Anda di halaman 1dari 16

TUGAS KELOMPOK PAPER MATERI INTERVENSI

Dosen Pengampu: Dr. Sitti Murdiana, S. Psi., M. Psi., Psikolog.

Ismalandari Ismail, S. Psi., M. Psi., Psikolog.

PSIKOLOGI KLINIS

OLEH :

Nurul Istiqamah Syamsuddin 200701501070

Yusfitri Nursyahwalny M 210701500038

Syarifah Ummu Budur 210701500044

Tarizha Khaerunnisa 210701502023

KELOMPOK 6

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

2023
A. Definisi Intervensi
Menurut KBBI, intervensi merupakan campur tangan dalam perselisihan antara 2(dua)
pihak (orang, golongan, negara, dan lainnya). Dalam lingkup psikologi klinis, intervensi di
definisikan sebagai upaya yang dilakukan untuk mengubah kehidupan klien yang ditangani
(Rosenau, 1968). Psikoterapi adalah metode pemulihan dan pengobatan yang diberikan
kepada individu, keluarga, komunitas, maupun kelompok masyarakat yang memiliki
gangguan (Rajab, 2006). Berdasarkan beberapa definisi intervensi, dapat diketahui bahwa
intervensi dalam psikologi klinis merupakan usaha dan upaya terapis dalam mengubah
kehidupan klien dengan memberikan bentuk-bentuk intervensi klinis, seperti psikoterapi,
konseling, maupun psikoedukasi.
B. Jenis-Jenis Intervensi
a. Marital Intervention
Perkawinan merupakan ikatan yang sah antara seorang laki-laki dengan seorang
wanita dewasa yang menjalani rumah tangga bersama. Setelah melalui proses pacaran
atau tunangan, masing-masing individu sepakat untuk meninggalkan kedua orang
tuanya dan menjadi satu dengan pasangan hidupnya.
Dalam menjalani kehidupan rumah tangga, tak jarang pasangan suami-istri
menghadapi masalah-masalah dalam rangka proses penyesuaian diri dalam
perkawinan. Terjadinya masalah perkawinan ditimbulkan oleh perbedaan latar
belakang seperti perbedaan pandangan, pemikiran, sikap, budaya, pendidikan maupun
keinginan masing-masing individu (Turner & Helms dalam Dariyo 2005). Untuk dapat
mengatasi masalah tersebut, ada kalanya mereka pasangan membutuhkan bantuan ahli,
seperti seorang konselor perkawinan (marriage counsellor).
Konseling perkawinan (marriage counselling) adalah suatu pembicaraan
profesional yang bertujuan membantu memecahkan masalah perkawinan agar klien
dapat mencapai kebahagiaan dalam kehidupan perkawinannya. Ahli khusus yang
menangani konseling perkawinan dinamakan konselor perkawinan. Mereka cukup
menguasai konsep-konsep psikologi perkembangan, teknik konseling maupun terapi
perkawinan.
Proses konseling perkawinan melibatkan kedua pihak yaitu konselor dan klien. Sebagai
kegiatan profesional, oleh karena itu, konseling perkawinan dilaksanakan atas dasar
kesepakatan formal antara konselor dengan klien, agar arah dan tujuan konseling
bersifat jelas bagi masing-masing pihak. Kesepakatan formal dibuat agar masing-
masing pihak mengetahui, menyadari serta melaksanakan semua hak dan kewajiban
dengan baik.
b. Family Intervention (Ariani, 2020)
Keluarga adalah unit utama masing-masing anggota untuk berkembang baik secara
fisik, emosi, spiritual, dan sosial. Keluarga menjadi tempat anak untuk memulai
kehidupan, mendapat pengajaran, moral dan agama.

Terapi keluarga merupakan terapi yang berorientasi pada aktivitas terapis dimana
pada terapi ini terapis yang bertanggung jawab membangun strategi perubahan pada
klien. Masalah interpersonal dalam keluarga dijelaskan oleh model sebab akibat.
Terapi keluarga perlu mempertimbangkan sistem individualitas dan keadaan yang
berhubungan dengannya.

Terapi keluarga fokus pada keadaan sekarang dan perubahan perilaku. Terapi ini
berfokus untuk membuat keluarga dapat menyelesaikan masalah dengan sendirinya
dan menciptakan masa depan yang lebih baik. Masalah yang terjadi dalam keluarga
tidak terjadi secara acak tetapi bergantung pada siklus perkembangan keluarga.

Prosedur terapi keluarga terbagi dalam beberapa tahapan sebagai berikut :

1. Social stage, menghadirkan seluruh anggota keluarga. Setiap keluarga diminta


untuk memberikan pendapat yang dihadapi.
2. The problem stage, menjelaskan kepada keluarga alasan kenapa mereka harus
hadir, memberikan kesempatan kepada masing-masing keluarga untuk
berbicara dimulai pada anggota keluarga yang netral.
3. Interaction stage, meminta komentar dari setiap anggota keluarga yang hadir
kemudian meminta keluarga untuk membicarakan masalah bersama-sama.
4. Defining desired changes, terapis menyampaikan permasalahan setelah semua
anggota keluarga mengetahui permasalahan yang terjadi kemudian terapis
menanyakan perubahan seperti apa yang diharapkan.
5. Ending the interview, setelah dicapai kesepakatan bersama mengenai definisi
masalah, kemudian dilanjutkan pada sesi pertemuan selanjutnya evaluasi
perubahan, pemberian tugas, dan terminasi.
c. Parents Intervention
Umumnya permasalahan yang terjadi pada anak didasari pada kesalahan atau
kekeliruan pada pengasuhan yang diterapkan oleh orang tua. Dalam menyelesaikan
permasalahan yang telah terjadi pada anak, maka perlu dilakukan intervensi tidak
hanya secara keluarga tetapi juga langsung terhadap pada orang tua yang merupakan
unsur penting dari sebuah keluarga dan merupakan peran penting bagi anak.

Intervensi orangtua untuk mencegah atau mengurangi perilaku negatif pada remaja
umumnya mengambil tiga pendekatan dengan menargetkan :

1. Strategi pengasuhan umum (misalnya, dukungan orang tua, keterampilan


pemecahan masalah, komunikasi dan pemantauan orang tua-remaja umum,
pengetahuan perkembangan remaja).
2. Strategi pengasuhan khusus (misalnya, informasi tentang konsekuensi berbahaya
dari minum minuman keras, keterampilan komunikasi untuk mengekspresikan
harapan dan aturan tentang minuman keras, dan memantau strategi remaja minum
minuman keras).
3. Kombinasi keduanya. Kombinasi strategi pengasuhan umum dan spesifik minuman
keras biasanya menargetkan beberapa perilaku berisiko. Ini mencakup pola asuh
yang spesifik perilaku (misalnya, menetapkan aturan dan sanksi atas
pengkonsumsian minuman keras, rokok, dan narkoba melawan tekanan teman
sebaya dan media untuk penggunaan narkoba dan perilaku seksual) dan praktik
pengasuhan umum dalam intervensi yang sama. Meskipun semua pendekatan ini
dapat mengurangi perilaku minum minuman keras pada remaja, penelitian
menunjukkan hal itu mungkin memiliki mekanisme intervensi yang berbeda.
d. Peer Intervention
Peer Group Support atau lebih dikenal dengan intervensi atau bantuan kelompok
merupakan suatu kegiatan intervensi dengan cara memberi sekaligus menerima bantuan,
dukungan, empati yang saling menguatkan sesama orang0orang yang membutuhkan
bantuan tersebut dalam suatu bentuk kelompok yang bersifat sama atau homogen
(Akbar et al., 2022). Terdapat beberapa manfaat utama dari intervensi jenis peer group
ini antara lain:
a. Meningkatnya kesejahterassn dalam masyarakat
b. Meningkatnya penerimaan kondisi satu sama lain
c. Memberikan pengetahuan secara lebih luas melalui kebersamaan
Salah satu penelitian membuktikan bahwa adanya hasil yang positif dan signifikan
terhadap bagaimana teknik intervensi peer group digunakan pada beberapa pasien
skizofrenia karena setelah menjalani proses intervensi ini beberapa subjek semakin
semangat untuk melanjutkan hidup karena dengan intervensi peer group subjek merasa
lebih peka satu sama lain sehingga memunculkan perasaan sejahtera yang berefek baik
terhadap kondisi kesehatannya (Salvirania & Fahrudin, 2020). Adapun tolak ukur
keberhasilan dilaksanakannya intervensi dengan metode peer group (Akbar et al.,
2022):
a. Tidak menjadikan perbedaan pengalaman sebagai masalah
b. Munculnya rasa tanggung jawab bersama untuk mencapai tujuan pemberian
intervensi
c. Tidak adanya keterpaksaan antar subjek
d. Semua partisipan peer group mendahulukan keselamatan bersama
C. Bentuk-Bentuk Intervensi
a. Psikoterapi
Istilah psikoterapi (psychotherapy) berasal dari dua kata yaitu “psyche” dan
“therapy”. Psyche berarti jiwa dan "terapi" adalah hati. Oleh karena itu, psikoterapi
dapat digambarkan sebagai penyembuhan jiwa atau penyembuhan mental (usaha). Oleh
karena itu, psikoterapi adalah pengobatan masalah kehidupan mental melalui bantuan
psikologis, di mana seorang ahli secara sadar menciptakan hubungan profesional dengan
pasien, yang tujuannya adalah untuk menghilangkan, mengubah atau menemukan gejala
yang ada, menengahi (menyembuhkan) pola perilaku yang mengganggu pertumbuhan
dan perkembangan kepribadian yang positif. Menurut Freud psikoterapi adalah
merupakan pelaksanaan-pelaksanaan kegiatan psikologis, terdiri dari bagian sadar atau
conscious dan bagian tidak sadar atau unconscious.
Tujuan Psikoterapi :

 Memperkuat motivasi untuk melakukan hal-hal yang benar


 Tujuan ini biasanya dilakukan melalui terapi yang sifatnya direktif (memimpin) dan
suportif (memberikan dukungan dan semangat). Mengajak dengan cara diberi nasehat
sederhana sampai pada hypnosis (keadaan seperti tidur karena sugesti) digunakan
untuk menolong orang bertindak dengan cara yang tepat.
 Mengurangi tekanan emosi melalui kesempatan untuk mengekspresikan perasaan yang
mendalam.
 Membantu klien mengembangkan potensinya sehingga klien diharapkan dapat
mengembangkan potensinya. Ia akan mampu melepaskan diri dari fiksasi sama halnya
dengan perasaan terikat atau terpusat pada sesuatu secara berlebihan yang dialaminya.
Klien akan menemukan bahwa dirinya mampu untuk berkembang ke arah yang lebih
positif
 Mengubah struktur kognitif individu. Menggambarkan tentang dirinya sendiri maupun
dunia sekitarnya. Masalah muncul biasanya terjadi kesenjangan antara struktur
kognitif individu dengan kenyataan yang dihadapinya. Jadi, Struktur kognisi misalnya
kegiatan atau proses untuk memperoleh pengetahuan perlu diubah untuk
menyesuaikan dengan kondisi yang ada
 Meningkatkan pengetahuan dan kapasitas untuk mengambil keputusan dengan tepat.
 Mengubah lingkungan social individu. Terutama terapi yang diperuntukan untuk anak-
anak..
 Mengubah proses somatic (fisik) supaya mengurangi rasa sakit dan meningkatkan
kesadaran tubuh.
b. Konseling (Mahfud et al., 2018)
Konseling merupakan kristalisasi terhadap keseluruhan proses dan sistem pada
suatu kegiatan bimbingan. Konseling adalah suatu proses interpersonal dimana
seseorang dibantu oleh orang lain untuk meningkatkan pemahaman dan keterampilan
untuk menemukan suatu masalah. Konseling adalah hubungan pribadi antara dua orang
di mana konselor menciptakan situasi pembelajaran untuk keterampilan khusus mereka
melalui hubungan ini. Dalam hal ini, subjek dibantu untuk memahami dirinya sendiri,
situasinya saat ini, dan kemungkinan kondisi masa depan yang dapat ia ciptakan dengan
memanfaatkan potensinya untuk kesejahteraan pribadi dan sosial.
Psikologi konseling adalah kegiatan yang dikembangkan dalam interaksi antara
klien dan psikolog/konselor untuk mengidentifikasi persepsi, kebutuhan, nilai,
perasaan, pengalaman, keinginan dan masalah klien. Tujuan dari hal ini adalah untuk
memecahkan masalah psikologis klien dengan cara menyadarkan klien akan akar
permasalahan yang sebenarnya dihadapinya, sehingga pada akhirnya klien dapat
menemukan sendiri solusi dan alternatif dalam pemecahan masalahnya.

Adapun tujuan konseling menurut Ulfiah (2020) di bawah ini yaitu:

1. Mengubah perilaku buruk yang terjadi di dirinya sehingga psikoterapis profesional


percaya bahwa tujuan konseling adalah untuk mengubah perilaku buruk klien
dengan cara yang sesuai dengan modifikasi perilaku. Seseorang yang mengalami
maladjusted atau penyesuaian yang salah membutuhkan konseling dan jika tidak
mendapatkan bantuan dapat mempengaruhi perkembangan pribadinya.
2. Agar dapat belajar membuat keputusan karena dalam proses konseling juga harus
belajar membuat keputusan. Membuat keputusan memang tidak mudah, tetapi klien
harus mempelajarinya dan berani. Karena yang lebih tahu dan memahami masalah
adalah klien itu sendiri.
3. Mencegah munculnya masalah yakni mencegah dalam mengalami masalah di
kemudian hari, mencegah agar masalah yang dialami tidak bertambah berat atau
berkepanjangan, mencegah agar masalah yang dihadapi tidak berakibat gangguan
yang menetap.
c. Psikoedukasi
Psikoedukasi adalah intervensi umum di bidang psikologi. Psikoedukasi dapat
digunakan dalam pengaturan klinis dan kesehatan. Memberikan intervensi psikoedukasi
merupakan langkah yang dapat membantu meningkatkan prestasi akademik mereka.
Psikoedukasi adalah metode edukatif yang bertujuan untuk memberikan informasi dan
pelatihan yang berguna untuk mengubah pemahaman spiritual/psikologis seseorang.
Psikoedukasi juga berguna dalam memberikan pengetahuan/pemahaman dan strategi
terapi yang berguna untuk meningkatkan kualitas hidup individu (Srivastava, P. 2017).
Psikoedukasi dapat dilakukan melalui sebuah pelatihan dengan metode eksplorasi,
penilaian, diskusi, bermain peran dan demonstrasi.

Dasar dari intervensi psikoedukasi adalah pada kekuatan dan fokus terhadap masa
sekarang serta masa kini (Lukens & McFarlane, 2004). Intervensi ini tidak hanya
memberikan informasi penting tentang masalah individu/kelompok dalam menghadapi
situasi bermasalah, tetapi juga dapat diterapkan pada kelompok usia dan tingkat
pendidikan yang berbeda. Selain itu, psikoedukasi lebih menekankan pada proses
pembelajaran, pelatihan, pengenalan diri dan pemahaman diri, dimana komponen
kognitif memiliki porsi yang lebih besar daripada komponen afektif. (Brown, 2011).
Menurut Moningka (2022), psikoedukasi memiliki empat tujuan umum yaitu:

 Information transfer, yaitu memberikan informasi kepada masyarakat, klien, atau


keluarga klien tentang gejala, penyebab, dan konsep penyembuhan yang
berhubungan dengan masalah psikologis tertentu.
 Emotional discharge, yaitu membantu orang dengan isu psikologis menghadapi
masalah yang ada dengan melepaskan frustrasi dan emosi yang muncul karena tidak
mengetahui apa atau bagaimana cara enghadapi masalah psikologis.
 Support of a medication or other treatment, yaitu sebagai sarana edukasi untuk
mendukung orang dengan masalah kesehatan mental.
 Assistance toward self-help, yakni edukasi yang diberikan diharapkan akan
menjadi suatu hal yang akan membantu diri sendiri memahami dan menghadapi
masalah psikologis yang muncul.
d. Psikodrama (Prawitasari, 2011)
Psikodrama merupakan salah satu teknik dalam pendekatan kelompok. Psikodrama
dikembangkan oleh Jacob L. Moreno yang merupakan seorang psikiater yang berlatar
belakang disiplin ilmu kedokteran. Salah satu hal yang menjadi pembeda antara
psikodrama dan pendekatan kelompok adalah dalam psikodrama terdapat unsur drama.
Anggota kelompok tidak hanya berdiskusi, mereka dapat mengungkapkan dalan suatu
drama yang disutradarai oleh terapis. Menurut Moreno, apa yang dimainkan dalam
drama persis seperti kehidupan yang nyata. Begitu pengalaman pribadi diungkapkan di
dalam drama perorangan bukan milik pribadi tanpa diketahui orang lain.
Di dalam psikodrama, salah satu anggota dapat menjadi pemeran utama dan
anggota lainnya menjadi pemeran pembantu sesuai dengan tema yang diungkapkan
oleh pemeran utama. Terdapat unsur penyembuhan di dalam psikodrama. Kelayan
disebut protagonist, terapis disebut sutradara, anggota kelompok disebut penonton, co-
terapis dapat disebut asisten. Dalam psikodrama, tempat bermain drama yang
sebenarnya adalah terapi disebut dengan panggung. Istilah yang digunakan diharapkan
dapat mengurangi stigma yang diderita oleh pasien dan kelayan.
Moreno menuliskan bahwa psikoterapi dapat memberikan kesempatan bagi orang-
orang untuk melihat kehidupan pribadinya dengan cara pandang yang berbeda setelah
kehidupan pribadi tersebut didramakan dan dimainkan oleh orang yang tak ia kenali
dan berada di dalam kelompok bersamanya.
D. Pendekatan Psikologis dalam Intervensi
a. Psikodinamika
Teori psikodinamika dipopulerkan oleh Sigmund Freud dan para pengikutnya.
Bentuk psikodinamika yang dikemukakan oleh Freud disebut psikoanalitis
(psychoanalytic theory), dimana teori ini mendasarkan pada keyakinan bahwa masalah
psikologis adalah akibat dari konflik psikologis di luar kesadaran yang dapat dilihat
dari masa kecil (Denafianti & Maulanza, 2021). Tujuan utama dari psikodinamik
adalah membuat hal yang tidak disadari menjadi hal yang disadari (Pomegrantz, 2014).
Menurut Freud dan para pengikutnya, ketidaksadaran bukan hanya ada, tetapi juga
memberikan pengaruh yang kuat terhadap hidup individu. Freud dan pengikutnya juga
beranggapan bahwa proses-proses tak sadar dapat menjadi dasar dari berbagai
gangguan, seperti depresi, kecemasan, gangguan kepribadian, gangguan makan dan
lainnya.
Psikoterapis psikodinamik mendapatkan akses ke ketidaksadaran klien dengan
banyak cara, yaitu asosiasi bebas, slip Freudian, mimpi dan resistensi yang
diperlihatkan klien selama terapi (Pomegrantz, 2014). Konflik tak-sadar antara id dan
superego secara terus-menerus mengharuskan ego untuk menengahinya dengan
menerapkan defense mechanism. Penyadaran diri pada defense mechanism dapat
memberi tanda pada kepribadian seseorang maupun patologi yang dialami. Terapis
psikodinamik memperhatikan pada masalah-masalah yang bisa saja timbul dari fiksasi
di salah satu tahap perkembangan psikoseksual (oral, anal, atau phallic).
b. Behavioristik
Behavioristik merupakan aliran untuk memahami perilaku manusia (Mahdi, 2022).
Behaviorisme muncul sebagai reaksi terhadap intervensi dan juga psikoanalisis.
Perspektif perilaku berfokus pada peran pembelajaran dalam menjelaskan perilaku
manusia. Asumsi dasar dari teori behavioristik ini adalah bahwa perilaku sepenuhnya
dikendalikan dan dapat diprediksi Manusia adalah makhluk yang sepenuhnya reaktif
yang perilakunya ditentukan oleh faktor eksternal. Menurut teori behaviorisme, apa
yang terjadi antara stimulus dan respon tidak dianggap penting karena tidak dapat
diamati atau diukur (Safaruddin, 2016).
Terapi perilaku tradisional diawali di tahun 1950-an di Amerika Serikat, Afrika
Selatan, dan Inggris sebagai tahap awal yang radikal dalam menentang perspektif
psikoanalisis yang dominan (Alang, 2020). Fokus terapi perilaku adalah perubahan
perilaku dan bukan perubahan kepribadian atau menggali masa lalu secara mendalam.
Terapi perilaku ini berlangsung relatif singkat, umumnya dari beberapa minggu sampai
beberapa bulan (Mahdi, 2022).
Terapi perilaku memiliki beberapa karakteristik, antaranya sebagai berikut
(Sanyata, 2012):
a. Terapi perilaku didasarkan pada prinsip dan prosedur metode ilmiah.
b. Terapi perilaku berhubungan dengan permasalahan konseli dan juga faktor-faktor
yang mempengaruhinya.
c. Klien dalam terapi perilaku diharapkan berperan aktif berkaitan dengan
permasalahannya.
d. Terapi perilaku menekankan keterampilan klien dalam mengatur dirinya yaitu
mandiri serta mampu bertanggung jawab atas dirinya sendiri.
e. Terapi perilaku mengukuran perilaku yang terbentuk yaitu perilaku yang nampak
dan tidak nampak, serta mengidentifikasi permasalahan dan mengevaluasi
perubahan.
f. Menekankan pendekatan self-control dalam strategi mengatur diri.
g. Intervensi perilaku bersifat individual dan menyesuaikan pada permasalahan
khusus yang dialami klien.
h. Kerjasama antara klien dengan terapi.
i. Menekankan proses terapi secara praktis.
j. Terapis bekerja keras untuk mengembangkan prosedur kultural secara spesifik
untuk mendapatkan klien yang taat dan kooperatif.
c. Kognitif (Pomegrantz, 2014)
Terapi kognitif bertumpang tindih dengan terapi perilaku karena terapis kognitif
masih menggunakan beberapa teknik perilaku dan sejumlah besar terapis kognitif
menggunakan kedua pendekatan dan mengidentifikasikannya sebagai “perilaku
kognitif”. Terdapat tokoh penting dalam terapi kognitif, yaitu Aaron Beck dan Albert
Ellis yang merasa kecewa dengan metode psikoanalisis. Beck dan Ellis mencari
pendekatan terapi yang menangani gejala klien secara langsung, kurang fokus pada
masa lalu untuk lebih fokus pada masa kini dan memunculkan hasil positif yang lebih
efisien. Namun, terapi kognitif bukan sekedar salah satu variasi kecil dari terapi
perilaku yang melengkapi pengkodisian. Tujuan utama dari terapi kognitif adalah
mendorong klien untuk berpikir logis.
Teknik-teknik terapi kognitif melibatkan pengajaran klien terkait model kognitif,
sementara kognisi memperantarai peristiwa dan perasaan, dan memberikan pekerjaan
rumah tertulis atau perilaku untuk dikerjakan di antara sesi-sesi. Terapis kognitif
memungkinkan klien untuk mengatasi psikologis dan perilaku dengan bersikeras
tentang respons logis untuk berbagai peristiwa dalam hidupnya. Meski pada awalnya
terapi kognitif hanya ditaretkan untuk gangguan kecemasan dan gangguan suasana hati,
terapi kognitif sekarang sudah dapat digunakan untuk berbagai macam gangguan
psikologis lainnya, seperti gangguan makan.
d. Fenomenologi – Humanistik
Carl R Rogers merupakan salah satu tokoh psikolog humanistik yang sangat
berpengaruh di dunia (Witono et al., 2023). Carl meyakini bahwa individu yang perlu
diperbaiki itu sebenarnya mempunyai kemandirian dalam menyelesaikan masalah
tersebut dan terapis tidak dapat menyembuhkan klien secara langsung akan tetapi hanya
sekedar membantu klien dalam memperoleh solusi yang dikehendakinya.(Ryan et al.,
2013). Menurut Rogers, jika individu diberi kebebasan serta dukungan emosional
untuk bertumbuh maka dengan sendirinya individu tersebut dapat berkembang menjadi
manusia yang berfungsi baik serta akan jauh dari berbagai gangguan.
Dukungan dari lingkungan hidup yang menerima dan mehamami situasi akan
mempengaruhi kemampuan seorang individu untuk menyelesaikan masalahnya
sendiri. Menurut Rogers, semua individu merupakan korban dari hal positif bersyarat
(conditional positive regard) dimana jika individu berbuat baik maka dia akan
mendapatkan penghargaan dan ketika individu berbuat buruk maka dia akan mendapat
hinaan dan hukuman namun seharusnya individu tetap berhak diberikan cinta,
kedamaian, dukungan oleh lingkungannya walaupun dia gagal yang mana disebut
dengan hal positif yang tak bersyarat (unconditional positive regard) (Sa’adah, 2020).
Salah satu terapi dalam psikologi humanistik yaitu person centered therapy yang
merupakan pemecahan masalah dengan memberikan fungsi secara penuh kepada diri
klien untuk sadar dan mengarahkan diri sendiri secara mandiri untuk melakukan
perubahan dalam tindakan dan tingkah laku. Pendekatan ini memandang manusia
secara positif dan optimistik maka klien dianggap memiliki kapasitas untuk menjauh
dari kesalahan. Tujuan konseling dalam pendekatan person centered therapy yaitu
membantu individu menemukan konsep dirinya yang lebih positif lewat komunikasi
konseling yang dimana konselor memandang klien merupakan berpotensi dengan
penerimaan tanpa syarat (Hafid, 2023).
e. Psikologi Positif
Psikologi positif mulai muncul dan berkembang pasca perang dunia kedua yaitu
pada tahun 1998 di pelopori oleh Martin Seligman yang juga merupakan Presiden APA
(American Psychological Association). Pada saat itu, psikologi positif lebih berfokus
pada penyakit mental korban perang dan membantu para korban untuk kembali hidup
dengan sejahtera ke arah lebih positif mengembalikan kesejahteraan hidupnya yang
lebih bermakna dan ke arah yang lebih positif (Sarmadi, 2018). Terdapat berbagai
temuan baru dalam psikologi positif antaranya (Arif, 2016):
a. Menemukan bahwa aja IQ ternyata tidak statis melainkan berkembang sejalan
dengan perkembangan karakter dan pikiran seseorang.
b. IQ bukan penentu utama keberhasilan
c. Menemukan bahwa sesuatu yang dilakukan secara konsisten dapat membantu
kesembuhan dan mencegah kembalinya penyakit mental yang berat seperti depresi.
d. Memprediksi faktor perceraian dalam suatu perkawinan dan menemukan faktor
yang terbukti dapat mencegah perceraian dan meningkatkan kebahagian dalam
keluarga
e. Meningkatkan ketahanan mental tentara untuk menjaga mencegah terjadinya post
traumatic stress disorder.
f. Membantu meningkatkan kesehatan fisik pada bidang kesehatan, membuat orang
lebih tahan pada stres, serta memperbanyak kromosom yang berkorelasi dengan
panjangnya usia seseorang.

Adapun beberapa tantangan psikologi positif yaitu Banyaknya kalangan masih


menyamakan psikologi positif dengan psikologi populer yang menggunakan pseudo-
science untuk mengarang teori mengenai kebahagian dan banyaknya kalangan yang
beranggapan bahwa upaya untuk menjadi bahagia tidak begitu penting dibandingkan
melakukan riset bagaimana menyembuhkan kanker atau mengatasi terorisme.
Selanjutnya mengenai ciri khas psikologi positif yang membedakannya dengan
pendekatan psikologi lainnya yaitu (Arif, 2016):

a. Psikologi positif selalu mendasar pada ilmu sains


b. Psikologi positif memandang manusia sebagai penentu kebahagiaannya sendiri.
c. Psikologi positif memiliki konsep yang dapat mempersatukan beranekaragam studi
dari berbagai ahli yang berbeda beda.
f. Kelompok (Pomegrantz, 2014)
Terapi kelompok dipraktikkan dalam berbagai bentuk, termasuk pengembangan
dari terapi individual seperti psikodinamik, perilaku, kognitif, humanistik dan lainnya.
Terapi kelompok memberi penekanan pada interaksi interpersonal. Irvin Yalom dan
tokoh lain yang berperan di dalam bidang terapi kelompok percaya bahwa gaya
interpersonal yang salah memberikan kontribusi pada masalah yang dihadapi klien dan
fokus pada interaksi interpersonal di dalam kelompok dapat memiliki hasil positif bagi
klien yang berada di luar kelompok. Sejumlah faktor terapeutik yang unik, termasuk
universalitas, kohesivitas kelompok, dan pembelajaran interpersonal dapat
membedakan terapi kelompok dengan terapi individual.
Kelompok terapi disusun secara homogen dan mengadopsi kebijakan keanggotaan
terbuka dan tertutup. Kekurangan terapi kelompok adalah adanya sosialisasi di luar
kelompok dan pelanggaran kerahasiaan oleh sesame anggota kelompok. Beberapa studi
menunjukkan bahwa terapi kelompok secara umum memberikan efektifitas yang sama
dengan terapi individual.
DAFTAR PUSTAKA
Arif, I. S. (2016). Psikologi Positif. Jakarta Barat: PT Gramedia Pustaka Utama.

Akbar, T., Yunanto, R., Zaenab, A., Fitria, N., & Santoso, B. A. (2022). Peer Group Support Untuk
Menurunkan Kecemasan Pedagang Wedangan Terdampak Pandemi di Surakarta. Abdimas
PHB, 5(1), 183–191. http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/Al-Irsyad_Al-
Nafs/article/view/14205
Alang, A. H. (2020). Teknik Pelaksanaan Terapi Perilaku (Behaviour). Jurnal Bimbingan
Penyuluhan Islam, 7(1), 32-41.
Ariani, A. (2020). Terapi Keluarga Untuk Memperbaiki Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak.
PROCEDIA : Studi Kasus dan Intervensi Psikologi, 8(4), 161-169.

Brown, N., W. (2011). Psychoeducational Groups 3 Edition: Process and Practice. New York:
Routledge Taylor & Francis Group
Denafianti & Maulanza, H. (2021). Status Mental Pasien Skizofrenia yang Diukur Menggunakan
PANSS-EC. Juarnal Sains Riset. 11, 549–556.
Dariyo, A. (2005). Memahami Bimbingan, Konseling dan Terapi Perkawinan Untuk Pemecahan
Masalah Perkawinan. Jurnal Psikologi, 3(2), 70-78.

Hafid, M. (2023). Person Centered Therapy Sebagai Upaya Pemulihan Konseli Alienasi. Jurnal
Komunikasi Konseling Islam, 5(1), 44–52.
Karni, A. (2014). Konseling dan Psikoterapi Profesional. Jurnal Syi’ar, 14(1), 39-52.

Lukens, E. P., & McFarlane, W. R. (2004). Psychoeducation as Evidence-Based Practice:


Considerations for Practice, Research, and Policy. Journal of Brief Treatment and Crisis
Intervention, 4(3), 205-225. https://doi.org/10.1093/brief-treatment/mhh019

Mahdi, N. K. (2022). Terapi Behavior dalam Perspektif Islam. Jurnal At-Taujih, 5(1), 13-27.

Mahfud, A & Utaminingsih, Diah. (2018). Meningkatkan Kualitas Minds-Skill Konselor Islam
Dengan Menjaga Kondisi Hati. Jurnal Bimbingan Konseling, 4(2), 124-135.
Moningka, C. (2022). Psikoedukasi Untuk Masyarakat Melalui Media Sosial Info Bintaro. Jurnal
Keuagan Umum dan Akuntansi Terapan, 4(1), 20-25.
Pomegrantz, A. M. (2014). Psikologi Klinis: Ilmu Pengetahuan, Praktik, dan Budaya 3rd Ed.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pratiwi, J. E. (2011). Psikologi Klinis: Pengantar Terapan Mikro dan Makro. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Rajab, K. (2006). Islam dan Psikoterapi Modern. Journal AFKAR: Jurnal Kaidah & Pemikiran
Islam, 7(1), 133-156.
Rosenau, J. N. (1968). The Concept of Intervention. Journal of International Affairs, 22(2), 165-
176.

Ryan, Cooper, & Tauer. (2013). A Study of Carl Rogers Humanistic Theory on Self-Confidence
ini Broken Home Children. Paper Knowledge . Toward a Media History of Documents, 30(1),
12–26.
Sa’adah, D. Z. (2020). Konseling Eksistensial Humanistik untuk Mengurangi Kecemasan
Terhadap Masa Depan. Procedia : Studi Kasus Dan Intervensi Psikologi, 8(3), 112–118.
https://doi.org/10.22219/procedia.v8i3.14303.\
Sanyata, S. (2012). Teori dan Aplikasi Pendekatan Behavioristik dalam Konseling Abstrak
Pendahuluan Teori dan Pendekatan Behavioristik. Jurnal Paradigma, 14(2), 1-11.

Sarmadi, S. (2018). Psikologi Positif. Yogyakarta: Titah Surga.


Salvirania, S., & Fahrudin, A. (2020). Hubungan Peer Group Support Dengan Kualitas Hidup
Penderita Skizofrenia. Journal of Social Work and Social Service, 1(2), 149–162.
Srivastava, P. (2017). Psychoeducation an Effective Tool as Treatment Modality in Mental Health.
The International Journal of Indian Psychology, 4(1), 123-130.
Ulfiah. (2020). Psikologi konseling Teori dan Implementasi Edisi Pertama. Jakarta: Prenadamedia
Group.
Witono, A. H., & Widodo, A. (2023). Aplikasi Teori Carl R . Rogers dalam Kampus Merdeka
untuk. 05(03), 9833–9838.

Anda mungkin juga menyukai