Anda di halaman 1dari 118

UNIVERSITAS INDONESIA

HUBUNGAN PENGETAHUAN KESEHATAN REPRODUKSI


DAN POLA ASUH ORANG TUA DENGAN PERILAKU
SEKSUAL BERISIKO PADA REMAJA DI SMA SWASTA
KOTA TANGERANG

SKRIPSI

CLUNY MARTINA MANGKUAYU


1506800483

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN


PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
JUNI 2017

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
UNIVERSITAS INDONESIA

HUBUNGAN PENGETAHUAN KESEHATAN REPRODUKSI


DAN POLA ASUH ORANG TUA DENGAN PERILAKU
SEKSUAL BERISIKO PADA REMAJA DI SMA SWASTA
KOTA TANGERANG

SKRIPSI
Disusun untuk memenuhi persyaratan meraih gelar Sarjana Keperawatan

CLUNY MARTINA MANGKUAYU


1506800483

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN


PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
JUNI 2017

ii

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
iii

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
iv

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME atas berkat dan rahmat-Nya,
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang berjudul “Hubungan Pengetahuan
Kesehatan Reproduksi dan Pola Asuh Orang Tua dengan Perilaku Seksual Berisiko pada
Remaja di SMA Swasta Kota Tangerang” ini disusun sebagai tugas akhir untuk
memperoleh gelas sarjana. Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya
kepada Ibu Titin Ungsianik S.Kp,.M.B.A., selaku dosen pembimbing skripsi yang
senantiasa memberikan masukan, motivasi, tenaga, pikiran, dan waktu yang tidak terbatas
demi terselesaikannya skripsi ini.
Selain itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dra. Setyowati, S.Kp., M. App. Sc., Ph.D. selaku dosen penguji yang telah
memberikan kritik dan saran yang membangun untuk penyempurnaan skripsi.
2. Ibu Tri Budiati, S.Kep., M.Kep., Sp.Kep.Mat, selaku dosen penguji yang telah
memberikan kritik dan saran yang membangun untuk penyempurnaan skripsi.
3. Ibu Dra. Junaiti Sahar S.Kp., M.App.Sc., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia.
4. Ibu Riri Maria S.Kp., MANP.,selaku koordinator program studi yang telah
memberikan arahan serta motivasi, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan
tepat waktu.
5. Orang tua tercinta, Bpk. RM. Silaban beserta Ibu Nia. M, Bapak Pdt. J.Katiyo. M, Th
beserta Ibu Sukarmi atas dukungan doa yang begitu besar selama proses
penyelesaian skripsi.
6. Suami tersayang Helky Nugroho, S.Kom dan anak-anak, Gaelvin Daryalle El Nugros
dan Christopher Meirello El Nugros yang senantiasa memberikan dukungan dan
motivasi tanpa batas selama proses penyelesaian skripsi.
7. “Kita Pasti Bisa” Squad yang senantiasa membantu dan menjadi teman dalam suka
dan duka selama proses pembelajaran.
Penulis berharap Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan limpahan berkat atas segala
kebaikan yang telah diberikan. Semoga skripsi ini dapat menjadi bagian dari
pengembangan ilmu keperawatan, terutama keperawatan maternitas.
Depok, Juni 2017

Penulis

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
vi

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
ABSTRAK

Nama : Cluny Martina Mangkuayu


Program Studi : Ilmu Keperawatan
Judul : Hubungan Pengetahuan Kesehatan Reproduksi dan Pola
Asuh Orang Tua dengan Perilaku Seksual Berisiko Pada
Remaja di SMA Swasta Kota Tangerang

Perilaku seksual berisiko adalah suatu aktivitas seksual yang dilakukan untuk
mencapai kepuasan seksual dan berdampak pada masalah kesehatan reproduksi,
diantaranya kehamilan yang tidak diinginkan dan Infeksi menular Seksual.
Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi
dan pola asuh orang tua dengan perilaku seksual berisiko. Desain penelitian ini
adalah analitik korelatif dengan pendekatan cross sectional pada 100 responden
siswa SMA di Kota Tangerang menggunakan teknik convenience sampling.
Instrumen yang digunakan meliputi kuesioner pengetahuan kesehatan reproduksi,
pola asuh, perilaku seksual berisiko, paparan media, dan pengaruh teman sebaya.
Hasil penelitian ini menyatakan tidak terdapatnya hubungan yang bermakna
antara pengetahuan kesehatan reproduksi dan pola asuh orang tua dengan perilaku
seksual berisiko (p value>0,05). Meskipun demikian, peneliti merekomendasikan
perlunya penyuluhan dan pendidikan kesehatan reproduksi dan pendekatan oleh
perawat di puskesmas untuk mengaktifkan program PKPR dan BKR guna
meningkatkan kesehatan reproduksi remaja dan mencegah perilaku seksual
berisiko mengingat terdapatnya 57% remaja di SMA Swasta Kota Tangerang
yang memiliki perilaku seksual berisiko.

Kata kunci: remaja, reproduksi, perilaku, perilaku seksual, perilaku seksual


berisiko

vii

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
ABSTRACT

Name : Cluny Martina Mangkuayu


Study Program : Bachelor of Nursing
Title : The Relationship between Knowledge of Reproductive
Health, Parenting Role, and Sexual Behavior of
Adolescent in Private High School of Tangerang City

Risky sexual behavior is defined as sexual activities performed to gain sexual


satisfaction which may affect health reproduction, such as unwanted pregnancy
and Sexually Transmitted Infections. This study aimed to identify correlation
between knowledge of reproductive health, parenting role, and risky sexual
behavior. The study design was analytical with cross-sectional approach and
involving 100 high school students in Tangerang through convenience sampling
technique. The instruments were questionnaires of knowledge of reproductive
health, parenting role, risky sexual behavior, media exposure, and peer influence.
The result showed no significant correlation between knowledge of reproductive
health, parenting role, and risky sexual behavior (p value >0,05). Nonetheless, the
study recommends for counseling and education of reproductive health as well as
the approach of public health center nurses to implement PKPR and BKR in order
to improve reproductive health for preventing risky sexual behavior, considering
that 57% of adolescents in private high schools in Tangerang demonstrated risky
sexual behaviors.

Keywords: adolescent, reproduction, behavior, sexual behavior, risky sexual


behavior

viii

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL
JUDUL …………………………………………………………………......... ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS……………………………. iii
HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………….. iv
KATA PENGANTAR………………………………………………………... v
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI……………… vi
ABSTRAK ………………………………………………………………....... vii
DAFTAR ISI ………………………………………………………………… ix
DAFTAR SKEMA ………………………………………………………...… xii
DAFTAR TABEL……………………………………………………………. xiii
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………… xiv
BAB 1 PENDAHULUAN…………………………………………………… 1
1.1 Latar Belakang ………………………………………………………... 1
1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………... 8
1.3 Tujuan Penelitian………………………………………………………. 9
1.3.1 Tujuan Umum………………………………………………………….. 9
1.3.2 Tujuan Khusus…………………………………………………………. 9
1.4 Manfaat Penelitian …………………………………………………..…. 10
1.4.1 Manfaat Aplikatif……………………………………………………..... 10
1.4.2 Manfaat Keilmuan……………………………………………………… 10
1.4.3 Manfaat Metodologi……………………………………………………. 10

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………... 11


2.1 Konsep Remaja………………………………………………….……... 11
2.1.1 Pengertian Remaja……………………………………………………... 11
2.1.2 Perkembangan Remaja……………………………………………..….. 11
2.2. Kesehatan Reproduksi Remaja……………………………………..….. 16
2.2.1 Pengertian Kesehatan Reproduksi…………………………………..…. 16
2.2.2 Pengetahuan tentang Kesehatan Reproduksi ……………………..….... 16
2.2.3 Masalah Kesehatan Reproduksi…………………………….................. 22
2.3 Keluarga………………………………………………………............... 26
2.3.1 Pola Asuh Orang Tua pada Remaja………………………………...….. 26
2.3.2 Hubungan antara Pola Asuh Orang Tua dengan Karakteristik Anak 28
2.3.3 Hubungan antara Pola Asuh dengan Perilaku Berisiko……………..… 31
2.4 Perilaku………………………………………………………….……… 32
2.4.1 Konsep Perilaku…………………………………………………...….... 32
2.4.2 Domain Perilaku………………………………………………………... 33
2.4.3 Perilaku Seksual pada Remaja…………………………………………. 34
2.4.4 Faktor yang Memengaruhi Perilaku Seksual pada Remaja………..…... 36
2.5 Kerangka Teori………………………………………………….……… 38

BAB 3 KERANGKA KONSEP……………………………………………… 39


3.1 Kerangka Konsep……………………………………………………… 39
3.2 Hipotesis Penelitian……………………………………………………. 40

ix

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
3.3 Definisi Operasional…………………………………………………… 41

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN……………………………………… 44


4.1. Desain Penelitian…………………………………………………..…… 44
4.2 Populasi dan Sampel Penelitian……………………………….……….. 44
4.2.1 Populasi………………………………………………………………… 44
4.2.2 Sampel………………………………………………………….............. 45
4.2.3 Estimasi Jumlah Sampel…………………………………………........... 45
4.2.4 Teknik Pengambilan Sampel…………………………………………… 46
4.3 Tempat dan Waktu Penelitian……………………………………….…. 47
4.4 Etika Penelitian…………………………………………………….…... 47
4.4.1 Beneficence……………………………………………………………... 47
4.4.2 Respect for Human Dignity…………………………………………….. 47
4.4.3 Justice…………………………………………………………………... 48
4.4.4 Respect for Privacy and Confidentiality……………………...………... 48
4.5 Alat Pengumpulan Data……………………………………….……….. 48
4.5.1 Data Demografi (Kuesioner A) …………………………………...….... 48
4.5.2 Pengukuran pengetahuan tentang kesehatan reproduksi (Kuesioner B).. 48
4.5.3 Pengukuran pola asuh orang tua (Kuesioner C)…………………......... 49
4.5.4 Pengukuran Perilaku seksual berisiko (Kuesioner D)…………….......... 51
4.5.5 Pengukuran komponen media dan teman sebaya (Kuesioner E)………. 52
4.6 Prosedur Pengumpulan Data……………………………………….…... 52
4.7 Pengolahan dan Analisis Data………………………………….………. 53
4.7.1 Pengolahan data………………………………………………………… 53
4.7.2 Analisis Data………………………………………………………...…. 53
4.8 Sarana Penelitian………………………………………………….……. 55
4.9 Jadwal Kegiatan………………………………………………….…….. 55

BAB 5 HASIL PENELITIAN…………………………………………….….. 56


5.1 Analisis Univariat………………………………………………….…… 56
5.1.1 Karakteristik Responden………………………………………….......... 56
5.1.2 Gambaran Pengetahuan Kesehatan Reproduksi…………………........... 57
5.1.3 Gambaran Pengetahuan Kesehatan Reproduksi berdasarkan Komponen
pengetahuan…………………………………………………………..... 58
5.1.4 Gambaran Pola Asuh Orang Tua………………………………………. 59
5.1.5 Gambaran Perilaku Seksual pada Remaja……………………………… 59
5.2 Analisis Bivariat…………………………………………………….….. 60
5.2.1 Hubungan Pengetahuan Kesehatan Reproduksi dengan Perilaku
Seksual Berisiko……………………………………………………….. 60
5.2.2 Hubungan pola Asuh Orang Tua dengan Perilaku Seksual Berisiko…...
61
BAB 6 PEMBAHASAN……………………………………………………... 62
6.1 Interpretasi Hasil Penelitian dan Diskusi Hasil………………………... 62
6.1.1 Analisis karakteristik responden………………………………….......... 62
6.1.2 Gambaran Tingkat Pengetahuan Tentang Kesehatan Reproduksi……... 66
6.1.3 Gambaran Pola Asuh Orang Tua………………………………………. 70
6.1.4 Gambaran Perilaku Seksual Berisiko………………………………….. 73

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
6.1.5 Hubungan Pengetahuan Kesehatan Reproduksi dengan Perilaku
Seksual Berisiko…………………………………..……………………. 75
6.1.6 Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Perilaku Seksual Berisiko…... 76
6.2 Keterbatasan Penelitian………………………………………….……... 78
6.3 Implikasi Keperawatan……………………………………….………… 79
6.3.1 Implikasi terhadap Pembuat Kebijakan Kesehatan………………..…... 79
6.3.2 Implikasi terhadap Pendidikan dan Pelayanan Keperawatan……..….... 79
6.3.3 Implikasi terhadap Penelitian Keperawatan……………………..…….. 80

BAB 7 PENUTUP……………………………………………………………. 81
7.1 Kesimpulan……………………………………………………………….. 81
7.2 Saran……………………………………………………………………… 82
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

xi

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
DAFTAR SKEMA

Skema 2.1 Kerangka Teori……...................................................................... 38


Skema 3.1 Kerangka Konsep……………………………………………….. 40

xii

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Dimensi Pola Asuh……………………………………………...… 31


Tabel 3.3 Definisi Operasional………………………………………………. 42
Tabel 4.1 Pembagian Sampel………………………………………………... 46
Tabel 4.2 Kisi-kisi Kuesioner Pengetahuan Kesehatan Reproduksi………… 49
Tabel 4.3 Kisi-kisi Kuesioner Pola Asuh Orang Tua ……………………...... 50
Tabel 4.4 Analisis Univariat…………………………………………………. 54
Tabel 4.5 Analisis Bivariat……………………………………………….….. 55
Tabel 4.6 Jadwal Kegiatan…………………………………………………... 55
Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Usia Remaja ……………......... 56
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Karakteristik Remaja ………………………. 57
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Kesehatan Reproduksi……….. 57
Tabel 5.4 Gambaran Pengetahuan Kesehatan Reproduksi berdasarkan
Komponen Pengetahuan………………………………………….. 58
Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Pola asuh Orang Tua………………………. 59
Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Perilaku Seksual pada Remaja……………… 59
Tabel 5.7 Hubungan Pengetahuan Kesehatan Reproduksi dengan Perilaku
Seksual Berisiko pada Remaja……………………………………. 60
Tabel 5.8 Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Perilaku Seksual
Berisiko pada Remaja……………………………………………... 61

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Lembar informasi penelitian


Lampiran 2 Lembar persetujuan menjadi responden
Lampiran 3 Lembar Kuesioner
Lampiran 4 Surat ijin Penelitian
Lampiran 5 Surat ijin rekomendasi dinas pendidikan Kota Tangerang

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Remaja merupakan tahapan perkembangan yang paling rentan terhadap
perubahan. Masa remaja termasuk ke dalam masa peralihan dari masa kanak-
kanak menuju dewasa dengan rentang usia 13-20 tahun. Remaja mengalami
perubahan secara biologis, perkembangan kognitif dan perkembangan
psikososial.Perubahan yang terjadi ini mengarah kepada respon remaja dalam
beradaptasi (Potter & Perry, 2009; Hockenberry & Wilson, 2015).

Remaja mengalami banyak perubahan dalam tumbuh kembang yang berkaitan


dengan kematangan secara psikologis, selain itu secara fisik ditandai dengan
pubertas terkait organ reproduksi. Perubahan hormon pada organ reproduksi
memengaruhi remaja pada masa pubertas. Perkembangan kognitif remaja ditandai
dengan kemampuan untuk membentuk suatu pemahaman terhadap sesuatu
termasuk pemahaman mengenai kesehatan reproduksi (Potter & Perry, 2009;
Hockenberry & Wilson, 2015).

Usia remaja merupakan fase dimana seorang individu secara fisik dan psikologis
berkembang dan mulai membentuk identitas diri (Berman & Snyder, 2016).
Perkembangan biologis, kognitif, dan psikososial secara mendasar membentuk
remaja dalam tugas perkembangan yang dijalani.Perubahan fisik pada masa
remaja membentuk suatu identitas seksual yang menurut Freud akan memicu
munculnya hasrat seksual. Perubahan kognitif mampu membuat remaja berpikir
dan mempertimbangkan segala macam penyebab dari perilaku dan
penyelesaiannya (Boyd, Johnson, & Bee, 2015; Potter & Perry, 2009).

Penelitian yang dilakukan pada remaja di Italia memaparkan data mengenai


aktifitas seksual pada remaja yang dimulai pada usia 15 tahun dan seringkali
dilakukan tanpa menggunakan kondom. Dalam penelitian tersebut remaja
dinyatakan sebagai populasi yang aktif secara seksual. Hal ini yang mendasari
penelitian tentang perlunya meningkatkan pengetahuan mengenai kesehatan

1
Universitas Indonesia
Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
2

reproduksi dan perilaku seksual berisiko agar remaja dapat berperilaku yang sehat
(Drago, et al. (2016).

Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKKRI) tahun 2007 yang


dikutip oleh Margaretha (2012) menyebutkan bahwa berdasarkan data yang
diambil dari beberapa wilayah di seluruh Indonesia, perilaku berisiko yang
dilakukan oleh remaja antara lain: Perokok aktif 0,7 % (Perempuan) sedangkan
47% (Laki-laki); peminum alkohol aktif 3,7% (P),15,5% (L); pengguna zat adiksi
dihisap 2,3%, dihirup 0,3% ditelan 1,3% (L); pengalaman seks untuk pertama kali
pada usia: <15 tahun (L): 1,0% (P); usia 16 tahun : 0,8%; usia 17 tahun: 1,2%;
usia 18 tahun: 0,5%; usia 19 tahun: 0,1%.

Data selanjutnya mencatatkan alasan melakukan hubungan seksual pertama kali


sebelum menikah pada remaja berusia 15-24 tahun antara lain: untuk perempuan
alasan tertinggi adalah karena terjadi begitu saja (38,4%); dipaksa oleh
pasangannya (21,2%), sedangkan pada lelaki, alasan tertinggi ialah karena ingin
tahu (51,3%); karena terjadi begitu saja (25,8%); Delapan puluh empat orang
(1%) dari responden pernah mengalami kehamilan yang tidak direncanakan, 60%
di antaranya melakukan aborsi. Remaja di Indonesia diketahui terlibat dalam
berbagai perilaku berisiko yang berpengaruh terhadap kesehatan mentalnya.
Perilaku berisiko tersebut antara lain adalah tawuran/ bullying; kekerasan dalam
berpacaran; kehamilan yang tidak direncanakan. Hal ini terkait dengan kurangnya
penguasaan diri dari remaja(Margaretha, 2012).

Perilaku berisiko terhadap remaja yang tertuang dalam hasil survei yang
dilakukan pada Komisi Nasional Perlindungan Anak didapatkan data 97% remaja
sudah pernah menonton film porno, 93,7% pernah berciuman, petting, dan oral
sex, lalu 62,7% remaja yang masih bersekolah di tingkat SMA pernah melakukan
hubungan intim, 21,2% siswi SMA pernah melakukan aborsi dan empat orang
remaja di SMA melakukan perilaku seksual berisiko seperti petting, oral sex, dan
coitus((Putri & Ungsianik, 2012).

Perilaku seksual yang berisiko pada remaja lainnya tertuang dalam hasil penelitian
yang meneliti tentang perilaku seksual remaja usia 15-24 tahun di 4 kota besar

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
3

yaitu Jakarta, Bandung, Medan, dan Surabaya seperti yang dikutip oleh Kaeran
(2007). Dalam penelitian tersebut terdapat data bahwa informasi tentang seks
sebanyak 65 % didapat dari teman, 35 % melalui media film porno, 19 % dari
sekolah, dan 5% dari orang tua. Remaja pada usia 16-18 tahun memiliki
pengalaman berhubungan seks sebanyak 44% dibandingkan 13-15 tahun dengan
presentasi 13%.

Penelitian lain yang dilakukan pada remaja di Bantul sebanyak 102 remaja
didapatkan data bahwa pengetahuan remaja perlu ditingkatkan mengingat dampak
dari perilaku seksual berisiko seperti kissing, petting, dan hubungan di luar nikah
(Nurmaguphita, 2014). Hal ini sejalan dengan penelitian tentang perlunya
meningkatkan pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi dan perilaku seksual
berisiko agar remaja dapat berperilaku yang sehat (Drago, et al., 2016).

Komite Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Kementerian Kesehatan


(Kemenkes) pada Oktober 2013 melakukan survey dan didapatkan hasil sekitar
62,7% remaja di Indonesia telah melakukan hubungan seks diluar nikah. 20% dari
94.270 perempuan yang hamil di luar nikah berasal dari kelompok usia remaja
(KPAI, 2013). Jumlah angka kejadian remaja melakukan hubungan seksual diluar
nikah yang mencapai 62,7% ini merupakan dampak dari perilaku seksual berisiko.

Kehamilan remaja, aborsi, menikah dini, dan gangguan pada sistem reproduksi
akibat perkembangan organ yang belum sempurna sangat mungkin berpengaruh
terhadap masa depan remaja. Penelitian oleh Drago, et al (2016) menjelaskan
bahwa pengetahuan yang rendah tentang kesehatan reproduksi menjadi dasar
perlunya pendidikan mengenai kesehatan reproduksi di sekolah-sekolah untuk
meningkatkan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi.

Terkait dengan fungsi reproduksi yang sudah mengalami perubahan, terdapat


beberapa hal khusus terkait aktivitas seksual yang berdampak pada remaja yang
meliputi: kehamilan remaja, infeksi menular seksual, dan HIV/ AIDS (Allender,
Rector, & Warner, 2014). Menurut Negriff, Susman, & Trickett, (2011) dalam
Allender, Rector, & Warner, (2014), dikatakan bahwa remaja yang mengalami

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
4

pubertas lebih awal cenderung memiliki keinginan besar untuk melakukan


aktivitas seksual dan meningkatkan angka kejadian perilaku seksual berisiko.

Infeksi menular seksual (IMS) adalah salah satu penyakit yang penularannya
terutama terjadi melalui hubungan seksual. Prevalensi insiden terkait kejadian
IMS di Amerika Serikat terdapat data bahwa 50 % penderita IMS kasus baru
adalah remaja usia 15-24 tahun dan 1 dari 4 remaja yang secara seksual aktif
mengalami IMS jenis Chlamydia, angka penderita HPV juga meningkat (CDC,
2016; Forhan, Gottlieb, & Sternberg, 2009).

Saat ini penyakit menular di Indonesia masih didominasi oleh HIV/AIDS, dimana
prevalensi kasus HIV pada penduduk usia 15-49 tahun terus meningkat dari tahun
ke tahun. Menurut data yang dituangkan dalam Riset Kesehatan Dasar, (2013)
dari tahun 2009 sampai dengan 2013 prevalensi HIV terus meningkat dari 0,16 %
hingga mencapai 0,43 % di tahun 2013. Data juga menyebutkan terdapat 10.203
kasus dimana sekitar 30% remaja terinfeksi HIV dalam rentang waktu 3 bulan
(RISKESDAS, 2013).

Menurut Data Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2015 dikatakan bahwa kelompok
usia yang menjadi sasaran program kesehatan nasional salah satunya adalah
remaja yang masuk dalam kelompok usia muda dan juga termasuk usia produktif
antara usia 15- 24 tahun (BKKBN, BPS, & Kementerian Kesehatan, Survey
Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012, 2013). Remaja dinilai menjadi
kelompok rentan yang akan menerima dampak negatif bila tidak mendapat
pengetahuan yang baik tentang kesehatan reproduksi.

Remaja perlu memiliki pengetahuan yang baik tentang kesehatan reproduksi,


mengingat bahwa remaja merupakan aset penerus bangsa sehingga perlu
diperhatikan kesehatannya. Selain itu, meskipun banyak penelitian terkait
menyebutkan bahwa tingginya pengetahuan remaja tidak berkaitan langsung
dengan perilaku seksual berisiko namun pengetahuan ini dapat menjadi dasar bagi
remaja untuk mengambil keputusan mengenai perilaku seksual yang akan
dilakukan khususnya sebelum memutuskan untuk aktif secara seksual dan untuk
kesehatan secara umum (Agius, Pitts, Smith, & Mitchell, 2010).

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
5

Data yang tercantum dalam Rakorpop Kementerian Kesehatan RI Tahun 2015


menyatakan bahwa dalam pembangunan berkelanjutan 2030/Sustainable
Development Goals (SDGs) terdapat tujuan pembangunan yang bermaksud
menjamin kehidupan yang sehat dan mendorong kesejahteraan bagi semua orang
di segala usia termasuk aggregate remaja. Upaya menyehatkan generasi penerus
bangsa ini dimulai dengan langkah meningkatkan pengetahuan tentang kesehatan
reproduksi pada tingkatan usia remaja.

Hasil Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 2012 untuk kesehatan
reproduksi remaja menunjukan bahwa pengetahuan remaja tentang kesehatan
reproduksi belum memadai dengan jumlah presentasi hanya 35,5 % remaja
perempuan dan 31,2 % remaja laki-laki usia 15-19 tahun yang mengetahui tentang
kesehatan reproduksi (BKKBN, 2013). Pentingnya memberikan pengetahuan
yang baik tentang kesehatan reproduksi diperkuat dengan adanya penelitian yang
dilakukan di Bhutan oleh Norbu, Mukhia, & Tshokey (2013) yang menyebutkan
bahwa terdapat korelasi positif antara tingkat pengetahuan tentang kesehatan
reproduksi dengan perilaku seksual berisiko.

Selain pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, lingkungan sosial secara jelas


membentuk perubahan biologis, kognitif, dan sosial pada remaja. Sistem dalam
lingkungan yang mendukung perubahan pada remaja adalah keluarga, teman
sebaya, sekolah, dan masyarakat. Media informasi memiliki kontribusi yang besar
terhadap pembentukan perilaku. Pemaparan informasi yang tepat sasaran
diharapkan mampu membuat remaja sadar akan pentingnya pengetahuan
mengenai kesehatan reproduksi (Hockenberryn & Wilson, 2015). Penelitian
tentang perilaku seksual berisiko pada remaja di Ethiopia menjelaskan bahwa
transisi teknologi dalam hal ini paparan media informasi memberikan kontribusi
yang cukup besar terhadap perubahan perilaku remaja, selain teman sebaya, obat-
obatan dan penyalahgunaan alkohol (Mudzusi & Asgedom, 2016).

Salah satu lingkungan terdekat remaja adalah keluarga, dimana keluarga adalah
kumpulan dua orang atau lebih yang disatukan oleh ikatan-ikatan kebersamaan
dan ikatan emosional yang menjelaskan diri masing- masing anggota sebagai
bagian dari keluarga (Friedman, Bowden, & Jones, 2010). Perubahan struktur

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
6

karakteristik pola asuh orang tua dalam keluarga dapat memengaruhi remaja
dalam bersikap dan berperilaku. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian pada
remaja di Portugal bahwa pola pengasuhan orang tua yang diterima oleh remaja
sejak dini membentuk remaja tersebut dalam perkembangannya baik secara
biologis, psikologis, dan sosial (Leiros, Carvalho, & Nobre, 2016).

Penelitian yang dilakukan pada remaja di Baltimore dan Johannesburg mengenai


peran utama keluarga dalam menentukan pengalaman seksual pada remaja
menjelaskan bahwa keluarga dalam hal ini orangtua berperan penting dan menjadi
sumber informasi utama bagi remaja dalam hal seksualitas dan kesehatan
reproduksi. Dalam penelitiannya dikatakan bahwa remaja yang merasakan
kurangnya kehadiran orangtua terbentuk menjadi pribadi yang kurang dukungan
dan arahan dari orangtua sehingga memicu terjadinya perilaku seksual berisiko
(Mmari, Kalamar, Brahmbhatt, & Venables, 2016).

Kehidupan di kota besar dengan karakteristik orangtua bekerja membuat remaja


kekurangan perhatian dari orang tua sehingga remaja lebih percaya dan dekat
dengan teman-teman sebaya. Wilayah perkotaan cenderung mengalami perubahan
dalam bentuk keluarga, seperti yang tertuang dalam data PKBI disebutkan bahwa
perubahan ini memberikan dampak kepada pola asuh, hubungan dan sifat orang
tua terhadap anaknya (PKBI, 2010).

Pemerintah Indonesia berupaya untuk meningkatkan kesehatan reproduksi remaja


seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan yaitu tentang kesehatan reproduksi yang terdapat dalam pasal 71 ayat 3
dimana dinyatakan bahwa kesehatan reproduksi dapat dilaksanakan melalui
kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Dalam pasal 72 juga jelas
dikatakan bahwa setiap orang berhak atas informasi, edukasi, dan konseling
mengenai kesehatan reproduksi yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan.

Program Indonesia Sehat direalisasikan dengan sebuah program kesehatan


reproduksi remaja yaitu Program Kesehatan Remaja di Indonesia yang sudah
berjalan sejak tahun 2003. Menurut data yang didapat dalam Pusat Data dan
Informasi mengenai Kesehatan reproduksi Remaja, program ini dilakukan oleh

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
7

Kementerian Kesehatan dengan mengembangkan model Pelayanan Kesehatan


Peduli Remaja (PKPR) yang menitikberatkanpada upaya konseling dan
peningkatan kemampuan remaja untuk menerapkan Pendidikan dan Keterampilan
Hidup Sehat (PKHS) yang dilakukan di puskesmas, sekolah, rumah sakit, karang
taruna atau dimanapun remaja berkumpul (PUSDATIN, 2015).

Berdasarkan data presentase puskesmas yang melaksanakan kegiatan kesehatan


remaja menurut provinsi tahun 2015 terdapat data provinsi Banten melebihi target
renstra dengan presentase 64.7 % dibandingkan dengan Provinsi DKI Jakarta yang
hanya mencapai 12, 94 % (Kementerian Kesehatan RI, Profil Kesehatan
Indonesia 2015, 2016). Data puskesmas yang mampu tata laksana PKPR dan
banyaknya program-program peningkatan pengetahuan kesehatan reproduksi
remaja di Provinsi Banten menunjukkan bahwa kebutuhan terhadap konseling
remaja dapat terpenuhi namun data menunjukkan masih didapatkan remaja yang
berperilaku berisiko yang terjadi di wilayah Tangerang khususnya sekolah SMA
swasta.

Selain program PKPR, BKKBN menjalankan program GenRe (Generasi


Berencana) dengan mengadakan seminar tentang seks bebas dan remaja pada
tanggal 14 Maret 2017 di suatu Kampus di Tangerang. Acara yang dihadiri oleh
mahasiswa dan pelajar ini mengusung tema remaja dan seks bebas karena dinilai
wilayah Tangerang rentan terpengaruh pergaulan bebas dan obat-obatan terlarang
seperti dikatakan oleh pimpinan BKKBN wilayah Banten (BKKBN, 2017).

1.2 Rumusan Masalah


Remaja sebagai populasi rentan memerlukan perhatian khusus dalam berbagai
aspek. Terkait dengan terjadinya perubahan fisik, psikologis dan sosial, remaja
perlu memiliki pengetahuan yang baik tentang kesehatan reproduksi dan masalah
kesehatan reproduksi yang mungkin muncul pada remaja akibat perilaku seksual
berisiko.Kurangnya pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi bisa menjadi
pemicu remaja untuk melakukan perilaku seksual berisiko seperti deep kissing,
petting, dan intercourse yang dapat berdampak pada kesehatan reproduksi remaja.
Selain itu kurangnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dapat berdampak

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
8

pada perilaku seksual remaja karena pengetahuan ini dapat dijadikan dasar remaja
dalam menentukan perilaku yang sehat terkait reproduksi.

Orang tua adalah lingkungan terdekat dari remaja yang memiliki kontribusi besar
dalam pembentukan karakter dan perilaku remaja. Pola asuh orang tua secara
langsung ataupun tidak langsung memengaruhi remaja dalam berperilaku
termasuk dalam perilaku berisiko. Pola asuh membentuk remaja dalam
berkembang secara biologis, psikologis, dan sosial sehingga orang tua
berkontribusi dalam mencegah terjadinya perilaku seksual berisiko pada remaja.
Walaupun terdapat faktor lain yang memengaruhi remaja dalam berperilaku
seperti paparan media informasi dan teman sebaya, serta lingkungan namun pola
asuh sejak dini lebih membentuk remaja dalam berperilaku termasuk perilaku
seksual. Remaja merupakan aset generasi penerus bangsa yang harus diperhatikan
kesehatannya terutama kesehatan reproduksi agar dapat mencapai kesehatan
secara optimal dan mencapai tumbuh kembang yang baik.

Kurangnya pengendalian diri pada remaja akibat perkembangan emosi yang


belum optimal dapat memicu untuk melakukan tindakan berisiko seperti perilaku
seksual berisiko pada remaja khususnya siswa SMA. Dari uraian diatas peneliti
bertujuan meneliti tentang hubungan antara pengetahuan kesehatan reproduksi
dan pola asuh orangtua dengan perilaku seksual berisiko pada siswa remaja SMA
di Kota Tangerang.

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan umum
Mengidentifikasi hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan pola asuh
orangtua dengan perilaku seksual berisiko pada siswa SMA Swasta di Kota
Tangerang

1.3.2 Tujuan khusus


Adapun penelitian ini memiliki tujuan khusus:

1.3.2.1 Diidentifikasinya gambaran karakteristik siswa/i remaja di SMA X dan


SMA Y

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
9

1.3.2.2 Diidentifikasinya gambaran pengetahuan tentang kesehatan reproduksi


beserta komponennya pada siswa SMA X dan SMA Y.
1.3.2.3 Diidentifikasinya gambaran pola asuh orangtua pada siswa SMA X dan
SMA Y.
1.3.2.4 Diidentifikasinya gambaran perilaku seksual berisiko pada siswa SMA X
dan SMA Y.
1.3.2.5 Diidentifikasinya hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dengan
perilaku seksual berisiko pada siswa di SMA X dan SMA Y.
1.3.2.6 Diidentifikasinya hubungan pola asuh orangtua dengan perilaku seksual
berisiko pada siswa di SMA X dan SMA Y.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat Aplikatif
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai
pengetahuan kesehatan reproduksi dalam hubungannya dengan perilaku seksual
berisiko. sehingga mampu memotivasi siswa untuk berperilaku sehat dan
meningkatkan pengetahuan , serta memfasilitasi lembaga terkait dalam upaya
mencegah terjadinya masalah kesehatan yang berhubungan dengan perilaku
seksual berisiko dan sebagai sumber data bagi tenaga kesehatan sebagai acuan
untuk melaksanakan program PKPR agar dapat menjangkau remaja, program
BKR untuk menjangkau dukungan orang tua serta melakukan konseling, edukasi,
dan informasi yang berkaitan dengan masalah kesehatan reproduksi.

1.4.2 Manfaat Keilmuan


Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk pengembangan ilmu
pengetahuan dan sebagai salah satu praktik evidence based dalam pelaksanaan
praktik keperawatan maternitas terkait kesehatan reproduksi pada remaja.

1.4.3 Manfaat Metodologi


Hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai dasar bagi peneliti selanjutnya untuk
meneliti mengenai penetahuan kesehtaan reproduksi dan perilaku seksual berisiko
pada remaja dengan menggunakan desain penelitian yang lainnya serta faktor-
faktor lain yang memiliki pengaruh lebih besar dengan analisis yang lebih dalam.

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menjelaskan tentang konsep remaja, perkembangan remaja, kesehatan


reproduksi remaja, dan masalah kesehatan reproduksi akibat perilaku seksual
berisiko, keluarga, pola asuh, dan perilaku seksual berisiko.

2.1. Konsep Remaja


2.1.1. Pengertian remaja
Masa remaja menurut Potter & Perry, (2009) adalah masa peralihan masa kanak-
kanak menuju dewasa dengan rentang usia 13-20 tahun. Pada masa remaja ini
terdapat tiga perubahan yang terjadi meliputi perubahan fisik, kognitif, dan
psikososial. Masing-masing perubahan ini mengarah kepada respon remaja dalam
beradaptasi.

Tahap perkembangan remaja seringkali dikaitkan dengan kematangan secara


psikologis, selain itu secara fisik ditandai dengan pubertas terkait organ
reproduksi. Perubahan hormon mempengaruhi remaja pada saat masa pubertas.
Perkembangan kognitif remaja ditandai dengan kemampuannya untuk membentuk
suatu pemahaman terhadap sesuatu hal.

Pertumbuhan dan perkembangan selama fase remaja awal, tengah, dan akhir
sangat bervariasi sepanjang masa remaja ini. Pertumbuhan dan perkembangan
remaja ini berfokus pada perkembangan kognitif, identitas diri, pola asuh orang
tua, hubungan dengan teman sebaya, dan paparan media informasi (Boyd,
Johnson, & Bee, 2015).

2.1.2. Perkembangan remaja

2.1.2.1 Perkembangan Fisik


Perubahan fisik terjadi secara cepat pada masa remaja yang ditandai dengan
perubahan pada empat fokus utama yaitu: (1) peningkatan pertumbuhan tulang
dan otot; (2) perubahan spesifik pada organ seksual; (3) perubahan penyebaran
otot dan tulang;(4) perkembangan pada sistem reproduksi dan karakteristik sex
sekunder (Potter & Perry, 2009).

10
Universitas Indonesia
Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
11

Pada fase ini pertumbuhan fisik remaja terjadi secara cepat dari mulai munculnya
karakteristik sekunder organ seksual seperti pertumbuhan rambut pada area organ
reproduksi serta perubahan suara sampai dengan kelengkapan dari struktur dan
pertumbuhan organ reproduksi.

2.1.2.2 Perkembangan Kognitif


Remaja mengalami perubahan dalam fungsi berpikir. Pada dasarnya setiap
individu terlahir dengan kemampuan untuk belajar, hal ini disampaikan terkait
teori Piaget yang menjelaskan tentang proses-proses kognitif (Santrock, Remaja,
2007). Perubahan yang terjadi pada pikiran dan lingkungan sosial remaja akan
menciptakan perkembangan intelektual remaja yang tinggi namun tanpa
pendidikan dan pengetahuan yang cukup, remaja tidak mampu mencapai dan
mengimbangi tingkat intelektual tersebut (Potter & Perry, 2009).

Berbeda dengan tahap perkembangan kognitif anak yang hanya bisa berpikir
mengenai apa yang terjadi, maka remaja sudah pada tahap dapat membayangkan
apa yang akan terjadi. Kemampuan ini penting untuk menunjukan identitas diri
dan memungkinkan remaja untuk menentukan tingkah laku yang sesuai, efektif,
dan nyaman dengan mempertimbangkan dampak tingkah laku tersebut terhadap
kelompok, keluarga dan masyarakat.

2.1.2.3 Perubahan Psikososial


Pencarian jati diri merupakan tugas utama remaja dalam perkembangan
psikososial. Pada fase ini remaja menentukan identitasnya dengan memisahkan
antara unsur emosional dengan orang tua namun tetap menjaga hubungan dengan
keluarga. Pada tahap ini remaja juga membuat keputusan mengenai masa depan,
gaya hidup, dan pendidikannya namun apabila remaja tidak mampu untuk
membuat keputusan maka ini merupakan indikasi kegagalan dalam tugas
perkembangan (Potter & Perry, 2009).

Tugas perkembangan remaja menurut Erikson (1963) menggambarkan remaja


yang menonjolkan identitasnya untuk menghindari kebingungan peran. Melalui
keterlibatannya dalam kelompok remaja lainnya, mereka menemukan dukungan

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
12

untuk mengembangkan identitas dalam diri mereka yang mencakup identitas


seksual, kelompok, keluarga, pekerjaan, moral, dan kesehatan. Identitas ini perlu
dikembangkan oleh remaja agar menciptakan tingkah laku yang positif sebagai
indikasi pencapaian tugas perkembangan (Erikson, 1963 dalam Kyle, 2013; Potter
& Perry, 2009; Wong, Hockenberry, Wilson, Winkelstein & Schwartz, 2009).

2.1.2.4 Perkembangan Moral dan Spiritual


Perkembangan moral remaja ditandai dengan pandangan mengenai pengambilan
keputusan. Remaja cenderung untuk mengemukakan nilai-nilai moral yang
dianutnya dan menjadikannya dasar dalam bersikap (Hockenberry & Wilson,
2013).

Pada fase ini penting dilakukan pendekatan secara spiritual agar remaja dapat
berkembang dengan nilai otonomi dan nilai keagamaan serta kepercayaan.
Tingkat spiritualitas dan religi yang tinggi pada remaja berkaitan dengan
rendahnya keinginan remaja untuk melakukan perilaku yang berisiko tinggi dan
lebih meningkatkan perilaku sehat, terutama remaja yang tinggal di lingkungan
yang berpengaruh buruk (Regnerus & Glen, 2003 dalam Hockenberry & Wilson,
2013).

2.1.2.5 Perkembangan Emosional dan Sosial


Masa remaja awal merupakan masa dimana terjadi fluktuasi emosi dapatterjadi
dengan intens (Rosenblum & Lewis, 2003 dalam Santrock, 2007). Perubahan
hormonal sedikit banyak mempengaruhi emosi remaja namun faktor lain yang
mempengaruhi adalah stress, pola makan, dan relasi sosial.

Remaja pada dasarnya ingin bebas dari segala aturan orang tua namun takut untuk
menerima segala risiko dari perbuatannya. Perkembangan sosial remaja ini ialah
dengan membina hubungan diluar orang tua yang membantu remaja untuk
mengidentifikasi perannya dalam masyarakat.

Perkembangan emosional dan sosial pada remaja mencakup beberapa aspek


seperti konsep diri dan citra tubuh, teman sebaya, perkembangan seksual remaja,
serta pola asuh orang tua (Hockenberry & Wilson, 2013; Kyle, 2013).

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
13

a. Konsep diri dan citra tubuh

Masa pubertas pada remaja memengaruhi perubahan fisik dan hormonal pada
remaja. Manifestasi fisik seperti menstruasi dan ejakulasi serta perubahan bentuk
tubuh seperti pertumbuhan payudara dan alat genital memberikan pengaruh
terhadap cara remaja memandang tubuhnya. Hal ini yang nantinya akan
membentuk konsep diri dan citra tubuh remaja.

Ketika pubertas yang terjadi berbeda dengan teman-teman sebaya, remaja akan
mengalami konflik batin.Kondisi pubertas yang terjadi secara cepat pada remaja
perempuan dan laki-laki berisiko untuk memicu perilaku seksual tidak dan
melakukan berbagai macam penyimpangan dibandingkan dengan teman yang
mendapat masa pubertas secara normal (Hockenberry & Wilson, 2013).

b. Hubungan dengan teman sebaya

Teman sebaya memiliki peran yang sangat penting dalam perkembangan remaja.
Meskipun orangtua menjadi faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan
remaja, namun teman sebaya memiliki sifat dukungan yang kuat yang secara
kolektif diberikan kepada temannya dengan rasa memiliki yang kuat.

Hubungan dengan teman sebaya ini dipengaruhi oleh kelompok sebaya.


Kelompok ini mempengaruhi remaja dalam segala hal termasuk cara berbicara,
berperilaku, dan berpakaian sehingga kelompok teman sebaya ini sangat
berpengaruh terhadap kehidupan remaja. Sifat remaja yang sangat memerlukan
pengakuan teman sebaya, penerimaan, dan perasaan dibutuhkan ini menyebabkan
remaja rentan terhadap penolakan, pengabaian, dan kritik dari teman sebaya
(Hockenberry & Wilson, 2013).

c. Perkembangan seksualitas remaja

Aktivitas seksual seringkali dilakukan oleh remaja akhir, namun data


menyebutkan 13% remaja sudah pernah melakukan hubungan seks sejak usia 15
tahun dan yang lainnya memulai hubungan seksual sejak usia 17 tahun. Masa
remaja mewakili masa kritis dalam tahap perkembangan seksual terkait dengan
perubahan hormonal, perubahan fisik, kognitif, dan sosial. Perubahan fisik pada

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
14

remaja mendorong keinginan dan motivasi remaja secara seksual antara remaja
laki-laki dan perempuan.Identitas seksual terbentuk seiring dengan perkembangan
remaja. Pada fase ini remaja akan menjalin kedekatan dengan teman dan
melakukan aktifitas seksual untuk memenuhi rasa ingin tahu yang tinggi.

d. Pola asuh orang tua

Selama periode remaja, hubungan dengan orangtua bisa menjadi semakin


mendekat atau menjauh. Berbagai aturan dalam rumah yang diterapkan sedikit
banyak membatasi ruang gerak remaja. Remaja pada umumnya menegaskan
keinginannya di rumah dan terkadang membuat suasana rumah menjadi tegang.
Menolak kontrol orangtua, dan melakukan hal-hal sesuai kehendak seringkali
dilakukan untuk menunjukan keinginannya seperti pergaulan bebas dengan teman
dan menjalin hubungan dengan lawan jenis (Hockenberry & Wilson, 2013). Hasil
penelitian pada remaja di Portugal yang menjelaskan pola pengasuhan orang tua
yang diterima oleh remaja sejak dini membentuk remaja tersebut dalam
perkembangannya baik secara biologis, psikologis, dan sosial dan emosional
(Leiros, Carvalho, & Nobre, 2016)

2.2 Kesehatan Reproduksi Remaja

2.2.1 Pengertian kesehatan reproduksi


Kesehatan reproduksi adalah kondisi sehat baik secara fisik, psikis, dan sosial
secara utuh, bukan saja hanya bebas dari penyakit atau kecacatan yang
berhubungan dengan sistem, fungsi dan proses reproduksi (PUSDATIN, 2015).
Pengetahuan mengenai reproduksi perlu diketahui remaja agar remaja memiliki
informasi yang tepat mengenai sistem dan proses reproduksi serta faktor-faktor
yang mempengaruhi kesehatan reproduksi.

2.2.2 Pengetahuan tentang Kesehatan Reproduksi


Peningkatan pengetahuan melalui pendidikan kesehatan reproduksi merupakan
salah satu cara yang dilakukan untuk mengurangi dan mencegah dampak negatif
yang tidak diharapkan, seperti kehamilan yang tidak direncanakan, penyakit
menular seksual, perasaan berdosa, dan depresi (Sarwono, 2006).

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
15

Pengetahuan tentang kesehatan reproduksi meliputi pengetahuan tentang fungsi


dan anatomi organ reproduksi pada laki-laki dan perempuan. Pengetahuan tentang
anatomi dan organ reproduksi ini sedikit banyaknya memengaruhi seseorang
dalam berperilaku seksual (Kaeran, 2007). Adapun yang termasuk dalam
pengetahuan kesehatan reproduksi ini meliputi:

a. Perkembangan fisik, psikis, dan kematangan seksual

Perkembangan fisik, psikis, dan kematangan seksual pada remaja ditandai dengan
perubahan hormon yang terkenal dengan proses pubertas. Pubertas adalah suatu
masa dimana mulai terjadi perubahan pada organ seks sekunder mencapai
kematangan (Pillitteri, 2010). Kematangan yang dimaksud adalah kematangan
organ seksual dan tercapainya kemampuan reproduksi yang optimal sesuai dengan
tahap perkembangan fisik remaja (Hurlock, 2004; Soetjiningsih, 2004).

Pengaruh hormon mengakibatkan timbulnya perubahan pada organ lelaki dan


perempuan. Ciri-ciri kelamin sekunder ini dipengaruhi oleh hormon pada masing-
masing jenis kelamin. Pada remaja lelaki terdapat hormon yang diproduksi oleh
organ testis yang dinamakan hormon testosteron. Hormon testosteron ini
menimbulkan ciri sekunder pada remaja yaitu tumbuhnya rambut di sekitar area
penis, kaki, tangan, dada, ketiak, dan wajah. Selain itu perubahan yang terjadi
adalah perubahan suara menjadi lebih berat, badan berotot terutama bahu dan
dada, penis jadi makin membesar, mengalami mimpi basah, lebih mudah
berkeringat dan timbul masalah peradangan pada kulit seperti jerawat.

b. Organ reproduksi pada laki-laki dan perempuan

Pengenalan terkait organ reproduksi laki-laki dan perempuan beserta fungsinya


bertujuan untuk memberikan pengetahuan tentang sistem, proses, dan fungsi
organ tersebut serta aspek yang terkait dengan tumbuh kembang remaja. Organ
reproduksi merupakan bagian dalam tubuh manusia yang berfungsi untuk
memperoleh keturunan. Sistem reproduksi perempuan terdiri dari struktur
eksternal dan internal.

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
16

Organ-organ yang termasuk dalam organ eksternal adalah: (1) Bibir vagina (labia
mayora, bagian terluar vagina tertutup oleh rambut pubis yang terdiri dari jaringan
lemak banyak pembuluh darah dan labia minora, terletak di belakang labia
mayora yang di dalamnya terdapat klitoris sebagai struktur kecil yang
mengandung jaringan erektil dengan sejumlah ujung saraf sensoris yang terletak
di bawah prepusium. (2) Liang vagina; terletak di bagian bawah vestibulum (area
berbentuk kacang mete yang ditutupi oleh labia minora) dan bervariasi dalam
bentuk dan ukuran. (3) Himen yang dikenal dengan sebutan selaput dara
merupakan lapisan yang mengelilingi liang vagina.

Organ yang termasuk dalam organ reproduksi internal terdiri dari: (1) Vagina;
merupakan jalur untuk pengeluaran menstruasi, jalur kopulasi (hubungan seksual),
dan jalur untuk jalan lahir melalui vagina. (2) uterus; tempat janin dibesarkan
berbentuk seperti buah pir terbalik, terletak di antara kandung kemih dan rectum.
(3) Tuba falopii; nama lainnya saluran telur yang terletak di sisi kanan kiri Rahim
yang berfungsi sebagai jalan yang dilalui ovum dari indung telur menuju rahim
sebagai jalur antara ovarium dan uterus. (4) Ovarium; disebut indung telur adalah
organ di kiri kanan uterus yang terletak di bawah dan belakang tuba falopii
memiliki fungsi menghasilkan hormon estrogen, progesteron, dan androgen.

Organ reproduksi pada laki-laki terdiri dari: (1) penis; sebagai alat untuk
berhubungan seksual (senggama) yang menyalurkan sperma dan air seni. Pada
saat ereksi/ tegang, penis akan berubah bentuk menjadi lebih besar. (2) Testis
(Buah pelir), adalah organ yang berjumlah dua buah untuk memproduksi sperma
setiap hari dengan bantuan dari hormon testosteron. (3) Urethra, merupakan
saluran yang mengeluarkan air seni dan air mani (sperma). (4) Kelenjar seminalis,
sebagai tempat sprema yang sudah matang. (5) Kelenjar prostat, kelenjar yang
menghasilkan cairan yang menutrisi sperma. (6) Vas deferens;saluran yang
menyalurkan sperma dari testis menuju kelenjar seminalis. (7) Skrotum;
menyokong testis dan mengatur suhu sperma.

c. Menstruasi dan kehamilan

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
17

Menstruasi atau dengan kata lain haid adalah proses meluruhnya lapisan dinding
dalam rahim akibat perubahan pada siklus hormonal. Siklus menstrual ini
bertujuan untuk mematangkan ovum (sel telur) dan sebagai persiapan jika sel telur
berhasil dibuahi oleh sel sperma.Peluruhan ini terjadi akibat sel telur yang tidak
dibuahi. Pada umumnya menstruasi terjadi pada usia 9-13 dimana dikatakan
sebagai menstruasi pertama (menarche).

Pillitteri (2010) menyebutkan bahwa kondisi menarche dapat dimulai sejak usia 9
tahun maka perlu dimulai dilakukannya pemaparan informasi mengenai seksual
dan kesehatan reproduksi untuk membekali remaja mengenai upaya kesehatan
reproduksi yang optimal. Terdapat sumber yang mengatakan bahwa menarche
dapat dimulai sejak usia 8- 11 tahun (Lowdermilk, Perry, & Cashion , 2013).

Pendidikan mengenai menstruasi merupakan informasi penting terkait pendidikan


seksual. Beberapa mitos mengenai menstruasi sudah tidak perlu ditakutkan
berhubungan dengan meningkatnya pemahaman remaja mengenai proses dan
konsep terjadinya menstruasi. Pemahaman bahwa menstruasi merupakan tanda
kedewasaan akan membantu remaja untuk berpikir rasional mengenai proses yang
dihadapi. Pendidikan terkait menstruasi perlu diketahui oleh remaja laki-laki agar
dapat memaklumi proses fluktuatif pada sistem reproduksi perempuan dan secara
aktif berpartisipasi dalam rencana mencegah terjadinya kehamilan (Pillitteri,
2010).

Masa subur seseorang sangat bersifat individual, namun titik puncak kesuburan
sebenarnya terjadi pada hari ke 14 sebelum menstruasi berikutnya. Menurut
Lowdermilk, Perry, & Cashion , (2013) hari ke 13 atau 14 dari 28 hari siklus, LH
(lutenizing hormone) mengalami peningkatan , bila pada fase ini terjadi fertilisasi
dan implantasi ovum maka kondisi ini dikatakan kehamilan.

Kehamilan pada masa remaja yang berusia kurang dari 16 tahun berdampak pada
psikologis remaja tersebut. Anak dari ibu usia remaja cenderung berisiko
mendapatkan kekerasan dan diacuhkan karena orang tua yang masih remaja
memiliki pengetahuan yang kurang terhadap pertumbuhan, perkembangan, dan
pengasuhan anak (Lowdermilk, Perry, & Cashion , 2013).

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
18

d. Keputihan

Keputihan adalah keluarnya cairan dari vagina, bukan cairan berupa darah.
Keputihan dibagi ke dalam dua jenis yanitu keputihan fisiologis dan patologis.
Keputihan yang normal terjadi pada saat perempuan merasakan hasrat seksual,
terkadang menjelang menstruasi, selesai fase menstruasi, ataupun ditengah-tengah
siklus. Keputihan normal berwarna putih jernih , tidak berbau, tidak ada rasa
gatal, nyeri, atau bengkak pada vagina, tidak ada keluhan perih saat berkemih dan
tidak ada nyeri perut bagian bawah.

Kedua, keputihan patologis, dengan karakteristik jumlah banyak, timbul terus


menerus, terjadi perubahan warna (kuning, hijau, abu-abu menyerupai susu)
dengan keluhan gatal, panas, nyeri, serta berbau. Keputihan patologis ini
disebabkan oleh infeksi akibat keganasan, terdapat benda asing dalam rahim atau
vagina, mengalami infeksi menular seksual. Perilaku yang salah terkait perawatan
organ kewanitaanseperti penggunaan celana dalam secara terus menerus dan
lembab, tidak mengganti pembalut, vulva hygiene menggunakan air kotor,
pemakaian produk pembilas vagina (Achjar, 2006).

e. Masturbasi dan mimpi basah

Masturbasi atau dikenal dengan sebutan onani adalah suatu kegiatan menyentuh
bagian tubuh sendiri untuk menghasilkan rangsangan seksual. Perilaku ini masih
dikatakan normal apabila dilakukan oleh diri sendiri dengan tidak berlebihan dan
tidak menggunakan alat-alat tertentu yang tidak terjamin kebersihannya sehingga
akan menyebabkan terjadinya infeksi. Masturbasi merupakan salah satu
kebutuhan seksual yang alami dan tidak membahayakan selama dilakukan dengan
tidak berlebihan dan memperhatikan tingkat kebersihan (Achjar, 2006).

Mimpi basah adalah suatu proses pengeluaran sprema secara alamiah pada saat
tidur. Mimpi basah ini terjadi pada remaja laki-laki sebagai tanda sudah
matangnya organ reproduksi. Proses ini terjadi pada usia sekitar 9-14 tahun, yang
umumnya terjadi secara berkala tiap 2-3 minggu. Apabila sperma tidak
dikeluarkan melalui proses berhubungan seksual atau masturbasi, maka sperma
akan keluar dengan sendirinya saat kondisi tidur. Selain itu akan terjadi

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
19

penyerapan kembali oleh tubuh apabila sperma tidak dikeluarkan dengan cara
apapun.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Achjar (2006) disebutkan bahwa terdapat
mitos yang berkembang di masyarakat mengenai informasi yang tidak tepat
terkait masturbasi dapat merusak tubuh, mengakibatkan lutut keropos, kurus, dan
kebutaan. Dikatakan juga bahwa masturbasi tidak mengakibatkan kerusakan pada
organ dalam tubuh dan tidak akan terjadi kemandulan karena sperma yang encer
akibat masturbasi.

f. Perilaku seksual yang sehat dan bertanggung jawab

Perilaku seksual yang sehat dan bertanggung jawab meliputi berbagai aspek
mulai dari fisik, psikologis, dan seksual. Sehat secara fisik yaitu melakukan
perilaku yang tidak menyebabkan kehamilan tidak direncanakan, tidak tertular
penyakit menular seksual, tidak terjangkit HIV/ AIDS, dan lain-lain. Penelitian
yang dilakukan di Universitas Georgia menyebutkan bahwa semakin tinggi
pengetahuan remaja tentang bahaya penularan IMS dan HIV makasemakin rendah
keterkaitannya dengan perilaku seksual yang berisiko (Bachanas, et al., 2002).

Perilaku yang sehat dan bertanggung jawab secara psikis dan sosial juga penting
untuk menghindari remaja dari perilaku yang berisiko. Secara psikologis, remaja
diharapkan mampu menguasai pengetahuan tentang kesehatan reproduksi agar
dapat mengambil keputusan dan mampu berkomunikasi terkait pencegahan
masalah seksualitas. Hal penting lainnya menurut Achjar, (2006) adalah
bertanggung jawab terhadap berbagai pertimbangan risiko yang dilandasi
kesiapan untuk meminimalisir atau menghindari resiko sebagai upaya
bertanggung jawab terhadap diri sendiri, orang lain, lingkungan, dan Tuhan.

2.2.3 Masalah kesehatan reproduksi remaja akibat perilaku seksual


Aktivitas seksual pada remaja secara umum mulai dilakukan pada usia 19 tahun
namun sekitar 7 dari 10 orang remaja sudah pernah melakukan hubungan seksual
dengan pasangannya yang berpotensi mengakibatkan terjadinya masalah
kesehatan terkait aktivitas seksual (Hockenberry & Wilson, 2013). Dibawah ini
adalah masalah yang terjadi akibat perilaku seksual berisiko:

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
20

a. Kehamilan yang tidak diinginkan

Perilaku seksual berisiko dapat berdampak pada kehamilan yang tidak diinginkan
(KTD). Kehamilan yang dialami oleh remaja yang berusia 16 tahun cenderung
mengakibatkan terjadinya stress dalam proses perkembangannya. Perubahan pada
emosi dan tingkah laku terlihat menonjol dengan menunjukan tindakan impulsif.
Seringkali tindakan ini didorong oleh pengaruh teman sebaya. Risiko yang terjadi
pada ibu remaja yang hamil adalah tidak terpenuhinya kebutuhan akan
pengetahuan yang memadai mengenai kehamilannya dan keterbatasan finansial.
Demikian juga anak dari ibu usia remaja cenderung akan mendapatkan
pengabaian dan mengalami kekerasan akibat kurangnya pengetahuan ibu terhadap
pertumbuhan, perkembangan, dan pengasuhan anak (Lowdermilk, Perry, &
Cashion , 2013).

Kehamilan remaja dapat terjadi pada seluruh tingkat sosiekonomi, pada sekolah
baik negeri maupun swasta, pada seluruh etnik dan agama. Hal ini menunjukan
fakta bahwa setiap remaja berpotensi untuk mengalami kehamilan tidak
diinginkan apabila tidak dibekali pengetahuan yang memadai mengenai kesehatan
reproduksi (Potter & Perry, 2009). Penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan
terlarang termasuk ke dalam perilaku resiko yang dapat menyebabkan gangguan
pada penilaian dan tindakan diluar akal sehat (Lowdermilk, Perry, & Cashion ,
2013).

Penurunan angka kehamilan remaja merupakan tujuan penting dalam


meningkatkan derajat kesehatan dikarenakan risiko kelahiran yang akan dihadapi
oleh ibu remaja maupun anaknya. Komplikasi yang mungkin terjadi pada saat
melahirkan antara lain: kelahiran prematur, berat bayi lahir rendah, anemia
defisiensi zat besi, kematian neonatus, penyempitan tulang panggul, dan
persalinan yang lama (Hockenberry & Wilson, 2013).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada remaja pengungsi di Thailand,


disampaikan bahwa terjadinya kehamilan tidak diinginkan (KTD) merupakan
akibat dari rendahnya pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi, dimana
remaja ini beranggapan bahwa hubungan seksual pertama kali tidak akan

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
21

menyebabkan kehamilan (Benner, et al., 2010). Hal itu yang menyebabkan


tingginya angka kehamilan tidak diinginkan.

b. Infeksi Menular seksual dan HIV/AIDS

Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan salah satu akibat dari perilaku seksual
yang tidak aman. Tindakan pencegahan terhadap kejadian IMS adalah dengan
memberikan edukasi terkait perubahan perilaku. Perilaku yang perlu diubah
adalah perilaku berganti-ganti pasangan seksual dan praktik seksual yang tidak
aman. Lowdermilk, Perry, dan Cashion , (2013) menyatakan bahwa IMS
merupakan infeksi atau penyakit infeksius yang ditularkan melalui hubungan
seksual.

Upaya pencegahan dapat dilakukan oleh remaja untuk menghindari penularan


yaitu dengan pencegahan primer dan sekunder. Pencegahan primer dilakukan
dengan menghindari terjangkitnya infeksi yaitu dengan abstinensi aktifitas
seksual. Pencegahan sekunder mencakup pengobatan infeksi yang sudah terjadi
dan mencegah komplikasi perorangan dan penyebaran terhadap orang lain
(Lowdermilk, Perry, & Cashion , 2013).

Upaya mengurangi risiko dilakukan dengan memberikan konseling dan edukasi


mengenai tindakan yang dapat mengurangi risiko seperti menghindari pertukaran
cairan tubuh (CDC,2006 dalam Lowdermilk, Perry, & Cashion , (2013). Infeksi
Menular seksual dibedakan menjadi beberapa jenis berdasarkan penyebab, yaitu:
(1) IMS akibat Bakterial; terdiri dari Chlamydia, Gonorrhea, Sifilis, Chanchroid,
Limfogranuloma venereum, Mikoplasma genital, Streptokokus grup B. Angka
kejadian Chlamydia dan gonorrhea merupakan yang tertinggi pada remaja usia
15-19 tahun. (2) IMS akibat Virus; terdiri dari Human Immunodeficiency Virus
(HIV), Virus Herpes simpleks tipe 1 dan 2, Sitomegalovirus, Virus Hepatitis A
dan B, Human Papillomavirus. (3) Protozoa; Trikomoniasis(4) Parasit;
Pedikulosis, Skabies (dapat ditularkan melalui seksual atau tidak).

Perilaku seksual berisiko yang dapat menyebabkan remaja menderita IMS adalah
akibat ciuman deep kissing yang didapatkan dari pasangan yang sebelumnya
sudah melakukan hubungan dengan oral seks (orogenital), hubungan seks melalui

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
22

vagina namun dengan pasangan yang lebih dari satu, adanya kontak mulut laki-
laki dengan alat kelamin perempuan atau sebaliknya akan berisiko menimbulkan
infeksi karena kemungkinan menembus selaput mukosa mulut, kontak mulut
dengan anus dan penis dengan anus.

Gejala yang muncul apabila menderita IMS adalah adanya rasa sakit dan gatal
pada daerah kemaluan, muncul benjolan, bintil, ataupun luka pada area sekitar
vagina.Terdapat cairan yang keluar melalui vagina seperti nanah, rasa sakit pada
bagian perut bawah.Gejala-gejala ini dikeluhkan oleh remaja perempuan.

Lelaki juga mengalami gangguan rasa nyaman saat berkemih apabila terjangkit
IMS. Dampaknya bisa mengakibatkan kemandulan , gangguan neurologis dan
AIDS. Secara psikologis, remaja akan merasa rendah diri, perasaan takut, dan
terjadi gangguan hubungan seksual setelah menikah.

Adanya mitos yang beredar bahwa IMS dapat disembuhkan dengan melakukan
pengobatan suntik antibiotik secara rutin, meminum antibiotik dengan
sembarangan, dan mengkonsumsi antibiotik sebelum melakukan hubungan
seksual membuat pemahaman yang keliru terhadap remaja. Hal yang perlu
diperhatikan adalah, bahwa IMS tidak dapat dicegah hanya dengan melakukan
hygiene atau mencuci alat kelamin (Achjar, 2006).

Aktivitas seksual yang dapat mengakibatkan penularan HIV adalah dengan


berhubungan seksual dengan orang yang terinfeksi HIV, transfusi darah yang
tercemar HIV, Ibu hamil yang terinfeksi HIV dan berpotensi menularkan penyakit
pada janinnya, penyalahgunaan obat-obatan dengan metode jarum suntik,
melakukan tattoo dengan teknik steril yang tidak jelas dapat mengakibatkan
penularan.

Insiden gonorrhea dan sifilis tertinggi pada kelompok usia 15-19 tahun dan
hampir 70 % jumlah kematian akibat infeksi HIV dan komplikasinya menyerang
kelompok usia dibawah 15 tahun. Kondisi ini menyoroti pada pentingnya program
pendidikan seks untuk mencegah AIDS dan mencegah terjadinya IMS (Bobak ,
Lowdermilk, Jensen, & Perry, 1995).

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
23

c. Aborsi

Aborsi atau pengguguran kandungan adalah melakukan pengeluaran janin


sebelum usia 20 minggu secara sengaja (Lowdermilk, Perry, & Cashion , 2013).
Aborsi dibedakan menjadi dua bagian yaitu aborsi yang dilakukan secara sengaja
(abortus provocatus) dan tidak sengaja (abortus spontaneous). Adapun yang
menjadi indikasi dilakukannya aborsi adalah: (1) penyelamatan nyawa atau
kesehatan ibu, (2) adanya kelainan genetik pada fetus, (3) pemerkosaan atau
incest, dan (4) permintaan dari ibu hamil.

Tindakan aborsi mengandung risiko yang cukup tinggi apabila tidak dilakukan
berdasarkan prosedur yang telah ditetapkan untuk keamanan dan kenyamanan
pasien seperti melakukan aborsi dengan cara tradisional seperti peminum jamu
peluruh rahim, melakukan pemijatan pada rahim dapat memberikan dampak
sosial, psikososial seperti perasaan bersalah depresi dan marah.

2.3. Keluarga
Keluarga termasuk ke dalam lingkungan yang memengaruhi perilaku dan
perkembangan remaja.Lingkungan sosial ini memberikan kesempatan,
pertahanan, role model, dan dukungan bagi remaja.Keluarga menjadi salah satu
sistem dalam lingkungan sosial selain teman sebaya, sekolah, dan masyarakat
yang berkontribusi dalam perkembangan dan kesehatan remaja (Hockenberry &
Wilson, 2015).

Tahap perkembangan keluarga dengan anak remaja mrnghadapi kesulitan


tersendiri dikarenakan perkembangan remaja yang cenderung lebih bertindak
mandiri, mulai memilih apa yang akan dilakukan, dan dihadapkan dengan
konsekuensi dari pilihannya. Berbagai tantangan ini akan mampu dihadapi oleh
keluarga khususnya orangtua bila memiliki dasar pengasuhan yang kuat dan
suportif terhadap remaja (Potter & Perry, 2009)

2.3.1. Pola Asuh Orangtua pada Remaja


Pola pengasuhan pada remaja dipengaruhi oleh berbagai faktor meliputi
pendidikan, pengetahuan, kesehatan ibu, serta dukungan sosial (Dwiriani, 2005
dalam Nurmaguphita, 2014). Kenakalan remaja merupakan isu yang secara umum

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
24

terjadi dengan melibatkan remaja, keluarga, dan masyarakat, hal ini dikemukakan
oleh Posey, (2014) dalam penelitiannya bahwa pola asuh berkontribusi secara
signifikan terhadap beberapa perilaku remaja yang mempengaruhi terjadinya
kenakalan remaja.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan hampir dua dekade didapatkan hasil bahwa
kualitas hubungan remaja dengan orangtua secara signifikan mempengaruhi
perkembangan perilaku remaja termasuk dalam berperilaku reproduksi yang sehat.
Hal ini yang mendasari penelitian tentang hubungan remaja dan orangtua melalui
pola asuh yang dilakukan dengan melihat hubungan pola asuh dengan enam
perilaku berisiko pada remaja yang menjadi prioritas (Newman, Harrison, Carol,
& Davies, 2008).

Penelitian yang sejalan dilakukan pada remaja di Portugal yang menjelaskan


tentang kaitan pola asuh pada remaja dengan pembentukan perilaku. Dalam
penelitiannya dikatakan bahwa pola asuh orang tua sejak dini berkontribusi dalam
pertumbuhan dan perkembangan remaja baik secara biologis, psikologis, sosial,
dan emosional(Leiros, Carvalho, & Nobre, 2016).

Perubahan karakteristik keluarga di perkotaan memeengaruhi cara keluarga


memberikan pengasuhan terhadap remaja. Kecenderungan yang terjadi di
berbagai negara lebih banyak melibatkan mobilitas keluarga yang lebih besar,
lebih banyak ibu bekerja sehingga perubahan ini menurunkan kemampuan
keluarga untuk meluangkan waktu dan dukungan sumber daya terhadap remaja
(Santrock, Remaja, 2007).

Salah satu teori pola asuh dikemukakan oleh Posey (2014) dalam penelitiannya
yaitu berdasarkan teori Baumrind (1966) dan Maccoby & Martin’s (1983). Pola
asuh orangtua ini memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap
perkembangan remaja (Newman, Harrison, Carol, & Davies, 2008).Kerangka
teori dalam pola pengasuhan orang tua ini digunakan untuk mengatur dan
berinteraksi dengan anak-anak. Posey (2014) menjelaskan terdapat tiga pola asuh
yang mendasari orang tua dalam mendidik anak, yaitu authoritative,
authoritarian, dan permissive(indulgent). Ketiga gaya pola asuh ini kemudian

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
25

dikembangkan oleh Maccoby & Martin’s pada tahun 1983 dengan menambahkan
satu pola asuh yaitu uninvolved yang merujuk pada pola asuh neglectful
(pengabaian). Gaya pola asuh ini diklasifikasikan berdasarkan elemen kehangatan/
penerimaan dan kontrol/ pengendalian orang tua, selanjutnya tiap pola asuh ini
dikombinasikan berdasarkan respon dan kebutuhan antar orangtua dan anak.

Secara garis besar pola asuh authoritative akan membentuk remaja menjadi lebih
protektif dan terkendali serta memiliki kecenderungan yang rendah dalam
melakukan perilaku yang berisiko dibandingkan dengan remaja yang hidup dalam
pola pengasuhan authoritarian, permisif, dan neglectful. Penelitian juga
menunjukan bahwa pola asuh dan perilaku berkaitan erat dengan kehangatan,
komunikasi, pencapaian akademik anak, dan perkembangan psikososial yang baik
(Newman, Harrison, Carol, & Davies, 2008).

2.3.2. Hubungan antara pola asuh anak dengan karakteristik anak


Teori pola asuh yang dijelaskan oleh Baumrind mengemukakan cara utama
pengasuhan dimana pola asuh ini secara langsung mempengaruhi perilaku remaja.
Pola asuh authoritative menunjukan karakteristik pola asuh yang menekankan
pada keseimbangan antara kehangatan/ dukungan dan monitoring/ control yang
berkaitan dengan perkembangan yang optimal pada remaja di Eropa America dan
Afro-Amerika (Kincaid, Jones, Sterrett, & McKee, 2012).

Dukungan orangtua berupa memberi pujian, pelukan, dan semangat menunjukan


bahwa anak-anak penting dimata orangtua. Dukungan yang kurang seringkali
berkaitan dengan masalah perilaku pada remaja termasuk perilaku seksual
berisiko (Sieverding, Adler, Witt, & Ellen, 2005). Selain karakteristik hangat dan
kontrol yang kuat, pola asuh ini menekankan pula pada keterikatan antara anak
dengan orangtua (Posey, 2014).

Pola asuh authoritative menuntut kebebasan, memotivasi penyelesaian masalah


dan mendorong remaja untuk secara tepat mengatur diri. Selain itu orang tua
dengan pola asuh authoritative cenderung untuk memberikan punishment yang
konsisten dan jelas. Pola asuh authoritative ini membentuk karakteristik remaja
yang energik, ramah, periang, memiliki kontrol dan kepercayaan diri, memiliki

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
26

tujuan jelas dan berorientasi pada prestasi, menunjukkan minat dan rasa ingin tahu
terhadap situasi yang baru, memelihara hubungan yang baik dengan teman, dapat
bekerja sama dengan orang dewasa dan dapat mengatasi stress dengan baik(Posey,
2014).

Pola asuh ini menanamkan tanggung jawab yang melibatkan remaja namun tidak
dengan memaksa dan ada aturan yang jelas (Hurlock E. B., 2009). Secara umum
berdasarkan dimensi pola pengasuhan, pola asuh authoritative menekankan pada
kontrol yang tinggi dan penerimaan yang tinggi juga terhadap remaja (Newman,
Harrison, Carol, & Davies, 2008).

Pola Asuh authoritarian (otoriter) memiliki karakteristik menuntut dan kurang


responsif terhadap remaja, seringkali dikatakan strict parenting dimana orang tua
menunjukkan harapan yang tinggi terhadap anak, tidak hangat, dan memiliki
tingkat pengawasan yang tinggi terhadap anak. Karakteristik orang tua yang
menerapkan pola authoritarian ini secara umum menunjukkan kurangnya
komunikasi terbuka dengan anak dan cenderung menuntut banyak tanpa
menjelaskan alasan tentang aturan yang dibuat dengan tidak memberi kesempatan
pada anak untuk memilih dan menentukan sendiri keputusannya (Hurlock E. B.,
2009). Karakteristik anak dengan pola asuh authoritarian adalah anak dengan
sifat conflicted-irritable, moody, tidak bahagia, tidak memiliki tujuan yang jelas,
merasa ketakutan, gelisah dan mudah terganggu, menunjukkan sikap bermusuhan
yang pasif dan mudah berbohong, berkembang menjadi anak yang agresif tetapi
bisa juga menjadi anak yang penyendiri, mudah merasa stres. Berdasarkan
dimensi pemerimaan dan kontrol, pola asuh ini menekankan pada tingginya
kontrol namun sedikit penerimaan (Newman, Harrison, Carol, & Davies, 2008).

Pola asuh permissive atau seringkali merujuk pada orang tua yang memiliki
tingkat kesabaran yang tinggi menunjukan pola asuh yang responsif namun tidak
menuntut. Tipe pola asuh ini meliputi ikatan yang kuat dengan anak dan
menunjukan tuntutan dan kontrol yang sangat rendah terhadap anak sehingga
seringkali anak cenderung tidak mampu mengatur diri karena rendahnya harapan
dan kemandirian yang dituntut oleh orang tua (Newman, Harrison, Carol, &

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
27

Davies, 2008). Pola asuh permissive lebih memilih untuk lunak terhadap
kedisiplinan demi menghindari konfrontasi dengan remaja.

Anak yang impulsive – aggressive merupakan karakteristik yang terbentuk dari


pola asuh permissive. Sifat yang ditimbulkan adalah menguasai dan melawan,
agresif, tidak mau mengalah, cepat marah namun cepat kembali ceria, kurang
dapat mengontrol diri sendiri dan rendah diri, impulsif, menunjukkan orientasi
yang rendah pada prestasi, tidak memiliki tujuan yang jelas, serta memiliki
kesulitan dalam hubungan dengan teman sebaya (Santrock, 2011).

Terakhir, Pola asuh uninvolved ini melakukan pengabaian dan lalai terhadap anak,
tidak menuntut dan tidak berespon positif. Pola asuh neglectful ini memiliki
duatipe yang berbeda yaitu pengabaian secara fisik maupun emosional. Maccoby
& Martin (1983) dalam Posey, (2014) menjelaskan gaya pola asuh ini tidak
mendorong remaja untuk berperilaku yang sesuai dengan tidak memberi
punishment.

Pola asuh uninvolved membentuk anak menjadi neglected dan moody, tidak
merasa aman, agresif, tidak mempunyai rasa tanggung jawab, harga diri rendah,
tidak matang, lari dari keluarga, sering bolos sekolah, kurang dalam keterampilan
sosial dan akademis, terlibat kenakalan dan terlalu cepat dewasa secara seksual.
Berdasarkan dimensi penerimaan dan kontrol, pola asuh ini memiliki level yang
rendah pada kedua dimensi (Newman, Harrison, Carol, & Davies, 2008).

Keempat gaya pola asuh diatas menjelaskan bahwa orang tua memiliki peran
penting dalam membentuk anak untuk berinteraksi dengan keluarga maupun
dalam melakukan hubungan sosial dengan teman-temannya. Pola asuh yang
diterapkan orang tua memengaruhi remaja dalam bersikap dan beradaptasi dengan
teman-teman dan lingkungan tempatnya berkembang (Boyd, Johnson, & Bee,
2015).

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
28

Tabel 2.1 Dimensi gaya pola asuh (Santrock, 2011)


Dimensi Penerimaan Penolakan
Responsive Tidak responsive
Menuntut
Mengawasi Authoritative Authoritarian

Tidak menuntut
Tidak ada pengawasan Permissive Uninvolved

2.3.3. Hubungan antara pola asuh dengan perilaku berisiko


Penelitian yang dilakukan berdasarkan observasi dan study yang dipublikasi
antara tahun 1996-2007 meneliti tentang hubungan khusus antara pola asuh
dengan perilaku berisiko yang dilakukan remaja. Adapun perilaku berisiko yang
erat kaitannya dengan pola asuh orang tua antara lain penggunaan alcohol,
penggunaan obat-obatan dan rokok, kekerasan (bunuh diri), perilaku seksual,
perilaku diet tidak sehat, dan ketidakaktifan fisik (Centers for Disease Control and
Prevention, 2016).

Pengaruh pola asuh authoritative merupakan gaya pengasuhan yang paling


mendasar dalam perkembangan remaja. Hal ini terlihat jelas pada remajayang
dibesarkan dengan pola asuh authoritative secara konsisten menunjukkan sikap
protektif diri yang tinggi dan memiliki risiko rendah melakukan perilaku berisiko
dibandingkan dengan pola pengasuhan lainnya. Dalam penelitian ini juga
dijelaskan proses pengasuhan authoritative berkontribusi dalam pembentukan
pengaturan diri pada remaja dan kemampuan untuk bertahan terhadap pengaruh
buruk diluar keluarga (Newman, Harrison, Carol, & Davies, 2008).

Perilaku berisiko yang dilakukan remaja dipengaruhi oleh perilaku orangtua


dalam kehidupan sehari-hari yang berkontribusi sebagai role model bagi
pembentukan karakter remaja. Orang tua dengan perilaku berisiko seperti
perokok, pengguna alkohol, peminum cenderung akan memengaruhi dan
membentuk persepsi yang berbeda dengan harapan dan nilai yang dianut remaja.
Komunikasi dan pengendalian dari orang tua memiliki hubungan langsung dengan
perilaku berisiko pada remaja. Supervisi yang ketat dari orang tua menghasilkan
perilaku berisiko yang rendah dibandingkan dengan remaja yang diperhatikan
dengan intens cenderung lebih berisiko.

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
29

Penelitian yang dilakukan pada 253 remaja di British menyatakan bahwa pola
asuh berpengaruh besar terhadap sikap dan perilaku seksual di awal usia remaja
(Newman, Harrison, Carol, & Davies, 2008). Komunikasi dan pengendalian
(control) dapat dilakukan dengan menekankan kehadiran dan keterlibatan
orangtua dalam tiap kegiatan yang dilakukan oleh remaja.

Orang tua yang kurang terlibat dan hadir dalam aktivitas remaja menimbulkan
perasaan tidak diperhatikan dan kekurangan dukungan serta pengarahan dari
orang tua. Penelitian yang dilakukan pada remaja di Baltimore dan Johannesburg
menjelaskan pentingnya mengetahui dan memahami pengaruh dukungan dan
pengarahan dari orang tua dalam pembentukan sikap dan perilaku remaja
termasuk perilaku seksual (Mmari, Kalamar, Brahmbhatt, & Venables, 2016).

2.4. Perilaku

2.4.1. Konsep perilaku


Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang unik lengkap dengan
karakteristik masing-masing. Salah satu yang menonjol adalah perilakuyang
membedakan dari makhluk hidup lainnya. Menurut Notoatmodjo, (2014) perilaku
adalah semua kegiatan yang dilakukan manusia yang dapat diamati langsung atau
tidak dapat diamati. Perilaku terbentuk dari dua faktor utama yaitu dengan adanya
stimulus dan respon yang mana stimulus itu merupakan faktor dari luar sedangkan
respon merupakan faktor dari dalam diri orang yang bersangkutan.

Perilaku terdiri dari tiga domain yang meliputi domain pengetahuan, sikap, dan
praktik perilaku. Dibawah ini adalah penjelasan mengenai ketiga domain tersebut:

2.4.2. Domain perilaku


2.4.2.1 Pengetahuan
Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk membentuk seseorang
dalam berperilaku. Pengetahuan tentang kesehatan dapat diukur melalui
pertanyaan secara tertulis dengan indikator penilaian baik atau kurangnya
pengetahuan seseorang tentang kesehatan (Notoatmodjo, 2014). Dijelaskan juga
oleh Arikunto (2006) bahwa alat yang digunakan untuk mengukur pengetahuan
adalah dengan melakukan tes.

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
30

Berdasarkan teori diatas, kuesioner dapat dipakai untuk mengukur tingkat


pengetahuan. Pertanyaan mengandung jawaban benar atau salah dengan skor 1
untuk benar dan 0 untuk salah. Hasil jawaban benar dijumlahkan dan dikalikan
100% untuk melihat persentase dan seperti dikemukakan Arikunto (2006)
dikelompokan menjadi kategori baik (76-100%); cukup (56-75%); dan kurang
(40-55%).
2.4.2.2 Sikap
Sikap merupakan respon seseorang terhadap suatu stimulus namun masih bersifat
tertutup (Notoatmodjo, 2014). Domain sikap melibatkan emosi, perasaan, dan
aspek internal dalam diri lainnya.Sarwono (2007) menjelaskan bahwa sikap
menunjukkan kecenderungan seseorang untuk berperilaku tertentu ketika
menghadapi suatu kondisi yang spesifik. Sikap terdiri dari beberapa tingkatan
yaitu belajar menerima informasi, belajar menanggapi apa yang diajarkan, belajar
menerima dan mengatur informasi, dan belajar mengadopsi perilaku yang secara
konsisten dilakukan sesuai dengan nilai yang baru diketahui (Stanhope &
Lancaster, 2014).
2.4.2.2 Praktik
Keterampilan adalah kemampuan mempergunakan koordinasi otak, otot, dan
kemampuan motorik (Notoatmodjo, 2014). Kemampuan keterampilan dapat
ditentukan dengan melihat kemampuan secara fisik, intelektual, dan emosional.
Perilaku dapat dinilai secara langsung ataupun tidak langsung. Pengukuran
perilaku yang baik dilakukan secara langsung melalui pengamatan atau observasi,
sedangkan yang tidak langsung bisa dengan memberikan pertanyaan tentang apa
yang telah dilakukan seseorang (Notoatmodjo, 2014).
2.4.3. Perilaku seksual pada remaja
2.4.3.1 Definisi perilaku seksual
Sarwono, (2007) mendefinisikan perilaku seksual sebagai segala bentuk tingkah
laku yang didorong oleh hasrat seksual dengan lawan jenis ataupun sesama jenis
namun dalam penelitian ini perilaku seksual berisiko dibatasi pada hubungan
remaja secara heterogen. Tingkat kecerdasan, emosi, jenis kelamin, dan faktor
bawaan mempengaruhi seseorang dalam berperilaku seksual (Notoatmodjo,
2014).

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
31

Praktik seksual yang dilakukan oleh remaja ini terjadi berdasarkan dorongan dari
teman sebaya, adanya ikatan dan keinginan untuk mencintai dan dicintai, ingin
mencoba, meningkatkan kepercayaan diri. Pengalaman pribadi, faktor ekonomi,
lingkungan, pola asuh, dan pola dalam mengambil keputusan mempengaruhi
seseorang dalam berperilaku seksual.
Alasan-alasan diatas tidak disertai dengan kemampuan untuk membuat keputusan
yang tepat dan klarifikasi nilai-nilai kehidupan. Kurangnya pengetahuan terhadap
kesehatan reproduksi juga menjadi dampak dari perilaku seksual yang berisiko
(Lowdermilk, Perry, & Cashion , 2013).
Perilaku seksual yang dilakukan remaja merupakan dorongan dari perkembangan
seksual pada fase ini. Jenis dan tingkatan keseriusan dalam menjalin hubungan
dengan lawan jenis antar teman sebaya ini sangat bervariasi. Kedekatan dengan
teman ini seringkali tanpa komitmen dan jarang sekali menggambarkan
keterikatan antar satu sama lain namun remaja ini menginginkan suatu hubungan
intim yang memuaskan secara emosional dan memenuhi kebutuhan seksual
keduanya (Hockenberry & Wilson, 2013).
2.4.3.2 Jenis perilaku berisiko
Menurut data SKRRI Tahun 2007 yang dikutip oleh Hadiyat (2013) disebutkan
bahwa kegiatan yang dilakukan selama pacaran oleh remaja adalah berpegangan
tangan, berciuman, dan petting (meraba/merangsang bagian tubuh yang sensitif).
68% remaja perempuan dan 69% remaja laki-laki melaporkan berpegangan tangan
selama berpacaran, remaja laki-laki lebih banyak mengatakan melakukan kegiatan
berciuman bibir (41% laki-laki dibanding perempuan 27%). Perilaku petting lebih
banyak dilakukan remaja laki-laki sebanyak 27% dibandingkan perempuan 9%.

Beberapa remaja juga mengungkapkan pengalaman pertama melakukan perilaku


seksual. Menurut data SKRRI, laki-laki pertama kali berciuman ketika usia 13
tahun sedangkan perempuan pada usia 15 tahun. Perilaku seksual lain yang
dilakukan remaja adalah berciuman lidah, memegang payudara, memegang penis,
menyentuh vagina, berhubungan seksual, dan melakukan seks oral. Perilaku
seksual ini cenderung dilakukan oleh laki-laki terlebih dahulu daripada
perempuan. Seperti halnya perempuan melakukan seks oral pertama kali saat usia
17 tahun lebih sedangkan laki-laki sudah memulai ketika usia 16 tahun(Santrock,

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
32

2007). Hal ini menunjukkan bahwa semakin dini seorang remaja terpapar dengan
perilaku seksual berisiko maka akan berpotensi mengalami gangguan kesehatan
reproduksi.
Menurut Sarwono (2011), yang termasuk ke dalam perilaku seksual berisiko
adalah:
a. Bersentuhan (touching), dimulai dari berpegangan tangan sampai dengan
berpelukan. Berpegangan tangan merupakan perilaku seksual yang dapat
mengarah pada perilaku seksual lainnya sehingga tercapai suatu kepuasan.
b. Berciuman (kissing), mulai dari ciuman singkat sampai berciuman bibir dengan
melibatkan permainan lidah (deep kissing). Selain itu berciuman dengan
pasangan dapat berupa ciuman pipi dengan pipi atau pipi dengan bibir.
c. Bercumbu (petting), ialah menyentuh bagian sensitif tubuh untuk merangsang
timbulnya gairah seksual. Perilaku seksual ini dilakukan tanpa adanya penetrasi
dari alat genital ke alat genital pasangannya. Pada aktifitas seksual ini lebih
dominan dilakukan oleh remaja laki-laki dengan presentase sebesar 43 %
dibanding perempuan 32,8% (Yi, et al., 2014).
d. Berhubungan badan (intercourse), perilaku seks yang melibatkan penetrasi
antara alat kelamin pria (penis) dengan alat kelamin perempuan (vagina).
Menurut penelitian yang dilakukan pada remaja di Cambodia dijelaskan bahwa
remaja laki-laki secara signifikan lebih berpotensi melakukan perilaku seksual
berisiko dibandingkan remaja perempuan. Dalam penelitiannya dikatakan
bahwa terdapat laporan dari negara-negara berkembang lainnya bahwa remaja
laki-laki terpapar dengan hubungan seksual pertama kali di usia yang lebih
muda dari remaja perempuan (Yi, et al., 2014).
2.4.4. Faktor yang mempengaruhi perilaku seksual pada remaja
Menurut Sarwono, (2007) terdapat lima faktor yang menyebabkan terjadinya
perilaku seksual berisiko pada remaja, yaitu: (1) meningkatnya hasrat seksualitas;
(2) menunda usia perkawinan; (3) adanya larangan /tabu; (4) kurangnya informasi
tentang seksualitas; dan (5) pergaulan yang bebas.
Berdasarkan hasil penelitian Darmasih (2009) dalam Hadiyat, (2013) didapatkan
data bahwa faktor yang mempengaruhi perilaku seksual pada remaja adalah
pengetahuan kesehatan reproduksi, sumber informasi, tingkat pemahaman agama,

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
33

dan peranan keluarga. Green, (2000) dalam Notoatmodjo (2014) menjelaskan tiga
faktor yang membentuk perilaku, yaitu faktor predisposisi, faktor pendukung, dan
faktor penguat seperti dijelaskan di bawah ini:
2.4.3.1. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi (predisposing factors) adalah faktor yang dapat
mempermudah terjadinya suatu perilaku yang terdiri dari pengetahuan, sikap,
kepercayaan,/ keyakinan, nilai-nilai. Dalam hal ini remaja beranggapan bahwa
kegiatan seksual dapat mengarah ke perilaku tidak sehat. Pengetahuan yang
kurang mengenai perilaku seksual dapat memengaruhi remaja dalam berperilaku
(Nurmaguphita, 2014). Selain pengetahuan, usia, jenis kelamin, dan tingkat
pendidikan memiliki hubungan bermakna dengan perilaku seksual pada remaja
(Oktaviani, 2015)
2.4.3.2. Faktor pendukung
Faktor pendukung/ pemungkin (enabling factors) mencakup semua karakter
lingkungan dan sumber daya ataupun fasilitas yang mendukung, memungkinkan
terjadinya suatu perilaku. Media informasi merupakan faktor yang memungkinkan
remaja mendapat informasi yang tidak jelas. Lingkungan dan teman sebaya yang
berisiko juga menjadi tolak ukur dan panutan dalam berperilaku (Oktaviani,
2015). Hasil penelitian pada remaja di Ethiopia juga menunjukkan bahwa transisi
teknologi dalam hal ini paparan media informasi memberikan kontribusi yang
cukup besar terhadap perubahan perilaku remaja, selain teman sebaya, obat-
obatan dan penyalahgunaan alkohol (Mudzusi & Asgedom, 2016).

2.4.3.3. Faktor penguat


Faktor penguat/ pendorong (reinforcing factors) terwujud dalam sikap dan
perilaku yang mendorong remaja untuk melakukan tindakan seksual karena
pengaruh dukungan dari keluarga dan lingkungan serta tren remaja yang
menganggap berpacaran adalah hal biasa dan membanggakan. Lingkungan dan
pola asuh yang bersifat neglected juga menjadi faktor yang memperkuat remaja
untuk berperilaku seksual yang berisiko (Posey, 2014).

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
34

2.5. Kerangka teori


Berdasarkan konsep dan teori yang sudah dipaparkan, maka bentuk integrasi
konsep teori dibentuk dalam susunan kerangka teori penelitian sebagai berikut:

Skema 2.1 Kerangka Teori

Faktor penguat:
Keluarga: Pola asuh
Faktor predisposisi: Authoritarian
Authoritative
Pengetahuan tentang kesehatan Permissive Karakteristik:
reproduksi; Neglected/Uninvolved - Usia
- Jenis kelamin
- Perkembangan fisik, psikis,
dan kematangan seksual
- Organ reproduksi laki-laki REMAJA Perilaku
dan perempuan seksual
berisiko:
K- Menstruasi/ kehamilan
Faktor - Pengetahuan
- Masturbasi/ mimpi basah
pendukung: - Sikap
- Keputihan - Teman sebaya - Praktik
- Perilaku seksual yang sehat - Media informasi
dan bertanggung jawab - Lingkungan

Kyle, (2013); Newman, Harrison, Carol, & Davies, (2008); Green (1984) dalam
Sarwono (2011); Santrock, (2011).
 P
e
r
k
e
m
b
a
n
g
a
n
fi
si
k,
p
si Universitas Indonesia
k
is
Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
,
d
BAB 3

KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS, DAN DEFINISI OPERASIONAL

Bab ini menguraikan mengenai kerangka konsep penelitian, hipotesis penelitian,


serta menjelaskan mengenai definisi operasional dari variabel-variabel yang akan
diteliti.

3.1. Kerangka Konsep


Kerangka konsep adalah suatu landasan berpikir dalam kegiatan ilmu dimana
landasan ini dikembangkan berdasarkan teori dan penyusunan variabel-variabel
yang terdapat dalam penelitian (Nursalam, 2015). Kerangka konsep itu sendiri
memiliki makna suatu hubungan antara konsep satu dengan yang lainnya yang
saling berhubungan dengan masalah yang akan diteliti. Tujuan dari kerangka
konsep itu sendiri adalah untuk membantu peneliti menghubungkan hasil
penemuannya dengan teori.

Variabel yang terdapat dalam penelitian ini adalah variabel independen, dependen,
dan confounding. Variabel independen adalah variabel yang keberadaannya
mempengaruhi variabel lain. Variabel dependen adalah variabel yang akan
mengalami perubahan akibat dari variabel independen dan variabel confounding
adalah variabel yang berhubungan dengan kedua variabel diatas dan dapat
mempengaruhi hubungan kedua variabel tersebut (Dharma K. , 2015).

Pada penelitian ini, yang menjadi variabel independen adalah pengetahuan


kesehatan reproduksi dan pola asuh orang tua.Sedangkan perilaku seksual berisiko
adalah variabel dependen yang dikategorikan sebagai perilaku seksual berisiko
atau tidak berisiko. Variabel confounding dalam kerangka konsep ini adalah usia,
jenis kelamin, paparan media informasi, dan teman sebaya.

35
Universitas Indonesia
Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
36

Variabel Independen Variabel dependen

Pengetahuan tentang Perilaku Seksual pada


kesehatan reproduksi: remaja:
Baik Berisiko
Cukup Tidak berisiko
Kurang

Faktor yang memengaruhi:


- Usia
Pola Asuh Orangtua: - Jenis kelamin
(Dimensi pengendalian - Teman sebaya
dan penerimaan) - Paparan media informasi
Authoritarian
Authoritative
Permissive
Neglected/ uninvolved

Skema 3.1 Kerangka konsep

Keterangan:

: variabel yang diteliti

: diteliti hubungannya

: tidak diteliti hubungannya

3.2. Hipotesis penelitian


Hipotesis dalam penelitian ini dirancang dengan tujuan memberikan jawaban
sementara atas pertanyaan penelitian. Menurut Dharma, K. (2015), Hipotesis
adalah suatu jawaban sementara untuk menjawab pertanyaan penelitian. Adapun
hipotesis dari penelitian ini adalahterdapat hubungan antara pengetahuan tentang
kesehatan reproduksi dengan perilaku seksual berisiko dan terdapat hubungan
antara pola asuh orang tua dengan perilaku seksual berisiko pada remaja di SMA
Swasta Tangerang.

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
37

3.3 Definisi operasional


Definisi operasional adalah definisi yang berdasarkan pada karakteristik yang
dapat diamati dan dapat diukur dari sesuatu yang didefinisikan (Nursalam,
2015). Variabel adalah karakteristik yang terdapat dalam populasi yang
bervariasi antara satu dengan yang lainnya secara bersama-sama diteliti
dalam suatu penelitian (Dharma K., 2015). Definisi operasional membuat
variabel yang akan diteliti menjadi lebih jelas dan dapat diukur. Dibawah ini
adalah penjelasan definisi operasional dalam penelitian.:

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
38

Tabel 3.1 Definisi Operasional


Variabel Definisi operasional Cara dan alat ukur Hasil ukur Skala ukur

Usia Lama hidup seseorang Dituliskan angka Dinyatakan dalam tahun Interval
dari lahir sampai sesuai usia dalam Rentang usia 15-18
sekarang kuesioner

Jenis Kelamin Ciri biologis yang Mengisi kuesioner 1. Laki-laki Nominal


dimiliki responden tentang jenis 2. Perempuan
kelamin

Pengetahuan remaja Pengertian Kuesioner Skor tingkat pengetahuan Ordinal


tentang kesehatan perkembangan fisik, Menggunakan dengan kategori:
reproduksi remaja psikis, kematangan pertanyaan sebanyak
seksual remaja, 40 item dengan 76-100% = baik
pengertian organ jawaban benar atau 56-75% = cukup
reproduksi. salah 40-55% = kurang
Jenis dan fungsi serta Jawaban benar (Arikunto, 2006)
pemeliharaan dan sesuai dengan kunci
perawatan, pengertian jawaban mendapat
siklus menstruasi, skor 1 jawaban salah
kehamilan, masturbasi, mendapat skor 0
mimpi basah, nilai tertinggi 40
pengertian HIV/ AIDS terendah 0
dan IMS, gejala, jenis
penularan, pencegahan
dan pengobatan HIV/
AIDS dan IMS

Pola asuh orang tua Interaksi antara orang Kuesioner yang Nilai tertinggi untuk Nominal
tua dengan anak yang dipergunakan dimensi penerimaan = 100
diwujudkan dengan merupakan dengan nilai < 50
cara mendidik dan modifikasi dari alat =penerimaan rendah.
memantau pertumbuhan ukur gaya Nilai > 50 = penerimaan
dan perkembangan pengasuhan berupa tinggi
remaja 40 pernyataan
dengan skala likert 5 Nilai tertinggi dimensi
5 selalu, 4 sering, 3 pengendalian = 100 dengan
jarang, 2 pernah, 1 nilai <50= pengendalian
tidak pernah rendah, nilai > 50=
pengendalian tinggi
40 pernyataan
tersebut terdiri Interpretasi:
pernyataan dimensi Jika nilai pengendalian
penerimaan tinggi, penerimaan rendah
sebanyak 20 = authoritarian
pernyataan dan Jika nilai pengendalian
dimensi tinggi, penerimaan tinggi =
pengendalian authoritative

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
39

Variabel Definisi operasional Cara dan alat ukur Hasil ukur Skala ukur

(controlling) Jika nilai pengendalian


sebanyak 20 rendah, penerimaan tinggi
pernyataan. = permisif

Jika nilai pengendalian


rendah, penerimaan rendah
= uninvolved

Media Informasi Paparan terkait konten Kuesioner terdiri Menggunakan cut of point Ordinal
pornografi melalui dari 8 pernyataan. median: 1= tidak terpapar,
media elektronik Pernyataan negative total skor berdasarkan
maupun cetak dengan selalu nilai median ≤10
4, sering 3, jarang 2,
dan tidak pernah 1, 2= terpapar: total skor
atau sebaliknya berdasarkan median
>10

Teman sebaya Perbuatan teman sebaya Kuesioner terdiri Menggunakan cut of point Ordinal
yang mempunyai dari 4 pernyataan, median: 1= tidak
kekuatan menimbulkan menggunakann terpengaruh, total skor
pengaruh terkait skala Guttman berdasarkan median <3
perilaku seksual pernyataan positif
berisiko jika jawaban ya= 1, 2= terpengaruh: total skor
tidak= 0 dan berdasarkan median >3
sebaliknya

Perilaku Seksual Suatu kegiatan yang Kuesioner meliputi Komposit dari 3 domain Ordinal
Berisiko dilakukan remaja domain perilaku, yaitu:
berupa tindakan seks pengetahuan, sikap, 1= tidak berisiko: total skor
bebas yang pernah dan praktik berdasarkan median >
dilakukan untuk menggunakan cut of 115,50
mencapai kepuasan point median 2= berisiko: total skor
seksual berdasarkan median ≤
115,50

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN

Bab ini menjelaskan tentang metodologi yang digunakan dalam penelitian yaitu
mencakup desain penelitian, populasi dan sampel, tempat penelitian, waktu
penelitian, etika penelitian, instrumen penelitian, prosedur pengumpulan data,
prosedur pengolahan data, dan analisis data.

4.1. Desain penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang menggunakan desain penelitian
analitik korelatif. Desain ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan antara
variabel dependen dan independen yang akan diteliti. Pendekatan yang akan
dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan crosssectional, dimana
pengambilan data terkait beberapa variabel penelitian dilakukan dalam satu waktu
yang sama (Dharma K. , 2015). Tujuan dari penelitian ini untuk mengidentifikasi
hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan pola asuh orang tua yang
merupakan variabel independen dengan perilaku seksual berisiko yang merupakan
variabel dependen.

4.2. Populasi dan Sampel Penelitian

4.2.1. Populasi
Populasi adalah sejumlah besar subjek yang memiliki karakteristik tertentu
(Sastroasmoro, 2014). Populasi target adalah unit dimana suatu hasil penelitian akan
diterapkan namun karena karakteristik demografi, waktu, dan dana yang terbatas
sehingga tidak dapat menjangkau populasi. Berdasarkan alasan itu maka peneliti
menggunakan populasi terjangkau dengan tetap menampilkan karakteristik populasi
target (Dharma K. , 2015). Populasi yang digunakan pada penelitian ini adalah
Remaja di SMA Swasta kelas X dan XI Kota Tangerang.

40
Universitas Indonesia
Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
41

4.2.2. Sampel
Sampel penelitian adalah unit yang lebih kecil atau sekelompok individu yang
merupakan bagian dari populasi terjangkau dimana peneliti langsung mengumpulkan
data atau melakukan pengamatan/ pengukuran. Sampel yang digunakan pada
penelitian ini adalah remaja di SMA Swasta Kota Tangerang dengan kriteria inklusi
sebagai berikut:

a. Remaja berusia 15-18 tahun


b. Status aktif sebagai siswa/i kelas X dan XI
c. Bersedia menjadi responden
d. Memiliki orang tua yang tinggal dalam satu rumah

4.2.3 Estimasi Besar Sampel

Besarnya sampel yang digunakan dalam penelitian ini dihitung dengan menggunakan
rumus Slovin dengan populasi yang telah diketahui (Nursalam, 2015):
𝑁
𝑛=
𝑁. 𝑑 2 + 1

Keterangan
N = Jumlah populasi
n = Jumlah sampel
d = Presisi mutlak (derajat penyimpangan terhadap populasi yang
diinginkan 10% = 0,1).

578
𝑛= = 85,25 dibulatkan menjadi 85 siswa
( 578 𝑥 0,12 )+1

Untuk mengantisipasi terjadinya drop out dalam proses penelitian maka peneliti
menambah 10% dari besar sampel, dihitung menggunakan rumus koreksi jumlah
sampel yaitu (Sastroasmoro & Ismael, 2008):

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
42

𝑛
𝑛=
1−f
Keterangan:
n’ : besar sampel yang telah dikoreksi
n : jumlah sampel berdasarkan perhitungan sebelumnya
f : prediksi persentase sampel yang drop out (10%)
(Sastroasmoro & Ismael, 2008)
85
𝑛=
1 − 0,1
𝑛 = 94

Dari perhitungan rumus di atas didapatkan estimasi besar sampel yang diteliti
ialah 85 remaja. Dengan penambahan drop out 10% untuk mengantisipasi
adanya kesalahan maka total sampel menjadi 94 remaja. Pada penelitian ini
peneliti mendapatkan remaja sebanyak 100 siswa.

4.2.4 Teknik pengambilan sampel


Untuk menentukan jumlah sampel tiap kelas menggunakan metode non
probability sampling dengan teknik convenience sampling. Sampel untuk kedua
sekolah dibagi secara proporsional menggunakan cara perhitungan jumlah
sampel:

Jumlah sampel tiap kelas


= Jumlah anggota dalam populasi X Jumlah sampel
Jumlah total anggota populasi

Tabel 4. 1 Pembagian Sampel


Jumlah siswa Jumlah sampel
SMA X 339
Kelas X 170 20
Kelas XI 169 30
SMA Y 239
Kelas X 74 20
Kelas XI 165 30
Total responden 100

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
43

4.3 Tempat dan waktu penelitian


Penelitian dilakukan di SMA X dan SMA Y di Kota Tangerang pada bulan Juni
2017. Tempat ini dipilih berdasarkan angka kejadian kenakalan remaja cukup tinggi.
Penelitian ini menggunakan metode non probability sampling dengan teknik
convenience sampling.

4.4 Etika penelitian

Prinsip dasar etika penelitian ini terdiri dari empat prinsip utama (Burns & Grove,
2011; Polit & Beck, 2012; Dharma K. , 2015)

4.4.1. Beneficence
Prinsip etik ini mengandung pengertian bahwa setiap penelitian harus mengutamakan
manfaat yang sebesar-besarnya bagi remaja, mencegah terjadinya kerugian. Prinsip
beneficence terdiri dari hak untuk bebas dari kerugian (nonmaleficence). Manfaat
yang diterima oleh remaja di SMA Swasta adalah mendapatkan gambaran tingkat
pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi baik bagi siswa laki-laki maupun
perempuan.

4.4.2. Respect for Human Dignity


Penelitian ini dilakukan dengan tetap menjunjung tinggi harkat dan martabat individu
dalam hal ini remaja. Remaja memiliki hak untuk berpartisipasi menjadi responden
atau tidak. Peneliti tidak memaksa dengan melakukan penekanan tertentu agar siswa
mau ikut serta dalam penelitian. Peneliti juga memberikan informasi yang jelas
terkait pelaksanaan penelitian yang terdiri dari tujuan dan manfaat penelitian bagi
siswa yaitu siswa mampu mendapat gambaran mengenai perilaku berisiko dan dapat
mencegahnya, prosedur penelitian, keuntungan yang mungkin didapat. Dalam prinsip
ini peneliti meminta persetujuan dilakukan penelitian dengan proses informed consent
dengan menyampaikan surat permohonan persetujuan untuk ditanda tangani siswa.

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
44

4.4.3. Justice
Prinsip keadilan yang dilakukan peneliti adalah dengan memperlakukan siswa dengan
adil sebagai responden sebelum, selama, dan sesudah penelitian tanpa mendapatkan
perlakuan diskriminatif dan peneliti bersifat terbuka, jujur, tepat, cermat. Semua
siswa mendapat perlakuan adil tanpa membedakan jenis kelamin, agama, etnis, ras
tertentu.

4.4.4. Respect for privacy and confidentiality


Peneliti menjaga kerahasiaan informasi dari responden dengan cara mencantumkan
hanya inisial responden dan identitas pribadi dengan kode agar segala informasi yang
menyangkut identitas tidak terpapar secara luas dan setiap informasi yang didapat
dijamin kerahasiaannya oleh peneliti dan hanya digunakan untuk kepentingan
pengambilan data.

4.5 Alat pengumpulan data


Mengumpulkan data merupakan hal yang sangat menentukan dalam sebuah
penelitian. Pemilihan instrumen yang tepat dan sesuai akan memberikan hasil yang
memuaskan dan mengurangi bias. Pengumpulan data ini diambil langsung oleh
peneliti dengan memberikan kuesioner yang terdiri dari 5 bagian yaitu kuesioner
demografi, kuesioner pengetahuan kesehatan reproduksi, pola asuh orang tua,
perilaku seksual pada remaja, paparan media informasi, dan pengaruh teman sebaya.

4.5.1. Data Demografi (Kuesioner A)

Kuesioner data demografi untuk siswa terdiri dari usia, jenis kelamin yang
merupakan data primer dengan mengisi salah satu jawaban yang disediakan
disampingnya dengan memberikan tanda (√) pada kolom yang disediakan.

4.5.2. Pengukuran pengetahuan tentang kesehatan reproduksi (Kuesioner B)


Kuesioner pengetahuan remaja mengenai kesehatan reproduksi menggunakan
kuesioner yang sudah valid dan reliabel dan sudah dipakai untuk meneliti remaja di
Kelurahan Kemiri Muka Depok (Achjar, 2006). Hasil uji validitas, menunjukan nilai

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
45

r hitung > 0,361. Pengukuran reliabilitas dilakukan dengan caraone shot (diukur
sekali saja). Hasil uji didapatkan r alpha = 0,8928 (0,8928> 0,361).

Kuesioner ini berisi 40 pertanyaan dengan jawaban benar atau salah. Skor tertinggi
adalah 40 dan terendah adalah 0. Jadi terdapat 40 pertanyaan yang dikatakan valid
dan reliabel (Achjar, 2006). Pengetahuan remaja mengenai kesehatan reproduksi
remaja dinilai melalui kuesioner yang mencakup pertanyaan berikut dibawah ini.

Tabel 4.2 Kisi-Kisi Kuesioner Pengetahuan Kesehatan Reproduksi


No Variabel Distribusi Pertanyaan
1 Pertanyaan pengetahuan Kesehatan Reproduksi 40 pertanyaan
A Perkembangan fisik, psikis dan kematangan seksual 4, 11, 18, 25, 32
B Pengetahuan mengenai organ reproduksi 1, 6, 13, 20, 27, 34, 39
C Menstruasi dan kehamilan 3, 8, 10, 15, 17, 22, 24, 29, 31,
36
D Masturbasi dan mimpi basah 5, 12, 19, 26, 38
E Perilaku seks yang sehat dan bertanggung jawab 7, 14, 21, 33, 40
F HIV/ AIDS dan infeksi menular seksual 2, 9, 16, 23, 28, 30, 35, 37

Kunci jawaban (Kuesioner B) Nomor pertanyaan


Benar 5, 7, 8, 10, 11, 12, 15, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 28,
31, 33, 32, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40
Salah 1, 2, 3, 4, 6, 9, 13, 14, 16, 18, 19, 20, 29, 30

4.5.3. Pengukuran pola asuh orang tua (Kuesioner C)


Kuesioner yang digunakan untuk mengukur pola asuh ini menggunakan kuesioner
yang dikembangkan dari alat ukur gaya pengasuhan Baumrind (1983) dan Maccoby&
Martin (1997) yang dipakai dan telah diuji oleh Mashoedi, (2003) dalam
penelitiannya yang mengaitkan gaya pengasuhan dengan gaya atribusi mahasiswa
dalam mencapai prestasi akademik. Kuesioner ini terdiri dari dua dimensi yang
dinilai yaitu dimensi pengendalian (demandingness) dan penerimaan
(responsiveness).

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
46

Kedua dimensi ini terdiri dari 40 item pernyataan yang dibagi ke dalam masing-
masing 20 item dimana remaja diminta untuk menentukan jawaban berdasarkan
seberapa sering remaja menerima gaya pengasuhan dari orang tua. Dimensi
pengendalian terdiri dari 20 item dan dimensi penerimaan terdiri dari 20 item.
Kuesioner ini dinyatakan reliabel dengan nilai reabilitas untuk dimensi pengendalian
adalah 0.83 dan untuk dimensi penerimaan indeks reabilitasnya 0.93 maka dapat
disimpulkan bahwa alat ukur baik digunakan dalam penelitian (Mashoedi, 2003).

Item yang bernomor ganjil merupakan item positif (favorable) dan yang genap
merupakan item negatif (unfavorable). Skala yang digunakan adalah skala Likert
dengan skor 1 untuk jawaban tidak pernah (TP), skor 2 untuk jawaban pernah (P),
skor 3 untuk jawaban jarang (J), skor 4 untuk jawaban kadang-kadang (K), skor 5
untuk jawaban selalu (S).

Tabel 4.3 Kisi-kisi kuesioner pola asuh orangtua


Dimensi Indikator Item
Pengendalian - Penegakan standar dan aturan - 1, 9, 13, 17, 22, 25, 33,
yang jelas 38
- Mengawasi tingkah laku dengan - 2, 6, 14, 18, 21, 26, 30,
ketat 37
- kepatuhan tanpa pertanyaan atau - 5, 10, 29. 34
menentang
Penerimaan - responsive terhadap kebutuhan - 3, 4, 11, 12, 28
dan hak anak
- membantu anak dalam segala hal - 7, 8, 15, 19, 20, 27, 31
- memberikan afeksi - 16, 23, 24, 32, 35, 36, 39,
40

4.5.4. Pengukuran Perilaku seksual berisiko (Kuesioner D)


Kuesioner perilaku seksual remaja terdiri dari pengetahuan tentang kesehatan
reproduksi dan seksualitas, sikap terhadap perilaku seksual, dan praktik seksual.
Kuesioner ini telah diuji dan dipakai di Indonesia oleh peneliti Oktaviani, (2015)
dalam tesisnya yang berjudul “ Hubungan Fungsi Afektif Keluarga dengan Perilaku
Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
47

Seksual Berisiko pada Aggregate Remaja di Kelurahan Sukatani, Depok”.


Pengetahuan tentang perilaku seksual berisiko menggunakan skala Guttman dengan
pilihan jawaban benar atau salah yang terdiri dari 12 pertanyaan yang digunakan
untuk mengukur pengetahuan dan pemahaman siswa tentang perilaku seksual yang
berisiko.

Pada kuesioner domain pengetahuan terdapat item pertanyaan untuk kunci jawaban
salah yang mendapat skor yaitu item pertanyaan nomor 1, 5, 8, 9, dan 12. Komponen
pengetahuan terdapat 12 item pernyataan. Hasil uji reabilitas untuk komponen
pengetahuan ini adalah r alpha 0.888 sehingga instrumen ini baik digunakan untuk
penelitian (Oktaviani, 2015).

Pengukuran domain sikap menggunakan skala Likert yang terdiri dari 15 pertanyaan
terkait perilaku seksual berisiko dengan pilihan jawaban sangat setuju, setuju, kurang
setuju, dan tidak setuju. Pada pernyataan domain sikap terdapat item pernyataan yang
memiliki nilai positif yaitu item soal nomor 8, 11, dan 13 sehingga dalam
penghitungan skor skala likert berlaku sebaliknya. Komponen sikap terdiri dari 15
item pernyataan. Hasil uji reabilitas untuk komponen sikap seksual r alpha 0.824
sehingga instrumen ini baik untuk digunakan dalam penelitian.

Pengukuran praktik seksual terdiri dari 15 pernyataan dengan menggunakan skala


likert yaitu selalu, sering, jarang, dan tidak pernah dengan skor tertinggi 4 adalah
jawaban tidak pernah. Pada komponen praktik tentang seksual terdapat 15 item
pernyataan. Uji reabilitas untuk komponen praktik memiliki hasil r alpha 0.824
sehingga instrumen ini dapat digunakan untuk penelitian (Oktaviani, 2015).

4.5.5. Pengukuran komponen media dan teman sebaya (Kuesioner E)


Kuesioner mengenai media informasi dan teman sebaya telah dipergunakan oleh
peneliti Oktaviani, (2015) dalam tesisnya yang berjudul “Hubungan fungsi Afektif
Keluarga dengan Perilaku Seksual Berisiko pada Aggregate Remaja di Kelurahan
Sukatani Depok”. Kuesioner yang terdiri dari 8 pertanyaan untuk variabel paparan
media informasi dengan pilihan jawaban selalu, sering, jarang, tidak pernah. Empat

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
48

pernyataan untuk variabel pengaruh teman sebaya dengan pilihan jawaban ya dan
tidak. Kuesioner untuk paparan media dan pengaruh teman sebaya dinyatakan valid
setelah dilakukan uji keterbacaan dan reliabel dengan nilai r alpha 0, 926 (Oktaviani,
2015).

4.6 Prosedur pengumpulan data


Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang didapatkan dari
jawaban pengisian kuesioner yang diisi oleh responden secara mandiri. Langkah
pertama yang dilakukan peneliti adalah mengajukan surat permohonan izin penelitian
kepada pihak fakultas untuk melakukan penelitian di SMA X dan Y di Kota
Tangerang setelah itu peneliti meminta ijin ke Dinas Pendidikan Kota Tangerang
UPT SMA/SMK untuk melakukan penelitian di SMA X dan Y.

Peneliti meminta ijin pada kepala sekolah SMA X dan Y untuk melakukan penelitian
dengan memberikan kuesioner dan membagikan kuesioner pada siswa.Peneliti
meminta persetujuan untuk melakukan penelitian dengan cara meminta responden
untuk mengisi lembar persetujuan sebagai responden dengan proses informed
consent.

Peneliti memberikan kuesioner dan memberikan kesempatan untuk mengisi kuesioner


kurang lebih 10-15 menit setelah selesai diisi. Peneliti mengumpulkan kuesioner yang
telah diisi dengan memperhatikan dan memeriksa ulang kelengkapan pengisian,
setelah itu memberikan tanda terimakasih pada tiap siswa.

4.7 Pengolahan dan Analisa data

4.7.1. Pengolahan data


Data-data yang sudah terkumpul kemudian dilakukan pengolahan data untuk
mendapatkan hasil penelitian sesuai dengan tujuan penelitian. Pengolahan data
dilakukan secara manual terlebih dahulu dan kemudian dilakukan dengan program
komputerisasi. Untuk dapat mengolah data dengan baik data-data yang dikumpulkan

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
49

diperiksa terlebih dahulu sesuai atau tidaknya dengan melakukan editing, coding,
entrydan cleaning data.

Pada proses editing, peneliti memeriksa kelengkapan isi kuesioner dan jumlah
kuesioner yang dikumpulkan. Selanjutnya adalah tahap coding, peneliti memberikan
kode pada masing- masing data sehingga memudahkan dalam pemasukan data dan
pengolahan data. Setelah itu dilakukan proses entry, peneliti memasukan semua data
yang diperoleh ke dalam program komputer untuk selanjutnya dilakukan analisis
data. Tahap akhir adalah cleansing, dimana data yang sudah dimasukkan ke dalam
program komputer diperiksa kembali untuk melihat kemungkinan terdapat kesalahan
kode, ketidaklengkapan data kemudian dibandingkan dengan standar penelitian, data
yang tidak sesuai dilakukan pembersihan. Pada tahap ini, peneliti baru melakukan
pengolahan data setelah memastikan semua data dan bebas dari kesalahan.

4.7.2. Analisis Data


Analisis data merupakan tahap dimana data yang telah diperoleh diolah dan dianalisis
sesuai dengan jenis masalah penelitian. Jenis deskriptif kategorik dianalisis dengan
hasil berupa frekuensi dan persentase yang ditampilkan dalam bentuk tabel (Dahlan,
2012). Data dalam penelitian ini dianalisis dengan analisis univariat dan
bivariatsesuai dengan tujuan penelitian. Uji normalitas dari data dalam penelitian ini
menggunakan histogram dan Kolmogorov-smirnov dan didapatkan hasil distribusi
data yang tidak normal (p=000) sehingga menggunakan median untuk uji statistik
pada variabel jenis data kategorik

4.7.2.1. Analisis univariat

Analisis univariat merupakan analisis deskriptif yang digunakan untuk menjelaskan


karakteristik tiap variabel dalam sebuah penelitian. Variabel yang diteliti secara
univariat adalah usia, jenis kelamin , paparan media informasi dan pengaruh teman
sebaya, pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, pola asuh orang tua remaja, dan
perilaku seksual remaja.

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
50

Tabel 4.4 Analisis Univariat


Variabel Jenis Data Uji statistik
Karakteristik siswa
Usia Numerik Median
Jenis kelamin Kategorik Proporsi
Media informasi Kategorik Proporsi
Teman sebaya Kategorik Proporsi
Pengetahuan tentang kesehatan Kategorik Proporsi
reproduksi
Pola Asuh orang tua Kategorik Proporsi
Perilaku seksual berisiko Kategorik Proporsi

4.7.2.2. Analisis bivariat

Jenis analisis ini dinilai dengan melihat hubungan antara dua variabel penelitian yang
bersangkutan yaitu variabel dependen dan independen. Analisis bivariat dalam
penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan dari variabel pengetahuan kesehatan
reproduksi dan pola asuh orang tua dengan variabel perilaku seksual berisiko.
Sebelum dilakukan uji korelasi, peneliti melakukan uji normalitas terhadap variabel
pengetahuan kesehatan reproduksi, pola asuh orang tua, dan perilaku seksual berisiko
dengan menggunakan histogram dan Kolmogorov-smirnov. Hasil yang didapat adalah
semua variabel memiliki distribusi data tidak normal (p=000) sehingga dilakukan
analisis nonparametric. Variabel yang diuji bivariat berupa data kategorik dengan
skala ordinal, sehingga dapat dianalisis dengan uji Spearman rank digunakan untuk
data variabel kategorik baik variabel independen maupun dependen.

Tabel 4.5 Analisis bivariat


No Variabel Jenis Data Uji Statistik
1 Pengetahuan kesehatan reproduksi kategorik Uji Spearman rank
2 Pola asuh orang tua kategorik Uji Spearman rank
6 Perilaku seksual berisiko kategorik Uji Spearman rank

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
51

4.8. Sarana penelitian


Penelitian ini menggunakan berbagai macam sarana untuk menunjang selesainya
penelitian ini. Sarana yang digunakan dalam penelitian ini antara lain komputer,
software statistic, internet, textbook, perpustakaan, meja belajar, alat tulis, printer,
kertas, dan jurnal penelitian

4.9.Jadwal Kegiatan
Tabel 4.6 Jadwal Kegiatan
Kegiatan Feb Mar April Mei Juni Juli Agst
Penyusunan proposal
Seminar Proposal
Uji Validitas dan Reliabilitas
Kaji etik penelitian
Pelaksanaan penelitian
Pengolahan dan analisa data
Penyusunan laporan skripsi
Sidang Skripsi
Revisi
Pengunggahan karya ilmiah

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
52

BAB 5

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan pada remaja di SMA Swasta Kota Tangerang. Pengambilan
data dilaksanakan mulai tanggal 31 Mei 2017 hingga 6 Juni 2017 pada siswa berusia
15-18 tahun, tinggal bersama orang tua untuk mengetahui hubungan pengetahuan
kesehatan reproduksi dan pola asuh orang tua dengan perilaku seksual berisiko. Bab
ini terdiri dari hasil analisis univariat berupa gambaran karakteristik responden,
gambaran pengetahuan siswatentang kesehatan reproduksi, gambaran pola asuh orang
tua siswa, dan gambaran perilaku seksual berisiko pada siswa serta hasil analisis
bivariat dari variabel independen yaitu pengetahuan siswa tentang kesehatan
reproduksi dan pola asuh orang tua dengan variabel dependen yaitu perilaku seksual
berisiko pada remaja di SMA Swasta Kota Tangerang.

5.1 Analisa Univariat


Hasil analisa univariat dalam penelitian ini meliputi karakteristik remaja yang juga
merupakan variabel confounding dan variabel independen yaitu pengetahuan
kesehatan reproduksi dan pola asuh serta perilaku seksual berisiko sebagai variabel
dependen.

5.1.1 Karakteristik Remaja


Tabel 5.1
Distribusi Frekuensi Karakteristik Usia pada Remaja di SMA Swasta Kota
Tangerang Bulan Juni 2017(n=100)

Karakteristik Mean Median SD Min-Max CI 95%


Usia (tahun) 16,34 16,00 0,67 15-18 16,21-16,47
*SD: Standar Deviasi
Tabel 5.1.menunjukan rerata usia remaja adalah 16 tahun dengan usia minimal 15
tahun dan maksimal 18 tahun.

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
53

Tabel 5.2
Distribusi Frekuensi Karakteristik Remaja di SMA Swasta Kota Tangerang
bulan Juni 2017(n=100)

Karakteristik Frekuensi Proporsi


(n) (%)
Jenis Kelamin
Laki-Laki 49 49
Perempuan 51 51
Paparan media
Terpapar 57 57
Tidak terpapar 43 43
Teman sebaya
Terpengaruh 33 33
Tidak terpengaruh 67 67

Tabel 5.2 diatas menggambarkan karakteristik remaja berdasarkan jenis kelamin,


paparan media, dan teman sebaya diketahui bahwa mayoritas remaja berjenis kelamin
perempuan. Paparan media informasi dan teman sebaya didapatkan hasil mayoritas
remaja terpapar media informasi mengenai perilaku seksual namun mayoritas tidak
terpengaruh dengan teman sebaya terkait perilaku seksual.

5.1.2 Gambaran Pengetahuan tentang Kesehatan Reproduksi


Tabel 5.3
Distribusi Frekuensi Pengetahuan Kesehatan Reproduksi pada Remaja di SMA
Swasta Kota Tangerang bulan Juni 2017 (n=100)

Variabel Frekuensi (n) Proporsi (%)


Pengetahuan
Baik 13 13
Cukup 61 61
Kurang 26 26

Tabel 5.3 menjelaskan gambaran pengetahuan tentang kesehatan reproduksi pada


remaja mayoritas memiliki pengetahuan yang cukup mengenai kesehatan reproduksi.

5.1.3 Gambaran Pengetahuan Kesehatan Reproduksi berdasarkan Komponen


Pengetahuan Perkembangan Fisik, Psikis dan Kematangan Seksual, Organ
Reproduksi, Menstruasi dan Kehamilan, Masturbasi dan Mimpi Basah, Perilaku
Seksual, dan HIV/ AIDS serta Infeksi Menular Seksual.

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
54

Secara lebih rinci pengetahuan kesehatan reproduksi terbagi menjadi beberapa


komponen. Hasil distribusi frekuensi pengetahuan remaja berdasaran komponen
diatas disajikan dalam tabel berikut ini
Tabel 5.4
Gambaran Pengetahuan Kesehatan Reproduksi berdasarkan Komponen
Pengetahuan pada Remaja di SMA Swasta Kota Tangerang bulan Juni 2017
(n=100)
Variabel Frekuensi Proporsi (%)
Komponen Pengetahuan Perkembangan Fisiki, Psikis, dan
Kematangan Seksual
Pengetahuan Baik 53 53
Pengetahuan Cukup 35 35
Pengetahuan Kurang 12 12
Komponen Pengetahuan Tentang Organ Reproduksi
Pengetahuan Baik 36 36
Pengetahuan Cukup 27 27
Pengetahuan Kurang 37 37
Komponen Pengetahuan Tentang Menstruasi dan
Kehamilan
Pengetahuan Baik 33 33
Pengetahuan Cukup 26 26
Pengetahuan Kurang 41 41
Komponen Pengetahuan Tentang Masturbasi dan Mimpi
Basah
Pengetahuan Baik 8 8
Pengetahuan Cukup 70 70
Pengetahuan Kurang 22 22
Komponen Pengetahuan Tentang Perilaku Seksual
Pengetahuan Baik 12 12
Pengetahuan Cukup 75 75
Pengetahuan Kurang 13 13
Komponen Pengetahuan Tentang HIV/AIDS dan IMS
Pengetahuan Baik 31 31
Pengetahuan Cukup 35 35
Pengetahuan Kurang 34 34

Tabel 5.4 Berdasarkan tabel tersebut, mayoritas remaja memiliki pengetahuan yang
baik tentang komponen perkembangan fisik, psikis, dan kematangan seksual dan
mayoritas memiliki pengetahuan yang cukup tentang komponen Masturbasi, mimpi
basah, perilaku seksual yang aman dan bertanggung jawab serta pengetahuan tentang

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
55

HIV/ AIDS dan IMS akan tetapi remaja memiliki pengetahuan yang kurang mengenai
komponen tentang organ reproduksi dan menstruasi serta kehamilan.

5.1.3 Gambaran Pola Asuh Orang Tua


Tabel 5.5
Distribusi Frekuensi Pola asuh Orang Tua pada Remaja di SMA Swasta Kota
Tangerang Bulan Juni 2017 (n=100)

Variabel Frekuensi (n) Proporsi(%)


Pola Asuh
Authoritative 99 99
Authoritrian 0 0
Permissive 0 0
Neglected 1 1

Berdasarkan tabel 5.5, mayoritas pola asuh yang diterapkan oleh orang tua siswa
adalah pola asuh authoritative. Pola asuh ini menerapkan keseimbangan antara
dimensi pengendalian dan penerimaan. Dari data juga terdapat satu remaja yang
mendapatkan pola asuh neglected dimana remaja mendapatkan pola pengasuhan
dengan pengendalian dan penerimaan yang rendah.

5.1.4 Gambaran Perilaku Seksual pada Remaja


Tabel 5.6
Distribusi Frekuensi Perilaku Seksual pada Remaja di SMA Swasta Kota
Tangerang Bulan Juni 2017 (n=100)

Variabel Frekuensi (n) Proporsi (%)


Perilaku seksual
Berisiko 57 57
Tidak berisiko 43 43

Data pada tabel 5.6 menunjukan bahwa remaja di SMA Swasta Kota Tangerang
mayoritas memiliki perilaku seksual berisiko. Perilaku seksual dalam penelitian ini
merupakan hasil dari ketiga domain yang dikompositkan menjadi satu dalam kategori
perilaku seksual remaja.

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
56

5.2 Analisis Bivariat

5.2.1Hubungan Pengetahuan Kesehatan Reproduksi dengan Perilaku Seksual


Berisiko
Tabel 5.7
Hubungan Pengetahuan Kesehatan Reproduksi dengan Perilaku Seksual
Berisiko pada Remaja di SMA Swasta Kota Tangerang Bulan Juni 2017 (n=100)

Variabel Perilaku seksual


Berisiko Tidak berisiko P value
n % N %
Tingkat pengetahuan 0,156*
Baik 3 23.1 10 76.9 0,087*
Cukup 33 54.1 28 45.9 0,187*
Kurang 14 53.8 12 46.2 0,922*
*p value>0,05

Hasil analisis hubungan pada penelitian ini menguraikan tentang hubungan antara
pengetahuan kesehatan reproduksi dengan perilaku seksual berisiko. Data
menunjukan bahwa remaja yang memiliki tingkat pengetahuan kurang terkait
kesehatan reproduksi mayoritas memiliki perilaku seksual berisiko dan remaja yang
memiliki tingkat pengetahuan baik mayoritas memiliki perilaku seksual tidak
berisiko. Data juga menunjukkan p value = 0,156 (α 0,05) artinya tidak terdapat
hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi dengan
perilaku seksual berisiko pada remaja di SMA Swasta Kota Tangerang. Hubungan
tiap kategori tingkat pengetahuan dianalisis dan didapatkan hasil yang menunjukan
tidak terdapatnya hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan baik, cukup,
dan kurang dengan perilaku seksual berisiko.

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
57

5.2.2 Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Perilaku Seksual Berisiko

Tabel 5.8
Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Perilaku Seksual Berisiko pada
Remaja di SMA SwastaKota Tangerang Bulan Juni 2017 (n=100)

Variabel Perilaku seksual


Berisiko Tidak berisiko p value
Pola Asuh N % n %
Authoritative 50 50.5 49 49,5

Authoritarian 0 0,0 0 0,0 0,252*

Permissive 0 0,0 0 0,0

Neglected 0 0,0 1 100


*p value >0.05

Hasil analisis hubungan antara pola asuh orang tua dengan perilaku seksual berisiko
pada siswa diperoleh data bahwa mayoritas remaja yang mendapatkan pola asuh
authoritative memiliki perilaku seksual berisiko (50,5%) dan satu siswa yang
mendapatkan pola asuh neglected memiliki perilaku seksual tidak berisiko. Hasil
analisis pada tabel diatas menunjukkan p value = 0.252 (α 0,05) artinya tidak terdapat
hubungan yang bermakna antara pola asuh orang tua dengan perilaku seksual berisiko
pada siswa SMA di Kota Tangerang.

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
58

BAB 6
PEMBAHASAN

Bab ini menjelaskan tentang pembahasan hasil penelitian yang terdiri dari interpretasi
hasil penelitian dan diskusi hasil untuk dibandingkan dengan konsep teori yang ada
dan hasil penelitian sebelumnya. Keterbatasan penelitianjuga diuraikan dalam bagian
iniserta implikasi penelitian yang membahas mengenai manfaat penelitian di bidang
pelayanan kesehatan dan penelitian selanjutnya.

6.1Interpretasi Hasil Penelitian dan Diskusi Hasil


Pembahasan ini dibagi menjadi dua bagian dimana bagian awal membahas tentang
analisis univariat dari karakteristik responden yang meliputi usia, jenis kelamin,
paparan media informasi, dan pengaruh teman sebaya dan analisis gambaran
pengetahuan siswa tentang kesehatan reproduksi, gambaran pola asuh orang tua
sebagai variabel independen dan perilaku seksual berisiko sebagai variabel dependen.
Bagian kedua membahas analisis bivariat yaitu meneliti hubungan pengetahuan
tentang kesehatan reproduksi dengan perilaku seksual berisiko dan hubungan pola
asuh orang tua dengan perilaku seksual berisiko pada siswa SMA.

6.1.1 Analisis karakteristik responden


Responden dalam penelitian ini adalah remaja di SMA Swasta dengan rentang usia
15-18 Tahun.Usia 15-18 tahun termasuk dalam kategori remaja tengah dengan
karakteristik secara fisik dan mental sudah lebih matang daripada fase remaja awal.
Usia remaja merupakan usia dimana individu sudah mengalami berbagai macam
perubahan baik fisik, psikis, emosional dan Masing-masing perubahan ini mengarah
kepada respon remaja dalam beradaptasi (Potter & Perry, 2009; Hockenberry &
Wilson, 2015). Usia remaja merupakan fase dimana seorangindividu berkembang
secara fisik dan psikologis dan usia memengaruhi remaja dalam berperilaku dan
membentuk identitas diri (Berman & Snyder, 2016).

Penelitian oleh Drago mengenai perilaku seksual pada remaja di Italia menjelaskan
bahwa remaja mulai terpapar aktivitas seksual sejak usia 15 Tahun (Drago, et al.,

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
59

2016). Sejalan dengan penelitian ini, terdapat penelitian yang dilakukan oleh Suwarni
di kota Pontianak terhadap 300 remaja, didapat data bahwa usia memengaruhi remaja
dalam menginisiasi perilaku seksual berisiko (Suwarni & Selviana, 2015). Usia
adalah karakteristik responden yang memengaruhi siswa dalam berperilaku. Selain
usia, karakteristik responden lainnya adalah jenis kelamin.

Penelitian yang dilakukan oleh Margaretha (2012)yang mengutip data dari SKKRI
Tahun 2007 mendapatkan data perilaku berisiko yang dilakukan remaja dari berbagai
wilayah di seluruh Indonesia bahwa dari seluruh perilaku berisiko yang diteliti,
remaja dengan jenis kelamin laki- laki memiliki presentase lebih tinggi daripada
perempuan untuk setiap perilaku berisiko.

Hasil penelitian sebelumnya yang sejalan dengan penelitian ini memberikan hasil
analisis bahwa jenis kelamin laki-laki lebih cenderung untuk memiliki perilaku
seksual berisiko karena karakteristik remaja dan tahap perkembangan remaja yang
cenderung mencari identitas diri sebagai bukti eksistensi (Nasution, 2012). Berbeda
halnya dengan penelitian yang mendukung perbedaan perilaku berdasarkan jenis
kelamin, Friedman (2010) menjelaskan bahwa pada dasarnya perilaku remaja laki-
laki dan perempuan tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Remaja pada dasarnya
memiliki perkembangan dan pertumbuhan fisik yang sama. Penyataan serupa
dinyatakan oleh Santrock (2007) bahwa setiap perubahan fisik yang dialami oleh
remaja laki-laki dan perempuan sama-sama memicu dan menimbulkan peluang untuk
melakukan perilaku seksual berisiko.

Perbedaan teori dengan hasil penelitian ini menggambarkan karakteristik lain dalam
diri remaja yang memengaruhi mereka dalam berperilaku termasuk perilaku seksual
berisiko. Disebutkan bahwa siswa laki-laki akan cenderung lebih aktif dalam
melakukan perilaku seksual berisiko karena secara garis besar dampak yang akan
diterima perempuan terkait perilaku seksual lebih merugikan perempuan. Perempuan
cenderung tidak mudah terangsang secara seksual dibandingkan laki-laki, hal ini

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
60

secara biologis memperkuat karakteristik jenis kelamin laki-laki lebih cenderung


melakukan perilaku seksual berisiko (Christopherson & Conner, 2012).

Hasil penelitian ini memaparkan bahwa dari 100 remaja terdapat mayoritas remaja
tidak terpengaruh dengan teman sebaya. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan
pernyataan Santrock (2007) yang mengemukakan bahwa teman sebaya cukup
berpengaruh sebagai lingkungan diluar keluarga yang membentuk perilaku remaja
karena sesuai tugas perkembangan, remaja memiliki keinginan untuk diterima di
lingkungan teman sebaya. Hal serupa dikemukakan oleh Hockenberry &
Wilson(2015), bahwa teman sebaya memengaruhi remaja dalam segala hal termasuk
cara berbicara, berpakaian, dan berperilaku sehingga teman sebaya ini sangat
berpengaruh terhadap kehidupan remaja. Sifat remaja yang sangat memerlukan
pengakuan teman sebaya, penerimaan, dan perasaan dibutuhkan ini menyebabkan
remaja rentan terhadap penolakan, pengabaian, dan kritik dari teman sebaya.

Hal serupa dinyatakan dalam penelitian yang menyatakan bahwa teman sebaya yang
kurang baik menjadi faktor eksternal penyebab kenakalan remaja termasuk perilaku
seksual berisiko. Seperti dikatakan dalam penelitian oleh Unayah & Sabarisman
(2015) bahwa kenakalan remaja itu dibagi ke dalam tiga tingkatan yaitu: (1)
kenakalan biasa seperti berkelahi, bolos sekolah, (2) kenakalan yang mengarah ke
kriminalitas seperti mencuri, melanggar lalu lintas, dan (3) kenakalan khusus seperti
penyalahgunaan narkoba dan perilaku seksual berisiko seperti hubungan seks bebas.

Terdapat juga studi yang dilakukan terhadap remaja yang menyatakan teman sebaya
dapat memengaruhi remaja untuk melakukan perilaku berisiko seperti minum
alkohol, menggunakan obat-obatan terlarang dan melakukan perilaku seksual
berisiko. Teman sebaya bisa mendukung remaja untuk melakukan hal yang positif
demikian juga sebaliknya, remaja dapat sangat mendukung remaja untuk hal yang
tidak bertanggung jawab (Carlos, et al., 2010). Penelitian lain yang menyatakan
bahwa teman sebaya berkontribusi besar dalam memengaruhi remaja dalam
berperilaku seksual. Penelitian yang dilakukan pada remaja di Indonesia memaparkan

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
61

bahwa teman sebaya memberi pengaruh remaja melakukan hubungan seksual


pranikah.Data ini tercantum dalam SKKRI Tahun 2007 yang menunjukkan data
bahwa teman sebaya yang melakukan perilaku berisiko menjadi faktor dominan yang
berhubungan dengan perilaku berisiko (Lestary & Sugiharti, 2011).

Dari beberapa penelitian terdahulu yang menyatakan hasil berbeda, terdapat


penelitian yang sejalan dengan penelitian ini yang menyatakan bahwa teman sebaya
tidak sepenuhnya memengaruhi perilaku seksual remaja dilihat dari hasil penelitian
pengaruh teman sebaya yang dikategorikan lemah dan kuat memiliki pengaruh yang
seimbang terhadap remaja dan perilakunya tidak mengarah pada perilaku seksual
berisiko (Putri & Ungsianik, 2012). Penelitian terhadap remaja latin juga menyatakan
bahwa teman sebaya bisa memengaruhi remaja dalam hal positif dan negatif (Carlos,
et al., 2010). Hal ini menunjukan bahwa mungkin terdapat faktor lain yang memberi
kontribusi lebih besar terhadap pembentukan perilaku seksual berisiko seperti
sekolah, keluarga, lingkungan, faktor perkembangan atau internal dari remaja itu
sendiri (Hurlock E. B., 2009; Putri, 2012).

Faktor lain yang mungkin lebih berkontribusi dalam pembentukan perilaku seksual
adalah media informasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas remaja
terpapar dengan media informasi terkait konten pornografi dan perilaku seksual
berisiko, sesuai dengan hasil penelitian ini, perilaku seksual berisiko yang dilakukan
didorong oleh diri sendiri maupun teman untuk mengakses konten pornografi. Sejalan
dengan penelitian pada remaja di Ethiopia yang menunjukkan bahwa transisi
teknologi yang ditunjukkan lewat mudahnya mengakses media informasi termasuk
konten pornografi membentuk perilaku remaja lebih berisiko (Mudzusi & Asgedom,
2016). Hal serupa dijelaskan dalam penelitian mengenai faktor yang mempengaruhi
perilaku seksual pranikah, didapatkan data bahwa mengakses video porno memicu
remaja untuk melakukan perilaku seksual berisiko seperti hubungan seks bebas.
Perilaku ini dilakukan oleh remaja dengan pengaruh obat-obatan dan minuman keras
(Kristanti, et al., 2010). Menurut penelitian ini, video porno dapat meningkatkan

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
62

rangsangan seksual, mengingat karakteristik remaja yang masih labil sehingga sangat
rentan terhadap paparan media informasi terkait konten pornografi.

Hal yang mungkin bisa dilakukan adalah melakukan pendekatan terhadap remaja dan
memberikan edukasi mengenai dampak media informasi yang tidak relevan.
Banyaknya remaja yang mulai difasilitasi media smartphone dapat mengakses apapun
termasuk konten pornografi. Seperti yang dikatakan dalam penelitian terhadap remaja
di seluruh Indonesia dinyatakan remaja mengakses video porno dan konten porno
lainnya dengan tujuan agar lebih tertarik untuk berhubungan seksual dengan
pasangannya sehingga salah satu faktor dominan yang berhubungan dengan perilaku
berisiko adalah media informasi (Lestary & Sugiharti, 2011).

6.1.2 Gambaran Tingkat Pengetahuan Tentang Kesehatan Reproduksi


Persentase tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi yang baik pada remaja hanya
mencapai 13% dan mayoritas memiliki pengetahuan yang cukup (61%). Hal ini dapat
terjadi mempertimbangkan jumlah remaja sebagian besar adalah perempuan sehingga
masih menganggap pertanyaan seputar perilaku seksual berisiko dan reproduksi
sebagai hal yang tabu.

Berdasarkan hasil penelitian dikemukakan bahwa remaja enggan untuk mencari


informasi yang benar mengenai pengetahuan kesehatan reproduksi karena rasa malu,
merasa risih, tidak tertarik, tetapi terdapat data bahwa remaja mencari informasi
mengenai pengetahuan kesehatan reproduksi bukan melalui orang yang tepat
melainkan melalui media informasi baik fisik maupun elektronik (Kaeran, 2007).
SDKI memaparkan data tingkat pengetahuan remaja mengenai kesehatan reproduksi
remaja. Data menunjukan bahwa pengetahuan remaja mengenai kesehatan reproduksi
belum memadai dan tempat pelayanan remaja belum tersosialisasi dengan baik
sehingga berdampak pada cara remaja untuk mencari informasi terkait hal itu. Data
juga menyebutkan bahwa remaja cenderung untuk mencari informasi dari teman
sebaya dan guru (PUSDATIN, 2015).

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
63

Hasil penelitian ini memaparkan mayoritas tingkat pengetahuan cukup yang dimiliki
oleh remaja bisa dikarenakan remaja tersebut mencari informasi mengenai
pengetahuan reproduksi dan perilaku seksual melalui teman sebaya terutama pada
siswa laki-laki yang cenderung lebih dekat dengan teman-teman sesuai dengan
tahapan perkembangan remaja dimana teman sebaya lebih penting dari hubungan
yang lainnya. Teman sebaya sebagai lingkungan terdekat setelah keluarga
memberikan pengaruh yang sangat dominan terhadap pembentukan perilaku dan
berpengaruh dalam memberikan informasi yang tepat bagi remaja (Lestary &
Sugiharti, 2011).

Penelitian ini juga menunjukan data bahwa terdapat 26% remaja yang memiliki
pengetahuan kurang terkait kesehatan reproduksi. Kurangnya pengetahuan yang
dimiliki remaja mungkin terjadi karena kurang terpapar oleh informasi yang tepat dan
dari sumber yang tepat pula. Penelitian yang dilakukan pada remaja di Australia
menyebutkan bahwa meskipun tingkat pengetahuan remaja tidak berpengaruh
langsung terhadap perilaku seksual berisiko pada remaja namun tingkat pengetahuan
ini dapat dijadikan dasar dalam remaja menentukan perilaku termasuk perilaku
seksual (Agius, Pitts, Smith, & Mitchell, 2010). Selain itu dalam penelitiannya,
Agius, Pitts, Smith, & Mitchell, (2010) mengatakan bahwa remaja dengan tingkat
pengetahuan yang tinggi mampu menjaga kesehatan diri secara umum maupun
kesehatan yang berhubungan dengan reproduksi. Hal ini menjelaskan bahwa dengan
tingkat pengetahuan yang kurang, remaja di SMA Swasta Kota Tangerang memiliki
kemungkinan untuk mengalami masalah kesehatan reproduksi sehingga perlu
diberikan edukasi dan penyuluhan yang komprehensif terkait dengan pengetahuan
kesehatan reproduksi.

Menurut Hasil Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia Tahun 2012 terdapat data
hanya 35,5% remaja perempuan dan 31,2% remaja laki laki dalam rentang usia 15-19
Tahun yang mengetahui tentang kesehatan reproduksi. Hasil penelitian ini juga
menggambarkan karakteristik remaja yang terdiri dari usia dan jenis kelamin dalam

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
64

kaitannya dengan tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi bahwa remaja


perempuan memiliki pengetahuan yang cukup dibandingkan dengan remaja laki-laki.

Penelitian ini membagi tingkat pengetahuan berdasarkan beberapa komponen. Data


yang didapat menunjukan bahwa mayoritas remaja memiliki pengetahuan yang baik
tentang komponen perkembangan fisik, psikis, dan kematangan seksual dan
mayoritas memiliki pengetahuan yang cukup tentang komponen masturbasi, mimpi
basah, perilaku seksual yang aman dan bertanggung jawab serta pengetahuan tentang
HIV/ AIDS dan IMS akan tetapi remaja memiliki pengetahuan yang kurang mengenai
komponen tentang organ reproduksi dan menstruasi serta kehamilan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap remaja di SMA Kabupaten Kuningan


didapatkan data bahwa pengetahuan yang komprehensif mengenai HIV/AIDS dan
IMS berkontribusi besar terhadap perilaku seksual pranikah pada remaja (Hadiyat,
2013) sehingga diperlukan upaya terus menerus untuk meningkatkan pengetahuan
tentang kesehatan reproduksi. Sejalan dengan penelitian ini, Hadiyat (2013)
mengemukakan pentingnya melaksanakan kegiatan PKPR di Puskesmas untuk
melakukan penyuluhan mengenai pengetahuan kesehatan reproduksi khususnya
ditekankan pada pengetahuan mengenai komponen yang masih kurang dipahami.

Data yang didapat dari penelitian ini adalahremaja memiliki pengetahuan yang
kurang pada komponen pengetahuan mengenai organ reproduksi dan masalah
menstruasi serta kehamilan. Penelitian sebelumnya yang dilakukan pada remaja di
Kota Depok menyatakan bahwa remaja perlu mengenal organ reproduksi baik laki-
laki ataupun perempuan agar dapat menjaga diri seiring dengan pertumbuhan dan
perkembangan yang dialami remaja (Achjar, 2006). Kurangnya pengetahuan remaja
mengenai organ reproduksi dan pengetahuan mengenai menstruasi dan kehamilan
memungkinkan remaja untuk mengalami kesulitan ketika terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan. Dampak yang mungkin terjadi ketika remaja tidak dibekali dengan

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
65

pengetahuan yang baik adalah terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan mengingat
sifat dan karakter remaja yang masih labil secara emosional (Margaretha, 2012).

Data yang menunjukkan bahwa remaja dalam penelitian ini memiliki pengetahuan
yang baik pada komponen pengetahuan fisik, psikis, dan kematangan seksual menjadi
dasar yang baik untuk remaja dapat berperilaku positif. Pengetahuan mengenai
perkembangan fisik psikis, dan kematangan seksual yang mungkin didapat di bangku
sekolah perlu terus ditingkatkan guna mencegah terjadinya perilaku seksual berisiko
karena pengetahuan saja belum cukup ketika tidak diimbangi dengan sikap yang
positif terhadap perilaku seksual berisiko. Seperti dinyatakan dalam penelitian pada
remaja di Kabupaten Kuningan, dikatakan bahwa pengetahuan saja tidak cukup
menjamin perilaku positif oleh karena itu diperlukan sikap positif agar remaja
memiliki perilaku yang tidak berisiko (Hadiyat, 2013).

Berdasarkan data RISKESDAS tahun 2013, prevalensi HIV terus meningkat dari
0,16% sampai dengan 0,43% di tahun 2013 dan terdapat data juga bahwa dari 10.203
kasus HIV dinyatakan 30% penderita HIV tersebut adalah remaja, hal ini mungkin
saja terjadi akibat kurangnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi yang
meliputi pemahaman tentang penyakit terkait organ reproduksi dan akibat aktivitas
seksual yang berisiko. Selain kasus HIV, angka kejadian IMS juga banyak dialami
oleh remaja dan dewasa muda. Di Amerika data memaparkan 50 % penderita IMS
kasus baru adalah remaja usia 15-24 tahun dan 1 dari 4 remaja yang secara seksual
aktif mengalami IMS jenis Chlamydia atau HPV(Centers for Disease Control and
Prevention, 2016).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa remaja memiliki pengetahuan yang cukup
mengenai HIV/AIDS dan IMS. Meskipun begitu, remaja perlu secara terus menerus
diberikan edukasi mengenai komponen ini mengingat proporsi remaja yang memiliki
perilaku berisiko mencapai 57% sehingga berisiko untuk terjangkit HIV/AIDS dan
IMS. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan pada remaja di Australia yang

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
66

memiliki pengetahuan cukup mengenai HIV/AIDS, IMS, dan Hepatitis namun tetap
memiliki perilaku seksual berisiko. Angka penggunaan kondom cukup baik
menunjukan hal positif sehingga dinilai dapat mencegah kehamilan dan penyebaran
penyakit (Agius, Pitts, Smith, & Mitchell, 2010).

Pentingnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dapat mencegah terjadinya


penyakit menular seksual. Penelitian di Karibia terhadap 14 remaja perempuan
menilai pengaruh pengetahuan terhadap sikap dan perilaku pencegahan penyakit
menular seksual. Hasil yang didapat adalah bahwa pengetahuan tidak secara langsung
direfleksikan terhadap perilaku seksual tidak berisiko (Coy, Johnson, & Boodram,
2016) artinya pengetahuan yang baik belum tentu menghasilkan sikap yang baik
maupun perilaku seksual yang baik. Menurut Nurmaguphita (2014) dalam hasil
penelitiannya menyebutkan bahwa pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi
menentukan bagaimana remaja berperilaku.

6.1.3 Gambaran Pola Asuh Orang Tua


Data ini menggambarkan bahwa sebagian besar remaja mendapatkan pola asuh
dengan dimensi penerimaan dan pengendalian yang seimbang.Pola asuh memberikan
kontribusi dalam membentuk perilaku remaja yang mempengaruhi terjadinya
kenakalan remaja dan perilaku berisiko (Posey, 2014). Penelitian sebelumnya
memaparkan data bahwa kualitas hubungan remaja dan orang tua secara signifikan
memengaruhi perilaku remaja dalam hal ini siswa SMA termasuk dalam berperilaku
seksual (Newman, Harrison, Carol, & Davies, 2008).

Berdasarkan teori Baumrind (1966) dan Maccoby & Martin’s (1983) yang
dikemukakan oleh Posey (2014) dalam penelitiannya dikatakan bahwa pola asuh
authoritative membentuk remaja menjadi lebih protektif dan terkendali serta memiliki
kecenderungan yang rendah dalam melakukan perilaku yang berisiko dibandingkan
dengan remaja yang hidup dalam pola pengasuhan authoritarian, permisif, dan
neglectful (Newman, Harrison, Carol, & Davies, 2008), namun berdasarkan hasil
penelitian ini sebagian besar remaja yang mendapatkan pola asuh authoritative tetap

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
67

memiliki perilaku seksual berisiko. Hal ini mungkin bisa dikarenakan faktor lain yang
lebih dominan seperti penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa pengaruh
teman sebaya pada usia remaja lebih dominan dibandingkan peran pola asuh orang
tua (Lestary & Sugiharti, 2011) sehingga pola asuh authoritative tidak membentuk
remaja menjadi lebih protektif dan bertanggung jawab seperti dikatakan Posey
(2014).

Pola asuh authoritative menuntut kebebasan, memotivasi penyelesaian masalah dan


mendorong remaja untuk secara tepat mengatur diri. Karakteristik ini yang mungkin
saja secara tidak langsung mendukung remaja untuk melakukan perilaku seksual
berisiko karena pada dasarnya usia remaja secara psikososial belum dikatakan dewasa
sehingga memungkinkan siswa dengan pola asuh authoritative tetap memiliki
kecenderungan melakukan perilaku seksual berisiko bila tidak diawasi dengan baik
(Posey, 2014; Sarwono, 2007).

Berdasarkan hasil penelitian terdapat satu siswa yang mendapatkan pola asuh
uninvolved atau neglected. Pola asuh ini cenderung melakukan pengabaian dan lalai
terhadap anak, tidak menuntut dan tidak berespon positif. Pola asuh neglected yang
dimiliki oleh siswa perlu tetap diperhatikan dan dilakukan pendekatan baik kepada
siswa maupun dengan orang tuanya mengingat dampak dari pola asuh ini yang akan
memengaruhi siswa dalam berperilaku termasuk perilaku seksual berisiko. Bila tidak
ditindaklanjuti maka kemungkinan akan terjadi perubahan perilaku ke arah yang
negatif. Sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa pola asuh
memberikan pengaruh yang kuat sepanjang perkembangan dan pertumbuhan remaja
khususnya secara emosional (Rokhmah, 2015).

Penelitian lain pada remaja di Portugal yang memaparkan bahwa pola asuh orang tua
sejak dini sangat memengaruhi perkembangan remaja secara biologis, psikologis,
emosional, dan sosial dan pembentukan karakter (Leiros, Carvalho, & Nobre, 2016)
hal ini menunjukkan bahwa satu-satunya remaja yang mendapatkan pola asuh
neglected perlu ditindak lanjuti melalui komunikasi dengan orang tua karena jika pola

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
68

asuh ini tetap dilakukan akan ada kemungkinan remaja tersebut melakukan perilaku
berisiko meskipun sebelumnya memiliki perilaku tidak berisiko. Berbeda halnya
dengan penelitian terhadap remaja di Spanyol yang mengatakan bahwa pola asuh
authoritative menonjolkan perilaku yang protektif dan berisiko rendah terhadap
perilaku seksual berisiko.

Remaja yang mendapatkan pola asuh authoritative cenderung lebih terbuka, hangat,
sangat akrab dengan orang tua dan memiliki perilaku positif (Newman, Harrison,
Carol, & Davies, 2008). Ketidaksesuaian antara hasil penelitian ini dengan penelitian
sebelumnya bisa dikarenakan karakteristik remaja dengan kebudayaan dan latar
belakang yang berbeda sehingga hasil penelitian menjadi berbeda. Meskipun begitu,
tetap perlu dilakukan komunikasi yang tepat dengan remaja yang mendapatkan pola
asuh neglected agar dapat terus bersikap positif dan berperilaku sehat.

6.1.4 Gambaran Perilaku Seksual Berisiko


Pada penelitian ini perilaku seksual pada remaja telah dikomposit menjadi penilaian
perilaku seksual berisiko dan tidak berisiko. Hasil penelitian menggambarkan remaja
yang melakukan perilaku seksual berisiko didasarkan pada analisis dari hasil
penggabungan ketiga domain. Berdasarkan data, mayoritas remaja memiliki
pengetahuan yang kurang dan pengetahuan yang kurang ini membuat siswa
cenderung untuk bersikap negatif dan tidak mampu mengendalikan diri untuk
melakukan perilaku seksual berisiko. Pengetahuan siswa tentang dampak dari
perilaku seksual berisiko dipengaruhi juga oleh lingkungan tempat siswa berinteraksi.
Interaksi ini yang menimbulkan rasa ingin tahu dan membentuk suatu perilaku
(Notoatmodjo, 2014).

Sarwono (2007) menjelaskan bahwa dorongan seksual pada remaja timbul akibat
perubahan hormon yang sangat besar. Hal serupa juga dijelaskan oleh Freud dalam
Potter dan Perry, (2009) yang menyatakan bahwa perubahan fisik pada masa pubertas
dapat membentuk identitas seksual yang merangsang timbulnya dorongan seksual.
Perubahan fisik dan emosional yang tidak stabil membuat remaja perlu pengetahuan

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
69

yang baik mengenai kesehatan reproduksi agar dapat terhindar dari pengambilan
keputusan yang tidak tepat yaitu salah satunya adalah melakukan perilaku seksual
berisiko.

Sikap merupakan respon seseorang terhadap suatu stimulus namun masih bersifat
tertutup (Notoatmodjo, 2014). Domain sikap melibatkan emosi, perasaan, dan aspek
internal dalam diri lainnya.Sarwono, (2007) menjelaskan bahwa sikap menunjukkan
kecenderungan seseorang untuk berperilaku tertentu ketika menghadapi suatu kondisi
yang spesifik. Berdasarkan hasil analisis, mayoritas siswa memiliki sikap negatif,
artinya dalam kondisi tertentu ada kecenderungan untuk melakukan perilaku seksual
berisiko.

Hasil dalam penelitian ini menunjukkan data 57% siswa memiliki perilaku seksual
berisiko dan 43% memiliki perilaku seksual tidak berisiko. Sejalan dengan penelitian
yang dilakukan di Kecamatan Pundong Bantul pada 102 remaja didapatkan data
bahwa sekitar 50% remaja berperilaku seksual berisiko dan disebutkan juga bahwa
remaja yang bersikap negatif cenderung lebih berisiko melakukan seks bebas
dibandingkan yang bersikap positif (Nurmaguphita, 2014). Hal ini menunjukkan
bahwa berdasarkan hasil penelitian, praktik yang positif bila tidak didukung dengan
sikap positif maka akan tetap berisiko selama remaja tidak dibekali dengan
pengetahuan yang baik mengenai kesehatan reproduksi maupun perilaku seksual.

Berdasarkan hasil penelitian terhadap remaja di seluruh Indonesia didapatkan


gambaran perilaku berisiko sebanyak 55,2% remaja yang pernah melakukan perilaku
berisiko termasuk melakukan hubungan seksual pranikah (4,1%) sebagai perilaku
berisiko terbesar ketiga setelah merokok dan minum alkohol. Meskipun hanya 4,1%
remaja yang mengaku pernah melakukan hubungan seksual namun harus tetap
diperhatikan mengingat adanya penelitian yang menyebutkan bahwa perilaku berisiko
pada remaja memicu prilaku berisiko lainnya termasuk perilaku seksual berisiko
(Lestary & Sugiharti, 2011; Margaretha, 2012).

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
70

Berdasarkan penelitian sebelumnya terkait perilaku kesehatan remaja didapatkan


hasil penelitian bahwa remaja yang melakukan perilaku seksual berisiko melakukan
hal tersebut karena pengaruh alkohol, rasa ingin tahu dan ingin merasakan setelah
menonton video atau film porno, pengaruh teman dan ingin terlihat modern
(Kristanti, et al., 2010). Hal ini menunjukkan bahwa hal-hal yang mendorong remaja
melakukan perilaku seksual berisiko dikarenakan kurangnya pengendalian diri.
Kondisi ini jelas sangat relevan dengan karakteristik remaja yang matang secara fisik
namun belum siap secara mental dan emosional (Margaretha, 2012).

Hasil penelitian pada remaja di Ethiopia menyatakan bahwa terdapat 67,67% remaja
melakukan hubungan seks sebelum menikah. Perilaku seksual berisiko yang
dilakukan selain hubungan seks melalui vagina antara lain adalah oral seks, dan anal
seks. Sebagian besar remaja yang melakukan perilaku tersebut adalah remaja
perempuan. Sebanyak 26,6% remaja perempuan melakukan oral seks, dan sebanyak
13,33% remaja perempuan melakukan anal seks (Mudzusi & Asgedom, 2016). Hal
yang perlu diperhatikan terkait data diatas adalah dampak dan resiko terkena penyakit
akibat oral seks dan anal seks yaitu HIV/AIDS dan IMS.

Berdasarkan data diatas dapat digambarkan bahwa perilaku seksual berisiko pada
remaja terbentuk oleh pengetahuan, sikap dan praktik yang secara langsung
berkontribusi terhadap pembentukan perilaku.Berdasarkan beberapa data penelitian
yang terpapar, meskipun proporsinya hanya kecil namun tetap perlu diperhatikan.

6.1.5 Hubungan Pengetahuan Kesehatan Reproduksi dengan Perilaku Seksual


Berisiko.
Pentingnya memberikan pengetahuan yang baik tentang kesehatan reproduksi
diperkuat dengan adanya penelitian yang dilakukan di Bhutan oleh Norbu, Mukhia, &
Tshokey, (2013) yang menyebutkan bahwa terdapat korelasi positif antara tingkat
pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dengan perilaku seksual
berisiko.Pengalaman pribadi, faktor ekonomi, lingkungan, pola asuh, dan pola dalam
mengambil keputusan memengaruhi seseorang dalam berperilaku seksual. Kurangnya

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
71

pengetahuan terhadap kesehatan reproduksi juga menjadi dampak dari perilaku


seksual yang berisiko (Lowdermilk, Perry, & Cashion , 2013)

Data analisis menggambarkan bahwa pengetahuan tentang kesehatan reproduksi


bukan satu-satunya hal yang memengaruhi perilaku seksual berisiko. Berdasarkan
data dapat dilihat pengetahuan yang baik pun tidak selalu menunjukan perilaku yang
tidak berisiko. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan beberapa penelitian yang
menyebutkan bahwa pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi akan memengaruhi
remaja dalam berperilaku seksual (Lowdermilk, Perry, & Cashion , 2013). Berbeda
dengan penelitian yang dilakukan di wilayah Buleleng, Bali yang meneliti remaja di
SMA didapatkan data bahwa pengetahuan remaja berbanding lurus dengan sikap dan
aktifitas seksual remaja, artinya bahwa remaja yang memiliki pengetahuan baik
memiliki sikap dan aktifitas yang positif, begitu juga sebaliknya (Wijaya, Agustini,
Doddy, & MS, 2014)

Penelitian lain memaparkan data terdapat banyak faktor yang memengaruhi remaja
dalam berperilaku seperti pengetahuan kesehatan reproduksi, sumber informasi,
tingkat pemahaman agama, dan peranan keluarga (Hadiyat, 2007). Dalam
membentuk perilaku terdapat tiga faktor yang berperan, salah satunya adalah
pengetahuan yang kurang akan memengaruhi remaja dalam berperilaku seperti yang
diteliti oleh Nurmaguphita (2014) dan Oktaviani (2015) namun selain itu ada faktor
lain seperti usia, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan yang mempengaruhi perilaku
pada remaja.

Hasil penelitian ini menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna
antara pengetahuan kesehatan reproduksi dengan perilaku meskipun dianalisis
hubungannya pada tiap kategori pengetahuan tidak terdapat hubungan yang
bermakna. Hal ini mungkin terjadi karena karakteristik remaja yang mayoritas
beragam dan pengaruh dari faktor lain yang lebih dominan seperti lingkungan
keluarga dan faktor internal seperti tahap pertumbuhan, dan perkembangan remaja

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
72

namun pengetahuan kesehatan reproduksi perlu tetap diperhatikan dan remaja perlu
memiliki pengetahuan yang baik tentang kesehatan reproduksi mengingat tingkat
pengetahuan kesehatan reproduksi ini menjadi dasar bagi remaja dalam berperilaku
khususnya untuk menentukan perilaku seksual yang sehat di masa yang akan datang
(Agius, Pitts, Smith, & Mitchell, 2010).

6.1.6 Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Perilaku Seksual Berisiko
Keluarga merupakan sistem terkecil dalam suatu komunitas yang memengaruhi
perilaku dan perkembangan remaja. Selain teman sebaya, sekolah, dan komunitas
lainnya, keluarga merupakan lingkungan sosial yang memberikan kesempatan,
pertahanan, role model, dan dukungan bagi remaja (Hockenberry & Wilson, 2015).
Leiros, Carvalho, & Nobre (2016) memaparkan pola asuh orang tua sejak dini
membentuk perkembangan biologis, psikologis sosial, dan emosional remaja.
Perkembangan remaja yang mulai memilih untuk bertindak mandiri dan mulai
menentukan sendiri apa yang ingin dilakukan menjadi tantangan dan tugas orang tua
dengan berbagai konsekuensi dari setiap tindakan yang dilakukan, dan hal ini akan
mudah diatasi bila orang tua memiliki dasar pengasuhan yang kuat dan suportif
terhadap remaja ((Potter & Perry, 2009).

Teori Pola Asuh Baumrind (1966) yang dikembangkan oleh Maccoby & Martin’s
(1983) yang dikutip oleh Posey (2014) menjelaskan adanya empat pola asuh yang
memberi pengaruh besar dalam pembentukan karakter dan perilaku remaja.
Berdasarkan hasil penelitian ini terdapat hanya dua pola asuh yang dimiliki oleh 100
responden yaitu pola asuh authoritative dan neglected. 99% responden yang
mendapatkan pola pengasuhan authoritive memiliki perilaku seksual berisiko dan
saturesponden (1%) mendapatkan pola asuh neglected dan memiliki perilaku seksual
tidak berisiko. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Newman, Harrison, Carol, &
Davies (2008) pola asuh authoritive akan membentuk remaja menjadi lebih protektif
dan terkendali serta memiliki kecenderungan yang rendah untuk melakukan perilaku
yang berisiko.

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
73

Hasil penelitian tersebut tidak sejalan dengan hasil penelitian pada remaja di SMA
Swasta Kota Tangerang. Pola asuh yang dimiliki oleh mayoritas remaja adalah pola
asuh authoritative namun remaja memiliki perilaku seksual berisiko. Hal ini bisa
dipengaruhi oleh faktor lain seperti media informasi yang ditunjukkan dalam
penelitian ini yaitu dinyatakan sebagian besar remaja terpapar oleh media informasi
terkait konten pornografi sehingga memicu untuk melakukan perilaku seksual
berisiko dan hasil penelitian pun menunjukkan data bahwa terdapat 57% remaja yang
memiliki perilaku seksual berisiko. Selain faktor media informasi, terdapat faktor lain
yang memengaruhi siswa dalam berperilaku seperti contohnya faktor lingkungan lain
dan faktor ketahanan diri masing-masing individu.

Tidak sejalan dengan penelitian lainnya, penelitian ini tidak menunjukkan adanya
hubungan yang bermakna antara pola asuh orang tua dengan perilaku seksual berisiko
pada remaja di SMA Swasta Kota Tangerang. Tidak sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Nurmaguphita di Kecamatan Pundong Bantul yang menyatakan
adanya hubungan bermakna antara pola asuh otoriter dengan perilaku seksual
berisiko. Pola asuh otoriter membentuk remaja lebih disiplin terhadap diri dan tidak
berperilaku berisiko (Nurmaguphita, 2014). Perbedaan hasil ini mungkin dipengaruhi
oleh faktor lain seperti kebudayaan yang mengatur pola asuh orang tua terhadap
remaja dan mungkin disebabkan oleh pola asuh yang dominan dimiliki oleh remaja
dalam penelitian ini yaitu authoritative sehingga hasil penelitianpun tidak mencakup
ke empat pola asuh yang diteliti.

6.2 Keterbatasan Penelitian


Peneliti dalam pelaksanaan penelitian memiliki keterbatasan yang diakibatkan oleh
beberapa hal yaitu pada proses awal pengumpulan data, peneliti mengalami kesulitan
untuk meyakinkan remaja dalam pengisian kuesioner karena konten dalam kuesioner
sangat sensitif untuk usia remaja, sikap tertutup dari beberapa siswa dikhawatirkan
memengaruhi pengisian kuesioner.

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
74

Keterbatasan lainnya adalah jumlah kuesioner yang cukup banyak (134 pertanyaan)
dikuatirkan menyulitkan siswa dalam pengisian karena waktu yang disediakan hanya
10-15 menit, meskipun sudah dilakukan uji pada beberapa siswa sebelumnya dan
kuesioner dapat dibaca dan diisi dengan jelas dan terisi semua.

6.3 Implikasi Keperawatan

6.3.1 Implikasi terhadap pembuat kebijakan kesehatan


Kesehatan reproduksi remaja merupakan hal yang penting untuk diperhatikan
khususnya kesehatan reproduksi pada siswa di sekolah yang terpengaruh oleh banyak
faktor termasuk salah satunya adalah teman sebaya dan pertukaran informasi yang
begitu cepat. Program pemerintah yang saat ini belum tepat sasaran.Program Bina
Keluarga Remaja (BKR) perlu diaktifkan kembali mengingat pentingnya peran
keluarga dalam pembentukan perilaku remaja.

Program Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) yang sudah berjalan perlu
dioptimalkan lagi terutama program yang dijalankan ke sekolah-sekolah sehingga
remaja terpapar dengan informasi yang benar mengenai kesehatan reproduksi dari
sumber yang tepat. Hasil penelitian ini menghasilkan data pengetahuan remaja
mayoritas adalah cukup sehingga bisa menjadi dasar untuk ditingkatkannya program
peningkatan pengetahuan kesehatan reproduksi.

Program kesehatan remaja diharapkan dapat menjangkau sekolah dengan melibatkan


kader dan kelompok remaja yang menjalankan program kesehatan seksual dan
reproduksi sehingga remaja terlibat untuk ikut serta dalam meningkatkan kesehatan.
Dalam hal ini perlu kerjasama dengan dinas kesehatan terkait dan puskesmas
kelurahan untuk program sekolah binaan.

6.3.2 Implikasi terhadap pendidikan dan pelayanan keperawatan


Hasil penelitian ini dapat dijadikan sumber informasi bagi mahasiswa keperawatan
tentang pengetahuan kesehatan reproduksi dan hubungannya dengan perilaku seksual

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
75

berisiko. Selain itu dapat dilihat gambaran pola asuh yang berpengaruh pada perilaku
seksual berisiko pada remaja khususnya siswa SMA. Hasil penelitian ini juga dapat
dijadikan gambaran untuk perawat dalam memberikan intervensi keperawatan
melalui program di sekolah dengan memberikan pendidikan kesehatan reproduksi
melalui kerjasama dengan puskesmas setempat dalam menjalankan program
kesehatan reproduksi remaja.

6.3.3 Implikasi terhadap penelitian keperawatan


Hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar dan referensi bagi penelitian selanjutnya.
Penelitian ini juga dapat menjadi dasar untuk pengembangan instrumen penelitian
mengenai pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi, pola asuh dan perilaku
seksual berisiko sehingga dapat lebih komprehensif. Selain itu penelitian ini juga
dapat dikembangkan menggunakan desain dan metode penelitian yang lebih luas
sehingga didapat hasil data yang lebih signifikan.

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
76

BAB 7
PENUTUP

7.1 Kesimpulan
Karakteristik remaja yang didapatkan dalam penelitian ini yaitu mayoritas berusia 16
tahun, berjenis kelamin perempuan, terpapar media informasi, dan tidak terpengaruh
dengan teman sebaya dalam hal perilaku seksual berisiko. Sebagian besar remaja
memiliki tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi yang cukup dan berdasarkan
komponen pengetahuan, mayoritas remaja memiliki pengetahuan yang baik tentang
komponen perkembangan fisik, psikis, dan kematangan seksual, mayoritas memiliki
pengetahuan yang cukup tentang komponen masturbasi, mimpi basah, perilaku
seksual yang aman dan bertanggung jawab dan pengetahuan tentang HIV/ AIDS dan
IMS. Akan tetapi remaja memiliki pengetahuan yang kurang mengenai organ
reproduksi dan menstruasi serta kehamilan.

Peneliti juga menyimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara
pengetahuan kesehatan reproduksi dan pola asuh orang tua dengan perilaku seksual
berisiko. Mayoritas remaja memiliki perilaku yang berisiko sehingga remaja perlu
diperhatikan dan dilakukan tindak lanjut mengenai edukasi terkait perilaku seksual
berisiko.

7.2 Saran
Saran bagi pelayanan keperawatan terkait hasil penelitian ini adalah agar perawat di
pelayanan kesehatan masyarakat dan tenaga kesehatan lainnya dapat lebih
memperhatikan kesehatan reproduksi remaja terutama siswa SMA. Perawat dapat
memberikan pelayanan kesehatan berupa edukasi dan konseling tentang kesehatan
reproduksi dan perilaku seksual berisiko pada siswa-siswa yang terdeteksi memiliki
perilaku seksual berisiko. Dalam hal ini, perawat ataupun kader kesehatan dapat
bekerjasama dengan pihak orang tua untuk membina remaja dan berperan dalam pola
asuh sehari-hari karena walaupun secara statistik tidak memiliki hubungan yang
bermakna, pola asuh dan pengetahuan kesehatan reproduksi merupakan salah satu

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
77

aspek penting yang berkontribusi dalam pembentukan perilaku siswa termasuk


perilaku seksual.

Saran bagi pengembangan ilmu pada penelitian ini adalah agar institusi pendidikan
keperawatan dapat mengembangkan materi tentang kesehatan reproduksi pada
remaja. Selain itu, saran pengembangan agar institusi pendidikan keperawatan dapat
mengembangkan lebih dalam mengenai teori perilaku seksual berisiko dengan
penelitian-penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya. Selain itu, pendidikan
keperawatan dapat lebih mengembangkan pelayanan keperawatan maternitas
khususnya kesehatan reproduksi remaja.

Saran untuk penelitian selanjutnya adalah untuk mengembangkan kembali penelitian


mengenai perilaku seksual berisiko terkait dengan banyak faktor. Penelitian
berikutnya dapat meneliti secara mendalam mengenai faktor-faktor yang
memengaruhi remaja dalam berperilaku, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
Selain itu, penelitian selanjutnya juga dapat meneliti secara lebih spesifik dan
mendalam.

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
DAFTAR PUSTAKA

Achjar, K. A. (2006). Pengaruh Penyampaian Pendidikan Kesehatan Reproduksi


oleh Kelompok sebaya (Peer Group) terhadap pengetahuan kesehatan
Reproduksi Remaja di Kelurahan Kemiri Muka Depok. Jakarta: Universitas
Indonesia.

Agius, P., Pitts, M., Smith, A., & Mitchell, A. (2010). Sexual behaviour and related
knowledge among a representative sample of secondary school students
between 1997-2008. Australian and New Zealand Journal of Public Healt, 34,
476-481. doi:doi: 10.1111/j.1753-6405.2010.00593.x

Allender, J., Rector, C., & Warner, K. D. (2014). Community Health Nursing:
Promoting and Protecting The Public's Health (8th ed.). Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins.

Arikunto. (2006). Prosedur penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.

Bachanas, P., Morris, M., Lewis-Gess, J., Sarett-Cuasay, E., Sirl, K., Ries, J., &
Sawyer, M. (2002). Predictors of Risky Sexual Behaviour in African
American Adolescent Girls: Implication for Prevention Innterventions.
Journal of Pediatric Psychology, 27, 519-530.

Badan Pusat Statistik. (2014). Statistik Kriminal 2014. Jakarta: Badan Pusat Statistik.

Benner, M., Townsend, J., Kaloi, W., Htwe, K., naranuchakul, N., Hunnangkul , S., .
. . Sondorp, E. (2010). Reproductive Health and Quality of Life of Young
Burmese Refugees in Thailand. Conflict and Health, 4:5. doi:10.1186/1752-
1505-4-5

Berman, A., & Snyder, S. (2016). Kozier & Erb's Fundamental of Nursing: Concepts,
Process, dan Practice (9th ed.). United State of America: Pearson Education.

BKKBN. (2017, Maret 15). BKKBN Banten. Retrieved Maret 22, 2017, from
BKKBN.go.id: http://banten.bkkbn.go.id/ViewBerita.aspx?BeritaID=852

BKKBN, BPS, & Kementerian Kesehatan. (2013, Agustus). Survey Demografi dan
Kesehatan Indonesia 2012. Kesehatan Reproduksi Remaja.

Bobak , I., Lowdermilk, D. L., Jensen, M. D., & Perry, S. (1995). Buku Ajar
Keperawatan Maternitas (4 ed.). (R. Komalasari , Ed., M. Wjayarini, & P.
Anugerah, Trans.) Jakarta: Penerbit EGC.

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
Boyd, D., Johnson, P., & Bee, H. (2015). Lifespan Development (5th ed.). USA:
Pearson Canada Inc.

Burns, N., & Grove, S. (2011). Understanding Nursing Research (5th ed.). USA:
Elsevier Saunders.

Carlos, J.-A., Trista, A., Stueve, A., Lauby, J., Ayala, G., Gregorio, A., & Darell , W.
(2010). The Role of Peer Support on Condom Use among Black and Latino
MSM in Three Urban Areas. AIDS Education and Prevention, 22, 430-444.
doi:10.1521/aeap.2010.22.5.430

Centers for Disease Control and Prevention. (2016, October). Sexually Transmitted
Disease Surveillance 2015.

Christopherson, T. M., & Conner, B. T. (2012). Mediation of Late Adolescent Health


Risk Behaviors and gender Influences. The Journal of Public Health Nursing,
10, 410-413.

Coy, P. C., Johnson, E. J., & Boodram, C. A. (2016, Agustus 15). Sexual Behavior of
female adolescents on teh spread of HIV/AIDS and other STDs in Carriacou.
Medicine. doi:http://dx.doi.org/10.1097/MD.0000000000004800

Dahlan, M. (2012). Langkah-langkah membuat proposal penelitian bidang


kedokteran dan kesehatan. Jakarta: CV. Sagung Seto.

Dharma, K. (2015). Metodologi Penelitian Keperaawatan (Panduan Melaksanakan


dan Menerapkan Hasil Penelitian). Jakarta: Trans Info Media.

Dharma, K. (2015). Metodologi Penelitian Keperawatan: Panduan Melaksanakan


dan menerapkan Hasil Penelitian (Revisi ed.). Jakarta: CV Trans Info Media.

Drago, F., Ciccarese, G., Zangrillo, F., Giulia, G., Cogorno, L., Riva, S., . . . Parodi,
A. (2016, April 13). A Survey of Current Knowledge on Sexually
TransmittedDiseases and sexual behaviour in Italian Adolescents.
International Journal of Environmental Research and Public Health, 13, 422.
doi:10.3390/ijerph13040422

Forhan, S., Gottlieb, S., & Sternberg, M. (2009). Prevalence of Sexually Transmitted
Infection Among Female Adolescent Aged 14 to 19 in The United State.
Pediatrics, 124.

Friedman, M., Bowden, V., & Jones, E. (2010). Buku Ajar Keperawatan Keluarga :
Riset, Teori, dan Praktik (5th ed.). (E. Tiar, Ed., A. Hamid, A. Sutarna, N. B.

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
Subekti, D. Yulianti, & N. Herdina, Trans.) Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran.

Hadiyat, Y. R. (2013). Hubungan Antara Pengetahuan Komprehensif HIV-AIDS dan


Sikap Terhadap Perilaku Seksual Pranikah pada Remaja di SMA Negeri I
Garawangi Kabupaten Kuningan. Depok: Universitas Indonesia.

Hockenberry, M., & Wilson, D. (2015). Wong's Nursing Care of Infants and Children
(10th ed.). Canada: Elsevier.

Hurlock. (2004). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang


Kehidupan (5 ed.). Yogyakarta: Penerbit Erlangga.

Hurlock, E. B. (2009). Developmental Psychology: a life span approach (5th ed.).


London: McGraw Hill Inc.

Kaeran. (2007). Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Remaja tentang Kesehatan


Reproduksi terkait Perilaku Seksual. Depok: Universitas Indonesia.

Kementerian Kesehatan RI. (2015). Rencana Strategis Kementerian Kesehatan


Tahun 2015-2019. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Kementerian Kesehatan RI. (2016). Profil Kesehatan Indonesia 2015.

Kincaid, C., Jones, D. J., Sterrett, E., & McKee, L. (2012, February 9). A Review of
Parenting and Adolescent Sexual Behavior: The Moderating Role of Gender.
PMC. doi:10.1016/j.cpr.2012.01.002

Klossner , N., & Hatfield, N. (2010). Introductory Maternity & Pediatric Nursing
(2nd ed.). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia. (2013, juni 6). KPAI. Retrieved maret 13,
2017, from www.kpai.go.id: http://www.kpai.go.id/aksi/sidang-ham-ke-2-
membongkar-kekerasan/

Kristanti, C., Tjandrarini, D., Prasodjo, R., Pradono, J., Hidayaningsih, P., Senewe,
F., . . . Suparmi. (2010). Studi perilaku kesehatan remaja pada 4 kota besar di
Indonesia Tahun 2009. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Kementerian Kesehatan, Jakarta.

Kyle, T. (2013). Essential of Pediatric Nursing (2nd ed.). USA: Lippincott Wiliams
& Wilkins.

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
Laporan Program KB Nasional. (2015). Retrieved Maret 15, 2017, from bkkbn.go.id:
http://aplikasi.bkkbn.go.id/sr/DALLAP/Laporan/Tahunan/Tabel16.aspx

Leiros, V. S., Carvalho, J., & Nobre, P. (2016, Maret). Early parenting styles and
sexual offending behaviour: A comparative study. International Journal of
Law and Psychiatry, 46, 103-109. doi:10.1016/j.ijlp.2016.02.042

Lestary, H., & Sugiharti. (2011, Agustus). Perilaku Beresiko Remaja Di Indonesia
Menurut Survey Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) Tahun
2007. Jurnal Kesehatan Reproduksi, 1, 136-144. Retrieved April 2017

Lowdermilk, D. L., Perry, S., & Cashion , K. (2013). Keperawatan Maternitas. (K. R.
Alden, Ed.) Singapore: Mosby Elsevier.

Margaretha. (2012, Maret 2). Retrieved Maret 22, 2017, from Psikologi Forensik:
https://psikologiforensik.com/2012/03/02/perilaku-beresiko-remaja-seks-
adiksi-dan-hiv/

Mashoedi, S. F. (2003). Kaitan Antara GayaPengasuhan Dengan Gaya Atribusi


Mahasiswa Dalam Prestasi Akademik. Universitas Indonesia. Depok:
Universitas Indonesia.

Mmari, K., Kalamar, A., Brahmbhatt, H., & Venables, E. (2016, November 7). The
influence of the family on adolescent sexual experience: A comparison
between Baltimore and Johannesburg. (R. Sear, Ed.) PLoS ONE 11.
doi:10.1371/Journal.pone.0166032

Mudzusi, A. H., & Asgedom, T. (2016, April). The prevalence of risky sexual
behaviours amongst undergraduate students in Jigjiga University, Ethiopia.
Health Sa Gesondheid, 21, 179-186. doi:10.1016/j.hsag.2015.11.002

Nasution, S. L. (2012, April). Pengaruh Pengetahuan Tentang Kesehatan Reproduksi


Remaja Terhadap Perilaku Seksual pranikah Remaja di Indonesia. 15.
Retrieved Maret 2017

Newman, K., Harrison, L., Carol, D., & Davies, S. (2008). Relationship between
parenting styles and risk behaviours in adolescent health: An integrative
literature review. SciELO, 142-151. Retrieved April 12, 2017, from
www.eerp.usp.br/rlae

Norbu, K., Mukhia, S., & Tshokey. (2013, November 27). Assessment of Knowledge
on Sexually Transmitted Infections and sexual risk Behaviour in Two Rural

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
Districts of Bhutan. BMC Public Health Journal, 13, 1142. doi:10.1186/1471-
2458-13-1142

Notoatmodjo, S. (2014). Ilmu perilaku Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Notoatmojo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Nurmaguphita, D. (2014). Hubungan Pola Asuh dengan Perilaku Seksual Beresiko


Pada Remaja di Kecamatan Pundong KAbupaten Bantul, DIY. Depok, Jawa
Barat, Indonesia: FIK UI.

Nursalam. (2015). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pendekatan Praktis (4


ed.). Jakarta: Penerbit Salemba Medika.

Oktaviani, N. W. (2015). Hubungan Fungsi Afektif Keluarga dengan Perilaku


Seksual Beresiko. Tesis, Universitas Indonesia, Depok. Retrieved April 6,
2017

Pillitteri, A. (2010). Maternal & Child Health Nursing: Care of The Childbearing &
Childrearing Family (6th ed.). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

PKBI. (2017, Maret 10). www.pkbi.or.id. Retrieved Maret 17, 2017, from
http://pkbi.or.id/anak-perlu-pahami-tubuhnya-sejak-dini/

Polit, D., & Beck, C. T. (2012). Nursing Research: Generating and Assessing
Evidence for Nursing Practice (9th ed.). Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins.

Posey, B. M. (2014). The Effect of Parenting Styles on Substance Use and Academic
Achievement Among Delinquent Youth: Implications for Selective Intervention
Practices. Arizona State University.

Potter, P., & Perry, A. (2009). Fundamental Keperawatan (7th ed., Vol. 1). (D.
Sjabana, Ed., & A. Frederika, Trans.) Jakarta: Penerbit Salemba Medika.

PUSDATIN, K. (2015). Infodatin; Situasi Kesehatan Reproduksi Remaja.

Putri, P. U. (2012). Hubungan Peer Group Dengan Perilaku Seksual Remaja Di SMA
Negeri 103 Jakarta Timur. Jakarta: Universitas Indonesia.

RISKESDAS. (2013). Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Kemenkes RI.

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
Rokhmah, D. (2015). Pola Asuh dan pembentukan perilaku seksual berisiko terhadap
HIV/AIDS pada waria. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 11, 125-134.
doi:10.15294/kemas.v11i1.3617

Santrock, J. (2007). Remaja (11 ed.). (W. Hardani, Ed., & B. Widyasinta, Trans.)
Jakarta: Penerbit Erlangga.

Santrock, J. (2011). Child Development (13th ed.). New York: McGraw Hill.

Sarwono, S. (2007). Psikologi Remaja. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Sastrawinata, U. (2007). Gambaran Epidemiologi Klinik Kehamilan Remaja di RS


Immanuel Bandung. Jurnal Kesehatan masyarakat, 7, 70-84.

Sastroasmoro, S. (2014). Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis (5 ed.). Jakarta:


Sagung Seto.

Sieverding, J., Adler, N., Witt, S., & Ellen, J. (2005). The Influence of Parental
Monitoring Adolescent Sexual Initiation. Archives of Pediatric Adolescent
Medicine, 159:724-729. doi:doi:10.1001/archpedi.159.8.724

Soetjiningsih. (2004). Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahannya. Jakarta: CV.


Sagung Seto.

Stanhope, M., & Lancaster, J. (2014). Public Health Nursing: Population- Centered
Health Care in The Community (9th ed.). United States of America: Elsevier.

Suwarni, L., & Selviana. (2015, Januari). Inisiasi Seks Pranikah Remaja dan Faktor
Yang Mempengaruhi. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 169-177. Retrieved
Maret 17, 2015, from http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/kemas

Unayah, N., & Sabarisman, M. (2015). Fenomena Kenakalan Remaja dan


Kriminalitas. Sosio Informa, 1, 121- 140. Retrieved April 2017

USAID. (2017). K4health. Retrieved from www.usaid.gov.

Wijaya, I., Agustini, N. M., Doddy, G., & MS, T. (2014). Pengetahuan, Sikap, dan
Aktivitas Remaja SMA dalam kesehatan reproduksi di Kecamatan Buleleng.
Jurnal Kesehatan Masyarakat, 10, 33-42. Retrieved April 2017, from
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/kemas

Yi, S., Tuot, S., Yung, K., Kim, S., Chhea, C., & Saphonn, V. (2014, November 09).
Factors Associated with Risky Sexual Behavior among Unmarried Most-at-

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
Risk Young People in Cambodia. American Journal of Public Health
Research, 2, 211-220. doi:10.12691/ajphr-2-5-5

Universitas Indonesia

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
No:
Kelas: Kode:

LAMPIRAN 1. Lembar Informasi Penelitian

LEMBAR INFORMASI PENELITIAN

Kepada Calon Responden Penelitian

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Cluny Martina Mangkuayu

NPM : 1506800483

No. Hp : 081286071306

Email : cluny.martina@ui.ac.id

Pembimbing : Titin Ungsianik, S.Kp, MBA

Selamat Pagi/ siang/ sore

Saya adalah mahasiswi tingkat akhir Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas


Indonesia Angkatan 2015. Saya bermaksud untuk melakukan penelitian mengenai
Hubungan Pengetahuan tentang Kesehatan Reproduksi dan Pola Asuh Orang Tua
dengan Perilaku Seksual Berisiko pada Siswa SMU Swasta di Kota Tangerang.

Tujuan dilakukan penelitian ini ialah untuk mengidentifikasi hubungan


pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan pola asuh orang tua dengan
perilaku seksual berisiko pada siswa SMU Swasta di Tangerang. Partisipasi yang
saudara berikan adalah dengan mengisi kuesioner ini dengan lengkap. Saudara

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
memiliki hak untuk menolak keikutsertaan dalam penelitian ini dengan alasan
apapun. Penelitian ini dilakukan tanpa paksaan atau tekanan terhadap saudara.

Saya harap saudara dapat mengisi kuesioner ini dengan sungguh-sungguh dan
berikan jawaban yang jujur dan paling menggambarkan diri saudara sebenarnya.
Kuesioner ini tidak ada jawaban benar atau salah dan tidak membahayakan
saudara. Data pribadi serta jawaban yang saudara berikan dijamin kerahasiaannya
dan hanya digunakan untuk penelitian ini. Saya ucapkan terimakasih atas
kesediaan dan waktunya dalam mengisi kuesioner ini.

Hormat saya,

Cluny Martina Mangkuayu

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
LAMPIRAN 2. Lembar Persetujuan Menjadi Responden

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama :

Usia :

Alamat/ no. telp :

Setelah membaca surat permohonan dan penjelasan tentang penelitian dan peran
yang akan dilakukan. Saya dapat memahami tujuan, manfaat, prosedur penelitian
yang akan dilakukan. Saya percaya dan yakin bahwa peneliti akan menghormati
hak-hak dan kerahasiaan saya dan saya bersedia tanpa paksaan dari pihak
manapun sebagai responden dalam penelitian yang berjudul “Hubungan
Pengetahuan Kesehatan Reproduksi dan Pola Asuh Orang Tua dengan Perilaku
Seksual Berisiko pada Siswa SMU Swasta di Kota Tangerang”

Saya mengetahui tidak ada dampak negatif atau resiko terhadap diri saya sendiri
dalam penelitian ini dan saya yakin bahwa identitas saya terjamin kerahasiaannya
dan dalam pengolahan datanya menggunakan kode dan inisial.

Dengan kesadaran dan tanpa paksaan dari pihak manapun, saya bersedia
menandatangani lembar persetujuan menjadi responden dalam penelitian ini.dan
akan mengisi kuesioner yang diberikan dengan jujur dan benar terkait dengan
pertanyaan yang ditanyakan oleh peneliti.

Demikian lembar pernyataan ini dibuat untuk dapat digunakan dengan semestinya

Tangerang, Juni 2017

Tanda tangan responden

(………………………….)

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
LAMPIRAN 3.

Kuesioner A

Petunjuk pengisian kuesioner:

1. Bacalah dengan cermat dan teliti setiap item pertanyaan/ pernyataan dalam
kuesioner ini
2. Pilihlah jawaban dengan memberi tanda ceklis (√) pada kotak yang
disediakan
3. Tulis jawaban pada tempat yang telah disediakan
4. Jika ada jawaban yang ingin diganti, coret pada jawaban awal, kemudian
beri tanda ceklis (√) pada jawaban yang baru.
5. Jika ada yang tidak jelas, boleh ditanyakan pada peneliti

A. Kuesioner Data Demografi

Nama (inisial) :

Kelas :

Usia :

Jenis kelamin : ( ) laki-laki, ( ) Perempuan

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
Kuesioner B

Petunjuk: Berilah tanda ceklis (√) pada jawaban yang saudara anggap benar

No Pertanyaan Benar Salah


1 Organ reproduksi pada remaja perempuan hanya vagina dan selaput
dara
2 Ciuman bibir dengan bibir mengandung risiko menularkan virus
HIV/AIDS
3 Siklus menstruasi pada remaja perempuan tidak tergantung faktor stres
dan olah raga
4 Pertumbuhan dan perkembangan remaja selama pubertas hanya
dipengaruhi oleh hormon saja.
5 Masturbasi dapat menyebabkan kemandulan pada remaja laki-laki
6 Alat reproduksi remaja laki-laki hanya penis dan skrotum

7 Tidak berhubungan seks adalah cara pencegahan kehamilan yang


efektif 100%
8 Setiap remaja perempuan akan mengalami siklus haid ± 21-35 hari
9 Oral seks (seks yang dilakukan menggunakan kelamin ke mulut) tidak
akan menularkan penyakit menular seksual
10 Menstruasi merupakan peristiwa meluruhnya dinding dalam rahim yang
mengandung pembuluh darah
11 Hormon pada remaja perempuan adalah hormon estrogen dan
progesterone
12 Mimpi basah merupakan pengeluaran cairan sperma yang tidak
diperlukan secara alamiah
13 Sperma dihasilkan di tempurung luar remaja laki-laki

14 Keperawanan seorang remaja perempuan dibuktikan dengan adanya


darah pada hubungan seksual pertama kali
15 Kehamilan remaja mengandung risiko kematian akibat perdarahan
16 HIV tidak bisa menular dari donor darah
17 Remaja perempuan yang belum mengalami menstruasi sampai dengan
umur 17 tahun ke atas dapat dikatakan terlambat menstruasi pertama
18 Ukuran alat vital menentukan kepuasan hubungan seksual dengan
pasangan
19 Masturbasi hanya dialami remaja laki-laki

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
No Pertanyaan Benar Salah
20 Keputihan berwarna kuning dengan jumlah banyak merupakan gejala
normal yang dialami oleh remaja perempuan
21 Sebaiknya tidak menggunakan jamu peluruh untuk tujuan pengguguran
kandungan
22 Remaja perempuan yang sudah haid pertama kali dapat hamil bila
berhubungan seksual
23 Jika penyakit kelamin tidak diobati, daoat menimbulkan risiko infeksi
menahun pada organ reproduksi dan menyebabkan kemandulan
24 Selaput dara yang tidak berlubang, menyebabkan remaja perempuan
tidak mendapatkan menstruasi
25 Hormon pada remaja lelaki adalah hormone testosterone
26 Masturbasi sebaiknya tidak dilakukan karena dapat menimbulkan
ketagihan dan sulit berkonsentrasi
27 Pada remaja perempuan perlu menggunakan pembilas vagina untuk
mengurangi keasaman vagina
28 Jarum suntik yang tidak steril merupakan alat yang dapat menularkan
penyakit HIV/ AIDS
29 Remaja perempuan tidak akan hamil jika berhubungan seks hanya
sekali
30 Penyakit kelamin merupakan penyakit yang hanya mengenai alat
kelamin laki-laki yang diakibatkan hubungan intim dengan pasangan
yang sudah terjangkit penyakit kelamin
31 Nyeri pada saat menstruasi dapat disebabkan karena stres, infeksi
rahim, dan tumor kandungan
32 Perubahan fisik yang terjadi pada remaja dapat menimbulkan masalah
seperti bau badan dan timbulnya jerawat
33 Kehamilan di bawah usia 20 tahun dikatakan tidak baik karena organ-
organ reproduksi perempuan belum sempurna
34 Selaput dara pada remaja perempuan berfungsi untuk mengalirkan
darah pada saat menstruasi
35 Penyakit kelamin dapat menyebabkan kebutaan, ketulian, pada bayi
yang dikandungnya
36 Melakukan hubungan seks pada saat menstruasi dapat juga
menyebabkan kehamilan

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
No Pertanyaan Benar Salah
37 Penularan HIV/ AIDS dapat juga diakibatkan karena penggunaan jarum
tindik, tattoo yang tidak steril secara bersama-sama
38 Jika sperma tidak dikeluarkan, maka akan keluar dengan sendirinya
melalui mimpi
39 Membersihkan kotoran yang keluar dari anus pada remaja perempuan
dianjurkan dengan gerakan dari vagina ke anus
40 Aborsi merupakan pengguguran kandungan sebelum janin dapat hidup
di luar kandungan

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
Kuesioner C
Petunjuk Pengisian :

Berikut ini terdapat sejumlah pernyataan. Pada setiap pernyataan, saudara diminta
untuk memberikan tanda ceklis (√) pada kolom pilihan jawaban yang paling
sesuai dengan kondisi saudara, dengan penjelasan TP = Tidak pernah, J= jarang,
P= pernah, Sr= sering, S= selalu.

No Pernyataan TP P J Sr S
1. Orangtua menerapkan disiplin belajar yang ketat
pada saya

2. Orangtua membiarkan saya melakukan hal-hal


yang ingin saya lakukan.

3. Orang tua memahami kebutuhan-kebutuhan


saya.

4. Orangtua mengabaikan kepentingan saya.

5. Orangtua marah bila saya menentang


keinginannya.

6. Orangtua banyak memberikan kebebasan pada


saya.

7. Orangtua membantu mencari jalan keluar bila


saya mendapat kesulitan.

8. Orangtua membiarkan saya dengan segala


kesulitan yang saya hadapi.

9. Orangtua mengharuskan saya bertingkah laku


sesuai dengan standar orangtua

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
No Pernyataan TP P J Sr S

10. Orangtua menerima pendapat saya walaupun


berbeda dengan pendapat orangtua.

11. Orangtua dapat mengerti keinginan-keinginan


saya

12. Orangtua mengutamakan kepentingannya


daripada kepentingan saya.

13. Orangtua menentukan sendiri aturan-aturan


dalam keluarga.

14. Orangtua membiarkan saya menentukan sendiri


masa depan saya.

15. Orangtua membangkitkan semangat saya bila


saya sedang putus asa.

16. Orangtua bersikap tertutup pada saya.

17. Orangtua memaksakan kehendaknya pada saya.

18. Orangtua membiarkan saya bertingkah laku


sesuai dengan standar saya sendiri.

19. Orangtua mendorong saya agar berani


mengemukakan pendapat.

20. Orangtua memiliki keterlibatan yang rendah


dengan urusan kuliah saya

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
No Pernyataan TP P J Sr S
21. Orangtua mengatur kehidupan saya

22. Orangtua menerapkan disiplin belajar yang


longgar pada saya.

23. Orangtua memperhatikan saya.

24. Orangtua jarang berkomunikasi dengan saya.

25. Orangtua memberikan hukuman bila saya salah.

26. Orangtua memberikan kebebasan pada saya


untuk menentukan pilihan.

27. Orangtua membimbing saya agar mampu


mengatur diri sendiri.

28. Orangtua sibuk dengan urusannya sendiri.

29. Orangtua marah bila saya mengemukakan


pendapat yang berbeda dengan orangtua.

30. Orangtua memberi kebebasan sepenuhnya pada


saya untuk mengatur diri sendiri.

31. Orangtua mengerti akan kesulitan-kesulitan saya.

32. Orangtua membenci saya.

33. Orangtua menentukan kegiatan yang harus saya


lakukan.

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
No Pernyataan TP P J Sr S
34. Orangtua dapat menerima bila saya menentang
pendapatnya.

35. Orangtua akrab dengan saya.

36. Orangtua hanya sendikit memberi perhatiannya


pada saya.

37. Orangtua mengawasi dengan ketat kehidupan


saya.

38. Orangtua membebaskan saya dari segala aturan-


aturan.

39. Orangtua bersikap terbuka pada saya.

40. Orangtua jarang mengungkapkan kasih


sayangnya pada saya.

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
Kuesioner D

Berilah tanda (√) di jawaban yang sesuai dan menggambarkan kondisi saudara

Domain Sub Pertanyaan Checklist


variabel
Benar Salah
Pengetahuan Berpelukan 1. Berpelukan dapat
menularkan penyakit
seksual
Masturbasi 2. Masturbasi atau onani
adalah rangsangan seksual
pada alat kelamin yang
dilakukan sendiri maupun
dengan alat
3. Masturbasi pada laki-laki
dapat menyebabkan
impotensi
4. Masturbasi dapat
menyebabkan kemandulan
bagi perempuan
Petting 5. Petting adalah mencium
daerah/ bagian sensitif
pasangan
6. Mencium bagian sensitif
pasangan dapat mendorong
keinginan untuk melakukan
hubungan intim
Oral seks 7. Oral seks adalah
memasukan alat kelamin
pasangan ke dalam mulut
8. Memasukan alat kelamin
ke dalam mulut tidak akan
menularkan penyakit

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
seksual.
Hubungan 9. Kehamilan tidak akan
seksual terjadi hanya dalam sekali
berhubungan badan
10. Aborsi (menggugurkan
kandungan) dapat
menyebabkan perdarahan
dan kemandulan pada
perempuan
Berciuman 11. HIV/AIDS dapat menular
melalui hubungan seksual
12. Ciuman bibir dengan pacar
merupakan ungkapan kasih
sayang.

Isilah kuesioner dibawah ini sesuai dengan pendapat saudara dengan jawaban:
Sangat setuju (SS), Setuju (S), Kurang setuju (KS), dan Tidak Setuju (TS).
Berilah tanda (√) pada kolom yang disediakan

Domain Sub variabel Pernyataan SS S KS TS

Sikap 1. Berpelukan membuat saya


Berpelukan
nyaman dan tenang

2. Berpelukan itu wajar di


jaman modern seperti
sekarang ini

3. Berpelukan dengan
pasangan membuat saya
merasa terlindungi

4. Melakukan onani
Masturbasi
(masturbasi) adalah hal
yang wajar pada remaja

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
Domain Sub variabel Pernyataan SS S KS TS

5. Meraba payudara/ alat


Petting
kelamin pacar
menunjukan rasa sayang
kepada pasangan

6. Meraba bagian sensitif


pasangan (payudara/ alat
kelamin) bukan
merupakan perilaku
seksual

7. Mencium/ dicium leher


Necking
pasangan menunjukan
keromantisan

8. Remaja yang sedang


berpacaran dilarang
melakukan ciuman leher

9. Oral seks boleh dilakukan


Oral seks
oleh remaja

10. Oral seks dilakukan untuk


mencegah kehamilan

11. Melakukan hubungan


Hubungan
seksual di usia remaja
seksual
akan merusak masa depan

12. Hubungan seks boleh


dilakukan sebelum
menikah asalkan saling
suka

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
Domain Sub variabel Pernyataan SS S KS TS

13. Melakukan hubungan seks


diluar nikah tidak sesuai
dengan norma agama

14. Hubungan seksual pada


remaja dilakukan dengan
menggunakan alat
kontrasepsi (kondom)

15. Melakukan hubungan


seksual dengan pacar
menjadi pengikat agar dia
tidak selingkuh

Isilah pernyataan di bawah ini dengan memberikan tanda (√) pada kolom yang
sudah disediakan

Selalu (S) : Jika saudara pernah melakukan/ memngalami lebih dari 3


kali

Sering (Sr) : Jika saudara pernah melakukan/ memngalami 2-3 kali

Jarang (J) : Jika saudara pernah melakukan/ memngalami 1 kali

Tidak pernah (TP) : Jika saudara tidak pernah melakukan/ mengalaminya

Domain Sub Pernyataan S Sr J TP


variabel
Praktik Aktifitas 16. Melakukan hubungan seksual
seksual (making love) dengan
pasangan
17. Melakukan hubungan seksual
untuk bersenang-senang
18. Berhubungan badan dengan

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
Domain Sub Pernyataan S Sr J TP
variabel
menggunakan alat kontrasepsi
(kondom)
19. Berhubungan badan lebih dari
satu pasangan
Masturbasi 20. Saya melakukan masturbasi/
onani bila dorongan seksual
muncul
Berpelukan 21. Berpelukan dengan pacar
22. Merangkul/ dirangkul pacar
Berpegangan 23. Berpegangan tangan dengan
tangan lawan jenis/ pacar
Petting 24. Meraba/ diraba bagian tubuh
yang sensitif dari pasangan
(payudara/ alat kelamin)
25. Saling menempelkan alat
kelamin
Oral seks 26. Melakukan seks oral
Berciuman 27. Mencium/ dicium pipi
28. Berciuman bibir/ mulut
Necking 29. Mencium/ dicium leher
30. Mencium/ dicium leher
sampai meninggalkan bekas
kemerahan

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
KUESIONER E

Berilah tanda (√) di jawaban yang sesuai dan menggambarkan kondisi saudara

No Pernyataan Selalu Sering Jarang Tidak


pernah
1 Saya mendapat informasi tentang hal-
hal pornografi dari media

2 Saya mengakses internet untuk


mencari video/ gambar pornografi

3 Saya menonton video porno dengan


teman

4 Saya menonton video porno sendiri

5 Saya mengakses dan melihat gambar-


gambar porno karena rasa ingin tahu

6 Syaa mencontoh cara berciuman


seperti di video yang saya tonton

7 Saya menggunakan singkatan saat


chating atau mengirim pesan singkat
(SMS) tentang hal porno dengan
teman/pacar

8 Saya menggunakan kata-kata rahasia


saat chating atau mengirim pesan
singkat (SMS) hal porno dengan
teman/pacar untuk mengelabui orang
tua

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
No Pernyataan YA TIDAK
9 Teman memberikan informasi tentang
pornografi kepada saya

10 Saya pernah mendapatkan


tulisan/gambar/video seksual dari
teman

11 Saya mendapatkan informasi seksual


pertama kali dari teman

12 Pendapat teman saya mempunyai


pengaruh penting terhadap keputusan
saya

Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017
Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan ..., Cluny Martina Mangkuayu, FIK UI, 2017

Anda mungkin juga menyukai