Anda di halaman 1dari 105

PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG WAKAF BUKU

DALAM KITAB BADĀI’ AL-SHANĀI’ KARYA ‘ALAUDDĪN


ABĪ BAKRI BIN MAS’ŪD AL-KĀSĀNĪ

SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1)
Dalam Ilmu Syari`ah Jurusan Ahwal al-Syakhshiyah

Oleh :

MOH. ABD BASITH


052111130

FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2011
ii
ii
iii
MOTTO


 

“Ketentuan-ketentuan hukum dapat berubah dengan berubahnya masa”1

1
Wahbah al-Zuhaili, Konsep Darurat dalam Hukum Islam Studi Banding dengan Hukum
Positif, terj. Said Agil Hussain al-Munawwar dan M. Hadri Hasan dari judul asli Nazhariyah al-
dharurah al-Syar’iyah Muqaranah Ma’a al-Qanun al-Wadli’i, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997,
hlm. 51.

iv
PERSEMBAHAN

Dalam perjuangan mengarungi samudera Ilahi tanpa batas, dengan keringat dan
airmata, kupersembahkan karya ini teruntuk orang-orang yang selalu hadir dan
berharap keindahannya. Kupersembahkan bagi mereka yang tetap setia di ruang
dan waktu kehidupanku, khususnya buat:

o Bapak dan Ibu (alm) tercinta yang selalu memberikan do’a restu dan
semangat laksana embun pagi yang tiada henti menyelimuti bumi di pagi
hari.

o Adik-adikku tersayang Karya ini kan menjadi sampan yang menepikan


yang selalu menjadi penghibur di setiap lelah pikirku

o Teman-teman kelas AS-B/2005 dan sobat-sobatku seperjuangan


(Panglima Hanafi, Ihya`, Syarif, Anam ”Mbolo”, Aziz, Ellis, Fatimah,
Anis, Joko ”Jack Sparrow”, , , dik Romli, dik Syukron, dik Ali ”Satgas”,
dik Fariz al-Benteng) karya ini adalah wujud kebersamaan kalian dan
semoga karya ini menjadi awal dan inspirasi masa depan.

o Adik-adik AS-A/2009 teruntuk Adib Mubarok, A. Junaedi, Faidhol, Ulil,


Wahab, Ulfa, Rosita, Terima kasih atas support dan bantuan kalian…

o Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, semoga karya ini menjadi bukti cinta
dan pengabdianku kepadamu dan bukan pertanda perpisahanku denganmu.

v
DEKLARASI

Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis


menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah
pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian
juga skripsi ini tidak berisi satupun pemikiran-pemikiran
orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi
yang dijadikan bahan rujukan.

Semarang, 9 Juni 2011

Deklarator

Moh. Abd Basith


NIM. 052111130

vi
ABSTRAK

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pendapat Imam Abu Hanifah yang


menyatakan bahwa wakaf buku tidak dapat diperbolehkan karena termasuk wakaf
manqūl (bergerak). Sedangkan para ulama` lain, termasuk para imam madzhab
lain berpendapat bahwa wakaf benda bergerak diperbolehkan. Pendapat Imam Abu
Hanifah tersebut dapat ditemukan dalam salah satu kitab dari pengikut madzhab
hanafiyah, yakni Badāi’ al-Shanāi’ karya ‘Alauddīn Abī Bakri bin Mas’ūd al-
Kāsānī. Kajian ini meliputi tentang pendapat beliau dan istinbath hukumnya.
Pengkajian terhadap istinbath hukum dilakukan karena dalam literer-literer yang
membahas pemikiran Imam Abu Hanifah tidak diketemukan bagaimana istinbath
hukum yang dilakukan oleh Imam Abu Hanifah. Oleh sebab itulah, dalam
penelitian ini akan dicoba untuk melakukan pembacaan terhadap metode istinbath
beliau dalam merumuskan pendapatnya tentang wakaf buku.
Untuk merealisasikan pengkajian tersebut, maka dalam penelitian ini
diajukan tiga rumusan masalah, yakni bagaimana pendapat Imam Abu Hanifah
tentang wakaf buku? bagaimana metode istinbath hukum Imam Abu Hanifah
tentang wakaf buku? Dan bagaimana relevansi pendapat Imam Abu Hanifah
tentang wakaf buku pada masa sekarang?
Metodologi penelitian yang digunakan sebagai penunjang adalah
metodologi penelitian kepustakaan yang bersifat kualitatif. Sumber data primer
dalam penelitian ini adalah kitab Badāi’ al-Shanāi’, sedangkan sumber data
sekunder adalah teori-teori yang berhubungan dengan konsep wakaf dalam hukum
Islam. Pengumpulan data dilakukan melalui teknik dokumentasi. Sedangkan
analisa data menggunakan teknik analisa deskriptif kualitatif.
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa pendapat Imam Abu Hanifah
tentang tidak boleh wakaf buku karena merupakan manqūl dan tidak memenuhi
syarat ta`bīd dalam dzat benda dan manfaatnya untuk umat manusia. Namun disisi
lain, penyandaran manqūl pada tidak terpenuhinya ta`bīd dalam pendapat Imam
Abu Hanifah dapat dijadikan acuan umat Islam dalam mengelola wakaf buku
sehingga esensi fungsi wakaf tetap terjaga karena adanya ta`bīd yang tidak hanya
pada benda wakaf semata namun juga menyangkut tahan lama kemanfaatan bagi
orang banyak (lil ‘āmmah). Istinbath hukum yang dilakukan oleh Imam Abu
Hanifah mengenai tidak bolehnya wakaf buku disandarkan pada ra`yu terhadap
hadits yang menceritakan dialog Nabi SAW dengan Umar bin Khattab tentang
pemanfaatan tanah khaibar yang dimiliki oleh Umar. Ra`yu tersebut diterapkan
pada kata-kata  
(tanah), 
 
(jika kamu menginginkan maka
tahanlah asalnya) dan   ! (dan shadaqahkanlah darinya) yang mana dari
ma’qūl yang dilakukan itu kemudian lahirnya konsep wakaf Imam Abu Hanifah.
Dari proses ra`yu tersebut didapatkan konsep wakaf Imam Abu Hanifah yakni
wakaf yang diperbolehkan adalah wakaf harta yang menetap yang didasarkan pada
aspek tanah (ardl). Hal ini kemudian menimbulkan akibat bahwa harta benda yang
tidak menetap tidak boleh diwakafkan. Jadi istinbath hukum yang dilakukan oleh
Imam Abu Hanifah adalah istinbath kausalitas benda bergerak terhadap harta
benda yang diwakafkan dalam hadits Nabi SAW.

vii
KATA PENGANTAR

‫ ا وا ان ﻡا  ور‬ ّ ‫ب ا ا ان  ا ا‬


ّ ‫ا ر‬
.‫ اﻡ ﺏ‬%‫ وا ﺏ أ‬# !‫ا ّ  !  " ﻡ و‬

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha


Penyayang. Tiada kata yang pantas diucapkan selain ucapan syukur kehadirat
Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq serta hidayahnya sehingga
penyusun dapat menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi dengan judul ”Pendapat Imam Abu Hanifah Tentang Wakaf
Buku dalam Kitab Badāi’ al-Shanāi’ Karya ‘Alauddīn Abī Bakri Bin Mas’ūd
al-Kāsānī”, disusun sebagai kelengkapan guna memenuhi sebagian dari syarat-
syarat untuk memperoleh gelar sarjana dalam Ilmu Hukum Islam di Fakultas
Syari’ah IAIN Walisongo Semarang.
Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak dapat
berhasil dengan baik tanpa adanya bantuan dan uluran tangan dari berbagai pihak.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih
kepada:
1. Bapak, Ibu (alm) dan adik-adikku atas do’a restu dan pengorbanan baik secara

moral ataupun material yang tidak mungkin terbalas.

2. Dr. Imam Yahya, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Syari’ah, yang telah memberi

kebijakan teknis di tingkat fakultas.

3. Drs. Rokhmadi, M.Ag dan H. Ahmad Furqon, Lc., M.A., selaku Pembimbing I

dan Pembimbing II yang dengan penuh kesabaran dan keteladanan telah

berkenan meluangkan waktu dan memberikan pemikirannya untuk

membimbing dan mengarahkan peneliti dalam pelaksanaan penelitian dan

penulisan skripsi.

viii
4. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang yang telah

memberi bekal ilmu pengetahuan serta staf dan karyawan fakultas syari’ah,

dengan pelayanannya.

5. Segenap pihak yang tidak mungkin disebutkan, atas bantuannya baik moril

maupun materiil secara langsung atau tidak dalam penyelesaian skripsi ini.

Semoga semua amal dan kebaikannya yang telah diperbuat akan

mendapat imbalan yang lebih baik lagi dari Allah SWT dan penulis berharap

semoga skripsi ini dapat bermanfaat. Amin…

Semarang, 9 Juni 2011


Penyusun

Moh. Abd Basith


NIM. 052111130

ix
DAFTAR ISI

Halaman Cover .......................................................................................... i


Halaman Persetujuan Pembimbing ......................................................... ii
Halaman Pengesahan ................................................................................. iii
Halaman Motto .......................................................................................... iv
Halaman Persembahan .............................................................................. v
Halaman Deklarasi .................................................................................... vi
Halaman Abstrak ........................................................................................ vii
Halaman Kata Pengantar ........................................................................... viii
Daftar Isi ..................................................................................................... x

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................. 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................ 8
D. Tinjauan Pustaka .............................................................. 9
E. Metodologi Penelitian ...................................................... 12
F. Sistematika Penulisan ....................................................... 16

BAB II KETENTUAN TENTANG WAKAF


A. Pengertian Wakaf .............................................................. 18
B. Dasar Hukum Wakaf ......................................................... 20
C. Rukun dan Syarat Wakaf ................................................. 22
D. Hakekat Wakaf ............................................................... .. 27

BAB III PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG


WAKAF BUKU DALAM KITAB BADĀI’ AL-SHANĀI’
KARYA ‘ALAUDDĪN ABĪ BAKRI BIN MAS’ŪD AL-
KĀSĀNĪ
A. Biografi Imam Abu Hanifah ............................................ 36
B. Pendapat Imam Abu Hanifah tentang Wakaf Buku ……. 44

x
C. Metode Istinbath Hukum Imam Abu Hanifah .................. 48
D. Metode Istinbath Hukum Imam Abu Hanifah
Tentang Wakaf Buku ......................................................... 55

BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH


TENTANG WAKAF BUKU DALAM KITAB BADĀI’
AL-SHANĀI’ KARYA ‘ALAUDDĪN ABĪ BAKRI BIN
MAS’ŪD AL-KĀSĀNĪ
A. Analisis Pendapat Pendapat Imam Abu Hanifah tentang
Wakaf Buku ...................................................................... 58
B. Analisis Istinbath Hukum Imam Abu Hanifah tentang
Tidak Diperbolehkan Wakaf Buku ................................... 67
C. Analisis Terhadap Penerapan Pendapat Imam Abu
Hanifah tentang Tidak Diperbolehkan Wakaf Buku Pada
Masa Sekarang ………………………………. ................. 82

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................... 86
B. Saran-saran ....................................................................... 88
C. Penutup.............................................................................. 88

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

BIOGRAFI PENULIS

xi
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Harta benda merupakan salah satu aspek terpenting dalam kehidupan

manusia. Manusia sangat sulit untuk melepaskan diri dari ketergantungan

kepada harta benda, karena setiap kegiatan kehidupan manusia berhubungan

dengan harta benda.

Pada hakekatnya, harta benda yang dimiliki oleh manusia adalah

amanah Allah yang harus dijaga dan diperlakukan manusia sesuai dengan

ketentuan yang diberlakukan oleh Allah (syari’at). Salah satu syari’at Allah

mengenai harta benda yang diberikan Allah kepada manusia terdapat hak

orang lain yang harus diberikan oleh manusia penerima harta tersebut melalui

shadaqah atau zakat. Penggunaan hasil pengumpulan harta benda dari

pemungutan shadaqah juga diterangkan oleh Allah dalam firman-Nya yang

lain yakni surat at-Taubah ayat 60.

Selain syari’at penyisihan harta yang diperoleh manusia untuk

shadaqah, terdapat syari’at Islam lainnya yang berkaitan dengan harta benda,

yakni wakaf. Sama halnya dengan shadaqah, wakaf juga merupakan ibadah

yang memiliki nilai sosial. Perbedaan antara shadaqah dengan wakaf terletak

pada mustahiq (penerimanya). Shadaqah – sebagaimana disebutkan dalam

1
surat Taubah ayat 602 – diperuntukkan bagi orang-orang yang telah ditentukan

menurut syara’. Sedangkan peruntukan wakaf tidak disandarkan pada

ketentuan orang-orang tertentu yang berhak menerima manfaatnya melainkan

disandarkan pada kemaslahatan umat (kepentingan orang banyak).

Secara etimologis kata “wakaf” berasal dari bahasa Arab, yaitu kata

benda abstrak (mashdar) waqfan, atau kata kerja (fi’il) waqafa-yaqifu yang

berarti “ragu-ragu, berhenti, memberhentikan, memahami, mencegah,

menahan, menggantikan, memperlihatkan, meletakkan, mengabdi dan tetap

berdiri”.3 Kata “wakaf” bagi orang Arab biasanya digunakan untuk objek (isim

maf’ūl), yaitu sebagai mauqūf. Hal yang sama biasanya dalam bahasa

Indonesia juga digunakan untuk objek yang diwakafkan.4

Meski memiliki kejelasan makna dalam konteks bahasa, di kalangan

para imam mazhab terdapat khilafiyah mengenai harta yang telah diwakafkan.

Khilāfiyah (perbedaan) tersebut di antaranya meliputi hakekat kepemilikan

terhadap harta benda yang diwakafkan hingga jenis-jenis harta benda yang

dapat diwakafkan.

( È≅‹Î6¡¡9$# Èø⌠$#uρ «!$# È≅‹Î6y™ †Îûuρ tÏΒÌ≈tóø9$#uρ É>$s%Ìh9$# †Îûuρ öΝåκæ5θè=è% Ïπx©9xσßϑø9$#uρ $pκön=tæ t,Î#Ïϑ≈yèø9$#uρ ÈÅ3≈|¡yϑø9$#uρ Ï!#ts)àù=Ï9 àM≈s%y‰¢Á9$# $yϑ¯ΡÎ)
٢

∩∉⊃∪ ÒΟ‹Å6ym íΟŠÎ=tæ ª!$#uρ 3 «!$# š∅ÏiΒ ZπŸÒƒÌsù

Artinya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang


miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan)
budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam
perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana” (Q.S. al-Baqarah : 60)
3
Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir, Yogyakarta: PP. Al-Munawir, 1984. hlm.
219 dan 1683.
4
Penjelasan mengenai penggunaan kata wakaf di kalanngan masyarakat Arab dapat dilihat
dalam Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia, Bandung: Yayasan Piara, 1995, hlm. 6; dan lihat
juga Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf, Jakarta : UI Press, 1988,
hlm. 80.

2
Terkait dengan hakekat kepemilikan, Imam Hanafi dan Malik

menegaskan bahwa hak kepemilikan harta benda yang telah diwakafkan tetap

berada di tangan orang yang berwakaf (wāqif) kecuali wakaf untuk masjid.5

Sedangkan Imam Syafi’i dan Imam Hambali menyebutkan bahwa hak

kepemilikan harta benda yang telah diwakafkan secara otomatis akan

berpindah dari orang yang mewakafkan kepada penerima wakaf saat

terjadinya akad wakaf.6

Selain masalah hak kepemilikan, khilāfiyah juga terjadi pada lingkup

jenis harta benda yang dapat diwakafkan. Dalam persoalan jenis harta benda

yang dapat diwakafkan, madzhab Hanafi menyatakan bahwa harta yang boleh

diwakafkan hanya harta benda yang tidak bergerak, kalaupun diperbolehkan

wakaf harta bergerak itu hanya pengecualian semata.7 Sedangkan jumhur

ulama (Malikiyah, Hanabaliyah, dan Syafi’iyah) berpendapat bahwa wakaf

dapat dilakukan pada harta benda bergerak maupun tidak bergerak.8

5
Menurut Imam Hanafi dan Imam Maliki, harta yang diwakafkan untuk masjid hak
kepemilikannya akan berpindah dari hak milik waqif menjadi hak milik Allah. Meskipun memiliki
kesamaan tentang hakikat kepemilikan, antara Imam Hanafi dan Imam Malik terdapat juga
perbedaan tentang hak pemilik atas harta yang diwakafkan selama masa wakaf yang telah
disepakati. Menurut Imam Hanafi, pemilik harta yang diwakafkan boleh melakukan kegiatan
muamalah terhadap harta benda yang telah diwakafkan meskipun masih berada dalam waktu
wakaf yang telah disepakati; sedangkan menurut Imam Malik, hal itu tidak diperkenankan.
6
Penjelasan tentang khilafiyah tentang hak kepemilikan harta wakaf setelah adanya akad
wakaf dapat dilihat dalam Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan
Haji, Paradigma Baru Wakaf Di Indonesia, hlm. 2-4. untuk lebih jelas lihat Wahbah az-Zuhailiy,
Fiqih Islamiy wa Adilatuhu, Beirut: Daar al-Fikr, t.th, Jilid VIII: hlm. 7599-7605; Abdul Ghofur
Anshori, Hukum dan Praktek Perwakafan di Indonesia, Yogyakarta: Pilar Media, 2005, hlm. 33-
34.
7
Wakaf benda bergerak yang dapat diterima oleh Mazhab Hanafi adalah terkait dengan
buku atau sumber ilmu pengetahuan. Lihat lebih jelas dalam Mundzir Qahaf, Manajemen Zakat
Produktif, Jakarta: Khalifa, Cet. I, 2004, hlm. 145.
8
Secara lebih jelas dapat dilihat dalam Muhammad Abu Zahrah, Muhādharāt fī al-Waqf,
Kairo: Dār al-Fikr, t.th, hlm. 41.

3
Implikasi dari adanya perbedaan tentang jenis harta benda yang dapat

diwakafkan, khususnya dalam hal harta benda yang bergerak adalah timbulnya

perbedaan pendapat di kalangan ulama mazhab. Seperti halnya dalam masalah

wakaf mushaf al-Qur’an. Perbedaan ini terjadi antara Imam Abu Hanifah

dengan ketiga mazhab lainnya (Maliki, Hanbali, dan Syafi’i) serta pengikut

Mazhab Hanafi sendiri di mana Imam Abu Hanifah tidak memperbolehkan

adanya wakaf mushaf al-Qur’an sedangkan ketiga mazhab lainnya

membolehkan wakaf mushaf al-Qur’an.9

Pendapat Imam Abu Hanifah ini dapat dilihat dalam kitab Badāi’ al-

Shanāi’ yang ditulis oleh ‘Alauddīn Abī Bakri bin Mas’ūd al-Kāsānī sebagai

berikut:

12
"#$ %& '& () *+ ,- . /
0! &!
“Dan terkait dengan wakaf buku, maka pendapat asli dari Abu
Hanifah adalah tidak boleh”

Pendapat Imam Abu Hanifah mengenai ketidakbolehan wakaf buku

tidak dapat dilepaskan dari pendapat beliau tentang tidak bolehnya wakaf

benda bergerak (manqūl) sebagai berikut:

"#$ A& 6* 6?@


()
=> ! : ;$) :
( 6 (67*8! '4$5  0!*+ !)
١١

9
Mundzir Qahaf, op. cit., hlm. 147.
10
‘Alauddīn Abī Bakri bin Mas’ūd al-Kāsānī, Badāi’ al-Shanāi’, Juz VIII, Beirut: Dār al-
Kutub al-‘Ilmiyah, t.th., hlm. 400.
11
Imām Kamāluddīn Muhammad bin Abdul Wāhid al-Sīrāsī, Fath Al-Qadīr, Juz VI, Beirut:
Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th., hlm. 200. Lihat dalam Syarkh Fath Al-Qadīr, Mushonnif kitab ini
berkata bahwa kalimat 67*8! '4$5  0!*+ ! ini adalah perkataan imam Quduri yang irsāl, dan
pernyataan kalimat tersebut adalah muthlak dari perkataan Abu Hanifah. Lihat juga, Abī
Muhammad Mahmūd bin Ahmad al-‘Ainī, al-Banāyah fī Syarh al-Hidāyah, Juz VI, Dār al-Fikr,
t.th., hlm.157.

4
”Tidak boleh mewakafkan benda yang dapat dipindah dan disebar dan
ini adalah perkataan Abu Hanifah”

Secara dasar hukum, tidak ada hadits Nabi SAW yang menjelaskan

mengenai tata laksana wakaf. Hadits Nabi SAW yang dijadikan sebagai

kebolehan wakaf adalah hadits yang menceritakan tentang dialog Nabi dengan

Umar bin Khattab mengenai tanah Khaibar sebagai berikut:

: *) B
$C D EF
:
) B 7GH $C I? B "  $C
 
N
NOP
B JG)
:G$) :
( JG) B
B) K-E LME

.
U  

L
::
6*? 5 :64- - TJM 5 .Q R$/
(M-
 ! 
 
":6 Y; LJM G- ,;$ D$) V#E
W 
^  [ ! .\*5 ! .>*5 ! ]5 ;E
JG)  [ - :6 "
a$b ! ,0_/
! '/
B
! :
'? ^! NJ/
^! %J4/
^! `
J4#/

; \h- 6 .6*G  c dIO5! e!JIf $ 'gM5


/! B ()
١٢
 'CM  c :64- B5J? B

“Telah mengkabarkan kepada kami Quthaibah bin Said, telah


mengabarkan kepada kita Muhammad bin Abdullah al-Anshori, telah
mengabarkan kepada kita Ibnu ‘Auni, beliau berkata: telah bercerita
kepadaku Nafi’ dari Ibnu Umar r.a: Sesungguhnya Umar bin Khattab
mempunyai tanah di Khaibar, kemudian beliau datang kepada Nabi
untuk memohon petunjuk. ‘Umar berkata: Ya Rasūlullāh ! Saya
memperoleh sebidang tanah di Khaibar, saya belum pernah mendapat
harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku ?
Rasūlullāh menjawab: Apabila engkau mau, maka tahanlah zat (asal)
bendanya dan şadaqahkanlah hasilnya (manfaatnya)”. Kemudian
‘Umar melakukan şadaqah, tidak dijual, tidak juga dihibahkan dan juga
tidak diwariskan. Ibnu ‘Umar berkata: ‘Umar menyalurkan hasil tanah
itu bagi orang-orang fakir, kaum kerabat, budak belian, orang-orang
yang berjuang di jalan Allah (sabilillah), orang-orang yang kehabisan
bekal di perjalanan (ibnu sabil) dan tamu. Dan tidak berdosa bagi

12
Abī Abdullah Muhammad bin Ismā’īl al-Bukharī, Matan Masykūl Bukhārī, Juz II, Beirut:
Dār al-Fikr, 1994, hlm. 124.

5
orang yang mengurusi harta wakaf tersebut makan dari hasilnya
dengan cara yang baik dan tidak berlebihan (dalam batas kewajaran).
Kemudian Ibnu Umar berkata: maka Ibnu Sirin telah mengabarkan
kepadaku dan beliau berkata: makan dengan tidak menumpuk harta.

Dari hadits di atas tidak ada penjelasan mengenai jenis-jenis benda

yang dapat diwakafkan karena dalam hadits tersebut hanya menyebutkan

tanah sebagai obyek wakaf. Namun oleh Imam Abu Hanifah, hadits di atas

dijadikan sandaran mengenai bentuk wakaf dari benda menetap dan bukan

dari benda yang bergerak. Alasannya adalah tidak adanya pemenuhan syarat

ta’bīd dalam wakaf manqūl.

Selain hadits di atas, terdapat juga hadits lain yang juga digunakan

oleh para ulama untuk menentukan kebolehan wakaf benda bergerak. Namun,

bagi Imam Abu Hanifah bukanlah hadits yang dapat dijadikan hujjah bagi

wakaf benda bergerak. Hadits tersebut adalah hadits yang menceritakan ketika

Nabi memerintah Umar untuk menarik shadaqah kepada tiga sahabat sebagai

berikut:

NOP
B JG) .Q l$/
kI :ihh /
^ ;$) :
( jJ5J> %& B)
:.Q :
6*? 64- ,p7I/
! /*/
B /q!.'n B o K$G- ,m /
()
,
/q *Gs dEt- /q &! ,:
T$cM-
4- g o r o 'n B o d4$5 
v- .Q :
6*? d) pI/
&! ,:
'? ^ T )& ! ;)
u& V o !
١٣
(;) y# ) ; & *$ 'bJ/
d) & mJI& : 6 x ,w! v7 )
“Dari Abu Hurairah r.a dalam shahīhain, Nabi SAW mengutus Umar
bin Khatthab untuk mengambil shadaqah, kemudian Ibnu Jamil,
Khalid bin Walid dan Ibnu Abbas tidak memberikan (zakat), maka

13
‘Alauddīn Abī Bakri bin Mas’ūd al-Kāsānī, op. cit., hlm. 398; dan lihat juga hadits yang
sama namun berbeda redaksi dalam Ahmad bin al-Syafi’i, Bulūgh al-Marām, Beirut: Dār al-Kutub
al-Islamiyah, t.th., hlm. 235.

6
Rasulullah SAW bersabda: Ibnu Jamil tidak akan dibebani hukuman
kecuali apabila dia fakir kemudian Allah memberikan kekayaan
kepadanya, sedangkan terhadap Khalid, maka kamu sekalian telah
mendzaliminya karena sesungguhnya dia telah menahan baju besi dan
peralatan perang di jalan Allah (fi sabīlillāh), sedangkan Abbas adalah
paman Rasulullah SAW, maka zakatnya menjadi tanggunganku begitu
pula shadaqah semisalnya. Kemudian beliau bersabda hai Umar,
tidakkah engkau merasa bahwa paman seorang lelaki mewakili
ayahnya” (H.R. Muttafaq ‘Alaih)

Berdasarkan penjelasan di atas, menurut penulis, akan menjadi sesuatu

yang menarik untuk dikaji mengenai metode istinbath hukum Imam Abu

Hanifah mengenai wakaf buku sehingga akan dapat diketahui bagaimana

pendapat Imam Abu Hanifah tentang wakaf buku. Hasil penelitian yang

mengacu pada kaidah penelitian kepustakaan (library research) ini nantinya

akan disusun dalam laporan yang berbentuk skripsi dengan judul “Pendapat

Imam Abu Hanifah tentang Wakaf Buku dalam Kitab Badāi’ al-Shanāi’ Karya

‘Alauddīn Abī Bakri bin Mas’ūd al-Kāsānī”.

B. Rumusan Masalah

Sebagai upaya untuk memfokuskan obyek permasalahan, maka dalam

penelitian ini akan diajukan dua rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pendapat Imam Abu Hanifah tentang wakaf buku?

2. Bagaimana metode istinbath hukum Imam Abu Hanifah tentang wakaf

buku?

3. Relevansi pendapat Imam Abu Hanifah tentang wakaf buku pada masa

sekarang?

7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian yang akan dilakukan oleh penulis ini dapat

dijelaskan dalam dua jenis tujuan, yakni:

1. Tujuan Formal

Tujuan formal dari penelitian ini adalah untuk memenuhi dan

melengkapi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan studi program

Strata I (S.1) dalam ilmu Syari’ah jurusan al-Ahwal al-Syahsiyah Fakultas

Syari’ah IAIN Walisongo Semarang.

2. Tujuan Fungsional

Tujuan fungsional lebih mengarah pada tujuan ilmiah dari

penelitian yang akan dilaksanakan. Tujuan fungsional berhubungan

dengan upaya mencari jawaban atas permasalahan yang dijadikan obyek

penelitian. Dengan demikian, tujuan fungsional dari penelitian ini adalah

untuk:

a. Mengetahui pendapat Imam Abu Hanifah tentang wakaf buku.

b. Mengetahui metode istinbath hukum Imam Abu Hanifah tentang

wakaf buku.

c. Mengetahui relevansi pendapat Imam Abu Hanifah tentang buku pada

masa sekarang.

Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat praktis

Manfaat praktis dari penelitian ini adalah sebagai bagian dari

implementasi keilmuan dari proses belajar penulis selama ini.

8
2. Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah sebagai media untuk

mengembangkan khazanah teori yang berhubungan dengan wakaf.

D. Tinjauan Pustaka

Untuk menghindarkan asumsi plagiatisasi sekaligus sebagai bahan

sekunder dalam penelitian ini, penulis akan memaparkan beberapa hasil

penelitian terdahulu maupun tulisan yang memiliki hubungan dengan

penelitian yang akan penulis laksanakan.

Pertama, skripsi dari Lu’lu Ilma’ Sunah yang berjudul Wakaf Tunai

Ditinjau Dari Hukum Islam. Skripsi ini menguraikan tentang salah satu bentuk

wakaf produktif adalah wakaf tunai (cash waqf). Wakaf produktif merupakan

pemberian dalam bentuk sesuatu yang bisa diusahakan atau digulirkan untuk

kebaikan dan kemaslahatan umat. Bentuknya bisa berupa uang atau surat-surat

berharga.14

Kedua, skripsi dari Moh. Nur Kaukab yang berjudul Studi Analisis

Mengenai Wakaf Pohon Produktif Pada Tabung Wakaf Indonesia (TWI).

Penelitian ini menyimpulkan bahwa menurut kajian hukum Islam wakaf

pohon yang berada di Tabung Wakaf Indonesia boleh karena dapat

mendatangkan kemaslahatan bagi umat manusia.15

14
Lu’lu Ilma’ Sunah, “Wakaf Tunai Ditinjau Dari Hukum Islam”, Skripsi, Tidak
Dipublikasikan, Semarang: Perpustakaan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 2002.
15
Moh. Nur Kaukab, “Studi Analisis Mengenai Wakaf Pohon Produktif Pada Tabung
Wakaf Indonesia (TWI)”, Skripsi, Tidak Dipublikasikan, Semarang: Perpustakaan Fakultas
Syari’ah IAIN Walisongo, 2009.

9
Ketiga, skripsi dengan judul Studi Analisis Pendapat Imam Hanafi

Tentang Pemilikan Harta Wakaf yang disusun oleh Enny Dwi Yuniastuti.

Dalam skripsinya dijelaskan tentang pendapat Imam Hanafi. Analisanya

bahwa menurut Imam Hanafi wakaf itu tergantung pada niatnya. Menurut

Imam Hanafi dasar diperkenankannya wakaf itu sebagai ‘ariyah. Yakni

mentasharufkan kemanfaatan ke arah wakaf dan penetapan benda itu diatas

pemilikan wakaf, diperkenankan bagi wakif untuk meminta kembali harta

wakaf dan boleh menjualnya serta mewariskannya.16

Keempat, skripsi yang berjudul Studi Analisis Terhadap Pendapat Abu

Hanifah Tentang Penarikan Kembali Harta Wakaf yang disusun oleh Noer

Chasanah. Skripsi ini mengkaji pendapat Abu Hanifah tentang penarikan

kembali harta wakaf. Analisanya yaitu, bahwa menurut Abu Hanifah wakaf

adalah pemindahan hak pemanfaatan dan pengelolaan dari wakif sebagai

pemilik harta wakaf kepada mauquf ‘alaih. Karena harta wakaf tersebut masih

sebagai milik wakif. Maka kedududan wakaf itu tertahan pada pengelola

wakaf (nādzir). Inilah yang dimaksud dengan al-habs menurut Abu Hanifah.

Yang didefinisikan oleh para ulama dengan kata habasa al-’aini dan habasa

lil-aini.17

Kelima, skripsi yang berjudul Studi Komparatif Persepsi Imam Hanafi

Dan Imam Syafi’i Tentang Masa Berlakunya Harta Wakaf yang disusun oleh

16
Enny Dwi Yuniastuti, Studi Analisis Pendapat Imam Hanafi Tentang Pemilikan Harta
Wakaf, Skripsi, Tidak Dipublikasikan, Semarang: Perpustakaan Fakultas Syari’ah IAIN
Walisongo, 2002.
17
Noer Chasanah, Studi Analisis Terhadap Pendapat Abu Hanifah Tentang Penarikan
Kembali Harta Wakaf, Skripsi, Tidak Dipublikasikan, Semarang: Perpustakaan Fakultas Syari’ah
IAIN Walisongo, 2000.

10
Istiqomah. Dalam skripsi ini yang dikaji adalah kontroversi antara pendapat

Imam Hanafi dengan pendapat Imam Syafi’i tentang masa berlakunya harta

wakaf. Analisanya menurut Imam Hanafi, wakaf akan berakhir sesuai dengan

kesepakatan antara wakif dan nadzir (wakaf jangka waktu tertentu). Hal ini

berbeda dengan pendapat yang dikemukakan oleh Imam Syafi’i yang

mengatakan bahwa wakaf berlaku untuk selamanya, karna harta wakaf sudah

menjadi milik Allah.18

Keenam, skripsi yang berjudul Analisis Pendapat Imam Syafi’i

Tentang Penarikan Kembali Harta Wakaf Oleh Pemberi Wakaf yang disusun

oleh Rudy Pamungkas. Skripsi ini mengkaji pendapat Imam Syafi’i bahwa

akad wakaf termasuk akad lazim oleh karena itu benda yang telah diwakafkan

bukan lagi milik wakif melainkan telah menjadi milik umum atau milik Allah

akibatnya adalah bahwa benda yang telah diwakafkan tidak boleh dijual,

dihibahkan maupun diwariskan karena memang bukan lagi milik perorangan

melainkan milik publik (umat). Pendapat Imam Syafi’i yang menetapkan

kedudukan harta wakaf sebagai harta permanen yang tidak bisa ditarik

kembali didasarkan atas alasan demi kepastian hukum bagi penerima wakaf

sehingga harta wakaf dapat difungsikan secara leluasa dan tidak terikat dengan

waktu.19

18
Istiqomah, Studi Komparatif Persepsi Imam Hanafi Dan Imam Syafi’i Tentang Masa
Berlakunya Harta Wakaf, Skripsi, Tidak Dipublikasikan, Semarang: Perpustakaan Fakultas
Syari’ah IAIN Walisongo, 1991.
19
Rudy Pamungkas, Analisis Pendapat Imam Syafi’i Tentang Penarikan Kembali Harta
Wakaf Oleh Pemberi Wakaf, Skripsi, Tidak Dipublikasikan, Semarang: Perpustakaan Fakultas
Syari’ah IAIN Walisongo, 2010.

11
Berdasarkan telaah pustaka yang telah penulis sebutkan diatas, maka

penelitian skripsi ini berbeda dengan penelitian sebelumnya, Oleh sebab itu

penulis merasa yakin untuk tetap melaksanakan penelitian ini mengenai

Pendapat Imam Abu Hanifah tentang Wakaf Buku dalam Kitab Badāi’ al-

Shanāi’ Karya ’Alauddīn Abī Bakri bin Mas’ūd al-Kāsānī.

E. Metode Penelitian

Untuk mendapatkan kajian yang dapat dipertanggungjawabkan secara

ilmiah, maka penulis akan menggunakan metode penelitian dengan langkah-

langkah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian library research (penelitian

kepustakaan), yakni sebuah penelitian yang mana metode untuk

memperoleh data bersumber dari buku atau kitab yang ada kaitannya

dengan permasalahan yang dibahas.20

2. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini ada dua jenis dengan penjelasan

sebagai berikut:

a. Data

Data dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua, yakni data

primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang berhubungan

langsung dengan obyek kajian dalam penelitian ini, yakni pendapat

Imam Abu Hanifah tentang wakaf buku. Sedangkan data sekunder


20
Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah; Dasar, Metode dan Teknik, Bandung:
Tarsito, Edisi VII (disempurnakan), 1989, hlm. 251.

12
adalah data yang menunjang penelitian dan masih memiliki hubungan

dengan data primer namun bukan data utama. Data sekunder dalam

penelitian ini adalah data yang berhubungan dengan teori wakaf.

b. Sumber data primer

Pengertian sumber data primer adalah sumber-sumber yang

memberikan data langsung dari tangan pertama.21 Sumber data primer

dengan obyek kajian pendapat Imam Abu Hanifah tentang wakaf buku,

idealnya adalah referensi yang berasal dari Imam Abu Hanifah

langsung sebagai tangan pertama. Oleh karena Imam Abu Hanifah

tidak membuat kitab (buku), maka sumber data primer dalam

penelitian ini tidak diambilkan dari tangan pertama. Maka itu, sumber

data primer dalam penelitian ini adalah sumber bahan sekunder yang

berupa kitab Badāi’ al-Shanāi’ karya Imam ’Alauddīn Abī Bakri bin

Mas’ūd al-Kāsānī, salah seorang pengikut mazhab Hanafi.

c. Sumber data sekunder

Yakni sumber yang diperoleh, dibuat dan merupakan pendukung dari

sumber utama dan sifatnya tidak langsung.22 Sumber-sumber data

sekunder dalam penelitian ini mencakup bahan-bahan tulisan yang

berhubungan dengan permasalahan wakaf, baik dalam bentuk kitab,

buku, maupun peraturan perundang-undangan di antaranya: kitab al-

Muhalla, al-Iqna, maupun UU No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf serta

21
Chalid Narbuko, Metodologi Penelitian, Jakarta: Bumi Aksara, Cet. III, 2001, hlm. 43.
22
Ibid.

13
literatur ilmiah lainnya, baik yang diambil dari sumber bahan primer

maupun sumber bahan sekunder.

3. Pengumpulan Data

Sebagai konsekuensi dari penelitian kepustakaan, maka dalam

pengumpulan data penulis menggunakan teknik dokumentasi. Pengertian

dari teknik dokumentasi adalah cara mengumpulkan berbagai informasi

dari buku-buku atau karya ilmiah yang berkaitan dengan pembahasan

skripsi ini.23

Aplikasi metode dokumentasi dalam penelitian ini adalah dengan

pelaksanaan pengumpulan data-data tertulis yang berhubungan dengan

pendapat Imam Abu Hanifah tentang wakaf buku, baik dari sumber data

primer maupun sekunder.

4. Analisis Data

Analisis data adalah proses menyusun data agar data tersebut dapat

ditafsirkan.24 Untuk menganalisis data dalam penelitian ini, penulis

menggunakan kaidah analisis deskriptif kualitatif dengan pendekatan

normatif. Sedangkan teknik-teknik analisis yang akan digunakan meliputi

content analysis (analisis isi). Analisis isi merupakan cara menguraikan

masalah yang sedang dibahas secara teratur mengenai seluruh konsepsi

pemikiran tokoh yang tertuang dalam karya tulisnya.25 Teknik analisis isi

23
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka
Cipta, 2006, hlm. 44
24
H. Dadang Kahmad, Metode Penelitian Agama, Bandung: CV Pustaka Setia, 2000, hlm.
102.
25
Anton Bekker dan Ahmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta:
Kanisius, 1990, hlm. 65.

14
digunakan oleh penulis untuk menganalisis isi kitab yang memuat

pemikiran Imam Abu Hanifah tentang wakaf buku. Pendekatan yang

digunakan adalah pendekatan hermeneutik dan komparasi (perbandingan).

Aplikasi dari pendekatan hermeneutik dalam penelitian ini lebih

dipusatkan pada hermeneutik bahasa dan bukan hermeneutik sosial. Hal

ini dikarenakan kesulitan untuk mengungkap aspek sosial dari segi

peribadatan pada masa Imam Abu Hanifah. Kebanyakan literatur

cenderung menampilkan aspek sosial politik yang mana pada masa itu

memang sangat mendominasi kehidupan masyarakat.

Penggunaan pendekatan hermeneutik dalam aspek bahasa lebih

dikarenakan yang menjadi obyek kajian analisis adalah hasil tulisan.

Sehingga perlu adanya kaidah penafsiran dari isi tulisan tentang metode

istinbath hukum pemikiran Abu Hanifah serta akibatnya terhadap

pemikiran beliau tentang wakaf buku.

Dalam aplikasinya, pendekatan hermeneutik digunakan untuk

menafsirkan makna kata-kata yang terkandung dalam dalil wakaf, baik

hadits Khaibar maupun hadits Khalid bin Walid. Pendekatan ini digunakan

untuk ”menetralisir” analisis sehingga akan lebih obyektif dalam menilai

pendapat Imam Abu Hanifah sekaligus untuk ”mencoba” menguak

hakekat hukum wakaf yang terkandung dalam dalil wakaf.

Sedangkan pendekatan perbandingan dilakukan untuk membuat

perbandingan pendapat mengenai hukum wakaf buku. Dengan adanya

perbandingan ini akan diketahui hakekat perbedaan pendapat seputar

15
wakaf buku. Aplikasi dari pendekatan ini adalah dengan membuat

perbandingan pendapat antara pendapat Imam Abu Hanifah dengan

pendapat yang berbeda dari imam mazhab yang dalam penelitian ini

adalah Imam Syafi’i. Perbandingan dengan pendapat Imam Syafi’i

dilakukan karena pendapat Imam Syafi’i berbeda dengan Imam Abu

Hanifah dan merupakan pendapat yang mendominasi ulama Islam.

Dengan adanya dua pendekatan tersebut akan diperoleh hasil

mengenai perbandingan perbedaan pendapat serta kedudukan pendapat

Imam Abu Hanifah dalam perspektif makna yang terkandung dalam dalil

tentang wakaf.

F. Sistematika Penulisan

Hasil penelitian yang akan penulis laksanakan nantinya akan

dipaparkan dalam bentuk skripsi yang terdiri dari tiga bagian dengan

penjelasan sebagai berikut:

Bagian Awal yang isinya meliputi Halaman Cover, Persetujuan

Pembimbing, Pengesahan, Motto, Persembahan, Abstrak, Kata Pengantar, dan

Daftar Isi.

Bagian Isi yang terdiri dari lima bab dengan penjelasan sebagai

berikut:

Bab I Pendahuluan yang isinya meliputi Latar Belakang, Rumusan

Masalah, Tujuan Penelitian, Telaah Pustaka, Metode Penelitian, dan

Sistematika Penulisan.

16
Bab II Ketentuan tentang Wakaf yang isinya meliputi Pengertian

Wakaf, Dasar Hukum Wakaf, Rukun dan Syarat Wakaf serta Hakikat Wakaf.

Bab III Pendapat Imam Abu Hanifah tentang Wakaf Buku dalam Kitab

Badāi’ al-Shanāi’ karya ’Alauddīn Abī Bakri bin Mas’ūd al-Kāsānī. Bab ini

terdiri dari Biografi Imam Abu Hanifah, dan Pendapat Imam Abu Hanifah

tentang Wakaf Buku dan Metode Istinbath Hukum Imam Abu Hanifah tentang

Wakaf Buku

Bab IV Analisis Pendapat Imam Abu Hanifah tentang Wakaf Buku

dalam Kitab Badāi’ al-Shanāi’ karya ’Alauddīn Abī Bakri bin Mas’ūd al-

Kāsānī yang isinya meliputi Analisis Pendapat Imam Abu Hanifah tentang

Wakaf Buku, Analisis Istinbath Hukum Imam Abu Hanifah tentang Wakaf

Buku dalam Kitab Badāi’ al-Shanāi’ karya ’Alauddīn Abī Bakri bin Mas’ūd

al-Kāsānī dan Relevansi Pendapat Imam Abu Hanifah tentang Wakaf Buku

dengan Masa Sekarang.

Bab V Merupakan penutup yang berisi kesimpulan, saran dan penutup.

Bagian Akhir yang isinya meliputi Daftar Pustaka, Lampiran-lampiran,

dan Biodata Penulis.

17
BAB II

KETENTUAN TENTANG WAKAF

A. Pengertian Wakaf

Secara bahasa kata wakaf (waqf) berarti habs ‘menahan’. Hal ini

sebagaimana perkataan seseorang: waqafa-yaqifu-waqfan, artinya habasa-

yahbisu-habsan.26 
   (wakaf) bila dijamakkan menjadi 
  dan 


sedangkan kata kerjanya (fi’il) adalah 


   . Adapun penggunaan kata kerja


  , menurut kitab Tadzkirah karya ‘Allamah Al-Hilli, terbilang langka.

Menurut arti bahasa, waqafa berarti menahan atau mencegah, misalnya 



 

 
 
“saya menahan diri dari berjalan”. Dalam peristilahan syara’ wakaf

adalah sejenis pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan

menahan (pemilikan) asal (


 

  ), lalu menjadikan manfaatnya berlaku

umum.27

Kata habs bermakna menahan harta dan memanfaatkan hasilnya di

jalan Allah atau ada juga yang bermaksud menghentikan seperti yang

disebutkan di atas. Maknanya di sini, menghentikan manfaat keuntungannya

dan diganti untuk amal kebaikan sesuai dengan tujuan wakaf. Menghentikan

segala aktifitas yang pada mulanya diperbolehkan terhadap harta (‘ain benda

itu), seperti menjual, menghibahkan, mewariskan, mentransaksikannya, maka

26
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Bandung: Al-ma’arif, 1987, Cet. I, hlm. 148
27
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta: Basrie Press, Cet.I 1997,
hlm. 383.

18
setelah dijadikan harta wakaf hanya untuk keperluan agama semata bukan

untuk keperluan si wāqif atau individual lainnya.28

Sebagaimana dikutip oleh Abdul Halim, wakaf secara istilah menurut

Muhammad Jawad Mughniyah adalah suatu bentuk pemberian yang

menghendaki penahanan asal harta dan mendermakan hasilnya pada jalan

yang bermanfaat.29

Menurut Sayyid Sabiq, wakaf berarti menahan harta dan memberikan

manfaatnya dijalan Allah.30 Menurut al-Shan’ānī, wakaf adalah menahan harta

yang dapat diambil manfaatnya tanpa menghabiskan atau merusakkan

bendanya (ainnya) dan digunakan untuk kebaikan.31

Sedangkan pengertian wakaf dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor

41 Tahun 2004 tentang Wakaf, adalah perbuatan hukum Wāqif untuk

memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk

dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan

kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut

Syariah.

Jadi wakaf merupakan suatu perbuatan sunnah untuk tujuan kebaikan,

seperti membantu pembangunan sektor keagamaan baik pembangunan

dibidang material maupun spiritual.32

28
Abdul Halim, Hukum Perwakafan Di Indonesia, Jakarta: Ciputat Press, 2005, hlm. 8
29
Ibid, hlm.9
30
Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, Juz III, Beirut : Dār Al-Fikr, hlm.426
31
Muhammad bin Ismā’īl al-Kahlānī al-Shan’ānī, Subul al-Salām, Juz III, Semarang: Toha
Putra, t.t, hlm. 87
32
http: //candraboyseroza.blogspot.com/2009/02/ wakaf-dalam-pandangan-ulama-fikih-
dan.html

19
Dengan demikian wakaf merupakan tindakan hukum. Agar sah

hukumnya, dan tercapai fungsi tujuannya, maka rukun dan syaratnya harus

dipenuhi. Karena fungsi wakaf adalah mengekalkan manfaat benda wakaf

sesuai dengan tujuannya, yaitu guna kepentingan ibadah atau keperluan umum

lainnya sesuai dengan ajaran Islam.33

B. Dasar Hukum Wakaf

Dalil-dalil yang menjadi dasar disyariatkannya ibadah wakaf dapat

dilihat dari beberapa ayat al-Qur’an meskipun tidak secara khusus

menerangkan tentang wakaf dan beberapa hadis Nabi Muhammad SAW,

antara lain:

∩∠∠∪ ) šχθßsÎ=øè? öΝà6¯=yès9 uö y‚ø9$# (#θè=yèøù$#uρ…


Artinya: “…Perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan”
(Q.S. Al-Hajj: 77)

©!$# ¨βÎ*sù &óx« ÏΒ (#θà)ÏΖè? $tΒuρ 4 šχθ™6ÏtéB $£ϑÏΒ (#θà)ÏΖè? 4®Lym §É9ø9$# (#θä9$oΨs? s9

∩⊄∪ ÒΟŠÎ=tæ ϵÎ/


Artinya: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna),
sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan
apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah
mengetahuinya.”(Q.S. Ali Imron: 92)

Ÿ≅Î/$uΖy™ yìö7y™ ôMtFu;/Ρr& >π¬6ym È≅sVyϑx. «!$# È≅‹Î6y™ ’Îû óΟßγs9≡uθøΒr& tβθà)ÏΖムtÏ%©!$# ã≅sW¨Β

∩⊄∉⊇∪ íΟŠÎ=tæ ììÅ™≡uρ ª!$#uρ 3 â!$t±o„ yϑÏ9 ß#Ïè≈ŸÒムª!$#uρ 3 7π¬6ym èπs1($ÏiΒ 7's#ç7/Ψß™ Èe≅ä. ’Îû
Artinya: “perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang
menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebulir
33
Ahmad Rofiq, Fiqih Kontekstual dari Normative ke Pemaknaan Sosial, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 320-321

20
benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus
biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia
kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha
mengetahui.”(Q.S. Al-Baqarah: 261)

Terdapat banyak hadis yang menjelaskan ibadah wakaf. Salah satunya

Hadis yang diriwayatkan Ibn Umar ra. :

LME
: *) B
$C D EF
:
) B 7GH $C I? B "  $C
 
N
NOP
B JG)
:G$) :
( JG) B
B) K-E
.
U  

L
::
6*? 5 :64- - TJM 5 .Q R$/
(M-

 
" :6 Y; LJM G- ,;$ D$) V#E
W 
[ ! .\*5 ! .>*5 ! ]5 ;E
JG)  [ - :6 "  !
! ,0_/
! '/
B
! :
'? ^! NJ/
^! %J4/
^! `
J4#/
^ 
6 .6*G  c dIO5! e!JIf $ 'gM5
/! B () a$b
 'CM  c :64- B5J? B
; \h-
Artinya: “Telah mengkabarkan kepada kami Quthaibah bin Said, telah
mengabarkan kepada kita Muhammad bin Abdullah al-Anshori, telah
mengabarkan kepada kita Ibnu ‘Auni, beliau berkata: telah bercerita
kepadaku Nafi’ dari Ibnu Umar r.a: Sesungguhnya Umar bin Khattab
mempunyai tanah di Khaibar, kemudian beliau datang kepada Nabi
untuk memohon petunjuk. ‘Umar berkata: Ya Rasūlullāh ! Saya
memperoleh sebidang tanah di Khaibar, saya belum pernah
mendapat harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan
kepadaku ? Rasūlullāh menjawab: Apabila engkau mau, maka
tahanlah zat (asal) bendanya dan şadaqahkanlah hasilnya
(manfaatnya)”. Kemudian ‘Umar melakukan şadaqah, tidak dijual,
tidak juga dihibahkan dan juga tidak diwariskan. Ibnu ‘Umar
berkata: ‘Umar menyalurkan hasil tanah itu bagi orang-orang fakir,
kaum kerabat, budak belian, orang-orang yang berjuang di jalan
Allah (sabilillah), orang-orang yang kehabisan bekal di perjalanan
(ibnu sabil) dan tamu. Dan tidak berdosa bagi orang yang mengurusi
harta wakaf tersebut makan dari hasilnya dengan cara yang baik dan
tidak berlebihan (dalam batas kewajaran). Kemudian Ibnu Umar

21
berkata: maka Ibnu Sirin telah mengabarkan kepadaku dan beliau
berkata: makan dengan tidak menumpuk harta34

Hadits di atas menunjukkan bahwa wakaf adalah tindakan jariyah,

artinya meskipun orang yang menafkahkan telah meninggal dunia, pahalanya

akan terus mengalir selama benda wakaf tersebut dimanfaatkan untuk

kepentingan kebaikan. Dengan demikian sebagai bagian dari amal jariyah

yang bersifat tabarru’ atau tindakan sukarela yang tidak mengharapkan

kontraprestasi (imbalan), Islam mengajarkan agar jika tangan kanan

memberikannya, maka tangan kirinya tidak mengetahuinya.35

C. Rukun dan Syarat Wakaf

Meskipun para ulama berbeda pendapat dalam memberikan definisi

mengenai wakaf, namun dalam ketentuan pelaksanaannya mereka sependapat

bahwa di dalam syari'at wakaf diperlukan adanya beberapa ketentuan baik

yang berhubungan dengan rukun maupun syarat. Unsur-unsur (rukun) dan

syarat yang harus dipenuhi oleh wakaf adalah:

1 Wāqif () atau orang yang mewakafkan.

Pada hakekatnya amalan wakaf adalah tindakan

tabarru’(mendermakan harta benda), oleh karena itu syarat seorang Wāqif

adalah cakap untuk melakukan tindakan tabarru’. Artinya dewasa, sehat

akal, dalam keadaan sadar, tidak dalam keadaan terpaksa atau dipaksa.36

34
Abi Abdullah Muhammad bin Ismā’īl al-Bukhārī, Matan Masykūl Bukhārī Juz II, Beirut:
Daar al-Fikr, 1994, hlm. 124.
35
Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: Gama Media, 2001,
hlm. 124-125.
36
Abī Yahyā Zakariyā al- Anshārī, Fath al- Wahhāb, Juz I, Semarang: Toha Putra, t. t.
hlm. 256.

22
Oleh karena itu, wakafnya orang-orang yang tidak memenuhi persyaratan

di atas tidak sah.

Dan wāqif dapat dilakukan atas perseorangan, organisasi maupun

badan hukum. sebagaimana dalam Undang-undang No. 41 Tahun 2004

disebutkan:

Pasal 7

Wakif meliputi:
a. perseorangan;
b. organisasi;
c. badan hukum.

Pasal 8

(1) Wakif perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a


hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi persyaratan:
a. dewasa;
b. berakal sehat;
c. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum; dan
d. pemilik sah harta benda wakaf.
(2) Wakif organisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b hanya
dapat melakukan wakaf apabila memenuhi ketentuan organisasi untuk
mewakafkan harta benda wakaf milik organisasi sesuai dengan
anggaran dasar organisasi yang bersangkutan.
(3) Wakif badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c
hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi ketentuan badan
hukum untuk mewakafkan harta benda wakaf milik badan hukum
sesuai dengan anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan.

Dalam kaitan ini, tidak ada ketentuan yang mengharuskan seorang

wāqif haruslah seorang muslim. Oleh sebab itu, orang non muslim pun

dapat melakukan wakaf. Sepanjang ia melakukannya sesuai dengan

ketentuan ajaran Islam, dan perundang-undangan yang berlaku.37

37
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998, Cet.3,
hlm.494.

23
2 Mauqūf (‫ف‬,‫ )ﻡ‬atau benda yang diwakafkan.

Benda yang di wakafkan harus memenuhi persyaratan di

antaranya:

a. Benda wakaf dapat dimanfaatkan untuk jangka panjang, tidak sekali

pakai

b. Benda wakaf dapat berupa milik kelompok atau badan hukum

c. Hak milik wakif yang jelas batas-batas kepemilikannya

d. Benda wakaf itu dapat dimiliki dan dipindahkan kepemilikannya

e. Benda wakaf dapat dialihkan hanya jika jelas-jelas untuk maslahat

yang lebih besar

f. Benda wakaf tidak dapat diperjualbelikan, dihibahkan atau

diwariskan.38

Dalam Pasal 15 Undang-Undang No 41 Tahun 2004 Tentang

Wakaf, harta benda wakaf hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki dan

dikuasai Wāqif secara sah.

3 Mauqūf ‘alaih ( ‫ف‬,‫ )ﻡ‬atau penerima wakaf.

Yang dimaksud dengan Mauqūf ‘alaih adalah tujuan wakaf

(peruntukan wakaf). Wakaf harus dimanfaatkan dalam batas-batas yang

sesuai dan diperbolehkan syari’at Islam. Karena pada dasarnya, wakaf

merupakan amal yang mendekatkan diri manusia kepada Tuhan. Karena

itu Mauqūf ‘alaih (yang diberi wakaf) haruslah pihak kebajikan.39

38
Syamsuddin al-Ramly, Nihāyah al-Muhtāj, Juz V, Mesir: Mustafa al-Baby al-Halaby,
t.t., hlm.360.
39
Ahmad Rofiq, op. cit. hlm.494-495.

24
Oleh karena itu tujuan wakaf tidak bisa digunakan untuk

kepentingan maksiat, atau membantu, mendukung, atau yang mungkin

diperuntukkan untuk kepentingan maksiatt. Menyerahkan wakaf kepada

seseorang yang tidak jelas identitasnya adalah tidak sah.40

Dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf,

dijelaskan bahwa wakaf bertujuan memanfaatkan harta benda wakaf sesuai

dengan fungsinya, yakni mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta

benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan

kesejahteraan umum.

4 Shīghat (./ ) atau ikrar/pernyataan wakaf.

Ikrar wakaf berdasarkan Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang No.41

Tahun 2004 Tentang Wakaf adalah: pernyataan kehendak Wāqif yang

diucapkan secara lisan dan/atau tulisan kepada nādzir untuk mewakafkan

harta benda miliknya.

Pernyataan atau ikrar wakaf ini harus dinyatakan secara tegas baik

lisan maupun tertulis, dengan redaksi “aku mewakafkan” atau “aku

menahan” atau kalimat yang semakna lainnya. Ikrar ini penting, karena

pernyataan ikrar membawa implikasi gugurnya hak kepemilikan wakif,

dan harta wakaf menjadi milik Allah atau milik umum yang dimanfaatkan

untuk kepentingan umum yang menjadi tujuan wakaf.41

40
Ibid. hlm.496
41
Ibid, hlm.497.

25
5 Nādzir (01") atau pengelola wakaf.

Pada umumnya di dalam kitab-kitab fikih tidak mencantumkan

nādzir wakaf sebagai salah satu rukun wakaf. Ini dapat dimengerti karena

wakaf adalah perbuatan tabarru’. Namun demikian memperhatikan tujuan

wakaf yang ingin melestarikan manfaat dari benda wakaf, maka nādzir

sangat diperlukan.42

Pada dasarnya siapapun dapat saja menjadi nādzir asalkan ia tidak

terhalang melakukan tindakan hukum. Akan tetapi karena fungsi nādzir

sangat penting dalam perwakafan maka diberlakukan syarat-syarat nādzir.

Para Imam mazhab sepakat bahwa nādzir harus memenuhi syarat

adil dan mampu. Para ulama berbeda pendapat mengenai ukuran adil.

Jumhur ulama berpendapat bahwa yang dimaksud adil adalah mengerjakan

yang diperintahkan dan menjauhi yang dilarang syari’at.43 Sedangkan

mampu menurut Ahmad Rofiq dalam bukunya “Hukum Islam Di

Indonesia” adalah memiliki kreativitas (zara’y). Hal ini didasarkan pada

perbuatan Umar menunjuk Hafsah menjadi nādzir karena ia dianggap

mempunyai kreativitas.44

Adapun persyaratan untuk menjadi seorang nādzir berdasarkan

Pasal 10 Undang-Undang No.41 Tahun 2004 haruslah memenuhi syarat

sebagai berikut:45

42
Ibid. hlm.498.
43
Said Agil Husain Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, Jakarta: Penamadani,
2004, hlml. 161
44
Ahmad Rofiq, op.cit., hal. 499.
45
Undang-Undang No.41 Tahun 2004 tentang Wakaf

26
a. Warga negara Indonesia.
b. Beragama Islam.
c. Dewasa.
d. Amanah.
e. Mampu secara jasmani dan rohani.
f. Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.

6 Jangka waktu wakaf.

Dalam buku-buku maupun Peraturan Perundangan Wakaf sebelum

munculnya Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf tidak

dicantumkan rukun wakaf mengenai adanya jangka waktu pelaksanaan

wakaf, hal ini merupakan terobosan baru yang dilakukan pemerintah,

mengingat manfaat wakaf pada dasarnya adalah untuk kesejahteraan umat.

Jangka waktu wakaf sebagaimana tercantum dalam Pasal 6

Undang-Undang Wakaf No 41 Tahun 2004, yakni Wāqif diperbolehkan

membatasi waktu wakafnya, artinya Wāqif hanya mewakafkan manfaat

dari benda yang di wakafkannya, dan setelah jangka waktu tersebut habis

Wāqif diperbolehkan meminta kembali benda yang diwakafkannya.

D. Hakekat Wakaf46

1. Wakaf Muabbad dan Muaqqat

Pada dasarnya seluruh ulama sepakat bahwa benda yang

diwakafkan harus terkandung sifat ta’bīd. Hanya Imam Malik dan Syiah

Imamiah yang menambahkan aspek batasan waktu (wakaf muaqqat)

dalam praktek wakaf di samping sifat ta’bīd.47 Dasar dari sifat ta’bīd

46
Pemaparan tentang hakekat wakaf mu’abbad, mu’aqqat dan manqūl secara mayoritas
penulis sandarkan pada Muhammad Abu Zahrah, Muhādlarāt fī al-Waqf, t.kp: Dār al-Fikr al-
’Arabi, 1971, Cet. Ke-II.
47
Ibid, hlm. 103.

27
tersebut bersumber pada satu hadits Nabi kepada Umar bin Khattab

berikut ini:

٤٨
"  ! 
 
"
“Jika engkau mau, maka tahanlah zat (asal) bendanya dan
şadaqahkanlah hasilnya (manfaatnya)”.

Meskipun memiliki kesamaan dalam pengharusan sifat ta’bīd,

terdapat perbedaan dalam penjabaran dari sifat ta’bīd tersebut. Menurut

Imam Abu Hanifah dan mazhabnya (Hanafiyah), ta’bīd memiliki makna

kekal, yakni harta benda yang diwakafkan harus memiliki sifat abadi.

Secara lebih luas, harta benda yang memiliki sifat abadi adalah harta

benda yang menetap atau tidak bergerak, baik secara alami maupun secara

rekayasa.49 Namun dalam pelaksanaannya terdapat perbedaan pendapat

antara Imam Abu Hanifah dengan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani dan

Abu Yusuf (dua tokoh yang mempopulerkan mazhab Hanafi). Menurut

Imam Abu Hanifah dan Malikiyah, sifat ta’bīd berlaku pada aspek sifat

benda dan pemanfaatan benda yang diwakafkan dan tidak berlaku pada

perpindahan hak kepemilikan ‘ain yang diwakafkan kecuali jika

diwakafkan untuk masjid. Wakaf muabbad (bersifat selamanya) yang

diikuti pindahnya hak milik bagi Imam Abu Hanifah, selain karena untuk

masjid, juga dapat terjadi karena adanya akad yang menyebutkan adanya

perpindahan hak milik maupun adanya keputusan pengadilan.50

48
Ibid, hlm. 104.
49
Sebagaimana dijelaskan dalam M. Abid Abdullah al-Kabisi, Hukum Wakaf Kajian
Kontemporer Pertama dan Terlengkap tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf serta Penyelesaian
Atas Sengketa Wakaf, terj. A. Sani Faturrahman dkk., Jakarta: IIMaN Press, hlm. 262.
50
Muhammad Abu Zahrah, op. cit. hlm.103

28
Sifat ta’bīd dalam wakaf muabbad menurut Imam Abu Hanifah

didasarkan pada pernyataan Nabi yang menyatakan

  ! 
 
(apabila kamu menginginkan, maka kamu

dapat menahan asalnya dan sedekahkanlah darinya: harta yang

diwakafkan).51 Ungkapan inilah yang kemudian dimaknai bahwa dalam

wakaf hanya manfaat yang memiliki sifat ta’bīd dan bukan kepindahan

kepemilikan selama tidak untuk masjid maupun dua hal yang lainnya.

Konsekuensi dari pendapat tersebut adalah apabila wāqif meninggal dunia,

maka harta benda yang diwakafkan akan dikembalikan kepada

keluarganya dan menjadi harta waris.

Sedangkan di kalangan mazhab Hanafi, mazhab Syafi’i dan

mazhab Hanabila, makna ta’bīd adalah kekekalan yang disandarkan pada

benda yang diwakafkan. Artinya, maksud ta’bīd adalah kekekalan selama

harta benda tersebut dapat dimanfaatkan sebagai obyek wakaf. Selain

bermakna kekal pada aspek pemanfaatannya, wakaf muabad juga memiliki

makna berlaku untuk selamanya karena adanya perpindahan hak

kepemilikan. Jadi, harta benda yang dijadikan sebagai obyek wakaf akan

berpindah kepemilikannya dan tidak lagi menjadi harta benda milik orang

yang mewakafkan. Menurut mazhab Hanafi, selama tidak ada akad yang

menjelaskan tentang perpindahan hak kepemilikan secara mutlak dari

wāqif dan kemudian wāqif tersebut meninggal, maka yang masih menjadi

51
Mengenai penjelasan tentang kalimat Nabi yang digunakan sebagai dasar dapat dilihat
dalam Badrun Abū al-‘Ainain, Ahkām al-Washāya wa al-Auqāf, Iskandariyah: Muassasah Sabab
al-Jami’ah, 1982, hlm. 268.

29
wakaf mu’abad hanya sepertiga dari harta benda yang diwakafkan.

Sisanya beralih menjadi harta waris. Hal ini berbeda dengan Mazhab

Syafi’i dan Hanabila yang menganggap bahwa dalam akad wakaf telah

terjadi perpindahan kepemilikan secara mutlak dan menyeluruh terhadap

harta benda yang diwakafkan. Dasar yang digunakan oleh mazhab Syafi’i

dan Hanabila adalah penggalan kalimat dalam hadits di atas yakni

 [ ! .\*5 ! .>*5 ! ]5 (melakukan shadaqah, tidak dijual, tidak

juga dihibahkan dan juga tidak diwariskan).52 Oleh karena telah terjadi

perpindahan kepemilikan, maka untuk mengatasi permasalahan apabila

terjadi kerusakan pada obyek wakaf demi terjaganya aspek ta’bīd ,

menurut Syafi’iyah, Hanabilah dan sebagian besar Hanafiyah dapat

dilakukan dengan melakukan pergantian obyek wakaf yang rusak dengan

benda yang sama, sejenis, atau sekadar (sama ukuran atau taksirannya).

Mazhab Maliki memiliki pendapat yang berbeda yakni bahwa sifat

kekal benda tidak harus menjadi syarat sahnya wakaf. Oleh sebab itu, bagi

kalangan Malikiyah, harta benda dapat diwakafkan dengan batasan waktu

tertentu atau dibatasi oleh waktu. Inilah yang disebut dengan wakaf

muaqqat. Pendapat ini juga dinyatakan oleh Syiah Imamiyah. Pengertian

wakaf muaqqat adalah wakaf yang dilaksanakan dengan adanya batasan

waktu. Maksudnya adalah masa pemanfaatan wakaf terbatas oleh waktu

yang telah disepakati pada saat terjadinya serah terima benda wakaf.

52
Menurut Badrun Abū al-‘Ainain dalam periwayatan yang lain, Abu Yusuf dan
Muhammad bin Hasan al-Syaibani menganggap bahwa kalimat tersebut merupakan bagian dari
hadits yang berfungsi untuk menjelaskan kalimat Nabi sebelumnya yakni In Syi’ta Habbasta
Ashlahā... Lihat dalam Ibid.

30
Dalam wakaf muaqqat, benda yang diwakafkan dapat berupa benda yang

tidak memiliki sifat shalihat lil baqa’ (kelayakan manfaat benda yang

kekal).53 Dasar hukum yang dijadikan landasan mengenai pendapat

tersebut sama dengan dasar hukum yang digunakan oleh Imam Abu

Hanifah, yakni   ! 


 
(apabila kamu menginginkan,

maka kamu dapat menahan asalnya dan shadaqahkanlah darinya: harta

yang diwakafkan). Kata habasta dimaknai sebagai proses penahanan dan

bukan perpindahan kepemilikan, oleh sebab itu apabila telah habis masa

wakaf, maka harta tersebut kembali menjadi hak milik orang yang

mewakafkan.54 Selama masa wakaf belum berakhir dan obyek wakaf

rusak, maka wakif dapat mengganti obyek wakaf dengan harta benda yang

lainnya yang memiliki kesamaan jenis atau takaran.55

Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa terdapat

perbedaan pendapat mengenai pengertian ta’bīd di antara para imam

mazhab. Imam Abu Hanifah lebih memaknai ta’bīd sebagai sifat kekal

yang harus dimiliki oleh benda yang berwujud pada benda yang tidak

bergerak namun tidak berlaku pada ta’bīd terhadap kepemilikan benda

yang dijadikan sebagai obyek wakaf melainkan pada sisi pemanfaatannya.

Imam Syafi’i, Imam Hanbali, dan sebagian besar Hanafiyah memaknai

ta’bīd sebagai kekekalan dalam pemanfaatan harta benda yang diwakafkan

yang diikuti dengan adanya perpindahan kepemilikan obyek wakaf untuk

53
Muhammad Abu Zahrah, loc. cit.
54
M. Abid Abdullah al-Kabisi, op. cit., hlm. 272.
55
Ibid.

31
selamanya. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa ta’bīd bukanlah

syarat sahnya benda yang diwakafkan melainkan hanya bermakna

kekekalan pemanfaatan selama benda tersebut dapat dimannfaatkan. Dari

pendapat inilah kemudian muncul pendapat mengenai wakaf yang dibatasi

oleh waktu atau wakaf muaqqat. Perbedaan-perbedaan pendapat ini juga

memiliki hubungan yang tidak dapat dipisahkan dari konsep harta yang

dapat dijadikan sebagai obyek wakaf, apakah harta benda yang bergerak

(manqūl) atau harta benda yang tidak bergerak (ghairu manqūl).

2. Wakaf Manqūl (Bergerak) dan Ghairu Manqūl (Tidak Bergerak/Menetap)

Secara garis besar, jenis harta benda yang dapat diwakafkan dibagi

menjadi dua, yakni jenis harta benda bergerak (manqūl) dan harta benda

yang tidak bergerak (ghairu manqūl). Terkait dengan pembagian dua jenis

harta benda tersebut, di kalangan empat mazhab juga terdapat perbedaan

pendapat. Perbedaan-perbedaan tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut:56

a. Perbedaan dalam ruang lingkup manqūl dan ghairu manqūl

Perbedaan ruang lingkup mengenai manqūl dan ghairu manqūl terjadi

antara mazhab Malik dengan ketiga mazhab lainnya. Harta tidak

bergerak menurut jumhur adalah apa saja yang tidak dapat diubah dan

dipindahkan dari satu tempat ke tempat lainnya yang mana dalam hal

ini adalah tanah. Sedangkan menurut mazhab Maliki, harta tidak

bergerak adalah segala sesuatu yang memiliki dasar tetap dan tidak

dapat diubah dan dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain dengan

56
Penjelasan mengenai perbedaan antara harta manqūl dan ghairu manqūl didasarkan pada
Ibid., hlm. 261-277; juga dalam Muhammad Abu Zahrah, op. cit. hlm. 103-105.

32
tidak mempertahankan kondisi dan bentuknya. Dari pendapat tersebut,

mazhab Maliki berpendapat bahwa pohon dan gedung maupun benda

lain yang memenuhi kriteria tersebut termasuk benda tidak bergerak.

b. Perbedaan dalam penggunaan manqūl dan ghairu manqūl sebagai

obyek wakaf

Terkait dengan permasalahan kebolehan dalam menggunakan manqūl

dan ghairu manqūl sebagai obyek wakaf, terjadi perbedaan antara

Imam Abu Hanifah dengan mazhab Maliki, Syafi’i dan

Hanbali/Hanabila. Ketiga mazhab tersebut memperbolehkan

penggunaan manqūl maupun ghairu manqūl sebagai obyek wakaf

secara bebas, sedangkan Imam Abu Hanifah dan mazhabnya hanya

memperbolehkan wakaf ghairu manqūl dan kebolehan wakaf manqūl

dilaksanakan dengan adanya syarat. Syarat kebolehan wakaf manqūl

adalah karena masih terikat pada ‘iqār, adanya nash dan karena sudah

menjadi kebiasaan yang dilakukan oleh suatu masyarakat.57 Selain tiga

alasan tersebut, maka wakaf manqūl tidak diperbolehkan. Dasar yang

digunakan para mazhab dalam penggunaan harta ghairu manqūl adalah

sama yakni hadits Nabi kepada Umar bin Khattab mengenai

pemanfaatan tanah Khaibar. Sedangkan dalil yang digunakan oleh para

mazhab yang memperbolehkan wakaf manqūl tanpa adanya syarat

57
Keterikatan pada ‘iqār dalam mazhab Hanafi dibedakan menjadi dua, yakni benda
bergerak (manqūl) yang diwakafkan tersebut menetap pada ‘iqār seperti pohon dan benda
bergerak (manqūl) yang memiliki hubungan khusus atas pekarangan (‘iqār) seperti sapi untuk
membajak tanah. Muhammad Abu Zahrah, loc. cit.

33
adalah hadits Nabi kepada Umar saat diperintah untuk menarik

shadaqah kepada Khalid bin Walid.

.Q l$/
kI :ihh /
^ ;$) :
( jJ5J> %& B)
/*/
B /q! .'n B o K$G- m /
() NOP
B JG)
T$cM-
4- g o r o 'n B o d4$5  :.Q :
6*? 64- p7I/
!
^ T )& ! ;)
u& V o ! ,
/q *Gs dEt- /q &! ,:

: 6 x ,w! v7 ) v- .Q :


6*? d) pI/
&! ,:
'?
٥٨
(;) y# ) ; & *$ 'bJ/
d) & mJI&
“Dari Abu Hurairah r.a dalam shahīhain, Nabi SAW mengutus
Umar bin Khatab untuk mengambil shadaqah, kemudian Ibnu
Jamil, Khalid bin Walid dan Ibnu Abbas tidak memberikan (zakat),
maka Rasulullah SAW bersabda: Ibnu Jamil tidak akan dibebani
hukuman kecuali apabila dia fakir kemudian Allah memberikan
kekayaan kepadanya, sedangkan terhadap Khalid, maka kamu
sekalian telah mendzaliminya karena sesungguhnya dia telah
menahan baju besi dan peralatan perang di jalan Allah (fī
sabīlillāh) sedangkan Abbas adalah paman Rasulullah SAW, maka
zakatnya menjadi tanggunganku begitu pula shadaqah semisalnya.
Kemudian beliau bersabda: hai Umar, tidakkah engkau merasa
bahwa paman seorang lelaki mewakili ayahnya (H.R. Mutafaq
‘Alaih)

Sedangkan dasar Imam Abu Hanifah – sebagai tokoh utama dalam

pemikiran Mazhab Hanafi – tentang tidak diperbolehkan wakaf

manqūl dijelaskan dalam pernyataannya berikut ini:59

T*#! d) :

* " h /
B ")n @ 4I/
0! *+!
6*7 8! '4$5  0! *+ !

58
Ahmad bin al-Syāfi’ī, Bulūgh al-Marām, Beirut: Dār al-Kutub al-Islamiyah, t.th., hlm.
235.
59
Abī al-Hasan Ali bin Abi Bakar (Syeikh Islam Burhānuddīn), al-Hidāyah Syarh Bidāyah
al-Mubtadīy, Beirut: Dār al-Kutb al-Ilmiyah, t.th., hlm. 17.

34
“Dan diperbolehkan wakaf ‘iqār (tanah) karena kelompok
(golongan) sahabat r.a mewakafkannya dan tidak diperbolehkan
wakaf benda bergerak dan menyebar”

Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa terjadinya

perbedaan pendapat di kalangan para ulama mazhab tidak dapat dilepaskan

dari adanya perbedaan dalam memaknai istilah habsu dan ta’bīd dalam

konteks wakaf. Perbedaan tersebut kemudian berimbas pada adanya perbedaan

dalam ketentuan dan pelaksanaan wakaf, termasuk juga dalam menentukan

harta benda yang dapat diwakafkan maupun yang tidak dapat diwakafkan.

35
BAB III

PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG WAKAF BUKU


DALAM KITAB BADĀI’ AL-SHANĀI’ KARYA ‘ALAUDDĪN ABĪ BAKRI
BIN MAS’ŪD AL-KĀSĀNĪ

A. Biografi Imam Abu Hanifah

Abu Hanifah dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah (bertepatan pada tahun

699 M) di kota Khufah. Nama aslinya adalah Nu’man bin Tsabit bin Zauthi. Ia

berasal dari keturunan Persia, karena ayahnya Tsabit adalah keturunan Persia

kelahiran Kabul, Afganistan. Pada mulanya ia tinggal di Kabul kemudian

pindah ke Kuffah. Dia dilahirkan pada waktu pemerintahan Islam dipegang

oleh Abdul Malik Ibn Marwan, keturunan Bani Umayyah ke-5.60

Dalam kehidupannya, ia menjalani hidup di dua lingkungan sosio

politik yang berbeda, yakni di masa akhir dinasti Umayyah dan awal dari

dinasti Abbasiyah.61

Menurut suatu riwayat, ia dipanggil dengan sebutan Abu Hanifah

karena beberapa hal. Pertama, ia mempunyai seorang anak laki-laki yang

diberi nama Hanifah, maka ia diberi julukan Abu Hanifah (bapak atau ayah)

dari Hanifah. Kedua, ia seorang yang sejak kecil sangat tekun belajar dan

menghayatinya, maka ia dianggap seorang yang Hanif (lurus) kepada agama.

Ketiga, Menurut bahasa Persia, “Hanifah” berarti tinta, dimana Imam Hanafi

60
Tamar Djaja, Hajat dan Perjuangan Empat Imam Mazhab, Solo: Ramadhani, 1984,
hlm. 12-13.
61
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, Jakarta: Logos, 1997,
hlm. 95.

36
ini sangat rajin menulis hadits-hadits, ke mana pun ia pergi selalu membawa

tinta, karena itu ia diberi nama Abu Hanifah yang berarti bapak tinta, sehingga

ia masyhur dengan nama Abu Hanifah.62

Ayah Abu Hanifah adalah seorang pedagang besar kain sutera. Sejak

kecil, Abu Hanifah selalu bekerja membantu ayahnya. Ia selalu mengikuti

ayahnya ke tempat-tempat perniagaan. Di sana, ia banyak bercakap-cakap

dengan pedagang-pedagang besar sambil belajar tentang perdagangan dan

rahasia-rahasianya.63 Disamping berniaga, ia tekun pula menghafal al-Qur’an

dan amat gemar membaca.64 Demikianlah yang dilakukan sehari-hari,

kecerdasan otaknya sampai menarik perhatian orang-orang yang mengenalnya.

Hingga al-Sya’bi, seorang ulama fiqh melihatnya dan menganjurkan supaya

Abu Hanifah mencurahkan perhatiannya kepada ulama. Saran itu dijawab oleh

Abu Hanifah “minat saya kepada para ulama hanya sedikit”. Ulama Fiqh

tersebut menasehatinya, “Engkau harus mencurahkan perhatianmu kepada ilmu

pengetahuan dan mendekatkan diri kepada para ulama. Saya melihat engkau

mempunyai ingatan kuat dan kecerdasan”.65 Sejak itu, Abu Hanifah mulai

menumpahkan perhatiannya pada ilmu pengetahuan. Namun demikian, Abu

Hanifah masih tetap pada usahanya dan tidak melepaskan usahanya sama

sekali.66

62
Tamar Djaja, op. cit., hlm. 12.
63
Abdurrahman al-Syarqawi, “A’immah al-Fiqh al-Tis’ah”, terj. M.A. Haris al- Husaini,
Riwayat Sembilan Imam Fiqih, Bandung : Pustaka Hidayah, 2000, hlm. 237.
64
T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 1997, hlm. 442.
65
Abdurrahman al-Syarqawi, loc.cit.
66
T. M. Hasbi ash-Shiddieqy, loc.cit.

37
Kuffah di masa itu adalah suatu kota besar, tempat beraneka macam

ilmu, tempat berkembang kebudayaan lama. Kota itu juga dikenal sebagai kota

yang bisa menerima ilmu pengetahuan.67

Abu Hanifah memang orang yang bijak dan gemar ilmu pengetahuan.

Ketika ia menambah ilmu pengetahuan, mula-mula ia belajar sastra Arab,

karena ilmu bahasa tidak banyak menggunakan pikiran.68 Meskipun demikian,

Abu Hanifah tidak menjauhi bidang-bidang yang lain, ia menguasai bidang

qira’at, bidang kesusastraan Arab dan ilmu kalam. Selain itu dia juga turut

aktif berdiskusi dalam kelompok-kelompok keagamaan yang timbul pada

waktu itu.69

Ilmu Hadits dan Fiqih ia pelajari dari ulama-ulama terkemuka di negeri

itu. Menurut sebagian dari para ahli sejarah, bahwa ia berguru/belajar kepada

sahabat-sahabat besar dalam bidang fiqih. Diantara para guru yang paling

mempengaruhi pada dirinya adalah ulama besar Hammad bin Abi Sulaiman

(W.120 H). Gurunya ini sangat kagum dengan kemampuan intelektual yang

dimiliki Abu Hanifah, dan sebaliknya imam Abu Hanifah juga memandang

gurunya yang satu ini sebagai tokoh yang patut diteladani, baik dalam

berperilaku maupun kealimannya. 70

Pada suatu waktu, tutur Manna al-Qattan (ahli sejarah tasyri’/hukum

berkebangsaan Mesir) sebagaimana yang dikutip oleh Abdul Aziz Dahlan

menyebutkan bahwa ketika gurunya itu mengadakan perjalanan, Imam Abu

67
Ibid.
68
Ahmad al-Syurbasi, “Al- Aimatul Arba’ah”, terj. Sabil Had dan Ahmadi, Sejarah dan
Biografi Imam Empat Mazhab, Jakarta: Bumi Aksara, 1993, hlm. 17.
69
T. M. Hasbi Ash- Siddieqy, op. cit., hlm. 443.
70
Ahmad al- Syurbasi, loc. cit.

38
Hanifah ditunjuk untuk menggantikan sebagai guru pada halaqah.71 Enam

puluh pertanyaan yang diajukan oleh peserta pengajian itu dapat dijawabnya

dengan lancar, dan jawaban itu sempat dicatatnya. Setelah Hammad kembali

dari perjalanan Imam Abu Hanifah kembali menceritakasn seluruh jawabannya

itu, lalu Hammad menyatakan setuju dengan 40 jawaban dan berbeda pendapat

dengan 20 jawaban. Saya memberi penjelasan tentang apa yang menjadi sebab

perbedaan tersebut. Penjelasan Hammad tersebut sebelumnya diketahui oleh

Abu Hanifah, telah menambah kekagumannya terhadap gurunya itu, dan ia

berjanji tidak akan berpisah dengannya sampai wafat.

Sepeninggal gurunya, Imam Abu Hanifah melakukan Ijtihad secara

mandiri dan menggantikaan posisi gurunya sebagai pengajar di halaqah yang

bertempat di Masjid Kuffah. Dan memang hanya dia yang dipandang layak

oleh murid-murid Hammad untuk memegang jabatan itu.72

Kecerdasan Abu Hanifah memang diakui oleh para ilmuwan,

diantaranya adalah Imam Abu Yusuf. Ia berkata: “Aku belum pernah

bersahabat dengan seseorang yang cerdas dan cerdik melebihi kecerdasan akal

pikiran Abu Hanifah”, dan masih banyak lagi ulama yang mengakuinya.73

Dalam bidang Fiqih, Imam Syafi’i pernah berkata “Manusia seluruhnya adalah

menjadi keluarga dalam ilmu Fiqih, menjadi anak buah Abu Hanifah”.74 Abu

Hanifah dijuluki al-Imam al-“Azam (Imam Agung) oleh murid-muridnya

71
Halaqah adalah sistem belajar yang duduk melingkari guru yang dipimpinnya.
72
Abdul Azis Dahlan (et.al.), Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve,
1996, hlm. 12.
73
Ibid
74
M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, Jakrta: Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 184-
185.

39
karena kepandaiannya dalam berdiskusi dan kedalaman ilmunya di bidang

fiqh.75

Imam Abu Hanifah adalah seorang yang mempunyai tubuh yang

sedang saja, tidak terlalu tinggi dan tidak pula terlalu besar, tingginya sedang

dan gemuknya pun sedang. Kulitnya putih kuning, mukanya bercahaya,

terbayang kekerasan hatinya, keberanian hatinya, keberanian dan

ketangkasannya. Ia berbicara lemah lembut dan halus, sehingga menarik

perhatian orang yang mendengarnya. Ia selalu bekerja dengan rajin. Ia

berkawan dengan orang-orang baik, tidak sudi berteman dengan orang-orang

jahat, dari kecil hingga dewasa.76 Berani mengatakan salah bagi yang salah,

walaupun yang disalahkannya itu orang besar. Ia seorang yang teguh dalam

pendirian, mempunyai jiwa merdeka (tidak mudah larut dalam pribadi orang

lain), jiwanya suka meneliti segala sesuatu yang dihadapi, dan tidak berhenti

pada kulit-kulitnya saja, tetapi harus mendalami isinya. Ia mempunyai daya

tangkap yang sangat luar biasa untuk mematahkan hujjah lawan.77 Karena

sifat-sifat beliau itulah, maka ia berada pada puncak ilmu diantara para ulama,

disamping juga pribadinya yang sangat mengagumkan.

Abu Hanifah adalah seorang hamba Allah yang takwa dan saleh

beribadah. Setiap hari pekerjaannya tidak ada yang kosong, tetapi seluruhnya

berisi ibadah dan amal belaka. Zuhud, wara dan sangat hati-hati dalam urusan

hukum. Jiwanya kuat akhlaknya mulia.78

75
Abdul Azis Dahlan, loc. cit.
76
Tamar Djaja, op.cit., hlm. 15.
77
T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, op.cit., hlm. 448.
78
Tamar Djaja, op. cit., hlm. 21.

40
Demikianlah sifat-sifat dan kepribadiannya bisa dibayangkan dengan

jelas, bahwa secara lahir maupun batin ia memang kuat apalagi soal pendirian.

Dia rela dihukum untuk mempertahankan pendiriannya daripada disuruh

berbuat yang tidak benar.

Dalam suatu riwayat pada masa Bani Umayyah, Yazid bin Hubairah

gubernur Irak ingin mengangkat Abu Hanifah untuk menjadi qadhi, tetapi

beliau enggan. Dia berfikir bahwa ikut serta dalam kekuasaan yang dzalim

sama artinya dengan berbuat dzalim, karenanya ia didera dan dimasukkan

penjara. Hal ini dilakukan mungkin dipandang tidak memberikan kesetiaannya

kepada Bani Umayyah, bukan semata-mata karena tidak mau menjadi qadhi.79

Nasib serupa itu, terulang pula dialami beliau pada masa pemerintahan

‘Abbasiyah. Pada masa pemerintahan Abu Ja’far Al-Mansur (754-775), yang

memerintah sesudah ‘Abbas Asy-Syaaffah, Imam Abu Hanifah menolak pula

kedudukan qadi yang ditawarkan pemerintah kepada beliau. Kemudian, akibat

penolakan itu beliau ditangkap, dihukum, dipenjara dan wafat pada tahun

767 M.80

Imam Abu Hanifah adalah orang yang berdarah Persia dan pendiri

mazhab fiqh al-ra’yu. Dalam tahun-tahun terakhir hidupnya, ia diakui

masyarakat sebagai imam besar.81 Perjuangan Imam Abu Hanifah tidak putus

sampai disini saja, namun masih dilanjutkan oleh murid-muridnya. Dari sekian

79
T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putera,
2001, hlm. 85.
80
K.H.E Abdurrahman, Perbandingan Mazhab, Jakarta: Sinar Baru Aglesindo, t.th., hlm.
25.
81
Abdurrahman al-Syarqawi, op.cit., hlm. 250.

41
banyak muridnya, ada 4 orang yang sangat terkenal sebagai ulama besar di

dunia Islam, antara lain: 82

1. Imam Abu Yusuf, Ya’kub Ibn Ibrahim al-Anshary. Ia dilahirkan tahun 113

H. Mula-mula ia belajar dengan Imam Abi Layla di kota Kuffah, kemudian

pindah belajar menjadi murid Imam Hanafi. Karena kepandaiannya, ia

dijadikan kepala murid oleh Imam Hanafi. Ia banyak membantu Imam

Hanafi dalam menyebarkan mazhabnya, serta banyak mencatat pelajaran

dari Imam Hanafi dan menyebarkannya ke beberapa tempat. Sebutan

sebagai ulama yang paling banyak mengumpulkan hadits telah

disandangnya. Karena itu, Imam Abu Yusuf termasuk ulama ahli hadits

terkemuka.

2. Imam Hasan bin Ziyad al-Lu’luy, salah seorang murid yang terkemuka

pula. Ia dikenal sebagai seorang ahli fiqh yang merencanakan menyusun

kitab Imam Hanafi. Ia dikenal pula sebagai ahli qiyās.

3. Imam Muhammad bin Hasan bin Farqat al-Syaibani. Sejak kecil, ia tinggal

di kota Kuffah, kemudian pindah ke Baghdad. Ia cenderung kepada ilmu

hadits dan belajar kepada Imam Hanafi, akhirnya menjadi ulama

terkemuka. Beliau dekat dengan Sultan Harun Rasyid. Kepada Imam

Muhammad inilah tulisan atau kitab al-Kasani dinisbatkan kepada Abu

Hanafi / Mazhab Hanafi.

4. Imam Zafar ibnu Huzail ibnu Qais al-Kuffi. Beliau adalah salah seorang

murid yang juga ahli hadits.

82
‘Alauddin Abī Bakri bin Mas’ūd al-Kāsānī, Badāi’ al-Shanāi’, Juz I, Beirut: Dār al-
Kutub al-Ilmiah, 1997, hlm.64.

42
Empat orang ulama inilah murid Imam Hanafi yang terkemuka, yang

masing-masing mempunyai keahlian tersendiri dalam ilmu fiqh, ilmu hadits,

ilmu ra’yu dan lainnya.83

Diantara masalah-masalah fiqih Abu Hanifah yang telah dihimpun oleh

beberapa murid beliau, yaitu:84

1) Ikhtilāfu Abī Ḫanīfah wa Ibni Abi Laila, karya Imam Abu Yusuf. Memuat

sejumlah masalah fiqh yang diperdebatkan antara Imam Abu Hanifah dan

Imam Abi Laila (74-148 H), seorang tokoh fiqh terkenal pada masa itu.

2) Beberapa kitab yang dihimpun Muhammad bin Hasan al-Syaibani, yaitu:

al-Jāmi’ al-Kabīr (perhimpunan besar), al-Jāmi’ al-Shaghīr (himpunan

kecil), al-Siyār al-Kabīr (sejarah hidup beasar), al-Siyār al-Shagīr (sejarah

hidup kecil) dan al-Mabsūth (terhampar).85

Dalam bidang Ushul Fiqh, buah pikiran Imam Abu Hanifah dapat

dirujuk antara lain dalam Ushūl al-Sarakhsī oleh al-Sarakhsī dan Kanz al-

Wushūl Ilā ‘Ilmu al-Ushūl karya Imam al-Bazdawi.86

Meski dikenal sebagai ulama yang berpengetahuan dan dihormati,

namun wafatnya Abu Hanifah sangat menyedihkan. Beliau wafat pada saat

menjalani hukuman penjara pada masa pemerintahan khalifah Abu Ja’far al-

Mansur dari Bani Abbasiyah. Dalam kehidupannya, Abu Hanifah tidak suka

dengan permasalahan politik. Sebelum masa pemerintahan Abbasiyah, Abu

Hanifah juga pernah dipenjara oleh pemerintahan Bani Umayyah karena tidak

83
Tamar Djaja, op. cit, hlm.19-20.
84
Abī Bakri bin Mas’ūd al-Kāsānī, loc. cit.
85
Lihat juga, Abdul Wahhab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum
Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001, hlm. 107.
86
Abdul Azis Dahlan, op.cit., hlm. 14.

43
mau dijadikan sebagai qadhi (hakim). Hal yang sama juga beliau terima pada

saat pemerintahan Bani Abbasiyah hingga beliau menghembuskan nafas

terakhirnya pada usia 70 tahun di penjara, dan jenazah Abu Hanifah

dikebumikan di makam al-Khaizaran di timur kota Baghdad.87

Demikianlah sekilas penjelasan tentang biografi Imam Abu Hanifah

mulai sejak kecil hingga wafat serta perjuangannya dalam pengembangan

agama Islam.

B. Pendapat Imam Abu Hanifah tentang Wakaf Buku

1. Pendapat Imam Abu Hanifah

Pendapat Imam Abu Hanifah mengenai wakaf buku hanya dipaparkan

secara singkat dalam kitab Badāi’ al-Shanāi’ dalam satu kalimat. Secara

lebih jelas kalimat tersebut adalah sebagai berikut:

"#$ %& '& () *+ ,- . /


0! &!
“Dan terkait dengan wakaf buku, maka pendapat asli dari Abu Hanifah
adalah tidak boleh”88

Apabila diperhatikan, seolah-olah pendapat tersebut tidak langsung

disampaikan oleh Abu Hanifah sehingga sangat berpeluang menimbulkan

keraguan tentang keabsahannya sebagai pendapat Imam Abu Hanifah (qaul

Abu Hanifah). Keraguan tersebut karena dalam kalimat di atas digunakan

istilah “maka pendapat asli dari Abu Hanifah adalah tidak boleh”. Kalimat

tersebut seakan-akan mengisyaratkan bahwa pendapat tersebut tidak

dinyatakan secara langsung oleh Imam Abu Hanifah melainkan melalui

87
Ahmad al- Syurbasi, op.cit, hlm. 69
88
‘Alauddīn Abī Bakri bin Mas’ūd al-Kāsānī, op. cit., Juz VIII, hlm. 400.

44
pihak lain. Hal itu tidak ada salahnya karena memang pendapat-pendapat

Imam Abu Hanifah tidak dibukukan sendiri oleh beliau, melainkan oleh

para muridnya. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Imam Syeikh Kāmil

Muhammad Muhammad ‘Uwaidlah dalam kitabnya yang menyebutkan

sebagai berikut:

٨٩
;5! - *E7!5
*Eg "#$ A& =, & () 6r 
q& Eb! 4/!
“Sungguh kami telah menemukan beberapa kabar yang menunjukkan
bahwasanya murid-murid Abu Hanifah yang membukukan fatwa-
fatwanya”

Menurut sumber yang sama, salah satu orang yang melakukan

pencatatan fatwa-fatwa Imam Abu Hanifah adalah Imam Muhammad al-

Hakiyah, yakni murid dari Abu Yusuf.90 Jadi meskipun Imam Abu Hanifah

tidak pernah membukukan fatwa-fatwanya, murid-murid beliaulah yang

mencatat dan menyebarkan fatwa-fatwa beliau. Sehingga kalimat di atas

yang disebutkan dalam kitab Badāi’ al-Shanāi’ merupakan pendapat Imam

Abu Hanifah yang secara turun temurun diterima dan diakui oleh para

pengikut beliau.

2. Dalil Pendapat Imam Abu Hanifah

Dalil yang dijadikan dasar Imam Abu Hanifah dalam menjelaskan

pendapat beliau tentang wakaf yakni hadits Nabi SAW berikut ini:

LME
: *) B
$C D EF
:
) B 7GH $C I? B "  $C
 
N
NOP
B JG)
:G$) :
( JG) B
B) K-E
89
Imam Syeikh Kāmil Muhammad Muhammad ‘Uwaidlah, al-Imām Abū Hanīfah, Beirut:
Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th., hlm. 155.
90
Ibid.

45
 

L
::
6*? 5 :64- - TJM 5 .Q R$/
(-
 
" :6 Y; LJM G- ,;$ D$) V#E
W  .
U
.\*5 ! .>*5 ! ]5 ;E
JG)  [ - :6 "  ! 

'/
B
! :
'? ^! NJ/
^! %J4/
^! `
J4#/
^  [ !
c dIO5! e!JIf $ 'gM5
7/! B () a$b ! 0_/
!
٩١
 'CM  c :64- B5J? B
; \h- 6 .6*G 
“Telah mengkabarkan kepada kami Quthaibah bin Said, telah
mengabarkan kepada kita Muhammad bin Abdullah al-Anshori, telah
mengabarkan kepada kita Ibnu ‘Auni, beliau berkata: telah bercerita
kepadaku Nafi’ dari Ibnu Umar r.a: Sesungguhnya Umar bin Khattab
mempunyai tanah di Khaibar, kemudian beliau datang kepada Nabi
untuk memohon petunjuk. ‘Umar berkata: Ya Rasūlullāh ! Saya
memperoleh sebidang tanah di Khaibar, saya belum pernah mendapat
harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku ?
Rasūlullāh menjawab: Apabila engkau mau, maka tahanlah zat (asal)
bendanya dan shodaqahkanlah hasilnya (manfaatnya)”. Kemudian
‘Umar melakukan shodaqah, tidak dijual, tidak dihibahkan dan juga
tidak diwariskan. Ibnu ‘Umar berkata: ‘Umar menyalurkan hasil tanah
itu bagi orang-orang fakir, kaum kerabat, budak belian, orang-orang
yang berjuang di jalan Allah (sabilillah), orang-orang yang kehabisan
bekal di perjalanan (ibnu sabil) dan tamu. Dan tidak berdosa bagi orang
yang mengurusi harta wakaf tersebut makan dari hasilnya dengan cara
yang baik dan tidak berlebihan (dalam batas kewajaran). Kemudian
Ibnu Umar berkata: maka Ibnu Sirin telah mengabarkan kepadaku dan
beliau berkata: makan dengan tidak menumpuk harta.

Hadits di atas juga merupakan hadits yang digunakan sebagai dasar

wakaf bagi para ulama. Pemikiran Abu Hanifah mengenai wakaf pada

dasarnya disandarkan pada hadits di atas. Indikasi dari digunakannya hadits

di atas sebagai dasar pemikiran Imam Abu Hanifah dapat terlihat dari

pendapat beliau mengenai harta benda yang dapat digunakan sebagai benda

91
Abī Abdullah Muhammad bin Ismā’īl al-Bukhārī, Matan Masykūl Bukhārī, Juz II,
Beirut: Dār al-Fikr, 1994, hlm. 124.

46
wakaf, yakni benda yang berwujud iqār dan mempunyai sifat menetap. Hal

ini sebagaimana terdapat dalam pernyataan berikut:

6*4$f
0! *+ ,- ,T*z! 4I/g 6*8 ! '4$5 { *5 &
() ;E*/  M 5 6*4$f
0!! ,T
*b |J  M /
& EJg} f ,
u* 4
٩٢

u* 4 ;#! *+ ,- ,~,
eJ
“Keberadaan mauquf termasuk sesuatu yang tidak bisa dipindah dan
menyebar seperti iqār dan yang serupa, maka tidak diperbolehkan
wakaf manqul seperti yang dimaksud. Karena perkara yang telah kami
sebutkan bahwa ta’bīd itu merupakan syarat kebolehan wakaf, dan
wakaf manqūl itu tidak ta’bīd karena manqūl kemungkinan kerusakan
itu besar, maka tidak diperbolehkan wakaf manqūl seperti yang
dimaksud.”

Pernyataan Imam Abu Hanifah yang lebih jelas mengenai wakaf

manqul dapat ditemukan dalam Kitab al-Hidāyah berikut ini:

*+ ! T*#! d) :



* " h /
B ")n F 4I/
0! *+!
٩٣
67*8! '4$5  0!
“Dan diperbolehkan wakaf iqār (tanah) karena kelompok (golongan)
sahabat r.a mewakafkannya dan tidak diperbolehkan wakaf benda
bergerak dan menyebar”

Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa dasar pendapat

Imam Abu Hanifah tentang tidak diperbolehkannya wakaf buku karena

didasarkan pada contoh wakaf yang terkandung dalam hadits tersebut.

92
‘Alauddin Abī Bakri bin Mas’ūd al-Kāsānī, op. cit., Juz VIII, hlm. 398-400.
93
Abī al-Hasan Alī bin Abī Bakar (Syeikh Islam Burhanuddin), al-Hidāyah Syarh
Bidāyah al-Mubtadī, Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, t.th., hlm. 17.

47
C. Metode Istinbath Hukum Abu Hanifah

Dasar-dasar yang dipakai Imam Abu Hanifah tidak dijelaskan secara

rinci. Namun demikian, kaidah-kaidah umum (ushūl kulliyah) yang menjadi

dasar bangunan pemikiran fiqihnya bercermin pada pernyataannya

sebagaimana dikutip Romli SA:

:
6*? "$ m=q& ;- b& U
}t- ;b!
}o :
N  m=q
L

:
6*? "$? ! :
N g ^ b
U
}t- CF
! d?! ;) :
(
€Jq& ,  B ]u
!  B ; h& 6*4 m=q& d?! ;) :
(
B
! Bƒ
! RI‚/
d>
J o o JF
( E

}t-, d>c 6* 
d* B

! bo Gg  b&
.f
B
I?! B5?

Artinya: “Saya berpegang kepada kitab Allah (al-Qur’an) apabila


menemukannya, jika saya tidak menemukannnya saya berpegang
kepada sunnah dan atsār, jika saya tidak ditemukan dalam kitab
sunnah saya berpegang kepada pendapat para sahabat dan
mengambil mana yang saya sukai dan meninggalkan yang lainnya.
Saya tidak keluar (pindah) dari pendapat lainnya. Maka jika
persoalan sampai kepada Ibrahim al-Sya’bi, al-Hasan, Ibn Sirin,
Sa’id Ibnu Musayyab, maka saya berijtihad sebagaimana mereka
telah berijtihad….”94

Kutipan di atas menunjukkan, bahwa Abu Hanifah dalam melakukan

istinbath hukum berpegang kepada dalil yang sistematis atau susunannya

seperti apa yang ia ucapkan tersebut. Yaitu Al-Qur’an, sunnah, atsār dan

ijtihad.

Menurut Sahal Ibnu Muzahim mengenai dasar-dasar penegakan fiqih,

Abu Hanifah berpegang kepada riwayat orang terpercaya dan menjauhkan diri

94
Ramli SA, Muqaranah Madzahib fi al Ushul, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999, hlm.
21.

48
dari keburukan serta memperhatikan muamalah manusia dan adat atau ‘urf

mereka itu. Dia memegangi qiyās, apabila suatu masalah tidak baik didasarkan

kepada qiyās, beliau memegangi istihsān selama yang demikian itu dapat dia

lakukan. Kalau tidak, maka beliau berpegang pada adat atau ‘urf.95 Jadi jelas,

bahwa dalil fiqh Abu Hanifah adalah al-Kitab, al-Sunnah, Ahwāl al-Shaḫābat,

Ijma’, Qiyās, al-Istiḫsān dan al-‘urf.96

Abu Hanifah dikenal sebagai ulama ahli al-Ra’yu dalam menetapkan

hukum Islam, baik yang diistinbathkan dari al-Qur’an maupun al-Hadits. Dia

banyak menggunakan nalar dan mengutamakan ra’yu daripada khabar ahad.

Apabila terdapat hadits yang bertentangan dengan al-Qur’an, ia menetapkan

hukum dengan jalan qiyās dan istiḫsān.97 Namun demikian, ia tidak

mengabaikan dasar hukum al-Qur’an dan hadits dalam menetapkan suatu

hukum. Hal itu sengaja dilakukan agar tidak ada kesan, bahwa ia kurang

perhatian dengan sunnah Rasul, karena julukannya sebagai ahli ra’yu.

Imam Abu Yusuf berkata: “Saya belum pernah melihat orang yang

lebih mengerti tentang hadits dan tafsirnya selain Abu Hanifah. Ia tahu akan

’illat-’illat hadits, mengerti tentang ta’dil, tarjiḫ dan tentang tingkatan hadits

yang sah atau tidak”. Bahkan Abu Hanifah sendiri pernah berkata: “Jauhilah

olehmu perkataan mengenai urusan agama Allah menurut pendapat sendiri,

tidak menurut hadits-hadits Nabi”. Dia memang sangat selektif terhadap hadits,

95
T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, “Pengantar….”, op. cit., hlm. 86.
96
T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, “Pokok-pokok Pegangan….”, op. cit., hlm. 146.
97
Huzaemah Tahido Yanggo, op. cit., hlm. 98.

49
sehingga hadits yang dipandang lemah ditinggalkan dan lebih mengutamakan

rasio.98

Dikarenakan begitu sedikit penggunaan hadits Abu Hanifah, maka

akibatnya dalam penerimaan hadits ia sangat ketat, karena pada waktu itu kota

Kuffah dan Baghdad banyak berkembang hadits-hadits palsu, sehingga ia

banyak memakai ra’yu dan rasionalisasi nash. Dia sering memakai qiyās dan

istiḫsān sebagai dasar ijtihādnya. Penggunaan rasio tersebut di samping

dilatarbelakangi alasan di atas, juga karena dalam masyarakat Irak pada waktu

itu sangat dinamis dan heterogen, sehingga banyak timbul peristiwa-peristiwa

hukum baru yang tidak dapat menggunakan penalaran dari nash saja, serta juga

dikarenakan jauhnya wilayah Irak dari sumber hadits, yaitu Makkah dan

Madinah. Oleh karena itu, ia dalam berijtihad banyak memakai dasar ra’yu

(rasio), bahkan ia mendahulukan qiyās daripada hadits ahad.99

Adapun penjelasan dari masing-masing pokok pegangan yang

digunakan Imam Abu Hanifah dalam membina madzhabnya adalah sebagai

berikut:

1. Al-Qur’an

Al-Qur’an merupakan nama kitab suci yang diturunkan Allah kepada nabi

Muhammad saw. Dalam kajian Ushūl Fiqh, al-Qur’an disebut dengan al-

Kitab,100 sebagaimana terdapat dalam Surat al-Baqarah ayat 2:

98
M. Ali Hasan, op. cit, hlm. 186.
99
Asywadie Syukur, Pengantar Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, Surabaya : Bina Utama, 1999,
hlm. 39. Mengenai kriteria hadits ahad menurut Imam Abu Hanifah dapat juga dilihat dalam
Muhammad bin Hasan al-Jahwī al-Su’ālabī al-Fāsīy, al-Fikru al-Sāmīy fi Tārīkh al-fiqhu al-
Islāmīy, Beirut: Dār al-Kutb al-Ilmiyah, t.th., hlm. 425.
100
Nasroen Haroen, Ushul Fiqh, Jakarta : Logos, 1996, hlm. 20.

50
∩⊄∪ zŠÉ)−Fßϑù=Ïj9 “W‰èδ ¡ ϵ‹Ïù ¡ |=÷ƒu‘ Ÿω Ü=≈tGÅ6ø9$# y7Ï9≡sŒ

Artinya: “Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi
mereka yang bertaqwa”. (Q.S. Al Baqarah: 2)

2. Al-Sunnah

Al-sunnah secara etimologis berarti: ”Jalan yang bisa dilalui atau yang

senantiasa dilakukan, apakah cara itu sesuatu yang baik atau yang buruk”.

Sedang secara terminology adalah: ”Segala yang diriwayatkan dari Nabi

Muhammad SAW. Berupa perkataan, perbuatan, dan ketetapan yang

berkaitan dengan hukum”.101

3. Aqwāl al-Shaḫābah (fatwa sahabat)

Aqwāl al-Shaḫābah (fatwa sahabat) merupakan fatwa yang dikeluarkan

setelah Rasulullah wafat oleh sekelompok sahabat yang mengetahui ilmu

fiqh dan lama menemani Rasulullah dan faham akan al-Qur’an serta

hukum-hukum, karena diadakan untuk memberikan fatwa dan membentuk

hukum untuk kaum muslimin. Dalam masalah ini, tidak ada perbedaan

pendapat bahwa pendapat sahabat dalam hal-hal yang tidak dapat

dijangkau oleh akal merupakan hujjah atas kaum muslimin, karena hal itu

pasti dikaitkan berdasarkan pendengarannya dari Rasulullah.102

4. Al-Ijma’

Secara etimologis, ijma’ berarti “kesepakatan atau konsensus”. Pengertian

dijumpai dalam Surat Yusuf ayat 15 sebagai berikut:

101
Ibid, hlm.38.
102
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama, 1994, hlm. 135.

51
… 4 Éb=ègø:$# ÏMt6≈uŠxî ’Îû çνθè=yèøgs† βr& (#þθãèuΗødr&uρ ϵÎ/ (#θç7yδsŒ $£ϑn=sù

Artinya: “Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya


kedalam sumur...” (QS. Yusuf:15)

Menurut istilah para ahli ushūl fiqh, ijma’ adalah “kesepakatan seluruh

mujtahid dikalangan umat Islam pada masa setelah Rasulullah wafat atas

hukum syara’ mengenai suatu kejadian. Apabila terjadi suatu kejadian yang

dihadapkan pada semua mujtahid dari umat Islam pada suatu kejadian itu

terjadi, mereka sepakat atas hukum mengenainya, maka kesepakatan

mereka disebut ijma’”.103

5. Al-Qiyās

Qiyās menurut para ahli ushul fiqh sebagaimana dikutip Abdul Wahhab

Khallaf adalah “mempersamakan suatu peristiwa yang tidak ada nashnya

dengan hukum suatu peristiwa yang sudah ada nashnya, lantaran

persamaan illat hukumnya dari dua peristiwa itu”.104

Sesuai dengan ta’rīf tersebut, maka apabila suatu peristiwa yang hukumnya

telah ditetapkan oleh suatu nash dan illat hukumnya telah diketahui

menurut satu cara dari beberapa cara mengetahui illat hukum, kemudian

didapatkan suatu peristiwa lain yang hukumnya sama dengan illat hukum

dari peristiwa yang sudah mempunyai nash tersebut, maka peristiwa yang

tidak ada nash tersebut disamakan dengan hukum peristiwa yang ada

103
Abdul Wahhab Khallaf, op, cit., hlm.56.
104
Ibid., hlm. 66.

52
nashnya, lantaran adanya persamaan illat hukum pada kedua peristiwa

tersebut.105

Mereka berpendapat demikian, didasarkan pada al-Qur’an Surat al-Hasyr

ayat 2 sebagai berikut:

∩⊄∪ Ì≈|Áö/F{$# ’Í<'ρé'¯≈tƒ (#u ρçÉ9tFôã$$sù…

Artinya: “…Hendaklah kamu mengambil I’tibar (ibarat/pelajaran) hai


orang-orang yang berfikir.” (Q.S. al-Hasyr: 2)

Analisa-analisa yang logis yang mereka gunakan untuk menetapkan

kehujjāhan adalah sebagai berikut:106

a) Allah SWT tidaklah menetapkan hukum bagi hamba-Nya sekiranya

tidak untuk kemaslahatan hamba tersebut. Kemaslahatan inilah yang

menjadi tujuan akhir diciptakannya suatu perundang-undangan. Karena

itu, apabila suatu peristiwa yang tidak ada nashnya, akan tetapi illatnya

sesuai dengan illat suatu peristiwa yang sudah ada nashnya dan diduga

keras pula dapat memberikan kemaslahatan kepada hamba, maka

adillah kiranya jika ia samakan hukumnya dengan peristiwa yang sudah

ada nashnya itu demi merealisasikan kemaslahatan yang dicita-citakan

oleh undang-undang.

b) Nash-nash al-Qur’an dan al-Sunnah itu adalah terbatas, sedangkan

kejadian-kejadian pada manusia tidak terbatas dan tidak teratur. Oleh

karena itu, tidak mungkin nash-nash yang terbatas itu dijadikan sebagai

105
Muchtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam,
Bandung: al-Ma’arif, 1997, hlm. 66.
106
Ibid, hlm. 74-75.

53
sumber terhadap kejadian-kejadian yang tidak terbatas. Dengan

demikian, qiyās merupakan sumber perundang-undangan yang dapat

mengikuti kejadian-kejadian baru yang dapat menyesuaikan dengan

kemaslahatan.

c) Al-Qiyās adalah dalil yang sesuai dengan naluri manusia dan logika

yang sehat. Tidak terdapat perselisihan di antara manusia, bahwa

sesuatu yang berlaku pada salah satu dari dua hal serupa, berlaku pula

pada yang lain selama tidak ada sesuatu yang membedakan antara dua

hal tersebut.107

6. Istihsān

Secara etimologi, istihsān berarti “menganggap sesuatu itu baik”.

Sedangkan menurut istilah ulama ushul fiqih, istihsān adalah “berpalingnya

seorang mujtahid dari tuntunan qiyās yang jalli (nyata) kepada tuntutan

qiyās yang khafi (samar), atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum

istisna’ (pengecualian) pada dalil yang menyebabkan mujtahid tersebut

mencela akalnya dan memenangkan perpalingan ini”108

7. Al-‘Urf

Al-‘Urf adalah “sesuatu yang telah dikenal oleh orang banyak dan telah

menjadi tradisi mereka, baik berupa perkataan, perbuatan atau keadaan

107
Lihat juga, Muhammad bin Hasan al-Jahwi al-Syu’âlabi al-Fâsiy, op. cit., hlm. 426.
108
Abdul Wahhab Khallaf, op. cit., hlm. 110. Penjelasan lain tentang istihsān Imam Abu
Hanifah juga dapat dilihat dalam Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqhu al-Islamiy, Beirut: Dār al-Fikr,
t.th., hlm. 780.

54
meninggalkan. Ia juga disebut “adat”. Menurut istilah ahli syara’, tidak ada

perbedaan antara al-‘urf dan adat kebiasaan “.109

Demikianlah sekilas tentang keterangan metode istinbath hukum yang

digunakan oleh Abu Hanifah secara umum. Di mana langkah-langkah yang

ditempuh berbeda dengan ketiga imam mazhab lainnya, karena ia merupakan

ulama yang dikenal dengan sebutan ahli al-ra’yu dalam berijtihad. Hal ini

dikarenakan, Abu Hanifah lebih menanamkan motto “kemerdekaan” dalam

berfikir, disamping juga karena beberapa yang lain, sebagaimana disebutkan di

atas.

D. Metode Istinbath Hukum Imam Abu Hanifah tentang Wakaf Buku

Secara tekstual, metode istinbath hukum yang digunakan oleh Imam

Abu Hanifah tidak ditulis apalagi dijelaskan dalam kitab Badāi’ al-Shanāi’.

Dalam kitab tersebut hanya disebutkan dalam kalimat “wa lau waqofa

asyjāron qōimatan fa al-qiyās allā yajūzu” ketika menyebutkan

ketidakbolehan wakaf pohon menurut qiyās. Sedangkan penjabaran tentang

penerapan metode qiyās dalam pendapat Imam Abu Hanifah tidak

disebutkan.110

Akan tetapi dalam ta’līq kitab tersebut dijelaskan bahwa istinbath

hukum Imam Abu Hanifah tentang wakaf pada dasarnya disandarkan pada

hadits tanah Khaibar dengan indikasi kesamaan hak wakif atas benda yang

diwakafkan dengan kalimat “in syi’ta habasta ashlahā wa tashaddaqta

109
Ibid, hlm. 123.
110
‘Alauddin Abī Bakri bin Mas’ūd al-Kāsānī, op. cit., Juz VIII, hlm. 400.

55
bihā”.111 Dengan demikian, meski tidak tertulis apalagi dijelaskan secara

gamblang mengenai istinbath hukum yang digunakan Abu Hanifah, dapat

dimengerti bahwa proses pemikiran Abu Hanifah tentang wakaf buku dapat

disandarkan pada pendapatnya mengenai ketentuan harta benda yang dapat

digunakan sebagai benda wakaf yang bersumber pada hadits utama tentang

wakaf. Jadi proses ra’yu tetap berpijak pada dasar hukum Islam yang telah ada.

Secara lebih jelas, pemaparan tentang proses ra’yu Imam Abu Hanifah

dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Berdasar pada hadits tentang pemanfaatan tanah Khaibar oleh Umar setelah

mendapat jawaban dari Nabi Muhammad SAW

2. Menjadikan hal-hal penting yang terkandung dalam hadits tersebut sebagai

pijakan dalam ra’yu beliau mengenai wakaf. Hal-hal tersebut adalah:

a. Obyek benda yang diwakafkan, yang mana dalam hadits tersebut

berupa tanah yang memiliki sifat menetap.

b. Proses wakaf, yakni berupa pemanfaatan hak milik untuk disedekahkan

manfaatnya tanpa menghilangkan hak kepemilikan, kecuali untuk

wakaf-wakaf tertentu.

3. Kedua hal di atas kemudian menjadi dasar pengembangan pendapat Imam

Abu Hanifah tentang wakaf. Dalam aspek harta benda yang dijadikan

sebagai obyek wakaf, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa hanya harta

benda yang memiliki sifat menetap atau mengikuti pada iqār yang dapat

digunakan sebagai benda wakaf. Sedangkan wakaf yang tidak menetap

111
Ibid., hlm. 382

56
menurut beliau tidak dapat dijadikan sebagai obyek wakaf, terkecuali

apabila telah menjadi kebiasaan maka dapat diberlakukan (istihsān).

Sedangkan dalam aspek proses wakaf, berdampak pada pendapat beliau

tentang hak wāqif atas harta benda yang diwakafkan. Selama tidak untuk

wakaf yang mengharuskan hilangnya hak kepemilikan (sebab akad atau

karena untuk masjid), maka wāqif masih memiliki hak sepenuhnya

terhadap harta benda yang dijadikan sebagai obyek wakaf, termasuk hak

untuk menghibahkan, hak untuk mewariskan, atau bahkan hak untuk

menjual harta benda tersebut.

Dengan demikian, istinbath hukum yang digunakan oleh Imam Abu

Hanifah dapat disebut sebagai metode ra’yu yang mengacu pada substansi

hadits yang digunakan sebagai dasar utama tentang wakaf.

57
BAB IV

ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG WAKAF

BUKU DALAM KITAB BADĀI’ AL-SHANĀI’ KARYA ‘ALAUDDĪN ABĪ

BAKRI BIN MAS’ŪD AL-KĀSĀNĪ

A. Analisis Pendapat Imam Abu Hanifah tentang Wakaf Buku

Hukum Islam dibangun sesuai dengan fungsi dari agama Islam sebagai

rahmat li al-‘ālamīn. Konsekuensi dari fungsi tersebut adalah bahwa Islam

tidak hadir sebagai sesuatu yang menyulitkan umat manusia sebagaimana

dijelaskan Allah dalam salah satu firman-Nya berikut ini:

€
‹ J„ „ B† ˆ B‰ 5Š/
vˆ- d† ‡ †…)„ '… I„ b„ „!„
“Dan tidaklah Allah jadikan bagimu dalam agama suatu kesulitan.”
(Q.S. al-Hajj: 78).

Oleh sebab itu dalam perkembangan hukum Islam, umat Islam

diperkenankan untuk melakukan penetapan hukum terhadap suatu hal yang

belum ada kejelasan hukum dalam sumber hukum Islam. Langkah inilah yang

kemudian dikenal dengan jalan ijtihad. Proses ini merupakan sebuah langkah

menyelaraskan ajaran Islam dengan perubahan zaman. Sebab dalam

perubahan zaman tentu terdapat perubahan-perubahan yang tidak jarang

membutuhkan ijtihad terhadap penetapan ketentuan hukum suatu hal yang

mengalami perubahan sebagai dampak dari perubahan zaman. Hal ini menurut

Wahbah al-Zuhaili diperbolehkan dengan menyandarkan pada salah satu

prinsip dalam syari’at Islam berikut ini:

58

 

“Ketentuan-ketentuan hukum dapat berubah dengan berubahnya
masa”112

Ijtihad telah menjadi bagian dari pengembangan hukum Islam. Namun

tidak selamanya hasil ijtihad senantiasa sama antara satu mujtahid dengan

mujtahid lainnya. Hal ini salah satunya dapat terlihat pada pendapat ulama

tentang wakaf harta benda bergerak. Dalam lingkup ulama mazhab, Imam

Abu Hanifah merupakan imam yang memiliki pendapat yang berbeda

mengenai wakaf benda bergerak. Oleh sebab itu, ada baiknya sebelum

melakukan analisa terhadap implikasi dari penerapan pendapat Imam Abu

Hanifah mengenai tidak bolehnya wakaf buku, penulis akan memaparkan

terlebih dahulu pendapat ulama (imam mazhab) yang berbeda dengan

pendapat Imam Abu Hanifah.

Pendapat Imam Abu Hanifah mengenai wakaf benda bergerak

merupakan pendapat yang unik. Disebut unik, karena pendapat beliau

merupakan pendapat yang berbeda di antara imam mazhab lainnya. Ketiga

imam mazhab yang lain, yakni Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Hambali

menyatakan tentang kebolehan harta benda bergerak untuk diwakafkan.113

Perbedaan pendapat tersebut bersumber pada perbedaan dalam menafsiri salah

112
Wahbah az-Zuhaili, Konsep Darurat dalam Hukum Islam Studi Banding dengan
Hukum Positif, terj. Said Agil Hussain al-Munawwar dan M. Hadri Hasan dari judul asli
Nazhariyah al-dharurah al-Syar’iyah Muqaranah Ma’a al-Qanun al-Wadli’i, Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1997, hlm. 51.
113
Secara lebih jelas dapat dilihat dalam Muhammad Abu Zahrah, Muhādharāt fī al-
Waqf, Kairo: Dār al-Fikr, t.th, hlm. 41

59
satu hadits Nabi Muhammad SAW yang menjelaskan tentang perintah Nabi

kepada Umar untuk menarik shadaqah yang berbunyi sebagai berikut:

NOP
B JG) .Q l$/
kI :ihh /
^ ;$) :
( jJ5J> %& B)
:.Q :
6*? 64- ,p7I/
! /*/
B /q!.'n B o K$G- ,m /
()
,
/q *Gs dEt- /q &! ,:
T$cM-
4- g o r o 'n B o d4$5 
.Q :
6*? d) pI/
&! ,:
'? ^ T )& ! ;)
u& V o !
١١٤
(;) y# ) ; & *$ 'bJ/
d) & mJI& : 6 x ,w! v7 ) v-
“Dari Abu Hurairah r.a dalam shahīhain, Nabi SAW mengutus Umar
bin Khatab untuk mengambil shadaqah, kemudian Ibnu Jamil, Khalid
bin Walid dan Ibnu Abbas tidak memberikan (zakat), maka Rasulullah
SAW bersabda: Ibnu Jamil tidak akan dibebani hukuman kecuali
apabila dia fakir kemudian Allah memberikan kekayaan kepadanya,
sedangkan terhadap Khalid, maka kamu sekalian telah mendzaliminya
karena sesungguhnya dia telah menahan baju besi dan peralatan perang
di jalan Allah (fī sabīlillāh), sedangkan Abbas adalah paman
Rasulullah SAW, maka zakatnya menjadi tanggunganku begitu pula
shadaqah semisalnya. Kemudian beliau bersabda: hai Umar, tidakkah
engkau merasa bahwa paman seorang lelaki mewakili ayahnya” (H.R.
Mutafaq ‘Alaih)

Ketiga imam mazhab – selain Imam Abu Hanifah tentunya – menafsiri

hadits tersebut sebagai hadits wakaf. Penafsiran tersebut didasarkan pada

adanya aspek “ihtabasa” terhadap baju besi dan peralatan perang yang

dilakukan oleh Khalid bin Walid di jalan Allah (fī sabīlillāh). Imam Nawawi –

salah satu ulama Syafi’iyyah – memberikan penjelasan mengenai hadits

tersebut, khususnya mengenai perbuatan Khalid bin Walid, dengan pernyataan

bahwa Umar bin Khattab menyangka baju besi dan peralatan perang milik

Khalid bin Walid adalah barang dagangan, sehingga akan ditarik zakat oleh

114
‘Alauddīn Abī Bakri bin Mas’ūd al-Kāsānī, Badāi’ al-Shanāi’, Juz VIII, Beirut: Dār
al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th., hlm. 398; lihat juga hadits yang sama namun berbeda redaksi dalam
Ahmad bin al-Syāfi’ī, Bulūgh al-Marām, Beirut: Dār al-Kutub al-Islamiyah, t.th., hlm. 235.

60
Umar bin Khattab. Kemudian Khalid bin Walid tidak menunaikan zakat. Oleh

Nabi Muhammad SAW apa yang dilakukan Khalid bin Walid tidak disalahkan

dan bahkan Umar dianggap telah menganiaya apabila menarik zakat dari

Khalid bin Walid dengan alasan harta benda milik Khalid bin Walid telah

ditahan di jalan Allah.115

Pendapat berbeda diberikan oleh Imam Abu Hanifah mengenai hadits

di atas yang menyatakan bahwa sebenarnya hadits tersebut bukanlah hadits

wakaf melainkan hadits tentang zakat. Pendapat Imam Abu Hanifah tersebut

dikuatkan dengan dasar adanya penyebutan salah satu ashnaf, yakni fī

sabīlillāh. Dasar itulah yang kemudian dijadikan penguat pendapat Imam Abu

Hanifah untuk menentang atau menolak pendapat ulama masa itu yang

menganggap hadits tersebut sebagai hadits wakaf.116

Menurut penulis, kemungkinan perbedaan tafsir tersebut sangat wajar.

Hal ini dapat disandarkan pada dua aspek dasar yang terkandung dalam hadits

tersebut, yakni:

1. Hakekat perintah Nabi dalam hadits

Hakekat perintah Nabi kepada Umar dalam hadits mengenai

Khalid bin Walid adalah menyuruh Umar untuk menarik shadaqah wajib

(zakat). Indikasi dari hal tersebut adalah adanya kata “’alā” yang

mendahului kata “al-shadaqah”. Salah satu fungsi dari kata “’alā” adalah

li ta’alluq bi al-fi’li atau untuk menyambungkan dengan fi’il (kata

115
Sebagaimana dijelaskan oleh Imam Syihab al-Din Abi al-Abbas Ahmad bin
Muhammad al-Syafi’i, Irsyād al-Sārī Syarh Shahīh al-Bukhārī, Juz III, Beirut: Dār al-Kutub al-
Ilmiyah, t.th., hlm. 570.
116
Muhammad bin Ismā’īl al-Kahlānī al-Shan’ānī, Subul al-Salām, Juz III, Semarang:
Toha Putra, t.th., hlm. 89.

61
kerja).117 Dalam hadits tersebut kata “’alā” menjadi penghubung antara

kata “ba’atsa” dengan kata “al-shadaqah”. Oleh karena kata “ba’atsa”

merupakan kata kerja yang bersifat amar (perintah) yang terkandung

hakekat wajib, maka kemudian shadaqah yang diperintahkan oleh Nabi

Muhammad SAW untuk ditarik juga memiliki sifat wajib.

Selain dari tinjauan kata yang terkandung dalam hadits, penguatan

tentang shadaqah wajib dalam hadits di atas juga didukung dengan kalimat

Nabi Muhammad SAW mengenai Pamannya, yakni Ibnu ‘Abbas sebagai

berikut:

w! v7 ) v- .Q :


6*? d) pI/
&!
“Sedangkan Abbas adalah paman Rasulullah SAW, maka zakatnya
menjadi tanggunganku begitu pula shadaqah dan semisalnya.”

Pernyataan di atas mengindikasikan bahwa shadaqah atau yang

sejenisnya yang menjadi tanggung jawab Ibnu Abbas telah menjadi

tanggungan atau telah ditanggung oleh Nabi Muhammad SAW.

Pernyataan Nabi tersebut sekaligus menerangkan bahwa tanggung jawab

nafkah Ibnu Abbas, yang berkedudukan sebagai paman beliau, menjadi

tanggung jawab beliau.

Di samping kedua alasan di atas, terdapat juga alasan yang

didasarkan pada aspek analogi. Apabila diperhatikan, kalimat:

m /
() NOP
B JG) .Q l$/
kI
memiliki kemiripan dalam struktur kebahasaan dengan kalimat berikut:

117
Ibnu Hisyam, Mughnī al-Labīb, Juz I, Beirut: al-Maktabah al-Ashriyyah, 1992, hlm.
163.

62
[,qF
 dF wI Œo
Apabila diuraikan, maka kalimat pembanding akan memiliki susunan

kalimat sebagai berikut:

[,qF
 dF 7GH :
kI Œo
Dalam kalimat pembanding tersebut, yang terkena hukum wajib

adalah proses perbaikan akhlak. Maksudnya adalah, Allah bisa saja

mengutus Nabi selain Muhammad untuk memperbaiki atau

menyempurnakan akhlak manusia. Jadi intinya, yang menjadi keutamaan

adalah bukan pada siapa yang disuruh atau diutus, melainkan hakekat

perbuatan yang menjadi keutamaan dalam proses pengutusan.

Akan tetapi, bisa jadi shadaqah yang dimaksud bukan shadaqah

wajib berupa zakat melainkan nafkah. Karena zakat dan nafkah merupakan

jenis dari shadaqah wajib. Namun jika dikaji secara utuh hubungan

kalimat, maka akan terjawab bahwa shadaqah yang dimaksud dalam hadits

di atas adalah zakat. Indikator yang menjadi penguat adalah adanya

perintah Nabi untuk menarik shadaqah wajib tersebut. Seandainya yang

dimaksud adalah nafkah, maka tidak mungkin Nabi akan memerintah

untuk menariknya. Sebab nafkah adalah shadaqah wajib dalam suatu

keluarga dan bukan ibadah sosial yang umum melainkan khusus.

2. Hakekat perbuatan Khalid bin Walid

63
Sebagaimana disebutkan di atas, perbuatan yang dilakukan oleh

Khalid bin Walid dapat dikategorikan ke dalam dua jenis perbuatan.

Pertama, perbuatan tersebut dapat disebut sebagai aktifitas zakat, dengan

penguat adanya salah satu ashnāf, yakni fī sabīlillāh. Kedua, perbuatan

tersebut dapat disebut sebagai aktifitas wakaf, dengan penguat penggunaan

kata “ihtabasa”.

Salah satu cara untuk mempermudah memahami matan (isi) hadits

adalah dengan mengetahui sebab-sebab turunnya hadits tersebut. Dalam

konteks ini, sepanjang penelusuran literer, penulis belum menemukan

asbāb al-Wurūd dari hadits mengenai perintah Nabi kepada Umar ra untuk

menarik shadaqah. Pengetahuan mengenai asbāb al-Wurūd hadits tersebut

sangat penting untuk mengetahui ruang lingkup “ihtabasa” dalam

perbuatan Khalid bin Walid.

Sebagai pembanding makna yang terkandung dalam kata

“ihtabasa” pada hadits di atas adalah hadits dari Nabi Muhammad SAW

dalam menanggapi pertanyaan Umar bin Khattab mengenai pemanfaatan

tanah Khaibar berikut ini:

: *) B
$C D EF
:
) B 7GH $C I? B "  $C

N
NOP
B JG)
:G$) :
( JG) B
B) K-E LME



L
::
6*? 5 :64- - TJM 5 .Q R$/
(- 

" :6 Y; LJM G- ,;$ D$) V#E
W  .
U
! .>*5 ! ]5 ;E
JG)  [ - :6 "  ! 

B
! :
'? ^! NJ/
^! %J4/
^! `
J4#/
^  [ ! .\*5

64
e!JIf $ 'gM5
/! B () a$b ! ,0_/
! '/

١١٨
 'CM  c :64- B5J? B
; \h- 6 .6*G  c dIO5!
“Telah mengkabarkan kepada kami Quthaibah bin Said, telah
mengabarkan kepada kita Muhammad bin Abdullah al-Anshori, telah
mengabarkan kepada kita Ibnu ‘Auni, beliau berkata: telah bercerita
kepadaku Nafi’ dari Ibnu Umar r.a: Sesungguhnya Umar bin Khattab
mempunyai tanah di Khaibar, kemudian beliau datang kepada Nabi
untuk memohon petunjuk. ‘Umar berkata: Ya Rasūlullāh ! Saya
memperoleh sebidang tanah di Khaibar, saya belum pernah mendapat
harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku ?
Rasūlullāh menjawab: Apabila engkau mau, maka tahanlah zat (asal)
bendanya dan şadaqahkanlah hasilnya (manfaatnya)”. Kemudian
‘Umar melakukan şadaqah, tidak dijual, tidak juga dihibahkan dan juga
tidak diwariskan. Ibnu ‘Umar berkata: ‘Umar menyalurkan hasil tanah
itu bagi orang-orang fakir, kaum kerabat, budak belian, orang-orang
yang berjuang di jalan Allah (sabilillah), orang-orang yang kehabisan
bekal di perjalanan (ibnu sabil) dan tamu. Dan tidak berdosa bagi
orang yang mengurusi harta wakaf tersebut makan dari hasilnya
dengan cara yang baik dan tidak berlebihan (dalam batas kewajaran).
Kemudian Ibnu Umar berkata: maka Ibnu Sirin telah mengabarkan
kepadaku dan beliau berkata: makan dengan tidak menumpuk harta.

Secara sederhana, apabila hadits tersebut turun sebelum adanya

hadits tentang keinginan Umar untuk menyedekahkan tanah Khaibar,

maka yang dimaksud “ihtabasa” dalam perbuatan Khalid bukan termasuk

wakaf. Hal ini dikarenakan proses wakaf baru dikenal setelah adanya

hadits tentang pemanfaatan tanah Khaibar milik Umar. Sebaliknya, apabila

hadits tersebut turun setelah adanya hadits Khaibar, maka yang dimaksud

dengan “ihtabasa” dapat diidentikkan dengan maksud “habsu” dalam

hadits Khaibar.

Mengenai bentuk shadaqah sebelum turunnya hadits tentang tanah

Khaibar juga dijelaskan oleh Imam Dahlawi, sebagaimana dikutip oleh


118
Abī Abdullah Muhammad bin Ismā’īl al-Bukharī, Matan Masykūl Bukhārī, Juz II,
Beirut: Dār al-Fikr, 1994, hlm. 124.

65
‘Alauddīn Abī Bakri bin Mas’ūd al-Kāsānī. Imam Dahlawi menyatakan

bahwa wakaf merupakan hasil ijtihad Nabi Muhammad SAW dalam

menanggapi situasi yang terjadi pada saat sebelum dikenalnya shadaqah

wakaf. Pada masa itu, shadaqah yang dibelanjakan di jalan Allah (fī

sabīlillāh) pemanfaatannya lebih bersifat individual tidak jarang

menjadikan beberapa kelompok fakir tidak dapat menerima karena

shadaqah tersebut telah dimanfaatkan hingga tidak tersisa oleh kaum fakir

sebelumnya.119

Dalam kalimatnya, Imam Dahlawi juga menggunakan kata “fī

sabīlillāh” yang mana memiliki penekanan bahwa shadaqah yang terjadi

sebelum turunnya hadits tanah Khaibar dikhususkan pada wilayah fī

sabīlillāh (di jalan Allah). Penggunaan istilah fī sabīlillāh – sebagaimana

dinyatakan oleh Imam Dahlawi – juga memiliki makna bahwa ruang

lingkup yang terkandung dalam fī sabīlillāh bukan hanya untuk

peperangan semata namun juga mencakup untuk memenuhi kebutuhan

kelompok fakir miskin.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwasanya

perbedaan pendapat yang timbul antara Imam Abu Hanifah dan imam mazhab

(dalam hal ini diwakilkan oleh pendapat Imam Syafi’i) terletak pada

penafsiran terhadap hadits yang menjelaskan tentang perintah Nabi

Muhammad SAW kepada Umar untuk menarik shadaqah wajib. Pada satu sisi

Imam Abu Hanifah memiliki pandangan bahwa keberadaan salah satu ashnāf

119
‘Alauddīn Abī Bakri bin Mas’ūd al-Kāsānī, op. cit., hlm. 382.

66
dalam hadits tersebut, yakni fī sabīlillāh, merupakan isyarat dari shadaqah

dalam bentuk zakat. Sedangkan di sisi lain, Imam Syafi’i dan beberapa imam

lainnya menyandarkan pada istilah “ihtabasa” pada kata “habsu” dalam hadits

Nabi kepada Umar mengenai tanah Khaibar yang terkandung maksud dan

tujuan wakaf.

B. Analisis Istinbath Hukum Pendapat Imam Abu Hanifah tentang Tidak

Diperbolehkan Wakaf Buku

Imam Abu Hanifah dikenal sebagai sosok yang kental dengan

dominasi rasio dalam mengeluarkan pendapat tentang ketetapan suatu hukum.

Meskipun dikenal sebagai ahli ra’yu, Abu Hanifah tidak lantas meninggalkan

al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sumber hukum dalam berijtihad. Akal

digunakan oleh Abu Hanifah manakala beliau tidak menemukan sumber

hukum dalam al-Qur’an, al-Hadits, maupun ijma’ para sahabat, baik yang

belum tertulis maupun yang belum ada kejelasan secara redaksi mengenai

suatu hal.

Pada dasarnya, jalur istinbath hukum Imam Abu Hanifah yang utama

adalah ra’yu. Metode ini kemudian oleh Imam Syafi’i disejajarkan dengan

metode qiyās. Penyejajaran tersebut mungkin dapat diterima karena dalam

metode qiyās, akal juga memiliki peranan dalam melakukan analisa hukum

terhadap suatu perkara. Namun menurut penulis, aplikasi antara metode ra’yu

Imam Abu Hanifah dengan metode qiyās Imam Syafi’i berbeda. Perbedaan

tersebut adalah tidak adanya penyamaan ‘illat dalam metode ra’yu Imam Abu

Hanifah sebagaimana diterapkan dalam qiyās menurut Imam Syafi’i. Oleh

67
sebab itu, metode istinbath Imam Abu Hanifah tidak dapat dianalisa

menggunakan metode qiyās Imam Syafi’i.120

Menurut Syeikh Kāmil Muhammad Muhammad ‘Uwaidhah, istinbath

hukum Imam Abu Hanifah lebih mendasarkan pada aspek penalaran (ma’qūl)

terhadap sumber hukum Islam. Dari proses penalaran tersebut kemudian

menjadi hasil istinbath. Namun penalaran yang dilakukan oleh Imam Abu

Hanifah bukan merupakan penalaran yang berdiri sendiri, melainkan juga

mendasarkan pada aspek hukum Islam, seperti al-Qur’an, al-Hadits maupun

atsār sahabat serta ijma’ para sahabat.121

Terkait pendapat Imam Abu Hanifah tentang tidak bolehnya wakaf

buku, tidak dapat dilepaskan dari istinbath hukum beliau mengenai tidak

bolehnya wakaf manqūl. Hal ini mengindikasikan bahwa ketidakbolehan

wakaf buku merupakan cabang dari tidak bolehnya wakaf manqūl. Sedangkan

mengenai istinbath hukum ketidakbolehan wakaf manqūl, Imam Abu Hanifah

melakukan ra’yu pada hadits yang menceritakan tentang dialog Nabi dengan

Umar bin Khattab mengenai tanah Khaibar sebagai berikut:

LME
: *) B
$C D EF
:
) B 7GH $C I? B "  $C
 
N
NOP
B JG) r & :G$) :
( JG) B
B) K-E
.
U 

L
::
6*? 5 :64- - TJM 5 .Q R$/
(M-

120
Mengenai perbedaan istinbath hukum dalam metode ra’yu Imam Abu Hanifah dengan
Imam Syafi’i dapat dilihat dalam Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam Sebuah Pengantar,
Surabaya: Risalah Gusti, 1995, hlm. 87-91.
121
Syaeikh Kāmil Muhammad Muhammad ’Uwaidhah, al-Imām Abū Hanīfah, Beirut:
Daar al-Kutb al-Ilmiyah, 1992, hlm. 150; di bagian lain dalam buku yang sama disebutkan bahwa
metode istinbath Imam Abu Hanifah tidak pernah dibukukan. Lihat hlm. 152. Sedangkan
mengenai aspek penalaran, dapat dilihat dalam hlm. 156.

68

 
" :6 Y; LJM G- ,;$ D$) V#E
W 
[ ! .\*5 ! .>*5 ! ]5 ;E
JG)  [ - :6 "  !
! ,0_/
! '/
B
! :
'? ^! NJ/
^! %J4/
^! `
J4#/
^ 
6 .6*G  c dIO5! e!JIf $ 'gM5
7/! B () a$b
١٢٢
 'CM  c :64- B5J? B
; \h-
“Telah mengkabarkan kepada kami Quthaibah bin Said, telah
mengabarkan kepada kita Muhammad bin Abdullah al-Anshori, telah
mengabarkan kepada kita Ibnu ‘Auni, beliau berkata: telah bercerita
kepadaku Nafi’ dari Ibnu Umar r.a: Sesungguhnya Umar bin Khattab
mempunyai tanah di Khaibar, kemudian beliau datang kepada Nabi
untuk memohon petunjuk. ‘Umar berkata: Ya Rasūlullāh ! Saya
memperoleh sebidang tanah di Khaibar, saya belum pernah mendapat
harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku ?
Rasūlullāh menjawab: Apabila engkau mau, maka tahanlah zat (asal)
bendanya dan şadaqahkanlah hasilnya (manfaatnya)”. Kemudian
‘Umar melakukan şadaqah, tidak dijual, tidak juga dihibahkan dan juga
tidak diwariskan. Ibnu ‘Umar berkata: ‘Umar menyalurkan hasil tanah
itu bagi orang-orang fakir, kaum kerabat, budak belian, orang-orang
yang berjuang di jalan Allah (sabilillah), orang-orang yang kehabisan
bekal di perjalanan (ibnu sabil) dan tamu. Dan tidak berdosa bagi
orang yang mengurusi harta wakaf tersebut makan dari hasilnya
dengan cara yang baik dan tidak berlebihan (dalam batas kewajaran).
Kemudian Ibnu Umar berkata: maka Ibnu Sirin telah mengabarkan
kepadaku dan beliau berkata: makan dengan tidak menumpuk harta.

Para fuqaha bersepakat bahwa hadits di atas merupakan dasar wakaf.

Meskipun bersepakat, perbedaan pendapat masih muncul khususnya yang

berhubungan dengan hukum wakaf. Sebagian besar ulama mazhab dari

Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, Hanafiyah (selain pendapat Abu Hanifah

dan Zufar), Zahiriyah, Zaidiyah dan Ja’fariyah berpendapat bahwa wakaf

122
Abī Abdullah Muhammad bin Ismā’īl al-Bukharī, op. cit., hlm. 124.

69
hukumnya adalah sunnah. Sedangkan Abu Hanifah dan Zufar berpendapat

bahwa hukum wakaf adalah jawaz (boleh).123

Menurut Ma’qūl yang dilakukan oleh Imam Abu Hanifah terhadap

hadits di atas tertuju pada tiga kalimat dengan penjelasan sebagai berikut:

1.  

Kalimat tersebut memiliki arti “tanah Khaibar” dan berkedudukan

sebagai benda yang dijadikan sebagai obyek wakaf. Tanah pada

hakekatnya adalah benda yang menetap dan tidak bergerak. Sampai

kapanpun keberadaan tanah akan tetap berada di tempatnya semula.

Keberadaan kata “tanah” sebagai obyek wakaf mengindikasikan bahwa

benda yang dijadikan obyek adalah benda yang tidak bergerak. Hal ini

juga didukung dengan praktek-praktek yang dilakukan oleh para sahabat

yang mempraktekkan wakaf dengan obyek benda tanah.

Menurut penulis, hal ini yang kemudian menjadikan dasar penalaran

Imam Abu Hanifah mengenai jenis benda yang menjadi obyek wakaf

adalah benda yang menetap (tidak bergerak). Hal ini tidak berlebihan

karena beliau menjadikan hadits dan kebiasaan sahabat serta atsār sahabat

sebagai hujjah istinbath hukum.

2. 
 

123
Zufar yang bernama asli Zufar bin al-Hudzail bin Qais al-Anbari al-Bashri merupakan
sahabat senior Abu Hanifah yang sangat terkenal dengan kecerdasan dalam ber-qiyas.
Sebagaimana dijelaskan dalam Muhammad Abid Abdullah al-Kabisi, Hukum Wakaf Kajian
Kontemporer Pertama dan Terlengkap tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf serta Penyelesaian
atas Sengketa Wakaf, terj. Ahrul Sani F dan Kuwais Mandiri Cahaya Persada, Jakarta: IIMAN
Press, 2003, hlm. 62.

70
Kalimat yang memiliki arti “apabila kamu menginginkan, maka kamu

dapat menahan asalnya” ini menurut Imam Abu Hanifah menjadi esensi

proses wakaf. Maksudnya adalah dalam proses wakaf, harta benda wāqif

yang dijadikan sebagai obyek wakaf tidak akan hilang status kepemilikan

karena pada aplikasinya didasarkan pada kata V yang artinya

“menahan” yang berarti bahwa harta benda tersebut hanya ditahan dan

tidak dialihkan kepemilikannya.

Menurut penulis, pemaknaan tersebut kemudian menjadi dasar Imam

Abu Hanifah mengenai tidak berpindahnya hak milik dari wāqif kepada

mauqūf alaih atas harta benda yang diwakafkannya. Tidak beralihnya

kepemilikan atas harta benda tersebut sekaligus menandakan bahwa waqif

masih memiliki hak tasharuf terhadap harta yang diwakafkan sebagaimana

saat wāqif memiliki harta benda tersebut secara penuh, dalam dzat benda

maupun manfaatnya. Hal ini juga mengindikasikan adanya hak

pengawasan dari wāqif terhadap harta benda selama diwakafkan.

3.   !
Kalimat yang berarti “dan sedekahkanlah darinya (harta yang

diwakafkan)” memiliki makna bahwa hakekat wakaf adalah adanya

pemanfaatan dari harta benda yang diwakafkan. Kalimat ini menjadi

penegas bahwa dalam proses wakaf, harta benda yang menjadi obyek

wakaf hanya dipergunakan manfaatnya dan tidak ada peralihan

kepemilikan.

71
Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditemukan bahwa hakekat wakaf

dalam pendapat Imam Abu Hanifah adalah wakaf yang berupa benda yang

menetap (tidak bergerak). Terhadap harta benda yang bergerak, Imam Abu

Hanifah tidak menjadikan harta benda yang bergerak sebagai obyek wakaf,

kecuali dalam istihsan beliau.

Menurut penulis, proses ra’yu Imam Abu Hanifah tentang wakaf di

atas tidak lepas dari prinsip istinbath hukum beliau yang dinyatakan dalam

kalimat berikut:

:
( :
6*? "$ m=q& ;-b& U
}t- ;b!
}o :
N  m=q
L

;) :
( :
6*? "$? ! :
N g ^ b
U
}t- CF
! d?! ;)

d* B €Jq& ,  B ]u
!  B ; h& 6*4 m=q& d?!
B
I?! B5? B
! Bƒ
! RI‚/
d>
J o o JF
( E

}t-, d>c 6*

! bo Gg  b& & .f

“Saya berpegang kepada kitab Allah (al-Qur’an) apabila


menemukannya, jika saya tidak menemukannnya saya berpegang
kepada sunnah dan atsār, jika saya tidak ditemukan dalam kitab
sunnah saya berpegang kepada pendapat pra sahabat dan mengambil
mana yang saya sukai dan meninggalkan yang lainnya. Saya tidak
keluar (pindah) dari pendapat lainnya. Maka jika persoalan sampai
kepada Ibrahim al-Sya’bi, al-Hasan, Ibn Sirin, Sa’id Ibnu Musayyab,
maka saya berijtihad sebagaimana mereka telah berijtihad….”124

Ungkapan beliau tersebut seolah-olah menjadi penguat mengapa Imam

Abu Hanifah menyandarkan pendapat tentang wakaf kepada ra’yu. Hal ini

dikarenakan di dalam hadits Nabi SAW yang lain tidak ada penjelasan

mengenai pelaksanaan wakaf, baik dalam rukun maupun syarat. Dari


124
Ramli SA, Muqaranah Madzahib fi al Ushul, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999,
hlm. 21.

72
pernyataan tersebut maka kemudian dapat dimafhumi ketika Imam Abu

Hanifah melakukan jalur ra’yu untuk menentukan segala sesuatu yang

berkaitan dengan wakaf dengan kekuatan penalaran (ma’qūl). Penalaran yang

dilaksanakan oleh Imam Abu Hanifah disandarkan pada tradisi sahabat yang

memang melakukan wakaf dengan bentuk harta benda yang menetap.

Memang dalam perkembangan fiqh, terdapat satu hadits lain yang

digunakan oleh para ulama mengenai kebolehan wakaf benda bergerak. Hadits

tersebut adalah hadits yang menceritakan ketika Nabi memerintah Umar untuk

menarik shodaqah kepada tiga sahabat sebagai berikut:

NOP
B JG) .Q l$/
kI :ihh /
^ ;$) :
( jJ5J> %& B)
:.Q :
6*? 64- p7I/
! /*/
B /q! .'n B o K$G- m /
()
,
/q *Gs dEt- /q &! ,:
T$cM-
4- g o r o 'n B o d4$5 
.Q :
6*? d) pI/
&! ,:
'? ^ T )
! ;)
u& V o !
١٢٥
(;) y# ) ; & *$ 'bJ/
d) & mJI& : 6 x ,w! v7 ) v-
“Dari Abu Hurairah r.a dalam shahīhain, Nabi SAW mengutus Umar
bin Khatab untuk mengambil shadaqah, kemudian Ibnu Jamil, Khalid
bin Walid dan Ibnu Abbas tidak memberikan (zakat), maka Rasulullah
SAW bersabda: Ibnu Jamil tidak akan dibebani hukuman kecuali
apabila dia fakir kemudian Allah memberikan kekayaan kepadanya,
sedangkan terhadap Khalid, maka kamu sekalian telah mendzaliminya
karena sesungguhnya dia telah menahan baju besi dan peralatan perang
di jalan Allah (fī sabīlillāh), sedangkan Abbas adalah paman
Rasulullah SAW, maka zakatnya menjadi tanggunganku begitu pula
shadaqah semisalnya. Kemudian beliau bersabda hai Umar, tidakkah
engkau merasa bahwa paman seorang lelaki mewakili ayahnya”
(H.R. Mutafaq ‘Alaih)

125
‘Alauddīn Abī Bakri bin Mas’ūd al-Kāsānī, op. cit., hlm. 398; lihat juga hadits yang
sama namun berbeda redaksi dalam Ahmad bin al-Syafi’i, Bulūgh al-Marām, Beirut: Daar al-
Kutub al-Islamiyah, t.th., hlm. 235.

73
Para ulama yang berpendapat membolehkan wakaf benda bergerak

didasarkan pada kalimat :


'? ^ T )
! ;)
u& V o yang berarti “menahan baju

besi dan peralatan perang untuk sabilillah”. Kalimat itu dipandang oleh para

ulama yang membolehkan wakaf benda bergerak sebagai dasar kebolehan

wakaf benda bergerak, karena adanya hakekat manqūl (benda bergerak), yakni

baju besi dan peralatan perang. Oleh karena adanya habsu (penahanan) baju

besi dan peralatan perang, maka para ulama berkesimpulan bahwa wakaf

benda bergerak dapat dilakukan dan boleh.

Namun oleh Imam Abu Hanifah, hadits di atas tidak dapat dijadikan

hujjah sebagai kebolehan wakaf benda bergerak. Abu Hanifah menolak esensi

wakaf pada hadits tentang Khalid bin Walid di atas. Alasan beliau juga tidak

dapat dilepaskan dari proses ma’qūl beliau terhadap matan hadits di atas,

khususnya pada kalimat yang dijadikan dasar para ulama yang membolehkan

wakaf benda bergerak. Menurut Imam Abu Hanifah, kalimat tersebut tidak

terkandung makna esensi wakaf melainkan merupakan kalimat yang beresensi

pada zakat. Hal ini dikuatkan dengan adanya penyebutan salah satu dari

kelompok penerima zakat, yaitu fī sabīlillāh.126

Menurut penulis, pendapat tidak bolehnya wakaf manqūl tidak lepas

dari syarat wakaf yang diberikan oleh Abu Hanifah yang menyebutkan bahwa

syarat benda wakaf adalah tahan lama. Sedangkan benda bergerak tidak

memiliki sifat tahan lama karena berpeluang besar mudah rusak.127 Hal ini

126
Sebagaimana termaktub dalam Muhammad bin Ismā’īl al-Kahlānī, Subul al-Salām,
Semarang: Toha Putra, t.th., hlm. 89.
127
‘Alauddin Abī Bakri bin Mas’ūd al-Kāsānī, op.cit., hlm. 400.

74
sekaligus mengindikasikan bahwa tentu ada alasan-alasan yang dijadikan

dasar Imam Abu Hanifah dalam menempatkan benda bergerak masuk ke

dalam sesuatu yang tidak tahan lama.

Ta’bīd (tahan lama) sebagai syarat wakaf terkandung dua lingkup

pengertian, yakni tahan lama terhadap dzat benda dan tahan lama terhadap

pemanfaatan untuk umat. Kedua lingkup tersebut berpusat pada aspek

pemanfaatan wakaf serta hakekat harta benda dan hak pemiliknya menurut

Imam Abu Hanifah yang mana kedua aspek ini memiliki hubungan dan saling

terikat.

1. Ta’bīd terhadap dzat (mauqūf) dalam perspektif konsep harta benda dan

hak tasharuf pemiliknya menurut Imam Abu Hanifah

Harta benda menurut Abu Hanifah terbagi menjadi dua jenis, yakni

harta benda yang tidak bergerak (‘iqār) dan harta benda yang bergerak

(manqūl). Harta benda tidak bergerak adalah tanah sedangkan harta benda

bergerak adalah harta benda selain tanah. Harta bergerak oleh Abu

Hanifah dibedakan menjadi dua, yakni harta bergerak yang lepas dari ‘iqār

dan harta bergerak yang mengikuti ‘iqār.

Kedua jenis harta benda tersebut (‘iqār dan manqūl) dapat disebut

sebagai harta benda manakala memenuhi dua persyaratan pokok yakni

dapat dimiliki dan dapat digunakan manfaatnya. Jadi apabila suatu harta

benda sudah tidak dapat digunakan manfaatnya, dalam konteks hakekat

harta benda menurut Imam Abu Hanifah sudah tidak dapat dianggap

sebagai harta benda lagi. Suatu contoh misalnya, seseorang memiliki harta

75
benda berupa mobil, namun apabila mobil tersebut rusak sehingga tidak

dapat digunakan sesuai fungsi manfaatnya, maka mobil tersebut tidak lagi

dapat disebut sebagai harta benda karena sudah hilang nilai manfaatnya.128

Kaitan antara konsep harta benda dengan syarat ta’bīd yang tidak

terpenuhi oleh wakaf manqūl dalam pendapat Imam Abu Hanifah tidak

dapat dilepaskan dari hak pemilik harta benda. Maksudnya adalah bahwa

pemilik harta benda memiliki hak untuk melakukan pengelolaan (tasharuf)

terhadap harta benda yang dimilikinya. Demikian pula dalam konteks

wakaf menurut Imam Abu Hanifah. Dalam konsep wakafnya, Imam Abu

Hanifah menyebutkan bahwa yang memiliki hak penyerahan dan

pengawasan obyek wakaf adalah orang yang memiliki harta yang

diwakafkan. Hal ini dikarenakan proses wakaf tidak menghilangkan hak

kepemilikan dari wāqif dan hanya menahannya sebagaimana qaul Nabi

SAW   ! 


 
(jika kamu menghendaki maka

tahanlah asalnya dan shadaqahkanlah darinya) yang berarti bahwa wakaf

menitikberatkan dari pemanfaatan harta benda yang diwakafkan. Dalam

qaul Nabi SAW tersebut jelas sekali bahwa ada dua penekanan, yakni:

a. Penekanan terhadap kepemilikan harta benda yang diwakafkan tetap

berada di tangan wāqif.

b. Penekanan terhadap pemanfaatan dalam proses wakaf.

128
Mengenai hakekat harta benda menurut Imam Abu Hanifah dapat dilihat dalam Lihat
dalam Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, Juz, IV, Beirut: Dar al-Fikr, 1989, hlm.
56-58.

76
Dengan demikian benda bergerak (manqūl) memiliki peluang

berkurangnya kualitas pengawasan dari wāqif karena adanya pergerakan

pemanfaatan benda dari satu orang kepada orang lain. Hal yang demikian

ini akan sangat sulit bagi wāqif untuk melakukan pengawasan, khususnya

dalam hal pemanfaatan benda yang diwakafkan oleh orang yang

memanfaatkannya. Akibatnya, wāqif tidak akan mengetahui

perkembangan kualitas harta benda yang telah diwakafkannya.

Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa aspek tahan lama

(ta`bīd) dalam benda bergerak memiliki peluang untuk mudah rusak

karena adanya perpindahan pemanfaatan harta tersebut yang tidak

diimbangi dengan pengawasan dari wāqif. Apabila nantinya terdapat

kerusakan akibat penggunaan tersebut, maka hal itu akan memutuskan

wakafnya wāqif sebab dalam konsep harta benda Imam Abu Hanifah

menyatakan bahwa harta benda yang telah tidak memiliki fungsi manfaat

tidak lagi dapat disebut sebagai harta benda. Demikian pula halnya dalam

wakaf yang berarti wakaf akan terhenti oleh karena rusaknya benda yang

diwakafkan dan bukan karena keinginan dari wāqif.

2. Ta’bīd terhadap pemanfaatan untuk umat dalam perspektif tujuan wakaf

Tujuan wakaf adalah adanya pemanfaatan dari benda yang

diwakafkan untuk kepentingan umat manusia. Hal inilah yang menjadi

perbedaan mendasar antara shadaqah wakaf dengan shadaqah yang

lainnya, seperti zakat, infaq, maupun sedekah. Ketiga jenis shadaqah yang

terakhir disebutkan (zakat, infaq dan sedekah) ditujukan untuk perorangan

77
atau sekelompok orang, sedangkan shadaqah wakaf lebih ditujukan untuk

lingkup yang luas, yakni umat manusia. Nabi SAW juga menjelaskan

bahwa shadaqah-shadaqah sebelum wakaf hanya diterima oleh individu

dan menyebabkan individu yang lain terhalang untuk menerimanya,

padahal individu yang lain tersebut juga memiliki hak untuk mendapatkan

shadaqah. Hal itu menurut beliau SAW tidak baik dan tidak bermanfaat

untuk umat (wa lā anfa’ lil ‘āmmah), oleh sebab itulah kemudian beliau

menetapkan ketetapan tentang shadaqah wakaf.129

Ungkapan lil ‘āmmah secara bahasa terkandung makna umat

manusia dalam skala besar dan luas, lebih besar dari perorangan (nafs),

sekelompok orang (anfās), kaum (qaum) atau bahkan beberapa kaum

(aqwām). Istilah ‘āmmah juga tidak mengenal batas, seluruh aspek, baik

perorangan maupun kelompok menjadi bagian dari ‘āmmah. Namun tidak

berlaku sebaliknya, perorangan maupun kelompok tidak dapat menjadi

ukuran ‘āmmah. Maksudnya, apabila hanya dimanfaatkan oleh beberapa

kelompok orang saja, maka hal itu belum dapat menjadi ukuran telah

dimanfaatkan dalam skala ‘āmmah.

Menurut penulis, pendapat Imam Abu Hanifah tentang

pemanfaatan wakaf tidak dapat dilepaskan dari konsep ‘āmmah.

Konsekuensinya adalah keharusan adanya pemanfaatan benda yang

diwakafkan (mauqūf) untuk lingkup umat. Hal ini mungkin bisa menjadi

pertimbangan dalam menganalisa pendapat Imam Abu Hanifah tentang

129
Mengenai sejarah wakaf dijelaskan oleh Imam Dahlawi sebagaimana dikutip dalam
‘Alauddin Abī Bakri bin Mas’ūd al-Kāsānī, op. cit., hlm. 382.

78
tidak bolehnya wakaf manqūl. Karakteristik wakaf manqūl yang dapat

diserahterimakan dan berpindah-pindah, secara otomatis akan kurang

memenuhi persyaratan ‘āmmah karena hanya akan dimanfaatkan oleh

sebagian orang atau beberapa kelompok tertentu saja. Selain dalam

konteks lingkup jumlah, ‘āmmah juga dapat terkandung maksud bahwa

pemanfaatan wakaf harus dirasakan secara langsung dan bersama-sama

oleh umat manusia. Hal ini berbeda dengan wakaf manqul. Memang ada

peluang bahwa wakaf manqūl dapat dimanfaatkan oleh umat manusia

dalam skala luas namun dengan menggunakan prinsip bergantian. Oleh

sebab adanya pergantian pemanfaatan tersebut, maka aspek pemanfaatan

secara bersama-sama terhadap wakaf manqūl tidak dapat terpenuhi dalam

waktu yang bersamaan dan dalam jangka waktu yang lama karena adanya

pembatasan pemanfaatan akibat adanya pemanfaat lain yang menunggu

untuk memanfaatkan wakaf tersebut. Dengan demikian, maka wakaf

manqūl tidak dapat memenuhi aspek tahan lama (ta’bīd) dalam hal

pemanfaatan untuk ‘āmmah.

Menurut penulis, dari dua penjelasan di atas – khususnya mengenai sisi

kemanfaatan sebagai substansi wakaf – dapat dipahami bahwa sebaik-baik

harta benda yang diwakafkan adalah harta benda yang memiliki sifat tahan

lama seperti benda yang tidak bergerak atau ‘iqār (seperti tanah maupun

benda manqūl yang masih menyatu dengan ‘iqār). Sebab apabila harta benda

yang diwakafkan tidak memiliki sifat tahan lama, maka akan dapat

mengurangi kualitas manfaat dari harta wakaf tersebut hingga dapat

79
menghilangkan substansi wakaf yang melekat pada harta benda yang

diwakafkan. Apabila telah hilang substansi wakaf (nilai manfaat dari benda

yang diwakafkan), maka secara otomatis akan berakhir pula wakaf seseorang.

Terkait dengan harta benda bergerak yang lepas dari ‘iqār yang tidak

memenuhi kriteria ta’bīd dalam pendapat Imam Abu Hanifah dapat

disandarkan pada hakekat pengawasan dari wāqif. Apabila harta benda yang

bergerak dijadikan sebagai harta wakaf, maka secara tidak langsung akan

mengurangi kualitas pengawasan dari wāqif. Berkurangnya pengawasan

tersebut dikhawatirkan akan berpeluang mempersempit wilayah manfaat dari

harta yang diwakafkan tersebut. Sebab dengan adanya pergerakan benda

wakaf akan sulit diketahui apakah kemanfaatan bagi umat masih ta’bīd atau

sudah tidak tahan lama karena hanya dikuasai dan digunakan oleh beberapa

orang tertentu saja. Jadi ta’bīd dalam pemikiran Abu Hanifah tidak hanya

disandarkan pada sisi kualitas barang atau benda yang diwakafkan saja, namun

juga disandarkan pada sisi manfaat kegunaan untuk umat Islam dalam lingkup

yang luas.

Hal tersebut di atas juga dapat diperjelas dengan istinbath Nabi SAW

mengenai wakaf sebagaimana dijelaskan oleh Imam Dahlawiy dalam kitabnya

Hujjah al-Balighani. Dalam kitab tersebut beliau menjelaskan bahwa istinbath

Nabi SAW tentang wakaf tidak terlepas dari praktek sedekah yang terjadi

sebelum wakaf di mana sedekah tersebut hanya berlangsung dan diterima

secara perorangan. Tidak jarang sedekah tersebut akan langsung habis atau

hilang dalam pemanfaatan perorangan. Hal demikian menyebabkan orang-

80
orang yang membutuhkan lainnya tidak dapat merasakan manfaat dari harta

yang disedekahkan karena terhalang oleh aspek perorangan sebagai penerima

harta benda yang disedekahkan. Bagi Nabi SAW, hal ini tidak baik sehingga

kemudian beliau menetapkan adanya sedekah yang dapat dirasakan

manfaatnya oleh masyarakat banyak.130

Dari penjelasan di atas dapat disarikan bahwa penyandaran harta

manqūl pada tidak terpenuhinya sifat ta’bīd sebagai syarat mauqūf tidak lain

adalah karena adanya aspek peluang kerusakan apabila harta wakaf tersebut

memiliki sifat manqūl. Jadi, peng-qiyās-an tidak bolehnya harta benda

bergerak (manqūl) sebagai harta yang diwakafkan kepada tidak adanya sifat

ta’bīd lebih disandarkan pada substansi manqūl yang dapat menyebabkan

tidak terpenuhinya sifat ta’bīd, baik ta’bīd pada hakekat bendanya maupun

ta’bīd pada kemanfaatan untuk umat banyak. Jadi sifat manqūl di-qiyās-kan

pada syarat ta’bīd di mana sifat bergeraknya suatu benda dari pengawasan

wāqif dalam wakaf manqūl akan menjadi penyebab hilangnya sifat ta’bīd.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa wakaf buku

tidak diperbolehkan karena adanya perbedaan dengan obyek wakaf yang

disebutkan dalam hadits maupun yang dipraktekkan oleh para sahabat. Jadi

istinbath hukum yang dilakukan oleh Imam Abu Hanifah menurut penulis

adalah berdasar pada penalaran ra’yu beliau dengan menjabarkan kata atau

kalimat yang terkandung dalam Hadits Nabi SAW.

130
Sebagaimana dijelaskan dalam tahqiq kitab Badāi’ al-Shanāi’. Lihat, Ibid.

81
C. Analisis terhadap Penerapan Pendapat Imam Abu Hanifah tentang

Tidak Diperbolehkan Wakaf Buku Pada Masa Sekarang

Pendapat Imam Abu Hanifah tentang tidak bolehnya wakaf buku dan

melihat realitas kebutuhan pengetahuan saat ini tentu akan berdampak pada

munculnya kesulitan yang akan dihadapi oleh umat Islam. Kesulitan yang

dimaksud tidak lain adalah tidak adanya wakaf buku sebagai sumber

pengetahuan, padahal jika melihat kebutuhan akan sumber pengetahuan saat

ini maka wakaf buku sebenarnya sangat dibutuhkan untuk menambah sumber

wacana keilmuan umat Islam.

Pendapat dari Abu Hanifah mengenai tidak bolehnya wakaf buku

otomatis akan menutup kesempatan bagi umat Islam untuk membangun

sebuah peradaban keilmuan yang diperoleh dari hasil sedekah berupa wakaf.

Apabila pendapat Imam Abu Hanifah diterapkan di masyarakat, maka

dikhawatirkan orang-orang yang memiliki keinginan untuk wakaf buku di

masjid-masjid maupun tempat-tempat kajian keilmuan orang Islam tidak jadi

mewakafkan buku mereka. Hal ini tentu akan menimbulkan madlarat bagi

umat Islam di bidang ilmu pengetahuan, khususnya manakala buku-buku yang

akan diwakafkan tersebut belum ada di tempat-tempat tersebut.

Memang di sisi lain, apabila pendapat Abu Hanifah diberlakukan,

buku-buku tersebut dapat diperoleh dengan jalan membelinya. Namun hal itu

tentu akan mengurangi fungsi kemaslahatan ekonomi bagi umat Islam.

Maksudnya adalah, uang yang digunakan untuk membeli buku sebenarnya

dapat digunakan untuk sedekah bagi umat Islam dalam bidang ekonomi. Akan

82
tetapi karena adanya pendapat Imam Abu Hanifah tersebut, tentu akan

mempersempit ruang sedekah dalam lingkup perekonomian umat Islam.

Berbeda lagi manakala pendapat Imam Abu Hanifah tersebut tidak

diberlakukan, maka kebutuhan ilmu pengetahuan yang bersumber dari

keberadaan buku akan dapat terpenuhi melalui proses wakaf buku; sedangkan

uang yang dialokasikan untuk pembelian buku akan dapat digunakan untuk

keperluan sedekah ekonomi umat Islam.

Pendapat Imam Abu Hanifah tentang tidak bolehnya wakaf buku –

sebagaimana dijelaskan di atas – secara tidak langsung dapat memunculkan

peluang sempitnya pendayagunaan sedekah untuk bidang ekonomi karena

digunakan untuk pembelian buku akibat adanya larangan wakaf buku. Hal ini

tentu akan mengurangi fungsi kemaslahatan dari sedekah di bidang

peningkatan perekonomian umat Islam. Padahal jika mengacu pada kondisi

umat Islam di Indonesia, masalah ekonomi menjadi permasalahan yang

mendasar dan perlu segera diatasi. Hal ini tidak berlebihan karena Nabi SAW

sendiri pernah bersabda bahwa kefakiran akan mendekatkan pada kekufuran

dan kekufuran akan mendekatkan pada kekafiran.

Dengan demikian, pendapat Imam Abu Hanifah mengenai tidak

bolehnya wakaf buku akan dapat berpeluang memunculkan kemadlaratan

yang lebih besar. Hal ini tentu kurang sesuai dengan kaidah hukum Islam yang

menjelaskan bahwa suatu hasil ijtihad tidak boleh menimbulkan madlarat yang

besar melainkan harus memilih madlarat yang lebih kecil. Hal ini sebagaimana

termaktub dalam kaidah berikut ini:

83
B57J‚/
ds)&! B5J7_/
7 & ]7‚/
 
J !&
7J ŽI
}o
“Apabila dihadapkan pada dua keburukan atau dua kemudlaratan
yang saling bertentangan maka syara’ memilih menghindari salah
satu yang terberat dari keduanya.”.131

Akan tetapi, meskipun kurang sesuai dengan kaidah di atas, bukan

berarti pendapat Imam Abu Hanifah mengenai ketidakbolehan wakaf buku

karena merupakan wakaf manqūl tidak memiliki sisi manfaat bagi

perkembangan wakaf. Menurut penulis, pendapat Imam Abu Hanifah tersebut

memiliki sisi positif dalam wakaf, khususnya yang berkaitan dengan wakaf

manqūl. Sisi positif tersebut tidak lain adalah alasan penyandaran wakaf

manqūl kepada tidak adanya sifat ta’bīd yang menyebabkan pendapat beliau

melarang wakaf manqūl.

Penjelasan mengenai alasan larangan wakaf manqūl yang dinyatakan

oleh Imam Abu Hanifah tersebut dapat menjadi acuan umat Islam dalam

pengelolaan wakaf buku. Maksudnya adalah, dalam pengelolaan wakaf buku,

khususnya dalam pemanfaatannya, perlu diperhatkan aspek ta’bīd (tahan

lama), yakni tahan lama dalam bendanya dan tahan lama dalam hal lingkup

pemakainya. Mengenai tahan lama benda wakaf (buku), perlu kiranya

diperhatikan kondisi buku setiap waktu dan perlu adanya pengawasan dalam

pemanfaatan buku tersebut. Sedangkan untuk mempertahankan sifat tahan

lama dalam lingkup penggunaan manfaat, perlu kiranya diperhatikan

pemanfaatan buku tersebut. Dalam arti, pemanfaatan buku tersebut janganlah

131
Wahbah az-Zuhaili, Konsep Darurat dalam Hukum Islam Studi Banding dengan
Hukum Positif, terj. Said Agil Hussain al-Munawwar dan M. Hadri Hasan dari judul asli
Nazhariyah al-dharurah al-Syar’iyah Muqaranah Ma’a al-Qanun al-Wadli’i, Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1997, hlm. 348.

84
diperbolehkan untuk dibawa pulang melainkan tetap berada di tempat yang

diamanati sebagai mauqūf ‘alaih. Apabila terpaksa ingin mengambil manfaat

tersendiri, maka dapat meng-copy buku tersebut. Dengan demikian, manfaat

untuk umat yang banyak masih terjaga. Bandingkan apabila buku tersebut

boleh dibawa pulang oleh orang-orang, maka orang-orang yang datang

terlambat tidak akan dapat mendapatkan manfaat dari buku tersebut pada saat

buku tersebut dibawa pulang sehingga akan menjadi mahrūmīn seperti yang

dikhawatirkan oleh Nabi SAW.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pendapat

Imam Abu Hanifah tentang tidak bolehnya wakaf buku apabila dipraktekkan

pada masa sekarang kurang sesuai dengan kaidah hukum Islam karena akan

dapat menimbulkan madlarat yang besar. Namun di sisi lain, penyandaran

manqūl pada tidak terpenuhinya ta’bīd dalam pendapat Abu Hanifah dapat

dijadikan acuan umat Islam dalam mengelola wakaf buku sehingga esensi

fungsi wakaf tetap terjaga karena adanya ta’bīd yang tidak hanya pada benda

wakaf semata namun juga menyangkut tahan lama kemanfaatan bagi orang

banyak.

85
BAB V

KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan pada bab-bab sebelumnya, dapat ditarik

kesimpulan sebagai berikut:

1. Pendapat Imam Abu Hanifah tentang wakaf buku disamakan dengan

pendapat beliau tentang wakaf benda bergerak yang oleh beliau tidak

diperbolehkan. Pendapat tersebut disandarkan pada aspek tanah yang

menjadi obyek benda wakaf dalam hadits Khaibar yang memiliki sifat

tetap. Oleh sebab itu, maka benda wakaf yang berupa benda bergerak

(manqūl) tidak dapat diperbolehkan sebagai benda wakaf. Manqūl tidak

memenuhi syarat ta’bīd karena tidak memenuhi aspek tahan lama dalam

hal dzat bendanya dan manfaat untuk umat manusia. Perbedaan pendapat

yang timbul antara Imam Abu Hanifah dan imam mazhab (dalam hal ini

diwakilkan oleh pendapat Imam Syafi’i) terletak pada penafsiran terhadap

hadits yang menjelaskan tentang perintah Nabi Muhammad SAW kepada

Umar untuk menarik shadaqah wajib. Pada satu sisi Imam Abu Hanifah

memiliki pandangan bahwa keberadaan salah satu ashnāf dalam hadits

tersebut, yakni fī sabīlillāh, merupakan isyarat dari shadaqah dalam bentuk

zakat. Sedangkan di sisi lain, Imam Syafi’i dan beberapa imam lainnya

menyandarkan pada istilah “ihtabasa” pada kata “habsu” dalam hadits

Nabi kepada Umar mengenai tanah Khaibar yang terkandung maksud dan

tujuan wakaf.

86
2. Istinbath hukum yang dilakukan oleh Imam Abu Hanifah mengenai tidak

bolehnya wakaf buku disandarkan pada ra’yu terhadap hadits yang

menceritakan dialog Nabi SAW dengan Umar bin Khatab tentang

pemanfaatan tanah Khaibar yang dimiliki oleh Umar. Ra’yu tersebut

diterapkan pada kata-kata  


(tanah), 
 
(jika kamu

menginginkan maka tahanlah asalnya), dan  [ ! (dan shadaqahkanlah

darinya) yang mana dari ma’qūl yang dilakukan itu kemudian lahirnya

konsep wakaf Imam Abu Hanifah. Dari proses ra’yu tersebut didapatkan

konsep wakaf Imam Abu Hanifah yakni wakaf yang diperbolehkan adalah

wakaf harta yang menetap yang didasarkan pada aspek tanah (ardl). Hal

ini kemudian menimbulkan akibat bahwa harta benda yang tidak menetap

tidak boleh diwakafkan. Jadi istinbath hukum yang dilakukan oleh Imam

Abu Hanifah adalah istinbath kausalitas benda bergerak terhadap harta

benda yang diwakafkan dalam hadits Nabi SAW.

3. Pendapat Imam Abu Hanifah tentang tidak bolehnya wakaf buku apabila

dipraktekkan pada masa sekarang kurang sesuai dengan kaidah hukum

Islam karena akan dapat menimbulkan madlarat yang besar dan hanya

menjaga madlarat yang kecil. Namun di sisi lain, penyandaran manqūl

pada tidak terpenuhinya ta’bīd dalam pendapat Abu Hanifah dapat

dijadikan acuan umat Islam dalam mengelola wakaf buku sehingga esensi

fungsi wakaf tetap terjaga karena adanya ta’bīd yang tidak hanya pada

87
benda wakaf semata namun juga menyangkut tahan lama kemanfaatan

bagi orang banyak.

B. Saran-saran

Berdasar dari penelusuran ilmiah yang penulis laksanakan, ada saran

yang cukup menarik dari hasil penelitian ini, yakni:

1. Meski pendapat Imam Abu Hanifah tentang tidak bolehnya wakaf buku

apabila dipraktekkan kurang sesuai dengan konsep maslahat dalam umat

Islam, namun pada dasarnya hakekat kekhawatiran beliau mengenai wakaf

manqul dapat dijadikan sebagai acuan dalam pengelolaan wakaf buku

maupun wakaf manqūl lainnya.

2. Perlu adanya penelusuran lain yang berhubungan dengan konsep wakaf

dalam empat mazhab, khususnya mengenai perbedaan pemaknaan habasa

sebagai dasar prinsip wakaf yang menyebabkan perbedaan pandangan

terhadap konsep kepemilikan wakaf dalam konteks kesejarahan. Sehingga

umat Islam akan semakin memahami hakekat wakaf.

C. Penutup

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan dengan selesainya proses

penyusunan skripsi ini. Berkaca pada ungkapan bijak bahwa tak ada gading

yang tak retak, maka penulis dengan kerendahan hati memohon kritik dan

saran yang bersifat membangun sebagai bahan evaluasi hasil karya ini. Di

balik kekurangan dan kesalahan karya ini, penulis berharap semoga karya ini

mampu menjadi setitik air dalam lautan ilmu pengetahuan. Amin.

88
DAFTAR PUSTAKA

‘Alauddīn Abī Bakri bin Mas’ūd al-Kāsānī, Badāi’ al-Shanāi’, Juz VIII, Beirut:
Daar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th.

Abdul Azis Dahlan (et.al.), Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ikhtiar Baru Van
Hoeve, 1996.

Abdul Ghofur Anshori, Hukum dan Praktek Perwakafan di Indonesia, Yogyakarta:


Pilar Media, 2005.

Abdul Halim, Hukum Perwakafan Di Indonesia, Jakarta: Ciputat Press, 2005.

Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama, 1994.

_______, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, Jakarta: Raja


Grafindo Persada, 2001.

Abdurrahman al-Syarqawi, “A’immah al-Fiqh al-Tis’ah”, terj. M.A. Haris al-


Husaini, Riwayat Sembilan Imam Fiqih, Bandung : Pustaka Hidayah, 2000.

Abī Abdullah Muhammad bin Ismā’īl al-Bukhārī, Matan Masykūl Bukhārī Juz II,
Beirut: Daar al-Fikr, 1994

Abī al-Hasan Ali bin Abi Bakar (Syeikh Islam Burhānuddīn), al-Hidāyah Syarh
Bidāyah al-Mubtadīy, Beirut: Daar al-Kutb al-Ilmiyah, t.th.

Abī Muhammad Mahmūd bin Ahmad al-‘Ainī, al-Banāyah fī Syarh al-Hidāyah,


Juz VI, Daar al-Fikr, t.th.

Abī Yahyā Zakariyā al- Anshārī, Fath al- Wahhāb, Juz I, Semarang: Toha Putra,
t. th..

Ahmad al-Syurbasi, “Al- Aimatul Arba’ah”, terj. Sabil Had dan Ahmadi, Sejarah
dan Biografi Imam Empat Mazhab, Jakarta: Bumi Aksara, 1993.

Ahmad bin al-Syafi’i, Bulūgh al-Marām, Beirut: Daar al-Kutub al-Islamiyah, t.th

Ahmad Rofiq, Fiqih Kontekstual dari Normative ke Pemaknaan Sosial,


Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

_______, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998, Cet.3.

_______, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: Gama Media,


2001.

Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir, Yogyakarta: PP. Al-Munawir,


1984.

89
Anton Bekker dan Ahmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat,
Yogyakarta: Kanisius, 1990.

Asywadie Syukur, Pengantar Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, Surabaya : Bina Utama,
1999.

Badrun Abū al-‘Ainain, Ahkām al-Washāya wa al-Auqāf, Iskandariyah: Muassasah


Sabab al-Jami’ah, 1982.

Chalid Narbuko, Metodologi Penelitian, Jakarta: Bumi Aksara, Cet. III, 2001.

Dadang Kahmad, Metode Penelitian Agama, Bandung: CV Pustaka Setia, 2000.

E Abdurrahman, Perbandingan Mazhab, Jakarta: Sinar Baru Aglesindo, t.th.

Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, Jakarta: Logos,


1997.

Imām Kamāluddīn Muhammad bin Abdul Wāhid al-Sīrāsī, Fath Al-Qadīr, Juz VI,
Beirut: Daar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th

Imam Syeikh Kāmil Muhammad Muhammad ‘Uwaidlah, al-Imām Abū Hanīfah,


Beirut: Daar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th.

Imam Syihab al-Din Abi al-Abbas Ahmad bin Muhammad al-Syafi’i, Irsyad al-
Sayari Syarih Shahih al-Bukhari Juz III, Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyah,
t.th.

Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia, Bandung: Yayasan Piara, 1995

M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, Jakrta: Raja Grafindo Persada, 2002.

Muchtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam,


Bandung: al-Ma’arif, 1997.

Muhammad Abid Abdullah al-Kabisi, Hukum Wakaf Kajian Kontemporer Pertama


dan Terlengkap tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf serta Penyelesaian
atas Sengketa Wakaf, terj. Ahrul Sani F dan Kuwais Mandiri Cahaya
Persada, Jakarta: IIMAN Press, 2003.

Muhammad Abu Zahrah, Muhādlarāt fī al-Waqf, t.kp: Daar al-Fikr al-Arabi, 1971,
Cet. Ke-II.

Muhammad bin Hasan al-Jahwī al-Su’ālabī al-Fāsīy, al-Fikru al-Sāmīy fi Tārīkh


al-fiqhu al-Islāmīy, Beirut: Daar al-Kutb al-Ilmiyah, t.th.

Muhammad bin Ismā’īl al-Kahlānī al-Shan’ānī, Subul al-Salām, Juz III, Semarang:
Toha Putra, t.th.

90
Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf, Jakarta : UI Press,
1988.

Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta: Basrie Press, Cet.I
1997.

Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam Sebuah Pengantar, Surabaya: Risalah Gusti,
1995.

Mundzir Qahaf, Manajemen Zakat Produktif, Jakarta: Khalifa, Cet. I, 2004.

Nasroen Haroen, Ushul Fiqh, Jakarta : Logos, 1996.

Ramli SA, Muqaranah Madzahib fi al Ushul, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.

Said Agil Husain Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, Jakarta:
Penamadani, 2004.

Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, Juz III, Beirut : Dar Al-Fikr, t.th.

_______, Fiqh Sunnah, Bandung: Al-Ma’arif, 1987, Cet. I.

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta:


Rineka Cipta, 2006.

Syamsuddin al-Ramly, Nihāyah al-Muhtāj, Juz V, Mesir: Mustafa al-Baby al-


Halaby, t.th..

T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Semarang: Pustaka Rizki


Putera, 2001.

_______, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, Semarang: Pustaka Rizki Putra,


1997.

Tamar Djaja, Hajat dan Perjuangan Empat Imam Mazhab, Solo: Ramadhani,
1984.

Wahbah az-Zuhaili, Konsep Darurat dalam Hukum Islam Studi Banding dengan
Hukum Positif, terj. Said Agil Hussain al-Munawwar dan M. Hadri Hasan
dari judul asli Nazhariyah al-dharurah al-Syar’iyah Muqaranah Ma’a al-
Qanun al-Wadli’i, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997.

_______, Fiqih Islamiy wa Adilatuhu, Beirut: Daar al-Fikr, t.th, Jilid VIII

_______, Ushul al-Fiqhu al-Islamiy, Beirut: Daar al-Fikr, t.th.

Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah; Dasar, Metode dan Teknik,


Bandung: Tarsito, Edisi VII (disempurnakan), 1989.

91
Non Buku:

Enny Dwi Yuniastuti, Studi Analisis Pendapat Imam Hanafi Tentang Pemilikan
Harta Wakaf, Skripsi, Tidak Dipublikasikan, Semarang: Perpustakaan
Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 2002.

Istiqomah, Studi Komparatif Persepsi Imam Hanafi Dan Imam Syafi’i Tentang
Masa Berlakunya Harta Wakaf, Skripsi, Tidak Dipublikasikan, Semarang:
Perpustakaan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 1991.

Lu’lu Ilma’ Sunah, “Wakaf Tunai Ditinjau Dari Hukum Islam”, Skripsi, Tidak
Dipublikasikan, Semarang: Perpustakaan Fakultas Syari’ah IAIN
Walisongo, 2002.

Moh. Nur Kaukab, “Studi Analisis Mengenai Wakaf Pohon Produktif Pada Tabung
Wakaf Indonesia (TWI)”, Skripsi, Tidak Dipublikasikan, Semarang:
Perpustakaan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 2009.

Noer Chasanah, Studi Analisis Terhadap Pendapat Abu Hanifah Tentang


Penarikan Kembali Harta Wakaf, Skripsi, Tidak Dipublikasikan, Semarang:
Perpustakaan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 2000.

Rudy Pamungkas, Analisis Pendapat Imam Syafi’i Tentang Penarikan Kembali


Harta Wakaf Oleh Pemberi Wakaf, Skripsi, Tidak Dipublikasikan,
Semarang: Perpustakaan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 2010.

Website:

http: //candraboyseroza.blogspot.com/2009/02/ wakaf-dalam-pandangan-ulama-


fikih-dan.html

92
BIOGRAFI PENULIS

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Moh. Abd Basith


Tempat/Tanggal Lahir : Semarang, 18 Mei 1986
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Jl. Irigasi Kauman Mangkangkulon Rt.01 Rw.04
Kecamatan Tugu Kota Semarang
Riwayat Pendidikan : 1. MI I’ANATUSSHIBYAN Semarang lulus tahun 1999
2. MTs NU NURUL HUDA Semarang lulus tahun 2002
3. MA HM TRIBAKTI Kediri lulus tahun 2005
4. Fakultas Syari’ah

Demikian biografi penulis ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Semarang, 9 Juni 2011


Penulis

Moh. Abd Basith


NIM. 052111130

93

Anda mungkin juga menyukai