Anda di halaman 1dari 109

I

K.H. SJAM’UN:
PEMUDA SEDERHANA, PATUH DAN HAUS ILMU

A. Latar Belakang Keluarga


Ia diberi nama Sjam’un oleh orang tuanya. Ia lahir pada l5 April 18831 di
kampung Beji desa Bojonegara2 Kecamatan Cilegon Kabupaten Serang Keresidenan
Banten.3 Ia merupakan keturunan kyai4 Banten, hasil perkawinan dari H. Alwijan dan
Hj. Siti Hadjar.5 Ibunya, Siti Hadjar adalah putri K.H. Wasjid,6 ia mempunyai saudara
kandung yang bernama Yasin. K.H. Wasjid merupakan salah seorang tokoh yang
terkenal pada peristiwa Geger Cilegon tahun 1888.7 K.H. Wasjid termasuk bangsawan

1
Arsip Nasional Republik Indonesia di Jakarta, Gunseikanbu 2604, Koleksi Arsip Pendaftaran Orang
Indonesia Jang Terkemoeka Jang ada di Djawa. No. Inventaris 74.
2
Dalam hal ini Achmad Djajadiningrat menyebut Bajonegara mengikuti cerita orang tua, Bajonegara
artinya “negeri” orang Bajo (bajak laut) (Suharto, Naskah, 200, 43).
3
Keresidenan Banten yang terletak di sebelah ujung barat Pulau Jawa melingkupi daerah Kabupaten
Lebak, Pandeglang dan Serang. Di bagian utara terdapat Laut Jawa, bagian barat terdapat Selat Sunda,
dan di bagian selatan terletak Samudra Indonesia. Lihat Halwany Michrob dan A. Mudjahid Chudori,
Catatan Masa Lalu Banten, Serang 1993, hlm. 19.
4
Kyai adalah sebutan atau gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seseorang yang ahli agama
Islam, yang biasanya memiliki dan mengelola pondok pesantren.
5
Wawancara dengan Fatullah Sjam’un di Cilegon, 18 Februari 2003.
6
K.H. Wasjid dilahirkan di Grogol Cilegon Banten tahun 1843, ia adalah anak dari pasangan Abbas dan
Ny. Mas Jokaromah, yang menikah tahun 1841. Pada usia 6 tahun K.H. Wasjid oleh ayahnya
diperkenalkan dengan K.H. Wakhia. Perkenalan ini berdampak positif bagi perkembangan pengetahuan
agamanya. Selama enam bulan ia tekun belajar memperdalam ilmu-ilmu agama. Di usia 9 tahun, ia
mendapat pendidikan langsung dari ayahnya yang mempunyai cita-cita agar kelak anaknya jadi
mujtahid besar. Setelah menginjak dewasa, K.H. Wasjid memperdalam ilmu-ilmu agama kepada
ulama-ulama di Banten. Sekembalinya dari Mekah ia semakin aktif ditarekat Qodiriyah wa
Naqsyabandiyah. Ia menikah dengan Ny. Atiyah dari Dalingseng Pulomerak Serang. K.H. Wasjid baru
tampil sebagai pemimpin pemberontak beberapa tahun sebelum pemberontakan itu pecah. Ia sangat
berpengaruh, tidak hanya kedudukannya sebagai guru agama, tetapi juga karena kepribadiannya yang
kuat. Selain itu, ia dikenal sebagai orang yang suka bertengkar dan gampang marah dengan
kecendrungan kepada mistik. Tidaklah mungkin untuk memberikan gambaran yang lengkap mengenai
kepribadian K.H. Wasjid, oleh karena hampir tidak ada hal yang diketahui mengenai riwayat hidupnya
sebelum ia melibatkan diri dari gerakan pemberontakan petani di Banten (Studi lebih lanjut lihat
Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, (Terj. Hasan Basari), Jakarta, 1984, hlm. 269-
274. Halwany Michrob dan A. Mudjahid Chudori, Catatan Masa Lalu Banten, Serang, 1993, hlm. 83.
Lihat juga Idris Thoha, Naskah K.H. Wasjid Pemantik Cilegon Berdarah, Makalah, Cilegon, tth., hlm. 6).
7
Mengenai keterlibatan K.H. Wasjid dalam Pemberontakan Petani Banten lihat karya Sartono
Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, (Terj Hasan Basari), Jakarta, 1984, hlm. 269-274.
keturunan Adipati Serenggene, yaitu pendamping Sultan Hasanuddin8 yang di
Pemerintahan Banten pada abad XVI.9
Silsilah K.H. Sjam’un jika ditelusuri dari pihak ibunya, dari atas ke bawah tampak
sebagai berikut:
SILSILAH K.H.SJAM'UN

Adipati Srenggene (Pendamping Sultan Hasanuddin


di Kesultanan Banten)

Ki Rakse

Qosdhu

Abbas

K.H. Wasjid

Siti Hadjar

K.H. Sjam'un
Sedang silsilah dari pihak ayahnya tidak diketahui. H. Alwijan meninggal di
Sumatra, makamnya tidak ditemukan oleh keluarganya hingga sekarang.10
Sjam’un adalah anak tunggal dari Hj. Siti Hadjar, meskipun keturunan kyai,
ayah dan ibunya tidak kaya.11 Apalagi dimasa Hindia Belanda keluarga dari keturunan

8
Sultan Maulana Hasanuddin dilahirkan di Cirebon pada tahun 1479, sebagai anak kedua dari
perkawianan Syarif Hidayatullah dengan Nyi Kawung Anten, putri Ki Gedeng Kawung Anten. Sultan
Maulana Hasanuddin mendapatkan petunjuk dari ayahnya agar mendirikan kota Surasowan pada
1526. Ia menikah dengan putri Sultan Trenggana, Nyi Mas Ayu Kirana yakni setelah dinobatkan Sultan
pertama di Banten oleh Sultan Demak pada tahun 1552. Sultan Maulana Hasanuddin memegang
pemerintahan di Kesultanan Banten selama 18 tahun (1552-1570). Pada tahun 1570 ia wafat dalam
usia 91 tahun (1479-1570). Lihat Khatib Mansur, Perjuangan Rakyat Banten Menuju Propinsi, Jakarta,
2001, hlm. 18-19.
9
Halwany Michrob dan A. Mudjahid Chudhori, op.cit., hlm. 60.
10
Wawancara dengan Fatullah Sjam’un di Cilegon, 18 Februari 2003.
11
Mansyur Muhyidin, Naskah, Karya Seorang Prajurit Banten (Kiai Haji Sjam’un), Karya Tulis
Berdasarkan Pengalaman Anak-Anak K.H. Sjam’un, Cilegon, 1990, hlm. 25.
K.H. Wasjid ini selalu diawasi tingkah lakunya dan dikejar-kejar oleh pihak Belanda,
karena kuatir keturunan K.H. Wasjid balas dendam. Untuk menghindari kejaran
Belanda, maka pada tahun 1888 keluarga Siti Hadjar ke Mekah dan menetap di sana.
Ketika itu, Sjam’un baru berusia 5 tahun.12
Pemerintah Belanda tidak pernah berhenti dalam usahanya menghabisi
keturunan K.H. Wasjid, terutama setelah terjadinya Geger Cilegon.13 Tetapi Belanda
selalu gagal, karena keluarga K.H. Wasjid menyelamatkan diri dari kejaran Belanda.
Setelah gagal, akhirnya Belanda membumihanguskan Kampung Beji sebagai
pengganti keluarga K.H. Wasjid.14
Belanda berpendapat bahwa “anak macan” akan menjadi macan tetap
berbahaya. Oleh karena itu keluarga K.H. Wasjid tidak dibiarkan hidup di muka bumi.
Karena Belanda tidak mau pemberontakan di Banten tahun 1888 terulang yang
dikenal dengan Geger Cilegon.15 Geger Cilegon ini merupakan sumber kesadaran bagi
masyarakat khususnya untuk bagaimana upaya agar lepas dari belenggu penjajahan
Belanda. Setelah peristiwa itu, Belanda mengintruksikan supaya semua peraturan-
peraturan yang dikeluarkan hendaknya jangan menyinggung perasaan keagamaan
rakyat jajahan.16 Untuk memadamkan semangat pergerakan K.H. Wasjid itu, dengan
mengadakan operasi penangkapan-penangkapan terhadap siapa saja yang dianggap
berbahaya, terutama terhadap anak cucu K.H. Wasjid. Untuk melemahkan kekuatan
masyarakat Banten, pemerintah Hindia Belanda sengaja membuat operasi psikologi
melalui sekolah-sekolah pemerintah. Para guru sekolah desa dipaksa untuk
mengajarkan nyanyian-nyanyian (tembang) anti K.H. Wasjid dalam bahasa Jawa.17
Aslinya demikian: Wengi Senen kiro jam papat subuh ono brandal saka Beji.
Lebur papan tulis ngerampog para priyantun.
Yang artinya: Malam Senin kira-kira jam empat subuh ada berandal (rampok)
dari Beji. Membasmi habis para priyayi.18

12
Wawancara dengan Sarbini di Cilegon, 8 Februari 2003.
13
Wawancara dengan Fatullah Sjam’un di Cilegon, 18 Februari 2003.
14
Mansyur Muhyidin, Naskah, “Kiai Jenderal Haji Sjam’un Pejuang Kemerdekaan Asal Banten”,
Makalah, Cilegon, t.th., hlm. 5.
15
Mansyur Muhyidin, Naskah, 1990, op.cit., hlm. 17.

16
Sartono Kartodirdjo, op.cit., hlm. 274.
17
Wawancara dengan Mahdiyah di Cilegon, 28 Juli 2003.
18
Mansyur Muhyidin, Naskah, 1990, op.cit., hlm. 17.
Walaupun akhirnya pemberontakan itu mengalami kegagalan secara fisik,
namun sangat bermakna sebagai sebuah gambaran ketidakpuasan dan kebencian
seluruh masyarakat Banten terhadap penjajah Hindia Belanda. Dalam tahun-tahun
berikutnya, bekas dan akibat pemberontakan Cilegon ini cukup mendalam pada
kedua belah pihak, mayarakat Banten sangat benci terhadap Belanda dan
pamongpraja sebagai kakitangannya, sebaliknya pihak Belanda juga menaruh
kewaspadaan tinggi untuk daerah Keresidenan Banten terutama masyarakatnya yang
militan itu.19

B. Masa Kanak-kanak Sampai Dewasa


Siti Hadjar berhasil menyelamatkan Sjam’un kecil dari kejaran Belanda,
sekalipun harus melalui liku-liku pengalaman yang sulit, akhirnya selamat berhasil
sampai Makkah. Di sana sambil mengurus Sjam’un, Siti Hadjar melaksanakan ibadah
haji. Selama tiga tahun (1889-1891) bermukim di Mekah, kemudian setelah keadaan
di Beji merasa cukup aman, Hj. Siti Hadjar dan keluarganya pulang ke kampung
halamannya yakni Kampung Beji, Desa Bojonegara, Cilegon. Walaupun Hj. Siti Hadjar
masih kuatir dan tertekan kalau-kalau Belanda masih penasaran untuk
memusnahkan keturunan K.H. Wasjid yang dianggap musuh besarnya. Tetapi tidak
lama di Kampung Beji, Ibunya bersama Sjam’un pindah ke desa Citangkil dan
menetap di sana dengan penuh kewaspadaan dan kekuatiran.20
Sjam’un, dibesarkan di Desa Citangkil yang langsung dibawah pengasuhan
ibunya tanpa seorang ayah. Kehidupan pada masa kanak-kanak tidaklah ada yang
istimewa hanya dikenal anak yang patuh, periang dan rajin belajar.21 Pada masa
dewasa, ia hidup dalam keadaan sederhana, namun hal itu dijadikannya sebagai
motivasi untuk menuntut ilmu, bercita-cita kelak dikemudian hari menjadi orang yang
berguna.22 Sjam’un mempunyai karakter dan watak pribadi yang menonjol, yaitu ia
selalu patuh dalam mengikuti bimbingan dan asuhan ibunya sekalipun serba
sederhana.23 Ia dikaruniai otak yang cerdas dan keinginannya yang keras untuk
menjadi seorang pemimpin agama. Ilmu dasar Al-Qur’an dan bahasa Arab menjadi

19
Halwany Michrob dan A. Mudjahid Chudori, op.cit., hlm. 204.
20
Mansyur Muhyidin, Naskah, 1990, op.cit., hlm. 25. Wawancara juga dengan Sarbini di Cilegon, 8
Februari 2003.
21
Wawancara dengan Fatullah Sjam’un di Cilegon, 18 Februari 2003
22
Wawancara dengan Sarbini di Cilegon, 8 Februari 2003.
23
Wawancara dengan Fatullah Sjam’un di Cilegon, 18 Februari 2003.
perhatiannya sejak muda.24 Karena kehidupan bersama ibunya serba sederhana,
maka kakaknya, H. Ahmad bin Rafiq ikut membantu dalam pengasuhan Sjam’un yang
ketika itu berumur sekitar umur 10 sampai 13 tahun. Pada waktu itu, H. Ahmad bin
Rafiq bertempat tinggal di Kampung Kosambi, Desa Karangsuraga Kecamatan
Cinangka, Serang.25
Keseriusannya dalam menuntut ilmu ia wujudkan dengan belajar pada dua
pesantren di Banten. Pada usia 16 tahun (1901), ia memasuki pesantren Dalingseng
Kewedanaan Cilegon di bawah asuhan K.H. Sa’i, dan tahun 1902 ia menjadi santri di
pondok pesantren Kamasan, Kecamatan Cinangka, Kabupaten Serang dibawah
asuhan K.H. Jasim sampai 1904.26
Gambaran masa kanak-kanak Sjam’un cukup memberi landasan
perkembangan sikap kepemimpinannya. Pengalaman masa kecil Sjam’un penuh
dengan kepahitan hidup, perlakuan diskriminatif terhadap keluarganya semakin
memperjelas gambaran siapa musuh sebagai pihak yang harus dilawan oleh
Sjam’un.27
C. Latar Belakang Pendidikan dan Pengalaman
Dimasa muda Sjam’un, ada dua sistem pendidikan bagi kaum pribumi
Indonesia. Pertama adalah sistem pendidikan untuk para santri di pesantren yang
fokus pengajarannya adalah ilmu agama, kedua adalah sistem pendidikan barat yang
dikenalkan oleh kolonial pemerintah Hindia Belanda dengan tujuan mempersiapkan
sumber daya manusia untuk menempati posisi administrasi pemerintahan baik
tingkat rendah maupun menengah, yaitu sekolah dasar pribumi, HIS (Hollandsch
Inlandsch School)28 yang didirikan tahun 1914, dengan masa belajar tujuh tahun.
Sekolah ini diperuntukkan hanya untuk anak-anak priyayi. Karena pembatasan itu,
maka hanya beberapa orang saja yang mendapat kesempatan belajar. Namun, orang-
orang Eropa dan Timur asing (yaitu Cina dan orang Arab29) mendapat kesempatan
lebih banyak untuk belajar, sementara pribumi muslim, tidak mendapat kesempatan

24
Mansyur Muhyidin, Naskah, 1990, op.cit., hlm. 26.
25
Saleh, Naskah, Biografi K.H. Sjam’un, Catatan tangan pribadi, Cilegon, t.th., hlm.1.
26
Wawancara dengan Saleh di Anyer Cilegon, 17 Februari 2003.
27
Wawancara dengan Mahdiyah di Cilegon, 28 Juli 2003.
28
Lathiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama, Biografi K.H. Hasyim Asy’ari, Jakarta, 2000, hlm. 27.
29
Orang Arab; Orang Indonesia menggunakan istilah “Arab” untuk menyebut mereka yang berasal dari
Timur Tengah, dan anak benua India
30
Muhammad Said dan Junimar Affan, Mendidik Dari Zaman Ke Zaman, Bandung, 1987, hlm. 85.
pendidikan Belanda. Kalaupun mereka mempunyai kesempatan, namun sebagian
besar muslim Banten sudah tertanam jika sekolah Belanda itu ‘haram’, karena
dianggap sekolah kafir. Karena pembatasan pemerintah dan adanya keyakinan kaum
muslim itulah, berdampak terhadap rendahnya minat masyarakat Banten untuk
memasuki institusi pendidikan yang tersedia. Sebaliknya, penduduk pribumi sebagian
besar memasuki pesantren yang telah berlangsung berabad-abad.30 Pesantren yang
cukup banyak, memberikan kebebasan masyarakat dapat memilih mana yang mereka
sukai. Pesantren seringkali terletak di pedesaan. Ketenaran suatu pesantren
tergantung pada reputasi guru atau kyainya. Pesantren pada umumnya dinilai dari
kemampuannya menarik murid, dan ketinggian ilmu agamanya. Pendidikan tingkat
dasar para siswa diberikan pelajaran cara membaca Al-qur’an dan dasar-dasar
keimanan. Setelah itu, pelajaran dilanjutkan ke pesantren yang menyediakan ilmu
pengetahuan tingkat menengah, sebagiannya lagi, beberapa orang lainnya
melanjutkan studi lanjutan ke Mekah atau Kairo.31
Awal pendidikan Sjam’un masih sama dengan yang dialami oleh kebanyakan
santri muslim seusianya. Pada tahun 1901-1904 belajar pengetahuan agama di
pesantren Dalingseng dan Kamasan. Kemudian tahun 1905 Sjam’un berangkat ke
Mekah untuk mendalami lebih jauh tentang ilmu-ilmu keislaman. Selama tahun 1905-
1910 K.H. Sjam’un berada di Mekah berguru dan belajar dengan guru-guru Mekah
yang tersohor pada waktu itu. Ia kemudian melanjutkan studinya ke Mesir pada
Universitas Al-Azhar, Kairo sampai tahun 1915. Di sana ia mendalami ilmu fiqih.
Setelah menyelesaikan studi di Mesir, Sjam’un kembali ke Mekah untuk tinggal di
sana dan sekaligus menjadi guru di Masjidil Haram.32
Selama di Mekah, K.H. Sjam’un gigih dan sungguh-sungguh dalam
mengajarkan murid-muridnya. Dengan bekal kecerdasannya dalam menguasai ilmu
Fiqih, maka ia diakui sebagai orang yang disegani dan alim, sehingga banyak orang
yang berdatangan dari negeri lain, terutama dari Indonesia (Banten dan Jawa) yang
telah mengenal Sjam’un sebelumnya. Oleh murid-muridnya, ia dianggap sebagai ayah
dan ulama besar Banten, karena pengabdian dan ketekunan dalam mengamalkan
ilmu-ilmu keislaman yang telah dipelajarinya semenjak muda. Ketika di Mekah, ia
berusia tigapuluh tahun dan sudah terkenal sebagai ulama Banten yang besar.33

31
athiful Khuluq, op.cit., hlm. 29.
32
awancara dengan Fatullah Sjam’un di Cilegon, 18 Februari 2003.
33
Wawancara dengan Sarbini di Cilegon, 8 Februari 2003.
Setelah menjadi guru di Mekah selama lima tahun (1910-1915), kemudian
pada tahun 1915, ia pulang ke Citangkil tempat kelahirannya. Kabar kepulangannya
diketahui oleh aparat pemerintah Hindia Belanda. Gubernur Jenderal Hindia Belanda
Graff Van Limburg Stirum, berkeinginan untuk menghalang-halangi Sjam’un agar tidak
kembali ke Banten karena kuatir pengaruhnya yang besar pada masyarakat Banten.34
Dimata pemerintah Hindia Belanda, Sjam’un muda bisa menjadi motor penggerak
pemberontakan di Banten seperti kakeknya K.H. Wasjid.35
Namun akhirnya Gubernur Jenderal Hindia Belanda mengizinkan K.H. Sjam’un
kembali ke tanah air dengan syarat tidak melakukan makar sebagaimana yang
dilakukan kakeknya dulu. Persyaratan itu disetujui oleh Sjam’un, yang menginginkan
pulang ke kampung halamannya. Persyaratan yang diajukan Belanda tersebut
dimaksudkan agar keluarga K.H. Wasjid tidak melakukan aksi balas dendam.36
Syam’un tiba di Banten tahun 1915. Ia kemudian tinggal bersama ibunya di
Kampung Citangkil, Desa Warnasari, Kecamatan Pulomerak, Serang. Tahun 1916 K.H.
Sjam’un mendirikan pesantren di Kampung Citangkil. Tahun 1924, ia melaksanakan
ibadah haji dengan biaya sendiri.37 Dalam perjalanan hidupnya, sejak tahun 1919
hingga 1940 ia kemudian menikah dengan empat orang wanita dan dikarunia lima
orang anak laki-laki, seperti terlihat pada gambar bagan di bawah ini.:
Hasun Binti Sam'un Hj. Adawiyah Binti Rasdam Hj. Fauzah Binti Abdul Fatah Hj. Mahdiyah Binti Yasin
(Menikah thn. 1919) (Menikah thn.1920) K.H. Sjam'un (Menikah thn. 1936) (Menikah thn. 1940)
Ket. Meninggal thn. 2000 Ket. Meninggal thn 2001 Ket. Meninggal thn. 2000

1. Rahmatoellah Sjam'un 1. Qosid Sjam'un


2. Atoellah Sjam'un Fatullah Sjam'un 2. Abdoel Karim Sjam'un

Pada tahun 1927, K.H. Sjam’un aktif di organisasi Nadhlatul Ulama (NU)
cabang Serang sebagai wakil ketua.38 Sjam’un termasuk ulama pengikut ahlussunnah

34
Mansyur Muhyidin, Naskah, t.th., op.cit., hlm. 6. Wawancara juga dengan Fatullah Sjam’un di
Cilegon, 18 Februari 2003.
35
Mansyur Muhyidin, Naskah, 1990, hlm. 26.
36
Wawancara dengan Sarbini di Cilegon, 8 Februari 2003.
37
Wawancara dengan Fatullah Sjam’un di Cilegon, 18 Februari 2003.
38
Wawancara dengan Sarbini di Cilegon, 8 Februari 2003, diperkuat wawancara dengan Mahdiyah di
Cilegon, 28 Juli 2003.
39
Ahlussunnah Wa al-Jama’ah mengandung dua elemen penting yang sebenarnya tercermin dari
istilahnya sendiri, yaitu ahlussunnah dan al-Jama’ah. Ahlussunnah menggambarkan bagaimana agama
harus ditafsirkan dan dipraktikan berdasarkan ajaran Rasulullah Saw. Sedangkan al-Jama’ah
melambangkan persambungan tradisi keagamaan di zaman Rasulullah dengan periode kehidupan
berikutnya yang tak lepas dari konteks sosial kemasyarakatan. Dengan demikian bahwa Ahlussunnah
wa al-Jama’ah,39 karena diketahui umum bahwa di Indonesia mayoritas menjalankan
ibadahnya banyak dipengaruhi oleh madzhab Syafi’iyah.40 Walaupun dalam Islam
madzhab yang lain dan cukup terkenal dan masih berkembang hingga kini adalah
madzhab Maliki, madzhab Hanafi, dan madzhab Hambali.41 Kakeknya K.H. Wasjid
pengikut tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah42 bahkan dalam pemberontakan
Cilegon 1888 para ulama Banten yang menganut tarekat Qodiriyah wa
Naqsyabandiyah melibatkan diri.43 Namun K.H. Sjam’un tidak menganut tarekat
tersebut dan begitu pula tarekat lainnya yang berkembang di Banten pada saat itu,
seperti tarekat Samaniyah,44 tarekat Syatariyah,45 dan tarekat Rifa’iyah.46 Walaupun

wa al-Jama’ah yaitu menekankan bahwa tradisi awal Islam di masa Rasulullah Saw. dan para
sahabatnya bukanlah episode sejarah yang pantas dibuang jauh-jauh, melainkan mesti diwarisi sesuai
dengan tingkat relevansi dan kebutuhan aktual pada masa yang lebih belakangan, tak terkecuali dalam
fase sejarah yang sedang dijalani saat itu (Studi lebih lanjut lihat A. Hasyim Muzadi, Nahdlatul Ulama di
Tengah Agenda Persoalan Bangsa, Jakarta, 1999, hlm. 113-114).

40
Madzhab adalah haluan atau aliran mengenai hukum (fiqih) yang menjadi ikutan umat Islam. Imam
Syafi’i, ia bernama Abu al-Lah Muhammad Ibn Idris Asy-Syafi’i Al- Quraisyi, dilahirkan di Ghazzah, pada
tahun 150 H (767M) bertepatan dengan wafatnya imam Abu Hanifah. Sejak masa kecil, ia telah hafal
Al-Qur’an. Diusia yang kedua puluh, ia meninggalkan Mekah mempelajari ilmu fiqih dari Imam Malik.
Ia kemudian pergi ke Irak untuk belajar fiqih, dari murid Imam Abu Hanifah yang masih ada. Kemudian
pergi ke Yaman, menetap dan mengajar ilmu di sana, bersama Harun Al-Rasyid yang telah mendengar
tentang kehebatannya. Harun Al-Rasyid mengundangnya untuk datang ke Baghdad. Imam Syafi’i
memenuhi undangan tersebut dan sejak saat itu beliau dikenal secara lebih luas dan banyak orang
yang belajar kepadanya. Pada waktu itulah madzhab Imam Syafi’i mulai dikenal. Tak lama setelah itu,
Imam Syafi’i kembali ke Mekah dan mengajar rombongan jama’ah haji yang datang dari berbagai
penjuru dunia. Pada tahun 198 H, beliau pergi ke negeri Mesir untuk mengajar di Masjid Amru bin As.
Imam Syafi’i menulis kitab Al-Um, Amali Kubra, Risalah, dan Ushul Fiqih. Ia memperkenalkan Waul
Jadid sebagai madzhab baru. Adapun dalam menyusun kitab Ushul Fiqih, Imam Syafi’i dikenal sebagai
orang pertama yang mempelopori penulisan dalam bidang Fiqih. Imam Syafi’i wafat di Mesir tahun 820
M (Studi lebih lanjut lihat Moenawar Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Madzhab, Jakarta, 1988,
hlm. 149-249).
41
Lihat uka Tjandrasasmita, (ed.), Sejarah Nasional Indonesia, Jilid III, Jakarta, 1982, hlm. 225.
42
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah adalah tarekat yang berpengaruh dan banyak pengikutnya di
Banten. Tarekat ini di bawa ke Banten oleh Syaikh Akhmad Khatib seorang ulama yang berasal dari
Sambas Kalimantan Barat. Namun ia menjadi guru tarekat yang sangat terkenal di Mekah pada abad
ke-19. Pengajaran tarekat ini memperlihatkan sikap yang keras terhadap soal-soal keagamaan.
Tuntutannya adalah agar ketentuan-ketentuan dalam al-Qur’an ditaati dengan seksama, berzikir
merupakan hal yang esensial. Lihat Muhamad Hudaeri, et.al., Naskah Tasbih dan Golok: Studi Tentang
Kedudukan, Peran, dan Jaringan Kyai dan Jawara di Banten, Hasil Penelitian, Sekolah Tinggi Agama
Islam Negeri, Sultan Maulana Hasanuddin Banten, Serang, 2002, hlm. 9.
43
Sartono Kartodirdjo, op.cit., hlm. 270.
44
Tarekat Samaniyah dikenal karena zikirnya diserukan dengan suara nyaring oleh para peserta dalam
pertemuan mereka. Pendiri tarekat ini adalah Syaikh Muhammad Samman, yang terkenal di Jakarta.
begitu, terhadap santri-santrinya, ia tidak pernah memaksakan untuk ikut aliran
tarekat manapun yang ada di Banten47.
Sekembalinya dari Mekah (1915) K.H. Syam’un mulai memikirkan dan
merencanakan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan keislaman. Maka pada
tahun 1916 K.H. Syam’un mendirikan pesantren di Kampung Citangkil Desa
Warnasari, Kecamatan Pulomerak, Kabupaten Serang, Keresidenan Banten. Bagi K.H.
Sjam’un, pesantren memberikan lingkungan yang baik bagi pematangan pikiran. Pada
awalnya, santrinya hanya berjumlah 25 orang. Bagi Sjam’un, santri merupakan mitra.
Maka ia pun banyak berdiskusi tentang kondisi politik Banten untuk membantu
mempertajam wawasan K.H. Sjam’un tentang kemajuan Banten dan gagasan
melepaskannya dari Hindia Belanda. Pada periode ini dapat dipahami jika Sjam’un
muda telah ikut memikirkan bangsanya yang sedang terjajah untuk segera
memeroleh kedaulatan.48
Berangkat dari renungan K.H. Sjam’un tersebut kemudian ia berdakwah
melalui tulisan. Ia pun menulis beberapa kitab dengan tujuan untuk menggali dan
menjelaskan beberapa hal tentang ilmu keislaman, seperti aqidah yang menurutnya
akan berdampak terhadap kehidupan sosial masyarakat Banten. Beberapa kitab itu,
yakni: (1) Kitab Al-Djami’ah Fi Aqidil Muslimim wal-Muslimat (kitab Aqidah untuk
Muslim dan Muslimat) ditulis dengan huruf Arab berbahasa Jawa; (2) Kitab Aqidatoel
At-Faal (kitab Akidah untuk anak-anak) ditulis dalam bahasa Arab; dan (3) Kitab

45
Tarekat Syatariyah yang dianggap sebagai tarekat yang paling awal masuk Pulau Jawa. Ajaran tarekat
ini percaya akan ajaran kejawen mengenai tujuh tingkatan keadaan Allah, yakni ilmu mengenai hakikat.
Pendiri tarekat ini adalah Ahmad Qoshashi (Lihat Uka Tjandrasasmita (ed.), Sejarah Nasional
Indonesia, Jilid III, Jakarta, 1982, hlm. 27).
46
Tarekat Rifa’iyah, yang terkenal dengan amalannya yang berupa penyiksaan diri berhubung dengan
kegiatan yang mereka lakukan. Dalam bahasa Indonesia mereka mendapat julukan tukang debus,
sebab anggota-anggota tarekat tersebut setelah sampai pada puncak kegairahannya dengan jalan zikir
dan membuat berbagai gerakan badan dibawah pimpinan syaikhnya atau gurunya yang mencoba
menikam dirinya di dada atau di bahunya dengan debus, sebilah belati besi, apabila ada yang luka
maka gurunya dapat menyembuhkannya lagi dengan air liurnya sambil menyebutkan nama pendirinya.
Pendiri tarekat ini adalah Syaikh Ahmad Al-Kabir Al-Rifa’i (Studi lebih lanjut lihat Makmun Muzakki R,
“Tarekat dan Debus Rifa’iyah di Banten”, Skripsi, Program Studi Arab Fakultas Sastra Universitas
Indonesia, Depok, 1990, hlm. 12).
47
Wawancara dengan Fatullah Sjam’un di Cilegon, 18 Februari 2003.
48
Wawancara dengan Mahdiyah di Cilegon, 28 Juli 2003.
Mujmalussiratti Muhammadiyyah (kitab Sejarah lahirnya Muhammadiyyah) ditulis
dalam bahasa Arab.49
Ketiga kitab yang ditulis K.H. Sjam’un tersebut bertujuan untuk membina
akhlak masyarakat Banten khususnya. Kitab itu sebagai dasar untuk membangun
manusia berkualitas baik, terutama akhlak. Karena manusia yang baik itu apabila
akhlak kepribadiannya baik. Kitab ini pun diharapkan dapat memberikan pencerahan
dan memantik kesadaran para santri dan masyarakat Banten umumnya dalam
konteks kehidupan berbangsa. Dari sini dapat dianggap jika Sjam’un muda telah
menanamkan sikap nasionalisme kepada para santri dan masyarakat Banten
umumnya yang merupakan cikal bakal perlawanan hingga pengakuan kedaulatan dari
Belanda (1949).

49
Arsip Nasional Republik Indonesia di Jakarta, Gunseikanbu 2604, Koleksi Arsip Pendaftaran Orang
Indonesia Jang Terkemoeka Jang ada di Djawa. No. Inventaris 74. Lihat juga Khatib Mansur, Perjuangan
Rakyat Banten Menuju Propinsi, Jakarta, 2001, hlm. 328.
II

K.H. Sjam’un dan Pesantren Al-Khaeriyah:

Membangun Umat Melalui Pendidikan dan Pegajaran Islam

A. Gagasan Mendirikan Pesantren

Guru-guru agama, kyai dan ulama, sejak awal merupakan kelompok sosial

yang penting dalam struktur masyarakat Indonesia. Ulama merupakan kelompok

sosial yang memiliki ilmu agama yang selanjutnya disampaikan kepada para santrinya

di pesantren. Pada perkembangannya, pemaknaan terhadap konsep santri

mengalami perluasan dalam konteks masyarakat Indonesia.1

K.H. Sjam’un sebagai tokoh ulama Islam di Banten, berusaha mencari jalan

yang terbaik dalam cara memperdalam ilmu agama Islam bagi masyarakat Indonesia.

Pemikirannya ke arah pengembangan dan memperdalam ajaran-ajaran Islam yang

relevan dengan kondisi masyarakat Banten pada saat itu. Yakni ‘terbelakang’ dalam

pendidikan, khususnya pendidikan agama. Bertambah kuatnya kelas baru dalam

masyarakat, yaitu ulama dan santri merisaukan penguasa kolonial. Pemerintah

berusaha keras menjauhkan dari pengaruh politik. Islam yang dipeluk oleh kalangan

masyarakat papan bawah (grass root) memberikan ajaran yang dinamis dalam

1
Lihat Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta, 1988, hlm. 15.
15

kehidupan. Karena ajaran Islam senantiasa sesuai dengan kebutuhan perkembangan

ilmu pengetahuan, pemikiran inilah yang dikuatkan oleh pemerintah Hindia Belanda.2

Pemikiran tentang pendidikan ia curahkan melalui tulisan-tulisan masih

terbatas publikasinya, disebabkan dua faktor, yaitu: Pertama, karya-karya tulisnya

berupa mengenai ilmu agama, seperti fiqih, aqidah dan akhlaq yang ditulis dalam

bahasa Arab; Kedua, membuat tulisan dengan bahasa Arab mempunyai pengaruh

yang luas memperoleh penghargaan tinggi dari pembaca dari kalangan masyarakat

pesantren. Mereka sangat menghormati penulis yang menggunakan bahasa Arab

dibandingkan dengan bahasa lain. Karya-karya tersebut merupakan buku bacaan yang

terbatas penggunaannya sesuai dengan kurikulum pesantren.3

Pemikiran K.H. Sjam’un yang visioner, yakni ketika ia mendirikan pesantren

untuk mencetak kader-kader ulama. Pesantren akan memberikan bekal pendidikan

agar santri-santrinya kelak dapat mencari penghidupannya yang layak. Mata

pelajaran menghitung, menulis, membaca, sejarah, ilmu bumi, bahasa Jawa, bahasa

Melayu, dan bahasa Belanda untuk menambah pengetahuan dan wawasan mereka

tentang diri dan dunia. Disamping itu, pendidikan pesantren akan memberikan ruang

kepada santri-santri untuk belajar berorganisasi. Pendidikan pesantren, melalui

berbagai kajiannya, akan menyadarkan santri tentang kondisi masyarakat Banten dan

Indonesia umumnya tentang penderitaan berjuta-juta masyarakat Indonesia akibat

2
Wawancara dengan Fatullah Sjam’un di Cilegon, 18 Februari 2003.
3
Wawancara dengan Saleh di Anyer Cilegon, 17 Februari 2003.
16

penjajahan. Ia menegaskan jika santri harus sanggup berfikir merdeka dan mencari

jalan sendiri untuk meraih harapan-harapan yang telah dibentangkan. Pengalaman

organisasi merupakan pelajaran tersendiri yang besar artinya untuk mendidik

solidaritas antar mereka.4

Lahirnya pemikiran K.H. Sjam’un bersamaan dengan bangkitnya kesadaran

kebangsaan (nasionalisme) yang pada waktu itu dipelopori oleh kaum terpelajar.

Ketika ia kembali ke tanah air tahun 1915 sebagai salah seorang dari kalangan

terpelajar, yang tidak saja membawa paham-paham kebangsaan dan keagamaan, ia

berusaha mendirikan pesantren sebagai lembaga pendidikan untuk mengembangkan

ilmu pengetahuan di daerahnya. Karena ia menyadari kondisi umat Islam yang sudah

jauh tertinggal dari bangsa-bangsa lain terutama dari segi ilmu dan teknologi. Karena

itu, kemudian pada tahun 1925 ia berusaha mengadakan suatu perubahan dalam

bidang pendidikan di pesantren yang didirikannya untuk mewujudkan cita-cita.5

KH. Sjam’un mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan, sebagai landasan berpikir

yang melatarbelakangi kebenciannya terhadap pemerintah kolonial Belanda akibat

perlakuan diskriminatif dan pembatasan gerak politik di kalangan ulama. Sebagai

seorang ulama, ia merasa prihatin atas kondisi umat Islam Banten yang berada dalam

kemandegan (taklid) dan menganggap pintu ijtihad telah tertutup, yaitu suatu sikap

4
Wawancara dengan Sidiq di Cilegon, 18 Februari 2003.
5
Wawancara dengan Fatullah Sjam’un di Cilegon, 18 Februari 2003.
17

meniru dan menerima pemahaman keagamaan, tanpa mengetahui latar belakang

dan landasan kekuasaan yang jelas.6

Pendirian pesantren di Kampung Citangkil merupakan ungkapan kesadaran

K.H. Sjam’un yang tak dapat dipisahkan dengan dua peristiwa, kebangkitan dunia

timur melawan dominasi barat, dan gerakan pembaharuan Islam. Peristiwa yang

diterima sebagai pertanda simbolik dari bangkitnya dunia Islam yang luput dari

perhatian golongan terpelajar di tanah air Indonesia.7 Pemikiran Jamal Al-Din Al-

Afhgani (1839-1897)8 lewat gerakan politiknya melalui Pan Islamisme, yang berusaha

untuk mempersatukan umat Islam di seluruh dunia, yang kemudian mendapat

kerangka ideologis dan teologisnya dari muridnya, yaitu Muhammad Abduh (1845-

1897)9 di Mesir.

6
Wawancara dengan Dzarqani di Jakarta, 28 Februari 2003.
7
Wawancara dengan Fatullah Sjam’un di Cilegon, 18 Februari 2003.
8
Jamal Al-Din Al-Afghani lahir di Afghanistan pada 1839. Pada usia 25 tahun, ia menjadi pembantu
Pangeran Dost Muhammad Khan di Afghanistan. Pada 1864 ia menjadi penasehat Sher Ali Khan.
Beberapa tahun kemudian, ia diangkat oleh Muhammad A’zam Khan menjadi Perdana Menteri. Pada
1869 ia pergi ke India, karena di sana ia merasa tidak bebas bergerak karena negara ini telah jatuh ke
bawah kekuasaan Inggris, maka ia pindah ke Mesir pada 1871. Kemudian ia menetap di Kairo dan
lebih memusatkan perhatiannya pada bidang ilmiah dan Sastra Arab. Dalam pemikiran politik ia
membentuk partai Al-Hizb Al Watani (Partai Nasional) di tahun 1879, tetapi tak lama kemudian ia
pindah dari Mesir karena Inggris mengusirnya. Ia pergi ke Paris dan di sana ia mendirikan
perkumpulan Al-Urwah Al-Wusqa, dan berhasil menerbitkan majalah yang cukup terkenal sampai ke
Indonesia, namanya sesuai dengan nama perkumpulannya yaitu Al-Urwah Al-Wusqa. Tetapi sayang
penerbitannya tidak berumur panjang, terpaksa dihentikan karena dunia barat melarang pemasukannya
ke negara-negara Islam yang berada di bawah kekuasaan mereka. Tahun 1892, ia pindah ke Istambul
di sanalah ia wafat tahun 1897 (Studi lebih lanjut lihat Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh Dalam
Sejarah Islam, Bandung, 1999, hlm. 293. lihat juga Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam,
Jakarta, 1988, hlm. 51-57).
9
Muhammad Abduh, ia lahir 1849 di suatu desa di Mesir Hilir. Ia lahir di masa dan situasi yang kacau
yang terjadi di zaman Muhammad Ali (1805-1849). Ayahnya bernama Abduh Hasan Khairullah,
berasal dari Turki yang telah lama tinggal di Mesir. Pada 1862 ia dikirim ke Tanta untuk belajar agama
di Mesjid Syekh Ahmad. Di tahun 1865, ketika berumur 16 tahun ia menikah. Tetapi empat puluh hari
kemudian ia dipaksa oleh ayahnya kembali ke Tanta. Ia bukan pergi ke Tanta, malah belajar kepada
18

Pandangan hidup Islami yang memunculkan pemikiran pembaharuan K.H.

Sjam’un setelah terjadi perubahan yang mendasar dan meluas dalam masyarakat

terutama pada sikap mental masyarakat yang semakin materialistis. Menjawab

tantangan ini, ia bekerja keras untuk membina para santrinya agar tetap memiliki

semangat keislaman yang teguh. Pesantren merupakan institusi pendidikan dan

tempat kegiatan pembina manusia yang mencintai tanah airnya, seperti organisasi

kepanduan, kesenian dan olahraga.10

Gagasan K.H. Sjam’un tentang pentingnya landasan berpikiran Islam dan

pentingnya penegakan syari’at Islam yang bersumber dari hukum-hukum Allah. Oleh

karena itu, perlu dibangun satu institusi pembina kader yang berwawasan

pembaharuan, melalui : (1) Menggembleng santri-santri agar memiliki rasa tanggung

jawab, mendidik kemampuan menggalang persatuan dan kesatuan; (2) Sebagai usaha

mendidik pemuda-pemuda muslim yang sopan dan sentosa dunia dan akhirat; (3)

Syaikh Darwisy Khadr, paman Muhammad Abduh. Setelah belajar di sini ia meneruskan belajarnya ke
Al-Azhar pada 1866. Pada 1877 studinya selesai di Al-Azhar dengan mendapat gelar Alim. Ia
kemudian mulai mengajar di Al-Azhar dan di Dar Al-Ulum serta di rumahnya sendiri. Pada 1879, ia
dibuang ke Kairo, karena dituduh turut campur dalam gerakan menentang Khadewi Tawfiq, tetapi
hanya satu tahun. Kemudian, 1880 ia kembali ke Mesir dan diangkat menjadi redaktur surat kabar
resmi pemerintah Mesir. Pada peristiwa Revolusi Urabi Pasya di Mesir, ia ikut berperan, kemudian ia
ditangkap beserta pemimpin-pemimpin lainnya dan dipenjarakan akhirnya dibuang ke luar negeri pada
1882. Pada 1888, ia dibolehkan pulang kembali ke Mesir. Pada 1894 ia diangkat menjadi Anggota
Majlis A’la dari Al-Azhar. Pada 1899 ia diangkat sebagai Mufti Mesir sampai 1905, pada tahun ini
pula ia wafat di Mesir (Studi lebih lanjut lihat Harun Nasution, 1988, hlm. 58-68. Lihat juga Husayn
Ahmad Amin, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, Jakarta, 1999, hlm. 301).
10
Wawancara dengan Fatullah Sjam’un di Cilegon, 18 Februari 2003.
19

Meneruskan semangat perjuangan yang mempunyai kaitan dengan Geger Cilegon

atau perang K.H.Wasyid yang terjadi tanggal 7 Juli 1888.11

Gagasan yang cemerlang ini dilandasi dengan tanggung jawab dan keyakinan

untuk mencapai suatu kemerdekaan dengan meneruskan nilai-nilai yang luhur untuk

dipertahankan oleh penerus-penerusnya agar beridentitas dan memiliki tekad yang

kuat dunia dan akhirat.12 K.H. Sjam’un dengan penuh keyakinan mampu mengatasi

segala persoalan yang sedang dihadapi masyarakat. Kesenjangan pemikiran yang ada

antara kaum intelektual dengan ulama mengenai pendidikan sekolah umum dan

sekolah agama dapat diatasi dengan pendidikan pesantren modern dengan

mengintegrasikan pendidikan umum dengan pendidikan agama yang sesuai dengan

tujuannya adalah untuk kesejahteraan dunia dan akhirat.13 Menurut K.H. Sjam’un

bahwa pendidikan merupakan salah satu cara yang efektif untuk mengatasi segala

persoalan hidup dapat dirasakan oleh masyarakat luas sampai dengan sekarang.14

B. Pesantren Citangkil

Pendirian pesantren Citangkil merupakan semangat perjuangan dan cita-cita

kemerdekaan yang telah dipelopori sejak peristiwa Geger Cilegon 1888. Sekalipun

Geger Cilegon telah ditumpas, namun semangat dan jiwa Geger Cilegon tetap hidup.

11
Wawancara dengan Saleh di Anyer Cilegon, 17 Februari 2003.
12
Mansyur Muhyidin, Naskah, Karya Seorang Prajurit di Banten (K.H. Sjam’un), Karya Tulis
Berdasarkan Pengalaman Anak-Anak K.H. Sjam’un ,Cilegon, 1990, hlm. 80.
13
Wawancara dengan Fatullah Sjam’un di Cilegon, 18 Februari 2003.
20

Tetapi perjuangannya bukan lagi dengan perjuangan fisik sebagaimana pendahulunya

(K.H. Wasyid) melainkan perjuangannya melalui pendidikan di Citangkil, yang dimulai

dengan membangun pesantren berskala kecil yang dihuni oleh 25 orang santri dari

berbagai pelosok Banten.15

Pada awalnya jadual pengajaran belum teratur, karena kelompok santri

mempunyai beda umur yang menyolok. Metode pengajarannya berbentuk halaqah,

yakni dengan cara duduk mengelilingi sang kyai membentuk lingkaran.16 Santri

menerima pelajaran yang berbeda tingkatannya, belum dirancangkan sebuah

kurikulum hanya berdasarkan kelompok umur, lama belajar atau tingkatan

pengetahuan. Di pesantren ini ketentuan mengenai bahan ajar, komposisi ujian,

sistem penyampaian dan sistem evaluasi belum dianggap sebagai kurikulum. Tetapi

merupakan gambaran umum langkah suatu rencana studi yang global dan sederhana.

Sumber pelajaran hanya memberikan daftar pelajaran tertentu belum dirumuskan

menjadi suatu kurikulum terperinci, karena itu tidak dapat ditelusuri mengenai

jumlah mata pelajaran yang diberikan.17 Dengan demikian sistem pendidikan dan

pengajaran di Pesantren Citangkil ini masih bersifat tradisional, mata pelajaran yang

14
Wawancara dengan Sarbini di Cilegon, 8 Februari 2003.
15
Santri-santrinya itu adalah K.H. Ahmad Ambon, K.H. Ali Jaya, K.H. Mahmud, K.H. Ahmad Naja,
K.H. Rasiman, K.H. Muhammad Nor, K.H. Sarbini, K.H. Syadeli, K.H. Ismail, K.H. Karna, K.H.
Rosidin, K.H. Arifudin, K.H. Asy’ari, K.H. Rafi’i, Ki Mahmud Sufi, K.H. Halimi, K.H. Abdul Jalil,
K.H. Buang, K.H. Musta’al, K.H. Sohari, K.H. Ali Akbar, Ki Bakar, K.H. Halimi, K.H. Haq, K.H.
Hasan (Mansyur Muhyidin, Naskah, 1990, 85).
16
Halakah yakni para santri duduk melingkar dan belajar dari seorang kyai yang menterjamahkan teks
berbahasa Arab.
17
Wawancara dengan Sarbini di Cilegon, 8 Februari 2003.
21

disusun tergantung kehendak kyiai. Mata pelajaran tertentu dapat diajarkan secara

tiba-tiba atau sehari sebelumnya, tergantung kyiai yang disesuaikan dengan kondisi

kebutuhan para santrinya. Oleh karena itu dalam setiap tahunnya urutan sistematika

mata pelajaran yang diberikan selalu berubah-ubah. Seluruh mata pelajaran diambil

berdasarkan kitab-kitab lama atau kitab kuning18 yang belum tersentuh oleh sistem

pendidikan klasikal dan kurikulum masih seratus persen bermuatan agama. Semua

mata pelajaran yang dikaji tidak diarahkan kepada kebutuhan dan perkembangan

masyarakat pada zamannya, melainkan masih seperti asal mula adanya pendidikan

Islam tradisional pada umumnya. Kitab-kitab19 yang banyak diajarkan sebagian besar

tentang Fiqih (hukum) yang bermadzhab Syafi’i dan tasawuf, disamping pembahasan

utama tentang gramatika bahasa Arab (ilmu alat seperti: Jurumiyyah, Al-Fiyah,

Qowa’idul Lughgawiyah), kitab-kitab Tafsir Jalalain, kitab Hadits dan Usul Fiqih dan

kitab-kitab Aqidah Akhlak.20

18
Kitab kuning adalah sebutan untuk buku atau kitab tentang ajaran-ajaran Islam atau tata bahasa Arab
yang dipelajari di pondok pesantren yang ditulis atau dikarang oleh para ulama pada abad pertengahan
dalam hurup Arab. Disebut kitab kuning karena biasanya dicetak dalam kertas berwarna kuning yang
dibawa dari Timur Tengah.
19
Mengenai kitab-kitab klasik yang dipakai di pesantren-pesantren di pulau Jawa telah
disistematikakan dengan cukup baik oleh beberapa orang sarjana Belanda yang telah banyak meneliti
tentang perkembangan pesantren dan tarekat di Indonesia (lebih jauh mengenai studi ini lihat Martin
Van Bruinessen, Kitab Kuning: Pesantren dan Tarikat, Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, Bandung,
1995, Mizan, hlm. 115 dan 154 untuk kitab-kitab Fiqih dan Ushul Fiqih, 158 untuk kitab-kitab Tafsir,
160 untuk kitab-kitab Hadits, 163 untuk kitab-kitab Tasauf dan Akhlak, dan 168 untuk kitab-kitab
yang membahas Tarikh atau Sirah Nabi Muhammad Saw. Lihat juga karya Karel A. Steenbrink,
Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Jakarta, 1990, hlm. 155-157).
20
Wawancara dengan Sarbini di Cilegon, 8 Februari 2003.
22

Kitab-kitab yang diajarkan K.H. Sjam’un terdiri dari kitab dasar seperti,

Safinah al-Naja (Fiqih), Qotr al-Ghayth (Tauhid), Nasaih al-‘Ibad (Akhlak), al-

Jurumiyyah (Nahwu), Al-Kailaini (Saraf), Minhaj al-Qawim (Fiqih), Ibrahim al-Bajuri

(Tauhid), Bidayah al-Hidayah (Akhlak), Sharah al-‘Imriti (Nahwu), Lamiyah al-Af’al

(Saraf), Kifayah al-Akhyar (Fiqih), Waraqah (Ushul Fiqih), Taftazani (Tauhid), Nasa’ih

‘l-Diniyyah (Akhlak). al-Mutammina (Nahwu), Tasrif al-Lughawiyah (Saraf). Kitab-kitab

menengah seperti; al-Tafsir (Tafsir), Mukhtar al-Hadits Nabawiyyah (Hadits), Minhaj

al-Mughith (Mustalah Hadits), Mawahib al-Somad (Fiqih), Lata’if al-Isharah (Ushul

Fiqih), Kifayah al-Awam (Tauhid), Al-Hikam (Akhlaq), Bulugh al-Maram (Hadits), Al-

Fiyah al-Suyuti (Mustalah Hadits), Dahlan al-Fiyah (Nahwu dan Saraf) Al-Jalalayin

(Tafsir), Sharah al-Jauhari al-Ma’mun (Balaghah), Idah al-Mubham (Mantiq).

Sedangkan kitab-kitab besar seperti; Fath al-Mu’in, Qalyubi wa ‘Amirah (Fiqih), al-

Mustasfa, Nihayah ‘l-Saul (Ushul Fiqih), Sahih Al-Bukhari, Sahih al-Muslim (Hadits),

Minhaj Dhawi ‘l-Nazar, Sharah al-Fiyah, al-Suyuti (Mustalah Hadits), Sharah al-Talibin,

Ihya’ Ulum al-Din (Akhlak), Ibnu Kathir, Ibnu Jarir al-Tabari (Tafsir), Mi’yar Al-‘Ilmi

(Mantik), Umm al-Barahim (Tauhid).21

KH. Sjamun memberikan ruang yang luas kepada murid-muridnya untuk

mendalami materi sesuai dengan minatnya. Tidak ada ketentuan jenis kitab atau

pelajaran apa yang harus didahulukan. Pesantren Citangkil tidak terdapat jenjang dan

21
Wawancara dengan Fatullah Sjam’un di Cilegon, 18 Februari 2003. Wawancara juga dengan
Dzarqani di Jakarta, 28 Februari 2003.
23

sistem kelas. Jenjang pendidikan semata-mata ditandai banyaknya jumlah kitab yang

telah dipelajari dan dikuasainya.22

Pesantren di Citangkil 1916-1924 pada awalnya, yakni selama 8 tahun, masih

menggunakan sistem sorogan dan bandongan. Metode sorogan dan bandongan

hanya bersifat umum dan sederhana yang bersifat subjektif. Praktek pendidikan ini

dilakukan dengan non formal, karena itu tidak diberikan ijazah formal. Begitu pula

pendidikan itu tidak mengenal batas waktu tertentu. Pengajian berlangsung secara

rutin dalam setahun.23 Sedangkan pengajian dihadiri oleh santri-santrinya yang

dilaksanakan di masjid Agung Citangkil yang dibangun kembali oleh masyarakat

setempat setelah musnah akibat meletusnya Gunung Krakatau tahun 1883. Bahkan

mesjid Agung Citangkil ini ketika meletusnya perang Cilegon menjadi salah satu pusat

komando pertempuran antara pasukan K.H. Wasyid sendiri melawan pasukan

Belanda yang paling seru dibawah pimpinan K.H. Wasyid di sekitar Kubang Panggang

dan Urangan di Cilegon. Tempat yang dinilai memiliki sejarah yang amat penting itu,

sangat disayangkan karena saat ini dijadikan kawasan P.T. Krakatau Steel,24 yang

seharusnya dijadikan situs sejarah untuk pembelajaran generasi muda saat ini.

Pengajaran yang diberikan oleh K.H. Sjam’un melalui metode sorogan dan

bandongan. Metode sorogan adalah seorang santri mendatangi seorang kyai yang

22
Wawancara dengan Sarbini di Cilegon, 8 Februari 2003.
23
Wawancara dengan Sarbini di Cilegon, 8 Februari 2003.
24
Mansyur Muhyidin, Naskah, 1990, op.cit., hlm. 55.
24

akan membacakan beberapa baris dari kitab-kitab yang berbahasa Arab dan

menterjemahkannya ke dalam bahasa Jawa atau Sunda. Kemudian santri tersebut

mengulangi dan menterjemahkannya kata demi kata semirip mungkin seperti yang

dilakukan oleh kyainya. Sistem penerjemahannya dibuat sedemikian rupa sehingga

para santri mengetahui baik arti maupun fungsi kata dalam suatu struktur kalimat

bahasa Arab. Dengan demikian para santri dapat belajar tata bahasa Arab langsung

dari kitab-kitab tersebut. Para santri diharapkan menguasai pembacaan dan

terjemahannya secara tepat dan hanya bisa menerima tambahan pelajarannya bila

telah berulang-ulang mendalami pelajaran sebelumnya. Metode sorogan diberikan

oleh K.H. Sjam’un kepada santri-santrinya yang memerlukan bimbingan individual.

Metode sorogan ini dalam pengajaran di pesantren Citangkil merupakan tahapan

paling sulit dari keseluruhan sistem pengajaran di pesantren, sebab metode ini

menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi para santri. Metode

sorogan merupakan dasar bagi para santri untuk bisa mengikuti dan memetik

keuntungan dari metode bandongan yang sering kali digunakan oleh K.H. Sjam’un

dalam menyampaikan sejumlah pengajarannya kepada para santri.25 Penetapan

metode sorogan ini memiliki beberapa keuntungan yang cukup efektif, antara lain: (1)

Kemajuan pendidikan dan pengajaran sesuai dengan kondisi dan kemampuan santri;

(2) Evaluasi dan penguasaan terhadap kitab-kitab yang dipelajari santri lebih mantap

25
Wawancara dengan Sarbini di Cilegon, 8 Februari 2003.
25

dan konkrit; (3) Hubungan antara kyai dan santri lebih dekat; (4) Memudahkan santri

yang baru pertamakali mempelajari kitab-kitab agama.26

Sedangkan metode bandongan atau metode wetonan yakni para santri

mendengarkan K.H. Sjam’un membaca, menterjemahkan, menerangkan dan

seringkali mengulas kitab-kitab Islam klasik yang lain yang tertulis dalam bahasa Arab.

Setiap santri memperhatikan kitabnya masing-masing dan membuat catatan baik arti

maupun keterangan tentang kata-kata atau pikiran yang sulit.27

Masyarakat Banten mengharapkan agar ia sebagai ulama menguasai dengan

baik tentang hukum Islam, terutama yang menyangkut warisan. Hal ini bertujuan

untuk menolong orang-orang Islam dalam mengatur hidup mereka menurut yari’at.

Memang sepintas lalu hanya terlihat sekedar sebagai pembina pesantren Citangkil,

tetapi peranan didalamnya cukup militan.28

Dalam kaitan ini Sartono Kartodirdjo, menuliskan betapa besar peranan ulama

dalam menunjang para sultan melawan Belanda antara lain dinyatakan: (1) Ulama

menjadi aparat yang sangat bahaya ditangan penguasa-penguasa pribumi dalam

melawan kepentingan kolonial Belanda: (b) Ulama-ulama selalu tidak berubah dan

selalu dijumpai dalam setiap pemberontakan atau perlawanan bersenjata.29

26
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta, 1974, hlm.
59.
27
Wawancara dengan Sarbini di Cilegon, 8 Februari 2003. Lihat juga Martin Van Bruinessen, Kitab
Kuning Pesantren dan Tarekat-Tarekat, Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, Bandung, 1999, hlm. 130.
28
Wawancara dengan Fatullah Sjam’un di Cilegon, 18 Februari 2003.
29
Sartono Kartodirdjo (ed.), Elit Dalam Perspektif Sejarah, Jakarta, 1983, hlm. 123.
26

Dengan demikian ulama tidak hanya terlihat sekedar sebagai pembina

pesantren, tetapi telah diakui oleh Sartono Kartodirdjo, bahwa para ulama

merupakan para penguasa dalam melawan usaha perluasan kekuasaan asing di

Indonesia. Dengan demikian ulama memegang peranan fungsi-fungsi termasuk

bidang politik dan militer.30

Kondisi yang demikian itu mengubah fungsi pesantren yang tadinya sebagai

lembaga pendidikan, juga sebagai pembangkit semangat anti Belanda. Pesantren K.H.

Sjam’un menampakkan gejala itu. Oleh karena itu, ia disamping mengajarkan ilmu-

ilmu keislaman, juga mengajarkan bagaimana caranya agar penjajahan di tanah air ini

untuk cepat dihentikan. Pesantren Citangkil yang berdiri pada tahun 1916 oleh K.H.

Sjam’un kemudian pada tahun 1925 diberi nama Pesantren Al-Khaeriyah. Tujuannya

untuk membina kader-kader bangsa yang siap menghadapi perubahan zaman. Pada

tahun 1916-1923 K.H. Sjam’un dengan kegigihannya telah mengajarkan santri-

santrinya tentang ilmu-ilmu keislaman sebagai basis utama sebelum mengenal ilmu

lain.31

Aktivitasnya dalam menggembleng dan mendidik santri-santri pada tahap

awal sangat giat dan serius. Tahap awal pengkaderan berlangsung pada tahun 1916

sampai 1923. Ditahun 1924, K.H. Sjam’un melaksanakan ibadah haji, dan untuk

sementara pesantrennya ditutup. Sedangkan santri-santrinya yang telah mendapat

30
Ibid., hlm.124.
31
Wawancara dengan Dzarqani di Jakarta, 28 Februari 2003.
27

gemblengan kembali ke kampungnya masing-masing untuk menyebarkan ilmunya.

Sekembalinya dari Mekah (1925), ia membuka kembali pesantrennya. Pada tahun

yang sama ia mengundang santri-santrinya yang telah digemblengnya itu untuk

mendirikan kembali pesantren yang menggunakan sistem pendidikan yang klasikal

dengan tetap mempertahankan sistem sorogan dan bandongan.32

C. Pembaharuan Pesantren Citangkil Cilegon.

Kehadiran KH. Sjam’un dalam masyarakat Banten diterima sebagai pelopor

pembaharuan dan pengaruhnya pun semakin dirasakan setelah berhasil membina

Pesantren Citangkil yang kemudian diberi nama Perguruan Islam Al-Khaeriyah.33

Reputasinya yang sangat baik, menyebabkan ia selalu dikenang pada generasi

berikutnya hingga saat ini. Semenjak keinginan K.H. Sjam’un untuk mendirikan

pesantren kecil sampai menjadi besar yang kemudian disahkan oleh pemerintah

Belanda pada tanggal 5 Mei 1925. Dan tahun itu oleh pengurus Perguruan Islam Al-

Khaeriyah Citangkil dijadikan sebagai hari jadi Perguruan Islam Al-Khaeriyah Citangkil

Cilegon Banten.34 Dimana pada awal pendirian yang tadinya hanya menggunakan

sistem tradisional kemudian ditambah atau dilengkapi dengan sistem

32
Wawancara dengan Sarbini di Cilegon, 8 Februari 2003.
33
Nama Al-Khaeriyah berasal dari nama suatu bendungan yang ada di Mesir yaitu bendungan Sungai
Nil yang bernama bendungan Al-Khaeriyah yang dari bendungan itu dapat mengairi sekian luas lahan
pertanian dan meningkatkan taraf kesuburan di sekitar lembah sungai itu, sehingga dapat mengangkat
taraf hidup masyarakat. K.H. Sjam’un selanjutnya mengadobsi nama bendungan itu untuk nama nama
pesantrennya di Citangkil (Mansyur Muhyidin, Naskah, 1990, op.cit., hlm. 52; Wawancara, Sarbini di
Cilegon, 8 Februari 2003).
28

klasikal/madrasah. Prestasi ini diperolehnya tidak lepas dari partisipasi dari para

santrinya. Kemudian K.H. Sjam’un membuka pusat pendidikan yang lebih luas yang

menggabungkan dua sistem pendidikan tradisional dengan modern. Bantuan yang

diberikan oleh santri-santri ini yang bersifat moril dan materil juga merupakan

kewajiban bagi K.H. Sjam’un untuk dapat melestarikan tradisi Islam dengan melalui

pendidikan. Oleh karena itu santri-santri yang pandai kemudian dijadikan oleh K.H.

Sjam’un sebagai fatner untuk bersama-sama mengembangkan pendidikan Islam di

Citangkil Cilegon Banten.35

Gambaran tersebut di atas, menunjukan bahwa peranan K.H. Sjam’un di

pesantren ini mempunyai kharisma dan pengaruh yang sangat kuat terhadap

masyarakat Banten dan sekitarnya. Peranan K.H. Sjam’un untuk meningkatkan

pesantrennya itu selain karena ia mempunyai keunggulan dibidang keagamaan dan

kepribadian yang dapat dipercaya serta patut diteladani, karena ia dianggap

keturunan dari K.H. Wasyid yang telah mengobarkan semangat kemerdekaan. Hal ini

memang pada umumnya di kalangan pesantren silsilah memainkan peranan penting,

yang secara komparatif lebih kuat dalam membentuk tingkah laku masyarakat.36

Inilah antara lain yang menyebabkan K.H. Sjam’un sebagai faktor terpenting

dalam meningkatkan pesantrennya. Ia mengorbankan segala yang ada padanya, tidak

terbatas pada ilmu, tenaga dan waktu, tetapi juga tanah tempat kediaman dan

34
Wawancara dengan Fatullah Sjam’un di Cilegon, 18 Februari 2003.
35
Wawancara dengan Dzarqani di Jakarta, 28 Februari 2003.
29

materi. Pada tahun 1925 setelah mendapat pengesahan dari pemerintahan kolonial

Belanda di Indonesia untuk mendirikan pesantren, selain mempertahankan sistem

sorogan dan bandongan, juga melengkapinya dengan menerapkan sistem

klasikal/sekolah. Dua sistem ini menjadi tradisi di pesantren Al-Khaeriyah yang telah

tersebar di lima propinsi yakni Jawa Barat, DKI, Lampung, Jambi dan Sumatra

Selatan.37

Model Pendidikan Islam modern yang telah berlangsung di Indonesia yang

dipelopori oleh masyarakat Arab Indonesia yaitu Pesantren Al-Jami’iyah Al-Khairiyah

(Jam’iat Khaer) yang didirikan pada tanggal 17 Juli 1905 di Jakarta. Dimana selain

mengajarkan mata pelajaran agama juga mengajarkan mata pelajaran umum. Salah

seorang pengelola pesantren tersebut terdapat nama tokoh pembaharu Islam yang

berpengaruh di Indonesia yakni Ahmad Syurkati,38 karena di kalangan pengurus

tersebut terjadi perpecahan, maka Syurkati mendirikan lembaga pendidikan modern

yang bernama Al-Irsyad, didirikan pada tanggal 11 Agustus 1915. Kehadiran

Pesantren Jam’iat Khaer yang kemudian diteruskan oleh Pesantren Al-Irsyad, dua

36
Wawancara dengan Fatullah Sjam’un di Cilegon, 18 Februari 2003.
37
Mansyur Muhyidin, Naskah, 1990, op.cit., hlm. 56.
38
Ahmad Syurkati, tokoh utama Al-Irsyad ini dilahirkan di Dongola Sudan 1292 H (1872). Ayahnya
bernama Syurkati, dikenal memiliki karakter mulia. Ia mendapatkan namanya dari tokoh al-Ansori
yang mashur, Jabir bin Abd Allah. Ahmad Syurkati meninggal tahun 1943 di Jakarta (Studi lebih
lanjut lihat Bisri Afandi, Syaikh Ahmad Syurkati (1874-1943 M), Pembaharuan dan Pemurni Islam di
Indonesia, Jakarta, 1999, hlm. 209).
30

lembaga pendidikan Islam modern ini pelopor dalam membangun pendidikan Islam

modern baik di kota maupun di desa.39

Lembaga pendidikan Islam modern pada awal abad XX ini banyak

bermunculan di berbagai wilayah Nusantara. Namun pada intinya lembaga-lembaga

pendidikan tersebut mengambil sikap yang agak berbeda dengan lembaga pendidikan

sebelumnya. Perbedaannya terletak pada usaha perluasan-perluasan pemahaman

Islam yang tidak terbatas hanya kepada fiqih, tafsir dan hadits saja. Tetapi meliputi

ilmu-ilmu keduniaan dengan mengintegrasikannya sebagai satu kesatuan yang

komprehensif. Para pendiri yang juga sekaligus tokoh pembaru itu telah memandang

bahwa ijtihad sangat dibutuhkan dan harus terbuka luas dalam rangka memecahkan

persoalan-persoalan kehidupan masyarakat. Dengan menyatakan kembali kepada al-

Qur’an dan Hadits, berarti menjadikan kedua sumber tersebut sebagai dasar hukum

sekaligus sebagai sumber ilmu pengetahuan. Juga intensitas pada pengembangan

pemikiran (akal-pikiran) sangat besar dengan menampilkan metodologi pendidikan

yang tidak lagi dogmatis, tetapi lebih bersifat terbuka melalui diskusi untuk

merangsang perkembangan wawasan dan kekuatan akal pikiran peserta didik.40

K.H. Sjam’un lewat pendirian pendidikan Islam yang modern ini dimaksudkan

untuk menemukan kembali ajaran dan prinsip dasar yang berlaku abadi yang dapat

menembus ruang dan waktu. Ia berusaha mengembalikan ajaran dasar Islam dengan

39
Muhammad Irsjad Djuwaeli, Pembaharuan Kembali Pendidikan Islam, Jakarta, 1998, hlm. 33.
40
Bisri Afandi, op.cit., hlm. 220.
31

menyingkap kembali agama (din) dengan melepaskan kejumudan, kebekuan, dan

stagnasi pemikiran baik dalam masalah duniawi maupun masalah keagamaan. Sedang

tema yang menjadi landasan adalah kembali kepada sumber asli ajaran Islam (al-

Qur’an dan Hadits).41

Berdirinya pesantren Al-Khaeriyah dalam bentuk yang baru mengalami

perkembangan dan perubahan-perubahan dalam sistem pendidikannya yang

disesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Dimana pondok

pesantren yang semula bukan merupakan pendidikan sekolah atau madrasah, ini

telah menjadi pesantren yang bernuansa klasikal. Walaupun demikian, tetap disadari

bahwa pembaharuannya bukan semata-mata merupakan lembaga pendidikan,

melainkan juga dinilai sebagai lembaga kemasyarakatan. Justru wataknya yang

demikian, maka peranan pesantren dalam pendidikan dan pengembangannya adalah

sangat dominan. Disamping itu, pesantren yang secara historis dalam

perkembangannya memiliki fungsi pokok sebagai pencetak calon ulama dan ahli

agama, sampai dewasa ini fungsi pokok tersebut tetap terpelihara dan dipertahankan

seperti yang dilakukan pesantren Al-Khaeriyah, walaupun pesantren itu sudah

ditingkatkan menjadi pesantren modern yang menggunakan sistem klasikal.42 Dengan

demikian penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran melalui sistem tersebut

41
Wawancara dengan Fatullah Sjam’un di Cilegon, 18 Februari 2003.
42
Tim Peneliti Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri “Sunan Gunung Djati” Serang, Naskah,
Dinamika Sistem Pendidikan Al-Khaeriyah Tentang Arah Pembinaan dan Pengembangan dari Visi
32

merupakan komponen yang pokok dalam pembinaan masyarakat. Untuk itu

perkembangan pesantren itu ditentukan oleh kyai sendiri sebagai pimpinan, serta

ditentukan pula oleh masyarakat di lingkungannya yang menjadi pendukung

Pesantren Al-Khaeriyah yang dibina oleh K.H. Sjam’un.43

Pada tahun-tahun pertama 1925-1928, K.H. Sjam’un dibantu oleh santri-

santrinya yang mengabdikan diri untuk mengembangkan pesantren Al-Khaeriyah agar

menjadi maju dan berkembang. Perencanaan-perencanaan yang berhubungan

dengan kegiatan belajar mengajar diusahakan dengan kemampuan K.H. Sjam’un

beserta alumni yang telah ditugaskan untuk membantu mengatur program (baik

kurikulum, bahkan sampai anggaran dasar anggaran rumah tangga (AD/ART), juga

administrasi) madrasah Al-Khaeriyah.44

Kurikulum klasikal dimana sistem penambahan pada mata pelajaran umum

disamping pada mata pelajaran agama. Kurikulum agama dipesantren ini adalah Al-

Qur’an dan tafsirnya, Aqaid dan ilmu Kalam, Fiqih dengan Ushul Fiqih, Hadits dengan

Mustalah Hadits, Bahasa Arab dengan Ilmu Nahwu (Saraf, Ma’ani, Badi, dan Arudh,

Tarikh, Mantiq, Al-Fiyah dan Jurumiyyah). Sedangkan pelajaran umumnya adalah

Keunggulan, Laporan Hasil Penelitian Kelompok IAIN “Sunan Gunung Djati” Serang, Serang, 1996,
hlm. 51.
43
Wawancara dengan Fatullah Sjam’un di Cilegon, 18 Februari 2003.
44
Wawancara dengan Sidiq di Cilegon, 18 Februari 2003.
33

pelajaran, Ilmu Al-Jabar (menghitung), Ilmu Alam, Ilmu Hayat, Ilmu Bumi, Ilmu

Kosmografi, Ilmu Sejarah.45

Sistem Kelas di Madrasah Al-Khaeriyah ini dimulai dari: (1) Kelas nol (Awaliyah)

selama satu tahun; (2) Kelas setengah (Tahdiriyah) selama satu tahun; (3) Kelas I

selama satu tahun; (4) Kelas II selama satu tahun; (5) Kelas III selama satu tahun; (6)

Kelas IV selama satu tahun; (7) Kelas V selama satu tahun; (8) Kelas VI selama satu

tahun; (9) Kelas VII selama satu tahun.

Gambaran sistem kelas tersebut, maka setiap santri al-Khairiyah akan

menempuh pendidikan selama sembilan tahun. Dua tahun untuk kelas persiapan dan

tujuh tahun untuk program Madrasah.46 Sistem ini untuk menanggulangi salah satu

kelemahan sistem tradisional yang tidak bisa mengontrol kehadiran siswa dengan

baik. Dalam kelas persiapan santri diberi pengajaran bahasa Arab secara intensif

sebagai dasar untuk dapat menerima pelajaran selanjutnya. Kurikulum Madrasah ini

berupa pelajaran agama ditambah pelajaran umum.47 Kurikulum pelajarannya yang

paling khas di Perguruan Islam Al-Khaeriyah adalah Kitab Fiqih, seperti: kitab Kifayatul

Ahyar, kitab Kifayatul Awam, dan kitab Jalalayin, ditambah dengan kitab Al-Fiyah,

45
Wawancara dengan Dzarqani di Cilegon, 28 Februari 2003.
46
Baydiyah Zakiyatul, et. al., Naskah, Perjuangan Brigadir Jenderal K.H. Sjam’un: Studi di Perguruan
Islam Al-Khaeriyah Citangkil Cilegon, Hasil Penelitian Kelompok Jurusan Adab, Sekolah Tinggi
Agama Islam Negeri “Sultan Maulana Hasanuddin Banten”, Serang, 2002, hlm. 50.
47
Wawancara dengan Dzarqani di Jakarta, 28 Februari 2003.
34

kitab Jurmiyah dan kitab Qawaidul Lughawiyah. Yang semuanya ini wajib dipelajari

bagi santri.48

Pada umumnya para santri tinggal di pondok yang telah disediakan oleh

yayasan baik santri yang berasal dari dalam atau dari luar Keresidenan Banten. Selain

mendapatkan mata pelajaran di madrasah setiap harinya, juga belajar di luar jam

sekolahnya yaitu waktu yang telah ditentukan untuk belajar “kitab-kitab kuning”

dengan memakai sistem sorogan dan wetonan. Umumnya para santri lebih tertarik

tinggal di sana untuk mengaji “kitab-kitab kuning” yang telah dijadual oleh pengurus

pondok Pesantren Al-Khaeriyah Citangkil. Kurikulumnya disusun sesuai dengan

tingkatan umur sekolah.49

Kurikulum pondok untuk tingkat ibtidaiyah yakni pelajaran Al-Qur’an (belajar

membaca Al Quran). Kemudian setelah dapat membaca al-Quran dengan baik dan

lancar, maka dilanjutkan dengan pelajaran: seperti Kitab safinah al-Naja (Fiqih), Qotr

al-Ghayth (Tauhid), Nasa’ih al-Ibad (Akhlak), al-Jurumiyyah (Nahwu), dan al-Kailani

(Saraf). Setelah kitab tersebut dipejalari dengan baik kemudian meningkat ke

pelajaran kitab, yaitu: Minhaj al-Qawim (Fiqih), Ibrahim al-Bajuri (Tauhid), Bidayatul

al- Hidayah (Akhlaq), Sharah al-Imriti (Nahwu), Lamiyah al-Af’al (Saraf).50

48
Wawancara dengan Fatullah Sjam’un di Cilegon, 18 Februari 2003,
49
Wawancara dengan Saleh di Anyer Cilegon, 17 Februari 2003.
50
Wawancara dengan Fatullah Sjam’un di Cilegon, 18 Februari 2003.
35

Untuk menambah wawasan santri selama berada di Madrasah Al-Khaeriyah,

diadakanlah kegiatan ekstrakurikuler, sebagai sarana menggembleng agar mampu

berinteraksi dengan masyarakat sekitar lingkungan pesantren. Organisasi santri itu

ialah seperti: kepanduan, kesenian (musik rakyat) dan olahraga (pencak silat).

Organisasi tersebut sifatnya hanya sampingan dan tidak ada kewajiban

mengikutinya.51

Tahun 1929, K.H. Sjam’un berusaha memperluas dan menyempurnakan

Perguruan Islam Al-Khaeriyah, sehingga madrasah Pesantren Citangkil merupakan

sebuah komplek pendidikan kampus yang terdiri dari beberapa lembaga

pendidikan52. Untuk mengatasi kebutuhan dana atau pembiayaan madrasah yang

mulai berkembang dengan pesat, maka pada tahun 1924 didirikanlah sebuah

koperasi yang diberi nama Koperasi Bumi Putra Citangkil.53 Untuk mengelola dan

mengorganisir madrasah-madrasah secara baik, maka pada tanggal 21 Juni 1931

didirikan organisasi “Jami’iyah Nadhdlotul Syubbanil Muslimin” (Perkumpulan

Kebangkitan Pemuda Islam) bertempat di Citangkil Cilegon.54

51
Wawancara dengan Fatullah Sjam’un di Cilegon, 18 Februari 2003.
52
Cabang-cabang Madrasah itu antara lain: Madrasah Ibtidaiyah di Kampung Dalingseng, Desa Kebon
Sari Kecamatan Pulomerak (Ciwandan), Kabupaten Serang, Madrasah Ibtidaiyah di Desa Kamasan
Kecamatan Cinangka, Kabupaten Serang, Madrasah Ibtidaiyah di Kampung Kalumpang, Desa
Rancaranji Kecamatan Padarincang Kabupaten Serang, dan Madrasah Ibtidaiyah di Kampung Pipitan
Desa Kiara Kecamatan Walantaka Kabupaten Serang (Mansyur Muhyidin, Naskah, 1990: 59).
53
Koperasi Bumi Putra Citangkil ini diketuai oleh K.H. Abdul Aziz yang merupakan alumnus
pesantren Al-Khaeriyah. Wawancara dengan Fatullah Sjam’un di Cilegon, 18 Februari 2003.
54
Adapun susunan pengurus organisasi Jamiyah Nahdlatusy Syubbanil Muslimin sebagai berikut:
Pelindung; K.H. Sjam’un, Penasehat; H. Abdul Aziz, Ketua; K.H. Ali Jaya, Wakil Ketua; H. Abdul
Djalil, Sekretaris I; K.H. Masria, Sekretaris II; M. Syadeli Hasan, Bendahara I; H. Abdurrahim,
Bendahara II; Halimi, Anggota; M. Asy’ari, H. Halimi, H. Hasan Bolang, Qomaruzzaman, Abdul
36

Dalam mengembangkan organisasi ia mengusahakan agar para santri terbaik

lulusan Al-Khaeriyah Citangkil diangkat sebagai guru bantu di Al-Khaeriyah pusat

(Citangkil). Sedangkan yang lainnya disarankan mengembangkan pengetahuannya

dengan mendirikan madrasah-madrasah Al-Khaeriyah di daerahnya masing-masing

sebagai madrasah cabang. Pada tahun 1933 dua orang pemuda lulusan Al-Khaeriyah

Citangkil melanjutkan pendidikannya di Al-Azhar Cairo Mesir. Mereka itu adalah

Abdul Fatah Hasan dan Muhammad Syadeli Hasan, keduanya kakak beradik yang

berasal dari kampung Beji, desa Bojonegara, Kabupaten Serang.55

Pada tahun 1934, K.H. Sjam’un meubah sistem pendidikan yang semula masa

belajar ditempuh selama sembilan tahun, diubah menjadi sebelas tahun dengan tiga

tingkatan: madrasah ibtidaiyah (sekolah dasar) dengan masa belajar enam tahun,

madrasah Tsanawiyah dengan masa belajar tiga tahun, madrasah Mualimin

(Pendidikan Guru) masa belajar dua tahun. Jadi seluruhnya menjadi 11 tahun masa

studinya.56 Guru-guru yang berkompeten direkrut dari lulusan Al-Khaeriyah sendiri

ditambah dengan guru-guru yang datang dari Mekah.57

Kurikulum pondok pesantren untuk tingkat madrasah Tsanawiyah kitabnya

yaitu: Kifayatul al-Akhyar (Fiqih), Waraqah (Ushul Fiqih), Taftazani (Tauhid), Nasaih

Fatah Hasan, Shahim, Syibromelisi, Rasiman, M. Sufi, M. Rafe’i, H. Thohir, dan Rasydi. (Mansyur
Muhyidin, Naskah, 1990, op.cit, hlm. 80).
55
Baydiyah Zakiyatul, “Perkembangan dan Pertumbuhan Perguruan Islam Al-Khaeriyah Citangkil
Cilegon 1916-1945”, Skripsi, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri “Sultan Maulana Hasanuddin
Banten”, Serang, 2002, hlm. 52.
56
Mansyur Muhyidin, Naskah, 1990, op.cit., hlm. 81.
57
Wawancara dengan Fatullah Sjam’un di Cilegon, 18 Februari 2003.
37

al-Diniyah (Akhlak), al-Mutammina (Nahwu), Tasrif al-Lughawi (Saraf), al-Tafsir

(Tafsir), Muhtar al-Hadits al-Nabawiyah (Hadits), Minhaj al-Muqhith (Mustalah

Hadits), al-Somad (Fiqih), Lataif al-Isharah (Ushul Fiqih), Kifayah al-Awam (Tauhid), al-

Hikam (Akhlak), Bulugh al-Maram (Hadits), al-Fiyah al-Suyuti (Mustalah Hadits),

Dahlan al-Fiyah (Nahwu dan Saraf), al-Jalalayin (Tafsir), Sharah

al-Jauhari al-Ma’mun (Balaghah), dan Idah al-Mubham (Mantiq). Sedangkan untuk

kurikulum pondok pesantren tingkat Mualimin kitabnya seperti; Fath al-Mu’in,

Qalyubi wa ‘Amirah (Fiqih), al-Mustasfa, Nihayah ‘l-Saul (Ushul Fiqih), Sahih al-

Bukhari, Sahih al-Muslim (Hadits), Minhaj Dhawi ‘l- Nazar, Sharah al-Fiyah, al-Suyuti

(Mustalah Hadits), Sharah al-Talibin, Ihya’ Ulum al-Din (Akhlak), Ibnu Kathir, Ibnu Jarir

al-Tabari (Tafsir), Mi’yar al-‘Ilmi (Mantik), Umm al-Barahim (Tauhid).58

Tampaknya K.H. Sjam’un berupaya keras untuk kemajuan madrasah ini.

Menurutnya, ajaran Islam secara tegas mewajibkan kepada pemeluknya untuk

menuntut ilmu, karena itu kebutuhan umat Islam akan sarana pendidikan ini makin

disadari dirasakan, ajaran Islam juga memberikan motivasi yang kuat terhadap

pemeluknya untuk saling membantu sesamanya, terutama kepada mereka yang

membutuhkan uluran tangan dibidang pendidikan yang modern. Sementara itu

lulusan-lulusan pesantren makin tergeser statusnya oleh alumni pendidikan umum

yang K.H. Sjam’un berusaha keras agar pesantrennya menjadi madrasah modern.59

58
Wawancara dengan Sarbini di Cilegon, 8 Februari 2003.
59
Wawancara dengan Saleh di Anyer Cilegon, 17 Februari 2003.
38

Atas usaha K.H. Sjam’un, pada tahun 1936 di pusat Perguruan Islam Al-

Khaeriyah Citangkil didirikan sekolah umum Hollandsch Inlandsch School (HIS) hanya

sampai enam tahun. Lembaga ini bersifat modern dan berbahasa Belanda, namun di

dalamnya diajarkan juga berbagai mata pelajaran agama Islam seperti ilmu Al-Qur’an,

Tafsir dan Hadits. Pembangunan sekolah umum ini merupakan indikasi keprihatinan

K.H. Sjam’un terhadap situasi pendidikan Islam yang masih tradisional dan tidak

mampu bersaing dengan sekolah-sekolah modern.60 Karena sekolah-sekolah

pemerintah kolonial Belanda hanya anak priyayi yang dapat memasukinya.61

Pemerintah kolonial Belanda mendirikan HIS ini tahun 1914, yang merupakan

pengembangan dari Sekolah Kelas Satu. Dengan dibukanya HIS ini pemerintah

Belanda memberikan kemungkinan yang lebih besar bagi murid-murid untuk

melanjutkan pendidikan dan mempersiapkan diri memasuki sistem kolonial, sebab

HIS ini dibuka atas desakan golongan atas, karena Sekolah Kelas Satu ternyata tidak

memenuhi syarat bagi murid-muridnya untuk melanjutkan pendidikan lebih tinggi.

HIS dimaksudkan sebagai standen school, yaitu sekolah berdasarkan status. Untuk

menentukan status sosial seseorang, pemerintah membuat ketentuan yang

dituangkan dalam Sbt. 1914 No. 359. Sebagai syarat dapat memasukan anaknya ke

HIS. Ada empat kategori mengenai status sosial seseorang, yaitu: keturunan, jabatan,

kekayaan, dan pendidikan. Disamping itu juga pemerintah berpedoman pada

60
Wawancara dengan Sarbini di Cilegon, 8 Februari 2003.
61
Wawancara dengan Sarbini di Cilegon, 8 Februari 2003.
39

penghasilan seseorang setiap tahunnya. Pertama kategori A, termasuk kaum

bangsawan seperti; pejabat atau swasta orang kaya yang berpenghasilan 75 gulden

perbulan. Kedua, kategori B ialah orang tua tamatan MULO dan Kweekschool (ke

atas). Ketiga, kategori C ialah pegawai desa, pengusaha kecil, kaya dan orang tua yang

pernah mendapat pendidikan HIS. Orang tua pada kategori ini dianggap sebagai

golongan kelas menengah bawah, sedang kategori A dan B dianggap kelas atas dan

mendapat prioritas pertama dalam memasukan anaknya ke HIS.62 Terlepas dari

ketentuan di atas HIS telah memberi kesempatan bagi golongan rendah dan pihak

swasta untuk memperoleh pendidikan dengan sistem kolonial. Hal ini berarti

peningkatan pendidikan pribumi bahkan lama belajar di HIS pun di tingkatkan dari

lima tahun menjadi enam tahun kemudian meningkat menjadi tujuh tahun.63

Dengan pendirian HIS di Perguruan Islam Al-Khaeriyah Citangkil, K.H. Sjam’un

memberikan kesempatan kepada masyarakat yang ingin melanjutkan sekolahnya ke

HIS. Guru-guru yang direkrut oleh K.H. Sjam’un untuk mengajar di HIS mereka adalah

yang dari alumnus Al-Khaeriyah Citangkil sendiri, antara lain:

1. Meneer Chusnun Achyar, alumnus Al-Khaeriyah Citangkil, berasal dari

Grogol Pulomerak.

2. Meneer Idris, alumnus Al-Khaeriyah Citangkil, berasal dari Bandung Jawa

Barat.

62
Dekdikbud, Sejarah Pendidikan Jawa Barat, Jakarta, 1998, hlm.74.
63
Ibid., hlm. 75.
40

3. Meneer Abdoerrahman, alumnus Al-Khaeriyah Citanngkil, berasal dari

Kupang Tebe, (Tanjung Karang Lampung).

4. Meneer Sahdi, alumnus Al-Khaeriyah Citangkil, berasal dari Cianjur Jawa

Barat.

5. Meneer Asjikin Hamim, alumnus Al-Khaeriyah Citangkil, berasal dari

Kupang Tebe (Tanjung Karang Lampung);

6. Meneer Sjahsiam, alumnus Al-Khaeriyah Citangkil, berasal dari Cianjur

Jawa Barat.64

Kemajuan Pesantren Al-Khaeriyah Citangkil dari tahun 1929-1942 cukup

pesat, ini tidak dapat dipisahkan peranan para santri senior yang juga keluarga

dekatnya yang mendapat kesempatan untuk mengelola pesantren. Dari pesantren

kecil sampai berkembang menjadi pesantren besar dan berpengaruh di Banten pada

masa itu, karena banyak santri meneruskan pelajaran tingkat lanjutan ke Pesantren

Citangkil. Para santri tertarik dengan sistem pengajaran modern yang diterapkan di

Citangkil. K.H. Sjam’un adalah ulama yang ahli ilmu Fiqih dan ilmu tata bahasa Arab,

mata pelajaran yang dipandang penting yang mempunyai daya tarik atau yang paling

populer di mata para santri. Penguasaan dua ilmu ini, K.H. Sjam’un dikenal sebagai

ulama pembaharu di kalangan ulama tradsional. Pembaharuan-pembaharuan

pendidikan pada Pesantren Al-Khaeriyah dengan memasukan pelajaran umum

64
Wawancara dengan Saleh di Cilegon, 17 Februari 2003.
41

disamping agama memiliki dampak positif bagi lulusan Pesantren Al-Khaeriyah

Citangkil. 65

Pemerintah Belanda terus mengikuti gerak perkembangan Al-Khaeriyah,

dengan menyimpan kekuatiran terhadap K.H. Sjam’un selaku pimpinannya. Belanda

dalam hal ini mengirimkan utusannya untuk mengawasi Perguruan Al-Khaeriyah yaitu

Van Der Plas sebagai Residen Cirebon pada waktu itu. Pada tahun 1940 dua orang

siswa Al-Khaeriyah yang dikirim oleh K.H. Sjam’un ke Mesir kembali ke tanah airnya

setelah menyelesaikan studinya di Mesir Al-Azhar Kairo.66 Keduanya ditugaskan oleh

K.H. Sjam’un untuk mengajar di tingkat Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah

Mu’alimin di Al-Khaeryah Citangkil.67

Perguruan Islam Al-Khaeriyah Citangkil terus mengalami kemajuan walaupun

selalu mendapatkan perhatian Belanda, sampai berakhirnya kekuasaan Belanda di

Indonesia. Kemudian digantikan oleh pemerintah pendudukan Jepang di Indonesia

tahun 1942.68 Politik Jepang sangat berbeda dengan politik Belanda. Dimana politik

yang dijalankan oleh Jepang secara terang-terangan mengambil hati kalangan santri

muslim, dan melalui mereka memobilisir masyarakat luas untuk membangun sistem

65
Mansyur Muhyidin, Naskah, 1990, op.cit., hlm 62.
66
Wawancara dengan Mahdiyah di Cilegon, 28 Juli 2003.
67
Wawancara dengan Fatullah Sjam’un di Cilegon, 18 Februari 2003.
68
Wawancara dengan Dzarqani di Jakarta, 28 Februari 2003.
70
Wawancara dengan Fatullah Sjam’un di Cilegon, 18 Februari 2003.
42

pertahanan menghadapi kemungkinan ancaman sekutu. Politik ini memberikan

kesempatan bagi banyak lulusan pesantren menduduki jabatan birokrasi.69

Meskipun dari segi agama secara murni Jepang tidak mungkin berhasil

bercita-cita untuk menjadi pusat dunia Islam yang sebenarnya. Pendekatannya secara

geopolitik dengan Indonesia tidaklah diremehkan. Tambahan pula, propaganda

Jepang yang cekatan hampir pasti sampai tingkat tertentu efektif di Indonesia.

Dengan menekankan apa yang disebut persamaan antara agama Shinto dan agama

Islam, dia mengumbar harapan bahwa kaisar akan beralih agama dan memeluk

agama Nabi Muhammad Saw. Melukiskan suatu gambaran gilang-gemilang, tentang

dunia kekuasaan Islam yang berpusat dikelilingi kaisar khalifah Jepang raya. Karena itu

ditinjau dari segi harapan Islam di Indonesia, bukanlah tidak mungkin bahwa bagi

beberapa pemimpin Islam pembebasan Jepang dari pemerintah Kristen kelihatannya

bukan tidak masuk akal dan bukan sama sekali tidak diingini. Faktor ini bersama

orientasi internasional Islam Indonesia yang telah dibicarakan terdahulu, bisalah

menjadi alasan bagi suatu sikap penuh harapan meskipun tidak jelas.70

Keseimbangan kekuatan selain dijaga oleh pemerintah pendudukan Jepang.

Selain mengembalikan partisifasi pemimpin nasional sekuler, pemerintah Jepang juga

mendorong muslim santri untuk berpartisifasi dalam bidang politik. Ketika situasi

Jepang semakin terdesak oleh Sekutu, maka untuk itu Jepang pada tanggal 3 Oktober
43

1943 membentuk tentara Pembela Tanah Air (Peta) yang juga melibatkan para

santri.71 K.H. Sjam’un di masa pendudukan Jepang diangkat menjadi Daidanco

(Komandan Batalyon) untuk wilayah Banten, sedangka santrinya menjadi Shudanco

(Komandan Peleton).72

Untuk meneruskan perjuangannya di Perguruan Islam Al-Khaeriyah Citangkil

Cilegon, maka K.H. Sjam’un mengangkat santrinya yaitu Ustad Sybromelisi Awi (guru

Al-Khaeriyah), sebagai pimpinan Perguruan Islam Al-Khaeriyah yang telah lama

mengabdi di Al-Khaeriyah sebagai penggantinya.73 Walaupun K.H. Sjam’un menjadi

tentara pembela tanah air, tetapi hubungan dengan pesantrennya tetap terjalin baik,

dimana K.H. Sjam’un masih menyempatkan diri untuk mengajar para santri yang ada

di pesantrennya. Hal ini ia lakukan setiap seminggu sekali berkunjung ke Citangkil,

setelah seminggu menjalankan tugasnya di Dai san Daidan (Komandan Batalyon III)

di Serang.74 Sedangkan para santri yang mengikuti jejak K.H. Sjam’un sebagai Tentara

Pembela Tanah Air (Peta), mereka itu kebanyakan santri organisasi kepanduan dan

pencak silat yang ada di Perguruan Islam Al-Khaeriyah Citangkil.75

70
Hari J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit. Islam di Indonesia Pada Masa Pendudukan
Jepang, (Terj. Daniel Dhakidae), Jakarta, 1980, hlm. 135.
71
Nugroho Notosusanto, Tentara PETA Pada Zaman Pendudukan Jepang di Indonesia, Jakarta, 1979,
hlm.73.
72
Wawancara dengan Sarbini di Cilegon, 8 Februari 2003.
73
Wawancara dengan Sidiq di Cilegon, 18 Februari 2003.
74
Wawancara dengan Mahdiyah di Cilegon, 28 Februari 2003.
76
Wawancara dengan Fatullah Sjam’un di Cilegon, 18 Februari 2003.
44
III
KETERLIBATAN K.H. SJAM’UN DALAM TENTARA PETA

A. Pembentukan Tentara Pembela Tanah Air (Peta)


Dalam rangka membangun kekaisaran di Asia, mka Pemerintah Jepang telah
meletuskan perang di Pasifik. Pada tanggal 8 Desember 1941, Jepang menyerang dan
membom Pearl Harbor, yakni pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat yang
terbesar di Pasifik. Lima jam setelah penyerangan itu, Gubernur Jenderal Hindia
Belanda Tjarda Van Starkenborgh Stachouwer menyatakan perang terhadap Jepang.1
Kemudian pemerintah Jepang mendaratkan tentaranya ke Indonesia untuk
pencapaian wilayah yang terdiri atas laut dan daratan, diperlukan sistem pendaratan
yang dilakukan oleh angkatan darat dan laut yang ditunjang oleh potensi udara dan
diperhitungkan secara akurat. Setelah membom Pearl Harbor, tindakan Jepang target
utamanya terlebih dahulu melumpuhkan pertahanan laut Inggris, Prince of Wales dan
Repulse, 10 Desember 1941 yang berhasil ditenggelamkan oleh serangan 50 pesawat
pembom tarpedo Jepang.2 Betapa cepatnya gerakan tentara Jepang, yang kemudian
Jepang bergerak ke Selatan dan menyerang Indonesia, pada tanggal 10 Januari 1942,
tentaranya telah sampai di Tarakan, Kalimantan Timur.3
Dalam gerakannya ke Indonesia, tanggal 14 Februari 1942 diturunkan
pasukan payung di Palembang, dua hari kemudian yakni pada tanggal 16 Februari
1942 Palembang dan sekitarnya berhasil diduduki. Setelah menghadapi kekalahan
yang demikian itu, Sekutu mengadakan konsolidasi pada tanggal 15 Januari 1942
membentuk kesatuan pertahanan yakni yang disebut ABDACOM (America, British,
Dutch, Australian Command) yang markas besarnya ada di Lembang.4
H. Ter Poorten diangkat sebagai panglima tentara Hindia Belanda (KNIL).
Pembentukan kesatuan pertahanan yang mendadak ini di tengah kelemahan Sekutu,
membuka kesempatan Jepang dengan mudah menerobosnya. Hal ini akibat persiapan
Jepang lebih lama dari pada Sekutu. Setelah Jepang menduduki Menado langsung ke
Kendari, Ujung Pandang terus ke Bali. Sebagai serangan wilayah Indonesia tengah
dari serangan Davao. Selanjutnya sisi timur, dan Davao terus masuk ke Ambon,
dilanjutkan ke Timor Dili dan Kupang. Serangan Jepang dari udara dan laut pada
daerah tersebut, menjadikan pertahanan ABDA tiada daya.5

1
Nugroho Notosusanto, (ed.), Sejarah Nasional Indonesia, Jilid VI, Jakarta, 1975, hlm 1.
2
Ibid., hlm.1.
3
Soeara Madjlis Islam A’laa Indonesia,15 Januari 1943, hlm. 18.
4
Soeara Madjlis Islam A’laa Indonesia, 15 Januari 1943, hlm. 18.
5
Nugroho Notosusanto, (ed.), op.cit., hlm. 2.
Tentara Keenambelas Jepang di bawah pimpinan Letnan Jenderal Hitosyi
Imamura, pada tanggal 1 Maret 1942 mendarat di tiga tempat sekaligus, yakni di
Teluk Banten, di Eretan Wetan (Jawa Barat) dan di Kranggan (Jawa Tengah).6
Dengan adanya kemenangan dan serangan mendadak dari Jepang ini, Panglima
Tertinggi Angkatan Perang Kerajaan Belanda, Jenderal H. Ter Poorten, bersama
Gubernur Jenderal pemerintah kolonial Belanda, Tjarda Van Starkenborgh
Stachouwer, menyerahkan Indonesia tanpa syarat kepada Jepang, Letnan Jenderal
Imamura, dalam kapitulasi Kalijati, Subang Jawa Barat, pada tanggal 8 Maret 1942.7
Kemenangan Jepang ini, yang dicapai dengan pendudukan, dan kedatangan Jepang
hanya naik sepeda, disertai pula mendatangi mesjid-mesjid dengan menyertakan
tentara Jepang Islam, menjadikan rakyat Indonesia menyambut kedatangan Jepang
sebagai tentara pembebasan bangsa dari pemerintah kolonial Belanda.8
Mengenai penyerahan tanpa syarat itu Jenderal H. Ter Poorten diperintahkan
untuk mengumumkan sendiri kepada pasukannya melalui radio, yang ternyata
kemudian dibacakan oleh kepala stafnya. Sesuai dengan syarat-syarat yang telah
ditentukan, senjata-senjata harus sudah diletakkan di tempat-tempat yang mudah
dilihat sebelum pukul 12.00 tanggal 8 Maret 1942. Dengan demikian berakhirlah
pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia dan dengan resmi ditegakkan kekuasaan
kemaharajaan Jepang.9
Untuk memulihkan ketertiban dan keamanan di Indonesia, tentara Jepang
mengadakan pemerintahan pendudukan militer di Pulau Jawa yang bersifat sementara
yang sesuai dengan Undang-Undang No. 1 Pasal 1, yang dikeluarkan oleh panglima
Tentara Keenambelas pada tanggal 7 Maret 1942. Pemerintahan militer sementara ini
disebut Gunseibu, yang masing-masing meliputi Jawa Barat dengan pusatnya di
Bandung, Jawa Tengah dengan pusatnya di Semarang, dan Jawa Timur dengan
pusatnya di Surabaya, disamping itu dibentuk dua daerah istimewa (koci) Surakarta
dan Yogyakarta.10
Dalam mengisi kekosongan pemerintahan Jepang mengalami kekurangan
pegawainya, sehingga terpaksa mengangkat pegawai-pegawai bangsa Indonesia. Pada
tanggal 1 April 1942 pemerintah militer Jepang mengeluarkan undang-undang
tentang peraturan gaji pegawai negeri dan lokal.11 Peraturan lain yang diberlakukan

6
Ibid., hlm. 2.
7
Ibid., hlm. 2.
8
Hari J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit. Islam di Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang,
(terj. Daniel Dhakidae), Jakarta, 1980, hlm. 133-134.
9
Onghokhan, Runtuhnya Hindia Belanda, Jakarta, 1989, hlm. 263.
10
Nugroho Notosusanto, (ed.), op.cit., hlm. 5.
11
Ibid., hlm. 6.
Jepang adalah UU Nomor 4, 1942, yakni bahwa hanya bendera Kokki Jepang yang
boleh dipasang pada hari-hari besar. Lagu kebangsaan yang boleh diperdengarkan
hanyalah lagu Kimigayo.12
Pada masa kekuasaan pemerintahan Jepang, administrasi pemerintahan ini
diadakan perubahan-perubahan dengan beberapa undang-undang dan peraturan-
peraturan yang dibuat pemerintah Jepang disesuaikan dengan kebiasaan yang berlaku
di negara Jepang. Berdasarkan Undang-Undang No. 27 tanggal 5 Agustus 1942
(tentang Pemerintahan Daerah) dan UU No. 28 tanggal 7 Agustus 1942 (tentang
Pemerintahan syu dan tokobetsusyi). Pulau Jawa, kecuali Surakarta dan Yogyakarta,
dibagi atas daerah-daerah yang disebut: Syu, Syi, Gun, Sun, dan Ku.13 Syu adalah
pemerintahan tertinggi yang berotonomi di bawah seorang Syucokan yang
kedudukannya sama dengan keresidenan (residentie). Dengan demikian provinsi
Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dihapuskan. Sebagai gantinya pada tanggal 8
Agustus 1942 dibentuk daerah pemerintahan Syu jumlahnya empat di Pulau Jawa.
Pelantikan Syucokan secara resmi pada September 1942.14
Pemerintahan Jepang dalam usaha mempersatukan semua orang Asia yang
pro Jepang maka dibentuk suatu pergerakan yang bernama Tiga A yang dibentuk oleh
kantor propaganda tidak lama setelah pendaratan tentara Jepang di Jawa.15 Semangat
semboyan itu berbunyi Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia, dan Nippon
Pemimpin Asia, di sini pemerintah militer Jepang berusaha untuk menanamkan tekad
penduduk agar berdiri sepenuhnya di belakang pemerintah tentara Jepang. Tetapi
gerakan itu tidak bertahan lama, karena gerakan itu hanya dibentuk oleh pejabat sipil
dalam propagandanya tanpa didukung oleh pejabat militer, yang memandang gerakan
itu dengan curiga.16

12
Ibid., hlm. 7.
13
Halwany Michrob dan A. Mudjahid Chudori, Catatan Masa Lalu Banten, Serang, 1993, hlm. 216.
14
Mengenai ke 17 Syu atau Keresidenan Jawa adalah: Jawa Barat: Bantam diganti dengan Banten-Syu,
Buitenzorg diganti dengan Bogor-Syu, Batavia diganti dengan Jakarta-Syu, atau Tookobetsu Daerah
khusus Ibukota, Preanger diganti dengan Priangan-Syu, Cheribon diganti dengan Cirebon-Syu. Jawa
Tengah: Tanpa penggantian nama kotanya: Semarang-Syu, Pekalongan-Syu, Banyumas-Syu, Pati-Syu,
Kedu-Syu. Jawa Timur: Tanpa penggantian nama kotanya: Surabaya Syu, Malang Syu, Bojonegoro
Syu, Kediri Syu, Besuki Syu, Madura Syu, Madiun Syu (A.G. Pringgodigdo, Tatanegara di Jawa Pada
Masa Pendudukan Jepang dari Bulan Maret sampai Desember 1942, Yogyakarta, 1952, hlm. 22-23).
15
Propaganda yang dilancarkan Jepang pada waktu pembentukan Gerakan tiga A, seperti yang
dikemukakan oleh ketuanya, Mr. Samsudin, yang antara lain menyatakan bahwa orang Barat telah
berabad-abad lamanya menjajah asia sehingga rakyat menderita. Berkat Jepanglah maka penjajahan itu
berhasil dihapuskan, sebab Jepang adalah Cahaya Asia, Pemimpin Asia, Pelindung Asia (Nugroho
Notosusanto, Tentara Peta Pada Zaman Pendudukan Jepang di Indonesia, Jakarta, 1979, hlm. 126).
16
Benda, op.cit., hlm. 112-237.
Setelah Gerakan tiga A dibubarkan, sebagai gantinya adalah Poetera (Poesat
Tenaga Rakjat) pada tanggal 9 Maret 1943, para pemimpinnya diambil dari tokoh
nasional yang populer dan berpengaruh di kalangan rakyat Indonesia, antara lain Ir.
Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan K.H. Mas Mansur yang
keempatnya dikenal dengan Empat Serangkai. Tetapi tidak lama Poetera pun
kemudian dibubarkan dan diganti dengan Djawa Hokokai (Gerakan Kebaktian
Rakyat Jawa).17
Pada akhir perang dunia kedua Jepang sudah merasa bahwa situasi dan
kondisinya mulai memburuk, di saat yang demikian itu memerlukan tambahan
angkatan perangnya. Untuk itu usaha mengorganisasi pemuda Indonesia akhirnya
dilaksanakan. Secara umum dapat dibedakan tiga jenis gerakan pemuda:
(1)`Organisasi pemuda yang bersifat militer atau yang semi militer, (2)`Organisasi
pemuda di bawah tanah, dan (3) Organisasi pemuda yang dibentuk Jepang yang
kemudian secara diam-diam dibelokan oleh pemimpin pemuda menjadi gerakan
bawah tanah untuk kepentingan perjuangan Indonesia.
Untuk itu di Jawa, Sumatra, dan Malaya (Malaysia sekarang) yang bersifat
militer dilaksanakan pada tahun 1943.18 Beberapa diantaranya, Seinen Dojo, di
Tangerang merupakan tempat latihan pemuda pertama, yang telah memberikan
latihan militer penuh kepada kurang lebih 50 pemuda Indonesia. Kemudian pada
tanggal 29 April 1943 berupa organisasi militer, di antaranya yang terpenting ialah
Keibodan (barisan bantu polisi) dan Seinendan (barisan pemuda). Demikian pula
dilakukan pengerahan tenaga Heiho (pembantu prajurit) yang semua merupakan
tenaga pekerja kasar tetapi kemudian dikerahkan untuk tugas-tugas bersenjata. Juga
pasukan Hizbullah, yang juga meneruskan eksistensinya sesudah akhir zaman
pendudukan Jepang dan yang memainkan peranan selama revolusi Indonesia serta
perang kemerdekaan.19
Organisasi semi militer yang terakhir ialah Gakutotai (Barisan Pelajar),
sifatnya yang paling tidak militer dibandingkan dengan yang lain. Barisan itu

17
Organisasi ini dibentuk tanggal 29 April 1942, dengan ketuanya Mr. Samsudin. Tapi baru berusia 8
bulan organisasi ini dibubarkan, karena dianggap gagal dalam misinya oleh pemerintahan Jepang yaitu
menarik simpati rakyat Indonesia. Disamping tokoh pemimpinnya yang dipilih bukanlah tokoh
nasional yang populer di mata rakyat. Selama itu Jepang juga merasa khawatir kalau-kalau organisasi
ini dipakai oleh golongan nasionalis untuk menyebarkan ide-ide kemerdekaan (Berita Oemoem, 2
April 1943).
18
Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967 Menuju Dwi Fungsi ABRI, Jakarta, 1986, hlm.
96.
19
Pembinaan barisan ini dipercayakan kepada Masjoemi sedangkan latihannya dilaksanakan oleh
Kapten Yanagawa dari Beppan. Latihan diselenggarakan selama dua bulan di Cibarusa Keresidenan
Bogor, jumlah anggota kurang lebih 50.000 orang (baca Nugroho Notosusanto, 1979, hlm. 47).
sesungguhnya merupakan satuan latihan yang dikaitkan pada tiap sekolah lanjutan
yang memberikan latihan dasar kemiliteran kepada para pelajarnya. Latihan dasar
kemiliteran merupakan suatu kegiatan mingguan intra kurikuler yang diselenggarakan
selama dua jam pada akhir sesuatu hari dalam satu minggu.20
Sesuai dengan tuntutan perang yang makin mendesak, pemerintah militer
Jepang tidak saja membatasi diri pada pembentukan barisan pra militer, tetapi
kemudian meluas dengan membentuk organisasi militer yang dikenal dengan nama
tentara sukarela Pembela Tanah Air (Peta) atau (Bo-ei Giyugun). Usulan itu datang
dari R. Gatot Mangkupraja melalui suratnya yang ditujukan kepada Gunseikan
(kepala pemerintahan militer) pada tanggal 7 September 1943 yang antara lain
meminta supaya bangsa Indonesia diperkenankan membantu pemerintah militer
Jepang tidak saja di belakang garis perang tetapi juga di medan perang. Pembentukan
Peta merupakan suatu peristiwa yang sangat penting dalam perkembangan politik
militer Indonesia, karena di dalamnya umat Islam memegang peranan sejak dari
pembentukannya. Walaupun usulan pembentukan Peta tersebut oleh R. Gatot
Mangkupraja kawan Soekarno. Tetapi direalisasikannya pada akhir Oktober 1943,
Jepang mengangkat para kyai sebagai daidanco dan cudanco (komandan batalyon
dan komandan kompi).21
Pelaksanaan rencana itu setelah Jenderal Harada Kumakichi, panglima
Tentara Keenambelas, segera memanggil stafnya untuk membicarakan rencana
perumusan rencana lengkap bagi pembentukan tentara Pembela Tanah Air (Peta).
Kebanyakan gagasan itu datang dari dua kelompok di dalam lingkungan Beppan.
Pertama dari para ahli Islam, Muhammad Abdul Mun’im Inada serta Abdul Hamid
Ono dan kedua dari Yanagawa. Inada dan Ono menekankan bahwa satuan Indonesia
yang akan dibentuk haruslah berdasarkan Islam, dan hal ini sesuai dengan kebijakan
Jepang mengenai Islam.22 Dan untuk memahami dasar kebijakan pembentukan
Tentara Pembela Tanah Air, perlu dipahami terlebih dahulu tentang kebijakan politik
Islamnya Jepang. Hal ini sangat erat hubungan antara keduanya. Seperti yang
dikemukakan oleh Nugroho Notosusanto, Jepang berusaha keras untuk memberi
bantuan kepada Tentara Pembela Tanah Air bersifat Islam, sehingga secara luarnya
dari daidanki atau panji tentara Peta pun berbentuk Bintang Bulan di tengah matahari
terbit. Oleh karena itu diletakan kebijakan dalam membina teritorialnya, dikenal
sebagai kebijakan politik Islamnya Jepang yang ditujukan mengeksploitasi potensi

20
Nugroho Notosusanto, op.cit., hlm. 42.
21
Nugroho Notosusanto, (ed.), op.cit., hlm. 14.
ulama desa.23 Menurut pemikiran Jepang pada waktu itu, unsur Muslim di dalam
pergerakan nasional Indonesia merupakan unsur yang secara politik paling dipercaya
pihak Jepang karena dinilai yang anti Barat, lagi pula pada waktu itu belum diizinkan
untuk berbicara mengenai kemerdekaan Indonesia.24
Usulan yang dimohonkan oleh R. Gatot Mangkupraja yang kemudian seluruh
aparat propaganda dikerahkan untuk mendukung Gatot Mangkupraja. Baik dari
pemimpin Islam juga di Sumatra dan Malaya terdengar suara yang menginginkan
pasukan yang diusulkan R. Gatot Mangkupraja.25 Bersama-sama, pernyataan-
pernyataan dukungan itu merupakan kampanye pers untuk mendesak pembentukan
Peta. Dan dalam waktu yang tidak ada sebulan setelah permohonan Gatot,
dikeluarkan Osamu Seirei No. 4 pada tanggal 3 Oktober 1943, mengenai
pembentukan pasukan sukarela untuk membela Jawa. Pada bulan Oktober 1943 juga
dilatih puluhan calon perwira Indonesia di Jawa Bo-ei Giyugun Kanbu Renseitai
(Korps Pelatihan Perwira Tentara Sukarela Pembela Tanah Air Jawa). Dari badan ini
muncul satu golongan yang memperoleh pendidikan militer dalam zaman Jepang, dan
menerapkan menjadi kekuatan sosial baru dalam masyarakat Indonesia. Perhatian
penduduk terhadap Peta sangat besar, terutama dari pemuda-pemuda yang telah
mendapatkan pendidikan sekolah menengah dan tergabung dalam Seinendan.
Pembukaan Bo-ei Giyugun Kanbu Renseitai di kota Bogor, pada tanggal 15 Oktober
1943. Nama Jepangnya kemudian diganti menjadi Jawa Bo-ei Giyugun Kanbu
Kyoikutai dengan arti yang sama. Disini ulama-ulama dilatih sebagai calon daidanco
(Komandan Batalyon). 26
Menurut Yanagawa masa persiapan sebelum pembukaan Renseitai di Bogor
dibagi atas tiga tahap;
Tahap pertama yang berlangsung 25 hari setelah usulan Gatot Mangkupradja.
Kegiatan yang dilakukan selama tahap ini adalah; propaganda, mencari calon
pemimpin tentara Peta, sehingga dengan ini mengirimkan alumni dan siswa
Seinendojo ke daerahnya masing-masing untuk mempropagandakan; dan akhirnya
perbaikan asrama di Bogor.
Tahap kedua, yang berlangsung selama lima hari setelah berakhirnya tahap
pertama dengan kegiatan sebagai berikut; pemeriksaan calon-calon pemimpin bagi

22
Ibid., hlm.16.
23
Ibid., hlm. 17.
24
Nugroho Notosusanto, op.cit., hlm. 68.
25
Asia Raya, 13 September 2603 (1943).
26
Nugroho Notosusanto, op.cit., hlm. 75.
tentara Peta, pengerahan calon instruktur, pemindahan alumni bagi Renseitai
(pengemudi, juru masak, pesuruh, dll).
Tahap ketiga yang berlangsung selama sepuluh hari setelah berakhirnya
tahapan kedua, dengan kegiatan menyelesaikan pembentukan Renseitai di Bogor,
pengerahan juru bahasa, perencanaan bagi latihan perwira Peta.27
Organisasi ini merupakan suatu tentara sukarela Indonesia yang pada akhir
perang beranggotakan 37000 orang di Jawa dan sekitar 20.000 orang di Sumatra.
Tidak seperti heiho, Peta tidak secara resmi menjadi bagian dari balatentara Jepang,
melainkan dimaksudkan sebagai pasukan gerilya pembantu guna melawan serbuan
pihak Sekutu. Korps perwiranya meliputi para pejabat, para guru, para kyai, dan
orang Indonesia yang sebelumnya menjadi serdadu kolonial Belanda. Disiplin Peta
sangat ketat dan ide-ide nasionalis Indonesia dimanfaatkan dalam indoktrinasi.28
Anggota Peta berasal dari berbagai golongan dalam masyarakat. Perwira-perwira
yang menjadi komandan batalyon biasanya dipilih dari pemimnpin masyarakat atau
orang terkemuka di daerahnya seperti pegawai pemerintah, pemimpin agama atau
kaum politikus. Pembentukan Peta dimulai dengan memilih calon-calon perwira
yakni calon daidanco (Komandan Batalyon) cudanco (Komandan Kompi) dan
shudanco (Komandan Peleton). Pengerahan calon perwira dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan-ketentuan yang dimuat didalam penjelasan komando tentara
mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi anggota tentara Peta. Para
calon perwira tidak perlu memenuhi syarat-syarat pendidikan, tetapi harus
memperhatikan bakat kepemimpinan dan harus pula memiliki jiwa yang sehat,
stabilitas mental, maupun fisik yang kuat. Bagi Letnan satu dan Letnan dua (agaknya
yang dimaksudkan di sini adalah komandan kompanyi dan komandan peleton Peta)
usia maksimum adalah 30 tahun. Pemilihan-pemilihan perwira akan dilaksanakan
pada awal bulan Oktober, sedangkan latihan akan dimulai pada pertengahan bulan
Oktober. Mereka yang sudah mempunyai pekerjaan juga boleh melamar asal saja
memperoleh ijin dari atasannya. Pemeriksaan para pelamar akan dilakasanakan di ibu
kota setiap shu, antara lain: (1)` Untuk calon Shudanco umumnya diambil dari siswa
sekolah, (2) Untuk calon Cudanco umumnya diambil dari kyai, pegawai negeri, guru
sekolah, dan (3) Untuk calon Daidanco umumnya diambil dari tokoh rakyat seperti,
pimpinan partai, pimpinan agama, kyai, pamong praja (wedana, asisten wedana, dan
jaksa).29

27
Ibid., hlm. 76.
28
Ibid., hlm. 76.
29
Nugroho Notosusanto, op.cit. hlm. 76. Lihat juga Halwany Michrob dan A Mujahid Chudori, op.cit.,
hlm. 221.
Di kalangan masyarakat kedudukan dalam Peta dianggap kedudukan yang
tinggi. Dalam kenyataannya, status mereka seringkali lebih tinggi dari seorang kepala
daerah. Apabila seseorang menjadi anggota Peta, maka statusnya menjadi naik.30
Pendidikan di Bogor berlangsung, untuk Daidanco hanya dilatih selama dua
bulan, berakhir di bulan November 1943. Sedang Cudanco dan Shudanco dilatih
hingga bulan Desember 1943. Pendeknya waktu latihan dan sedikitnya materi latihan
ini merupakan konsekuensi logis dari dasar pembentukan Tentara Peta.31
Pada masa pendudukan Jepang inilah kedudukan kaum ulama mengalami
perubahan. Islam diangkat dalam kedudukan resmi yang penting, yang pada masa
Belanda diabaikan. Harapan kaum ulama untuk memperoleh kedudukan politik yang
lebih besar meningkat setelah pemerintah mengizinkan mereka berpolitik. Perubahan
itu terjadi setelah K.H. Tb. Achmad Chatib dan K.H. Sjam’un diangkat sebagai
daidanco (Komandan Batalyon) tentara Peta yang berkedudukan di Banten. Tindakan
Jepang di atas ini melihat umat Islam sebagai powerful forces yang akan
dimanfaatkan untuk kepentingannya, tetapi tidak akan memajukan masyarakat
muslim dan kehidupannya. Juga tidak memajukan kebudayaan kolonialismenya.
Jepang memandang efektif bila memasuki kehidupan spiritual umat Islam dan
mempengaruhinya untuk diarahkan kepada tujuan perangnya.32
Nampaknya cara rekrutmen merupakan faktor dalam membentuk motivasi
dan gambaran dari para perwira Peta. Para daidanco dan cudanco hampir semuanya
dibujuk secara pribadi oleh para pejabat Beppan. Pembujukan oleh Abdulhamid Ono
terhadap K.H. Sjam’un dengan alasan bahwa K.H. Sjam’un mempunyai latar
belakang pegerakan Islam sebagai pemimpin pesantren di Banten. Pembujukan itu
apabila K.H. Sjam’un menolak untuk ikut tentara Peta, maka pesantrennya harus
ditutup dan tidak boleh beroperasi lagi. Dengan alasan tersebut akhirnya K.H.
Sjam’un menuruti ajakan Jepang. K.H. Sjam’un yang dibujuk oleh Jepang tidak dapat
sepenuhnya menyingkirkan kecurigaan terhadap orang Jepang pada umumnya,
meskipun terdapat orang Jepang muslim. K.H. Sjam’un sendiri sebagai ulama yang
pada masa Belanda kegiatannya hanya mengajar di pesantren yang ia dirikan. Di
masa Jepang inilah statusnya selain ulama juga tentara Pembela Tanah Air (Peta)
sebagai daidanco, dimana politik Jepang untuk mendekati orang Islam yang

30
Sudjito Sosrodihardjo, Perubahan Struktur Masyarakat di Jawa: Suatu Analisa, Yogyakarta, 1972,
hlm. 106.
31
Nugroho Notosusanto, op.cit., hlm. 77.
32
Halwany Michrob dan A. Mudjahid Chudori, op.cit., hlm. 221.
berpengaruh di daerahnya dengan cara damai, yaitu dengan memilih K.H. Sjam’un
sebagai seorang ulama terkemuka di Banten.33
Politik yang diterapkan balatentara Jepang dengan cara memahami situasi
Indonesia yang mayoritasnya adalah umat Islam. Oleh karena itu, diletakkan dasar
kebijakan Jepang untuk mengeksploitasi potensi ulama desa. Jepang menyadari
adanya kekuatan Islam masih konkrit aktif sampai dengan pendaratan Jepang adalah
Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan Partai Islam Indonesia (PII) dan organisasi
sosial pendidikan dan dakwah seperti Al-Wasliyah di Medan, Matlaul Anwar di
Banten, Persarikatan Ulama di Maja, Persatuan Tarbiyatul Islamiyah (Perti) di
Padang. Muhammadiyah di Yogyakarta, Persatuan Islam di Bandung dan Nahdlatul
Ulama di Surabaya. Ketiga organisasi yang terakhir ini membangun wadah kesamaan
pada 1937 adalah Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI). Keseluruhan organisasi ini
dinilai oleh balatentara Jepang akan menjadi batu penghalang penjajahan Jepang di
Indonesia. Apalagi dengan kondisi Timur Tengah yang memihak ke Sekutu. Padahal
umat Islam Indonesianya sangat dipengaruhi oleh perubahan yang terjadi di Timur
Tengah. Oleh karena itu bagaimana pun juga Jepang berupaya sekuat dayanya untuk
memilih satu-satunya pendekatan kepada umat Islam Indonesia.34
Selama latihan di Bogor cara hidup Jepang tiap hari tidak dapat dikatakan
sesuai dengan usaha untuk menonjolkan persamaan adat antara mereka dengan orang
Indonesia. Yang menyinggung perasaan kaum muslim adalah kebiasaan mereka
bermabuk-mabukan dan desakan mereka supaya kaum muslim Indonesia juga
melakukan Saikerei (membungkukkan badan dalam-dalam) ke arah istana Maharaja
di Tokyo. Para pemimpin Muslim itu sama sekali tidak gembira dengan
kedudukannya sebagai perwira Peta, meskipun pihak Jepang berusaha keras untuk
memberi kepada Peta suatu sikap Islam.35 Tetapi walaupun begitu tetap menjadi suatu
pengalaman bagi K.H. Sjam’un selama mengikuti pelatihan Peta. Karena ia yakin
bahwa orang Indonesia perlu memiliki keterampilan militer untuk saat datangnya
kemerdekaan. Sebagaimana perkataannya yang dikutip dari harian Asia Raja :
Bahwa pendidikan Islam sesoeai dengan kemiliteran. Ini baik bagi pemoeda-
pemoeda kita. Dan saja sering mentjeritakan pada mereka tentang penghidoepan dan
perjoeangan pahlawan-pahlawan Islam.36

33
Benda, op.cit., hlm. 135.
34
Nugroho Notosusanto, op.cit., hlm. 105.
35
Ibid., hlm. 107.
36
Asia Raja, 13 Sapar 1363 Th. ke III. No. 35.
Selama mengikuti latihan Peta di Bogor pada tanggal 15 oktober 1943 di atur
jadual latihan. Waktu pagi biasanya dipakai untuk pelajaran di kelas, tatkala pikiran
prataruna masih segar, sedangkan waktu sore dipakai untuk latihan lapangan sampai
pukul 19.00 pada waktu petang. Jadual waktu latihan yang dirancangkan sebagai
berikut;
Pagi 1. apel
2. Mengibarkan bendera dan menghormati maharaja
3. Senam pagi
4. Sarapan
09.00- 12.00 1. Pelajaran bahasa Jepang, taktik dan peraturan baris berbaris.
2. Sejarah Amerika Serikat, Inggris, keamanan.
3. Etiket
4. Bushido
Sore 1. Tidur siang (setengah jam)
2. Pemeriksaan Kesehatan.
3. Latihan senapan dan sangkur
Malam
19.00 Kembali dari latihan lapangan, membersihkan senjata
20.00 1. makan malam (nasi, daging, sapi, tomat, kacang, dll)
2. Belajar sendiri
3. Sembahyang37
Dalam bulan Nopember 1943 setelah dua bulan, kursus daidanco diakhiri.
Pada tanggal 8 Desember para daidanco sudah dilantik pada suatu upacara yang
khidmat dilapangan Gambir (kini Medan Merdeka). Dalam upacara itu para daidanco
diberi pedang jenis Jepang bikinan Indonesia. Pedang itu bukan pedang Jepang sejati
dan pedangnya kurang dari pedang yang digunakan oleh perwira-perwira Jepang.
Meskipun demikian telah diterima dengan kebanggaan.38 Kemudian mereka
dikembalikan ke daerah asalnya untuk ikut serta didalam pembentukan daidanco.
K.H. Sjam’un setelah mengikuti latihan Peta sebagai daidanco (Komandan Batalyon)
di Bogor, ia kemudian membentuk daidan di Banten, tepatnya Dai san Daidan
(Batalyon III) di daerah Serang.
Di Banten Shu terdapat empat daidan yang ditempatkan di Serang,
Malingping, Labuan dan pandeglang. Kehidupan prajurit Peta di lingkungan daidan
di pusatkan di sekitar dua kategori umum, yakni kewajibannya dan kesejahteraan
pribadinya. Kewajibannya terdiri atas dua kegiatan, yaitu latihan, dan membuat kubu-

37
Asia Raja, 9 Desember, 2603 (1943), 21 Desember 2603 (1943).
38
Nugroho Notosusanto, op.cit., hlm. 89-90.
kubu. Perwira Peta dilatih pada pusat-pusat pendidikan yang khusus terutama
Renseitai dan Kyoikutai, dan para tentara dilatih pada lembaga-lembaga yang
diorganisasi per daerah, maka para prajurit tamtama, para giyuhei dilatih di daidan
daerahnya masing-masing oleh perwira dan bentaranya sendiri.39
Latihan dasar (baris berbaris, urusan dalam, peraturan disiplin dll) diberikan
dalam lingkungan cudan masing-masing. Tetapi diselenggarakan oleh shudannya
sendiri. Latihan-latihan tempur diberikan secara bertahap, dimulai dengan regu-regu,
meningkat pada tarap shudan dan akhirnya meningkat pada tarap cudan. Setelah
latihan dasar selesai, beberapa cudan didetasir diluar pangkalan daidan, biasanya di
tepi pantai atau dekat celah-celah gunung, di sana mereka ditugaskan membanngun
kubu-kubu yang berupa bangunan yang agak primitif yang terbuat dari batang pohon
kelapa ditutup dengan tanah. Seringkali dipergunakan goa-goa alam, terutama di
pantai. Ataupun mereka membuat lubang dalam batu karang yang kemudian ditutupi
dengan batang pohon dan tanah. Untuk tugas itu ditugaskan romusa. Rupa-rupanya
pada akhirnya cudan yang bersangkutan itu dibebani dengan tugas mempertahankan
masing-masing kubunya. Peranan yang dirancang untuk tentara Peta dalam rangka
pertahanan Jawa.40
Sejak semula suasana Peta adalah suasana agama Islam. Selama di Bogor
kesempatan yang penuh kepada calon perwira untuk beribadah. Kebijakan itu juga
dilanjutkan di daidan-daidan. Setiap daidan mempunyai sebuah langgar atau musolla
dan hari jumat para prajurit disarankan untuk bersembahyang di mesjid setempat. Jam
komandan seringkali dicurahkan kepada ceramah-ceramah agama. Para daidanco dan
sering pula para cudanco bertindak sebagai pemimpin rohani di dalam lingkungan
daidan. Apabila daidanco dan cudanco pemuka agama, isi pembicaraan formal
maupun informal akan berjiwa agama, sedang apabila mereka adalah pejabat
pemerintah seperti kepala-kepala daerah, jaksa, dan lain-lain, ceramahnya akan
mengenai soal-soal umum.41

B. Menjadi Komandan Batalyon III (Dai san Daidan) di Serang


Daidan yang ada di Banten shu terdiri dari empat daidan, antara lain:
1) Dai ichi Daidan (batalyon I), dipimpin oleh K.H. Tb. Achmad Chatib, yang
berkedudukan di Labuan.
2) Dai ni Daidan (batalyon II), dipimpin oleh Entol Oyong Ternaya,
berkedudukan di Kandangsapi.

39
Nugroho Notosusanto, op.cit., hlm. 105-106.
40
Ibid., hlm. 107.
41
Ibid., hlm. 108-109.
3) Dai san Daidan (batalyon III), dipimpin oleh K.H. Sjam’un berkedudukan di
Serang.
4) Dai yon Daidan (batalyon IV) dipimpin oleh Uding Soeryaatmadja,
berkedudukan di Pandeglang sebagai daidan cadangan.42
Bagi K.H. Sjam’un keberadaannya menjadi Tentara Pembela Tanah Air (Peta)
merupakan jalan untuk mendidik dan menggembleng pribadinya dalam bidang
kemiliteran yang dibentuk oleh Jepang pada bulan Oktober 1943. Menurutnya bahwa
pendidikan kemiliteran sesuai dengan ajaran Islam yang baik sekali bagi pemuda-
pemuda Indonesia dalam mempersiapkan diri dan mencetak kader pejuang. K.H.
Sjam’un merekrut santri-santrinya semula yang belajar di Pesantren Citangkil.43
K.H. Sjam’un dan santrinya berperang memerlukan pelaku yang memiliki
keberanian dan jiwa rela berkorban. Dimana nilai mati dalam perang sebagai
kematian yang sangat mulia. Karena ulama dan santrinya memiliki kecintaan
kehidupan tidak sebatas dunia, melainkan juga akhirat. Membela kemerdekaan bagi
K.H. Sjam’un dan santrinya sebagai kehormatan yang mulia, sekalipun gugur dalam
perangnya.44
Peristiwa sejarah ini merupakan prestasi luar biasa dalam pengalaman K.H.
Sjam’un, tentu tidak dilihat dari sisi kerja samanya dengan Jepang, melainkan
kelebihannya dari kebiasaan pengajar Al-Qur’an dan As-Sunnah, terangkat untuk
dipercayai memimpin organisasi kesenjataan modern. Baginya pengalaman ini tidak
hanya sebatas mampu mengelola Pesantren Citangkil saja, melainkan juga meningkat
pengalaman terjun dalam pembinaan organisasi kesenjataan modern.45 Hal ini
merupakan pengembangan kepemimpinannya di bidang bersenjata, yang tidak
didapati pada masa penjajahan Barat. Ia mengikuti latihan pertama dalam tentara Peta
yang diadakan di Bogor (sekarang Pusat Pendidikan Zeni TNI AD).46
Karena perang semakin mendesak Jepang, maka kewajiban yang harus atas
perintah pemerintah Jepang antara lain mengadakan latihan bersama tentang
pencegahan bahaya udara, pemberantasan mata-mata musuh dan penyampaian berita
pemerintah militer kepada penduduk, menganjurkan penyetoran hasil bumi dan
berbakti kepada pemerintah militer pada bidang lain.47

42
Halwany Michrob dan A. Mudjahid Chudori, op.cit., hlm. 222.
43
Asia Raja, 8 Februari 2604.
44
Wawancara dengan Sarbini di Cilegon, 8 Februari 2003.
45
Wawancara dengan Saleh di Cilegon, 17 Februari 2003.
46
Wawancara dengan Fatullah Sjam’un di Cilegon, 2003. lihat juga Nugroho Notosusanto, op.cit., hlm.
99.
47
Nugroho Notosusanto, op.cit., hlm. 42.
Situasi Jepang semakin memburuk di bulan Agustus 1944, kekalahan Jepang
di medan perang, menyebabkan Jepang mencoba terus mengadakan pendekatan
terhadap umat Islam. Pada tahun 1944 ini juga telah menyebabkan moral masyarakat
mulai mundur, produksi perang merosot yang mengakibatkan kurangnya persediaan
senjata dan amunisi, ditambah dengan timbulnya soal-soal distribusi karena hilangnya
sejumlah besar kapal angkut dan kapal perang. Faktor-faktor yang tidak
menguntungkan tersebut menyebabkan jatuhnya kabinet P.M. Tojo pada tanggal 17
Juli 1944 dan diangkatnya Jenderal Kuniaki Koiso sebagai penggantinya. Salah satu
langkah yang diambilnya guna mempertahankan pengaruh Jepang di antara penduduk
negeri-negeri yang didudukinya ialah dengan cara mengeluarkan pernyataan janji
kemerdekaan Indonesia kelak di kemudian hari. Dengan cara yang demikian Jepang
mengharapkan bahwa Serikat akan disambut oleh penduduk, tidak sebagai pembebas
rakyat, melainkan sebagai penyerbu ke negara merdeka.48 Janji perkenan
kemerdekaan ini disambut oleh Masyumi dengan menyiarkannya melalui majalah
Suara Muslim Indonesia. K.H. Wahid Hasyim sebagai ketua Masyumi mengadakan
rapat akbar umat Islam di Taman Raden Saleh (Jakarta) tanggal 13-14 September
1944. Untuk lebih menyakinkan umat Islam terhadap janji tersebut dengan tiba-tiba
memberikan izin pembentukan Hizbullah yang pernah diajukan oleh MIAI pada
tanggal 10 September 1943. Tetapi karena Jepang masih merasa sedikit kuat dalam
menghadapi Sekutu, permohonan tersebut dipetisikan. Dalam waktu yang hanya
kurang dari dua bulan di seluruh Keresidenan Jawa Barat saja telah terbentuk pasukan
Hizbullah.49
Sementara orang Jepang tidak nampak mempunyai rencana yang jelas
mengenai bagaimana mereka akan menggunakan Peta untuk mengisi kekosongan dan
kekurangan man powernya. Akan tetapi keterangan pihak Jepang mengenai peranan
Peta dalam berbagai rencananya mengenai pertahanan Jawa, tidak konsisten. Rupa-
rupanya semula mereka bermaksud menggunakan Peta sebagai mangsa bagi pasukan-
pasukan pendarat Serikat, sedangkan pasukan-pasukan Jepang akan dipusatkan di
daerah pegunungan Pulau Jawa. Tetapi di dalam rencana-rencana kemudian Peta
tidak diikutsertakan di dalam operasi-operasi militer yang sesungguhnya. Mereka
hanya akan digunakan untuk tugas kawal, membangun kubu-kubu dan pengawasan
bahaya udara di sepanjang pantai.50
Sebagaimana yang dialami di wilayah Keresidenan Banten, khususnya Dai
san Daidan (Batalyon III) yang dipimpin oleh Daidanco K.H. Sjam’un di Serang

48
Ibid.,42.
49
Benda, op.cit., hlm. 179.
50
Nugroho Notosusanto, op.cit., hlm. 114.
pernah ikut bertempur melawan tentara sekutu yang menggunakan kapal selam di
pantai Bojong Anyer51 tepatnya Anyer Kidul, yakni ketika diserang dengan
tembakan-tembakan gencar oleh kapal selam Amerika dan tentara Sekutu.
Pertempuran di Bojong ini mendapat perlawanan yang cukup berani dari prajurit K.H.
Sjam’un bahkan K.H. Sjam’un sendiripun ikut menembak dengan jukikanju.
Penyerangan ini terjadi pada tanggal 30 Juni 1945, dimana pada saat itu, sekitar pukul
14.00 sore, datang rombongan tentara Jepang yang dipimpin oleh opsir yang
berpangkat Tai-i (Letnan Satu) di wilayah Banten. Maksud kedatangannya adalah
inpeksi pasukan, sekaligus memeriksa senjata. Tiba-tiba terlihat oleh mereka kapal
selam Sekutu, tapi yang kelihatan hanyalah tiangnya saja sekitar setinggi setengah
meter dari permukaan air, sedangkan bobot kapalnya tidak nampak. Opsir berpangkat
Tai-i ini memerintahkan kepada Cudanco (komandan kompi) Samanhudi untuk
menembaki kapal selam Sekutu, tetapi perintah tersebut ditolaknya. Sampai kedua
kalinya opsir itu memerintahkan Samanhudi untuk memberikan komando
penembakan terhadap kapal selam Sekutu, tetapi tetap dotolak oleh Cudanco
Samanhudi. Cudanco Samanhudi ini beralasan bahwa Daidanco K.H. Sjam’un saja
yang berhak memerintah sebagai Komandan Batalyonnya bukan opsir yang
berpangkat Tai-i itu.52 Akhirnya opsir itu sendiri yang mengambil alih komando
untuk menembaki kapal selam Sekutu. Peluru bermuntahan dari mulut Jukikanju
(senapan mesin ringan), tetapi hasilnya nol. Kemudian Cudanco Samanhudi
menyuruh Tai-i menghitung berapa peluru yang hilang. Ketika itu Tai-i tidak
komentar apa-apa, menurut saja dan melaksanakan perintah sesudah itu ia pulang ke
Serang.53
Sepulang Tai-i itu, maka pada saat itu juga kira-kira pukul 04.00 sore
Daidanco K.H. Sjam’un untuk menanyakan kenapa ribut dengan Tai-i sebagai atasan.
Cudanco Samanhudi menjawab yang berhak memerintah saya hanyalah Daidanco
K.H. Sjam’un sebagai pimpinan saya, orang lain tidak berhak memerintah saya.
Walaupun setelah peristiwa kehadiran kapal selam Sekutu itu, tentara Peta Dai san
Daidan (Batalyon III) yang dipimpin oleh Daidanco K.H. Sjam’un bersiap-siap
penuh, siang dan malam menjaga kemungkinan besar dari setiap ancaman terhadap
pendaratan Sekutu. Tetapi pada tanggal 1 Juni 1945 sekitar pukul 02.00 malam,
seluruh masyarakat di sekitar Anyer dikejutkan oleh suara tembakan dan dentuman
meriam dan senapan mesin besar sehingga membuat panik masyarakat Anyer.

51
Di Anyer tahun 1851 didirikan menara di Tanjung Layang (Ujung Kulon) tahun 1878 juga didirikan
menara, sedang di Anyer Kidul pada tahun 1885 didirikan Mercusuar (Baca Roesjam, 1954, 59).
52
Mansyur Muhyidin, Naskah Karya Seorang Prajurit Banten (K.H. Sjam’un), Karya Ilmiah
Berdasarkan Pengalaman Anak-Anak K.H. Sjam’un, Cilegon, 1990, hlm. 31-32.
Kemudian suara tembakan itu baru berhenti sekitar pukul 04.00 malam. Pertempuran
yang terjadi pada saat itu tidak menjadikan Dai san Daidan (Batalyon III) berubah
pendiriannya dan tidak bergeser satu langkah pun, mereka tetap mempertahankan
tempat itu. Karena kurangnya perlengkapan senjata, akhirnya Dai san Daidan
(Batalyon III) tidak mampu memecahkan bobot kapal selam sekutu tersebut. Setelah
pertempuran selesai, ternyata mercusuar banyak berlubang dan retak-retak terkena
tembakan musuh. Satu prajurit mati dan dua prajurit luka-luka.54 Pada tanggal 19
Agustus 1945 para anggota staf Tentara Keenambelas diperintahkan supaya keesokan
harinya berkumpul di markas besar pada pukul 12.00 untuk mendengarkan siaran
radio yang sangat penting dari Tokyo. Beberapa di antara mereka tidak mempunyai
firasat bahwa yang disiarkan itu perintah untuk menyerah, tetapi kebanyakan di
antara mereka menolak untuk percaya bahwa mereka pernah akan dipaksa
menyambut angkatan perang Serikat sebagai penakluknya tanpa memperoleh
kesempatan diri terhadap mereka.55
Pada tanggal 15 Agustus siang hari Jepang menyerah tanpa syarat kepada
Sekutu. Berita penyerahan dan amanat yang disampaikan oleh Kaisar Hirohito
sebagai Kepala Negara Jepang melalui pemancar radio negara Jepang merupakan
hasil perundingan antara kedua belah pihak. Berita itu ditujukan kepada seluruh
warga negara Jepang, termasuk yang berada di daerah-daerah kedudukan. Siaran
tentang penyerahan itu dipancarluaskan ke seluruh dunia oleh pemancar radio negara-
negara Sekutu tidak dapat didengar oleh rakyat Indonesia melaui pesawat radio
mereka, kecuali pesawat radio Gunseikan (kepala pemerintah militer) di Jakarta.56
Dalam amanatnya kaisar menyerukan kepada semua warga negara Jepang yang
berada di daerah pendudukan agar menyerahkan diri dan menyerahkan senjatanya
kepada komandan tentara Sekutu terdekat. Selanjutnya sebagai tawanan perang
mereka dipulangkan ke pemerintahan mereka di Tokyo.57
Setelah mendengar berita penyerahan itu, Gunshireikan (Panglima Tentara
Tinggi) pada tanggal 16 Agustus 1945 mengadakan rapat dengan para perwira tinggi
stafnya untuk merumuskan langkah-langkah yang harus mereka ambil sambil
menunggu perintah resmi dari markas besar Tentara Kemaharajaan di Tokyo. Dalam
kenyataannya radiogram resmi dari Tokyo baru diterima pada tanggal 18 Agustus
1945 malam.58 Acara pokok pada agenda rapat staf itu adalah bagaimana caranya

53
Ibid., hlm. 32.
54
Wawancara dilakukan oleh Mansyur Muhyidin dengan Rahmatullah Sjam’un di Cilegon tahun 1990.
55
Nugroho Notosusanto, op.cit., hlm. 128.
56
Nugroho Notosusanto, (ed.), op.cit., hlm. 27-28.
57
Ibid., hlm. 28.
58
Nugroho Notosusanto, op.cit., hlm. 128.
menjamin keamanan semua orang Jepang di daerah wewenang Tentara Keenambelas.
Sehubungan dengan itu status satuan-satuan bersenjata Indonesia terasa sebagai
masalah yang besar, terutama dengan pemberontakan Blitar masih besar dalam
ingatan mereka. Akhirnya secara aklamasi mereka sepakat untuk membubarkan
satuan-satuan Peta maupun heiho.59 Pada tanggal 18 Agustus 1945 telah dikeluarkan
perintah kepada komandan-komandan bawahan Jepang untuk membubarkan daidan-
daidan Peta, dan pada tanggal 19 Agustus 1945 Letnan Jenderal Nogano Yuichiro,
Panglima Tentara Keenambelas yang terakhir di Jawa, telah mengucapkan pidato
perpisahan kepada para anggota Peta yang dibubarkan. Tanpa terkecuali, semua
daidan terkena pendadakan dan telah dilucuti tanpa mereka ketahui sebelum
terlambat.60
Para daidanco di Keresidenan Banten yang memenuhi undangan itu adalah
Daidanco K.H. Djunaedi dari Daidan Pandeglang, dan Cudanco Samanhudi dari
Cilegon mewakili Daidanco K.H. Sjam’un yang sedang sakit.61 Tampaknya kondisi
kesehatan K.H. Sjam’un yang kurang baik sebelumnya, ia menghadiri konferensi
wakil-wakil dari Daidan Peta se-Jawa di Bandung tanggal 14 Agustus 1945.
Kemudian setelah kembali menghadiri konferensi itu ia sakit.62
Prosedurnya boleh dikatakan sama, mereka diperintahkan untuk menyerahkan
senjatanya kepada heiki shudanco (bagian peralatan) yang menyimpannya ke dalam
gudang. Alasan yang diberikan adalah bahwa mereka akan diberi senjata Jepang
sebagai ganti senjata Belanda yang hingga saat itu mereka gunakan. Hal itu
dihubungkan dengan situasi perang yang gawat. Kemudian mereka dikumpulkan
pada lapangan parade dan diberi pidato yang panjang lebar. Sementara itu prajurit-
prajurit dari daitai Jepang setempat sudah siap, sebagian dari mereka mengepung
komplek daidan, sementara yang lainnya dengan cepat mengambil senjata dari
gudang dan mengangkutnya ke dalam truk-truk yang sudah menunggu. Ketika
daidanco selesai dengan apelnya, para prajurit Jepang sudah pergi dengan membawa
senjata-senjata Peta. Untuk keesokan harinya Sennin Shidokan untuk pertama kali
mengumpulkan para perwira dan memberitahukan kepada mereka mengenai
kapitulasi Jepang dan keputusan pemimpin Tentara Keenambelas untuk
membubarkan Peta. Tetapi mereka tidak diberi tahu bahwa Sukarno-Hatta telah
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.63 Maka kemudian seluruh anggota

59
Ibid., hlm. 128.
60
Ibid., hlm. 129.
61
Muhyidin, Naskah, 1990, op.cit., hlm. 75-77.
62
Suharto, Banten Masa Revolusi 1945-1949 Proses Integrasi Menuju Kesatuan Republik Indonesia,
Disertasi, Program Pascasarjana Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Depok, 2001, hlm. 78.
63
Nugroho Notosusanto, op.cit., hlm 134-135.
daidan dikumpulkan dan diberi tahu mengenai keputusan untuk membubarkan Peta.
Mereka diberi enam bulan gaji, sedangkan semua bahan pakaian dan bahan makanan
yang masih ada, dibagi-bagikan kepada para anggota. Kemudian mereka bebas
pulang. Dengan demikian dalam minggu-minggu terakhir bulan Agustus 1945 para
tentara perwira peta dan prajuritnya diberhentikan secara besar-besaran dan dikirim
pulang.64
Kota-kota Serang, Pandeglang, dan Rangkasbitung dibanjiri oleh tentara Peta
yang masih menggunakan pakaian seragam yang dipulangkan dari daidan-daidan di
Keresidenan Banten. Pada sore itu juga senjata-senjata tentara Peta dibawa dengan
truk ke tempat persenjataan tentara Jepang XVI di Jakarta dikawal oleh dua orang
instruktur setiap truk. Para daidanco Banten setelah tiba kembali di tempat masing-
masing menjumpai daidan mereka dalam keadaan kosong. Kini sekonyong-konyong
mereka tidak hanya mengetahui bahwa Jepang telah kalah perang dan menyerah
kepada serikat, tetapi juga bahwa Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaan
yang telah demikian lama dinantikan dan didambakan, pada saat itu diancam oleh
pihak Belanda yang kembali dan setiap orang yang mereka kenal telah bertekad untuk
mencegah kembalinya orang Belanda. 65

64
Ibid., hlm. 135.
65
Nugroho Notosusanto, op.cit., hlm 134-135.
IV

K.H. SJAM’UN: DARI KETUA BKR, PANGLIMA TKR

HINGGA MENJADI BUPATI SERANG

A. Pendiri BKR di Banten

Sejak Agustus 1945, desas desus berita akan dicetuskan proklamasi

kemerdekaan didengar oleh kalangan intelektual melalui pesawat radio. Tetapi berita

itu hanya tersebar dari mulut ke mulut. Berita proklamasi kemerdekaan baru tersebar

luas di masyarakat Banten setelah datangnya beberapa pemuda, yang bernama

Angkatan Pemuda Indonesia (API) yang berada di bawah pengaruh Chaeroel Saleh

dari Jakarta ke Serang.1 Sebelumnya, pada tanggal 9 Agustus 1945 telah diadakan

pertemuan di rumah pemuda Tachril di Rangkasbitung. Dalam pertemuan itu, Ilyas

Hussen2 memberitahukan tentang perkembangan di Eropa dan Pasifik, terutama

posisi Jepang yang pasti kalah. Kemudian ia menganjurkan para pemuda yang tidak

1
Sri Handayani Purwaningsih, Pergolakan Sosial Politik di Serang pada Tahun 1946; “Kasus Gerakan
Tje Mamat”, Skripsi, Program S1 Pada Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1984, hlm. 47.
2
Ilyas Hussen (nama samaran Tan Malaka), yang pada masa Jepang tinggal di Bayah dengan
menggunakan nama samaran Husin atau Husain, Chusain. Ia tidak terkejut mendengar kabar itu,
bahkan berusaha mengantisipasi kejadian itu untuk mengatur langkah selanjutnya. Pada tanggal 9
Agustus 1945 diadakan rapat rahasia Organisasi Barisan Indonesia Merdeka (Bima) di rumah Tachril
di Rangkasbitung rapat yang diwakili oleh 5 orang pemuda yaitu Ajip Dzukhri, H. Abdurrahman,
Chasi-in, Tachril, dan Husain atau Tan Malaka yang dinilai telah mewakili pemuda di Keresidenan
Banten, antara lain memutuskan, pertama, dalam keadaan Jepang yang hampir menyerah, bangsa
Indonesia perlu menyatakan kemerdekaan yang ditandatangani oleh Soekarno dan Mohammad Hatta
dan seluruh rakyat Indonesia bersatu berdiri dibelakangnya, kedua mengirim Husain atau Tan Malaka
ke Jakarta untuk memperjuangkan agar proklamasi itu segera diadakan. Dalam kesempatan itu Tan
Malaka mengharapkan agar pemuda yang hadir dalam rapat itu segera menghubungi para daidanco di
Keresidenan Banten. Warta Harian, 18 dan 19 Agustus 1945.
mau dijajah lagi agar bersiap menghubungi K.H. Tubagus Achmad Chatib,3 K.H.

Sjam’un dan Entol Ternaja,4 guna memperoleh perlengkapan militer. Berita

kemerdekaan Indonesia itu sampai tanggal 20 Agustnus 1945 ke Banten yang dibawa

oleh Pandu Kartawiguna,5 Ibnu Parna,6 Abdul Muluk dan Azis. Keempat pemuda itu

diutus oleh Chaeroel Saleh untuk menyampaikan berita proklamasi ke Banten

khususnya tokoh-tokoh masyarakat seperti K.H. Tb. Achmad Chatib, K.H. Sjam’un,

dan tokoh pemuda seperti: Ali Amangku dan Ajip Dzuhri.7

Berita itu pun kemudian disampaikan kepada masyarakat yang disambut

dengan suka cita. Tak lama setelah itu pekik kemerdekaan mulai berkumandang

mulai dari daerah perkotaan sampai ke perdesaan. Kibaran sang merah putih pun

bermunculan, sekalipun menunjukkan respons dan dukungan masyarakat Banten

3
K.H. Tubagus Achmad Chatib, lahir di Kampung Gayam, Desa dan Kecamatan Cadasari, Kabupaten
Pandeglang, tahun 1895. Ayahnya bernama K.H. Tb. Muhammad Waseh, seorang ulama terkenal di
Pandeglang. Ia menikah dengan Ratu Hasanah, putri K.H. Asnawi seorang ulama yang paling
berpengaruh di Banten waktu itu. Setelah menikah dan tinggal di Caringin, ia bersama keluarga
menunaikan ibadah haji dan setelah itu selama tiga tahun menetap di Mekah, belajar agama Islam pada
para ulama setempat. Setelah kembali ke Caringin tahun 1916, memberikan pendidikan agama di
pesantren milik mertuanya. Ia masuk dan aktif dalam organisasi SI (Sarikat Islam), tahun 1917 terpilih
sebagai ketua SI Labuan. Ia berkenalan dengan Puradisastra, ketua PKI Seksi Banten. Kemudian ia
tertarik dengan dialog Puradisastra dan masuk organisasi PKI. Karena aktifitas yang membahayakan
pemerintahan Hindia Belanda, tanggal 23 Oktober 1926, sebelum pemberontakan PKI pecah, ia
ditangkap, ditahan, akhirnya dibuang ke Boven Digul. Dalam daftar nama orang yang dibuang ke
Boven Digul yang berjumlah 99 orang, ia menempati urutan pertama. Pada akhir tahun 1930-an ia
dikembalikan ke Caringin, ia aktif kembali dibidang pendidikan agama. Pada zaman pendudukan
Jepang, ia mendirikan badan usaha yang diberi nama Perusahaan Pengangkutan Rakyat. Setelah
Jepang membentuk tentara Peta, ia mengikuti pendidikan Peta dan selesai pendidikan diangkat sebagai
daidanco tentara Peta yang berkedudukan di Labuan (Suharto, Naskah, 2001, 87-89).
4
Entol Ternaja, menjabat Camat Menes, tahun 1926 (Suharto, 2001, 80).
5
Pandu Kartawiguna, lahir di Cirebon tanggal 13 Februari 1919. Ia teman dekat Adam Malik dan
bekerja bersama dalam mendirikan kantor berita ‘Antara’ tahun 1939 (Suharto, 2001, 80).
6
Ibnu Parna adalah anggota Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI) Semarang. Ia juga menjadi
wakil ketua Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) Semarang. Ia mewakili Pesindo dalam Persatuan
Perjuangan (PP), pernah menjabat pimpinan Angkatan Komunis Muda (AKOMA) suatu front pemuda
proletar yang didirikan pada bulan Juni 1946 (Suharto, 2001, 80).
7
Zulfikar Ghazali (ed.), Sejarah Lokal, Kumpulan Makalah Diskusi, Jakarta, 1995, hlm. 102.
adanya bangsa Indonesia yang merdeka cukup besar. Para pemuda API dari Jakarta

itu juga menyampaikan pesan kepada para tokoh pemuda setempat, agar segera

menyusun rencana pengambilalihan kekuasaan dari tangan Jepang. Sesuai dengan

anjuran itu, pada 22 Agustus 1945, seorang pemudi bernama Sri Sahoeli yang duduk

sebagai ketua bagian API putri dengan dibantu beberapa pemuda datang ke Hotel

Vos, di Serang dan menurunkan bendera Jepang yang berkibar di hotel tersebut.

Keesokan harinya di beberapa kantor pemerintahan terjadi aksi penurunan bendera

Jepang dan menggantinya dengan bendera Merah Putih.8

Aksi para pemuda tersebut diteruskan dengan melucuti dan merebut senjata

dari tangan tentara Jepang, baik secara perorangan maupun secara berkelompok.

Disamping itu mereka mulai mengambil alih pemerintahan sipil. Melihat tindakan-

tindakan seperti itu banyak orang sipil Jepang yang merasa kuatir atas

keselamatannya, sehingga mereka memutuskan untuk secepatnya melarikan diri ke

Jakarta. Dalam pelarian itu juga terdapat Syucokan Banten Yuki Yashii. Sebelum

pergi ia sempat menyerahkan kekuasaannya itu kepada wakilnya, Fuku Syucokan

Raden Tumenggung Rangga Tirta Soejatna.9

Salah satu hal yang penting, di daerah Banten saat itu telah muncul semacam

isu-isu rasialis (kesukuan) dalam arti sempit. Dimana mulai muncul sentimen

terhadap orang-orang yang berasal dari daerah Priangan (Sunda) bahkan ada yang

8
Sri Handayani Purwaningsih, op.cit, hlm. 48
9
Raden Tumenggung Rangga Tirta Soejatna, ia dilahirkan di Bandung tahun 1895, Ia lulusan OSVIA,
1917. Sebelum menjabat sebagai Fuku Syucokan Banten, ia menjabat Bupati Sukabumi. Jabatan-
menyebutkan orang-orang Priangan telah menjadikan daerah Banten sebagai

koloninya. Anggapan ini bertolak oleh kenyataan bahwa umumnya jabatan-jabatan

dalam pemerintahan fasis Jepang, selalu didominasi oleh orang-orang yang berasal

dari Priangan. Sentimen semacam ini tentu saja membuat para pejabat lama yang

berasal dari Priangan mereka tidak nyaman. Akibatnya, seperti halnya orang-orang

Jepang banyak dari mereka yang memilih meninggalkan Banten daripada mengambil

alih kekuasaan dari Jepang. Contohnya Raden Tumenggung Rangga Tirta Soejatna

yang telah disinggung di atas. Ia yang mendapat pelimpahan kekuasaan dari Yuki

Yashii, memilih pergi ke Bogor daripada duduk sebagai Syucokan atau residen baru.

Padahal waktu itu pemerintahan Republik Indonesia di Jakarta telah mengangkatnya

sebagai residen baru untuk Keresidenan Banten, hampir bersamaan dengan

pengangkatan gubernur baru untuk Jawa Barat, yaitu Raden Sutardjo

Kartohadikusumo, maka kedudukan residen Banten untuk sementara waktu menjadi

kosong.10

Langkah-langkah yang diambil pemerintah pusat seperti mengangkat Raden

Tumenggung Rangga Tirta Soejatna sebagai Residen Banten dan Raden Sutardjo

Kartohadikusumo sebagai Gubernur Jawa Barat pada dasarnya merupakan tindakan

pemerintah dalam rangka melaksanakan proses pemindahan kekuasaan dalam tempo

yang sesingkat-singkatnya seperti yang tertera dalam teks proklamasi kemerdekaan.

jabatan yang pernah dipangku sebelumnya adalah sebagai Jaksa, Asisten Wedana, dan Patih
(Gunseikanbu, 1986, 104).
10
Muhammad Iskandar, et.al., Peranan Elit Agama Pada Masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia,
Jakarta, 2000, hlm. 70.
Pemerintah pusat berusaha melengkapi struktur pemerintahannya dengan lembaga-

lembaga yang sesuai dengan kondisi jamannya yang sekaligus dapat dianggap

sebagai cerminan dari adanya demokrasi di Indonesia. Penegasan ini memang perlu

waktu itu mengingat pemenang perang adalah negara-negara yang secara teori sangat

menjunjung tinggi asas demokrasi dalam arti mendapat dukungan rakyat. Oleh

karena, itu pemerintah Indonesia yang baru berdiri pun harus mampu menyelaraskan

diri dengan tuntunan zaman jika ingin mendapat pengakuan dari dunia internasional.

Hal ini berarti pemerintah Indonesia harus mampu memberi pesan positif bahwa

kemerdekaan yang baru diproklamirkan itu adalah kemauan rakyat dan bangsa

Indonesia, bukan kemerdekaan hadiah dari Jepang dan juga bukan hanya kehendak

segelintir orang.11

Atas dasar itulah, maka tanggal 22 Agustus 1945 pemerintah pusat

mengumumkan pembentukan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang

dilanjutkan dengan instuksi untuk membentuk Komite Nasional Indonesia Daerah

(KNID) di setiap daerah. Lima hari kemudian pemerintah pusat juga mengumumkan

pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan seperti halnya KNID, maka

pemerintah juga menginstruksikan agar setiap daerah segera membentuk BKR. Tugas

yang dibebankan kepada lembaga ini adalah untuk membantu pemerintah, terutama

dalam menangani masalah ekonomi-politik dan militer. Pembentukan KNID dan

11
Adam Malik, Riwayat Sekitar Proklamasi 1945, Djakarta, 1970, hlm. 63.
BKR itu tidak terbatas pada tingkat propinsi saja, melainkan pada tingkat

kabupaten.12

Di Banten pembentukan KNID dan BKR tidak bisa terlaksana secara cepat,

sebab residen Banten yang baru diangkat justru tidak ada di tempat alias telah

melarikan diri ke Bogor. Satu-satunya pejabat pemerintah yang masih tinggal di

Banten adalah Raden Adipati Aria Hilman Djajadiningrat pada waktu itu menjabat

sebagai Bupati Serang. Namun pejabat ini pun tidak mempunyai keberanian untuk

mengambil inisiatif mengingat dirinya juga berasal dari Priangan. Akibatnya, di

daerah Keresidenan Banten waktu itu praktis tidak ada pimpinan formal yang

mengatur pemerintah. Hal ini terasa terutama pada beberapa bulan menjelang akhir

tahun 1945. Keamanan dapat dikatakan sangat sulit dikendalikan. Isu-isu SARA yang

ada sebelumnya muncul begitu saja sebagai suatu permasalahan yang ramai

dibicarakan, yang akhirnya mendorong beberapa kelompok masyarakat bertindak

beringas dan main hakim sendiri terhadap kelompok lain yang dicap sebagai antek

penjajah.13 Setelah pemuda Banten menyebarkan berita proklamasi kemerdekaan,

pada 20 Agustus 1945 kemudian menurunkan bendera Jepang14 dan menaikkan

bendera Merah Putih di kantor-kantor pemerintah. Melihat perkembangan situasi

yang kurang kondusif dan jabatan residen yang kosong, atas usaha pemuda yang

12
Sri Handayani Purwaningsih, op.cit., hlm. 49.
13
Ibid., hlm. 49.
14
Mengenai penurunan bendera Jepang di Kantor Keresidenan Banten dan Kabupaten Serang terdapat
perbedaan. Ada yang mengatakan tanggal 17 Agustus dan ada yang menyatakan 27 Agustus. Diantara
kedua tanggal itu yang masuk akal adalah tanggal 27 Agustus, karena tanggal 17 Agustus agaknya
terlalu cepat (Suharto, 2001, 84).
tergabung dalam beberapa badan-badan perjuangan di Keresidenan Banten tampil

sebagai kelompok yang berinisiatif untuk menjaga keamanan. Bagi para pemuda pada

saat itu, langkah-langkah prioritas yang harus segera dilakukan adalah mengatasi

keadaan yang menjurus kearah yang khusus. Adapun masalah pertanggungjawaban

atas tindakan mereka dianggap nomor dua. Salah satu kelompok yang cukup

berpengaruh adalah kelompok API dibawah pimpinan Ali Amangku, maka pada

akhir bulan Agustus 1945 diselenggarakan pertemuan di antara para tokoh

masyarakat Banten untuk menangani masalah Pemerintahan Daerah. Pertemuan yang

dihadiri oleh para wakil golongan pemuda, masyarakat jawara, dan wanita, bertempat

di rumah Raden Dzoelkarnaen Soeria Karta Legawa15 yang letaknya tidak jauh dari

rumah sakit Serang. Dalam pertemuan itu antara lain memutuskan:

1. Pengambilalihan kekuasaan dari tangan Jepang diserahkan kepada Raden

Dzoelkarnaen Soeria Karta Legawa.

2. Urusan yang ada hubungannya dengan bad an perjuangan atau organisasi

pemuda diserahkan kepada Ali Amangku.

15
Raden Dzoelkarnaen Soeria Karta Legaswa, ia lahir di Singaparna, Tasikmalaya, tahun 1906. Setelah
tamat ELS dan MULO ia melanjutkan ke OSVIA dan selesai tahun 1928. Pekerjaannya dimulai
sebagai Mantri Polisi, kemudian Asisten Wedana. Di zaman pendudukan Jepang diangkat sebagai
ketua Shu Sangikai. Ia wakil dari kaum intektual yang condong pada kemerdekaan. Ia dijadikan
sebagai penasihat dalam pembentukan pemerintahan (Gunseikanbu, 1986, 95). Lihat juga Muhammad
Iskandar dan Tri Wahjuning M. Irsyam, Naskah Sekitar Proklamasi di Daerah Banten, Laporan Hasil
Penelitian, Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Depok, 1993, hlm.4).
3. Pertemuan secara aklamasi memilih K.H. Tb. Achmad Chatib sebagai Residen

Banten yang menangani pemerintahan sipil.16

4. Untuk menangani masalah militer diserahkan kepada K.H. Sjam’un. Alasannya

K.H. Sjam’un sudah berpengalaman semasa menjadi tentara Peta.17

K.H. Tb. Achmad Chatib yang terpilih menjadi Residen Banten menyusun

personalia pemerintahan di Keresidenan Banten. Selain itu residen membentuk

Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Keresidenan Banten18 menurut pedoman

dari Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Setelah pembentukan KNID Residen

K.H. Tb. Achmad Chatib segera pula membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) di

Keresidenan Banten sesuai dengan aturan pusat.19

KNIP dan BKR dihasilkan pada sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan

Indonesia (PPKI) yang ketiga pada tanggal 22 Agustus 1945, yaitu untuk membentuk

tiga badan sebagai wadah perjuangan, yaitu Komite Nasional Indonesia (KNI), Partai

Nasional Indonesia (PNI), dan Badan Keamanan Rakyat (BKR) sebagai bagian dari

16
Para hadirin yang hadir pada waktu itu akhirnya mendesak pemerintah pusat untuk melantik K.H. Tb.
Achmad Chatib secara resmi dalam waktu yang secepatnya. Pemerintah pusat menyetujui tuntutan itu,
dan pada 10 September 1945 Presiden Soekarno melantik K.H. Tb. Achmad Chatib menjadi Residen
Banten (Zulfikar Ghazali (ed.), 1995: 106).
17
Suharto, Naskah Banten Masa Revolusi 1945-1949, “Proses Integrasi Dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia”, Disertasi, Program Pascasarjana Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 2001,
hlm. 86-87.
18
Pembentukan KNID dan BKR Banten sebagai kelengkapan pemerintah daerah dilaksanakan pada
awal September 1945. Adapun jabatan ketua KNID di Keresidenan Banten adalah: Ketua KNI Serang:
Tje Mamat, Ketua KNI Pandeglang: Muhammad Ali, Ketua KNI Lebak: Raden Djajaroekmantara.
19
Suharto, “Naskah Revolusi Sosial di Banten 1945-1946: Suatu Studi Awal”, Laporan Hasil
Penelitian, Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Depok, 1996, hlm. 8-9.
Badan Penolong Korban Perang (BPKP).20 Badan Keamanan Rakyat (BKR) bertugas

memelihara keamanan dan ketertiban umum di daerah masing-masing. Pembentukan

BKR diumumkan bersama-sama pembentukan KNI dan PNI pada tanggal 23 Agustus

1945. Presiden dalam pidatonya menyerahkan kepada semua bekas tentara Peta

(Pembela Tanah Air), Heiho, Kaigun Heiho dan pemuda-pemuda lainnya untuk

sementara waktu bekerja dalam BKR dan bersiap-siap dipanggil sebagai prajurit

tentara kebangsaan jika datang saatnya.21

Tujuan dibentuk BKR adalah untuk memelihara keselamatan dan keamanan

masyarakat. Kepala-kepala BKR dari pusat sampai ke daerah menjadi anggota

pengurus harian dari BPKP. Mereka yang mau dan ingin membantu BKR dipanggil

pada tanggal 29 Agustus 1945. Di tingkat keresidenan, pimpinan dipegang oleh

kepala BKR keresidenan di kabupaten atau kotapraja, pimpinan dipegang oleh kepala

BKR kewedanaan, dan di kelurahan pimpinan dipegang oleh kepala BKR kelurahan.

Kepala BKR pusat diangkat oleh pengurus harian BPKP. Kepala BKR Keresidenan

ditetapkan dan disahkan oleh ketua pengurus besar BPKP atas usul pengurus harian

di keresidenan. BKR harus memelihara keamanan bersama-sama rakyat dan jawatan-

jawatan pemerintah yang bersangkutan. BPKP dan BKR ada di bawah pengawasan

dan pimpinan Komite Nasional.22

20
Lihat Saleh As’ad Djamhari, Ikhtisar Sejarah Perjuangan ABRI 1945 – Sekarang, Jakarta, 1979,
hlm. 2.
21
Soeara Asia, 24 Agustus 1945.
22
Asia Raja, 23 Agustus 1945.
Di Keresidenan Banten, K.H. Sjam’un yang ditunjuk menangani bidang

militer segera merealisir pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Anggota

BKR ini terdiri dari bekas anggota Peta, Heiho, Hizbullah, Sabilillah, API, dan

barisan kelaskaran lainnya. Susunan organisasi BKR masih menggunakan bentuk

yang terdapat dalam daidan (kesatuan batalyon) pada Peta dimasa pendudukan

Jepang. Atas usaha K.H. Sjam’un yang telah diserahi tanggung jawab dibidang

keamanan oleh suatu rapat di rumah Raden Dzoelkarnaen Soeria Karta Legawa di

Serang, maka pada 10 September 1945 dilangsungkan rapat pembentukan BKR yang

bertempat di markas API di Cipare, Serang. Rapat yang dihadiri oleh hampir semua

perwira Peta dipimpin oleh K.H. Sjam’un dan Sukarahardja sebagai sekretaris.23

Rapat itu berhasil membentuk BKR Keresidenan Banten, BKR Kabupaten Serang,

BKR Kabupaten Pandeglang, dan BKR Kabupaten Lebak. Sesuai dengan instruksi

dan petunjuk dari BKR Pusat, BKR Keresidenan Banten,24 dan BKR Kabupaten

Serang25 dipimpin oleh K.H. Sjam’un. Beberapa hari kemudian, terbentuk pula BKR

Laut Banten yang diketuai oleh Gatot, terdiri dari dua bagian; Armada Perikanan dan

23
Muhammad Iskandar dan Tri Wahjuning M. Irsyam, Naskah, 1993, op.cit., hlm. 4-5.
24
Susunan Pengurus BKR Keresidenan Banten selengkapnya adalah sebagai berikut, Ketua: K.H.
Sjam’un, Ajudan: Sukarahardja (bekas Cudanco), Wakil Ketua I: Sutalaksana, Wakil Ketua II: Agus
Djajarukmantara, Anggota Staf Pimpinan: H. Abdullah (bekas Cudanco) dan H. Djunaedi, dan
Perhubungan: Harsono.
25
Susunan Pengurus BKR Kabupaten Serang selengkapnya adalah: K.H. Sjam’un (merangkap sebagai
Ketua BKR Keresidenan Banten, Ajudan: Sukarahardja (merangkap sebagai Ajudan BKR Keresidenan
Banten), Wakil Ketua I: Sjech Abdulsjukur Alwan (polisi), Wakil Ketua II: H. Asnawi (Pemuda
Islam), Wakil Ketua III: M. Rusdi (Bekas Polisi), Sekretaris I: M. Sanusi (pemuda), dan Sekretaris II:
M. Subki (pemuda), Promotor Pembentuk Pasukan: beberapa bekas perwira Peta, yaitu Harsono, Salim
Setiadinata, Kusendidjaja, H. Abdullah, Tb. Suhadisastra, dan Hamdani. Pengurus BKR Keresidenan
dan Pengurus BKR Kabupaten Serang bermarkas di Markas API. Oleh karena itu, masyarakat
menyebutnya BKR-API.
Pasukan Marinir. Pendirian BKR Laut Banten disahkan oleh K.H. Tb. Ahmad Chatib

selaku Residen Banten dan K.H. Sjam’un selaku ketua BKR Keresidenan Banten dan

BKR Kabupaten Serang.26

Peran K.H. Sjam’un selaku ketua BKR Keresidenan Banten, ketika ia

menanggulangi situasi yang sedang masa transisi dimana pada saat itu persenjataan

BKR sangat sedikit, disamping senjata tajam, hanya sedikit saja yang umumnya

merupakan hasil rampasan dari tentara Jepang. Sebagaimana dikemukakan

sebelumnya, bahwa para bekas anggota Peta dan heiho telah dilucuti senjata mereka

sebelum dibubarkan.27 Mengingat tentara Jepang memusuhi pemuda dan rakyat yang

bersemangat merdeka, maka pada awal bulan Oktober 1945 diadakan rapat antara

para tokoh BKR asal API dan laskar di bawah pimpinan ketua BKR, K.H. Sjam’un.

Rapat tersebut memutuskan untuk berunding dengan pihak Jepang dan meminta

Jepang agar menyerahkan senjatanya kepada BKR. Kontak dengan Jepang dilakukan

dua kali oleh K.H. Sjam’un, yang kemudian Jepang menyetujuinya. Tetapi Jepang

meminta penyerahan senjata dengan syarat agar dilakukan secara resmi dan dihadiri

oleh Residen Banten yaitu K.H. Tb. Achmad Chatib beserta stafnya di Serang. Selain

itu Jepang meminta keselamatan semua orang Jepang di Keresidenan Banten.

Berdasarkan persetujuan itu, Residen Banten mengumumkan agar selambat-

lambatnya tanggal 9 Oktober 1945 semua tentara Jepang yang ada di Anyer Kidul,

Gorda, dan Sajira berkumpul di markas Kenpeitai di Serang, dan selanjutnya akan

26
Halwany Michrob dan A. Mudjahid Chudori, Catatan Masa Lalu Banten, Serang, 1993, hlm. 239.
27
Suharto, Naskah Revolusi Sosial di Banten, op.cit., hlm 9-10.
diangkut ke Jakarta. Pelaksanaan dan keselamatan pemindahan tentara Jepang dari

tempat-tempat itu diserahkan kepada BKR.28

Mulanya proses pengumpulan orang-orang Jepang di kota Serang berjalan

mulus, terutama karena sebelumnya para pemuda yang tergabung dalam BKR

berhasil memberikan penjelasan kepada masyarakat tentang perjanjian tersebut.

Misalnya pada tanggal 7 Oktober 1945, pasukan marinir Jepang yang berpangkalan di

Anyer berhasil tiba di kota Serang dengan selamat. Namun di beberapa daerah,

karena kurang baiknya komunikasi proses “eksodus” itu tidak berjalan lancar. Malah

di daerah Gorda Kabupaten Serang truk-truk yang mengangkut tentara Jepang dicegat

di lintasan jalan kereta api di Warunggunung oleh masyarakat yang memang merasa

dendam kepada orang-orang Jepang.29 Pemuda Abdulmukti dan Juhdi yang

ditugaskan oleh K.H. Sjam’un untuk mengawal serdadu Jepang itu terpaksa

melarikan diri daripada ikut menjadi sasaran kemarahan masyarakat. Masyarakat

menyerbu truk yang ditumpangi oleh tentara Jepang, sementara tentara Jepang yang

berada di dalam truk tidak siap dengan senjatanya terbunuh, kecuali dua orang.30

Juhdi dan Abdulmukti ditahan, namun esok harinya dilepaskan, dan kemudian

melaporkan kejadian itu kepada pimpinan BKR Keresidenan Banten K.H. Sjam’un.31

Akibat insiden itu, pihak Jepang merasa kecewa dan mengurungkan niatnya untuk

28
Muhammad Iskandar, Tri Wahjuning M. Irsyam, Naskah, 1993, op.cit., hlm. 5-6.
29
Jumlahnya ada yang menyebutkan 9 orang, ada yang menyebut 21 orang (Suharto, Naskah,
2001,100).
30
Tiga orang tentara Jepang sempat loncat dari truk dan lari, seorang dari mereka yang lari ke kampung
akhirnya terbunuh, sedangkan 2 orang lainnya yang lari ke sawah selamat, malam harinya mereka
sampai di Serang dengan menumpang kereta api (Khatib Mansur, 2001, 75).
31
Halwany Michrob dan A Mudjahid Chudori, op.cit., hlm. 241-242.
menyerahkan persenjataan mereka kepada pihak RI. Malah selanjutnya Jepang

membuat barikade-barikade pertahanan di sekeliling markas Jepang, karena mereka

merasa dirugikan dengan kejadian di Warunggunung. Ali Amangku berusaha

berunding lagi dengan Jepang namun ditolaknya. Kemudian K.H. Sjam’un selaku

pimpinan BKR bersama Ali Amangku dan pimpinan pemerintah daerah mengadakan

rapat kilat yang memutuskan untuk menggempur markas Kenpeitai yang terletak di

sebelah selatan alun-alun Serang di bawah komando Ali Amangku. Pada hari itu juga,

9 Oktober 1945, agar disampaikan kepada para pemimpin pemuda, masyarakat, dan

ulama se-kabupaten Serang datang ke Markas BKR untuk mengadakan pembicaraan

rencana penyerangan.32

Pada tanggal 10 Oktober 1945 pukul 04.30 pagi, seluruh pasukan siap

ditempat yang direncanakan. Pasukan yang ada di sektor utara yang dipersenjatai

dengan karaben Jepang, pistol dan granat tangan menjadi barisan penyerang,

sedangkan barisan-barisan di sektor lainnya berfungsi sebagai barisan pengepung dan

penghadang musuh. Markas Kenpeitai dikepung, medan pertempuran dibagi menjadi

empat sektor, sektor utara di depan markas: Iski, sektor timur: Zaenal Falah, sektor

selatan: Salim Nonong, dan sektor barat: Nunung Bakri. Pasukan rakyat dari luar kota

ditempatkan di daerah-daerah sekitar markas Kenpeitai. Dapur-dapur umum dibuat di

sekitar markas dan ditempatkan di rumah-rumah penduduk. Demi keselamatan, ibu-

32
Surat Kabar Berita Indonesia, 13 dan 16 Oktober 1945, dan Kedaulatan Rakjat, 13 Oktober 1945
menyebutkan kekuatan Jepang kurang lebih kira-kira 200 orang bersenjata lengkap, pasukan BKR dan
rakyat berjumlah 100 orang.
ibu dan para remaja putri yang tinggal di kampung-kampung sekitar markas

Kenpeitai diperintahkan untuk menyingkir dan mengosongkan rumah mereka.33

Sesuai dengan rencana, pada hari Kamis, tanggal 10 Oktober 1945 pukul

05.00 pagi. Serangan dimulai dan didahului dengan pemadaman listrik di seluruh kota

Serang. Dengan pekik Allahu Akbar pasukan Banten sektor timur mulai menembaki

markas Kenpeitai sambil maju menyerang yang dibalas oleh tentara Jepang. Dari arah

markas Kenpeitai terdengar pula tembakan, maka terjadilah tembak menembak.

Karena pertahanan Jepang begitu kuat, maka sulitlah bagi para pejuang Banten untuk

merebut markas. Sampai pukul 10.00 wib. pagi pertempuran belum mereda, beberapa

pemuda gugur diantaranya Juhdi bekas budanco Peta, dari sektor utara, Nunung Bakri

pimpinan sektor selatan, Kudsi dan Thalib pemuda dari Ciomas. Pukul 14.30 seluruh

pasukan Banten diperintah mundur, sehingga keadaan sepi dan mencekam.

Malamnya sekitar pukul 20.00, dalam suasana gelap, karena listrik padam, tiba-tiba

terdengar tembakan gencar dari arah markas Kenpeitai yang ditujukan ke timur ke

Kampung Benggala. Tembak menembak terjadi tetapi lama kelamaan mereda dan

akhirnya berakhir pukul 02.00 malam. Pada malam hari itu ketika tembak menembak

berlangsung, tentara Jepang meninggalkan markas dan melarikan diri ke arah Jakarta

dengan menggunakan beberapa buah truk.34 Pagi harinya, tentunya sejak malam

33
Penyerbuan ke markas Kenpeitai itu setelah disusun siasat dan strategi sebagai berikut: Medan
pertempuran dibagi empat sektor, yaitu sekitar utara, timur, selatan, dan barat. Pasukan rakyat dari
luar kota Serang menempati daerah-daerah di sekitar markas Kenpeitai.
34
Kedaulatan Rakjat, 13 Oktober 1945, Merdeka, 18 Oktober 1945. Mengenai jumlah truk, ada yang
menyebutkan empat, dan enam buah. Jika melihat jumlah tentara Jepang yang diangkut, yaitu sekitar
200 orang jumlah enam buah truk yang masuk akal.
harinya, diketahui bahwa markas Kenpeitai dalam keadaan kosong, di dalamnya

terbaring tiga orang tentara Jepang.35

B. Menjadi TKR sampai TRI di Banten

Setelah kejadian di Banten khususnya di Serang tidak menemui hal-hal yang

kritis, kecuali gerakan Tje Mamat ketua KNI yang merubah KNI bersama dewannya

yang radikal dan revolusioner. Tje Mamat mulai beraksi pada bulan Oktober setelah

Serangan BKR bersama badan-badan perjuangan di Banten terhadap markas

Kenpeitai di Serang. Beberapa hari setelah pertempuran melawan Kenpeitai, atas

perintah Komandemen I Jawa Barat. Pada tanggal 18 Oktober 1945 diadakan rapat

pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) untuk daerah Keresidenan Banten

yang bertempat di bekas gedung sekolah guru, Serang. Rapat yang dihadiri oleh

hampir semua mantan perwira Peta dari daerah itu, Residen Banten, Bupati Serang,

Bupati Pandeglang, dan Bupati Lebak berhasil membentuk Divisi I TKR yang diberi

nama Divisi 1000/I yang di bawah Komandemen 1/Jawa Barat.36

Pembentukan TKR Banten ini sebagai pelaksanaan maklumat pemerintah RI

tanggal 5 Oktober 1943 tentang pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR).

Menurut struktur Organisasi TKR, dibawah Markas Tertinggi (MT) TKR terdapat

Komandemen I yang meliputi propinsi Jawa Barat, berkedudukan di Purwakarta,

Komandemen memiliki juga divisi, salah satunya adalah Divisi 1000/I, yang meliputi

35
Penyerangan dipimpin oleh pemuda dan polisi dengan dibantu oleh rakyat yang bersenjata golok dan
parang. Lima puluh tentara Jepang menjadi korban. Berita Indonesia, 13 dan 16 Oktober 1945,
Merdeka, 18 Oktober 1945.
36
Merdeka, 31 Oktober 1945.
daerah di sebelah barat sungai Cisadane. Dua divisi lainnya adalah Divisi II yang

meliputi Keresidenan Jakarta dan Keresidenan Cirebon, berkedudukan di Linggarjati,

dan Divisi III yang meliputi Keresidenan Priangan, Kabupaten Sukabumi, dan

Kabupaten Cianjur, berkedudukan di Bandung. 37

KH. Sjam’un yang sebelumnya menjadi ketua BKR Keresidenan Banten

merangkap sebagai ketua BKR Kabupaten Serang ditunjuk oleh suatu rapat yang

dihadiri oleh semua mantan perwira Peta, dari daerah itu untuk diangkat sebagai

Panglima Divisi dengan pangkat Kolonel. Alasannya bahwa K.H. Sjam’unlah yang

pantas menjadi panglima Divisi 1000/1. Surat pengangkatan K.H. Sjam’un sebagai

Komandemen Divisi 1000/I disampaikan oleh Mayor Soeroto Koento, utusan dari

Komandemen I Jawa Barat, Jenderal Mayor Abdulkadir. Personalia slagorde organik

Divisi 1000/1 selengkapnya adalah sebagai berikut;

Panglima : Kolonel K.H. Sjam’un

Ajudan : Mayor Sukarahardja

Kepala Staf : Letnan Kolonel Soetalaksana

Kepala Bagian Penyelidik : Mayor Tb. Salim Setiadinata

Kepala Bagian Siasat : Mayor Tb. Samsoedin Noer

Kepala Bagian Organisasi : Mayor Koesendidjaja

37
K.H. Sjam’un ditugaskan untuk membentuk TKR di daerah Banten yang anggotanya terdiri dari
orang-orang BKR dan badan perjuangan rakyat lainnya. Pembentukkan TKR di daerah ini boleh
dikatakan relatif lambat jika dibandingkan dengan beberapa daerah lainnya di pulau Jawa. Hal ini
disebabkan antara lain karena kekosongan pemimpin di daerah ini (Halwany Michrob dan A.
Mudjahid Chudori, op.cit., hlm. 254). Lihat juga Muhammad Iskandar dan Tri Wahjuning M. Irsyam,
Naskah, op.cit., hlm. 9. Lihat juga Disjarahdam VI/ Siliwangi, Siliwangi Dari Masa ke Masa,
Bandung, 1979, hlm. 32.).
Kepala Bagian Pembekalan : Mayor Hamdani

Komandan Detasemen/Batalyon Pengintai : Mayor Ali Amangku.38

Aksi dewan rakyat yang dilancarkan oleh Tje Mamat39 yang ingin mengoper

praktis kekuasaan pemerintah daerah, yang pada praktiknya berupa pengoperan

kekuasaan dari pamong praja dan polisi yang diisi oleh tenaga-tenaga alim ulama

dibantu oleh kaum jawara atas nama rakyat. Memang ketika Residen K.H. Tb.

Achmad Chatib dalam menyusun pemerintahan daerah tetap menggunakan pejabat

dan pegawai lama dengan pertimbangan bahwa untuk menangani administrasi

pemerintah diperlukan orang-orang yang biasa menanganinya.40 Menurut pandangan

rakyat pada umumnya bahwa pejabat pamong praja lama dari bupati sampai dengan

camat dan para pegawainya, bahkan para lurah, kepolisian, kejaksaan harus diganti

38
Arsip Subdisjarah Disbintal Angkatan Darat di Bandung, Divisi I Banten Komandemen Jawa Barat,
masa 1 Oktober 1945-19 Mei 1946, Koleksi Dokumen Organisasi Badan Perjuangan Jawa Barat 1945-
1946, no inventaris. 15.
39
Tje Mamat bernama asli Muhammad Mansyur. Pendidikannya di HIS sampai kelas IV. Sejak muda
sudah aktif dalam Sarikat Islam lokal Anyer yang kemudian berubah menjadi PKI cabang Anyer.
Tahun 1920 Tje Mamat duduk menjadi ketuanya. Kemudian pada waktu terjadi pemberontakan PKI di
daerah (1926), ia bersama-sama K.H. Tb. Achmad Chatib ditangkap yang kemudian diputuskan oleh
pengadilan agar dibuang ke Boven Digul. Namun Tje Mamat berhasil melarikan diri ke Semenanjung
Malayu (Malaysia). Setelah itu ia melanjutkan perjalanannya ke Moskow. Semula dia berniat untuk
menemui Semaun, akan tetapi di Cina dia bertemu dengan Tan Malaka yang menceritakan tentang
perbedaan pandangannya dengan Semaun dalam perjuangan bangsa. Dalam kesempatan itu Tan
Malaka menganjurkan untuk kembali ke Indonesia. Akan tetapi di Singapura Dia ditangkap oleh
pemerintah Inggris dan dimasukan penjara selama satu tahun. Setelah itu diserahkan kepada Hindia
Belanda yang kemudian memenjarakannya di Tanah Abang III Jakarta (Batavia). Setahun kemudian
dipindahkan ke penjara Anyer. Setelah mendekam di penjara Anyer Cilegon setahun lamanya, ia
dibebaskan. Pada tahun 1933 ia ikut bergabung kedalam Partai Indonesia (Partindo) agar dirinya tidak
dikenal oleh para petugas Belanda, ia mengganti namanya dengan Achmad Jafar Rosaf. Akan tetapi
samarannya cepat diketahui oleh para petugas pemerintah, akhirnya di penjara. Dimasa pendudukan
Jepang, ia aktif gerakan anti facis Jepang yang bernama Gerakan Joyoboyo, tetapi tercium gerakannya
akhirnya dipenjara di Tanah Abang III, dan dibebaskan setelah Jepang kalah (Muhammad Iskandar,
et.al., Peran Elit Agama Pada Masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia, Jakarta, 2000, hlm.78).
40
Untuk jabatan Bupati Serang: Raden Hilman Djajadiningrat, Bupati Pandeglang: Raden Djumhana,
Bupati Lebak: Raden Hardiwinangoen.
dengan pejabat-pejabat baru yang terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat. Banyak orang

yang datang menghadap residen untuk memprotes dan meminta agar para pejabat

lama itu segera diganti. Menanggapi tuntutan itu, residen tetap pada pendiriannya.41

Menurutnya, para pejabat dan pegawai lama yang mempunyai keahlian di bidang

administrasi sangat diperlukan agar pemerintah tetap berjalan, manakala untuk

mendapatkan pejabat dan pegawai baru yang memenuhi syarat untuk menggantikan

peran mereka tidaklah mudah. Tetapi karena tidak ada titik temu di antara kedua

belah pihak, maka rakyat secara sepihak menempuh caranya sendiri. Rakyat secara

serentak dan besar-besaran mendaulat para penjajah pemerintah khususnya Pamong

praja.42

Kaum komunis setempat tidak menentang pergantian personalia di jajaran

Pamong praja, kepolisian, dan kejaksaan oleh kaum ulama. Namun sebagai gantinya

mereka memusatkan perhatian pada pembentukan sebuah “Dewan”. Tje Mamat yang

merupakan ketua KNI Serang yang dipercayakan untuk memegang tampuk pimpinan

KNIP tersebut, malah menentangnya dan membelokkan KNI menjadi “Dewan”.

Dengan ditariknya Jepang dari Banten, maka dengan cepat “Dewan” melaksanakan

fungsinya sebagai badan eksekutif utama. Ia menggunakan kedudukannya sebagai

ketua KNIP yang menyebarkan ideologi komunis di kalangan rakyat dan merekrut

mereka menjadi anggota. Kegiatan itu terutama dilakukan di tempat kelahirannya,

yaitu Anyer dan Ciomas. Pengikut “Dewan” ini adalah dari kalangan petani dan

41
Rakjat, 29 Desember 1945, Merdeka, 22 Januari 1946.
42
Muhammad Iskandar, et. al., op.cit., hlm. 80-81.
jawara. Kemudian melancarkan operasi dewannya pada bulan Oktober 1945. Gerakan

“Dewan” ini menuntut keras agar orang-orang lama yang dicap sebagai warisan

kolonial segera diganti dengan orang-orang baru. Selain itu Tje Mamat juga menilai

bahwa KNI tidak representatif dan demokratis. Tje Mamat juga tidak mengakui

adanya KNID di Keresidenan Banten. Oleh karena itu, Tje Mamat membentuk

lembaga serupa yang dipimpin sendiri dan diberi nama Dewan Perwakilan Rakyat

(DPR) dan mempunyai pasukan yang dibentuknya sendiri diberi nama Laskar

Gulkut.43 Akan tetapi, begitu “Dewan” berkuasa, segera menghadapi kesulitan untuk

mengkonsolidasikan kekuasaan mereka. Gelombang penculikan dan pembunuhan

yang terjadi pada bulan Desember akhirnya memutuskan hubungan baik antara ulama

dengan “Dewan”. Kesulitan-kesulitan yang dihadapi “Dewan” itu terjadi bersamaan

dengan semakin meningkatnya pertentangan pemerintahan RI terhadap revolusi-

revolusi sosial di daerah.

K.H. Sjam’un, selaku panglima TKR Keresidenan Banten dalam menanggapi

sikap perkembangan baru itu mengenai gerakan “Dewan” yang dilakukan oleh Tje

Mamat. Pada tanggal 30 Oktober 1945, K.H. Sjam’un menyatakan bahwa seluruh

Keresidenan Banten siap mempertahankan kedaulatan RI. Dikatakan bahwa

masyarakat Banten, semua kyai dan alim ulama yang telah menduduki jabatan resmi

di pemerintahan serempak berjuang untuk mempertahankan kedaulatan negara,

43
Laskar Gulkut dalam bahasa Jawa: Blangkon, yaitu tutup kepala yang dipakai oleh para pamong
praja. Laskar Gulkut dibentuk untuk menggulung atau membunuh para pamong praja. Istilah Gulkut
berasal dari Tje Mamat (Wawancara oleh Suharto dengan Adi Soendjojo, di Jakarta, 24 April 1997).
dikatakan pula bahwa masyarakat Banten adalah warga negara Indonesia merdeka.44

Melihat aksi “Dewan” ini, K.H. Sjam’un selaku ketua TKR menyarankan kepada

Residen K.H. Tb. Achmad Chatib agar melakukan tindakan keras terhadap aksi-aksi

“Dewan” yang semakin brutal. Kemudian Residen K.H. Tb. Achmad Chatib

menerima usulan tersebut, dan memerintahkan agar secepatnya melakukan tindakan

untuk menumpas gerakan “Dewan”.

K.H. Sjam’un setelah mendapatkan instruksi dari Residen Banten K.H. Tb.

Achmad Chatib, agar menumpas gerakan “Dewan” ini yang telah menjadikan

kekacauan di Keresidenan Banten. Dengan alasan karena “Dewan” ini telah bertindak

dengan menyingkirkan orang-orang yang dinilai sebagai “warisan kolonial” antara

lain:

1. Pada tanggal 31 Desember 1945, Dewan menangkap Letnan Kolonel Entol

Ternaja, Komandan Resimen III Divisi 1000/1, dan Oskar Koesoemaningrat,

Kepala Kepolisian Keresidenan Banten. Keduanya diangkut ke markas

“Dewan” di Ciomas untuk diadili.45

2. Kemudian pada waktu yang bersamaan di Pandeglang terjadi pertempuran

antara pendukung “Dewan” melawan TKR setempat. Pertempuran itu terjadi

karena pihak “Dewan” berusaha merebut senjata milik TKR.

44
Merdeka, 31 Oktober 1945, 19 Juli 1946. Sebagaimana dikutif dari Antara, 30 Oktober 1945, Berita
Indonesia, 1 Nopember 1945. Lihat juga AH. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Jilid
2, Bandung, 1978, hlm. 521-522.
45
Halwany Michrob dan A. Mudjahid Chudori, op.cit., hlm. 244-245.
3. Tanggal 2 Januari 1946, “Dewan” di Rangkasbitung menuntut penggantian

Bupati Lebak, K.H. Tb. Abuhasan, dan menuntut sebuah pengangkatan

direktorium untuk mengawasi semua bagian pemerintahan dan semua pasukan

bersenjata.46

Untuk menangani “Dewan” ini langkah yang ditempuh oleh K.H. Sjam’un

selaku ketua TKR Keresidenan Banten Divisi 1000/1, yaitu segera memanggil Ali

Amangku,47 sebagai komandan batalyon pengintai, untuk menyusun siasat

penumpasan. Setelah berunding dan menyepakati siasat yang akan dilakukan untuk

menumpas “Dewan” yang telah meresahkan masyarakat Banten, maka siasat demi

siasat dilakukan. Langkah dimulai dari pembebasan tawanan yang didaulat oleh

dewan seperti Bupati Raden Aria Adipati Hilman Djajadiningrat48 dari penjara

Serang yang tidak mengalami kesulitan, karena penjagaan Laskar Gulkut di tempat

itu tidak begitu kuat, kemudian langkah berikutnya menyerang markas “Dewan” di

Ciomas yang pada tanggal 8 Januari 1946 pasukan TKR dari Serang, Pandeglang, dan

Rangkasbitung serentak menyerang markas “Dewan”. Pertempuran itu memakan

waktu lebih dari 24 jam, dan baru berhenti sesudah adanya campur tangan pribadi

46
Suharto, Naskah Revolusi Sosial di Banten, hlm. 6.
47
Ali Amangku lahir tahun 1925. Pada zaman pendudukan Jepang ia memimpin yugekitai yang
beranggota 27 orang. Kakeknya bernama Mangkudirdja. Ia ada hubungan keluarga dengan Pangeran
Achmad Djajadiningrat (Wawancara oleh Suharto dengan Ali Amangku, di Jakarta, tanggal 29 April
1997).
48
Raden Adipati Aria Hilman DJajadiningrat, lahir di Serang pada tahun 1896, selesai pendidikan di
Europesche Lagere School (ELS). Ia melanjutkan ke Hogere Burger School (HBS). Karirnya dimulai
sebagai Klerk (sejak 1917) kemudian meningkat sebagai Mantri polisi di Kabupaten Karawang (1920).
Dua tahun kemudian ia menjadi Asisten Wedana Jatinegara, selanjutnya menjabat sebagai Wedana
Jatibarang (1933), dan sejak tahun 1935 hingga 1945 menjadi Bupati Serang (Gunseikanbu, 1986:34).
Residen K.H. Tb. Achmad Chatib. Letnan Kolonel Oskar Koesoemaningrat yang

disekap di markas “Dewan” dapat diselamatkan.49

Akhirnya, para pimpinan “Dewan” dapat ditangkap, kecuali Tje Mamat yang

meloloskan diri ke daerah Lebak dan bergabung dengan pasukan “Dewan” di sana.

Kemudian TKR melakukan pembersihan di desa-desa di Kewedanaan Ciomas.

Mereka yang menyerah diberi pengampunan dan digabungkan dengan Laskar

Rakyat.50 Mayor Dudung Padmasoekarta selaku pimpinan TKR Rangkasbitung,

menjawab yang menuntut pembubaran “Dewan”, tetapi usahanya gagal. Akhirnya,

pertempuran pun terjadi, markas “Dewan” diserbu dan diduduki dengan mudah.

Tachril dan para pimpinan yang lainnya tertangkap dan dilucuti.51 Tje Mamat untuk

kedua kalinya lolos. Ia berhasil melarikan diri ke Bogor, bergabung dengan laskar

rakyat di sana di bawah pimpinan Kyai Narja.52 Di Bogor akhirnya Tje Mamat

tertangkap, lalu diserahkan ke Komandemen I/Jawa Barat di Purwakarta dan dibawa

ke Yogyakarta. Setelah Tje Mamat ditangkap maka Dewan rakyat yang ditinggalkan

49
Kejadian di Banten pada pertengahan Oktober itu mendorong pemerintah pusat untuk menanganinya.
Pada tanggal 9 Desember 1945 Presiden Soekarno dan wakil Presiden Mohammad Hatta beserta
rombongan berangkat dari Jakarta ke Banten. Mereka merasa prihatin dengan aksi Tje Mamat yang
banyak menculik orang-orang pemerintahan RI. Karena itu Soekarno dan Mohammad Hatta
menyetujui tindakan yang dilakukan K.H. Sjam’un selaku TKR untuk menumpas Dewan, Lihat juga
Rakjat, 13 Desember 1945, Merdeka, 13 Desember 1945).
50
Arsip Nasional Indonesia di Jakarta, Mengenai Pimpinan Umum Kementerian Pertahanan surat
tanggal 3 Mei 1947 tentang laporan hasil peninjauan dan penyelidikan di daerah Keresidenan Banten,
no inventaris 1694. Koleksi Arsip Kementerian Pertahanan 1946-1949.
51
Arsip Nasional Republik Indonesia di Jakarta, Mengenai Surat K.H. Sjam’un kepada Kepala
Mahkamah Tinggi Tentara. Surat tanggal 14 April 1947 tentang tahanan-tahanan penjara di
Rangkasbitung, no inventaris 1687. Koleksi Arsip Kementerian Pertahanan 1946-1949. Lihat juga AH.
Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Jilid 2, Bandung, 1878, hlm. 524.
52
Suharto, Naskah Revolusi Sosial di Banten., hlm. 19.
seperti anak ayam kehilangan induknya. Boleh dikatakan tidak ada lagi perlawanan

yang berarti, sehingga “Dewan” dengan mudah dapat dibubarkan.53

Walaupun TKR gagal menyelamatkan Bupati Lebak R.T. Hardiwinangoen54

yang diculik dan dibunuh oleh “Dewan”, juga pada Bupati Pandeglang yaitu

Djoemhana, namun gerakan “Dewan” ini dapat ditumpas dan dipadamkan dan tidak

ada lagi rongrongan terhadap pemerintahan Keresidenan Banten. Perkembangan

selanjutnya setelah kejadian itu, di Serang khususnya dan Banten umumnya berada

dalam keadaan tenteram dan stabil. Walaupun masih ada beberapa kerusuhan, namun

dari segi kualitasnya relatif kecil dan mudah ditumpas.55

Di bidang pemerintahan K.H. Sjam’un, sebagai ulama ia diangkat sebagai

Bupati Serang menggantikan Raden Hilman Djajadiningrat.56 Karena semenjak

proklamasi kemerdekaan pemerintahan daerah mandeg yang membuat pamong praja

terus menerus dalam keadaan bingung, sedang keamanan perlu dipelihara dan urusan

53
AH. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Jilid 2, hlm. 522.
54
R.T. Hardiwinangoen, lahir di Pandeglang tahun 1897, kariernya di lapangan kepamongprajaan
dimulai pada zaman Belanda, dimulai sebagai pembantu Juru tulis di Kabupaten Serang pada tahun
1915. Kemudian jabatannya meningkat, berturut-turut sebagai juru tulis, mantri polisi, asisten wedana,
dan wedana. Dari tahun 1934-1939, ketika Van der Plas menjadi Residen Cirebon, ia diangkat menjadi
Patih di Indramayu (lihat Orang Indonesia yang Terkemoeka di Djawa, hlm. 40). Tahun 1939 sampai
terbunuh bulan Desember 1945 ia menjadi Bupati Lebak (Suharto, Naskah, 2001, 120).
55
AH. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Jilid 2, hlm. 524.
56
Pejabat pamong praja baru di kabupaten Serang adalah sebagai berikut. Bupati K.H. Sjam’un,
Wedana Serang: Muhammad Padmadidjaja, Camat Serang: Muhammad Ubang, Camat Kasemen: K.H.
Madzadzi, Camat Taktakan: M. Niti, Camat Waringin Kurung: K.H. As’ari, Camat Kramatwatu: Tb.
Atja Atmakoesoemah, Wedana Ciruas: K.H. Soechari, Camat Walantaka: K. Azurum, Camat Kragilan:
K.H. A. Koesen, Camat Cikande: K.H. Abdul Hamid, Wedana Pamarayan: K.H. Ghazali, Camat
Pamarayan: Tb. Mukri, Camat Cikeusal: K.H. Sarik, Camat Petir: K.H. Mukri, Camat Kopo: K.H.
Soleh, Wedana Ciomas: K.H. Uding, Camat Ciomas: K.H. Soesa’i, Camat Pabuaran: K.H. Mahmoed,
Camat Baros: Soemantri, Camat Padarincang: K.H. Halimi, Wedana Pontang: K.H. Samwani, Camat
pontang: K.H. Zoehri, Camat Tirtayasa: H. Madsanan, Camat Carenang: K.H. Moestaja (Baca:
Moestaya), Wedana Cilegon: K.H. Soehemi, Camat Cilegon: K.H. Soechari, Camat Bojonegara, K.H.
yang lain harus berjalan, akhirnya rakyat dengan caranya sendiri melalui rapat-rapat

terbuka mengangkat para pamong praja baru yang umumnya terdiri dari kyai dan

ulama. Pergantian pamong praja dijalankan dengan jalan damai dan bijaksana.

Demikian pula jabatan-jabatan wedana, camat, bahkan sampai tingkat kepala desa

mulai diganti dengan para alim ulama.57

Naiknya K.H. Sjam’un di jajaran pemerintahan sipil, nampaknya dilihat dari

latar belakang sejarah, merupakan kesempatan yang telah lama diperjuangkan. Ia

ingin menjadi tuan di rumahnya sendiri. Setelah Indonesia merdeka, kesempatan itu

datang. Ketika rakyat menghendaki K.H. Sjam’un tampil sebagai Amirul Mukminin,

mereka menerimanya. Memang di bidang militer, K.H. Sjam’un sudah

berpengalaman, paling tidak sejak ia aktif sebagai tentara Peta di zaman pendudukan

Jepang.58 Rupanya K.H. Sjam’un sedikit kesulitan dalam menangani urusan

administrasi pemerintahan sebagai bupati, karena kurang berpengalaman dalam

bidang tersebut. Hal ini tidak menjadi halangan, ia bersama Residen K.H. Tb.

Achmad Chatib menempuh jalan untuk mengisi tenaga administrasi tersebut dengan

memberikan kesempatan kepada para pejabat lama untuk tetap bekerja di tempat

semula. Harapannya adalah agar kedua macam pejabat dan pegawai itu bekerja sesuai

dengan keahlian masing-masing. Kemudian diadakanlah pembagian tugas, yaitu

Soleman, Wedana Anyer: M. Basari, Camat Cinangka: K.H. Alidjaya, Camat Mancak; K.H. Abdul
Halim.
57
Suharto, Nasakah, 2001, hlm. 124.
58
Mansyur Muhyidin, Naskah, 1990, hlm. 58.
kaum ulama menangani bidang keamanan, sedangkan pejabat lama yang disebut

sebagai intelek, menangani bidang administrasi pemerintahan.59

Disamping soal administrasi merupakan pekerjaan yang asing bagi K.H.

Sjam’un sebagai ulama, ia hanya tahu huruf Arab, namun buta huruf latin. Keadaan

itu mempersulitnya dalam menangani pekerjaan di bidang administrasi pemerintahan.

Banyak soal-soal yang diperlukan oleh masyarakat tidak diurus dengan baik.60

Walaupun demikian tetap diambil hikmahnya oleh K.H. Sjam’un karena

kelemahannya di bidang baca tulis latin, dan menjadikannya untuk dapat belajar tulis

latin agar mampu membaca dan menulis latin.61

Sementara pada tanggal 7 Januari 1946 nama TKR (Tentara Keamanan

Rakyat) diubah menjadi TKR (Tentara Keselamatan Rakyat).62 Sekalipun perubahan

itu belum memuaskan, tetapi lebih mempertegas pengertian tugas TKR, dan tidak

lama kemudian nama itu diubah menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). Dekrit

perubahan nama itu dikeluarkan oleh Presiden pada tanggal 24 Januari 1946. Di

dalam dekrit itu selanjutnya disebutkan bahwa susunan organisasi TRI akan

disempurnakan oleh sebuah panitia. Sebagai tindak lanjut rencana penyempurnaan

organisasi, maka pada tanggal 23 Februari 1946 dikeluarkan penetapan presiden

59
Harian Rakjat, 19 Desember 1945, Merdeka 1 Januari 1946.
60
Untuk lebih jelas mengenai K.H. Sjam’un sebagai Bupati Serang, penulis dalam hal ini kesulitan
untuk mencari sumber tulis ataupun lisan yang mengetahui kegiatannya sebagai Bupati. Untuk itu
sangat disayangkan tidak dapat dibahas di sini.
61
Wawancara dengan Fatullah Sjam’un di Cilegon, 18 Februari 2003. Didukung oleh Sarbini,
wawancara di Cilegon 8 Februari 2003.
62
Tentara Keamanan Rakjat, No. 1, Tahun 1, hlm. 2. Lihat juga karya Mayor Jenderal AH. Nasution,
Tentara Nasional Indonesia, Jilid II, Djakarta, 1956, hlm. 192
untuk membentuk panitia besar penyelenggaraan organisasi tentara. Tugas panitia ini

adalah menyusun: (a) bentuk kementerian pertahanan; (b) bentuk ketentaraan; (c)

kekuatan tentara; (d) organisasi tentara; (e) menyempurnakan bentuk peralihan dari

TKR ke TRI dan menentukan status laskar dan badan perjuangan.63

TRI disusun atas dasar militer Internasional. Susunannya diperbaiki atas dasar

dan bentuk ketentaraan yang sempurna. Untuk melaksanakan tugas itu, pada tanggal

23 Februari 1946 membentuk sebuah panitia besar penyelenggara organisasi tentara

yang anggotanya terdiri dari para ahli militer dan ahli bidang lainnya. Panitia besar

reorganisasi ini beranggota 11 orang dipimpin oleh Letnan Jenderal Oerip

Soemohardjo. Hasil kerja panitia besar penyelenggaraan organisasi diumumkan pada

tanggal 17 Mei 1946.64

Perubahan nama itu, yang kemudian diikuti dengan perubahan susunannya

menyebabkan nama Komandemen I/Jawa Barat, diubah menjadi Divisi I/Siliwangi

yang dipimpin oleh Panglima Jenderal Mayor AH. Nasution. Wilayahnya meliputi

Propinsi Jawa Barat dikurangi Keresidenan Cirebon dan Kabupaten Tasikmalaya.

Divisi I/Jawa Barat ini mempunyai lima Brigade I/Tirtayasa, Brigade

II/Suryakencana, Brigade III/Kian Santang, Brigade IV/Guntur, dan Brigade V/Sunan

Gunung Djati.65

63
Berita Repoeblik Indonesia, No. 6, tahun II, 1 Februari 1946, hlm. 46.
64
Kedaulatan Rakjat. 28 Februari 1946.
65
Disjarahdam VI/Siliwangi, Siliwangi Dari Masa Ke Masa, Bandung, 1979, hlm. 39-40.
Dengan reorganisasi itu, pada bulan Juli 1946 Divisi 1000/I dihapus, lalu

dibentuk satu Brigade bernama Brigade I/Tirtayasa66 yang wilayahnya meliputi

Keresidenan Banten ditambah Kabupaten Tanggerang dan Kabupaten Bogor,

perubahan Divisi 1000/I menjadi Brigade Tirtayasa pada bulan Januari 1947. Kolonel

K.H. Sjam’un, mantan Panglima Divisi 1000/I tetap menjabat sebagai pimpinan yakni

sebagai Komandan Brigade.

Susunan pimpinan Brigade Tirtayasa selengkapnya adalah: Komandan:

Kolonel K.H. Sjam’un; Kepala Staf: Letnan Kolonel Agus Djajaroekmantara;

Kepala Bagian I: Kapten Soepartowidjojo; Kepala Bagian II: Lettu Hanafi

Soetalaksana; Kepala Bagian III: Kapten Tb. Halimi; dan Kepala Bagian IV: Lettu

M. Sani.67

Tugas pemerintah daerah di bidang keamanan di wilayah Keresidenan Banten

menjaga dari gangguan pengacau, juga menjaga keamanan daerah Banten dari

ancaman tentara NICA di sepanjang daerah perbatasan Banten dengan Keresidenan

Jakarta Raya dan Keresidenan Bogor. Untuk menghadapi ancaman itu, pemerintah

daerah menugaskan TRI dan badan-badan perjuangan.68

Bagi K.H. Sjam’un, sebagai Komandan Brigade Tirtayasa, ketika Serangan

NICA ke perbatasan Banten, dengan dikuasainya kota Tangerang yang merupakan

pintu masuk ke daerah Banten, segera menginstruksikan beberapa batalyon TRI untuk

66
Halwany Michrob dan A. Mudjahid Chudori, op.cit., hlm. 255.
67
Arsip Subbdisejarah Disbintal Angkatan Darat di Bandung, Reorganisasi Divisi Siliwangi tanggal 15
Maret 1946, no. inventaris 15. Koleksi Dokumentasi Organisasi Badan Perjuangan Jawa Barat, 1945-
1949.
memperkuat pasukan di daerah perbatasan. Di antara pasukan yang dikirim itu adalah

Batalyon II Mayor Samanhudi yang dipimpin langsung oleh Martono, Ajudan

Komandan Batalyon II berkedudukan tiga kompi, masing-masing ditempatkan Kompi

I Sunaryo di Sarakan, Kompi II Akhmad Bakri di Cimone, dan Kompi III Abdullah

Isa di Jenggot. Disamping itu dikirim pula Polisi Tentara (PT) Batalyon

X/GM/Banten dipimpin oleh Yusuf dengan komandan-komandan kampanye:

Haerkusuma Djajamihardja, Salim Nonong, Ajip Dzuhri dan Sinting. Mereka

ditempatkan di Kedaung Barat, KarangSerang, Gagarawakopi, Sepatan, dimana

operasinya sampai melintasi Cisadane ke Sanggego, Kedaung Timur, Batu Ceper dan

Bojong-Renged. Di daerah Balaraja ditempatkan batalyon yang dipimpin oleh

Supaat; di jurusan Curug Pasar Genjer dan di Binong ditempatkan Kompi Subki,

sedangkan di Cijantra ditempatkan Kompi Sanusi, yang kedua-duanya dari PT

batalyon XI Banten.69

Mundurnya tentara Tangerang tanpa memberi perlawanan terhadap musuh

mendapat ejekan dari kalangan rakyat pejuang Banten, bahkan pernah mereka

dikirimi bedak, cermin dan lipstik. Karena Tangerang merupakan pintu gerbang

untuk masuk daerah Banten, maka pada tangal 23 Mei 1946 Laskar rakyat dari

Banten berkekuatan 400 orang bergerak menuju Tangerang dengan mksud menahan

musuh jangan sampai memasuki daerah Banten. Pasukan rakyat itu dipimpin oleh

68
Halwany Michrob dan A. Mudjahid Chudori, op.cit., hlm. 281.
69
Ibid., hlm. 282. Lihat juga A.H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 2, hlm. 445.
Lihat Suharto, Naskah, Revolusi Sosial di Banten, hlm.18
K.H. Ibrahim dari desa Sampeureum, Maja, bertujuan untuk menyerang markas

NICA di Serpong, Tangerang. Karena keadaan kekuatan dan kelemahan pasukan

NICA yang baru tiba dari Serpong belum diketahui. Juga diperkirakan mereka masih

dalam keadaan siap tempur, maka Komandan TRI Divisi 1000/1 Kolonel K.H.

Sjam’un yang berada diperbatasan melarang adanya penyerangan tersebut. Namun

didorong semangat laskar rakyat dan keberanian kepada penjajah tanpa

mengindahkan larangan itu, mereka tetap melanjutkan rencana penyerbuan.70

Dalam perjalanan, rombongan bertambah dengan bergabungnya pemuda-

pemuda dari Maja dan Cipinang. Sesampainya di Tenjo, pasukan K.H. Ibrahim

bergabung dengan pasukan Tenjo yang dipimpin oleh K.H. Harun, dengan kekuatan

300 orang. Kedua pasukan itu berjalan kaki menuju Parung Panjang dan menginap di

sana.71

Pada tanggal 20 Mei 1946 sesuai dengan rencana, kedua pasukan pejuang

bergerak menuju sasaran. Jumlah laskar rakyat dari Jengkol yang dipimpin oleh Jaro

Tiking. Sepanjang jalan rombongan mengumandangkan takbir Allahu Akbar sambil

mengacung-acungkan senjata yang dibawanya berupa golok, kelewang, tombak,

panah dan bambu runcing. Di depan kubu pertahanan NICA seorang serdadu NICA

yang sedang membawa bendera putih didampingi dua orang serdadu bersenjata

menyetop dan mendekati rombomgam rakyat, dengan maksud hendak menanyakan

laskar rakyat itu. Namun tanpa dapat dikendalikan dibarengi dengan semangat

70
Halwany Michrob dan A. Mudjahid Chudori, op.cit., hlm. 281.
71
Ibid., hlm. 282.
kebencian, pihak rakyat terus maju bahkan kemudian membacok serdadu NICA

pembawa bendera. Melihat keadaan tersebut, dua orang serdadu NICA yang lainnya

segera menembak, disusul dengan lemparan geranat dan mortir dari arah markas.

NICA menyapu barisan laskar rakyat, maka bergelimpangan pasukan rakyat,

tumpang tindih, seruan takbir akhirnya tidak terdengar lagi tersapu dentuman mortir

dan geranat. Lebih dari 189 orang jenazah para pahlawan itu semuanya dikubur masal

dalam tiga lubang besar.72

Serangan serdadu NICA ke Jatiuwung memaksa TRI mundur ke Cikupa, pada

tanggal 16 Juni 1946, dengan menggunakan senjata dan perlengkapan perang

modern, NICA mengadakan serangan mendadak ke Curug, Mawuk dan Balaraja,

sehingga terpaksa pasukan resimen di Tangerang kembali mundur sampai ke daerah

Cikande untuk membantu Resimen 40 Tangerang, Komandan Brigade I/ Tirtayasa,

Kolonel K.H. Sjam’un pada tanggal 18 Juni 1946 segera mengirimkan tambahan

pasukan TRI dari Batalyon I yang dipimpin oleh Mayor H. Abdullah dan wakilnya

Kapten Supaat, Batalyon II dipimpin oleh Mayor Samanhoedi bersama dengan

kesatuan-kesatuan laskar dan badan-badan perjuangan yang dipimpin oleh Ajip

Dzoehri dan Ajip Samim dari Hizbullah, Supri Djamhari dari Sabilillah dan Haji

Djamra dari Laskar Rakyat. Batalyon ini terdiri dari 4 kompi, yang masing-masing

dipimpin oleh Kapten Sape’i Sofjan, Kapten Sunaryo, Kapten Saleh Djaisan, dan

Kapten Memed Hadi. Pengiriman pasukan TRI dari Serang ke daerah perbatasan

72
Ibid., hlm. 282.
Tangerang dilakukan dengan jalan kaki, yang sebelumnya diadakan acara pelepasan

di alun-alun Keresidenan Banten dengan diiringi do’a dan taburan beras kuning oleh

K.H. Tb. Achmad Chatib, Residen Banten.73

Penguasaan daerah Balaraja oleh serdadu NICA itu tidak berlangsung lama,

karena setelah itu merekapun kembali kepangkalannya di Tangerang. Pemerintahan

sipil Tangerang kembali berfungsi dari Balaraja. Hal ini sampai pada bulan Desember

1946 pelebaran dan rasionalisasi batalyon-batalyon lama belum dapat ditangani

sampai menjadi batalyon tempur yang bermutu. Oleh karena itu, Panglima Divisi

I/Siliwangi, Jenderal Mayor AH. Nasution, mengangkat Letnan Kolonel Soekanda

Bratamenggala74 menjadi Komandan Brigade Tirtayasa menggantikan Kolonel K.H.

Sjam’un yang merangkap sebagai Bupati Serang.75

Pengiriman Letnan Kolonel Soekanda Bratamenggala bersama pasukan dan

senjata ke Banten dengan pertimbangan bahwa Banten pada suatu saat akan berdiri

sendiri dalam menghadapi Belanda. Pengiriman itu juga karena adanya penilaian

73
Lihat A.H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Jilid 2, hlm. 445.
74
Soekanda Bratamenggala dilahirkan tahun 1916 dari keluarga menak di Ciamis. Selesai pendidikan
di Hollandsch Inlandsch School (HIS) dan Meer Uitgebreid Langer Onderwijs (MULO), ia
meneruskan sekolah guru Hollandsch Inlandsch Kweekschool (HIK) di Bandung dan lulus tahun 1936.
Pekerjaannya dimulai sebagai kepala sekolah HIS Pasundan di Jatinegara dan kemudian HIS Pasundan
II di Bandung. Dibidang organisasi, tahun 1936 menjadi Ketua Jasana Obor Pasundan atau Jough
Organisatie Pasundan (JOP), suatu organisasi dari paguyuban Pasundan, yaitu organisasi orang-orang
Sunda yang didirikan di Batavia (sekarang Jakarta) tahun 1913. Pada zaman Jepang, ia mendirikan
JOP Brigade di Bandung yang kemudian dirombak menjadi Seinendan yang ada dibawah
pimpinannya. Pada waktu tentara Peta didirikan ia masuk latihan Peta di Bogor dan selesai latihan
ditempatkan di Daidan III di Priangan Shu sebagai Cudanco (Komandan Kompi). Ia menjadi menantu
laki-laki dari dr. Djoendjoenan Setiakoesoemah, seorang dokter yang terkenal di Priangan sebelum
perang (Gunseikanbu, Orang Indonesia Jang Terkemoeka Jang di Djawa 2604, 490).
75
Disjarahdam VI/ Siliwangi, op.cit., hlm. 41. Komandan Brigade: Kolonel K.H. Sjam’un, kemudian
diganti oleh Letnan Kolonel Jayarukmantara, Letnan Soekanda Bratamenggala (sekitar tanggal 15
negatip terhadap Banten, mungkin dampak setelah terjadinya penyerangan laskar

rakyat ke markas NICA yang tidak dapat dicegah dan dinetralisir oleh Komandan

Brigade Tirtayasa. Oleh karena itu, Panglima Divisi I/Siliwangi A.H. Nasution perlu

mengisi kekosongannya. Bulan Maret 1947 Letnan Kolonel Soekanda Bratamenggala

resmi menggantikan Kolonel K.H. Sjam’un sebagai Komandan Brigade Tirtayasa.

para perwira itu ditugaskan ke Banten untuk menormalisasikan keadaan. Pasukan

yang dibawa terdiri dari satu kompi pimpinan Letnan R. Soekrokoesoemah, satu

kompi pimpinan Kapten Dadi Achdi, satu kompi pimpinan Kapten Sinedar, dan satu

kompi Detasemen Garuda pimpinan Kapten Sabith.76

Adanya sikap dari para anggotanya yang menimbulkan rasa superior terhadap

anggota tentara Banten, akhirnya menimbulkan perpecahan dan curiga mencurigai.

Hal ini memuncak ketika pada akhir bulan Maret 1947 Soekanda Bratamenggala

mengadakan reorganisasi secara drastis. Akibat pengurangan itu, banyak perwira

senior dari Banten yang tidak mendapat jabatan dan ada para para anggota yang tidak

ditempatkan dalam formasi. Reorganisasi yang berakibat rasionalisasi secara drastis

itu menimbulkan rasa tidak puas pada perwira Banten yang tersisihkan. Hal ini

sampai tersebar di kalangan rakyat, yang kemudian dimanfaatkan oleh golongan

radikal dari bekas anggota “Dewan” pimpinan Tje Mamat yang mulai tampak

kegiatannya. Desas-desus yang menjurus pada sentimen kedaerahan dilancarkan baik

Maret 1947), Lalu Letnan Kolonel Dr. Eri Soedewo (sekitar tanggal 17 Juli 1948) (Studi lebih lanjut
lihat Disjarahdam VI/Siliwangi, Siliwangi Dari Masa ke Masa, Bandung, 1976, hlm. 41).
76
Arsip Subdisjarah Disbintal Angkatan Darat di Bandung, Reorganisasi Divisi Siliwangi, tanggal 15
Maret 1947, no. inventaris. 15. Koleksi Dokumentasi Organisasi Badan Perjuangan Jawa Barat 1945-
oleh kalangan tertentu maupun oleh Belanda. Terdapat poster-poster bahwa Banten

dijajah oleh Priangan, K.H. Sjam’un kuda tunggangan Brata Menggala. Didesus-

desuskan pula bahwa perwira-perwira Banten dianggap orang-orang bodoh dan

bahwa senjata-senjata yang dibawa oleh rombongan Sukanda Bratamenggala

sebetulnya untuk keperluan keseluruhan brigade dan bukan untuk pasukan-pasukan

bawahannya sendiri.77

Dengan reorganisasi, pergantian terhadap K.H. Sjam’un sebagai Komandan

Brigade Tirtayasa oleh Soekanda Bratamenggala, maka aktifitas K.H. Sjam’un

sebagai tentara dengan pangkat terakhirnya hanya sampai Kolonel. Untuk selanjutnya

ia sebagai Bupati Serang saja sampai masa agresi militer I dan II Belanda di Banten.78

C. Agresi Militer Belanda I

Pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda melakukan agresi militer pertama. Belanda

tidak langsung menyerang dan menduduki Banten, melainkan memusatkan

perhatiannya pada daerah-daerah lainnya, seperti Keresidenan Bogor, Priangan, dan

Cirebon. Di Jakarta Barat, Belanda hanya memperluas kedudukannya sejauh 10

sampai15 km. Sukabumi dan Pelabuhan Ratu dikuasainya, dan dengan didudukinya

kedua daerah itu, maka blokade terhadap Banten makin ketat. Dengan demikian,

Banten juga harus menghadapi front baru yaitu front Banten Selatan dengan sebutan

1949. Lihat juga AH. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Jilid 5, Bandung, 1978, hlm.
445.
77
Suharto, Naskah, 2001, 151-152.
78
Mansyur Muhyidin, Naskah, 1990, hlm. 56.
front Cikotok. Garis pertahanan RI memanjang sepanjang kurang lebih 250 km, mulai

dari Mauk (di Pantai Utara Laut Jawa) melingkar ke daerah Parung Panjang,

melengkung ke daerah Leuwiliyang dan terus keselatan melalui daerah perbatasan

Bogor Sukabumi melewati Rabig dan Cibareno dan berakhir di pantai Samudra

Indonesia.79

Blokade ini membuat Banten menjadi daerah yang tertutup. Berlanda menjaga

ketat daerah perbatasan terhadap arus orang dan barang kebutuhan sehari-hari yang

masuk dan keluar daerah Banten. Pihak RI yang menjaga di perbatasan itu juga

melakukan hal yang sama. Dengan penjagaan yang ketat tersebut, maka untuk masuk

ke Banten dan sebaliknya tidak mudah, bahkan berbahaya. Bagi orang yang

mengetahuinya, mereka dapat masuk atau ke luar Banten dengan melalui suatu

daerah tidak bertuan antara desa Betung (di daerah pendudukan Belanda) dan desa

Cikupa (desa yang masih dikuasai RI).80

Perhubungan dengan pemerintah pusat di Yogyakarta boleh dikatakan terputus

sama sekali, perhubungan dengan Jakarta kebanyakan melalui laut dengan

menggunakan perahu dari pelabuhan-pelabuhan di Banten ke Pasar Ikan.81

Perhubungan dengan Jakarta dengan menggunakan kereta api juga tidak begitu

mendapat gangguan, demikian pula perhubungan dengan daerah Sumatra (Lampung),

menyeberangi Selat Sunda dengan menggunakan kapal yang diselenggarakan untuk

79
Suharto, Naskah, 1995. hlm 5-4.
80
Madjallah Merdeka, no. 21. Th. 1, (5 Juni 1948), hlm. 5.
81
Berita Indonesia, 25 Nopember 1947.
keperluan sipil diadakan tiga kali seminggu.82 Belanda dengan tidak menyerangnya

daerah Banten ini dengan alasan, dari segi ekonomi Banten bukan daerah yang

menguntungkan, dari segi politik Belanda ragu-ragu apakah daerah Banten ini setelah

dikuasai dapat dijadikan daerah integrasi mengingat kebencian masyarakat Banten

terhadap Belanda.83

Blokade ini mempunyai dampak yang luas bagi Banten. Akibat Blokade itu,

beberapa barang kebutuhan sehari-hari yang biasanya didatangkan dari luar daerah

Banten, misalnya Jakarta, semakin sulit diperoleh, akhirnya harga membumbung

tinggi.84

Jabatan K.H. Sjam’un pada agresi pertama Belanda adalah sebagai Bupati

Serang. Bersama-sama dengan pejabat instansi dan masyarakat berusaha mengatasi

kebutuhan hidup masyarakat, dengan mendorong masyarakat agar membuat barang

tertentu dan menggunakan barang-barang lain sebagai pengganti, ada pula beberapa

barang yang diperoleh dengan cara mencari dan membelinya di luar daerah Banten.

Dalam keadaan yang sulit berbagai cara dilakukan oleh pemerintah Banten untuk

mengatasinya, antara lain, mengeluarkan aturan terhadap penjualan barang-barang

yang dihasilkan oleh Banten. Orang Banten dibolehkan membawa keluar hasil-hasil

Banten dalam jumlah tertentu, untuk menghindari habisnya persediaan.85 Dalam

82
Soeara Merdeka, 15 Maret 1947.
83
A.H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 5, hlm. 445.
84
Mang Eri Soedewo, My Life With Eri San: a Freedom Fighter, Surabaya, 1949, hlm. 118.
85
Wawancara dengan Fatullah Sjam’un di Cilegon, 18 Februari 2003.
hubungan ini pemerintah daerah membentuk polisi ekonomi.86 Dalam memenuhi

kebutuhan sehari-hari masyarakat membuat beberapa jenis barang yang antara lain

bensin, vaselin, granat, garam, minyak tanah sabun dan obat-obatan yang mutunya

lebih rendah.

Untuk mendapatkan bensin, suatu komoditi vital, orang membuat bensin

sendiri dari karet, dengan proses destilisasi. Beberapa orang cerdik dan penuh akal

dibawah Kapten Widodo berhasil merekayasa bensin terbuat dari karet.87 Untuk

membuat vaselin orang membuatnya dari kelapa sawit.88 Untuk membuat granat dan

mortir, pabrik minyak kelapa “Mee Olie” di Rangkasbitung merupakan salah satu

produsen mortir, akan tetapi karena mortir itu tidak dilengkapi alat pengontrol,

setelah digunakan beberapa kali pelurunya tidak terlontar, dan meletus di dalam

tabung. Selain itu dipabrik itu dibuat ranjau darat, bom tarik, dan granat bambu.89

Untuk garam dapur, dibuat sendiri dari air laut di Pantai Selatan dengan

menggunakan seng-seng sebagai tempat penggodog untuk mendapatkan endapan

garam. Untuk pengganti minyak tanah yang digunakan sebagai lampu penerangan,

orang menggunakan minyak sawit. Untuk sabun cuci orang menggunakan buah

kelerak. Ada juga orang yang mendirikan perusahaan sabun yang menggunakan

peralatan sederhana. Untuk obat-obatan diperoleh dengan membuat sendiri beberapa

jenis obat, seperti obat batuk dibuat dari daun sirih, bubuk kina dibuat dari kulit kina,

86
Suharto, Naskah, Dinamika Suatu Daerah Terisolasi, op.cit., hlm. 22.
87
Lihat Eri Soedewo, op.cit., hlm. 118.
88
Matia Mudjiah, Dokter Gerilya, Jakarta, 1995, hlm. 124.
89
Halwany Michrob dan A. Mudjahid Chudori, op.cit., hlm. 283-285.
obat buduk dibuat dari belerang yang dicampur minyak kelapa sawit. Perban dibuat

dari kulit pohon pisang bagian dalam, vaksin cacar dibuat oleh dr. Satrio (pejabat

bagian kesehatan Brigade Tirtayasa).90

Untuk mengatasi sulitnya masuk Oeng Republik Indonesia (ORI), ke Banten,

uang kertas dibuat sendiri atas izin pemerintah pusat, uang itu bernama ORIDAB

(Oeang Republik Indonesia Daerah Banten). Pengeluaran uang itu didasarkan

jaminan emas dari Cikotok. Pembuatan mata uang itu dilakukan setelah pemerintah

daerah Banten tidak dapat membayar gaji pegawai. Pemprakarsa pembuatan uang

tersebut adalah pembantu Gubernur Mr. Joesoep Adiwinata dan R. Lumanauw,

Kepala Kantor Inspeksi Keuangan Keresidenan Banten. Setelah dipersiapkan selama

dua bulan sejak bulan september 1947, dengan menggunakan peralatan yang

sederhana pada Desember 1947 beredarlah ORIDAB yang pertama dari kertas Rp

10,- dan Rp 5,-.91

K.H. Sjam’un dalam hal ini, menyumbangkan peralatan sederhana berupa

mesin cetak dipergunakan membuat dan mencetak ORIDAB. Mesin cetak tersebut

merupakan milik pribadinya atas nama Yayasan Perguruan Islam Al-Khaeriyah di

Citangkil yang sampai sekarang masih disimpan di Kampus Perguruan Islam Al-

Khaeriyah.92

90
Matia Mudjiah, op.cit., hlm. 203-205.
91
Emisi pertama ORIDAB tertanggal 12 Desember 1947. Dasar hukumnya adalah intruksi pemerintah
pusat RI kepada Residen Banten untuk mencetak uang daerah yang berlaku sementara.
92
Wawancara dengan Fatullah Sjam’un di Cilegon, 18 Februari 2003.
Blokade Belanda yang ketat terhadap Banten sejak dilancarkan aksi militer

pertama, membuat daerah ini terkucil dan terasing dari pemerintahan pusat yang

berkedudukan di Yogyakarta maupun provinsi Jawa Barat yang untuk sementara ada

di Tasik Malaya. Satu-satunya sarana komunikasi adalah lewat radio, yang

dioperasikan oleh empat orang pejuang yang datang dari Bandung bersama-sama Mr.

Joesoep Adiwinata. Mereka dipimpin oleh Letnan Nawawi Alif,93 tinggal bersama

keluarga Adiwinata, dan stasiun radio ini pun dioperasikan di rumah kediaman

Adiwinata.94

Setelah terjadinya agresi pertama (21 Juli 1947), pada tanggal 4 Agustus

1947 Presiden Soekarno dan Jenderal Spoor mengeluarkan perintah penghentian

tembak menembak. Perintah itu dikeluarkan justru pada saat TNI mulai berhasil

mengkonsolidasikan kekuatannya untuk melanjutkan perang gerilya. Sekalipun sudah

ada gencatan senjata dan Resolusi PBB, ternyata Belanda terus melanjutkan aksi-aksi

militernya. Pemerintah RI mendesak supaya KTN (Komisi Tiga Negara)

mempergunakan kekuasaannya untuk memaksa Belanda supaya mentaati perintah

penghentian tembak menembak. Tetapi ternyata KTN tidak mampu melainkan

sebaliknya Belanda merasa dirinya cukup mampu untuk langsung menyerang

Yogyakarta.95

93
Letnan Nawawi Alif, pernah menjadi ketua DPRD Jawa Barat.
94
Eri Soedewo, op.cit., hlm. 119.
95
Nasution, op.cit., hlm. 108.
Sementara itu untuk melaksanakan penghentian permusuhan sesuai dengan

putusan Dewan Keamanan PBB tanggal 1 Nopember 1947, maka pemerintah

Republik Indonesia pada tanggal 5 Nopember 1947 telah membentuk panitia

istimewa yang diketuai oleh Dr. J. Leimena dengan anggota-anggota terdiri dari

pejabat sipil dan militer. Komisi teknis Belanda diketuai oleh Van Vredenburgh.

Sebagai penghubung, KTN membentuk komisi penghubung yang diketuai oleh

Kolonel Myers. Dengan demikian terbukalah jalan untuk perundingan antara

Republik Indonesia dengan Belanda itu. Guna mmenghadapi persiapan perundingan

politik, kedua pihak telah menyiapkan susunan delegasinya masing-masing. Delegasi

Republik Indonesia yang dibentuk pada tanggal 6 Oktober 1947 dipimpin oleh Amir

Syarifuddin, sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh Raden Abdulkadir

Widjojoatmodjo. Dalam delegasi ini Belanda mengikutsertakan wakil-wakil negara

bagian sebagai anggota. Perundingan dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 di atas

kapal perang Amerika serikat Renville di pelabuhan Tanjung Priok. Setelah melalui

proses pendekatan antara delegasi Indonesia dan Belanda, akhirnya kedua belah pihak

menerima saran-saran yang diajukan KTN, antara lain berisi ketentuan-ketentuan

sebagai berikut: (1) Segera dikeluarkan perintah penghentian tembak menembak

sepanjang “garis van Mook”; (2) Hal ini segera diikuti dengan perjanjian peletakan

senjata dan membentuk daerah daerah kosong militer. Persetujuan yang

ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948 dan terkenal dengan nama Perjanjian

Renville itu yang terdiri atas 3 bagian, yaitu: (1) Persetujuan Gencatan Senjata (10

pasal); (2) 12 Pasal prisip-prinsip politik; (3) 6 pasal prinsip tambahan dari KTN.
Perjanjian Renville ternyata membawa akibat-akibat yang lebih parah bagi RI,

dimana perjanjian Renville merugikan RI dalam dua hal, yaitu: (a) Daerah RI

semakin mengecil; (b) Timbulnya pertentangan politik yang hebat di dalam negeri

antara yang pro dan yang kontra perjanjian tersebut.96

D. Agresi Militer Belanda II

Sesudah Renville ditandatangani, hubungan antara RI dengan Belanda tetap

tegang. TNI sudah memperkirakan bahwa Belanda pasti akan datang melakukan

Serangan kembali, tetapi waktunya saja yang tidak dapat ditentukan. Firasat tentang

akan datangnya serangan tersebut, telah dirasakan sebelumnya oleh pimpinan TNI

semenjak Belanda mencoba untuk mengulur waktu tentang hal perundingan

persetujuan itu.97

Karena serbuan Belanda sudah diperhitungkan akan terjadi lagi, maka

angkatan bersenjata mengadakan persiapan-persiapan. Belajar dari pengalaman aksi

militer/Belanda. Sistem pertahanan linier98 dibuang dan diganti dengan sistem

wehrkreise (perang wilayah), yang pada pokoknya membagi daerah pertempuran

dalam lingkaran-lingkaran yang berdiri sendiri. Dalam daerah wehrkreise ini semua

tenaga manusia, materil dan bahan-bahan yang ada diintegrasikan. Dalam segi

militer, konsep strategis ini dilengkapi dengan taktik perang gerilya. Selain itu

96
A.H. Nasution, Tentara Nasional Indonesia, Jilid II, hlm.130.
97
Suharto, Naskah, 1995, Banten Pada akhir Revolusi 1948-1949, Suatu Studi Awal, Laporan Hasil
Penelitian, Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Depok, hlm. 17.
98
Sistem pertahanan linier adalah sistem pertahanan konvensional. Dalam sistem ini pasukan-pasukan
yang bertahan berada pada pos-pos yang diperkuat (strong point) untuk mempertahankan suatu daerah
dari kemungkinan Serangan musuh.
pasukan-pasukan yang sebelumnya hijrah akibat dari persetujuan Renville, harus

menyusup ke daerah musuh untuk kembali ke daerah asalnya.99 Rencana itu tertuang

dalam instruksi Panglima Besar tanggal 9 November 1948 yang telah dikenal dengan

perintah siasat no. 1. Di bidang komando dibentuk dua markas besar komando

Sumatera masing-masing dipimpin oleh Kolonel A.H. Nasution dan Kolonel Hidayat.

Isi perintah itu antara lain: Pertama, tugas untuk memperlambat serangan Belanda

melaksanakan pengungsian dan melakukan bumi hangus secara total. Kedua, tugas

membuat kantong-kantong di setiap kewedanaan militer.100 Disamping persiapan

dalam bidang operasi militer, dilakukan juga persiapan untuk penyelenggaraan

pemerintahan militer. Dalam pemerintahan itu, desa dijadikan basis pertahanan utama

dengan sandaran kekuatan pada pengerahan tenaga rakyat. Untuk menjelaskan hal-hal

yang berhubungan dengan perintah siasat no. 1 itu, pada tanggal 11 November 1948

diadakan pertemuan dengan Gubernur Residen dan Komandan Militer dari seluruh

Jawa bertempat di Markas Besar Komando Jawa.101

Sehubungan dengan instruksi tersebut, tidak lama kemudian Brigade Tirtayasa

telah menyelesaikan garis besar rencana pertahanan dan rencana itu dikirim kepada

komandan batalyon masing-masing dalam amplop yang disegel. Pada dasarnya

rencana itu terdiri dari dua fase. Pertama, TNI melakukan gerakan penghambatan dan

penguluran waktu terhadap jalannya Serangan. Bentuknya antara lain berupa

99
Saleh As’ad Djamhari, op.cit., hlm. 35.
100
Suharto, Naskah, 2001, op.cit., hlm.178.
101
Saleh As’ad Djamhari, op.cit., hlm. 36.
pengrusakan jalan-jalan yang strategis, penghancuran jembatan-jembatan, termasuk

jembatan kereta api antara Parung Panjang dan Rangkasbitung, pembuatan rintangan-

rintangan di jalan dengan pohon-pohon, penghancuran semua bangunan vital dan

besar seperti pabrik, kantor telepon, dan transformasi listrik yang nantinya menjadi

fasilitas untuk jalannya suatu pemerintahan. Untuk persiapan rencana itu cukup

banyak memakan waktu, yaitu semenjak awal November 1948, sejak para komandan

batalyon diberikan gambaran rencana itu. Meskipun demikian instruksi rinci baru

dapat diketahui setelah pembukaan segel yaitu pada saat yang ditetapkan. Jika

rencana yang harus dilaksanakan dalam fase ini tidak dapat dilanjutkan, secara

otomatis meningkat ke fase kedua, yaitu perang gerilya total, yang lokasinya tersebar

di enam daerah. Penentuan daerah gerilya tiap batalyon dari kesatuan-kesatuan

lainnya, penentuan tempat pos komando batalyon masing-masing serta daerah dan

tempat pos komando kompi masing-masing disampaikan kepada setiap komando

yang bersangkutan. Untuk mencegah kebocoran rahasia militer, para komandan

kesatuan baru diperbolehkan membuka segel instruksi siasat pada saat adanya berita

bahwa agresi militer Belanda II menjadi kenyataan tanpa menunggu komando dari

komandan Brigade.102

Banten, suatu daerah yang tidak diserang dan diduduki Belanda melalui agresi

militer pertamanya, akhirnya diserang juga oleh tentara Belanda. Serangan terhadap

Banten dilakukan oleh pasukan Brigade Infanteri I Divisi 7 Desember yang

102
Suharto, Naskah Banten Pada Masa Revolusi, hlm, 18. Lihat juga Nasution, Sekitar Perang
Kemerdekaan Indonesia, Jilid 5, hlm. 445.
berkekuatan sekitar 1.000 personil di bawah pimpinan Kolonel Blanken, tentara

Belanda bergerak dalam dua tahap. Pertama, mereka secepat mungkin menyerbu

dengan mengikuti jalan raya untuk menduduki kota-kota dan pusat-pusat

perhubungan. Pada tahap kedua mereka melancarkan operasi pembersihan kekuatan

TNI sektor demi sektor. Selanjutnya, membentuk pemerintahan sipil dan

merehabilitasi jalan yang rusak.103

Pada tanggal 23 Desember 1948, kolone pertama di pantai utara, berangkat

dari Tangerang pukul 06.00 menuju Serang dengan kekuatan satu batalyon infanteri

yang diperkuat oleh artileri medan, satu peleton mitraliur, dua peleton zeni, dan satu

kompi angkutan bermotor yang dipelopori oleh satu eskadron kavaleri lapis baja.

Kolone utara itu dibagi menjadi dua, yaitu sebagian lewat Mauk dan sebagian lain

langsung menuju Serang. Dari Mauk sebagian pasukan terus berangkat ke barat

menuju Jenggot, dan selanjutnya membelok ke selatan menuju Balaraja menuju

Krasak untuk mengepung kota itu. Induk pasukan batalyon pimpinan Djaelani yang

bertugas untuk mempertahankan Balaraja terpukul oleh eskadron lapis baja Belanda

yang bergerak cepat. Balaraja diduduki Belanda, komandan batalyon dan stafnya

tertangkap.104

Eskadron kavaleri Belanda terus bergerak ke barat melewati jembatan sungai

Cimanceuri yang tidak dihancurkan oleh TNI. Sebelum melewati jembatan sungai

Ciujung, sebagian kecil pasukan membelok ke selatan menuju Pamarayan, dan

103
Suharto, Naskah, 2001, op.cit., hlm. 183.
104
Warta Indonesia, 24 Desember 1948.
selanjutnya menuju Rangkasbitung. Pasukan yang ke barat, setelah melewati

jembatan sungai Ciujung di Ciruas, sebagian kecil menuju utara ke Pontang,

sedangkan sebagian besar pasukan terus bergerak ke barat menuju Serang.105

Pasukan Belanda sebelum memasuki kota Serang, sekitar pukul 09.00 pagi,

dengan pesawat terbang Belanda menjatuhkan pamflet di pasar Royal dan di asrama

sekolah guru di Serang. Selain menjatuhkan pamflet pesawat terbang itu juga

melancarkan tembakan sehingga ada orang yang menjadi korban. Sekitar pukul

12.00 pasukan Belanda masuk kota Serang dengan didahului oleh panser yang

kemudian diikuti oleh tank lapis baja, mobil-mobil pengangkut pasukan, dan mobil-

mobil pengangkut perlengkapan senjata mesinnya. Iring-iringan mobil bergerak tanpa

mendapat perlawanan, sambil bergerak pasukan melancarkan tembakan jika terlihat

ada sesuatu yang mencurigakan. Oleh karena itu, ada korban yang terkena peluru

nyasar. Tembakan juga dilancarkan ke kantor Kabupaten Serang. Setelah berhasil

masuk tanpa ada perlawanan sedikit pun, karena TNI telah mundur. Pada pukul 15.00

pasukan Belanda menduduki kota Serang.106

Aparat pemerintah sipil telah diperingatkan oleh pimpinan militer agar siap-

siap menghadapi segala kemungkinan. Persiapan pemerintah sipil tidak seperti

militer. Pada waktu Yogya diserbu oleh Belanda pada tanggal 19 Desember 1948,

rencana yang tegas dan sempurna belum tampak prihatinnya. Pada waktu Banten

dimasuki oleh Belanda pada tanggal 23 Desember 1948, aparat pemerintah daerah

105
Suharto, Naskah Banten pada Akhir Revolusi, hlm.19.
106
Nasution, Tentara Nasional Indonesia II, hlm. 32
sedang berunding di kantor Kabupaten Serang tentang apa yang dilakukan dalam

menghadang pasukan Belanda. Wakil Gubernur Jawa Barat, M. Joesoep Adiwinata,

Residen Banten, K.H. Tb. Achmad Chatib, dan beberapa pegawai sudah berada di pos

komando Brigade Tirtayasa.107 Bupati Serang Kolonel K.H. Sjam’un, Patih Serang,

Tb. Soeria Atmadja, dan beberapa pegawai lainnya terkurung di kantor Kabupaten

Serang. Pada malam harinya, kedua pejabat, yaitu K.H. Sjam’un dan Patih Soeria

Atmadja dapat meloloskan diri dengan berpura-pura mengeluarkan mayat yang

terkena peluru nyasar dari dalam rumah.108 Oleh pimpinan pasukan Belanda Jenderal

Spoor diizinkan. Kesempatan ini digunakan dengan baik oleh K.H. Sjam’un dan

Patih Soeria Atmadja untuk meloloskan diri menuju Tanjung, yaitu ke rumah patih

dan bermalam di sana. Pada pagi harinya K.H. Sjam’un pamit kepada patih melalui

jalan samping Kabupaten Serang (yang sekarang diberi nama Jalan Brigadir Jenderal

K.H. Sjam’un) melalui jembatan Kaujon dan terus ke Gunung Cacaban di Anyer

untuk menggabungkan diri dengan kaum gerilya di peleton Anyer yang dipimpin oleh

Letnan Muda Chaidir.109

K.H. Sjam’un pergi ke Gunung Sari (Taktakan) dimana di wilayah itu sedang

terjadi pertempuran sengit. Dari Tanjung kemudian ke jurusan daerah Anyer tepatnya

Gunung Cacaban dengan melalui jalan Mancak. K.H. Sjam’un bertemu dengan

gerilyawan di Gunung Cacaban. K.H. Sjam’un bergabung dengan gerilyawan di

107
Warta Indonesia, 30 Desember 1948.
108
Suharto, 2001, op.cit., hlm.186.
109
Wawancara Fatullah Sjam’un di Cilegon, 18 Februari 2003.
peleton Anyer, selama dua bulan berada di Gunung Cacaban (Anyer) di sana ia wafat,

dalam usia 64 tahun.110 Wafatnya bukan karena tertembak ketika gerilya, tapi karena

penyakit dada yang sudah lama dideritanya. Ia wafat tanggal 2 Maret 1949 M/1 Rajab

1468 H,111 pukul 04.45 pagi. Pada siang hari sekitar pukul 14.00 oleh rakyat dan

pasukan gerilyawan daerah peleton Anyer K.H. Sjam’un dimakamkan di sana dengan

upacara yang sederhana. Kemudian posisinya sebagai bupati Serang kosong dan tidak

ada yang menggantinya sampai tanggal 30 Desember 1949.112

110
Mansyur Muhyidin, Naskah, 1990, op.cit., hlm. 85.
111
Warta Indonesia, 9 Maret 1949.
112
Mansyur Muhyidin, Naskah, 1990, op.cit., hlm. 86.
DAFTAR PUSTAKA
Arsip
Divisi I Banten Komandemen Jawa Barat, Periode 1 Oktober 1945-19 Mei 1946.
Koleksi Dokumen Organisasi Badan Perjuangan di Jawa Barat 1945-1949, no.
inventaris 15.
Gunseikanbu 2604. Koleksi Arsip Pendaftaran Orang Indonesia Jang Terkemoeka
Jang ada di Djawa, no. inventaris 75.
Penjelasan tentang pendirian TKR. Koleksi bagian Dokumentasi dan Foto Film
Disjarah Bandung, 1985, no. inventaris 15.
Pimpinan Umum Kementerian Penerangan kepada Menteri Pertahanan surat tanggal
3 Mei 1947, tentang Laporan Hasil Peninjauan dan Penyelidikan di Daerah
Keresidenan Banten. Koleksi Arsip Kementerian Pertahanan 1946-1949, no.
inventaris 1694.
Reorganisasi Divisi Siliwangi tanggal 15 Maret 1947. Koleksi Dokumentasi
Organisasi Badan Perjuangan Jawa Barat, 1945-1949, no. inventaris 15.
Reorganisasi Divisi Siliwangi Tanggal 20 Mei 1946. Koleksi Dokumentasi
Organisasi Badan Perjuangan Jawa Barat 1945-1949, no. inventaris 15.
Siliwangi Penjelmaan dari Divisi I, II (sebagian) dan Divisi III Komandemen Jawa
Barat, Mei 1946- Februari 1948. Koleksi Dokumentasi Organisasi Badan
Perjuangan Jawa Barat 1945-1949, no. inventaris 15.
Surat H. Syam’un kepada Mahkamah Tinggi Tentara, surat tanggal 14 April, tentang
Tahanan-Tahanan Penjara di Rangkasbitung. Koleksi Arsip Kementerian
Pertahanan 1946-1949, no. inventaris 1689.
Surat Perintah Presiden RI Panglima Tinggi Angkatan Perang, tanggal 6 Desember
1947 Pengangkatan Opsir Seluruh APRI hanya dilakukan oleh Presiden RI
atau Menteri Pertahanan. Koleksi Arsip Kementerian Pertahanan, no.
inventaris 212.
Surat Wakil Presiden RI kepada Kolonel Hidayat Kepala Staf Divisi I Siliwangi TNI
AD: Surat perintah tanggal 24 Februari 1948 tentang Kerusuhan di Banten.
Koleksi Arsip Sekretariat Negara RI 1945-1949, no. inventaris 935.

Buku dan Manuskrip


Afandi, Bisri, Syaikh Ahmad Syurkati (1874-1943), Pembaharu dan Pemurni Islam di
Indonesia, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 1999.
Alfian, Ibrahim, Perang Di Jalan Allah, Jakarta, Sinar Harapan, 1988.
Amin, Husayn Ahmad , Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, Bandung, Remaja
Rosdakarya, 1999.
Anderson, Benedict R.O’G., Revolusi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan
Perlawanan di Jawa, (Terj. Jiman Rumbo), Jakarta, Pustaka Sinar Harapan,
1988.
Benda, Harry J, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Islam di Indonesia Pada Masa
Pendudukan Jepang, (Terj. Daniel Dhakidae), Jakarta, Pustaka Jaya, 1980.
Bruinessen, Martin van, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarikat-Tarikat, Tradisi-
Tradisi Islam di Indonesia, (Terj. Farid Wajidi), Bandung, Mizan, 1999.
Bruinessen, Martin van, NU: Tradisi Relasi-Relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru,
(Terj. Farid Wajidi),Yogyakarta, LkiS,1994.
Dhofier, Zamaksyari, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai,
Jakarta, LP3ES, 1985.
Disjarahdam VI/Siliwangi, Siliwangi Dari Masa Ke Masa, Bandung, Angkasa, 1979.
Djajadiningrat, Parengeran Aria Achmad, 1996, Memoar Pangeran Aria Achmad
Djajadiningrat, (Terj, Paguyuban Keturunan P.A. Achmad Djajadiningrat),
Jakarta, Paguyuban Keturunan P.A. Achmad Djajadiningrat, 1996.
Drasodjo, Sudjoko, “Profil Pesantren”, Laporan Hasil Penelitian Pesantren Al-Falah
dan Delapan Pesantren Lain di Bogor, Jakarta, LP3ES, 1974.
Frederick, William dan Soeri Soeroto, Pemahaman Sejarah Indonesia Sebelum dan
Sesudah Revolusi, Jakarta, LP3ES, 1985.
Ghozali, Zulfikar, (ed.), Sejarah Lokal, Kumpulam Makalah Diskusi, Jakarta, Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, Direktorat Sejarah dan Nilai
Tradisional Departemen P dan K, 1995.
Gunseikanbu, 2603 (1943), Orang Indonesia Jang Terkemoeka di Djawa, Jakarta,
Arsip Nasional Republik Indonesia, 1986.
Hj. Mahdiyah, (75 tahun), istri K.H. Sjam’un yang ke empat, di Cilegon, 28 Juli
2003.
Hudaeri, Muhammad, et.al, “Tasbih dan Golok: Studi Tentang Kedudukan, Peran,
Jaringan Kiai dan Jawara di Banten”, Laporan Hasil Penelitian Kompetitif,
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri “Sultan Maulana Hasanuddin Banten”,
2002, Serang.
Imran, Amrin, et.al., Sejarah Perkembangan Angkatan Darat, Jakarta, Dephankam,
Pusjarah ABRI, 1971.
Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sejarah Pendidikan Jawa
Barat, Jakarta, Depdikbud, 1999.
Irsjad, Djuwaeli Muhamad, Pembaharuan Kembali Pendidikan Islam, Jakarta,
Yayasan Karsa Utama, Mandiri dan Pengurus Besar Matlaul Anwar, 1998.
Iskandar, Muhamad, et.al, Peran Elit Agama Pada Masa Revolusi Kemerdekaan 137
Indonesia, Jakarta, Depdikbud, 2000.
Iskandar, Muhammad dan Wahjuning M. Irsjam “Sekitar Proklamasi di Daerah
Banten” Laporan Hasil Penelitian, Fakultas Sastra Universitas Indonesia,
1992, Depok.
K.H. Dzarqoni, (68 tahun), alumnus Pesantren Al-Khaeriyah Citangkil, di Jakarta, 28
Februari 2003.
K.H. Fatullah Sjam’un, (63 tahun), putra K.H. Sjam’un, di Cilegon, 18 Februari 2003.
K.H. Saleh, (75 tahun), alumnus Pesantren Al-Khaeriyah Citangkil, di Anyer, 17
Februari 2003.
K.H. Sarbini, (84 tahun), alumnus Pesantren Citangkil angkatan pertama (1916-
1924), di Cilegon, 8 Februari 2003.
K.H. Satibi Ali, (64 tahun), alumnus Pesantren Al-Khaeriyah Citangkil, di Cilegon,
28 Juli 2003.
K.H. Sidiq, (74 tahun), alumnus Pesantren Al-Khaeriyah Citangkil, di Cilegon 18
Februari 2003.
Kahin, George McTurnan, Nationalism and Revolution in Indonesia, Ithaca, New
York, Cornell University Press, 1952.
Kartodirdjo, Sartono, (ed.), Elite Dalam Perspektif Sejarah, Jakarta, LP3ES, 1983.
Kartodirdjo, Sartono, Pemberontakan Petani Banten 1888, (Terj. Hasan Basari),
Jakarta, Pustaka Jaya, 1984.
Khuluq, Lathiful, Fajar Kebangunan Ulama: Biografi K.H. Hasyim Asy ‘ari, Jakarta,
LkiS, 2000.
Lloyd, Christopher, The Structures of History, London, Oxford: Blackwell, 1993.
Madjiah, Matia, Dokter Gerilya, Jakarta, Balai Pustaka, 1993.
Madjiah, Matia, Kisah Seorang Dokter Gerilya dalam Revolusi Kemerdekaan di
Banten, Jakarta, Sinar Harapan, 1986.
Malik, Adam, Riwayat Sekitar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Jakarta, Wijaya,
1970.
Mansur, Khatib, Perjuangan Rakyat Banten Menuju Provinsi, Jakarta, Antara Pustaka
Utama, 2001.
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta, INIS, 1994.
Michrob, Halwany, dan A. Mudjahid Chudori, Catatan Masa Lalu Banten, Serang,
Saudara, 1993.
Moenawar Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Madzhab, Jakarta, Bulan
Bintang, 1995.
Muhyidin, Mansyur, “K.H. Syam’un Pejuang Kemerdekaan Asal Banten,” Makalah,
t.th, Cilegon.
Muhyidin, Mansyur, “Karya Seorang Prajurit Asal Banten (KH. Syam’un)”, Yayasan
Al-Khaeriyah Citangkil Cilegon, Kumpulan Pengalaman Anak-anak K.H.
Syam’un, 1990, Cilegon.
Nasution A.H., Sekitar Perang Kemerdekaan Jilid 2, Bandung, Angkasa, 1978.
Nasution, A.H., Sekitar Perang Kemerdekaan, Jilid 1, Bandung, Dinas Sejarah TNI
Angkatan Darat, 1976.
Nasution, A.H., Sekitar Perang Kemerdekaan, Jilid 5, Bandung, Angkasa, 1978.
Nasution, A.H., Tentara Nasional Indonesia, Jilid 2, Djakarta, Seruling Masa, 1979.
Nasution, A.H., Tentara Nasional Indonesia, Jilid I, Djakarta, Penerbit Ganaco N.V,
1963.
Nasution, Harun, Pembaharuan Dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1988.
Niel, Robert Van, Munculnya Elit Modern Indonesia, (Terj. Zahara Deliar Noer),
Jakarta, Pustaka Jaya, 1984.
Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 -1942, Jakarta, LP3ES, 1983.
Notosusanto, Nugroho, (ed.), Sejarah Nasional Jilid VI, Jakarta, Depdikbud, 1975.
Notosusanto, Nugroho, Pemberontakan Tentara Peta Blitar Melawan Djepang 14
Februari 1945, Jakarta, Lembaga Sejarah Hankam, 1968.
Notosusanto, Nugroho, Tentara Peta Pada Jaman Pendudukan Jepang di Indonesia,
Jakarta, Gramedia, 1979.
Onghokham, Runtuhnya Hindia Belanda, Jakarta, Gramedia, 1989.
Pengurus Besar Perguruan Islam Al-Khaeriyah, Perguruan Islam Al-Khaeriyah Dari
Masa Ke Masa, Cilegon, Yayasan Al-Khaeriyah Citangkil, Cilegon, 1984.
Perlmutter, Amos, Militer Dan Politik, Jakarta, Rajawali Press, 1984.
Pringgodigdo, R.M., A.K., Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, Jakarta, Pustaka
Rakyat, 1949.
Purwaningsih, Sri Handayani, “Pergolakan sosial Politik di Serang Pada tahun 1946:
Kasus Gerakan Aksi Tje Mamat”, Skripsi, Program S1 Pada Fakultas Sastra
Universitas Indonesia, 1984, Depok
Saleh, “Riwatyat Hidup K.H. Syam’un, Catatan pribadi mengenai K.H. Syam’un”,
t.th., Cilegon.
Simatupang, T.B, Pelopor Dalam Perang Pelopor Dalam Damai, Jakarta, Yayasan
Pustaka Militer, 1954.
Soedewo, Mang Eri, My Live With Eri-San, a Freedom Fighter, Surabaya, Airlangga
University Press, 1994.
Sosrodihardjo, Sudjito, Perubahan Stuktur Masyarakat di Jawa: Suatu Analisis,
Jogyakarta, Karya, 1969.
Steenbrink, Karel A, Pesantren, Madrasah, dan Sekolah: Pendidikan Islam Dalam
Kurun Modern, Jakarta, LP3ES, 1986.
Suharto, “Banten Masa Revolusi, 1945-1949, Proses Integrasi dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia”, Disertasi, Program Pasca Sarjana, Fakultas
Sastra, 2001, UI Depok.
Suharto, “Banten Pada Akhir Masa Revolusi, 1948-1949, Suatu Studi Awal”,
Laporan Hasil Penelitian, Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1995,
Depok.
Suharto, “Dinamika Suatu Daerah Terisolasi (Banten, Antara Dua Agresi Militer
Belanda)”, Laporan Hasil Penelitian, Fakultas Sastra Universitas Indonesia,
1996, Depok.
Suharto, “Revolusi Sosial di Banten, 1945-1946, Suatu Kajian Awal”, Laporan Hasil
Penelitian, Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1995, Depok.
Sundhaussen, Ulf, Politik Militer Indonesia, 1945-1967 Menuju Dwi Fungsi ABRI,
Jakarta, LP3ES, 1986.
Thoha, Idris, “K.H. Wasyid Pemantik Cilegon Berdarah”, Makalah, t.th., Cilegon.
Tilly, Charles, From Mobilization to Revulution, Ontario Sidney, Addison-Wesley
Publishing Company, 1979.
Tim Peneliti Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri “Sunan Gunung Djati”
Serang, “Dinamika Sistem Pendidikan Al-Khaeriyah Tentang Arah
Pembinaan dan Pengembangan dari Visi Keunggulan”, Laporan Hasil
Penelitian kelompok IAIN “Sunan Gunung Djati”, 1996, Serang.
Tjandrasasmita, Uka, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid III, Jakarta, Dekdikbud, 1982.
Wawancara
Zakiyatul, Baydiyah et.al., “Perjuangan Brigjen KH. Syam’un: Studi Tentang
Perguruan Islam Ak-Khaeriyah Citangkil Cilegon”, Laporan Hasil Penelitian
Kelompok Jurusan Adab, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri, “Sultan
Maulana Hasanuddin Banten” Serang, 2002, Banten.
Zakiyatul, Baydiyah, “Perkembangan dan Pertumbuhan Perguruan Islam Al-
Khaeriyah Citangkil Cilegon 1916-1945”, Skripsi, STAIN, “Sultan Maulana
Hasanuddin Banten” Serang, 2002, Banten.

Anda mungkin juga menyukai