Anda di halaman 1dari 60

BAB 1.

Komponen R, L, dan C pada Listrik DC

Resistansi (R)
Resistansi atau hambatan mempunyai sifat menghambat arus listrik yang
melewatinya. Tegangan yang melalui resistansi adalah berbanding lurus dengan
arus yang mengalir melalui resistansi tersebut.

Nilai Resistansi atau nilai hambatan dalam suatu rangkaian listrik diukur dengan
satuan Ohm dan bersimbol Omega “Ω”.

Rumusnya dapat dituliskan : 

V=i.R

penjelasan :

V= Tegangan dengan satuan Volt

i  = Arus dengan satuan Ampere

R = Resistansi dengan satuan Ohm  

Besarnya daya (P) yang didisipasikan oleh resistansi :

P = V . i 

P = i2 . R 

P = V2 / R 

Satuan skala internasional daya listrik adalah Watt yang menyatakan banyaknya


tenaga listrik yang mengalir per satuan waktu (joule/detik).

Induktansi (L)
Induktansi mempunyai sifat menghambat arus listrik yang melaluinya serta menunda
timbulnya arus terhadap tegangan yang terpasang. Sifat tersebut pada listrik DC
hanya berfungsi sesaat ketika dihubungkan ke sumber pertama kalinya dan
setelahnya tidak berfungsi lagi. Tetapi dalam arus listrik AC akan berfungsi terus
menerus selama masih terhubung dengan sumber. 

Nilai induktansi dalam suatu rangkaian listrik diukur dengan satuan Henry dan


bersimbol Huruf “H”. Untuk tegangan induksi, rumusnya sebagai berikut :

V = L (di / dt)

penjelasan :

V = Tegangan dalam satuan Volt

i  = Arus yang mengalir dalam satuan Ampere

t  = Waktu dalam satuan Detik

L = Induktansi dalam satuan Henry

Besarnya daya yang diserap oleh induktansi :

P = V . i = L (di / dt) . i 

Kapasitansi (C)
Kapasitansi mempunyai sifat mempercepat arus listrik yang melewatinya serta
menggeser tegangan tersebut terhadap arus yang melewatinya. Sifat tersebut pada
listrik DC hanya berfungsi sesaat ketika dihubungkan ke sumber pertama kalinya
dan setelahnya tidak berfungsi lagi. Tetapi dalam arus listrik AC akan berfungsi terus
menerus selama masih terhubung dengan sumber.

Nilai kapasitansi dalam suatu rangkaian listrik diukur dengan satuan Farad dan


bersimbol Huruf “F”. Untuk arus kapasitansi, rumusnya sebagai berikut :

i = C (dv / dt)

 
penjelasan :

i = Arus yang mengalir dalam satuan Ampere

v = Tegangan dalam satuan Volt

t = Waktu dalam satuan Detik

C = Kapasitansi dalam satuan Farad

Besarnya daya yang diserap oleh kapasitansi :

P = V . i = V . C (dv / dt)
BAB 2. Hukum Kelistrikan

Hukum Ohm
Hubungan antara tegangan dan arus pada sebuah resistor dinyatakan
dengan Hukum Ohm.

Hukum Ohm berbunyi, “Tegangan pada sebuah resistor sama dengan arus yang
mengalir melalui resistor dikalikan dengan besar resistansinya”

Hukum Ohm dapat dirumuskan :

V=I.R

atau 

I=V/R

Gambar 1

Hukum Ohm berlaku untuk rangkaian arus searah (DC) maupun rangkaian arus
bolak-balik (AC).

Contoh :

Perhatikan Gambar 1. Tentukan besarnya arus jika tegangannya 6 Volt dan R =


15Ω.

Jawab :

I = V/R
  = 6/15 

  = 0,4 A

Hukum Kirchoff
Dalam memecahkan persoalan-persoalan rangkaian yang kompleks diperlukan
hukum-hukum dasar yang tentunya akan menuju ke analisis sistematis. Hukum
tersebut dikenal sebagai Hukum Kirchoff. Hukum Kirchoff ada dua, yaitu :

1. Hukum Kirchoff untuk arus

Hukum Kirchoff untuk arus biasa disebut dengan Hukum Kirchoff I.

Bunyi Hukum Kirchoff I yaitu, “Bahwa jumlah aljabar dari arus yang masuk (menuju)
dan arus yang keluar (meninggalkan) pada suatu node atau simpul atau junction
sama dengan nol”.

Hukum Kirchoff I dapat dirumuskan :

Gambar 2

I1  + I2 + I3 – I4 – I5 = 0

penjelasan :

I1 , I2, I3 adalah arus yang masuk dan diberi tanda positif

I4 , I5 adalah arus yang keluar dan diberi tanda negatif


 

Contoh :

Perhatikan Gambar 2. Tentukan arus I 5 jika arus I1 = 0,5A, I2 = 2A, I3 = 0,75A dan I4 =
4A

Jawab :

Σi = 0

I1  + I2 + I3 – I4 – I5 = 0

I5  = I4 – I1 – I2 – I3

    = 4 – 0,5 – 2 – 0,75

    = 0,75 A

2. Hukum Kirchoff untuk tegangan

Hukum Kirchoff untuk tegangan biasa disebut dengan Hukum Kirchoff II.

Bunyi Hukum Kirchoff II yaitu, “Bahwa jumlah aljabar dari tegangan pada suatu
lintasan tertutup sama dengan nol”.

Hukum Kirchoff II dapat dirumuskan :

Gambar 3
U1 – I . R2 – I . R3 – U2 – I . R1    = 0 , jika mengikuti arus (searah jarum jam)

U2 + I . R3 + I . R2 – U1 + I . R1 = 0, jika berlawanan arah jarum jam  

penjelasan :

U = tegangan

I   = arus

R  = tahanan atau hambatan

Berikut petunjuk penggunaan Hukum Kirchoff :


o Jika dalam perjalanan (arus) yang melewati sebuah sumber tegangan dari
terminal negatif (-) menuju ke terminal positif (+), tegangan tersebut akan
didahului dengan tanda positif (+)
o Untuk kebalikannya, jika arus melewati sumber tegangan dari terminal
positif (+) ke terminal negatif (-), tegangan ini akan didahului dengan
tanda negatif (-)
o Dalam perjalanan melalui sebuah resistor dimana arah perjalanan (loop)
tersebut searah dengan arah arusnya, maka penurunan tegangan akan
didahului dengan tanda negatif (-)
o Dalam perjalanan melalui sebuah resistor dimana arah perjalanan (loop)
bertentangan atau berlawanan dengan arah arusnya, maka penurunan
tegangan akan didahului dengan tanda positif (+)

Contoh :

Perhatikan Gambar 3. Tentukan arus jika besarnya U 1 = 10 V, U2 = 4V, R1 = 50Ω,
R2 = 30Ω, R3 = 40 Ω

Jawab :

R2 + R3 = R seri

R seri     = 70Ω

U1 – I . R1 – I . R seri – U2 = 0


10 – I . 50 – I . 70 – 4          = 0

I = (10 – 4) / 120

  = 0,05A
BAB 3. Rangkaian Dasar Listrik

Rangkaian Seri dan Paralel


Terdapat dua macam cara untuk menghubungkan komponen-komponen satu sama
lain dalam rangkaian listrik, yaitu secara seri dan paralel. Untuk rangkaian seri, jika
arus listrik yang mengalir dalam rangkaian sebesar I ampere, maka besarnya arus
yang mengalir pada semua tahanan adalah sama.

1. Rangkaian seri

Rangkaian seri dapat dirumuskan sebagai berikut : 

Gambar Rangkaian Seri

IT  = I1 = I2 = I3

RT = R1 + R2 + R3 

VS = V1 + V2 + V3 

Untuk kapasitor dan induktor :

1 / CT = (1 / C1) + (1 / C2) + (1 / C3)

LT = L1 + L2 + L3

penjelasan :

RT = tahanan total


VS = tegangan sumber

CT = kapasitansi total 

LT = induktansi total

2. Rangkaian paralel

Untuk rangkaian paralel, tegangan pada tiap komponen adalah sama dengan
tegangan sumber. Rangkaian paralel dapat dirumuskan sebagai berikut :

Gambar Rangkaian Paralel

VS = V1 = V2 = V3

IT  = I1 + I2 + I3

1 / RT = (1 / R1) + (1 / R2) + (1 / R3) , bisa disingkat dengan 

     RT  = R1 // R2 // R3

Untuk kapasitor dan induktor :

CT = C1 + C2 + C3

1 / LT = (1 / L1) + (1 / L2) + (1 / L3)

 
Transformasi Bintang-Segitiga dan Segitiga-Bintang
Saat memecahkan masalah rangkaian listrik yang kompleks tidak dapat
disederhanakan hanya menggunakan kombinasi seri dan paralel saja. Untuk
memecahkan rangkaian semacam ini sering digunakan transformasi Bintang-
Segitiga  atau Segitiga-Bintang. Rangkaian Bintang dan rangkaian Segitiga adalah
seperti berikut :

Gambar Rangkaian Bintang

Gambar Rangkaian Segitiga

Untuk transformasi dari rangkaian Bintang ke rangkaian Segitiga (Bintang-


Segitiga), dapat dicari dengan cara :

Ra = (Rp . Rr + Rr . Rq + Rq . Rp) / Rq

Rc = (Rp . Rr + Rr . Rq + Rq . Rp) / Rp

Rb = (Rp . Rr + Rr . Rq + Rq . Rp) / Rr
 

Untuk transformasi dari rangkaian Segitiga ke rangkaian Bintang (Segitiga-


Bintang), dapat dicari dengan cara :

Rp = Rb . Ra / (Ra + Rb + Rc)

Rr = Ra . Rc / (Ra + Rb + Rc)

Rq = Rc . Rb / (Ra + Rb + Rc)

Contoh : 


o Mengubah rangkaian segitiga menjadi rangkaian bintang


o Mengubah rangkaian bintang menjadi rangkaian segitiga
 

BAB 4. Teori Thevenin, Teori Norton, Teori Superposisi

Teori Superposisi
Teori Superposisi biasa digunakan untuk menganalisa rangkaian yang terdiri dari
beberapa sumber tegangan dan tahanan. Teori Superposisi memudahkan
menentukan arus pada suatu cabang dengan menganggap sumber bekerja satu per
satu. Arus total pada cabang tersebut merupakan jumlah aljabar dari arus tiap
sumber dengan memperhatikan arah arus.

Ilustrasi Teori Superposisi sebagai berikut :

Gambar A
Gambar B       

 Gambar C

Keterangan :

1.
a.  Rangkaian secara keseluruhan
b.  Rangkaian berdasarkan sumber tegangan V1. RD2 adalah tahanan
dalam V2
c.  Rangkaian berdasarkan sumber tegangan V2. RD1 adalah tahanan
dalam V1


o Untuk mencari arus yang mengalir pada R3 (Gambar A) adalah :

 I3 = I1 + I2 , atau  I3 = I’ + I’’

I1 = I1’ + ( – I1’’)

I2 = I2’’ + ( – I2’)


o Berdasarkan Gambar B 

R’  = R1 + {R3 // (R2 + RD2)}

I1’ = V1 / (R’ + RD1)

I’   = (R2 + RD2) / (R3 + R2 + RD2) . I1’ ; atau I’ = I1’ – I2’

I2’ = R3 / (R3 + R2 + RD2) . I1’  ; atau I2’ = I1’ – I’


 


o Berdasarkan Gambar C

R’’  = R2 + {R3 // (R1 + RD1)}

I2’’ = V2 / (R’’ + RD2)

I’’    = (R1 + RD1) / (R3 + R1 + RD1) . I2’’  ; atau I’’ = I2’’ – I1’’

I1’’ = R3 / (R3 + R1 + RD1) . I2’’  ; atau I1’’ = I2’’ – iI’

Contoh :

Hitunglah arus pada


rangkaian tersebut!

Jawab : 


o Langkah pertama putus salah satu sumber tegangan dan kemudian
dihubung singkat, lalu cari arusnya

o Kemudian sambung lagi sumber tegangan yang diputus tadi dan
putus sumber tegangan awal lalu dihubung singkat, kemudian cari
arusnya

o Kemudian jumlahkan arus tadi sesuai dengan aliran arus masing-
masing

Teori Thevenin
Teori Thevenin biasa digunakan pada rangkaian rumit untuk disederhanakan
menjadi sebuah rangkaian hambatan linier yang terdiri dari satu sumber tegangan
dan satu tahanan seri. Tegangannya disebut sebagai tegangan pengganti VTH dan
tahanannya disebut sebagai tahanan pengganti RTH.
Berikut contoh pengerjaan dengan Teori Thevenin :


o Lepaskan beban resistor 5kΩ.


o Hitung tegangan Thevenin (VTH). Besarnya VTH adalah tegangan
pada titik A-B

I = V / R = 48V / (12kΩ + 4kΩ) = 3mA

VTH = 3mA . 4kΩ = 12V 



o Lepaskan sumber tegangan listriknya dan hubungkan singkat
sumber tegangannya :


o Hitung resistansi Thevenin (RTH)

RTH = 8kΩ + ((4kΩ . 12kΩ) / (4kΩ + 12kΩ))

RTH = 8kΩ + 3kΩ

RTH = 11kΩ


o Hubungkan secara seri Resistor RTH dengan sumber Tegangan
VTH dan hubungkan kembali Resistor Beban 5kΩ

o Hitung total arus beban (IL) dan tegangan beban (VL) pada RL

IL = VTH / (RTH + RL)

IL = 12V / (11kΩ + 5kΩ)

IL = 0,75mA

VL = IL . RL

VL = 0,75mA . 5kΩ

VL = 3,75V

Teori Norton
Teori Norton biasa digunakan untuk menyederhanakan rangkaian rumit. Bedanya
dengan Teori Thevenin yaitu Teori Norton menggunakan sumber arus dan tahanan
paralel. Arusnya disebut sebagai Arus pengganti IN dan tahanannya disebut sebagai
tahanan pengganti RN.

Berikut contoh pengerjaan dengan Teori Norton :


o Hubung singkat resistor beban 15Ω
o Mencari Total Resistansi (Rtotal)

Rt = 20Ω + (60Ω // 30Ω)

Rt = 20Ω + ((30Ω . 60Ω) / (30Ω + 60Ω))

Rt = 20Ω + 20Ω = 40Ω


o Hitung arus Norton (IN). Besarnya IN adalah titik yang dihubung
singkat sebelumnya

It = V / Rt = 12V / 40Ω = 0,3A

IN = 0,3A (60Ω / (30Ω + 60Ω)) = 0,2A


o Lepaskan sumber arusnya, hubung singkat tegangan sumber dan
lepaskan resistor beban


o Hitung resistansi Norton (RN)

RN = 30Ω + (60Ω // 20Ω) 


RN = 30Ω + ((60Ω . 20Ω) / (60Ω + 20Ω))

RN = 30Ω + 15Ω = 45Ω


o Hubungkan resistor Norton secara paralel dengan sumber arus (IN)
dan pasangkan kembali resistor beban


o Menghitung nilai arus beban (IL) dan nilai tegangan beban (VL)
pada RL

IL = IN . (RN / (RN + RL))

IL = 0,2A . (45Ω / (45Ω + 15Ω)) = 0,15A

VL = IL . RL

VL = 0,15A . 15Ω = 2,25V


BAB 5. Bilangan Kompleks

Bilangan kompleks didefinisikan sebagai gabungan atau kumpulan bilangan-


bilangan yang terdiri dari bilangan nyata dan bilangan imajiner. Contoh bilangan
kompleks bentuk rectanguler :

Z’ = a + jb

Keterangan :

Z’    : simbol dari bilangan kompleks

a, b : bilangan-bilangan nyata

j      : simbol nilai/bilangan khayal, yang besarnya √(-1)

Dengan demikian jb merupakan bilangan imajiner. Jika j = √(-1), maka :

j2 = √(-1) . √(-1) = -1

j3 = -j

j4 = 1

Bentuk bilangan kompleks dapat digambar pada sumbu tegak lurus seperti berikut :
Bilangan kompleks juga dapat ditulis dalam bentuk :


o Bentuk polar (kutub)

Z’ = Z ∠ θ

Keterangan :

Z : harga mutlak (besarnya) dari Z


o Bentuk trigonometri

Z’ = Z (cos θ + j sin θ)


o Bentuk eksponensial

Z’ = Z . ejθ

 
Transformasi bentuk Polar ke Rectangular

Transformasi bentuk Rectangular ke Polar

Contoh :
Tuliskan bentuk eksponensial dan bentuk polar dari vektor  A’ = 6 + j5

Jawab :

Besarnya vektor

A = √(62 + 52)                        θ = arc tg 5/6 

    = 7,81                                      = 32.005°

Bentuk eksponensialnya = 7,81j32,005°

Bentuk polarnya                = 7,81<32,005° 

Penjumlahan dan pengurangan bilangan kompleks


Cara untuk menjumlahkan bilangan kompleks yaitu dengan menjumlahkan atau
mengurangkan bilangan nyata dengan bilangan nyata, dan bilangan khayal dengan
bilangan khayal. 

Contoh :

Z’1 = Z1 < θ1 = a1 + jb1

Z’2 = Z2 < θ2 = a2 + jb2

Apabila Z’3 adalah hasil penjumlahan bilangan Z’1 dan Z’2  maka :

Z’3 = Z’1 + Z’2 = (a1 + jb1) + (a2 + jb2)

Z’3 = (a1 + a2) + j(b1 + b2)

Sedangkan Ż4 adalah hasil dari pengurangan  Z’1 dan Z’2  maka :

Z’4 = Z’1 – Z’2 = (a1 + jb1) – (a2 + jb2)


Z’4 = (a1 – a2) + j(b1 – b2)

Apabila dijadikan bentuk polar maka :

Z’3 = Z3 < θ3 

Z’4 = Z4 < θ4

dengan artian 

Z3 = √(a1 + a2)2 + (b1 + b2)2 

θ3 = arc tg (b1 + b2)/(a1 + a2)

Z4 = √(a1 – a2)2 + (b1 – b2)2 

θ4 = arc tg (b1 – b2)/(a1 – a2)

Contoh soal :


o Jumlahkan vektor berikut (A’ + B’) = C’ dengan cara bentuk
kompleks dan tuliskan bentuk polarnya. A’ = 12 + j4 dan B’ = -6 + j2

Jawab :

A’ + B’ = C’ = (12 +j4) + (-6 + j2)

            = 6 + j6

            = √(62 + 62) = 8,48

       θ  = arc tg 6/6 = 45°

Bentuk polarnya = 8,48 < 45°

 

o Kurangkan vektor berikut (A’ + B’) = D’ dengan cara bentuk
kompleks dan tuliskan bentuk polarnya. A’ = 25 + j10 dan B’ = -10
– j20

Jawab :

A’ + B’ = D’ = (25 +j10) + (-10 – j20)

               D’ = 35 + j30

                   = √(352 + 302) = 46,09

               θ  = arc tg 30/35 = 40,6°

Bentuk polarnya = 46,09 < 40,6°

Perkalian dan pembagian bilangan kompleks


Pada perkalian atau pembagian bilangan kompleks cara yang paling cepat adalah
dengan menggunakan bentuk polar. Caranya dengan membagi besar bilangan
kompleks kemudian sudutnya ditambahkan atau dikurangkan.

Contoh :

Z’1 = Z1 < θ1 = a1 + jb1

Z’2 = Z2 < θ2 = a2 + jb2

Apabila Z’3 adalah hasil perkalian bilangan Z’1 dan Z’2  maka :

Z’3 = Z’1 . Z’2 = Z1 < θ1 . Z2 < θ2

Z’3 = Z1 . Z2 < θ1 + θ2

Sedangkan Ż4 adalah hasil dari pembagian  Z’1 dan Z’2  maka :

Z’4 = Z’1 / Z’2 = Z1 < θ1 / Z2 < θ2
Z’4 = Z1 / Z2 < θ1 – θ2

Contoh soal :


o Hitung perkalian dan pembagian 2 vektor tersebut. A’ = 40 < 75°
dan B’ = 8 < 45° 

Jawab : 

Perkalian

A’ . B’ = C’ = (40 < 75°) . (8 < 45°)

                  = 320 < 120°

Pembagian

A’ / B’ = C’ = (40 < 75°) / (8 < 45°)

                  = 5 < 30°

 
BAB 6. Komponen R, L, dan C pada Listrik AC

Pengertian Arus Bolak-Balik (AC)


Arus bolak-balik atau biasa disebut listrik AC (Alternating Current) adalah listrik yang
besar, arah dan polaritasnya berubah-ubah menurut waktu secara periodik. Dalam
listrik AC dikenal beberapa bentuk gelombang listrik, yaitu :


o Bentuk gelombang sinus (sine wave)


o Bentuk gelombang kotak (square wave) 


o Bentuk gelombang segitiga (triangle wave)


o Bentuk gelombang gigi gergaji (sawtooth wave)

Terbentuknya Tegangan dan Arus


Prinsip terbentuknya tegangan dan arus AC bisa dijelaskan dengan Hukum
Faraday.
Hukum Faraday menyebutkan jika terjadi perubahan garis gaya magnet pada
sebuah kumparan kawat, maka akan timbul gaya gerak listrik (GGL) pada kawat
tersebut. Jika kumparan kawat dihubungkan dengan rangkaian listrik tertutup, maka
akan timbul pula arus listrik yang mengalir pada rangkaian.

Gambar Prinsip Hukum Faraday

Frekuensi dan Periode


Frekuensi adalah jumlah getaran yang terjadi dalam waktu satu detik atau
banyaknya gelombang/getaran listrik yang dihasilkan tiap detik. Frekuensi
dilambangkan dengan huruf f.

Periode adalah selang waktu yang diperlukan untuk melakukan satu getaran


sempurna. Periode dilambangkan dengan huruf T.

Hubungan antara frekuensi dan periode adalah berbanding terbalik, berarti semakin
besar frekuensi maka periode akan semakin kecil. Secara matematis dapat
dituliskan :

f = 1 / T   →    T = 1 / f 

Keterangan :

f : Frekuensi dalam siklus per detik atau Hertz

T : Periode dalam detik


 

Jika kecepatan perputaran sudut dinyatakan dengan 𝛚, maka frekuensinya adalah


kecepatan sudut dibagi dengan besar sudut dalam satu putaran penuh (2𝜋) atau
dapat ditulis :

f = 𝛚 / 2𝜋    →   𝛚 = 2𝜋 . f  Radial/detik

Beda Fasa
Fasa pada listrik AC merupakan pergeseran periode waktu dalam arus bolak-balik
dari posisi nol. Beda fasa dalam rangkaian listrik dikenal dengan istilah “lag” atau
“lead”.

Lag artinya harga maksimum atau nol yang dicapai satu siklus lebih lambat dari
siklus lainnya.

Lead artinya harga maksimum atau nol yang dicapai satu siklus mendahului siklus
lainnya.

Gambar Periode Beda Fasa

Harga Efektif dan Harga Rata-Rata


1. Harga efektif

Harga Efektif dari suatu tegangan atau arus AC adalah sama dengan besarnya
tegangan atau arus DC pada suatu tahanan, dimana keduanya menghasilkan panas
yang sama. Harga efektif sering disimbolkan dengan rms (root mean square). 

Rumus harga efektif sebagai berikut :


I   = Irms = Ieff = Imax / √2 = 0,707 . Imax

V = Vrms = Veff = Vmax / √2 = 0,707 . Vmax 

2. Harga rata-rata

Harga rata-rata dari suatu gelombang sinus adalah harga rata-rata dari setengah
siklus, yang dimulai dari 0 sampai 𝜋. 

Rumus harga rata-rata sebagai berikut :

Irata-rata  = 2Imax / 𝜋 = 0,636 . Imax

Vrata-rata = 2Vmax / 𝜋 = 0,636 . Vmax

Gambar Gelombang Sinus

Keterangan :

Vrms  = Tegangan efektif

Vmax = Tegangan maksimum (setengah Vpp)

Vpp    = Tegangan dari puncak ke puncak

Karakteristik R, L, dan C Dialiri AC


A. Karakteristik Resistor
Ketika resistor (R) dialiri AC, maka tegangan tegangan dan arus adalah sefase.

Gambar Karakteristik Resistor

Bila perbedaan fase dinyatakan dengan θ, maka θ = 0. Karena tegangan dan arus
sefase, maka impedansinya adalah sama dengan tahanannya itu sendiri :

Z = R < 0°

Z = R + j0

B. Karakteristik Induktor

Pada induktor (L), jika dialiri AC akan terjadi perbedaan fase 90°, yang dimana
tegangan mendahului arus sebesar 𝜋/2 radial.
Gambar Karakteristik Induktor

Karena tegangannya mendahului arus sebesar 90°, maka besarnya impedansi :

ZL = V < 90° / I < 0°

ZL = XL < 90°

ZL =  0 + jXL 

dengan XL adalah reaktansi induktor

XL = 2𝜋 f L 

C. Karakteristik Kapasitor

Pada kapasitor (C), jika dialiri AC akan terjadi perbedaan fase 90°, yang dimana
arus mendahului tegangan sebesar sebesar 𝜋/2 radial. 

Gambar Karakteristik Kapasitor

Karena arusnya mendahului tegangan sebesar 90°, maka besarnya impedansi :

ZC = V < 0° / I < 90°

ZC = XC < -90°


ZC = 0 – jXC

dengan XC adalah reaktansi kapasitor

XC = 1 / (2𝜋 f C)

R, L, dan C Dihubung Seri


Karena R, L, dan C dihubung seri, maka arus yang mengalir pada setiap elemen
adalah sama. Rumus-rumus R, L, dan C dihubung seri adalah :

Gambar rangkaian Seri RLC


o Besar tegangan pada resistor (R) 

VR = I . R

VR’ = VR < 0° = VR + j0


o Besar tegangan pada induktor (L)

VL = I . XL

VL’ = VL < 90° = 0 + jVL

 

o Besar tegangan pada kapasitor (C)

VC = I . XC

VC’ = VC < -90° = 0 – jVC 


o Tegangan total menurut Hukum Kirchhoff

Vt = VR’ + VL’ + VC’

Vt = (VR + j0) + (0 + jVL) + (0 – jVC) = VR + j(VL – VC)


o Besar Impedansi (Z)

Z = Vt / I = (VR + j(VL – VC)) / I

Z = (I . R – j(I . XL – I . XC)) / I

Z = R + j(XL – XC)

atau :

Z = √(R2 + (XL – XC)2) 


o Besar sudut pergeseran fasa (θ)

θ = arc tan (XL – XC / R)

atau :

θ = arc cos R/Z

 
Apabila dalam rangkaian tidak ada salah satu komponen L atau C maka komponen
tersebut bisa dianggap tidak ada (XL atau XC = 0)

Contoh :

Sebuah rangkaian listrik terdiri dari tahanan = 100Ω, induktansi = 500mH dan
kapasitansinya = 330μF dihubungkan secara seri pada frekuensi 50Hz dengan arus
1000mA. Tentukan Impedansi rangkaian, VR , VL dan VC serta tegangan sumber!

Jawab :

XL = 2𝜋 . f . L                                                    XC = 1 / (2𝜋 . f . C)

    = 2𝜋 . 50 . 0,5 = 157,08Ω                                  = 1 / (2𝜋 . 50 . 330 . 10-6) =


9,65Ω

Z  = √(R2 + (XL – XC )2) < arc tg (XL – XC ) / R

    = √(1002 + (157,08 + 9,65 )2) < arc (147,43 / 100)

    = 178,14Ω < 55,85°

VR = I . R = 1. 100 = 100V                                                VSumber = I . Z

VL = I . XL = 1. 157,08 = 157,08V                                                     = 1 .


178,14 < 55,85°

VC = I . XC = 1 . 9,65 = 9,65V                                                            = 178,14


< 55,85°

R, L, dan C Dihubung Paralel


Karena R, L, dan C dihubung paralel, maka tegangan yang mengalir pada setiap
elemen adalah sama. Rumus-rumus R, L, dan C dihubung paralel adalah :
Gambar Rangkaian Paralel RLC


o Besar arus pada cabang resistor (IR) 

IR’ = IR < 0° = IR + j0


o Besar arus pada cabang induktor (IL)

IL’ = IL < -90° = 0 – jIL


o Besar arus pada cabang kapasitor (IC)

IC’ = IC < 90° = 0 + jLC 


o Besar arus total

It = IR’+ IL’ + IC’ = (IR + j0) + (0 – jIL) + (0 + jIC)

It = IR + j(IC – IL)


o Besar faktor daya (cos θ) dan sudut pergeseran fasa (θ)
cos θ = IR / It

θ = arc cos IR / It

Apabila dalam rangkaian tidak ada salah satu komponen L atau C maka komponen
tersebut bisa dianggap tidak ada (XL atau XC = 0)

Contoh :

Sebuah rangkaian listrik terdiri dari tahanan = 47Ω dan memiliki kapasitansi = 100μF
dihubungkan secara paralel pada frekuensi 100Hz dengan sumber tegangan 50V <
0°. Tentukan Impedansi rangkaian, arus yang mengalir pada R dan C, arus total!

Jawab :

XC = 1 / (2𝜋 f C) 

      = 1 / (2𝜋 . 100 . 100 . 10-6) = 15,92Ω

Z   = R . XC / (√(R2 + XC2) < arc tg – XC  / R)

    = 47 . 15,92 / (√(472 + 15,922) < arc tg – 15,92 / 47)

    = 748,24 < – 90° / 49,62 < – 18,71°

    = 15,08 Ω < – 71,29°

IR  = V / R = 50 / 47 = 1,06A

IC  = V / XC = 50 / 15,92 = 3,14A

ITotal = V / Z = 50 / 15,08 < – 71,29°

      = 3,31A < 71,29°


 

Untuk rangkaian paralel RLC akan lebih mudah dianalisis jika menggunakan metode
admitansi

Metode Admitansi
Admitansi yaitu kebalikan dari impedansi (Z) yang disimbolkan dengan Y dan
satuannya adalah Mho(Ʊ) atau Siemen (s). Bagian riil disebut konduktansi dengan
simbol G dan merupakan kebalikan dari resistansi (R), sedangkan bagian imajiner
disebut suseptansi dengan simbol B merupakan kebalikan dari reaktansi (X).


o Besar konduktansi (G) 

G = Y cos θ = 1 / Z . R / Z = R / Z2


o Besar suseptansi (B)

B = Y sin θ = 1 / Z . X / Z = X / Z2

Jika Z2 = R2 + X2 , maka besar konduktansi 

G = R / R2 + X2


o Dan besar suseptansi 

B = X / R2 + X2 


o Besar admitansi

Y=1/Z

atau
Y = √(G2 + B2)


o Faktor daya 

Cos θ = G / Y

Suseptansi ada dua macam yaitu :

1. Suseptansi induktif dengan simbol BL, dan sering disebut dengan suseptansi
negatif (-BL)

2. Suseptansi kapasitif dengan simbol BC, dan sering disebut dengan suseptansi
positif (+BC)

Contoh :

Sebuah rangkaian listrik terdiri dari tahanan = 25Ω, induktansi = 15,9155mH dan
kapasitansinya = 39,7887μF dihubungkan secara paralel pada frekuensi 100Hz
dengan sumber tegangan 24V < 0°. Tentukan Impedansi rangkaian, arus yang
mengalir pada R dan C, arus total!

Jawab :

XL = 2𝜋 . f . L = 2𝜋 . 100 . 15,9155.10-3 = 10Ω

XC = 1 / (2𝜋 . f . C)

      = 1 / (2𝜋 . 100 . 39,7887 . 10-6) = 40Ω

G    = 1 / R = 1 / 25 = 0,04s

BL  = 1 / XL = 1 / 10 = – j 0,10s

BC = 1 / XC = 1 / 40 = j 0,025s


 

Y   = G – BL + BC

    = 0,04 – j 0,01 + j 0,025

    = 0,04 – j 0,075

    = √(0,042 + 0,0752) < arc tg -0,075 / 0,04

    = 0,085s < – 61,9275°

Z   = 1 / Y = 11,764Ω < 61,9275°

IR  = V / R = 24 / 25 = 0,96A

IL  = V / XL = 24 / 10 = 2,4A

IC  = V / XC = 24 / 40 = 0,6A

ITotal = V / Z = 24 / 11,7647 < 61,9275°

           = 2,04A < – 61,9275°

 
BAB 7. Resonansi

Pada suatu rangkaian RLC terdapat suatu harga frekuensi yang menyebabkan
reaktansi induktor dan kapasitor saling menghilangkan, sehingga didapatkan
karakteristik rangkaian hanya terdiri dari resistor murni (R) saja. Rangkaian tersebut
dikatakan dalam keadaan resonansi apabila arus dan tegangan sefasa. Rangkaian
resonansi ada 2 macam :

Resonansi Seri
Rangkaian RLC seri akan dalam keadaan resonansi apabila impedansi adalah nyata
(Z adalah minimum), jika reaktansi induktor sama dengan reaktansi kapasitor (X L =
XC). Besarnya frekuensi pada saat terjadi resonansi :

fr = 1 / (2𝜋 . √(LC))

keterangan :

fr : frekuensi saat resonansi dalam satuan Hertz

L : induktansi dalam satuan Henry

C : kapasitansi dalam satuan Farad

Besarnya arus yang mengalir dalam rangkaian akan maksimum jika terjadi
resonansi, karena impedansinya minimum (Zr = R)

I = U / Zr

  =U/R

 
Gambar Resonansi Seri

Berdasarkan gambar diatas, besarnya arus pada frekuensi rendah (fL) sama


dengan arus pada frekuensi tinggi (fH), dimana :

IL = IH = Imax / √2

            = 0,707 . Imax 

keterangan :

IL : arus pada fL dalam satuan Ampere

IH : arus pada fH dalam satuan Ampere

Lalu perbedaan frekuensi antara keadaan tersebut dinamakan “lebar pita”


(Bandwidth), sehingga didapatkan :

BW = fH – fL 

keterangan :
BW : lebar pita dalam satuan Hz

fL    : frekuensi bandwidth bawah dalam satuan Hz

fH    : frekuensi bandwidth atas dalam satuan Hz

Selain itu terdapat faktor kualitas (Q) yang dimana mempengaruhi bentuk lengkung
resonansi dan juga lebar pitanya. Rumus faktor kualitas (Q) :

Q = 1 / R . √(L / C) 

Secara pendekatan, lebar pita (BW) merupakan perbandingan antara frekuensi


resonansi dengan faktor kualitasnya

BW ≈ fr / Q

Contoh :

Sebuah rangkaian listrik terdiri dari tahanan = 3,3Ω, Induktansi = 50mH dan
kapasitansinya dihubungkan secara seri pada frekuensi 100Hz dengan sumber
tegangan 220V. Tentukan besar kapasitansinya, besar arus maksimum dan besar
faktor kualitasnya!

Jawab : 

XL = XC

2𝜋 . f . L = 1 / (2𝜋 f C) 

C = 1 / (2𝜋 f)2 . L

    = 1 / (2𝜋 100)2 . 0,05

    = 50,66μF

I  =V/R
    = 220 / 3,3

    = 66,67A

Q = 1 / R √(L / C)

    = (1 / 3,3) √(0,05 / (50,66 . 10-6))

    = 9,52

Resonansi Paralel
Rangkaian RLC paralel akan dalam keadaan resonansi jika faktor daya dari
rangkaian sama dengan satu dan besarnya suseptansi kapasitif sama dengan
besarnya suseptansi induktif (BC = BL). Besarnya frekuensi pada saat terjadi
resonansi :

fr = 1 / (2𝜋 . √(LC))

Lalu arus yang mengalir pada rangkaian resonansi paralel adalah minimum karena
resonansi impedansi berada pada nilai maksimumnya (Z = R ). Grafik arus terhadap
frekuensi untuk rangkaian resonansi paralel diberikan sebagai berikut :

Gambar Resonansi Paralel

 
Untuk besarnya faktor kualitas (Q) dari rangkaian resonansi paralel :

Q = BC / G = BL / G

Besarnya lebar pita (BW) :

BW = fH – fL 

Pendekatan lebar pitar (BW) :

BW ≈ fr / Q

Contoh :

Sebuah rangkaian listrik terdiri dari tahanan = 5KΩ, Induktansi = 50μH dan
Kapasitansinya = 500pF dihubungkan secara paralel. Tentukan besar frekuensi
resonansi dan besar bandwidth!

Jawab :

fr = 1 / (2𝜋 . √(LC))

   = 1 / (2𝜋 . √(500.10-12 . 50.10-6))

   = 1006590.1Hz

Q = BC / G = 2𝜋 . f . C

    = 2𝜋 . 1006590.1 . 500.10-12 . 5000

    = 15,811

BW = fr / Q

     = 1006590.1 / 15,811 = 63,6639Hz


 BAB 8. Daya dan Faktor Daya

Daya
Dalam rangkaian listrik, daya adalah besaran yang penting, karena pada umumnya
peralatan listrik selalu berhubungan dengan daya yang dihasilkan. Bahasan kali ini
akan berhubungan dengan daya yang dibangkitkan dalam
bentuk sinusoida. Daya yang diberikan pada suatu alat sebagai fungsi waktu
merupakan hasil dari tegangan dan arus sesaat.

P=v.i

Jika besar tegangan sesaat (v)

v = VMaxSin ωt

dan arus sesaat (i)

(i) = IMax Sin(ωt + θ),

maka besar daya sesaatnya (P) adalah

P = VMax Sin ωt . IMax Sin(ωt + θ)

Jika dinyatakan dengan harga efektif maka :

P = √2 . V . √2 . I .(Cos θ – Cos (2ωt + θ)) / 2

 = V . I .Cos θ – V . I . Cos (2ωt + θ)

Faktor daya
Dalam rangkaian listrik umumnya mengandung unsur resistansi dan reaktansi atau
impedansi kompleks dan daya yang diserap tergantung pada sifat bebannya. Hal
tersebut terjadi karena beban yang menyerap daya merupakan beban bersifat
resistif, sedangkan beban yang bersifat reaktif tidak menyerap daya. Dengan
demikian, perkalian antara tegangan efektif dengan arus efektif adalah daya semu
(S)
S = V . I ….VA

Sedangkan besarnya daya nyata (P) adalah

P = V . I . Cos θ ….Watt

Kemudian ada daya yang disebabkan oleh beban reaktif (Q)

Q = V . I . Sin θ ….VAR

Faktor daya dirumuskan seperti berikut :

Faktor daya = P / S

                      = (V . I . Cos θ) / (V . I)

                     = Cos θ

Contoh soal :

Sebuah rangkaian listrik terdiri dari R seri yang tahanannya belum diketahui,
mempunyai tegangan efektif 50V, dayanya 300 Watt dan faktor dayanya 0,707
menyusul. Tentukan besar komponen rangkaian bila rangkaian bekerja pada
frekuensi 100Hz.

Jawab : 

P = UEff . IEff . Cos θ

30 = 50 . IEff . 0,707

IEff = 30 / (50 . 0,707) = 0,8486A

P = IEff2 . R
30 = (0,8486)2 . R

R = 30 / (0,8486)2 = 41,659Ω

Cos θ = 0,707 menyusul, berarti beban pada rangkaian bersifat induktif

θ = arc Cos 0,707 = 45°

Z = R + j XL

XL = R . tg 45° = 41,659Ω

XL = ωL . 2π . f . L

L = ωL / (2π . f)

   = 41,659 / (2π . 100)

L = 66,30 mH
BAB 9. Listrik 3 Fasa

Secara umum pembangkit, transmisi dan penggunaan daya dari tenaga listrik
menggunakan sistem berfasa 3. Sebuah sumber yang berfasa 3 adalah sumber
yang mempunyai tiga tegangan yang sama, tetapi berbeda fasa 120° terhadap satu
dengan yang lainnya.

Gambar Generator 3 Fasa

Gambar Beda Fasa Listrik 3 Fasa

Pada Gambar Generator 3 Fasa bisa dilihat bahwa terdapat 3 kumparan yang


tersebar secara sama di sekitar lingkaran motor. Kumparan-kumparan tersebut
terpisah antara satu dengan yang lainnya sejauh 120°. Ketiga kumparan yang
serupa pada sistem 3 fasa disebut dengan “fasa”. Apabila menyangkut tegangan
disebut dengan tegangan fasa, dan jika menyangkut arus disebut arus fasa. Untuk
diagram fasor dari tegangan tersebut dapat dilihat pada Gambar Beda Fasa Listrik
3 Fasa.

Pada umumnya di Indonesia, sistem 3 fasa ini lebih dikenal dengan nama sistem R-
S-T karena pada umumnya menggunakan simbol R, S, T untuk tiap penghantar
fasanya dan simbol N untuk penghantar netral. Sistem 3 fasa ini secara umum lebih
ekonomis dalam penghantaran daya listrik apabila dibanding dengan sistem 1 fasa,
dengan ukuran penghantar yang sama karena sistem 3-phase dapat menghantarkan
daya listrik yang lebih besar sehingga banyak mesin-mesin di pabrik menggunakan
sistem ini karena lebih ekonomis dan efisien.

Standar Kabel Menurut PUIL 2000

Gambar standar kabel menurut PUIL 2000

Keterangan :

Kabel merah                 : untuk fasa 1 atau R

Kabel kuning                : untuk fasa 2 atau S

Kabel hitam                 : untuk fasa 3 atau T

Kabel biru                    : untuk netral

Kabel hijau – kuning : untuk ground/pembumian


BAB 10. Rangkaian Bintang dan Segitiga

Rangkaian Bintang (Y) pada listrik 3 fasa


Pada rangkaian bintang ini dapat dilihat bahwa ujung terminal A’, terminal B’ dan
Terminal C’ menjadi satu titik dan ditandai dengan N (titik netral), Sedangkan ujung
terminal A, terminal B dan terminal C menjadi saluran A, B dan C atau R, S dan T
dari sistem 3 fasa.

Gambar Rangkaian Bintang Listrik 3 Fasa

Karena pada rangkaian ini terdapat titik N, rangkaian bintang ini sering disebut juga
rangkaian 3 fasa berkawat 4. Besar tegangan fasa didapat dari saluran fasa dengan
titik N dan disebut dengan Tegangan fasa. 

UAN = UBN = UCN = Tegangan fasa (U fs)

Sedangkan tegangan yang didapat antara saluran dengan saluran disebut tegangan


saluran (Line Voltage).

UAB = UBC = UCA = Tegangan line (U line)


Gambar Diagram Fasa Tegangan Untuk Rangkaian Bintang

Menurut hukum Kirchoff, besar tegangan saluran UAB adalah 

UAB = UAN + UNB = – UNA + UNB

Besarnya UAB menurut gambar diagram fasa tegangan untuk rangkaian bintang
adalah

UAB = 2 NO → NO = UNB . Cos 30°

UAB = 2 UNB . Cos 30°

        = 2 UNB . ½ √3

        = √3 UNB

Dengan cara sama, didapatkan :

UBC = √3 UNC

UCA = √3 UNA

 
Persamaan-persamaan diatas memperlihatkan bahwa pada rangkaian bintang,
besar tegangan line adalah √3 kali tegangan fasa. Dapat dituliskan :

Tegangan Line = √3 tegangan fasa

Menurut gambar diagram fasa tegangan untuk rangkaian bintang, besarnya arus line
dan arus fasa adalah sama. Dapat dituliskan :

I line = I fasa

Rangkaian Segitiga (Δ) pada listrik 3 fasa


Pada rangkaian segitiga (Δ) dibentuk dengan menghubungkan ujung terminal A
dengan B’, B dengan C’ dan C dengan A’ secara individu sehingga menghasilkan
rangkaian segitiga. dalam rangkaian ini tidak ada saluran netral sehingga sistem ini
sering disebut sistem 3 fasa berkawat 3. 

Gambar Rangkaian Segitiga Listrik 3 Fasa

Jika diperhatikan gambar rangkaian segitiga, besar tegangan fasa sama dengan
besar tegangan saluran atau line. Dapat dituliskan :

U line = U fasa 

Sedangkan arus yang mengalir pada masing-masing saluran disebut dengan arus
line. Bisa dilihat pada diagram gambar dibawah dengan ketiga arus fasanya I ba, I
cb, I ac. 
Gambar Diagram Arus Rangkaian Segitiga

Menurut hukum Kirchoff, besarnya arus I aA sebagai berikut :

I aA = I ba + I ca = – I ab + I ca

Besar IaA = 2 . NO → NO = I ca . Cos 30°

                  = 2 . Cos 30°

                  = 2 . I ca . ½ √3

                  = √3 I ca

Dengan cara yang sama, didapatkan

I bB = √3 I ab

I cC = √3 I bc

Untuk kedua sistem rangkaian bintang maupun segitiga pada listrik 3 fasa, daya
setiap fasa dapat ditentukan dengan cara yang sama seperti sistem 1 fasa. Besar
daya rata-rata setiap fasa untuk rangkaian bintang maupun segitiga adalah sama.
Pada hubungan bintang :

P fs = U fs . I fs . Cos θ

      = U fs .  I line . Cos θ

      = U line . √3 I line . Cos θ

Besar daya total :

P total = 3 . P fs

          = √3 . U line . I line . Cos θ

Pada hubungan segitiga :

P fs = U fs . I fs . Cos θ

      = U line .  I fs . Cos θ

      = U line . I line√3 . Cos θ

Besar daya total :

P total = 3 . P fs

          = √3 . U line . I line . Cos θ

Untuk faktor daya pada sistem 3 fasa yang seimbang, setiap fasanya memiliki faktor
daya yang sama.

Cos Ф = R fs / Z fs

Besar sudut antara tegangan dan arus fasa juga sama dengan sistem 1 fasa, yaitu :

θ = arc Tg (X fs / R fs) , atau

θ = arc Cos (R fs / Z fs) , atau


θ = arc Sin (X fs / Z fs)

Contoh soal :

3 buah beban yang seimbang menyerap daya 12 KVA pada πf = 0,75 menyusul,
beban tersebut dihubungkan dengan sumber 3 fasa 380 V(tegangan line) dengan f =
50Hz. Hitung besar tiap komponen dalam rangkaian, jika :

1.
a. Dihubungkan bintang (Y)
b. Dihubungkan segitiga (Δ)

Jawab :

S        = 12 KVA

Cos θ = 0,75 menyusul

UL       = 380 V

PTot    = 12.000 . 0,75 = 9.000 Watt


o Saat dihubungkan Bintang (Y) :

 VFs = VLine / √3

         = 380 / √3 = 219,393 V

PTot = VL . IL . √3 Cos θ

IL      = 9.000 / (380 . √3 . 0,75) = 18,232 A

IL      = IFs = 18,232 A

ZFs   = VFs / IFs = 219,393 / 18,232 = 12,0334Ω

R       = Z Cos θ = 12,0334 . 0,75 = 9,025

XL     = Z Sin θ = 12,0334 . 0,6614 = 7,9588Ω


L        = XL / 2𝜋 . f = 7,9588 / (2π . 50) = 25,3339 mH


o Saat dihubungkan Segitiga (Δ) :

VFs  = VLine = 380 V

PTot = VL . IL . √3 Cos θ

IL      = 9000 / (380 . √3 . 0,75) = 18,232 A

IFs    = IL / √3 = 18,232 / √3 = 10,526 A

ZFs   = VFs / IFs = 36,1Ω

R        = Z . Cos θ = 36,1 . 0,75 = 27,075Ω

X        = Z . Sin θ = 36,1 . 0,6614 = 23,8779Ω

XL      = 2𝜋 . f . L 

L         = 23,8779 / (2π . 50) = 76,0057 mH

Anda mungkin juga menyukai