SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1)
Dalam Ilmu Syari`ah Jurusan Ahwal al-Syakhshiyah
Oleh :
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2011
ii
ii
iii
MOTTO
“Ketentuan-ketentuan hukum dapat berubah dengan berubahnya masa”1
1
Wahbah al-Zuhaili, Konsep Darurat dalam Hukum Islam Studi Banding dengan Hukum
Positif, terj. Said Agil Hussain al-Munawwar dan M. Hadri Hasan dari judul asli Nazhariyah al-
dharurah al-Syar’iyah Muqaranah Ma’a al-Qanun al-Wadli’i, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997,
hlm. 51.
iv
PERSEMBAHAN
Dalam perjuangan mengarungi samudera Ilahi tanpa batas, dengan keringat dan
airmata, kupersembahkan karya ini teruntuk orang-orang yang selalu hadir dan
berharap keindahannya. Kupersembahkan bagi mereka yang tetap setia di ruang
dan waktu kehidupanku, khususnya buat:
o Bapak dan Ibu (alm) tercinta yang selalu memberikan do’a restu dan
semangat laksana embun pagi yang tiada henti menyelimuti bumi di pagi
hari.
o Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, semoga karya ini menjadi bukti cinta
dan pengabdianku kepadamu dan bukan pertanda perpisahanku denganmu.
v
DEKLARASI
Deklarator
vi
ABSTRAK
vii
KATA PENGANTAR
2. Dr. Imam Yahya, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Syari’ah, yang telah memberi
3. Drs. Rokhmadi, M.Ag dan H. Ahmad Furqon, Lc., M.A., selaku Pembimbing I
penulisan skripsi.
viii
4. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang yang telah
memberi bekal ilmu pengetahuan serta staf dan karyawan fakultas syari’ah,
dengan pelayanannya.
5. Segenap pihak yang tidak mungkin disebutkan, atas bantuannya baik moril
maupun materiil secara langsung atau tidak dalam penyelesaian skripsi ini.
mendapat imbalan yang lebih baik lagi dari Allah SWT dan penulis berharap
ix
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................. 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................ 8
D. Tinjauan Pustaka .............................................................. 9
E. Metodologi Penelitian ...................................................... 12
F. Sistematika Penulisan ....................................................... 16
x
C. Metode Istinbath Hukum Imam Abu Hanifah .................. 48
D. Metode Istinbath Hukum Imam Abu Hanifah
Tentang Wakaf Buku ......................................................... 55
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................... 86
B. Saran-saran ....................................................................... 88
C. Penutup.............................................................................. 88
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BIOGRAFI PENULIS
xi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
amanah Allah yang harus dijaga dan diperlakukan manusia sesuai dengan
ketentuan yang diberlakukan oleh Allah (syari’at). Salah satu syari’at Allah
mengenai harta benda yang diberikan Allah kepada manusia terdapat hak
orang lain yang harus diberikan oleh manusia penerima harta tersebut melalui
shadaqah, terdapat syari’at Islam lainnya yang berkaitan dengan harta benda,
yakni wakaf. Sama halnya dengan shadaqah, wakaf juga merupakan ibadah
yang memiliki nilai sosial. Perbedaan antara shadaqah dengan wakaf terletak
1
surat Taubah ayat 602 – diperuntukkan bagi orang-orang yang telah ditentukan
Secara etimologis kata “wakaf” berasal dari bahasa Arab, yaitu kata
benda abstrak (mashdar) waqfan, atau kata kerja (fi’il) waqafa-yaqifu yang
berdiri”.3 Kata “wakaf” bagi orang Arab biasanya digunakan untuk objek (isim
maf’ūl), yaitu sebagai mauqūf. Hal yang sama biasanya dalam bahasa
para imam mazhab terdapat khilafiyah mengenai harta yang telah diwakafkan.
terhadap harta benda yang diwakafkan hingga jenis-jenis harta benda yang
dapat diwakafkan.
( È≅‹Î6¡¡9$# Èø⌠$#uρ «!$# È≅‹Î6y™ †Îûuρ tÏΒÌ≈tóø9$#uρ É>$s%Ìh9$# †Îûuρ öΝåκæ5θè=è% Ïπx©9xσßϑø9$#uρ $pκön=tæ t,Î#Ïϑ≈yèø9$#uρ ÈÅ3≈|¡yϑø9$#uρ Ï!#ts)àù=Ï9 àM≈s%y‰¢Á9$# $yϑ¯ΡÎ)
٢
2
Terkait dengan hakekat kepemilikan, Imam Hanafi dan Malik
menegaskan bahwa hak kepemilikan harta benda yang telah diwakafkan tetap
berada di tangan orang yang berwakaf (wāqif) kecuali wakaf untuk masjid.5
jenis harta benda yang dapat diwakafkan. Dalam persoalan jenis harta benda
yang dapat diwakafkan, madzhab Hanafi menyatakan bahwa harta yang boleh
5
Menurut Imam Hanafi dan Imam Maliki, harta yang diwakafkan untuk masjid hak
kepemilikannya akan berpindah dari hak milik waqif menjadi hak milik Allah. Meskipun memiliki
kesamaan tentang hakikat kepemilikan, antara Imam Hanafi dan Imam Malik terdapat juga
perbedaan tentang hak pemilik atas harta yang diwakafkan selama masa wakaf yang telah
disepakati. Menurut Imam Hanafi, pemilik harta yang diwakafkan boleh melakukan kegiatan
muamalah terhadap harta benda yang telah diwakafkan meskipun masih berada dalam waktu
wakaf yang telah disepakati; sedangkan menurut Imam Malik, hal itu tidak diperkenankan.
6
Penjelasan tentang khilafiyah tentang hak kepemilikan harta wakaf setelah adanya akad
wakaf dapat dilihat dalam Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan
Haji, Paradigma Baru Wakaf Di Indonesia, hlm. 2-4. untuk lebih jelas lihat Wahbah az-Zuhailiy,
Fiqih Islamiy wa Adilatuhu, Beirut: Daar al-Fikr, t.th, Jilid VIII: hlm. 7599-7605; Abdul Ghofur
Anshori, Hukum dan Praktek Perwakafan di Indonesia, Yogyakarta: Pilar Media, 2005, hlm. 33-
34.
7
Wakaf benda bergerak yang dapat diterima oleh Mazhab Hanafi adalah terkait dengan
buku atau sumber ilmu pengetahuan. Lihat lebih jelas dalam Mundzir Qahaf, Manajemen Zakat
Produktif, Jakarta: Khalifa, Cet. I, 2004, hlm. 145.
8
Secara lebih jelas dapat dilihat dalam Muhammad Abu Zahrah, Muhādharāt fī al-Waqf,
Kairo: Dār al-Fikr, t.th, hlm. 41.
3
Implikasi dari adanya perbedaan tentang jenis harta benda yang dapat
diwakafkan, khususnya dalam hal harta benda yang bergerak adalah timbulnya
wakaf mushaf al-Qur’an. Perbedaan ini terjadi antara Imam Abu Hanifah
dengan ketiga mazhab lainnya (Maliki, Hanbali, dan Syafi’i) serta pengikut
Pendapat Imam Abu Hanifah ini dapat dilihat dalam kitab Badāi’ al-
Shanāi’ yang ditulis oleh ‘Alauddīn Abī Bakri bin Mas’ūd al-Kāsānī sebagai
berikut:
12
"#$ %& '& () *+ ,- ./
0! &!
“Dan terkait dengan wakaf buku, maka pendapat asli dari Abu
Hanifah adalah tidak boleh”
tidak dapat dilepaskan dari pendapat beliau tentang tidak bolehnya wakaf
9
Mundzir Qahaf, op. cit., hlm. 147.
10
‘Alauddīn Abī Bakri bin Mas’ūd al-Kāsānī, Badāi’ al-Shanāi’, Juz VIII, Beirut: Dār al-
Kutub al-‘Ilmiyah, t.th., hlm. 400.
11
Imām Kamāluddīn Muhammad bin Abdul Wāhid al-Sīrāsī, Fath Al-Qadīr, Juz VI, Beirut:
Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th., hlm. 200. Lihat dalam Syarkh Fath Al-Qadīr, Mushonnif kitab ini
berkata bahwa kalimat 67*8! '4$5 0!*+ ! ini adalah perkataan imam Quduri yang irsāl, dan
pernyataan kalimat tersebut adalah muthlak dari perkataan Abu Hanifah. Lihat juga, Abī
Muhammad Mahmūd bin Ahmad al-‘Ainī, al-Banāyah fī Syarh al-Hidāyah, Juz VI, Dār al-Fikr,
t.th., hlm.157.
4
”Tidak boleh mewakafkan benda yang dapat dipindah dan disebar dan
ini adalah perkataan Abu Hanifah”
Secara dasar hukum, tidak ada hadits Nabi SAW yang menjelaskan
mengenai tata laksana wakaf. Hadits Nabi SAW yang dijadikan sebagai
kebolehan wakaf adalah hadits yang menceritakan tentang dialog Nabi dengan
:
*) B
$C D EF
:
) B 7GH $C I? B " $C
N
NOP
B JG)
:G$) :
( JG) B
B) K-E LME
.
U
L
::
6*? 5 :64- - TJM5 .Q R$/
(M-
!
":6 Y; LJM G- ,;$ D$) V#E
W
^ [ ! .\*5 ! .>*5 ! ]5 ;E
JG) [ - :6 "
a$b ! ,0_/
! '/
B
! :
'? ^! NJ/
^! %J4/
^! `
J4#/
12
Abī Abdullah Muhammad bin Ismā’īl al-Bukharī, Matan Masykūl Bukhārī, Juz II, Beirut:
Dār al-Fikr, 1994, hlm. 124.
5
orang yang mengurusi harta wakaf tersebut makan dari hasilnya
dengan cara yang baik dan tidak berlebihan (dalam batas kewajaran).
Kemudian Ibnu Umar berkata: maka Ibnu Sirin telah mengabarkan
kepadaku dan beliau berkata: makan dengan tidak menumpuk harta.
tanah sebagai obyek wakaf. Namun oleh Imam Abu Hanifah, hadits di atas
dijadikan sandaran mengenai bentuk wakaf dari benda menetap dan bukan
dari benda yang bergerak. Alasannya adalah tidak adanya pemenuhan syarat
Selain hadits di atas, terdapat juga hadits lain yang juga digunakan
oleh para ulama untuk menentukan kebolehan wakaf benda bergerak. Namun,
bagi Imam Abu Hanifah bukanlah hadits yang dapat dijadikan hujjah bagi
wakaf benda bergerak. Hadits tersebut adalah hadits yang menceritakan ketika
Nabi memerintah Umar untuk menarik shadaqah kepada tiga sahabat sebagai
berikut:
NOP
B JG) .Q l$/
kI :ihh /
^ ;$) :
( jJ5J> %& B)
:.Q :
6*? 64- ,p7I/
! /*/
B /q!.'n Bo K$G- ,m /
()
,
/q
*Gs dEt- /q &! ,:
T$cM-
4-
g
o r o 'n Bo d4$5
v- .Q :
6*? d) pI/
&! ,:
'? ^ T)& ! ;)
u& Vo !
١٣
(;) y#) ;& *$ 'bJ/
d)
& mJI& : 6 x ,w! v7 )
“Dari Abu Hurairah r.a dalam shahīhain, Nabi SAW mengutus Umar
bin Khatthab untuk mengambil shadaqah, kemudian Ibnu Jamil,
Khalid bin Walid dan Ibnu Abbas tidak memberikan (zakat), maka
13
‘Alauddīn Abī Bakri bin Mas’ūd al-Kāsānī, op. cit., hlm. 398; dan lihat juga hadits yang
sama namun berbeda redaksi dalam Ahmad bin al-Syafi’i, Bulūgh al-Marām, Beirut: Dār al-Kutub
al-Islamiyah, t.th., hlm. 235.
6
Rasulullah SAW bersabda: Ibnu Jamil tidak akan dibebani hukuman
kecuali apabila dia fakir kemudian Allah memberikan kekayaan
kepadanya, sedangkan terhadap Khalid, maka kamu sekalian telah
mendzaliminya karena sesungguhnya dia telah menahan baju besi dan
peralatan perang di jalan Allah (fi sabīlillāh), sedangkan Abbas adalah
paman Rasulullah SAW, maka zakatnya menjadi tanggunganku begitu
pula shadaqah semisalnya. Kemudian beliau bersabda hai Umar,
tidakkah engkau merasa bahwa paman seorang lelaki mewakili
ayahnya” (H.R. Muttafaq ‘Alaih)
yang menarik untuk dikaji mengenai metode istinbath hukum Imam Abu
pendapat Imam Abu Hanifah tentang wakaf buku. Hasil penelitian yang
akan disusun dalam laporan yang berbentuk skripsi dengan judul “Pendapat
Imam Abu Hanifah tentang Wakaf Buku dalam Kitab Badāi’ al-Shanāi’ Karya
B. Rumusan Masalah
buku?
3. Relevansi pendapat Imam Abu Hanifah tentang wakaf buku pada masa
sekarang?
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian yang akan dilakukan oleh penulis ini dapat
1. Tujuan Formal
2. Tujuan Fungsional
untuk:
wakaf buku.
masa sekarang.
1. Manfaat praktis
8
2. Manfaat Teoritis
D. Tinjauan Pustaka
Pertama, skripsi dari Lu’lu Ilma’ Sunah yang berjudul Wakaf Tunai
Ditinjau Dari Hukum Islam. Skripsi ini menguraikan tentang salah satu bentuk
wakaf produktif adalah wakaf tunai (cash waqf). Wakaf produktif merupakan
pemberian dalam bentuk sesuatu yang bisa diusahakan atau digulirkan untuk
kebaikan dan kemaslahatan umat. Bentuknya bisa berupa uang atau surat-surat
berharga.14
Kedua, skripsi dari Moh. Nur Kaukab yang berjudul Studi Analisis
14
Lu’lu Ilma’ Sunah, “Wakaf Tunai Ditinjau Dari Hukum Islam”, Skripsi, Tidak
Dipublikasikan, Semarang: Perpustakaan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 2002.
15
Moh. Nur Kaukab, “Studi Analisis Mengenai Wakaf Pohon Produktif Pada Tabung
Wakaf Indonesia (TWI)”, Skripsi, Tidak Dipublikasikan, Semarang: Perpustakaan Fakultas
Syari’ah IAIN Walisongo, 2009.
9
Ketiga, skripsi dengan judul Studi Analisis Pendapat Imam Hanafi
Tentang Pemilikan Harta Wakaf yang disusun oleh Enny Dwi Yuniastuti.
bahwa menurut Imam Hanafi wakaf itu tergantung pada niatnya. Menurut
Hanifah Tentang Penarikan Kembali Harta Wakaf yang disusun oleh Noer
kembali harta wakaf. Analisanya yaitu, bahwa menurut Abu Hanifah wakaf
pemilik harta wakaf kepada mauquf ‘alaih. Karena harta wakaf tersebut masih
sebagai milik wakif. Maka kedududan wakaf itu tertahan pada pengelola
wakaf (nādzir). Inilah yang dimaksud dengan al-habs menurut Abu Hanifah.
Yang didefinisikan oleh para ulama dengan kata habasa al-’aini dan habasa
lil-aini.17
Dan Imam Syafi’i Tentang Masa Berlakunya Harta Wakaf yang disusun oleh
16
Enny Dwi Yuniastuti, Studi Analisis Pendapat Imam Hanafi Tentang Pemilikan Harta
Wakaf, Skripsi, Tidak Dipublikasikan, Semarang: Perpustakaan Fakultas Syari’ah IAIN
Walisongo, 2002.
17
Noer Chasanah, Studi Analisis Terhadap Pendapat Abu Hanifah Tentang Penarikan
Kembali Harta Wakaf, Skripsi, Tidak Dipublikasikan, Semarang: Perpustakaan Fakultas Syari’ah
IAIN Walisongo, 2000.
10
Istiqomah. Dalam skripsi ini yang dikaji adalah kontroversi antara pendapat
Imam Hanafi dengan pendapat Imam Syafi’i tentang masa berlakunya harta
wakaf. Analisanya menurut Imam Hanafi, wakaf akan berakhir sesuai dengan
kesepakatan antara wakif dan nadzir (wakaf jangka waktu tertentu). Hal ini
mengatakan bahwa wakaf berlaku untuk selamanya, karna harta wakaf sudah
Tentang Penarikan Kembali Harta Wakaf Oleh Pemberi Wakaf yang disusun
oleh Rudy Pamungkas. Skripsi ini mengkaji pendapat Imam Syafi’i bahwa
akad wakaf termasuk akad lazim oleh karena itu benda yang telah diwakafkan
bukan lagi milik wakif melainkan telah menjadi milik umum atau milik Allah
akibatnya adalah bahwa benda yang telah diwakafkan tidak boleh dijual,
kedudukan harta wakaf sebagai harta permanen yang tidak bisa ditarik
kembali didasarkan atas alasan demi kepastian hukum bagi penerima wakaf
sehingga harta wakaf dapat difungsikan secara leluasa dan tidak terikat dengan
waktu.19
18
Istiqomah, Studi Komparatif Persepsi Imam Hanafi Dan Imam Syafi’i Tentang Masa
Berlakunya Harta Wakaf, Skripsi, Tidak Dipublikasikan, Semarang: Perpustakaan Fakultas
Syari’ah IAIN Walisongo, 1991.
19
Rudy Pamungkas, Analisis Pendapat Imam Syafi’i Tentang Penarikan Kembali Harta
Wakaf Oleh Pemberi Wakaf, Skripsi, Tidak Dipublikasikan, Semarang: Perpustakaan Fakultas
Syari’ah IAIN Walisongo, 2010.
11
Berdasarkan telaah pustaka yang telah penulis sebutkan diatas, maka
penelitian skripsi ini berbeda dengan penelitian sebelumnya, Oleh sebab itu
Pendapat Imam Abu Hanifah tentang Wakaf Buku dalam Kitab Badāi’ al-
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
memperoleh data bersumber dari buku atau kitab yang ada kaitannya
2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini ada dua jenis dengan penjelasan
sebagai berikut:
a. Data
primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang berhubungan
12
adalah data yang menunjang penelitian dan masih memiliki hubungan
dengan data primer namun bukan data utama. Data sekunder dalam
dengan obyek kajian pendapat Imam Abu Hanifah tentang wakaf buku,
penelitian ini tidak diambilkan dari tangan pertama. Maka itu, sumber
data primer dalam penelitian ini adalah sumber bahan sekunder yang
berupa kitab Badāi’ al-Shanāi’ karya Imam ’Alauddīn Abī Bakri bin
21
Chalid Narbuko, Metodologi Penelitian, Jakarta: Bumi Aksara, Cet. III, 2001, hlm. 43.
22
Ibid.
13
literatur ilmiah lainnya, baik yang diambil dari sumber bahan primer
3. Pengumpulan Data
skripsi ini.23
pendapat Imam Abu Hanifah tentang wakaf buku, baik dari sumber data
4. Analisis Data
Analisis data adalah proses menyusun data agar data tersebut dapat
pemikiran tokoh yang tertuang dalam karya tulisnya.25 Teknik analisis isi
23
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka
Cipta, 2006, hlm. 44
24
H. Dadang Kahmad, Metode Penelitian Agama, Bandung: CV Pustaka Setia, 2000, hlm.
102.
25
Anton Bekker dan Ahmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta:
Kanisius, 1990, hlm. 65.
14
digunakan oleh penulis untuk menganalisis isi kitab yang memuat
cenderung menampilkan aspek sosial politik yang mana pada masa itu
Sehingga perlu adanya kaidah penafsiran dari isi tulisan tentang metode
hadits Khaibar maupun hadits Khalid bin Walid. Pendekatan ini digunakan
15
wakaf buku. Aplikasi dari pendekatan ini adalah dengan membuat
pendapat yang berbeda dari imam mazhab yang dalam penelitian ini
Imam Abu Hanifah dalam perspektif makna yang terkandung dalam dalil
tentang wakaf.
F. Sistematika Penulisan
dipaparkan dalam bentuk skripsi yang terdiri dari tiga bagian dengan
Daftar Isi.
Bagian Isi yang terdiri dari lima bab dengan penjelasan sebagai
berikut:
Sistematika Penulisan.
16
Bab II Ketentuan tentang Wakaf yang isinya meliputi Pengertian
Wakaf, Dasar Hukum Wakaf, Rukun dan Syarat Wakaf serta Hakikat Wakaf.
Bab III Pendapat Imam Abu Hanifah tentang Wakaf Buku dalam Kitab
Badāi’ al-Shanāi’ karya ’Alauddīn Abī Bakri bin Mas’ūd al-Kāsānī. Bab ini
terdiri dari Biografi Imam Abu Hanifah, dan Pendapat Imam Abu Hanifah
tentang Wakaf Buku dan Metode Istinbath Hukum Imam Abu Hanifah tentang
Wakaf Buku
dalam Kitab Badāi’ al-Shanāi’ karya ’Alauddīn Abī Bakri bin Mas’ūd al-
Kāsānī yang isinya meliputi Analisis Pendapat Imam Abu Hanifah tentang
Wakaf Buku, Analisis Istinbath Hukum Imam Abu Hanifah tentang Wakaf
Buku dalam Kitab Badāi’ al-Shanāi’ karya ’Alauddīn Abī Bakri bin Mas’ūd
al-Kāsānī dan Relevansi Pendapat Imam Abu Hanifah tentang Wakaf Buku
17
BAB II
A. Pengertian Wakaf
Secara bahasa kata wakaf (waqf) berarti habs ‘menahan’. Hal ini
yahbisu-habsan.26
(wakaf) bila dijamakkan menjadi
dan
, menurut kitab Tadzkirah karya ‘Allamah Al-Hilli, terbilang langka.
“saya menahan diri dari berjalan”. Dalam peristilahan syara’ wakaf
umum.27
jalan Allah atau ada juga yang bermaksud menghentikan seperti yang
dan diganti untuk amal kebaikan sesuai dengan tujuan wakaf. Menghentikan
segala aktifitas yang pada mulanya diperbolehkan terhadap harta (‘ain benda
26
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Bandung: Al-ma’arif, 1987, Cet. I, hlm. 148
27
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta: Basrie Press, Cet.I 1997,
hlm. 383.
18
setelah dijadikan harta wakaf hanya untuk keperluan agama semata bukan
yang bermanfaat.29
Syariah.
28
Abdul Halim, Hukum Perwakafan Di Indonesia, Jakarta: Ciputat Press, 2005, hlm. 8
29
Ibid, hlm.9
30
Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, Juz III, Beirut : Dār Al-Fikr, hlm.426
31
Muhammad bin Ismā’īl al-Kahlānī al-Shan’ānī, Subul al-Salām, Juz III, Semarang: Toha
Putra, t.t, hlm. 87
32
http: //candraboyseroza.blogspot.com/2009/02/ wakaf-dalam-pandangan-ulama-fikih-
dan.html
19
Dengan demikian wakaf merupakan tindakan hukum. Agar sah
hukumnya, dan tercapai fungsi tujuannya, maka rukun dan syaratnya harus
sesuai dengan tujuannya, yaitu guna kepentingan ibadah atau keperluan umum
antara lain:
©!$# ¨βÎ*sù &óx« ÏΒ (#θà)ÏΖè? $tΒuρ 4 šχθ™6ÏtéB $£ϑÏΒ (#θà)ÏΖè? 4®Lym §É9ø9$# (#θä9$oΨs? s9
Ÿ≅Î/$uΖy™ yìö7y™ ôMtFu;/Ρr& >π¬6ym È≅sVyϑx. «!$# È≅‹Î6y™ ’Îû óΟßγs9≡uθøΒr& tβθà)ÏΖムtÏ%©!$# ã≅sW¨Β
∩⊄∉⊇∪ íΟŠÎ=tæ ììÅ™≡uρ ª!$#uρ 3 â!$t±o„ yϑÏ9 ß#Ïè≈ŸÒムª!$#uρ 3 7π¬6ym èπs1($ÏiΒ 7's#ç7/Ψß™ Èe≅ä. ’Îû
Artinya: “perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang
menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebulir
33
Ahmad Rofiq, Fiqih Kontekstual dari Normative ke Pemaknaan Sosial, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 320-321
20
benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus
biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia
kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha
mengetahui.”(Q.S. Al-Baqarah: 261)
LME
:
*) B
$C D EF
:
) B 7GH $C I? B " $C
N
NOP
B JG)
:G$) :
( JG) B
B) K-E
.
U
L
::
6*? 5 :64- - TJM5 .Q R$/
(M-
" :6 Y; LJM G- ,;$ D$) V#E
W
[ ! .\*5 ! .>*5 ! ]5 ;E
JG) [ - :6 " !
! ,0_/
! '/
B
! :
'? ^! NJ/
^! %J4/
^! `
J4#/
^
6 .6*G c dIO5! e!JIf $ 'gM5
/! B () a$b
'CM c :64- B5J? B
; \h-
Artinya: “Telah mengkabarkan kepada kami Quthaibah bin Said, telah
mengabarkan kepada kita Muhammad bin Abdullah al-Anshori, telah
mengabarkan kepada kita Ibnu ‘Auni, beliau berkata: telah bercerita
kepadaku Nafi’ dari Ibnu Umar r.a: Sesungguhnya Umar bin Khattab
mempunyai tanah di Khaibar, kemudian beliau datang kepada Nabi
untuk memohon petunjuk. ‘Umar berkata: Ya Rasūlullāh ! Saya
memperoleh sebidang tanah di Khaibar, saya belum pernah
mendapat harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan
kepadaku ? Rasūlullāh menjawab: Apabila engkau mau, maka
tahanlah zat (asal) bendanya dan şadaqahkanlah hasilnya
(manfaatnya)”. Kemudian ‘Umar melakukan şadaqah, tidak dijual,
tidak juga dihibahkan dan juga tidak diwariskan. Ibnu ‘Umar
berkata: ‘Umar menyalurkan hasil tanah itu bagi orang-orang fakir,
kaum kerabat, budak belian, orang-orang yang berjuang di jalan
Allah (sabilillah), orang-orang yang kehabisan bekal di perjalanan
(ibnu sabil) dan tamu. Dan tidak berdosa bagi orang yang mengurusi
harta wakaf tersebut makan dari hasilnya dengan cara yang baik dan
tidak berlebihan (dalam batas kewajaran). Kemudian Ibnu Umar
21
berkata: maka Ibnu Sirin telah mengabarkan kepadaku dan beliau
berkata: makan dengan tidak menumpuk harta34
akal, dalam keadaan sadar, tidak dalam keadaan terpaksa atau dipaksa.36
34
Abi Abdullah Muhammad bin Ismā’īl al-Bukhārī, Matan Masykūl Bukhārī Juz II, Beirut:
Daar al-Fikr, 1994, hlm. 124.
35
Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: Gama Media, 2001,
hlm. 124-125.
36
Abī Yahyā Zakariyā al- Anshārī, Fath al- Wahhāb, Juz I, Semarang: Toha Putra, t. t.
hlm. 256.
22
Oleh karena itu, wakafnya orang-orang yang tidak memenuhi persyaratan
disebutkan:
Pasal 7
Wakif meliputi:
a. perseorangan;
b. organisasi;
c. badan hukum.
Pasal 8
wāqif haruslah seorang muslim. Oleh sebab itu, orang non muslim pun
37
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998, Cet.3,
hlm.494.
23
2 Mauqūf (ف, )ﻡatau benda yang diwakafkan.
antaranya:
pakai
diwariskan.38
Wakaf, harta benda wakaf hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki dan
38
Syamsuddin al-Ramly, Nihāyah al-Muhtāj, Juz V, Mesir: Mustafa al-Baby al-Halaby,
t.t., hlm.360.
39
Ahmad Rofiq, op. cit. hlm.494-495.
24
Oleh karena itu tujuan wakaf tidak bisa digunakan untuk
kesejahteraan umum.
Pernyataan atau ikrar wakaf ini harus dinyatakan secara tegas baik
menahan” atau kalimat yang semakna lainnya. Ikrar ini penting, karena
dan harta wakaf menjadi milik Allah atau milik umum yang dimanfaatkan
40
Ibid. hlm.496
41
Ibid, hlm.497.
25
5 Nādzir (01") atau pengelola wakaf.
nādzir wakaf sebagai salah satu rukun wakaf. Ini dapat dimengerti karena
wakaf yang ingin melestarikan manfaat dari benda wakaf, maka nādzir
sangat diperlukan.42
adil dan mampu. Para ulama berbeda pendapat mengenai ukuran adil.
mempunyai kreativitas.44
sebagai berikut:45
42
Ibid. hlm.498.
43
Said Agil Husain Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, Jakarta: Penamadani,
2004, hlml. 161
44
Ahmad Rofiq, op.cit., hal. 499.
45
Undang-Undang No.41 Tahun 2004 tentang Wakaf
26
a. Warga negara Indonesia.
b. Beragama Islam.
c. Dewasa.
d. Amanah.
e. Mampu secara jasmani dan rohani.
f. Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.
dari benda yang di wakafkannya, dan setelah jangka waktu tersebut habis
D. Hakekat Wakaf46
diwakafkan harus terkandung sifat ta’bīd. Hanya Imam Malik dan Syiah
dalam praktek wakaf di samping sifat ta’bīd.47 Dasar dari sifat ta’bīd
46
Pemaparan tentang hakekat wakaf mu’abbad, mu’aqqat dan manqūl secara mayoritas
penulis sandarkan pada Muhammad Abu Zahrah, Muhādlarāt fī al-Waqf, t.kp: Dār al-Fikr al-
’Arabi, 1971, Cet. Ke-II.
47
Ibid, hlm. 103.
27
tersebut bersumber pada satu hadits Nabi kepada Umar bin Khattab
berikut ini:
٤٨
" !
"
“Jika engkau mau, maka tahanlah zat (asal) bendanya dan
şadaqahkanlah hasilnya (manfaatnya)”.
kekal, yakni harta benda yang diwakafkan harus memiliki sifat abadi.
Secara lebih luas, harta benda yang memiliki sifat abadi adalah harta
benda yang menetap atau tidak bergerak, baik secara alami maupun secara
antara Imam Abu Hanifah dengan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani dan
Imam Abu Hanifah dan Malikiyah, sifat ta’bīd berlaku pada aspek sifat
benda dan pemanfaatan benda yang diwakafkan dan tidak berlaku pada
diikuti pindahnya hak milik bagi Imam Abu Hanifah, selain karena untuk
masjid, juga dapat terjadi karena adanya akad yang menyebutkan adanya
48
Ibid, hlm. 104.
49
Sebagaimana dijelaskan dalam M. Abid Abdullah al-Kabisi, Hukum Wakaf Kajian
Kontemporer Pertama dan Terlengkap tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf serta Penyelesaian
Atas Sengketa Wakaf, terj. A. Sani Faturrahman dkk., Jakarta: IIMaN Press, hlm. 262.
50
Muhammad Abu Zahrah, op. cit. hlm.103
28
Sifat ta’bīd dalam wakaf muabbad menurut Imam Abu Hanifah
!
(apabila kamu menginginkan, maka kamu
wakaf hanya manfaat yang memiliki sifat ta’bīd dan bukan kepindahan
kepemilikan selama tidak untuk masjid maupun dua hal yang lainnya.
kepemilikan. Jadi, harta benda yang dijadikan sebagai obyek wakaf akan
berpindah kepemilikannya dan tidak lagi menjadi harta benda milik orang
yang mewakafkan. Menurut mazhab Hanafi, selama tidak ada akad yang
wāqif dan kemudian wāqif tersebut meninggal, maka yang masih menjadi
51
Mengenai penjelasan tentang kalimat Nabi yang digunakan sebagai dasar dapat dilihat
dalam Badrun Abū al-‘Ainain, Ahkām al-Washāya wa al-Auqāf, Iskandariyah: Muassasah Sabab
al-Jami’ah, 1982, hlm. 268.
29
wakaf mu’abad hanya sepertiga dari harta benda yang diwakafkan.
Sisanya beralih menjadi harta waris. Hal ini berbeda dengan Mazhab
Syafi’i dan Hanabila yang menganggap bahwa dalam akad wakaf telah
harta benda yang diwakafkan. Dasar yang digunakan oleh mazhab Syafi’i
juga dihibahkan dan juga tidak diwariskan).52 Oleh karena telah terjadi
benda yang sama, sejenis, atau sekadar (sama ukuran atau taksirannya).
kekal benda tidak harus menjadi syarat sahnya wakaf. Oleh sebab itu, bagi
tertentu atau dibatasi oleh waktu. Inilah yang disebut dengan wakaf
yang telah disepakati pada saat terjadinya serah terima benda wakaf.
52
Menurut Badrun Abū al-‘Ainain dalam periwayatan yang lain, Abu Yusuf dan
Muhammad bin Hasan al-Syaibani menganggap bahwa kalimat tersebut merupakan bagian dari
hadits yang berfungsi untuk menjelaskan kalimat Nabi sebelumnya yakni In Syi’ta Habbasta
Ashlahā... Lihat dalam Ibid.
30
Dalam wakaf muaqqat, benda yang diwakafkan dapat berupa benda yang
tidak memiliki sifat shalihat lil baqa’ (kelayakan manfaat benda yang
tersebut sama dengan dasar hukum yang digunakan oleh Imam Abu
bukan perpindahan kepemilikan, oleh sebab itu apabila telah habis masa
wakaf, maka harta tersebut kembali menjadi hak milik orang yang
rusak, maka wakif dapat mengganti obyek wakaf dengan harta benda yang
mazhab. Imam Abu Hanifah lebih memaknai ta’bīd sebagai sifat kekal
yang harus dimiliki oleh benda yang berwujud pada benda yang tidak
53
Muhammad Abu Zahrah, loc. cit.
54
M. Abid Abdullah al-Kabisi, op. cit., hlm. 272.
55
Ibid.
31
selamanya. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa ta’bīd bukanlah
memiliki hubungan yang tidak dapat dipisahkan dari konsep harta yang
dapat dijadikan sebagai obyek wakaf, apakah harta benda yang bergerak
Secara garis besar, jenis harta benda yang dapat diwakafkan dibagi
menjadi dua, yakni jenis harta benda bergerak (manqūl) dan harta benda
yang tidak bergerak (ghairu manqūl). Terkait dengan pembagian dua jenis
bergerak menurut jumhur adalah apa saja yang tidak dapat diubah dan
dipindahkan dari satu tempat ke tempat lainnya yang mana dalam hal
bergerak adalah segala sesuatu yang memiliki dasar tetap dan tidak
dapat diubah dan dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain dengan
56
Penjelasan mengenai perbedaan antara harta manqūl dan ghairu manqūl didasarkan pada
Ibid., hlm. 261-277; juga dalam Muhammad Abu Zahrah, op. cit. hlm. 103-105.
32
tidak mempertahankan kondisi dan bentuknya. Dari pendapat tersebut,
obyek wakaf
adalah karena masih terikat pada ‘iqār, adanya nash dan karena sudah
57
Keterikatan pada ‘iqār dalam mazhab Hanafi dibedakan menjadi dua, yakni benda
bergerak (manqūl) yang diwakafkan tersebut menetap pada ‘iqār seperti pohon dan benda
bergerak (manqūl) yang memiliki hubungan khusus atas pekarangan (‘iqār) seperti sapi untuk
membajak tanah. Muhammad Abu Zahrah, loc. cit.
33
adalah hadits Nabi kepada Umar saat diperintah untuk menarik
.Q l$/
kI :ihh /
^ ;$) :
( jJ5J> %& B)
/*/
B /q! .'n Bo K$G- m /
() NOP
B JG)
T$cM-
4-
g
o r o 'n Bo d4$5 :.Q :
6*? 64- p7I/
!
^ T)& ! ;)
u& Vo ! ,
/q
*Gs dEt- /q &! ,:
T*#! d) :
* "h /
B ")n
@ 4I/
0! *+!
6*7 8! '4$5 0! *+ !
58
Ahmad bin al-Syāfi’ī, Bulūgh al-Marām, Beirut: Dār al-Kutub al-Islamiyah, t.th., hlm.
235.
59
Abī al-Hasan Ali bin Abi Bakar (Syeikh Islam Burhānuddīn), al-Hidāyah Syarh Bidāyah
al-Mubtadīy, Beirut: Dār al-Kutb al-Ilmiyah, t.th., hlm. 17.
34
“Dan diperbolehkan wakaf ‘iqār (tanah) karena kelompok
(golongan) sahabat r.a mewakafkannya dan tidak diperbolehkan
wakaf benda bergerak dan menyebar”
dari adanya perbedaan dalam memaknai istilah habsu dan ta’bīd dalam
harta benda yang dapat diwakafkan maupun yang tidak dapat diwakafkan.
35
BAB III
699 M) di kota Khufah. Nama aslinya adalah Nu’man bin Tsabit bin Zauthi. Ia
berasal dari keturunan Persia, karena ayahnya Tsabit adalah keturunan Persia
politik yang berbeda, yakni di masa akhir dinasti Umayyah dan awal dari
dinasti Abbasiyah.61
diberi nama Hanifah, maka ia diberi julukan Abu Hanifah (bapak atau ayah)
dari Hanifah. Kedua, ia seorang yang sejak kecil sangat tekun belajar dan
Ketiga, Menurut bahasa Persia, “Hanifah” berarti tinta, dimana Imam Hanafi
60
Tamar Djaja, Hajat dan Perjuangan Empat Imam Mazhab, Solo: Ramadhani, 1984,
hlm. 12-13.
61
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, Jakarta: Logos, 1997,
hlm. 95.
36
ini sangat rajin menulis hadits-hadits, ke mana pun ia pergi selalu membawa
tinta, karena itu ia diberi nama Abu Hanifah yang berarti bapak tinta, sehingga
Ayah Abu Hanifah adalah seorang pedagang besar kain sutera. Sejak
Abu Hanifah mencurahkan perhatiannya kepada ulama. Saran itu dijawab oleh
Abu Hanifah “minat saya kepada para ulama hanya sedikit”. Ulama Fiqh
pengetahuan dan mendekatkan diri kepada para ulama. Saya melihat engkau
mempunyai ingatan kuat dan kecerdasan”.65 Sejak itu, Abu Hanifah mulai
Hanifah masih tetap pada usahanya dan tidak melepaskan usahanya sama
sekali.66
62
Tamar Djaja, op. cit., hlm. 12.
63
Abdurrahman al-Syarqawi, “A’immah al-Fiqh al-Tis’ah”, terj. M.A. Haris al- Husaini,
Riwayat Sembilan Imam Fiqih, Bandung : Pustaka Hidayah, 2000, hlm. 237.
64
T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 1997, hlm. 442.
65
Abdurrahman al-Syarqawi, loc.cit.
66
T. M. Hasbi ash-Shiddieqy, loc.cit.
37
Kuffah di masa itu adalah suatu kota besar, tempat beraneka macam
ilmu, tempat berkembang kebudayaan lama. Kota itu juga dikenal sebagai kota
Abu Hanifah memang orang yang bijak dan gemar ilmu pengetahuan.
qira’at, bidang kesusastraan Arab dan ilmu kalam. Selain itu dia juga turut
waktu itu.69
itu. Menurut sebagian dari para ahli sejarah, bahwa ia berguru/belajar kepada
sahabat-sahabat besar dalam bidang fiqih. Diantara para guru yang paling
mempengaruhi pada dirinya adalah ulama besar Hammad bin Abi Sulaiman
(W.120 H). Gurunya ini sangat kagum dengan kemampuan intelektual yang
dimiliki Abu Hanifah, dan sebaliknya imam Abu Hanifah juga memandang
gurunya yang satu ini sebagai tokoh yang patut diteladani, baik dalam
67
Ibid.
68
Ahmad al-Syurbasi, “Al- Aimatul Arba’ah”, terj. Sabil Had dan Ahmadi, Sejarah dan
Biografi Imam Empat Mazhab, Jakarta: Bumi Aksara, 1993, hlm. 17.
69
T. M. Hasbi Ash- Siddieqy, op. cit., hlm. 443.
70
Ahmad al- Syurbasi, loc. cit.
38
Hanifah ditunjuk untuk menggantikan sebagai guru pada halaqah.71 Enam
puluh pertanyaan yang diajukan oleh peserta pengajian itu dapat dijawabnya
dengan lancar, dan jawaban itu sempat dicatatnya. Setelah Hammad kembali
itu, lalu Hammad menyatakan setuju dengan 40 jawaban dan berbeda pendapat
dengan 20 jawaban. Saya memberi penjelasan tentang apa yang menjadi sebab
bertempat di Masjid Kuffah. Dan memang hanya dia yang dipandang layak
bersahabat dengan seseorang yang cerdas dan cerdik melebihi kecerdasan akal
pikiran Abu Hanifah”, dan masih banyak lagi ulama yang mengakuinya.73
Dalam bidang Fiqih, Imam Syafi’i pernah berkata “Manusia seluruhnya adalah
menjadi keluarga dalam ilmu Fiqih, menjadi anak buah Abu Hanifah”.74 Abu
71
Halaqah adalah sistem belajar yang duduk melingkari guru yang dipimpinnya.
72
Abdul Azis Dahlan (et.al.), Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve,
1996, hlm. 12.
73
Ibid
74
M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, Jakrta: Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 184-
185.
39
karena kepandaiannya dalam berdiskusi dan kedalaman ilmunya di bidang
fiqh.75
sedang saja, tidak terlalu tinggi dan tidak pula terlalu besar, tingginya sedang
jahat, dari kecil hingga dewasa.76 Berani mengatakan salah bagi yang salah,
walaupun yang disalahkannya itu orang besar. Ia seorang yang teguh dalam
pendirian, mempunyai jiwa merdeka (tidak mudah larut dalam pribadi orang
lain), jiwanya suka meneliti segala sesuatu yang dihadapi, dan tidak berhenti
tangkap yang sangat luar biasa untuk mematahkan hujjah lawan.77 Karena
sifat-sifat beliau itulah, maka ia berada pada puncak ilmu diantara para ulama,
Abu Hanifah adalah seorang hamba Allah yang takwa dan saleh
beribadah. Setiap hari pekerjaannya tidak ada yang kosong, tetapi seluruhnya
berisi ibadah dan amal belaka. Zuhud, wara dan sangat hati-hati dalam urusan
75
Abdul Azis Dahlan, loc. cit.
76
Tamar Djaja, op.cit., hlm. 15.
77
T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, op.cit., hlm. 448.
78
Tamar Djaja, op. cit., hlm. 21.
40
Demikianlah sifat-sifat dan kepribadiannya bisa dibayangkan dengan
jelas, bahwa secara lahir maupun batin ia memang kuat apalagi soal pendirian.
Dalam suatu riwayat pada masa Bani Umayyah, Yazid bin Hubairah
gubernur Irak ingin mengangkat Abu Hanifah untuk menjadi qadhi, tetapi
beliau enggan. Dia berfikir bahwa ikut serta dalam kekuasaan yang dzalim
kepada Bani Umayyah, bukan semata-mata karena tidak mau menjadi qadhi.79
Nasib serupa itu, terulang pula dialami beliau pada masa pemerintahan
penolakan itu beliau ditangkap, dihukum, dipenjara dan wafat pada tahun
767 M.80
Imam Abu Hanifah adalah orang yang berdarah Persia dan pendiri
masyarakat sebagai imam besar.81 Perjuangan Imam Abu Hanifah tidak putus
sampai disini saja, namun masih dilanjutkan oleh murid-muridnya. Dari sekian
79
T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putera,
2001, hlm. 85.
80
K.H.E Abdurrahman, Perbandingan Mazhab, Jakarta: Sinar Baru Aglesindo, t.th., hlm.
25.
81
Abdurrahman al-Syarqawi, op.cit., hlm. 250.
41
banyak muridnya, ada 4 orang yang sangat terkenal sebagai ulama besar di
1. Imam Abu Yusuf, Ya’kub Ibn Ibrahim al-Anshary. Ia dilahirkan tahun 113
disandangnya. Karena itu, Imam Abu Yusuf termasuk ulama ahli hadits
terkemuka.
2. Imam Hasan bin Ziyad al-Lu’luy, salah seorang murid yang terkemuka
3. Imam Muhammad bin Hasan bin Farqat al-Syaibani. Sejak kecil, ia tinggal
4. Imam Zafar ibnu Huzail ibnu Qais al-Kuffi. Beliau adalah salah seorang
82
‘Alauddin Abī Bakri bin Mas’ūd al-Kāsānī, Badāi’ al-Shanāi’, Juz I, Beirut: Dār al-
Kutub al-Ilmiah, 1997, hlm.64.
42
Empat orang ulama inilah murid Imam Hanafi yang terkemuka, yang
1) Ikhtilāfu Abī Ḫanīfah wa Ibni Abi Laila, karya Imam Abu Yusuf. Memuat
sejumlah masalah fiqh yang diperdebatkan antara Imam Abu Hanifah dan
Imam Abi Laila (74-148 H), seorang tokoh fiqh terkenal pada masa itu.
Dalam bidang Ushul Fiqh, buah pikiran Imam Abu Hanifah dapat
dirujuk antara lain dalam Ushūl al-Sarakhsī oleh al-Sarakhsī dan Kanz al-
namun wafatnya Abu Hanifah sangat menyedihkan. Beliau wafat pada saat
menjalani hukuman penjara pada masa pemerintahan khalifah Abu Ja’far al-
Mansur dari Bani Abbasiyah. Dalam kehidupannya, Abu Hanifah tidak suka
Hanifah juga pernah dipenjara oleh pemerintahan Bani Umayyah karena tidak
83
Tamar Djaja, op. cit, hlm.19-20.
84
Abī Bakri bin Mas’ūd al-Kāsānī, loc. cit.
85
Lihat juga, Abdul Wahhab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum
Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001, hlm. 107.
86
Abdul Azis Dahlan, op.cit., hlm. 14.
43
mau dijadikan sebagai qadhi (hakim). Hal yang sama juga beliau terima pada
agama Islam.
secara singkat dalam kitab Badāi’ al-Shanāi’ dalam satu kalimat. Secara
istilah “maka pendapat asli dari Abu Hanifah adalah tidak boleh”. Kalimat
87
Ahmad al- Syurbasi, op.cit, hlm. 69
88
‘Alauddīn Abī Bakri bin Mas’ūd al-Kāsānī, op. cit., Juz VIII, hlm. 400.
44
pihak lain. Hal itu tidak ada salahnya karena memang pendapat-pendapat
Imam Abu Hanifah tidak dibukukan sendiri oleh beliau, melainkan oleh
para muridnya. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Imam Syeikh Kāmil
sebagai berikut:
٨٩
;5!-
*E7!5
*Eg "#$ A& =,
& () 6r
q& Eb! 4/!
“Sungguh kami telah menemukan beberapa kabar yang menunjukkan
bahwasanya murid-murid Abu Hanifah yang membukukan fatwa-
fatwanya”
Hakiyah, yakni murid dari Abu Yusuf.90 Jadi meskipun Imam Abu Hanifah
Abu Hanifah yang secara turun temurun diterima dan diakui oleh para
pengikut beliau.
pendapat beliau tentang wakaf yakni hadits Nabi SAW berikut ini:
LME
:
*) B
$C D EF
:
) B 7GH $C I? B " $C
N
NOP
B JG)
:G$) :
( JG) B
B) K-E
89
Imam Syeikh Kāmil Muhammad Muhammad ‘Uwaidlah, al-Imām Abū Hanīfah, Beirut:
Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th., hlm. 155.
90
Ibid.
45
L
::
6*? 5 :64- - TJM5 .Q R$/
(-
" :6 Y; LJM G- ,;$ D$) V#E
W .
U
.\*5 ! .>*5 ! ]5 ;E
JG) [ - :6 " !
'/
B
! :
'? ^! NJ/
^! %J4/
^! `
J4#/
^ [ !
c dIO5! e!JIf $ 'gM5
7/! B () a$b ! 0_/
!
٩١
'CM c :64- B5J? B
; \h- 6 .6*G
“Telah mengkabarkan kepada kami Quthaibah bin Said, telah
mengabarkan kepada kita Muhammad bin Abdullah al-Anshori, telah
mengabarkan kepada kita Ibnu ‘Auni, beliau berkata: telah bercerita
kepadaku Nafi’ dari Ibnu Umar r.a: Sesungguhnya Umar bin Khattab
mempunyai tanah di Khaibar, kemudian beliau datang kepada Nabi
untuk memohon petunjuk. ‘Umar berkata: Ya Rasūlullāh ! Saya
memperoleh sebidang tanah di Khaibar, saya belum pernah mendapat
harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku ?
Rasūlullāh menjawab: Apabila engkau mau, maka tahanlah zat (asal)
bendanya dan shodaqahkanlah hasilnya (manfaatnya)”. Kemudian
‘Umar melakukan shodaqah, tidak dijual, tidak dihibahkan dan juga
tidak diwariskan. Ibnu ‘Umar berkata: ‘Umar menyalurkan hasil tanah
itu bagi orang-orang fakir, kaum kerabat, budak belian, orang-orang
yang berjuang di jalan Allah (sabilillah), orang-orang yang kehabisan
bekal di perjalanan (ibnu sabil) dan tamu. Dan tidak berdosa bagi orang
yang mengurusi harta wakaf tersebut makan dari hasilnya dengan cara
yang baik dan tidak berlebihan (dalam batas kewajaran). Kemudian
Ibnu Umar berkata: maka Ibnu Sirin telah mengabarkan kepadaku dan
beliau berkata: makan dengan tidak menumpuk harta.
wakaf bagi para ulama. Pemikiran Abu Hanifah mengenai wakaf pada
di atas sebagai dasar pemikiran Imam Abu Hanifah dapat terlihat dari
pendapat beliau mengenai harta benda yang dapat digunakan sebagai benda
91
Abī Abdullah Muhammad bin Ismā’īl al-Bukhārī, Matan Masykūl Bukhārī, Juz II,
Beirut: Dār al-Fikr, 1994, hlm. 124.
46
wakaf, yakni benda yang berwujud iqār dan mempunyai sifat menetap. Hal
6*4$f
0! *+ ,- ,T*z! 4I/g 6*8 ! '4$5 {
*5
&
() ;E*/ M5 6*4$f
0!! ,T
*b |J M/
& EJg} f ,
u* 4
٩٢
u* 4 ;#! *+ ,- ,~,
eJ
“Keberadaan mauquf termasuk sesuatu yang tidak bisa dipindah dan
menyebar seperti iqār dan yang serupa, maka tidak diperbolehkan
wakaf manqul seperti yang dimaksud. Karena perkara yang telah kami
sebutkan bahwa ta’bīd itu merupakan syarat kebolehan wakaf, dan
wakaf manqūl itu tidak ta’bīd karena manqūl kemungkinan kerusakan
itu besar, maka tidak diperbolehkan wakaf manqūl seperti yang
dimaksud.”
92
‘Alauddin Abī Bakri bin Mas’ūd al-Kāsānī, op. cit., Juz VIII, hlm. 398-400.
93
Abī al-Hasan Alī bin Abī Bakar (Syeikh Islam Burhanuddin), al-Hidāyah Syarh
Bidāyah al-Mubtadī, Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, t.th., hlm. 17.
47
C. Metode Istinbath Hukum Abu Hanifah
:
6*? "$ m=q& ;- b& U
}t- ;b!
}o :
N m=q
L
:
6*? "$? ! :
Ng ^ b
U
}t- CF
! d?! ;) :
(
Jq& , B ]u
! B ;h& 6*4 m=q& d?! ;) :
(
B
! B
! RI/
d>
Jo o JF
(E
}t-, d>c 6*
d* B
!bo Gg b&
.f
B
I?! B5?
seperti apa yang ia ucapkan tersebut. Yaitu Al-Qur’an, sunnah, atsār dan
ijtihad.
Abu Hanifah berpegang kepada riwayat orang terpercaya dan menjauhkan diri
94
Ramli SA, Muqaranah Madzahib fi al Ushul, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999, hlm.
21.
48
dari keburukan serta memperhatikan muamalah manusia dan adat atau ‘urf
mereka itu. Dia memegangi qiyās, apabila suatu masalah tidak baik didasarkan
kepada qiyās, beliau memegangi istihsān selama yang demikian itu dapat dia
lakukan. Kalau tidak, maka beliau berpegang pada adat atau ‘urf.95 Jadi jelas,
bahwa dalil fiqh Abu Hanifah adalah al-Kitab, al-Sunnah, Ahwāl al-Shaḫābat,
hukum Islam, baik yang diistinbathkan dari al-Qur’an maupun al-Hadits. Dia
hukum. Hal itu sengaja dilakukan agar tidak ada kesan, bahwa ia kurang
Imam Abu Yusuf berkata: “Saya belum pernah melihat orang yang
lebih mengerti tentang hadits dan tafsirnya selain Abu Hanifah. Ia tahu akan
’illat-’illat hadits, mengerti tentang ta’dil, tarjiḫ dan tentang tingkatan hadits
yang sah atau tidak”. Bahkan Abu Hanifah sendiri pernah berkata: “Jauhilah
tidak menurut hadits-hadits Nabi”. Dia memang sangat selektif terhadap hadits,
95
T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, “Pengantar….”, op. cit., hlm. 86.
96
T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, “Pokok-pokok Pegangan….”, op. cit., hlm. 146.
97
Huzaemah Tahido Yanggo, op. cit., hlm. 98.
49
sehingga hadits yang dipandang lemah ditinggalkan dan lebih mengutamakan
rasio.98
akibatnya dalam penerimaan hadits ia sangat ketat, karena pada waktu itu kota
banyak memakai ra’yu dan rasionalisasi nash. Dia sering memakai qiyās dan
dilatarbelakangi alasan di atas, juga karena dalam masyarakat Irak pada waktu
hukum baru yang tidak dapat menggunakan penalaran dari nash saja, serta juga
dikarenakan jauhnya wilayah Irak dari sumber hadits, yaitu Makkah dan
Madinah. Oleh karena itu, ia dalam berijtihad banyak memakai dasar ra’yu
berikut:
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan nama kitab suci yang diturunkan Allah kepada nabi
Muhammad saw. Dalam kajian Ushūl Fiqh, al-Qur’an disebut dengan al-
98
M. Ali Hasan, op. cit, hlm. 186.
99
Asywadie Syukur, Pengantar Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, Surabaya : Bina Utama, 1999,
hlm. 39. Mengenai kriteria hadits ahad menurut Imam Abu Hanifah dapat juga dilihat dalam
Muhammad bin Hasan al-Jahwī al-Su’ālabī al-Fāsīy, al-Fikru al-Sāmīy fi Tārīkh al-fiqhu al-
Islāmīy, Beirut: Dār al-Kutb al-Ilmiyah, t.th., hlm. 425.
100
Nasroen Haroen, Ushul Fiqh, Jakarta : Logos, 1996, hlm. 20.
50
∩⊄∪ zŠÉ)−Fßϑù=Ïj9 “W‰èδ ¡ ϵ‹Ïù ¡ |=÷ƒu‘ Ÿω Ü=≈tGÅ6ø9$# y7Ï9≡sŒ
Artinya: “Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi
mereka yang bertaqwa”. (Q.S. Al Baqarah: 2)
2. Al-Sunnah
Al-sunnah secara etimologis berarti: ”Jalan yang bisa dilalui atau yang
senantiasa dilakukan, apakah cara itu sesuatu yang baik atau yang buruk”.
fiqh dan lama menemani Rasulullah dan faham akan al-Qur’an serta
hukum untuk kaum muslimin. Dalam masalah ini, tidak ada perbedaan
dijangkau oleh akal merupakan hujjah atas kaum muslimin, karena hal itu
4. Al-Ijma’
101
Ibid, hlm.38.
102
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama, 1994, hlm. 135.
51
… 4 Éb=ègø:$# ÏMt6≈uŠxî ’Îû çνθè=yèøgs† βr& (#þθãèuΗødr&uρ ϵÎ/ (#θç7yδsŒ $£ϑn=sù
Menurut istilah para ahli ushūl fiqh, ijma’ adalah “kesepakatan seluruh
mujtahid dikalangan umat Islam pada masa setelah Rasulullah wafat atas
hukum syara’ mengenai suatu kejadian. Apabila terjadi suatu kejadian yang
dihadapkan pada semua mujtahid dari umat Islam pada suatu kejadian itu
5. Al-Qiyās
Qiyās menurut para ahli ushul fiqh sebagaimana dikutip Abdul Wahhab
Sesuai dengan ta’rīf tersebut, maka apabila suatu peristiwa yang hukumnya
telah ditetapkan oleh suatu nash dan illat hukumnya telah diketahui
menurut satu cara dari beberapa cara mengetahui illat hukum, kemudian
didapatkan suatu peristiwa lain yang hukumnya sama dengan illat hukum
dari peristiwa yang sudah mempunyai nash tersebut, maka peristiwa yang
tidak ada nash tersebut disamakan dengan hukum peristiwa yang ada
103
Abdul Wahhab Khallaf, op, cit., hlm.56.
104
Ibid., hlm. 66.
52
nashnya, lantaran adanya persamaan illat hukum pada kedua peristiwa
tersebut.105
itu, apabila suatu peristiwa yang tidak ada nashnya, akan tetapi illatnya
sesuai dengan illat suatu peristiwa yang sudah ada nashnya dan diduga
oleh undang-undang.
karena itu, tidak mungkin nash-nash yang terbatas itu dijadikan sebagai
105
Muchtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam,
Bandung: al-Ma’arif, 1997, hlm. 66.
106
Ibid, hlm. 74-75.
53
sumber terhadap kejadian-kejadian yang tidak terbatas. Dengan
kemaslahatan.
c) Al-Qiyās adalah dalil yang sesuai dengan naluri manusia dan logika
sesuatu yang berlaku pada salah satu dari dua hal serupa, berlaku pula
pada yang lain selama tidak ada sesuatu yang membedakan antara dua
hal tersebut.107
6. Istihsān
seorang mujtahid dari tuntunan qiyās yang jalli (nyata) kepada tuntutan
qiyās yang khafi (samar), atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum
7. Al-‘Urf
Al-‘Urf adalah “sesuatu yang telah dikenal oleh orang banyak dan telah
107
Lihat juga, Muhammad bin Hasan al-Jahwi al-Syu’âlabi al-Fâsiy, op. cit., hlm. 426.
108
Abdul Wahhab Khallaf, op. cit., hlm. 110. Penjelasan lain tentang istihsān Imam Abu
Hanifah juga dapat dilihat dalam Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqhu al-Islamiy, Beirut: Dār al-Fikr,
t.th., hlm. 780.
54
meninggalkan. Ia juga disebut “adat”. Menurut istilah ahli syara’, tidak ada
ulama yang dikenal dengan sebutan ahli al-ra’yu dalam berijtihad. Hal ini
atas.
Abu Hanifah tidak ditulis apalagi dijelaskan dalam kitab Badāi’ al-Shanāi’.
Dalam kitab tersebut hanya disebutkan dalam kalimat “wa lau waqofa
disebutkan.110
hukum Imam Abu Hanifah tentang wakaf pada dasarnya disandarkan pada
hadits tanah Khaibar dengan indikasi kesamaan hak wakif atas benda yang
109
Ibid, hlm. 123.
110
‘Alauddin Abī Bakri bin Mas’ūd al-Kāsānī, op. cit., Juz VIII, hlm. 400.
55
bihā”.111 Dengan demikian, meski tidak tertulis apalagi dijelaskan secara
dimengerti bahwa proses pemikiran Abu Hanifah tentang wakaf buku dapat
digunakan sebagai benda wakaf yang bersumber pada hadits utama tentang
wakaf. Jadi proses ra’yu tetap berpijak pada dasar hukum Islam yang telah ada.
Secara lebih jelas, pemaparan tentang proses ra’yu Imam Abu Hanifah
1. Berdasar pada hadits tentang pemanfaatan tanah Khaibar oleh Umar setelah
wakaf-wakaf tertentu.
Abu Hanifah tentang wakaf. Dalam aspek harta benda yang dijadikan
sebagai obyek wakaf, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa hanya harta
benda yang memiliki sifat menetap atau mengikuti pada iqār yang dapat
111
Ibid., hlm. 382
56
menurut beliau tidak dapat dijadikan sebagai obyek wakaf, terkecuali
tentang hak wāqif atas harta benda yang diwakafkan. Selama tidak untuk
terhadap harta benda yang dijadikan sebagai obyek wakaf, termasuk hak
Hanifah dapat disebut sebagai metode ra’yu yang mengacu pada substansi
57
BAB IV
Hukum Islam dibangun sesuai dengan fungsi dari agama Islam sebagai
J B B 5/
v- d
) '
I b !
“Dan tidaklah Allah jadikan bagimu dalam agama suatu kesulitan.”
(Q.S. al-Hajj: 78).
belum ada kejelasan hukum dalam sumber hukum Islam. Langkah inilah yang
kemudian dikenal dengan jalan ijtihad. Proses ini merupakan sebuah langkah
mengalami perubahan sebagai dampak dari perubahan zaman. Hal ini menurut
58
“Ketentuan-ketentuan hukum dapat berubah dengan berubahnya
masa”112
tidak selamanya hasil ijtihad senantiasa sama antara satu mujtahid dengan
mujtahid lainnya. Hal ini salah satunya dapat terlihat pada pendapat ulama
tentang wakaf harta benda bergerak. Dalam lingkup ulama mazhab, Imam
mengenai wakaf benda bergerak. Oleh sebab itu, ada baiknya sebelum
imam mazhab yang lain, yakni Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Hambali
112
Wahbah az-Zuhaili, Konsep Darurat dalam Hukum Islam Studi Banding dengan
Hukum Positif, terj. Said Agil Hussain al-Munawwar dan M. Hadri Hasan dari judul asli
Nazhariyah al-dharurah al-Syar’iyah Muqaranah Ma’a al-Qanun al-Wadli’i, Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1997, hlm. 51.
113
Secara lebih jelas dapat dilihat dalam Muhammad Abu Zahrah, Muhādharāt fī al-
Waqf, Kairo: Dār al-Fikr, t.th, hlm. 41
59
satu hadits Nabi Muhammad SAW yang menjelaskan tentang perintah Nabi
NOP
B JG) .Q l$/
kI :ihh /
^ ;$) :
( jJ5J> %& B)
:.Q :
6*? 64- ,p7I/
! /*/
B /q!.'n Bo K$G- ,m /
()
,
/q
*Gs dEt- /q &! ,:
T$cM-
4-
g
o r o 'n Bo d4$5
.Q :
6*? d) pI/
&! ,:
'? ^ T)& ! ;)
u& Vo !
١١٤
(;) y#) ;& *$ 'bJ/
d)
& mJI& : 6 x ,w! v7 ) v-
“Dari Abu Hurairah r.a dalam shahīhain, Nabi SAW mengutus Umar
bin Khatab untuk mengambil shadaqah, kemudian Ibnu Jamil, Khalid
bin Walid dan Ibnu Abbas tidak memberikan (zakat), maka Rasulullah
SAW bersabda: Ibnu Jamil tidak akan dibebani hukuman kecuali
apabila dia fakir kemudian Allah memberikan kekayaan kepadanya,
sedangkan terhadap Khalid, maka kamu sekalian telah mendzaliminya
karena sesungguhnya dia telah menahan baju besi dan peralatan perang
di jalan Allah (fī sabīlillāh), sedangkan Abbas adalah paman
Rasulullah SAW, maka zakatnya menjadi tanggunganku begitu pula
shadaqah semisalnya. Kemudian beliau bersabda: hai Umar, tidakkah
engkau merasa bahwa paman seorang lelaki mewakili ayahnya” (H.R.
Mutafaq ‘Alaih)
adanya aspek “ihtabasa” terhadap baju besi dan peralatan perang yang
dilakukan oleh Khalid bin Walid di jalan Allah (fī sabīlillāh). Imam Nawawi –
bahwa Umar bin Khattab menyangka baju besi dan peralatan perang milik
Khalid bin Walid adalah barang dagangan, sehingga akan ditarik zakat oleh
114
‘Alauddīn Abī Bakri bin Mas’ūd al-Kāsānī, Badāi’ al-Shanāi’, Juz VIII, Beirut: Dār
al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th., hlm. 398; lihat juga hadits yang sama namun berbeda redaksi dalam
Ahmad bin al-Syāfi’ī, Bulūgh al-Marām, Beirut: Dār al-Kutub al-Islamiyah, t.th., hlm. 235.
60
Umar bin Khattab. Kemudian Khalid bin Walid tidak menunaikan zakat. Oleh
Nabi Muhammad SAW apa yang dilakukan Khalid bin Walid tidak disalahkan
dan bahkan Umar dianggap telah menganiaya apabila menarik zakat dari
Khalid bin Walid dengan alasan harta benda milik Khalid bin Walid telah
wakaf melainkan hadits tentang zakat. Pendapat Imam Abu Hanifah tersebut
sabīlillāh. Dasar itulah yang kemudian dijadikan penguat pendapat Imam Abu
Hanifah untuk menentang atau menolak pendapat ulama masa itu yang
Hal ini dapat disandarkan pada dua aspek dasar yang terkandung dalam hadits
tersebut, yakni:
Khalid bin Walid adalah menyuruh Umar untuk menarik shadaqah wajib
(zakat). Indikasi dari hal tersebut adalah adanya kata “’alā” yang
mendahului kata “al-shadaqah”. Salah satu fungsi dari kata “’alā” adalah
115
Sebagaimana dijelaskan oleh Imam Syihab al-Din Abi al-Abbas Ahmad bin
Muhammad al-Syafi’i, Irsyād al-Sārī Syarh Shahīh al-Bukhārī, Juz III, Beirut: Dār al-Kutub al-
Ilmiyah, t.th., hlm. 570.
116
Muhammad bin Ismā’īl al-Kahlānī al-Shan’ānī, Subul al-Salām, Juz III, Semarang:
Toha Putra, t.th., hlm. 89.
61
kerja).117 Dalam hadits tersebut kata “’alā” menjadi penghubung antara
tentang shadaqah wajib dalam hadits di atas juga didukung dengan kalimat
berikut:
m /
() NOP
B JG) .Q l$/
kI
memiliki kemiripan dalam struktur kebahasaan dengan kalimat berikut:
117
Ibnu Hisyam, Mughnī al-Labīb, Juz I, Beirut: al-Maktabah al-Ashriyyah, 1992, hlm.
163.
62
[,qF
dF wI o
Apabila diuraikan, maka kalimat pembanding akan memiliki susunan
[,qF
dF 7GH :
kI o
Dalam kalimat pembanding tersebut, yang terkena hukum wajib
adalah bukan pada siapa yang disuruh atau diutus, melainkan hakekat
wajib berupa zakat melainkan nafkah. Karena zakat dan nafkah merupakan
jenis dari shadaqah wajib. Namun jika dikaji secara utuh hubungan
kalimat, maka akan terjawab bahwa shadaqah yang dimaksud dalam hadits
63
Sebagaimana disebutkan di atas, perbuatan yang dilakukan oleh
kata “ihtabasa”.
asbāb al-Wurūd dari hadits mengenai perintah Nabi kepada Umar ra untuk
“ihtabasa” pada hadits di atas adalah hadits dari Nabi Muhammad SAW
:
*) B
$C D EF
:
) B 7GH $C I? B " $C
N
NOP
B JG)
:G$) :
( JG) B
B) K-E LME
L
::
6*? 5 :64- - TJM5 .Q R$/
(-
" :6 Y; LJM G- ,;$ D$) V#E
W .
U
! .>*5 ! ]5 ;E
JG) [ - :6 " !
B
! :
'? ^! NJ/
^! %J4/
^! `
J4#/
^ [ ! .\*5
64
e!JIf $ 'gM5
/! B () a$b ! ,0_/
! '/
١١٨
'CM c :64- B5J? B
; \h- 6 .6*G c dIO5!
“Telah mengkabarkan kepada kami Quthaibah bin Said, telah
mengabarkan kepada kita Muhammad bin Abdullah al-Anshori, telah
mengabarkan kepada kita Ibnu ‘Auni, beliau berkata: telah bercerita
kepadaku Nafi’ dari Ibnu Umar r.a: Sesungguhnya Umar bin Khattab
mempunyai tanah di Khaibar, kemudian beliau datang kepada Nabi
untuk memohon petunjuk. ‘Umar berkata: Ya Rasūlullāh ! Saya
memperoleh sebidang tanah di Khaibar, saya belum pernah mendapat
harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku ?
Rasūlullāh menjawab: Apabila engkau mau, maka tahanlah zat (asal)
bendanya dan şadaqahkanlah hasilnya (manfaatnya)”. Kemudian
‘Umar melakukan şadaqah, tidak dijual, tidak juga dihibahkan dan juga
tidak diwariskan. Ibnu ‘Umar berkata: ‘Umar menyalurkan hasil tanah
itu bagi orang-orang fakir, kaum kerabat, budak belian, orang-orang
yang berjuang di jalan Allah (sabilillah), orang-orang yang kehabisan
bekal di perjalanan (ibnu sabil) dan tamu. Dan tidak berdosa bagi
orang yang mengurusi harta wakaf tersebut makan dari hasilnya
dengan cara yang baik dan tidak berlebihan (dalam batas kewajaran).
Kemudian Ibnu Umar berkata: maka Ibnu Sirin telah mengabarkan
kepadaku dan beliau berkata: makan dengan tidak menumpuk harta.
wakaf. Hal ini dikarenakan proses wakaf baru dikenal setelah adanya
hadits tersebut turun setelah adanya hadits Khaibar, maka yang dimaksud
hadits Khaibar.
65
‘Alauddīn Abī Bakri bin Mas’ūd al-Kāsānī. Imam Dahlawi menyatakan
wakaf. Pada masa itu, shadaqah yang dibelanjakan di jalan Allah (fī
shadaqah tersebut telah dimanfaatkan hingga tidak tersisa oleh kaum fakir
sebelumnya.119
perbedaan pendapat yang timbul antara Imam Abu Hanifah dan imam mazhab
(dalam hal ini diwakilkan oleh pendapat Imam Syafi’i) terletak pada
Muhammad SAW kepada Umar untuk menarik shadaqah wajib. Pada satu sisi
Imam Abu Hanifah memiliki pandangan bahwa keberadaan salah satu ashnāf
119
‘Alauddīn Abī Bakri bin Mas’ūd al-Kāsānī, op. cit., hlm. 382.
66
dalam hadits tersebut, yakni fī sabīlillāh, merupakan isyarat dari shadaqah
dalam bentuk zakat. Sedangkan di sisi lain, Imam Syafi’i dan beberapa imam
lainnya menyandarkan pada istilah “ihtabasa” pada kata “habsu” dalam hadits
Nabi kepada Umar mengenai tanah Khaibar yang terkandung maksud dan
tujuan wakaf.
Meskipun dikenal sebagai ahli ra’yu, Abu Hanifah tidak lantas meninggalkan
hukum dalam al-Qur’an, al-Hadits, maupun ijma’ para sahabat, baik yang
belum tertulis maupun yang belum ada kejelasan secara redaksi mengenai
suatu hal.
Pada dasarnya, jalur istinbath hukum Imam Abu Hanifah yang utama
adalah ra’yu. Metode ini kemudian oleh Imam Syafi’i disejajarkan dengan
metode qiyās, akal juga memiliki peranan dalam melakukan analisa hukum
terhadap suatu perkara. Namun menurut penulis, aplikasi antara metode ra’yu
Imam Abu Hanifah dengan metode qiyās Imam Syafi’i berbeda. Perbedaan
tersebut adalah tidak adanya penyamaan ‘illat dalam metode ra’yu Imam Abu
67
sebab itu, metode istinbath Imam Abu Hanifah tidak dapat dianalisa
hukum Imam Abu Hanifah lebih mendasarkan pada aspek penalaran (ma’qūl)
menjadi hasil istinbath. Namun penalaran yang dilakukan oleh Imam Abu
buku, tidak dapat dilepaskan dari istinbath hukum beliau mengenai tidak
wakaf buku merupakan cabang dari tidak bolehnya wakaf manqūl. Sedangkan
melakukan ra’yu pada hadits yang menceritakan tentang dialog Nabi dengan
LME
:
*) B
$C D EF
:
) B 7GH $C I? B " $C
N
NOP
B JG)
r & :G$) :
( JG) B
B) K-E
.
U
L
::
6*? 5 :64- - TJM5 .Q R$/
(M-
120
Mengenai perbedaan istinbath hukum dalam metode ra’yu Imam Abu Hanifah dengan
Imam Syafi’i dapat dilihat dalam Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam Sebuah Pengantar,
Surabaya: Risalah Gusti, 1995, hlm. 87-91.
121
Syaeikh Kāmil Muhammad Muhammad ’Uwaidhah, al-Imām Abū Hanīfah, Beirut:
Daar al-Kutb al-Ilmiyah, 1992, hlm. 150; di bagian lain dalam buku yang sama disebutkan bahwa
metode istinbath Imam Abu Hanifah tidak pernah dibukukan. Lihat hlm. 152. Sedangkan
mengenai aspek penalaran, dapat dilihat dalam hlm. 156.
68
" :6 Y; LJM G- ,;$ D$) V#E
W
[ ! .\*5 ! .>*5 ! ]5 ;E
JG) [ - :6 " !
! ,0_/
! '/
B
! :
'? ^! NJ/
^! %J4/
^! `
J4#/
^
6 .6*G c dIO5! e!JIf $ 'gM5
7/! B () a$b
١٢٢
'CM c :64- B5J? B
; \h-
“Telah mengkabarkan kepada kami Quthaibah bin Said, telah
mengabarkan kepada kita Muhammad bin Abdullah al-Anshori, telah
mengabarkan kepada kita Ibnu ‘Auni, beliau berkata: telah bercerita
kepadaku Nafi’ dari Ibnu Umar r.a: Sesungguhnya Umar bin Khattab
mempunyai tanah di Khaibar, kemudian beliau datang kepada Nabi
untuk memohon petunjuk. ‘Umar berkata: Ya Rasūlullāh ! Saya
memperoleh sebidang tanah di Khaibar, saya belum pernah mendapat
harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku ?
Rasūlullāh menjawab: Apabila engkau mau, maka tahanlah zat (asal)
bendanya dan şadaqahkanlah hasilnya (manfaatnya)”. Kemudian
‘Umar melakukan şadaqah, tidak dijual, tidak juga dihibahkan dan juga
tidak diwariskan. Ibnu ‘Umar berkata: ‘Umar menyalurkan hasil tanah
itu bagi orang-orang fakir, kaum kerabat, budak belian, orang-orang
yang berjuang di jalan Allah (sabilillah), orang-orang yang kehabisan
bekal di perjalanan (ibnu sabil) dan tamu. Dan tidak berdosa bagi
orang yang mengurusi harta wakaf tersebut makan dari hasilnya
dengan cara yang baik dan tidak berlebihan (dalam batas kewajaran).
Kemudian Ibnu Umar berkata: maka Ibnu Sirin telah mengabarkan
kepadaku dan beliau berkata: makan dengan tidak menumpuk harta.
122
Abī Abdullah Muhammad bin Ismā’īl al-Bukharī, op. cit., hlm. 124.
69
hukumnya adalah sunnah. Sedangkan Abu Hanifah dan Zufar berpendapat
hadits di atas tertuju pada tiga kalimat dengan penjelasan sebagai berikut:
1.
benda yang dijadikan obyek adalah benda yang tidak bergerak. Hal ini
Imam Abu Hanifah mengenai jenis benda yang menjadi obyek wakaf
adalah benda yang menetap (tidak bergerak). Hal ini tidak berlebihan
karena beliau menjadikan hadits dan kebiasaan sahabat serta atsār sahabat
2.
123
Zufar yang bernama asli Zufar bin al-Hudzail bin Qais al-Anbari al-Bashri merupakan
sahabat senior Abu Hanifah yang sangat terkenal dengan kecerdasan dalam ber-qiyas.
Sebagaimana dijelaskan dalam Muhammad Abid Abdullah al-Kabisi, Hukum Wakaf Kajian
Kontemporer Pertama dan Terlengkap tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf serta Penyelesaian
atas Sengketa Wakaf, terj. Ahrul Sani F dan Kuwais Mandiri Cahaya Persada, Jakarta: IIMAN
Press, 2003, hlm. 62.
70
Kalimat yang memiliki arti “apabila kamu menginginkan, maka kamu
dapat menahan asalnya” ini menurut Imam Abu Hanifah menjadi esensi
proses wakaf. Maksudnya adalah dalam proses wakaf, harta benda wāqif
yang dijadikan sebagai obyek wakaf tidak akan hilang status kepemilikan
“menahan” yang berarti bahwa harta benda tersebut hanya ditahan dan
Abu Hanifah mengenai tidak berpindahnya hak milik dari wāqif kepada
saat wāqif memiliki harta benda tersebut secara penuh, dalam dzat benda
3. !
Kalimat yang berarti “dan sedekahkanlah darinya (harta yang
penegas bahwa dalam proses wakaf, harta benda yang menjadi obyek
kepemilikan.
71
Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditemukan bahwa hakekat wakaf
dalam pendapat Imam Abu Hanifah adalah wakaf yang berupa benda yang
menetap (tidak bergerak). Terhadap harta benda yang bergerak, Imam Abu
Hanifah tidak menjadikan harta benda yang bergerak sebagai obyek wakaf,
atas tidak lepas dari prinsip istinbath hukum beliau yang dinyatakan dalam
kalimat berikut:
:
( :
6*? "$ m=q& ;-b& U
}t- ;b!
}o :
N m=q
L
;) :
( :
6*? "$? ! :
Ng ^ b
U
}t- CF
! d?! ;)
d* B Jq& , B ]u
! B ;h& 6*4 m=q& d?!
B
I?! B5? B
! B
! RI/
d>
Jo o JF
(E
}t-, d>c 6*
!bo Gg b&
& .f
Abu Hanifah menyandarkan pendapat tentang wakaf kepada ra’yu. Hal ini
dikarenakan di dalam hadits Nabi SAW yang lain tidak ada penjelasan
72
pernyataan tersebut maka kemudian dapat dimafhumi ketika Imam Abu
dilaksanakan oleh Imam Abu Hanifah disandarkan pada tradisi sahabat yang
digunakan oleh para ulama mengenai kebolehan wakaf benda bergerak. Hadits
tersebut adalah hadits yang menceritakan ketika Nabi memerintah Umar untuk
NOP
B JG) .Q l$/
kI :ihh /
^ ;$) :
( jJ5J> %& B)
:.Q :
6*? 64- p7I/
! /*/
B /q! .'n Bo K$G- m /
()
,
/q
*Gs dEt- /q &! ,:
T$cM-
4-
g
o r o 'n Bo d4$5
.Q :
6*? d) pI/
&! ,:
'? ^ T)
! ;)
u& Vo !
١٢٥
(;) y#) ;& *$ 'bJ/
d)
& mJI& : 6 x ,w! v7 ) v-
“Dari Abu Hurairah r.a dalam shahīhain, Nabi SAW mengutus Umar
bin Khatab untuk mengambil shadaqah, kemudian Ibnu Jamil, Khalid
bin Walid dan Ibnu Abbas tidak memberikan (zakat), maka Rasulullah
SAW bersabda: Ibnu Jamil tidak akan dibebani hukuman kecuali
apabila dia fakir kemudian Allah memberikan kekayaan kepadanya,
sedangkan terhadap Khalid, maka kamu sekalian telah mendzaliminya
karena sesungguhnya dia telah menahan baju besi dan peralatan perang
di jalan Allah (fī sabīlillāh), sedangkan Abbas adalah paman
Rasulullah SAW, maka zakatnya menjadi tanggunganku begitu pula
shadaqah semisalnya. Kemudian beliau bersabda hai Umar, tidakkah
engkau merasa bahwa paman seorang lelaki mewakili ayahnya”
(H.R. Mutafaq ‘Alaih)
125
‘Alauddīn Abī Bakri bin Mas’ūd al-Kāsānī, op. cit., hlm. 398; lihat juga hadits yang
sama namun berbeda redaksi dalam Ahmad bin al-Syafi’i, Bulūgh al-Marām, Beirut: Daar al-
Kutub al-Islamiyah, t.th., hlm. 235.
73
Para ulama yang berpendapat membolehkan wakaf benda bergerak
besi dan peralatan perang untuk sabilillah”. Kalimat itu dipandang oleh para
wakaf benda bergerak, karena adanya hakekat manqūl (benda bergerak), yakni
baju besi dan peralatan perang. Oleh karena adanya habsu (penahanan) baju
besi dan peralatan perang, maka para ulama berkesimpulan bahwa wakaf
Namun oleh Imam Abu Hanifah, hadits di atas tidak dapat dijadikan
hujjah sebagai kebolehan wakaf benda bergerak. Abu Hanifah menolak esensi
wakaf pada hadits tentang Khalid bin Walid di atas. Alasan beliau juga tidak
dapat dilepaskan dari proses ma’qūl beliau terhadap matan hadits di atas,
khususnya pada kalimat yang dijadikan dasar para ulama yang membolehkan
wakaf benda bergerak. Menurut Imam Abu Hanifah, kalimat tersebut tidak
pada zakat. Hal ini dikuatkan dengan adanya penyebutan salah satu dari
dari syarat wakaf yang diberikan oleh Abu Hanifah yang menyebutkan bahwa
syarat benda wakaf adalah tahan lama. Sedangkan benda bergerak tidak
memiliki sifat tahan lama karena berpeluang besar mudah rusak.127 Hal ini
126
Sebagaimana termaktub dalam Muhammad bin Ismā’īl al-Kahlānī, Subul al-Salām,
Semarang: Toha Putra, t.th., hlm. 89.
127
‘Alauddin Abī Bakri bin Mas’ūd al-Kāsānī, op.cit., hlm. 400.
74
sekaligus mengindikasikan bahwa tentu ada alasan-alasan yang dijadikan
pengertian, yakni tahan lama terhadap dzat benda dan tahan lama terhadap
pemanfaatan wakaf serta hakekat harta benda dan hak pemiliknya menurut
Imam Abu Hanifah yang mana kedua aspek ini memiliki hubungan dan saling
terikat.
1. Ta’bīd terhadap dzat (mauqūf) dalam perspektif konsep harta benda dan
Harta benda menurut Abu Hanifah terbagi menjadi dua jenis, yakni
harta benda yang tidak bergerak (‘iqār) dan harta benda yang bergerak
(manqūl). Harta benda tidak bergerak adalah tanah sedangkan harta benda
bergerak adalah harta benda selain tanah. Harta bergerak oleh Abu
Hanifah dibedakan menjadi dua, yakni harta bergerak yang lepas dari ‘iqār
Kedua jenis harta benda tersebut (‘iqār dan manqūl) dapat disebut
dapat dimiliki dan dapat digunakan manfaatnya. Jadi apabila suatu harta
harta benda menurut Imam Abu Hanifah sudah tidak dapat dianggap
sebagai harta benda lagi. Suatu contoh misalnya, seseorang memiliki harta
75
benda berupa mobil, namun apabila mobil tersebut rusak sehingga tidak
dapat digunakan sesuai fungsi manfaatnya, maka mobil tersebut tidak lagi
dapat disebut sebagai harta benda karena sudah hilang nilai manfaatnya.128
Kaitan antara konsep harta benda dengan syarat ta’bīd yang tidak
terpenuhi oleh wakaf manqūl dalam pendapat Imam Abu Hanifah tidak
dapat dilepaskan dari hak pemilik harta benda. Maksudnya adalah bahwa
wakaf menurut Imam Abu Hanifah. Dalam konsep wakafnya, Imam Abu
qaul Nabi SAW tersebut jelas sekali bahwa ada dua penekanan, yakni:
128
Mengenai hakekat harta benda menurut Imam Abu Hanifah dapat dilihat dalam Lihat
dalam Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, Juz, IV, Beirut: Dar al-Fikr, 1989, hlm.
56-58.
76
Dengan demikian benda bergerak (manqūl) memiliki peluang
pemanfaatan benda dari satu orang kepada orang lain. Hal yang demikian
ini akan sangat sulit bagi wāqif untuk melakukan pengawasan, khususnya
wakafnya wāqif sebab dalam konsep harta benda Imam Abu Hanifah
menyatakan bahwa harta benda yang telah tidak memiliki fungsi manfaat
tidak lagi dapat disebut sebagai harta benda. Demikian pula halnya dalam
wakaf yang berarti wakaf akan terhenti oleh karena rusaknya benda yang
lainnya, seperti zakat, infaq, maupun sedekah. Ketiga jenis shadaqah yang
77
atau sekelompok orang, sedangkan shadaqah wakaf lebih ditujukan untuk
lingkup yang luas, yakni umat manusia. Nabi SAW juga menjelaskan
padahal individu yang lain tersebut juga memiliki hak untuk mendapatkan
shadaqah. Hal itu menurut beliau SAW tidak baik dan tidak bermanfaat
untuk umat (wa lā anfa’ lil ‘āmmah), oleh sebab itulah kemudian beliau
manusia dalam skala besar dan luas, lebih besar dari perorangan (nafs),
(aqwām). Istilah ‘āmmah juga tidak mengenal batas, seluruh aspek, baik
kelompok orang saja, maka hal itu belum dapat menjadi ukuran telah
diwakafkan (mauqūf) untuk lingkup umat. Hal ini mungkin bisa menjadi
129
Mengenai sejarah wakaf dijelaskan oleh Imam Dahlawi sebagaimana dikutip dalam
‘Alauddin Abī Bakri bin Mas’ūd al-Kāsānī, op. cit., hlm. 382.
78
tidak bolehnya wakaf manqūl. Karakteristik wakaf manqūl yang dapat
oleh umat manusia. Hal ini berbeda dengan wakaf manqul. Memang ada
waktu yang bersamaan dan dalam jangka waktu yang lama karena adanya
manqūl tidak dapat memenuhi aspek tahan lama (ta’bīd) dalam hal
harta benda yang diwakafkan adalah harta benda yang memiliki sifat tahan
lama seperti benda yang tidak bergerak atau ‘iqār (seperti tanah maupun
benda manqūl yang masih menyatu dengan ‘iqār). Sebab apabila harta benda
yang diwakafkan tidak memiliki sifat tahan lama, maka akan dapat
79
menghilangkan substansi wakaf yang melekat pada harta benda yang
diwakafkan. Apabila telah hilang substansi wakaf (nilai manfaat dari benda
yang diwakafkan), maka secara otomatis akan berakhir pula wakaf seseorang.
Terkait dengan harta benda bergerak yang lepas dari ‘iqār yang tidak
disandarkan pada hakekat pengawasan dari wāqif. Apabila harta benda yang
bergerak dijadikan sebagai harta wakaf, maka secara tidak langsung akan
wakaf akan sulit diketahui apakah kemanfaatan bagi umat masih ta’bīd atau
sudah tidak tahan lama karena hanya dikuasai dan digunakan oleh beberapa
orang tertentu saja. Jadi ta’bīd dalam pemikiran Abu Hanifah tidak hanya
disandarkan pada sisi kualitas barang atau benda yang diwakafkan saja, namun
juga disandarkan pada sisi manfaat kegunaan untuk umat Islam dalam lingkup
yang luas.
Hal tersebut di atas juga dapat diperjelas dengan istinbath Nabi SAW
Nabi SAW tentang wakaf tidak terlepas dari praktek sedekah yang terjadi
secara perorangan. Tidak jarang sedekah tersebut akan langsung habis atau
80
orang yang membutuhkan lainnya tidak dapat merasakan manfaat dari harta
harta benda yang disedekahkan. Bagi Nabi SAW, hal ini tidak baik sehingga
manqūl pada tidak terpenuhinya sifat ta’bīd sebagai syarat mauqūf tidak lain
adalah karena adanya aspek peluang kerusakan apabila harta wakaf tersebut
bergerak (manqūl) sebagai harta yang diwakafkan kepada tidak adanya sifat
tidak terpenuhinya sifat ta’bīd, baik ta’bīd pada hakekat bendanya maupun
ta’bīd pada kemanfaatan untuk umat banyak. Jadi sifat manqūl di-qiyās-kan
pada syarat ta’bīd di mana sifat bergeraknya suatu benda dari pengawasan
wāqif dalam wakaf manqūl akan menjadi penyebab hilangnya sifat ta’bīd.
disebutkan dalam hadits maupun yang dipraktekkan oleh para sahabat. Jadi
istinbath hukum yang dilakukan oleh Imam Abu Hanifah menurut penulis
adalah berdasar pada penalaran ra’yu beliau dengan menjabarkan kata atau
130
Sebagaimana dijelaskan dalam tahqiq kitab Badāi’ al-Shanāi’. Lihat, Ibid.
81
C. Analisis terhadap Penerapan Pendapat Imam Abu Hanifah tentang
Pendapat Imam Abu Hanifah tentang tidak bolehnya wakaf buku dan
melihat realitas kebutuhan pengetahuan saat ini tentu akan berdampak pada
munculnya kesulitan yang akan dihadapi oleh umat Islam. Kesulitan yang
dimaksud tidak lain adalah tidak adanya wakaf buku sebagai sumber
ini maka wakaf buku sebenarnya sangat dibutuhkan untuk menambah sumber
sebuah peradaban keilmuan yang diperoleh dari hasil sedekah berupa wakaf.
mewakafkan buku mereka. Hal ini tentu akan menimbulkan madlarat bagi
buku-buku tersebut dapat diperoleh dengan jalan membelinya. Namun hal itu
dapat digunakan untuk sedekah bagi umat Islam dalam bidang ekonomi. Akan
82
tetapi karena adanya pendapat Imam Abu Hanifah tersebut, tentu akan
keberadaan buku akan dapat terpenuhi melalui proses wakaf buku; sedangkan
uang yang dialokasikan untuk pembelian buku akan dapat digunakan untuk
digunakan untuk pembelian buku akibat adanya larangan wakaf buku. Hal ini
mendasar dan perlu segera diatasi. Hal ini tidak berlebihan karena Nabi SAW
yang lebih besar. Hal ini tentu kurang sesuai dengan kaidah hukum Islam yang
menjelaskan bahwa suatu hasil ijtihad tidak boleh menimbulkan madlarat yang
besar melainkan harus memilih madlarat yang lebih kecil. Hal ini sebagaimana
83
B57J/
ds)&! B5J7_/
7 & ]7/
J !&
7J I
}o
“Apabila dihadapkan pada dua keburukan atau dua kemudlaratan
yang saling bertentangan maka syara’ memilih menghindari salah
satu yang terberat dari keduanya.”.131
memiliki sisi positif dalam wakaf, khususnya yang berkaitan dengan wakaf
manqūl. Sisi positif tersebut tidak lain adalah alasan penyandaran wakaf
manqūl kepada tidak adanya sifat ta’bīd yang menyebabkan pendapat beliau
oleh Imam Abu Hanifah tersebut dapat menjadi acuan umat Islam dalam
lama), yakni tahan lama dalam bendanya dan tahan lama dalam hal lingkup
diperhatikan kondisi buku setiap waktu dan perlu adanya pengawasan dalam
131
Wahbah az-Zuhaili, Konsep Darurat dalam Hukum Islam Studi Banding dengan
Hukum Positif, terj. Said Agil Hussain al-Munawwar dan M. Hadri Hasan dari judul asli
Nazhariyah al-dharurah al-Syar’iyah Muqaranah Ma’a al-Qanun al-Wadli’i, Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1997, hlm. 348.
84
diperbolehkan untuk dibawa pulang melainkan tetap berada di tempat yang
untuk umat yang banyak masih terjaga. Bandingkan apabila buku tersebut
terlambat tidak akan dapat mendapatkan manfaat dari buku tersebut pada saat
buku tersebut dibawa pulang sehingga akan menjadi mahrūmīn seperti yang
Imam Abu Hanifah tentang tidak bolehnya wakaf buku apabila dipraktekkan
pada masa sekarang kurang sesuai dengan kaidah hukum Islam karena akan
manqūl pada tidak terpenuhinya ta’bīd dalam pendapat Abu Hanifah dapat
dijadikan acuan umat Islam dalam mengelola wakaf buku sehingga esensi
fungsi wakaf tetap terjaga karena adanya ta’bīd yang tidak hanya pada benda
wakaf semata namun juga menyangkut tahan lama kemanfaatan bagi orang
banyak.
85
BAB V
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
pendapat beliau tentang wakaf benda bergerak yang oleh beliau tidak
menjadi obyek benda wakaf dalam hadits Khaibar yang memiliki sifat
tetap. Oleh sebab itu, maka benda wakaf yang berupa benda bergerak
memenuhi syarat ta’bīd karena tidak memenuhi aspek tahan lama dalam
hal dzat bendanya dan manfaat untuk umat manusia. Perbedaan pendapat
yang timbul antara Imam Abu Hanifah dan imam mazhab (dalam hal ini
Umar untuk menarik shadaqah wajib. Pada satu sisi Imam Abu Hanifah
zakat. Sedangkan di sisi lain, Imam Syafi’i dan beberapa imam lainnya
Nabi kepada Umar mengenai tanah Khaibar yang terkandung maksud dan
tujuan wakaf.
86
2. Istinbath hukum yang dilakukan oleh Imam Abu Hanifah mengenai tidak
darinya) yang mana dari ma’qūl yang dilakukan itu kemudian lahirnya
konsep wakaf Imam Abu Hanifah. Dari proses ra’yu tersebut didapatkan
konsep wakaf Imam Abu Hanifah yakni wakaf yang diperbolehkan adalah
wakaf harta yang menetap yang didasarkan pada aspek tanah (ardl). Hal
ini kemudian menimbulkan akibat bahwa harta benda yang tidak menetap
tidak boleh diwakafkan. Jadi istinbath hukum yang dilakukan oleh Imam
3. Pendapat Imam Abu Hanifah tentang tidak bolehnya wakaf buku apabila
Islam karena akan dapat menimbulkan madlarat yang besar dan hanya
dijadikan acuan umat Islam dalam mengelola wakaf buku sehingga esensi
fungsi wakaf tetap terjaga karena adanya ta’bīd yang tidak hanya pada
87
benda wakaf semata namun juga menyangkut tahan lama kemanfaatan
B. Saran-saran
1. Meski pendapat Imam Abu Hanifah tentang tidak bolehnya wakaf buku
C. Penutup
penyusunan skripsi ini. Berkaca pada ungkapan bijak bahwa tak ada gading
yang tak retak, maka penulis dengan kerendahan hati memohon kritik dan
saran yang bersifat membangun sebagai bahan evaluasi hasil karya ini. Di
balik kekurangan dan kesalahan karya ini, penulis berharap semoga karya ini
88
DAFTAR PUSTAKA
‘Alauddīn Abī Bakri bin Mas’ūd al-Kāsānī, Badāi’ al-Shanāi’, Juz VIII, Beirut:
Daar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th.
Abdul Azis Dahlan (et.al.), Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ikhtiar Baru Van
Hoeve, 1996.
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama, 1994.
Abī Abdullah Muhammad bin Ismā’īl al-Bukhārī, Matan Masykūl Bukhārī Juz II,
Beirut: Daar al-Fikr, 1994
Abī al-Hasan Ali bin Abi Bakar (Syeikh Islam Burhānuddīn), al-Hidāyah Syarh
Bidāyah al-Mubtadīy, Beirut: Daar al-Kutb al-Ilmiyah, t.th.
Abī Yahyā Zakariyā al- Anshārī, Fath al- Wahhāb, Juz I, Semarang: Toha Putra,
t. th..
Ahmad al-Syurbasi, “Al- Aimatul Arba’ah”, terj. Sabil Had dan Ahmadi, Sejarah
dan Biografi Imam Empat Mazhab, Jakarta: Bumi Aksara, 1993.
Ahmad bin al-Syafi’i, Bulūgh al-Marām, Beirut: Daar al-Kutub al-Islamiyah, t.th
_______, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998, Cet.3.
89
Anton Bekker dan Ahmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat,
Yogyakarta: Kanisius, 1990.
Asywadie Syukur, Pengantar Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, Surabaya : Bina Utama,
1999.
Chalid Narbuko, Metodologi Penelitian, Jakarta: Bumi Aksara, Cet. III, 2001.
Imām Kamāluddīn Muhammad bin Abdul Wāhid al-Sīrāsī, Fath Al-Qadīr, Juz VI,
Beirut: Daar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th
Imam Syihab al-Din Abi al-Abbas Ahmad bin Muhammad al-Syafi’i, Irsyad al-
Sayari Syarih Shahih al-Bukhari Juz III, Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyah,
t.th.
Muhammad Abu Zahrah, Muhādlarāt fī al-Waqf, t.kp: Daar al-Fikr al-Arabi, 1971,
Cet. Ke-II.
Muhammad bin Ismā’īl al-Kahlānī al-Shan’ānī, Subul al-Salām, Juz III, Semarang:
Toha Putra, t.th.
90
Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf, Jakarta : UI Press,
1988.
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta: Basrie Press, Cet.I
1997.
Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam Sebuah Pengantar, Surabaya: Risalah Gusti,
1995.
Ramli SA, Muqaranah Madzahib fi al Ushul, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.
Said Agil Husain Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, Jakarta:
Penamadani, 2004.
Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, Juz III, Beirut : Dar Al-Fikr, t.th.
Tamar Djaja, Hajat dan Perjuangan Empat Imam Mazhab, Solo: Ramadhani,
1984.
Wahbah az-Zuhaili, Konsep Darurat dalam Hukum Islam Studi Banding dengan
Hukum Positif, terj. Said Agil Hussain al-Munawwar dan M. Hadri Hasan
dari judul asli Nazhariyah al-dharurah al-Syar’iyah Muqaranah Ma’a al-
Qanun al-Wadli’i, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997.
_______, Fiqih Islamiy wa Adilatuhu, Beirut: Daar al-Fikr, t.th, Jilid VIII
91
Non Buku:
Enny Dwi Yuniastuti, Studi Analisis Pendapat Imam Hanafi Tentang Pemilikan
Harta Wakaf, Skripsi, Tidak Dipublikasikan, Semarang: Perpustakaan
Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 2002.
Istiqomah, Studi Komparatif Persepsi Imam Hanafi Dan Imam Syafi’i Tentang
Masa Berlakunya Harta Wakaf, Skripsi, Tidak Dipublikasikan, Semarang:
Perpustakaan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 1991.
Lu’lu Ilma’ Sunah, “Wakaf Tunai Ditinjau Dari Hukum Islam”, Skripsi, Tidak
Dipublikasikan, Semarang: Perpustakaan Fakultas Syari’ah IAIN
Walisongo, 2002.
Moh. Nur Kaukab, “Studi Analisis Mengenai Wakaf Pohon Produktif Pada Tabung
Wakaf Indonesia (TWI)”, Skripsi, Tidak Dipublikasikan, Semarang:
Perpustakaan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 2009.
Website:
92
BIOGRAFI PENULIS
93