Anda di halaman 1dari 2

Hakikat Manusia dan Paradigma Manusia dalam kajian budaya

Hakikat manusia menurut beberapa pandangan :


1. Teori Psikoanalitik
Dalam pandangan psikoanalitik diyakini bahwa pada hakikatnya manusia digerakkan
oleh dorongan-dorongan dari dalam dirinya yang bersifat instingtif. Hal ini
menyebabkan tingkah laku seorang manusia diatur dan dikontrol oleh kekuatan
psikologis yang memang ada dalam diri manusia. Terkait hal ini diri manusia tidak
memegang kendali atau tidak menentukan atas nasibnya seseorang tapi tingkah laku
seseorang itu semata-mata diarahkan untuk mememuaskan kebuTuhan dan insting
biologisnya.
2. Teori Humanistik
Para humanis menyatakan bahwa manusia memiliki dorongan-dorongan dari dalam
dirinya untuk mengarahkan dirinya mencapai tujuan yang positif. Mereka
menganggap manusia itu rasional dan dapat menentukan nasibnya sendiri. Hal ini
membuat manusia itu terus berubah dan berkembang untuk menjadi pribadi yang
lebih baik dan lebih sempurna. Manusia dapat pula menjadi anggota kelompok
masyarakat dengan tingkah laku yang baik. Mereka juga mengatakan selain adanya
dorongan-dorongan tersebut, manusia dalam hidupnya juga digerakkan oleh rasa
tanggung jawab sosial dan keinginan mendapatkan sesuatu. Dalam hal ini manusia
dianggap sebagai makhluk individu dan juga sebagai makhluk sosial.
3. Pandangan Behavioristik
Pada dasarnya kelompok Behavioristik menganggap manusia sebagai makhluk yang
reaktif dan tingkah lakunya dikendalikan oleh faktor-faktor dari luar dirinya, yaitu
lingkungannya. Lingkungan merupakan faktor dominan yang mengikat hubungan
individu. Hubungan ini diatur oleh hukum-hukum belajar, seperti adanya teori
conditioning atau teori pembiasaan dan keteladanan. Mereka juga meyakini bahwa
baik dan buruk itu adalah karena pengaruh lingkungan.

Paradigma manusia dalam kajian budaya


Paradigma interpretif juga memandang realitas sosial itu sesuatu yang dinamis,
berproses dan penuh makna subjektif. Realitas sosial tidak lain adalah konstruksi sosial.
Terkait posisi manusia, paradigma interpretif memandang manusia sebagai makhluk yang
berkesadaran dan bersifat intensional dalam bertindak (intentional human being). Manusia
adalah makhluk pencipta dunia, memberikan arti pada dunia, tidak dibatasi hukum di luar
diri, dan pencipta rangkaian makna. Atas dasar pandangan tersebut, semua tindakan atau
perilaku manusia bukan sesuatu yang otomatis dan mekanis, atau tiba-tiba terjadi, melainkan
suatu pilihan yang di dalamnya terkandung suatu interpretasi dan pemaknaan. Karenanya
setiap tindakan dan hasil karya manusia (dianggap) senantiasa sarat dan diilhami oleh corak
kesadaran tertentu yang terbenam dalam sanubari atau dunia makna pelakunya. Untuk
memahami dunia kehidupan dan tindakan manusia tentu berurusan dengan upaya
menyingkap tabir dunia makna yang tersembunyi di balik yang tampak atau yang terekspresi
di permukaan. Bagi paradigma interpretif yang tampak itu belum tentu yang sesungguhnya.
Yang terbenam di balik yang tampak itulah yang menjadi pencarian peneliti paradigma
interpretif. Menurut Faisal kehidupan seseorang atau kelompok yang terpola dalam dunia
nyata sehari-hari (pattern of life) sesungguhnya merupakan pancaran dari pattern of life yang
terbenam dalam dunia makna mereka. Dengan kata lain, yang tampak adalah pantulan dari
yang tersebunyi. Sejalan dengan pandangan itu, studi terhadap dunia kehidupan dan perilaku
manusia haruslah berpangkal dan bermuara kepada upaya pemahaman (understanding)
terhadap apa yang terpola dalam dunia makna (reasons) atas manusia yang diteliti. Itulah
yang menjadi akar filosofis lahirnya tradisi penelitian kualitatif, yang secara ringkas dapat
diartikan sebagai upaya memahami suatu pemahaman (understanding of understanding). Itu
sebabnya penelitian kualitatif dengan semua ragamnya berada di bawah payung paradigma
interpretif, yang kadang-kadang disebut juga paradigma fenomenologi atau paradigma
definisi sosial.

Anda mungkin juga menyukai