Anda di halaman 1dari 49

PROCEDIA

Studi Kasus dan Intervensi Psikologi


ISSN:2302-1462
Volume 8(1), 1-47, Maret 2020

Daftar Isi

Solution focused therapy untuk memperbaiki pola komunikasi keluarga 1


Tia Safira

Cognitive Behavior Therapy untuk mengurangi kecemasan sosial pada remaja 10


Nixie Devina Rahmadiani

Reality Therapy untuk meningkatkan self acceptance pada mahasiswa dengan


problem kecemasan 19
Annisa Baitina

Meningkatkan keterampilan sosial dengan social skill training pada anak autis 26
Fatimah Azzahra

Efektivitas Terapi Gestalt dalam memperbaiki hubungan interpersonal pada


pasien gangguan psikotik 37
Afitria Rizkiana

i
PROCEDIA
Studi Kasus dan Intervensi Psikologi
ISSN:2302-1462
Volume 8(1), 1-47, Maret 2020

ii
PROCEDIA
Studi Kasus dan Intervensi Psikologi
ISSN:2302-1462
Volume 8(1) 1-8, Maret 2020
DOI: 10.22219/procedia.v4i1.11965

Solution focused therapy untuk memperbaiki pola


komunikasi keluarga
Tia Safira, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang, Indonesia

Korespondonesi:
Tia Safira, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang, safira.tya@gmail.com

Riwayat artikel Abstrak


Naskah diterima: Keluarga adakalanya mengalami suatu permasalahan yang terkait
08/09/2019 dengan pola komunikasi. Dampak pada permasalahan dengan pola
komunikasi yang tidak sehat ini yaitu tidak ditemukannya solusi dari
Revisi diterima: permasalahan yang dialami oleh keluarga karena mengalami sequence of
11/12/2019 interaction dan tidak pernah ada proses diskusi di dalamnya. Asesmen
yang dilakukan pada keluarga berupa interview dan observasi kepada
Naskah disetujui: ayah, ibu, dan anak. Hasil asesmen menunjukkan bahwa keluarga tidak
15/02/2020 dapat membangun solusi dari masalah yang mereka hadapi. Intervensi
yang diberikan adalah Solution Focused Therapy yang disusun sebanyak
6 sesi terapi. Tujuan pemberian intervensi ini agar keluarga merubah
pola komunikasi mereka menjadi lebih sehat. Hasil dari pemberian
intervensi ini keluarga berhasil menyusun beberapa solusi dan merubah
pola komunikasi mereka.
Kata kunci : Solution Focused Therapy, merubah pola komunikasi.

Latar Belakang
Keluarga merupakan suatu sistem dengan unit-unit yang saling berinteraksi (Goldenberg &
Goldenberg, 1985). Keluarga adalah sistem emosional yang secara organisatoris kompleks yang
mungkin terdiri dari beberapa generasi. Apakah pasangan hidup yang tradisional atau inovatif,
adaptif atau maladaptif, efisien atau terorganisir secara kacau, menikah atau berkomitmen
dengan atau tanpa anak-anak, keluarga mau tidak mau, dengan berbagai tingkat keberhasilan,
untuk mengatur dirinya menjadi fungsional atau memungkinkan kelompok mungkin sehingga
dapat memenuhi kolektif atau bersama-sama didefinisikan kebutuhan dan tujuan tanpa secara
konsisten atau secara sistematis mencegah anggota tertentu dari memenuhi kebutuhan dan
tujuan masing-masing (Kantor & Lehr, 1975). Keluarga biasanya mengembangkan aturan
yang menguraikan dan mengalokasikan peran dan fungsi anggotanya. Mereka yang hidup
bersama untuk waktu yang lama, dan mengembangkan pola yang disukai untuk bernegosiasi dan
mengatur hidup mereka untuk memaksimalkan harmoni dan prediktabilitas (Le Poire, 2006).
Tidak semua keluarga menampilkan pola yang stabil, kolaboratif, terarah, dan berulang
urutan interaktif. Pertukaran nonverbal antara anggota keluarga, khususnya, merepresentasikan
transaksi kode yang halus yang mentransmisikan aturan dan fungsi keluarga yang mengatur
PROCEDIA Studi Kasus dan Intervensi Psikologi Vol 8(1), Maret 2020

berbagai perilaku yang dapat diterima ditoleransi oleh keluarga (misalnya, bahwa seorang putra
tidak berbicara di hadapan ibunya berbicara, dan dia sendiri dapat mengambil gilirannya hanya
setelah suaminya berbicara). Seperti itu Interaksi berpola adalah pola transaksional yang
dapat diprediksi secara bersama-sama dihasilkan oleh semua anggota keluarga dengan isyarat,
seolah-olah setiap peserta merasa terpaksa memainkan bagian yang terlatih baik, suka atau
tidak suka (Goldenberg & Goldenberg, 2012).
Komunikasi adalah hal yang sangat penting dalam lingkungan keluarga. Pembentukan
komunikasi intensif, dinamis dan harmonis dalam keluarga tentu menjadi dambaan setiap
keluaraga. Komunikasi keluarga adalah suatu pengorganisasian yang menggunakan kata-kata,
sikap tubuh intonasi suara tindakan untuk menciptakan harapan image, ungkapan perasaan
serta saling membagi pengertian. Komunikasi yang terjalin antara orangtua dan anak dalam
satu ikatan keluarga di mana orangtua bertanggung jawab dalam mendidik anak (Koerner &
Fitzpatrick, 2006). Konsep teori sistem keluarga digunakan dengan meluas untuk menerangkan
kefungsian keluarga khususnya berkaitan hubungan di antara ibu bapak dan anak di mana
interaksi kompleks yang berlaku dalam keluarga dan juga faktor yang mempengaruhi proses
keluarga membuat keputusan dan menetapkan pencapaian tertentu (Bigner, 2002).
Gaya komunikasi adalah suatu cara atau kekhasan yang digunakan seseorang dalam
berkomunikasi saat menyampaikan gagasan, ide dalam bentuk verbal maupun non verbal dengan
orang lain.Salah satu jenis gaya komunikasi adalah gaya komunikasi otoriter. Gaya ini bersifat
satu arah dan mutlak, yaitu komunikasi satu arah dari orangtua kepada remaja saja, atau kendali
remaja mutlak di tangan orang tua. Tipe orang tua dengan gaya ini menjadi controller terhadap
pendapat anak, sangat sulit menerima saran dan cenderung memaksakan kehendak ketika
mengalami perbedaan sehingga tidak pernah terjadi diskusi penyelesaian masalah (Gamble &
Gamble, 2005).
Dalam kasus ini, keluarga mengalami permasalahan terkait dengan interaksi komunikasi
antar anggota keluarga. Ibu memiliki gaya komunikasi yang selalu bersikap keras kepada
siapapun, lalu ayah memiliki gaya komunikasi yang cenderung berkebalikan dengan istri
terutama di dalam menghadapi anak, sementara anak adalah tipe anak pemberontak yang
mudah melawan orang tua apabila mengalami perbedaan pendapat diantara ketiganya.
Permasalahan yang terjadi adalah ibu selalu mengatur kehidupan anak dan memaksakan
kehendaknya pada si anak sementara ayah berusaha untuk menenangkan istrinya namun
terkadang cara yang dilakukan ayah yaitu dengan berkata kasar pada ibu.

Metode Asesmen
Metode yang digunakan dalam asesmen dan pengambilan data adalah observasi dan wawancara.
Observasi dilakukan saat wawancara, kegiatan subjek sehari-hari dirumah dan juga anaknya,
tujuan observasi adalah untuk melihat pola perilaku dan keseharian keluarga dalam segala situasi
dan keadaan. Wawancara dilakukan kepada 3 anggota keluarga yang bermasalah yaitu ayah, ibu,
dan anak dengan tujuan untuk mengetahui lebih dalam terkait dengan data dan juga dinamika
terbentuknya permasalahan keluarga yang dialami oleh keluarga.

Presentasi Kasus
Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan, diketahui permasalahan yang keluarga alami
adalah berawal dari anak memutuskan untuk menikah dengan seorang tentara berpangkat kopral
yang bertugas di kota Malang. Rencana pernikahan tersebut sempat ditolak oleh ibu dan ayah
dengan alasan bahwa pangkat calon suami anaknya hanya kopral dengan gaji yang tidak terlalu
tinggi. namun anak tetap bersih keras untuk menikah dengan suaminya hingga ayah dan ibu
tidak bisa mencegahnya lagi. Namun dalam hal pernikahan ini, ayah lebih lebih mengembalikan
semua keputusan kepada anaknya. Setelah pernikahan berlangsung, anak dan suami untuk

2
PROCEDIA Studi Kasus dan Intervensi Psikologi Vol 8(1), Maret 2020

sementara bertempat tinggal di rumah ayah dan ibu. Ketika suami dari anaknya bekerja,
ibu sering bertindak semena-mena kepada anak dengan cara menyuruhnya dengan kasar untuk
membersihkan seluruh rumah, pakaian kotor, dan juga cucian piring. Dalam proses ini, anak
kerap kali menolak karena merasa capek karena saat itu anak masih aktif berkuliah sehingga
merasa tertekan dengan perlakuan ibunya. Ayah berusaha menenangkan ibu ketika sedang
marah bahkan terkadang dengan mengeluarkan kata-kata kasar kepada ibu, sayangnya sikap
ayah yang seperti itu membuat ibu semakin marah kepada anaknya. Selang satu bulan berlalu,
anak hamil dan selama masa kehamilan ibu tidak menunjukkan sikap yang semena-mena, hanya
lebih membiarkan anak untuk melakukan apa saja. Dengan sikap ibu yang kurang perhatian
selama masa kehamilan itu, anak kerap kali memprotes ibunya sehingga masalah kembali timbul.
Dari hasil interview diketahui bahwa sikap ibu yang selalu menolak untuk menuruti saran dan
kemauan ayah karena ibu menganggap ayah adalah orang yang tidak berkompeten dalam hal
apapun serta tidak berpendidikan sehingga segala sesuatu yang ayah sarankan bagi ibu adalah
hal yang tidak bermakna dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Sementara dari pihak ayah
merasa bahwa ibu sudah sering bersikap keterlaluan kepada anak dan merupakan istri yang
tidak pernah menghargai keputusannya sebagai kepala keluarga. Sementara anak lebih sering
merasa bahwa sikap kedua orang tuanya tidak pernah memberikan kehangatan dan selalu saling
menyalahkan.
Beberapa bulan berlalu, si anak melahirkan bayinya. Selama tinggal satu rumah dengan
ayah ibu pasca menikah, keluarga ini sering kali mengalami perdebatan yang hebat. Suatu hari,
saat dinas keluar kota, suami si anak mengirimkan chat yang berisi kalimat kasar kepada anak
karena masalah suami istri. Ibu mengetahui isi chat tersebut, karena terbiasa membuka HP
anak secara diam-diam kemudian tanpa ragu langsung memerintahkan anak untuk menceraikan
suaminya. Ayah mencoba menenangkan ibu untuk tidak gegabah dalam meminta anaknya
bercerai, namun ibu semakin marah karena merasa ayah tidak mendukung apa yang menjadi
keputusannya. Anak dengan amarahnya langsung melawan perintah kedua orang tuanya dengan
mengancam untuk melukai dirinya sendiri apabila tetap dipaksa. Namun ancaman itu tidak
berhasil sehingga ibu tetap bersih keras untuk memerintahkan anaknya menceraikan suaminya.
Merasa tidak sanggup, anak keluar dari rumah bersama bayinya dan menginap di kos-kosan di
dekat tempat suaminya bekerja. Setelah anaknya kabur dari rumah bersama bayinya, kedua
orang tua merasa sangat kebingungan dan merasa bersalah.
Hasil observasi pertama kali yang dilakukan di rumah menunjukkan bahwa hubungan antara
ayah, ibu, dan anak adalah sedang tidak baik. Ibu nampak tidak mau memandang wajah
anaknya, sementara ayah tidak memperlakukan anak demikian. Sikap sang anak kepada ibu
dan ayahnya adalah sama-sama canggung dan sedikit berbicara, anak terlihat lebih sering
menundukkan kepalanya disaat berbicara. Namun lamban laun suasana mulai mencair saat
ayah, ibu, dan anak saling mengungkapkan apa yang mereka rasakan satu sama lain terkait
dengan permasalahan yang mereka.
Dalam kasus ini, keluarga mengalami permasalahan dimana terjadi komunikasi yang kurang
sehat antar anggota keluarga, yaitu ayah yang sering berusaha menenangkan amarah ibu namun
selalu gagal karena kurangnya power yang dimiliki ayah, ibu selalu memaksakan kehendak
kepada anaknya, sementara anak tidak mau mengalah dan lebih memilih untuk lari tanpa
menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi secara kekeluargaan sehingga tidak adanya
komunikasi untuk menyelesaikan masalah tersebut. Permasalahan ini dapat dijelaskan dengan
konsep teori keluarga yaitu sequence of interaction yaitu dengan ciri-ciri adanya rangkaian
interaksi diantara para anggota keluarga yang saling memperkuat. Sequence of interaction
adalah suatu rangkaian interaksi yang tidak tepat dan berlangsung terus-menerus sehingga
memperburuk masalah keluarga (Geldard & Geldard, 2011). Dalam kasus ini, ayah selalu
mencoba menangkan ibu ketika ibu sedang meluapkan amarahnya kepada anaknya dengan cara

3
PROCEDIA Studi Kasus dan Intervensi Psikologi Vol 8(1), Maret 2020

apapun bahkan dengan berkata kasar sekalipun, namun respon ibu justru semakin meledak-ledak
karena merasa bahwa ayah tidak berada di pihaknya, dengan semakin meledaknya amarah ibu
kepada anak, maka anak semakin memberontak dengan bersikap tidak hanya melawan saja
namun anak sampai memutuskan untuk kabur dari rumah.
Dinamika permasalahan keluarga dapat dijelaskan melalui General System Theory, dimana
permasalahan muncul bukan dari masalah yang dimiliki oleh masing-masing anggota keluarga,
melainkan berakar pada struktur hubungan dari sistem keluarga itu sendiri. Hubungan yang
bermasalahan dalam sistem keluarga tersebut karena adanya konflik yang dialami dimana
sistem tersebut tidak mampu menyelesaikannya. General System Theory oleh Bertalanffy ini
memandang suatu keluarga adalah sistem secara keseluruhan, bukanlah kumpulan manusia yang
terpisah. Teori ini tidak berfokus pada proses bagaimana permasalahan itu terjadi, namun
berfokus pada untuk menyelesaikan masalah dari sistem dengan tujuan untuk mempersatukan
sistem itu kembali (Von Bertalanffy, 1968).
Sequence of Interaction yang terjadi pada keluarga terbentuk karena masing-masing dari
anggota keluarga memiliki memiliki peran dan melakukan hal yang saling mempengaruhi satu
sama lainnya. Pengaruh yang muncul akibat dari proses ini adalah terbentuknya masalah
tanpa ada solusi yang hadir menyertai, sehingga pola tersebut akan terus berlangsung apabila
masing-masing anggota keluarga tidak merubah peran atau sikap yang selama ini mereka lakukan
ketika menghadapi konflik baru. Dalam keluarga ini ayah memunculkan sikap yang berupaya
untuk menenangkan ibu ketika ibu bersikap kasar kepada anak dengan cara apapun, bahkan
dengan cara berkata kasar kepada ibu. Adapun respon yang dimunculkan oleh ibu adalah
semakin marah kepada anaknya karena merasa suaminya tidak memihaknya dan lebih memihak
kepada anaknya. Kemudian respon yang ditunjukkan oleh anak adalah semakin tidak terima
dengan sikap yang dimunculkan oleh ibu, bentuk pemberontakan yang dilakukan oleh anak
adalah melawan ibu secara verbal dan sampai mengambil keputusan untuk kabur dari rumah
meninggalkan ayah dan ibunya. Dampak dari pola komunikasi yang membentuk sequence
of interaction ini adalah menetapkan pola komunikasi yang tidak sehat sehingga tidak dapat
menemukan solusi atas masalah yang sedang dialami oleh keluarga.
Dalam SFT, ada hal yang menjadi asumsi utama dalam menjalankan terapi. Terapi
ini mengharuskan terapis untuk memiliki lensa baru dalam melihat Subjeknya. Terapis
menggunakan kekuatan utama Subjek yaitu pemikirannya, kalimat dan juga pendapat-pendapat
Subjek, dan juga menggali kompetensi-kompetensi Subjek (Beyebach, 2009). Dalam prosesnya,
Subjek dapat dibantu dengan self-fulfilling yang positif, yaitu dengan menampilkan hubungan
langsung yang muncul antara merencanakan perubahan dan hasil nyata dari hal tersebut. Hal
ini dapat dilakukan dengan membicarakan kesuksesan-kesuksesan di masa lalu, masa kini, dan
juga masa yang akan datang (D’Abate, 2016).
Setelah Subjek mempelajari kesuksesan-kesuksesanya kembali, Subjek akan menyadari
nilai dari perubahan kecil (execptions) sehingga Subjek akan lebih mengharapkan
perubahan-perubahan lain, dan mulai mempercayai snowball effect, yaitu hal kecil dapat menjadi
besar (Evans, Turner, & Trotter, 2012). Subjek adalah ahli dalam hidupnya, sehingga solusi
dari permasalahan sudah ada di dalam Subjek namun Subjek masih belum menyadari solusi
tersebut. Mendalami execption pada Subjek akan menumbuhkan insight yang mengarah pada
tindakan positif yang lebih besar bahkan lebih sering. Subjek memiliki komptensi-kompetensi
yang dapat ditarik dalam proses terapi. Sebagai hasilnya, harapan dan kepercayaan diri dalam
menemukan solusi permasalahan akan terbangun (Cheung, 2001).
Skema dasar terapeutik dalam SFT untuk memulai pada berbagai macam kasus adalah
menumbuhkan usaha untuk membangun hubungan, mencoba bekerja dengan Subjek untuk
mengklarifikasi tujuan yang ingin dicapai dari terapi pada masing-masing sesinya. Hal ini
dilakukan dengan teknik miracle question atau pertanyaan yang berorientasi pada masa depan

4
PROCEDIA Studi Kasus dan Intervensi Psikologi Vol 8(1), Maret 2020

lainnya. Setelah hal ini selesai dilakukan, terapis dapat melakukan execptions yaitu keadaan
dimana apabila masalah itu ada namun tidak terjadi, atau terjadi dengan derajat keparahan
yang lebih rendah, dan juga scalling question dimana meminta Subjek untuk memberi rating
pada perubahan yang dialami. Dengan kata lain, pemikiran lebih digunakan untuk membangun
solusi daripada sekedar memecahkan masalah saja (de Shazer & Molnar, 1984).
Diagnosis dan Prognosis
Berdasarkan hasil asesmen yang dilakukan, diketahui bahwa keluarga mengalami maslaah
Parental Child Realitional Problem (Z62.820). Hal ini berdasarkan diagnosis DSM-V dengan
kriteria yaitu adanya kontrol orang tua yang berlebihan, tekanan berlebihan dari orang tua,
penghindaran tanpa adanya resolusi dari konflik, serta kesedihan dan kemarahan untuk individu
lain di dalam sistem keluarga.
Berdasarkan hasil asesmen, dapat diketahui bahwa keluarga memiliki motivasi dan komitmen
yang tinggi untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi Sehingga dapat
disimpulkan bahwa Subjek memiliki prognosis yang baik.
Intervensi
Solution Focused Therapy (SFT) dikembangkan oleh Steve de Shazer, Insoo Kim Berg dan tim
mereka di pusat terapi keluarga di pertengahan 1980-an. Hal ini digambarkan sebagai terapi
yang berfokus pada tujuan pengobatan dan dikembangkan dari terapi menerapkan pendekatan
pemecahan masalah dan terapi keluarga sistemik (Gingerich & Eisengart, 2000). Elemen kunci
dari SFT meliputi; identifikasi masalah dan motivasi; miracle questions; kemungkinan/harapan;
Scaling / tujuan pembentukan; exceptions; keyakinan/kekuatan; dan feedback.
Walter and Peller (2000) memberikan 3 pertanyaan solution-focused yang dapat membawa
Subjek pada cerita sukses mereka. Pertanyaan pertama adalah “bagaimana anda melakukan hal
tersebut?”. Pertanyaan ini berangkat dari asumsi bahwa pada nyatanya Subjek telah melakukan
sesuatu yang diwujudkan dalam tindakan, kompetensi, dan tanggung jawab. Pertanyaan kedua
adalah, “bagaimana anda memutuskan untuk melakukan hal tersebut?”. Pertanyaan kedua
ini berangkat dari asumsi bahwa Subjek telah mengambil keputusan yang aktif untuk masa
depannya dalam menyelesaikan masalah. Pertanyaan ketiga adalah, “bagaimana cara anda
memanage untuk melakukan hal tersebut?”. Pertanyaan ini membuat Subjek terhubung kembali
dengan kesuksesan yang telah diraihnya. De Shazer and Berg (1985) menemukan bahwa
ada tiga tipe spesifik dari perilaku terapis yang akan memunculkan hasil yaitu Subjek dapat
mengungkapkan solusi dan melakukan perubahan, yaitu dengan pertanyaan mendetail terkait
penerapan pemecahan masalah dan juga reward secara verbal karena Subjek telah menemukan
suatu solusi.
Sesi 1.Kegiatan yang dilakukan adalah identifikasi masalah & asesmen kesiapan untuk berubah.
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengetahui permasalahan Subjek secara mendalam dan
juga kesiapan anggota keluarga untuk berubah. Terapis melakukan asesmen penggalian masalah
Subjek dengan fokus masalah yang dihadapi oleh keluarga dan juga mengidentifikasi kesiapan
masing-masing anggota keluarga untuk berubah dengan scalling. Respon yang dihasilkan pada
sesi ini adalah gambaran lebih dalam permasalahan yang dialami, sudut pandang dari ayah,
ibu, dan anak ketika menghadapi suatu konflik dan harapan masing-masing saat menghadapi
konflik, serta kesiapan untuk berubah yakni pada angka 10.
Sesi 2. Kegiatan yang dilakukan adalah Begin Seeing Solutions. Tujuan dari kegiatan ini
adalah untuk membantu Subjek untuk melihat solusi-solusi yang dapat mereka temukan dalam
menyelesaikan permasalahan keluarga. Terapis mengarahkan keluarga untuk mengkonstruk
solusi yang mampu mereka buat dengan mengajukan beberapa pertanyaan terbuka yang
mengarah pada untuk mengkonstruk solusi. Pertanyaan diajukan untuk masing-masing anggota

5
PROCEDIA Studi Kasus dan Intervensi Psikologi Vol 8(1), Maret 2020

keluarga dan diminta untuk saling menanggapi jawaban satu sama lainnya. Respon dari sesi
ini adalah masing-masing anggota keluarga menjawab pertanyaan secara bergantian terkait
dengan pertanyaan yang diajukan oleh terapis. Pada sesi ini, keluarga mengkonstruk satu
solusi dari permasalahan yaitu jika ayah berusaha menenangkan ibu, ibu harus mendengarkan
pendapat ayah karena ayah adalah kepala keluarga, lalu tidak boleh ada anggota keluarga yang
keluar dari rumah (kabur) saat mengalami konflik dan tidak boleh ada anggota keluarga yang
berbicara dengan nada tinggi pada satu sama lainnya. Tidak boleh ada anggota keluarga yang
terlalu mencampuri urusan pribadi anggota keluarga lainnya (ibu mencampuri urusan rumah
tangga anak). Dan ketika terjadi masalah serupa di masa yang akan datang, salah satu anggota
keluarga harus saling mengingatkan dampak negatif dari masalah ini, yaitu anak kabur dari
rumah bersama bayinya.
Sesi 3. Kegiatan yang dilakukan adalah Find GEMS; Goals, Exceptions, Miracle Questions,
Scalling, And Homework. Tujuan sesi ini adalah untuk mengidentifikasi solusi lain dari
permasalahan yang dialami oleh keluarga. Terapis mengarahkan semua anggota keluarga
untuk mengidentifikasi ulang tujuan dan keinginan masing-masing anggota keluarga terhadap
satu sama lain. Terapis mengarahkan keluarga untuk mendiskusikan tentang exceptions
dari permasalahan yang mereka alami, terapis mengarahkan keluarga untuk berdisukusi yang
berdasarkan pada miracle questions, terapis mengarahkan keluarga untuk memberikan penilaian
berupa scale untuk menilai seberapa besar harapan dan kesuksesan yang nanti mereka peroleh
untuk menyelesaikan permasalahan keluarga mereka, terapis memberikan homework berupa
menuliskan bagaimana reaksi diri mereka sendiri saat ada anggota lain yang masih menerapkan
pola komunikasi yang sama. Respon pada sesi ini adalah Tujuan yang ingin mereka capai adalah
untuk dapat saling menghargai satu sama lain. Execptions; jika masalah ini tidak terjadi maka
tidak ada anggota keluarga yang pergi dari rumah, dan rumah tangga akan menjadi tentram.
Miracle Question; hal kecil pertama yang menjadi tanda bahwa masalah kami selesai adalah di
pagi hari kami memulainya dengan sarapan bersama, bersenda gurau, dan saling memeluk satu
sama lain. Scalling; semua anggota keluarga memberikan penilaian angka 10.
Sesi 4. Kegiatan yang dilakukan pada sesi ini adalah Evaluation & Surprise Task. Tujuan
dari sesi ini adalah untuk mengevaluasi homework dan memberikan arahan untuk melakukan
surprise task pada masing-masing anggota. Terapis melakukan evaluasi mengenai tugas mereka
terkait dengan sikap mereka dalam menghadapi masing-masing anggota keluarga. Kemudian
terapis melakukan surprise task dimana meminta masing-masing anggota keluarga untuk saling
memberikan kejutan/hadiah untuk satu sama lain berdasarkan dengan apa yang dibutuhkan
atau yang diinginkan oleh masing-masing anggota keluarga. Respon pada sesi ini adalah hasil
evaluasi homework adalah untuk ayah ia akan mengingatkan istri atau anak, untuk ibu ia akan
mengalihkan dirinya yang mudah emosi dengan melakukan aktifitas yang lain terlebih dahulu
lalu mengingatkan ayah dan anaknya, untuk anak ia akan mengingatkan ayah dan ibu resiko
dari gaya komunikasi yang tidak sehat. Surprise task yang mereka pilih adalah, ayah memilih
memberikan mukenah kepada ibu dan memberikan pakaian untuk anak. Sementara ibu memilih
memberikan jaket untuk ayah, dan memberikan alat make up untuk anak. Sementara anak
memilih memberi susu penguat tulang untuk ayah, dan buku resep makanan untuk ibu.
Sesi 5. Kegiatan yang dilakukan pada sesi ini adalah Instill a Vission & Feedback. Tujuan
pada sesi ini adalah untuk mengarahkan masing-masing anggota keluarga untuk mendiskusikan
kondisi dimana permasalahan yang mereka hadapi menjadi lebih baik dan memberikan
feedback atas keseluruhan terapi. Terapis mengarahkan masing-masing anggota keluarga
untuk membayangkan dan mendiskusikan bagaimana kehidupan mereka apabila mereka dapat
menemukan solusi dari permasalahan yang mereka alami dan bagaimana cara mempertahankan
kondisi tersebut. Kemudian terapis memberikan feedback atas hasil diskusi dan keseluruhan
hasil terapi. Respon pada sesi ini adalah keluarga menghasilkan upaya untuk mempertahankan

6
PROCEDIA Studi Kasus dan Intervensi Psikologi Vol 8(1), Maret 2020

kondisi dimana tidak mengalami permasalahan yang sama, yaitu dengan mempertahankan sikap
saling diam dan mengalah, serta menghindar apabila ada salah satu anggota keluarga yang mulai
melakukan gaya komunikasi yang lama.
Hasil Intervensi
Berdasarkan hasil intervensi yang telah dilakukan, terdapat beberapa perubahan kondisi yang
dialami oleh keluarga pada saat sebelum dan sesudah dilaksanakannya intervensi menunjukkan
keluarga berhasil merubah pola komunikasi menjadi lebih sehat, yaitu yang ditunjukkan pada
Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Sebelum dan Sesudah Intervensi
Pra Intervensi Pasca Intervensi
1. Ayah mencoba menenangkan ibu ketika 1. Ayah menenangkan ibu tanpa berkata
bersikap kasar kepada anaknya, namun kasar pada ibu.
terkadang ayah juga besikap kasar kepada
ibu ketika mencoba memberitahu ibu.
2. Ibu selalu marah ketika ayah 2. Ketika ayah menasehati, ibu lebih
mencoba menenangkannya dengan kasar memilih diam dan mendengarkan ayah.
dan semakin marah kepada anak.
3. Anak memberontak perlakuan kasar 3. Anak tidak berbicara kasar kepada
dengan cara berkata kasar dan kabur dari ayah dan ibu.
rumah.

Pembahasan
Dinamika permasalahan keluarga dapat dijelaskan melalui General System Theory, dimana
permasalahan muncul bukan dari masalah yang dimiliki oleh masing-masing anggota keluarga,
melainkan berakar pada struktur hubungan dari sistem keluarga itu sendiri. Hubungan yang
bermasalahan dalam sistem keluarga tersebut karena adanya konflik yang dialami dimana
sistem tersebut tidak mampu menyelesaikannya. General System Theory oleh Bertalanffy ini
memandang suatu keluarga adalah sistem secara keseluruhan, bukanlah kumpulan manusia yang
terpisah. Teori ini tidak berfokus pada proses bagaimana permasalahan itu terjadi, namun
berfokus pada untuk menyelesaikan masalah dari sistem dengan tujuan untuk mempersatukan
sistem itu kembali (Von Bertalanffy, 1968).
Dalam proses pelaksanaan terapi, keberhasilan terapi tidak lepas dari motivasi internal para
anggota keluarga. Selama proses terapi berlangsung, keluarga antusias untuk mengikuti sesi-sesi
dalam terapi dengan cara mencatat hal-hal yang perlu dicatat. Antusiasme muncul setelah
anak pulang kembali ke rumah setelah memutuskan untuk kabur bersama bayinya. Faktor
eksternal yang berperan di dalam keberhasilan terapi adalah kejadian kaburnya anak dari
rumah bersama bayinya menimbulkan perasaan bersalah yang luar biasa pada ayah dan ibu,
serta anaknya sehingga semua anggota keluarga dapat mendalami setiap proses terapi dengan
sungguh-sungguh.
Solution Focused Therapy dalam memperbaiki pola komunikasi keluarga adalah dengan
membantu mengkonstruk solusi dari pola komunikasi yang tidak sehat. Solusi-solusi tersebut
merujuk kepada pola komunikasi sehat seperti apa yang harus dimiliki keluarga. Poin penting
dalam SFT adalah membantu Subjek mengkonstruk solusi dari masalah yang mereka miliki
daripada berfokus pada masalah itu sendiri Dalam prosesnya, Subjek dapat dibantu dengan
self-fulfilling yang positif, yaitu dengan menampilkan hubungan langsung yang muncul antara
merencanakan perubahan dan hasil nyata dari hal tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan

7
PROCEDIA Studi Kasus dan Intervensi Psikologi Vol 8(1), Maret 2020

membicarakan kesuksesan-kesuksesan di masa lalu, masa kini, dan juga masa yang akan datang
(D’Abate, 2016). Setelah Subjek mempelajari kesuksesan-kesuksesanya kembali, Subjek akan
menyadari nilai dari perubahan kecil (execptions) sehingga Subjek akan lebih mengharapkan
perubahan-perubahan lain, dan mulai mempercayai snowball effect, yaitu hal kecil dapat menjadi
besar (Evans, Turner, & Trotter, 2012). Subjek adalah ahli dalam hidupnya, sehingga solusi
dari permasalahan sudah ada di dalam Subjek namun Subjek masih belum menyadari solusi
tersebut. Mendalami execption pada Subjek akan menumbuhkan insight yang mengarah pada
tindakan positif yang lebih besar bahkan lebih sering. Subjek memiliki komptensi-kompetensi
yang dapat ditarik dalam proses terapi. Sebagai hasilnya, harapan dan kepercayaan diri dalam
menemukan solusi permasalahan akan terbangun (Cheung, 2001).
Skema dasar terapeutik dalam SFT untuk memulai pada berbagai macam kasus adalah
menumbuhkan usaha untuk membangun hubungan, mencoba bekerja dengan Subjek untuk
mengklarifikasi tujuan yang ingin dicapai dari terapi pada masing-masing sesinya. Hal ini
dilakukan dengan teknik miracle question atau pertanyaan yang berorientasi pada masa depan
lainnya. Setelah hal ini selesai dilakukan, terapis dapat melakukan execptions yaitu keadaan
dimana apabila masalah itu ada namun tidak terjadi, atau terjadi dengan derajat keparahan
yang lebih rendah, dan juga scalling question dimana meminta Subjek untuk memberi rating
pada perubahan yang dialami. Dengan kata lain, pemikiran lebih digunakan untuk membangun
solusi daripada sekedar memecahkan masalah saja (de Shazer & Molnar, 1984).

Simpulan
Solution Focused Therapy secara efektif dapat membantu keluarga untuk mengkonstruk solusi
dari permasalahan yang dialami sebagai suatu sistem keluarga yang utuh tanpa melihat
masing-masing anggota keluarga sebagai hal yang terpisah-pisah. Dengan teknik menetapan
tujuan, execption, miracle question, dan scalling dapat membantu keluarga untuk menghasilkan
pemikiran-pemikiran terkait dengan hal yang harus mereka lakukan dan tidak boleh mereka
lakukan ketika menghadapi permasalahan serupa di masa yang akan datang.

Referensi
Beyebach, M. (2009). Integrative brief solution-focused family therapy: A provisional roadmap. Journal of
Systemic Therapies, 28(3), 18-35.
Bigner, J. J. 2002. Parent-Child Relations: An Introduction to Parenting. Ed. ke-6. Upper Saddle River, New
Jersey: Merrill Prentice Hall.
Cantwell, P., & Holmes, S. (1994). Social construction: A paradigm shift for systemic therapy and training.
Australian and New Zealand Journal of Family Therapy, 15(1), 17-26.
Cheung, S. (2001). Problem-solving and Solution-focused therapy for Chinese: Recent developments. Asian
Journal of Counselling, 8(2), 111-128.
de Shazer, S., & Berg, I. K. (1985). A part is not apart: Working with only one of the partners present. In A.
Gurman (Ed.), Casebook of marital therapy. New York: Guilford Press
de Shazer, S., & Molnar, A. (1984). Four useful interventions in brief family therapy. Iournal of Marital and
Family Therapy,10, 297-304.
D’Abate, D. A. (2016). Use of solution-focused and family narrative approaches in working with high conflict
families: Strategies and techniques that can be utilized in parenting coordination and co-parenting
coaching. Journal of Child Custody, 13(4), 269-288.
Evans, P., Turner, S., & Trotter, C. (2012). The effectiveness of family and relationship therapy: A Review of
the Literature. Psychotherapy and Counselling Journal of Australia.
Gamble, T. K., & Gamble, M. (2005). Contacts: Interpersonal communication in theory, practice, and context.
Recording for the Blind & Dyslexic.
Gingerich, W. J., & Eisengart, S. (2000). Solution-focused brief therapy: A review of the outcome research.
Family process, 39(4), 477-498.
Goldenberg, I. & Goldenberg, H. 1985. Family Therapy: An Overview. New York: Sage
Goldenberg, H., & Goldenberg, I. (2012). Family therapy: An overview. Cengage learning.
Kantor, D., & Lehr, W. (1975). Inside the family: Towards a theory of family process. San Francisco: Josey-Bass.

8
PROCEDIA Studi Kasus dan Intervensi Psikologi Vol 8(1), Maret 2020

Koerner, A. F., & Fitzpatrick, M. A. (2006). Family communication patterns theory: A social cognitive approach.
Engaging theories in family communication: Multiple perspectives, 50-65.
Le Poire, B. A. (2006). Family communication: Nurturing and control in a changing world. Sage.
Simon, J. K., & Berg, I. K. (1999). Solution-focused brief therapy with long-term problems.
Von Bertalanffy, L. (1968). General system theory. New York, 41973(1968), 40.
Walter, J. L., & Peller, J. E. (2000). Recreating brief therapy: Preferences and possibilities. WW Norton & Co.

9
PROCEDIA
Studi Kasus dan Intervensi Psikologi
ISSN:2302-1462
Volume 8(1) 10-18, Maret 2020
DOI: 10.22219/procedia.v4i1.11961

Cognitive Behavior Therapy untuk mengurangi


kecemasan sosial pada remaja
Nixie Devina Rahmadiani, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang, Indonesia

Korespondonesi:
Nixie Devina Rahmadiani, Universitas Muhammadiyah Malang, e-mail:nixie.nixie@yahoo.co.id

Riwayat artikel Abstrak


Naskah diterima: Remaja dengan kecemasan sosial ditandai dengan perasaan
15/12/2019 ketidaknyamanan yang signifikan dan menghindari situasi sosial.
Individu mudah merasa gugup ketika berada di lingkungan ramai,
Revisi diterima: terkadang muncul keringat dingin, merasa cemas apabila berjalan
04/02/2020 sendiri sehingga lebih sering pergi ditemani orang lain. Apakah
Intervensi Cognitive Behavior Therapy efektif dalam menangani
Naskah disetujui: kecemasan sosial? Studi kasus ini melibatkan seorag remaja yang
10/03/2020 mengalami kecemasan social yang merasa tidak aman dan cenderung
bersikap malu-malu dalam bersikap. Asesmen dilakukan dengan
observasi, wawancara, tes psikologi (CPM, FSCT dan grafis), dan skala
kecemasan sosial Liebowitz. Intervensi Cognitive Behavior Therapy
dilaksanakan selama 9 sesi. Hasil dari intervensi menunjukkan subjek
mampu mengidentifikasi pemikiran negatif dan merubah menjadi lebih
positif serta menurunnya tingkat kecemasan subjek saat berjalan sendiri
di lingkungan ramai dalam setting sekolah sesuai target intervensi yang
telah ditentukan.
Kata kunci : cognitive behavior therapy, kecemasan sosial, remaja, tes
psikologi.

Latar Belakang
Permasalahan kecemasan tidak hanya dialami oleh individu yang berada pada usia dewasa.
Kecemasan dapat muncul dan berkembang menjadi gangguan sejak usia anak-anak maupun
remaja. Permasalahan kecemasan terutama kecemasan terhadap lingkungan sosial ditandai
dengan adanya perasaan takut untuk dipersepsi tidak memadai dalam situasi sosial atau
akademik sehingga menyebabkan perilaku tertentu. Masalah yang terjadi pada masa anak-anak
dan remaja dapat menjadi faktor resiko untuk perkembangan gangguan psikologis di masa
mendatang (Melfsen et al., 2011).
Masalah kecemasan sosial ditandai dengan adanya perasaan ketidaknyamanan yang
signifikan dan menghindari situasi sosial atau performa diri (Ryan & Warner, 2012). Remaja
PROCEDIA Studi Kasus dan Intervensi Psikologi Vol 8(1), Maret 2020

yang mengalami masalah kecemasan sosial menjadi cemas dalam situasi sosial karena ada
perasaan ketakutan akan evaluasi negatif atau diawasi oleh orang lain (Donovan, 2014). Hal
ini akan berakibat pada perilaku individu yang menjadi maladaptif seperti menghindari hal-hal
yang menimbulkan kecemasan bagi dirinya.
Kondisi yang dialami subjek yaitu merasa cemas ketika berada pada lingkungan umum.
Subjek (12 tahun/perempuan/siswa SMP kelas VII) mengalami permasalahan sejak SD dan
bertahan hingga saat ini. Subjek mengalami peristiwa yang kurang menyenangkan di masa
lalunya sehingga membuatnya merasa takut apabila orang lain menilai dirinya buruk. Pemikiran
negatif inilah yang membuatnya merasa cemas apabila berada pada lingkungan umum. Namun
demikian, subjek masih relatif mampu untuk menghadapi beberapa situasi meski seringkali
lebih banyak meminta pendamping atau teman untuk menemaninya saat berada di tempat
umum misalnya akan pergi ke kantin di sekolah.
Berdasarkan kondisi tersebut maka intervensi yang dapat diberikan pada subjek adalah
cognitive behavior therapy. Intervensi ini menggunakan pendekatan kognitif dan perilaku.
Cognitive behavior therapy merupakan intervensi yang paling banyak memberikan bukti empiris
tentang keefektifannya dalam menangani permasalahan kecemasan baik pada anak-anak, remaja
maupun dewasa. Dalam prosesnya, terapis akan mengajarkan kemampuan coping yang adaptif
dan memberikan kesempatan untuk berlatih sehingga dapat membentuk kemampuan untuk
menguasai dirinya ketika mengalami gejala kecemasan atau situasi yang memunculkan distress
psikologis (Lowenstein, 2016).
Beberapa studi membuktikan bahwa cognitive behavior therapy efektif untuk mengatasi
permasalahan kecemasan sosial pada anak-anak dan remaja (Melfsen et al., 2011; Seligman
& Ollendick, 2011). Berdasarkan uraian di atas maka untuk menurunkan tingkat kecemasan
dan membuat subjek berani untuk menghadapi situasi sosial tanpa bergantung pada orang lain
adalah dengan pendekatan cognitive behavior therapy dengan teknik restrukturisasi kognitif,
teknik relaksasi, dan gradual exposure.

Metode Asesmen
Asesmen untuk menegakkan diagnosa yang tepat dilakukan melalui serangkaian metode antara
lain wawancara, observasi dan tes psikologi. Wawancara dilakukan terhadap subjek untuk
memperoleh informasi secara mendalam tentang riwayat permasalahan yang dialami. Observasi
dilakukan untuk pemeriksaan status mental subjek dan untuk memperoleh informasi perilaku
dan aktivitas subjek.
Tes psikologi yang diberikan kepada subjek antara lain CPM (Colour Progressive Matrices)
untuk mengetahui tingkat kemampuan kognitif subjek. FSCT (Forer Sentence Completion Test)
untuk mengetahui bagaimana sikap klien terhadap orangtua, figur otoritas, teman sebaya, serta
respon terhadap lingkungannya. Tes grafis (BAUM, DAP, HTP) untuk mengetahui gambaran
kepribadian subjek. Metode asesmen yang lain adalah dengan memberikan skala The Liebowitz
Social Anxiety Scale for Children and Adolescents untuk mengetahui tingkat kecemasan yang
dialami oleh subjek dan pada aspek mana saja yang mengalami permasalahan.

Presentasi Kasus
Subjek (perempuan/12 tahun) saat ini duduk di kelas VII di salah satu SMP Negeri di
Kota Malang. Subjek merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Subjek dan keluarganya
sebenarnya berasal dari Surabaya, namun Ayah subjek pindah bekerja dan sejak subjek kelas 2
SD telah berpindah ke Malang.
Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan, subjek menceritakan bahwa subjek
merasa takut ketika harus berjalan sendirian di lingkungan umum dan seringkali muncul keringat
di badannya. Subjek mulai merasakan kondisi ini sejak SD kelas V dan saat ini ketika Ia duduk

11
PROCEDIA Studi Kasus dan Intervensi Psikologi Vol 8(1), Maret 2020

di bangku kelas VII, subjek juga masih merasa takut untuk berada di lingkungan ramai atau
menjadi pusat perhatian. Hasil wawancara yang dilakukan kepada Ibu diketahui bahwa Ibu
merasa bahwa subjek tipikal anak yang pemalu. Subjek kurang dapat bersosialisasi dengan
orang lain secara luwes. Ketika berkumpul dengan keluarga, subjek pun juga lebih sering berada
di kamar dan hanya berkumpul dengan orang-orang tertentu saja.
Subjek sebenarnya berasal dari Kota Surabaya. Saat subjek kelas II SD pindah ke Kota
Malang karena ikut Ayahnya yang berpindah kerja. Subjek menceritakan saat awal pindah
sekolah pernah mendapatkan peristiwa yang kurang menyenangkan dari teman barunya. Subjek
mendapatkan kekerasan verbal dimana temannya menyebut dirinya “bonek” dan subjek tidak
menyukai hal tersebut. Subjek merupakan pribadi yang introvert sehingga kurang dapat
bersikap terbuka. Ketika mendapatkan perlakuan tersebut subjek lebih banyak diam saja
namun pernah suatu ketika merespon tindakan temannya tersebut hingga menangis. Selain itu,
Subjek juga pernah merasa ditinggalkan oleh temannya karena bertengkar ketika SD. Akibat
dari kejadian tersebut, subjek merasa tidak memiliki teman namun akhirnya pada saat semester
lanjutan sudah mulai memiliki teman lagi.
Dari hasil tes grafis yang diberikan, subjek memiliki indikasi kecemasan dalam dirinya.
Subjek merasa tidak aman sehingga menimbulkan perasaan tegang dan bersikap malu-malu
serta kurang tegas dalam bersikap. Hal ini didukung pula oleh hasil wawancara dari Ibu yang
mengatakan bahwa subjek memang sering bersikap malu-malu dan cenderung bergantung pada
orang lain.
Subjek memiliki indikasi hambatan emosional yang dialami akibat adanya konflik dan
kekecewaan yang terjadi di masa lalunya sehingga membuatnya kurang stabil dalam hal
emosi dan memiliki hubungan interpersonal yang kurang memadai karena merasa tidak
aman. Kepribadian subjek yang cenderung berorientasi pada masa lalu membuatnya menjadi
berperilaku maladaptif akibat peristiwa yang pernah dialami sebelumnya. Berdasarkan hasil tes
FSCT (Forer Sentence Completion Test) diketahui pula bahwa subjek memiliki permasalahan
hubungan interpersonal dengan orang lain. Subjek cenderung membatasi dirinya karena merasa
tidak nyaman ketika menjadi pusat perhatian sehingga membuatnya lebih banyak bergantung
pada orang lain karena merasa tidak percaya diri. Hal ini disebabkan karena subjek merasa
takut apabila dinilai orang buruk serta dibicarakan oleh orang lain.
Subjek jarang sekali pergi ke luar kelas apabila tidak ada teman yang menemaninya. Subjek
cenderung bergantung pada orang lain dan tidak ingin sendirian. Hal inilah yang menjadi
permasalahan utama dalam diri subjek. Dari hasil skala The Liebowitz Social Anxiety Scale for
Children and Adolescents pun diketahui bahwa subjek termasuk dalam kategori cukup tinggi
pada aspek takut dan menghindar situasi sosial. Subjek memiliki ketakutan terbesar apabila
menjadi pusat perhatian, tampil di depan orang lain, bergabung dengan suatu kelompok, dan
pergi sendirian. Subjek juga cenderung untuk menghindari menjadi bagian dari kelompok
tertentu serta bepergian seorang diri.
Dalam memahami masalah yang dialami oleh subjek, maka dapat ditelaah berdasarkan
pendekatan kognitif perilaku. Cognitive behavior therapy merupakan intervensi yang
menggunakan dasar model kognitif yang dihipotesiskan bahwa emosi, perilaku dan fisiologis
individu dipengaruhi oleh persepsi suatu kejadian (Beck, 2011). Teori ABC ini melibatkan
adanya struktur situasi/event, pemikiran otomatis atau belief, dan reaksi (B - pikiran, perasaan,
dan perilaku). Subjek memiliki belief yang salah yaitu merasa bahwa dirinya akan dilihat,
dinilai, dan dipandang buruk oleh orang lain. Hal ini memunculkan perasaan yang membuatnya
merasa cemas, gugup, dan memunculkan reaksi fisik yang berkeringat (C – reaksi perilaku).
Subjek pada akhirnya berusaha untuk menghindari situasi yang ramai orang atau cenderung
bergantung pada orang lain untuk menekan perasaan cemasnya tersebut (A – situasi/event).
Dari gambaran permasalahan tersebut, dapat dipahami bahwa permasalahan subjek timbul

12
PROCEDIA Studi Kasus dan Intervensi Psikologi Vol 8(1), Maret 2020

akibat adanya distorsi kognitif yang membuat dirinya berpikir bahwa orang lain akan ngerasani
subjek dan menilai dirinya buruk. Hal ini mengakibatkan perilaku maladaptif subjek yang
cenderung menghindari situasi sosial dan akhirnya lebih banyak bergantung pada orang lain
ketika akan pergi ke suatu tempat. Gambar 1 menjelaskan permasalahan yang terjadi pada
subjek.

Diagnosis dan Prognosis

Subjek memenuhi kriteria diagnostik dengan kode V15.89 (Z72.9) yaitu other personal risk
factor (APA, 2013). Faktor resiko yang dimaksud dalam hal ini adalah pemikiran irasional
subjek bahwa dirinya akan dinilai buruk oleh orang lain sehingga menyebabkan subjek kurang
berani untuk berada di lingkungan sekolah sendirian, dan cenderung bergantung pada orang
lain ketika di lingkungan sekolah.
Terapis memperkirakan keberhasilan subjek dalam menyelesaikan terapi adalah baik. Hal
ini berdasarkan pertimbangan bahwa subjek memiliki kesadaran dan keinginan untuk dapat
menghilangkan perasaan cemasnya dan ingin bisa lebih mandiri lagi. Selain itu, subjek juga
memiliki dukungan sosial yang memadai dari orangtua maupun guru. Dengan kemampuan
kognitif yang tergolong di atas rata-rata, subjek diperkirakan mampu untuk mengikuti instruksi
yang diberikan oleh terapis.

Intervensi

Metode intervensi yang digunakan adalah Cognitive Behavior Therapy (CBT). CBT merupakan
salah satu treatment yang didasarkan pada formulasi kognitif, kepercayaan individu dan strategi
perilaku yang dapat menjelaskan terbentuknya gangguan (Beck, 2011). Cognitive behavior
therapy merupakan pendekatan yang membentuk kemampuan seorang individu sehingga terapis
sifatnya direktif dan sesi-sesinya mendidik. Sesi dalam proses cognitive behavior therapy dilihat
sebagai tahapan proses belajar. Pertemuan dengan anak maupun orangtua dapat diterapkan
untuk mengenalkan kemampuan yang akan diajarkan. Selain itu, adanya pekerjaan rumah
diluar sesi akan membuat individu mempraktikkan kemampuan yang nantinya akan dibangun
(Seligman & Ollendick, 2011).
Asumsi dasar dari cognitive behavior therapy adalah adanya hubungan resiprokal antara
proses kognitif klien yaitu apa yang mereka pikirkan, bagaimana perasaannya (afek), fisiologis,
dan perilaku individu (Roth, Eng, & Heimberg, 2002). Proses dalam intervensi ini adalah dengan
melakukan restrukturisasi kognitif, latihan relaksasi, dan gradual exposure.
Restrukturisasi kognitif bertujuan untuk membantu subjek memahami hubungan antara
pikiran, perasaan, dan perilakunya (Lowenstein, 2016). Latihan relaksasi yang digunakan adalah
relaksasi otot progresif. Tujuannya adalah untuk melatih subjek agar lebih dapat bersikap rileks
dan menggunakan keterampilan yang baru ketika merasa cemas dalam situasi tertentu atau
ketika mengatasi masalah (Corey, 2013). Sedangkan terapi perilaku yang digunakan adalah
dengan gradual exposure. Gradual exposure merupakan intervensi cognitive behavioral yang
didesain untuk mengatasi disfungsi dari perilaku secara bertahap sehingga anak-anak dapat
meningkatkan fungsi agar lebih optimal. Individu akan dihadapkan langsung pada situasi yang
membuatnya merasa cemas secara bertahap dimulai dari target yang paling rendah hingga target
akhir yang ditentukan (Lowenstein, 2016). Penentuan tahapan dari target dibuat berdasarkan
hirarki.
Target dalam intervensi ini adalah subjek mampu menyadari bahwa pemikirannya adalah
salah dan irasional sehingga Ia mampu untuk lebih berani dan tidak cemas ketika berhadapan
dengan situasi sosial. Perubahan perilaku menjadi lebih berani mandiri untuk berada pada
situasi sosial dilihat berdasarkan keterangan dan jawaban subjek pada lembar tugas yang

13
PROCEDIA Studi Kasus dan Intervensi Psikologi Vol 8(1), Maret 2020

Gambar 1. Dinamika problem remaja.

diberikan dengan menuliskan pikiran-pikirannya dan menurunnya tingkat kecemasan ketika Ia


berada di lingkungan umum.
Intervensi dilakukan dalam sembilan sesi dimana setiap sesinya terdapat proses evaluasi
terkait sejauh mana subjek dapat menerapkan keterampilan barunya. Adapun penjelasan
masing-masing sesi yaitu sebagai berikut:
Sesi 1: Membangun rapport dan komitmen bersama. Pada sesi ini terapis membangun
hubungan baik dengan subjek serta ibu subjek. Terapis menanyakan pada subjek bagaimana
perasaannya ketika menghindari situasi sosial dan menanyakan apakah perilakunya tersebut
mengganggu atau tidak. Selain itu, terapis dan subjek berdiskusi tentang perilaku yang dialami
subjek serta dampak ke depannya. Subjek tampak ingin berubah karena ia merasa tidak nyaman
dengan perilakunya tersebut.
Sesi 2: Identifikasi pemikiran-pemikiran negatif. Di sesi kedua ini, terapis membantu
subjek untuk mengidentifikasi pemikiran irasional dan pemikiran negatifnya sehingga
menyebabkan subjek merasa cemas hingga cenderung tidak berani untuk berada pada
lingkungan sosial secara mandiri. Target pada sesi ini terpenuhi karena subjek mampu untuk
mengidentifikasi mengapa ia menjadi tidak berani. Pada sesi ini juga beberapa kali dilakukan
konfrontasi karena subjek terkadang masih merasa benar dengan pemikirannya tersebut.

14
PROCEDIA Studi Kasus dan Intervensi Psikologi Vol 8(1), Maret 2020

Target pada sesi ini terpenuhi yaitu subjek mengetahui bahwa pemikirannya tersebut
merupakan pemikiran yang negatif sehingga membuatnya menjadi mudah cemas dan cenderung
bergantung pada orang lain dalam lingkungan sosial.
Sesi 3: Mengajari hubungan antara kognitif – emosi – perilaku. Pada sesi ini subjek
diajarkan dan ditunjukkan bahwa antara kognitif, emosi dan perilaku saling berkaitan satu sama
lain. Subjek dan terapis saling berdiskusi satu sama lain. Terapis memberikan contoh bahwa
antara pikiran, perasaan, dan perilaku memiliki sebuah hubungan sehingga menyebabkan subjek
menjadi takut dan memunculkan perilaku berupa cenderung tidak berani sendiri di tempat
umum.
Sesi 4: Melatih subjek menghasilkan pemikiran positif dan rasional. Pada sesi ini,
subjek diajak untuk mengubah pemikirannya yang negatif tersebut menjadi pemikiran yang
positif. Terapis melakukan konfrontasi dan disputing terkait dengan pemikiran negatifnya
sehingga subjek dapat berpikir lebih positif dan rasional lagi. Di akhir sesi, subjek diberikan
homework untuk mengisi tentang identifikasi pikiran-pikiran negatifnya dan mengubahnya
menjadi pikiran yang lebih positif. Evaluasi dari homework tersebut terungkap bahwa subjek
sudah dapat lebih berpikir positif dari sebelumnya.
Sesi 5: Latihan relaksasi. Pada sesi ini, terapis menunjukkan pada subjek bahwa rasa
cemas dan berdebar-debar yang dialami olehnya dapat dikurangi dengan cara latihan relaksasi.
Kemudian, terapis menunjukkan video latihan relaksasi otot progresif dan bersama-sama subjek
menirukan bentuk latihan relaksasi tersebut. Subjek mampu mengikuti instruksi dan contoh
yang diberikan. Di akhir sesi, subjek diberikan homework oleh terapis untuk melakukan
latihan relaksasi di rumah sebelum pertemuan ke sesi selanjutnya. Selain itu, terapis juga
memberikan gambaran tahapan intervensi selanjutnya dimana subjek akan diberikan latihan
untuk menghadapi situasi yang membuatnya merasa cemas. Subjek menyetujui dengan kegiatan
yang akan dilakukan
Sesi 6: Exposure I. Exposure dilaksanakan secara bertahap berdasarkan hirarki dari target
yang paling terendah. Sebelum tahapan exposure dijalankan, subjek dan terapis menyusun
bersama-sama hirarki sesuai kondisi yang paling rendah hingga paling tinggi terkait situasi
yang membuat subjek merasa cemas. Setelah disepakati hirarki, subjek dan terapis menjalankan
exposure I. Sebelum treatment dimulai, subjek menanyakan pada subjek dengan menggunakan
scaling question yang digunakan sebagai pretest dan nantinya akan dibandingkan dengan skor
setelah treatment selesai dilakukan.
Hirarki yang telah dibuat dan disepakati antara subjek dan terapis dalam hal ini terdiri dari
3 situasi, yaitu berjalan di depan kelas/lorong deretan kelas pada saat jam istirahat, berjalan di
lorong sekolah/lapangan pada saat jam istirahat, dan berjalan di kantin pada saat jam istirahat
sambil membeli makanan sendiri tanpa teman. Pelaksanaan dan target dari exposure I tercapai.
Subjek mampu mengikuti arahan dan istruksi dari terapis serta menunjukkan penurunan tingkat
kecemasan.
Latihan pertama dilakukan dengan pendampingan oleh terapis. Setelah itu, subjek dibiarkan
untuk berjalan sendiri ketika ada banyak siswa-siswa lain di sekitar lorong dekat kelasnya.
Sebelum dilakukan exposure I, subjek diminta untuk melakukan relaksasi terlebih dahulu sambil
menanyakan tentang tingkat kecemasan yang dirasakannya. Setelah itu, subjek dilatih sesuai
hirarki yang telah ditetapkan.
Sesi 7: Exposure II. Pada sesi ke-7, exposure kembali dilakukan dengan didahului relaksasi
sebelum mulai latihan. Subjek diajak untuk menghadapi situasi berdasarkan hirarki yang telah
ditetapkan dan terapis mengobservasi serta memberikan scaling question kembali.
Sesi 8: Exposure III. Pada sesi ke-8, exposure dilakukan di tahap yang ketiga dengan situasi
berdasarkan hirarki yang masih sama. Subjek diminta untuk relaksasi terlebih dahulu sebelum

15
PROCEDIA Studi Kasus dan Intervensi Psikologi Vol 8(1), Maret 2020

akhirnya menghadapi situasi hirarki. Setelah proses exposure selesai, subjek diminta untuk
memberikan scaling question.
Exposure III ini adalah tahapan terakhir dari tahapan terapi perilaku yang diberikan. Setelah
itu, terapis melakukan terminasi pada subjek dengan mengajaknya berdiskusi terkait dengan
apa yang telah dilakukan serta terapis juga memberikan motivasi agar subjek tidak lagi merasa
cemas ketika berada di lingkungan yang ramai.
Sesi 9: Follow up. Sesi follow up dilakukan 1 minggu pasca pemberian intervensi. Terapis
menanyakan pada subjek tentang tingkat kecemasan yang dirasakannya saat berada di
lingkungan yang ramai di sekolah sesuai hirarki yang telah dibuat.
Hasil dan Pembahasan
Hasil
Cognitive behavior therapy yang dilakukan dapat mencapai target yang telah ditentukan. Subjek
mampu mengidentifikasi pemikiran-pemikiran negatifnya dan merubahnya menjadi pemikiran
yang lebih positif dan rasional serta menurunnya tingkat kecemasan ketika subjek berada di
lingkungan yang ramai di sekolah dan berjalan sendirian. Kesadaran subjek bahwa pemikiran
negatifnya yang membuatnya menjadi cemas ketika berjalan sendirian menjadi salah satu aspek
keberhasilan dalam intervensi ini. Komitmennya yang cukup tinggi serta adanya dukungan dari
orang lain yaitu orangtua dan guru juga membuat subjek semakin memperkuat keinginannya
untuk mengubah perilakunya yang cenderung kurang berani.
Selama proses terapi kognitif, subjek mampu mengembangkan pemikiran yang lebih positif.
Hal ini dilakukan terapis dengan cara memberikan penugasan dimana subjek diminta untuk
menuliskan apapun pemikiran negatifnya sehingga membuatnya merasa cemas apabila berjalan
sendiri di lingkungan umum di sekolah. Setelah itu, subjek diajak berdiskusi sehingga Ia mampu
membuat pemikiran yang lebih positif. Tabel 1 adalah hasil dari restrukturisasi kognitif yang
telah dilakukan.
Sedangkan pada tahapan terapi perilaku, perubahan tingkat kecemasan subjek dalam situasi
sosial yaitu berani berjalan sendiri di tempat umum terlihat dari nilai scaling question di
setiap sesi yang dilakukan. Didapatkan bahwa setiap sesi exposure yang dilakukan, subjek
menunjukkan ada penurunan tingkat kecemasan yang dirasakan berdasarkan scaling question
yang diberikan. Hasil follow up juga menunjukkan bahwa klien mampu mempertahankan
penurunan tingkat kecemasannya dan melaporkan bahwa subjek sekarang sudah mulai berani
apabila berjalan sendirian di lorong sekolah serta di dekat rumahnya sekalipun. Perubahan
tingkat kecemasan sebelum dan sesudah intervensi terlihat pada Gambar 2.
Pembahasan
Intervensi dengan menggunakan cognitive behavior therapy menunjukkan hasil yang positif
pada subjek dengan permasalahan kecemasan sosial yang dalam hal ini adalah setting sekolah.
Cognitive behavior therapy mampu membantu subjek untuk mengubah pemikirannya menjadi

Tabel 1. Hasil proses restrukturisasi kognitif.


No. Pemikiran Negatif Pemikiran Positif
1 Orang itu pasti melihat ke aku Wajar kalau orang melihat ke arahku
2 Aku takut dibicarakan sama Selama aku tidak berbuat yang salah, orang lain tidak
orang lain akan membicarakan hal buruk tentang aku. Belum
tentu orang lain ngerasani aku
3 Aku takut dinilai jelek Orang tidak selalu melihat jelek selama aku berbuat
orang lain baik dan tidak aneh-aneh

16
PROCEDIA Studi Kasus dan Intervensi Psikologi Vol 8(1), Maret 2020

Gambar 2. Perubahan tingkat kecemasan sebelum dan sesudah intervensi.

lebih positif melalui proses restrukturisasi kognitif dan membuat subjek lebih berani untuk
berjalan sendirian melalui serangkaian proses terapi perilaku dengan teknik gradual exposure.
Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa cognitive behavior therapy mampu mengatasi
permasalahan kecemasan sosial pada anak-anak dan remaja (Melfsen et al., 2011; Scharfstein &
Beidel, 2011; Seligman & Ollendick, 2011).
Melalui terapi kognitif dengan proses restrukturisasi kognitif, subjek diajarkan untuk
mengidentifikasi pemikiran-pemikiran negatif yang selama ini menyebabkan dirinya menjadi
cenderung takut dan cemas. Kemampuan individu untuk berpikir atau meyakini standar
rasional serta kemampuannya untuk memahami pemikiran atau keyakinan dapat mempengaruhi
perilaku dan perasaan seorang individu (James, Soler, & Weatherall, 2005).
Pemikiran negatif subjek mengenai pandangan tentang dirinya apabila dilihat oleh orang lain
disebabkan karena faktor di masa lalunya yang pernah memiliki peristiwa kurang menyenangkan
oleh temannya saat subjek masih SD. Seperti yang diungkapkan oleh Leigh & Clark (2016)
yang menjelaskan bahwa asumsi mengenai penilaian diri “saya aneh” atau “saya jelek” banyak
ditemukan pada kasus kecemasan sosial remaja dimana mereka mengalami tindakan bullying oleh
teman sebayasehingga mempengaruhi keyakinan dirinya (belief ) yang menyebabkan penurunan
harga diri individu. Berdasarkan model kognitif, keyakinan yang salah atau distorsi kognitif pada
individu menyebabkan individu merasa cemas secara sosial dan melihat situasi sosial sebagai
suatu hal yang mengancam (Schreiber, Höfling, Stangier, Bohn, & Steil, 2012).
Pengalaman kurang menyenangkan yang dialami oleh subjek menyebabkan dirinya
mengembangkan skema pemikiran yang mengarah pada distorsi kognitif. Pemikiran bahwa
subjek merasa orang lain pasti melihat ke arah dirinya dan memandang dirinya buruk atau
dibicarakan di belakang merupakan salah satu keyakinan yang disfungsional atau distorsi
kognitif yang berupa overgeneralisasi. Nelson-Jones (2011) menjelaskan bahwa overgeneralisasi
merupakan proses menarik kesimpulan dari satu atau beberapa situasi dan kesimpulan tersebut
diterapkan pada situasi yang lebih luas namun kurang relevan.
Setelah proses restrukturisasi kognitif selesai dilakukan, subjek telah mampu membentuk
skema pemikiran yang lebih positif. Tahapan selanjutnya adalah memberikan latihan relaksasi
menggunakan teknik relaksasi otot progresif dan pernafasan. Pemberian latihan relaksasi
menjadi prosedur dalam mengontrol kecemasan individu karena reaksi fisik yang kuat dapat
berkontribusi terhadap munculnya perasaan takut dan cemas pada individu sehingga dengan
diberikan latihan relaksasi, individu mampu untuk menghadapi reaksi yang muncul (Clark et
al., 2006).

17
PROCEDIA Studi Kasus dan Intervensi Psikologi Vol 8(1), Maret 2020

Terapi perilaku dilakukan dengan menghadapkan subjek pada situasi yang membuatnya
merasa cemas dengan diberi beberapa sesi latihan. Tahapan ini menggunakan teknik gradual
exposure menggunakan hirarki atau bisa disebut juga sebagai in vivo exposure.James et al (2005)
menjelaskan bahwa teknik exposure in vivo atau teknik imajinasi yang biasanya menggunakan
tahapan (gradual) dan hirarki menjadi elemen penting dari terapi cognitive behavior therapy.
Sesi terapi perilaku dilakukan dalam setting sekolah sehingga untuk memenuhi target intervensi
yang telah ditetapkan dilakukan pada sekolah. Exposure yang dilakukan di sekolah dilakukan
dengan menghadapkan subjek pada objek yang nyata dan realistik sehingga dapat membuat
subjek lebih berani dan menantang perilaku baru (Ryan & Warner, 2012).
Berdasarkan pemaparan hasil dan pembahasan diatas, maka dapat ditarik benang merah
bahwa cognitive behavior therapy mampu mengatasi problem kecemasan sosial pada remaja.
Terapi ini secara bersama-sama membantu klien terlibat dalam kegiatan yang ditakuti
dengan disertai uji realitas pikiran dan keyakinan otomatisnya sehingga dapat melatih klien
menghasilkan keterampilan atau perilaku tertentu (Nelson-Jones, 2011).

Simpulan
Cognitive behavior therapy dengan menggunakan restrukturisasi kognitif, latihan relaksasi,
dan teknik exposure dapat mengatasi permasalahan kecemasan sosial pada remaja. Tahapan
dalam terapi ini dilakukan dengan membantu subjek mengidentifikasi pemikiran negatifnya
dan membentuk pemikiran yang lebih positif dan rasional, memberikan edukasi pada subjek
bagaimana cara mereduksi kecemasan dengan melakukan latihan relaksasi, serta menghadapkan
subjek pada situasi yang membuatnya merasa cemas berdasarkan hirarki yang telah disepakati
bersama. Perubahan yang terjadi pada subjek terlihat pada homework restrukturisasi kognitif
dan menurunnya level kecemasan saat menghadapi situasi yang menjadi target intervensi.

Referensi
American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and statistical manual of mental disorders (Fifth edition
text revision). Washington DC: Autor
Beck, J. S. (2011). Cognitive behavior therapy basics and beyond second edition. New York: The Guilford Press.
Clark, D. M., Ehlers, A., McManus, F., Hackmann, A., Fennell, M., Grey, N., . . . Wild, J. (2006). Cognitive
therapy versus exposure and applied relaxation in social phobia: A randomized controlled trial. Journal
of Consulting and Clinical Psychology, 74(3), 568–578.
Corey, G. (2013). Teori dan praktek konseling dan psikoterapi. Bandung: PT. Refika Aditama
Donovan, C. L. (2014). Brief treatment of child social anxiety disorder. Psychopathology Review, 1(1), 195–200.
James, A., Soler, A., & Weatherall, R. (2005). Cognitive behavioural therapy for anxiety disorders in children
and adolescents (review). Cochrane Database of Systematic Reviews, (4), 1–26.
Leigh, E., & Clark, D. M. (2016). Cognitive therapy for social anxiety disorder in adolescents: A development
case series. Behavioural and Cognitive Psychotherapy, 44, 1–17.
Lowenstein, L. (2016). Creative cbt interventions for children with anxiety. Canada: Champion Press.
Melfsen, S., Kuhnemund, M., Schwieger, J., Warnke, A., Stadler, C., Poustka, F., & Stangier, U. (2011). Cognitive
behavioral therapy of socially phobic children focusing on cognition: a randomised wait-list control study.
Child and Adolescent Psychiatry and Mental Health, 5(1), 5.
Nelson-Jones, R. (2011). Teori dan praktik konseling dan terapi. Yogyakarta : Penerbit Pustaka Pelajar.
Roth, D. A., Eng, W., & Heimberg, R. G. (2002). Cognitive behavior therapy. In Encyclopedia of Psychotherapy
(pp. 761–768). USA: Elsevier Science.
Ryan, J. L., & Warner, C. M. (2012). Treating adolescents with social anxiety disorders in schools. Child Adolesc
Psychiatr Clin N Am, 21(1), 105–ix.
Scharfstein, L., & Beidel, D. C. (2011). Behavioral and cognitive-behavioral treatments for youth with social
phobia. Journal of Experimental Psychopathology, 2(4), 615–628.
Schreiber, F., Hofling, V., Stangier, U., Bohn, C., & Steil, R. (2012). A cognitive model of social phobia:
applicability in a large adolescent sample. International Journal of Cognitive Therapy, 5(3), 341–358.
Seligman, L. D., & Ollendick, T. H. (2011). Cognitive behavioral therapy for anxiety disorders in youth. Child
Adolesc Psychiatr Clin N Am, 20(2), 217–238.

18
PROCEDIA
Studi Kasus dan Intervensi Psikologi
ISSN:2302-1462
Volume 8(1) 19-25, Maret 2020
DOI: 10.22219/procedia.v4i1.11963

Reality Therapy untuk meningkatkan self acceptance


pada mahasiswa dengan problem kecemasan
Annisa Baitina, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang, Indonesia

Korespondonesi:
Annisa Baitina, Universitas Muhammadiyah Malang, e-mail:annisabaitina9@gmail.com

Riwayat artikel Abstrak


Naskah diterima: Penerimaan diri merupakan masalah yang sering terjadi pada
07/11/2019 individu yang mengalami kecemasan. Studi kasus ini bertujuan
untuk meningkatkan self acceptance pada mahasiswa dengan problem
Revisi diterima: kecemasan. Asesmen dilakukan untuk mendiagnosa subjek adalah
30/01/2020 wawancara, observasi, dan tes psikologi yang meliputi tes grafis, SPM,
dan Self Acceptance Scale. Hasil asesmen awal menunjukkan bahwa
Naskah disetujui: individu ingin memiliki teman yang banyak dan tidak lagi cemas ketika
02/03/2020 presentasi di kelas. Intervensi dilakukan untuk meningkatkan self
acceptance yang ditandai dengan kesadaran diri bahwa dia memiliki
kelebihan dan kemampuan untuk sama dengan teman-temannya, dan
dapat memahami materi kuliah dengan baik. Intervesi Reality
therapy yang diikuti subjek menghasilkan peribahan pada subjek, yaitu
mampu mengetahui kelebihan dan kekurangannya, dapat menyusun
jangka pendek dan jangka panjang, serta menyusun langkah-langkah
mewujudkannya.
Kata kunci : reality therapy, self acceptance, kecemasan, problem dewasa,
perencanaan.

Latar Belakang
Kecemasan merupakan suatu keadaan yang terjadi ketika individu mengalami kekhawatiran
yang berlebihan terhadap suatu kejadian atau situasi tertentu. Hal ini terjadi ketika intensitas,
durasi, dan frekuensi kegelisahan atau kekhawatiran tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya
dan hal tersebut tidak dapat diantasipasi oleh indivudu tersebut yang menjadikan kekhawatiran
tersebut tak terkendali (APA, 2013). Kecemasan mungkin tidak akan muncul setiap saat,
mungkin muncul ketika ada stimulus atau simptom yang membuat rasa cemas tidak dapat
terkendali sehingga berakibat yang lebih parah dan mengarah ke gangguan kecemasan (Nutt,
Griez, Faravelli, Zohar, & Wiley, 2001). Subjek IFT mengalami kecemasan ketika sedang
dalam proses kuliah karena menurutnya subjek tidak bisa mengikuti perkuliahan dengan baik.
Subjek berpikir bahwa dirinya salah memilih jurusan yang membuatnya tidak maksimal dalam
mengikuti perkuliahan.
PROCEDIA Studi Kasus dan Intervensi Psikologi Vol 8(1), Maret 2020

Penerimaan diri (self acceptance) merupakan suatu penerimaan terhadap keadaan diri
sendiri atau suatu kondisi dimana individu mampu menghadapi tekanan psikologis dan mampu
menyesuaiakn diri dengan baik sehingga muncul kesejahteraan bagi dirinya (Vasile, 2013). Salah
satu aspek penting dari penerimaan diri adalah kemampuan dan kemauan untuk membiarkan
bagaimana orang melihat diri kita. Selain itu, seseorang dengan penerimaan diri yang baik
berarti dapat menjalani hidup tanpa khawatir bahwa orang lain akan menghakimi atau melihat
diri mereka negatif (Carson & Langer, 2014). Seseorang dengan penerimaan diri rendah biasanya
tidak akan mampu mengenali kemampuan diri mereka sendiri dan mereka akan cenderung
memilih untuk menutup diri, hidup dalam kepura-puraan dan mereka akan menikmati hal
tersebut karena dengan melakukan hal itu, mereka akan terhindar hari pandangan negatif orang
lain (Carson & Langer, 2014).
Untuk meningkatkan self acceptance pada subjek dilakukan dengan reality therapy.
Pada penelitian sebelumya diketahui reality therapy dinilai cukup efektif untuk membangun
kepercayaan diri seseorang agar mengatahui kelebihan dan kemampaun dirinya sendiri, selain
itu reality therapy juga dapat membuat subjek berpikir lebih terarah mengenai rencana untuk
masa depan (Younesi, Khazan, Jani, & Mahdizadeh, 2017; Farahanifar, 2016).

Metode Asesmen
Metode asesmen yang digunakan adalah observasi, wawancara, dan tes psikologi. Wawancara
dilakukan terhadap subjek dan teman kuliah subjek dengan tujuan untuk memperoleh informasi
secara mendalam yang berkaitan dengan permasalahan subjek secara keseluruhan. Observasi
dilakukan untuk pemeriksaan status mental yang meliputi penampilan subjek, perilaku, dan
kesadaran subjek.
Tes psikologis yang digunakan mencakup tes kepribadian yaitu tes grafis (BAUM, DAP, dan
HTP), SPM, dan self acceptance scale. Tes grafis diperlukan untuk mengetahui kepribadian
subjek secara lebih mendalam. Standard Progressive Matrices (SPM) digunakan untuk
mengetahui grade intelektual subjek, dan self acceptence scale untuk mengetahui sejauh mana
subjek memiliki penerimaan diri.

Presentasi Kasus
Subjek (perempuan/20 tahun) merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Saat ini subjek
masih menempuh pendidikan di salah satu perguruan tinggi dan mengambil jurusan peternakan,
saat ini masih berada di semester 6. Subjek memiliki satu adik perempuan dan laki-laki yang
masih duduk di bangku sekolah. Ayah dan ibu subjek sama-sama bekerja sebagai Pegawai
Negeri Sipil (PNS) di salah satu kantor pemerintahan di Jawa Timur.
Subjek merasa salah memlih jurusan karena yang subjek inginkan adalah masuk kedokteran,
namun karena ayahnya memaksa masuk peternakan akhirnya subjek pun menyetujuinya.
Namun, dalam perjalanannya subjek mengalami banyak kesulitan subjek merasa tidak mampu
dalam perkuliahan. Menurut subjek nilainya tidak pernah bagus dan subjek kesulitan dalam
menerima pelajaran di kelas. Subjek merasa hingga saat ini tidak terlalu paham dengan apa yang
menjadi hal penting yang harus dipelajari di kelas. Subjek menjadi putus asa dan terkadang
tidak ingin melakukan apapun dan hanya ingin tidur.
Subjek merasa tidak mengetahui apa yang menjadi keahlian dirinya karena sejak kecil
ayahnya sudah mengarahkan subjek ketika akan melakukan sesuatu, hingga kuliah pun ayah
subjek yang memilihkan. Subjek sebenarnya tidak menyetujui pilihan ayahnya namnun subjek
tidak dapat menolaknya. Begitu pula dengan adik-adik subjek juga diperlakukan sama oleh ayah
subjek. Hubungan subjek dengan adik-adiknya cukup baik, subjek dan adiknya sering pergi
bersama dan sering bercerita tentang keseharian atau hal lainnya. Menurut subjek di rumah
dirinya lebih dekat dengan ibunya, karena ibunya yang dapat mendengarkan cerita subjek dan

20
PROCEDIA Studi Kasus dan Intervensi Psikologi Vol 8(1), Maret 2020

mampu memberikan solusi yang baik untuk subjek walaupun ibu subjek tidak dapat membantu
subjek jika ayahnya mulai mengatur subjek namun ibunya selalu memberikan semangat untuk
subjek.
Dalam pergaulan, subjek cenderung pendiam dan sulit dalam menyesuaikan diri hal tersebut
didukung dengan hasil tes grafis yang menunjukkan bahwa subjek ada hambatan dalam interaksi
sosial. Subjek lebih sering menutup diri dan enggan bergaul jika tidak dengan teman-teman
yang dekat dengan subjek. subjek lebih sering menyimpan permasalahan yang dirinya hadapi
sendiri dan enggan menceritakan masalahnya dengan sahabatnya sekalipun karena menurut
subjek dirinya tidak ingin merepotkan orang lain. Teman subjek juga mengungkapkan hal
yang sama bahwa subjek adalah seseorang yang moody jika subjek sedang ingin sendiri maka
teman-temannya akan memahaminya dan tidak menggangu subjek.
Subjek sampai saat ini tidak mengetahui apa kelebihan yang dirinya miliki dan tidak
memiliki rencana tenatang masa depannya atau rencara untuk waktu sekarang. Subjek merasa
pesimis kerena menganggap bahwa dirinya saat ini saja tidak terlalu pintar bagaiman nanti
dirinya dapat mewujudkan keinginannya. Subjek merasa tidak ada yang mendukungnya dan
membantunya dalam berbagai hal. Sedangkan berdasarkan tes Standar Progressive Matrices
(SPM) subjek memiliki grade taraf intelektual yaitu high auto superior, yang berarti subjek
memiliki pemahaman yang baik.
Dari keseluruhan hasil asesmen dapat disimpulkan bahwa subjek memiliki permasalahan
pada self acceptance dimana subjek tidak percaya pada kemampuannya sendiri, tidak
mnegetahui kelebihan yang dirinya miliki dan belum memiliki rencana untuk dirinya
sendiri. Penerimaan diri yaitu bagaimana seseorang memandang dirinya positif dan memiliki
kemampuan untuk menonjolkan kemampuannya dihadapan orang lain tanpa rasa ragu (Vasile,
2013). Self acceptance mengacu pada kepuasan individu terhadap dirinya sendiri yang
melibatkan pemahaman terhadap diri sendiri, kesadaran yang realistis, mengerti akan kelebihan
dan kekurangan diri sendiri maupun orang lain, serta mengetahui bahwa setiap orang akan
berbeda (Shepard & Shepard, 2015).

Diagnosis dan Prognosis


Subjek memenuhi kriteria diagnostik Other Specified Anxiety Disorder 300.09 (F41.8) dengan
permasalahan rendahnya self acceptance atau penerimaan diri. Prognosis pada subjek yaitu
baik, karena faktor pencetus yang jelas, rapport yang terjalin dengan baik, segera dilakukan
penanganan, taraf intelegensi berdasarkan grade SPM yaitu high auto superior dan adanya
motivasi subjek yang ingin menjadi lebih baik dan tidak lagi mudah putus asa dalam menghadapi
permasalahan.

Intervensi
Terapi reaitas merupakan suatu sistem yang difokuskan pada tingkah laku sekarang. Terapis
berfungsi sebagai guru dan model serta mengkonfrontasikan subjek dengan cara-cara yang
dapat membantu subjek menghadapi kenyataan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar
tanpa merugikan diri sendiri maupun orang lain. Inti terapi realitas adalah penerimaan
tanggung jawab pribadi yang disamakan dengan kesehatan mental. Terapi realitas yang
menguraikan prinsi-prinsip dan prosedur yang dirancang untuk membantu orang dalam
mencapai keberhasilan. Reality Therapy sebagai sistem konseling membantu orang dalam
memuaskan keinginan dan kebutuhan mereka dalam mengevaluasi kebutuhan mereka menjadi
suatu perilaku (Wubbolding, 2017). Terapi realitas membantu orang dalam membantu dan
memperjelas tujuan-tujuan meraka. Terapis harus memiliki tujuan tertentu bagi subjek dalam
pikirannya. Mereka menekankan bahwa kriteria psikoterapi yang berhasil sangat bergantung
pada tujuan yang ditentukan oleh subjek (Nematzadeh & Sary, 2014).

21
PROCEDIA Studi Kasus dan Intervensi Psikologi Vol 8(1), Maret 2020

Alasan menggunakan terapi realitas adalah agar subjek dapat mengetahui kelebihan dan
kekurangannya, dan subjek juga dapat memiliki rencana positif untuk dirinya sehingga subjek
tidak lagi cemas dan putus asa dan diharapkan target intervensi dapat tercapai yaitu subjek
memiliki penerimaan diri yang lebih baik lagi untuk masa depannya. Berikut tahapan dan
proses reality therapy untuk subjek:
Sesi 1: Building Rapport dan kontrak kerja.Terapis membangun raport dan menumbuhkan
kepercayaan pada subjek dan memberikan gambaran akan terapi yang dilakukan dengan
membuat kesepakan serta informed consence, kegiatan ini bertujuan untuk memotivasi subjek
agar bersedia mengikuti proses terapi hingga akhir sesi. Sesi ini subjek menyetujui dan kooperatif
serta memiliki komitmen untuk berubah menjadi lebih baik lagi.
Sesi 2: Eksplorasi keinginan, kebutuhan dan persepsi (wants). Terapis meminta subjek
untuk mengatakan apa keinginannya lalu kemudian menuliskannya di selembar kertas. Sama
halnya dengan kelebihan dan kekurangnnya. Pada sesi ini dapat berjalan dengan baik walupun
di awal subjek sempat kebingungan dengan apa kelebihan dan kekurangan dirinya. Subjek
menyetujui menulis pada selembar kertas yang sudah disediakan agar subjek tidak lupa dan
mengetahui dengan jelas apa yang dirinya inginkan baik untuk saat ini maupun di masa
mendatang.
Sesi 3: Membuat penilaian (Doing ). Terapis meminta subjek untuk membaca ulang apa
kelebihan serta kekurangannya. Subjek diminta menganalisis bagaimana cara memaksimalkan
kelebihannya dan meminimalisir kekurangannya agar tidak menghambat keinginannya. Dalam
sesi ini, subjek mulai menyadari apa yang dirinya miliki dan menurut subjek dirinya mampu
untuk melakukan hal tersebut.
Sesi 4: Menyusun rencana positif dan evaluasi (Evaluation). Setelah subjek memahami
dengan baik kelebihan dan kekurangannya subjek bersama dengan terapis menganalisis
keinginan subjek yang sudah subjek tuliskan dalam sesi sebelumnya. Subjek dan terapis
bersama-sama membuat rencana positif agat keinginan subjek dapat terpenuhi tanpa kendala
dengan cara memaksimalkan kemampuan dalam dirinya.
Sesi 5: Menyusun keinginan dan komitmen bersama (Plan). Subjek sudah memahami
dan memiliki rencana untuk kedepannya baik dalam hal kuliah maupun dirinya sendiri.
Terapis membantu subjek untuk membuat rencana bagaimana agar subjek selalu mengingat
kelebihannya sebagai hal positif sehingga subjek dapat maksimal dalam menjalakan berbagai
hal termasuk perkuliahan. Subjek juga diminta untuk menjalin hubungan sosial yang lebih baik
dengan teman-temannya terlebih teman sekelas agar subjek mendapat dukungan
Sesi 6: Terminasi. Subjek diminta untuk menyimpulakan apa kelebihannya, kekurangan,
dan keinginan serta bagaimana cara mewujudkannya. Terapis memotivasi subjek agar terus
mengingat hal tersebut dan melakukannya agar subjek lebih dapat menerima dan mnegnal
dirinya serta kemampuannya dengan baik.
Sesi 7: Follow up. Terapis melakukan wawancara pada subjek dan menanyakan tentang
keadaan subjek dan bagaimana penerapan inetrvensi yang sudah dilakukan.
Hasil dan Pembahasan
Hasil
Dari intervensi yang telah dilakukan dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan self acceptance
pada subjek. hal ini ditandai dengan subjek yang sudah mulai mengetahui kelebihannya serta
kekurangannya. Subjek juga telah membuat rencana yang baik bagi dirinya baik untuk jangka
pendek maupun jangka panjang. Subjek sudah mulai mengoptimalkan kelebihannya dan mulai
meminimalisir kekurangan yang dirinya miliki dan menjadikannya motivasi. Subjek juga merasa

22
PROCEDIA Studi Kasus dan Intervensi Psikologi Vol 8(1), Maret 2020

rasa cemasnya sedikit berkurang dan subjek mau berusaha belajar dengan maksimal sebelum
presentasi atau ujian di kampusnya dan tidak akan mudah putus asa. Sebelumnya subjek mudah
merasa putus asa dan tidak tahu akan kemampuannya sendiri.
Sebelum intervensi dimulai subjek pertama-tama diberikan skala penerimaan diri untuk
mengukur sejauh mana subjek memiliki penerimaan diri positif dalam dirinya. Setelah subjek
mengisi kemudian diperoleh skor rata-rata untuk penerimaan diri subjek yaitu sebesar 3,7
yang berarti cenderung rendah. Kemudian setelah intervensi dilakukan pada waktu follow up
subjek diminta mengisi skala yang sama yang bertujuan untuk mengetahui peribahan pada
subjek, setelah itu diperoleh skor penerimaan diri sebesar 5 yang berarti subjek sudah memiliki
penerimaan diri positif yang cukup baik. Hal ini mennjukkan bahwa intervensi yang dilakukan
telah memenuhi target yaitu meningkatkan penerimaan diri subjek. Perubahan yang terlihat
setelah dilakukannya intervensi reality therapy dapat dilihat pada Tabel 1.

Pembahasan

Terapi realitas berlandaskan premis bahwa ada suatu kebutuhan psikologis tunggal yang hadir
sepanjang hidup. Kebutuhan akan identitas menyebabkan adanya dinamika tingkah laku
yang dipandang sebagai universal pada semua kebudayaan. Dalam pembentukan identitas,
masingmasing dari kita mengembangkan keterlibatan orang lain untuk memainkan peranan
yang berarti dalam membantu kita dalam menjelaskan dan memahami identitas kita sendiri
(Corey, 2010). Flanagan & Flanagan (2004) manusia termotivasi untuk memenuhi satu atau
lebih dari lima kebutuhan dasar, baik secara genetis maupun kebutuhan lain. Lima kebutuhan
dasar manusia tersebut adalah kelangsungan hidup, cinta dan rasa memiliki, kekuatan atau
prestasi, kebebasan atau kemerdekaan, dan kesenangan. Dengan dilakukannya terapi tersebut
subjek secara tidak langsung telah memperbaiki lima kebutuhan dasarnya yang belum terpenuhi
dan menjadikan subjek sebagai individu yang lebih baik dengan dapat menerima dirinya sendiri.
Penerimaan diri diartikan sebagai penerimaan seseorang terhadap semua yang ada pada
dirinya termasuk kekurangannya sendiri serta kelemahan-kelemahannya (Shepard & Shepard,
2015). Subjek telah mampu untuk mencari tahu tentang kelebihan apa yang dirinya miliki dan
bagaimana cara mengoptimalkan kelebihan tersebut agar keinginanya dapat tercapai. Selain
itu subjek juga telah mengetahui kekurangan yang subjek miliki dan bagaimana harus bersikap
sehingga subjek tidak putus asa dan selalu merasa tidak mampu. Subjek telah menunjukkan
bahwa kekurangan akan subjek jadikan sebagai motivasi agar terus berjuang meraih cita-citanya
yang sebenarnya.
Dengan reality therapy, terapis mencoba untuk menanamkan pada diri subjek bahwa apa
yang telah subjek lakukan saat ini akan berdampak positif bagi subjek mapun orang di sekitarnya

Tabel 1. Hasil perkembangan subjek


Sebelum intervensi Setelah intervensi
Subjek belum memahami tentang dirinya terkait Subjek telah mampu mengetahui dan
kelebihan dan kekurangan yang subjek miliki mengidentifikasi apa saja kelebihan dan
kekurangannya
Subjek belum memiliki rencana apapun untuk Subjek telah memiliki rencana positif untuk
dirinya baik untuk jangka pendek maupun dirinya
jangka panjang
Subjek belum mampu untuk merealisasikan Subjek sudah berani menentukan sikap
keinginannya karena merasa tidak mampu bagaimana dirinya nanti akan bertindak
untuk mewujudkan keinginannya dan tidak akan
putus asa serta menjadikan kekurangan sebagai
motivasi untuk lebih baik lagi

23
PROCEDIA Studi Kasus dan Intervensi Psikologi Vol 8(1), Maret 2020

(Jahromi & Mosallanejad, 2014). Subjek dapat memenuhi kebutuhan dasarnya yang belum
terpenuhi dan subjek merasa hal tersebut akan baik bagi dirinya sehingga subjek tidak akan
mudah menyerah dan putus asa selain itu kecemasan subjek juga akan sedikit menurun setelah
intervensi ini dilakukan.
Simpulan
Reality therapy yang dilakukan kepada subjek berdampak positif. Subjek dapat mengetahui
kelebiahn dan kekurangannya serta mampu membuat rencana positif untu dirinya. Subjek akan
berusaha belajar dengan baik di jurusan ini agar dapat mewujudkan cita-citanya dan subjek
juga tidak akan mudah putus asa dan mudah cemas lagi. subjek juga telah mengetahui bahwa
kelemahan tidak boleh dijadikan hambatan namun harus dijadikan sebagai motivasi agar subjek
terus maju. Subjek ingin membuat orang tuanya bangga akan dirinya dan oleh sebab itu subjek
harus belajar dan bekerja keras. Berdasarkan asesmen dan intervensi yang telah dilakukan,
terdapat beberapa rekomendasi dan saran sebagai berikut:
Saran yang dapat diberikan untuk subjek agar lebih mengoptimalkan kelebihan yang dimiki
dan tidak mudah menyerah ketika ada permasalahan. Subjek juga diharapkan dapat mulai
terbuka dengan teman-temannya sehingga subjek dapat memiliki dukungan. Bagi teman subjek
yaitu diharapkan dapat memberikan dukungan pada subjek dan tidak meninggalkan subjek jika
subjek terlihat murung. Sesekali ajak subjek berbicara dari hati ke hati agar subjek mau terbuka
dan menerima bantuan dari temannya. Praktikan atau psikolog selanjutnya diharapkan untuk
psikolog selanjutnya ang menangani subjek dapat membantu memperbaiki hubungan antara
ayah dan subjek melalui konseling keluarga, agar subjek dan ayahnya dapat memahami satu
sama lain. Selain itu dapat membantu menangani permasalahan kecemasan yang dihadapi
subjek dengan terapi CBT atau terapi lain yang sesuai.
Referensi
APA. (2013). Diagnostic and statistical manual of mental disorders (5th Ed.). Washington DC and London:
American Psychiatric Association.
Carson, S. H., & Langer, E. J. (2014). Mindfulness and self-acceptance. Journal of RationalEmotive and
Cognitive-Behavior Therapy, 24(1), DOI: 10.1007/s10942-006-0022-5.
Corey, G. (2009). Theory and practice of counceling and psychotherapy (8th Ed.). USA: Thomson Brooks/Cole.
Ellswort, L. (2007). Chosing to heal using reality therapy in the treatment of sexually abuse children. New York,
London: Routledge.
Farahanifar, M. (2016). The effect of group consulting based on reality therapy on self-control and resiliency of
women having disabled children of arak city. International Journal Of Humanities And Cultural Studies,
(2016), 2217–2227.
Flanagan, J. S., & Flanagan, R. S. (2004). Counseling and psychotherapy theories in context and practice skills,
streategies, and techniques. Canada: John Wiley Sons, Inc.
Glasser, W. (2005). Warning: Psychiatry can be hazardous to your mental health. Journal of Clinical Psychiatry,
7(244). https://doi.org/10.4088/PCC.v07n0208
Jahromi, M. K., & Mosallanejad, L. (2014). The impact of reality therapy on metacognition, stress and hope in
addicts. Iranian journal of educational Sociology, 1(6), 76-84.
Nematzadeh, A., & Sary, H. S. (2014). Effectiveness of group reality therapy in increasing
the teachers’ happiness. Procedia-Social and Behavioral Sciences, 116(2016), 907–912.
https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2014.01.318
Nutt, D., Griez, E. J. L., Faravelli, C., Zohar, J., & Wiley, J. (2001). Anxiety disorders. New York: Tottenham
Court Road.
Shepard, L. A., & Shepard, L. A. (2015). Self-acceptance : The evaluative momponent of the self-concept
construct. American Educational Research Journal, 16(2), 139–160.
Vasile, C. (2013). An evaluation of self-acceptance in adults. Procedia-Social and Behavioral Sciences, 78, 605–609.
https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2013.04.360
Wubbolding, R. E. (2017). Reality therapy and self-evaluation: The key to client change (K. Mikel, ed.).
Alexandria: American Counseling Association.
Yao, Y. W., Chen, P. R., Li, C. shan R., Hare, T. A., Li, S., Zhang, J. T., . . . Fang, X. Y. (2017).
Combined reality therapy and mindfulness meditation decrease intertemporal decisional impulsivity

24
PROCEDIA Studi Kasus dan Intervensi Psikologi Vol 8(1), Maret 2020

in young adults with Internet gaming disorder. Computers in Human Behavior, 68, 210–216.
https://doi.org/10.1016/j.chb.2016.11.038
Younesi, S. J., Khazan, K., Jani, S., & Mahdizadeh, Z. (2017). The effectiveness of reality therapy concepts
on self-esteem of the elderly in the center of aramesh in parsabad. Journal of Advances in Medical and
Pharmaceutical Sciences, 12(1), 1–8.

25
PROCEDIA
Studi Kasus dan Intervensi Psikologi
ISSN:2302-1462
Volume 8(1) 26-36, Maret 2020
DOI: 10.22219/procedia.v4i1.11964

Meningkatkan keterampilan sosial dengan social skill


training pada anak autis
Fatimah Azzahra, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang, Indonesia

Korespondensi:
Fatimah Azzahra, Universitas Muhammadiyah Malang, e-mail: fatimaazahra218@gmail.com

Riwayat artikel Abstrak


Naskah diterima: Satu kesulitan umum yang dialami oleh anak Autisme Spectrum
06/12/2019 Disorder (ASD) adalah ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan
orang-orang di sekelilingnya baik secara verbal maupun nonverbal,
Revisi diterima: khususnya dalam hal keterampilan sosialnya. Studi kasus ini bertujuan
14/01/2020 untuk meningkatkan keterampilan sosial anak ASD dengan cara
pemberian intervensi social skill training. Asesmen yang digunakan
Naskah disetujui: adalah wawancara, observasi, Children Behavior Checklist (CBCL),
04/03/2020 Coloured Progressive Matrices (CPM) dan Vineland Social Maturity
Scale (VSMS). Setelah latihan diberikan menunjukkan bahwa intervensi
keterampilan sosial mampu meningkatkan keterampilan sosial anak.
Beberapa indicator peningkatan itu ditunjukkan dengan peningkatan
subjek dalam berinisiatif menyapa orang lain dengan tos dan
bersalaman.
Kata kunci : Autism Spectrum Disorder, keterampilan sosial, social skills
training, komunikasi verbal, komunikasi nonverbal.

Latar Belakang
Autis Spectrum Disorder (ASD) merupakan salah satu fenomena yang cukup banyak terjadi,
terutama di Indonesia. ASD sendiri semakin banyak di Indonesia. Hal tersebut tersebut
didukung dengan semakin bertambahnya angka prevalensi penderita gangguan autisme
di Indonesia dari tahun ke tahun (Desiningrum, 2016). Belum ada teori yang dapat
menjelaskan sepenuhnya mengenai penyebab ASD atau penurunan spesifik yang ditunjukkan
oleh orang-orang dengan ASD. Heterogenitas ASD berasal dari banyak interaksi neuropsikologis,
genetik, dan lingkungan yang mendasari berbagai kelompok gejala dalam spektrum (Gelbar &
Buggey, 2012). Namun beberapa peneliti menyatakan bahwa mutasi DNA yang hilang atau
terduplikasi pada kromosom 16 dapat meningkatkan kemungkinan seorang anak menderitas
ASD hingga 100 kali lipat (Jhon, 2012).
Autisme sendiri merupakan gangguan yang meliputi area kognitif, emosi, perilaku, sosial,
termasuk juga ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan orang-orang di sekelilingnya baik
secara verbal maupun nonverbal (Desiningrum, 2016; Jhon, 2012). Selain itu ASD melibatkan
defisit dalam timbal balik sosial, bahasa, dan komunikasi, serta perilaku berulang dan/atau
PROCEDIA Studi Kasus dan Intervensi Psikologi Vol 8(1), Maret 2020

minat stereotip (Gelbar & Buggey, 2012). Individu dengan ASD juga memberikan respon
yang tidak biasa terhadap paparan indra sensoris (Jhon, 2012). Individu dengan ASD sangat
bervariasi dalam hal kelebihan dan kelemahan mereka. Beberapa individu dengan ASD
menunjukkan kesulitan kognitif yang signifikan, sedangkan pada individu lain tingkat kognitifnya
berfungsi dengan relatif tinggi, meskipun terdapat berbagai defisit sosial. Dengan demikian,
gejala yang terkait dengan ASD digambarkan sebagai heterogen, baik dalam agregat gangguan
yang terdiri dari spektrum, serta berbagai kemampuan fungsional dalam setiap gangguan spesifik
(Gelbar & Buggey, 2012).
Salah satu hal yang mengalami penurunan pada individu dengan ASD adalah keterampilan
sosialnya. Keterampilan sosial merupakan kemampuan anak untuk berinteraksi dengan
orang lain pada konteks sosialnya (Suharsiwi, 2015). Keterampilan sosial dapat berupa
perilaku spesifik yang menghasilkan interaksi sosial positif dan mencakup perilaku komunikasi
interpersonal verbal yang diperlukan dan efektif (Rao, Beidel, & Murray, 2008). Gangguan sosial
pada individu dengan ASD beragam dan melibatkan bicara, konvensi linguistik dan interaksi
antarpribadi (Williams, Kathleen, & Scahill, 2007).
Sosialisasi dan kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain sangat penting
dalam kehidupan manusia, yang membutuhkan keterampilan sosial. Sayangnya, gangguan
keterampilan sosial tidak hanya menghambat perkembangan anak tetapi juga mengarah pada
penolakan dan penerimaan oleh teman, teman sebaya, dan orang dewasa, serta kesepian dan
isolasi. Kelemahan lain dari keterampilan sosial yang terganggu termasuk kemajuan akademik
yang lemah, kegagalan sosial, kecemasan, depresi, pelecehan, hambatan untuk hubungan sosial,
dan isolasi sosial (Golzari & Alamdarloo, 2015).
Ada beberapa gejala umum mengenai permasalahan sosial pada individu dengan ASD,
diantaranya ialah kesulitan mengorientasikan rangsangan sosial, memahami ekspresi wajah,
dan menanggapi kesulitan orang lain. Individu dengan ASD juga mengalami kesulitan
menggunakan tatapan untuk berkomunikasi, memulai interaksi, menggunakan salam yang
sesuai, membangun joint attention, menghargai humor konvensional, gangguan pragmatik sosial
(mis., turn-take dalam percakapan dan kemampuan untuk mengambil perspektif pendengar),
prosodi bicara yang buruk (mis. naik turunnya nada suara dan infleksi yang membantu
komunikasi verbal), kecenderungan untuk memikirkan topik-topik tertentu, kesulitan memahami
dan mengekspresikan emosi, dan kesulitan menafsirkan bahasa nonliter seperti sarkasme dan
metafora (Weiss & Harris, 2001; Williams et al., 2007).
Sosialisasi dan kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain adalah keterampilan yang
sangat penting dalam kehidupan, Anak-anak dengan ASD memiliki gangguan serius dalam hal
ini. Individu dengan ASD menderita konsekuensi langsung dan tidak langsung terkait dengan
defisit interaksi sosial. Remaja dengan ASD sering melaporkan keinginan untuk interaksi sosial
yang lebih banyak, dan juga mungkin mengemukakan dukungan sosial yang buruk dan lebih
kesepian daripada rekan-rekan mereka yang berkembang seperti biasa (Williams et al., 2007).
Untuk anak-anak dengan gangguan ini, defisit keterampilan sosial dapat mempengaruhi
interaksi dengan keluarga, teman sebaya, dan orang dewasa lainnya. Pada gilirannya,
keterampilan sosial yang terbatas dapat mempengaruhi kemampuan mereka untuk mencapai
tonggak perkembangan yang normal dan membangun hubungan dengan keluarga dan teman
yang memuaskan (Rao et al., 2008). Bila dibandingkan dengan anak-anak sebayanya, anak-anak
dan remaja dengan ASD mungkin berisiko lebih tinggi untuk mendapat penolakan teman sebaya
dan isolasi sosial. Ada juga bukti bahwa defisit keterampilan sosial pada remaja dengan ASD
berkontribusi terhadap prestasi akademik dan pekerjaan. Hal ini dapat menyebabkan masalah
suasana hati dan kecemasan kemudian dalam perkembangan (Williams et al., 2007).
Mengembangkan keterampilan sosial anak autis dapat menumbuhkan kepercayaan diri
mereka (Suharsiwi, 2015). Anak-anak yang bisa berbicara biasanya lebih mudah untuk

27
PROCEDIA Studi Kasus dan Intervensi Psikologi Vol 8(1), Maret 2020

menirukan perintah dan belajar berbagai keterampilan sosial dibandingkan dengan anak yang
belum. Anak-anak yang masih menggunakan bahasa nonverbal, dapat dikembangkan perilaku
sosialnya seperti bersalaman, tersenyum, dan isyarat sosial lainnya (Suharsiwi, 2015).
Banyak tantangan dalam merawat anak-anak dengan autisme, dan para peneliti harus
terus-menerus mengeksplorasi berbagai prosedur pengajaran. Salah satu prosedur yang telah
banyak mendapat perhatian dalam literatur adalah modeling. Metode ini umumnya melibatkan
prosedur dimana anak mengamati orang lain yang terlibat dalam perilaku yang ditargetkan.
Penelitian telah menemukan bahwa anak-anak dengan masalah perkembangan belajar dengan
mudah melalui modeling. Belajar melalui observasi juga penting bagi anak-anak autis di mana
pembelajaran didapat secara alami melalui menonton dan meniru model (Weiss & Harris, 2001).
Penelitian telah menunjukkan bahwa modeling tidak hanya mengajarkan perilaku
baru kepada anak-anak autisme tetapi juga dalam mempromosikan, menggeneralisasi dan
memeliharaan perilaku ini (Charlop-christy, Le, & Freeman, 2000). Modeling merupakan salah
satu tahapan dalam pelatihan keterampilan sosial. Pelatihan keterampilan sosial memiliki
4 tahapan yang terdiri dari modeling, roleplay, performance feedback dan transfer training
(Ramdhani, 1994). Program pelatihan keterampilan sosial dirancang untuk mengajarkan
anak-anak keterampilan yang diperlukan untuk mengarahkan lingkungan sosial mereka.
Keterampilan ini memungkinkan anak untuk berasimilasi ke dalam kelompok teman sebaya
dan juga berinteraksi dengan orang dewasa yang dikenal maupun tidak dikenal. Beberapa
penelitian telah meninjau keberhasilan literatur untuk program pelatihan keterampilan sosial
untuk anak-anak dengan autisme (Rao et al., 2008). Oleh karena itu, intervensi pelatihan
keterampilan sosial sesuai diberikan untuk meningkatkan keterampilan sosialnya. Intervensi ini
menargetkan perilaku menyapa dan bersalaman.

Metode Asesmen
Asesmen untuk penegakan diganosa yang tepat dengan mengetahui gejala gangguan dan
permasalahan yang dialami dilakukan melalui serangkaian metode antara lain wawancara,
observasi dan tes psikologi. Wawancara dilakukan terhadap orang tua dan guru subjek untuk
memperoleh informasi lebih mendalam tentang gejala gangguan serta riwayat permasalahan
yang subjek alami. Observasi dilakukan untuk memperoleh informasi perilaku dan aktivitas
subjek untuk mementukan diagnosa gangguan dan permasalahan subjek.
Tes psikologi yang diberikan ialah Children Behavior Checklist (CBCL), Vineland Social
Maturity Scale (VSMS), dan tes intelegensi Coloured Progressive Matrices (CPM). CBCL
diberikan untuk mengetahui perilaku subjek dan menentukan gejala serta permasalahan yang
dialami. CPM dilakukan untuk memastikan bahwa subjek bukan anak dengan disabilitas
intelektual. VSMS diberikan untuk mengetahui permasalahan utama subjek yaitu keterampilan
sosial subjek.

Presentasi Kasus
Subjek (7 tahun) merupakan siswa TKLB. Ayah subjek bekerja sebagai karyawan dan ibunya
bekerja sebagai ibu rumah tangga. Subjek memiliki seorang kakak perempuan yang duduk
di kelas 6 SD. Subjek memiliki kecerdasan yang tergolong superior. Subjek memiliki masalah
terbesar dalam thought problems. Pada aspek thought problems, didapati bahwa subjek kurang
tidur dibandingkan dengan anak-anak seusianya. Subjek menunjukkan obsesi akan beberapa hal
seperti handphone, playdoh, benda-benda yang berputar, selain itu Subjek juga suka melihat ke
arah ventilasi yang memantulkan cahaya. Terkadang Subjek melihat pajangan yang ada di kelas
dan berhenti ketika guru memanggil namanya. Selain itu Subjek juga menunjukkan perilaku
mencubit anggota tubuh baik dirinya maupun orang lain. Subjek juga menunjukkan perilaku
yang aneh seperti memlihat hal-hal yang tidak nampak, berbicara bahasa isyarat, dan menulis

28
PROCEDIA Studi Kasus dan Intervensi Psikologi Vol 8(1), Maret 2020

dengan menggabungkan huruf dan gambar. Hal-hal tersebut menjadi pendukung diagnosa untuk
menyatakan bahwa Subjek merupakan anak dengan gangguan spektrum autis.
Subjek memeliki kematangan sosial yang tidak sesuai dengan usianya terutama dalam hal
sosialisasinya. Subjek belum bisa bermain dengan anak-anak lain, atau bermain sandiwara
yang seharusnya bisa dilakukan oleh anak berusia 3 hingga 4 tahun. Subjek kurang bisa
mempertahankan kontak mata untuk waktu yang lama, dan sering duduk menyendiri saat jam
istirahat. Subjek juga memiliki permasalahan pada komunikasi baik verbal maupun nonverbal,
serta menggunakan kata yang tidak dapat dimengerti orang lain. Subjek juga mengalami
keterlambatan pada komunikasi, dimana kemampuan bicara (verbal) Subjek masih sangat
kurang. Permasalahan ini sudah pernah dibawa ke dokter untuk memeriksakan telinga, namun
Subjek dinyatakan tidak memiliki permasalahan apapun pada telinganya.
Pada masa kehamilan Subjek, ibunya tidak pernah mengalami hal yang berbeda atau
penyakit selain batuk dan pilek, serta tidak pernah mengkonsumsi obat-obatan selama hamil.
Ketika lahir, Subjek tidak pernah mengalami kejang ataupun panas tinggi. Namun saat Subjek
baru bisa tengkurap, Subjek pernah terjatuh dari kasur dan lukanya masih berbekas sampai
sekarang. Subjek jarang sakit dan mengkonsumsi obat, ketika sakit biasanya Subjek akan
sembuh setelah tidur panjang, bahkan pernah sampai 12 jam tertidur.
Guru dan ibu Subjek mengeluhkan bahwa Subjek memiliki masalah pada pola tidurnya, suka
mencubit, dan keterampilan bersosialisasinya. Ibu Subjek merasa permasalahan yang utama
adalah bersosialisasi. Hal ini juga disetujui oleh guru Subjek. Pada jam istirahat, Subjek
akan mendorong atau memukul anak-anak atau guru yang ada dihadapannya kemudian raut
wajahnya berubah (tertawa). Subjek akan melihat ke wajah orang yang dipukulnya ketika
mendapat respon (senyum atau menyapa) dari orang lain, yang mana menjadi penguat perilaku
Subjek. Namun jika orang tersebut membalas memukulnya, Subjek tidak akan lagi memukul
atau mendorong orang tersebut, bahkan menjauhinya. Hal tersebut menjadi punishment untuk
Subjek agar tidak mengulangi perilaku memukul orang tersebut. Salah satu guru dari kelas lain
menganggap perilaku ini merupakan perilaku agresi Subjek, sehingga terkadang guru Subjek
membawa teman Subjek yang dipukulnya ke hadapan Subjek untuk membalas memukul Subjek.
Anak dengan ASD menunjukkan kegagalan membina hubungan interpersonal yang ditandai
dengan kurangnya respon terhadap lingkungan atau kurangnya minat kepada orang atau anak
yang berada di sekitarnya (Asrizal, 2016). Hal ini diperkuat dengan keadaan di sekolah dimana
guru-guru Subjek kurang mengajarkan bagaimana cara memulai berhubungan dengan orang
lain. Bahkan disaat jam istirahat terkadang beberapa guru bermain dengan handphone-nya
sehingga Subjek duduk disamping guru tersebut untuk memperhatikan handphone tersebut.
Hal ini membuat Subjek kehilangan kesempatan untuk berinteraksi dengan orang lain.
Anak dengan ASD mungkin sulit untuk bergabung dengan grup dan berteman. Terkadang
hal ini mengarah pada perasaan terisolasi dan bahkan depresi (Desiningrum, 2016). Akibat
dari kurangnya kemampuan Subjek dalam hal keterampilan sosial membuat Subjek kesulitan
berinteraksi dengan teman-temannya. Sebagian teman-teman Subjek manjauhinya ketika Ia
mendekat karena takut dipukul. Kurangnya keterampilan sosial Subjek membuat Subjek
tidak dapat bergabung dengan teman-temannya saat melihat teman-temannya berkumpul dan
tertawa sehingga Subjek sering duduk sendirian. Subjek sendiri mengalami keterlambatan dalam
kematangan sosial. Subjek yang seharusnya memiliki kematangan sesuai dengan anak berusia
7.7 tahun ternyata masih berada pada tahap kematangan sosial anak usia 4.8 tahun. Hal ini
menunjukkan bahwa kematangan sosialnya berada di bawah anak-anak seusianya dan perlu di
tingkatkan, terutama dalam hal sosialisasi. Keterlamabatan kematangan sosial merupakan salah
satu ciri dari ASD. Namun subjek termasuk anak dengan ASD level 1 (ringan) dimana hal ini
menunjukkan bahwa kematangan social subjek masih dapat dioptimalkan.
Di sekolah luar biasa, banyak anak-anak berkebutuhan khusus yang lebih tua (SD, SMP,

29
PROCEDIA Studi Kasus dan Intervensi Psikologi Vol 8(1), Maret 2020

SMA, dan SMK) yang bercanda dengan temannya dengan cara saling memukul dan mendorong,
kemudian mereka tertawa bersama. Ketika melihat hal tersebut Subjek terdiam di depan
anak-anak tersebut dan memperhatikan mereka tidak lama kemudian Subjek memukul salah
satu diantara anak-anak tersebut. Perilaku yang dilakukan oleh Subjek merupakan bentuk
modeling dari perilaku kakak kelasnya dan mendapatkan respon berupa senyum dan tawa dari
kakak kelasnya yang menjadi penguat perilakunya.
Modeling sendiri memiliki 4 faktor yaitu, perhatian, representasi, peniruan tingkah laku
model, dan motivasi/penguatan (Alwisol, 2012). Subjek mengamati apa yang dilakukan oleh
kakak kelasnya yang kemudian tersimbolisasikan diingatannya. Subjek kemudian merubah apa
yang tersimbolisasi diingatannya menjadi perilaku memukul yang kemudian mendapat penguat
karena banyak yang tidak membalasnya, atau menoleh ke arah Subjek.
Subjek cepat belajar dengan meniru perilaku yang dilihatnya, terlebih Subjek memiliki
kecerdasan yang tergolong superior. Hal ini sesuai dengan teori Bandura yang menyatakan
bahwa kebanyakan belajar terjadi tanpa penguatan yang nyata. Individu dapat mempelajari
respon baru dengan melihat respon orang lain. Belajar melalui observasi lebih efisien
dibandingkan dengan belajar melalui pengalaman langsung, karena melalui observasi individu
dapat memperoleh respon yang tidak terhingga banyaknya (Alwisol, 2012). Belajar melalui
observasi biasa disebut dengan modeling. Modeling berbeda dengan sekedar meniru. Modeling
melibatkan penambahan dan atau pengurangan perilaku yang diamati, mengeneralisir berbagai
pengamatan sekaligus, dan melibatkan proses kognitif (Alwisol, 2012).

Diagnosis dan Prognosis


Diagnosa pada subjek adalah 299.00 (F84.0) Autism Spectrum Disorder dengan permasalahan
keterampilan sosial. Subjek memenuhi kriteria di DSM V, yaitu adanya defisit komunikasi dan
interaksi sosial yang presisten, adanya keterbatasan perilaku, aktivitas dan minat, gejala-gejala
tersebut timbul pada masa perkembangan awal yang semakin jelas gejalanya seiring dengan
berjalannya waktu, serta menyebabkan gangguan sosial, okupasional, dan fungsi lainnya secara
signifikan. Selain itu gejala ini tidak dapat dijelaskan dengan adanya disabilitas intelektual.
Subjek termasuk ASD level 1(ringan) dengan permasalahan komunikasi sosial yaitu tidak bisa
memulai interaksi dengan orang lain. (American Psychiatric Association, 2013).
Prognosis untuk permasalahan keterampilan sosial Subjek ialah baik. Subjek mengalami
ASD pada level 1 dimana kemampuan sosial Subjek dapat ditingkatkan. Subjek masih berusia
7 tahun dan memiliki kecerdasan yang tergolong superior. Subjek memiliki keluarga yang sangat
mendukung dan berperan aktif dalam mengawasi dan membantu Subjek.

Intervensi dan Perubahan Perilaku


Anak-anak yang bisa berbicara cenderung lebih mudah untuk menirukan perintah dan belajar
berbagai keterampilan sosial dibandingkan dengan anak yang belum. Anak-anak yang masih
nonverbal, dapat dikembangkan perilaku sosialnya seperti bersalaman, tersenyum, dan isyarat
sosial lainnya. Pada indikator keterampilan sosial anak autis yang dilatih dalam intervensi ini
adalah: bersalaman dan menyapa (Suharsiwi, 2015).
Ada empat fase penilaian: baseline, pelatihan keterampilan sosial, umpan balik, dan follow
up (Rao et al., 2008). Pada prinsipnya pelatihan ketrampilan dapat dilaksanan melalui 4 tahap,
yaitu modelling, roleplaying, performance feedback dan transfer training (Ramdhani, 1994).
Tahapan-tahapan ini diulang hingga subjek mengalami perubahan. Modeling merupakan salah
satu cara yang cukup efektif untuk digunakan pada anak yang mengidap ASD.
Sebelum memulai intervensi, terapis menjelaskan permasalahan dan rencana intervensi
kepada orang tua dan guru. Terapis meminta keikutsertaan orang tua dan guru dalam membantu
berjalannya intervensi dengan lancar. Orang tua dan guru sepakat untuk mencontohkan dan

30
PROCEDIA Studi Kasus dan Intervensi Psikologi Vol 8(1), Maret 2020

membiasakan L untuk menyapa orang yang ditemuinya dengan bersalaman atau melakukan tos,
serta menghentikan dan menasehati L ketika L menyapa orang dengan memukulnya. Selain itu
guru-guru diskeolah juga diberi pengertian mengaenai pentingnya lingkungan yang baik dalam
melaksanakan intervensi ini. Oleh karena itu diperlukan kerjasama yang baik untuk menciptakan
lingkungan yang kondusif dengan mengawasi dan mengambil tindakan untuk anak-anak di
sekolah yang melakukan perilaku agresi dengan lebih cermat. Pelatihan keterampilan sosial
yang diberikan pada L dilaksanakan di sekolah saat jam istirahat. Tahap dan perkembangan
intervensi
Sesi 1: Baseline. Pada sesi ini terapis menilai keterampilan sosial dasar dari subjek dalam
kegiatan yang tidak diarahkan kegiatan yang tidak diarahkan selama tiga hari berturut-turut
dengan cara mengobservasi kegiatan subjek selama jam istirahat. Pada sesi ini subjek sama
sekali tidak menunjukkan perilaku yang ditargetkan.
Sebelum melakukan pelatihan keterampilan sosial, terapis melakukan observasi untuk
menentukan baseline keterampilan sosial dari Subjek, yang menjadi target ialah bersalaman
dan menyapa dengan tos. Perilaku yang dihitung ialah perilaku dimana Subjek mennujukkan
inisiatif untuk bersalaman dan menyapa. Perilaku yang dilakukan secara berulang pada orang
yang sama dalam satu waktu hanya dihitung sebagai satu perilaku. Dari hasil observasi selama
3 hari didapati bahwa Subjek sama sekali tidak menunjukkan perilaku tersebut. Hasil tersebut
diberitahukan kepada guru dan orang tua Subjek begitu juga rencana intervensi serta meminta
bantuan dan komitmen untuk membantu berjalannya intervensi. Intervensi di mulai pada hari
ke empat hingga hari ke tujuh.
Observasi untuk melihat perubahan selama intervensi dilaksanakan pada sesi transfer
training. Pada sesi tersebut terapis mengamati selama 30 menit, seberapa sering subjek
bersalaman dan menyapa orang lain. Hasil ini juga dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitar.
Pada hari ke empat intervensi banyak dari teman sekelasnya yang tidak masuk sekolah, sehingga
saat jam istirahat tidak banyak orang yang bisa diajak berinteraksi.
Sesi 2: Pelatihan keterampilan sosial 1. Sesi ini terdiri dari 4 tahap yaitu, modeling,
role playing, performance feedback, dan transfer training yang dilakukan selama 10 hingga
15 menit. Modeling, yaitu tahap penyajian model yang dibutuhkan peserta pelatihan secara
spesifik, detil, dan sering. Pemberian modeling pada sesi ini ialah berupa gambar orang yang
sedang bersalaman dan sedang melakukan tos. Subjek diminta untuk memperhatikan gambar
dengan sungguh-sunguh dan menirukan apa yang ada di gambar tersebut.
Role playing, yaitu tahap bermain peran di mana peserta pelatihan mendapat kesempatan
untuk memerankan suatu interaksi sosial yang sering dialami sesuai dengan topik interaksi yang
ada pada gambar Disini subjek diminta untuk memeragakan apa yang telah dilihatnya dengan
terapis dan seorang teman sekelasnya.
Performance feedback, yaitu tahap pemberian umpan balik. Umpan balik ini harus diberikan
segera setelah peserta pelatihan mencoba agar mereka yang memerankan tahu seberapa baik ia
menjalankan langkah-langkah pelatihan ini. Terapis memberikan pujian dan mengatakan bahwa
yang dilakukan adalah yang benar ketika subjek dapat memeragakan dengan benar dan memberi
tahu ketika subjek melakukan kesalahan.
Transfer training, yaitu tahap pemindahan ketrampilan yang diperoleh individu selama
pelatihan ke dalam kehidupan sehari-hari. setelah ketiga sesi berakhir, subjek kembali ke
ruangan bersama dengan teman-temannya untuk memeragakan apa yang sudah dipelajari dari
sesi-sesi sebelumnya. Pada sesi ini subjek memperhatikan gambar yang tunjukkan dan dapat
memerankan gambar tersebut dengan baik sehingga subjek mendapat pujian. Subjek berhasil
menerapkan perilaku tersebut di sisa jam istrahat.
Pada hari pertama pelaksanaan pelatihan keterampilan sosial setelah tahap modeling
hingga performance feedback dilakukan, subjek dibiarkan keluar ruangan intervensi dan

31
PROCEDIA Studi Kasus dan Intervensi Psikologi Vol 8(1), Maret 2020

bergabung dengan teman-temannya. Pada hari ini subjek hanya menunjukkan satu perilaku
yaitu bersalaman. Pada hari berikutnya dengan prosedur yang sama, subjek menunjukkan
peningkatan dengan bersamalan sebanyak 2 kali dan menyapa sebanyak 1 kali. Pada hari ke
tiga intervensi subjek juga menunjukkan peningkatan dengan bersalaman sebanyak 3 kali dan
menyapa sebanyak 2 kali. Pada intervensi hari terakhir yaitu hari ke empat, subjek menunjukkan
penurunan karena banyak teman-teman yang tidak masuk. Subjek hanya menunjukkan perilaku
bersalaman sebanyak 2 kali dan menyapa sebanyak 1 kali.
Sesi 3: Pelatihan keterampilan sosial 2. Pelaksanaan sesi ini sama dengan sesi sebelumnya.
Pertama adalah modeling, yaitu tahap penyajian model yang dibutuhkan peserta pelatihan
secara spesifik, detil, dan sering. Pemberian modeling pada sesi ini ialah berupa pencontohan
secara langsung antara terapis dengan teman terapis yang sedang bersalaman dan sedang
melakukan tos. Subjek diminta untuk memperhatikan terapis dengan sungguh-sunguh dan
menirukan apa yang dilakukan oleh terapis.
Role playing, yaitu tahap bermain peran di mana peserta pelatihan mendapat kesempatan
untuk memerankan suatu interaksi sosial yang sering dialami sesuai dengan topik interaksi yang
ada pada gambar Disini subjek diminta untuk memeragakan apa yang telah dilihatnya dengan
terapis dan seorang teman sekelasnya.
Performance feedback, yaitu tahap pemberian umpan balik. Umpan balik ini harus diberikan
segera setelah peserta pelatihan mencoba agar mereka yang memerankan tahu seberapa baik ia
menjalankan langkah-langkah pelatihan ini. Terapis memberikan pujian dan mengatakan bahwa
yang dilakukan adalah yang benar ketika subjek dapat memeragakan dengan benar dan memberi
tahu ketika subjek melakukan kesalahan.
Transfer training, yaitu tahap pemindahan ketrampilan yang diperoleh individu selama
pelatihan ke dalam kehidupan sehari-hari. setelah ketiga sesi berakhir, subjek kembali ke
ruangan bersma dengan teman-temannya untuk memeragakan apa yang sudah dipelajari dari
sesi-sesi sebelumnya. Pada sesi ini subjek memperhatikan gerakan yang diperankan oleh terapis
dan co-terapis. Subjek mampu memerankan hal yang dicontohkan oleh terapis tersebut dengan
baik sehingga subjek mendapat pujian. Subjek berhasil menerapkan perilaku tersebut di sisa
jam istrahat.
Sesi 4: Pelatihan keterampilan sosial 3. Pelaksanaan sesi ini sama dengan sesi sebelumnya.
Pertama modeling, yaitu tahap penyajian model yang dibutuhkan peserta pelatihan secara
spesifik, detil, dan sering. Pemberian modeling pada sesi ini ialah berupa pencontohan
secara langsung antara teman subjek dengan teman subjek lainnya yang sedang bersalaman
dan sedang melakukan tos. Subjek diminta untuk memperhatikan kedua temannya dengan
sungguh-sungguh dan menirukan apa yang dilakukan oleh temannya.
Role playing, yaitu tahap bermain peran di mana peserta pelatihan mendapat kesempatan
untuk memerankan suatu interaksi sosial yang sering dialami sesuai dengan apa yang telah
dicontohkan oleh temannya. Disini subjek diminta untuk memeragakan apa yang telah
dilihatnya dengan terapis dan seorang teman sekelasnya.
Performance feedback, yaitu tahap pemberian umpan balik. Umpan balik ini harus diberikan
segera setelah peserta pelatihan mencoba agar mereka yang memerankan tahu seberapa baik ia
menjalankan langkahlangkah pelatihan ini. Terapis memberikan pujian dan mengatakan bahwa
yang dilakukan adalah yang benar ketika subjek dapat memeragakan dengan benar dan memberi
tahu ketika subjek melakukan kesalahan.
Transfer training, yaitu tahap pemindahan ketrampilan yang diperoleh individu selama
pelatihan ke dalam kehidupan sehari-hari. setelah ketiga sesi berakhir, subjek kembali ke
ruangan bersma dengan teman-temannya untuk memeragakan apa yang sudah dipelajari dari
sesi-sesi sebelumnya. Pada sesi ini subjek memperhatikan gerakan yang diperankan oleh dua
orang teman subjek. Subjek mampu memerankan apa yang telah dicontohkan dengan baik

32
PROCEDIA Studi Kasus dan Intervensi Psikologi Vol 8(1), Maret 2020

sehingga subjek mendapat pujian. Subjek berhasil menerapkan perilaku tersebut di sisa jam
istrahat dan bermain sejenak dengan temannya.
Sesi 5: Pelatihan keterampilan sosial 4. Pelaksanaan sesi ini sama dengan sesi sebelumnya.
Pertama adalah modeling, yaitu tahap penyajian model yang dibutuhkan peserta pelatihan
secara spesifik, detil, dan sering. Pemberian modeling pada sesi ini ialah berupa pencontohan
secara langsung antara teman subjek dengan teman subjek lainnya yang sedang bersalaman
dan sedang melakukan tos. Subjek diminta untuk memperhatikan kedua temannya dengan
sungguh-sungguh dan menirukan apa yang dilakukan oleh temannya.
Role playing, yaitu tahap bermain peran di mana peserta pelatihan mendapat kesempatan
untuk memerankan suatu interaksi sosial yang sering dialami sesuai dengan apa yang
dicontohkan oleh temannya. Disini subjek diminta untuk memeragakan apa yang telah
dilihatnya dengan terapis dan seorang teman sekelasnya.
Performance feedback, yaitu tahap pemberian umpan balik. Umpan balik ini harus diberikan
segera setelah peserta pelatihan mencoba agar mereka yang memerankan tahu seberapa baik ia
menjalankan langkahlangkah pelatihan ini. Terapis memberikan pujian dan mengatakan bahwa
yang dilakukan adalah yang benar ketika subjek dapat memeragakan dengan benar dan memberi
tahu ketika subjek melakukan kesalahan.
Transfer training, yaitu tahap pemindahan ketrampilan yang diperoleh individu selama
pelatihan ke dalam kehidupan sehari-hari. setelah ketiga sesi berakhir, subjek kembali ke
ruangan bersma dengan teman-temannya untuk memeragakan apa yang sudah dipelajari dari
sesi-sesi sebelumnya. Pada sesi ini subjek memperhatikan gerakan yang diperankan oleh dua
orang teman subjek. Subjek mampu memerankan apa yang telah dicontohkan dengan baik
sehingga subjek mendapat pujian dari terapis. Subjek berhasil menerapkan perilaku tersebut
di sisa jam istrahat.
Sesi 6: Evaluasi dan feedback. Pada sesi ini terapis mengevaluasi kegiatan yang telah
dilakukan. Evaluasi dilakukan dengan cara observasi serta memerikan penguatan dengan
memberikan pujian kepada subjek jika dia terlibat dalam interaksi sosial selama 30 menit di
sisa jam istirahat. Penilaian dilakukan selama empat hari pasca intervensi. Subjek tetap
menunjukkan inisiatif untuk memulai interaski dengan orang lain meskipun sesi pelatihan
keterampilan sosial berakhir.
Evaluasi dan feedback dilakukan dengan cara observasi di waktu istirahat selama 30 menit
dalam 4 hari berturut-turut. Subjek menerima pujian setiap kali melakukan perilaku yang
seharusnya sebagai feedback. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa pada hari pertama evaluasi
Subjek melakukan salaman sebanyak satu kali dan menyapa 1 kali pada hari ini juga banyak
teman-temannya yang tidak masuk. Pada hari ke dua, Subjek hanya bersalaman satu kali, pada
hari ini banyak teman-temannya yang tidak masuk, bahkan lebih banyak dari sebelumnya.
Pada hari ketiga Subjek menunjukan perilaku bersalaman sebanyak 2 kali dan menyapa
sebanyak 1 kali. Pada hari terakhir evaluasi perilaku bersalaman Subjek muncul sebanyak 3
kai dan menyapanya 1 kali. Pada hari terakhir ini, ada beberapa kakak kelas yang mengajak
Subjek bersalaman dan Subjek melanjutkan dengan mengajak kakak kelas yang lainnya untuk
bersalaman.
Selesai melakukan evaluasi, terapis menjelaskan perubahan yang terjadi pada perilaku Subjek
kepada orang tua dan gurunya. Orang tua dan guru diminta untuk tetap membiasakan Subjek
untuk bersalaman dan menyapa orang yang ditemuinya meskipun intervensinya sudah berakhir.
Sesi 7: Terminasi. Terapis dan subjek mengakhiri proses terapi. Dalam sesi ini, Terapis
meminta orang tua subjek untuk dapat memfokuskan diri kepada tujuan yang akan dicapai serta
memotivasi subjek atas apa yang telah dilakukan pada proses terapi untuk dapat diaplikasikan
dan menginternalisasikan dalam diri subjek. Tujuan dari sesi ini ialah mengakhiri proses terapi
dan menjadikan subjek tidak bergantung dengan terapis yang telah mendampingi selama proses

33
PROCEDIA Studi Kasus dan Intervensi Psikologi Vol 8(1), Maret 2020

terapi. Orang tua dan guru dari subjek menyetujui dan mengatakan akan terus berkomitmen
untuk fokus dan memotivasi subjek dalam meningkatkan keterampilan sosialnya.
Follow up. Evaluasi perubahan perilaku yang dilaksanakan dua minggu pasca intervensi untuk
memastikan subjek tetap memunculkan perilaku yang dipelajari selama intervensi. Pada saat
follow up, hasil observasi menunjukkan bahwa subjek tetap memunculkan perilaku yang telah
diajarkan kepadanya.
Saat follow up, hasil yang didapat kan adalah Subjek 1 kali mengajak salaman. Selama
2 minggu setelah intervensi berakhir ada beberapa kejadian yang menghambat perkembangan
Subjek. Ketika Subjek lepas dari pengawasan gurunya ada kakak kelas yang menarik tangan
Subjek untuk memukul orang-orang disekitarnya dan hal ini di contoh oleh Subjek sampai
gurunya melihat dan menegur kakak kelasnya tersebut. Hal ini merupakan kejadian di
luar kendali terapis dan menjadi salah satu penghambat. Namun, meski ada kakak kelas
yang mengajarkannya memukul, beberapa kakak kelas yang lain telah terbiasa menyapa dan
bersalaman dengan Subjek sehingga hal ini dapat mengurangi efek dari kejadian sebelumnya.
Guru Subjek mengatakan selama 2 minggu setelah intervensi, Subjek tetap menunjukkan inisiatif
di sekolah. Ibu dari Subjek juga mengatakan bahwa Subjek menunjukkan perkembangan ketika
bertemu dengan sekumpulan ibu-ibu, ibu dari Subjek menyuruh Subjek untuk bersalaman
dengan satu orang, namun Subjek melanjutkan bersalaman dengan semua orang yang ada
disana. Perubahan perilaku subjek sebelum dan setelah intervensi dapat dilihat pada Gambar
1.

Pembahasan
Intervensi pelatihan keterampilan sosial menunjukkkan perubahan perilaku pada subjek. Subjek
yang semula tidak bisa memulai interaksi dengan orang lain mulai menunjukkan inisiatif untuk
menyapa dengan tos atau bersalaman. Sebelum memulai intervensi, dilakukan edukasi kepada
ibu dan guru dari subjek mengenai keadaan subjek. Ibu dan guru subjek diminta untuk
bekerja sama dengan memberikan dukungan dan turut membiasakan perilaku menyapa dan
bersalaman dengan subjek. Keberhasilan intervensi ini juga dibantu oleh teman-teman subjek
yang ikut mencontoh perilaku yang diajarkan pada subjek, sehingga saat bertemu subjek
terkadang temannya menyapa terlebih dahulu. Pelatihan keterampilan sosial menggunakan
prinsip modeling. Penelitian telah menunjukkan bahwa pemodelan tidak hanya mengajarkan
perilaku baru kepada anak-anak dengan autisme tetapi juga dalam mempromosikan generalisasi
dan pemeliharaan perilaku ini (Charlop-christy et al., 2000). Oleh karena itu terapis bekerjasama
dengan guru dan orang tua untuk tetap mencontohkan dan membiasakan perilaku menyapa daan
bersalaman untuk memelihara perilaku sosial subjek diluar sesi intervensi.
Adanya perubahan yang terjadi dalam subjek yaitu mendapatkan banyak teman

Gambar 1. Proses intervensi keterampilan sosial.

34
PROCEDIA Studi Kasus dan Intervensi Psikologi Vol 8(1), Maret 2020

dapat membentuk rasa percaya diri anak dan meningkatkan keterampilan sosialnya serta
menumbuhkan emosi yang sehat dan peduli pada sesamanya (Suharsiwi, 2015). Teman-teman
yang awalnya menjauhinya mulai mengajaknya bermain bersama meskipun subjek belum bisa
bermain bersama dalam waktu yang lama.
Intervensi ini menggunakan dua jenis modeling, yaitu modeling simbolis dimana meniru
dari media seperti film, video dan media lainnya; dan modeling secara langsung dengan
penokohan secara nyata seperti terapis, guru, anggota keluarga atau orang yang dikagumi
subjek (Damayanti & Aeni, 2016). Pemodelan simbolis dilaksanakan untuk menarik perhatian
subjek, namun subjek yang mudah bosan memerlukan cara lain yaitu dengan pemodelan secara
langsung. Pemodelan secara langsung lebih mudah di contoh oleh subjek untuk di terapkan di
roleplay dan di sisa jam istirahat ketika subjek berkumpul bersama dengan teman-temannya.
Modeling memiliki 4 faktor yaitu, perhatian, representasi, peniruan tingkah laku model, dan
motivasi atau penguatan (Alwisol, 2012). Subjek mengamati apa yang dicontohkan didepannya
kemudian merubah apa yang tersimbolisasi diingatannya menjadi perilaku bersalaman dan
menyapa atau tos yang kemudian mendapat penguat dengan pujian dari terapis. Proses ini
sama dengan tahap yang ada di pelatihan keterampilan sosial, yaitu modeling, roleplaying,
performance feedback, dan ditambah dengan transfer training untuk menyalurkan apa yang
dipelajari ke kehidupannya.
Simpulan
Hasil intervensi sesuai dengan target yang telah ditentukan oleh terapis dan sesuai dengan
kebutuhan subjek. Saran untuk pihak keluarga ialah tetap memberi semangat, mengajarkan
dan mencontohkan perilaku untuk meningkatkan keterampilan sosial subjek. Pihak sekolah juga
disarankan untuk melakukan hal yang sama, yaitu mengajarkan dan mencontohkan perilaku
berkaitan dengan keterampilan sosial. Guru-guru juga bisa mengajak murid-murid yang ada
untuk melakukan hal ini. Pihak sekolah diharapkan dapat melakukan pengawasan dan mengajari
perilaku yang baik pada murid-murid yang suka melakukan perilaku agresi terutama di jam
istirahat karena perilaku tersebut dapat dicontoh oleh murid-murid lain. Selain itu, beberapa
staf diharapakn untuk tidak lagi menjewer murid-murid yang menyalahi aturan, lebih baik bila
memperingati dengan cara yang lebih halus seperti menasehati dan mencontohkan. Untuk
terapis atau peneliti berikutnya bisa melakukan intervensi yang berfokus pada bagaimana
menciptakan lingkungan yang baik di sekolah luar biasa agar dapat meningkatkan keterampilan
sosial anak-anak dengan kebutuhan khusus di sekolah ini.
Referensi
Alwisol, M. (2012). Psikologi Kepribadian (Edisi Revisi) (11th ed.). Malang: UMM Press.
American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Fifth Edition.
Arlington. https://doi.org/10.1176/appi.books.9780890425596.744053
Asrizal. (2016). Penanganan Anak Autis dalam Interaksi Sosial. Jurnal PKS, 15 (1), 1–8.
Charlop-christy, M. H., Le, L., & Freeman, K. A. (2000). A Comparison of Video Modeling with In Vivo Modeling
for Teaching Children with Autism, 30 (6), 537–538.
Damayanti, R., & Aeni, T. (2016). Rika Damayanti, Tri Aeni, 3 (1), 1–10.
Desiningrum, D. R. (2016). Psikologi anak berkebutuhan khusus. Yogyakarta: Psikosain.
Gelbar, N., & Buggey, T. (2012). Video self-modeling as an intervention strategy for individuals with Autism
Spectrum Disorders, (April 2018). https://doi.org/10.1002/pits.20628
Golzari, F., & Alamdarloo, G. H. (2015). The Effect of a Social Stories Intervention on the Social Skills of Male
Students With Autism Spectrum Disorder, (December). https://doi.org/10.1177/2158244015621599
Jhon, W. S. (2012). Life Span Development. (N. I. Sallama, Ed.), Erlangga.
Ramdhani, N. (1994). Pelatihan Keterampilan Sosial untuk Terapi Kesulitan Bergaul. Universitas Gajah Mada.
Rao, P. A., Beidel, Æ. D. C., & Murray, Æ. M. J. (2008). Social Skills Interventions for Children with Asperger’s
Syndrome or High- Functioning Autism: A Review and Recommendations Social Skills Interventions
for Children with Asperger’s Syndrome or High-Functioning Autism: A Review and Recommendations,
(March). https://doi.org/10.1007/s10803-007-0402-4

35
PROCEDIA Studi Kasus dan Intervensi Psikologi Vol 8(1), Maret 2020

Suharsiwi. (2015). Pengembangan Model Pembelajaran Keterampilan Sosial Anak Autis di TK B, 10 (1), 1–8.
Weiss, M. J., & Harris, S. L. (2001). Teaching Social Skills to People With Autism. Behavior Modification, 25 (5),
785–802.
Williams, S., Kathleen, W. Æ., & Scahill, L. (2007). Social Skills Development in Children with
Autism Spectrum Disorders: A Review of the Intervention Research Social Skills Development in
Children with Autism Spectrum Disorders: A Review of the Intervention Research, (March 2016).
https://doi.org/10.1007/s10803-006-0320-x

36
PROCEDIA
Studi Kasus dan Intervensi Psikologi
ISSN:2302-1462
Volume 8(1) 37-47, Maret 2020
DOI: 10.22219/procedia.v4i1.11962

Efektivitas Terapi Gestalt dalam memperbaiki


hubungan interpersonal pada pasien gangguan
psikotik
Afitria Rizkiana, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang, Indonesia

Author Correspondent
Afitria Rizkiana, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang, e-mail: afitriar@gmail.com

Riwayat artikel Abstrak


Naskah diterima: Gangguan Psikotik Akibat Kondisi Medis Lain dengan Delusi
15/11/2019 merupakan salah satu gangguan jiwa yang memerlukan penanganan
spesifik. Apakah Terapi Gestalt efektif untuk memperbaiki hubungan
Revisi diterima: interpersonal dengan ayah pada pasien gangguan psikotik? Subjek
16/12/2019 yang berpartisipasi dalam studi ini adalah klien didiagnosa mengalami
Gangguan Psikotik Akibat Kondisi Medis Lain yang memiliki hubungan
Naskah disetujui: interpersonal dengan ayahnya tidak baik. Asesmen dilakukan untuk
11/01/2020 mendiagnosa klien diantaranya wawancara, observasi, tes psikologi yang
meliputi tes grafis, WAIS, SSCT, TAT, Bender Gestalt, serta studi
dokumentasi. Intervensi yang digunakan adalah Terapi Gestalt dengan
teknik empty chair. Setelah intervensi adalah klien menyadari bahwa
masalah-masalah yang pernah klien alami dengan ayahnya merupakan
pengalaman menyedihkan masa lalu, klien juga berhasil mengurangi
perasaan negatif akibat persoalan masa lalunya, dan lebih bisa menerima
keberadaan ayahnya saat ini. Namun rasa terkadang masih muncul
perasaan kesal ketika ayahnya mengkritiknya.
Kata kunci : Terapi Gestalt, psikotik, hubungan anak dengan ayah,
kondisi medis.

Latar Belakang
Gangguan psikotik merupakan gangguan persepsi, pikiran, suasana hati dan perilaku seseorang.
Individu dengan gangguan psikotik memiliki kombinasi gejala dan pengalaman yang bervariasi
tergantung pada keadaan masing-masing individu. Mayoritas individu dengan gangguan psikotik
akan pulih dari fase akut awal dan hanya 14 hingga 20% yang akan pulih sepenuhnya. Yang
lain akan membaik namun memiliki episode berulang atau relapse yang disebabkan oleh stres,
kesulitan kehidupan, isolasi sosial dan perawatan diri yang buruk. Jadi beberapa individu
hanya memiliki pengalaman yang mengganggu, sementara yang lain akan mengalami gangguan
selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Beberapa interval pemulihan juga terkait dengan
faktor-faktor individual, seperti ketahanan diri (National Collaborating Centre for Mental
Health, 2014).
PROCEDIA Studi Kasus dan Intervensi Psikologi Vol 8(1), Maret 2020

Gangguan psikotik karena trauma cedera otak atau Psychotic Disorder Due to Traumatic
Brain Injury (PDDTBI) dalam DSM V disebut dengan Gangguan Psikotik karena kondisi medis
lain (293.81). Gangguan psikotik karena kondisi medis lain ditandai secara klinis dengan adanya
halusinasi atau delusi yang menonjol yang disebabkan karena adanya trauma cedera otak dan
tidak lebih baik dijelaskan sebagai gangguan mental lain atau delirium, serta menyebabkan
distress atau adanya penurunan dalam bidang sosial, pekerjaan, atau area penting sehari-hari
lainnya (Fujii & Ahmed, 2014). Gangguan psikotik karena kondisi medis lain ditandai secara
klinis oleh halusinasi atau delusi yang terjadi di ruang yang jelas serta tanpa penurunan
kemampuan intelektual. Individu yang mengalami gangguan psikotik karena kondisi medis
lain harus ada sejarah pemeriksaan fisik atau temuan laboratorium, bahwa psikotik terjadi
atas dasar gangguan medis umum (Kay & Tasman, 2006). Gangguan psikotik karena kondisi
medis lain dikaitkan dengan kelainan otak pada area temporal dan frontal. Traumatic Brain
Injury dapat menjadi penyebab utama psikosis atau berkontribusi pada pengembangan psikosis
melalui gangguan kejang sekunder, meningkatkan risiko biologis dan psikologis, dan memicu
psikosis pada pasien yang rentan. Onset rata-rata adalah 4-5 tahun setelah Traumatic Brain
Injury dengan mayoritas kasus terjadi dalam 2 tahun (D. Fujii & Ahmed, 2010).
Farmakoterapi merupakan pengobatan utama untuk psikosis dan skizofrenia karena efektif
untuk mengatasi gejala-gejala aktif psikotik dan mengurangi kerentanan terhadap relapse.
Namun hal tersebut tidak mengatasi masalah residual defisit dalam hal kognitif dan sosial.
Terdapat bukti bahwa beberapa orang dengan gangguan psikotik dapat mengatasi dengan baik
dalam jangka panjang tanpa obat antipsikotik (Harrow, Jobe, & Faull, 2012), dan beberapa
saran bahwa baik fungsi neurokognitif dan sosial dapat ditingkatkan tanpa farmakoterapi (Faber,
Smid, Van Gool, Wiersma, & Van Den Bosch, 2012; Wunderink, Nieboer, Wiersma, Sytema, &
Nienhuis, 2013). Selain itu, ada bukti awal bahwa intervensi psikologi dapat bermanfaat tanpa
obat antipsikotik (Morrison et al., 2011). Faktor psikologis dan sosial menjadi faktor-faktor yang
dapat berkontribusi untuk terjadinya relapse pada orang-orang dengan psikotik yang hidup di
lingkungan masyarakat, seperti peristiwa kehidupan yang penuh dengan stres dan kesulitan
komunikasi dalam keluarga (National Collaborating Centre for Mental Health, 2014).
Permasalahan pada subjek REP, khususnya hubungan interpersonal subjek dengan ayahnya.
Sejak kecil subjek kurang mendapat kasih sayang dari kedua orang tuanya. Terlebih ayahnya
memperlakukan berbeda antara subjek dengan adiknya. Ketika subjek berbuat salah, subjek
selalu mendapatkan pukulan di kepala dari ayahnya. Pengalaman-pengalaman tersebut
menimbulkan rasa sesal, kecewa, sedih, dan marah. Hal tersebut membuat subjek dengan orang
tua khususnya ayah sering bertengkar.
Tekanan-tekanan yang subjek dapatkan dari keluarganya membuat subjek rentan terhadap
stress. Stresor psikososial yang berasal dari faktor keluarga dapat mengakibatkan individu
mengalami kehilangan rasa aman, rasa cinta, perasaan istimewa dan hal ini akan menimbulkan
stres berat bagi individu sendiri (Townsend, Demeter, Youngstrom, Drotar, & Findling, 2007).
Saat subjek telah dinyatakan pulih dan boleh pulang, subjek menjalani rawat jalan di
rumah, namun selama subjek di rumah, subjek sering bertengkar dengan ayahnya karena
berbeda pendapat. Subjek ingin rujuk dengan suaminya namun ayah tidak menyetujui.
Hal ini jika berlangsung lebih lama dikhawatirkan akan menjadi penyebab subjek kembali
relapse. Untuk menghindari hal tersebut maka diperlukan adanya penanganan pada subjek.
Pada kasus fokus intervensi yaitu agar subjek lebih bisa memahami dan menerima sikap dan
perlakuan ayah sehingga dapat memperbaiki hubungan interpersonal dengan ayah pada subjek
dengan menggunakan Terapi Gestalt. Selain itu juga perlu adanya intervensi untuk keluarga
yang biasa disebut dengan psikoedukasi keluarga. Pada penelitian sebelumnya terapi gestalt
dengan menggunakan teknik empty chair terbukti dapat mengatasi gejala gangguan, masalah
interpersonal, afiliasi terhadap diri sendiri, serta tingkat masalah yang belum selesai (Greenberg

38
PROCEDIA Studi Kasus dan Intervensi Psikologi Vol 8(1), Maret 2020

& Malcolm, 2002).

Metode Asesmen

Metode asesmen yang digunakan adalah observasi, wawancara, tes psikologi, dan studi
dokumentasi. Wawancara dilakukan terhadap subjek dan keluarga dengan tujuan untuk
memperoleh informasi secara mendalam yang berkaitan dengan riwayat permasalahan, keluhan
serta gejala subjek untuk menegakkan diagnosis. Observasi dilakukan untuk memperdalam hasil
wawancara serta untuk pemeriksaan status mental yang meliputi penampilan subjek , perilaku,
afek, gangguan perseptual, orientasi dan kesadaran subjek.
Tes psikologis yang digunakan yaitu tes grafis (BAUM, DAP dan HTP), SSCT, TAT,
Bender Gestalt, dan juga Wechsler Adult Intelligence Scale (WAIS). Tes grafis diperlukan
untuk mengetahui kepribadian subjek secara lebih mendalam. Tes Sacks Sentence Completion
Test (SSCT) digunakan untuk mengelompokkan permasalahan yang dialami oleh subjek.
Bender Gestalt digunakan untuk mengetahui kemampuan visual-motorik dan kerusakan otak,
TAT digunakan untuk mengetahui tekanan-tekanan dan kebutuhan subjek serta coping yang
digunakan subjek dalam mengahadapi masalah, sementara WAIS digunakan untuk mengetahui
kapasitas intelektual subjek dan juga gejala klinis pada subjek. Studi dokumentasi dilakukan
untuk melihat riwayat perjalanan gangguan subjek.

Presentasi Kasus

Subjek bernama REP (22 tahun) mengalami gangguan psikotik karena adanya trauma cedera
otak (potensial epileptogenic zone di regio temporal kanan). Hal tersebut membuat subjek
mengalami halusinasi dan delusi. Subjek merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Subjek
tinggal di rumah bersama ayah, ibu, adik, dan juga anaknya. Adik kandung subjek berusia
15 tahun saat ini kelas 3 SMP. Subjek sudah bercerai dengan suaminya karena paksaan orang
tuanya karena suaminya melakukan tindak kekerasan fisik terhadap subjek , mengkonsumsi obat
terlarang, sering mencuri, tidak mau bekerja, dan sering selingkuh. Namun demikian, subjek
tetap ingin bersama suaminya karena subjek berpikir hanya suaminya yang bisa menerima
subjek apa adanya.
Subjek dirawat di Rumah Sakit Jiwa sebanyak dua kali. Kondisi subjek saat pertama
kali mengalami gangguan adalah sulit tidur, tidak nafsu makan, keluyuran, bicara sendiri dan
tertawa sendiri (perilaku aneh atau tidak terkontrol), serta bicara melantur tentang keluarga
dan suaminya. Subjek juga melihat tulisan “REP sukses” di sepanjang jalan, subjek pernah
menyuruh semua keluarganya pergi dari rumah karena subjek melihat rumahnya akan roboh
(halusinasi visual). Subjek mengaku memiliki kekuatan karena terdapat 7 jin islam di dalam
tubuhnya, subjek juga merasa semua orang iri dengan kesuksesannya (delusi). Saat pertama
kali mengalami gangguan, subjek tidak mandi selama seminggu. Subjek sering mengeluh pusing
semenjak SMP. Onset terjadinya gangguan mulai muncul saat subjek berusia 21 tahun atau pada
saat dewasa awal.
Sejak kecil subjek kurang mendapat perhatian dari orang tuanya karena orang tua sibuk
bekerja. Subjek selalu mendapat kritik dari ayahnya atas apa yang ia lakukan. Subjek merasa
diperlakukan seperti anak tiri karena ia selalu disuruh melakukan pekerjaan rumah sedangkan
adiknya tidak. Setiap subjek melakukan kesalahan, ayahnya selalu memukul subjek . Ketika
SMP subjek pernah tidak pulang selama dua hari karena menonton konser yang membuat
ayahnya marah kepada subjek sampai ia dipukul kepalanya dan disuruh pergi dari rumah.
Hal tersebut membuat subjek merasa kesal, kecewa, sedih, dan marah yang membuat subjek
menjadi diam pada ayahnya, bertengkar ketika tidak sependapat dengan ayah dan terjebak
dalam urusan yang tidak selesai. Hal tersebut didukung dengan hasil tes grafis dimana subjek

39
PROCEDIA Studi Kasus dan Intervensi Psikologi Vol 8(1), Maret 2020

memiliki kepribadian yang senang menyembunyikan masalah, terlihat penurut namun keras
kepala dan tidak suka dikritik.
Dari hasil tes grafis, subjek menunjukkan indikasi kepribadian yang impulsif. Hal tersebut
membuat subjek tidak bisa mengendalikan diri sehingga selalu melakukan hubungan seksual
layaknya suami istri setiap pacaran. Pada akhirnya perilaku subjek mengakibatkan subjek tidak
lulus SMA karena hamil di luar nikah. Subjek berusaha menggugurkan kandungannya namun
tidak berhasil akhirnya subjek menikah dengan laki-laki yang telah menghamilinya. Semenjak
kejadian tersebut ayahnya semakin berperilaku keras kepada subjek . Saat usia pernikahannya
menginjak 5 tahun, orang tua khususnya ayah memaksa subjek untuk bercerai dengan suaminya,
karena suaminya tidak bekerja, sering selingkuh, melakukan tindak kekerasan, serta sering
keluyuran. Namun demikian subjek menolak. Subjek justru malah semakin membenci ayahnya
karena subjek merasa ayahnya tidak bisa memahami subjek . Hal tersebut membuat hubungan
interpersonal subjek dengan ayah tidak baik, subjek menjadi sering bertengkar dengan ayah.
Hal ini merupakan stressor bagi subjek yang disertai dengan tidak mengkonsumsi obat hampir
1 tahun sehingga mengakibatkan subjek mengalami relapse.
Subjek dibawa ke Rumah Sakit Jiwa kedua (22 Agustus 2018) dengan keluhan kluyuran,
memfitnah keluarga di tetangga, dan merasa semua orang iri dengan kesuksesannya. Subjek
menilai keluarga kurang memberinya perhatian dan tidak mengerti dirinya. Di sisi lain, orang
tua terutama ayah sering mengkritik ketika ada hal yang tidak sesuai keinginannya dan suka
membuat keputusan sepihak yang harus dituruti. Hal ini mengakibatkan subjek seringkali
mengalami kebingungan dan ketidakpastian dalam bertindak terutama dalam menghadapi
masalah. Kapasitas inteligensi subjek yang berada pada kategori rata-rata bawah juga
menambah kesulitan subjek dalam menghadapi dan memecahkan masalah dalam kehidupannya
sehari-hari.
Adanya masalah-masalah masa lalu yang belum terselesaikan yang dialami subjek dapat
mempengaruhi kehidupan subjek saat ini. Dari hasil tes SSCT area konflik yang dialami subjek
adalah sikap terhadap kehidupan keluarga, sikap terhadap ayah, perasaan bersalah, dan sikap
terhadap hubungan heteroseksual. Subjek mengatakan pada waktu masih kecil keluarganya baik
dan berbeda dengan saat ini. Saat ini subjek merasa bahwa keluarga subjek berbeda dengan
keluarga lain. Keluarga lain terlihat harmonis sedangkan subjek merasa kurang kasih sayang
dan diperlakukan seperti anak tiri di keluarganya, berbeda dengan adiknya yang selalu disayang.
Subjek mengatakan bahwa ayahnya jarang menyayanginya. Subjek berharap ayahnya dapat
menjadi seperti yang ia inginkan. Meskipun demikian, subjek merasa ayahnya tetap ayah yang
terbaik. Subjek mengatakan kesalahan terbesarnya adalah menikah muda dan tidak menurut
dengan orang tuanya. Ketika masih kecil subjek merasa bersalah atas kenakalan-kenakalan
yang sudah ia lakukan. Menurut subjek kehidupan perkawinannya kurang harmonis dan kurang
perhatian. Subjek tidak menyukai laki-laki galak dan sombong.
Perasaan-perasaan yang tidak dapat diekspresikan pada masa lalu seperti rasa sakit
hati saat disuruh ayahnya pergi dari rumah, rasa menyesal karena pernah hamil di luar
nikah yang membuat ayahnya semakin keras kepadanya, dan suami selingkuh. Hal tersebut
menjadi pengalaman tidak menyenangkan yang pernah dialami subjek. Subjek terus menerus
memikirkan hal tersebut sehingga tersimpan rasa tidak berdaya. Peristiwa subjek diusir
dari rumah membuat subjek menyimpan rasa dendam pada ayahnya sehingga membuat
subjek membenci apapun yang dikatakan ayahnya kepada subjek. Namun subjek cenderung
menekan emosinya karena takut ayahnya semakin marah selain itu subjek malas mendengar
nasehat ayahnya. Hal tersebut didukung dengan hasil tes grafis dan TAT dimana subjek
memiliki kepribadian yang tidak suka dikritik sehingga subjek cenderung memilih merepress
masalahnya dan memendam emosinya serta cenderung diam agar ayahnya tidak semakin banyak
menasehatinya. Sejak pengalaman tidak menyenangkan itu terjadi, subjek menganggap ayahnya

40
PROCEDIA Studi Kasus dan Intervensi Psikologi Vol 8(1), Maret 2020

sebagai ayah tiri sehingga subjek jarang berkomunikasi dengan ayahnya.


Perasaan-perasaan yang tidak dapat diekspresikan pada masa lalu merupakan urusan yang
tidak selesai (unfinished business) yang dapat menghambat perkembangan subjek saat ini.
Badan dan perasaan merupakan indikator yang baik dan bisa dipercaya untuk melihat kondisi
psikologis individu. Seperti halnya yang terjadi pada subjek, subjek seringkali mengatakan
bahwa ia bahagia namun ketika membahas tentang ayah subjek terkadang mengalihkan
pembicaraan dan terlihat menahan untuk menangis. Subjek merasa dirinya tidak berguna di
mata ayahnya, merasa harga dirinya tercoreng karena hamil di luar nikah, rumah tangganya
berantakan dan serba salah dalam bertindak. Perls menyatakan bahwa orang-orang cenderung
bergantung pada masa lampau membenarkan ketidaksediaannya memikul tanggung jawab atas
dirinya sendiri dan atas pertumbuhannya, mereka mengalami kesulitan untuk tinggal pada saat
sekarang karena terperangkap dalam pusaran masa lalu dengan membuat resolusi-resolusi dan
merasionalisasi keadaan yang sedang mereka jalani serta lebih suka melakukan sesuatu yang lain
daripada menjadi sadar betapa mereka telah mencegah diri sendiri menjalani hidup sepenuhnya
(Corey, 2010).
Keadaan subjek yang berorientasi pada masa lampau membuat subjek memendam
perasaan-perasaan sakit, sedih, kecewa, sesal, dan marah yang tidak diungkapkan selama
bertahun-tahun lamanya dan membuat subjek memiliki perasaan tidak mampu, mudah
merasa tertekan, mudah frustrasi, tidak terbuka, dan kaku sehingga subjek mengalami
kesulitan penyesuaian diri dalam menjalani kehidupannya di masa sekarang. Menurut Gestalt,
individu yang memiliki masalah disebabkan karena sebelumnya menghindari masalah, sehingga
masalah-masalah yang belum selesai cenderung tidak diungkapkan yang membuat subjek
mengalami tekanan.
Tekanan sehari-hari meskipun kecil namun bila bertumpuk dan berlangsung lama (stressor
jangka panjang), dapat menimbulkan stress yang berat. Tekanan yang dialami subjek cenderung
tekanan yang berasal dari luar seperti tuntutan dari ayah yaitu paksaan untuk cerai dari
suaminya. Namun demikian subjek tidak dapat mengekspresikan emosinya secara efektif kepada
ayahnya bahwa ia ingin tetap bertahan dengan suaminya. Sehingga hal yang dapat dilakukan
oleh subjek adalah menangis, membenci ayahnya, tidak bisa membuat keputusan dan terkadang
pergi dari rumah. Menurut Gestalt, hal ini menunjukkan bahwa subjek mengalami pertentangan
antara top dog (posisi yang memiliki peran yang kuat dan mandiri yaitu ayahnya) dan under
dog (keadaan tidak berdaya, tidak mampu dan pasif) (Brownell, 2010).
Subjek tidak pernah merasa sepenuhnya dicintai dan diterima oleh ayahnya sehingga subjek
menaruh dendam pada ayahnya. Unfinished business telah menghambat hubungan interpersonal
subjek dengan ayahnya. Sehingga subjek perlu melakukan penyingkapan unfinished business
agar bisa mengalami kepuasan yang nyata yaitu subjek perlu berpaling pada masalah lama
dan mengungkapkan perasaan-perasaan yang tidak diketahuinya (Corey, 2010). Berdasarkan
uraian perjalanan gangguan subjek dapat diketahui bahwa ada beberapa stressor yang memicu
terjadinya gangguan psikotik pada diri subjek , namun stressor tersebut bukanlah satu-satunya
faktor penyebab. Faktor lain yang juga menjadi salah satu penyebab timbulnya gangguan pada
diri subjek adalah kerentanan psikologis subjek yaitu masalah pada kepribadian yang ia miliki.
Kepribadian subjek yang cenderung tertutup, mudah frustasi, dan tidak suka dikritik yang
membuatnya menjadi mudah tertekan saat dihadapkan pada berbagai masalah sehingga dapat
menjadi diathesis (Walker & Diforio, 1997). Model diathesis stres mengaitkan antara adanya
faktor biologis, psikologis dan lingkungan yang berfokus pada interaksi antara predisposisi
penyakit terhadap penyakit (Davidson, Neale, & Kring, 2012). Penyakit skizofrenia dipandang
sebagai interaksi atau kombinasi dari diathesis dalam bentuk predisposisi genetis maupun
psikologis untuk berkembangnya gangguan, dengan stres lingkungan yang melebihi ambang
batas atau sumber-sumber coping individu (Nevid, Rathus & Greene, 2005).

41
PROCEDIA Studi Kasus dan Intervensi Psikologi Vol 8(1), Maret 2020

Menurut pendekatan gestalt, area yang harus diperhatikan dalam intervensi adalah
pemikiran dan perasaan yang individu alami saat ini. Perilaku yang normal dan sehat terjadi
bila individu bertindak dan bereaksi sebagai organisme yang total, yaitu memiliki kesadaran
pada pemikiran, perasaan dan tindakan masa sekarang. Menurut Gestalt, subjek menyebabkan
dirinya terjerumus pada masalah-masalah tambahan, karena tidak mengatasi kehidupannya
dengan baik yang meliputi komunikasi subjek menjadi kaku atau kurang kontak dengan ayah,
subjek memiliki kebutuhan yang tidak terpenuhi, perasaan yang tidak diekspresikan dan situasi
yang belum selesai yang mengganggu perhatiannya (unfinished business).
Subjek telah menjalani perawatan rumah sakit selama 27 hari dan telah dinyatakan pulih
sehingga kembali ke rumah. Permasalahan yang dialami subjek saat ini adalah subjek masih
sering memikirkan masalahnya yang ingin kembali dengan suaminya namun tidak diperbolehkan
oleh ayahnya sehingga tidak memiliki solusi untuk mengatasi masalahnya yang membuat
ia sering merasa frustrasi. Kondisi frustrasi yang dirasakan subjek membuat subjek sering
pergi dari rumah, tidak mendengarkan nasehat orang tua khususnya ayah, dan mengkonsumsi
obat tidak sesuai dosisnya. Hal ini membuat subjek kembali rentan terhadap stres dan
relapse. Berdasarkan uraian di atas menunjukkan bahwa adanya masalah-masalah subjek
yang belum terselesaikan terhadap ayahnya yang membuat subjek memendam emosi sehingga
subjek membutuhkan katarsis untuk melampiaskan emosinya yang membuat subjek bisa belajar
menerima dirinya dan keberadaan ayahnya, sehingga diperlukan intervensi Terapi Gestalt
dengan Teknik empty chair. Intervensi bertujuan untuk memunculkan kesadaran pada diri
subjek mengenai masalah-masalah yang belum selesai sehingga dapat memperbaiki hubungan
interpersonal subjek dengan ayah.

Diagnosis dan Prognosis


Subjek memenuhi kriteria diagnostik untuk Gangguan Psikotik Akibat Kondisi Medis Lain
dengan Delusi kode 293.81 (F06.2) dengan gejala meliputi adanya delusi, ditemukannya bukti
adanya kerusakan otak dan gejala lain secara lengkap dapat dilihat pada tabel diagnosis
di lampiran. Permasalahan yang menjadi fokus intervensi adalah hubungan interpersonal
subjek dengan ayahnya. Terapis memprediksikan prognosis subjek adalah positif/baik, hal
ini dikarenakan subjek memiliki komitmen untuk mengikuti intervensi agar segera keluar dari
permasalahannya, subjek kooperatif dengan terapis, selain itu keluarga juga ikut membantu
dalam pencegahan relapse pada subjek seperti dukungan social serta memantau subjek dalam
mengkonsumsi obat.

Intervensi
Terapi Gestalt dengan teknik empty chair memiliki sasaran utama yaitu pencapaian
kesadaran. Sasaran Perls adalah membantu orang-orang membuat hubungan dengan
pengalaman-pengalaman mereka secara jelas dan segera daripada semata-mata hanya berbicara
tentang pengalaman-pengalaman itu. Jadi, jika subjek mulai berbicara tentang kesedihan,
kesakitan, atau kebingungan, terapis membuat usaha-usaha agar subjek mengalami kesedihan,
kesakitan dan kebingungan itu sekarang. Menurut Pearls, rasa sesal atau dendam paling
sering menjadi sumber dan menjadi bentuk unfinished business yang paling buruk. Rasa sesal
menjadikan individu terpaku, yaitu ia tidak bisa mendekati atau terlibat dalam komunikasi
yang otentik sampai ia mengungkapkan rasa sesalnya. Jadi menurut Perls, pengungkapan rasa
sesal itu merupakan suatu keharusan. Rasa sesal yang tidak terungkapkan sering berubah
menjadi perasaan berdosa (Corey, 2010). Terapi Gestalt berfokus pada peningkatan kesadaran
untuk membawa perubahan, sehingga kebutuhan yang muncul dapat diidentifikasi, dan dipenuhi
(Wagner-moore, 2004). Terapi Gestalt dengan menggunakan teknik empty chair terbukti
dapat mengatasi gejala gangguan, masalah interpersonal, afiliasi terhadap diri sendiri, serta

42
PROCEDIA Studi Kasus dan Intervensi Psikologi Vol 8(1), Maret 2020

tingkat masalah yang belum selesai (Greenberg & Malcolm, 2002). Target dari intervensi ini
adalah memunculkan kesadaran pada diri subjek mengenai masalah-masalah yang belum selesai
sehingga dapat memperbaiki hubungan interpersonal subjek dengan ayah.
Prosedur intervensi
Intervensi psikologi dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut.
Sesi 1: Building Raport dan kontrak kerja. Tujuan pada sesi 1 adalah menciptakan
hubungan terapeutik dan mengetahui motivasi subjek. Kegiatan yang dilakukan dengan
enanyakan kegiatan subjek setelah keluar dari rumah sakit, perasaan subjek setelah keluar
rumah sakit dan menanyakan adakah keluhan yang subjek alami setelah keluar dari rumah
sakit. Terapis melakukan kontrak kerja kepada subjek dengan akan diadakannya terapi sebagai
solusi atas permasalahan yang subjek alami dan keluhkan.
Dalam sesi ini subjek masih ingat nama terapis setelah kurang lebih 10 hari tidak bertemu.
Subjek mengenalkan terapis dengan kedua orangtuanya. Subjek menceritakan bahwa dirinya
lebih senang di rumah dibanding di rumah sakit karena di rumah ada pekerjaan. Namun
ada hal yang membuat subjek tidak betah di rumah adalah sering bertengkar dengan ayahnya
dan malas bertemu dengan ayahnya. Subjek bersikap baik kepada terapis dengan memberikan
kue yang ditaruh dipiring dan mempersilahkan terapis untuk memakan kue tersebut. Ketika
terapis menjelaskan mengenai kontrak kerja intervensi, subjek dan ibu memahami apa yang
dijelaskan terapis dengan menganggukkan kepala dan bersedia mengikuti proses terapi. Subjek
mengatakan bahwa ia memiliki harapan ingin hidupnya bahagia dan semua keluarga menjadi
satu. Pada sesi ini ibu subjek bertanya mengenai kondisi subjek .
Sesi 2: Mengeksplorasi sumber unfinished business. Tujuan intervensi adalah
memunculkan kesadaran pada diri subjek mengenai masalah-masalah yang belum selesai
dengan ayahnya. Kegiatan yang dilakukan oleh terapis adalah mendorong dan membangkitkan
keberanian subjek mengungkapkan ekspresi pengalaman dan emosi-emosinya. Mengidentifikasi
orang yang menjadi sumber unfinished business-nya. Dalam sesi ini subjek diikuti anaknya
sehingga kurang bisa leluasa. Kemudian ibu subjek memanggil anaknya untuk tidur. Kemudian
subjek menceritakan mengenai permasalahan marah dan sedihnya yang sangat mengganggunya
saat ini. Subjek menceritakan mengenai kemarahan dan kekecewaannya kepada orang tuanya
yang ia tidak ketahui penyebabnya. Subjek mengatakan bahwa ia ingin membantu orang tuanya
mencari uang namun ada perasaan kesal dalam diri subjek yang membuat subjek akhirnya
berpikir berkali-kali apakah ia harus membantu orang tuanya atau tidak. Subjek menangis,
subjek merasa sudah lama menahan sedih dan amarah terhadap ayahnya namun subjek tidak
berani mengungkapkan karena ayahnya galak.
Sesi 3: Empty Chair. Tujuan dari sesi ini adalah subjek mampu mengenali, menerima,
mengekspresikan perasaan, pikiran dan emosinya, serta tercapainya resolusi untuk menyelesaikan
unfinished business dengan ayahnya. Kegiatan yang dilakukan dengan menyiapkan 2 kursi,
meminta subjek untuk duduk di satu kursi sementara kursi 1nya kosong. Meminta subjek untuk
membayangkan sosok ayahnya pada kursi kosong tersebut, kemudian meminta subjek untuk
mengungkapkan semua yang ia rasakan pada saat ia diusir oleh ayahnya. Subjek melakukan
dialog sampai pada poin tercapainya resolusi untuk menyelesaikan unfinished business. Terapis
mengingatkan subjek bahwa dia yang harus mengungkapkan perasaan-perasaan yang selama ini
dipendam dan bahwa pada akhirnya penting untuk memaafkan ayah. Memberi pengertian pada
subjek bahwa hubungan masa lalu bisa memicu konflik saat ini. Resolusi konflik lama dapat
membantu meringankan konflik saat ini. Pada awal sesi ini subjek belum dapat membawa
masalah masa lalunya dengan ayahnya pada kursi kosong tersebut. Kemudian terapis meminta
subjek untuk rileks dan mengingatkan bahwa subjek harus mengungkapkan perasaan-perasaan
yang selama ini dipendam. Setelah melakukan dialog yang panjang sambil menangis, akhirnya

43
PROCEDIA Studi Kasus dan Intervensi Psikologi Vol 8(1), Maret 2020

subjek menyadari bahwa sebenarnya apa yang dilakukan ayahnya adalah untuk kebaikannya,
kemudian subjek mengatakan bahwa ia merasa sedikit lega setelah mengeluarkan emosi-emosinya
yang selama ini tidak berani subjek ungkapkan.
Sesi 4: Sesi lanjutan Empty Chair. Tujuan intervensi agar subjek mampu untuk menerima
diri atas kesalahan masa lalu. Terapis menyiapkan 2 kursi, meminta subjek untuk duduk di
satu kursi sementara kursi lainnya kosong. Meminta subjek untuk berdialog antara dirinya saat
ini dan dirinya di masa lalu ketika subjek hamil di luar nikah yang membuat subjek merasa
sangat bersalah. Awalnya subjek berperan sebagai dirinya di masa lalu, subjek menyampaikan
kalutnya pikirannya di masa lalu, perasaan menyesal, rasa marah, kecewa dengan dirinya ketika
ia hamil di luar nikah menjadi orang yang merugi yang membuat dirinya menjadi stres. Subjek
menunduk sambil menangis ketika menyampaikan perasaan-perasaannya yang dipendam selama
ini. Kemudian subjek memainkan peran sebagai dirinya sekarang dan menyampaikan perasaan
pada dirinya di masa lalu, subjek lebih santai dan mengatakan beberapa harapan-harapan
agar kejadian tersebut tidak akan terulang lagi di waktu selanjutnya. Subjek akan berubah,
subjek ingin mencari kerja agar bisa membantu orang tuanya melunasi hutang-hutang. Setelah
emosi subjek mulai mereda, terapis meminta subjek untuk melakukan relaksasi kemudian terapis
menanyakan perasaan subjek, subjek mengatakan bahwa ia merasa lega setelah mengungkapkan
semua emosi dan penyesalan yang selama ini terpendam.
Sesi 5: Integration. Tujuan dari sesi kelima ini adalah subjek mampu mengintegrasikan
keseluruhan diri, pengalaman dan emosi-emosinya dalam perspektif baru sehingga subjek
mampu bertanggung jawab atas pilihan yang ditentukan sendiri. Kegiatan yang dilakukan
adalah membentuk kembali pola-pola hidup dalam bimbingan pemahaman baru dan insight
baru, dengan cara meminta subjek untuk menyimpulkan dialog-dialog yang ia lakukan di
sesi sebelum-sebelumnya kemudian memberi pengertian pada subjek bahwa pengalaman masa
lalu yang menyakitkan tidak perlu diingat kembali. Penyesalan karena hamil sebelum
menikah cukup digunakan untuk pembelajaran bahwa harus mempertimbangkan risiko sebelum
bertindak dan perlakuan ayah yang membuat kecewa adalah demi kebaikan subjek namun cara
penyampaiannya yang kurang tepat karena memang karakter ayah seperti itu, sehingga subjek
harus bisa menerima. Kemudian terapis memberi pengertian pada subjek bahwa mulai sekarang
harus bisa mengungkapkan emosi, apapun konsekuensinya, itu lebih baik daripada berlarut-larut
dipendam.
Sesi 6: Evaluasi dan terminasi. Tujuan sesi ini adalah subjek mengetahui apa yang telah
ia capai dan menerima apa yang belum bisa ia capai. Subjek siap untuk memulai kehidupan
secara mandiri tanpa supervisi terapis. Kegiatan yang dilakukan adalah menanyakan perasaan
subjek setelah terapi, memberikan feedback tentang kinerjanya selama intervensi, memberikan
kesimpulan dari hasil terapi, melakukan antisipasi dan perencanaan terhadap krisis di masa
depan. Subjek mengatakan bahwa ia merasa lega, subjek perlahan sedikit lebih dapat menerima
perlakuan ayahnya daripada sebelumnya karena subjek meyakini bahwa sebenarnya apa yang
dilakukan ayahnya adalah yang terbaik untuk subjek. Selama proses terapi, subjek dapat
mengikuti dengan baik, hanya saja pada awal sesi anaknya mengikuti subjek sehingga subjek
sulit untuk konsentrasi. Subjek mengatakan bahwa mulai hari ini dan selanjutnya akan
berusaha berani mengungkapkan perasaan atau emosi-emosi yang dirasakan agar dapat menjalin
hubungan yang baik dengan ayah maupun ibu.
Psikoedukasi Keluarga
Tujuan sesi ini adalah orangtua dapat memberikan dukungan sosial serta memantau subjek
dalam mengkonsumsi obat. Kegiatan yang dilakukan dengan memberi penjelasan kepada ayah
dan ibu mengenai sakit yang dialami oleh subjek kemudian mengkonseling ayah agar tidak selalu
mengkritik serta memukul subjek, memberikan suasana yang nyaman kepada subjek agar subjek

44
PROCEDIA Studi Kasus dan Intervensi Psikologi Vol 8(1), Maret 2020

tidak keluyuran. Pada sesi ini berjalan lancar, orangtua khususnya ayah menyetujui untuk tidak
memukul subjek dan mengurangi perilaku selalu mengkritik subjek.

Follow-up

Satu minggu pasca intervensi subjek mengatakan bahwa hubungan subjek dengan ayah membaik
yang ditandai dengan subjek dapat melakukan kontak mata dengan ayah, adanya komunikasi
dua arah jarang ekspresi marah, subjek juga lebih jarang menggunakan headset ketika ayahnya
memberi nasehat. Namun demikian terkadang subjek masih kesal ketika dikritik oleh ayahnya.

Hasil dan Pembahasan


Hasil

Target pada intervensi yang dilakukan terpenuhi namun tidak sepenuhnya dimana subjek
memiliki kesadaran pada dirinya mengenai masalah-masalah yang belum selesai dengan ayahnya
sehingga membuat subjek mampu untuk melakukan kontak yang efisien dengan ayah, namun
terkadang subjek masih merasa kesal ketika dikritik/dinasehati ayahnya tentang mantan
suaminya. Hasil akhir dapat dilihat pada Tabel 1.

Pembahasan

Intervensi yang diberikan kepada subjek telah disesuaikan dengan permasalahan yang dialami
oleh subjek ketika pulang dari Rumah Sakit Jiwa. Peran keluarga untuk mendukung pemulihan
subjek sangat diharapkan. Peran penting keluarga pasca intervensi adalah untuk selalu
melibatkan subjek dalam seluruh pembicaraan dan pengambilan keputusan yang berkaitan
dengan subjek. Dorongan keluarga untuk selalu mengingatkan kondisi subjek yang masih
membutuhkan konsumsi obat rutin dan sesuai dosis juga dibutuhkan pada pasca intervensi.
Terapi Gestalt difokuskan pada perasaan-perasaan subjek, kesadaran atas saat sekarang,
pesan-pesan tubuh, dan penghambat-penghambat kesadaran. Orientasi umum dari terapi
Gestalt adalah pemikulan tanggungjawab yang lebih besar oleh subjek bagi mereka sendiri, bagi
pikiran-pikiran, perasaan-perasaan, dan tingkah laku mereka (Komalasari & Wahyuni, 2011).
Orang yang memiliki kebutuhan yang tidak terpenuhi, perasaan yang tidak diekspresikan dan
situasi yang belum selesai yang mengganggu perhatiannya memiliki efek yang dapat mengganggu
subjek, seperti frustrasi (Brownell, 2010).
Dalam terapi Gestalt terdapat konsep tentang unfinished business yaitu mencakup
perasaan-perasaan yang tidak terungkapkan seperti dendam, kemarahan, kebencian, sakit hati,
kecemasan, kedudukan, rasa berdosa, rasa diabaikan, dan sebagainya. Meskipun tidak bisa

Tabel 1. Perubahan hubungan interpersonal subjek dengan Ayah.


Target Hasil
Memunculkan kesadaran pada diri subjek Subjek menyadari bahwa rasa malas subjek
mengenai masalah-masalah yang belum selesai berinteraksi dengan ayahnya karena masih
dengan ayahnya. adanya perasaan kecewa, sakit hati yang subjek
pendam sejak kecil yang perlu dituntaskan.
Subjek mampu melakukan kontak yang efisien Subjek dapat melakukan kontak mata
dengan ayah. dengan ayah, adanya komunikasi dua arah
jarang ekspresi marah, subjek juga lebih
jarang menggunakan headset ketika ayahnya
memberi nasehat, namun masih ada rasa
kesal terhadap ayahnya ketika ayahnya
mengkritiknya/menasehati tentang mantan
suaminya.

45
PROCEDIA Studi Kasus dan Intervensi Psikologi Vol 8(1), Maret 2020

diungkapkan, perasaan-perasaan itu diasosiasikan dengan ingatan-ingatan dan fantasi-fantasi


tertentu. Karena tidak diungkapkan dalam kesadaran, perasaan-perasaan itu tetap tinggal pada
latar belakang dan dibawa kepada kehidupan sekarang dengan cara-cara menghambat hubungan
yang efektif dengan dirinya sendiri dan orang lain. Unfinished business itu akan bertahan sampai
ia menghadapi dan menangani perasaan-perasaan yang tak terungkapkan itu (Corey, 2010).
Namun demikian, subjek masih belum dapat menghilangkan unfinished bussinessnya
terhadap masa lalu ketika ia hamil di luar nikah serta terkadang ketika dikritik/dinasehati
ayahnya tentang mantan suaminya subjek merasa kesal. Hal tersebut dikarenakan keterbatasan
kemampuan terapis dalam mengaplikasikan terapi Gestalt. Proses intervensi ini dapat berjalan
lancar karena terdapat beberapa faktor, salah satunya adalah kerjasama keluarga untuk
memberikan pendampingan pada subjek, dan juga ketersediaan tempat untuk melakukan proses
intervensi. Selain itu subjek yang kooperatif dan memiliki motivasi untuk berubah menjadi salah
satu hal yang melatar belakangi lancarnya proses intervensi. Adapun hambatan yang dialami
saat proses intervensi adalah pada saat awal intervensi, anak subjek mengikuti subjek, sehingga
membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memulai intervensi selain itu juga kemampuan
terapis dalam mengaplikasikan terapi Gestalt.
Simpulan
Terapi Gestalt cukup berperan dalam membantu pasien dengan gangguan psikotik dalam
mengungkapkan unfinished bussiness-nya. Mengungkapkan emosi-emosi terpendam berperan
dalam membantu subjek untuk memunculkan kesadaran pada diri subjek mengenai
masalah-masalah yang belum selesai sehingga dapat mengatasi konflik interpersonal subjek
dengan ayah. Intervensi ini tidak mengesampingkan konsumsi obat rutin dan pemeriksaan
medis yang tetap harus dilakukan oleh subjek secara teratur.
Referensi
Brownell, P. (2010). Gestalt therapy: A guide to contemporary practice. New York: Springer Publishing Company.
Corey, G. (2010). Teori dan praktek konseling dan psikoterapi. Bandung: Rafika Aditama.
Davidson, G. C., Neale, J. M., & Kring, A. M. (2012). Psikologi abnormal (Edisi ke-9). Depok: Rajawali Pers.
Faber, G., Smid, H. G. O. M., Van Gool, A. R., Wiersma, D., & Van Den Bosch, R. J. (2012). The effects of
guided discontinuation of antipsychotics on neurocognition in first onset psychosis. European Psychiatry,
27 (4), 275–280.
Fujii, D., & Ahmed, I. (2010). Cognitive neuropsychiatry psychotic disorder following traumatic brain injury: A
conceptual framework. Cognitive Neuropsychiatry, 7 (1), 41–62.
Fujii, D. E., & Ahmed, I. (2014). Psychotic disorder caused by traumatic brain injury. Psychiatric Clinics of NA,
37 (1), 113–124.
Greenberg, L. S., & Malcolm, W. (2002). Resolving unfinished business: Relating process to outcome. Journal
of Consulting and Clinical Psychology, 70 (2), 406–416.
Harrow, M., Jobe, T. H., & Faull, R. N. (2012). Do all schizophrenia patients need antipsychotic treatment
continuously throughout their lifetime? A 20-year longitudinal study. Psychological Medicine, 42 (10),
2145–2155.
Kay, J., & Tasman, A. (2006). Mental disorders due to a general medical condition. In Essentials of Psychiatry
(pp. 392–408).
Komalasari, G., & Wahyuni, E. (2011). Teori dan teknik konseling. Jakarta: PT Indeks.
Morrison, A. P., Hutton, P., Wardle, M., Spencer, H., Barratt, S., Brabban, A., & Callcott, P. (2011). Cognitive
therapy for people with a schizophrenia spectrum diagnosis not taking antipsychotic medication: An
exploratory trial. Psychological Medicine, 1–8.
National Collaborating Centre for Mental Health. (2014). Psychosis and schizophrenia in adults: The nice
guideline on treatment and management. UK: National Institute for Health and Care Excellence. Retrieved
from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25340235.
Townsend, L. D., Demeter, C. A., Youngstrom, E., Drotar, D., & Findling, R. L. (2007). Family conflict moderates
response to pharmacological intervention in pediatric bipolar disorder. Journal of Child and Adolescent
Psychopharmacology, 17 (6), 843–852.
Wagner-moore, L. E. (2004). Gestalt therapy: Past, present, theory, and research. Psychotherapy: Theory,
Research, Practice, Training, 41 (2), 180–189.

46
PROCEDIA Studi Kasus dan Intervensi Psikologi Vol 8(1), Maret 2020

Walker, E., & Diforio, D. (1997). Schizophrenia: A neural diathesis-stress model. Psychol Rev, 104 (4), 667–685.
Wunderink, L., Nieboer, R. M., Wiersma, D., Sytema, S., & Nienhuis, F. J. (2013). Recovery in remitted
first-episode psychosis at 7 years of follow-up of an early dose reduction/discontinuation or maintenance
treatment strategy long-term follow-up of a 2-year randomized clinical trial. JAMA Psychiatry, 70 (9),
913–920.

47

Anda mungkin juga menyukai