Anda di halaman 1dari 4

Asal-Usul Dua Dimyati Tanah Banten

Berdasarkan Manaqib Abuya Cidahu; Dalam Pesona Langkah di Dua Alam (2008: h. 3),


Abuya M. Murtadlo yang merupakan putra ke-2 Abuya Cidahu, menuliskan bahwa
ayahnya lahir pada hari Sabtu, tanggal 27 Syakban 1347 Hijriah atau bertepatan dengan
bulan Juni 1920 Masehi.

Dalam jurnal Tsaqofah (Vol. 14, No. 1, Juni 2016: h. 6), penulis menerangkan bahwa
Abuya Cidahu bernama lengkap Muhammad Dimyati bin Muhammad Amin. Ibunya
bernama Hj. Ruqayyah. Sedangkan ayahnya merupakan seorang ulama yang nasabnya
bersambung hingga Rasulullah melalui jalur Maulana Hasanudin, Raja Banten pertama.

Ayah Abuya Cidahu, KH. Muhammad Amin bin Dalin, merupakan pendiri Pesantren
Kalahang, Pandeglang. Sebelum tinggal di Kalahang dan mendirikan pesantren, ia pernah
bermukim di Mekkah selama lebih dari 5 tahun untuk menuntut ilmu. Ia wafat di Cidahu,
tanggal 15 Februari 1966 dan dimakamkan di Pemakaman Kadujuru, kampung
kelahirannya.

Seperti halnya Abuya Cidahu, Abuya Cilongok pun memiliki nasab yang secara patrilineal
bersambung hingga Rasulullah, namun melalui jalur berbeda.

Hal tersebut diuraikan dalam Ki Luluhur Rekam Jejak Sejarah Raden Aria Wangsakara (2000:
h. 93-96), bahwa kakek Abuya Cilongok, Ki Khaerun, merupakan generasi ke-8 dari Raden
Aria Wangsakara, seorang bangsawan Kerajaan Sumedang Larang yang kemudian
memimpin Keariaan Tangerang. Sedangkan, Aria Wangsakara sendiri merupakan
keturunan Rasulullah dari jalur Sayidina Husein. (2000: h. 6-7)

Terkait tanggal kelahiran Abuya Cilongok, tidak diketahui secara pasti. Namun,
berdasarkan penuturan KH. Totoh Tohawi, anak ke-8 Abuya Cilongok, dalam wawancara
yang dilakukan oleh Rohima dan dikutip dalam skripsinya (2016: h. 48), menyebutkan
bahwa tradisi haul Syekh Abdul Qadir al-Jailani di Cilongok pertama kali digelar pada
tahun 1953 oleh Abuya saat usianya baru 25 tahun. Dari informasi tersebut, dapat
diprediksi bahwa Abuya Cilongok lahir sekitar tahun 1928 Masehi.

Abuya Cilongok bernama lengkap Ahmad Dimyati bin Ahmad Romly. Ayahnya merupakan
seorang ulama yang lahir dan tumbuh besar di lingkungan Pesantren Doyong, Tangerang.
Pesantren Doyong didirikan sekitar abad ke-19 oleh mertua Ki Khaerun, KH. Rasihun.
Sepeninggal Ki Rasihun, kepemimpinan Pesantren Doyong kemudian dilanjutkan oleh Ki
Khaerun.

Pengaruh Ketokohan Dua Dimyati Tanah Banten


Di Seantero Jawa, nama Abuya Dimyati Cilongok mungkin tidak semasyhur Abuya
Dimyati Cidahu. Kepakaran Abuya Cidahu dalam bidang keagamaan sudah ramai
dibicarakan oleh para ulama tanah Jawa saat rihlah keilmuannya di sana.
Tidak heran memang, sebab sebelum melakukan perjalanan keilmuan ke tanah Jawa,
Abuya Cidahu telah dibimbing langsung oleh ayahnya, juga oleh Abuya Tubagus Abdul
Halim Kadupeusing, dan Mama Tubagus Ahmad Bakri Plered.

Bahkan, dari Abuya Abdul Halim, Abuya kemudian mendapatkan ijazah Tarekat Qadiriyah
wa Naqsyabandiyah. Dan dari Mama Bakri, Abuya mendapatkan ijazah Tarekat
Khalwatiyah.

Dalam buku Para Penjaga Al-Qur’an (2011: h. 155-192), disebutkan bahwa saat mondok


kepada Simbah KH. Dalhar di Watucongol, Magelang, Abuya Cidahu justru diminta untuk
mengajar santri-santri Mbah Dalhar. Saat itu, salah satu kitab yang diajarkannya sampai
khatam adalah Ihya Ulumuddin karya Al-Ghazali.

Kemudian, pada suatu malam Abuya dipanggil oleh Mbah Dalhar, lalu diajak
melaksanakan salat hajat bersama. Selesai salat, Abuya dibaiat dan dianugerahi
makam al-‘Ārif Billāh. Selain itu, ia juga diwarisi ilmu-ilmu yang dimiliki Mbah Dalhar serta
dijadikan mursyid Tarekat Syaziliyyah yang telah diijazahkan sebelumnya.

Beberapa ulama yang mengunjungi Abuya Cidahu ketika ia bermukim di Watucongol


adalah Simbah KH. Abdul Malik Kedungparuk, Purwokerto, dan Simbah KH. Nawawi
Jejeran, Yogyakarta.

Keduanya merupakan teman seperguruan Mbah Dalhar ketika di Mekkah yang kemudian
mengunjungi Watucongol untuk bertemu dengan Abuya Cidahu dan memintanya agar
mengunjungi kediaman mereka masing-masing. Permintaan itu kemudian dipenuhi Abuya
pada tahun 1955 kepada Mbah Malik, dan tahun 1956 kepada Mbah Nawawi.

Selama kurun waktu antara 1963 sampai 1967, Abuya mulai aktif mengajar para santri
dari berbagai wilayah Indonesia yang berdatangan ke Cidahu.

Hal tersebut ia lakukan sepulang rihlah keilmuannya dari Lasem, Rembang. Di Lasem,
Abuya Cidahu mengkhatamkan Al-Qur’an dalam waktu 4 bulan kepada Simbah KH.
Baidlowi Abdul Aziz. Dari Mbah Baidlowi, Abuya juga mendapat ijazah Tarekat
Syadziliyah.

Pada masa-masa awal, karena Abuya belum membangun pesantren, santri yang belajar di
Cidahu menempati rumah-rumah penduduk. Dalam jurnal Mimbar (Vol. 28, No. 2,
Desember 2012: h. 220), dituliskan bahwa Abuya Cidahu baru mulai merintis pesantren
sekitar tahun 1965.

Berbeda dengan Abuya Cidahu, Abuya Cilongok meintis pesantren 10 tahun lebih awal.
Pesantren Cilongok didirikan sekitar tahun 1955. Hal tersebut dilakukan Abuya setelah
sebelumnya melakukan perjalanan keilmuan sekitar 15 tahun kepada beberapa guru, di
antaranya kepada Abuya Rasam Caringin, Abuya Muhammad Dahlan Rajeg, dan Abuya
Muhidin Kosambi di Tangerang. Selain itu, Abuya juga berguru kepada Abuya Prawira
Sekong di Pandeglang.
Sedangkan dalam tarekat, ia mendapat ijazah Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dari
KH. Arsyad Cilongok, Tangerang.

Kegiatan paling fenomenal yang dilaksanakan oleh Pesantren Cilongok adalah tradisi haul
Syekh Abdul Qadir al-Jailani yang digelar setiap tahun pada minggu kedua di bulan
Rabiulakhir. Berdasarkan Rohima (2016: h. 48), tradisi haul tersebut merupakan sebuah
mandat yang diberikan secara estafet oleh guru kepada murid, yang secara silsilah sanad
bersambung hingga Syekh Abdul Qadir sendiri.

Kedekatan Dua Dimyati Tanah Banten


Sebagai bentuk kedekatannya, Abuya Cilongok memerintahkan anaknya, Abuya Uci,
untuk menimba ilmu kepada Abuya Cidahu. Saat di Cidahu, Abuya Uci sering diamanati
surat untuk dikirim kepada ayahnya di Cilongok. Selama kurun waktu tersebut, terdapat
sekitar sepuluh surat yang dikirim Cidahu kepada Cilongok.

Abuya Cilongok pernah berujar, bahwa apa yang diminta dilakukan oleh Abuya Cidahu, ia
tidak akan melakukannya, dan apa yang diminta untuk tidak dilakukan, ia akan
melakukannya. Bahkan, ia mengaku bahwa telah memiliki perjanjian antara keduanya
untuk tidak saling mengunjungi dan bersilaturahmi satu sama lain.

Namun, menurutnya, seperti yang disampaikan KH. Iim Imaduddin, anak ke-10 Abuya
Cilongok, dalam sambutannya di acara “Tahlil Malam ke-7 Abuya KH. Uci Turtusi (12 April
2021)”, bahwa di antara para ulama di seluruh Banten, ia yang paling akrab dengan
Cidahu.

Meski secara lahir antara Abuya Cilongok dan Abuya Cidahu terlihat memiliki konflik,
namun secara batin, tidak ada seorang pun yang lebih dekat dengan Abuya Cidahu selain
Abuya Cilongok.

Sewaktu ketika, Abuya Cilongok didatangi oleh Ajengan Qadir bin Zaeni Dahlan, salah
satu guru Abuya Uci di Benda Kerep, Cirebon. Ajengan Qadir kemudian meminta kepada
Abuya Cilongok untuk mengantarnya bersilaturahmi kepada Abuya Cidahu.

Di Cidahu, Abuya Cilongok diledek oleh Abuya Cidahu bahwa ia kalah karena telah
datang ke Cidahu. Tidak merasa kalah, Abuya Cilongok berdalih bahwa ia hanya
mengantar Ajengan Qadir untuk bersilaturahmi ke Cidahu.

Wafatnya Dua Dimyati Tanah Banten


Berdasarkan pemaparan KH. Iim Imaduddin (12 April 2021), Abuya Dimyati Cilongok
wafat pada awal tahun 2001. Dua tahun sebelumnya, Abuya memberikan mandat kepada
anak ketiganya, Abuya Uci Turtusi, untuk mulai mengajarkan ilmu-ilmu secara eksplisit di
Majelis Taklim Al-Istiqlaliyyah pada hari Minggu. Setelah wafatnya Abuya, estafet
kepemimpinan di Pesantren Cilongok dilanjutkan oleh Abuya Uci.
Dua tahun setelah wafatnya Abuya Cilongok, pada tanggal 3 Oktober 2003, Abuya
Dimyati Cidahu wafat dalam usia 78 tahun. Sepeninggal Abuya, kepemimpinan di
Pesantren Cidahu kemudian diserahkan kepada putra pertamanya, Abuya Ahmad
Muhtadi.

Anda mungkin juga menyukai