIA FUNGSIONAL/ MANFAAT

USIA EKONOMI

Gambar 12.6. Korelasi Usia Fisik, Fungsional dan Ekonomis

Usia ekonomis ini biasanya digunakan untuk menentukan prosentase


depresiasinya.

Mengingat usia fisik bangunan mempengaruhi usia fungsional dan usia


ekonomis bangunan, maka rentang waktu usia bangunan biasanya dibatasi oleh
pertimbangan fungsional dan ekonomis.

Beberapa jenis bangunan mempunyai usia fungsional yang pendek, misalnya:


suatu rumah sakit mempunyai usia fungsional yang sangat pendek pada bagian
tertentu, karena adanya peralatan yang cepat usang atau prosedur medis yang
berganti/berubah secara cepat. Untuk maksud mengurangi biaya awal,
perlengkapan gedung yang kualitasnya rendah dipilih, maka perlengkapan tadi
perlu diganti sebelum mencapai usia ekonomisnya. Hal ini akan berakibat pada
bertambahnya biaya daur hidup bangunan.

Secara umum program suatu gedung perlu direncanakan secara seksama agar
tercapai keseimbangan antara umur fisik, fungsional dan ekonomis, di antara
sistem bangunan yang akan dipilih. Setiap pemilihan akan membawa dampak
pada biaya konstruksi, biaya investasi dan biaya daur hidup bangunan.

Tidak ada satu rumuspun yang dapat digunakan untuk menyusun program
bangunan secara baku. Setiap proyek, setiap gedung, dan setiap kondisi
berbeda. Namun demikian, penetapan program perlu dibuat, karena sangat
penting untuk menentukan ukuran dan kualitas gedung serta pembagian biaya
yang perlu dialokasikan.

Jimmy S. Juwana 511


12.2. Biaya Bangunan dan Biaya Konstruksi

Perhitungan biaya bangunan dan konstruksi dapat dilakukan dengan beberapa


cara, dari yang paling sederhana sampai pada perhitungan yang rinci dan teliti,
di mana volume pekerjaan dihitung berdasarkan gambar kerja.

12.2.1. Berdasarkan Harga Satuan per m2 Bangunan

Perhitungan dengan cara ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran


tentang perkiraan biaya bangunan dan konstruksi suatu bangunan tinggi
berdasarkan harga tertinggi bangunan per m2. Harga satuan ini akan mengalami
perubahan dari waktu ke waktu. Untuk bangunan gedung milik negara harga
satuan ditentukan dalam PP nomor 16 tahun 2021 (dulu tertera dalam Permen
PU PR nomor 22/KPTS/M/2018 tentang Pembangunan Bangunan Gedung
Negara). Harga yang diberikan merupakan harga untuk bangunan gedung
negara yang besarnya tergantung dari Standar Satuan Harga Tertinggi (SSHT)
daerah (dulu dikenal dengan istilah Harga Satuan Bangunan Gedung Negara –
HSBGN) yang ditentukan oleh Kepala Pemerintah Daerah
(provinsi/kabupaten/kota) yang nilainya berbeda untuk berbagai lokasi di
Indonesia. Harga tersebut juga dibedakan antara gedung bertingkat dan gedung
tidak bertingkat (sederhana dan tidak sederhana), serta rumah negara.

Rumah negara dibagi atas lima tipe:


a. tipe Khusus, dengan luas bangunan 400 m2 dan luas tanah 1.000 m2;
b. tipe A, dengan luas bangunan 250 m2 dan luas tanah 600 m2;
c. tipe B, dengan luas bangunan 120 m2 dan luas tanah 350 m2;
d. tipe C, dengan luas bangunan 70 m2 dan luas tanah 200 m2;
e. tipe D, dengan luas bangunan 50 m2 dan luas tanah 120 m2; dan
f. tipe E, dengan luas bangunan 36 m2 dan luas tanah 100 m2;

Biaya konstruksi fisik pembangunan bangunan gedung negara merupakan


harga satuan tertinggi yang terdiri dari biaya standar dan biaya nonstandar.
Selanjutnya, biaya konstruksi masih ditambah dengan biaya perencanaan
teknis, biaya pengawasan teknis (menejemen konstruksi) dan biaya pengelola
kegiatan, yang keseluruhan ini menjadi dasar pagu anggaran pembiayaan
bangunan gedung negara tersebut.

Setelah seluruh gambar perancangan, dan spesifikasi teknis selesai,


selanjutnya dihitung harga perhitungan sendiri – HPS (owner estimate – OE).
Konsultan manajemen konstruksi atau quantity surveyor dengan gambar kerja
dan spesifikasi teknis yang rinci menghitung kembali biaya pekerjaan
(engineering estimate) untuk dijadikan dasar bagi evaluasi penawaran dari
penyedia jasa dan dijadikan harga kontrak (contract estimate).

Jimmy S. Juwana 512


a. Biaya Standar

Biaya ini meliputi pelaksanaan konstruksi fisik standar pekerjaan arsitektur,


struktur, utilitas (intalasi penerangan dan plambing) dan perampungan
(finishing).

Bobot pekerjaan standar untuk bangunan gedung seperti tertera pada Tabel
12.1.
Tabel 12.1. Bobot Pekerjaan Standar Bangunan Gedung
Jenis Pekerjaan Bobot [%seluruh pekerjaan]
Fondasi 5 – 10
Struktur 25 – 35
Lantai 5 – 10
Dinding 7 – 10
Plafon 6–8
Atap 8 – 10
Utilitas 5–8
Perampungan (Finishing) 10 – 15
Sumber: PP nomor 16. 2021

b. Biaya Nonstandar

Merupakan biaya yang digunakan untuk pelaksanaan konstruksi fisik di luar


pekerjaan standar, perizinan selain PBG dan penyambungan utilitas seperti
tertera pada Tabel 12.2.

Tabel 12.2. Bobot Pekerjaan Nonstandar Bangunan Gedung


Jenis Pekerjaan Bobot [%seluruh pekerjaan]
Sistem Tata Udara 7 – 15
Lift, eskalator, moving ramp 8 – 14
Sistem Tata Suara 2–4
Telepon dan PABX 1–3
Instalasi Informasi & Teknologi 6 – 11
Elektrikal termasuk genset 7 – 12
Sistem Proteksi Kebakaran 7 – 12
Penangkal Petir Khusus 1–2
Instalasi Pengolahan Limbah (Ipal) 1–2
Interior termasuk Perabot 15 – 25
Gas Pembakaran 1–2
Gas Medis 2–4
Pencegahan Rayap 1–3
Fondasi Dalam 7 – 12

Jimmy S. Juwana 513


Fasilitas Difabel 3–5
Sarana & Prasarana Lingkungan 3–8
Peningkatan Mutu Max 30 % dari pekerjaan tertentu
IMB Max 1% dari total biaya standar
Penyiapan & Pematangan lahan Max 3,5% dari total biaya standar
Pemenuhan Persyaratan Bangunan Gedung Hijau Max 9,5% dari total biaya standar
Penyambungan utilitas Max 2% dari total biaya standar
Sumber: PP nomor 16, 2021

Khusus untuk rumah sakit yang memiliki ruang dan fungsi khusus, biaya
tersebut masih perlu dikalikan dengan faktor pengali fungsi bangunan atau
ruangan seperti tertera pada Tabel 12.3.

Tabel 12.3. Faktor Pengali Fungsi Bangunan atau


Ruangan di Rumah Sakit
Fungsi Bangunan/Ruang Harga Satuan per m2 Tertinggi
Ruang Sidang 1,50 standar harga bangunan
ICU/ICCU/UGD/CMU 1,50 standar harga bangunan
Ruang Operasi 2,00 standar harga bangunan
Ruang Radiologi 1,25 standar harga bangunan
Rawat inap 1,10 standar harga bangunan
Laboratorium 1,10 standar harga bangunan
Ruang Kebidanan dan
1,20 standar harga bangunan
Kandungan
Ruang Gawat Darurat 1,10 standar harga bangunan
Power House 1,25 standar harga bangunan
Ruang Rawat Jalan 1,10 standar harga bangunan
Dapur dan Laundri 1,10 standar harga bangunan
Bengkel 1,00 standar harga bangunan
Selasar Luar Beratap/Teras 0,50 standar harga bangunan
Sumber: Permen PU PR no. 22/2018

Selanjutnya, harga yang tercantum dalam daftar tersebut merupakan harga


untuk biaya pekerjaan di lantai dasar, sedang untuk bangunan bertingkat, harga
dasar tersebut harus dikalikan oleh suatu faktor Koefisien Pengali Jumlah Lantai
Bangunan yang dapat dilihat pada Tabel 12.4.

Tabel 12.4. Faktor Perkalian Tinggi Lantai


Koefisien/ Jumlah Koefisien/
Jumlah Lantai
Faktor Pengali Lantai Faktor Pengali
Basemen 3 lapis + n 1,393 + 0,1 n 30 1,676
Basemen 3 lapis 1,393 31 1,686
Basemen 2 lapis 1,299 32 1,695

Jimmy S. Juwana 514


Koefisien/ Jumlah Koefisien/
Jumlah Lantai
Faktor Pengali Lantai Faktor Pengali
Basemen 1 lapis 1,197 33 1,704
1 1,000 34 1,7133
2 1,090 35 1,722
3 1,120 36 1,730
4 1,135 37 1,738
5 1,162 38 1.746
6 1,197 39 1,754
7 1,236 40 1,761
8 1,265 41 1,768
9 1,299 42 1,775
10 1,333 43 1,782
11 1,364 44 1,789
12 1,393 45 1,795
13 1,420 46 1,801
14 1,445 47 1,807
15 1,468 48 1,813
16 1,489 49 1,818
17 1,508 50 1,823
18 1,525 51 1,828
19 1,542 52 1,833
20 1,556 53 1,837
21 1,570 54 1,841
22 1,584 55 1,845
23 1,597 56 1,849
24 1,610 57 1,853
25 1,622 58 1,856
26 1,634 59 1,859
27 1,645 60 1,862
28 1,656 60 + n 1,862 + 0,003 n
29 1,666
Sumber: PP nomor 16, 2021

Di samping patokan biaya yang ditentukan oleh pemerintah, banyak kontraktor


atau konsultan atau penilai kuantitas (quantity surveyor) mempunyai analisis
harga dasar bangunan yang diperoleh dari berbagai acuan atau pengalaman di
lapangan.

Di samping itu ada berbagai penelitian di luar negeri yang memperkirakan biaya
bangunan gedung berdasarkan fungsinya (Tabel 12.5).

Jimmy S. Juwana 515


Tabel 12.5. Harga Dasar Bangunan
Fungsi Bangunan Gedung Harga per m2 [US$]
Apartemen 260 – 330
Gedung Parkir 35 – 85
Hotel Bintang 4 – 5 450 – 625
Hotel Bintang 3 300 – 420
Hotel Bintang 1 – 2 200 – 280
Kantor 400 – 520
Perbelanjaan 215 – 300
Rumah Sakit 740 – 920
Sumber: Swinburne, 1980

Untuk mempermudah proses perhitungan pagu anggaran untuk beberapa


bangunan gedung dalam satu persil, analisis dapat dilakukan dengan bantuan
komputer (spreadsheet), agar perhitungan dapat lebih cepat (Gambar 12.7).

Nama Proyek:
Lokasi:
Gedung 1 Gedung 2 Gedung 3 Gedung 4 Gedung 5
ANALISIS
NO BIAYA PEKERJAAN NON STANDAR
Prosentase
1 Alat Pengkondisian Udara
2 Lif/Eskalator
3 Tata suara
4 Telpon dan PABX
5 Instalasi IT
6 Elektrikal termasuk Genset
7 Sistem Proteksi Kebakaran
8 Sistem Penangkal Petir Khusus
9 IPAL
10 Interior termasuk Furniture
11 Gas Pembakaran
12 Gas Medis
13 Pencegahan rayap
14 Pondasi Dalam
15 Fasilitas difabel
16 Sarana/Prsarana Lingkungan
17 Basement
18 Peningkatan Mutu
Total:
Biaya Pekerjaan [Rp}
NO NAMA GEDUNG LUAS [m2] Jumlah lantai Koef. Lantai
Standar Non Standar
1 Gedung 1
2 Gedung 2
3 Gedung 3
4 Gedung 4
5 Gedung 5
Total luas lantai: Total Biaya:
Total Biaya Pembangunan:
Catatan: Biaya Perencanaan: %
Prosentase Biaya Perencanaan, Biaya MK: %
Biaya MK, dan Biaya Pengelola Biaya Pengelolaan Kegiatan: %
Kegiatan dapat dilihat pada Total Pagu Anggaran:
Lampiran 03. Dibulatkan:
Biaya per m2 bangunan:

Gambar 12.7. Kertas Kerja Analisis Pagu Anggaran

Jimmy S. Juwana 516


12.2.2. Berdasarkan Pendekatan Biaya Struktur

Perkiraan besarnya biaya bangunan dan konstruksi dapat pula dilakukan


dengan menghitung biaya pekerjaan struktur. Setelah diperoleh biaya struktur,
dengan memperhatikan bobot pekerjaan struktur, dapat diperoleh seluruh biaya
bangunan/ konstruksi.

Pendekatan ini sering digunakan, mengingat rincian pekerjaan struktur relatif


tidak melibatkan banyak bahan bangunan. Dengan demikian analisis pekerjaan
struktur dapat dihitung berdasarkan volume bahan bangunan yang digunakan
untuk mutu tertentu secara tepat.

Beberapa pendekatan dilakukan berdasarkan sistem struktur yang digunakan,


sebagaimana terlihat pada tabel 12.6.

Tabel 12.6. Volume Bahan Struktur

Sistem Struktur Volume per m2 lantai


Portal Bertingkat – Beton Bertulang*) [m3]
< 12 lantai tanpa basemen 0,30 – 0,35
< 12 lantai dengan basemen 0,35 – 0,40
13 – 25 lantai tanpa basemen 0,35 – 0,40
13 – 25 lantai dengan basemen 0,40 – 0,45
25 – 36 lantai dengan basemen 0,45 – 0,55
Tabung – beton bertulang/komposit 0,35
Bidang/Boks Beton Bertulang 0,40
Portal Bertingkat – Baja [ton]
< 30 lantai 0,50
> 30 lantai 1,00
Sumber: Poerbo, 1993
Catatan : *) Tulangan beton antara 160 – 220 kg/m3
Jika dihitung berdasarkan prosentase penampang beton:
a) Kolom/Inti/Dinding Geser 1 – 6%
b) Balok 1 – 3% dan Pelat lantai 1%

Untuk penggunaan bahan beton (semen, pasir dan koral), tergantung dari mutu
beton yang digunakan yang analisis penggunaan bahannya dapat dilihat pada
Tabel 12.7 memperlihatkan penggunaan bahan yang mengacu pada SNI SNI
7394:2008 – Tata Cara Perhtungan Harga Satuan Pekerjaan Beton untuk
Konstruksi Bangunan Gedung dan Perumahan (warna biru), dan pendekatan
praktis empiris.

Jimmy S. Juwana 517


Tabel 12.7. Analisis Penggunaan Bahan

Mutu Bahan Slump


Semen Pasir Kerikil Air
K F’c*) W/C Test
[kg]
[kg/cm2] [Mpa] [kg] [m3] [kg] [m3] [liter] [cm]
200 19,61 325 731 0,60 1.031 0,90 215 0,61 12 + 2
225 22,07 371 698 1.047 215 0,58 12 + 2
250 24,52 384 692 1.039 215 0,56 12 + 2
275 26,97 405 684 1.026 215 0,53 12 + 2
300 29,42 413 681 0,64 1.021 0,96 215 0,52 12 + 2
325 31,87 439 579 1.006 215 0,49 12 + 2
350 34,32 448 667 1.000 215 0.48 12 + 2
400 39,23 0,70 1,05
500 49,03 0,78 1,17
600 58,84 0,84 1,26
800 78,45 0,90 1,35
1.000 98,07 1,00 1,50
Catatan : *) Mutu beton atas dasar benda uji tekan kubus 15 cm x 15 cm x 15 cm
Nilai dengan warna biru (cetak tebal) mengacu pada SNI 7394:2008
Asumsi harga : Semen = US$ 0,10 / kg.
Pasir = US$ 12,00 / m3.
Koral = US$ 15,00 / m3.
Besi Beton = US$ 6,60 / kg.

Dari data-data yang ada pada Tabel 12.7 dan Tabel 12.8 dapat dicari biaya
bahan struktur, kemudian untuk memperoleh biaya struktur masih perlu
ditambahkan dengan biaya alat bantu (misalnya: seperti perancah) dan tenaga
kerja yang besarnya sekitar 50% dari biaya bahan struktur. Secara umum, biaya
struktur bagian atas diperkirakan berkisar antara US$ 65 – 95 /m2 lantai.

Dengan diperolehnya biaya struktur, yang bobotnya sekitar 25% – 35% biaya
konstruksi (lihat Tabel 12.1), maka biaya konstruksi fisik bangunan dapat
diperoleh.

12.2.3. Berdasarkan Pendekatan Empiris

Mengacu pada biaya dasar tertinggi diperoleh dari SSHT, nilai pada Tabel 12.1
dan Tabel 12.2. (untuk rumah sakit), atau perhitungan empiris melalui
perhitungan biaya struktur bangunan gedung (Tabel 12.5) dengan dikalikan
faktor koefisien ketinggian bangunan gedung (Tabel 12.3), dan kemudian
mengalikannya dengan bobot nilai yang tertera pada Tabel 12.1 dan Tabel 12.2,
biaya komponen/elemen bangunan gedung dapat dihitung.

Jimmy S. Juwana 518


Biaya untuk pembuatan selasar dihitung 0,50 harga bangunan, sedang ruang
pembangkit listrik cadangan dinilai 1,25 harga bangunan

Pembobotan komponen/elemen bangunan dapat pula dibedakan berdasarkan


fungsi bangunan, sebagaimana tertera pada Tabel 12.9.

Tabel 12.8. Bobot Biaya Bangunan


Elemen Bangunan Apartemen Hotel Kantor Rumah Sakit
Fondasi Dalam 6% 6% 10% 4%
Struktur Atas 20% 20% 30% 15%
Lif 3% 3% 2% 5%
Tata Udara 10% 8% 12% 20%
Pemipaan/Sanitair 9% 7% 3% 10%
Proteksi Kebakaran 2% 2% 3% 3%
Elektrikal 10% 8% 11% 15%
Eksterior/Lansekap 20% 18% 10% 8%
Perampungan /Finishing 18% 22% 12% 14%
Perlengkapan Dapur/Binatu 2% 6% - 6%
Sumber: Swinburne, 1980

12.2.4. Bobot Pekerjaan

Perhitungan biaya bangunan dan konstruksi yang paling teliti adalah dengan
menggunakan analisis satuan pekerjaan, yang terdiri dari analisis satuan bahan
(seperti contoh Tabel 12.8) dan analisis satuan pekerja. Namun analisis ini
membutuhkan gambar kerja yang lengkap. Berdasarkan gambar kerja, mula-
mula dihitung volume pekerjaan, mulai dari pekerjaan fondasi sampai dengan
pekerjaan perampungan (finishing). Biaya ini disusun dalam suatu tabel analis
harga satuan pekerjaan, yang meliputi penggunaan bahan, tenaga kerja dan
peralatan. Analisis satuan pekerjaan ini digunakan untuk menentukan harga
satuan pekerjaan, setelah masing-masing koefisien terkait dikalikan dengan
harga satuan bahan dan harga satuan upah tenaga kerja. Selanjutnya, kuantitas
yang telah dihitung dikalikan dengan harga satuan pekerjaan untuk memperoleh
jumlah biaya untuk masing-masing pekerjaan. Jumlah biaya dari masing-masing
pekerjaan dijumlahkan sehingga menghasilkan biaya keseluruhan bangunan.
Bobot tiap pekerjaan diperoleh dengan:
Biaya pe ker jaan
Bobot  % Persamaan 12.1.
Biaya keseluruhan

Dengan pembobotan ini, secara rinci diketahui prosentase setiap pekerjaan


terhadap biaya keseluruhan. Dari volume pekerjaan dan perkiraan kecepatan
kerja, dapat ditentukan alokasi waktu yang diperlukan untuk melakukan

Jimmy S. Juwana 519


pekerjaan tersebut. Pembobotan dan alokasi waktu kerja ini kemudian
digambarkan dalam suatu diagram, yang dikenal dengan grafik kurva ‘S’
(Gambar 12.8).

Grafik kurva ‘S; ini selanjutnya digunakan untuk memantau kemajuan


pekerjaan, dengan membandingkan antara rencana dan kemajuan pekerjaan
yang dicapai untuk kurun waktu tertentu. Di samping itu, grafik kurva ‘S’ juga
dapat digunakan untuk merencanakan anggaran belanja proyek, pengerahan
tenaga dan jadwal pengiriman bahan.

Sumber: Barrie & Poulson, 1992

Gambar 12.8. Grafik Kurva ‘S’

12.3. Biaya Investasi

Perhitungan biaya investasi dihitung dapat dihitung dengan menggunakan


patokan awal biaya bangunan (biaya fisik), di mana didalamnya termasuk biaya
komponen arsitektural, struktur dan instalasi MEP. Selanjutnya, perhitungan
ditambahkan dengan biaya lainnya, seperti perlengkapan tetap, seperti
peralatan lif, tata udara, proteksi kebakaran, plambing dan pompa mekanik serta
perlengkapan bangunan lainnya.

Jimmy S. Juwana 520


Setelah ditambahkan dengan biaya infrastruktur lingkungan, pembelian
lahan/pematangan tapak, jasa penyedia jasa konstruksi, perabot dan biaya
perijinan, diperoleh nilai investasi sebagaimana disusun dalam Tabel 12.9.

Tabel 12.9. Biaya Investasi


Unit Biaya Total Biaya
Uraian Volume
[US$] [US$]
A Biaya Bangunan X m2 Y XY
B Biaya Peralatan Tetap b % XY B
Biaya Pengemb.
C c % XY C
Tapak
D Biaya Konstruksi XY + B + C D
E Biaya Tanah Z m2 V ZV
F Jasa Profesi f % D F
Biaya Peralatan
G g % XY G
Bergerak
H Biaya Administrasi h % D H
I Biaya Lain-lain i % D I
J Biaya Investasi D + ZV + F + G + H + I
Catatan: nilai f : 3 – 6% Sumber: Pena & Parshall, 2012
h : 1 – 5%
i : 5 – 15%

Biaya bangunan US$ Y/m2 diperoleh dari perhitungan hasil analisis terdahulu
(Bagian 12.2 – Biaya Bangunan dan Biaya Konstruksi), sedang biaya tanah US$
V/m2 didasarkan pada harga tanah di mana lokasi bangunan akan dibangun.

Biaya peralatan tetap, berupa sistem tata udara, transportasi vertikal, sistem
pencegahan dan penanggulangan bahaya kebakaran, pengolahan limbah dan
pompa serta pemanas air dapat dihitung dengan menggunakan Tabel 12.9,
pengembangan lahan/tapak (Tabel 12.10) dan juga untuk peralatan bergerak
yang berupa perabotan (Tabel 12.11).

Jimmy S. Juwana 521


Tabel 12.10. Bobot Perlengkapan Tetap

Mutu Peralatan/ Bobot terhadap


Fungsi Bangunan Gedung Biaya Bangunan [%]
Rendah 5
Menengah 10 – 15
Tinggi 20
Canggih 30
Perkantoran 0,50 – 7
Apartemen 7 – 10
Rumah Sakit 18 – 20
Sumber: Pena & Parshall, 2012

Tabel 12.11. Bobot Pengembangan Tapak

Bobot terhadap
Mutu/Lokasi
Biaya Bangunan [%]
Rendah/Mudah 5
Menengah 10 – 15
Tinggi/Sulit 20
Sangat Rumit 30
Di Pusat Kota 5
Di Pinggiran Kota 14 – 15
Daerah Berbatu/Terjal 30
Sumber: Pena & Parshall, 2012

Biaya untuk pengembangan tapak (Tabel 12.11) dapat pula dirinci sebagai
berikut:
a. Persiapan lahan, sekitar 1 – 3% dari biaya bangunan.
b. Perparkiran (dihitung biayanya per kendaraan).
c. Jalan lingkungan (dihitung biayanya per meter panjang).
d. Selasar tempat pejalan kaki (trotoar), sekitar 1 – 7% dari biaya bangunan.
e. Pagar, sekitar 0,5 – 2,5% dari biaya bangunan.
f. Utitlitas di dalam pekarangan, sekitar 1 – 3% dari biaya bangunan.
g. Utilitas di luar pagar (jika diperlukan), sekitar 3 – 5% dari biaya bangunan.
h. Saluran air hujan, sekitar 0,5 – 2,5% dari biaya bangunan.
i. Pertanaman, sekitar 1 – 2% biaya bangunan.
j. Peralatan ruang luar (dihitung berdasarkan kebutuhan).
k. Penerangan luar, sekitar 1% dari biaya bangunan.

Jimmy S. Juwana 522


Tabel 12.12 menunjukkan bobot untuk biaya peralatan bergerak.

Tabel 12.12. Bobot Peralatan Bergerak/Perabot

Bobot terhadap
Mutu Peralatan
Biaya Bangunan [%]
Rendah 5
Menengah 10 – 15
Tinggi 20
Rumah Sakit 18 – 20
Sumber: Pena & Parshall, 2012

12.4. Biaya Operasional dan Pemeliharaan/Perawatan Bangunan

Distribusi biaya operasional dan pemeliharaan/perawatan bangunan secara


garis besar dialokasikan untuk kebersihan, pemeliharaan/perawatan,
pergantian suku cadang, perbaikan, renovasi, keamanan dan asuransi, gaji
karyawan, biaya energi, air dan telepon, biaya depresiasi, pajak dan
pengembalian modal serta bunga pinjaman.

Biaya pelayanan (termasuk gaji karyawan dan keamanan) menempati alokasi


biaya yang paling tinggi (sekitar 42%), diikuti dengan biaya energi sekitar 34%
dan untuk pasokan air bersih sekitar 6%. Biaya untuk pemeliharaan/ perawatan
sekitar 15%, sedang untuk pajak, asuransi, sekitar 3%. Biaya-biaya tersebut
berkisar antara US$ 6 – 10 per m2 per bulan.

Gambar 12.9 menunjukkan penurunan nilai bangunan yang lebih besar dari nilai
depresiasi akibat pemeliharaan/perawatan bangunan yang tidak mengikuti
standar dan prosedur yang sesuai, tidak melakukan preventive maintenance
termasuk tidak dilakukannya pemeriksaan berkala bangunan gedung..

Untuk menghitung nilai depresiasi, usia manfaat bangunan gedung umumnya


ditentukan 50 tahun, namun untuk bangunan gedung fungsi usaha, kadang
ditentukan usia manfaatnya 40 tahun.

Biaya operasional dan pemeliharaan/perawatan bangunan umumnya diperoleh


dari biaya layanan (service charge) yang dibebankan pada penyewa ruangan.
Besarnya service charge ini berkisar antara 25 – 30% dari nilai sewa.

Jimmy S. Juwana 523


Penurunan Nilai Bangunan

Rp. 140

Rp. 120
Nilai Bangunan [x milyar]

Rp. 100

Rp. 80
Nilai Bangunan akibat Depresiasi
Rp. 60

Rp. 40

Rp. 20
Nilai Bangunan tanpa Perawatan
Rp. 0 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
Usia Bangunan [tahun]
Sumber: Juwana, 2005 dikoreksi

Gambar 12.9. Penurunan Nilai Bangunan

12.5. Analisis Tekno Ekonomi Bangunan Tinggi

12.5.1. Penilaian Terhadap Waktu

Dalam analisis tekno ekonomi diperlukan nilai-nilai tertentu yang dijadikan dasar
bagi perhitungan selanjutnya. Nilai-nilai yang diperlukan untuk menentukan
besarnya biaya, sebagaimana telah dijelaskan pada uraian sebelumnya adalah:
harga satuan tanah dan harga satuan bangunan gedung, yang jika dikalikan
dengan jumlah luas lantai (luas lantai bruto) akan menghasilkan biaya
bangunan. Selanjutnya adalah biaya tidak langsung, berupa biaya yang
diperlukan untuk jasa profesional, biaya perijinan dan administrasi serta biaya
bunga modal pinjaman (cost of money atau financing cost).

Dengan demikian nilai investasi proyek yang dihitung, bukan nilai awal, Po (uang
pokok), sebelum proyek dibangun, tetapi nilai setelah proyek selesai dibangun,
Po – FV, yang besarnya tergantung dari besarnya nilai suku bunga (interest – i)
dan lama pekerjaan konstruksi (n tahun). Nilai FV (Future Value) diperoleh
dengan:

Pn  Po 1  i 
n
Persamaan 12.2.

di mana : Pn adalah nilai kemudian


Po adalah uang pokok
i adalah tingkat suku bunga (%)

Jimmy S. Juwana 524


n adalah lama pekerjaan konstruksi (tahun)

Untuk nilai Po = 1,000, maka besar nilai kemudian (future value – FV), menjadi:
FV  1  i  Persamaan 12.3.
n

Nilai kemudian dari 1,000 untuk tingkat suku bunga dan rentang waktu tertentu
dapat dijumpai pada Lampiran 05.

Rumus di atas merupakan nilai yang menyatakan jumlah yang diinvestasikan


pada saat ini dan akan diakumulasikan atas dasar prinsip bunga berbunga
(compound interest) untuk jangka waktu tertentu. Nilai-nilai untuk tingkat suku
bunga (i) dan jangka waktu (n) dapat disusun dalam tabel (lihat Lampiran 04).
Sedang nilai sekarang (present value – PV) dari nilai 1,000 yang merupakan
kebalikan dari Persamaan 12.3. dapat dijumpai pada Lampiran 05, yang
didasari atas rumus:

1
PV  Persamaan 12.4.
1  i n
Persamaan 11.5. digunakan untuk menghitung uang pokok atau nilai sekarang
dari pembayaran atau penerimaan uang yang akan diterima. Persamaan ini
disebut juga dengan daftar diskonto (discount), karena nilai akhirnya selalu lebih
kecil dari nilai yang akan datang.

Jika pada Persamaan 12.4. mewakili satu waktu dan untuk semua jumlah
tunggal uang, maka Persamaan 12.5. berikut ini memberikan jumlah uang
ekivalen per tahun untuk tahun tertentu atau biasa disebut sebagai compound
amount factor CAF (Lampiran 07):
CAF 
1  i n  1 Persamaan 12.5.
i

Kebalikan dari Persamaan 12.6, dinamakan dana pembayaran tahunan (annual


sinking fund – ASF), dan digunakan untuk menghitung nilai uang tahunan yang
akan ditabung setiap tahunnya pada tingkat suku bunga tertentu guna melunasi
pembayaran pada tanggal tertentu di masa yang akan datang (Lampiran 08):
i
ASF  Persamaan 12.6.
1  i n  1
Selanjutnya, pada Lampiran 08, digunakan untuk menghitung nilai sekarang
dari pembayaran mendatang yang dilakukan pada periode tahunan yang
teratur, dengan rumus:

Jimmy S. Juwana 525


PWF 
1  i  1
n

i.1  i 
n Persamaan 12.7.

Persamaan 12.10. disebut jumlah faktor nilai sekarang (present worth factor –
PWF) dari 1,000 atau nilai sekarang dari 1.000 per tahun (tahun pembelian suku
tunggal). Sedang untuk nilai sekarang dari 1,000 pertahun (suku rangkap)
berlaku untuk tingkat suku bunga yang sama, baik pada bunga terhadap jumlah
yang diinvestasikan, maupun pada ASF guna mengembalikan nilai modal
selama tahun tertentu. Dalam kenyataan, tingkat suku bunga terhadap pinjaman
dan terhadap ASF sering kali tidak sama. Oleh karenanya perlu digunakan suku
rangkap (dual rate):
1
PVA  Persamaan 12.8.
i  ASF
Kebalikan dari Persamaan 12.8. biasa disebut dengan faktor pemulihan modal
(Capital Recovery Factor – CRF) sebagaimana dirumuskan dalam Persamaan
12.9 (Lampiran 09):

i1  i 
n
CFR 
1  i n  1
Persamaan 12.9.

Untuk dapat membandingkan antara nilai uang yang diterima atau dikeluarkan
pada saat yang berbeda, maka nilai tersebut perlu dikonversikan jumlahnya ke
dalam skala waktu (Gambar 12.7). Gambar ini memperlihatkan perbandingan
antara nilai kemudian (future value – FV), nilai yang dibayar tahunan (Lampiran
07) dan jumlah nilai sekarang (Lampiran 08).

Dari Gambar 12.10 terlihat bahwa nilai bangunan (investasi) dapat ditinjau dari
beberapa sudut pandang waktu yang secara lebih jelas dapat digambarkan
dengan metode Segitiga Waktu dari nilai uang (Gambar 12.11) untuk
mengetahui jumlah nilai kemudian, jumlah nilai sekarang, jumlah uang pada
masa lampau, dan juga nilai seragam tahunan selama kurun waktu tertentu.

Jimmy S. Juwana 526


Tingkat Suku Bunga: i = 8%
n=
Sekarang
10 tahun

Lampiran 04
671 1.449
671 x 2.1589
Jumlah Tunggal yg
PV Jumlah Tunggal dpt dibayarkan dlm
Dibayarkan dlm 10 10 tahun jika 671
tahun (1.449)

Jumlah Tunggal yg
dpt dibayarkan dlm 1.449
10 tahun jika 100

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Lampiran 06
14,4866 x 100
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100

Nilai Ekivalen per Tahun


dari 1.499 dibayarkan PV = Nilai Sekarang
dlm 10 tahun atau 671 FV = Nilai Kemudian

Lampiran 08
671
6,7101 x 100

PV sebesar 100 per


Tahun dalam 10 Tahun
Sumber: Ashworth & Perera, 2015

Gambar 12.10. Berbagai Nilai pada Tingkat Suku Bunga 8% per Tahun

Nilai
Seragam

PWF
(Lampiran 08)
CAF
(Lampiran 06)
SFF
(Lampiran 07)
CRF
(Lampiran 09)
PWF inverse
(Lampiran 05)
Nilai Nilai
Sekarang Kemudian
CAF inverse
(Lampiran 04)
Sumber: Juwana, 2005

Gambar 12.11. Metode Segitiga Nilai Waktu

Jimmy S. Juwana 527


12.5.2. Analisis Titik Impas

Untuk menentukan harga jual bangunan atau nilai sewa bangunan, maka perlu
diketahui besarnya modal sendiri (equity) yang digunakan, dan kemungkinan
menggunakan modal yang berasal dari pinjaman. Modal pinjaman biasanya
berasal dari bank atau lembaga keuangan dengan sejumlah imbalan bagi
pemberi pinjaman yang biasa dikenal dengan suku bunga (interest). Di samping
itu, perlu diketahui lamanya waktu pinjaman dan lama yang dibutuhkan bagi
pekerjaan konstruksi. Lama waktu konstruksi diperlukan, karena biasanya para
kreditur (pemberi pinjaman) memberikan keringanan berupa penangguhan
pembayaran pokok pinjaman dan bunganya selama masa konstruksi (grace
period). Jika penangguhan hanya diberikan pada pembayaran pokok kreditnya
saja, maka bunga yang tetap harus dibayar biasanya dinamakan interest during
construction (i.d.c.).

Perbandingan antara modal pinjaman terhadap modal sendiri (loan-equity ratio)


biasanya tidak mutlak, tergantung dari jenis proyek yang dikaitkan dengan
resiko proyek. Nilai perbandingan ini biasanya 3:1 untuk proyek-proyek
bangunan komersial. Sedang lama waktu pinjaman biasanya sekitar 15 tahun.

Perhitungan nilai jual atau nilai sewa bangunan yang digunakan adalah dengan
analisis titik impas (break even point analysis – BEP). Biaya investasi dianggap
sebagai biaya tetap (Fixed Costs – FC), biaya operasional dan karyawan,
asuransi, pajak, depresiasi, dan cicilan pokok kredit dan bunganya merupakan
biaya tidak tetap (Variable Costs – VC). Sedang penerimaan (Total Revenue –
TR) yang diperhitungkan, di samping harga sewa dasar, juga masih perlu
ditambahkan biaya layanan (service charge) dan pajak (Pajak Pertambahan
Nilai – PPN). Nilai sewa diperhitungkan atas luas lantai netto. Untuk menghitung
jumlah penerimaan, biasanya tidak didasarkan pada tingkat hunian (occupancy
rate) yang penuh (100%), tetapi untuk tingkat hunian (vacancy rate) yang kurang
dari 100%, agar perhitungan bersifat konservatif (artinya: pembiayaan
semaksimal mungkin, penerimaan seminimal mungkin). Dengan menyamakan
jumlah penerimaan dan jumlah biaya dikeluarkan, maka diperoleh nilai sewa:

TC  FC  VC Persamaan 12.10.

TR  TC Persamaan 12.11.

Dalam bentuk grafis, analisis titik impas dapat terlihat pada Gambar 12.12.

Jimmy S. Juwana 528


Sumber: Sengupta & Guha.1995

Gambar 12.12. Grafik Analisis Titik Impas

Pada daerah < QTI, disebut zona rugi, karena TR < TC, sedang daerah > QTI
disebut zona laba, karena TR > TC.

12.5.3. Tekno Ekonomi Bangunan Tinggi

Ada beberapa hal yang merupakan bahan pertimbangan bagi evaluasi suatu
proyek bangunan tinggi, diantaranya adalah perbandingan antara pendapatan
dan pengeluaran (revenue-cost ratio – RCR), yaitu perbandingan antara jumlah
nilai sekarang dan pengeluaran selama usia ekonomis bangunan.

RCR  1,00 Persamaan 12.12.

Selanjutnya, hal yang perlu diperhatikan adalah tingkat pengembalian investasi


(rate of return on investment – ROI), yaitu gambaran tentang kelaikan proyek.
Tingkat pengembalian investasi ini biasamya diperhitungkan dengan atau tanpa
beban pajak (ROI before tax dan ROI after tax).

ROI before tax adalah jumlah nilai sekarang dari keuntungan sebelum dipotong
pajak dibagi dengan nilai sekarang dari investasi.
TR  TC
ROI before  Persamaan 12.13.
PVinvestasi

Sedang ROI after tax adalah jumlah nilai sekarang dari keuntungan sesudah
dipotong pajak dibagi dengan nilai sekarang dari investasi.

Jimmy S. Juwana 529


TR  TC  Pajak Persamaan 12.14.
ROI after 
PVinvestasi

Persyaratan kedua tingkat pengembalian investasi:

ROI  1,00 Persamaan 11.15.

Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah tingkat pengembalian modal (rate
of return on equity – ROE), yang menggambarkan tingkat keuntungan dari
investasi yang ditanamkan (atau penyertaan modal). ROE adalah jumlah nilai
sekarang selama umur ekonomis bangunan dari pembayaran pinjaman berikut
keuntungan, ditambah dengan akumulasi modal setelah pinjaman lunas dibagi
dengan jumlah nilai sekarang dari investasi.

ROE  1,00 Persamaan 12.16.

Dari pembahasan sebelumnya, dapat diperoleh jumlah pengeluaran berupa


biaya investasi yang diperlukan untuk suatu bangunan tertentu (TC), sedang
penerimaannya (TR) diperoleh dari ruangan yang disewa/dijual. Selanjutnya
dengan menggunakan pendekatan analisis titik impas, maka akan diperoleh
harga dasar sewa/jual.

Secara rinci proses perhitungan tekno ekonomi dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Pembiayaan

Untuk menghitung besarnya biaya yang diperlukan untuk bangunan, diperlukan


data:
1) harga satuan bangunan [US$ per m2];
2) harga lahan [US$ per m2];
3) luas lantai bruto (Lbruto – m2);
4) fungsi bangunan;
5) nisbah luas lantai netto terhadap luas lantai bruto (lihat Tabel 2.1);
6) tingkat suku bunga;
7) nisbah modal sendiri dan pinjaman;
8) lama pinjaman;
9) lama pelaksanaan konstruksi;
10) besar kewajiban pajak;
11) biaya asuransi;
12) biaya operasional; dan
13) depresiasi bangunan.

Jimmy S. Juwana 530


b. Penerimaan

Penerimaan diperoleh dari sewa ruangan (untuk kantor dan pertokoan), nilai jual
bangunan (untuk Apartemen) dan tarif kamar (untuk hotel dan rumah sakit).

c. Analisis Perhitungan

Setelah dilakukan analisis sistem bangunan, berupa analisis struktur,


perhitungan kebutuhan jumlah lift, beban tata udara, sanitasi, daya listrik dan
utilitas lainnya, maka dapat diperkirakan luas lantai efektif (Lnetto).

1) Biaya investasi (I)

Biaya investasi, sebagaimana telah diuraikan terdahulu, terdiri dari biaya


untuk lahan, bangunan, biaya-biaya tidak langsung (jasa profesional,
perijinan, administrasi, perabotan, peralatan dan perlengkapan bangunan
lainnya), dan dana cadangan untuk biaya pelaksanaan konstruksi:
a) Biaya Lahan (Land Cost – LC)
b) Biaya Bangunan (Building Cost – BC)
c) Biaya Tidak Langsung (Indirect Cost – IC)
d) Biaya Cadangan (Contingencies – C)

2) Pembiayaan proyek

Pelaksanaan proyek bangunan tinggi biasanya membutuhkan waktu yang


cukup panjang, sehingga terjadi perkembangan investasi setelah masa
konstruksi:
FV  I .1  i  Persamaan 12.17.
t

di mana : I adalah nilai investasi


i adalah tingkat suku bunga per tahun
t adalah waktu yang dibutuhkan untuk pelaksanaan konstruksi

Biaya proyek pada umumnya diperoleh dari modal sendiri dan pinjaman
pihak lain, sehingga biaya investasi terbagi atas:

Investasi Modal Sendiri:


1
Ie  xFV Persamaan 12.18.a.
q 1

Jimmy S. Juwana 531


Investasi Modal Pinjaman:
q
Il  xFV Persamaan 11.18.b.
q 1

di mana: q adalah nisbah antara modal sendiri dan pinjaman (loan equity
ratio), biasanya q = 3.

3) Bunga Pinjaman (B)

Biaya yang perlu dikeluarkan untuk pembayaran bunga pinjaman:

i1  i 
p
FV
B .FV 
1  i   1
p Persamaan 12.19.
p
di mana: p adalah jangka waktu pinjaman (tahun)

4) Depresiasi (D)

Pengurangan nilai bangunan tergantung dari usia ekonomis bangunan


yang diperkirakan, yang nilainya dapat dilihat pada Tabel 12.13.

D  d .BC Persamaan 12.20.

di mana : d adalah prosentase penurunan nilai (Tabel 12.13)


BC adalah biaya bangunan
Tabel 12.13.
Tingkat Penurunan Nilai Bangunan per Tahun
Depresiasi
Usia Ekonomis
Fungsi Bangunan Gedung (d)
[tahun]
[%]
Apartemen 40 2,5
Hotel 40 2,5
Kantor 45 2,2
Pertokoan 50 2,0
Gedung Parkir 45 2,2
Sumber: Juwana, 2005

5) Operasional dan Perawatan Bangunan (O)

Besar biaya operasional secara sederhana dapat diperhitungkan sekitar


25% dari jumlah penerimaan:

O  0,25R Persamaan 12.21.

Jimmy S. Juwana 532


Dari jumlah ini, alokasi untuk biaya pengelolaan bangunan (BO) sebesar
6% dari O, sedang sisanya sebesar 94% dari O digunakan untuk biaya
pemeliharaan/perawatan bangunan (BM), dengan rincian:
- Biaya listrik dan air : 35% BM
- Biaya perawatan perlengkapan bangunan : 15% BM
- Biaya keamanan dan keselamatan kerja : 2% BM
- Biaya pengendalian lingkungan : 5% BM
- Biaya kebersihan (cleaning service) : 35% BM
- Biaya pertamanan : 2% BM

Selanjutnya, biaya untuk kebersihan (BK) yang besarnya 35% BM, dapat
dirinci lagi menjadi:
- Biaya pembersihan lantai & ruang (janitor service) : 40% BK
- Biaya pembersihan kaca & bangunan bagian luar : 10% BK
- Biaya pembersihan karpet & perabot (upholstery) : 3% BK
- Biaya pembersihan langit-langit dan interior : 30% BK
- Biaya pembersihan ventilasi & saluran tata udara : 15% BK
- Biaya pembersihan atap & halaman :` 2% BK

6) Asuransi (A)

Nilai asuransi juga diperhitungkan dari penerimaan yang diperoleh, yaitu


sekitar 2,5%.

A  0,025.R Persamaan 12.22.

7) Pajak (T)

Pajak yang perlu dibayar adalah:

T  15%R  B  D  O  A Persamaan 12.23.

8) Pembayaran pinjaman pokok (CP)

Pembayaran pinjaman pokok dilakukan setelah masa penangguhan


pembayaran (grace period):

Il
CP  Persamaan 12.24.
p  t
di mana : t adalah jangka waktu grace period, biasanya sama dengan
jangka waktu pelaksanaan konstruksi.

Jimmy S. Juwana 533


9) Penerimaan (R)

Penerimaan didasarkan pada pendapatan dari luas lantai produktif (Lnetto)


dengan mempertimbangkan faktor kekosongan gedung:

R  12 .Lnetto.n.r.1  v  Persamaan 12.25.

di mana : n = jumlah lantai


r = nilai sewa minimum per m2 per bulan.
V = faktor kekosongan gedung (minimum: v = 20%)

10) Titik Impas

Hal pertama yang perlu dilakukan adalah menjumlahkan semua


pembiayaan yang dikeluarkan:

TC  I  B  D  O  A  T  CP Persamaan 12.26.

Dengan menyamakan Persamaan 11.25. dengan Persamaan 12.26,


dapat diperoleh nilai sewa minimum (r):

TC  R
CP I  B  D  O  A  T  12.Lnetto.n.r.(1  v)
Jadi:

I  B  D  O  A  T  CP
r Persamaan 12.27.
12.Lnetto.n.(1  v)

11) Tingkat Pengembalian Investasi

Pengembalian Tingkat Investasi (Return on Investement – ROI),


dibedakan antara ROI sebelum pajak (ROI before tax) dan ROI setelah
pajak (ROI after tax).

a) ROI sebelum pajak:

Sebelum pinjaman lunas, yaitu pada tahun pertama sampai dengan


tahun ke-p:

Laba sebelum pajak ditambah depresiasi:

Lb  R  B  O  A Persamaan 12.28.

Jimmy S. Juwana 534


Jumlah nilai sekarang (tahun pertama sampai dengan tahun ke-p):

PVb 
1  d  1
p
.Lb 
d 1  d 
p Persamaan 12.29.

di mana: d adalah discounted factor (d = 7%)


z adalah usia ekonomis bangunan
p adalah jangka waktu pinjaman

Setelah pinjaman lunas, yaitu dari tahun ke-p sampai dengan tahun
ke-z:

Laba sebelum pajak ditambah depresiasi:

La  R  O  A Persamaan 12.30.

Jumlah nilai sekarang (tahun ke-p sampai dengan tahun ke-z):

 1  d z  1 1  d  p  1
PVa    p 
.La  Persamaan 12.31.
 d 1  d  d 1  d  
z

Jadi nilai sekarang untuk laba sebelum pajak ditambah dengan


depresiasi adalah:

L  PVb  PV a Persamaan 12.32.

Dengan investasi, sebesar FV (Persamaan 12.17.), maka tingkat


pengembalian investasi sebelum pajak:
L
RI b  Persamaan 12.33.
FV

Nilai RIb > 1,00.

Jika nilai RIb < 1, maka nilai sewa (r) harus diperbesar.

Dan titik impas tercapai pada tahun ke-:

z
BEP  Persamaan 12.34.
RI b

Jimmy S. Juwana 535


b) ROI setelah pajak:

Sebelum pinjaman lunas, yaitu pada tahun pertama sampai dengan


tahun ke-p:

Laba sebelum pajak ditambah depresiasi:


L'b  R  B  O  A  T Persamaan 12.35

Jumlah nilai sekarang (tahun pertama sampai dengan tahun ke-p):

PV '

1  d  1 '
p
.Lb 
d 1  d 
b p Persamaan 12.36

di mana : d adalah discounted factor (d = 7%)


z adalah usia ekonomis bangunan
p adalah jangka waktu pinjaman

Setelah pinjaman lunas, yaitu dari tahun ke-p sampai dengan tahun
ke-z:

Laba setelah pajak ditambah depresiasi:

L'a  R  O  A  T Persamaan
12.37.

Jumlah nilai sekarang (tahun ke-p sampai dengan tahun ke-z):

 1  d z  1 1  d  p  1 '
PVa'    p 
 
. La Persamaan 12.38.
 d 1  d  d 1  d  
z

Jadi nilai sekarang untuk laba setelah pajak ditambah dengan


depresiasi adalah:
L'  PVb'  PVa' Persamaan 12.39.

Dengan investasi, sebesar FV (Persamaan 12.17), maka tingkat


pengembalian investasi setelah pajak:

L'
RI a  Persamaan 12.40.
FV '

Nilai RIa> 1,00.

Jimmy S. Juwana 536


Jika nilai RIa < 1, maka nilai sewa (r) harus diperbesar.

Dan titik impas tercapai pada tahun ke-:


z Persamaan 12.41.
BEP 
RI a

12) Tingkat Pengembalian Modal Sendiri

Sebelum pinjaman lunas (tahun pertama sampai dengan tahun ke-p):

Laba setelah pajak dikurangi pembayaran kembali pokok pinjaman:

L"b  R  B  O  A  T  CP Persamaan 12.42.

Jumlah nilai sekarang (tahun pertama sampai dengan tahun ke-p):

PV "

1  d  1 "
p
.Lb 
d 1  d 
b p Persamaan 12.43.

Setelah pinjaman lunas, yaitu dari tahun ke-p sampai dengan tahun ke-z:

Laba setelah pajak ditambah depresiasi:

L"a  R  O  A  T Persamaan 12.44.

Jumlah nilai sekarang (tahun ke-p sampai dengan tahun ke-z):

 1  d z  1 1  d  p  1 "
PVa"    p 
 
. La Persamaan 12.45.
 d 1  d  d 1  d  
z

Jadi nilai sekarang untuk laba setelah pajak ditambah dengan depresiasi
adalah:

L"  PVb"  PVa" Persamaan 12.46.

Dengan penanaman modal sebesar Ie (Persamaan 12.18.a), maka tingkat


pengembalian modal sendiri (return on equity):
Ie
RE  Persamaan 12.47.
L"

Nilai RE > 1,00.

Jimmy S. Juwana 537


13) Nisbah antara Pendapatan dan Pengeluaran

Nisbah ini digunakan untuk menentukan besarnya resiko suatu investasi.


Sebelum pinjaman lunas (tahun pertama sampai dengan tahun ke-p):
Jumlah pengeluaran (tanpa depresiasi dan pajak):

TC b  B  O  A Persamaan 12.48.

Nilai sekarang pengeluaran (tahun pertama sampai dengan tahun ke-p):

PVCb 
1  d  1
p
.TCb 
d 1  d 
p Persamaan 12.49.

Setelah pinjaman lunas, yaitu dari tahun ke-p sampai dengan tahun ke-z:
Pengeluaran pokok tanpa depresiasi dan pajak:

TC a  O  A Persamaan 12.50.

Jumlah nilai sekarang (tahun ke-p sampai dengan tahun ke-z):


 1  d z  1 1  d  p  1
PVCa    p 
.TCa  Persamaan 12.51.
 d 1  d  d 1  d  
z

Jadi nilai sekarang untuk pengeluaran pokok tanpa depresiasi dan pajak
adalah:

TC  PVC b  PVC a Persamaan 12.51.

Nilai sekarang untuk penerimaan adalah:

TR 
1 d  1
z
.( R) .
d 1  d 
z Persamaan 11.52.

Dengan pengeluaran pokok sebesar TC (Persamaan 12.51) dan


penerimaan sebesar TR (Persamaan 12.52), maka nisbah antara
penerimaan terhadap pengeluaran (Revenue – Cost Ratio) adalah:

TR
R  Persamaan 12.53.
C TC
Nilai R/C > 1,00

Jika nilai R/C < 1, maka nilai sewa (r) harus diperbesar.

Jimmy S. Juwana 538


Proses analisis tekno ekonomi untuk bangunan tinggi dapat pula dilakukan
dengan menggunakan aplikasi komputer, seperti yang terlihat pada kertas kerja
di Gambar 12.13 untuk analisis titik impas dan pada Gambar 12.14 untuk
perhitungan ROI.

Kertas kerja yang ada pada kedua gambar ini merupakan contoh analisis tekno
ekonomi untuk bangunan gedung dengan fungsi ganda, di mana pada basemen
digunakan untuk parkir, pada podium digunakan untuk fungsi usaha: pusat
pertokoan/perdagangan/retail, sedang pada lantai tipikalmya digunakan untuk
fungsi kantor, Apartemen atau hotel.

Dengan sedikit modifikasi pada kertas kerja ini, dapat juga dilakukan analisis
tekno ekonomi untuk bangunan gedung yang memiliki fungsi lebih dari tiga
(mixed used), di basemen untuk parkir, di podium untuk pertokoan, dan bagian
lantai atas, dapat dibagi menjadi beberapa fungsi lain, seperti zona bawah untuk
perkantoran, zona tengah untuk hotel dan zona atas untuk Apartemen.

Kertas kerja ini dapat dengan mudah dimodifikasi untuk fungsi bangunan
gedung yang lain; jika untuk kantor sewa digunakan untuk menentukan tarif
sewa per m2 perbulan, untuk hotel digunakan untuk menentukan harga kamar
per hari, untuk pusat perbelanjaan untuk menentukan tarif harga sewa kios, dan
untuk rumah susun pertelaan (srata title) digunakan untuk menentukan nilai unit
hunian.

Selanjutnya, perhitunga ROI umumnya dikaitkan dengan durasi operasional


yang wajar setelah tercapainya titik impas untuk investasi tertentu dan peluang
untuk memperkirakan manfaat (keuntungan) dari investasi yang dilakukan atau
untuk menentukan waktu konsesi opersional bangunan (jika skema
penyelenggaraan bangunan gedung menggunakan pendekatan Build Operate
& Transfer – BOT atau Build Operate & Rent – BOR).

Jimmy S. Juwana 539


ANALISIS NILAI SEWA (r) : PROYEK:
Jumlah Efisiensi
Luas tipikal  Luas kotor  Luas bersih
lantai [n] lantai
Luas lantai basement
Luas lantai tipikal zona 1
Luas lantai tipikal zona 2
Luas podium
Total luas
Pemasukan:
Volume okupansi sewa waktu Jumlah
Areal Basement/Parkir hr
Areal Lantai Tipikal r bl r
Areal Podium r bl r
Total Penerimaan (TR) = + r
Pengeluaran:
Biaya Bangunan: Luas Biaya/m2 Tot al
- Basemen
- Tipikal
- Podium
Biaya Konstruksi =
Peralatan Tetap % =
Pengembangan Tapak % =
Biaya Konstruksi
Tanah/Persiapan Lahan
Jasa Profesional % =
Perabotan % =
Biaya Administrasi % =
Biaya Tak Terduga % =
Biaya Investasi =
i.d.c. Present Value Future Value
Biaya Investasi 20,00 % tahun konstruksi

Modal sendiri % - Modal


Pinjaman dengan bunga % - Pinjm. tahun pinjaman - grace period
tahun
Bunga

Depresiasi % =
Perawatan & Opersional %
Pajak % + r
Pengembalian Pinjaman tahun dari =
Total Biaya (TC) = + r
Persamaan : TR = TC : = r
r =
Sewa $ per m2/perbulan
Nilai tukar US dollar 1 US$ = Rp

Gambar 12.13. Kertas Kerja Analisis Titik Impas

Jimmy S. Juwana 540


ANALISIS TINGKAT PENGEMBALIAN INVESTASI
Sebelum Pajak:
Sebelum Kredit Lunas :
Penerimaan + r
Bunga
Perawatan & Operasional
Laba sebelum pajak ditambah depresiasi + r
Jumlah nilai sampai tahun pelunasan kredit
eskalasi %

+ r
Setelah Kredit Lunas :
Penerimaan + r
Perawatan & Operasional
Laba sebelum pajak ditambah depresiasi + r
Jumlah nilai sampai tahun operasi
waktu operasi tahun

+ r
Jumlah nilai + r
Tingkat Pengembalian Investasi sebelum Pajak: + r
untuk r = RI-b = > 1,00 (O.K.)
Titik Impas tercapai setelah = tahun
Sesudah Pajak:
Sebelum Kredit Lunas :
Penerimaan + r
Bunga
Perawatan & Operasional
Pajak + r
Laba sesudah pajak ditambah depresiasi + r
Jumlah nilai sampai tahun pelunasan kredit
eskalasi %

+ r
Setelah Kredit Lunas :
Penerimaan + r
Perawatan & Operasional
Pajak + r
Laba sesudah pajak ditambah depresiasi + r
Jumlah nilai sampai tahun operasi
waktu operasi tahun

+ r
Jumlah nilai + r
Tingkat Pengembalian Investasi setelah Pajak : + r
untuk r = RI-a = > 1,00 (O.K.)
Titik Impas tercapai setelah = tahun

Gambar 12.14. Kertas Kerja Analisis Tingkat Pengembalian Investasi

Jimmy S. Juwana 541


Soal-Soal Latihan

1. Mengapa keputusan pada awal perancangan sangat penting. Jelaskan.

2. Apa yang dimaksud dengan biaya bangunan, biaya investasi dan biaya
daur hidup bangunan.

3. Hitung pagu anggaran untuk pembangunan bangunan untuk kasus soal


4.3.

4. Jika harga tanah di mana bangunan pada soal 4.3 didirikan bernilai Rp.
20.000.000,-/m2, maka hitung besarnya investasi yang diperlukan.

5. Dengan memperhitungkan depresiasi bangunan, baya operasional,


perawatan/pemeliharaan, pajak dan asuransi serta biaya-biaya lainnya
yang diperlukan untuk bangunan selama usia efektifnya, maka berapa
perkiraan biaya daur hidup bangunan untuk kasus soal 4.3.

6. Jika pelaksanaan konstruksi dapat dipercepat 75% dari rencana semula,


berapa besar nilai pagu anggaran pada soal nomor 2 yang dapat
dihemat.

7. Jika pelaksanaan konstruksi mengalami keterlambatan 20% dari waktu


rencana awal, berapa kerugian yang terjadi.

8. Dengan penghematan biaya yang dilakukan, berapa nilai sewa kantor


per m2 perbulan yang dapat ditawarkan kepada penyewa.

9. Hitung pula tingkat pengembalian investasi, sebelum dan sesudah


(pajak diperhitungkan 30%) untuk kasus soal 4.3.

10. Hitung tingkat pengembalian modal sendiri (soal 4.3).

Daftar Kepustakaan dan Rujukan

… (2021); Peraturan Pemerintah nomor 16 tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan


Undang-Undang nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, Jakarta.

Ashworth A. & Perera S. (2015); Cost Studies of Buildings 6th Edition, Routledge,
London.

Barrie D. S. & Poulson B,C, (1992); Professional Construction Management 3rd Edition.
McGraw-Hill, Inc., New York.

Jimmy S. Juwana 542


Juwana J. S. (2005); Panduan Sistem Bangunan Tinggi – untuk Arsitek dan Praktisi
Bangunan. Penerbit Erlangga, Jakarta

Mann T. (1992); Building Economics for Architects, Van Nostrand einhold, New York.

Mills E. (1994); Building Maintenance and Preservation – A Guide for Design and
Management. Butterworth Heinemann Ltd., Oxford.

Morton R. & Jaggar D, (1995); Design and the Economics of Building, E & FN Spon,
London.

Oberlander G.D. (2000); Project Management for Engineering and Construction 2nd
Edition, McGraw-Hill Higher Education, Boston

Pena W. M. & Parshall S. A. (2012); Problem Seeking – an Architectural Programming


Primer 5th Edition. John Wiley & Sons, Inc., Hoboken.

Poerbo H. (1993); Tekno Ekonomi Bangunan Bertingkat Banyak, Penerbit Djambatan,


Jakarta

Seeley I. H. (1996); Building Economics 4th Edition, MacMillan Press Ltd., Houndmills,
London.

Sengupta B. & Guha H. (1995); Construction Management and Planning, McGraw-Hill


Publishing Company Ltd., New Delhi.

Swinburne H, (1980); Design Cost Analysis – for Architects and Engineers, McGraw-Hill
Company, New York.

White J. A. Et al, (2014); Fundamental of Engineering Economic Analysis – 1st Edition,


John Wiley & Sons, Inc., Hoboken.

Jimmy S. Juwana 543


BAB XIII
PENYELENGGARAAN PROYEK

“…A proper building grows naturally,


logically and poetically out of all its
conditions...”

Louis H Sullivan

Mengacu pada UU nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung,


penyelenggaraan proyek merupakan sebagian dari tahap penyelenggaraan
bangunan gedung (Gambar 13.1), hanya meliputi tahap pembangunan.

Sumber: UU no 28/2002

Gambar 13.1. Penyelenggaraan Bangunan Gedung

Pada setiap kegiatan penyelenggaran proyek akan melibatkan banyak pihak,


baik yang terlibat langsung dengan kegiatan teknis pelaksanaan, maupun yang
memberi dukungan terhadap kelancaraan jalannya tahapan proses,
sebagaimana terlihat pada Gambar 13.2. Masing-masing pihak memiliki peran
dan tanggung jawabnya, sehingga keberhasilan penyelenggaraan proyek perlu
didukung oleh koordinasi dan kerjasama dari para pihak yang terlibat.

Jimmy S. Juwana 544


Gambar 13.2. Pihak-Pihak yang Terlibat dalam Proyek.

Pada pekerjaan bangunan gedung di hampir seluruh dunia, arsitek selalu


berperan sebagai pimpinan/koordinator (team leader) pekerjaan perancangan,
dan pada saat pelaksanaan konstruksi, pimpinan di lapangan digantikan oleh
tenaga ahli lain (biasanya insinyur dari bidang Teknik Bangunan Gedung).

Dalam perannya sebagai pimpinan pekerjaan perancangan, arsitek (konsultan


arsitek) perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. kriteria rancangan terpenuhi;


b. sistem penyelenggaraan proyek dipahami;
c. integrasi antar disiplin terpenuhi;
d. aspek legal terpenuhi;
e. pagu anggaran terpenuhi;
f. rentang waktu pekerjaan terpenuhi; dan
g. risiko saat pemanfaatan terindikasi.

Pada Gambar 13.3 terlihat urutan pekerjaan mulai dari tahap perancangan
sampai seluruh pekerjaan diserahkan pada pemberi tugas. Tugas konsultan
perencana mulai dari awal sampai dengan penyerahan tahap pertama (partial
hand over – PHO), karena pada saat pelaksanaan, persetujuan perencana
masih diperlukan manakala ada perubahan dari rancangan semula. Kontraktor
bertugas sejak penetapan penyedia jasa pelaksana sampai dengan penyerahan
tahap kedua (final hand over – FHO), demikian pula halnya dengan konsultan
manajemen konstruksi (MK) atau pengawas,

Jimmy S. Juwana 545


Sumber: Juwana, 2018.
Gambar 13.3. Tahapan Pekerjaan Proyek

Jimmy S. Juwana 546


13.1. Koordinasi Perencanaan

Koordinasi dilakukan oleh arsitek (konsultan perencana) di mana kendala yang


sering terjadi adalah:
a. Kepemimpinan
Hal ini akan menimbulkan sulit memperoleh keputusan yang cepat dan
tepat, sehingga akan berdampak pada waktu dan kinerja perancangan.
b. Komunikasi tidak lancar
Proses perencanaan melibatkan berbagai tenaga ahli yang memiliki disiplin
ilmu yang berbeda, sehingga persepsi terhadap kasus yang ada dilihat dari
sudut pandang yang berbeda, jika ini tidak segera diselesaikan, akan
berdampak pada kemajuan pekerjaan.
c. Kondisi aktual lokasi pekerjaan
Yang paling sering terjadi adalah jika survei awal menghasilkan rancangan
tapak dan analisis fondasi tidak akurat, sehingga pada saat pengembangan
perancangan banyak hal yang perlu diubah dan/atau direvisi.
d. Pemahaman terhadap Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK)
Regulasi dan SNI sering kali mengalami perubahan, sehingga jika
rancangan dan analisisnya tidak mengacu pada ketentuan yang terbaru,
akan berdampak pada proses penerbitan Persetujuan Bangunan Gedung
(PBG).
e. Estimasi biaya lebih tinggi dari pagu anggaran
Jika hal ini terjadi, perlu dilakukan revisi atas kuantitas dan kualitas
pekerjaan yang akan dilaksanakan, dan ini akan berdampak pada
perubahan gambar dan spesifikasi teknis.
f. Rentang pekerjaan melampaui batas waktu
Biasanya pekerjaan yang rumit membutuhkan waktu lebih Panjang,
karenanya penyederhanaan desain dan/atau metode pelaksanaan
pekerjaan perlu diubah atau direvisi.
g. Tenaga kerja tidak sesuai persyaratan
Terbatasnya ketersedian tenaga ahli yang kompeten di bidangnya,
terutama dalam pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus (bangunan
super tinggi), akan memperlambat proses perancangan.
h. Pengetahuan bahan bangunan terbatas
Perkembangan teknologi bahan seyogyanya menjadi perbendaharaan bagi
perancang untuk memperoleh alternatif dalam menghasilkan bangunan
gedung yang memiliki kinerja dan kriteria yang sama.

Jimmy S. Juwana 547


i. Prosedur pelaksanaan pekerjaan tidak dipahami
Pengalaman di lapangan akan memberikan pengetahuan untuk
menghasilkan gambar kerja yang mudah dilaksanakan, dan bukan hanya
indah di ataskertas tapi sangat sulit untuk dapat diimplementasikan di
pekerjaan.

Koordinasi ini penting agar diperoleh integrasi rancangan bangunan gedung


yang melibatkan bermacam tenaga ahli.

13.1.1. Koordinasi dengan Tenaga Ahli Struktur

Arsitek menginformasikan kepada tenaga ahli struktur, antara lain:


a. fungsi bangunan dan aktivitasnya;
b. lokasi proyek;
c. usulan sistem struktur & tata letak komponen 548ndustry548n; dan
d. batasan ruang dan ketinggian.

Berdasarkan informasi tadi, tenaga ahli struktur dapat:


a. menentukan beban rencana;
b. menentukan zona gempa dan risiko bencana;
c. memilih alternatif sistem dan jenis bahan struktur dan konstruksinya; dan
d. menetapkan dimensi komponen struktur.

13.1.2. Koordinasi dengan Tenaga Ahli Mekanikal

Arsitek menginformasikan kepada tenaga ahli mekanikal, antara lain:


a. hasil perhitungan Overal Thermal Tranfer Value (OTTV);
b. jumlah, zonasi layanan lif dan eskalator;
c. rancangan jalur evakuasi (sistem proteksi kebakaran pasif); dan
d. lokasi daerah basah dan kamar mandi/toilet.

Berdasarkan informasi tadi, tenaga ahli mekanikal dapat:


a. menentukan beban pendingin dan sistem tata udara
b. menganalisis sistem transportasi vertikal
c. merencanakan sistem proteksi kebakaran aktif, penempatan sprinkler,
hidran, alat pemadam api portabel (APAP); dan
d. menentukan sistem plambing, pompa mekanik ventilasi dan tangki septik.

13.1.3. Koordinasi dengan Tenaga Ahli Elektrikal

Arsitek menginformasikan kepada tenaga ahli elektrikal, antara lain:

Jimmy S. Juwana 548


a. kuat cahaya alami yang diperlukan
b. batasan kuat penerangan tiap ruang
c. jumlah dan kapasitas perlengkapan/peralatan listrik
d. zona dan peralatan yang selalu harus berfungsi
e. keperluan tata suara dan kaitannya dengan sistem alarm tanda bahaya dan
kebakaran; dan
f. keperluan komunikasi dan data, serta sistem keamanan

Berdasarkan informasi tadi, tenaga ahli elektrikal dapat:


a. mengusulkan sistem penerangan buatan dan lokasi skaklar;
b. menentukan lokasi sensor cahaya, reflekor atau tirai matahari;
c. menentukan jumlah, lokasi penempatan, jenis dan kapasitas stop kontak,
serta panel listrik;
d. menentukan kapasitas pembangkit listrik cadangan (genset);
e. memilih alternatif sistem tata suara dan sistem alarm;
f. menentukan sistem komunikasi dan data; dan
g. merencanakan sistem keamanan dan penempatan kamera CCTV.

13.1.4. Koordinasi dengan Tenaga Ahli Lansekap

Arsitek menginformasikan kepada tenaga ahli lansekap, antara lain:


a. rencana tapak lengkap dengan perbedaan tingginya (garis kontur);
b. pintu masuk utama dan alternatif, serta orientasi bangunan terhadap arah
lintasan matahari;
c. jalur mitigasi dan tanggap darurat; dan
d. alur pejalan kaki dan kendaraan.

Berdasarkan informasi tadi, tenaga ahli lansekap dapat:


a. merancang pola sistem drainase dan pengelolaan air hujan (sumur
resapan/kolam penampungan);
b. menentukan pola lansekap (jenis dan bentuk vegetasi, jenis dan pola
perkerasan, serta tata letak perlengkapan taman);
c. menentukan lokasi titik kumpul dan parkir kendaraan; dan
d. mengusulkan jalur pejalan kaki dan kendaraan, termasuk fasilitas difabel.

13.1.5. Koordinasi dengan Tenaga Ahli Interior

Arsitek menginformasikan kepada tenaga ahli interior, antara lain:


a. konsep atau tematik penataan ruang dalam;
b. jalur sirkulasi aktivitas dan mitigasi tanggap darurat; dan
c. usulan finishing schedule.

Jimmy S. Juwana 549


Berdasarkan informasi tadi, tenaga ahli interior dapat:
a. mengusulkan susunan tata letak perabot dan dekorasi;
b. menentukan penempatan dan ragam tanda dan rambu;
c. memberi alternatif bahan, corak dan warna;
d. mengusulkan penempatan lampu dan elemen dekoratif lainnya.

13.1.6. Koordinasi dengan Tenaga Quantity Surveyor

Arsitek menginformasikan kepada tenaga quantity surveyor, antara lain:


a. gambar perancangan secara lengkap (arsitektur, struktur, MEP, interior, dan
lansekap);
b. spesifikasi teknis dan prosedur pengerjaannya;
c. rentang waktu tiap pekerjaan dan batasan waktu proyek; dan
d. target capaian antara.

Berdasarkan informasi tadi, tenaga quantity surveyor dapat:


a. menghitung bill of quantity secara lengkap;
b. melakukan analisis harga satuan pekerjaan secara rinci;
c. menghitung bobot pekerjaan per satuan waktu; dan
d. menampilkan dalam bentuk kurva ‘S’

13.2. Penyelenggaraan Proyek

Ada beberapa jenis model penyelenggaraan proyek yang dapat dipilih dalam
melaksanakan pekerjaan konstruksi bangunan tinggi, di antaranya:
a. konvensional;
b. manjamen konstruksi; dan
c. design & build.

Setiap alternatif penyelenggaraan proyek akan berdampak pada waktu dan


biaya proyek (Gambar 13.4).

Jimmy S. Juwana 550


Catatan: PR – Prarencana
PP – Pengembangan Perancangan
DK – Dokumen Kontrak (Gambar Kerja, Spesifikasi Teknis dan
Biaya)
T – Proses Tender
Gambar 13.4. Alternatif Penyelenggaraan Proyek

13.2.1. Metode Konvensional

Penyelenggaraan proyek terbagi atas tiga tahapan: tahap perencanaan proyek,


pengadaan jasa, dan pelaksanaan konstruksi. Pada metode ini, ada pembagian
peran: mulai pra rencana sampai dengan proses tender, arsitek (konsultan
perencana) yang memiliki peran yang cukup penting, sedang setelah proses
tender, pelaksana konstruksi (kontraktor) yang berperan dengan tetap adanya
pengawasan berkala oleh arsitek (konsultan perencana) dan kinerja kontraktor
dipantau oleh pengawas (manajemen konstruksi, yang berperan sebagai
pengawas).

Metode ini dipilih karena:


a. Proses penawaran kompetitif.
b. Mudah dikelola dan sudah umum dikenal.

Jimmy S. Juwana 551


c. Pemilik proyek (owner) mempunyai rancangan yang lengkap sebelum
penawaran (proses tender).

13.2.2. Metode Manajemen Konstruksi (MK)

Konsultan MK/pengawas bertanggung jawab menjaga kepentingan pemilik


proyek, namun, metode ini juga memiliki kelemahan, di antaranya:
a. Kontraktor memiliki keuntungan dari proses kompetisi
b. Proses berlangsung linear
c. Perancang tidak memperoleh manfaat langsung dari keterlibatan
kontraktor/sub kontraktor
d. Perubahan di lapangan merupakan hal yang biasa.
e. Pemilik Proyek mempunyai gambaran yang jelas untuk tiap perubahan
f. Penangguhan klaim dan perbedaan/persengketaan proyek merupakan hal
yang biasa terjadi

Pada metode dengan menggunakan MK, MK bertindak sebagai konsultan bagi


pengguna jasa dalam tahap pengembangan dan perencanaan, namun
perkiraan risiko untuk kinerja konstruksi sama seperti jika kontraktor bersama
dengan seluruh sub kontraktor melakukan tahap pelaksanaan konstruksi. Pada
metode ini MK membantu pemberi tugas (pengguna jasa/owner) pada proses
perencanaan, proses tender dan pengendalian pekerjaan konstruksi.

Pemilihan metode ini dilakukan karena:


a. Menggunakan skala ekonomi
b. Memotong middle man yang biasanya dilakukan oleh Konttaktor Umum
(General Contractor)
c. Hubungan antara Pemilik Proyek dengan Pemasok/Kontraktor lebih dekat
d. Tidak ada tambahan biaya atas kontrak pembelian barang
e. Serah terima untuk semua pekerjaan proyek dilakukan melalui MK.
f. MK sepenuhnya bertanggung jawab pada Pemilik Proyek

Beberapa kelemahan dari metode ini adalah:


a. Tidak cocok untuk proyek yang rumit dan khas.
b. Beban kerja staf bertambah karena banyak kontrak yang perlu dibuat.
c. Pemilik Proyek bertindak sebagai ‘Kontraktor’ yang bertanggung jawab
melakukan koordinasi terhadap kontraktor spesialis (trade contractor)
selama pelaksanaan proyek.
d. Pemilik Proyek menanggung beban jika terjadi kerusakan oleh pemasangan
yang dilakukan oleh pemasok barang (trade contractor) yang merusak
pekerjaan trade contractor lainnya.
e. Tidak ada garansi tunggal yang mengikat untuk seluruh pekerjaan proyek.

Jimmy S. Juwana 552


13.2.3. Metode Design & Build

Pada metode dengan pendekatan design & build, penyelenggaran proyek yang
menggabungkan layanan rancangan arsitektural dan engineering digabung
menjadi satu dengan kontrak kinerja konstruksi. Pada metode ini kendali
pekerjaan ada pada pelaksana konstruksi.

Metode ini dipilih dengan pertimbangan:


a. Menyederhanakan kontrak.
b. Mengurangi hubungan yang bersifat persaingan yang keras.
c. Biaya dikemas secara paket.
d. Kecepatan penyelenggaraan proyek.
e. Berbagi risiko.
f. Keterlibatan Pelaksana Pekerjaan sejak awal.
g. Memvalidasi metode penyelenggaraan proyek untuk daerah tertentu.

Namun metode ini juga memiliki kelemahan, seperti:


a. Penentuan nilai proyek sebelum seluruh proses rancangan selesai
b. Kemungkinan adanya kelemahan/kurang pengalaman untuk memahami
kondisi lokal
c. Berpotensi untuk longgarnya pengawasan atas rancangan
d. Sulit membandingkan antara berbagai usulan proyek
e. Kemampuan kelembagaan
f. Kemungkinan kendala persetujuan Instansi terkait:
1) Dinas Pemadam Kebakaran (Damkar)
2) Dinas yang membidangi Pengawasan Bangunan
3) Kementerian Keuangan/Institusi Keuangan
4) Institusi yang membidangi Aspek Legalitas
5) Dan lain-lain
g. Diperlukan upaya intensif untuk menyelesaikan pekerjaan

Metode ini akan optimal pelaksanaannya, jika penyedia jasa yang mengerjakan
proyek dengan pendekatan design & build ini merupakan kontraktor yang
terintegrasi, yang memiliki devisi perencanaan pada internal perusahaan,
bukan merupakan kerja sama operasional (KSO) antara kontraktor umum
dengan konsultan perencana.

13.3. Pelaksanaan Konstruksi

Di samping melibatkan berbagai macam peralatan, diperlukan juga metode


pengendalian pelaksanaan konstruksi, agar hasilnya sesuai dengan rancangan.
Untuk memprediksi hasil yang diperoleh setelah pelaksanaan konstruksi, saat
ini digunakan Building Information Modelling (BIM) sehingga pada saat proses

Jimmy S. Juwana 553


perancangan orang secara maya (virtual) sudah dapat mengetahui seperti apa
bangunan tersebut jadinya.

13.3.1. Metode Konvensional

Seluruh proses pelaksanaan konstruksi dari awal sampai dengan selesainya


pekerjaan dapat diilustrasikan dalam Gambar 13.5.

Survei Penentuan
Awal Lokasi

Survei Tapak Pematangan Jalan


Lahan/Tapak Akses

Kantor
Proyek

Galian & Timbunan Fondasi & Basemen

Genset &
Tower
Crane

Cetakan Struktur Atas


Beton

Perncah

Dinding
Kusen

Partisi Atap Instalasi MEP

Proteksi
Petir Lantai & Plafon Alarm Pintu & Jendela
Cat Panel
Fitur Saniter

Selesai
Fitur Listrik
Paving
Testing & Commissioning Block
Lansekap & Saluran Air Hujan

Gambar 13.5. Proses Pelaksanaan Konstruksi Konvensional

Jimmy S. Juwana 554


Pelaksanaan konstruksi bangunan tinggi, sebagaimana halnya dengan
bangunan lainnya diawali dengan pekerjaan persiapan/pematangan lahan yang
diikuti dengan pekerjaan fondasi. Fondasi untuk bangunan tinggi seperti telah
diuraikan sebelumnya (Bab IV Sistem Struktural), umumnya berupa fondasi
dalam (fondasi tiang) atau fondasi rakit (berupa basemen) atau gabungan
fondasi dalam dengan basemen.

Fondasi tiang yang lazim digunakan adalah fondasi tiang pancang yang
pelaksanaannya dilakukan dengan menggunakan alat pancang (drop hammer)
yang dipasang pada mobil derek. Hal yang sama juga dilakukan untuk
pelaksanaan fondasi tiang bor di mana alat bor dipasangkan pada mobil derek
(Gambar 13.6).

Gambar 13.6. Mobil Derek untuk Tiang Pancang dan Tiang Bor

Pekerjaan galian dimulai dengan menggunakan berbagai peralatan. Pada


daerah yang muka airnya tinggi, maka perlu disiapkan sumuran untuk
menampung air yang kemudian dipompa keluar (dewatering), seperti terlihat
pada Gambar 13.7.

Sumber: Chudley & Greeno, 2016 dimodifikasi


Gambar 13.7. Sistem Pemompaan Air dari Basemen

Jimmy S. Juwana 555


Sebelum dimulainya pekerjaan galian pada fondasi yang menggunakan
basemen, pertama-tama dilakukan pencegahan kemungkinan longsoran tanah
di sekeliling lokasi yang akan digali, berupa struktur dinding penahan tanah atau
turap (Gambar 13.8). Struktur ini dapat berupa sheet pile, profil baja yang
ditanam mengelilingi areal galian atau berupa soldier pile, tiang pancang yang
diletakkan berimpitan satu dengan lainnya (Gambar 13.9).

Sumber: Chudley & Greeno, 2016 dimodifikasi

Gambar 13.8. Struktur Dinding Penahan Tanah

Sumber: Chudley & Greeno, 2016 dimodifikasi


Gambar 13.9. Berbagai Jenis Struktur Turap

Jimmy S. Juwana 556


Selanjutnya, pengecoran beton diawali pada dasar basemen, diteruskan
dengan kolom dan balok serta pelat secara berurutan dari bawah ke atas.
Setelah pekerjaan fondasi/basemen selesai, baru dilakukan pekerjaan struktur
bagian atas secara berurutan mulai dari lantai dasar sampai dengan lantai atap.
Untuk itu diperlukan alat pengangkut dan pengangkat yang dapat memindahkan
bahan-bahan yang diperlukan dari bawah ke atas yang umum digunakan Tower
Crane (Gambar 13.10) dan untuk mengnagkut beton ke atas digunakan ember
(bucket) seperti Gambar 13.11.

Gambar 13.10. Jenis Tower Crane

Gambar 13.11. Ember Semen (Concrete Bucket)

Untuk lantai-lantai bangunan di bawah enam lapis (di bawah 24 m), adukan
beton dapat diangkat dengan menggunakan mobile crane (Gambar 13.112.)
atau dipompa (concrete pump) dengan menggunakan mobil pompa beton.
(Gambar 13.13).

Jimmy S. Juwana 557


Gambar 13.12. Jenis Mobil Derek (Mobile Crane)

Gambar 13.13. Peralatan Concrete Pump dan Truck Concrete Mixer

13.3.2. Metode Pra-Pabrikasi

Untuk mempercepat proses pekerjaan pelaksanaan konstruksi bangunan


gedung, dan untuk mengurangi sampah konstruksi (construction waste) sering
digunakan pendekatan dengan sistem pra-pabrikasi (pre-fabricated). Untuk
bahan yang menggunakan beton, maka dikenal istilah beton pracetak (pre cast).

Dari proses perancangan, keterpaduan/integrasi komponen arsitektural dengan


komponen lain sangat penting, agar pada saat komponen pracetak di pasang di
lokasi pekerjaan tidak ada lagi koreksi atau penyesuaian dengan sistem
bangunan lainnya. Integrasi tersebut terkait penempatan
peralatan/perlengkapan bangunan yang perlu disiapkan dalam panel pra cetak,
seperti penempatan pipa, sambungan listrik, penempatan lubang untuk pintu
dan jendela, sambungan antar panel dan sambungan dengan elemen non
struktural lainnya.

Secara skematik proses rancangan mengikuti alur seperti Gambar 13.14.

Jimmy S. Juwana 558


Gambar 13.14. Skema Urutan Tahapan Rancangan Pabrikasi

Metode pracetak pada umumnya mengacu pada pendekatan koordinasi


modular, yang meliputi:
a. modul arsitektur/ruang;
b. modul struktur-konstruksi;
c. modul bahan;
d. moduk utilitas; dan
e. modul perabot.

Patokan ukuran (modul) yang merupakan kelipatan dari 100 mm atau 300 mm,
di mana digunakan pada hampir semua produk baik yang terkait langsung
dengan bangunan maupun yang secara tidak langsung dapat digunakan bagi
kelengkapan bangunan (Gambar 13.15).

Sumber: Osbourn, 1985


Gambar 13.15. Pilihan Ukuran Linier untuk Komponen Bangunan

Jimmy S. Juwana 559


Pada sistem pra-pabrikasi, koordinasi modular ini berbentuk tiga dimensi berupa
kubus dengan panjang sisi-sisinya 100 mm atau 300 mm. Keberhasilan
rancangan tergantung dari rentang dan fleksibilitas bahan produksi yang dapat
digunakan untuk keperluan bangunan (Gambar 13.16). Koordinasi modular
digunakan bukan saja untuk tujuan efisiensi penggunaan bahan, tetapi juga
untuk mempermudah pemilihan yang memungkinkan alternatif penggunaan
yang lebih luas.

Sumber: Osbourn, 1985 dimodifikasi

Gambar 13.16. Koordinasi Dimensi Komponen Bangunan

Jimmy S. Juwana 560


Hal yang perlu diperhatikan dalam metode beton para cetak adalah besar
toleransi yang dapat dilakukan dalam perencanaan komponen bangunan. Hal
ini perlu diperhatikan adalah kemungkinan ketidaktelitian antara jarak pola grid,
dimensi teoritis komponen, sistem dan bentuk sambungan, serta proses
produksi komponen para cetak. Dengan demikian, dimensi komponen pracetak
mengalami modifikasi agar dapat menampung ketidaktelitian yang ada, baik
pada saat proses produksi dan pemasangan, maupun untuk mengantisipasi
kemungkinan muai susut bahan (Gambar 13.17). Toleransi ini dapat juga
digunakan untuk mengatasi kemungkinan kesalahan pengukuran atau kurang
akuratnya alat penyambung.

Sumber: Osbourn, 1985

Gambar 13.17. Toleransi pada Perencanaan Dimensi Komponen Pracetak

Strategi umum proses perencanaan sistem beton pracetak, dapat dilihat pada
bagan alir berikut ini (Gambar 13.18).

Jimmy S. Juwana 561


Sumber: Garber, 2014
Gambar 13.18. Strategi Perencanaan Beton Pracetak

Kendala pada metode pra-pabrikasi adalah ketelitian dan fleksibilitas


rancangan. Dua hal ini menyangkut pada rancangan komponen pra-pabrikasi
yang perlu disesuaikan dengan sistem modul. Koordinasi modul akan
mempengaruhi banyaknya varian dan komponen pra-pabrikasi. Untuk
mencapai efisiensi dalam penggunaan sistem pra-pabrikasi ini, tentunya jumlah
varian dan komponen pra-pabrikasi tidak terlalu banyak ragamnya, karena
menyangkut masalah cetakan, yang biaya pembuatannya juga tidak murah.
Oleh sebab itu, untuk dapat menggunakan metode pra-pabrikasi ini volume
pekerjaan menjadi salah satu pertimbangan utama, agar sistem dapat dilakukan
secara optimal.

Setelah seluruh varian modul komponen pracetak ditentukan, proses


pembuatannya dapat dilaksanakan dengan urutan seperti terlihat pada Gambar
13.19.

Gambar 13.19. Proses Pabrikasi sampai Pemasangan Beton Pracetak

Jimmy S. Juwana 562


Kendala lain dalam sistem pracetak pada umumnya terletak pada masalah
teknis, seperti konsep perencanaan dan perilaku sambungan, analisis distribusi
tegangan, pengendalian dan ketelitian pelaksanaan, bentuk dan ukuran yang
tidak fleksibel, serta perkembangan sektor industri konstruksi lainnya.

Pada Gambar 13.20, Gambar 13.21 dan Gambar 13.22 memperlihatkan salah
satu contoh detail sambungan beton pracetak.

Sumber: Girgin, Misir & Kahraman, 2017.

Gambar 13.20. Detail Sambungan Bolok ke Kolom

Sumber: Behera, 2014

Gambar 13.21. Detail Sambungan Kolom

Jimmy S. Juwana 563


Sumber: Behera, 2014

Gambar 13.22. Detail Sambungan Pelat dengan Balok

13.3.3. Metode Top Down Construction

Pada metode konvensional, pelaksanaan basemen dilakukan dengan cara


menggali sampai kedalaman yang diingini, dan selanjutnya basemen dibuat
lapis demi lapis dari bawah ke atas. Pelaksanaan struktur basemen pada
metode top down dilakukan dari basemen yang teratas dan dilanjutkan lapis
demi lapis sampai mencapai kedalaman basemen yang diinginkan (Gambar
13.23).

Tahap awal dari metode ini adalah membuat dinding penahan tanah yang
dilakukan sebelum ada pekerjaan galian tanah (Gambar 13.23.a). Alternatif
yang dapat dilakukan adalah membuat dinding diafragma (diaphragm wall),
tiang bor yang menerus (continuous bored piles) atau tiang pancang, baik
berupa lempengan baja (steel sheet piles) atau beton pra cetak (soldier pile).

Setelah pekerjaan pembuatan dinding penahan tanah selesai, maka dibuat


fondasi tiang bor yang menerus dengan king post. King post adalah bagian dari
tiang fondasi pada posisi kolom basemen, biasanya terbuat dari profil baja atau
dapat juga menggunakan pipa baja (Gambar 13.23.b.). King post ini berfungsi
untuk mendukung pelat lantai dan kolom sementara, yang nantinya diperkuat
agar berfungsi sebagai kolom permanen.

Jimmy S. Juwana 564


Sumber: Tumilar & Hardjasaputra (1994)

Gambar 13.23. Skematik Tahapan Konstruksi

Fungsi pelat lantai beton pada sistem konstruksi top down sangat penting,
karena bukan saja berfungsi sebagai lantai untuk menahan beban matinya,
tetapi juga sebagai penopang yang menahan deformasi lateral pada saat
pelaksanaan pekerjaan galian tanah. Oleh sebab itu untuk memudahkan
pelaksanaan pekerjaan, sistem pelat lantai yang digunakan adalah pelat tanpa
balok (flat slabs), sehingga urutan pekerjaan menjadi sangat sederhana
(Gambar 13.22. c, d, dan e) yaitu mengikuti langkah-langkah seperti yang
tersebut dibawah ini:

a. Meratakan tanah dan sekaligus dilakukan proses pemadatan tanah hingga


elevasi/kedalaman yang diinginkan.

Jimmy S. Juwana 565


b. Pembuatan lantai kerja dari beton ringan untuk penempatan perancah dan
penulangan beton.
c. Pengecoran beton pada pelat lantai.
d. Penggalian pada lantai berikutnya, dan demikian seterusnya sampai
mencapai kedalaman basement yang diinginkan (gambar 13.23.f).

Proses penggalian dan pengangkutan tanah kepermukaan dilakukan seperti


yang terlihat pada Gambar 13.24.

Sumber: Tumilar & Hardjasaputra (1994)


Gambar 13.24. Prinsip Penggalian dengan Metode Top-Down Construction

13.4. Pengendalian Pekerjaan Konstruksi

Pengawas (Manajemen Konstruksi) sangat berperan dalam pengendalian


pekerjaan untuk menghasilkan bangunan gedung yang sesuai dengan biaya,
mutu dan waktu sebagaimana tercantum dalam dokumen kontrak.

Salah satu pendekatan yang dilakukan untuk memantau seluruh prestasi


kemajuan pekerjaan dilakukan dengan menggunakan Grafik Kurva ‘S’ (lihat
Gambar 12.8), namun untuk optimasi pengendalian, dapat digunakan dua kurva
‘S’.

Dengan menambahkan satu kurva ‘S’ lagi, maka di samping diperoleh


gambaran tentang kemajuan pekerjaan, dapat pula dipantau penggunaan dana

Jimmy S. Juwana 566


terkait kemajuan pekerjaan tersebut (Gambar 13.25), sehingga pengendalian
proyek lebih optimal.
Biaya ($)

%
100

90

Rencana Grafik Biaya


80 Biaya

70

60
Biaya
Rencana
Aktual
50
Kerja
Kemajuan
Hasil Pekerjaan
40 Kerja 100%
Aktual
Grafik
30 Pekerjaan 75%

20 50%

10 25%

0 0%
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100%

Tanggal Laporan Waktu


JAN PEB MAR APR MEI JUN JUL AGT SEP OKT NOP
Sumber: Barrie & Poulson, 1992

Gambar 13.25. Grafik Pemantau Kemajuan Pekerjaan

Dengan menggunakan grafik kurva ‘S’ ini dapat diperoleh empat skenario:

13.4.1. Over Costs – Behind Schedule (Gambar 13.26)

Kemungkinan kondisi ini terjadi disebabkan oleh:


a. koordinasi pembelian material tidak sesuai dengan urutan pekerjaan di
lapangan, sehingga banyak penggunaan dana digunakan, namun tidak
memenuhi target kemajuan pekerjaan yang direncanakan.
b. Material sudah tersedia, namun tenaga kerja tidak mencukupi, sehingga
meskipun ada hal-hal yang dapat dikerjakan tapi karena kendala jumlah
tenaga kerja, kemajuan pekerjaan tdak dapat dicapai.
c. Adanya perubahan/revisi gambar kerja yang tidak teinformasi secara baik,
sehingga banyak pekerjaan yang dilakukan ternyata tidak sesuai dengan
revisi gambar terbaru.
d. Pekerjaan yang dilaksanakan tidak memenuhi mutu yang diinginkan,
sehingga untuk pekerjaan yg sama dilakukan berulang kali. Hal ini
menyebabkan pemborosan penggunaan material, upah tenaga kerja dan
waktu pelaksanaan.

Jimmy S. Juwana 567


BIAYA
Waktu Pelaporan
Rp. 80 M 100%

Rencana Biaya
Rp. 72 M 90%

Rp. 64 M 80%
Kelebihan
Biaya Nyata Pengeluaran
Biaya
Rp. 56 M 70%

Rp. 48 M 60%

Lebih Boros
Rp. 40 M 50% dari Rencana
Prestasi
Biaya
Pekerjaan
Rp. 32 M 40% 100%
Rencana Kerja

Rp. 24 M 30% 75%

Rp. 16 M 20% 50%


Kerja Nyata Lama Waktu
Terlambat
Rp. 8 M 10% Lebih Lambat 25%
dari Rencana Kerja

0% 0%
10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% WAKTU
Jan. Peb. Mrt. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nop.

Sumber: Barrie & Poulson, 1992


Gambar 13.26. Over Costs – Behind Schedule

13.4.2. Under Costs – Behind Schedule (Gambar 13.27)

Kondisi ini terjadi mungkin karena:


a. Kendala pada arus kas proyek (project cash flow), sehingga tidak cukup
dana untuk melakukan beberapa pekerjaan meskipun sudah dapat
dilaksanakana.
b. Menggunakan tenaga kerja yang kurang terampil, meskipun upah kerjanya
murah, namun produk yang dihasilkan di bawah rata-rata.
c. Dalam upaya mencari material yang lebih murah mengakibatkan waktu
pasokan lebih panjang dari waktu yang direncanakan.
d. Kendala pelaksanaan pekerjaan, karena faktor cuaca atau hal-hal yang
tidak terduga (keadaan kahar – force majeur).
BIAYA
Waktu Pelaporan
Rp. 80 M 100%

Rencana Biaya
Rp. 72 M 90%

Rp. 64 M 80%
Biaya Nyata Penghematan
Biaya
Rp. 56 M 70%

Rp. 48 M 60%

Rp. 40 M 50%
Prestasi
Lebih Hemat
Pekerjaan
dari Rencana 100%
Rp. 32 M 40%
Biaya Rencana Kerja

Rp. 24 M 30% 75%

Rp. 16 M 20% 50%


Kerja Nyata Lama Waktu
Terlambat
Rp. 8 M 10% Lebih Lambat 25%
dari Rencana Kerja

0% 0%
10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% WAKTU
Jan. Peb. Mrt. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nop.

Sumber: Barrie & Poulson, 1992


Gambar 13.27. Under Costs – Behind Schedule

Jimmy S. Juwana 568


13.4.3. Under Costs – Ahead Schedule (Gambar 13.28)

Kondisi ini merupakan kondisi yang ideal, mungkin disebabkan oleh:


a. Perencanaan pasokan logistik yang cermat, sehingga semua material yang
diberi dapat langsung digunakan pada tahapan pelaksanaan yang tepat.
b. Penggunaan tenaga kerja yang trampil dan cekatan, meskipun upah
kerjanya lebih tinggi, namun produktivitas kerjanya jauh di atas rata-rata.
c. Pemanfaatan waktu kerja yang cermat diiringi dengan supervisi yang baik,
sehingga menghasilkan pekerjaan yang baik (zero defect) dan terhindar dari
hal-hal yang dapat menghambat kemajuan pekerjaan (zero accident)
d. Menggunakan metode dan peralatan kerja yang sesuai sehingga proses
pelaksanaan pekerjaan berlangsung secara efektif dan efisien.
BIAYA
Waktu Pelaporan
Rp. 80 M 100%

Rencana Biaya
Rp. 72 M 90%

Rp. 64 M 80%
Biaya Nyata

Rp. 56 M 70%
Penghematan
Biaya
Rp. 48 M 60%

Rp. 40 M 50%
Prestasi
Pekerjaan
Rp. 32 M 40% Lebih Hemat 100%
dari Rencana Rencana Kerja
Biaya
Rp. 24 M 30% 75%
Lebih Cepat
dari Rencana Kerja
Rp. 16 M 20% 50%
Kerja Nyata Waktu
Lebih Cepat
Rp. 8 M 10% 25%

0% 0%
10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% WAKTU
Jan. Peb. Mrt. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nop.

Sumber: Barrie & Poulson, 1992


Gambar 13.28. Under Costs – Ahead Schedule

13.4.4. Over Costs – Ahead Schedule (Gambar 13.29)

Meskipun kemajuan pekerjaan melebihi target waktu yang direncanakan,


namun penggunaan dana proyek melebihi rencana anggaran (budget) yang
ditentukan. Hal ini mungkin disebabkan:
a. Pelaksana pekerjaan (kontraktor) mengejar prestasi kerja dengan harapan
dapat memperoleh peluang pekerjaan selanjutnya, sehingga mengurangi
keuntungan proyek (margin profit).
b. Lokasi pekerjaan sulit, sehingga perlu mempercepat pelaksanaan pekerjaan
agar tidak menimbulkan kerugian yang lebih besar lagi (cut lost).
c. Proyek khusus di mana penyelesaian waktu pekerjaan yang menjadi target
utama sehingga mengesampingkan aspek pembiayaan.
d. Percepatan pekerjaan dilakukan agar mengurangi kendala pekerjaan di
waktu mendatang, seperti adanya musim hujan, dan libur hari raya.

Jimmy S. Juwana 569


BIAYA
Waktu Pelaporan
Rp. 80 M 100%

Rp. 72 M 90%
Kelebihan
Pengeluaran
Rp. 64 M 80% Biaya
Lebih Boros
dari Rencana
Rp. 56 M 70% Biaya

Rencana Biaya
Rp. 48 M 60%

Rp. 40 M 50%
Biaya Nyata Prestasi
Pekerjaan
Rp. 32 M 40% 100%
Rencana Kerja

Rp. 24 M 30% 75%


Lebih Cepat
dari Rencana Kerja
Rp. 16 M 20% 50%
Kerja Nyata Waktu
Lebih Cepat
Rp. 8 M 10% 25%

0% 0%
10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% WAKTU
Jan. Peb. Mrt. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nop.

Sumber: Barrie & Poulson, 1992


Gambar 13.29. Over Costs – Ahead Schedule

13.5. Building Information Modeling (BIM)

Metode lain yang digunakan untuk pembuatan jadwal pelaksaaan pekerjaan


konstruksi adalah yang biasa dikenal dengan metode jalur kritis (critical path
method – CPM) dan jika menggunakan bantuan komputer dikenal dengan
isitilah PERT (Project Evaluation & Review Technique). Namun dengan telah
berkembangnya ICT, untuk pekerjaan dengan tingkat kerumitan dan nilai
pekerjaan yang memiliki risiko tinggi, pada saat ini digunakan Building
Information Modelling (BIM), di mana penjadwalan sudah termsuk di dalamnya.

Pada akhir tahun 1980an penggambaran melalui komputer yang sering


diistilahkan dengan computer aided design (CAD) dan populer dengan gambar
autocad. Cara ini mulai mengganti meja gambar ke komputer meja (desktop)
dan laptop, yang memberi kemudahan penggambaran perspektif menjadi lebih
mudah dan lebih mendekati realita. Selanjutnya, beragam peringkat lunak
(software) seakan-akan berlomba menawarkan kemudahan dan keunggulan
dari produknya, baik dalam sisi kecepatan, kemutahiran dan kemudahan dalam
berinteraksi dengan pengguna jasa, termasuk animasi dan digitalisasi.

13.5.1. Perkembangan BIM

Perkembangan industri 4.0 yang dipicu oleh perkembangan di bidang ICT


menghasilkan lompatan besar, dari informasi sebatas tiga dimensi (3D) yang
dilengkapi dengan model bangunan gedung dalam skala kecil (maket), ke
dimensi kedelapan melalui pendekatan BIM (Gambar 13.30).

Jimmy S. Juwana 570


Sumber: Galiano, Mahjoubi & Brebbia, 2018 dimodifikasi

Gambar 13.30. Building Information Modeling

Informasi 3D ditambah dengan spesifikasi teknis dan harga satuan pekerjaan


selanjutnya menjadi dasar perhitungan kuantitas (bill of quantity), penjadwalan
pekerjaan konstruksi fisik, dan biaya proyek pembangunan suatu gedung
(Gambar 13.31). Proses ini juga dilakukan dengan pendekatan BIM, hanya saja
dilakukan secara terintegrasi, sehingga setiap unsur yg terlibat dan sering kali
menjadi kendala pada proses terdahulu dapat diperoleh solusinya pada saat
masih dalam proses perancangan.

Secara umum BIM memberikan visualisasi 3D yang lebih lengkap atas seluruh
proyek yang akan dibangun, dengan membangun komunikasi yang lebih mudah
dalam berbagi gagasan arsitek dan ekspektasi pengguna jasa, dengan
mempermudah koordinasi dan kolaborasi dengan tenaga-tenaga ahli lain di
bidangnya masing-masing, ahli teknik bangunan gedung, ahli MEP, ahli
lansekap, desain interior, ahli lansekap termasuk ahli kawasan dan perkotaan.
Hal ini menyebabkan revisi gambar karena terjadinya konflik di antara gambar
rancangan yang dihasilkan oleh masing-masing bidang yang menyulitkan pada
saat pelaksanaan konstruksi dan dapat berdampak pada perpanjangan waktu
pelaksanaan konstruksi, pagu anggaran terlampui, mutu pekerjaan menurun
(akibat bongkar pasang) atau menimbulkan sengketa kontrak dan berujung
pada proses hukum.

Jimmy S. Juwana 571


Sumber: Bormann, 2018 dimodifikasi

Gambar 13.31. Hasil yang Diperoleh dari BIM

BIM tetap melakukan proses yg menghasilkan informasi 3D yang merupakan


hasil dari penggunaan CAD, yang kemudian dilengkapi dengan rentang waktu
tahapan pelaksanaan konstruksi yang dapat disimulasikan dari waktu ke waktu,
dari awal sampai akhir pekerjaan secara maya. Simulasi tahapan pelaksanaan
konstruksi membantu tenaga pelaksana konstruksi yang terlibat untuk dapat
memvisualisasikan tahap demi tahap pekerjaan di lapangan nantinya. Dengan
demikian koordinasi antara pelaksana dan manufaktur dan dukungan pemasok
dapat terlaksana secara optimal, melalui koordinasi rantai pasok (supply chain).

Gambar 13.32. Delapan Dimensi BIM

Jimmy S. Juwana 572


BIM merupakan pengembangan dari proses tiga dimensi (3 D) dan saat ini
sudah sampai pada dimensi kedelapan (Gambar 13.32).

Dimensi kelima merupakan informasi tambahan dari apa yang telah dihasilkan
pada dimensi keempat, berupa kaitan pekerjaan dengan biaya yang diperlukan.
Informasi ini memudahkan untuk membuat rencana pengendalian dan
pengawasan pekerjaan, sehingga pelaksanaan konstruksi dapat lebih efisien,
baik dalam aspek biaya maupun keberlanjutan konstruksi.

Pada dimensi keenam ini, perkiraan biaya terkait penggunaan energi dan air
sudah dapat diperkirakan, sehingga strategi yang ingin dilakukan dalam rangka
konservasi energi dan air dapat dilakukan dengan melakukan beberapa
alternatif pemilihan material dan peralatan bangunan.

Konsep keberlanjutan yang mempertimbangkan tiga aspek, lingkungan,


ekonomi dan sosial dapat dilakukan dengan bantuan inovasi di bidang teknologi
bahan bangunan, metode pelaksnaan dan kemajuan teknologi informasi dan
komputer.

Dengan disiapkannya, informasi yang lengkap sepanjang daur hidup bangunan


gedung (building life cycle), perencanaan pemeliharaan, perawatan dan
pengoperasian bangunan gedung dapat dilakukan dengan lebih rinci, sehingga
prediksi pergantian peralatan dan renovasi bangunan gedung dapat dilakukan
dengan lebih awal.

Pada dimensi ketujuh, BIM dapat mensimulasikan bangunan gedung mulai dari
perancangan sampai dengan tahap pembongkaran, memberikan gambaran
terhadap seluruh siklus penyelenggaraan bangunan gedung.

Informasi tersebut sangat berguna bagi pengelola bangunan gedung, yang dari
hari ke hari perlu mengevaluasi kinerja bangunan gedung terhadap persyaratan
keandalan bangunan gedung.

Perkembangan BIM saat ini tidak berhenti pada dimensi yang ketujuh. Pada
dimensi yang kedelapan, informasi yang telah diperoleh sampai dengan dimensi
ketujuh diintegrasikan dengan keterkaitan rancangan dengan persyaratan
keselamatan dan kesehatan pengguna bangunan gedung.

.13.5.2. Manfaat penggunaan BIM

Dari uraian di atas, efektivitas penggunaan BIM dapat berupa:


a. Rencana jadwal pemeliharaan/perawatan bangunan gedung, sehingga
kinerja bangunan gedung dapat tetap dijaga selama usia manfaatnya.

Jimmy S. Juwana 573


b. Analisis keberlanjutan bangunan gedung yang diperoleh dengan
membandingkan data yang tersedia dengan kriteria konsep bangunan
gedung hijau (green building), bangunan gedung cerdas (smart building)
dan bangunan gedung dengan jejak karbon yang minimal (net zero karbon),
yang semuanya mengacu pada konsep berkelanjutan.
c. Pengelolaan aset yang memanfaatkan informasi terkait fisik bangunan,
sistem dan peralatan yang digunakan, dan daya dukung lingkungan sekitar
bangunan.
d. Pengelolaan pemanfaatan ruang yang seefektif mungkin, sehingga
optimasi penggunaan ruangan yang ada dapat dilakukan, terutama bagi
bangunan gedung komersial.
e. Perencanaan mitigasi kondisi darurat, sehingga risiko yang mungkin terjadi
akibat adanya bencana kebakaran atau gempa bumi dapat diantisipasi
lebih awal. Informasi yang disediakan oleh BIM memungkinkan
perencanaan jalur evakuasi yang paling cepat dan aman, serta menentukan
zona-zona yang berbahaya dalam bangunan gedung.

Manfaat yang diperoleh dengan menggunakan BIM dapat dilihat pada Gambar
13.33.

Sumber: https://www.geospatialworld.net/blogs/what-is-bim/ , kelebihan autodesk, 2020

Gambar 13.33. Manfaat Penggunaan BIM

Pemanfaatan BIM dinyatakan dengan tingkat pengembangan (level of


development – LOD) yang mengukur seberapa rinci informasi yang disajikan.
Yang terdiri atas enam tingkatan (Tabel 13.1).

Jimmy S. Juwana 574


Tabel 13.1. Tingkat Pengembangan BIM
Level of
NO Keterangan
Development
Elemen model secara grafis kadang menunjukkan
LOD 100 – Tahap Konsep model dengan simbol atau hal-hal yang generik (biaya
1
Desain per m2, beban pendingin/TR per m2, dll), dan tidak
memenuhi ketentuan LOD 200.
Elemen model secara grafis menunjukkan model
sebagai suatu model sistem generik dengan perkiraan
LOD 200 – Tahap
2 kuantitas, ukuran, bentuk, lokasi dan orientasi.
Skematik Desain
Informasi non-grafis kadang dapat tertera dalam elemen
model.
Elemen model secara grafis menunjukkan model
sebagai suatu sistem yang spesifik, objek atau
LOD 300 – Tahap Detail gabungan dari ketentuan kuantitas, ukuran, bentuk, dan
3
Desain orientasi.
Informasi non-grafis kadang dapat tertera dalam elemen
model.
Elemen model secara grafis menunjukkan model
sebagai suatu sistem yang spesifik, objek atau
gabungan dari ketentuan kuantitas, ukuran, bentuk, dan
LOD 350 – Tahap
4 orientasi.dan terhubung dengan sistem bangunan yang
Dokumen Konstruksi
lain.
Informasi non-grafis kadang dapat tertera dalam elemen
model.
Elemen model secara grafis menunjukkan model
sebagai suatu sistem yang spesifik, objek atau
gabungan dari ketentuan kuantitas, ukuran, bentuk, dan
LOD 400 – Tahap
5 orientasi dengan detail, pabrikasi, perakitan, dan
Pabrikasi dan Perakitan
informasi pemasangan.
Informasi non-grafis kadang dapat tertera dalam elemen
model.
Elemen model merupakan representasi grafis yang
telah terverifikasi (terpasang) dengan ukuran, bentuk,
LOD 500 =Tahap
6 lokasi, kuantitas, dan orientasi.
Terpasang (as-built)
Informasi non-grafis kadang dapat tertera dalam elemen
model.
Sumber: https://constructionleaders,im/level-of=development-in-bim/

Gambar 13.34 menunjukkan perbedaan pendekatan BIM dan pendekatan


konvensional. Di sini terlihat bahwa penggunaan BIM dapat juga dimanfaatkan
oleh pengelola fasilitas pada tahap pemanfaatan bangunan gedung.

Jimmy S. Juwana 575


Sumber: Holzer, 2015
Gambar 13.34. Pendekatan BIM dan Konvensional

Bila dibandingkan dengan Gambar 12.5 (lihat pada Bab XII), dampak
pendekatan BIM pada biaya bangunan dapat terlihat pada Gambar 13.35.

Sumber: Kumar, 2015, Borman, 2018, & Lu, 2019.


Gambar 13.35. Dampak Pendekatan BIM pada Biaya Bangunan.

Jimmy S. Juwana 576


13.6. Sistem Manajemen Keselamatan Kerja

Beberapa kebijakan yang mengatur tentang keselamatan dan kesehatan kerja


(K3) di antaranya:
a. Undang-undang nomor 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
b. Undang-undang nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan
c. Peraturan Meteri Tenaga Kerja nomor 1 tahun 1980 tentang Keselamatan
dan Kesehatan pada Konstruksi Bangunan
d. Keputusan Bersama Menteri Tenaga Kerja dan Menteri Pekerjaan Umum
nomor 174/Men/1986 dan 104/KPTD/1986 tentang Keselamatan dan
Kesehatan Kerja pada Kegiatan Konstruksi
e. Peraturan Menteri Tenaga Kerja nomor 5 tahun 1996 tentang Sistem
Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
f. Peraturan Menteri Tenaga Kerja nomor 12 tahun 2015 tentang Keselamatan
dan Kesehatan Kerja Listrik di Tempat Kerja
g. Peraturan Menteri Tenaga Kerja nomor 9 tahun 2016 tentang K3 Pekerjaan
pada Ketinggian
h. Peraturan Menteri Tenaga Kerja nomor 37 tahun 2016 tentang K3 Bejana
Tekanan dan Tangki Timbun
i. Peraturan Menteri Tenaga Kerja nomor 6 tahun 2017 tentang Keselamatan
dan Kesehatan Kerja Elevator dan Eskalator
j. Peraturan Menteri Tenaga Kerja nomor 5 tahun 2018 tentang Keselamatan
Kerja dan Kesehatan Kerja Lingkungan kerja
k. Peraturan Menteri Tenaga Kerja nomor 8 tahun 2020 tentang Keselamatan
dan Kesehatan Kerja Pesawat Angkat dan Pesawat Angkut
l. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat nomor 10
tahun 2021 tentang Sistem Manajemen Keselamatan Kerja.

Dari sekian kebijakan dan regulasi yang terkait dengan K3, intinya adalah
memberikan perlindungan kepada pekerja untuk dapat terjamin keselamatan
dan kesehatannya di tempat kerja. Hal ini dapat dicapai dengan mengurangi
angka kecelakaan kerja.

Khususnya pada kegiatan proyek konstruksi yang memiliki karakteristik:


a. melibatkan banyak tenaga kerja yang tingkat pendidikannya terbatas;
b. memiliki masa kerja yang terbatas;
c. melaksanakan pekerjaan dengan intensitas kerja yang tinggi;
d. menggabungkan berbagai disiplin ilmu dan ragam keterampilan; dan
e. menggunakan peralatan kerja yang beragam sesuai jenis pekerjaan,
teknologi, kapasitas dan kondisi yang spesifik.

Jimmy S. Juwana 577


13.6.1. Potensi, Risiko dan Bahaya

a. Potensi Kecelakaan

Dari berbagai penelitian daan survei ang dilakukan oleh Organisasi Pekerja
Internasional (International Labour Organization – ILO), potensi kecelakaan
pada sektor konstruksi:
1) Jatuh dari ketinggian : 26%
2) Terbentur : 12%
3) Tertimpa/kejatuhan benda : 9%
4) Akibat mesin motor/listrik : 8%
5) Perkakas tangan (tools) : 6%
6) Alat transport : 7%
7) Lain-lain : 31%

b. Risiko dan Bahaya

Pengendalian risiko dapat dilakukuan dengan terlebih dahulu mengindentifikasi


bahaya yang mungkin terjadi, yang berasal:
1) Biologi
Bahaya yang muncul dari ada gangguan kesehatan akibat adanya jamur,
virus, bakteri, mikro-organisme, tanaman dan binatang.
2) Kimia
Bahan/material/gas/uap/debu/cairan beracun, berbahaya, mudah meledak/
menyala/terbakar. Dapat juga berasal dari bahan yang korosif, bertekanan,
reaktif, mengandung radioaktif, oksidator yang dapat menyebabkan kanker,
bahaya pernapasan dan mngakibatkan lingkungan tercemar.
3) Fisik/Mekanik
Ini dapat berupa infrastruktur, mesin/alat/perlengkapan/kendaraan/alat
berat, ketinggian, tekanan, suhu, ruang yang sempit/terkurung/terbatas,
cahaya, listrik, radiasi, kebisingan, getaran dan aliran udara (ventilasi).

4) Biomekanik
Ini diakibatkan oleh postur tubuh, posisi kerja, tatacara pengangkutan
manual, gerakan berulang serta terkait ergonomik tempat kerja, alat atau
mesin.

5) Psikis/Sosial
Hal ini disebabkan oleh berlebihnya beban kerja, kendala komunikasi,
pengendalian manajemen, lingkungan sosial tempat kerja, adanya
kekerasan dan intimidasi.

Jimmy S. Juwana 578


6) Dampak Lingkungan
Hal-hal yang berkaitan dengan sumber daya alam, seperti air, tanah, udara,
sumber daya energi, serta flora dan fauna,

Dalam hal kondisi berbahaya dan perilaku berisiko tidak aman hadir pada saat
bersamaan, kondisi kehilangan kendali menjadi lebih besar terjadi; hanya faktor
keberuntungan saja yang membedakan apakah akan terjadi kecelakaan serius,
cedara serius atau menimbulkan kematian.

Terkait risiko kesehatan, setiap orang yang memiliki daya tahan dan pola kerja
yang berbeda, tingkat sensitivitasnyapun akan berbeda, dengan kemungkinan
risiko:
1) iritasi pada kulit;
2) alergi;
3) iritasi pada mata; dan
4) gangguan pernapasan.

Berdasarkan kemungkinan bahaya yang akan terjadi, pengendalian risiko


dilakukan menurut hirarki (Tabel 13.2 dan Gambar 13.36).

Tabel 13.2. Hirarki Pengendalian Risiko


Yang Dilakukan Yang Dituju
Alat Pelindung Diri
Menggunakan APD
(APD)
Membuat :
- Prosedur
- Aturan
- Pelatihan
Adminstrasi - Durasi Kerja
- Tanda Bahaya
- Rambu
Tenaga Kerja
- Poster
- Label
Modifikasi/Perancangan:
- Alat
Perancangan - Mesin
- Tempat Kerja
Yang lebih aman
Substitusi Mengganti alat/mesin/bahan
Menghilangkan sumber Tempat Kerja
Eliminasi
bahaya

Jimmy S. Juwana 579


Sumber: Suardi, 2005 dimodifikasi

Gambar 13.36. Hirarki Pengendalian Risiko

Berdasarkan Gambar 13.16 di atas, urutan langkah-langkah implementasi K3


dilakukan mulai dari penggunaan APD secara bertahap sampai pada
dihilangkannya risiko bahaya yang ada.

c. Alat Pelindung Diri (APD)

APD yang utama digunakan di lokasi pekerjaan (Gambar 13.37), berupa:


1) Helm/topi pengaman, untuk melindungi kepala
2) Sepatu pelindung (safety shoes), untuk melindungi kaki
3) Kaca mata (google), untuk melindungi mata
4) Sarung tangan (gloves), untuk melindugi tangan/jari
5) Rompi pengaman, untuk melindungi tubuh
6) Masker, untuk melindungi pernapasan
7) Pelindung telinga (ear plug), untuk melindungi pendengaran

Jimmy S. Juwana 580


Gambar 13.37. Alat Pelindung Diri

d. Rambu-Rambu Keselamatan Kerja

Rambu-rambu K3 merupakan hirarki kedua, jika penggunaan APD masih


kurang efektif. Rambu-rambu K3 merupakan bagian penting dalam penerapan
K3 di lingkungan proyek konstruksi dan harus dipasang pada tempat-tempat
yang strategis, dan mudah terlihat serta sesuai dengan situasi kerja.

Rambu-rambu yang diperlukan pada pekerjaan gedung adalah sebagai berikut:


1) Wajib menggunakan topi pengaman (safety helmet) pada daerah sekitar
proyek.
2) Dilarang merokok atau menyalakan api pada daerah yang berdekatan
dengan tempat penyimpanan bahan-bahan yang mudah terbakar seperti
bensin, bahan kimia dan sejenisnya.
3) Wajib menggunakan kaca mata/kedok las bagi tukang las.
4) Wajib menggunakan penutup/pelindung telinga pada daerah yang bising
akibat bunyi mesin seperti mesin ketam, mesin gergaji dan sebagainya.
5) Rambu-rambu lainnya sesuai dengan karakteristik bidang pekerjaannya

Rambu dibedakan sesuai keperluannya, ada yang berupa larangan, perintah,


peringatan, petunjuk kondisi aman, peringatan bahaya api, dan informasi
(Gambar 13.38).

Jimmy S. Juwana 581


Gambar 13.38. Contoh Rambu-rambu K3
e. Perancangan

Langkah selanjutnya dalam rangka mengurangi potensi kecelakaan adalah


dengan melakukan rancangan atau rekayasa agar membuat lokasi kerja lebih
aman. Hal ini dapat berupa pemasangan pengaman, pengalihan alur lalu lintas
(Gambar 13.39).

Sumber: Hughes & Ferrett, 2005.


Gambar 13.39. Contoh Rekayasa K3

Jimmy S. Juwana 582


f. Substitusi
Contoh yang paling sederhana adalah dengan mengganti perancah
kayu/bambu dengan perancah besi (steel scaffolding) yang dapat digunakan
lebih lama dan tidak mudah lapuk (Gambar 13.40).

Gambar 13.40. Contoh Substitusi K3


g. Eliminasi

Menghilangkan penggunaan bahan-bahan yang tidak ramah lingkungan, bahan


yang mudah terbakar dan/atau yang berpotensi mengganggu kesehatan
pekerja, misalnya dengan dihilangkannya bahan yang mengandung asbes.

13.6.2. Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi (SMK2)

SMK2 mengacu pada Permen PUPR nomor 10 tahun 2021 tentang Pedoman
SMK2 yang di antaranya menyebutkan bahwa penerapan SMK2 terdiri atas:
a. Rancangan konseptual SMKK
adalah dokumen telaah tentang Keselamatan Konstruksi yang disusun pada
tahap pengkajian, perencanaan dan/atau perancangan.

b. Rencana Keselamatan Konstruksi (RKK)


adalah dokumen telaah tentang Keselamatan Konstruksi yang memuat
elemen SMKK yang merupakan satu kesatuan dengan dokumen Kontrak.

c. Rencana Mutu Pekerjaan Konstruksi (RMPK)


adalah dokumen telaah tentang Keselamatan Konstruksi yang memuat
uraian metode pekerjaan, rencana inspeksi dan pengujian, serta
pengendalian Subpenyedia Jasa dan pemasok, dan merupakan satu
kesatuan dengan dokumen kontrak.

Jimmy S. Juwana 583


d. Program Mutu
adalah dokumen rencana penerapan Keselamatan Konstruksi yang memuat
perencanaan kegiatan penjaminan dan pengendalian mutu yang disusun
oleh Penyedia Jasa Konsultansi Konstruksi dan merupakan satu kesatuan
dalam Kontrak.

e. Rencana Kerja Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup (RKPPL)


adalah dokumen telaah tentang Keselamatan Konstruksi yang memuat rona
lingkungan, pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang merupakan
pelaporan pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan.

f. Rencana Manajemen Lalu Lintas Pekerjaan (RMLLP).


adalah dokumen telaah tentang Keselamatan Konstruksi yang memuat
analisis, kegiatan dan koordinasi manajemen lalu lintas.

Rancangan Konseptual SMKK yang disusun pada pekerjaan pengkajian dan


perencanaan paling sedikit memuat:
a. lingkup tanggung jawab pengkajian dan/atau perencanaan;
b. informasi awal terhadap kelaikan yang meliputi lokasi, lingkungan, sosio
ekonomi, dan/atau dampak lingkungan; dan
c. rekomendasi teknis.

Selanjutnya, dalam melaksanakan Pekerjaan Konstruksi, Penyedia Jasa


menyusun Remcana Keselamatan Konstruksi (RKK) sesuai ketentuan. Setiap
RKK memuat elemen SMKK yang terdiri atas:
a. kepemimpinan dan partisipasi tenaga kerja dalam Keselamatan Konstruksi;
b. perencanaan Keselamatan Konstruksi;
c. dukungan Keselamatan Konstruksi;
d. operasi Keselamatan Konstruksi; dan
e. evaluasi kinerja penerapan SMKK.

Adapun RKK terdiri atas:


a. RKK pengawasan disusun oleh jasa konsultan pengawasan;
b. RKK manajemen penyelenggaraan konstruksi disusun oleh penyedia jasa
manajemen penyelenggara konstruksi; dan/atau
c. RKK pelaksanaan Pekerjaan Konstruksi disusun oleh penyedia jasa
konstruksi.

Jimmy S. Juwana 584


Tabel 13.3. Identifikasi Bahaya dan Peniliaian Risiko

Analisis Keselamatan Konstruksi yang selanjutnya disingkat AKK adalah


metode dalam mengidentifikasi dan mengendalikan bahaya berdasarkan
rangkaian pekerjaan dalam metode pelaksanaan kerja (work method
statement), sebagaimana contoh pada Tabel 13.3.

Selanjutnya, pada saat pelaksanaan konstruksi dilakukan pemantauan atas


peristiwa yang terjadi agar pengendalian terhadap bahaya dapat diantisipasi
(Gambar 13.41). Pemantauan dilakukan secara rinci, lengkap dengan waktu
pemantauan, lokasi yang dipantau, sumber dan risiko bahaya, tingkat bahaya
dan rekomendasi penanganannya.

Pemantauan juga dilengkapi dengan foto dan pihak-pihak yang dilibatkan serta
statusnya, apakah sudah dilakukan tindakan atau masih dalam proses
pelaksanaan.

Jimmy S. Juwana 585


Gambar 13.41. Pemantauan dan Pengendalian Bahaya
Analisis kemungkinan bahaya, pengendalian risiko dan penanganan K3 dapat
dirangkum dalam bentuk matriks (Tabel 13.4).

Tabel 13.4. Matriks Bahaya, Risiko dan K3.


Kondisi
Tindakan
Risiko Tidak Aman Kecelakaan Kejadian Nyaris Keselamatan
Istilah Bahaya (Hazard) Tidak Aman
(Risk) (Unsafe (Accident) (Incident) (Near Mist) Kerja
(Unsafe Act)
Condition)
- Kejadian yang - Sebuah
- Peluang atau - Unsur perilaku - Kondisi fisik yang - Kejadian yang tidak
dapat peristiwa tak
kemungkinan, yang tidak tidak memuaskan diinginkan terjadi,
menimbulkan/ terencana yang
- Segala sesuatu yang tinggi, sedang, atau memuaskan yang ada di mengakibatkan
berpotensi tidak
dapat menyebabkan rendah, bahwa segera sebelum lingkungan tempat cedera pada manusia
mengarah menyebabkan
kerugian. seseorang yang suatu peristiwa kerja segera dan kerusakan Merupakan rangkaian
pada cedera,
- Sesuatu keadaan terkena bahaya kecelakaan yang sebelum suatu kerugian/lost lainnya. usaha untuk
kecelakaan penyakit, atau
yang memungkinkan dapat celaka akibat signifikan dalam peristiwa - Jika sudah ada luka- menciptakan
- Suatu kejadian kerusakan,
dapat menimbulkan hal tersebut. memulai acara. kecelakaan yang luka, kematian, dan suasana kerja yang
Definisi yang tidak tetapi memiliki
kecelakaan, kerugian - Menyatakan - Sesuatu signifikan dalam terkait dengan aman dan tenteram
diinginkan yang potensi untuk
berupa cedera, kemungkinan pelanggaran memulai acara. keselamatan dan bagi karyawanyang
dapat dan telah terjadi.
penyakit, kerusakan terjadinya terhadap prosedur - Suatu kondisi fisik/ kesehatan lainnya berkerja di tempat
diadakan - Kejadian yang
dan ketidakmampuan kecelakaan, keselamatan yang keadaan yang (kerusakan properti, kerja tertentu.
kontak dengan tidak
fungsi yang telah kerugian pada memberi peluang berbahaya yang tempat kerja tidak
sumber sumber menimbulkan
ditetapkan. periode tertentu terjadinya mungkin langsung masuk lagi dalam
energi yang cedera manusia
atau siklus operasi kecelakaan. dapat menimbulkan istilah ‘kecelakaan’ di
melebihi nilai atau kerugian
tertentu. kecelakaan OHSAS 2007)
ambang batas lainnya.
Sebuah risiko
bahaya, misalnya: Bahaya seperti Kenaikan - Penerapan
Pecah ban, heat mengambil jalan lantai licin, pecahan temperatur SMK2/OHSAS.
Bahan kimia, listrik, - Kecelakaan industri/ Terpeleset,
stress, keracunan pintas, kaca, mesin tak mesin, debit air - Penggunaan APD
beban berat, api di tempat kerja. tersandung, salah
Contoh makanan, tersengat kecerobohan, terjaga, kabel dalam pipa yang baik dan
terbuka, bekerja dari - Kecelakaan di mengambil bahan
listrik, mengantuk, kurangnya melintang, tingkat meningkat, benar.
tangga, dll. perjalanan. kimia.
kelelahan, merokok. perhatian, pencahayaan yang genangan - Rotasi pekerja.
permainan kasar, rendah, dll. minyak/oli. - Penerapan K3, dll.
dll.
Standardisasi - Manajemen
Upaya pencegahan Komunikasi, Tanggap darurat
Tindakan Upaya pengendalian tempat kerja, Keselamatan Kerja.
 peringatan pelatihan dan Investigasi (emergency Investigasi
(Action) bahaya (program K3). pemakaian APD, - Penerapan K3, dll.
(warning) sanksi response)
kerja profesional.

Jimmy S. Juwana 586


13.6.3. Pertolongan Pertama

Untuk mengantisipasi kemungkinan adanya kecelakaan di lokasi pekerjaan,


perlu disiapkan kotak pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K). Bahan
Kotak P3K harus terbuat dari bahan yang kuat dan tahan lama tetapi ringan
dengan desain yang mudah dipindah-pindah serta diberi label yang jelas agar
mudah dicari dan menyolok mata. Bahan kotak P3K biasanya terbuat dari
multipleks atau MDF, yaitu kayu lapis yang kokoh dan kuat, dengan berat yang
lebih ringan dibandingkan jika dibuat dari kayu solid. Agar penampilan terlihat
rapi dan bersih maka sebaiknya dicat dengan warna putih, dengan tulisan
merah terang agar mudah terlihat dari jarak jauh. Saat ini di apotik, toko obat
atau pada pedagang alat-alat kedokteran telah dijual kotak P3K yang sudah
dalam bentuk jadi yang biasanya terbuat dari plastik atau alumunium dengan
pintu kaca (Gambar 13.42).

Gambar 13.42. Kotak P3K

Lokasi penempatan juga harus mudah dilihat dan mudah dijangkau, sehingga
harus diletakan di tempat yang strategis, di tempat atau ruangan yang banyak
dilalui orang. Penempatannya harus mudah dijangkau, jadi ketinggian
penempatan disesuaikan dengan tinggi bahu rata-rata orang dewasa, sehingga
nyaman baik pada saat mengambil barang-barang/perlengkapan medis,
maupun pada saat mengembalikan.

Masa berlaku kotak P3K, adalah hal yang sangat penting diperhatikan terutama
yang berhubungan dengan masa berlaku obat-obatan, yang dapat
mengakibatkan hal fatal jika dipergunakan/dikonsumsi.

Petugas K3 harus secara periodik memeriksa masa berlaku bahan maupun


obat-obatan yang ada di dalam kotak P3K.

Jimmy S. Juwana 587


Isi kotak P3K terdiri dari bahan dan obat-obatan yang diperlukan untuk
melaksanakan pertolongan pertama bila terjadi kecelakaan (Tabel 13.5), di
antaranya:

Tabel 13.5. Rekomendasi Isi Kotak P3K

No Isi Kotak A Kotak B Kotak C


[25 tenaga kerja] [50 tenaga kerja] [100 tenaga kerja]
1 Kasa steril 20 40 40
2 Perban 5 cm 1 2 4
3 Perban 7.5 cm 1 3 6
4 Kain transparan 1 pak 1 2 4
5 Plester 1.25 1 1 2
6 Mitela 4 4 6
7 Gunting 1 1 1
8 Peniti 4 4 6
9 Sarung tangan 2 2 4
10 Masker 1 1 2
11 Aquades 100 ml 1 3 6
12 Buku pedoman P3K 1 1 1
13 Daftar isi kotak P3K 1 1 1

Soal-Soal Latihan

1. Apa keuntungan dan kerugian menggunakan fondasi tiang bor


dibandingkan dengan fondasi tiang pancang.

2. Sebutkan cara-cara yang lazim digunakan untuk mencegah terjadinya


longsor pada penggalian basemen bangunan tinggi.

3. Kapan penggunaan tower crane diperlukan pada pelaksanaan


bangunan tinggi.

4. Untuk mempercepat pelaksanaan pekerjan dapat dilakukan berbagai


pendekatan. Jelaskan metode pelaksanaan lainnya, apa keuntungan
dan kerugiannya.

5. Apa kendala pada struktur yang menggunakan metode pra pabrikasi,


khususnya untuk bangunan tinggi.

6. Kapan digunakan metode penyelenggaraan proyek dengan


pendekatan design & build.

Jimmy S. Juwana 588


7. Apa kegunaan grafik kurva ‘S’ pada tahap pelaksanaan konstruksi
bangunan.

8. Apa manfaat yang diperoleh dengan menggunakan BIM

9. Mengapa APD merupakan Langkah pertama dalam penerapan K3 di


lokasi proyek.

10. Apa prinsip utama SMK3

Daftar Kepustakaan dan Rujukan

… (1970); Undang-undang nomor 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.

… (2002); Undang-Undang nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.

… (1006); Peraturan Menteri Tenaga Kerja nomor 5 tahun 1996 tentang Sistem
Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Jakarta.

… (2021); Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat nomor 10 tahun
2021 tentang Sistem Manajemen Keselamatan Kerja, Jakarta.

… (2020), https://www.geospatialworld.net/blogs/what-is-bim/ , terkait kelebihan


Autodesk.

… (2022); https://constructionleaders.in/level-of-development-in-bim/

Barrie O. S. & Poulson B. C. (1992); Professional Construction Management 3rd Edition,


McGraw-Hill, Inc., NewYork.

Behera P. (2014); “Presentation on Prefabricated Structures & Prefabrication – Concept,


Components & Advantages”. https://civildigital.com/prefabricated-structures-
prefabrication-concept-components-advantages-ppt/

Borrmann A, et al (2018); Building Information Modeling – Technology Foundations and


Industry Practice, Springer, Swiss.

Chudley R. & Greeno B. (2016); Building Construction Handbook 11th Edition,


Routledge, New York.

Deutsch R, (2011); BIM and Integrated Design – Strategic for Architectural Practice,
John Wiley & Sons, Inc., Hoboken.

Galiano A., Mahdjoubi I., Brebbia C. A. (Editor) (2018); Building Information Systems in
the Construction Industry, WIT Press, Ashurst.

Jimmy S. Juwana 589


Garber R, (2014); BIM Design – Realising the Creative Potential of Building Information
Modeling, Jphn Wiley & Sons, Ltd., Chichester,

Girgin S. C., Misir I. S. & Kahraman S. (2017); “Experimental Cyclic Behavior of Precast
Hybrid Beam-Column Connections with Welded Components”, International
Journal of Concrete Structures and Materials volume 11, page 229 – 245.

Holzer D, (2016); The BIM Manager’s Handbook – Guidance for Professionals,


Architecture, and Construction, John Wiley & Sons, Ltd., Chichester.

Hughes P. & Ferrett E. (2005); Introduction to Health and Safety in Construction,


Elsevier, Amsterdam.

Juwana J. S. (2018); “Penataran IAI Strata V”, Malang.

Lu W,. Lai C. C., Tse T (2019); BIM and Big Data for Construction Cost Management,
Routledge, New York.

Kumar B, (2015); A Practical Guide to Adopting BIM in Construction Process; Whittles


Publishing, Dunbeath.

Osbourn D. (1985); Introduction to Building, Longman Scientific & Technical, Essex.

Suardi R (2005); Sistem Manajemen Keselamatan & Kesehatan Kerja – Panduan


Penerapan Berdasarkan OHSAS 1801 & Permenaker 05/1996, Penerbit
PPM, Jakarta.

Tumilar S. & Hardjasaputra H (1994), “Detail Perencanaan Struktur Basement yan


Berkaitan dengan Metode Pelaksanaan Top Down/Downward”, Seminar
Konsep Dasar Perencanaan dan Pelaksanaan Bangunan Basemen dengan
Metoda Konstruksi Top-Down, Bandung.

Jimmy S. Juwana 590


BAB XIV
KONSTRUKSI BERKELANJUTAN

“…When we build, let us think that we build


forever…”

John Ruskin

Konstruksi berkelanjutan (sustainable construction) dan bangunan hijau


menyediakan suatu repons yang praktis dan etis terkait dengan isu lingkungan
dan konsumsi sumber daya. Kinerja yang tinggi dari rancangan bangunan
gedung hijau (green building) menitikberatkan pada usaha penggunaan sumber
daya yang terbarukan untuk energi, pengurangan (reduce), penggunaan ulang
(reuse), dan daur-ulang (recycle) dari bahan-bahan dan air. Bangunan gedung
hijau dapat dibayangkan untuk dapat menjadikan bangunan gedung lebih
ekonomis dari sudut pandang biaya daur hidup bangunan. Dan dari sisi
rancangan yang berkelanjutan secara signifikan memberi dampak pada
kekokohan strukturnya, yang dalam penggunaan bangunan gedungnya dapat
menjamin tercapainya persyaratan keandalan bangunan gedung (keselamatan,
kesehatan, kenyamanan dan kemudahan).

Selanjutnya, kehadiran bangunan gedung perlu mempertimbangkan dampak


pada lingkungan sekitar, seperti konservasi energi, isu penghematan air bersih,
polusi, dan penggunaan bahan-bahaya beracun dan berbahaya.

14.1. Konstruksi Berkelanjutan

Konstruksi berkelanjutan menjadi penting dalam menjawab isu global, dalam


mengantisipasi dan usaha untuk mengurangi efek rumah kaca (green house
effect) yang berdampak pada kerusakan lapisan Ozon, peningkatan suhu dunia,
kerusakan sumber alam dan hilangnya keragaman hayati (bio diversity), serta
munculnya perubahan iklim yang ektrim di beberapa bagian dunia.

Isu rancangan yang mengacu pada kesadaran akan sumber daya bertumpu
pada konstruksi berkelanjutan, yang tujuan utamanya adalah untuk mengurangi
sebanyak mungkin penggunaan sumber daya alam dan pada gilirannya akan
berdampak pada eko sistem. Konstruksi berkelanjutan mempertimbangkan
peran dan keterkaitan potensi dari eko sistem untuk menghasilkan layanan yang
saling mendukung (sinergis), yang merupakan integrasi dari kerangka kerja
konstruksi berkelanjutan (Gambar 14.1).

Jimmy S. Juwana 591


PEMBONGKARAN/DEKONSTRUKSI

PERUBAHAN/MODIFIKASI

PEMELIHARAAN & PERAWATAN


PEMANFAATAN/PENGOPERASIAN

PELAKSANAAN KONSTRUKSI

PERANCANGAN

PENGEMBANGAN

PERENCANAAN

TANAH
PENGURANGAN
BAHAN

PENGGUNAAN KEMBALI AIR


ENERGI
PENDAUR-ULANGAN EKOSISTEM

PERLINDUNGAN ALAM

PEMUSNAHAN RACUN

BIAYA DAUR HIDUP

PERTIMBANGAN MUTU

PRINSIP
Sumber: Kibert, 2005 dimodifikasi

Gambar 14.1. Kerangka Kerja Konstruksi Berkelanjutan

Dengan melakukan pemilihan, pemilahan dan daur-ulang bahan diharapkan


dapat mengurangi limbah padat, cair atau gas, sehingga tujuan keberlanjutan
dapat dicapai. Hal ini secara umum diuraikan sebagai berikut:

a. mengurangi penggunaan sumber daya (reduce) dengan menggunakan


sumber daya baru yang terbarukan, seperti tenaga surya, angin, atau
energi lain yang berasal dari tanaman dan mahluk hidup (bio energy);

b. menggunakan kembali sumber daya (reuse) dengan memanfaatkan bahan


sisa atau bahan bekas pakai untuk digunakan bagi keperluan yang lain;

c. mendaur-ulang sumber daya (recycle) dengan menggunakan sampah


menjadi kompos, air kotor menjadi air untuk keperluan irigasi, dalam bentuk
ekonomi sirkular;

d. melindungi alam sekitar (protect nature) dengan meningkatkan mutu udara


dalam bangunan melalui rekayasa pertukaran udara dan ventilasi;

e. menghilangkan bahan beracun (eliminate toxics) dengan tidak


menggunakan bahan-bahan yang mengandung racun atau gas berbahaya;

f. menggunakan pendekatan biaya daur hidup (life-cycle costing) dengan


memperhitungkan parameter-parameter ekonomi bagi pemilihan sistem
dan bahan serta sumber daya yang digunakan, untuk memperkecil biaya
pengoperasian, pemeliharaan dan perawatan; dan

Jimmy S. Juwana 592


g. mengutamakan pada mutu (focus on quality) dengan menggunakan bahan
yang mempunyai daya tahan dan umur manfaat yang tinggi serta tidak
mengandung bahan-bahan beracun/berbahaya (B3).

14.1.1 Mengurangi Penggunaan Sumber Daya

Pengurangan penggunaan sumber daya pada bangunan gedung melalui


beberapa pendekatan, di antaranya:

a. Penghematan Konsumsi Energi

Dari penjelasan sebelumnya, beberapa cara dapat dilakukan untuk mengurangi


penggunaan energi dan pada Tabel 14.1 digambarkan peluang untuk
konservasi energi yang diatur dalam SNI 6192:2011 tentang Prosedur Audit
Energi pada Bangunan.

Tabel 14.1. Peluang Konservasi Energi pada Bangunan Gedung

% RATA-RATA
NO SISTEM BANGUNAN PENGHEMATAN
I Sistem Elektrikal
1 Peningkatan faktor daya 5,1
2 Pengurangan kelebihan kapasitas transformator 3,3
3 Pemasangan motor dengan efisiensi ekonomi tertinggi 0,1 – 0,5
II Sistem Pengkondisian Udara
4 Pemasangan pendingin bebas gesekan (frictionless chiller) 24,3
5 Pemasangan pengenndali VAV 12,6
6 Pemasangan pertukaran pipa udara masuk 12,0
7 Pemasangan pendingin dengan efisiensi tinggi 9,6
8 Permeliharaan pembersih filter, AHU, dan gulungan pendingin 7,2
9 Pengurangan aliran udara dari luar seminal mungkin 6,0
10 Pemasangan penyimpanan suhu pendingin 0,5 – 5,0
11 Optimalisasi lebih dari satu pendingin 4,9
12 Peningkatan suhu kondenser 4,1
13 Penggantian motor listrik yang terlalu besar 3,8
14 Peningkatan suhu standar menjadi 25o C 3,6
15 Penilaian ulang lokasi bangunan untuk mengurangi beban pendingin 3,0
16 Pengubahan aliran udara ke kondenser 2,8
17 Pengurangan jam kierja pengkondisian uadar (AC) 2,3
18 Pemasangan pompa dengan kecepatan yang beragam 1,6
19 Pemasangan kapasitas AC lebih kecil untuk ruang yang terpisah 1,3
20 Pemasangan pompa dengan efisien tinggi 1,3

Jimmy S. Juwana 593


% RATA-RATA
NO SISTEM BANGUNAN PENGHEMATAN
III Sistem Tata Cahaya
21 Pengurangan lumen lampu 5,1
22 Penggantian bola lampu fluoresen dengan yang lebih efisien 0,5 – 5,0
23 Pengurangan jam kerja sistem pencahayaan 2,8
24 Pengurangan pencahayaan yang berlebihan 0,1
25 Pemasangan lampu yang lebih efisien pada sistem tata cahaya yang ada 0,1
IV Modifikasi/perubahan Selubung Bangunan
26 Pengurangan nisbah antara bukaan dan dinding 12,7
27 Pemasangan glasur berefisiensi tinggi dan glasur pelengkap 0,5 – 5,0
28 Pengurangan bidang glasur dan pemasangan penutup termal 0,5 – 5,0
29 Pemasangan kaca rangkap (double glass) di jendela 2,1
30 Pemasangan bahan insulasi, infiltrasi dan penyerap atap 0,8
V Pengendalian dan Penggunaan Cahaya Alami
Pemasangan perangkat peneduh eksternal yang disesuaikan untuk
31 0,5 – 5,0
setiap paparan dari glasur
32 Pemasangan perangkat peneduh internal 0,5 – 5,0
33 Pemasangan bukaan di atap (sky light) dan pipa cahaya 0,5 – 5,0
34 Penggunaan cat, lapisan, atau selubung bangunan yang dapat
1,0 – 5,0
mengurangi serapan sinar matahari
35 Pemasangan sistem rak cahaya dan peneduh 0,1
36 Penggunaan warna interior yang berwarna terang atau permukaan cermin 0,1
VI Sistem Transportasi Vertikal (Lif)
37 Pengurangan lalu lintas satu lantai 0,2
38 Pemasangan lif hidrolik 0,1
39 Pemasangan lif regerator 0,12
40 Pemasangan teknologi VVVF 0,15

Dari Tabel 14.1 penghematan energi pada bangunan gedung dapat dicapai
dengan:
1) Meningkatkan suhu ruangan dari 22oC menjadi 25oC akan mengurangi
beban pendingin.
2) Mengurangi operasi kipas pada AHU dari 10 jam menjadi 9,5 jam akan
menghemat konsumsi energi.
3) Mengganti bola lampu dari lampu biasa menjadi lampu yang hemat energi
dapat meningkatkan lumen dan mengurangi konsumsi energi.
4) Mengurangi kebocoran udara dapat mencegah kehilangan udara dingin
dan infiltrasi udara panas.

Jimmy S. Juwana 594


Tindakan tersebut di atas dapat menghemat sekitar 3,2 – 14,1% biaya energi
pada bangunan. Selain itu penggunaan tipe AC yang berbeda dapat berdampak
pada biaya energi, seperti terlihat pada Tabel 14.2 berikut ini:

Tabel 14.2. Penghematan Biaya Pendingin

% Biaya Operasi
Tipe Pendingin
Penghematan (Contoh)
Pendingin udara – absorbsi gas 62% Rp. 23.864.040,-
Pendingin udara – resiprokal 50% Rp. 31.315.200,-
Pendingin air – absorbsi gas 26% Rp. 46.190.400,-
Pendingin air - refrigeran 0% Rp. 62.491.200,-

Dari SNI 6390:2020 tentang Konversi Energi Sistem Tata Udara, desain sistem
tata udara harus memenuhi tingkat efisiensi minimum yang terukur dalam
koefisien kunerja (coefficient of performance – COP) atau kilowatt per ton
refigerasi (kW/TR), seperti pada Tabel 14.3.

Tabel 14.3. Efisiensi Energi Minimum

Kinerja
COP
TYPE MESIN REFRIGERASI kW/TR
Mínimum
maksimum
[W/W]
Single Split < 27.000 BTUH 4,20 0,84
Single Split > 27.000 dan < 65.000 BTUH*) 4,00 0,88
Variable Refrigerant Flow (VRF)**) 3,81 0,92
Split Duct 2,93 1,20
Air-Cooled, < 528 kW (150 TR) 2,99 1,18
Air-Cooled, > 528 kW (150 TR) 2,98 1,18
Water-Cooled Chiller positive displacement, < 264 kW (75 TR) 4,70 0,75
Water-Cooled Chiller positive displacement, > 264 kW (75 TR) & < 528 kW (150 TR) 4,89 0,72
Water-Cooled Chiller positive displacement, > 528 kW (150 TR) & < 1.055 kW (300 TR) 5,33 0,66
Water-Cooled Chiller positive displacement, > 1.055 kW (300 TR) & < 2.110 kW (600 TR) 5,77 0,61
Sumber: SNI 6390:2020

Catatan: *) Perhitungan efisiensi menggunakan metode


Cooling Seasonal Performance Factor (CSPF)
**) Perhitungan efisiensi menggunakan metode
Seasonal Coefficient of Performance (SCOP)

Jimmy S. Juwana 595


Pada bangunan yang telah beroperasi, ternyata banyak dijumpai pemborosan
energi, yang pada umumnya memberi peluang untuk dilakukan penghematan
sampai 30% dari biaya energi sekarang. Peluang penghematan tersebut dapat
dilakukan dalam tiga tahapan (Gambar 14.2):
a. Penataan kembali bagian kerumah tanggaan:
Penataan bagian house keeping ini dapat dilakukan tanpa melakukan
investasi apapun, dan dapat menghemat penggunaan energi antara 5 –
10%.

b. Modifikasi peralatan:
Dilakukan dengan investasi kecil dan dapat menghemat penggunaan
energi sekitar 7 – 15%.

c. Penggantian/modifikasi besar:
Tahap ini memerlukan investasi besar, karena perlu melakukan modifikasi
proses dan/atau plant dan penghematan penggunaan energi yang dapat
dicapai sekitar 15 – 30%.

Biaya 30%
Energi Penghematan
Semula
Biaya House keeping
Energi
Kemudian Modifikasi
Peralatan

Modikasi Proses

Sumber: Audit Energi Sektor Industri DJLEB, Jakarta 1986

Gambar 14.2. Tahapan Penghematan Energi Bangunan

Para ahli rekayasa bangunan gedung selalu tertarik akan usaha untuk
melakukan berbagai cara dalam hal penghematan energi. Sejak hampir 40
tahun yang lalu, di mana dirancang sistem mekanikal yang memanfaatkan
panas matahari untuk sebagai sumber energi alternatif untuk menjalankan
pompa yang kemudian mengalirkan panas tersebut untuk menghangatkan
udara di musim dingin. Dan berdasarkan gagasan ini, sekitar 35 tahun yang lalu,
dicoba untuk menggunakannya pada sistem penghawaan buatan dengan biaya
operasional yang rendah.

Jimmy S. Juwana 596


Dewasa ini penggunaan building automation system (BAS) sebagai bagian dari
pendekatan pengelolaan energi pada bangunan gedung merupakan hal yang
lazim dilakukan. Penambahan pada biaya investasi dengan penggunaan
peralatan pengendalian akan berdampak pada pengurangan biaya operasional
dan efisiensi penggunaan peralatan dan perlengkapan bangunan gedung.
Pada awalnya, sistem ini merupakan pengembangan dari pengendalian
konvensional, di mana kabel-kabel pengendalian dipusatkan pada satu panel,
dengan skakelar, lampu indikator dan bagan pencatat, sehingga petugas dapat
memantau kondisi ruangan tanpa harus menggunakan peralatan komputer.
Selanjutnya, sistem ini disempurnakan dengan memanfaatkan teknologi telepon
yang memugkinkan pengendalian dilakukan dengan menggunakan jaringan
telepon dari ruangan-ruangan ke pusat pengendalian. Dengan pesatnya
kemajuan di bidang ICT, alat-alat elektronik menggantikan peralatan transistor
dengan micro-chips, yang dengan menggunakan komputer sebagai tulang
punggung pengendalian, seluruh sistem MEP dapat dikendalikan secara
terpadu

Keterpaduan pengendalian MEP, memungkinkan penggunaan penerangan,


penghawaan buatan, penggunaan lif, dan peralatan keamanan lainnya
dikendalikan secara otomatis.

b. Penghematan Konsumsi Air Bersih

Pengunaan beberapa fitur sanitasi dapat menghemat penggunaan air bersih,


seperti di bawah ini:
1) Kloset duduk dengan dua tombol akan membatasi sebanyak 1,6 liter air
tiap penggunaan (Gambar 14.3).

Gambar 14.3. Toilet Duduk dengan Dua Tombol

2) Urinal dengan sensor akan membatasi sebanyak 3,8 liter air tiap
penggunaan (Gambar 14.4).

Jimmy S. Juwana 597


Gambar 14.4. Urinal dengan Sensor

3) Pancuran dengan tekananan air 400 kPa akan mengurangi penggunaan


sebanyak 1 liter per menit dibandingkan dengan tekanan air 550 kPa.

4) Keran air dengan tekanan 400 kPa akan mengurangi 1,7 liter per menit
dibandingkan dengan tekanan air 550 kPa.

5) Aerator (sejenis nozel) yang dapat ditambahkan pada ujung keran air yang
dapat membatasi penggunaan air per menitnya, meski tekanan air
bertambah (Gambar 14.5).

Sumber:
https://www.therodingroup.co.uk/6/Aerators_reduced_flow_and_constant_flow_water_saving/,
Gambar 14.5. Aerator

Tingkat penghematan air dibedakan dengan warna aerator (Gambar 14.5)


dan kuantitas air yang dapat dihemat penggunaannya dapat dilihat pada
Gambar 14.6.

Jimmy S. Juwana 598


sumber: springking.en.alibaba.com, 2020
Gambar 14.6. Diagram Penghematan Air.

Di samping itu, pada saat pelaksanaan konstruksi, pengurangan penggunaan


sumber daya alam dapat dilakukan dengan mengurangi sampah konstruksi
(construction waste) melalui beberapa pendekatan, di antaranya:
a. membangun dengan sistem modular akan mengurangi bahan bangunan
sisa di lokasi pekerjaan;
b. menggunakan komponen konstruksi pracetak akan mempercepat waktu
pelaksanaan dan mengurangi sisa bahan yang terbuang (zero waste);
c. membuat gambar kerja yang teliti (dengan menggunakan BIM) disertai
pengendalian pelaksanaan pekerjaan yang akan berdampak pada
berkurangnya tingkat kesalahan dan kekilruan kerja sehingga mencegah
terjadinya pemborosan penggunaan bahan bangunan (zero defect); dan
d. meningkatkan keselamatan dan kesehatan kerja agar dapat dihindari
gangguan akibat kecelakaan di lokasi pekerjaan (zero accident).

Dalam pelaksanaan konstruksi bangunan gedung, utamanya bangunan gedung


bertingkat tinggi, sering dijumpai sisa bahan bangunan yang berupa
sampah/limbah konstruksi (construction waste), seperti potongan tulangan
beton, potongan keramik penutup lantai, kayu bekas perancah, pipa plambing,
potongan gipsum atau glass reinforced cement (GRC).

Jika dilakukan pengelolaan bahan sisa (waste management) dengan baik,


banyak material sisa konstruksi ini dapat digunakan kembali. Berbagai sisa
keramik yang beraneka ragam dapat dijadikan pola lantai di ruang utilitas atau
gudang, sehingga dengan menggunakan kembali barang sisa, biaya proyek
dapat dihemat karena tidak perlu membeli keramik yang khusus untuk ruangan-
ruangan tersebut. Potongan sisa pipa plambing dan pipa sprinkler serta besi
beton dapat digunakan untuk railing tangga dan tralis.

Jimmy S. Juwana 599


Menggunakan kembali bahan-bahan sisa konstruksi dilakukan dengan
menyiapkan langkah-langkah:
a. perencanaan penggunaan bahan secara rinci dan teliti;
b. pembelian dilakukan secara cermat pada hal-hal yang diperlukan;
c. penyimpanan dilakukan secara teratur dan tersistem;
d. penggunaan dengan proses dan metode yang tepat (zero defect);
e. penyimpanan bahan sisa dikelompokkan, untuk pemanfaatan lain; dan
f. proses daur-ulang untuk bahan yang tidak dapat dimanfaatkan kembali.

14.1.3. Mendaur-ulang Sumber Daya

Salah satu cara untuk mengoptimalkan sumber daya yang ada dengan
melakukan daur-ulang, agar dapat dimanfaatkan kembali, baik untuk fungsi
yang sama atau fungsi yang lain.

Hal yang paling sering dilakukan adalah mendaur-ulang air, baik air buangan
mapun air limbah/kotor melalui berbagai tahapan proses. Dengan proses filtrasi
yang bertahap, air limbah (black water) dapat diubah menjadi air untuk irigasi
dan air gelontor (grey water) seperti terlihat pada Gambar 14.7.

Penambahan zat penghilang bau dan bakteri, air buamgan (grey water) dapat
digunakan kembali sebagai air bersih (clean water). Selanjutnya, air bersih ini
melalui sistem filtrasi reverse osmosis dan sinar ultra violet, dapat langsung
digunakan sebagai air minum (potable water). Dengan cara ini, praktis hampir
seluruh air yang digunakan dapat didaur-ulang, penambahan pasokan air hanya
disebabkan karena adanya penguapan dan/atau kebocoran pada pipa.

Sumber: Keeler & Burke, 2009


Gambar 14.7. Skema Daur-ulang Air

Jimmy S. Juwana 600


14.1.4. Melindungi Alam Sekitar

Salah satu cara untuk melindungi alam sekitar, memastikan bahwa bangunan
gedung tidak didirikan di atas lahan subur, sehingga lahan yang diperuntukkan
bagi ketahanan pangan tidak terganggu dengan kehadiran bangunan gedung.

Untuk memberikan dampak bagi keberlanjuran ekosistem di lingkungan sekitar,


bangunan gedung perlu dilengkapi dengan ruang terbuka hijau, agar habitat
burung dan binatang yang hidup karena adanya pepohonan tetap dapat
dipertahankan. Kehadiran tanaman ini juga akan memiliki pengaruh pada
kemampuan tanah menyerap air sehingga dapat mengurangi aliran permukaan
(water run off) pada saat hujan.

Di samping itu, kehadiran vegetasi pada persil bangunan gedung dapat


mengurangi suhu kawasan (heat island effect), oleh karenanya diperlukan
keragaman jenis vegetasi yang ditanam, baik pohon (rindang/bertajuk lebar),
perdu, semak, dan rerumputan (ground cover).

14.1.5. Menghilangkan Bahan Beracun

Seperti dijelaskan sebelumnya, tanaman juga berfungsi untuk mengurangi


pencemaran udara yang dihasilkan dari luar dan/atau dari bahan bangunannya,
terutama pencemaran udara berupa zat kimia yang dihasilkan dari cat, manusia,
kendaraan, peralatan/bahan yang digunakan dalam bangunan gedung.

Pada Gambar 14.8 diperlihatkan beberapa jenis/kelompok tanaman yang dapat


menyerap jenis polutan tertentu.
PENGHASIL PENYERAP

BAMBU/PALEM
CAT
FORMALIN FORMALIN
TRIKHLORETHYL
BENSIN BENSIN

ALKOHOL

MANUSIA BAKUNG
ASETON
FORMALIN
ALKOHOL
TRIKHLORETHYL

ASETAT BENSIN

ALKOHOL
PHOTOCOPY
BENSIN
ASETON
TRIKHLORETHYL

AMONIA TANAMAN RAMBAT


ASETAT
KAYU LAPIS
FORMALIN
AMONIA
BENSIN

ALKOHOL

CAIRAN
KOREKTOR
ASETON

Sumber: Yeang, 2006


Gambar 14.8. Jenis/Kelompok Tanaman Penyerap Polutan

Jimmy S. Juwana 601


Selanjutnya, bahan aerosol dan refrigerant ada yang dapat menyebabkan
rusaknya lapisan Ozon, karenanya jenis refrigerant untuk AC digunakan jenis
yang tidak mengandung Chloro Fluoro Carbon (CFC). Bahan mengandung CFC
seperti: R-11, R-12, R-13, R1381, R-114, R-500, R-502, R-503 sudah tidak
diijinkan untuk digunakan kembali (Tabel 14.4).

Tabel 14.4. Kandungan Refrigerant


Jenis Tingkat Kerusakan
Digunakan
Refrigeran Ozon
CFC 11 Chiller Sentrifugal 1
CFC 12 Lemari Es, Chiller 1
CFC 114 Lemari Es/Pendingin 0,94
CFC 500 Chiller Sentrifugal, Humidifiers 0,605
CFC 502 Lemari Es suhu rendah/Pembeku 0,211
HCFC 22 AC, Chiller 0,04
HCFC 123 Pengganti CFC 11 0,02
HFC 22 Lemari Pembeku 0
HFC 123 Pengganti CFC 12 atau HCFC 22 0
HFC 23 Bahan Insulasi 0
HFC 134 a Lemari Es suhu rendah/Pembeku 0
HFC 245 fa Pengganti HFC 22 0
HFC 404A AC 0
HFC 407C Lemari Es suhu rendah/Pembeku 0
HFC 410A 0
HFC 507C 0
CO2 0
Amonia (NH3) 0
HC 0
Propane 0
Sumber: Sulistiyanto, (2018),

Dengan demikian ada penggantian jenis refrigeran yang beredar di pasar:


a. R134a menggantikan R12 untuk water cooled centrifugal chiller, water
cooled screw chiller, AC Mobil, lemari es/kulkas, dan produk baru seperti
hydro fluoro olefin (HFO) jenis R1234yf, R1234ze dan R1234yz, juga sudah
mulai menggantikan R12.
b. R410a, R32 dan R407C menggantikan R22 untuk reciprocating chiller dan
air cooled screw chiller, AC split, AC VRF, namun R407C sudah mulai
ditinggalkan oleh banyak pengguna.
c. R290 (propane) dan R600/R600a (butane/iso-butene), refrigeran berbasis
hidrokarbon (mudah terbakar – flammable) dicampur (blended) dengan
R290 dan R600a dapat menggantikan R12 dan R22.
d. Penggunaan refrigeran CO2 lebih banyak digunakan untuk pilot project di
bidang industri.

Jimmy S. Juwana 602


Beberapa APAP juga ada yang mengandung bahan yang dapat merusak
lapisan Ozon (Tabel 14.5).
Tabel 14.5. Kandungan APAP
Nama Generik Merk Dagang Tingkat Kerusakan Ozon
Halon 1301 BTM 10
Halon 2402 - 6
Halon 1211 BCF 3
HCFC Blend A NAF – S-111 0,02
HCFC Blend B Halotron 1 0,0098
HCFC – 124 FE 24 0,02
HFC – 23 FE 13 0
HFC – 125 FE 25 0
HFC – 227 ea FM 200 0
HCF – 236 fa FE 36 0
FC 2-1-8 CEA 308 0
FC 3-1-10 CEA 410 0
FIC – 1311 Triodide 0,0001
CO2 - 0
Sumber: Sulistiyanto, (2018),
Catatan: HCFC = hydro chloro fluoro carbon
HFC = hydro fluoro carbon

14.1.6. Menggunakan Pendekatan Biaya Daur Hidup


Tujuan dari analisis biaya biaya daur hidup (life cycle cost analysis – LCCA)
adalah untuk memperkirakan biaya keseluruhan proyek dan untuk memilih
desain yang dapat menjamin fasilitas tersebut akan memberikan biaya
kepemilikan konsisten terendah secara keseluruhan dengan tetap memenuhi
mutu dan fungsinya. LCCA harus diterapkan pada awal proses desain di mana
masih ada kesempatan untuk memperbaiki desain, untuk memastikan
pengurangan biaya daur hidup (life cycle cost – LCC).

Gambar 14.9. Hukum Pareto

Jimmy S. Juwana 603


Langkah pertama dan paling menantang dari LCCA, atau metode evaluasi
ekonomi, adalah untuk menentukan dampak ekonomi dari alternatif desain
bangunan dan sistem bangunan, serta untuk mengukur dampaknya dan
mengekspresikannya dalam besaran biaya. Untuk menentukan elemen atau
komponen mana yang dipilih untuk dihitung, dapat digunakan hukum Pareto
(Gambar 14.9), yaitu komponen yang menghasilkan pengaruh terbesar atas
biaya.

Langkah pertama dan paling menantang dari LCCA, atau metode evaluasi
ekonomi, adalah untuk menentukan dampak ekonomi dari alternatif desain
bangunan dan sistem bangunan, serta untuk mengukur dampaknya dan
mengekspresikannya dalam besaran biaya. Untuk menentukan elemen atau
komponen mana yang dipilih untuk dihitung, dapat digunakan hukum Pareto
(Gambar 14.9), yaitu komponen yang menghasilkan pengaruh terbesar atas
biaya.

a. Biaya

Terdapat banyak biaya yang terkait dengan perolehan, operasi, pemeliharaan,


dan pembongkaran sebuah bangunan atau sistem bangunan. biaya yang
berhubungan dengan bangunan biasanya dikategorikan sebagai berikut
(Gambar 14.10):
1) Biaya Awal – Pembelian, Akuisisi, Biaya Konstruksi.
2) Biaya Bahan Bakar.
3) Biaya Operasi, Pemeliharaan, dan Perbaikan.
4) Biaya Penggantian.
5) Nilai – Nilai Residual – Penjualan Kembali atau Nilai Penyelamatan atau
Biaya Pembuangan.
6) Pembayaran Bunga – Biaya Peminjaman Uang (cost of money).
7) Manfaat Non-Moneter atau Biaya.

Sumber: Juwana, 2018.


Gambar 14.10. Skema Biaya pada LCC

Jimmy S. Juwana 604


Hanya biaya-biaya dalam setiap kategori yang relevan dengan keputusan dan
signifikan dalam jumlah saja yang diperlukan untuk membuat keputusan
investasi yang valid. Biaya hanya relevan ketika hal ini berbeda dibandingkan
dengan yang lain, biaya hanya signifikan ketika hal tersebut sudah cukup besar
untuk membuat perbedaan yang kredibel dalam LCC dari sejumlah pilihan
alternatif proyek. Semua biaya dimasukkan sebagai jumlah basis – tahun,
metode LCCA meningkatkan semua jumlah biaya untuk tahun yang akan
datang dan memotongnya kembali harga tersebut dan mengkonversikannya ke
nilai sekarang.

1) Biaya Awal

Biaya awal mungkin termasuk biaya investasi modal untuk pembebasan


lahan, konstruksi, atau renovasi dan peralatan yang dibutuhkan untuk
mengoperasikan fasilitas. Biaya akuisisi lahan perlu dimasukkan dalam
biaya estimasi awal jika hal itu berbeda antara alternatif desain. Ini akan
terjadi, misalnya, ketika membandingkan biaya merenovasi fasilitas yang
ada dengan konstruksi baru di tanah yang dibeli.

Biaya konstruksi, perkiraan rinci biaya konstruksi tidak diperlukan untuk


analisis ekonomi awal desain bangunan alternatif atau sistem. Perkiraan
tersebut biasanya tidak tersedia sampai desain yang cukup lengkap dan
kesempatan untuk perubahan desain mengurangi biaya telah terjawab.
LCCA dapat diulang selama proses desain jika informasi biaya yang lebih
rinci masih tersedia. Awalnya, biaya konstruksi diperkirakan dengan
mengacu pada data historis dari fasilitas serupa. Secara bergantian, hal
tersebut dapat ditentukan dari biaya pemerintah atau sektor swasta yang
memperkirakan panduan dan pangkalan data (database), dengan
menentukan parameter biaya kritis (jumlah lantai, luas dan volume, panjang
perimeter) dan berhubungan nilai-nilai ini melalui formula tertentu untuk
memprediksi biaya dari berbagai sistem bangunan, subsistem, dan rakitan.

Perkiraan biaya terperinci disusun pada tahap pengajuan desain (biasanya


sebesar 30%, 60%, dan 90%) berdasarkan jumlah perhitungan awal.
Perkiraan ini mengandalkan biaya database seperti SHST atau Pangkalan
Data Biaya Sarana Konstruksi Bangunan lainnya.

2) Biaya Energi dan Air

Biaya operasional untuk energi, air, dan utilitas lainnya didasarkan pada
konsumsi, peningkatan saat ini, dan proyeksi harga. Energi dan biaya air
biasanya dinilai untuk bangunan secara keseluruhan bukan bukan secara
parsial atau komponen.

Jimmy S. Juwana 605


Penggunaan energi dan biaya energi seringkali sulit untuk diprediksi secara
akurat dalam tahap desain proyek. Asumsi mengenai profil penggunaan
harus dibuat, begitu pula dengan tingkat hunian, dan jadwal, yang
semuanya berdampak pada konsumsi energi. Pada tahap desain awal,
data tentang jumlah konsumsi energi untuk bangunan dapat berasal dari
analisis rekayasa atau dari program komputer yang memerlukan input yang
lebih rinci. Namun biasanya tidak tersedia sampai nanti dalam proses
desain. Perangkat lunak lain, yang telah dikembangkan oleh producen
peralatan AC dapat digunakan untuk membantu dalam pemilihan peralatan
mekanik, ukuran dan kapasitas yang cocok.

Ketika memilih sebuah program, penting untuk mempertimbangkan apakah


perlu angka konsumsi energi tahunan, bulanan, atau per jam dan apakah
program memadai untuk memperkirakan penghematan konsumsi energi
ketika perubahan desain atau tingkat efisiensi yang berbeda disimulasikan.

Untuk menentukan harga energi, acuan dari harga energi saat ini, yang
diperoleh dari pemasok listrik harus memperhitungkan jenis tingkat, struktur
tarif, tarif konsumen, dan biaya permintaan untuk mendapatkan perkiraan
sedekat mungkin dengan biaya energi yang sebenarnya.

Proyeksi harga energi merupakan harga energi yang diasumsikan untuk


menambah atau mengurangi pada tingkat yang berbeda dari inflasi harga
umum. Perbedaan harga energi dan eskalasi harga perlu diperhitungkan
saat memperkirakan biaya energi di masa depan. Proyeksi harga energi
dapat diperoleh baik dari pemasok atau dari tarif eskalasi harga energi yang
ditentukan oleh PLN.

Biaya air harus ditangani seperti halnya dengan biaya energi. Biasanya ada
dua jenis biaya air: biaya penggunaan air, baik yang dipasok melalui pipa
distribusi atau yang diperoleh dari sumur dalam (sumur artesis), dan biaya
pembuangan air.

3) Operasional, Pemeliharaan, dan Biaya Perbaikan

Biaya operasi non-bahan bakar, pemeliharaan dan perawatan serta


operasional, seringkali lebih sulit untuk diperkirakan dari pengeluaran
bangunan lainnya. Jadwal operasi dan standar pemeliharaan bervariasi
dari gedung yang satu ke gedung yang lain, ada variasi yang besar dalam
biaya ini bahkan untuk bangunan dari jenis dan usia yang sama. Oleh
karena itu sangat penting untuk menggunakan penilaian rekayasa ketika
memperkirakan biaya-biaya tersebut.

Jimmy S. Juwana 606


Beberapa hasil pengalaman dari pengelola bangunan gedung dapat
dijadikan referensi untuk memperkirakan biaya pemeliharaan/perawatan
(maintenance costs) berdasarkan usia manfaat dari komponen bangunan
gedung.

4) Biaya Penggantian

Jumlah dan pengaturan waktu untuk penggantian sistem bangunan gedung


bergantung pada usia manfaat yang dijadikan acuan LCCA. Suatu
pendekatan untuk mengestimasi biaya penggantian di masa depan dengan
menggunakan patokan waktu yang ditetapkan (Tabel 14.6).

Tabel 14.6. Daur Pembaharuan Komponen Bangunan


Tahun
Komponen Bangunan %
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60
Fondasi 7,0
Portal 8,0
Pelat Lantai 8,0
Atap
- Rangka 4,0
- Penutup 2,0 100% 100%
Tangga 1,0
Dinding Eksterior 10,0
Jendela 6,0
Pintu
- Eksterior 1,0 50%
- Interior 2,0
Partisi 4,0
Penggantung/Engsel 1,0 50% 50%
Penutup Dinding 4,0 10%
Penutup Lantai 6,0 10% 10% 10% 10% 10%
Penutup Plafon 4,0 10%
Dekorasi
- Eksterior 0,5 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100%
- Interior 1,5 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100%
Fitur Sanitair 2,0 50% 50%
Plambing & Sanitasi 4,0 100%
Tata Udara
- Peralatan 1,0 100% 100%
- Pipa 7,0 100%
Elektrikal
- Kabel 5,0 100%
- Fitur 2,0 100% 100% 100%
Drainase 3,0
Pekerjaan Ruang Luar 6,0 25% 25%
Total [% Investasi] 100 2,0 2,6 4,0 8,6 2,0 10,9 3,5 18,1 4,0 2,6 2,0 0,0
Pemeliharaan Berkala [% ] 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5
Total Biaya Maintenance [% ] 4,5 5,1 6,5 11,1 4,5 13,4 6,0 20,6 6,5 5,1 4,5 2,5
Akumulasi Biaya [% ] 4,5 9,6 16,1 27,2 31,7 45,1 51,1 71,7 78,2 83,3 87,8 90,3

Sumber: Wordsworth, 2001

5) Nilai residu

Nilai sisa dari suatu komponen/sistem merupakan nilai sisa pada akhir
periode waktu yang dijadikan patokan, atau pada saat komponen itu diganti
selama periode rentang waktu. Nilai residu dapat didasarkan pada nilai di
tempat, nilai jual kembali, nilai sisa, atau nilai terbuang, setelah dikurangi
dengan biaya penjualan, konversi, atau pembuangan. Sebagai acuan
praktis, nilai sisa dari sistem dengan sisa masa di tempat dapat dihitung
dengan linear prorating biaya awal. Misalnya, untuk sistem dengan masa
manfaat yang diharapkan dari 15 tahun, yang dipasang lima tahun sebelum

Jimmy S. Juwana 607


akhir masa studi, nilai sisa akan sekitar 2/3 yang diperoleh dari (15 – 5)/15 dari
biaya awal.

6) Biaya Lainnya

Beban lainnya dapat berupa biaya keuangan dan pajak. Ada kalanya
proyek dibiayai melalui kontrak penghematan kinerja energi atau kontrak
pelayanan energi utilitas, sehingga beban keuangan biasanya termasuk
dalam pembayaran kontrak yang dinegosiasikan dengan perusahaan
pelayanan energi atau utilitas.

Manfaat atau biaya non-moneter adalah dampak yang terkait dengan


proyek yang berdasarkan nilai valuta asing. Contoh efek non-moneter
seperti manfaat yang diperoleh dari sistem tata udara yang mungkin sesuai
dengan yang diharapkan, tetapi sulit mengukur keuntungan produktivitas
karena adanya peningkatan pencahayaan, sehingga menambah beban
pendingin.

Untuk dapat memasukkan biaya non-moneter atau manfaat dalam LCCA,


dapat digunakan metode yang menganggap atribut non-moneter (kualitatif
dan kuantitatif) di samping langkah-langkah evaluasi ekonomi umum ketika
mengevaluasi alternatif proyek.

b. Parameter untuk Analisis Penilaian Saat ini

1) Tingkatan Potongan Harga

Agar dapat menambahkan dan membandingkan pengaliran kas yang


dikeluarkan di saat yang berbeda selama siklus hidup sebuah proyek, hal
– hal tersebut harus dapat dibuat setara dengan waktu yang dijadikan
patokan peritungan. Untuk membuat arus kas setara waktu, metode LCC
mengkonversinya dengan menyajikan nilai-nilai dengan mendiskon ke titik
yang sama. Tingkat bunga yang digunakan untuk diskonto (discount)
adalah tingkat yang mencerminkan biaya peluang (opportunity cost) dari
waktu ke waktu, yang berarti bahwa investor ingin mencapai laba
setidaknya setinggi itu di periode investasi terbaik berikutnya. Oleh karena
itu, tingkat diskonto merupakan tingkat yang dapat diterima dengan
pengembalian minimum investor.

2) Periode Biaya

Rentang waktu yang dihitung dimulai dengan menetapkan tanggal dasar,


tanggal di mana semua arus kas dipotong. Rentang waktu perhitungan
mencakup setiap perencanaan/konstruksi/periode pelaksanaan dan

Jimmy S. Juwana 608


periode pemanfaatan bangunan gedung. Rentang waktu harus disamakan
untuk semua alternatif yang dipertimbangkan.

Masa layanan dimulai ketika bangunan selesai ditempati atau ketika sistem
diambil ke dalam periode pemanfaatan. Ini adalah periode di mana biaya
operasional dan manfaat dievaluasi. Dalam bangunan gedung, masa
pelayanan umumnya terbatas pada 40 tahun.

Masa perhitungan dalam proyek-proyek terletak pada periode waktu yang


dihitung (15, 20, 30 atau 40 tahun). Dimulai ketika proyek diterima secara
resmi, penghematan energi mulai bertambah, dan pembayaran kontrak
mulai diberlakukan. Periode kontrak umumnya berakhir saat pinjaman
lunas.

3) Konvensi Pemotongan

Pada praktiknya, semua arus kas yang berulang setiap tahun (misalnya,
biaya operasional) didiskontokan dari akhir tahun dihitung dari awal masa
kontrak. Semua jumlah tunggal (misalnya, biaya penggantian, nilai residu)
dipotong dihitung dari tanggal dimulainya masa perhitugan.

4) Tindakan pada Inflasi

LCCA dapat diterapkan dalam satuan mata uang konstan atau nilai tukar
mata uang asing saat ini. Analisis dengan mata uang konstan
mengecualikan tingkat inflasi umum, dan analisis arus uang termasuk
tingkat inflasi umum di semua jumlah uang, potongan tarif, dan tarif eskalasi
harga. Kedua jenis perhitungan menghasilkan nilai biaya siklus hidup yang
identik.

c. Perhitungan Biaya Daur Hidup


Setelah mengidentifikasi semua biaya tahunan dan jumlah serta potongan
harga ke nilai saat ini, ditambahkan untuk biaya total siklus hidup untuk setiap
alternatif:

LCC  BA  BP  NR  BE  BA  OM  BL Persamaan 14.1.


di mana : LCC nilai sekarang (PV) dari alternatif yang dipilih [Rp atau $]
BA = nilai sekarang biaya awal/investasi [Rp atau $]
BP = nilai sekarang biaya pergantian [Rp atau $]
NR = nilai sekarang dari nilai residu [Rp atau $]
BE = nilai sekarang biaya energi [Rp atau $]
BA = nilai sekarang biaya air [Rp atau $]

Jimmy S. Juwana 609


OM = nilai sekarang biaya operasional & pemeliharaan [Rp atau
$]
BL = nilai sekarang biaya lainnya [Rp atau $]

d. Analisis Penilaian yang Tidak Pasti pada Biaya Daur Hidup


Keputusan tentang investasi bangunan gedung, biasanya melibatkan banyak
ketidakpastian tentang biaya dan potensi penghematan. Menerapkan LCCA
memungkinkan memilih proyek yang dapat menghemat uang dalam jangka
panjang. Walaupun demikian, mungkin masih ada beberapa ketidakpastian
terkait dengan hasil LCC. LCCA biasanya dilakukan di awal proses desain
dengan memperkirakan biaya dan tabungan yang tersedia. Ketidakpastian
terletak pada nilai-nilai pemasukan yang sebenarnya dan ini mungkin saja
berbeda dengan hasil estimasi awal.

Ada beberapa teknik untuk memperkirakan biaya akibat kekeliruan memilih


proyek alternatif. Teknik deterministik, seperti analisis sensitivitas atau analisis
titik impas, yang mudah dilakukan tanpa memerlukan tambahan sumber daya
atau informasi. Metode ini menghasilkan estimasi tunggal titik bagaimana input
data pasti mempengaruhi hasil analisis. Teknik probabilistik, di sisi lain,
mengukur kemungkinan timbulnya risiko dengan menurunkan nilai probabilitas
yang berbeda dari nilai ekonomi dibandingkan dengan distribusi probabilitas
untuk nilai input yang tidak pasti. Namun, cara ini memiliki kebutuhan informasi
dan teknis yang lebih besar daripada teknik deterministik. Apakah satu atau
yang lain teknik yang dipilih tergantung pada faktor-faktor seperti ukuran dan
tingkat kepentingan proyek, serta sumber daya yang tersedia. Karena analisis
sensitivitas dan analisis impas merupakan dua pendekatan yang sederhana
untuk digunakan, sehingga menjadi bagian dari setiap LCCA.

1) Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas adalah teknik direkomendasikan untuk energi dan
konservasi air. Analisis sensitivitas berguna untuk:
a) mengidentifikasi dari sejumlah nilai input;
b) menentukan bagaimana variabilitas dalam nilai input mempengaruhi
berbagai ukuran evaluasi ekonomi; dan
c) menguji skenario yang berbeda untuk menjawab pertanyaan berbagai
kemungkinan kondisi yang mungkin terjadi.

Untuk mengidentifikasi parameter kritis, digunakan perkiraan batas atas


dan bawah, atau menjawab pertanyaan berbagai kemungkinan kondisi
yang mungkin terjadi, dengan melakukan simulasi dari setiap kemungkinan
dengan masukan nilai atas atau bawah, dan menghitung ulang ukuran
ekonomi yang akan diuji.

Jimmy S. Juwana 610


2) Analisis Impas
Pengambil keputusan kadang-kadang ingin tahu biaya maksimum input
yang akan memungkinkan proyek mencapai titik impas, atau sebaliknya,
apa manfaat minimum proyek dapat menghasilkan dan masih menutupi
biaya investasi. Untuk melakukan analisis impas, manfaat dan biaya
ditetapkan sama, semua variabel yang ditentukan, dan titik impas
diselesaikan secara aljabar.

Analisis sensitivitas dan analisis impas, serta sejumlah pendekatan lain untuk
memperhitungkan risiko dan penilaian ketidakpastian, baik deterministik dan
probabilistik, dapat dijelaskan secara rinci dengan berbagai metode dan
pendekatan ekonomi.

e. Aplikasi LCCA

LCCA dapat diterapkan pada setiap keputusan dalam investasi modal, di mana
biaya awal yang relatif lebih tinggi dan dipertimbangkan untuk mengurangi
kewajiban biaya di masa depan. Hal ini cocok untuk melakukan evaluasi melalui
alternatif desain yang dapat memenuhi tingkat kinerja tertentu, tetapi dengan
kemungkinan beban biaya yang berbeda pada investasi awal, operasi dan biaya
pemeliharaan serta perbaikan. LCCA memberikan penilaian secara signifikan
lebih baik pada efektivitas biaya dari proyek jangka panjang daripada metode
ekonomi alternatif yang hanya fokus pada biaya investasi awal atau biaya
operasi jangka pendek (value engineering).

Sumber: Juwana, 2018.

Gambar 14.11. Biaya Daur Hidup Dua Alternatif Desain

Jimmy S. Juwana 611


Sebagai ilustrasi, berikut ini diberikan pilihan dua material penutup lantai yang
diharapkan dapat digunakan selama usia manfaat bangunan gedung, 50 tahun:

Alternatif pertama, material vinil tahan gores dengan harga Rp. 200.000 per m2
yang harus diganti setiap 15 tahun, dan biaya pemeliharaannya Rp. 3.000 per
m2 per tahun, dan alternatif kedua, material karpet dengan harga Rp. 150.000
per m2 dengan masa pergantian tiap 10 tahun dan biaya pemeliharaannya Rp,
4.000 per m2 per tahun. Jika tingkat diskonto (discount rate) 5%, biaya daur
hidup untuk masing-masing material, sebagai berikut:

Dengan menggunakan nilai sekarang, untuk tiap Rp. 1,- dengan discount rate
5%, untuk 50 tahun diperoleh koefisien = 18, 2559 (lihat tabel Lampiran 08).

Pembersihan vinil: 18,2559 x Rp. 3.000,- = Rp. 54.767,70


Pembersihan karpet: 18,2559 x Rp. 4.000,- = Rp. 73.023,60

Penggantian vinil: pada 15 tahun: 0,4810 x Rp. 200.000,- = Rp. 96.200,-


pada 30 tahun: 0,2314 x Rp. 200.000,- = Rp. 46.260,-
pada 45 tahun: 0,1113 x Rp. 200.000,- = Rp. 22.260,-
Biaya penggantian vinil : Rp. 164.720,-

Penggantian karpet: pada 10 tahun: 0,6139 x Rp. 150.000,- = Rp. 92.085,-


pada 20 tahun: 0,3768 x Rp. 150.000,- = Rp. 56.520,-
pada 30 tahun: 0,2314 x Rp. 150,000,- = Rp. 34.710,-
pada 40 tahun: 0,1420 x Rp. 150.000,- = Rp. 21.300,-
Biaya penggantian karpet : Rp. 204.615,-
(koefisien penggantian menggunakan tabel pada Lampiran 04)

Perbandingan biaya daur hidup untuk kedua material (Tabel 122.5):

Tabel 14.7. LCC Bahan Penutup Lantai


Vinil [Rp/m2] Karpet [Rp/m2]
BIaya awal 200.000,00 150.000,00
Biaya pemeliharaan 54.767,70 73.023,60
Biaya penggantian 164.720,00 204.615.00
Total LCC 419.487,70 427.638,60

Untuk mempermudah proses perhitungan analisis daur hidup untuk beberapa


beberapa alternatif pilihan, analisis dapat dilakukan dengan bantuan komputer
(spreadsheet), agar perhitungan dapat lebih cepat (Gambar 14.12).

Dari contoh ilustrasi di atas, terlihat bahwa biaya awal yang lebih rendah dapat
menghasilkan biaya daur hidup yang lebih tinggi. Dengan melakukan pemilihan

Jimmy S. Juwana 612


atas beberapa alternatif, dapat ditentukan bahan/peralatan/sistem mana yang
menghasilkan biaya daur hidup yang terendah.

Jimmy S. Juwana 613


D. BIAYA PENGGANTIAN
D.1 Perbaikan Besar $ -
$ -
$ -
D.2 Renovasi/Perkuatan $ -
$ -
$ -
Sub-total D $ -

E. Disposal Costs
E.1 Cost of Asset Disposal $ -

E.2 Salvage Value $ -

E.3 Other Disposal Costs $ -


$ -
Sub-total E $ -

F. BIAYA LAINNYA `

Item 1 $ -
$ -
Item 2 $ -
$ -
Item 3 $ -
$ -
Item 4 $ -
$ -
Item 5 $ -
$ -
Sub-total F $ -

REKAPITULASI OPSI PILIHAN


TOTAL BIAYA $ 11.569.129
Nilai Sekarang #VALUE!
Biaya Kumulatif
Rentang Waktu Number of years of analysis. 30
Average Annualized Costs
Total Costs / Number of years of analysis. The lower the value the better. $ 385.638
(Undiscounted):
Average Annualized Costs
PV of Total Costs / Number of years of analysis. The lower the value the better. #VALUE!
(Discounted):
Annuitized Cost Stream: Annuity of PV (discount rate is used as interest rate) #VALUE!

Jimmy S. Juwana 614


ANALISIS BIAYA DAUR HIDUP (LCCA)

PROJECT DETAILS
Nama Proyek
Lokasi Proyek

REKAPITULASI PROYEK
PERIODE Annual Average Annual Average Annuitized Cost
OPSI PILIHAN Deskripsi Pilihan Total Costs PV Total Costs
ANALISIS Total Costs PV Total Costs Stream
Alternatif 1 30 #VALUE! #VALUE! #VALUE!
Aternatif 2 30 #VALUE! #VALUE! #VALUE!
Alternatif 3 30 #VALUE! #VALUE! #VALUE!
Alternatif 4 30 #VALUE! #VALUE! #VALUE!
Alternatif 5 30 #VALUE! #VALUE! #VALUE!

Gambar 14.12. Kertas Kerja Analisis Biaya Daur-ulang

14.1.7. Mengutamakan pada Mutu

Sebagai konsekuensi penggunaan konsep berkelanjutan, pertimbangan mutu


menjadi penting, agar biaya pada saat pemanfaatan bangunan gedung dapat
dihemat.

Pertimbangan mutu dikaitkan dengan penggunaan komponen, materal dan/atau


sistem yang memiliki usia manfaat yang lebih lama, meskipun ada konsekuensi
biaya awal yang lebih tinggi.

14.2. Bangunan Gedung Hijau (BGH)

Konsep BGH merupakan implementasi dari prinsip konstruksi berkelanjutan


yang mendasarkan konsep rancangannya pada tiga dasar manfaat (triple
bottom line), yaitu manfaat dari sudut pandang kebutuhan manusia/sosial,
manfaat dari sudut pandang lingkungan dan manfaat dari sudut pandang
ekonomi (Gambar 14.13).

Sosial

Lestari Adil
Berkelanjutan

Lingkungan Layak Ekonomi

Sumber: Melaver & Mueller, 2009

Gambar 14.13. Tiga Pilar/Dasar Manfaat

Jimmy S. Juwana 615


Manfaat untuk manusia/sosial dapat diperoleh dengan peningkatan kualitas
untuk menunjang aktivitas dan produktivitas kerja, seperti:
a. rasa tenang dan aman;
b. mutu udara yang lebih baik;
c. kenyamanan termal;
d. kenyamanan visual;
e. kenyamanan terhadap kebisingan dan getaran;
f. kenyamanan aksesibilitas; dan
g. kenyamanan konektivitas.

Manfaat untuk aspek lingkungan dapat berupa:


a. suhu kawasan yang lebih rendah;
b. pengelolaan air hujan;
c. ruang terbuka hijau;
d. pengurangan terhadap polutan; dan
e. pengurangan dampak lingkungan.

Manfaat untuk aspek ekonomi dapat berupa:


a. umur manfaat yang lebih panjang;
b. tingkat pengembalian investasi yang lebih pendek;
c. biaya pemerliharaan dan operasional yang lebih kecil; dan
d. biaya daur hidup bangunan gedung lebih kecil dibanding dengan bangunan
gedung konvensional (Gambar 14.14).
Biaya Daur Hidup Bangunan Gedung Konvensional
16,00
Nilai Bangunan Gedung per m2 luas lantai [juta rupiah]

Biaya Operasional & Pemeliharaan


Bangunan Gedung Konvensional

10,50

Biaya Daur Hidup Bangunan Gedung Hijau

Biaya Operasional & Pemeliharaan


Bangunan Gedung Hijau
Biaya Awal Bangunan Gedung HIjau
5,50

Biaya Awal Bangunan Gedung Konvensional


3,00

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

Usia Bangunan Gedung [Tahun]

Sumber: Kats, 2009 dimodifikasi

Gambar 14.14. Biaya Daur Hidup BGH

Jimmy S. Juwana 616


Untuk dapat sampai pada tingkat di mana bangunan gedung dinyatakan
memenuhi kriteria sebagai BGH, standar teknis bangunan gedung terlebih
dahulu harus dipenuhi. Jika seluruh standar dan persyaratan teknis bangunan
gedung dipenuhi, sebetulnya bangunan gedung sudah memenuhi persyaratan
minimum (peringkat pratama) BGH, sedang untuk memperoleh rating yang lebih
tinggi, bangunan gedung perlu menambahkan dan/atau memenuhi persyaratan
tambahan/investasi tambahan maksimum 10%.

14.2.1. Paramater BGH

Dari sejumlah negara yang sudah melaksanakan konsep BGH, meskipun


terdapat beberapa parameter yang berbeda, namun pada dasarnya ada
sejumlah parameter yang selalu digunakan, seperti:
a. Pemilihan tata guna lahan
b. Efisiensi Energi
c. Konservasi Air
d. Kualitas dalam Bangunan Gedung
e. Penggunaan Material Lokal
f. Manajemen Pengelolaan Bangunan Gedung
g. Inovasi

Selanjutnya, setiap negara melakukan modifikasi parameter yang dipilih sesuai


kondisi yang ada. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 14.8. yang merupakan
rekapitulasi parameter yang digunakan di beberapa negara di dunia.

Tabel 14.8. Parameter BGH

Sumber: GBCI, 2010

Jimmy S. Juwana 617


Untuk membedakan bangunan gedung yang menggunakan konsep BGH,
bangunan gedung diberikan peringkat berdasarkan sejauh mana bangunan
gedung tersebut dapat memenuhi target dan persyaratan yang ditentukan;
makin banyak persyaratan yang dapat dipenuhi, makin tinggi peringkat yang
diperoleh. Di Singapura misalnya, dalam sistem peringkat (rating system) Green
Mark hanya ada lima parameter, di mana tapak dan material tidak termasuk,
mengingat negara Singapura memiliki lahan yang terbatas dan tidak memiliki
sumber daya alam, berbeda dengan Malaysia, negara tetangganya dengan
Green Building Index (GBI) yang memasukkan tapak dan material dalam
parameter sistem peringkatnya; sama dengan Kanada (Green Building Tool),
Amerika Serikat (Leadership Energy & Environmental Design – LEED), Jepang
dan Perancis.

Dari Tabel 14.8 terlihat bahwa pemeringkatan BGH disesuaikan dengan kondisi
dan kepentingan tiap-tiap negara berdasarkan prioritas dan target yang ingin
dicapai. Untuk Indonesia, sistem peringkat disusun oleh Kemen PU PR untuk
bangunan gedung, utamanya yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan Belanja
Negara (APBN), dan yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan Belanja Daerah
(APBD) dan/atau bangunan gedung untuk kepentingan umum. Lembaga lain
yang membuat sistem peringkat di Indonesia adalah Green Building Council
Indonesia (GBCI) yang merupakan anggota dari World Green Building Council
(WGBC) di mana sistem peringkatnya diberi nama Greenship. Tabel 14.9
menunjukkan perbedaan parameter penilaian antara sistem pemeringkatan
berdasarkan Permen PUPR nomor 21 tahun 2021 tentang Pedoman Penilaian
Kinerja BGH dengan Greenship Versi NB 2.0. Meskipun nama parameternya
berbeda, namun pada dasarnya keduanya memiliki prinsip yang sama, yaitu
yang didasarkan pada prinsip konstruksi berkelanjutan.

Tabel 14.9. Pemeringkatan BGH di Indonesia


Permen PUPR no. 21/2021 Greenship Versi NB 2,0 (GBCI)
No.
Parameter Nilai Parameter Nilai
1 Pengelolaan Tapak 38 Tepat Guna Lahan 25
2 Efisiensi Penggunaan Energi 46 Efisiensi & Konservasi Energi 30
3 Efisiensi Penggunaan Air 22 Konservasi Air 24
4 Kualitas Udara dlm Ruang 19 Sumber & Siklus Material 14
Penggunaan Material Ramah Kesehatan & Kenyaman dalam
5 21 15
Lingkungan Ruang
Manajemen Lingkungan
6 Pengelolaan Sampah 7 16
Bangunan
7 Pengelolaan Air Limbah 12
Total 165 Total 124
Sumber: Permen PUPR no 21, 2021 dan GBCI, 2019.

Jimmy S. Juwana 618


Jika menggunakan Permen PUPR nomor 21 tahun 2021, peringkat BGH
pratama diperoleh jika dapat mencapai 45 – 65% dari total nilai, peringkat
madya jika memperoleh 65 – 80% total nilai, dan 80 – 100% total nilai untuk
peringkat utama. Sedang pada sistem pemeringkatan Greenship, peringkat
tersertifikasi (certified) diperoleh jika memperoleh 35% total nlai (dengan nilai
minimum 43), peringkat perak (silver) jika memperoleh 46% total nilai (dengan
nilai minimum 57), peringkat emas (gold) jika memperoleh 57% total nilai
(dengan nilai minimum 71), dan peringkat platina (platinum) jika memperoleh
73% total nilai (dengan nilai minimum 91).

14.2.2. Implementasi BGH

a. Pendekatan Regulasi

Permen PUPR nomor 21 tahun 2021 tentang Pedoman Penilaian Kinerja BGH
merupakan acuan peraturan bagi pengguna jasa yang ingin menggunakan
konsep BGH pada bangunan gedungnya,

Meskipun ada beberapa bagian yang berbeda, namun pada intinya bangunan
dengan fungsi dan luasan tertentu dapat dikategorikan sebagai bangunan
gedung yang wajib, dianjurkan dan disarankan menggunakan konsep BGH.

Rincian dari hal-hal yang dievaluasi disusun dalam Surat Edaran Menteri PU
PR nomor 1 tahun 2022 tentang Petunjuk Teknis Penilaian Kinerja BGH, yang
di antaranya mengatur tentang:
1) kategori BGH;
2) tata cara pemenuhan persyaratan BGH;
3) penilaian kinerja BGH; dan
4) proses sertifikasi BGH.

Pengaturan konsep BGH menurut Permen PUPR nomor 21 tahun 2021 tidak
hanya berisi ketentuan tentang aspek perancangan bangunan gedung saja,
tetapi meliputi seluruh penyelenggaraan bangunan gedung, mulai dari
perencanaan sampai dengan tahap pembongkaran.

Menurut PP nomor 16 tahun 2021, standar BGH dengan kategori wajib


(mandatory) meliputi:
1) bangunan gedung klas 4 dan klas 5; di atas empat lantai dengan luas paling
sedikit 50.000 m2;
2) bangunan gedung klas 6, 7, dan 8 di atas 4 (empat) lantai dengan luas lantai
paling sedikit 5.000 m2;
3) bangunan gedung klas 9a dengan luas di atas 20.000 m2; dan
4) bangunan gedung klas 9b dengan luas di atas 10.000 m2.

Jimmy S. Juwana 619


Bagi Bangunan Gedung yang tidak termasuk dalam kelompok tersebut di atas,
disarankan (recommended) tetap menggunakan standar BGH jika
memungkinkan:
1) Klas 1: Bangunan gedung hunian biasa:
Sub-klas 1a: Satu rumah tunggal, satu atau lebih rumah gandeng yang
dipisahkan dinding tahan api
Sub-klas 1b: Asrama, hostel atau sejenisnya dengan luas paling besar 300
m2 dan tidak dihuni lebih dari 12 orang
2) Klas 2: Bangunan gedung hunian yang terdiri atas dua atau lebih unit
hunian, yang masing-masing merupakan tempat tinggal terpisah
3) Klas 3: Bangunan gedung hunian di luar klas 1 dan klas 2, yang umum
digunakan sebagai tempat tinggal lama atau sementara oleh sejumlah orang
yang tidak berhubungan.
Klas 4: Bangunan gedung hunian yang berada di dalam suatu bangunan
klas 5, klas 6, klas 7, klas 8, atau klas 9 dan merupakan tempat tinggal yang
ada dalam bangunan tersebut
4) dengan ketentuan:
(a) di bawah tiga lantai; atau
(b) di atas empat lantai dengan luas kurang dari 50.000 m2
5) Klas 5: dengan ketentuan:
(a) di bawah 3 lantai; atau
(b) di atas 4 lantai dengan luas kurang dari 50.000 m2

Meskipun jumlah parameter yang ada di Permen PU PR nomor 21 tahun 2021


dan parameter ada di Greenship tidak jauh berbeda, namun jumlah penilaian
yang disusun dalam Permen PU nomor 21 tahun 2021 lebih banyak dari jumlah
penilaian yang ada di sistem peringkat Greenship.

b. Pendekatan Sukarela

Pilihan penggunaan konsep bangunan hijau lainnya, khususnya bangunan


gedung milik swasta, dapat menggunakan peringkat BGH (rating tools)
Greenship, di samping Permen PU PR nomor 21 tahun 2021.

Pendekatan konsep BGH yang bersifat sukarela ini, relatif lebih ketat
penilaiannya. Peringkat yang disusun oleh GBCI yang mewakili Indonesia di
WGBC memiliki penilaian kinerja/peringkat (rating tools) yang dapat disetarakan
dengan rating tools negara lain yang menjadi anggota WGBC. Parameter
memiliki beberapa perbedaan, namun target yang ingin dicapai tetap pada
bagaimana menjaga kelestarian alam, menurunkan pemanasan global dan
mengurangi dampak rumah kaca.

Parameter yang disusun oleh GBCI dalam peringkat Greenship membagi


kategori menjadi:

Jimmy S. Juwana 620


1) Bangunan Gedung Baru (new building – NB)
2) Bangunan Gedung Eksisting (exsysting building – EB)
3) Kawasan (neighborhood)
4) Rumah (housing)
5) Interior
6) Net Zero

Pembahasan hanya dibatasi pada peringkat untuk perancangan bangunan


gedung baru, yang terkait dengan substansi panduan sistem bangunan tinggi.

Sebelum dilakukan penilaian terhadap pemenuhan konsep BGH, bangunan


gedung harus sudah memenuhi regulasi, standar dan persyaratan teknis
bangunan gedung, mengingat BGH merupakan peningkatan kualitas dari suatu
bangunan gedung (Gambar 14.15).

Gambar 14.15. Bagan Alir Perancangan BGH

Kriteria rancangan dan persyaratannya bangunan gedung (standar), dibahas


pada Bab II sampai dengan Bab XI untuk memastikan bahwa seluruh regulasi
dan SNI sudah dipenuhi, sehingga jika dalam pelaksanaannya sesuai dengan
dokumen perencanaan, bangunan gedung dapat diproses Sertifikat Laik Fungsi
(SLF) – nya.

Jimmy S. Juwana 621


Pada bab ini, pembahasan difokuskan pada kriteria BGH dan kaitannya dengan
penilaian parameter dan pembahasannya yang tidak secara spesifik mengacu
pada sistem peringkat yang berlaku, namun pada ketujuh parameter yang
banyak digunakan oleh berbagai negara, termasuk Indonesia.

Untuk perancangan bangunan gedung baru, parameter meliputi:


1) Pemilihan Persil/Tata Guna Lahan

Dalam konteks parameter ini ada delapan hal yang penting untuk
diperhatikan:

a) RTH

Sesuai dengan amanah UU no 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang


dan PP 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional,
di kawsan perkotaan paling sedikit 30% dari kuasan Kawasan kota
harus berupa RTH.

Sebagaimana telah dibahas sebelumnya RTH ini dimaksudkan untuk


meningkatkan mutu kawasan, berupa pengurangan iklim mikro, kadar
CO2 dan polusi udara lain, mencegah aliran permukaan, erosi dan
menjaga keseimbangan air tanah. Pada Bab VIII telah dibahas
kewajiban kelola air hujan dan potensi banjir serta pemilihan cara
mengatasi banjir dan limpasan air. Telah dibahas pula manfaat vegetasi
utamanya sebagai pohon pelindung dan paru-paru kota, karenanya
dalam konteks BGH, ketentuan regulasi, standar dan persyaratan teknis
ditingkatkan agar penataan RTH di atas ketentuan tersebut.

b) Pemilihan Tapak

Hal yang terpenting bahwa bangunan gedung tidak dibangun di atas


lahan subur (greenfields), tetapi pada lahan yang dapat memberikan
manfaat bagi kondisi lahan yang ada (brownfields).

Hal lainnya adalah agar dapat mengurangi kepadatan bangunan


gedung (building density) dengan membangun secara vertikal,
sehingga memberi peluang tambahan RTH, karenanya tapak dipilih di
daerah dengan KLB > 3 dan telah memiliki pendukung berupa
prasarana dan sarana umum (PSU) kota, berupa:
(1) jaringan jalan;
(2) jaringan distribusi catu daya listrik;
(3) jaringan komunikasi;
(4) jaringan pipa air bersih;

Jimmy S. Juwana 622


(5) jaringan pipa gas rumah tangga;
(6) jaringan saluran drainase kota;
(7) jaringan/sistem proteksi kebakaran kota;
(8) sistem pembuangan sampah;
(9) instalasi pengolahan limbah kawasan;
(10) embung, danau buatan atau polder; dan
(11) jalur/fasilitas untuk pejalan kaki.

c) Aksesibiltas

Bangunan gedung ditempatkan pada lokasi yang telah memiliki


sekurangnya 40% fasilitas umum pada rentang 10 menit dengan
berjalan kaki (sekitar 400 m), dan dalam jarak pejalan kaki (walking
distance) orang dapat menjangkau jalan umum yang menuju
sekurangnya 20% fasilitas umum yang ada. Akses pejalan kaki ini
aman, nyaman dan bebas dari perpotongan sebidang dengan akses
kendaraan bermotor.

Lantai dasar (street level) dapat dimanfaatkan oleh pejalan kaki yang
aman dan nyaman selama ada aktivitas pada bangunan gedung
(minimum 10 jam sehari).

Fasilitas umum yang dimaksud adalah:


(1) fasilitas jasa keuangan (bank atau Anjungan Tunai Mandiri –
ATM);
(2) toko kelontong, dan mini market;
(3) warung, kantin, atau restoran;
(4) kantor pos;
(5) pos keamanan lingkungan/polisi;
(6) tempat ibadah;
(7) fasilitas kesehatan;
(8) apotek;
(9) pasar;
(10) kantor layanan pemerintah;
(11) gedung pertemuan/gedung serba guna;
(12) halte, terminal, atau stasiun transportasi umum;
(13) kios foto kopi umum dan alat tulis kantor (ATK);
(14) tempat penitipan anak;
(15) lapangan olah raga;
(16) taman umum;
(17) perpustakaan; dan
(18) fasilitas parkir umum (di luar tapak).

Jimmy S. Juwana 623


Fasilitas aksesibilitas ini dilengkapi dengan rambu dan perlengkapan
yang dapat digunakan oleh orang dengan kebutuhan khusus (difabel),
sebagaimana diatur dalam PP nomor 16 tahun 2021.

d) Transportasi Publik/Umum

Untuk mengurangi penggunaan kendaraan bermotor pribadi, halte


dan/atau stasiun transportasi umum diletakkan pada jarak pejalan kaki
yang dihitung dari gerbang pintu masuk tapak bangunan gedung.

Dalam hal kondisi di atas tidak dimungkinkan, bangunan gedung


menyediakan bis ulang alik (shuttle bus) untuk sekurangnya 10% dari
pengguna bangunan gedung.

Seluruh fasilitas pejalan kaki (trottoir) harus mengacu pada Permen PU


nomor 05 tahun 2012 tentang Penamanan Pohon pada Sistem Jaringan
Jalan dan SNI 03-2443-1991 (atau yang terbaru) tentang Spesifikasi
Trotoar (Gambar 14.16).

Sumber: Permen PU no. 5/2012

Gambar 14.16. Jarak Titik Tanam dengan Tepi Perkerasan

Pohon-pohon yang direkomendasikan untuk ditanam di sepanjang jalan


dapat dilihat pada Tabel 14.10, Tabel 14.11, Tabel 14.12 dan Tabel
14.13.

Tabel 14.10. Daftar Pohon Tepi Jalan Berukuran Sedang


Tinggi
Diameter
No Nama Umum Nama Latin Pertumbuhan
Tajuk [m]
[m]
1 Saga Adenanthera pavonina 10,00 – 15,00 > 12,00
Callophyllum 10,00 – 15,00 > 15,00
2 Nyamplung
inophyllum
3 Kenanga Cananga odorata > 15,00 6,00

Jimmy S. Juwana 624


Tinggi
Diameter
No Nama Umum Nama Latin Pertumbuhan
Tajuk [m]
[m]
4 Kotek mamak Cassia grandis > 15,00 10,00 – 15,00
5 Kasia busuk, < 10,00
Cassia nodosa > 15,00
beresah
6 Johar Cassia siamea 10,00 – 15,00 10,00 – 15,00
Medang teja, kayu
7
kanis hutan
Cinnamomum iners 10,00 – 15,00 10,00 – 15,00
8 Flamboyan Delonix regia 10,00 – 15,00 10,00 – 15,00
9 Dadap ayam Erythrina variegata 10,00 – 15,00 10,00 – 15,00
10 Kiara payung Filicium decipiens 10,00 – 15,00 10,00 – 15,00
11 Khaya Khaya senegalensis 10,00 – 15,00 10,00 – 15,00
Melaleuca 10,00 – 15,00 < 10,00
12 Gelam
leucadendron
13 Mambu Melia indica 10,00 – 15,00 10,00 – 15,00
14 Nagasari Mesua ferrea 10,00 – 15,00 10,00 – 15,00
15 Cempaka 10,00 – 15,00 10,00 – 15,00
Michelia alba
putih/kantil
16 Tanjung Mimusops flame 10,00 – 15,00 10,00 – 15,00
Pheltophorum
17 Batai laut 10,00 – 15,00 10,00 – 15,00
pterocarpum
18 Asam landi Pitchecolobium dulce 10,00 – 15,00 10,00 – 15,00
19 Asam jawa Tamarindus indica 10,00 – 15,00 10,00 – 15,00
20 Tekoma Tabebuia spectabilis 10,00 – 15,00 10,00 – 15,00
Sumber: Permen PU no. 5/2012

Tabel 14.11. Daftar Pohon Tepi Jalan Berukuran Kecil


Tinggi
Diameter
No Nama Umum Nama Latin Pertumbuhan
Tajuk [m]
[m]
1 Tapak kuda Bauhinia purpurea < 10.00 < 10,00
2 Kasia rimbun Cassia multijuga 7.00 10,00
3 Kasia singapur Cassia spectabilis 8.00 10,00
4 Dadap karang Erythrina glauca < 10.00 < 10,00
5 Jambu Bol Eugenia malaccencis 4.50 – 12,00 4,50
6 Ara daun lebar Ficus roxburghii 6.00 8,00
7 Jakaranda Jacaranda filicfolia 12,00 – 13,00 2,00 – 3,00
8 Jintan cina Juniperus chinensis < 10,00 < 10,00
9 Melaleuca 15,00 – 25,00 2,00 – 3,00
Gelam
leucadendron
10 Kol banda Pisonia alba < 10,00 < 10,00
12 Podocarpus < 10,00 < 10,00
Jati laut
polystachyus
13 Pohon terompet Tabebuia pallida 8,00 – 10,00 6,00
Sumber: Permen PU no. 5/2012

Jimmy S. Juwana 625


Tabel 14.12. Daftar Perdu/Semak untuk Tepi Jalan
Tinggi
Diameter
No Nama Umum Nama Latin Pertumbuhan
Tajuk [m]
[m]
1 Agave Agave americana n.a < 1,00
2 Alamanda ungu Alamanda violecea 1,00 – 1,50 1,00 – 1,50
3 Kesumbu Bixa Orellana > 1,50 > 1,50
4 Bunga kertsa/bogenvil Bougenvillea > 1,50 > 1,50
5 Melati kalisin Brunfelsia calycina > 1,50 1,00 – 1,50
6 Kembang merak Caesalphinia pulcherrima > 1,50 > 1,50
7 Kaliandra merah Caliandra emarginata > 1,50 > 1,50
8 Kaliandra merah jambu Caliandra sorinsonensis > 1,50 > 1,50
9 Pohon mahkota Calotropis gigantea > 1,50 > 1,50
10 Kasia bulu Cassia bilflora > 1,50 > 1,50
11 Kasia gantung Cassia fruticosa > 1,50 > 1,50
Clerodendrum
12 Bunga pagoda > 1,50 1,00 – 1,50
paniculatum
13 Clerodendrum 1,00 – 1,50 1,00 – 1,50
Nona makan sirih
thomsonae
14 Puring Codiaeum variegatum 1,00 – 1,50 1,00 – 1,50
15 Kailas/her Coleus spp 1,00 – 1,50 1,00 – 1,50
16 Kongea Congea totemtosa < 1,00 < 1,00
17 Jenjuang Cordyline spp > 1,50 > 1,50
18 Pakis/Paku gajah Cycas spp > 1,50 > 1,50
19 Duranta Duranta plumieri > 1,50 > 1,50
20 Susun kelapa Ervatamia coronaria > 1,50 > 1,50
21 Sambang darah Excoecaria bicolor 1,00 – 1,50 1,00 – 1,50
22 Pisang hias Heliconia spp 1,00 – 1,50 1,00 – 1,50
23 Kopsia merah jambu Kopsia fruticosia 1,00 – 1,50 1,00 – 1,50
24 Sutera putih Langerostromia indica > 1,50 1,00 – 1,50
25 Bunga tahi ayam Lantana camara 1,00 – 1,50 1,00 – 1,50
26 Kemuning Murraya panticulata > 1,50 1,00 – 1,50
27 Oleander Nerium oleander > 1,50 1,00 – 1,50
28 Bunga tikus Ochna madagascariensis > 1,50 > 1,50
29 Pandan Pandanus spp > 1,50 > 1,50
30 Paku-pakuan Pentas spp > 1,50 > 1,50
31 Bunga mahkota ungu Petrea volubilis > 1,50 1,00 – 1,50
32 Senduduk Rhododendron spp 1,00 – 1,50 1,00 – 1,50
33 Bunga lonceng kuning Stenolobium stans > 1,50 > 1,50
34 Bunga kamperfuli Tecomaria capensis 1,00 – 1,50 > 1,50
35 Bunga terompet Thevetia peruviana > 1,50 > 1,50
36 Bunga madia Thunbergia spp 1,00 – 1,50 1,00 – 1,50
37 Sadagori Turera ulmifolia 1,00 – 1,50 1,00 – 1,50
38 Siput laut kecil Vinca minor < 1,50 < 1,50
39 Simsoh air Wormia suffruticosa > 1,50 > 1,50
Sumber: Permen PU no. 5/2012

Jimmy S. Juwana 626


Tabel 14.13. Daftar Palem Tepi Jalan
Tinggi
Diameter
No Nama Umum Nama Latin Pertumbuhan
Tajuk [m]
[m]
Archontophoenix
1 Palem Ratu 3,00 – 9,00 < 3,00
alescandrae
2 Palem Kipas Livistona chinensis > 9,00 3,00 – 6,00
3 Palem segitiga Neodypsis deocaryi 3,00 – 9,00 3,00 – 6,00
Palem mac Psychosperma
4 3,00 – 9,00 3,00 – 6,00
arthur’s macarthurii
5 Palem raja Oreodoxa regia > 9,00 3,00 – 6,00
Sumber: Permen PU no. 5/2012

e) Fasilitas Pesepeda

Di samping pembatasan membawa kendaraan bermotor pribadi,


didorong orang untuk menggunakan sepeda. Untuk itu perlu disediakan
tempat parkir sepeda (Gambar 14.17).

Alokasi tempat parkir sepeda ditentukan satu unit parkir untuk tiap 20
orang dengan maksimum 100 unit tempat parkir. Setiap 10 tempat
parkir sepeda disediakan satu bilik shower dan locker.

Sumber: PP nomor 16, 2021


Gambar 14.17. Ukuran dan Susunan Parkir Sepeda

Jimmy S. Juwana 627


f) Lansekap/Penataan Ruang Luar

Dalam konteks BGH, diperlukan bukan saja gambar rancangan lengkap


dengan penempatan vegetasi, jenis tanaman dan diameter tajuk, tetapi
juga dilengkapi dengan perhitungan daya tampung air hujan dan/atau
fasilitas pengelolaan air hujan, mengacu pada PP nomor 16 tahun 2021
dan SNI 2398:2017 (atau edisi terbaru) tentang Tata Cara Perencanaan
Septik dengan Pengolahan Lanjutan (Sumur Resapan, Bidang
Resapan, up flow filter, Kolam Sanita).

Ukuran up flow filter tertera pada Tabel 14.14 dan ukuran kolam sanita
pada Tabel 14.15.
Tabel 14.14. Ukuran Up Flow Filter
Bak Ekualisasi Bak Filter
Pemakai
No. Pe Lbe Volume Pf Luas
[orang] Lf [m]
[m] [m] [m3] [m] [m2]
1 5 0,8 0,3 0,3 0,8 0,38 0,3
2 10 1,0 0,4 0,6 1,0 0,60 0,6
3 15 1,3 0,5 0,9 1.3 0,69 0,9
4 20 1,4 0,5 1,2 1,4 0,86 1,2
5 25 1.5 0,6 1,5 1,5 1.00 1,5
6 50 2,2 0,8 3,0 2,2 1,36 3,0
Sumber: SNI 2398:2017
Tabel 14.15. Ukuran Kolam Sanita
Ukuran [m] Jumlah
Pemakai Volume
No. T + ambang Lajur
[orang] P L [m3]
batas Pipa
1 5 0,8 0,4 0,8 0,72 1
2 10 1,6 0,8 0,8 0,40 1
3 15 1,8 0,9 1,0 2,20 1
4 20 2,4 1,2 1,0 2,90 2
5 25 3,0 1,5 1,0 3,60 2
6 50 6,0 3,0 1,0 7,20 3
Sumber: SNI 2398:2017

g) Suhu Kawasan/Iklim Mikro

Untuk meningkatkan mutu iklim mikro di sekitar bangunan gedung agar


nyaman bagi manusia dan habitat yang ada di sekitarnya. Tolok ukur
yang digunakan adalah dengan menggunakan material yang dapat
mengurangi efek heat island pada area atap bangunan gedung
sehingga nilai daya refleksi panas matahari (nilai albedo) paling sedikit
0,30.

Jimmy S. Juwana 628


Albedo merupakan sebuah besaran yang menggambarkan
perbandingan antara sinar matahari yang tiba di permukaan bumi dan
yang dipantulkan kembali ke angkasa dengan terjadi
perubahan panjang gelombang (outgoing longwave radiation).
Perbedaan panjang gelombang antara yang datang dan yang
dipantulkan dapat dikaitkan dengan seberapa besar energi
matahari yang diserap oleh permukaan bumi.
Permukaan yang berbentuk padat memberikan nilai albedo yang lebih
besar dibandingkan dengan permukaan yang bersifat lembut. Albedo
umumnya dikaitkan dengan perubahan iklim lokal, dan perlu dipahami
dalam menganalisis perubahan tata guna lahan (land use). Pada
umumnya, daerah perkotaan memiliki nilai albedo yang lebih besar
dibandingkan dengan daerah pinggiran kota maupun kawasan
perhutanan/pertanian, sehingga hot islands selalu merupakan kasus
serius di daerah perkotaan.
Untuk itu penataan roof garden dan lansekap dapat digunakan untuk
menghitung nilai albedo:

NA 
 A L 
n. n

L
Persamaan 14.1.
n

di mana : NA adalah nilai albedo


An adalah nilai albedo dari material n
Ln adalah luas dari material n
Nilai albedo dari beberapa material tertera pada Tabel 14.16 dan Tabel
14.17.
Tabel 14.16. Nilai Albedo untuk Permukaan Tanah
Jenis Permukaan Koefisien Albedo [%]
Pasir 75
Badan air 7
Tanah 14
Debu jalanan 4
Tanaman/Pepohonan 26
Aspal 10
Beton 22
Jatuhan daun 30
Rumput kering 20
Rumput segar/hijau 26
Bata 27

Jimmy S. Juwana 629


Jenis Permukaan Koefisien Albedo [%]
Plesteran warna gelap 20
Plesteran warna terang 60
Lapangan dengan tepi kayu 70
Lapangan dengan tepi rumput kering 65
Lapangan dengan pepohonan acak 62
Taman terbuka (RTH) 50
Kawasan perkotaan 20
Sumber: UN Habitat, 2010

Tabel 14.17. Nilai Albedo dan Emisivitas Atap


Material Albedo [%] Emisivitas [%]
Rumput 20 – 30 90 – 95
Lapangan rumput 3 – 15
Padang rumput 10 – 30
Vegetasi berkayu 5 – 20
Badan air (sudut matahari tinggi) 5 92 – 97
Aspal 5 – 15 95
Beton 10 – 50 71 – 90
Bata 20 – 50 90 – 92
Batu 20 – 35 85 – 95
Granit*) 35
Andesit*) 10 – 65
Paving putih*) 40 - 80
Paving abu-abu*) 20 - 40
Atap beraspal dan kerikil 8 – 18 92
Atap genteng 10 – 35 90
Atap metal gelombang 10 – 16 13 – 28
Cat putih 50 – 90 85 – 95
Cat merah, cokelat, hijau 20 – 35 85 – 95
Cat hitam 2 – 15 90 – 98
Cat acrylic hitam*) 5
Lapisan aluminium*) 61
Sumber: Mareta, 2017 *) GBCI, 2018

h) Pengelolaan Air Hujan

Pengelolaan air hujan fokus pada pencegahan terjadinya aliran


permukaan (water run off) yang dirinci dalam analisis pengelolaannya
lengkap dengan skematik jaringan drainase dan kolam
penampungan/sumur resapan, dengan memperhitungkan koefisien
limpasan (run off) air hujan (Tabel 14.18).

Jimmy S. Juwana 630


Tabel 14.18. Koefisien Limpasan Air Hujan
No Permukaan Tanah Nilai Koefisien [c]
1 Tanaman teratur 0,56
2 Semak 0,21
3 Pepohonan rimbun 0,10
4 Beton 0,95
5 Aspal 0,95
6 Kerikil 0,65
7 Pasangan bata 0,85
8 Atap (tanpa vegetasi) 0,95
9 Roof garden 0,30
10 Tanah berpasir:
(19) Datar (kemiringan < 2%) 0,02 – 0,10
(20) Sedang (kemiringan 2 –
0,10 – 0,15
7%)
(21) Curam (kemiringan > 7%) 0,15 – 0,20
11 Tanah padat/rerumputan:
i. Datar (kemiringan < 2%) 0,13 – 0,17
ii. Sedang (kemiringan 2 – 7%) 0,18 – 0,22
iii. Curam (kemiringan > 7%) 0,22 – 0,35
Sumber: GBCI, 2018

2) Efisiensi Energi

Dua hal yang perlu diperhatikan dalam kaitan dengan efisien energi, adalah
mengurangi semaksimal mungkin panas yang masuk ke dalam bangunan
gedung yang akan berakibat pada beban pendingin ruangan, dan upaya
pengendalian penggunaan energi.

Sumber: Suryabrata, 2020


Gambar 14.18. Orientasi Bangunan Gedung

Jimmy S. Juwana 631


Panas yang masuk ke dalam bangunan gedung melalui bukaan (jendela)
yang ada pada bangunan gedung, oleh karenanya pendekatan pertama
yang dilakukan adalah dengan menempatkan sisi terpendek bangunan
gedung pada lintasan matahari (Gambar 14.18).

Perbandingan bukaan terhadap dinding masif (window to wall ratio – WWR)


dan material selubung bangunan gedung akan mempengaruhi nilai OTTV
(lihat Bab VI – Tata Udara), karena sebagian besar panas yang masuk ke
dalam bangunan gedung melalui bukaan (sekitar 70 – 80% melalui proses
radiasi panas melalui kaca jendela). Karenanya nilai OTTV berbanding
lurus dengan beban pendingin, dan berbanding terbalik dengan
pemanfaatan cahaya alami (day lighting). Nilai OTTV untuk bangunan
gedung hijau harus di bawah 35 W/m2.

Sumber: Suryabrata, 2020

Gambar 14.19. Penentuan Peneduh dan Diagram Matahari

Jimmy S. Juwana 632


Upaya yang dilakukan adalah dengan melakukan rekayasa pada selubung
bangunan (facade) dan peneduh/tirai matahari (sun shading), agar sinar
tetap dapat masuk ke dalam ruangan, namun panas matahari dapat
dibatasi. Untuk merancang bentuk peneduh (shading) digunakan diagram
matahari (solar chart) agar dimensi peneduh vertikal dan/atau peneduh
horizontal dapat ditentukan (Gambar 14.19).

Beberapa alternatif peneduh dan tirai matahari yang kadang


dikombinasikan dengan pencahayaan dari atap (sky light) dapat dilihat
pada Gambar 14.20.

Sumber: Suryabrata, 2020

Gambar 14.20. Alternatif Peneduh dan Tirai Matahari

Parameter efisiensi energi menitik beratkan apada:

a) Pengendalian Penggunaan Energi

Untuk dapat memantau dan mengendalikan penggunaan energi,


dipasang kWh meter untuk mengukur konsumsi listrik pada setiap
kelompok beban dan peralatan yang digunakan pada bangunan
gedung:
(1) sistem tata udara;
(2) sistem ransportasi vertikal;
(3) sistem tata cahaya;
(4) sistem jaringan listrik (stop kontak); dan
(5) sistem beban listrik lainnya.

Penggunaan beban ini dibandingkan dengan penggunaan rata-rata


bangunan gedung (Tabel 14.19).

Tabel 14.19. Indeks Efisiensi Energi (IEE)


Fungsi Bangunan Gedeung IEE [kWh/m2/tahun]
Mall, Toko dan Jasa 350 - 500
Rumah Sakit 320 - 450
Apartemen 300 - 400

Jimmy S. Juwana 633


Fungsi Bangunan Gedeung IEE [kWh/m2/tahun]
Hotel 290 - 400
Perkantoran 210 - 285
Fasilitas Pendidikan 165 – 295
Sumber: Keeler & Burke, 2009 dimodifikasi

b) Penghematan Penggunaan Peralatan dalam Bangunan Gedung

Berbagai upaya dapat dilakukan, dari kegiatan kerumahtanggaan yang


secara disiplin menghidupkan dan memadamkan peralatan yang
digunakan, sampai dengan melakukan perubahan/pergantian dengan
peralatan hemat energi (lihat Tabel 14.1).

Sebagai tambahan dari apa yang telah tertera pada Tabel 14.1, sebagai
ilustrasi, penghematan energi dapat dilakukan dengan mengganti
lampu dengan lampu hemat energi (Gambar 14.21).

Sumber: Juwana, 2012.


Gambar 14.21. Ilustrasi Penghematan dari Penggantian Lampu

Dengan berkembangnya ICT, banyak perangkat lunak (software) yang


dpat digunakan untuk melakukan simulasi penggunaan energi (energy
simulation modelling) sehingga konsumsi energi dapat dihemat
minimum 5% dari konsumsi normal.

Penghematan juga dilakukan dengan mengoptimalkan jam operasional,


mengatur zona layanan lif, mengganti peralatan dengan yang hemat
energi, melengkapi dengan sensor gerak (moving sensor) dan
penggunaan otomatisasi operasional bangunan gedung (BAS).

Jimmy S. Juwana 634


c) Pemanfaatan Cahaya Alami

Sekurang-kurangya 30% dari luasan lantai dalam bangunan gedung


memperoleh sinar alami dengan intensitas cahaya 300 lux. Dengan
simulasi komputer, dapat diperoleh zona/daerah dengan gradasi
intensitas cahaya (Gambar 14.22).

Sumber: Kilkelly, 2015


https://www.architectmagazine.com/technology/five-digital-tools-for-architects-to-test-
building-performance_o
Gambar 14.22. Simulasi Intensitas Cahaya Alami

Dari simulasi ini, dapat ditentukan penempatan titik lampu yang


dihubungkan dengan sensor cahaya (lighting sensor), sehingga lampu
akan otomatis menyala jika intensitas cahayanya kurang dari 300 lux.

Untuk pencahayaan buatan (artificial lighting) dapat dihitung


berdasarkan Tabel 14.20.

Jimmy S. Juwana 635


Tabel 14.20. Standar Daya Pencahayaan
Daya Pencahayaan Maksimum
Fungsi/Aktivitas Ruang [W/m2]
Termasuk rugi-rugi ballast)
Perkantoran
a. Ruang kerja 12
b. Rapat 12
c. Ruang resepsionis 13
d. Ruang Pimpinan/Direktur 13
e. Ruang komputer 12
Fasilitas Pendidikan
a. Ruang kelas 15
b. Perpustakaan 11
c. Laboratorium 13
Hotel/Restoran
a. Lobby 12
b. Kafetaria 8
c. Kamar tidur 7
d. Ruang resepsionis/kasir 12
e. Koridor 5
Fasilitas Pengobatan/Tumah sakit
a. Ruang rawat jalan 10
b. Ruang rawat inap 12
c. Kamar tidur 15
d. Laboratorium 12
e. Ruang kantor Staf 10
Pertokoan/Ruang Pamer
a. Pasar swalayan 15
b. Ruang pamer 13
Rumah Peribadatan
a. Masjid 10
b. Gereja 13
c. Vihara dan sejenisnya 10
Sumber: SNI 03-6197-2020

d) Pemanfaatan Sirkulasi Udara Alami

Bangunan tinggi pada umumnya dilengkapi dengan sistem tata udara,


namun ada beberapa bagian/ruangan yang masih dapat
memanfaatkan udara alami, seperti ruang tangga, gudang, toilet dan
lobby lif.

Jimmy S. Juwana 636


Sirkulasi udara dapat menggunakan ventilasi alami atau mekanik.
Kebutuhan udara alami dapat dilihat pada Tabel 14.21 dan Tabel
14.22.

Tabel 14.21. Kebutuhan Ventilasi Mekanik


Catu Udara Segar Minimum
Tipe Pertukaran m3/jam per
Udara/jam orang
Kantor 6 18
Restoran/kantin 6 18
Toko/Pasar swalayan 6 18
Pabrik/bengkel 6 18
Kelas, bioskop 8 -
Lobby, koridor, tangga 4 -
Kamar
10 -
mandi/peturasan
Dapur 20 -
Tempat parkir 6 -
Sumber: SNI 6572:2001

Tabel 14.22. Kebutuhan Laju Udara Ventilasi


Kebutuhan Udara Luar
Fungsi Bangunan
No Satuan Tidak
Gedung Merokok
Merokok
1 Laundri m3/min/orang 1,05 0,46
2 Restoran:
a. Ruang makan m3/min/orang 1,05 0,21
b. Dapur m3/min/orang - 0,30
c. Cepat saji (fast m3/min/orang
1,05 0,21
food)
3 Servis mobil:
a. Garasi (tertutup) m3/min/orang 0,21 0,21
b. Bengkel m3/min/orang 0,21 0,21
Hotel, Motel, dan
4
lainnya:
a. Kamar tidur m3/min/orang 0,42 0,21
b. Ruang m3/min/orang
tamu/ruang - 0,75
duduk

Jimmy S. Juwana 637


Kebutuhan Udara Luar
Fungsi Bangunan
No Satuan Tidak
Gedung Merokok
Merokok
c. Kamar m3/min/orang
- -
mandi/toilet
d. Lobby m3/min/orang 0,45 0,15
e. Ruang m3/min/orang
pertemuan 1,05 0,21
(kecil)
f. Ruang rapat m3/min/orang 1,05 0,21
5 Kantor:
a. Ruang kerja m3/min/orang 0,60 0,15
b. Ruang m3/min/orang
1,05 0,21
pertemuan
6 Ruang Umum:
a. Koridor m3/min/orang - -
b. WC umum m3/min/orang 2,25 2,25
c. Ruang m3/min/orang
1,05 0,21
locker/ganti baju
7 Pertokoan:
a. Basemen & m3/min/orang
0,75 0,15
lantai dasar
b. Lantai atas m3/min/orang 0,75 0,15
c. Mal & Arkade m3/min/orang 0,30 0,15
d. Lif m3/min/orang - 0,45
e. Ruang merokok m3/min/orang 1,50 -
8 Ruang Kecantikan:
a. Panti cukur & m3/min/orang
0,87 0,60
salon
b. Ruang olah raga m3/min/orang - 0,42
c. Toko kembang m3/min/orang - 0,15
d. Salon binatang m3/min/orang
- 0,30
peliharaan
Sumber: SNI 6572:2001

e) Pengaturan penggunaan lif

Pada pola panggilan konvensional, orang yang masuk ke dalam lif


memiliki tujuan yang beragam, sehingga lif akan berhenti pada lantai
yang dituju pada saat orang sudah berada di dalam kereta lif. Hal ini

Jimmy S. Juwana 638


akan berdampak pada kemungkinan lif akan berhenti beberapa kali di
banyak lantai.

Sumber: Tetlow, 2015

Gambar 14.23. Sistem Panggilan Lif

Pada pola penentuan tujuan (destination dispatching system – DDS),


tujuan orang sudah ditentukan dan dikelompokkan pada saat panggilan
lif di lantai dasar, sehingga setiap lif sudah di arahkan untuk menuju
lantai-lantai tertentu saja (Gambar 14.23). Di dalam kereta tidak ada
tombol untuk menentukan lantai tujuan. Dengan cara demikian,
penggunaan energi untuk pergerakan lif dapat dikurangi hingga 27%
dibanding cara konvensional.

f) Pertimbangan akan dampak perubahan iklim

Penggunaan energi berlebihan akan berpengaruh pada emisi CO2 dan


berpengaruh pada dampak gas rumah kaca, dan akumulasi gas CO2 di
atmosfer akan mempengaruhi terjadinya perubahan iklim di dunia.

Dengan menggunakan perhitungan konversi antara CO2 dan energi


listrik (grid emission factor) sebagaimana ditetapkan oleh Keputusan
DNA nomor B/277/Dep.III/LH/01/2009 dan menggunakan data dari
Kemen ESDM, faktor emisi grid (emission factor) 0,891 ton CO2 per
MWh untuk Jawa.Madura-Bali dan 0,743 ton CO2 per MWh untuk
Sumatera (perhitungan tahun 2008).

Jimmy S. Juwana 639


g) Penggunaan Energi Terbarukan

Mayoritas daya listrik yang digunakan saat ini berasal dari bahan bakar
yang berasal dari fosil (bahan bakar minyak – BBM atau bahan bakar
gas – BBG), yang diperkirakan akan menyusut dan mungkin musnah
dalam jangka waktu 50 – 100 tahun mendatang. Oleh karena itu,
dianjurkan bahwa sebagian konsumsi listrik untuk bangunan gedung
menggunakan sumber energi dari energi terbarukan.

Energi terbarukan dapat berupa panel surya (photo voltaic), tenaga


angin (turbin angin), atau bio gas yang berasal dari sampah (Gambar
14.24).

Sumber: https://cambodianess.com/article/cambodias-renewable-energy-future-is-bright-but-
challenging

Gambar 14.24. Panel Surya dan Turbin Angin

Penggunaan panel surya dapat dipasang terpisah dari jaringan PLN (off
grid) atau terintegrasi dengan jaringan PLN (on grid). Gambar 14.25
memperlihatkan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang mandiri
(stand alone) yang dihubungkan dengan genset cadangan.

Sumber: Gevorkian, 2006

Gambar 14.25. PLTS off grid

Jimmy S. Juwana 640


3) Konservasi Air

Sama halnya dengan energi, pada parameter ini dimaksudkan untuk


melakukan langkah-langkah penghematan konsumsi air dan pengendalian
penggunaanya. Dalam hal ini difokuskan pada:

a) Pemasangan Alat Ukur Air

Jika pada aspek energi pengendalian dan pemantauan dengan


memasang kWh meter, di sini dilakukan pengelolaan air dengan
memasang alat pengukur penggunaan air (meter air) pada setiap
pasokan air bersih (dari Perusahaan Daerah Air Minum – PDAM,
dan/atau dari air tanah), pada keluaran dari sistem daur-ulang air, dan
pada keluaran tambahan air bersih, jika pasokan air daur-ulang tidak
mencukupi.

b) Pengukuran Penggunaan Air

Pengukuran penggunaan air dilakukan dengan membuat analisis


konsumsi air seperti yang telah dibahas pada Bab VI. Untuk
membandingkan dengan penggunaan air aktual, dapat digunakan
Tabel 12.21, sedang untuk prakiraan awal dapat digunakan Tabel
14.23 (meskipun SNI 03-7065-2005 sudah digantikan dengan SNI
8153:2015)
Tabel 14.23. Pemakaian Air Dingin Minimum
Fungsi Bangunan Pemakai-
No Satuan
Gedung an Air
1 Rumah tinggal 120 Liter/penghuni/hari
2 Rumah susun 100 Liter/penghuni/hari
3 Asrama 120 Liter/penghuni/hari
4 Rumah Sakit 500 Liter/tempat tidur pasien/hari
5 Sekolah Dasar 40 Liter/siswa/hari
Sekolah Lanjutan Tingkat
6 50 Liter/siswa/hari
Pertama
Sekolah Menengah
7 80 Liter/siswa/hari
Umum/Kejuruan
8 Rumah toko/Rumah kantor 100 Liter/pegawai/hari
9 Kantor/Pabrik 50 Liter/pegawai/hari
10 Toko serba ada/pengecer 5 Liter/m2
11 Restoran 15 Liter/kursi
12 Hotel berbintang 250 Liter/tempat tidur/hari
13 Hotel melati/penginapan 150 Liter/tempat tidur/hari

Jimmy S. Juwana 641


Fungsi Bangunan Pemakai-
No Satuan
Gedung an Air
Gedung pertunjukan, Liter/kursi
14 10
bioskop
15 Gedung serbaguna 25 Liter/kursi
Liter/penumpang
16 Stasiun, terminal 3
tiba & pergi
17 Rumah peribadatan 5 Liter/orang
Sumber: SNI 03-7065-2005

c) Pengurangan Konsumsi Air dan Fitur Hemat Air

Selanjutnya, pengurangan penggunaan air dilakukan dengan


memasang fitur dan peralatan saniter hemat air (lihat 12.1.1. huruf b)
dan terkait sistem daur-ulang air sudah dibahas pada 12.1.3. Sebagai
pembanding dapat digunakan Tabel 14.24.
Tabel 14.24. Penggunaan Air pada Peralatan Saniter.
Jenis Alat Standar Penggunan Air
WC dengan flush valve < 6 liter/flush
WC dengan flush tank < 6 liter/flush
Urinal flush valve/peturasan < 4 liter/flush
Keran wastafel/lavatory < 8 liter/menit
Keran tembok < 8 liter/menit
Shower < 9 liter/menit
Lansekap < 5 liter/m2
Sumber: EPAct 1992 (dimodifikasi)

d) Daur-ulang air

Pada pembahasan terdahulu (lihat 14.1.3) daur-ulang pada bangunan


gedung dapat dilakukan terhadap beberapa sumber. Tabel 14.25
menunjukkan informasi terkait dengan air yang dimungkinkan untuk
diproses daur-ulang.

Fungsi air daur-ulang dapat digunakan untuk:


(1) penggelontor (flushing);
(2) tambahan air untuk menara pendingin (make up water untuk
cooling tower);
(3) irigasi (penyiraman tanaman); dan
(4) mencuci kendaraan.

Jimmy S. Juwana 642


Penggunaan air kotor (black water) untuk didaur-ulang dapat dilakukan
dengan melalui suatu proses tertentu yang mutu airnya dipantau secara
berkala.

Tabel 14.25. Informasi Air Daur-ulang


Proses Daur-
Uraian Sumber Air
ulang
Air buangan wastafel Filtrasi untuk
Dapat didaur- Air bekas wudhu mencapai baku mutu
ulang Air buangan shower mandi air bersih (Tabel
Air kolam, dan air lainnya 12.26)
Air buangan laboratorium
Air ruang periksa, operasi Harus dibuang
melalui
Air buangan unit gawat
penampungan
darurat
Tidak dapat khusus untuk
Air bekas memandikan
didaur-ulang mentralisir bahan-
jenazah
(khusus untuk bahan berbahaya,
Air dari sterilisasi
Rumah Sakit) sebelum disalurkan
Air ruang peralatan khusus ke saluran
Air dari ruang intensive care pembuangan
unit
Air dari ruang isolasi
Air hujan Filtrasi
Destilasi, ionisasi,
Dapat dan hanya
reserve osmosis
dapat sebagai air Air danau, sungai, laut yang
dan/atau
tambahan diolah
penyaringan &
koagulasi
Sumber: GBCI, 2013 (dimodifikasi)

Dari Tabel 14.25 ini terlihat bahwa untuk keperluan rumah sakit
persyaratan proses daur-ulang air lebih ketat dibandingkan untuk
penggunaan pada bangunan gedung lainnya.

Di banyak negara proses daur-ulang sudah dilakukan untuk memproses


air kotor menjadi setara dengan air buangan, dan selanjutnya air ini
diproses untuk menjadi air bersih yang memenuhi syarat untuk
digunakan bagi keperluan keseharian. Di beberapa negara air bersih ini
ada yang diproses untuk menjadi air yang siap diminum (potable water).

Jimmy S. Juwana 643


Secara skematik proses daur-ulang pada Gambar 14.26 hanya
menunjukkan proses dari air buangan yang didaur-ulang untuk
penggunaan pengglontoran toilet dan keperluan irigasi saja. Sedang
untuk air kotor dialirkan ke bio tank.

Sumber: Nasir, 2020

Gambar 14.26. Skematik Proses Daur-ulang Air pada Bangunan


Gedung

e) Sumber Air Alternatif

Pemanfaatan sumber air alternatif juga merupakan langkah yang


digunakan dalam konteks konservasi air. Penggunaan air alternatif
dapat diperoleh dari:
(1) air kondensasi AC;
(2) air bekas wudhu;
(3) air hujan;
(4) air laut (termasuk air payau);
(5) air sungai, dan/atau

Jimmy S. Juwana 644


(6) air danau/waduk.

Untuk dapat digunakan sebagai air bersih, air harus memenuhi standar
mutu sesuai ketentuan Permen Kesehatan nomor 32 tahun 2017 tentang
Syarat-Syarat dan Pengawasan Kualitas Air (Tabel 14.26)

Tabel 14.26. Standar Baku Mutu Air Bersih


Kadar
No Parameter Satuan Maksimum Keterangan
yang diijinkan
A. FISIKA
1 Bau - - Tidak berbau
2 Jumlah zat yang terlarut mg/l 1.000 -
Skala
3 Kekeruhan 5 -
NTU
4 Rasa - - Tidak berasa
Suhu udara +
5 Suhu oC -
3oC
6 Warna Skala ICU 15 -
B. KIMIA
a. Kimia An-organik
1 Air Raksa mg/l 0,001 -
2 Arsen mg/l 0,05 -
3 Besi mg/l 1,0 -
4 Fluorida mg/l 1,5 -
5 Kadmium mg/l 0,005 -
6 Kesadahan (CaCO3) mg/l 500 -
7 Klorida mg/l 600 -
8 Kronium, valensi 6 mg/l 0,05 -
9 Mangan mg/l 0,5 -
10 Nitrat, sebagai N mg/l 10 -
11 Nitrit, sebagai N mg/l 1,0 -
12 pH mg/l 0,05 -
13 Salenium mg/l 0,01 -
14 Seng mg/l 15 -
15 Sianida mg/l 0,1 -
16 Sulfat mg/l 400 -
17 Timbal mg/l 0,05 -
b. Kimia Organik
1 Aldrin dan dieldrin mg/l 0,0007 -
2 Benzene mg/l 0,01 -
3 Benzo(a)pyrene mg/l 0,00001 -

Jimmy S. Juwana 645


Kadar
No Parameter Satuan Maksimum Keterangan
yang diijinkan
4 Chloroform (total Isomer) mg/l 0,007 -
5 Chloroform mg/l 0,03 -
6 2,4-D mg/l 0,10 -
7 DDT mg/l 0,03 -
8 Deterjen mg/l 0,5 -
9 1,2-D ichloroethene mg/l 0,01 -
10 1,1-D ichloroethene mg/l 0.0003 -
Heptachlor dan mg/l
11 0,003 -
heptachlor epoxide
12 Hexachlorobenzene mg/l 0,00001 -
13 Gamma-HCH (Lindane) mg/l 0,004 -
14 Metoxychlor mg/l 0,10 -
15 Pentachloropenol mg/l 0,01 -
16 Peptisida total mg/l 0,10 -
Sumber: Permenkes no. 32/2017

f) Penampungan Air Hujan

Air hujan yang dapat ditampung adalah air hujan yang jatuh langsung
dari langit atau yang berasal dari atap bangunan. Di kawasan perkotaan
air hujan kadang mengandung polutan akibat emisi gas buang
kendaraan (hujan asam), sehingga air hujan yang ditampung dari atap
baru disalurkan untuk ditampung beberapa menit setelah hujan turun.
Hal ini untuk mengurangi pengaruh asam yang ada dalam kandungan
air hujan dan kotoran yang ada pada atap bangunan.

Tempat penampungan air hujan harus terbuat dari bahan yang tidak
dapat korosi, biasanya terbuat dari:
(1) bak beton yang dilapisi dengan cat (epoxy atau chlorinated
rubber paint) atau keramik;
(2) tabung dari bahan serat gelas (fiber glass); atau
(3) tabung dari baja anti karat (stainless steel).

g) Efisiensi Air Irigasi

Beberapa cara dapat dilakukan agar penggunaan air untuk penyiraman


tanaman dapat dilakukan secara efisien.

Ada beberapa cara untuk menyirami tanaman:

Jimmy S. Juwana 646


(1) Cara Manual

Menyiram tanaman dengan cara konvensional dengan


menggunakan selang (Gambar 14.27).

Penyiraman cara konvensional ini tidak menggunakan air secara


efisien, karena air disemprotkan dalam jumlah besar dan
condong berlebihan, dan jika selang air mengalami kebocoran
(berlubang), banyak air yang terbuang secara sia-sia.

Gambar 14.27. Penyiraman Konvensional

(2) Sistem Sprinkler (sprinkler system)

Air didisribusikan melalui pipa dan air dipompa melalui pipa


tersebut dan keluar ke udara dan jatuh ke tanah seperti air hujan.

Sistem ini efektif untuk kawasan yang relatif tidak luas dan dapat
diatur secara manual atau meggunakan sensor otomatis
(Gambar 14.28).

Jimmy S. Juwana 647


Gambar 14.28. Sprinkler System

(3) Sistem Tetes (drip water system)

Sistem ini juga mengalirkan air melalui pipa dengan tekanan air
yang kecil, sehingga air yang keluar tidak berupa pancaran air,
tetapi tetesan air yang jatuh di dekat zona akar tanaman.

Sistem ini dapat mengurangi hilangnya air akibat tertiup angin,


evaporasi (penguapan) atau limpasan. Manfaat yang lain adalah
tanah di sekitar tanaman terjaga sehingga dapat mengurangi
risiko erosi yang dapat mengakibatkan hilangnya nutrisi dan
pupuk yang ada di tanah (Gambar 14.29).

Gambar 14.29. Drip Water System

4) Kualitas dalam Bangunan Gedung

Sekitar 80 – 90% waktu manusia berada dalam bangunan gedung, dan


kadang-kala mutu udara dalam gedung kondisinya lebih buruk
dibandingkan mutu udara luar. Hal ini diakibatkan karena sirkulasi udara

Jimmy S. Juwana 648


segar dalam bangunan gedung terbatas dan/atau adanya polutan di dalam
ruangan (lihat Bab 6.1 buku ini, terkait SBS dan BRI).

Parameter kualitas udara dalam gedung fokus pada:

a) Pemanfaatan udara segar

Laju aliran udara luar per orang mengacu pada SNI 03-6572-2001 (atau
edisi yang terbaru) yang tertera pada Tabel 14.21 dan Tabel 14.22,
namun banyak bangun gedung juga menggunakan standar ASHRAE
62.1-2007 (atau edisi terbaru) sebagai acuan untuk menghitung laju
ventilasi udara segar (ventilation rate procedure – VRP) seperti tertera
pada Tabel 14.27 dengan berbagai fungsi ruang, tingkat hunian dan luas
ruangan.
Tabel 14.27. Minimum Laju Ventilasi
Kebutuhan
Nilai yang
Laju udara Kebutuhan Laju
Disyaratkan
Fungsi Ruang segar udara segar
[orang/100
[l/detik per [l/detik per m2]
m2]
orang]
Perkantoran:
Ruang kerja 2,5 0,3 5
Ruang respsionis 2,5 0,3 30
Ruang telepon/data 2,5 0,3 60
Lobby utama 2,5 0,3 10
Bangunan Umum:
Tempat istirahat 2,5 0,3
25
sejenak
Tempat minum kopi 2,5 0,3 20
Ruang konprensi/rapat 2,5 0,3 50
Koridor - 0,3 -
Gudang - 0,6 -
Fasilitas Pendidikan:
Ruang kelas 3,8 0,3 65
Ruang 0,3
5,0 35
music/theater/tari
Ruang serba guna 3,8 0,3 100
Sumber: ASHRAE Standard 62.1-2007

Untuk menentukan laju udara ventilasi dapat digunakan rumus:

LUbz  LU p .P  LUa . A [liter/detik] Persamaan 14.2.

Jimmy S. Juwana 649


di mana: LUbz adalah laju udara tempat bernafas (breathing
zone dalam ruang yang digunakan
LUp adalah kebutuhan laju udara segar per orang
[l/dtk per orang] (dari Tabel 12.25)
P adalah perkiraan jumlah orang dalam ruang yang
digunakan [orang]
LUa adalah kebutuhan laju udara segar per luasan
[l/dtk per m2] (dari Tabel 12.25)
A adalah luas neto dari ruang yang dikondisikan
[m2]

b) Pemantauan kadar CO2

Pada ruangan dengan tingkat okupansi tinggi (< 2,3 m2 per orang) perlu
dilengkapi dengan sensor CO2 yang memiliki mekanisme untuk
mengatur jumlah laju ventilasi udara segar agar konsentrasi gas CO2 di
dalam ruangan tidak melebihi ambang batas (1.000 ppm). Sensor ini
diletakkan setinggi 150 cm dari permukaan lantai atau di dekat lubang
saluran udara balik (return air duct) pada sistem tata udara.

c) Pembatasan merokok

Lebih dari 400.000 orang meninggal di Indonesia akibat asap rokok, dan
sebagian di antaranya merupakan perokok pasif (orang yang tidak
merokok tapi terhirup asap rokok).

Ada beberapa pendekatan untuk membatasi orang merokok, yaitu


memasang tanda ‘dilarang merokok’ dalam bangunan gedung atau
melarang sama sekali orang untuk merokok dalam bangunan
gedung/kawasan tertentu.

d) Pengurangan polutan kimia

Pada Bab VI, VOC merupakan emisi berupa gas yang terdiri dari
berbagai senyawa organik yang mudah larut/menguap di udara.
Sebagaimana telah dibahas pada Bab VI, VOC ini ada pada material
yang digunakan dalam bangunan gedung dan dapat menimbulkan
dampak terjangkitnya SBS dan/atau BRI, seperti kayu lapis, bahan cat
dan lampu.

Untuk mengurangi polutan kimia ini, dianjurkan untuk menggunakan


bahan yang tidak mengandung VOC (non-VOC material) yang biasanya
diberi label bahan ramah lingkungan (eco label).

Jimmy S. Juwana 650


Beberapa batas nilai maksimum kadar VOC dapat dilihat pada Tabel
14.28, Tabel 14.29, Tabel 14.30. dan Tabel 14.31.

Tabel 14.28. Nilai Maksimum Kadar VOC pada Produk Cat


Kadar VOC Maksimum
Jenis Produk
[g/liter]
Cat tembok dengan bahan dasar emulsi 50
Cat tempok dengan bahan dasar lain 100
Cat tembok dengan bahan dasar pelarut 180
Sumber: SNI 7188.6.2010

Tabel 14.29. Batas Nilai Emisi Formaldehida pada Produk Kayu


Jenis Produk Kadar Emisi Maksimum
E1-PB, MDF, OSB < 0,1 ppm
< 8 mg/100 g
< 0,1 ppm
E1-PW
< 3,5 mg/jam per m2

E2-PB, MDF, OSB > 1 ppm


> 8 - < 30 mg/100 g
> 0,1 ppm
E2-PW > 3,5 - < 8 mg/jam per m2
E0-PB, MDF < 0,5 mg/l
E1-PB < 1,0 mg/l
E1-MDF < 4,5 mg/l
E-2PB, MDF < 0,3 ppm
BP, MDF < 0,3 ppm
PW industry < 0,2 ppm
F** < 1,5 mg/l
F***/E0 < 0,5 mg/l
F****/SE0 < 0,3 mg/l
Sumber: Salem, et al, 2011

Catatan: PB = particle board


MDF = medium density fibreboard
OSB = oriented strand board
PW = plywood

Jimmy S. Juwana 651


Tabel 14.30. Batas Maksimum Merkuri pada Lampu

Maksimum
JenisLampu Fluorescent Merkuri per
lampu [mg]
Compact Fluorescent Lamp 5
Holohosphate 10
Trihosphate (dengan waktu masa pakai normal) 5
Trihosphate (dengan waktu masa pakai
8
panjang)
Sumber: Directive 2002/95/EC

Tabel 14.31. Nilai Maksimum Kadar VOC pada Produk Perekat

Kadar VOC Maksimum


Jenis Produk
[g/liter]
Perekat karpet dalam bangunan 50
Perekat bantalan karpet (carpet pad) 50
Perekat lantai dan laminasi kayu 100
Perekat lantai karet (rubber flooring) 60
Perekat dasar lantai 50
Perekat keramik 65
Cove base adhesive 50
Perekat dinding dan panel 50
Perekat konstruksi serba guna
70
(multipurpose)
Perekat kaca struktural 100
Architectural sealant 250
Sumber: South Coast Air Quality Management District (SCAQMD), 2005

e) Kenyamanan visual

Memberi kesempatan orang yang bekerja dapat melihat ke luar


bangunan melalui jendela. Untuk itu diharapkan 75% dari luasan ruang
kerja aktif dapat memiliki akses untuk melihat keluar.

Beberapa usaha untuk meningkatkan kenyamanan visual, di antaranya:

(1) meniadakan kolom struktur di areal kerja (lihat Bab II terkait


leasing space);
(2) memindahkan lemari yang menutupi jendela;
(3) mengurangi silau (glare) dengan tirai matahari (sun screen); dan
(4) menyediakan ruang dengan pencahayaan yang sesuai Tabel
14.32.

Jimmy S. Juwana 652


Gambar 14.30 merupakan ilustrasi kenyaman visual pada ruang. Pada
gambar ini terlhat bahwa meskipun orang berada dalam ruangan, namun
tetap dapat menikmati suasana di luar bangunan gedung secara visual
tanpa terhalang oleh sesuatu.

Sumber: https://archdaily.com, 2020

Gambar 14.30. Kondisi Ruang di sekitar Roof Garden

Tabel 14.32 merupakan pelengkap dari tabel-tabel yang ada pada pembahasan
Bab X buku ini (Tabel 10.5 Tabel 10.6 dan Tabel 10.8).

Tabel 14.32. Tingkat Pencahayaan Rata-rata yang Direkomendasikan

Tingkat Tingkat
Fungsi
Pencahayan Fungsi Ruangan Pencahayaan
Ruangan
[lux] [lux]
Perkantoran Pertokoan/Ruang Pamer
Ruang direktur Ruang Pamer (Besar)
Ruang kerja Toko perhiasan
350
Ruang
Toko sepatu & tas
komputer 500
Ruang gambar 750 Toko pakaian
Ruang arsip 150 Toko swalayan
Ruang rapat Toko mainan
Ruang arsip 300
Toko kue & makanan
aktif
Hotel dan Restoran Toko alat musik & OR 250
Ruang serba
Toko alat listrik
guna 200
Kafetaria Toko buku 300
Ruang makan 250 Rumah Sakit/Balai Pengobatan
Dapur 300 Ruang rawat inap 250

Jimmy S. Juwana 653


Tingkat Tingkat
Fungsi
Pencahayan Fungsi Ruangan Pencahayaan
Ruangan
[lux] [lux]
Kamar tidur 150 Ruang operasi/bersalin 300
Ruang
250
rekreasi/rehabilitasi
Sumber: SNI 6197:2020

f) Kenyamanan termal

Kenyamanan termal dapat diperoleh jika suhu dan kelembapan ruangan


sesuai dengan kondisi lingkungan sekitar. Untuk Indonesia yang
memiliki iklim tropis basah, dengan suhu dan kelembapan tinggi, kondisi
kenyamanan termal diperoleh jika suhu ruangan sekitar 24 – 27 oC
(sekitar 10 oC di bawah suhu normal tubuh) dengan kelembapan relatif
60% + 5%.

Tingkat kenyamanan termal ini sangat subyektif sifatnya, setiap orang


mungkin memiliki zona kenyamanan termal yang berbeda, begitu pula
lokasi di pantai dan di daerah pegunungan juga berbeda (adaptive
thermal comfort).

Pada Bab VI sudah dibahas terkait pengaruh akibat pakaian (clothing


insulation), metabolisme (methabolic rate) dan pergerakan udara (air
movement) terhadap tingkat kenyamanan termal.

g) Pengendalian kebisingan

Pengaruh suara dan getaran juga akan mempengaruhi kenyaman orang


dalam beraktivitas. SNI 03-6386-2000 (atau edis terbaru) tentang
Spesifikasi Tingkat Bunyi dan Waktu Dengung dalam Bangunan Gedung
dan Perumahan sudah memberi kriteria tentang batasan tingkat
kebisingan (Tabel 14.33).

Tabel 14.33. Rancangan Tingkat Kebisingan yang Direkomendasi


Maksimum
Tingkat
Fungsi Bangunan Tingkat
Kebisingan
Gedung/Ruangan Kebisingan
[dBA]
[dBA]
Kantor
Ruang kantor (umum/terbuka) 40 45
Ruang kantor (pribadi) 35 40
Ruang umum, kantin 45 50
Ruang pertemuan/rapat 30 35

Jimmy S. Juwana 654


Maksimum
Tingkat
Fungsi Bangunan Tingkat
Kebisingan
Gedung/Ruangan Kebisingan
[dBA]
[dBA]
Pertokoan/Pusat Perbelanjaan
Ruang pameran 45 50
Pertokoan eceran 55 65
Pertokoan khusus 45 50
Pasar swalayan 40 45
Fasilitas Pendidikan
Ruang kelas/sidang 30 35
Ruang audio visual 40 45
Kantin, toko 45 50
Perpustakaan 40 45 – 50
Hotel
Ruang tidur 30 35
Ruang minum dan musik
45 55
(Lounge)
Ruang makan 40 45
Ruang rapat/konperensi 30 35
Sumber: SNI 03-6385-2000

5) Penggunaan Material Lokal

Pembahasan terkait material selalu dikaitkan pada hal-hal tersbut di bawah


ini:

a) matrial yang ramah lingkungan dan sesuai dengan ketentuan ISO


14001;
b) material yang tidak merusak Ozon dan/atau tidak mengandung bahan
beracun;
c) material yang berkelanjutan seperti bambu dan hasil hutan industri;
d) material hasil daur-ulang;
e) material pra-pabrikasi; dan
f) material lokal.

Penggunan material lokal yang dibatasi pada arius tertentu dari proyek
(misalkan 1.000 km) akan mengurangi beban rantai pasok (supply chain) dan
dengan deikian otomatis akan mengurangi jejak karbon dan dampak pada
lingkungan.

Jimmy S. Juwana 655


a) Pelarangan Penggunaan Bahan yang Merusak Ozon/Beracun

Pada pembahasan sebeumnya (lihat Bab 14.1.5) telah diuraikan upaya


apa saja yang dapat dilakukan untuk mengurangi rusaknya laipsan Ozon
karena akumulasi penggunaan yang dapat mencemari lingkungan.

PLASTIK YANG ABS


PVC MENGANDUNG EVA PEX POLYETHELYNE
BAHAN BERBAHAYA POLYCARBONATE PET POLYPROPYLENE BIO-PLASTIK
POLYSTYRENE TPO
POLYURETHANE
SILICONE

DIHINDARI DIANJURKAN

ABS = ACRYLONITRILE BUTADIENE STYRENE


EVA = ETHYLENE VINYL ACETATE
PET = POLYETHYLENE TEREPHTHALATE
PEX = POLYTHYLENE (PE) CROSS-LINKED (X)
PVC = POLYVINYL CHLORIDE
TPO = THERMOPLASTIC POLYOFELIN

Sumber: Juwana, 2015.


Gambar 14.31. Produk Pipa Plastik

Gambar 14.31 memperlihatkan masih digunakannya pipa yang


mengadung timbal pada pipa PVC, yang seharusnya sudah diganti
penggunaannya dengan bio plastik.

b) Material Ramah Lingkungan

Untuk dapat menentukan apakah suatu material ramah terhadap


lingkungan diperlukan asesmen daur-ulang (life cycle assement – LCA),
yang merupakan suatu metodologi yang holistik yang berusaha untuk
mengkuantitaskan dampak lingkungan dari suatu produk (atau suatu
sistem yang lebih luas, seperti bangunan gedung misalnya) melalui
seluruh tahapan dari hidupnya, termasuk turunan dan proses dari bahan
baku yang digunakan untuk membuatnya, dampak manufaktur atau
konstruksi, pengoperasian atau pemeliharaan/ perawatan, dan pada
akhirnya didaur-ulang atau dibuang.

Tujuan dari LCA adalah untuk membandingkan secara lengkap suatu


proses produksi dan layanan yang dapat mengakibatkan dampak
terhadap lingkungan dengan melakukan analisis kuantitatif terhadap
masukan (input) dan luaran (output), termasuk bagaimana produk
tersebut bergerak dari tahap yang satu ke tahap yang lain dalam ruang
lingkup tertentu (Gambar 14.32).

Jimmy S. Juwana 656


MASUKAN LUARAN
RANCANGAN PRODUK PRODUK UTAMA
BAHAN
SUMBER/PROSES/ PRODUK TURUTAN
EKSTRAKSI BAHAN
ENERGI

PRODUKSI/MANUFAKTUR EMISI UDARA

AIR

DISTRIBUSI PRODUK LIMBAH PADAT

UDARA

PENGGUNAAN PRODUK LIMBAH CAIR

AKHIR USIA MANFAAT DAMPAK LINGKUNGAN LAINNYA


PRODUK

RUANG LINGKUP
Sumber: Juwana, 2018.
Gambar 14.32. Skematik Proses LCA

Informasi ini digunakan untuk menyempurnakan proses produksi, kebijakan


pendukung, dan menyajikan suatu informasi yang sesuai untuk membuat
keputusan.

LCA dapat menentukan nilai tertentu pada setiap tahapan, mengukur


keberlanjutan lingkungan, seperti persyaratan untuk menguraikan bahan
baku, proses manufaktur, transportasi dan pembuangan; dan limbah yang
dihasilkan pada tiap tahapan.

LCA dapat digunakan untuk membandingkan keberlanjutan lingkungan dari


produk yang berbeda, yang mengarah pada pertanyaan mana yang
menurut konsumen produk yang lebih ramah lingkungan.

Ruang Lingkup LCA, terdiri dari:

1) CRADLE TO GRAVE
Bahan baku sampai pembuangan.

2) CRADLE TO GATE
Bahan baku sampai awal produksi (pre-consumer).

3) CRADLE TO CRADLE
Daur-ulang mulai dari tahapan akhir pembuangan.

Jimmy S. Juwana 657


4) GATE TO GATE
Suatu proses nilai tambah pada rantai produksi.

5) WELL TO WHEEL
Efisiensi bahan bakar pada transportasi saja.

Kelima ruang lingkup LCA dapat dilihat pada Gambar 14.33.

TRANSPORT
PEMASOK

BAHAN BAKU
MENTAH
CRADLE TO GATE

LIMBAH MANUFAKTUR
CRADLE TO CRADLE

END OF LIFE

PENGGUNA
KEMASAN

CRADLE TO GRAVE
Sumber: Juwana, 2018.

Gambar 14.33. Ruang Lingkup LCA

Dalam pembahasan material, selalu dikaitkan dengan jejak ekologi


(ecological footprint) yang terhubung dengan pembahasan jejak karbon
(carbonfoot print) dan jejak air (water footprint), karena setiap material
yan dipasok selalu memiliki jejak karbon/air yang berasal dari proses
produksi (embodied carbon) dan karbon yang dihasilkan dari proses
pergerakan material tersebut (karbon yang dihasilkan oleh alat
transportasi dan proses perpindahan material).

LCA juga dapat mengkonversikan total penggunaan energi, indeks


polusi udara, limbah padat dan dampak penggunaan sumber ekologi
(Gambar 14.34).

Jimmy S. Juwana 658


Sumber: Canadian Wood Council
Gambar 14.34. Beberapa Parameter LCA

Embodied- carbon dari material yang dikorelasikan dengan besaran


energi yang digunakan untuk menghasilkannya [kWh/kg], dapat dilihat
pada Tabel 14.34.

Tabel 14.34. Kandungan Energi pada Material


Jenis Bahan Kandungan Energi [kWh/kg]
Bahan dengan Energi Rendah
Pasir, kerikil 0,01
Kayu 0,1
Beton 0,2
Bata pasir-kapur 0,4
Beton ringan 0,5
Bahan dengan Energi Sedang
Plaster 1,0
Bata 1,2
Kapur 1,5
Semen 2,2
Serat insulasi mineral 3,9
Kaca 6,0
Porselein 6,1

Jimmy S. Juwana 659


Jenis Bahan Kandungan Energi [kWh/kg]
Bahan dengan Energi Tinggi
Plastik 10
Baja 10
Timah 14
Seng 15
Tembaga 16
Aluminium 56

Sebagai ilustrasi, aktivitas berikut ini menambah 1 kg CO2 pada jejak


karbon (carbon footprint):
1) Berpergian dengan transportasi umum (kereta api atau bus) dengan
jarak tempuh 10 – 12 km;
2) Mengendarai mobil dengan jarak tempuh 6 km (diasumsikan mobil
mengkonsumsi 13,7 liter per km);
3) Berpergian dengan pesawat terbang dengan jarak tempuh 2,2 km;
4) Mengoperasikan komputer untuk 32 jam (diasumsikan
mengkonsumsi 60 Watt listrik);
5) Memproduksi lima kantong plastik;
6) Memproduksi dua botol plastik; dan
7) Memproduksi 1/3 American cheeseburger (setiap cheeseburger
menghasilkan emisi CO2 sebanyak 3.1 kg).

Sedang Tabel 14.35 Menunjukkan jejak air (water footprint).

Tabel 14.35. Jejak Air


Jenis Bahan Satuan Jejak Air [liter]
Roti 1 lapis 40
Apel 100 g 70
Bir 250 ml 75
Kopi 125 ml 140
Tomat 1 kg 184
Kripik kentang 200 g 185
Susu 200 ml 200
Susu 1 liter 1.000
Kaos oblong katun 1 buah 2.000
Hamburger 250 gr 2.400
Keju 1 kg 5.000
Sepatu wanita (hak tinggi) 1 pasang 8.000
Lap top 1 buah 20.000

Jimmy S. Juwana 660


a) Kayu Bersertifikat

Untuk memastikan bahwa produk kayu bukan berasal dari pembalakan


liar (illegal logging) pasokan kayu harus memiliki sertifikat.

Jika pada suatu daerah belum ada sertifikasi terhadap kayu yang
diperdagangkan, sekurang-kurangnya semua pembelian kayu disertai
faktur pembeliannya. Dengan adanya faktur pembelian kayu, dapat
diasumsikan bahwa kayu yang dijual merupakan kayu yang legal untuk
diperdagangkan.

b) Material Pra-fabrikasi

Sebagaimana telah dibahas pada Bab X, pelaksanaan pekerjaan


dengan menggunakan metode pra-pabrikasi (dan juga pracetak) bukan
saja dapat mempercepat pelaksanaan pekerjaan dan peningkatan
akurasi/mutu pekerjaan tetapi juga dapat mengurangi limbah konstruksi.

Penggunaan material secara konvensional yang memiliki ragam ukuran


dan dimensi, akan memberi dampak pada banyaknya material sisa
konstruksi. Dengan pengelolaan sisa bahan (waste management) yang
baik, Sebagian besar material sisa ini dapat digunakan kembali dan/atau
didaur-ulang.

c) Material Lokal

Sekurang-kurangnya 50% material yang digunakan berasal dari dalam


negeri dan dapat diperoleh dalam radius jangkauan tertentu (1.000 km).

Penggunaan material lokal dibuktikan dengan menampilkan daftar


penggunaan material lokal beserta harganya.

Perhitungan kandungan lokal dilakukan dengan menghitung


perbandingan jumlah biaya material lokal dengan jumlah pembelian
material secara keseluruhan.

6) Manajemen Pengelolaan Bangunan Gedung

Komitmen pengelola bangunan gedung terhadap terpenuhinya


kesinambungan implementasi konsep BGH pada saat pemanfatan
bangunan gedung meliputi:

Jimmy S. Juwana 661


a) Pengelolaan Sampah

Pada pelaksanaan konstruksi diperlukan perencanaan agar sampah


yang ada tidak menimbulkan dampak negatif pada lingkungan sekitar.
Perencanaan pengelolaan sampah tidak hanya dititikberatkan selama
masa konstruksi tetapi juga sudah disiapkan tata cara pengelolaan
sampah pada saat bangunan gedung sudah dimanfaatkan.

Sumber: Kibert, 2005 dimodifikasi.


Gambar 14.35. Tahapan Pengelolaan Sampah
Pada saat pelaksanaan konstruksi aktivitas harus mempertimbangkan
bahan bongkaran sisa konstruksi, baik yang merupakan sampah
konstruksi (condtruction waste) tetapi juga sampah yang dihasilkan oleh
para pekerja (domestic waste) berupa sisa makanan dan minuman serta
tinja.

Gambar 14.35 merupakan bagan proses limbah proyek yang diolah.

Untuk perencanaan pengelolaan sampah setelah bangunan gedung


dimanfaatkan perlu dilakukan:

Jimmy S. Juwana 662


(1) penentuan lokasi tempat sampah di dalam dan diluar bangunan
gedung yang dipisahkan anatar sampah organik, sampah kertas,
sampah plastik dan gelas/botol, sampah logam (aluminium) dan
sampah bahan beracun dan berbahaya (sampah B3);
(2) penentuan lokasi tempat pembuangan sampah sementara (TPS);
(3) jika tidak memiliki lokasi dalam tapak yang dapat digunakan untuk
pemilahan dan proses daur-ulang (pembuatan kompos), harus
disiapkan pihak ketiga yang menangani hal tersebut; dan
(4) penentuan lokasi tempat parkir kendaraan pengangkut sampah
untuk membawa sampah dari TPS ke tempat pembuangan akhir
(TPA).

b) Pengelolan Limbah

Seperti halnya dengan pengelolaan limbah padat (sampah), sistem


penuangan limbah cair juga perlu mempertimbangkan jenis dan dampak
akibat kemungkinan bahaya yang ditimbulkan dan/atau pencemaran
lingkungan sekitar.

Pada saat konstruksi, khususnya bangunan gedung yang memiliki


basemen perlu memperhatikan buangan air pompa dari pekerjaan
dewatering (lihat Bab XIII buku ini) dan air cucian yang berasal dari
kendaraan proyek (truk pengangkut tanah dan beton). Agar tidak
memberikan dampak penting pada lingkungan sekitar perlu dibuat
saluran buang lengkap dengan filtrasinya, serta kotak untuk
pengendapan lumpur.

Penanganan limbah harus memenuhi ketentuan standar mutu limbah


(SML)/ ISO 14001 serta baku mutu limbah sesuai Peraturan Mentyeri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor P 68 tahun 2016 (Tabel 14.36).
Tabel 14.36. Baku Mutu Air Limbah Domestik Tersendiri
Parameter Satuan Kadar Maksimal*)
pH - 6–9
BOD mg/L 30
COD mg/L 100
TSS mg/L 30
Minyak & Lemak mg/L 5
Amonial mg/L 10
Total Coliform Jumlah/100mL 3.000
Debit L/orang/hari 100
Keterangan: Sumber; Permen LHK nomor P.68/2016
*) Rumah susun, penginapan, asrama, pelayanan kesehatan, lembaga
pendikan, perkantoran, perniagaan, pasar. Rumah makan, balai

Jimmy S. Juwana 663


permukiman, IPAL perkotaan, pelabuhan, bandara, stasiun kereta api,
terminal dan lembaga permasyarakatan,

c) Tenaga Ahli Bidang BGH

Penyertaan tenaga ahli yang paham akan konsep BGH akan banyak
membantu dalam mengintegrasikan parameter-parameter yang menjadi
persyaratan terpenuhinya kaidah-kaidah BGH.

Di samping itu tenaga ahli bidang lain, seperti arsitek, ahli teknik
bangunan gedung (struktur), ahli MEP, lansekap dan
perkotaan/kawasan jga diperlukan untuk mengintegrasikan sistem
bangunan gedung. Idealnya, ahli-ahli ini semua sudah memahami
konsep BGH, sehingga BGH akan terintegrasi secara komprehensif
bukan saja dalam kaitan parameter BGH, tetapi juga dalam keterpaduan
sistem bangunan gedung.

d) Pelaksanaan Konstruksi – Testing & Commissioning

Suatu proses yang dilakukan secara sistematik dan didokumentasikan


untuk memastikan bahwa pengoperasian bangunan gedung termasuk
perlengkapan dan peralatan yang ada memenuhi persyaratan, kinerja
sistemnya efisien, dan sesuai standar teknis, serta dapat
dioperasionalkan sesuai manual yang ada.

Hal ini dimaksudkan agar bangunan gedung:


(1) mematuhi standar, persyaratan teknis dan ketentuan regulasi
setelah diserah terimakan;

(2) memenuhi fungsinya dan sesuai kebutuhan pemilik dan


penghuni/pengguna yang menempati/menggunakannya; dan

(3) memiliki catatan dan dokumen yang dapat digunakan oleh


pengelola bangunan gedung pada tahap pemanfaatan untuk
kegiatan, pemeliharaan dan perawatan, dan pengoperasian serta
pemeriksaan berkala bangunan gedung.

e) Survei Pasca Konstruksi

Informasi pasca konstruksi (post occupancy evaluation – POE)


dimaksudkan untuk:

(1) memberikan umpan balik (feed back) untuk keperluan


penyelesaian masalah yang ada;

Jimmy S. Juwana 664


(2) menyelesaikan penyelesaian masalah yang timbul pada awal
pemanfaatan bangunan gedung akibat kekeliruan yang tidak
terduga (unforeseen problems);
(3) memberikan keseimbangan dan penyempurnaan bagi kinerja
bangunan gedung yang belium optimal;
(4) melakukan audit terkait utilisasi ruang yang ada;
(5) melakukan pencatatan dan pendokumentasian dari keberhasilan
dan/atau kegagalan kinerja bangunan gedung; dan
(6) memberikan masukan dan panduan bagi profesi arsitek untuk
memutahirkan dan menyempurnakan kriteria rancangan.

Informasi ini diperoleh dari kuesioner yang dibagikan ke pada


penghuni/pengguna bangunan gedung, dan jika sekurang-kurangnya
80% memberikan tanggapan positif, dapat disimpulkan bahwa kinerja
BGH sudah memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam konsep BGH.

7) Inovasi

Konsep BGH memberi peluang digunakannya berbagai temuan baru di


bidang teknologi bahan, teknologi konservasi energi dan air, dan
penggunaan material yang ramah lingkungan.

Beberapa inovasi yang dijumpai pada bangunan gedung yang


menggunakan konsep BGH:

(1) penggunaan pembangkit listrik tenaga surya dengan menggunakan


fotovoltaic;
(2) pemasangan alat pemantauan dan pelaporan penggunaan energi;
(3) pengenalan perlengkapan untuk memasukkan sinar alami ke dalam
bangunan gedung melalui atap;
(4) penggunaan sistem dinding yang berkelanjutan dengan
menggunakan bahan yang memiliki jejak karbon kecil; dan
(5) penciptaan ruangan yang menyatu dengan lingkungan alam sekitar.

Berikut contoh-contoh aplikasi inovasi, seperti:

(1) Atap dan Fasad


Sudah umum atap dan dinding yang hijau (ditumbuhi tanaman)
disukai, karena membantu mengurangi panas yang masuk ke dalam
bangunan gedung, menurunkan suhu kawasan, dan menghambat
aliran permukaan.
(2) Integrasi Panel Surya dengan Bangunan Gedung.
Pada masa lampau panel surya dipasang sebagai tambahan pada
bagian luar (atap) bangunan (Gambar 14.36), namun sekarang

Jimmy S. Juwana 665


Building Integrated Photovoltaic Technology (BIPT) tidak sekedar
mengubah sinar matahari menjadi tenaga listrik, tetapi juga
digunakan sebagai komponen fasad, atap atau jendela.

Sumber: https://inhabitat.com/green-building-101-design-innovation/ 2020


Gambar 14.36. Roof Top Photovoltaic

(3) Lampu LED


Penggunaan lampu LED yang memiliki kuat cahaya yang dua kali
lipat dari lampu floresen dan usia manfaat yang 20 kali lipat lampu
pijar dan tidak memberi efek kerlipan cahaya (seperti pada lampu
floresen) dan tidak menimbulkan panas (seperti lampu pijar), serta
menggunakan daya listrik yang kecil, malah memungkinkan
dinyalakan dengan batere, memberikan peluang alternatif yang
beragam untuk keperluan sistem tata cahaya (Gambar 14.37).

Sumber: https://inhabitat.com/green-building-101-design-innovation/ 2020


Gambar 14.37. Ragam Lampu LED

(4) Lampu LED Organik (Organic Light-Emitting Diodes – OLEDs)


Lampu ini tidak jauh berbeda dengan lampu LED yang umum
digunakan, hanya saja bahan yang digunakan lebih sedikit

Jimmy S. Juwana 666


kandungan bahan kimia dan limbah industrinya. Lampu ini dapat
berbentuk lembaran yang lentur (Gambar 14.38), sehingga baik untuk
digunakan sebagai layar atau monitor dan memungkinkan
ditempelkan di dinding atau fasad bangunan dan menghasilkan
pencahayaan jika diperlukan.

Sumber: https://inhabitat.com/green-building-101-design-innovation/ 2020


Gambar 14.38. Lampu LED Organik

(5) Penampung Air Hujan dan Sistem Air Buangan


Daur-ulang dan filtrasi air buangan (grey water) dari tempat cuci
tangan, pancuran mandi (shower), dan wudhu dapat menghasilkan
volume air yang cukup banyak untuk irigasi dan penggelontor WC.
Demikian pula halnya dengan sistem penampungan air hujan dapat
dijadikan alternatif air bersih (clean water), termasuk untuk air minum
(potable water). Dinding hidro (hydro wall) yang terbuat dari campuran
beton dan thermoplastic menggabungkan tempat tangkapan air
hujan, penampungan air hujan, filter dan sistem daur-ulang untuk
kebutuhan keseharian secara efisien dan menghasilkan air bersih
kembali (Gambar 14.39).

Sumber: https://inhabitat.com/green-building-101-design-innovation/ 2020


Gambar 14.39. Hydro Wall

(6) Jendela/Pintu Kaca Elektrokromik (Electrochromic)


Pintu/Jendela kaca ini dapat berubah dari trasparan menjadi tidak
tembus mata, sehingga menjamin privasi pengguna di dalam ruang
sekaligus memanfaatkan secara optimal cahaya alami. Perubahan ini

Jimmy S. Juwana 667


dimungkinkan dengan adanya lapisan pada kaca yang dapat
menghantarkan cahaya. Pintu/Jendela elektrokromik dapat
mengendalikan cahaya dan panas yang masuk ke dalam ruangan,
sehingga dapat digunakan sebagai alat untuk efisiensi penggunaan
energi (Gambar 14.40).

Sumber: https://inhabitat.com/green-building-101-design-innovation/ 2020


Gambar 14.40. Jendela/Pintu Elektrokromik

(7) Alat Pengendali Penggunaan Energi


Sebagaimana halnya orang menghitung asupan kalori pada tubuh
manusia, begitu juga orang membuat alat untuk mengetahui berapa
energi listrik yang telah digunakan. Hal ini dibuat agar jumlah daya
listrik yang digunakan dapat dipantau secara mudah dan dengan
demikian upaya pengurangan konsumsi energi dapat ditingkatkan
(Gambar 14.41).

Sumber: https://inhabitat.com/green-building-101-design-innovation/ 2020


Gambar 14.41. Alat Pengendali Penggunaan Energi

(8) Penghantar Cahaya Alami


Orang beranggapan bahwa cahaya alami hanya mungkin diperoleh
ruangan yang berada pada sisi jendela dan di bawah bukaan atap.

Jimmy S. Juwana 668


Dengan menggunakan fiber optik sebagai alat penghantar cahaya,
ruangan yang berada di tengah gedung dan basemen sekalipun
dapat memperoleh cahaya alami (Gambar 14.42).

Sumber: https://inhabitat.com/green-building-101-design-innovation/ 2020


Gambar 14.42. Penghantar Cahaya Alami
(9) Panel Struktur Berinsulasi (Structural Insulated Panel – SIP)
Penggunaan panel ini akan mengurangi waktu konstruksi di lokasi
pekerjaan dan limbah konstruksi, dan sekaligus menghasilkan
dinding yang kedap udara yang mengurangi kebisingan dalam
ruangan, lebih baik dari sistem yang ada sekarang. Dinding ini cukup
kuat untuk dijadikan atap bangunan dan disiapkan secara pra-
pabrikasi (Gambar 14.43).

Sumber: https://inhabitat.com/green-building-101-design-innovation/ 2020


Gambar 14.43. Structural Insulated Panel

(10) Panel Insulasi Sinar Alami


Panel terbuat dari sejenis gel yang bening dan berfungsi sebagai
insulasi panas. Panel ini cukup kuat, melindungi dari radiasi dan
konduksi sinar matahari, namun dapat meneruskan cahaya alami

Jimmy S. Juwana 669


masuk ke dalam ruangan, sehingga dapat mengurangi penggunaan
bukaan konvensional berupa jendela kaca.

Para ahli ilmu pengetahuan dan teknologi mMembutuhkan puluhan tahun


untuk menembus kebuntuan sampai akhirnya ditemukan ragam material
yang mengubah wajah bangunan gedung dan metode perbaikan kerusakan
yang ada saat ini, di antaranya seperti:

a) Self-healing Concrete

Keretakan pada struktur beton yang kadang bertambah rumit dengan


timbulnya resapan air dan/atau kebocoran sangat sulit diperbaiki,
namun dengan ditemukannya beton yang dapat menyembuhkan dirinya
(self-healing concrete) menjadi temuan yang sangat bermanfaat untuk
solusi keretakan pada beton.

Beton dengan campuran air yang mengandung bakteri aktif (yang dapat
hidup selama 200 tahun), memproduksi kalsit (calcite) yang dapat
menutup keretakan dalam beton. Temuan ini mengurangi biaya
perawatan dan efek gas rumah kaca (Gambar 14.44).

Sumber: https://www.industrytap.com/self-healing-concrete-can-repair-cracks-bacteria/29051, 2020


Gambar 14.44. Self-Healing Concrete

b) 3D Graphene

3D-printed carbon yang memiliki kepadatan 5% dari baja, namun


memiliki kekuatan 200 kali kekuatan baja (Gambar 14.45).

Jimmy S. Juwana 670


Gambar 14.45. 3D Graphene

c) Aerographite

Atom yang membuat material tumbuh lebih kuat jika tertekan. Beratnya
75 kali lebih ringan dari Styrofoam (Gambar 14.46).

Sumber: https://www.cunicode.com/works/shock-absorbing-lattice-structures, 2020


Gambar 14.46. Aerographite

d) Laminated Timber

Disebut sebagai kayu masa depan, memiliki ketahan terhadap air dan
kekuatan yang lebih tinggi dari kayu tradisional. Kayu laminasi ini
berpotensi untuk mendukung pembangunan gedung pencakar langit
dan mengurangi 150 ton karbon per lantai bangunan (Gambar 14.47).
Sering juga dinamakan sebagai kayu glulam (glued laminated).

Jimmy S. Juwana 671


Sumber: https://www.bimobject.com/en-au/boisecascade/product/boise08# dan Smiley, 2020
Gambar 14.47. Laminated Timber

e) Modular Bambu

Bambu sangat kuat dan ramah lingkungan, tumbuh dengan cepat dan
murah. Cocok untuk bangunan tahan gempa dan dapat diperkuat
dengan tulangan baja (Gambar 14.48).

Sumber: homedesign.com/2013/04/20/Homing-bamboo_bj_hp_architects/#googe.vigenette
Gambar 14.48. Modular Bambu

f) Aluminium Transparan (Transparent Aluminum)

Aloi keramik (ceramic alloy) ini 85% lebih keras dari batu mulia dan tahan
terhadap korosi, radiasi dan oksidasi. Bahan ini dengan ketebalan 4 cm
mampu menahan peluru (Gambar 14.49).

Jimmy S. Juwana 672


Sumber: https://hackaday.com/
Gambar 14.49. Aluminium Transparan

g) Kayu Transparan (Translucent Wood–90%)

Bahan ini merupakan bahan dengan tingkat insulasi yang lebih baik,
memiliki kekuatan dan mudah terurai (biodegrability). Bahan ini dapat
digunakan sebagai penggani kaca jendela untuk menggantikan kaca
yang biasa digunakan untuk memasukkan cahaya alami ke dalam
ruangan (Gambar 14.50).

.
Sumber: https://soa.utexas.edu/headlines/translucent-wood-panels

Gambar 14.50. Kayu Transparan

h) Light Generating Concrete

Jenis beton yang tidak dapat merambatkan api menjadi satu dengan
butiran bola kaca yang merefleksikan cahaya dan dapat mengurangi
konsumsi listrik (Gambar 14.51).

Jimmy S. Juwana 673


Sumber: https://tips.construction/light-generating-cement/
Gambar 14.51. Light Generating Concrete

Jenis beton ini dapat menyerap sinar matahari pada siang hari dan
memedarkan cahaya pada malam hari, sehingga baik untuk digunakan
untuk jalur pejalan kaki, jalur penyeberangan dan rambu keselamatan
lalu lintas.

Semen jenis ini penting sebagai indikator pada proses konstruksi,


karena memiliki kekuatan, keragaman dan kemudahan pengerjaannya,
serta mampu untuk menyimpan dan menggunakan kembali energi surya
bagi keperluan pencahayaan di sekitarnya.

Penggunaan semen jenis ini sangat luas, dapat digunakan sebagai


fasad, dinding dan lantai kamar mandi, dapur, dan kolam renang, serta
areal parkir.

Bahan terdiri dari campuran limbah industri, pasir sungai, silika, alkali
dan air, yang dapat dengan mudah didaur-ulang, sehingga dapat
merupakan alternatif bahan yang ramah lingkungan dan memiliki aspek
arsitektural untuk bangunan gedung. Biaya awal yang cukup tinggi
diimbangi dengan biaya pemeliharaan dan perawatan yang rendah,
termasuk mengurangi biaya listrik.

i) Microbial Cellulose

Diproduksi dari bakteri, ragi dan mikro organisme, bahan ini dapat
digunakan untuk tanda (signade) dan fasad bangunan (Gambar 14.52).

Jimmy S. Juwana 674


Sumber: https://www.blueblocks.nl/portfolio/microbial-cellulose/

Gambar 14.52. Microbial cellulose

Mikroba selulosa (Microbial cellulose), atau bakteri selulosa (bacterial


cellulose), merupakan selulosa alami dan dapat terurai. Bahan ini
terbentuk pada proses fermentasi yang menggabungkan bakteri dengan
ragi, kemudian tumbuh pada bagian atas/permukaan cairan fermentasi,
seperti halnya campuran teh hitam atau teh hijau dengan gula dan
komponen asam.

Proses regenerasi dan metode fermentasi menghasilkan minuman


karbonisasi alami, seperti kombucha tea yang menghasilkan semacam
lapisan kulit.

j) Aluminum Foam

Merupakan bahan ‘busa’ (foam) yang 100% dapat didaur-ulang, terbuat


dari suntikan udara pada metal yang sedang dilebur (metal cair).
Bahan ini dapat berfungsi sebagai komponen struktural yang merupakan
bahan metal yang berongga, aluminum foam memiliki keunggulan
dengan kepadatan rendah, daya serap tinggi, tahan terhadap suhu
tinggi, tahan cuaca, memiliki kemampuan sebagai filter, mudah dalam
proses dan pemasangan, memiliki ketelitian tinggi dan lapisan
permukaan yang baik. Dengan karakteristik seperti ini, aluminium foam
sangat baik untuk digunakan sebagai fasad banguan (Gambar 14.53).

Jimmy S. Juwana 675


Sumber: https://www.gemo-hk.com/products/metal
Gambar 14.53. Aluminium Foam

k) Kristal Nano (Nano crystal)

Bahan ini mampu menurunkan biaya pendingin ruangan, karena mampu


meneruskan cahaya alami dan menahan panas dari luar (Gambar
14.54).

Sumber: https://pubs.rsc.org/en/content/articlelanding/2014/cc/c4cc03109a

Gambar 14.54. Kristal Nano

l) Wool Brick

Gabungan wol dan polimer rumput laut, bahan ini menunjukkan 37%
lebih kuat dari batu bata tradisional. Karena bahan ini dibuat tidak
melalui proses pembakaran, bata ini juga mengurangi efek rumah kaca
dibandingkan dengan bata tradisional (Gambar 14.55).

Jimmy S. Juwana 676


SumberL https://www.123rf.com/photo_37675559_brick-wool-background-free-space-for-your-
ideas.html
Gambar 14.55. Wool Brick

m) Bata Penyerap Polutan (Pollution-absorbing brick)

Bahan ini dapat menyaring 30% debu/polutan halus dan 100%


debu/polutan kasar. Menampilkan filter udara dan swa-ventilasi yang
berkelanjutan (self-sustaining ventilation), sehingga cocok untuk dinding
bangunan yang menggunakan konsep BGH (Gambar 14.56).

Sumber: https://theconstructor.org/building/breathe-bricks/29216/ spaces.

Gambar 14.56. Bata Penyerap Polutan

Bata ‘bernafas’ (Breathe Brick) adalah sistem dinding yang dirancang


dan dibangun untuk membentuk dan bagian dari sistem ventilasi
bangunan. Bahan ini menyaring udara yang mengandung polutan dan
mengubahnya menjadi udara yang cukup sehat ke dalam ruangan.
Proses filtrasi tidak membutuhkan energi karena bekerja atas aliran
udara yang bekerja akibat adanya perbedaan temperatur.

Jimmy S. Juwana 677


n) Hydroceramics

Bahan masa depan yang merupakan dinding yang mendinginkan sendiri


(self-cooling walls). Lapisan membran yang terbuat dari bahan keramik,
gel hidro (hydrogel) yang dapat menyerap sampai 400 kali volumenya di
dalam air. Hal ini menyebabkan ruangan lebih sejuk dan menghemat
28% biaya listrik untuk sistem pengkondisian udara (Gambar 14.57).

Sumber: http://materiability.com/hydroceramic/
Gambar 14.57. Hydroceramics

Secara kimiawi, bahan ini merupakan gabungan hydroxyethyl acrylate,


acrylamide, polyethylene oxide, dan beberapa bahan lainnya.

Sebagai alat bantu pendinginan, bahan ini dapat menyerap air/uap air
pada permukaan, dan panas untuk penguapan air ini sekitar 0,6 kgkalori
per gram, akan menyebabkan dampak pendinginan di sekitarnya.

o) Solar Sel Tembus Pandang (Invisible solar cells)

Bahan ini memungkinkan solar panel berfungsi sebagi kaca dan


sekaligus memproduksi energi sebagaimana halnya dengan panel
surya. Bahan ini dibuat dari apa yang dinamakan polymer solar cell
(PSC), yang memungkinkan 66% transparan untuk mata manusia.
Bahan ini mengkonversi sinar infra merah dari photoactive plastic
menjadi arus listrik, dan konduktor transparannya dibuat dari campuran
kawat perak (AgNW) dan titanium dioksida (TiO2) dengan menggunakan
teknologi nano, yang dilekatkan pada kaca Indium Tin Oxide (ITO Glass)
sehingga mampu mengubah elektroda metal menjadi partikel nano
(Gambar 14.58).

Jimmy S. Juwana 678


Sumber: Husain et al, 2018.

Gambar 14.58. Solar Sel Tembus Pandang

Berbagai inovasi terus berlanjut untuk mendapatkan bahan, metode dan proses
pelaksanaan yang lebih murah, lebih cepat dan lebih bermanfaat. Keberlanjutan
rancangan/konstruksi dapat berkelanjutan jika memenuhi beberapa kondisi di
bawah ini:

a. dapat menggunakan teknologi yang tepat (technology appropriate);


b. dapat diterima oleh masyarakat (social acceptable);
c. dapat dukungan dari pembuat kebijakan publik (politically supportable);
d. dapat bermanfaat secara ekonomi (Economically feasible);
e. dapat dijalankan dengan kemampuan dana yang tersedia (Financially
viable);
f. dapat dimungkinkan penyelenggaraannya oleh institusi (Institutionally
possible);
g. lingkungan dapat mendukung keberlanjutannya (Environmentally
sustainable);
h. dapat dikelola secara sistematik dan rasional (Rationally manageable);
dan
i. dapat memenuhi ketentuan peraturan perundangan (Legally proven).

Kecerdasan yang dipadu dengan tekad untuk menjadikan bumi lebih sehat dan
lebih nyaman bagi aktivitas manusia, diharapkan akan memberikan warisan
kepada anak cucu untuk menikmati kondisi dunia yang lebih baik dari hari ini.

Soal-Soal Latihan

1. Apa keuntungan dan kerugian menggunakan konsep konstruksi


berkelanjutan pada bangunan tinggi.

Jimmy S. Juwana 679


2. Apa yang dimaksud dengan 3R, berikan contoh aplikasinya pada
praktik konstruksi bangunan gedung.

3. Sebutkan cara-cara yang lazim digunakan untuk memperoleh


penghematan energi.

4. Pada kasus bangunan pada soal 4.3. bagaimana cara untuk


menjadikannya bangunan tinggi dengan menggunakan konsep BGH.

5. Berapa nilai kemudian pada tahun ke-40 dari bangunan pada soal 4.3.

6. Apa perbedaan mendasar antara pemeringkatan BGH yang disusun


di Indonesia dengan di negara lain, Ambil contoh dari salah satu
negara lain.

7. Pada komponen mana bangunan tinggi memiliki potensi terbesar


dalam mengurangi biaya operasionalnya.

8. Jika pada pelat atap bangunan eksisting tidak dipersiapkan untuk roof
garden, pendekatan apa yang dilakukan untuk mengurangi suhu
kawasan.

9. Jenis tanaman apa saja yang memiliki potensi untuk dapat


mengurangi polusi udara.

10. Inovasi apa saja yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan fasad
bangunan.

Daftar Kepustakaan dan Rujukan

… (2021); Peraturan Pemerintah nomor 16 tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan


Undang-Undang nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, Jakarta.

… (2012); Peraturan Menetri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat no 5 tahun 2012
tentang Pedoman Penanaman Pohon pada Sistem Jaringan Jalan, Jakarta.

… (2016); Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.


P.68/Menlhk/Setjen/Kum.1/8/2016 tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik,
Jakarta.

… (2017); Peraturan Menteri Kesehatan No. 32/2017 tentang Syarat-Syarat dan


Pengawasan Kualitas Air, Jakarta.

Jimmy S. Juwana 680


… (2021); Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat no 21 tahun
2021 tentang Pedoman Penilaian Kinerja Bangunan Gedung Hijau, Jakarta.

… (2021); Surat Edaran Menteri PU PR nomor 1 tahun 2022 tentang Petunjuk Teknis
Penilaian Kinerja Bangunan Gedung Hijau, Jakarta.

… (1995); Directive 2002/95/EC for Restriction of Hazardous Substance RoHS.

… (1992); Energy Policy Act of 1992 (EPAct) – McCormick PCS

… (2005); South Coast Air Quality Management District (SCAQMD),

… (2010); UN-Habitat Annual Report 2010, UN-HABITAT.

… (2007); ASHRAE 62,1-2007.

… (2000); SNI 03-6386-2000 tentang Spesifikasi Tingkat Bunyi dan Waktu Dengung
dalam Bangunan Gedung dan Perumahan, Badan Standardisasi Nasional,
Jakarta

… (2001); SNI 6572:2001 tentang Standar Tata Cara Perancangan Sistem Ventilasi dan
Pengkondisian Udara pada Bangunan Gedung, Up Flow Filter, Kolam
Sanita), Badan Standardisasi Nasional, Jakarta

… (2010); SNI 7188.6:2010 tentang Kriteria Ekolabel – Bagian 6: Kategori Produk Cat
Tembok, Badan Standardisasi Nasional, Jakarta

… (2017); SNI 2398:2017 tentang Tata Cara Perencanaan Tangki Septik dengan
Pengolahan Lanjutan (Sumur Resapan, Bidang Resapan, Up Flow Filter,
Kolam Sanita), Badan Standardisasi Nasional, Jakarta

… (2020); SNI 6192:2011 tentang Prosedur Audit Energi pada Bangunan Gedung,
Badan Standardisasi Nasional, Jakarta.

… (2020); SNI 6197:2020 tentang Konservasi Energi pada Sistem Pencahayaan, Badan
Standardisasi Nasional, Jakarta.

… (2020); SNI 6389:2020 tentang Konservasi Energi Selubung Bangunan pada


Bangunan Gedung, Badan Standardisasi Nasional, Jakarta.

… (2020); SNI 6390:2020 tentang Konservasi Energi Sistem Tata Udara pada
Bangunan Gedung, Badan Standardisasi Nasional, Jakarta.

…(2020); https://www.therodingroup.co.uk/6/Aerators_ reduced_flow_and_ constant


_flow_ water_saving/

… (2020); springking.en.alibaba.com

Jimmy S. Juwana 681


… (2020); https://cambodianess.com/article/cambodias-renewable-energy-future-is-
bright-but-challenging

… (2020); https://archdaily.com

… (2020); https://inhabitat.com/green-building-101-design-innovation/

… (2020); https://www.industrytap.com/self-healing-concrete-can-repair-cracks-cteria/
29051.

… (2020); https://hackaday.com/

… (2020); https:// homedesign.com/2013/04/20/Homing-bamboo_bj_hp_architects/


#googe.vigenette

… (2020); https://soa.utexas.edu/headlines/translucent-wood-panels

… (2020); https://tips.construction/light-generating-cement/

… (2020); https://www.blueblocks.nl/portfolio/microbial-cellulose/

… (2020); https://www.gemo-hk.com/products/metal

… (2020); https://pubs.rsc.org/en/content/articlelanding/2014/cc/c4cc03109a

… (2020); https://www.123rf.com/photo_37675559_brick-wool-background-free-space-
for-your-ideas.html

... (2020); https://www.cunicode.com/works/shock-absorbing-lattice-structures

… (2020); https://theconstructor.org/building/breathe-bricks/29216/ spaces.

… (2020), http://materiability.com/hydroceramic/

… (2020), https://www.bimobject.com/en-au/boisecascade/product/boise08#

… (2021); https://phys.org/news/2012-08-transparent-solar-cells-windows-electricity.
html

Al-Kodmany K., Anumba J. (editor) (2015); “Tall Building and Elevators: A Review of
Recent of Technological Advances”, Department of Urban Planning and
Policy, College of Urban Planning and Public Affair, University of Illinois,
Chicago.

Byrne J. (2021); “Biochar”, https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/


S1226086X 16301472.

Gevorkian P. (2006); Sustainable Energy Systems in Architectural Design – A Blueprint


for Green Building, McGraw-Hill, New York.

Jimmy S. Juwana 682


Husain A, A, F,, et al (2018); “A Review of Transparent Solar Photovoltaic
Technologies”. Ministry of Higher Education & University Putra Malaysia,
Serdang.

Juwana J. S. et al (Editor) (2012); Buku Pedoman Energi Efisiensi untuk Desain


Bangunan Gedung di Indonesia – 1 Pengembang dan Pemilik Bangunan
Gedung, EECHI. Kemen ESDM, Danida, Jakarta.

Juwana J. S., (2012); “Kota Terang Hemat Energi”, Jakarta.

Juwana J.S., (2015); “Material untuk Bangunan Tropis”, Jakarta

Juwana J.S., (2018); “Dari Material Rmah Lingkungan menuju Kota Hijau”. Jakarta.

Kats G. H. (2009); Green Building Costs and Financial Benefits, Massachusetts


Technology Collaborative, Boston.

Keeler M. & Burke B. (2009); Fundamentals of Integrated Design for Sustainable


Building, John Wiley & Sons, Inc,, Hoboken.

Kilbert C. J. (2005); Sustainable Construction – Green Building and Delivery, John Wiley
& Sons, Inc,, Hoboken.

Kilkelly M. (2015); “Five Digital Tools for Architect to Test Building Performance”; The
Journal pf the American Institute of Architect, December 2015.
https://www.architectmagazine.com/technology/five-digital-tools-for-
architects-to-test-building-performance_o

Melaver M. & Mueller P. (2009); The Green Building Bottom Line – The Real Cost of
Sustainable Building, McGraw-Hill Companies, New York.

Nasir R. Y., (2020); “Efisiensi Penggunaan Air”, Jakarta.

Sulistiyanto T., (2018), “Audit Energi dan Bangunan Hijau”, Pelatihan Audit Bangunan
Gedung, Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Sipil & Perencanaan Universitas
Trisakti, Jakarta.

Suryabrata J. A. (2020); “Pasive Design Principles – Sebagai Salah Satu Pendekatan


Perancangan BGH”, Jakarta.

Tetlow K. (2015); “Destination Dispatch Elevator Systems Benefit Passengers, Building


Owners, and Design Professionals”, Continuing Education Center –
Architecture – Construction,

Wordsworth P. (2001); Lee’s Building Maintenance Management 4th Edition, Blackwell


Science, Oxford.

Jimmy S. Juwana 683


Yeang K. (1996); The Skyscraper – Bioclimatically considered, Academy Group Ltd.,
London.

Yeang K. (1999); The Green Skysraper – The Basic for Designing Sustainable Intensive
Buildings, Prestel, Munich.

Yeang K. (2006); Ecodesign – A Manual for Ecological Design, John Wiley & Sons, Inc,,
London.

Jimmy S. Juwana 684


LAMPIRAN-LAMPIRAN

LAMPIRAN 1
KUMPULAN REGULASI DAN SNI

Semua pekerjaan yang akan dilaksanakan harus mengikuti Normalisasi


Indonesia, Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan, Standar Industri
Indonesia (SII), Standar Nasional Indonesia (SNI), dan acuan lainnya yang ada
hubungannya dengan pekerjaan bangunan gedung, antara lain:

A. Undang-Undang

1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.


2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional.
4. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan
Sampah.
6. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
7. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
8. Undang-Undang Nomor 07 Tahun 2014 tentang Perdagangan.
9. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2014 tentang Konservasi Tanah
Dan Air.
10. Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi.
11. Undang-Undang Nomor 06 Tahun 2017 tentang Arsitek
12. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
13. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara

B. Peraturan Pemerintah

1. Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang


Penyelenggaraan Telekomunikasi.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang
Bangunan Gedung.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2007 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional.
5. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah.

Jimmy S. Juwana 685


6. Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2010 tentang Perubahan
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang
Penyelenggaraan Jasa Konstruksi.
7. Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan
Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah
Tangga,
8. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 tentang Perubahan
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar
Nasional Pendidikan
9. Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 2013 tentang Pengelolaan
Limbah Radioaktif,
10. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan
Barang Milik Negara/Daerah,
11. Peraturan Pemerintah Nomor 04 Tahun 2014 Tentang
Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan
Tinggi.
12. Peraturan Pemerintah Nomor 101 tahun 2014 tentang Pengelolaan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun,
13. Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2015 tentang Perubahan
Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang
Standar Nasional Pendidikan
14. Peraturan Pemerintah Nomor 54/2016 Tahun 2016 tentang
Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000
tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi
15. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2020 Tahun 2020 tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017
Tentang Jasa Konstruksi
16. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2020 tentang Aksesibilitas
Terhadap Permukiman, Pelayanan Publik, Dan Pelindungan dari
Bencana Bagi Penyandang Disabilitas
17. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko
18. Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan
Perizinan Berusaha di Daerah
19. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2021 tentang Perubahan
atas Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2020 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Jasa
Konstruksi
20. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang
Bangunan Gedung,
21. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Bidang Perumahsakitan.

Jimmy S. Juwana 686


C. Peraturan Presiden

1. Peraturan Presiden Nomor 73 Tahun 2011 tentang Pembangunan


Bangunan Gedung Negara,
2. Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah
3. Peraturan Presiden Nomor 43 Tahun 2019 tentang Peraturan
Presiden tentang Pembangunan, Rehabilitasi, atau Renovasi Pasar
Rakyat, Prasarana Perguruan Tinggi, Perguruan Tinggi Keagamaan
Islam, dan Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
4. Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas
Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah,

D. Peraturan Menteri

1. Peraturan Menteri PU Nomor 66/PRT/1993


2. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 29/PRT/M/2006 Tahun
2006 tentang Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung,
3. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 06/PRT/M/2007 Tahun
2007 tentang Pedoman Umum Rencana Tata Bangunan Dan
Lingkungan,
4. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor
24 Tahun 2007 Tentang Standar Sarana Dan Prasarana Untuk
Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI), Sekolah Menengah
Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), Dan Sekolah
Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA);
5. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2008 Tahun
2008 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau
(RTH) di Kawasan Perkotaan.
6. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 24/PRT/M/2008 Tahun
2008 tentang Pedoman Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan
Gedung,
7. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 25/PRT/M/2008 Tahun
2008 tentang Pedoman Teknis Penyusunan Rencana Induk Sistem
Proteksi Kebakaran
8. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 26 Tahun
2008/PRT/M/2008 tentang Persyaratan Teknis Sistem Proteksi
Kebakaran pada Bangunan Gedung dan Lingkungan,
9. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 20/PRT/M/2009 Tahun
2009 tentang Pedoman Teknis Manajemen Proteksi Kebakaran di
Perkotaan

Jimmy S. Juwana 687


10. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 16/PRT/M/2010 Tahun
2010 tentang Pedoman Teknis Pemeriksaan Berkala Bangunan
Gedung,
11. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 492 Tahun 2010 tentang
Persyaratan Kualitas Air Minum,
12. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor
05/PRT/M/2012 Tahun 2012 tentang Pedoman Penanaman Pohon
Pada Sistem Jaringan Jalan
13. Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana
Nomor 4 Tahun 2012 tentang Pedoman Penerapan
Sekolah/Madrasah Aman dari Bencana
14. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor
03/PRT/M/2014 Tahun 2014 tentang Pedoman Perencanaan,
Penyediaan, Dan Pemanfaatan Prasarana Dan Sarana Jaringan
Pejalan Kaki Di Kawasan Perkotaan
15. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 11 Tahun
2014/PRT/M/2014 Tentang Pengelolaan Air Hujan Pada Bangunan
Gedung dan Persilnya,
16. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor
07/PRT/M/2015 Tahun 2015 tentang Pengamanan Pantai
17. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 12 Tahun 2015 tentang
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik di Tempat Kerja,
18. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor
28/PRT/M/2015 Tahun 2015 tentang Penetapan Garis Sempadan
Sungai dan Garis Sempadan Danau
19. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 31 Tahun 2015 tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 02/MEN/1989
tentang Pengawasan Instalasi Penyalur Petir.
20. Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Nomor 44
Tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi
21. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor
05/PRT/M/2016 Tahun 2016 tentang Izin Mendirikan Bangunan
Gedung
22. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor
28/PRT/M/2016 Tahun 2016 tentang Pedoman Analisis Harga
Satuan Pekerjaan Bidang Pekerjaan Umum
23. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 68
Tahun 2016 tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik,
24. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 24 Tahun 2016 Tentang
Persyaratan Teknis Bangunan dan Prasarana Rumah Sakit.
25. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 6 Tahun 2017 tentang
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Elevator dan Eskalator.
26. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor
06/PRT/M/2017 Tahun 2017 tentang Peraturan Menteri Pekerjaan

Jimmy S. Juwana 688


Umum dan Perumahan Rakyat tentang Perubahan Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat Nomor
05/PRT/M/2016 Tentang Izin Mendirikan Bangunan Gedung,
27. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 6
Tahun 2017 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Elevator
dan Eskalator,
28. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Republik Indonesia Nomor 14/PRT/M/2017 Tahun 2017 tentang
Persyaratan Kemudahan Bangunan Gedung,
29. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 32 tahun 2017 Standar Baku
Mutu Kesehatan Lingkungan dan Persyaratan Kesehatan Air untuk
Keperluan Higiene Sanitasi, Kolam Renang, Solus Per Aqua dan
Pemandian Umum,
30. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor
11/PRT/M/2018 Tahun 2018 tentang Tim Ahli Bangunan Gedung,
Pengkaji Teknis, Dan Penilik Bangunan,
31. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor
17/PRT/M/2018 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum Nomor 22/Prt/M/2008 tentang Pedoman
Teknis, Pengadaan, Pendaftaran, Penetapan Status Penghunian,
Pengalihan Status, dan Pengalihan Hak Atas Rumah Negara,
32. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor
19/PRT/M/2018 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Izin
Mendirikan Bangunan Gedung Dan Sertifikat Laik Fungsi Bangunan
Gedung Melalui Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara
Elektronik
33. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Republik Indonesia Nomor 22/PRT/M/2018 Tahun 2018
tentang Pembangunan Bangunan Gedung Negara dan
Lampirannya,
34. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 2018 Tentang Keselamatan Dan Kesehatan Kerja
Lingkungan Kerja,
35. Peraturan Menteri ESDM Nomor 38 tahun 2018 tentang Tata Cara
dan Akreditasi dan Sertifikasi Ketenagalistrikan.
36. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor
21/PRT/M/2019 Tahun 2019 tentang Pedoman Sistem Manajemen
Keselamatan Konstruksi, (sudah dicabut)
37. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 2 Tahun 2019 tentang
Pedoman Pembangunan dan Pengelolaan Sarana Perdagangan
(sudah dicabut)
38. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor
1 Tahun 2020 tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Pekerjaan
Konstruksi Terintegrasi Rancang Bangun melalui Penyedia

Jimmy S. Juwana 689


39. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor
2 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 05/PRT/M/2016
tentang Izin Mendirikan Bangunan Gedung
40. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor
3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 27/PRT/M/2018 Tentang
Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung.
41. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor
7 Tahun 2021 tentang Pencatatan Sumber Daya Material dan
Peralatan Konstruksi.
42. Peraturan Menteri Pemuda dan Olahraga Nomor 7 Tahun 2021
tentang Standar Prasarana dan Sarana Stadion dan Lapangan
Sepak Bola
43. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor
8 Tahun 2021 tentang Penilai Ahli, Kegagalan Bangunan, dan
Penilaian Kegagalan Bangunan.
44. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor
9 Tahun 2021 tentang Pedoman Penyelenggaraan Konstruksi
Berkelanjutan.
45. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor
10 Tahun 2021 tentang Pedoman Sistem Manajemen Keselamatan
Konstruksi.
46. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor
18 Tahun 2021 tentang Standar Pembongkaran Bangunan Gedung.
47. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor
19 Tahun 2021 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan
Bangunan Gedung Cagar Budaya Yang Dilestarikan.
48. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor
20 Tahun 2021 tentang Bangunan Gedung Fungsi Khusus .
49. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor
21 Tahun 2021 tentang Penilaian Kinerja Bangunan Gedung Hijau
50. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 21 Tahun 2021 tentang
Pedoman Pembangunan dan Pengelolaan Sarana Perdagangan
51. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor
22 Tahun 2021 tentang Pendataan Bangunan Gedung.
52. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor
01 Tahun 2022 tentang Pedoman Penyusunan Perkiraan Biaya
Pekerjaan Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat.
53. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2020 tentang Standar dan
Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi Melalui Penyedia,

Jimmy S. Juwana 690


54. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor
25 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 1 Tahun 2020
tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Pekerjaan Konstruksi
Terintegrasi Rancang Bangun melalui Penyedia
55. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 17 Tahun
2020 tentang Pasar Sehat,
56. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 7 Tahun
2020 Tetang Pendirian,Perubahan, Pembubaran Perguruan Tinggi
Negeri, dan Pendirian, Perubahan, Pencabutan Izin Perguruan
Tinggi Swasta.
57. Peraturan Menteri ESDM Nomor 3 tahun 2020 tentang Perubahan
Keempat atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 28 tahun 2016
tentang Tarif Tenaga Listrik Yang Disediakan Oleh PT. Perusahaan
Listrik Negara (PERSERO)
58. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat Nomor 6 Tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan
Produk Pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis
Risiko Sektor Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

E. Peraturan Kepala/Lembaga

1. Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana No 4


Tahun 2012 tentang Pedoman Penerapan Sekolah/Madrasah Aman
dari Bencana.
2. Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah Republik Indonesia No 12 Tahun 2021 tentang
Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa melalui Penyedia.

F. Keputusan Menteri/Surat Edaran Menteri/Instruksi Menteri

1. Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat


Nomor 13/SE/M/2019 tentang Penggunaan Baja Tulangan Beton
sesuai dengan Standar Nasional Indonesia di Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
2. Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Nomor 18/SE/M/2020 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Tatanan
Dan Adaptasi Kebiasaan Baru (New Normal) Dalam
Penyelenggaraan Jasa Konstruksi.
3. Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Nomor 22/SE/M/2020 Tahun 2020 tentang Persyaratan Pemilihan
dan Evaluasi Dokumen Pengadaan Penawaran Pengadaan Jasa
Konstruksi Sesuai Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan

Jimmy S. Juwana 691


Perumahan Rakyat Nomor 14 Tahun 2020 tentang Standar dan
Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi Melalui Penyedia.
4. Instruksi Menteri Pekerjaan Umum Nomor 2 Tahun 2020 tentang
Protokol Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019
(Covid-19) Dalam Penyelenggaraan Jasa Konstruksi.
5. Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Nomor 01/SE/M/2022 tentang Petunjuk Teknis Penilaian Kinerja
Bangunan Gedung Hijau.

G. Pedoman

1. Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian


Kesehatan No HK.01.07/V/1071/2020 tentang Pedoman Teknis
Bangunan dan Prasarana Ruang Isolasi Penyakit Infeksi Emerging
(PIE).

H. Standar Nasional Indonesia/Petunjuk/Pedoman Teknis

ARSITEKTUR

1. SNI 03-0675:1989 - Spesifikasi Ukuran Kusen Daun Pintu Dan


Daun Jendela dari Kayu
2. SNI 15-0684:1989 - Spesifikasi Genteng Kaca,
3. SNI 03-2095:1989 - Spesifikasi Genteng Keramik,
4. SNI 03-1296:1989 - Spesifikasi Atap Plastic Gelombang dari
PVC,
5. SNI 03-15880:1989 - Spesifikasi Genteng Baja Berlapis Butiran
Batu,
6. SNI 03-2408:1991 - Tata Cara Pengecatan Logam,
7. SNI 03-2443:1991 - Spesifikasi Trotoar,
8. SNI 03-3529:1994 - Spesifikasi Sirap,
9. SNI 03-3445:1994 - Tata Cara Pemasangan Panel Beton
Ringan Berserat,
10. SNI 03-4255:1996 - Spesifikasi Genteng Baja Lapis Panduan
Al-zn Berlapis Butiran Batu,
11. SNI 03-0690:1996 - Spesifikasi Bata Beton (Paving Block),
12. SNI 03-2134:1996 - Spesifikasi Genteng Keramik Berglazir,
13. SNI 03-4061:1996 - Spesifikasi Ubin Granito,
14. SNI 03-4062:1996 - Spesifikasi Ubin Lantai Keramik Berglazir,
15. SNI 06-4827:1998 - Spesifikasi Campuran Cat Siap Pakai
Berbahan Dasar Minyak,
16. SNI 03-2095:1998 - Genteng Keramik,
17. SNI 03-6384:2000 - Spesifikasi Panel dan Papan Gypsum,
18. SNI 03-2396:2001 - Tata Cara Perancangan Pencahayaan

Jimmy S. Juwana 692


Alami pada Bangunan Gedung
19. SNI 03-2410:2002 - Tata Cara Pengecatan Dinding Tembok
dengan Cat Emulsi,
20. SNI 03-6896:2002 - Tata Cara Pengecatan Genteng Beton,
21. SNI 03-3433:2002 - Tata Cara Pengecatan Genteng Keramik,
22. SNI 6882 : 2002 - Spesifikasi mortar untuk pekerjaa
pasangan
23. SNI 03-6968:2003 - Spesifikasi Fasilitas Tempat Bermain di
Ruang Terbuka Lingkungan Rumah Susun
Sederhana,
24. SNI 15-0047:2005 - Spesifikasi Kaca Lembaran,
25. SNI 07-2053:2006 - Spesifikasi Baja Lembaran Lapis Seng dan
Baja Lembaran dan Gulungan Lapis
Paduan Aluminium Seng,
26. SNI 7237 : 2006 - Bentuk baku konstruksi jaring tiga lapis
(trammel net)
27. SNI 0096-2007 - Genteng Beton,
28. SNI 3417 : 2008 - Tata cara penentuan posisi titik perum
menggunakan alat sipat ruang
29. SNI 13006:2010 - Spesifikasi Ubin Keramik,
30. SNI 7711.2:2012 - Lembaran Bitumen Bergelombang bagian
2: Tata Cara Pemasang Lembaran Bitumen
Bergelombang untuk Atap,
31. SNI 8150:2015 - Spesifikasi Blok Pemandu pada Jalur
Pejalan Kaki,
32. SNI 6197:2020 - Konservasi Energi pada Sistem
Pencahayaan
33. PtT-03-2000-C - Tata Cara Pengerjaan Pasangan dan
Plesteran Dinding
34. PtT-12:2002-C - Penerapan Sistem Penghijauan di
Lingkungan Permukiman,
35. PtT-02:2005-C - Perencanaan Rambu-rambu di Dalam
Bangunan Gedung.
36. Pd 03-2017-B - Perencanaan Teknis Fasilitas Pejalan Kaki.

BETON

1. SNI 03–1734:1989 - Beton bertulang dan Struktur Dinding


Bertulang untuk Rumah dan Gedung,
Petunjuk perencanaan,
2. SNI 03-1977:1990 - Spesifikasi koordinasi modular bangunan
rumah dan gedung
3. SNI 03-1978:1990 - Spesifikasi Ukuran Terpilih Untuk
Bangunan Rumah dan Gedung

Jimmy S. Juwana 693


4. SNI 03-1979:1990 - Matra ruang dan rumah tinggal, Spesifikasi
5. SNI 03-1997:1990 - Spesifikasi Koordinasi Modular Bangunan
Rumah dan Gedung,
6. SNI 03-2448:1991 - Spesifikasi Beton Pracetak Untuk Rumah
Tumbuh Rangka Beratap,
7. SNI 03-2447:1991 - Spesifikasi Rumah Tumbu Rangka Beratap
dengan Komponen Beton pracetak
8. SNI 07-2529:1991 - Metode Pengujian Kuat Tarik Baja Beton,
9. SNI 03-2403:1991 - Tata Cara Pemasangan Blok Beton
Terkunci untuk Permukaan Jalan,
10. SNI 03-2443:1991 - Spesifikasi Trototoir,
11. SNI 03-2855:1992 - Spesifikasi Satuan Rumah Susun Modular,
12. SNI 03-2914:1992 - Spesifikasi Beton Bertulang Kedap Air,
13. SNI 03-3448:1994 - Tata Cara Penyambungan Tiang Pancang
Beton Pracetak Penampang Persegi
dengan Sistem Monolit Bahan Epoxy,
14. SNI 03-3445:1994 - Tata Cara Pemasangan Panel Beton
Ringan Berserat,
15. SNI 03-3403:1994 - Metode pengujian kuat tekan beton inti
pemboran
16. SNI 03-3960:1995 - Metode Pengujian Modulus Elastisitas
Kayu di Laboratorium,
17. SNI 03-3976:1995 - Tata Cara Pengadukan Pengecoran Beton,
18. SNI 07-0663:1995 - Jaringan Kawat Baja Las untuk Tulangan
Beton,
19. SNI 03-4147:1996 - Spesifikasi Kapur untuk Stabilisasi Tanah,
20. SNI 03-4155:2016 - Metode Pengujian Kuat Tekan Beton
dengan Benda Uji Patahan Balok bekas Uji
Lentur
21. SNI 03-4165:1996 - Metode Pengujian Kuat Lentur Dinding
Pasangan Bata Merah di Laboratorium,
22. SNI 03-4166:1996 - Metode Pengujian Kuat Geser Dinding
Pasangan Bata Merah di Laboratorium,
23. SNI 03-4164:1996 - Metode Pengujian Kuat Tekan Dinding
Pasangan Bata Merah di Laboratorium,
24. SNI 03-4169:1996 - Metode Pengujian Modulus Elastisitas
Statis dan rasio poison beton dengan
kompresor ekstensometer
25. SNI 03-4430:1997 - Metode Pengujian Kuat Tekan Elemen
Struktur Beton Dengan Alat Palu Beton
Tipe N dan NR
26. SNI 03-4805:1998 - Metode Pengujian Kadar Semen Portland
Dalam Beton Keras yang Memakai Semen
Hidrolik

Jimmy S. Juwana 694


27. SNI 03-4806:1998 - Metode Pengujian Kadar Semen Portland
Dalam Beton Segar Dengan Cara Titrasi
Volumetri
28. SNI 03-4809:1998 - Metode Pengujian Untuk Membandingkan
Berbagai Beton Berdasarkan Kuat Lekat
Yang Timbul Terhadap Tulangan
29. SNI 03-4812:1998 - Metode pengujian kuat tarik beton secara
langsung
30. SNI 4814 : 1998 - Spesifikasi Bahan Penutup Sambungan
Beton Tipe Elastis Tuang Panas
31. SNI 03-0090:1999 - Spesifikasi Bronjong Kawat,
32. SNI 15-2094:2000 - Peraturan Bata Merah Pejal untuk
Pasangan Dinding,
33. SNI 03-6376:2000 - Tata Cara Pembuatan Sumur Uji,
34. SNI 03-6429:2000 - Metode Pengujian Kuat Beton Silinder
dengan Cetakan Silinder di dalam Tempat
Cetakan,
35. SNI 03-6380:2000 - Spesifikasi Perbaikan Beton dengan Mortar
Epoksi,
36. SNI 2834:2000 - Tata Cara Pembuatan Rencana Campuran
Beton Normal,
37. SNI 03-6430.2:2000 - Metode Pengujian Waktu Pengikatan Graut
Untuk Beton Dengan Agregat Praletak Di
Laboratorium
38. SNI 03-6431:2000 - Metode Pengujian Waktu Alir Beton
Berserat Dengan Kerucut Uji Slump yang
Dibalik
39. SNI 03-6432:2000 - Metode Pengujian Perubahan Panjang
Beton Akibat Reaksi Alkali Batuan
Karbonat
40. SNI 03-6444:2000 - Metode Pengujian Untuk Potensial
Setengah Sel Baja Tulangan yang Tidak
Dilapisi Bahan Dielektrik Dalam Beton
41. SNI 19-6457:2000 - Metode dasar pengukuran tubuh manusia
untuk rancangan teknologi (Judul direvisi
menjadi: Perencanaan dan perancangan
kenyamanan ruang gerak pada hunian
sederhana)
42. SNI 03-6877:2002 - Agregat halus dan Kasar, Metode
Pengujian Analisis Saringan,
43. SNI 03-6820:2002 - Spesifikasi Agregat Halus untuk Pekerjaan
Adukan dan Plesteran dengan Bahan
Dasar Semen,

Jimmy S. Juwana 695


44. SNI 03-6821:2002 - Spesifikasi Agregat untuk Batu Cetak untuk
Pasangan Dinding,
45. SNI 02-6852:2002 - Spesifikasi Peralatan Pemasangan Dinding
Bata dan Plesteran,
46. SNI 03-3449:2002 - Tata cara perancangan campuran beton
ringan dengan agregat ringan,
47. SNI 03-6814:2002 - Tata Cara Pelaksanaan Sambungan
Mekanis Untuk Tulangan Beton,
48. SNI 03-6816:2002 - Tata Cara Pendetailan Penulangan Beton,
49. SNI 03-6760:2002 - Metode Pengujian Pembebanan Lantai
Beton Bertulang Pada Bangunan Bertingkat
Dengan Air,
50. SNI 03-6815:2002 - Tata Cara Mengevaluasi Hasil Uji Kekuatan
Beton,
51. SNI 03-6761:2002 - Metode Pengujian Untuk Tiang Tunggal
Terhadap Beban Tarik Aksial Statis,
52. SNI 03-6762:2002 - Metode Pengujian Untuk Tiang Pancang
Terhadap Beban Lateral,
53. SNI 06-6770:2002 - Metode Uji Pengujian Cat Penghambat Api,
54. SNI 03-6771:2002 - Metode Pengujian Sifat Penyalaan Bahan
Bangunan,
55. SNI 03-6805:2002 - Metode Pengujian Untuk Mengukur Nilai
Kuat Tekan Beton Pada Umur Awal Dan
Memproyeksikan Kekuatan Pada Umur
Berikutnya
56. SNI 2915-2002 - Spesifikasi beton tahan sulfat
57. SNI 03-6966:2003 - Spesifikasi Produk Saluran Air Beton,
58. SNI 03-6969:2003 - Metode Pengujian Untuk Pengukuran
Panjang Beton Inti Hasil Pengeboran.
59. SNI 0129:2004 - Semen portland putih
60. SNI 3758-2004 - Semen masonry
61. SNI 0076:2008 - Spesifikasi Tali Kawat Baja,
62. SNI 2458:2008 - Tata Cara Pengambilan Contoh Uji Beton
Segar,
63. SNI 1972:2008 - Cara Uji Slump Beton,
64. SNI 2442:2008 - Spesifikasi Kereb Beton Untuk Jalan,
65. SNI 1740:2008 - Cara Uji Bakar Bahan Bangunan Untuk
Pencegahan Bahaya Kebakaran Pada
Bangunan Rumah dan Gedung,
66. SNI 1741:2008 - Cara Uji Ketahanan Api Komponen Struktur
Bangunan untuk Pencegahan Bahaya
Kebakaran Pada Bangunan Rumah dan
Gedung

Jimmy S. Juwana 696


67. SNI 2496:2008 - Spesifikasi bahan tambahan pembentuk
gelembung udara untuk Beton (ASTM C260-
01)
68. SNI 4156:2008 - Cara uji bliding dari beton segar
69. SNI 1973:2008 - Cara uji berat isi, volume produksi campuran
dan kadar udara beton
70. SNI 2417:2008 - Cara Uji Keausan Agregat Dengan Mesin
Abrasi Los Angeles
71. SNI 4817:2008 - Spesifikasi lembaran bahan penutup untuk
perawatan beton
72. SNI 6369-2008 - Tata cara pembuatan kaping untuk benda uji
silinder beton
73. SNI 3402-2008 - Cara uji berat isi beton ringan struktural
74. SNI 3419-2008 - Cara uji abrasi beton di lab
75. SNI 1974:2011 - Cara Uji Kuat Tekan Beton dengan Benda Uji
Silinder,
76. SNI 1738:2011 - Cara Uji CBR Lapangan,
77. SNI 7730:2011 - Spesifikasi Batang Baja Mutu Tinggi Tanpa
Pelapis untuk Beton Prategang,
78. SNI 2493:2011 - Tata cara pembuatan dan perawatan benda
uji beton di laboratorium
79. SNI 7833:2012 - Tata Cara Perancangan Beton Pracetak dan
Beton Prategang untuk Bangunan Gedung,
80. SNI 7657:2012 - Tata Cara Pemilihan Campuran untuk Beton
Normal, Beton Berat dan Masa Beton,
81. SNI 7834:2012 - Metode Uji dan Kriteria Penerimaan Struktur
Rangka Pemikul Momen,
82. SNI 7064:2014 - Semen Portland Komposit (Portland
Composite Cement, PCC),
83. SNI 2491:2014 - Metode Uji Kekuatan Tarik Belah Spesimen
Beton Silinder,
84. SNI 0302:2014 - Semen Portland Pozolan (ASTM C595-03),
85. SNI 4154:2014 - Metode Uji Kekuatan Lentur Beton
(Menggunakan Balok Sederhana dengan
Beban Terpusat Di tengah Bentang) - ASTM
293-10,
86. SNI 7064:2014 - Semen Portland Komposit (ASTM C595-03),
87. SNI 2461:2014 - Spesifikasi untuk agregat ringan untuk beton
struktural (ASTM C330-09),
88. SNI 8127:2015 - Spesifikasi Sistem Pelekat berbahan Dasar
Epoksi Resin untuk Beton,
89. SNI 2049:2015 - Semen Portland,
90. SNI 6451:2015 - Metode Uji Kuat Lentur Adukan Semen
Hidraulik (ASTM C348-08),

Jimmy S. Juwana 697


91. SNI 4807:2015 - Metode uji pengukuran temperatur beton
segar campuran semen hidraulis (ASTM
C1064/C1064M-08, IDT)
92. SNI 4811:2016 - Metode Uji Rangkak Untuk Beton Yang
Tertekan (ASTM C512/C512m-10, IDT)
93. SNI 6764:2016 - Spesifikasi Baja Karbon Struktural (ASTM
A36/A36M 12 IDT),
94. SNI 8306:2016 - Spesifikasi Baja Struktural Kekuatan Tinggi
Dengan Paduan Rendah Columbium-
Vanadium (ASTM A572/ASTM572m-13A,
IDT),
95. SNI 8307:2016 - Spesifikasi Batang Baja Karbon Deform dan
Polos untuk Penulangan Beton (ASTM
A615/A615M-14 IDT),
96. SNI 8322:2016 - Tata cara Memproporsikan Campuran Graut
untuk Beton Agregat Praletak (ASTM C938-
10),
97. SNI 6418:2016 - Spesifikasi pengencer graut untuk beton
agregat praletak (ASTM C937-10),
98. SNI 6880:2016 - Spesifikasi Beton Struktural,
99. SNI 8140:2016 - Persyaratan Beton Struktural untuk Rumah
Tinggal,
100. SNI 2052:2017 - Baja Tulangan Beton,
101. SNI 7832:2017 - Analisis Harga Satuan Pekerjaan Beton
Pracetak Insitu untuk Konstruksi Bangunan
Gedung,
102. SNI 8367:2017 - Spesifikasi Perancangan Rangka Pemikul
Momen Khusus Beton Pracetak Pascatarik
Tanpa Lekatan (ACI 550.3-13),
103. SNI 2492:2018 - Metode Pengambilan Dan Pengujian Inti
Beton Hasil Pemboran Dan Balok Beton
Hasil Pemotongan (ASTM C42/C42M-13,
IDT)
104. SNI 3402:2018 - Metode uji penentuan densitas beton ringan
struktural (ASTM C567 / C567M-14, IDT)
105. SNI 3421:2018 - Metode uji kuat tekan beton ringan isolasi
(ASTM C495 / C495M-12, IDT)
106. SNI 4810:2018 - Tata cara pembuatan dan perawatan
spesimen uji beton di lapangan (ASTM C 31-
10, IDT)
107. SNI 6430.1:2018 - Metode Uji Kekuatan Tekan Graut Untuk
Beton Agregat Praletak Di Laboratorium
(ASTM C942-10, IDT)

Jimmy S. Juwana 698


108. SNI 6430.3:2018 - Metode Uji Ekspansi Dan Bliding Campuran
Graut Segar Untuk Beton Agregat Praletak
Di Laboratorium (ASTM C940-10a, IDT)
109. SNI 6807:2018 - Metode Ujiretensivitas Air Dalam Campuran
Graut Untuk Beton Agregat Praletak Di
Laboratorium (ASTM C941-10, IDT)
110. SNI 6808:2018 - Metode Uji Flow Graut Untuk Beton Agregat
Praletak (Metode Kerucut Alir) (ASTM C939-
10, IDT)
111. SNI 8495:2018 - Metode Uji Bahan Campuran Tambahan
Pembentuk Gelembung Udara untuk Beton
(ASTM C 223/C223M-14, IDT)
112. SNI 8496:2018 - Metode uji klorida larut air pada mortar dan
beton(ASTM C1218/C1218M-15, IDT)
113. SNI 2847:2019 - Persyaratan Beton Struktural untuk
Bangunan Gedung,
114. SNI 8900:2020 - Panduan Desain Sederhana Untuk
Bangunan Beton Bertulang,
115. SNI 1727:2020 - Beban Desain Minimum dan Kriteria terkait
untuk Bangunan Gedung dan Struktur Lain,
116. SNI 8971:2021 - Panduan Perencanaan dan Pelaksanaan
Sistem Lembaran Serat Berpolimer Terlekat
Eksternal untuk Perkuatan Struktur Beton

GEOTEKNIK

1. Peta Hazard Gempa 2017


2. SNI 03-2455-1991 - Cara Uji Triaksial untuk Tanah dalam
Keadaan
Terkonsolidasi tidak Terdrainase (CU) dan
Terkonsolidasi Terdrainase (CD).
3. SNI 03-2849-1992 - Tata Cara Pemetaan Geologi Teknik
Lapangan.
4. SNI 03-3431-1994 - Tata Cara Pemantauan Gerakan Horizontal
Batuan dan Bangunan dengan Alat
Inklinometer.
5. SNI 03-4148-1996 - Spesifikasi Tabung Dinding Tipis untuk
Pengambilan Contoh Tanah Berkohesi tidak
Terganggu.
6. SNI 03-4148.1-2000 - Tata cara pengambilan contoh tanah dengan
tabung dinding tipis
7. SNI 03-6475-2000 - Metode uji pondasi tiang dengan beban statis
tekan aksial

Jimmy S. Juwana 699


8. SNI 03-6803-2002 - Metode pengujian penentuan kadar kapur
dalam tanah stabilisasi kapur secara titrasi
9. SNI 6747:2002 - Tata cara perencanaan teknis pondasi tiang
untuk jembatan
10. SNI 2399:2002 - Tata cara perencanaan bangunan MCK
umum
11. SNI 6967:2003 - Persyaratan umum system jaringan dan
geometric jalan perumahan
12. SNI 1733:2004 - Tata cara perencanaan lingkungan
perumahan
13. SNI 2825:2008 - Cara uji kuat tekan batu uniaksial
14. SNI 1742:2008 - Cara Uji Kepadatan Ringan untuk Tanah,
15. SNI 1743:2008 - Cara Uji Kepadatan Berat untuk Tanah,
16. SNI 1964:2008 - Cara Uji Berat Jenis Tanah
17. SNI 1965:2008 - Cara uji penentuan kadar air untuk tanah dan
batuan
18. SNI 1966:2008 - Cara uji penentuan batas plastis dan indeks
plastisitas tanah
19. SNI 1967:2008 - Cara uji penentuan batas cair tanah
20. SNI 2436:2008 - Tata cara pencatatan dan identifikasi hasil
pengeboran inti
21. SNI 2813:2008 - Cara uji kuat geser langsung tanah
terkonsolidasi dan terdrainase
22. SNI 2827:2008 - Cara uji penetrasi lapangan dengan alat
sondir
23. SNI 3422:2008 - Cara uji penentuan batas susut tanah
24. SNI 3423:2008 - Cara uji analisis ukuran butir tanah
25. SNI 4153:2008 - Cara uji penetrasi lapangan dengan SPT
26. SNI 2848:2008 - Tata cara pembuatan benda uji di
laboratorium mekanika batuan
27. SNI 3406:2011 - Cara uji sifat tahan lekang batu
28. SNI 7749:2012 - Tata Cara Penentuan Tinggi Muka Air Tanah
pada Lubang Bor atau Sumur Pantau,
29. SNI 1744:2012 - Metode uji CBR laboratorium
30. SNI 8046:2016 - Metode Analisis Stabilitas Lereng,
31. SNI 4433:2016 - Spesifikasi beton segar siap pakai (ASTM
C94/C94M-14, IDT)
32. SNI 2833:2016 - Perencanaan Jembatan terhadap Beban
Gempa.
33. SNI 8460:2017 - Persyaratan Perancangan Geoteknik,
34. SNI 1726:2019 - Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa
untuk Struktur Bangunan Gedung dan Non
Gedung,

Jimmy S. Juwana 700


35. SNI 8899:2020 - Tata Cara Pemilihan dan Modifikasi Gerak
Tanah Permukaan Untuk Perencanaan
Gedung Tahan Gempa,
36. PtT-39-2000-A - Tata Cara Penggalian pada Pekerjaan
Tanah,
37. PtT-41-2000-A - Tata Cara Penimbunan dan Bahan Urugan
pada Pekerjaan Tanah,
38. PtT-42-2000-A - Tata Cara Pemasangan dan Pembacaan Alat
Ukur Regangan Tanah/tiltmeter,
39. PtT-43-2000-A - Tata Cara Pelaksanaan Pekerjaan Tanah
bagian 1: Keselamatan dalam Pekerjaan
Tanah,
40. PtT-44-2000-A - Tata Cara Pemadatan Tanah pada Pekerjaan
Tanah,
41. PtT-45-2000-A - Tata Cara Pelaksanaan Paritan pada
Pekerjaan Tanah;

KAYU

1. SNI 03-0675-1989 - Spesifikasi Ukuran Kusen Pintu, Jendela,


Daun Jendela, Daun Pintu untuk Bangunan
Rumah dan Gedung.
2. SNI 03-2445-1991 - Spesifikasi Ukuran Kayu untuk Bangunan
Rumah dan Gedung.
3. SNI 03-2449-1991 - Spesifikasi Kuda-kuda Kayu Balok Paku Tipe
15/6.
4. SNI 03-2450-1991 - Spesifikasi Kuda-kuda Kayu Balok Paku tipe
30/6.
5. SNI 03-3399-1994 - Metode Pengujian Kuat Tarik Kayu Di
Laboratorium.
6. SNI 03-3400-1994 - Metode Pengujian Kuat Geser Kayu di
Laboratorium.
7. SNI 03-3958-1995 - Metode Pengujian Kuat Tekan Kayu di
Laboratorium.
8. SNI 03-3959-1995 - Metode Pengujian Kuat Lentur Kayu di
Laboratorium.
9. SNI 03-3972-1995 - Metode uji statis kayu berukuran struktural,
10. SNI 03-3973-1995 - Metode uji statis kayu berukuran struktural,
11. SNI 03-3974-1995 - Metode uji statis kayu berukuran structural,
12. SNI 03-3975-1995 - Metode uji statis kayu berukuran struktural .
13. SNI 03-6842-2002 - Metode Pengujian Kekerasan Kayu di
Laboratorium.
14. SNI 03-6881-2002 - Tata Cara Evaluasi Besaran izin untuk
klasifikasi mutu kayu struktural.

Jimmy S. Juwana 701


15. SNI 2407:2008 - Tata Cara Pengecatan Kayu Untuk Rumah
dan Gedung,
16. SNI 7538.1:2010 - Kayu Gergajian Daun Lebar - Bagian 1:
Klasifikasi, Persyaratan dan Penandaan
17. SNI 7973:2013 - Spesifikasi Desain untuk Konstruksi Kayu.

BAJA

1. SNI 0408:1989 - Cara uji tarik logam


2. SNI 07-0242.1:2000 - Spesifikasi Pipa Baja Dilas dan Tanpa
Sambungan Dengan Lapis Hitam dan
Galvanis Panas,
3. SNI 07-0329-2005 - Baja profil I-Beam (JIS G3192:2000, ASTM
A36-04, DIN 1025:1995),
4. SNI 07-0601-2006 - Baja Lembaran, Pelat dan Gulugan Canai
Panas (Bj.P)- (JIS G1253:2002),
5. SNI 07-3567-2006 - Baja Lembaran dan Gulungan Canai Dingin
(Bj.D) - (JIS G3141:1996),
6. SNI 07-7178-2006 - Baja profil WF,
7. SNI 07-2054-2006 - Baja profil siku sama kaki (JIS G3192:2000,
ASTM A36, DIN 1026),
8. SNI 07-0052-2006 - Baja profil kanal U (JIS G3192:2000 ,
ASTM A6),
9. SNI 4096:2007 - Baja Lembaran dan Gulungan Lapis
Paduan Aluminium - Seng (Bj.L AS),
10. SNI 0068:2007 - Pipa Baja Carbon
11. SNI 2610:2011 - Baja profil H (JIS G3192:2000 , JIS
G3101:1995),
12. SNI 7971:2013 - Struktur Baja Canai Dingin,
13. SNI 1154:2016 - Tujuh Kawat Baja tanpa Lapisan Dipilin
Untuk Konstruksi Beton Pratekan (ASTM
A416-05,
A416-12a, JIS G3536-1999),
14. SNI 1155:2016 - Kawat Baja Tanpa Lapisan untuk
Konstruksi Beton Pratekan (JIS G3536-
1999),
15. SNI 7701:2016 - Kawat Baja Kuens (quench) Temper untuk
Konstruksi Beton Pratekan (JIS G3137-
1994, ISO 6934-3-1991),
16. SNI 07-0065-2002 - Baja Tulangan Beton Hasil Canai Ulang
(JIS 3117-87, G3112-1991),
17. SNI 07-0954-2005 - Baja Tulangan Beton dalam Bentuk
Gulungan (JIS G3112-1991),
18. SNI 8052:2014 - Pipa Baja untuk Pancang,

Jimmy S. Juwana 702


19. SNI 8461:2017 - Metode Uji Kekerasan Leeb Untuk Besi dan
Baja,
20. SNI 8458:2017 - Metode Uji Pengencangan Baut Mutu
Tinggi,
21. SNI 1729:2020 - Spesifikasi untuk Bangunan Gedung
Baja Struktural,
22. SNI 7860:2020 - Ketentuan Seismik untuk Bangunan
Gedung Baja Struktural,
23. SNI 7972:2020 - Sambungan Terprakualifikasi untuk
Rangka Momen Khusus dan Menengah
Baja pada Aplikasi Seismik,
24. SNI 8369:2020 - Praktik Baku Bangunan Gedung dan
Jembatan Baja,

MEKANIKAL, ELEKTRIKAL & PLAMBING

1. SNI 6197:2020 - Konservasi Energi pada Sistem


Pencahayaan
2. SNI 0225:2020 - Persyaratan Umum Instalasi Listrik (PUIL)
2020
3. SNI 0225:2011 - Persyaratan Umum Instalasi Listrik 2011.
(PUIL 2011)
4. SNI 6390:2020 - Konservasi Energi Sistem Tata Udara Pada
Bangunan Gedung
5. SNI 6389:2020 - Konservasi Energi Selubung Bangunan
Pada Bangunan Gedung
6. SNI 8476:2018 - Metode Penilaian dan Pengujian Terhadap
Kinerja Pendingin Air Sejuk dengan Sistem
Kompresi Uap
7. SNI 8560-1:2018 - Tentang Pengkondisi Udara Pendinginan
Udara & Pompa Kalor Udara ke Udara-
Cara Pengujian dan Perhitungan Faktor
Kinerja Musiman Bagian 1: Faktor Kinerja
Pendinginan Musimam (ISO 16358-
1:2013).
8. SNI 8456:2017 - Sumur dan Parit Resapan Air Hujan
9. SNI 8455:2017 - Perencanaan Pengolahan Air Limbah
Rumah Tangga dengan Reactor Anaerobic
System Bersekat/Baffle (RASB)
10. SNI 2398:2017 - Tata Cara Perencanaan Tangki Septik
dengan Pengolahan Lanjutan (sumur
resapan, bidang resapan, up flow filter,
kolam sanita),
11. SNI 8153:2015 - Sistem Plambing Pada Bangunan Gedung

Jimmy S. Juwana 703


12. SNI 6719:2015 - Spesifikasi Pipa Baja Bergelombang
dengan Lapis Logam untuk Pembuangan
air dan drainase bawah tanah
13. SNI 03-7041.1-2014 - Tentang proteksi bangunan terhadap petir
bagian 1: prinsip umum
14. SNI 7766:2012 - Jalur Evakuasi Tsunami,
15. SNI 7828:2012 - kualitas air - pengambilan contoh - bagian
E: Pengambilan contoh air minum dari
instalasi pengolahan air dan sistem
jaringan distribusi perpipaan,
16. SNI 7830:2012 - Tata cara pengendalian mutu
pembangunan instalasi pengolahan
air minum,
17. SNI 6197:2020 - Konservasi Energi Pada Sistem
Pencahayaan
18. SNI 9360:2011 - Tentang Maksimum Efisiensi Air
Conditioning
19. SNI 7504:2011 - Spesifikasi Material Fiberglass Reinforced
Plastic Unit untuk Instalasi Pengolahan Air,
20. SNI 7505:2011 - Spesifikasi material baja unit instalasi
pengolahan air,
21. SNI 7506:2011 - Spesifikasi material baja tahan karat untuk
instalasi pengolahan air,
22. SNI 7507:2011 - Spesifikasi bangunan pelengkap unit
instalasi pengolahan air,
23. SNI 7511:2011 - Tata cara pemasangan pipa transmisi dan
pipa distribusi serta bangunan Pelintas
Pipa
24. SNI 3242:2008 - Pengelolaan Sampah di Permukiman
25. SNI 0004:2008 - Tata Cara Commissioning Instalasi
Pengolahan Air,
26. SNI 19-0232:2005 - Nilai Ambang Batas (NAB) zat kimia di
udara tempat kerja
27. SNI 03-7015:2004 - Sistem proteksi petir pada bangunan
28. SNI 03-7017.1-2004 - Lift Traksi Listrik pada Bangunan Gedung,
Pemeriksaan dan Pengujian Serah Terima.
29. SNI 03-7017.2-2004 - Pemeriksaan dan Pengujian Lift Traksi
pada Bangunan Gedung, Pemeriksaan
dan Pengujian Berkala
30. SNI 05-7052-2004 - Syarat-Syarat Umum Konstruksi Lift
Penumpang yang Dijalankan dengan
Motor Traksi Tanpa Kamar Mesin
31. SNI 04-7018-2004 - Sistem Pasokan Daya Listrik Darurat dan
Siaga

Jimmy S. Juwana 704


32. SNI 04-7019-2004 - Sistem Pasokan Daya Listrik Darurat
Menggunakan Energi Tersimpan (SPDDT)
33. SNI 16-7062-2004 - Pengukuran Intensitas Penerangan di
Tempat Kerja
34. SNI 19-7029-2004 - Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik
Domestik
35. SNI 05-6040-2004 - Syarat-syarat umum konstruksi lift
penumpang yang dijalankan dengan motor
traksi
36. SNI 03-7012-2004 - Tentang sistem manajemen asap dalam
mal, atrium, dan ruangan bervolume besar
37. SNI 19-7029-2004 - Spesifikasi komposter rumah tangga
individual dan komunal,
38. SNI 19-7030-2004 - Spesifikasi kompos dan sampah organic
domestik,
39. SNI 04-7042-2004 - Pesawat Telepon Analog
40. SNI 7040-2004 - Kriteria Penempatan Pemancar Sinyal ke
Segala Arah Berfrekuensi Amat Tinggi
41. SNI 7014.1:2004 - Proteksi Bangunan Terhadap Petir
42. SNI 6959.1:2003 - Perlengkapan Kendali Lampu Bagian 1
Persyaratan Umum Dan Keselamatan
43. SNI 6959.2.3:2003 - Perlengkapan Kendali Lampu Bagian 2-3
Persyaratan Khusus Ballas Elektronik
Disuplai a.b. Untuk Lampu Fluoresen
44. SNI 06-2459-2002 - Spesifikasi sumur resapan air hujan untuk
lahan pekarangan
45. SNI 19-6772-2002 - Tata Cara Perencanaan Sistem Pemadam
Api FM 200 (Hfc-227ea)
46. SNI 03-2453-2002 - Tata Cara Perencanaan Teknik Sumur
Resapan Air Hujan untuk
Lahan Pekarangan
47. SNI 19-2454-2002 - Tata Cara Teknik Operasional Pengelolaan
Sampah Perkotaan
48. SNI 03-6759-2002 - Tata Cara Perancangan Konservasi Energi
pada Bangunan Gedung
49. SNI 03-6767-2002 - Spesifikasi umum sistem ventilasi mekanis
dan sistem tata udara sebagai pengendali
asap kebakaran dalam bangunan
50. SNI 03-6768-2002 - Spesifikasi umum sistem pengolahan udara
sebagai pengendali asap kebakaran dalam
bangunan
51. SNI 03-6769-2002 - Spesifikasi sistem pengolahan udara
sentral sebagai pengendali
asap kebakaran dalam bangunan

Jimmy S. Juwana 705


52. SNI 19-6718-2002 - Spesifikasi Damper Kebakaran
53. SNI 03-6785-2002 - Spesifikasi pipa resin termoseting
bertekanan berpenguat Fiberglass
54. SNI 19-6782-2002 - Tata cara pemasangan perpipaan besi
daktil dan perlengkapannya
55. SNI 03-6765-2002 - Spesifikasi bahan bangunan untuk
pencegahan bahaya kebakaran
pada bangunan rumah dan gedung
56. SNI 03-6766-2002 - metode pengujian proteksi kebakaran pada
pintu kebakaran pada bangunan,
57. SNI 19-6778-2002 - Metode pengujian tekanan internal rendah
sambungan mekanik pipa Polietilena (PE),
58. SNI 19-6779-2002 - Metode pengujian perubahan panjang pipa
polietilena (PE),
59. SNI 19-6780-2002 - Metode penentuan densitas referensi
polietilena (PE) tidak berwarna pada pipa
PE dan sambungan,
60. SNI 19-6781-2002 - Metode pengujian kehilangan tekanan pada
sistem sambungan mekanik pipa
polietilena (PE)
61. SNI 03-6652-2002 - Tata cara perencanaan proteksi bangunan
dan peralatan terhadap Sambaran petir
62. SNI 19-677T-2002 - Metode pengujian kinerja unit paket
instalasi penjernihan air kapasitas di
bawah 5 liter/detik,
63. SNI 19-6776-2002 - Tata cara pengawasan pemasangan unit
paket instalasi penjernihan air,
64. SNI 03-2396-2001 - Tata cara perancangan sistem
pencahayaan alami pada
bangunan gedung
65. SNI 03-6570-2001 - Instalasi pompa yang dipasang tetap untuk
proteksi kebakaran
66. SNI 03-6571-2001 - Sistem Pengendalian Asap Kebakaran
Pada Bangunan Gedung.
67. SNI 03-6572-2001 - Tata Cara Perancangan Sistem Ventilasi
dan Pengkondisian Udara Pada Bangunan
Gedung
68. SNI 03-6573-2001 - Tata cara perancangan sistem transportasi
vertikal dalam gedung (lift)
69. SNI 03-6574-2001 - Tata Cara Perancangan Pencahayaan
Darurat, Tanda Arah dan
Sistem Peringatan Bahaya pada Bangunan
Gedung
70. SNI 03-6575-2001 - Tata Cara Perancangan Sistem

Jimmy S. Juwana 706


Pencahayaan Buatan Pada
Bangunan Gedung
71. SNI 03-6247.1-2000 - Syarat-Syarat Umum Konstruksi Lift
Pasien.
72. SNI 03-6247.2-2000 - Syarat-Syarat Umum Konstruksi Lift
Penumpang Khusus untuk Perumahan,
73. SNI 03-2190.1-2000 - Syarat-Syarat Umum Konstruksi Lift yang
Dijalankan dengan Transmisi Hidrolis
74. SNI 03-2190.2-2000 - Syarat-Syarat Umum Konstruksi Lift
Pelayan (Dumbwaiter) yang Dijalankan
dengan Tenaga Listrik
75. SNI 03-6248-2000 - Syarat-Syarat Umum Konstruksi Eskalator
yang Dijalankan dengan Tenaga Listrik
76. SNI 03-1735-2000 - Tata Cara Perencanaan Akses Bangunan
dan Akses Lingkungan untuk Pencegahan
Bahaya Kebakaran Pada Bangunan
Gedung
77. SNI 03-1736-2000 - Tata cara perencanaan dan sistem proteksi
pasif untuk pencegahan bahaya kebakaran
pada bangunan gedung
78. SNI 03-1745-2000 - Tata cara perencanaan sistem pipa tegak
dan selang untuk pencegahan bahaya
kebakaran pada bangunan gedung
79. SNI 03-1746-2000 - Tata Cara Perencanaan dan Pemasangan
Sarana Jalan Keluar untuk Penyelamatan
terhadap Bahaya Kebakaran pada
bangunan gedung
80. SNI 03-3985 : 2000 - Tata cara perencanaan, pemasangan dan
pengujian sistem deteksi dan alarm
kebakaran untuk pencegahan bahaya
kebakaran pada bangunan gedung
81. SNI 03-3989-2000 - Tata cara perencanaan sistem sprinkler
otomatik untuk pencegahan bahaya
kebakaran pada bangunan gedung
82. SNI 03-6373-2000 - Tata cara pemilihan dan pemasangan ven
pada sistem plambing
83. SNI 03-6382-2000 - Spesifikasi hidran kebakaran tabung basah
84. SNI 19-6470-2000 - Tata cara sistem udara bertekanan untuk \
sarana jalan keluar kedap api
85. SNI 180:2021 - Alat Pemadam Api Poratabel (APAP)
86. SNI 03-6386-2000 - Spesifikasi tingkat bunyi dan waktu
dengung dalam bangunan gedung dan
perumahan (kriteria desain yang
direkomendasikan)

Jimmy S. Juwana 707


87. SNI 19-6411-2000 - Tata cara pencatatan pemeliharaan
keselamatan dan kesehatan kerja pada
fasilitas pengolahan sampah
88. SNI 03-6464-2000 - Tata cara penanggulangan keadaan
darurat untuk bangunan
89. SNI 03-6379-2000 - Spesifikasi dan Tata Cara Pemasangan
Perangkap Bau
90. SNI 03-6196-2000 - Prosedur Audit Energi Pada Bangunan
Gedung
91. SNI 03-6462-2000 - Tata cara pemasangan damper kebakaran
92. SNI 03-6415-2000 - Spesifikasi proteksi untuk bukaan pada
konstruksi tahan api
93. SNI 03-6420-2000 - Spesifikasi Sistem Pengolahan Udara di
dapur dan ruang parkir sebagai pengendali
asap kebakaran dalam bangunan
94. SNI 03-6481-2000 - Sistem Plambing
95. SNI 06-6404-2000 - Spesifikasi flens pipa baja untuk
penyediaan air bersih ukuran 110 mm -
366 mm
96. SNI 06-6419-2000 - Spesifikasi pipa PVC bertekanan
berdiameter 110-315 mm untuk air bersih,
97. SNI 03-6383-2000 - Spesifikasi peralatan pengolah udara
individual sebagai sistem pengendalian
asap terzona dalam bangunan gedung,
98. SNI 07-6398-2000 - Tata cara pelapisan epoksi cair untuk
bagian dalam dan luar pada perpipaan air
dari baja
99. SNI 19-6410-2000 - Tata cara penimbunan tanah untuk bidang
resapan pada pengolahan air limbah
100. SNI 06-6437-2000 - Metode kinerja pompa dengan
menggunakan model,
101. SNI 03-6435-2000 - Metode pengujian kedataran dan kerataan
lantai menggunakan sistem bilangan f
102. SNI 19-6466-2000 - Tata cara evaluasi lapangan untuk sistem
peresapan pembuangan air limbah
103. SNI 03-6368-2000 - Spesifikasi pipa beton untuk saluran air
limbah, saluran air hujan dan gorong-
gorong
104. SNI 05-2189-1999 - Definisi, istilah lift dan eskalator
105. SNI 06-4828-1998 - Spesifikasi cincin karet sambungan pipa air
minum, air limbah dan air hujan
106. SNI 06-4821-1998 - Metode pengujian dimensi pipa polietilena
(PE) untuk air minum,
107. SNI 06-41567-1996 - Tata cara pengujian kekentalan cat dengan

Jimmy S. Juwana 708


alat viscometer stometer
108. SNI 03-3987-1995 - Tata cara perencanaan, pemasangan
pemadam api ringan untuk pencegahan
bahaya kebakaran pada bangunan rumah
dan gedung
109. SNI 19-3983-1995 - Spesifikasi timbulan sampah untuk kota
kecil dan sedang di Indonesia,
110. SNI 19-3956-1995 - Metode pengujian jumlah bakteri koli tinja
dalam air dengan saringan membran,
111. SNI 19-3957-1995 - Metode pengujian jumlah bakteri koli tinja
dalam air dengan tabung fermentasi,
112. SNI 06-4158-1995 - Metode pengujian jumlah total bakteri
golongan koli dalam air dengan tabung
fermentasi
113. SNI 04-0227-2003 - Tentang Tegangan Standar.
114. SNI 19-3964-1994 - Metode pengambilan dan pengukuran
contoh timbulan dan komposisi sampah
perkotaan
115. SNI 19-3241-1994 - Tata cara pemilihan lokasi tempat
pembuangan akhir sampah
116. SNI 06-2548-1991 - Metode pengujian diameter luar pipa PVC
untuk air minum dengan jangka sarong,
117. SNI 06-2549-1991 - Metode pengujian kekuatan pipa PVC
untuk air minum terhadap tekanan
hidostatik,
118. SNI 06-2550-1991 - Metode pengujian ketebalan dinding PVC
untuk air minum,
119. SNI 06-2551-1991 - Metode pengujian bentuk dan sifat tampak
pipa PVC untuk air minum,
120. SNI 06-2552-1991 - Metode pengambilan contoh uji pipa PVC
untuk air minum,
121. SNI 06-2553-1991 - Metode pengujian perubahan Panjang pipa
PVC untuk air minum dengan uji tungku,
122. SNI 06-2554-1991 - Metode pengujian ketahanan pipa PVC
untuk air minum terhadap metilen
khlorida,
123. SNI 06-2555-1991 - Pipa PVC untuk air minum, metode
pengujian kadar PVC dengan TFH,
124. SNI 06-2556-1991 - Metode pengujian diameter luar pipa PVC
untuk air minum dengan pita meter,
125. SNI 03-1977-1990 - Spesifikasi koordinasi modular bangunan
rumah dan gedung
126. SNI 03-1728-1989 - Tata Cara Pelaksanaan Mendirikan
Bangunan Gedung

Jimmy S. Juwana 709


127. SNI IEC 62561-4:2012 - Komponen Sistem Proteksi Petir
128. SNI-IEC-60432:2010 - Sistem konduit untuk manajemen
kabel – diameter luar konduit untuk
instalasi listrik dan ulir untuk konduit
dan fitting
129. SNI-ISO-17613-1:2012 - Pompa yang dioperasikan secara
manual untuk air minum
- Pemilihan dan penerimaan
130. SNI ISO 45001:2018 - Standar Sistem Manajemen
Keselamatan dan Kesehatan
Kerja (SMK3)
131. PtT-01:2000-C - Tatacara pemeriksaan bangunan pasca
kebakaran,
132. PtT-15:2002-C - Penerapan drainase berwawasan
lingkungan di kawasan permukiman,
133. PtS-09:2000-C - Spesifikasi cubluk kembar,
134. PtS-04:2000-C - Spesifikasi bak penampungan air hujan
untuk air bersih dari ferro semen
135. PdT-11:2005-C - Pemeriksaan keselamatan kebakaran
bangunan gedung,
136. PdS-02:2004-C - Spesifikasi sarana umum mandi kakus \
prefab
137. SNI IEC 62305-1:2013 Proteksi terhadap petir - Bagian 1:
Prinsip umum
138. ISO 5149-1:2014 - Refrigerating systems and heat pumps
139. ISO 5149-1:2014 - Refrigerating Systems and Heat Pumps -\
Safety and Environmental Requirements-
Part 1: Definitions, Classification and
Selection Criteria.

AIR MINUM

1. SNI 03-2916-1992 - Spesifikasi Sumur Gali untuk Sumber Air


Bersih,
2. SNI 03-4818-1998 - Spesifikasi Pipa Beton Berlubang untuk
Saluran Drainase dalam Tanah,
3. SNI 19-6774-2002 - Spesifikasi Pipa PVC untuk Saluran Air Minum,
4. SNI 0084:2002 - Pipa PVC untuk saluran air minum
5. SNI 6773:2008 - Spesifikasi unit paket instalasi pengolahan air
6. SNI 6775:2008 - Tata Cara Pengoperasian Dan Pemeliharaan
Unit Paket Instalasi Pengolahan Air
7. SNI 6775:2008 - Tata Cara Pengoperasian Dan Pemeliharaan
Unit Paket Instalasi Pengolahan Air

Jimmy S. Juwana 710


8. SNI 2830:2008 - Menghitung Muka Air
9. SNI 2418.2:2009 - Pengukuran Aliran Air dalam Saluran Tertutup
untuk Meter Air Minum Bagian 2 :Persyaratan
Pemasangan Meter Air Minum
10. SNI 7509:2011 - Tata Cara Perencanaan Teknik Jaringan
Distribusi dan Unit Pelayanan Sistem
Penyediaan Air Minum
11. SNI 7508:2011 - Tata Cara Penentuan Jenis Unit Instalasi
Pengolahan Air Berdasarkan Sumber Air Baku
12. SNI 4829.1:2012 - Sistem Perpipaan Plastic-Pipa Polietilena (Pe)
dan Fitting Untuk Sistem Penyediaan Air
Minum-bagian 1: Umurri,
13. SNI 4829.2:2012 - Sistem Perpipaan Plastic-Pipa Polietilena (Pe)
dan Fitting untuk Sistem Penyediaan Air
Minum Bagian 2: Pipa
14. SNI 4829.3:2012 - Sistem Perpipaan Plastic-Pipa Polietilena (Pe)
dan Fitting untuk Sistem Penyediaan Air
Minum Bagian 3: Fitting
15. SNI 4829.5:2012 - Sistem Perpipaan Plastic-Pipa Polietilena (Pe)
dan Fitting untuk Sistem Penyediaan Air
Minum Bagian 5: Kesesuaian Penggunaan
dalam Sistem,
16. SNI 7829:2012 - Standar Bangunan Pengambilan Air Baku
Untuk Instalasi Pengolahan Air Minum
17. SNI 7839:2012 - Tata Cara Pengendalian Mutu Pembangunan
Instalasi Pengolahan Air Minum
18. SNI 7831:2012 - Perencanaan sistem penyediaan air minum
19. SNI 8456:2017 - Sumur dan parit resapan air hujan,
20. SNI 2547:2019 - Spesifikasi Meter Air Minum
21. SNI DT-91 0005:2007 - Spesifikasi Unit Paket Instalasi Pengolahan
Air

ABALISA HARGA SATUAN PEKERJAAN

1. SNI 2835:2008 - Tata Cara Perhitungan Harga Satuan


Pekerjaan Tanah Untuk Konstruksi Bangunan
Gedung Dan Perumahan
2. SNI 6897:2008 - Tata Cara Perhitungan Harga Satuan
Pekerjaan Dinding Untuk Konstruksi
Bangunan Gedung Dan Perumahan
3. SNI 7394:2008 - Tata Cara Perhitungan Harga Satuan
Pekerjaan Beton Untuk Konstruksi Bangunan
Gedung Dan Perumahan
4. SNI DT91-0009:2007 - Tata Cara Perhitungan Harga Satuan

Jimmy S. Juwana 711


Pekerjaan Dinding
5. SNI DT91-0010:2007 - Tata Cara Perhitungan Harga Satuan
Pekerjaan Plesteran
6. SNI DT91-0011:2007 - Tata Cara Perhitungan Harga Satuan
Pekerjaan Kayu
7. SNI DT91-0012:2007 - Tata Cara Perhitungan Harga Satuan
Pekerjaan Penutup Lantai & Dinding
8. SNI DT91-0013:2007 - Tata Cara Perhitungan Harga Satuan
Pekerjaan Langit-langit
9. SNI DT91-0014:2007 - Tata Cara Perhitungan Harga Satuan
Pekerjaan Besi dan Aluminium
10. SNI 03-2836-2008 - Tata cara perhitungan harga satuan
pekerjaan pondasi

FUNGSI BANGUNAN

1. SNI 03-3646-1994 - Tata cara perencanaan Teknik


bangunan gedung stadion
2. SNI 03-3647-1994 - Tata cara perencanaan Teknik bangunan
gedung olah raga
3. SNI 03-3427-1994 - Tata cara perencanaan Teknik bangunan
kolam renang
4. SNI 03-1730-2002 - Tata cara perencanaan bangunan gedung
sekolah menengah Umum
5. SNI 03-7046-2004 - Terminal penumpang bandara udara
6. SNI 03-7047-2004 - Termina kargo bandara udara
7. SNI 8788:2019 - Pusat Data di Indonesia
8. SNI 8152 : 2021 - Pasar Rakyat

NFPA

1. NFPA 20 : 2019 - Standard for The Instalasion of Stationary


Pumps for Fire Protection
2. NFPA 25 : 2020 - Standard for The Inspection, Testing, and
Maintenance of Water-Based Fire Protection
System

I. Surat Edaran

1. Surat Edaran Direktorat Jenderal Cipta Karya Nomor 47 Tahun 2020


tentang Petunjuk Teknis Standardisasi Desain dan Penilaian
Kerusakan Sekolah dan Madrasah,
2. Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Pekerjaan
Nomor 18 Tahun 2020 - Pelaksanaan Tatanan dan Adaptasi

Jimmy S. Juwana 712


Kebiasaan Baru (New Normal) dalam Penyelenggaraan Jasa
Konstruksi,

J. Standar dan Buku Manual Pabrikan


Berisi manual pemeliharaan dan pengoperasian dari peralatan yang
terpasang di dalam bangunan gedung, merupakan kelengkapan yang
menyertai pembelian peralatan dan biasanya disertai juga dengan
kartu garansinya.

K. Syarat Dokumen SLF (Sertifikat Laik Fungsi)

Kontraktor bersama Konsultan Manajemen Konstruksi (MK)


mempersiapkan dan memeriksa dokumen SLF sesuai yang
dipersyaratkan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat Nomor 27 Tahun 2018 yang mana dokumen SLF
tersebut diserahkan kepada Pemberi Tugas sebanyak minimal 3 (tiga)
set.

Jimmy S. Juwana 713


LAMPIRAN 2
DAFTAR PROFIL BAJA

Jimmy S. Juwana 714


Jimmy S. Juwana 715
LAMPIRAN 3
DAFTAR FAKTOR TEKUK BAJA

Jimmy S. Juwana 716


Jimmy S. Juwana 717
LAMPIRAN 4
DAFTAR NILAI KEMUDIAN (FUTURE VALUE) DARI 1

Jimmy S. Juwana
718
LAMPIRAN 5
DAFTAR NILAI KEMUDIAN (PRESENT VALUE) DARI 1

Jimmy S. Juwana
719
LAMPIRAN 6
DAFTAR NILAI 1 PERTAHUN

Jimmy S. Juwana
720
LAMPIRAN 7
DAFTAR DANA PEMBAYARAN TAHUNAN
(ANNUAL SINKING FUND) NILAI 1 PERTAHUN

Jimmy S. Juwana
721
LAMPIRAN 8
DAFTAR JUMLAH NILAI SEKARANG (PRESENT VALUE) DARI 1

Jimmy S. Juwana
722
LAMPIRAN 9
DAFTAR FAKTOR PEMULIHAN MODAL
(CAPITAL RECOVERY FACTOR) DARI 1

Jimmy S. Juwana
723
INDEKS
3
3D Graphene, 670, 671

A
AC Package, 219
AC sentral, 365
AC split, 219
acak, 44, 70, 463, 630
administrasi, 20, 522
aerator, 598
Aerographite, 671
AHU, 83, 96, 217, 224, 225, 260, 263, 265, 365
air, 11, 18, 56, 57, 83, 103, 115, 120, 131, 161, 165, 168, 176, 199, 210, 211, 213, 216, 217, 220,
223 - 227, 229, 236, 258, 259, 264, 265, 269, 279 - 283, 286, 310, 312 - 314, 316, 317, 319,
321 - 323, 326, 328, 334 - 340, 342, 343, 345 - 349, 353 - 355, 360, 361 - 370, 372, 408, 421,
433 - 435, 443, 444, 450, 458, 463 - 474, 476, 477, 479, 480, 487 - 492, 495, 502 - 505, 522 -
524, 534, 550, 556, 574, 580, 590, 591, 594, 596, 597, 659, 600, 603, 607, 609, 614, 621,
626, 628 - 630, 641 - 648, 650, 654, 658, 660, 663, 665, 667, 670, 671, 674, 678 - 700, 704 -
711
air buangan (grey water), 18, 336
air handling unit (AHU), lihat AHU
air kotor (black water), 469, 642
air sejuk, 223, 224, 225, 337, 354
akses, 41, 52, 82, 86, 87, 95, 96, 180, 277, 278, 280, 283 - 285, 288, 289, 291, 297, 298, 355,
375, 383, 388 - 398, 500, 622, 651
aktif, 72, 82, 213, 291, 312, 316, 350, 385, 395, 417, 429, 441, 549, 651, 652, 669
alarm, 1, 329, 330, 392, 394
alarm kebakaran, 383, 392, 393, 406, 408, 706
alat plambing, 355, 360, 361, 362
albedo, 628, 629
aliran air permukaan, 464
aluminium foam, 676
aluminium transparan, 671, 672
analisis titik impas, 529, 531, 540, 610
analog, 382, 400, 402, 406
analog, 401, 407, 704
angin, 13, 18, 49, 70, 99, 100, 101, 115, 121, 122, 123, 124, 131, 143, 173, 176, 244, 312, 374,
486, 591, 639, 647
apartemen, 11, 20, 21, 32, 43, 65, 120, 177, 181, 182, 184, 186, 188, 189, 190, 191, 210, 239,
296, 302, 320, 359, 363, 364, 366, 367, 371, 398, 444, 517, 520, 523, 532, 533, 540, 632
Apartemen Taman Anggrek, 11
APD, 580, 581, 582, 589
api, 25, 27, 40, 115, 197, 201, 267, 268, 269, 270, 271, 273, 274, 276, 277, 279, 281, 282, 283,
293, 299, 300, 301, 303, 309, 311, 312, 313, 314, 319, 321, 324, 365, 386, 396, 408, 473,
549, 582, 659, 663, 672, 706, 708
Artha Graha, 11
arus cahaya, 427, 428
asap, 213, 271, 283, 286, 293, 295, 297, 299, 300, 301, 311, 354, 423, 482, 649, 704, 705, 707
atrium, 73, 75, 171, 290, 300 - 303, 326, 330, 704

Jimmy S. Juwana 724


B
bagan, 2, 257, 258, 260, 562, 596, 660
bagan alir, 2, 562
Bahan, 46, 102, 105, 212, 213, 217, 246 - 248, 264, 270, 277, 318, 320, 351, 460, 466, 495, 518,
519, 579, 587, 600, 601, 603, 611, 654, 656, 658, 659, 672 - 678, 686, 694 - 696, 699, 701
bahan baja, 155, 157
bahan struktur, 519
bahaya, 52, 271, 273, 274, 276, 277, 283, 311, 321, 322, 328 - 331, 394, 457, 578 - 580, 585,
586, 696, 697, 706, 707
bahaya api, 13, 270, 271, 303, 415, 582
bahaya kebakaran, 269, 271, 338, 522
baja, 6, 101 - 103, 120, 139, 151, 155 - 157, 160, 166, 206, 228, 269, 277, 308, 309, 338, 460,
461, 495, 557, 565, 646, 670, 672, 704, 708
balik, 3, 225, 374, 649, 664
balok, 34, 36, 46, 86, 92, 93, 99, 100 - 102, 107, 108, 149, 151, 152, 155, 160, 228, 277, 327,
557, 566
balok beton, 228
bangunan, 1 - 15, 17 - 20, 24 - 36, 38, 39, 40 - 57, 59, 60, 61, 65, 67, 68, 70 - 75, 77, 79, 80, 81,
88, 91 - 93, 95 - 97, 99, 100 - 105, 108, 112 - 115, 119, 120 - 124, 130, 131, 138, 140, 141,
143, 144, 145, 147 - 150, 157, 160, 161, 163 - 166, 168 - 173, 176, 177, 179 - 181, 183, 184,
186, 189 - 191, 200, 201, 204, 206 - 208, 210, 211, 215 - 218, 228, 230 - 232, 237 - 239, 243 -
249, 252, 255, 257, 260, 263, 264, 267 - 271, 273 - 280, 282 - 284, 286 - 293, 296, 299 - 301,
303 - 305, 307, 310, 312 - 314, 321 - 324, 326, 327, 329 - 331, 334, 335, 337, 339, 341, 343,
346, 349, 351, 352, 353, 355, 362, 364, 365, 367, 371, 372, 380, 384, 385, 387 - 392, 396,
397, 399, 404, 406 - 408, 412 - 414, 416, 419, 421, 422, 429, 432, 435, 440, 443, 448 - 451,
454 - 459, 461, 463, 467, 470, 474, 476, 477, 479, 483, 490, 494, 499 - 505, 508 - 525, 527,
529, 530 - 534, 536, 537, 540, 543, 545, 546, 548 - 551, 554, 555, 558 - 561, 567, 571, 572,
574, 575, 577, 588, 589, 591 - 596, 599, 601, 604 - 607, 609 - 611, 614, 616 - 618, 620 - 624,
628, 631 - 635, 640, 642, 643, 646, 648, 650, 652, 653, 656, 661 - 667, 669 - 672, 674, 677,
680, 694, 700, 704 - 710, 712
bangunan gedung hijau, 51, 56, 575, 592, 633
Bank of China, 8, 10, 75, 76
barang, 77, 80, 82, 120, 168, 177, 179, 185, 189, 190, 191, 194, 199, 208, 216, 269, 275, 276,
291, 299, 430, 442, 458, 553, 588, 599
base isolation, 57
bata penyerap polutan, 677
beban, 11, 13, 47, 48, 49, 53, 56, 65, 70, 99, 100, 101, 103, 106, 107, 112, 114, 115, 120 - 122,
124, 137, 140 - 145, 150, 158, 160, 164, 165, 169, 173, 176, 180, 206, 207, 232, 234, 239,
240, 242, 243, 257, 260, 261, 263, 303, 308, 360 - 362, 369, 431, 443, 470, 492, 495, 530,
532, 549, 553, 566, 579, 593, 594, 608, 611, 631 - 633, 655, 699
beban angin, 115
beban gempa, 11, 48, 115, 122, 141, 144, 160
beban hidup, 115
beban pendingin, 234, 239, 242, 243, 260, 261, 263, 443, 549, 576, 593, 594, 608, 631, 632
beban puncak, 180
bersama, 296, 297, 298, 389, 452, 553, 713
bersih, 11, 18, 23, 70, 181, 225, 228, 334 - 340, 349, 355, 360, 366, 372, 425, 437, 463, 466,
469, 471, 524, 587, 591, 597, 600, 622, 641, 643, 645, 667, 708, 710
bertekanan, 236, 293, 294, 314, 318, 319, 337, 343, 579, 706 - 708
besaran cahaya, 427

Jimmy S. Juwana 725


beton, 6, 101 - 103, 106 -108, 120, 139, 151, 155 - 157, 160, 161, 166, 228, 253, 269, 454, 458,
491, 492, 494 - 497, 503, 505, 518, 519, 557, 558, 559, 561, 562, 564 - 567, 599, 646, 663,
667, 670, 673, 674, 694 - 700, 708
beton bertulang, 107, 108, 120, 151, 155, 160, 161, 166, 269, 458, 518
beton pracetak, 102, 103, 177, 559, 562, 564
beton pra-tegang, 108
biaya, 508, 509, 510, 511, 513, 514, 518, 520, 521, 522, 523, 524, 529, 532, 533, 534, 552, 554,
577, 595, 603 - 612, 614, 616, 674, 690
biaya investasi, 20
biaya konstruksi,, 509, 512
biaya standar, 513, 515
biaya tidak langsung,, 525
biaya tidak tetap, 529
BIM, 52, 554, 571, 572 - 577, 589, 590, 599
blind spot, 403, 407
blok, 40, 496 - 498, 505, 693, 694
boiler,364
bruto, 19, 20, 24, 35, 65, 189, 191, 245, 525, 531
buang, 481, 646, 663
buangan, 18, 334, 336, 338, 339, 345, 348, 349, 354, 368, 369, 466, 469, 486, 600, 643, 663,
667
building related illness, 215
bujur sangkar, 40, 80, 97, 156, 161

C
cahaya, 38, 53, 70, 243, 245, 246, 254, 267, 298, 374, 389, 422, 426, 427, 428, 429, 432 - 435,
437, 439, 440, 550, 579, 594, 632, 633, 635, 666, 668 - 670, 673, 674, 676
cahaya alami, 70, 243, 550, 632, 668 - 670, 673, 676
Central Plaza, 9, 10, 41, 42
Century Tower, 75, 76
chart, 260, 633
chiller, 56, 224, 225, 257, 260, 264, 365, 593
chute system, 305
Commerzbank, 10
concealed sprinkler, 326
condenser, 227
cooling tower, 217, 264, 365, 642

D
dangkal, 464
dasar, 1, 3, 8, 19, 26, 27, 30, 31, 49, 67, 70, 73, 81, 86, 88, 96, 97, 140, 144, 145, 147, 149, 150,
168, 172, 173, 177, 179, 180, 190, 193, 208, 218, 247, 274, 276, 289, 292, 302, 305, 318, 321
- 323, 326, 335, 394, 449, 466, 469, 513, 515, 516, 519, 525,526, 529, 531, 557, 572, 608,
615, 623, 638, 639, 651, 652, 695
data, 26, 66, 130, 181, 183, 192, 230, 269, 386 - 390, 399, 405, 423, 471, 474, 475, 519, 531,
550, 575, 605, 606, 610, 639, 649
daur hidup, 3, 509, 510 - 512, 543, 574, 591, 592, 603, 612, 616
daur ulang, 334, 355, 464, 469, 591, 592, 600, 641 - 643, 655, 656, 663, 667
design & build, 551, 554, 589
destination dispatching system, 639

Jimmy S. Juwana 726


detektor, 310 - 312, 329, 330, 392, 393, 394, 396
detektor asap, 310, 312, 329
diagram isometrik, 345
digital, 398, 401, 402, 405, 407, 683
dilatasi, 24, 113
dimensi, 18, 34, 36, 47, 50, 56, 86, 92, 100 - 103, 108, 112, 150, 155, 156, 160, 165, 166, 180,
192, 195, 233, 261, 290, 297, 371, 375, 395, 471, 477, 479, 549, 561, 562, 571, 574, 633,
661, 708
dimensi struktur, 150
dinding geser, 101, 156
dingin, 17, 217, 218, 220, 225, 229, 231, 234, 237, 239, 300, 334, 337, 339, 354, 361, 363, 366,
435, 594, 596
distribusi, 152, 158, 325, 413, 421, 434, 438, 439, 449, 524, 711
distribusi cahaya, 429, 439
double decker, 172, 173, 180, 199, 208
drainase, 492, 502, 503, 550, 622, 630, 704, 710
dua arah, 46, 59, 113, 153, 285
ducting, 46, 72, 219, 223, 225, 231, 264
dumbwaiter, 194, 195, 197, 209, 291

E
efisiensi energi, 39, 633
ekspres, 185, 208
elektro magnetik, 422
elektroda, 450, 452, 453, 454, 678
eliminate toxics, 592
Empire State, 8, 10
energi, 237, 258, 265, 266, 448, 462, 593, 595, 596, 605, 608, 616, 618, 631, 633, 640, 659, 660,
668, 681 - 683, 694, 703 - 05, 7098
energi terbarukan, 374, 408, 640
entropi, 236
eskalator, 92, 197, 198 - 200, 202, 203, 578, 689, 690, 708
evacuator, 308, 332
evakuasi, 48, 49, 53, 84, 95, 96, 168, 173, 174, 267, 283, 284, 304, 305, 308, 310, 314, 330, 385,
549, 575
evaporator, 220, 222, 226, 236
evaporator, 236

F
faktor tekuk, 157, 158
fan coil, 260
faraday, 450, 455, 459
fasad,, 667, 675
FCC, 279, 330
Federal Reserve Bank, xxii, 72, 73
filter, 230, 261, 343, 469, 471, 482, 494, 593, 628, 667, 675, 677, 703
finial, 455
First Interstate Bank, 8
fitur, 334, 346, 383, 388, 598, 643
Flatiron, 7

Jimmy S. Juwana 727


fleksibel, 494, 495
fluoresen, 432, 433, 434, 594
focus on quality, 593
fondasi, 56, 99, 102 - 104, 120, 142, 143, 161 - 166, 453, 454, 520, 548, 556, 558, 565, 588
freon, 220, 221, 235
full addressable, 392, 393

G
Gamma, 425, 646
gas,, 212, 217, 335, 342, 458, 481, 592
Gaya, 93, 101, 132, 135, 136, 139, 150, 156
gedung, 1 - 13, 15, 19 - 21, 25, 26, 28 - 31, 40 - 45, 52 - 54, 58, 59, 65, 68, 69, 71, 72, 73, 77,
108, 112, 113, 120, 121, 130, 131, 140, 151, 166, 167, 180, 182, 184, 186 - 189, 191, 208,
209, 239, 245, 264 - 266, 274, 276 - 278, 289, 296, 304, 326, 331, 351, 363, 364, 366, 367,
370 - 372, 391, 407, 438, 448, 449, 454, 462, 505, 507, 513 - 515, 517, 518, 523, 533, 543 -
546, 589, 593, 615, 616, 620, 631, 634, 637, 641, 642, 644, 648, 654, 661, 680 - 683, 685 -
690, 692, 694, 695, 696 - 708, 710, 711
gedung hijau, 51, 56, 575, 591, 616, 617, 620, 622, 628, 632, 664, 665
gelombang, 389, 394, 395, 398, 422, 423, 425, 426, 492, 629, 630
gempa, 11, 13, 44, 47, 48, 56, 57, 70, 99, 100, 101, 115, 122, 124 - 128, 130 - 132, 137 - 141,
143 - 145, 150, 160, 161, 164, 165, 173, 176, 267, 329, 549, 575, 672
geser, 20, 99 - 101, 107, 122, 137, 139, 140, 144, 145, 149, 151, 155, 156, 158, 160, 165, 166,
700
gondola, 206, 207
grass block, 496
gravitasi, 99, 165, 189, 337, 341, 361, 471
Grosvernor, 73

H
halogen, 432, 433
hard standing, 278, 330
heat island effect, 601
helikal, 203
helixator, 204, 209
hemat, 112, 210, 222, 244, 355, 390, 408, 594, 634, 642
hidran, 279 - 283, 312, 313, 323, 324, 329, 331, 338, 339, 365, 366, 394, 549, 708
hidrolik, 168, 169, 308, 594
hidup, 3, 99, 115, 120, 137, 212, 272, 425, 449, 463, 472, 509 - 512, 543, 574, 591, 592, 601,
603, 608, 609, 612, 616, 670
hijau, 57, 246, 247, 318, 424, 463, 477, 483, 487, 491, 591, 601, 615, 616, 618, 620, 629, 630,
664, 665, 675
Hirarki, 580, 581
horizontal, 19, 23, 38, 70, 71, 93, 99 - 101, 108, 112, 115, 122, 140, 143, 148 - 151, 231, 244,
249, 252, 254, 260, 284, 300, 338, 375, 451, 477, 479, 633
hotel, 11, 20 - 23, 37, 41, 42, 63, 65, 66, 69, 121, 182, 184, 186 - 189, 191, 232, 239, 260, 296,
359, 363, 364, 366, 367, 370, 371, 430, 438, 441, 448, 517, 520, 533, 636, 637, 641, 653, 655
hujan, 120, 334, 337, 338, 354, 372, 416, 423, 451, 463, 464, 467, 469 - 479, 492, 503, 505, 523,
550, 570, 601, 615, 622, 628, 630, 643, 644, 646, 647, 667, 705, 708, 710, 711
hydro Wall, 667
hydroceramics, 676, 689

Jimmy S. Juwana 728


I
infra merah, 211, 389, 394, 395, 399, 403, 404, 423, 433, 434, 678
inovasi, 616, 665, 680
Instalasi, 337, 377, 384, 408, 413, 414, 419, 457, 458, 462, 514, 689, 704, 705, 707, 711, 712
intensitas, 19, 25, 26, 144, 425, 427, 428, 578, 635
intensitas cahaya, 427, 428, 635
interlevel connection, 47, 178, 179
internet, 375, 376, 400
inti, 40 - 45, 48, 70 - 75, 77, 79, 81- 87, 89 - 91, 95, 119, 160, 518, 697, 699
investasi, 1, 3, 20, 509, 512, 525, 527, 529 - 532, 536, 537, 539, 543, 596, 605, 608 - 611, 615,
616
ionisasi, 311, 643

J
jalur, 42, 48, 59, 71, 72, 84 - 86, 93, 150, 174, 197, 199, 278, 285, 290, 297, 298, 299, 378, 419,
449, 463, 494, 499, 500, 505, 549 - 551, 571, 575, 622, 674
jarak bebas, 25 - 28, 150, 261, 274
jaringan, 2, 18, 25, 70, 72, 83, 93, 150, 216, 230, 231, 281, 283, 314, 316, 317, 323, 328, 331,
334, 335, 338, 339, 345, 355, 372, 375, 376, 378, 381, 382, 385, 387 - 390, 396, 399, 400,
402, 408, 409, 411, 414, 419, 448, 449, 461, 466, 502, 597, 622, 630, 633, 640, 700, 704
jejak air, 659, 661
jejak karbon, vi, 575, 655, 658, 660, 665
Jin Mao, 9, 10
John Hancock, 8
jumlah lampu, 428
jumlah lif, 79 - 81, 176, 182, 189, 204, 208, 532
jumlah sambungan, 380, 388

K
kabel,, 461
kaku, 139, 495, 496
kamera CCTV, 376, 399, 402, 407, 550
kamera infra merah, 404
kantor, 24, 25, 120, 121, 182, 184, 186 - 189, 191, 239, 241, 363 - 366, 386, 438, 448, 517, 520,
533, 637, 638, 641, 654
kapasitas lif, 186, 189, 190, 443
kapsul, 73, 171, 173
kasat mata, 422
keamanan, 11, 32, 52, 53, 56, 73, 329, 384, 389, 390, 392, 394, 403, 404, 406, 408, 456, 524,
534, 550, 597, 623
kebakaran, 6, 13, 24, 27, 47, 48, 49, 53, 75, 95, 99, 131, 173, 176, 267 - 274, 276 - 294, 298 -
300, 304, 306, 310 - 314, 316, 319 - 323, 326, 327, 329 - 331, 335, 338, 365, 366, 372, 383,
385, 392 - 394, 406, 408, 415, 443, 449 - 501, 522, 549, 550, 575, 622, 705 - 710
kebutuhan, 18, 23, 50, 53, 65, 67, 97, 144, 150, 176, 180, 185, 192, 199, 204, 217, 218, 222,
227, 239, 260, 261, 263, 264, 275, 276, 281, 282, 305, 336, 339, 355, 360, 362, 364, 366,
367, 370, 372, 374 - 376, 379, 388, 444, 445, 457, 461, 471, 523, 532, 610, 615, 623, 650,
664, 667
kebutuhan air, 339, 355, 360, 364, 366, 367, 370, 372, 444
kebutuhan daya, 444, 461

Jimmy S. Juwana 729


kecelakaan, 271, 578 - 580, 583, 587, 588, 599
kecepatan lif, 186, 189
kelembapan relatif, 216, 258, 260, 654
kembar, 8, 174, 710
kenyamanan termal, 53
kenyamanan visual, 11, 13, 615, 652
keselamatan, 12, 24, 53, 168, 180, 267, 283, 290, 304, 387, 390, 392, 449, 534, 574, 578, 591,
599, 674, 708, 710
kinerja, 12, 14, 15, 70, 165, 304, 548, 552 - 554, 574, 575, 585, 608, 611, 620, 664, 665, 706,
708
Kingdom Center, 9
koefisien, 20, 22, 24, 25, 66, 124, 128, 139, 164, 236, 245, 250, 254, 477 - 479, 515, 629 - 631
kolom, 20, 32, 36, 45, 73, 86, 92, 99 - 102, 106, 108, 113, 149, 155, 156, 158, 160, 162, 163,
165, 166, 277, 327, 475, 483, 557, 565, 653
komersial, 218, 274, 275, 369, 370, 499, 529, 575
komposit, 102, 156, 166, 518
kompresor, 210, 218, 220, 225, 236, 237, 694
komputer, 6, 191, 255, 367, 387, 388 - 390, 399, 409, 419, 423, 429, 441, 444, 479, 517, 540,
571, 574, 597, 606, 612, 634 - 636, 653, 660
komunikasi, 11, 131, 387, 388 - 390, 406, 408, 461, 550, 572, 579, 622
kondensor,, 236
konduksi,, 269, 277
konfigurasi, 17, 31, 40, 49, 70 - 72, 77, 97, 113, 164, 174, 181, 201, 385
konseptual, 584
konservasi, 18, 212, 334, 354, 574, 591, 593, 610, 644, 665
konservasi air, 334, 354, 610, 644
konstruksi, 2, 3, 6, 12, 17, 20, 40, 51, 52, 73, 99, 115, 119, 120, 249, 253, 276, 335, 336, 355,
391, 432, 451, 452, 457, 458, 494, 495, 505, 508, 509, 511 - 514, 518 - 520, 525, 526, 529,
531, 532, 534, 543, 546, 551 - 555, 559, 560, 564, 566, 571 - 574, 578, 579, 582, 585, 586,
589, 591, 599, 600, 605, 608, 615, 652, 656, 661 - 664, 669, 674, 679, 680, 693, 705, 708
konstruksi berkelanjutan, 591, 615, 618, 680
konstruksi tahan api, 276, 708
konsumsi air, 355, 641
konsumsi energi, 210, 408, 594, 606, 634, 668
konveksi, 269
konvensional, 17, 108, 222, 381, 383, 385, 398, 406, 450, 492, 551, 565, 576, 597, 616, 638,
639, 647, 661, 670
kotak filter, 469, 472, 473
kotak P3K, 587, 588
kotor, 18 - 21, 23 - 25, 194, 335, 336, 338, 345, 346, 348, 349, 354, 368, 371, 372, 429, 466, 469,
472, 592, 600, 643, 644
kristal nano, 676
kuat, 6, 99, 132, 160, 282, 298, 416, 417, 418, 427- 429, 436, 550, 587, 667, 670 - 673, 676, 694,
695, 698, 700
kuat cahaya, 298, 427, 428, 550, 666
kulit bangunan, 239, 243, 255, 264
kunci, 52, 308, 397, 398, 406
kurva ‘S’, 521, 551, 567, 568, 589

L
lahan, 1, 6, 9, 25, 26, 31, 56, 67, 103, 165, 372, 463, 500, 515, 522, 523, 531, 532, 555, 601,
605, 616, 617, 622, 629, 705

Jimmy S. Juwana 730


laminated timber, 673
lampu, 241, 298, 394, 408, 428, 432 - 437, 440, 501, 551, 594, 597, 634, 635, 650, 652, 666, 667
lampu LED, 436, 666, 667
LAN, 376, 387, 389
Landmark, 9, 10
langsung, 36, 45, 102, 161, 211, 223, 269, 275, 289 - 291, 298, 299, 322, 327, 334, 337, 370,
388, 429, 439, 449, 463, 467, 472, 476, 495, 525, 532, 545, 553, 560, 570, 600, 646, 695, 700
lansekap, 463, 483, 550, 551, 572, 629, 664
lantai, 7, 8, 10, 11, 19, 21, 23 - 27, 30 - 33, 35 - 37, 40, 43, 47 - 49, 52, 54, 58 - 60, 65, 67, 70,
71, 73 - 75, 79 - 88, 91, 92, 96, 97, 99, 101, 105, 107, 108, 115, 119, 120, 140, 144, 149, 150,
153, 158, 160, 165, 166, 168 - 170, 172, 173, 176, 177, 179 - 181, 184, 186, 187, 189 - 191,
193, 194, 197, 199, 200, 204, 206, 208, 221, 228, 230, 231, 242, 260, 263, 267, 269, 273,
276, 277, 282, 285, 286 - 292, 299, 300, 301- 305, 306, 312 - 314, 321, 323, 324, 326, 327,
329, 338, 339, 348, 352, 353, 358, 367, 369, 371, 394, 395, 397, 413, 419, 443, 444, 515,
518, 519, 525, 529, 531, 532, 534, 535, 558, 565 - 567, 594, 599, 605, 611, 635, 638, 639,
650, 652, 671, 674, 708
lantai bruto, 35, 65, 189, 191, 525, 531
lantai dasar, 8, 19, 26, 27, 30, 31, 49, 70, 73, 81, 86, 88, 96, 97, 144, 168, 172, 173, 177, 179,
180, 190, 193, 208, 289, 292, 302, 305, 323, 326, 394, 515, 558, 638, 639
lantai dasar,, 27, 70, 86, 292, 323, 326, 394, 515, 639
lantai netto, 529, 531
lateral, 70, 92, 99, 100, 108, 137, 140, 164, 165, 176, 566
laut, 122, 281, 464, 465, 470, 471, 487, 625, 626, 643, 644, 676
layanan, 7, 22 - 25, 56, 77 - 80, 97, 168, 176, 181, 199, 208, 387, 389, 524, 529, 549, 554, 591,
609, 623, 634, 656
lease span, 36, 228
leasing space, 85, 86
lebar tangga, 205
LED, 435, 436 - 438, 666, 667
lemak, 348, 466
level of development, 575
lif, 7, 24, 48, 53, 54, 73, 74, 77- 82, 88, 92, 94 - 97, 168 - 174, 176, 177, 179 - 194, 197, 199, 200,
204, 208, 284, 286, 288 - 291, 294, 300, 304, 305, 310, 419, 442, 443, 461, 522, 549, 594,
597, 634, 636, 638, 639
life, 2, 3, 141, 165, 168, 509, 574, 592, 603, 656
light generating concrete, 673, 674
limbah, 11, 18, 53, 56, 131, 334, 336, 338, 350, 352, 368 - 370, 372, 464 - 466, 471 - 473, 522,
593, 600, 601, 623, 658, 659, 662 - 664, 668, 670, 675, 709
lingkaran, 41, 73, 75, 97, 156, 163, 318, 478
listrik, 11, 18, 25, 50, 56, 131, 168, 170, 197, 205, 206, 214, 263, 267, 280, 290, 314, 318, 323,
326, 342, 393, 408 - 412, 414, 416 - 419, 421, 431, 433, 435, 440, 442 - 445, 449, 450, 452,
458, 459, 461, 520, 532, 534, 550, 559, 579, 593, 606, 622, 633, 639, 640, 653, 660, 665,
666, 668, 673, 674, 678, 710
lobby, 33, 177
lobi, 96, 172, 173, 176, 180, 182, 184, 284, 286, 293, 385
logam, 213, 291, 318, 351, 395, 396, 415, 416, 449 - 452, 454, 458, 464 - 466, 482, 663, 702
luas, 20, 21, 22, 24, 57, 65, 153, 159, 193, 273, 289, 321, 322, 324, 326, 449, 629
lumen, 426, 427, 428, 432, 434, 436, 594
luminasi, 427, 428
lurus, 30, 59, 101, 106, 150, 151, 203, 259, 269, 289, 632

Jimmy S. Juwana 731


M
Macquarie, 9
manajemen konstruksi, 513, 546, 552
manfaat, 2, 18, 32, 34, 39, 55, 97, 208, 267, 310, 312, 423, 436, 469, 483, 497, 505, 509, 553,
589, 593, 607 - 609, 611, 614, 615, 622, 666
master key, 397
mati, 99, 115, 137, 143, 272
melingkar, 174, 203, 454
memanjang, 24, 40, 42, 43, 71, 148, 203, 312, 437, 499
merkuri, 213, 432, 437, 465
metal halida, 432
metode konstruksi,, 12
microwave, 388, 389, 390, 394, 406, 422, 423
mikro, 18, 216, 394, 395, 422, 423, 466, 579, 622, 628, 674
Millenium, 9, 10
Mobile, 378, 559
mobile crane, 558
modular bambu, 672
momen, 100, 101, 106, 107, 122, 139, 140, 149, 151, 155
Montouk, 7
motor traksi, 170, 194, 705
mutu, 6, 12, 22, 103, 157, 160, 165, 166, 210, 211, 214, 215, 260, 264, 335, 343, 432, 463, 465,
471 - 473, 481, 482, 495, 511, 518, 567, 568, 572, 584, 592, 593, 603, 614, 615, 622, 628,
643, 645, 648, 661, 663, 702, 704

N
netto, 19, 20, 65, 461, 529, 531
niaga, 11
nilai kemudian, 527
nilai sekarang, 527, 612
nilai sewa, 524, 529, 535, 536, 538, 540, 543
nirkabel, 390, 400

O
observasi, 80, 81, 86, 173, 176, 177, 425
Olympia Plaza, 9
operasional, 2, 3, 130, 210, 278, 291, 390, 429, 432, 508, 524, 529, 531, 533, 543, 554, 596,
597, 605, 606, 609, 610, 615, 634
optimasi, 3, 469, 567, 575
orang, 6, 10, 15, 20, 48, 50, 53, 56, 60, 66, 67, 80, 82, 84, 95, 96, 97, 131, 141, 168, 171 - 174,
177, 179 - 181, 184, 188 - 191, 193, 197 - 202, 204, 206, 211, 212, 217, 238 - 240, 257, 267,
271 - 275, 283, 285, 292, 297 - 299, 302 - 305, 308 - 310, 312, 314, 355 - 360, 363, 364, 370,
371, 394, 397, 399, 404 - 406, 442, 457, 458, 473, 481, 494, 499, 554, 580, 588, 623, 627,
628, 637, 639, 639, 642, 649, 650, 652 - 654, 663, 668
orientasi, 18, 211, 243, 245, 246, 249, 252, 326, 550, 576
otomatisasi, 390, 391, 408, 635
OTTV, 243 - 245, 249, 251, 255 - 257, 264, 549, 632
OUB, 9

Jimmy S. Juwana 732


P
PABX,, 444
pajak,, 524, 529
panas, 14, 17, 38, 39, 217, 218, 221, 232, 236, 243, 245, 249, 252, 258, 267 - 271, 273, 274,
277, 280, 293, 300, 310 - 312, 329, 334, 337, 339, 342, 354, 361, 363, 364, 366, 395, 404,
416, 422, 423, 425, 433 - 436, 466, 472, 492, 494, 594, 596, 628, 631 - 633, 665, 666, 668,
670, 676, 678
panggilan lif, 640
parameter, 36, 127, 128, 129, 138, 164, 181, 466, 592, 605, 610, 616, 617, 620, 621, 641, 664
parkir, 32, 33, 56 - 61, 65 - 68, 177, 191, 275, 278, 279, 280, 288, 326, 385, 429, 441, 494, 496,
540, 550, 623, 627, 637, 663, 674, 708
pasif, 39, 147, 267, 283, 330, 395, 549, 650, 707
paving block, 494
pelat, 115, 120, 134 - 136, 150, 151, 153, 154, 414, 491, 518, 565, 702
pelindung, 580, 581
peluncur, 96, 305, 307
pemadam, 277, 278, 280, 281, 288, 312, 318, 331, 554, 705, 707
pemanas, 342, 343
pemanas air, 342, 353, 421, 522
pembuangan, 18, 221, 334, 336, 338, 346, 347, 348, 353, 354, 372, 466, 492, 501, 606, 607,
622, 643, 657, 663, 708, 709
pemeliharaan/perawatan, 2, 233, 509, 524, 534, 575, 607, 656
penampang, 120, 149, 156, 157, 160, 162, 163, 261, 417, 418, 451, 456, 477 - 479, 518
penampungan air hujan, 467, 469, 646, 667, 710
pendent sprinkler, 326
pendingin, 131, 210, 217, 218, 222, 225, 227, 234, 239, 242, 243, 260, 261, 263, 264, 339, 353,
361, 366, 369, 370, 443, 549, 593, 594, 608, 631, 632, 642, 676
penerangan, 211, 408, 421, 425, 428, 429, 433 - 436, 440, 461, 514, 550, 598
pengelolaan air hujan, 334, 337, 469, 473, 476, 477, 479, 550, 615, 628
pengembalian, 3, 524, 530, 531, 536, 537, 539, 543, 608, 615
pengembalian investasi, 3, 530, 531, 536, 537, 543, 615
pengendalian, 11, 180, 210, 218, 232 - 234, 244, 260, 267, 278, 301, 303, 316, 323, 326, 330,
387, 390, 398, 534, 553, 554, 564, 567, 568, 574, 579, 580, 584, 586, 597, 599, 631, 641,
704, 708
pengendalian asap, 301, 303, 330, 708
penghantar, 224, 260, 417, 418, 450, 451, 452, 453, 459, 670
pengolah, 11, 225, 350, 708
penyebab, 215, 465
penyebaran api, 6, 268, 269, 277
penyelenggaraan proyek, 508, 545, 546, 551, 554, 589
perabot taman, 483, 501
perancangan, 1, 3, 5, 14, 17, 18, 31, 46, 67, 93, 94, 97, 99, 141, 144, 180, 233, 249, 270, 355,
370, 483, 508, 509, 513, 543, 546, 548, 551, 554, 559, 572, 574, 584, 619, 621, 695, 696, 706
perangkap, 334, 347, 348, 369
perangkap udara, 334, 347
perangkap udara, 347
peraturan, 3, 6, 180, 327, 471, 501, 618, 679
perdu, 503, 601
perhitungan, 21, 23, 65, 150, 167, 180, 181, 219, 355, 362, 474, 476, 477, 513, 520, 521, 529,
532, 595, 609, 661, 703, 711, 712
peringkat, 21, 571, 616 - 618, 620, 620
perkembangan, 14, 15, 217, 375, 382, 406, 532, 564, 571

Jimmy S. Juwana 733


perkerasan, 57, 278, 471, 476, 477, 494, 495, 500, 505, 550
perkerasan kaku, 494, 495
perlengkapan/peralatan, 11, 19, 150, 421, 440, 550
pertokoan, 56, 200, 260, 532, 540
pertolongan pertama, 587, 588
petir, 13, 53, 267, 312, 449 - 457, 459 - 461, 705, 707, 711
Petronas, 8, 10
pijar, 267, 408, 432 - 434, 436, 437, 666
pintu, 52, 54, 57, 80 - 83, 86, 130, 173, 174, 176, 177, 179, 182, 184 - 186, 190, 196, 271, 279,
284 - 286, 289 - 292, 294, 296 - 299, 301 - 304, 313, 330, 397, 398, 399, 404, 550, 559, 587,
623, 706
pintu tahan api, 279, 284, 302
pipa air, 281, 314, 335, 451, 623, 708
pipa ven, 346, 349
plambing, 2, 3, 36, 334 - 337, 354, 355, 360 - 362, 372, 514, 522, 549, 600, 708
plenum, 264
pohon, 57, 92, 449, 481, 483, 486, 487, 500, 503, 505, 602, 623
pohon pelindung, 500, 503, 623
polusi, 14, 17, 465, 481, 483, 486, 592, 623, 659, 681
pompa, 11, 56, 176, 279, 280, 282, 312, 317, 319, 323, 326, 337, 339, 340, 355, 367, 419, 443,
444, 461, 522, 549, 558, 593, 596, 663, 706, 708
potensi kecelakaan, 579, 583
PPG, 8
pra-pabrikasi, 561
produktif, 23, 24, 535
profil, 102, 103, 155, 157, 160, 166, 557, 565, 606, 702
proses,, 131, 545
protect nature, 592
proteksi, 53, 267, 269, 310, 322, 323, 338, 372, 449, 450, 454 - 457, 460, 461, 501, 522, 549,
622, 704, 706 - 708
proteksi kebakaran,, 53, 338, 522
proteksi petir,, 449, 456, 457
proyek, 508, 512, 521, 525, 529, 530, 532, 545, 549, 551 - 554, 568 - 570, 572, 578, 582, 589,
599, 603, 605, 606, 608 - 611, 655, 662, 663
public address, 375, 385

Q
QR Code, 405

R
radiasi, 269, 579
ragam, vi, 6, 205, 219, 432, 434, 551, 578, 599, 661, 670
rambu, 501, 505, 551, 582, 623, 674
recessed sprinkler, 326
recycle, 591, 592
reduce, 591, 592
refrigerant, 217 - 220, 222, 226, 602
refrigerasi kompresi, 218
regulasi, 1, 3, 4, 14, 55, 578, 620 - 622, 664
reuse, 591, 592

Jimmy S. Juwana 734


Rialto Center, 9
risiko, 122, 126, 127, 130, 132, 273, 578 - 581, 585, 586, 686, 691
RKK, 584, 585
RKPPL, 584
RMLLP, 584
RMPK, 584
ROI, 530, 535, 537, 540
roof garden, 490, 491, 505, 629, 680
roof top photovoltaic, 666
roomless, 168, 170
ruang luncur, 82, 86, 168, 173, 174, 193, 196, 290, 300
ruang sewa, 92
ruang, 508, 649
rumah sakit, 24, 61, 181, 194, 210, 260, 290, 338, 351, 353, 364, 367, 370, 386, 425, 437, 444,
458, 512, 515, 519, 532, 643
rumput, 496, 500, 503, 630, 676

S
saluran, 18, 36, 46, 72, 93, 94, 115, 214, 219, 223, 225, 228 - 234, 260, 261, 264, 269, 281, 300,
301, 323 - 338, 347 - 349, 353, 369, 372, 378, 379, 388, 415, 461, 465, 466, 492, 502, 503,
534, 622, 643, 650, 663, 708, 710
sampah, 18, 51, 52, 94, 351- 353, 369, 371, 372, 466, 467, 472, 501, 559, 592, 599, 622, 640,
662, 663, 705, 708, 709
satelit, 388 - 390, 423
satu arah, 46, 59, 93, 152, 153, 285, 435
segitiga, 41, 268, 627
semak, 490, 601
session Initativeprotocol (SIP), 381
set back, 80
sickness building syndrome, 264
silang, 43, 92
sinar, 18, 38, 211, 252, 389, 396, 423, 425, 433, 435, 594, 600, 629, 633, 635, 665, 666, 669,
670, 674, 678
Singer, 7
sirkulasi, 17 - 19, 23 - 25, 27, 54, 59 - 72, 82, 150, 181, 211, 215, 264, 287, 312, 366, 551, 649
sirkulasi udara, 18, 211, 215, 648
sistem, 1, 2, 14, 19, 46, 51, 52, 67, 69, 98 - 101, 106, 107, 120, 123, 132, 133, 135 - 137, 139,
150, 155, 167, 180, 208, 209, 217 - 219, 222 - 224, 230, 232 235, 237, 260, 265, 266, 276,
283, 301, 303, 305, 310, 317, 322, 329 - 332, 334 - 337, 341, 350, 354, 355, 361, 372, 373,
376, 384, 385, 387, 388, 391 - 402, 404, 407, 443, 449, 450, 453, 454, 459, 462, 479, 494,
495, 505, 506, 514, 518, 544, 556, 577, 578, 584, 589, 590, 593 - 595, 624, 638, 647, 648,
680 - 682, 685, 687 - 690, 693, 694, 697, 699, 703 - 708, 710, 711
sistem keamanan, 11, 52, 384, 390, 394, 406, 408, 550
sistem manajemen keselamatan kerja, 577, 578, 589
sistem pengamanan, 394
sky lobby, 7, 33, 79, 81, 88, 92, 97, 172, 173, 176, 177, 180, 208
sky saver, 308
SMK3, 589, 710
sodium, 319, 432
solar sel fembus pandang, 678, 679
sorot, 432, 433, 436
speaker, 386

Jimmy S. Juwana 735


sprinkler, 60, 281, 289, 296, 300, 303, 310, 314, 316, 317, 323, 325 - 329, 331 - 334, 338, 366,
372, 394, 549, 599, 647, 707
sprinkler pipa kering, 316
sprinkler system, 648
SPT, 161, 350, 700
stabilitas, 144 - 146, 700
stabilitas Bangunan,, 144
stair lift, 53, 54, 204, 208
standar, 1, 3, 12, 13, 20, 22, 24, 53, 68, 80, 103, 211, 279, 289, 290, 326, 334, 355, 383, 394,
429, 432, 513 - 515, 524, 593, 606, 616, 619 - 622, 645, 649, 663, 664
structural insulated panel, 669
struktur, 2, 3, 17, 20, 32, 34, 36, 46, 47, 50, 51, 53, 56, 57, 59, 60, 70, 72, 73, 75, 80, 92, 97, 99,
100 - 102, 104 - 106, 112, 114, 115, 119, 122 - 124, 129 - 132, 138 - 141, 144, 149 - 151, 155,
157 - 160, 164 - 166, 199, 229, 267, 269, 271, 273, 274, 276, 282, 320, 324, 455, 457, 490,
514, 518, 519, 532, 549, 551, 557, 558, 560, 565, 589, 608, 652, 664, 670
suhu bola kering, 258
suhu kawasan, 601, 615, 665, 680
sukarela, 620
sumber air alternatif, 644
sumber cahaya, 426 - 428, 433
sumur, 464, 466, 467, 469 - 472, 477 - 479, 502, 504, 550, 606, 631, 703, 705
sumur resapan, 466, 467, 469, 471, 472, 477 - 479, 502, 504, 550, 631, 705
Sumur resapan dalam, 468
sumur, 470

tahan api, 274, 276, 279, 284, 290, 294, 302, 303, 394, 416, 619, 708
tajuk, 483, 628
Taman Anggrek, 11
tanah, 18, 26, 57, 102 - 104, 115, 123, 124, 127 - 129, 147, 161 - 166, 169, 199, 201, 216, 269,
282, 288, 289, 305, 308, 309, 318, 339, 349, 366, 367, 412, 416, 449, 451 - 454, 459, 463 -
468, 470 - 473, 476 - 479, 492, 495, 513, 522, 525, 543, 556 - 567, 580, 601, 605, 622, 641,
647, 648, 663, 699, 700, 704, 708
tanda bahaya, 312, 316, 329, 330, 384, 385, 394, 395, 399, 550
tangga, 24, 31, 47- 49, 54, 59, 60, 65, 72, 75, 84 - 87, 90, 92, 96, 173, 177, 191, 197, 198, 202,
203, 205, 208, 269, 283 - 295, 298, 300, 304 - 306, 310, 330, 361, 369, 429, 441, 457, 464,
466, 471, 472, 599, 622, 636, 637, 705
tangki, 131, 281, 282, 317, 323, 326, 328, 337, 340, 355, 361, 366, 367, 549
tangki air, 282, 317
tapak basemen, 25
tata, 11, 18, 25, 36, 44 - 46, 53, 60, 61, 70, 72, 73, 81, 97, 140, 174, 181, 200, 208, 210, 211,
215, 217 - 219, 223, 228 - 232, 235, 237 - 239, 242, 257, 260, 261, 264, 271, 300, 301, 337,
353, 365, 384 - 395, 408, 409, 419, 428, 429, 440, 443, 444, 522, 532, 534, 549 - 551, 595,
596, 609, 617, 630, 634, 637, 663, 667, 706
tata letak, 18, 44, 60, 61, 70, 72, 81, 97, 174, 181, 200, 208, 271, 428, 549, 550, 551
tata letak lif, 81, 97, 174, 208
tata suara, 11, 53, 384, 385, 408, 409, 419, 440, 444, 550
tata udara, 11, 36, 46, 53, 72, 210, 211, 215, 217 - 219, 223, 228, 229, 230 - 232, 235, 237 - 239,
242, 257, 260, 261, 264, 300, 301, 337, 353, 365, 395, 408, 429, 440, 443,
tekan, 106, 156, 157, 282, 323, 326, 519, 694, 698, 700
tekanan, 115, 120 - 124, 147, 236, 237, 272, 282, 283, 294, 299, 316, 318, 335, 337, 338, 340,
435, 471, 579, 598, 648, 706, 709

Jimmy S. Juwana 736


teknologi Integrasi, 375
tekuk, 156, 157, 158
telekomunikasi, 131, 381, 388, 391, 409
telepon, 11, 375, 377 - 383, 387 - 390, 395, 419, 422, 423, 448, 450, 524, 597, 649
tempat kumpul sementara, 47, 73, 82, 83
terkunci, 305, 494, 496, 497
termodinamika, 237
tetap, 6, 17, 25, 39, 43, 49, 85, 92, 99, 115, 120, 141, 143, 176, 186, 197, 221, 222, 232, 233,
247, 271, 275, 277, 281, 291, 306, 321, 335, 336, 385, 393, 395, 434, 511, 522, 529, 552,
573, 575, 601, 603, 620, 633, 653, 706
The Renaissance Center, 73, 74
tiang, 102 - 104, 147, 161 - 164, 166, 412, 450, 457, 458, 483, 487, 556, 557, 565, 588 - 700
tiang bor, 102, 103, 161, 556, 565, 588
tiang pancang, 102, 103, 147, 161, 162, 163, 166, 556, 557, 565, 588
tidak langsung, 102, 369, 370, 429, 439, 449, 532, 560
Times, 7
tinggi, 6, 7, 9 - 12, 15, 31, 48, 62, 65, 69, 98, 99, 100, 132, 141, 146 - 148, 150, 151, 167, 182,
186, 187, 209, 254, 266, 273, 301, 304, 310, 314, 322, 332, 337, 340, 342, 373, 407, 437,
458, 462, 483, 506, 515, 523 - 525, 530, 544, 624, 625, 627, 660, 686 - 688, 691, 697, 698,
700, 703, 705
tirai, 39, 243, 244, 550, 633, 652
tirta sakti, 469 - 473
titik, 3, 18, 44, 113, 145, 147, 199, 237, 269, 273, 284, 285, 291, 300, 355, 375, 392, 393, 426,
452, 454, 473, 479, 500, 501, 536, 538, 550, 608, 610, 611, 635, 693
titik api, 269, 273, 300
titik impas, 3, 529, 531, 536, 538, 540, 610, 611
titik kumpul, 291, 500, 550
toko, 23, 130, 275, 303, 425, 433, 437, 457, 458, 587, 623, 641, 655
top down, 565, 566
tower, 24, 33, 40, 68, 71, 72, 217, 227, 264, 265, 365, 589, 642
tower crane, 589
Transamerica, 8
transfer, 32, 48, 49, 73, 79 - 82, 84 - 86, 91, 97, 176, 177, 182, 337, 389
transfer level, 83
Trinity, 7
trotoar/pedestrian, 499
tulangan, 120, 151 - 153, 156, 160, 166, 269, 454, 599, 672

U
UCB, 8
udara, 11, 17, 18, 36, 38, 39, 46, 53, 72, 121, 173, 176, 201, 210 - 212, 214, 215, 217 - 220, 223
- 239, 241, 242, 247, 249, 257 - 261, 264, 267 - 270, 294, 300, 301, 304, 305, 319, 334, 336,
337, 347, 350, 353, 365, 372, 395, 408, 412, 429, 440, 443, 444, 450, 461, 480, 481 - 483,
486, 504, 522, 532, 534, 549, 579, 580, 592 - 596, 601, 608, 615, 622, 633, 636, 637, 645,
647 - 650, 654, 658, 669, 675, 677, 678, 680, 697, 704, 705, 707
udara ambien, 481
udara dalam ruang, 211, 212, 214, 215, 218, 232, 238, 258, 260, 264, 294
ujan, 476, 646
ultra ungu, 425, 434, 435
ultra violet, 211, 425, 600
UMNO, 9

Jimmy S. Juwana 737


unit, 20, 21, 41, 59, 65, 118, 119, 131, 181, 183 - 185, 190, 194, 202, 220 - 224, 241, 260, 264,
274, 275, 280, 282, 312, 314, 321, 324, 328, 355, 359, 360, 366, 369, 370, 375, 376, 377,
398, 443, 619, 627, 643, 704, 706, 710
United States Realty, 7
UPS, 374, 444
US Steel, 8, 41
usia, 275, 303, 305
utama, 15, 36, 42, 105, 106, 114, 122, 143, 173, 177, 180, 182, 184, 190, 214, 233, 243, 271,
281, 300, 305, 310, 330, 337, 350, 388, 392, 393, 394, 406, 419, 451, 459, 495, 550, 563,
570, 581, 589, 618, 649

V
vegetasi, 14, 481, 483, 490 - 493, 550, 602, 623, 628, 631
ventilasi, 38, 180, 210, 211, 215, 239, 244, 259, 295, 301, 338, 345, 346, 349, 534, 549, 579,
592, 637, 649, 650, 677, 705
vertikal, 1, 6, 9, 15, 19, 23, 30, 33, 38, 48, 53, 60, 70, 86, 92 - 94, 99 - 101, 106, 107, 115, 155,
160, 166, 168, 180, 199, 204, 208, 244, 249, 252, 284, 300, 302, 338, 349, 370, 375, 385,
408, 471, 483, 522, 549, 623, 634, 707
voice over IP (VoIP), 382
volume andil banjir, 477, 479, 505
volume wajib kelola, 476, 477, 505

W
wajib (mandatory), 619
waktu tunggu, 177, 181, 198
waktu tunggu lif, 177
warna, 280, 315, 318, 338, 408, 423 - 425, 428, 429, 431 - 433, 439, 440, 442, 465, 466, 480,
491, 496, 518, 519, 551, 587, 594, 598, 630
Wisma BNI, 11
wisma, 320
wool brick, 676, 677
Woolworth, 7, 168
World Center, 8
WTC, 50, 52

X
x-ray, 396

Z
zona, 72, 77 - 79, 82, 83, 85, 89 - 91, 178, 232 - 235, 238, 259, 260
zona ganda, 232
zona tunggal, 232, 233, 234

Jimmy S. Juwana 738


JIMMY SISWANTO JUWANA
PANDUAN RANCANGAN
INTEGRASI SISTEM BANGUNAN TINGGI
dan KONSTRUKSI BERKELANJUTAN
untuk Arsitek dan Praktisi Bangunan Gedung

Panduan Rancangan ini memberikan gambaran lengkap tentang sistem yang ada pada
Bangunan Tinggi, dari aspek Regulasi dan Standar Teknis, sampai pada aspek Arsitektural,
Struktural, Mekanikal, Elektrikal, Tata Ruang Luar, Pembiayaan dan Penyelenggaraan
Bangunan Gedung, serta konsep Konstruksi Berkelanjutan.

Buku ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada Pembaca tentang:


- Regulasi dan Standar Teknis terkait Rancangan Bangunan Tinggi.
- Gambaran utuh tentang sistem yang ada pada Bangunan Tinggi.
- Pertimbangan dan perkiraan serta rancangan awal Bangunan Tinggi.
- Panduan penyusunan rencana anggaran dan investasi Bangunan Tinggi.
- Informasi terkait tahapan penyelenggaraan Bangunan Gedung.
- Wawasan tentang Konstruksi Berkelanjutan dan Bangunan Gedung Hijau.

Buku ini akan sangat membantu bagi Arsitek dan Praktisi Bangunan Gedung dalam
memperoleh solusi awal bagi rancangan Bangunan Tinggi di Indonesia.

Sekilas tentang Pengarang:


Jimmy S Juwana lulus Insinyur Teknik Sipil dari Universitas Trisakti, dan Master Science in
Architectural Engineering dari Pennsylvania State University; memiliki Diploma Akta
Mengajar V dari Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan, pernah studi selama tiga tahun di
Fakultas Ekonomi ‘ekstension’, Universitas Indonesia, dan mengikuti program doktor untuk
bidang Sustainable Development Management di Universitas Trisakti dan Colorado State
University.

Lebih dari 40 tahun mengajar di Jurusan Arsitektur Trisakti, melakukan praktik profesional di
bidang jasa konstruksi, manajemen, dan kajian teknis selama lebih dari 50 tahun. Aktif di
sejumlah asosiasi profesi nasional dan internasional serta kegiatan sosial kemasyarakatan.
Mengarang sejumlah buku, di antaranya: ‘Aplikasi Metode Finite Difference pada Analisa
Pelat’ (2000); ‘Panduan Rancang Bangun Roof Garden’ (2004); ‘Panduan Sistem Bangunan
Tinggi’; (2005); editor buku ‘Pedoman Energi Efisiensi untuk Desain Bangunan Gedung di
Indonesia’ (2012); ‘Pedoman Pemugaran Bangunan Cagar Budaya A.A. Maramis
Kementerian Keuangan’ (2019); ‘Panduan Sekolah Sehat Net Zero’ (2020); ‘Steel Building
Industry in Indonesia’ (2020); dan ‘Panduan Bangunan untuk Hunian Bertingkat di Ibu Kota
Baru Indonesia (IKN) – Model Code & Key Performance Indicator (KPI)’ (2021); Rating Tools
Greenship – Green Building Council Indonesia (GBCI), serta sejumlah publikasi dan modul
ajar.

Jimmy S. Juwana 739

Anda mungkin juga menyukai