Anda di halaman 1dari 5

CERPEN

TENTANG

“PERTUNJUKAN HARI KE TUJUH”

BAHASA INDONESIA

D
I
S
U
S
U
N
OLEH :
SLAMET GINANJAR
KELAS IX A
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillahirabbil’alamin kami panjatkan

kehadirat Allah SWT, kami telah menyelesaikan keliping yang berjudul tentang“

Pertunjukan Hari Ketujuh”

Kami tak lupa menyampaikan terima kasih kepada :

Guru Pembimbing dalam Penyusunan keliping ini.


1.
Semua pihak yang ikut membimbing, mengarahkan dan membantu penyusunan
2.
keliping ini.

Harapan kami semoga keliping ini bisa bermanfaat dan menjadikan referensi

bagi kita sehingga dapat mengantisipasi berbagai Seni di Indonesia. 

Keliping yang kami buat ini tentunya masih banyak kekurangan, oleh karena

itu kami mengharapkan saran dan masukan yang bersifat konstruktif demi

kesempurnaan keliping ini.

Linggar Jaya, . . . . . . . . . . . . . . . 2017

Penyusun
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL…………………………………………………………………. I

KATA PENGANTAR…………………………………………………………….…..II

DAFTAR ISI………………………………………………………………………….III

PERTUNJUKAN HARI KE TUJUH……………………………………………….. 1


“Pertunjukan Hari Ketujuh”

INI hari ketujuh Kodrat dan orang-orang lembah Gunung Bokong menggelar

pertunjukan di luar pagar istana negara menanti presiden berkenan menghampiri mereka.

Tetapi mungkinkah presiden berkenan keluar dari istana negara, menemui mereka, dan

bertanya, ”Mengapa Saudara menggelar pertunjukan di tempat ini?”

Kodrat ingin mengatakan semuanya kepada presiden bahwa pabrik semen yang didirikan

di lembang Gunung Bokong merusak alam di daerah kapur itu, mematikan mata air, dan

menghancurkan bumi tempat mereka bertani. Ia, mewakili kehendak warga,

menyampaikan pesan agar pabrik semen

itu segera ditutup.

ilustrasi-cerpen-koran-jawa-pos-minggu-

22-januari-2017 Sungguh aneh, di terik

trotoar ibu kota, Kodrat dan orang-orang

itu memainkan tari, musik rebana,

bershalawat dan berzikir, sebagaimana

mereka lakukan di masjid desa. Tinggal

menanti Kiai Bisri, yang bersedia hadir di

tengah-tengah mereka, menyusul dengan pesawat terbang, hendak membacakan doa

keselamatan bagi orang-orang lembah Gunung Bokong. Matahari hampir mencapai

puncak, Kiai Bistri belum muncul di tengah mereka. Padahal sore nanti ia dan warga

lembah Gunung Bokong bakal meninggalkan trotoar di luar pagar istana negara ini.

Pada pertunjukan hari pertama, Kodrat dan sembilan warga lembah Gunung Bokong

bermain kuda lumping, dengan seperangkat gamelan dan gendang yang dibawa dengan

truk dari desa. Pergelaran yang sunyi. Tanpa penonton. Tak ada tanda-tanda presiden

bakal menghampiri mereka. Malam harinya mereka menginap di rumah Pak Jo, warga
lembah Gunung Bokong yang merantau menjadi sopir angkot di ibukota. Mereka tidur

berjejalan di rumah yang sempit.

Sesekali Kodrat menghibur hati teman-temannya, yang merindukan pulang kembali ke

lembah Gunung Bokong, teringat akan ruma yang luas, ladang dan sapi-sapi piaraan

mereka. Teman-teman yang lain teringat akan istri, lantaran mereka baru saja menikah.

Yang lain lagi teringat akan anak yang lagi lucu-lucunya belajar bicara, berjalan tertatih-

tatih.

Kodrat cemas berharap Kiai Bisri segera menyusul ke istana negara, merestui pergelaran

mereka. Kehadiran Kiai Bisri diharap akan mengundang presiden untuk turun dari istana

negara, dan bertanya, ”Apa yang Saudara tuntut dariku?“

Anda mungkin juga menyukai