Anda di halaman 1dari 5

PERAN FILSAFAT ILMU DALAM MEMAHAMI PERILAKU MANUSIA

Tugas Esai untuk memenuhi Ujian Akhir Semester


Matakuliah Filsafat Ilmu
Dosen Pengampu: Dr. Arqom Kuswanjono, M.Hum.

Oleh:
Astriani Dwi Aryaningtyas
(18/437383/PPS/03686)

PROGRAM STUDI MAGISTER PSIKOLOGI


FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2019
PERAN FILSAFAT ILMU DALAM MEMAHAMI PERILAKU MANUSIA
Astriani Dwi Aryaningtyas
Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada
astrianidwi@mail.ugm.ac.id

Abstrak.
Selama manusia hidup akan mengalami proses berpikir yang dimana pemikiran tersebut berasal dari
pengalaman lahiriah dan batiniah seperti yang diungkapkan oleh filsuf aliran empirisme, John Locke.
Hasil berpikir manusia akan menjadikan perilaku manusia, yang bisa terbentuk dari kebiasaan
(habituasi) atau kondisioning yang diungkapkan oleh Ivan Pavlov didasari oleh teori Aristoteles
bahwa kemampuan itu kebiasaan (habitus) dan memahaminya sebagai individu yang mampu
melakukan perilaku baru. Dalam hal ini terlihat adanya filsafat ilmu yang berperan pada
pembentukan pemikiran psikologis untuk memahami perilaku manusia.

Kata kunci: filsafat ilmu, pemikiran manusia, perilaku manusia, psikologi

Pendahuluan
Hakikat manusia hidup adalah untuk mengisi kehidupan. Manusia merespons, bereaksi,
mengikuti, fokus dengan apa yang diyakini merupakan perilaku yang didasari oleh pemikiran-
pemikiran. Proses berpikir manusia ini didasari adanya kesatuan informasi yang diproses dalam otak
yang berasal dari berbagai pengalaman dan ilmu pengetahuan. Ilmu yang merupakan induk dari
segala ilmu pengetahuan adalah filsafat. Filsafat merupakan ilmu yang mempelajari setiap sudut
manusia dan alam semesta, bertindak sebagai prinsip panduan untuk perilaku (Budiyanto, 2018).
Dari sudut pandang filsafat, hidup terdiri dari aktivitas individu atas dirinya sendiri (kontrol diri).
Manusia mampu melakukan tindakan yang hasilnya tidak hanya tetap di luar, tetapi di dalam manusia
itu sendiri. Jenis kegiatan ini menyiratkan skema umpan balik dan sesuai dengan konsep Aristotelian
praksis yang berbeda dengan konsep poiesis (Lombo & Gimenez-Amaya, 2014). Praksis adalah
kegiatan yang tujuannya adalah kegiatan itu sendiri, dan hasilnya tetap dalam individu. Sebaliknya,
poiesis adalah kegiatan yang menghasilkan sesuatu yang berbeda dari tindakan itu sendiri dan
karenanya memiliki hasil eksternal. Meskipun poiesis dan praksis berbeda, mereka tidak harus dapat
dipisahkan, tetapi terus terjalin dalam makhluk hidup yang diberkahi dengan pengetahuan. Hidup
secara keseluruhan adalah praksis, tetapi aktivitas kehidupan tertentu termasuk poiesis dan praksis.
Dalam interaksi poiesis dan praksis, manusia tidak hanya mempertahankan strukturnya
sendiri, tetapi juga mengembangkannya. Secara umum, perkembangan ini terdiri dari perluasan atau
penguatan struktur fisik sendiri. Namun demikian, dalam kasus manusia yang diberkahi dengan
pengetahuan, pengembangan perilaku juga memiliki dimensi yang intensif, karena mereka dapat
memperoleh kemampuan baru melalui interaksi mereka dengan makhluk lain. Pengembangan

1
intensif ini dapat dipahami sebagai proses belajar atau akumulasi dari pengalaman. Hal ini merupakan
hasil dari perilaku, tetapi berbeda dari mereka sebagai kemampuan yang diperoleh dan stabil.
Aristoteles menyebut kemampuan itu kebiasaan (habitus) dan memahaminya sebagai individu yang
mampu melakukan perilaku baru.
Pemikiran dari Aristoteles menjadi dasar pembentukan teori kondisioning dan habituasi untuk
membentuk perilaku yang dikemukakan oleh tokoh psikologi Ivan Pavlov, Thorndike, maupun B.F.
Skinner. Mereka memiliki kesamaan teori bahwa salah satu cara pembentukan perilaku dapat
ditempuh dengan kondisioning atau kebiasaan. Dengan cara membiasakan diri untuk berprilaku
seperti yang diharapkan, akhirnya akan terbentuklah perilaku tersebut (Hergenhahn, 1976, dalam
Sarwono, 2010).
Hubungan antara sudut pandang psikologis dan filsafat ilmu dalam mendasari proses
pemikiran manusia menjadi bekal untuk berperilaku. Di satu sisi, kebiasaan belajar menyiratkan
stabilisasi informasi neurobiologis yang kemudian memungkinkan penyimpanan dan pemanfaatan
kembali di depan rangsangan baru. Di sisi lain, deskripsi filosofis tentang kebiasaan menyajikannya
sebagai umpan balik dari aktivitas manusia. Dalam filsafat ilmu, Aristoteles menjelaskan bahwa
manusia ada untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dan pada akhirnya akan berujung pada ke-Ilahi-
an. Makna yang sama diungkapkan oleh Abraham Maslow dalam kajian psikologi mencoba
menjelaskan bahwa perilaku manusia terbentuk karena adanya kebutuhan. Menurut Maslow,
manusia memiliki 5 kebutuhan dasar, yaitu: kebutuhan fisiologis/biologis, kebutuhan rasa aman,
kebutuhan mencintai dan dicintai, kebutuhan harga diri, dan kebutuhan aktualisasi diri (Sarwono,
2010).

Faktor Pembentuk Perilaku Manusia


Sarwono (2010) mengungkapkan bahwa pengetahuan adalah hasil dari apa yang terjadi
melalui proses sensori pada alat indrawi terhadap obyek tertentu. Pengetahuan merupakan domain
yang sangat penting untuk terbetuknya perilaku terbuka (overt behavior). Perilaku yang didasari
pengetahuan umumnya bersifat langgeng. Dalam filsafat ilmu, hal ini dikemukakan dengan jelas pada
teori empirisme pada filsafat ilmu yang mengatakan bahwa semua pengetahuan berasal dari
pengalaman manusia secara indrawi baik lahiriah baupun batiniah. Filsuf empiris yang terkenal
adalah John Locke mengungkapkan teori Tabula Rasa yang menekankan bahwa manusia adalah
lembaran kertas putih yang mana akan diisi oleh pengalaman hidup pada kertas tersebut. Teori
tersebut menjadi landasan berpikir bahwa perilaku manusia dibentuk dari pengalaman-pengalaman
indrawi yang terbentuk menjadi faktor pembentuk perilaku manusia menurut Sarwono (2010),
sebagai berikut:

2
a. Sikap
Hal paling dasar yang memengaruhi perilaku manusia adalah sikap. Sikap adalah
respon tertutup seseorang terhadap suatu stimulus atau obyek baik yang bersifat internal
maupun eksternal sehingga manifestasinya tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya
dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup tersebut. Sikap secara realitas
menunjukkan adanya kesesuaian respon terhadap stimulus tertentu. Tingkatan respon
adalah menerima (receiving), merespon (responding), menghargai (valuing), dan
bertanggung jawab (responsible).
b. Nilai-nilai
Nilai-nilai atau norma yang berlaku akan membentuk perilaku yang sesuai dengan
nilai-nilai atau norma yang telah melekat pada diri manusia.
a Kepercayaan
Individu yang meyakini suatu kepercayaan tertentu akan mempengaruhi
perilakunya dalam menghadapi suatu hal yang berpengaruh pada kondisinya untuk
berperilaku.
b Persepsi
Persepsi merupakan proses yang menyatu dalam diri individu terhadap
stimulus yang diterimanya. Persepsi merupakan proses pengorganisasian,
penginterpretasian terhadap rangsang yang diterima oleh organisme atau individu
sehingga merupakan sesuatu yang berarti dan merupakan respon yang menyeluruh
dalam diri individu. Oleh karena itu dalam penginderaan orang akan mengaitkan
dengan stimulus, sedangkan dalam persepsi orang akan mengaitkan dengan obyek.
Persepsi pada individu akan menyadari tentang keadaan sekitarnya dan juga
keadaan dirinya. Orang yang mempunyai persepsi yang baik tentang sesuatu
cenderung akan berperilaku sesuai dengan persepsi yang dimilikinya.
Kesimpulan
"Seorang penumpang yang bepergian dengan kereta tanpa tiket di tangannya memiliki
perasaan bahwa dia pergi ke suatu tempat tetapi dia tidak ke mana-mana karena tidak ada tujuan."
Filsafat ilmu adalah tiketnya. Filsafat ilmu juga berperan sebagai penuntun yang memberi tahu ke
mana harus pergi, apa yang harus dilakukan ketika manusia merasa tersesat. Hal tersebut
memengaruhi pikiran dan perspektif manusia tentang bagaimana memandang sesuatu dan
menghadapinya. Individu yang mengikuti filosofi kepositifan akan selalu menemukan jawaban untuk
masalahnya.

3
Dari sudut pandang penulis, ketika individu merasa kehilangan, ia harus melihat situasi
mereka seperti video game bahwa jika terjebak di suatu tempat maka jelas bahwa ia mencoba cara
yang salah. Untuk memcahkan masalahnya perlu mengambil beberapa langkah mundur dan mencoba
lagi dan mengingat hal bahwa ketika naik level dalam permainan itu terus semakin sulit. Sama halnya
dengan kehidupan, semakin sulit permasalahan yang dialami itu berarti manusia telah melewati level
dan lebih kuat dari level sebelumnya. Dalam hal ini yang menjadi hightlight adalah proses berpikir
untuk menghasilkan perilaku positif yang berdasarkan pengalaman sebelumnya, sama dengan apa
yang mendasari pemikiran dalam filsafat ilmu dan diterapkan pada ranah psikologi. Hal terakhir yang
ingin penulis tambahkan adalah, filsafat adalah bagaimana kita berpikir tentang hal-hal tertentu dan
bagaimana kita menghadapinya. Dengan cara ini individu terus melakukan hal-hal dan membentuk
kebiasaan dan terus berlatih kebiasaan ini. Seperti yang semua orang ketahui bahwa berlatih membuat
manusia sempurna. Demikian pula, filsafat akan membuat manusia sempurna dengan cara tertentu.
Dapat disimpullkan bahwa filsafat ilmu sangat berperan dalam memahami perilaku manusia. Jadi
jaga filosofi positif dan rasakan kearifan yang akan terjadi dalam hidup.

Daftar Pustaka
Budiyanto, A. H. (2018). Tentang Realitas Segala Sesuatu. Jurnal Filsafat, 28(1), 1-24.
doi:10.22146/jf.30244
Dennett, D. C. (2003). Philosophy of Human Psychology. Diambil kembali dari Cognitive Science:
http://www.stenmorten.com/English/php/php.htm
Lombo, J. A., & Gimenez-Amaya, J. M. (2014). The unity and the stability of human behavior. An
interdisciplinary approach to habits between philosophy and neuroscience. Frontiers in
Human Neuroscience, 8, 607-610. doi:https://doi.org/10.3389/fnhum.2014.00607
Sarwono, S. W. (2010). Pengantar Psikologi Umum. Jakarta: Rajawali Pers.

Anda mungkin juga menyukai