Anda di halaman 1dari 78

LABORATORIUM KEPANITERAAN REFERAT

KLINIK RADIOLOGI JANUARI 2021


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO

HIPERTENSI PULMONAL

PENYUSUN :
Fathur Rahman, S.Ked
K1A1 16 124

PEMBIMBING :
dr. Wa Ode Imelda Effendy, M.Kes., Sp.Rad

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN RADIOLOGI


RUMAH SAKIT UMUM PENDIDIKAN BAHTERAMAS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Fathur Rahman, S. Ked

Nim : K1A1 16 124

Program Studi : Profesi Dokter

Fakultas : Kedokteran

Judul referat : Hipertensi Pulmonal

Telah menyelesaikan referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu

Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo.

Kendari, Januari 2021


Mengetahui,
Pembimbing,

dr. Wa Ode Imelda Effendy, M.Kes., Sp.Rad

ii
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL............................................................................................ i

HALAMAN PENGESAHAN............................................................................. ii

DAFTAR ISI........................................................................................................ iii

DAFTAR GAMBAR........................................................................................... iv

DAFTAR TABEL................................................................................................ v

BAB I. PENDAHULUAN................................................................................... 1

BAB II. INSIDENSI DAN EPIDEMIOLOGI................................................... 4

BAB III. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI................................................ 6

BAB IV. ANATOMI DAN FISIOLOGI............................................................ 17

BAB V. DIAGNOSIS........................................................................................... 36

A. Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik............................................36

B. Pemeriksaan Radiologi....................................................................... 38

1. Radiologi Konvensional................................................................. 38

2. CT-Scan........................................................................................ 41

3. MRI................................................................................................. 49

C. Pemeriksaan Patologi Anatomi.......................................................... 56

BAB VI. DIFFERENSIAL DIAGNOSIS.......................................................... 60

BAB VII. KOMPLIKASI................................................................................... 64

BAB VIII. PENGOBATAN................................................................................ 65

BAB IX. DAFTAR PUSTAKA........................................................................... 71

iii
DAFTAR GAMBAR

Nomor Gambar Judul Gambar Halaman


Gambar 1 Skema Patofisiologi Terjadinya Hipertensi 15
Pulmonal
Gambar 2 Anatomi Jantung 30
Gambar 3 Anatomi Jantung Berdasarkan Chest X Ray 30
Gambar 4 Fisiologi Peredaran darah Jantung 34
Gambar 5 Skema Peredaran Darah Tubuh Manusia 34
Gambar 6 Thorax X-ray 39
Gambar 7 CXR dari pasien dengan HAP (kelompok 1) 47
akibat defek septum atrium yang tidak
terkoreksi
Gambar 8 CXR frontal dan lateral pasien dengan PAH 25
idiopatik
Gambar 9 CT Scan PH 47
Gambar 10 MRI PH 55
Gambar 11 Perubahan histopatologis hipertensi pulmonal 59

iv
DAFTAR TABEL

Nomor Tabel Judul Tabel Halaman


Tabel 1 Etiologi Hipertensi Pulmonal 6

v
1

HIPERTENSI PULMONAL

Fathur Rahman, Wa Ode Imelda Effendy

BAB I

PENDAHULUAN

Istilah hipertensi pulmonal mencakup berbagai penyakit yang memiliki

sedikit kesamaan selain dari peningkatan tekanan darah di sirkulasi paru.

Klasifikasi diagnostik yang tepat untuk hipertensi pulmonal sangat penting, paling

tidak untuk alasan pengobatan dan prognosis, karena pilihan pengobatan yang

efektif dalam beberapa bentuk hipertensi paru mungkin tidak efektif atau bahkan

merugikan dalam bentuk lain.(1)

World Health Organization (WHO) mendefinisikan pulmonary

hypertension (PH) sebagai suatu kondisi hemodinamik dimana rerata tekanan

arteri pulmonalis saat istirahat adalah ≥25 mmHg. Dalam prakteknya PH biasanya

diidentifikasi dengan USG Doppler yang umumnya didapatkan regurgitasi

trikuspid untuk memperkirakan tekanan sistolik ventrikel kanan dan dengan

demikian menyimpulkan tekanan arteri pulmonalis. WHO membagi hipertensi

pulmonal kedalam 5 kelompok. Kelompok 1 yaitu PH karena pulmonary arterial

hypertension (PAH). Kelompok 2 PH terkait dengan penyakit jantung kiri.

Kelompok 3 PH karena penyakit paru-paru dan hipoksia. Kelompok 4 karena PH

tromboemboli kronis, dan kelompok 5 yang merupakan kumpulan heterogen dari

sindrom PH akibat masalah genetik (termasuk penyakit sel sabit dan sarkoidosis).
(2)
2

Hipertensi pulmonal (PH) adalah kondisi parah dari beberapa etiologi

yang ditandai dengan peningkatan tekanan arteri pulmonalis rata-rata / mean

pulmonary artery pressure (mPAP) ≥ 25 mmHg saat istirahat, diukur selama

kateterisasi jantung kanan. Penambahan afterload dan regangan ventrikel kanan

dapat terjadi akibat peningkatan tekanan darah paru yang terus-menerus, yang

pada akhirnya berkembang menjadi kegagalan ventrikel kanan dan kematian.(3)

Pada hipertensi pulmonal, pembuluh darah paru secara dinamis terhalang

oleh vasokonstriksi, secara struktural terhalang oleh perubahan bentuk pembuluh

darah yang merugikan, dan secara patologis berubah sebagai akibat dari fibrosis

dan pengerasan pembuluh darah. Mutasi pada gen reseptor protein morfogenetik

tulang (BMPR2) tipe II secara dramatis meningkatkan risiko pengembangan

hipertensi pulmonal yang diturunkan. Disregulasi epigenetik metilasi DNA,

asetilasi histon, dan microRNA juga berkontribusi pada patogenesis penyakit.

Perubahan kompleks pada sitokin (interleukin dan faktor nekrosis tumor),

imunitas seluler (limfosit T, sel Natural Killer, makrofag), dan autoantibodi

menunjukkan bahwa hipertensi pulmonal, sebagian, merupakan penyakit

inflamasi autoimun. Renovasi vaskular paru obstruktif pada hipertensi pulmonal

meningkatkan afterload ventrikel kanan yang menyebabkan hipertrofi ventrikel

kanan. Pada beberapa pasien, perubahan maladaptif pada ventrikel kanan,

termasuk iskemia dan fibrosis, menurunkan fungsi ventrikel kanan dan

menyebabkan kegagalan ventrikel kanan.(4)

Pelaporan dalam literatur tentang data insiden PH di tingkat global masih

buruk. Di Inggris, prevalensi 97 kasus per juta dengan rasio perempuan- laki-laki
3

sebesar 1,8 telah dilaporkan. Angka kematian standar usia di AS berkisar antara

4,5 dan 12,3 per 100.000 penduduk. Data epidemiologi komparatif tentang

prevalensi dari berbagai kelompok PH tidak tersedia secara luas hanya terdapat

sedikit informasi yang tidak proporsional tentang demografi dan perjalanan klinis

segmen populasi PH ini, yang menunjukkan bahwa masih perluh dilakukan

pengkajian berbagai data secara epidemiologis. (5)


4

BAB II

INSIDENS DAN EPIDEMIOLOGI

Epidemiologi hipertensi pulmonal dilaporkan lebih tinggi pada pasien

dengan gangguan jantung kiri dan penyakit paru obstruktif. Pada pasien dengan

gangguan jantung kiri, prevalensi dilaporkan berkisar antara 25-83%. Sedangkan

pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), hipertensi pulmonal

ditemukan pada 20% pasien rawat inap dan 50% pasien dalam tahap akhir

penyakit.(6)

Data epidemiologi di Amerika Serikat dan Eropa menunjukkan bahwa

hipertensi arteri pulmonal terjadi pada 6,6–26 kasus per 1 juta orang dewasa.

Sebagian besar merupakan kasus idiopatik dan 10% tergolong penyakit yang

diturunkan.(7) Menurut data Kementerian Kesehatan RI, Hipertensi pulmonal

primer sering didapatkan pada usia muda dan usia pertengahan, lebih sering

didapatkan pada perempuan dengan perbandingan 2:1, angka kejadian pertahun

sekitar 2-3 kasus per 1 juta penduduk, dengan mean survival / sampai timbulnya

gejala penyakit sekitar 2-3 tahun.(8)

Angka mortalitas penderita hipertensi pulmonal dalam 1 tahun setelah

diagnosis berkisar antara 2,8% hingga 21,2%. Studi yang dilakukan di Taiwan

menemukan angka ketahanan hidup penderita hipertensi arteri pulmonal selama 1,

2, 3, dan 5 tahun sebesar 93%, 88%, 84%, dan 77% secara berurutan. Menurut the

European Society of Cardiology (ESC) and the European Respiratory Society

(ERS), pasien dengan risiko tinggi (risiko mortalitas 1 tahun >10%) adalah pasien

dengan tanda klinis gagal jantung kanan, progresi penyakit yang cepat, sinkop
5

berulang, WHO functional class IV, 6-minute walk <165 m, B-type natriuretic

peptide (BNP) 300 ng/L, efusi perikardial, right arterial pressure >14 mmHg,

cardiac index (CI) <2,0 L/min/m2, dan mixed venous oxygen saturation (SvO2)

<60%.(9,10)

Pasien dengan risiko rendah (risiko mortalitas 1 tahun <5%) adalah pasien

tanpa tanda klinis gagal jantung kanan, tidak mengalami progresi gejala, WHO

functional class I-II, 6-minute walk >440 m, BNP <50 pg/L, tanpa efusi

perikardial, ukuran atrium kanan normal, right arterial pressure <8 mmHg, CI

≥2,5 L/min/m2, dan SvO2 >65%.(10)


6

BAB III

ETIOLOGI DAN PATOFOSIOLOGI

A. ETIOLOGI

Hipertensi pulmonal berdasarkan penyebabnya dibagi menjadi 2

kategori yaitu hipertensi pulmonal primer dan hipertensi pulmonal

sekunder. Klasifikasi menurut simposium hipertensi pulmonal “Dana Point

Meeting California” hipertensi pulmonal dibagi lagi menjadi beberapa

kelompok sebagai berikut :(3)

Tipe Keterangan Etiologi

1a Hipertensi arteri Idiopatik, genetik, induksi obat dan racun,

pulmonalis (Hipertensi penyakit jaringan ikat, infeksi HIV,

Arteri Pulmonal hipertensi portal, penyakit jantung

Idiopatik) kongenital, scistosomiasis, anemia

hemolitik kronis, autoimun

1b Penyakit hipertensi Obstruksi vena besar paru oleh karena

venopulmonal  penyakit fibrosis (fibrosis mediastinum,

tumor, sarkoidosis, histiositosis)

2 Hipertensi pulmonal Disfungsi sistolik, disfungsi diastolik,

dengan kelainan penyakit valvular 

jantung kiri 

3 Hipertensi pulmonal COPD, panyakit paru interstisial, penyakit


7

dengan kelainan paru- paru dengan gabungan dari kelainan

paru/hipoksia  restriktif dan obstruktif, sleep upnea

desease, gangguan hipoventilasi alveolar

4 Hipertensi pulmonal Oklusi trombotik proksimal, oklusi

dengan tromboemboli trombotik distal oleh karena benda asing

kronis 

5 Hipertensi dengan Gangguan mieloproliferatif dan

multifaktorial  splenektomi, vaskulitis, gangguan tiroid,

tumor,gagal ginjal kronis 

Tabel 1. Etiologi Hipertensi Pulmonal(3)

B. KLASIFIKASI

Klasifikasi hipertensi pulmonal berdasarkan kelas fungsional

menurut WHO adalah :

1. Kelas I: Pasien dengan hipertensi pulmonal tanpa keterbatasan dalam

melakukan aktifitas sehari-hari 

2. Kelas II : Pasien dengan hipertensi pulmonal, dengan sedikit

keterbatasan dalam melakukan aktifitas sehari – hari. 

3. Kelas III: Pasien dengan hipertensi pulmonal, yang bila melakukan

aktifitas ringan akan merasakan sesak dan rasa lelah yang hilang bila

istirahat. 
8

4. Kelas IV: Pasien dengan hipertensi pulmonal, yang tidak mampu

melakukan aktifitas apapun (aktifitas ringan akan merasakan sesak),

dengan tanda dan gejala gagal jantung kanan.(11)

C. FAKTOR RISIKO

Dari klasifikasi yang telah digambarkan pada etiologi jelas

bahwa berbagai faktor resiko dapat berkembang menjadi hipertensi

pulmonal berat dan oleh karenanya dapat dianjurkan skrining dari

bagian populasi terpilih untuk terjadinya hipertensi pulmonal atau

penyakit vaskular pulmonal. Pada simposium WHO, level resiko

disertai dengan masing-masing kondisi yang dinilai pada beberapa

pembagian, antara lain: (12)

1. Obat-obatan  Anoreksigen 

Hubungan antara anoreksigen dan hipertensi pulmonal

awalnya diobservasi pada tahun 1960an saat epidemik HPP di

Eropa karena pemakaian aminorex fumarate. Studi hipertensi

(IPPHS) mendemonstrasikan hubungan kuat antara HAP dan obat

anoreksik. Derifat Fenfluramine adalah suatu inhibitor poten

uptake serotonin (5- HT). Aminorex fumarate (2-amino-5-phenyl-

2-Oxazoline, derivat katekolamin), aksinya meliputi pelepasan

norepinephrine pada ujung saraf bebas dan meningkatkan kadar

serotonin serum. Sehingga terjadi proliferasi atau pertumbuhan sel-

sel otot polos arteri paru. Penggunaan obat ini meningkatkan kasus
9

HPP, tergantung dosis dan lama pemakaian  Methamphetamine dan

Cocaine Methamphetamine dan cocain dilaporkan meningkatkan

insiden hipertensi pulmonal. Pada studi autopsi 20 perokok cocain

berat, 4 (20%) paru menunjukkan hipertropi medial arteri paru.

Mekanisme terjadinya hipertrofi arteri ini masih belum jelas.(12)

2. Hubungan Dengan Lingkungan Hipoksia

Hipoksia menginduksi vasodilatasi vena-vena sistemik

tetapi menginduksi vasokonstriksi pada vaskuler paru. Respon

vaskuler paru terhadap hipoksia berbeda dengan sirkulasi sistemik

untuk mengoptimalkan hubungan antara ventilasi dan perfusi.

Hipoksia akut diregulasi oleh produk-produk endotel (seperti

endotelin-1 dan serotonin) dan memediasi perubahan aktivitas

kanal ion pada selsel otot polos arteri paru. Hipoksia akut

menyebabkan perubahan yang reversible pada tonus vaskuler paru,

sedangkan hipoksia kronik menyebabkan remodeling struktur,

proliferasi sel-sel otot polos vaskuler, migrasi dan peningkatan

deposisi matrik vaskuler. (12)

3. Riwayat Keluarga

2 gen dalam kelompok reseptor famili TGF-b mempunyai

hubungan yang kuat dengan familial hipertensi pulmonal. Gen

bone morphogenetic receptor type 2 (BMPR2), memodulasi

pertumbuhan sel-sel vaskuler dengan mengaktivasi jalur

intraseluler. Dalam keadaan normal BMP menekan pertumbuhan


10

sel otot polos vaskuler. Lebih dari 45 mutasi yang berbeda BMPR2

telah diidentifikasi pada familial hipertensi arterial pulmonal.

BMPR2 adalah suatu komponen reseptor pada sel otot polos

vaskuler heteromerik, bagian dari transforming growth factor.

Mutasi eksonik pengkodean gen BMPR2, yang berpengaruh pada

suatu aberasi transduksi sinyal pada sel otot polos vaskuler paru

sehingga menimbulkan proliferasi sel. Mutasi BMPR2 telah

diidentifikasi 50%-90% pasien dengan diagnosis HAPF, 25% pada

pasien HPP dan 15 % pada pasien HAP sehubungan penggunaan

fenfluramine. Jenifer R et al menemukan bahwa 27 % pasien HPP

dengan mutasi BMPR2. Pasien dengan mutasi BMPR2 signifikan

lebih cepat timbul gejala dibandingkan dengan tanpa mutasi

BMPR2.(12)

4. Sirosis Hepatis

Sirosis hepatis dapat menyebabkan hipertensi pulmonal

karena substansi seperti prostasiklin, tromboksan A2, endotelin 1,

nitreus oxid tidak termetabolisme di hati, sehingga masuk ke dalam

paru dan menyebabkan perubahan anatomis pada vaskular paru.

Perubahan terjadi pada tunika intima, dimana nantinya vaskular

paru tidak dapat berdilatasi yang menyebabkan meningkatnya

tahanan dari arteri paru.(13)

5. Infeksi HIV 
11

Hubungan antara HIV dan hipertensi pulmonal pertama kali

di jabarkan oleh Kim dkk pada 1987. Faktor resiko pada penderita

dihubungkan dengan penggunaan obat-obat intravena, infeksi paru

berulang, tromboemboli vena dan disfungsi ventrikel kiri.

Patofisiologi secara pasti masih belum diketahui, dan masih belum

di peroleh bukti virus HIV secara langsung dapat menginfeksi

endothel arteri pulmonalis. Kemungkinan lain yang paling mungkin

adalah adanya infeksi yang menyebabkan proses inflamasi yang

merangsang pelepasan leukosit dan trombosit dan juga merangsang

fibrinogen yang akan memicu pembekuan darah dan memicu

adanya trombosis pada pembuluh darah. (12)

D. PATOFISIOLOGI

Pada pasien dengan PH, terutama dengan PAH, dilatasi ventrikel

kanan, disfungsi ventrikel kanan, dan RVF dapat terjadi akibat

peningkatan PVR, yang meningkatkan tekanan dinding ventrikel

kanan. Ketika beban tekanan meningkat perlahan, ventrikel kanan

dapat beradaptasi dengan meningkatkan ketebalan dan kontraktilitas

dinding ventrikel kanan dengan demikian merombak dari tekanan

rendah ke pompa tekanan tinggi, mempertahankan keluaran ventrikel

kanan. Namun ventrikel kanan tidak dapat merombak tanpa batas, dan

ketika PVR yang ditinggikan tetap ada, ventrikel kanan akan melebar

dalam upaya untuk mempertahankan stroke volume. Pada akhirnya ,


12

ventrikel kanan menjadi terlepas dari beban tekanan, dan RVF

berkembang. Pada tipe lain dari PH, kardiomiopati, disfungsi diastolik,

peningkatan tekanan pengisian sisi kanan, fibrosis miokard, dan

kelainan dinding septum dapat menyebabkan disfungsi ventrikel kanan

tanpa peningkatan PVR.(14)

Meskipun mekanisme yang mendasari patofisiologi PAH Grup 1

telah dipelajari secara luas selama beberapa dekade terakhir, yang

mengarah pada penemuan banyak target obat potensial baru, jauh lebih

sedikit yang diketahui tentang Grup 2, 3, 4, dan 5. Banyak mekanisme

yang jelas dibagi antara semua kelompok PH, termasuk remodeling

vaskular dan peningkatan PVR. Sementara beberapa mekanisme

patofisiologis penting khusus untuk kelompok PH yang berbeda

dibahas di atas, sisa dari bagian ini berfokus pada perkembangan PAH.
(3)

Mekanisme mendasar dari peningkatan PVR pada PAH termasuk

vasokonstriksi yang berkelanjutan, remodeling vaskuler paru yang

tidak terkontrol, dan trombosis in situ. Perkembangan PAH bersifat

multifaktorial dan heterogen, dan berbagai jenis sel di dalam dinding

pembuluh PA, termasuk PAEC, PASMC, fibroblas, sel inflamasi, dan

trombosit, terlibat dalam proses penyakit. Vasokonstriksi awal dari

pembuluh darah paru menyebabkan muskularisasi arteri perifer dan

hipertrofi medial arteri otot. Faktor risiko genetik atau toksik, yang

dibahas di bagian sebelumnya, meningkatkan kerentanan terhadap


13

perubahan ini. Kerusakan dan disfungsi PAEC karena pemicu

lingkungan juga dianggap sebagai gangguan awal pada PAH, dan

proses perbaikan dapat menyebabkan pembentukan neointimal, oklusi

pembuluh darah, dan pembentukan lesi plexiform yang meningkatkan

PVR.(3)

Vasokonstriksi paru merupakan proses patogen awal pada PAH

dan dapat diinduksi oleh hipoksia, yang menyebabkan penyempitan

area luminal dari cabang PA. Hipoksia diketahui menghambat saluran

kalium dengan gerbang tegangan di PASMC, yang menyebabkan

terbukanya saluran kalsium dengan voltase karena depolarisasi

membran. Peningkatan kadar kalsium sitosol yang dihasilkan dapat

menyebabkan kontraksi dan proliferasi PASMC, suatu proses yang

spesifik untuk pembuluh darah paru. Penurunan regulasi saluran

kalium telah dibuktikan di PASMCs dan paru-paru pasien PAH.

Beberapa penekan nafsu makan yang terlibat dalam pengembangan

PAH, termasuk fenfluramin, secara langsung menghambat saluran

kalium dan menyebabkan vasokonstriksi paru. Yang penting,

penyempitan pembuluh darah yang berkelanjutan menyebabkan

disfungsi PAEC, yang menyebabkan penurunan kronis dalam produksi

vasodilator prostasiklin dan nitrat oksida (NO) dan peningkatan

produksi vasokonstriktor endotelin 1 (ET-1) dan tromboksan A2.

Perubahan ini juga dapat menyebabkan renovasi vaskular, dan terapi

untuk menargetkan jalur ini telah digunakan. Modulasi jalur NO telah


14

dicapai dengan menggunakan obat-obatan yang menghambat

pemecahan cGMP (misalnya, penghambat fosfodiesterase) dan

merangsang guanylate cyclase (misalnya, riociguat), atau dengan

penggantian NO yang dihirup secara langsung.(3)

Remodeling pembuluh darah paru dikaitkan dengan hipertrofi

medial karena proliferasi PASMC yang tidak terkendali dan resistensi

apoptosis serta pembentukan neointimal akibat disfungsi dan

proliferasi PAEC. Perubahan ini dapat menyebabkan lesi obstruktif

yang mempersempit ruang luminal pembuluh darah dan menghambat

aliran darah, berkontribusi pada peningkatan PVR. Investigasi saat ini

sedang dilakukan untuk menjelaskan mekanisme proliferasi sel

abnormal yang berkontribusi pada pembentukan lesi patogen.

Mekanisme lain dari remodeling pada PAH termasuk peningkatan

produksi matriks adventitial dan gangguan proteolisis dari matriks

ekstraseluler. Bukti menunjukkan bahwa trombosit juga memainkan

peran penting dalam patogenesis PAH karena kemampuannya untuk

menyumbat pembuluh darah melalui pembentukan lesi trombotik dan

produksi mediator vasokonstriksi, seperti NO. Trombosit dari pasien

PAH idiopatik telah terbukti menurunkan kadar sintase oksida nitrat

endotelial (eNOS), yang dapat menyebabkan vasokonstriksi.(3)


15

Gambar 1. Skema Patofisiologi Terjadinya Hipertensi Pulmonal(15)

Tiga jalur mekanis yang diketahui terganggu pada pasien dengan

hipertensi arteri pulmonalis (PAH). Panah hitam yang pendek dan tebal

menggambarkan penyimpangan yang diamati pada jalur ini pada pasien

dengan PAH. Titik di mana terapi obat mempengaruhi jalur mekanis ini

ditunjukkan dalam lingkaran abu-abu. AA, asam arakidonat; CCB,

penghambat saluran kalsium; ETRA, antagonis reseptor endotelin; PDE5i,

penghambat fosfodiesterase. Kiri, Jalur oksida nitrat (NO). NO dibuat

dalam sel endotel oleh tipe III (yaitu, endotel) NO sintase (eNOS), yang

dalam sel otot polos arteri pulmonalis (PASMCs) menginduksi guanylate

cyclase (GC) untuk mengubah guanylate triphosphate (GTP) menjadi

cyclic guanylate monophosphate (cGMP) . Cyclic GMP adalah pembawa

pesan kedua yang secara konstitutif mempertahankan relaksasi PASMC

dan penghambatan proliferasi PASMC dengan akhirnya mengurangi aliran


16

masuk ion kalsium (Ca ++). GMP siklik dihilangkan oleh enzim PDE5

untuk menghasilkan produk 5′GMP yang tidak aktif. Pasien dengan PAH

mengalami penurunan ekspresi dan aktivitas eNOS. Tengah, Jalur

prostasiklin. Produksi prostaglandin I2 (PGI2 [yaitu, prostasiklin])

dikatalisis oleh prostasiklin sintase (PS) dalam sel endotel. Dalam

PASMCs, PGI2 menstimulasi adenylate cyclase (AC), sehingga

meningkatkan produksi cyclic adenosine monophosphate (cAMP) dari

adenosine triphosphate (ATP). AMP siklik adalah pembawa pesan kedua

yang secara konstitutif mempertahankan relaksasi PASMC dan

penghambatan proliferasi PASMC. Pasien dengan PAH mengalami

penurunan ekspresi dan aktivitas PS. Benar, jalur Endotelin (ET). Big-

(yaitu, pro-) ET diubah dalam sel endotel menjadi ET1 (peptida asam

amino 21) oleh enzim pengubah endotelin (ECE). ET1 berikatan dengan

reseptor PASMC ETA dan ETB, yang pada akhirnya menyebabkan

kontraksi PASMC, proliferasi, dan hipertrofi. Pasien dengan PAH

mengalami peningkatan ekspresi dan aktivitas ECE. GMP, guanylate

monophosphate. (15)
17

BAB IV

ANATOMI DAN FISIOLOGI

a. Anatomi Jantung

Jantungnya relatif kecil, kira-kira berukuran sama dengan kepalan tangan

kita saat tertutup. Panjangnya sekitar 12 cm (5 inci), lebar 9 cm (3,5 inci)

pada titik terlebar, dan tebal 6 cm (2,5 inci), dengan massa rata-rata 250 g

pawa wanita dewasa dan 300 g pada pria dewasa. Jantung bertumpu pada

diafragma, dekat garis tengah rongga toraks. Jantung terletak di mediastinum,

wilayah anatomis yang membentang dari tulang dada ke kolom vertebral, dari

tulang rusuk pertama hingga diafragma, dan di antara paru-paru.(16)

Sekitar dua pertiga dari massa jantung terletak di sebelah kiri garis tengah

tubuh. Anda dapat membayangkan jantung sebagai kerucut yang berbaring

miring. Apeks runcing dibentuk oleh ujung ventrikel kiri (ruang bawah

jantung) dan bertumpu pada diafragma. Itu diarahkan ke anterior, inferior,

dan ke kiri. Dasar jantung adalah permukaan posteriornya. Ini dibentuk oleh

atrium (ruang atas) jantung, sebagian besar atrium kiri. Selain puncak dan

alas, jantung memiliki beberapa permukaan dan batas (margin) yang berbeda.

Permukaan anterior jauh ke tulang dada dan tulang rusuk. Permukaan inferior

adalah bagian jantung antara puncak dan batas kanan dan sebagian besar

terletak pada diafragma. Batas kanan menghadap paru-paru kanan dan

memanjang dari permukaan inferior ke dasar. Batas kiri, juga disebut batas

paru, menghadap ke paru kiri dan memanjang dari pangkal ke puncak.(16)


18

1. Perikardium 

Membran yang mengelilingi dan melindungi jantung adalah perikardium.

Ini membatasi jantung pada posisinya di mediastinum, sementara

memungkinkan kebebasan bergerak yang cukup untuk kontraksi yang kuat

dan cepat. Perikardium terdiri dari dua bagian utama: 

a. Perikardium fibrosa

Perikardium fibrosa superfisial terdiri dari jaringan ikat padat,

tidak elastis, dan padat. Ini menyerupai tas yang bertumpu pada dan

menempel pada diafragma; ujungnya yang terbuka menyatu dengan

jaringan ikat pembuluh darah yang masuk dan keluar dari jantung.

Perikardium fibrosa mencegah peregangan berlebihan pada jantung,

memberikan perlindungan, dan menjangkar jantung di mediastinum.

Perikardium fibrosa di dekat puncak jantung sebagian menyatu dengan

tendon sentral diafragma dan oleh karena itu gerakan diafragma, seperti

pada pernapasan dalam, memfasilitasi pergerakan darah oleh jantung. (16)

b. Perikardium serosa

Perikardium serosa yang lebih dalam adalah membran yang lebih

tipis dan lebih halus yang membentuk lapisan ganda di sekitar jantung.

Lapisan parietal luar perikardium serosa menyatu dengan perikardium

fibrosa. Lapisan visceral bagian dalam perikardium serosa, disebut juga

epikardium, merupakan salah satu lapisan dinding jantung dan melekat

erat pada permukaan jantung. . Diantara lapisan parietal dan visceral

perikardium serosa adalah lapisan tipis cairan serosa pelumas. Sekresi


19

licin dari sel perikardial, yang dikenal sebagai cairan perikardial,

mengurangi gesekan antara lapisan perikardium serosa saat jantung

bergerak. Ruang yang berisi beberapa mililiter cairan perikardial disebut

rongga perikardial.(16)

2. Lapisan Dinding Jantung Dinding 

Jantung terdiri dari tiga lapisan : 

1. Epikardium (lapisan luar)

Epikardium terdiri dari dua lapisan jaringan. Yang paling luar,

seperti yang baru saja Anda pelajari, disebut lapisan viseral

perikardium serosa. Lapisan luar dinding jantung yang tipis dan

transparan ini terdiri dari mesothelium. Di bawah mesothelium adalah

lapisan variabel jaringan fibroelastik halus dan jaringan adiposa.

Jaringan adiposa mendominasi dan menjadi paling tebal di atas

permukaan ventrikel, di mana ia menampung pembuluh koroner dan

jantung utama jantung. Jumlah lemak bervariasi dari orang ke orang,

sesuai dengan tingkat umum lemak tubuh pada individu, dan biasanya

meningkat seiring bertambahnya usia. Epikardium memberikan tekstur

yang halus dan licin ke permukaan jantung terluar. Epikardium

mengandung pembuluh darah, limfatik, dan pembuluh yang memasok

miokardium. (16)

2. Miokardium (lapisan tengah)

Miokardium tengah bertanggung jawab atas aksi pemompaan

jantung dan terdiri dari jaringan otot jantung. Itu membentuk sekitar
20

95% dari dinding jantung. Serabut otot (sel), seperti halnya jaringan

otot rangka lurik, dibungkus dan dibundel dengan selubung jaringan

ikat yang terdiri dari endomisium dan perimysium. Serabut otot

jantung diatur dalam bundel yang berputar secara diagonal di sekitar

jantung dan menghasilkan aksi pemompaan jantung yang kuat.

Meskipun lurik seperti otot rangka, ingatlah bahwa otot jantung

bekerja secara infolunter seperti otot polos. (16)

3. Endokardium (lapisan dalam). 

Endokardium paling dalam adalah lapisan tipis endotel yang

menutupi lapisan tipis jaringan ikat. Ini memberikan lapisan halus

untuk bilik jantung dan menutupi katup jantung. Lapisan endotel yang

halus meminimalkan gesekan permukaan saat darah melewati jantung.

Endokardium bersambung dengan lapisan endotel dari pembuluh darah

besar yang menempel di jantung. (16)

3. Ruang Jantung

Jantung memiliki empat ruang. Dua ruang penerima superior adalah

atrium (ruang masuk), dan dua ruang pompa inferior adalah ventrikel. Atrium

yang berpasangan menerima darah dari pembuluh darah yang mengembalikan

darah ke jantung, yang disebut vena, sedangkan ventrikel mengeluarkan darah

dari jantung ke pembuluh darah yang disebut arteri. Pada permukaan anterior

setiap atrium adalah struktur seperti kantong keriput yang disebut auricula,

dinamai demikian karena kemiripannya dengan telinga anjing. Setiap daun

telinga sedikit meningkatkan kapasitas atrium sehingga dapat menampung


21

volume darah yang lebih besar. Juga di permukaan jantung terdapat

serangkaian alur, yang disebut sulci, yang mengandung pembuluh darah

koroner dan sejumlah lemak yang bervariasi. Setiap sulkus menandai batas

luar antara dua ruang jantung. Sulkus koroner dalam (koroner yang

menyerupai mahkota) mengelilingi sebagian besar jantung dan menandai batas

luar antara atrium superior dan ventrikel inferior. Sulkus interventrikel

anterior adalah alur dangkal pada permukaan anterior jantung yang menandai

batas luar antara ventrikel kanan dan kiri. Sulkus ini berlanjut ke sekitar

permukaan posterior jantung sebagai sulkus interventrikel posterior, yang

menandai batas luar antara ventrikel pada aspek posterior jantung. (16)

1. Atrium kanan

Atrium kanan membentuk batas kanan jantung dan menerima

darah dari tiga vena: vena kava superior, vena kava inferior, dan sinus

koroner. (Vena selalu membawa darah menuju jantung.) Atrium

kanan memiliki ketebalan rata-rata sekitar 2–3 mm (0,08–0,12 inci).

Dinding anterior dan posterior atrium kanan sangat berbeda. Bagian

dalam dinding posterior halus; bagian dalam dinding anterior kasar

karena adanya tonjolan otot yang disebut otot pektinat , yang juga

meluas ke urikula. Antara atrium kanan dan atrium kiri terdapat sekat

tipis yang disebut septum interatrial (antar-antara; septum merupakan

dinding pemisah atau sekat). Ciri menonjol dari septum ini adalah

depresi oval yang disebut fossa ovalis, sisa dari foramen ovale,

sebuah lubang di septum interatrial jantung janin yang biasanya


22

menutup segera setelah lahir. Darah mengalir dari atrium kanan ke

ventrikel kanan melalui katup yang disebut katup trikuspid karena

terdiri dari tiga helai daun atau katup. Ini juga disebut katup

atrioventrikuler kanan. Katup jantung terdiri dari jaringan ikat padat

yang dilapisi oleh endokardium. (16)

2. Ventrikel Kanan

Ventrikel kanan memiliki ketebalan rata-rata sekitar 4–5 mm

(0,16–0,2 inci) dan membentuk sebagian besar permukaan anterior

jantung. Bagian dalam ventrikel kanan berisi serangkaian tonjolan

yang dibentuk oleh kumpulan serabut otot jantung yang disebut

trabekula carneae. Beberapa trabekula karnea menyampaikan bagian

dari sistem konduksi jantung, yang akan katup trikuspid terhubung ke

kabel mirip tendon, yang disevut chordae tendineae yang terhubung

ke trabekula carneae berbentuk kerucut disebut otot papiler. Secara

internal, ventrikel kanan dipisahkan dari ventrikel kiri oleh partisi

yang disebut septum interventrikular. Darah mengalir dari ventrikel

kanan melalui katup pulmonal (katup semilunar paru) ke dalam arteri

besar yang disebut batang paru, yang membelah menjadi arteri

pulmonalis kanan dan kiri dan membawa darah ke paru-paru. Arteri

selalu mengambil darah dari jantung. (16)

3. Atrium Kiri

Atrium kiri memiliki ketebalan yang kira-kira sama dengan atrium

kanan dan merupakan sebagian besar dari dasar jantung. Ia menerima


23

darah dari paru-paru melalui empat vena pulmonalis. Seperti atrium

kanan, bagian dalam atrium kiri memiliki dinding posterior yang

licin. Karena otot pektinat terbatas pada daun telinga atrium kiri,

dinding anterior atrium kiri juga mulus. Darah mengalir dari atrium

kiri ke ventrikel kiri melalui katup bikuspid (mitral) (dua), yang,

seperti tersirat dalam namanya, memiliki dua katup. Istilah mitral

mengacu pada kemiripan katup bikuspid dengan mitra (topi) uskup,

yang memiliki dua sisi. Ini juga disebut katup atrioventrikular kiri. (16)

4. Ventrikel Kiri

Ventrikel kiri adalah ruang jantung yang paling tebal, dengan rata-

rata 10–15 mm (0,4-0,6 inci) dan membentuk puncak jantung. Seperti

ventrikel kanan, ventrikel kiri mengandung trabekula karnea dan

memiliki korda tendina yang mengikat katup bikuspid ke otot papiler.

Darah mengalir dari ventrikel kiri melalui katup aorta (katup

semilunar aorta) ke aorta asendens (aorta tersuspensi, karena aorta

pernah dipercaya untuk mengangkat jantung). Beberapa darah di

aorta mengalir ke arteri koroner, yang bercabang dari aorta asendens

dan membawa darah ke dinding jantung. Sisa darah masuk ke arkus

aorta dan aorta desendens (aorta toraks dan aorta abdominal). Cabang

lengkung aorta dan aorta turun membawa darah ke seluruh tubuh.

Selama kehidupan janin, pembuluh darah sementara, yang disebut

duktus arteriosus, mengalirkan darah dari batang paru ke aorta. Oleh

karena itu, hanya sejumlah kecil darah yang masuk ke paru-paru janin
24

yang tidak berfungsi. Duktus arteriosus biasanya menutup segera

setelah lahir, meninggalkan sisa yang dikenal sebagai ligamentum

arteriosum, yang menghubungkan lengkung aorta dan batang paru. (16)

Ketebalan miokardium empat ruang berbeda-beda sesuai dengan

fungsi masing-masing ruang. Atrium berdinding tipis mengalirkan darah

dengan sedikit tekanan ke ventrikel yang berdekatan. Karena ventrikel

memompa darah di bawah tekanan yang lebih tinggi dengan jarak yang

lebih jauh, dindingnya lebih tebal. Meskipun ventrikel kanan dan kiri

bertindak sebagai dua pompa terpisah yang secara bersamaan

mengeluarkan volume darah yang sama, sisi kanan memiliki beban kerja

yang jauh lebih kecil. Ini memompa darah jarak pendek ke paru-paru

dengan tekanan yang lebih rendah, dan resistensi terhadap aliran darah

kecil. Ventrikel kiri memompa darah dalam jarak yang sangat jauh ke

semua bagian tubuh lainnya pada tekanan yang lebih tinggi, dan resistansi

terhadap aliran darah lebih besar. Oleh karena itu, ventrikel kiri bekerja

lebih keras daripada ventrikel kanan untuk mempertahankan laju aliran

darah yang sama. Anatomi kedua ventrikel menegaskan perbedaan

fungsional ini. Dinding otot ventrikel kiri jauh lebih tebal daripada dinding

ventrikel kanan. Perhatikan juga bahwa keliling lumen (ruang) ventrikel

kiri melingkar kasar, berbeda dengan ventrikel kanan, yang berbentuk

bulan sabit. (16)

Selain jaringan otot jantung, dinding jantung juga mengandung

jaringan ikat padat yang membentuk kerangka fibrosa jantung. Pada


25

dasarnya, kerangka fibrosa terdiri dari empat cincin jaringan ikat padat

yang mengelilingi katup jantung, menyatu satu sama lain, dan bergabung

dengan septum interventrikular. Selain membentuk fondasi struktural

untuk katup jantung, kerangka fibrosa mencegah peregangan katup yang

berlebihan saat darah melewatinya. Ini juga berfungsi sebagai titik

penyisipan untuk kumpulan serat otot jantung dan bertindak sebagai

insulator listrik antara atrium dan ventrikel. (16)

4. Katup Jantung

Saat setiap bilik jantung berkontraksi, ia mendorong volume darah ke

dalam ventrikel atau keluar dari jantung ke dalam arteri. Katup membuka dan

menutup sebagai respons terhadap perubahan tekanan saat jantung

berkontraksi dan rileks. Masing-masing dari empat katup membantu

memastikan aliran darah satu arah dengan membuka untuk membiarkan darah

masuk dan kemudian menutup untuk mencegah aliran baliknya. (16)

1. Katup Atrioventrikular

Karena terletak di antara atrium dan ventrikel, katup trikuspid dan

bikuspid disebut katup atrioventrikular (AV). Ketika katup AV

terbuka, ujung bundar dari katup menonjol ke dalam ventrikel. Ketika

ventrikel relaks, otot papiler relaks, chordae tendineae kendor, dan

darah bergerak dari tekanan yang lebih tinggi di atrium ke tekanan

yang lebih rendah di ventrikel melalui katup AV terbuka. Ketika

ventrikel berkontraksi, tekanan darah mendorong katup ke atas

sampai ujungnya bertemu dan menutup bukaan. Pada saat yang sama,
26

otot papiler berkontraksi, yang menarik dan mengencangkan chordae

tendineae. Ini mencegah katup terbuka ke arah atrium, sebagai

respons terhadap tekanan ventrikel yang tinggi. Jika katup AV atau

chordae tendineae rusak, darah dapat keluar (mengalir kembali) ke

dalam atrium saat ventrikel berkontraksi. (16)

2. Katup Semilunar

Katup aorta dan pulmonal dikenal sebagai katup semilunar (SL)

karena tersusun dari tiga katup berbentuk bulan sabit. Setiap puncak

gigi menempel pada dinding arteri dengan tepi luar cembungnya.

Katup SL memungkinkan pengeluaran darah dari jantung ke arteri

tetapi mencegah aliran balik darah ke ventrikel. Perbatasan bebas

katup mengarah ke lumen arteri. Saat ventrikel berkontraksi, tekanan

terbentuk di dalam ruang. Katup semilunar terbuka ketika tekanan di

ventrikel melebihi tekanan di arteri, memungkinkan pengeluaran

darah dari ventrikel ke dalam batang paru dan aorta. Saat ventrikel

rileks, darah mulai mengalir kembali ke jantung. Darah yang

mengalir balik ini mengisi katup katup, yang menyebabkan tepi bebas

katup semilunar saling bersentuhan erat dan menutup bukaan antara

ventrikel dan arteri. Anehnya mungkin, tidak ada katup yang menjaga

persimpangan antara vena cavae dan atrium kanan atau vena

pulmonalis dan atrium kiri. Saat atrium berkontraksi, sejumlah kecil

darah mengalir mundur dari atrium ke dalam pembuluh ini. Namun,

arus balik diminimalkan dengan mekanisme yang berbeda; saat otot


27

atrium berkontraksi, ia menekan dan hampir menghancurkan titik

masuk vena. (16)

5. Vaskularisasi Jantung

Dua arteri koroner, arteri koroner kanan dan kiri, bercabang dari aorta

asendens dan mensuplai darah beroksigen ke miokardium. Arteri koroner kiri

lewat di inferior daun telinga kiri dan membelah menjadi cabang interventrikel

anterior dan sirkumfleksa. Cabang anterior interventrikular atau arteri

descending anterior kiri (LAD) berada di sulkus interventrikel anterior dan

mensuplai darah beroksigen ke dinding kedua ventrikel. Cabang sirkumfleksa

terletak di sulkus koroner dan mendistribusikan darah beroksigen ke dinding

ventrikel kiri dan atrium kiri. Arteri koroner kanan memasok cabang kecil

(cabang atrium) ke atrium kanan. Ini berlanjut ke inferior daun telinga kanan

dan akhirnya membelah menjadi cabang interventrikel posterior dan marginal.

Cabang interventrikel posterior mengikuti sulkus interventrikel posterior dan

memasok dinding kedua ventrikel dengan darah beroksigen. Cabang marginal

di luar sulkus koroner berjalan di sepanjang margin kanan jantung dan

mengangkut darah beroksigen ke miokardium ventrikel kanan. Sebagian besar

bagian tubuh menerima darah dari cabang-cabang lebih dari satu arteri, dan di

mana dua atau lebih arteri memasok wilayah yang sama, mereka biasanya

terhubung. Hubungan ini, yang disebut anastomosis, menyediakan rute

alternatif, yang disebut sirkulasi kolateral, agar darah mencapai organ atau

jaringan tertentu. Miokardium mengandung banyak anastomosis yang

menghubungkan cabang-cabang arteri koroner tertentu atau meluas di antara


28

cabang-cabang arteri koroner yang berbeda. Mereka menyediakan jalan

memutar untuk darah arteri jika jalur utama terhalang. Dengan demikian, otot

jantung dapat menerima oksigen yang cukup meskipun salah satu arteri

koronernya tersumbat sebagian. (16)

6. Inervasi Jantung

Divisi otonom dari sistem saraf tepi bertanggung jawab langsung untuk

mengatur denyut jantung, kekuatan setiap kontraksi, dan curah jantung.

Cabang dari sistem parasimpatis dan simpatis berkontribusi pada

pembentukan pleksus jantung. Pleksus ini terdiri dari bagian superfisial,

inferior dari lengkung aorta dan di antara itu dan batang paru, dan bagian

dalam, antara arkus aorta dan percabangan trakea. Dari pleksus jantung,

cabang kecil yang merupakan saraf campuran yang mengandung serat

simpatis dan parasimpatis memasok jantung. Cabang-cabang ini

mempengaruhi jaringan nodal dan komponen lain dari sistem konduksi,

pembuluh darah koroner, dan otot atrium dan ventrikel. (16)

1. Persarafan parasimpatis 

Stimulasi sistem parasimpatis berupa menurunkan denyut jantung, 

mengurangi kekuatan kontraksi, dan menyempitkan arteri koroner. (16)

Serabut parasimpatis preganglionik mencapai jantung sebagai

cabang jantung dari saraf vagus kanan dan kiri. Mereka memasuki

pleksus jantung dan sinapsis di ganglia yang terletak di dalam pleksus

atau di dinding atrium. (16)

2. Persarafan simpatis
29

Stimulasi sistem simpatis berupa meningkatkan denyut jantung,

dan meningkatkan kekuatan kontraksi. (16)

Serabut simpatis mencapai pleksus jantung melalui saraf jantung

dari batang simpatis. Serabut simpatis preganglionik dari empat atau

lima segmen atas medula spinalis toraks masuk dan bergerak melalui

batang simpatis. Mereka bersinaps di ganglia simpatis servikal dan

toraks atas, dan serabut postganglionik berlanjut sebagai cabang

bilateral dari batang simpatis ke pleksus jantung. (16)

3. Aferen visceral 

Aferen viseral dari jantung juga merupakan komponen dari pleksus

jantung. Serat ini melewati pleksus jantung dan kembali ke sistem

saraf pusat di saraf jantung dari batang simpatis dan di cabang

jantung vagal. Aferen yang terkait dengan saraf jantung vagal

kembali ke saraf vagus [X]. Mereka merasakan perubahan dalam

tekanan darah dan kimia darah dan karena itu terutama berkaitan

dengan refleks jantung. Aferen yang terkait dengan saraf jantung dari

batang simpatis kembali ke bagian servikal atau toraks dari batang

simpatis. Jika mereka berada di bagian serviks batang, mereka

biasanya turun ke daerah toraks, di mana mereka masuk kembali ke

empat atau lima segmen sumsum tulang belakang dada, bersama

dengan aferen dari daerah toraks batang simpatis. Aferen viseral yang

terkait dengan sistem simpatis menghantarkan sensasi nyeri dari


30

jantung, yang terdeteksi di tingkat sel sebagai peristiwa yang merusak

jaringan (yaitu, iskemia jantung). (16)

Gambar 2. Anatomi Jantung(16)

Gambar 3. Anatomi Jantung Berdasarkan Chest X Ray(17)

B. Fisiologi Sirkulasi Darah

Sirkulasi darah fetal pada janin dan sirkulasi darah pada anak dan dewasa

berbeda. Untuk memahami implikasi anestesi pada penyakit jantung, seorang


31

ahli anestesi harus mengenal sirkulasi fetal dan sirkulasi dewasa. Perubahan

sirkulasi terjadi sangat cepat pada saat kelahiran. Periode ini dinamakan

periode transisi di mana sirkulasi fetal akan berubah menjadi sirkulasi

manusia normal atau dewasa. (17)

Sirkulasi darah janin dalam rahim tidak sama dengan sirkulasi darah pada

bayi dan anak. Dalam rahim, paru-paru tidak berfungsi sebagai alat

pernafasan, pertukaran gas dilakukan oleh plaswenta. Pembentukan pembuluh

darah dan sel darah dimulai minggu ke-3 dan bertujuan menyuplai embrio

dengan oksigen dan nutrien dari ibu. (17)

Darah mengalir dari plasenta ke janin melalui vena umbilikalis yang

terdapat dalam tali pusat. Jumlah darah yang mengalir melalui tali pusat

sekitar 125 ml/kg/BB per menit atau sekitar 500 ml per menit. Melalui vena

umbilikalis dan duktus venosus, darah mengalir ke dalam vena cava inferior,

bercampur darah yang kembali dari bagian bawah tubuh, masuk atrium kanan

di mana aliran darah dari vena cava inferior lewat melalui foramen ovale ke

atrium kiri, kemudian ke ventrikel kiri melalui arkus aorta, darah dialirkan ke

seluruh tubuh. (17)

Darah yang mengandung karbondioksida dari tubuh bagian atas,

memasuki ventrikel kanan melalui vena cava superior. Kemudian melalui

arteri pulmonalis besar meninggalkan ventrikel kanan menuju aorta melewati

duktus arteriosus. Darah ini kembali ke plasenta melalui aorta, arteri iliaka

interna dan arteri umbilikalis untuk mengadakan pertukaran gas selanjutnya.

Foramen ovale dan duktus arteriosus berfungsi sebagai saluran/ jalan pintas
32

yang memungkinkan sebagian besar dari cardiac output yang sudah

terkombinasi kembali ke plasenta tanpa melalui paru-paru. (17)

Bayi segera menghisap udara dan menangis kuat tepat setelah dilahirkan.

Dengan demikian paru-parunya akan berkembang, tekanan dalam paru-paru

mengecil dan seolah-olah darah terhisap ke dalam paru-paru (tahanan

vaskular paru menurun dan aliran darah pulmonal meningkat). Duktus

arteriosus menutup dan tidak berfungsi lagi, demikian pula karena tekanan

dalam atrium sinistra meningkat maka foramen ovale akan tertutup sehingga

selanjutnya tidak berfungsi lagi. Tahanan vaskular sistemik juga meningkat.

Akibat dipotong dan diikatnya tali pusat, arteri umbilikalis dan duktus

venosus akan mengalami obliterasi. Dengan demikian setelah bayi lahir maka

kebutuhan oksigen dipenuhi oleh udara yang dihisap ke paru-paru dan

kebutuhan nutrisi dipenuhi oleh makanan yang dicerna dengan sistem

pencernaan sendiri. (17)

Jumlah darah yang mengalir dalam sistem sirkulasi pada orang dewasa

mencapai 5-6 liter (4.7-5.7 liter). Darah bersirkulasi dalam sistem sirkulasi

sistemik dan pulmonal. (17)

1. Sirkulasi sistemik

Sistem sirkulasi sistemik dimulai ketika darah yang mengandung

banyak oksigen yang berasal dari paru, dipompa keluar oleh jantung

melalui ventrikel kiri ke aorta, selanjutnya ke seluruh tubuh melalui

arteri-arteri hingga mencapai pembuluh darah yang diameternya

paling kecil (kapiler). (17)


33

Kapiler melakukan gerakan kontraksi dan relaksasi secara

bergantian, yang disebut dengan vasomotion sehingga darah mengalir

secara intermittent. Dengan aliran yang demikian, terjadi pertukaran

zat melalui dinding kapiler yang hanya terdiri dari selapis sel endotel.

Ujung kapiler yang membawa darah teroksigenasi disebut arteriole

sedangkan ujung kapiler yang membawa darah terdeoksigenasi

disebut venule; terdapat hubungan antara arteriole dan venule

“capillary bed” yang berbentuk seperti anyaman, ada juga hubungan

langsung dari arteriole ke venule melalui arteri-vena anastomosis (A-

V anastomosis). Darah dari arteriole mengalir ke venule, kemudian

sampai ke vena besar (v.cava superior dan v.cava inferior) dan

kembali ke jantung kanan (atrium kanan). Darah dari atrium kanan

selanjutnya memasuki ventrikel kanan melalui katup trikuspidalis. (17)

2. Sirkulasi pulmonal 

Sistem sirkulasi pulmonal dimulai ketika darah yang

terdeoksigenasi yang berasal dari seluruh tubuh, yang dialirkan

melalui vena cava superior dan vena cava inferior kemudian ke

atrium kanan dan selanjutnya ke ventrikel kanan, meninggalkan

jantung kanan melalui arteri pulmonalis menuju paru-paru (kanan dan

kiri). Di dalam paru, darah mengalir ke kapiler paru dimana terjadi

pertukaran zat dan cairan, sehingga menghasilkan darah yang

teroksigenasi. Oksigen diambil dari udara pernapasan. Darah yang

teroksigenasi ini kemudian dialirkan melalui vena pulmonalis (kanan


34

dan kiri), menuju ke atrium kiri dan selanjutnya memasuki ventrikel

kiri melalui katup mitral (bikuspidalis). Darah dari ventrikel kiri

kemudian masuk ke aorta untuk dialirkan ke seluruh tubuh (dan

dimulai lagi sirkulasi sistemik) . (17)

Gambar 4. Fisiologi Peredaran darah Jantung(17)

Gambar 5. Skema Peredaran Darah Tubuh Manusia(17)

Jadi, secara ringkas, aliran darah dalam sistem sirkulasi normal manusia

adalah : Darah dari atrium kiri → melalui katup mitral ke ventrikel kiri →
35

aorta ascendens – arcus aorta – aorta descendens – arteri sedang – arteriole →

capillary bed → venule – vena sedang – vena besar (v.cava superior dan

v.cava inferior) → atrium kanan → melalui katup trikuspid ke ventrikel kanan

→ arteri pulmonalis → paruparu → vena pulmonalis → atrium kiri. (17)


36

BAB V

DIAGNOSIS

A. Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisis

Meskipun keseluruhan gejala pada pasien dengan PH bergantung pada

penyakit yang mendasari, keluhan khas tertentu dapat dikaitkan dengan PH itu

sendiri. Dispnea saat aktivitas dan kelelahan sering diamati pada semua bentuk

PH, bahkan tanpa adanya kelainan pertukaran gas. Mekanisme dispnea

kemungkinan besar disebabkan oleh aktivasi reseptor regangan di arteri

pulmonalis dan ventrikel kanan, yang dirangsang saat curah jantung

meningkat dengan pengerahan tenaga. Pada pasien dengan PH terkait dengan

penyakit paru parenkim yang mendasari, seringkali sulit untuk mengetahui

seberapa banyak dispnea yang disebabkan oleh PH dibandingkan dengan

penyakit paru yang mendasari. Tes latihan kardiopulmonal mungkin berguna

dalam membagi kontribusi relatif dari setiap proses untuk dispnea pasien.

Pasien mungkin mengalami nyeri dada substernal yang sulit bahkan tidak

mungkin dibedakan dari angina pektoris klasik, terutama karena nyeri tersebut

sering dipicu oleh aktivitas. Dalam kebanyakan kasus, nyeri dada dianggap

terkait dengan peningkatan beban kerja ventrikel kanan dan iskemia ventrikel

kanan, meskipun, dalam beberapa kasus, arteri pulmonalis yang membesar

dapat menekan arteri koroner utama kiri dan menghasilkan iskemia ventrikel

kiri yang sebenarnya. Jika PH parah dan ventrikel kanan tidak dapat mengatasi

resistensi vaskular paru yang tinggi untuk meningkatkan curah jantung dengan
37

aktivitas, pasien mungkin mengalami pusing saat beraktivitas atau sinkop

yang jelas. Ini menunjukkan tanda-tanda prognostik yang sangat buruk. (13)

Pemeriksaan fisik menunjukkan beberapa gejalan yang lebih terkait

dengan konsekuensi jantung dari PH daripada penyakit pembuluh paru yang

sebenarnya. PH sendiri tidak menyebabkan perubahan apa pun yang dapat

dicatat pada pemeriksaan paru-paru, meskipun pasien dengan penyakit paru

yang mendasari seringkali memiliki temuan yang berkaitan dengan penyakit

primer mereka. Pada pemeriksaan jantung, pasien sering menunjukkan

penekanan komponen paru dari bunyi jantung kedua (P2) karena penutupan

katup yang lebih awal dan lebih kuat yang disebabkan oleh tekanan tinggi di

arteri pulmonalis. Murmur insufisiensi trikuspid biasanya terdengar, dan

murmur insufisiensi pulmonal (Graham Steell) mungkin terdengar. Ketika

arteri pulmonalis membesar, pulsasi dapat dirasakan di antara tulang rusuk di

batas sternum kiri atas (arteri pulmonalis). Pada hipertrofi ventrikel kanan,

sering terjadi pengangkatan atau pengangkatan yang menonjol dari daerah itu

segera ke kiri dari sternum bawah, berhubungan dengan impuls ventrikel

kanan yang menonjol selama sistol. Saat atrium kanan berkontraksi dan

mengosongkan isinya ke dalam ventrikel kanan yang mengalami hipertrofi,

derap jantung presistolik (S4) yang berasal dari ventrikel kanan dapat

terdengar. Ketika ventrikel kanan gagal, mid-diastolic gallop (S3) di regio

parasternal sering terdengar, dan vena jugularis menjadi buncit. Pada tahap ini,

edema perifer ekstremitas bawah dan asites dapat terjadi.(14)

B. PEMERIKSAAN RADIOLOGI
38

Pencitraan sering memberikan bukti awal bahwa PH mungkin ada dan

dapat membantu mengidentifikasi penyebab spesifik PH dalam banyak kasus.

Penting untuk diketahui bahwa PH sekunder akibat penyakit jantung kiri (grup

2) adalah penyebab paling umum dari PH4 dan untuk mengetahui temuan

radiologis spesifik yang dapat berdampak kritis pada penatalaksanaan, seperti

CTEPH, penyakit veno-oklusif paru ( PVOD), dan hemangiomatosis kapiler

paru (PCH). Selanjutnya, pencitraan penampang digunakan untuk menilai

ventrikel kanan (RV) dan mengukur efek PH pada fungsi RV. Dalam

menunjang diagnosis PH, dapat digunakan beberapa modalitas pencitraan

radiologi, dimulai dengan Foto Rontgen Thorax, Penggunaan pencitraan

computed tomography (CT) sampai dengan magnetic resonance imaging

(MR). (18)

1. Radiologi Konvesional

Foto thorax adalah modalitas pencitraan yang umum digunakan

dalam evaluasi PH. Pola radiografi klasik dari PH adalah pembesaran

arteri pulmonalis sentral (yaitu, arteri pulmonalis interlobar kanan> 15 mm

pada wanita atau> 16 mm pada pria), dengan atau tanpa cut off arteri

perifer (Gambar 6). Dilatasi ventrikel kanan (RV) terlihat pada stadium

lanjut, dengan pembesaran siluet jantung di radiografi PA dan obliterasi

ruang kosong retrosternal menggunakan foto polos lateral. (18)

Batas jantung kanan tampak menonjol karena pembesaran atrium

kanan. Foto thorax telah terbukti memiliki sensitivitas tinggi (97%) dan

spesifisitas (99%) dalam mendeteksi PH, tetapi Foto thorax yang normal
39

tidak menyingkirkan PH, terutama pada pasien dengan penyakit ringan.

Foto thorax juga berguna untuk mendiagnosis penyebab PH seperti

emfisema, ILD, deformitas dinding dada, dan penyakit jantung kiri. Pada

CTEPH, area oligemia, penebalan pleura dan jaringan parut dapat

terlihat. (18)

Gambar 6. Thorax X-ray. Rontgen dada posteroanterior (PA)

menunjukkan arteri pulmonalis sentral yang melebar (panah), konsisten

dengan hipertensi arteri pulmonalis.(18)

Foto thorax dapat mendeteksi perubahan karakteristik pada arteri

pulmonalis (PA) dan RV pada pasien dengan PH lanjut. PA sentral

biasanya dilatasi (Gambar 7 dan 8) dan jantung kanan (atrium dan

ventrikel) dapat membesar (lihat Gambar 8). Abnormalitas pada paru-paru

dapat dideteksi dengan foto thorax pada pasien dengan PAH sekunder

akibat sklerosis sistemik (SSc) atau PH sekunder akibat penyakit paru

difus, seperti emfisema atau penyakit paru difus. Foto thorax sesuai untuk

evaluasi awal pasien dengan dispnea yang tidak dapat dijelaskan atau
40

gejala yang dapat dikaitkan dengan PH. Namun, foto thorax tidak sensitif

untuk mengidentifikasi pasien dengan PH ringan sampai sedang.(19)

Gambar 7. CXR dari pasien dengan HAP (kelompok 1) akibat


defek septum atrium yang tidak terkoreksi. PA sentral sangat melebar dan
terjadi tapering cabang arteri pulmonalis secara tiba-tiba yang
mengakibatkan munculnya cut off. (19)

Gambar 8. CXR frontal dan lateral pasien dengan PAH idiopatik


(grup 1). Radiografi frontal memastikan dilatasi PA pusat dan
meruncingnya cabang PA secara tiba-tiba yang menghasilkan tampilan cut
off. Foto lateral menunjukkan RV yang membesar.(19)

2. CT Scan
41

CT adalah modalitas pencitraan yang umum digunakan dalam

evaluasi PH, karena resolusi spasial yang tinggi, bidang pandang yang

baik, dan kemampuan rekonstruksi multi-planar, meskipun terdapat risiko

radiasi dan nefrotoksisitas yang diinduksi kontras teryodium. Pelebaran

arteri pulmonalis sentral adalah gambaran umum dari PH. Diameter MPA

≥29 mm memiliki spesifisitas 89% dan PPV 97% dalam diagnosis PH

(Gambar 9A). Diameter yang lebih kecil dari ini belum tentu

mengecualikan PH sepenuhnya, karena NPV-nya yang rendah. Jika cut-off

ditingkatkan menjadi 3,2 cm, spesifisitas dapat ditingkatkan menjadi 93%

dan NPV menjadi 90% tetapi sensitivitas menurun menjadi 47%. MPA

dilatasi harus ditafsirkan dengan hati-hati pada pasien dengan ILD, yang

dapat menyebabkan dilatasi MPA karena traksi tanpa PH dan pada pasien

setelah transplantasi paru. Rasio diameter MPA dengan aorta asendens

pada bidang aksial yang sama ≥1,0 juga menunjukkan PH, terutama pada

pasien yang lebih muda (<50) tanpa ektasia aorta, terutama pada mereka

dengan ILD lanjut. Rasio diameter arteri-bronkus segmen> 1: 1 dalam tiga

atau empat lobus bersama dengan MPA yang melebar memiliki

spesifisitas hampir 100% dalam diagnosis PH. Pembesaran arteri

pulmonalis kanan dan kiri> 18 mm juga terbukti dapat memprediksi

mortalitas. Tanda telur dan pisang telah dijelaskan, dengan arteri

pulmonalis utama terlihat pada tingkat lengkung aorta. Pada PH lama,

kalsifikasi mural, tortuositas vaskular, dan pemangkasan cabang perifer

dapat terlihat. Tortuositas dan dimensi fraktal berkorelasi dengan tingkat


42

keparahan PH. MPA yang melebar dapat menyebabkan kompresi

ekstrinsik pada struktur yang berdekatan seperti arteri koroner utama kiri,

pohon trakeobronkial atau saraf laring rekuren. Penurunan distensibilitas

arteri pulmonalis (<16,5%) pada CT dengan gerbang EKG secara

retrospektif merupakan penanda PH noninvasif yang akurat, dengan

sensitivitas 85%, spesifisitas 96%.(20)

Temuan vaskular juga berguna dalam menentukan penyebab PH.

Dilatasi simetris dari MPA adalah temuan umum di IPAH dibandingkan

dengan CTEPH. Temuan vaskular CTPEH meliputi pembesaran MPA

yang tidak teratur, jaring, pita, iregularitas intimal, trombus dengan sudut

tumpul, kalsifikasi, pemotongan tiba-tiba, pembentukan kantong, stenosis

dan dilatasi pasca stenotik (Gambar 9B). CTEPH dapat dibedakan dari

embolus akut yang membentuk sudut akut dengan dinding pembuluh dan

memperluas pembuluh darah serta dari trombosis in situ yang melekat

pada dinding dan tidak mengalami retraksi bekuan, penyempitan luminal

atau oligemia / infark paru. Sarkoma arteri pulmonalis dapat dibedakan

dari CTEPH dengan sudut akut dengan dinding, perluasan luminal,

nodularitas, peningkatan kontras dan perluasan ke RV, paru-paru atau

mediastinum. Pembuluh darah kolateral hipertrofi, termasuk arteri

bronkial, pleura dan interkostal dapat dilihat. Arteri bronkial hipertrofi

dikaitkan dengan hemoptisis dan terlihat pada insiden yang lebih tinggi

daripada di IPAH (73% vs 14%). CT membantu dalam membuat

keputusan terapeutik di CTEPH, berdasarkan beban bekuan, lokasi dan


43

luasnya. Penyakit di arteri segmental utama, lobar atau proksimal mungkin

mendapat manfaat dari PEA, sedangkan penyakit distal mungkin

memerlukan perawatan medis atau angioplasti balon. PEA pada pasien

CTEPH dengan arteri bronkial yang melebar dikaitkan dengan PVR pasca

operasi dan angka kematian yang secara signifikan lebih rendah

dibandingkan pasien tanpa arteri bronkial yang melebar. Dengan tidak

adanya visualisasi langsung dari trombus, tanda tidak langsung dari PE

kronis termasuk perbedaan ukuran pembuluh darah segmental, atenuasi

mosaik, kepadatan parenkim, arteri kolateral bronkial, dan dilatasi

bronkus, yang merupakan tanda pencitraan yang berharga untuk

membedakan CTEPH dari penyebab PH lainnya. Dilatasi arteri sentral

yang lebih tinggi, tortuositas, dan pemangkasan perifer terlihat pada

CTEPH, yang berkorelasi dengan tingkat keparahan penyakitnya. Tidak

ada pelebaran vena proksimal atau tortuositas pada CTEPH dan

pemangkasan dominan lobus atas terlihat pada PH yang berhubungan

dengan merokok. CTA juga dapat mengidentifikasi anomali vaskuler

seperti anomali pulmonary venous return atau shunt atau anomali

kongenital sebagai penyebab PH. Ketika resistensi pembuluh darah paru

mendekati atau melebihi resistensi pembuluh darah sistemik, pirau dapat

menjadi dua arah atau terbalik dan disebut sindrom Eisenmenger yang

mungkin terkait dengan dilatasi aneurisma arteri pulmonalis sentral dan

menyebabkan pembentukan trombus kalsifikasi in situ.(21)


44

Temuan jantung terlihat karena adaptasi dan kegagalan RV

berikutnya. RV mengalami hipertrofi (ketebalan dinding> 4 mm) dan

melebar (rasio RV / LV> 1) pada bidang aksial (Gambar 8C). Dengan

retrospektif ECG-gated CT, volume ventrikel (volume akhir diastolik dan

sistolik, volume stroke) dan fungsinya dapat diukur. Pada gambar cine,

sistolik mendatar atau membungkuk pada septum ventrikel (Gambar 9C)

dapat dilihat dengan peningkatan tekanan RV (> 30 mmHg), yang

memiliki sensitivitas 86% dan spesifisitas 91% untuk mendeteksi PH.

Korelasi yang kuat terlihat antara membungkuk septum dan PAP sistolik>

67 mmHg. Peningkatan sudut septum berkorelasi dengan PVR. Prediktor

jantung signifikan lainnya untuk PH termasuk dinding bebas RV ≥6 mm,

rasio dinding RV / LV ≥0.32, rasio lumen RV / LV ≥1.28, dan rasio PA /

aorta naik utama ≥0.84. Pelebaran IVC dan vena hati dengan refluks

kontras juga dapat terjadi. RA juga dapat membesar, tetapi ini merupakan

temuan non-spesifik untuk PH, seperti yang juga terlihat pada insufisiensi

trikuspid. Efusi perikard mungkin terlihat. CT jantung juga

memungkinkan evaluasi penyakit jantung koroner, termasuk pirau. Ini

sangat berguna dalam evaluasi defek yang sulit dideteksi oleh TTE seperti

defek sinus venosus, yang memiliki hubungan tinggi dengan aliran balik

vena parsial anomali dari vena pulmonalis. CT jantung berguna dalam

mengevaluasi jantung kiri dan kemungkinan penyebab PH pada kelompok

2, termasuk kalsifikasi annular mitral, stenosis aorta dengan kalsifikasi dan

berbagai jenis kardiomiopati yang berasal dari iskemik atau non-iskemik.


45

Efusi perikardial dapat terlihat, yang dalam konteks PH biasanya

menunjukkan perburukan penyakit. (21)

Temuan parenkim paru, terutama dengan penggunaan CT dada

resolusi tinggi (HRCT) dapat membantu dalam menetapkan etiologi PH,

terutama COPD dan ILD (Gambar 9D), yang mungkin idiopatik atau

terkait dengan penyakit jaringan ikat, sarkoidosis, dan Langerhans paru.

histiositosis sel. Dilatasi esofagus dapat menunjukkan diagnosis

skleroderma sebagai penyebab penyakit paru-paru dan PH. Gabungan

fibrosis paru dan emfisema tampaknya memiliki hubungan dan prevalensi

PH yang tinggi yang juga menentukan morbiditas dan mortalitas pada

pasien ini. Temuan umum yang terlihat pada pasien dengan IPAH adalah

nodul kaca dasar sentrilobular terdistribusi tidak jelas yang terdistribusi

luas, yang berhubungan dengan granuloma kolesterol sekunder untuk

menelan sel darah merah oleh makrofag paru (Gambar 9E). Diagnosis

banding meliputi pneumonitis hipersensitivitas, bronkiolitis pernapasan,

bronkiolitis folikuler, dan pintasan LR jangka panjang. Nodul kaca-ground

sentrilobular bersama dengan pembuluh pembuka botol yang berliku-liku

juga dapat dilihat pada pasien dengan PCH dan PVOD, yang memiliki

fitur yang tumpang tindih. Ground Glass Nodule di PCH lebih besar dari

nodul sentrilobular khas serta nodul PVOD. Ground Glass Nodule di

PVOD dapat berbentuk sentrilobular, tidak merata, geografis, menyebar,

mosaik atau perihilar dan berhubungan dengan penebalan septum

interlobular yang halus, efusi pleura, dan limfadenopati (Gambar 9F). (21)
46

Temuan parenkim CTEPH termasuk atelektasis fokal dan bekas

luka dari infark sebelumnya, penebalan pleura dan atenuasi mosaik

(Gambar 5G). Infark dilihat sebagai kepadatan berbentuk baji perifer,

dengan lucencies internal, puncak terpotong dan bejana makan yang

mengarah ke sana. Pola atenuasi mosaik mengacu pada area pergantian

atenuasi tinggi dan rendah, yang terlihat pada CTEPH serta penyebab PH

lainnya. Area atenuasi rendah mewakili hipoperfusi dan area atenuasi

tinggi mewakili redistribusi vaskular dan jaminan. Empat pola pelemahan

mozaik diidentifikasi dan dapat digunakan untuk membedakan berbagai

kelompok PH. Misalnya, pola yang terkait dengan atenuasi hiper sentral

dan hipoattenuasi perifer ditemukan lebih sering pada kelompok 1 dan 4.

Atenuasi mosaik juga dapat dilihat pada penyakit saluran napas kecil. Pada

PH, pembuluh darah di daerah gelap lebih kecil dari pada daerah terang,

sedangkan pada penyakit saluran napas kecil ukurannya hampir sama dan

ada udara yang terperangkap di gambar ekspirasi. Bronkiektasis silinder

pada bronkus segmental dan subsegmental dapat terlihat pada CTEPH

karena hipoksia yang berdekatan dengan pembuluh darah yang mengalami

trombosis. (21)

Fibrosing mediastinitis adalah kondisi langka yang dapat

bermanifestasi sebagai penyempitan jaringan lunak yang mengalami

kalsifikasi atau non-kalsifikasi pada saluran udara sentral, arteri atau vena

pulmonalis sekunder akibat reaksi fibrotik yang disebabkan oleh infeksi

granulomatosa (Gambar 9H). Tumor emboli dari ginjal, hepatoseluler dan


47

kanker payudara dapat menyebabkan PH dan terlihat sebagai defek

pengisian intravaskuler pada arteri pulmonalis sentral atau sebagai manik

multifokal dan dilatasi arteri pulmonalis perifer pada CT dengan kontras.

Talcosis paru akibat injeksi obat oral yang dihancurkan ke dalam vena

perifer dapat memblokir arteriol paru, menghasilkan nodul kaca ground

centrilobular yang halus dan menyebar terkait dengan MPA dan RV yang

melebar. Arteritis Takayasu mungkin melibatkan arteri pulmonalis utama

pada 50-80% pasien sebagai manifestasi penyakit stadium akhir dan

bermanifestasi sebagai penebalan vaskular, peningkatan kontras yang

tertunda, aneurisma dan stenosis. Sirosis hati dan hipertensi portal dapat

menyebabkan pirau hepatopulmonalis, terlihat sebagai pembuluh sub-

segmen perifer yang melebar dan berliku-liku (Gambar 9I). (21)

Gambar 9. CT Scan PH(21)


48

a) CT scan aksial pada tingkat bifurkasi arteri pulmonalis

menunjukkan dilatasi arteri pulmonalis utama (panah), yang

berukuran 3,2 cm dan berukuran lebih besar dari aorta asendens

pada tingkat yang sama.

b) Angiografi paru CT aksial menunjukkan trombus kronis (panah)

yang melapisi dinding arteri pulmonalis kiri.

c) CT scan aksial menunjukkan dilatasi RV, dibandingkan dengan

LV, dengan rasio RV / LV> 2.0. Septum ventrikel membungkuk ke

arah kiri (panah).

d) CT resolusi tinggi koronal menunjukkan perubahan fibrotik bibasal

dengan distorsi arsitektural, retikulasi, traksi bronkiektasis dan

sarang lebah dalam pola yang konsisten dengan pneumonia

interstitial biasa.

e) Dada CT aksial resolusi tinggi pada pasien dengan hipertensi arteri

pulmonalis primer menunjukkan beberapa Ground Glass Nodule

sentrilobular, yang mungkin mewakili granuloma kolesterol dari

perdarahan berulang.

f) Dada CT aksial pada tingkat dasar paru menunjukkan beberapa

Ground Glass Nodulesentrilobular dan penebalan septum

interlobular halus pada pasien dengan penyakit venooklusi paru.

g) CT scan aksial resolusi tinggi pada pasien dengan hipertensi paru

tromboemboli kronis menunjukkan daerah atenuasi tinggi dan

rendah secara bergantian, konsisten dengan atenuasi mosaik.


49

Perhatikan kaliber kecil kapal di area dengan penurunan atenuasi

dibandingkan dengan area dengan atenuasi lebih tinggi.

h) Citra CT koronal pada pasien dengan hipertensi pulmonal

menunjukkan kepadatan jaringan lunak yang terkalsifikasi di

daerah hilus dan subcarinal (panah) dengan penebalan peribronkial

pada bronkus lobus tengah kanan sekunder akibat fibrosing

mediastinitis.

i) CT scan aksial pada pasien dengan hipertensi portal dan sindrom

hepatopulmoner menunjukkan cabang arteri pulmonalis perifer

melebar di lobus posterior bawah (panah), yang memanjang

sampai permukaan pleura. RA, atrium kanan; LA, atrium kiri; RV,

ventrikel kanan; LV, ventrikel kiri. (21)

3. MRI

MRI memiliki beberapa keuntungan dalam evaluasi PH, termasuk

resolusi spasial yang baik, resolusi temporal yang tinggi, bidang pandang

yang luas, pencitraan multi-planar dan kemampuan karakterisasi jaringan.

Ini berguna dalam diagnosis, menetapkan etiologi, kuantifikasi termasuk

hemodinamik, prognostikasi dan tindak lanjut setelah pengobatan.

Beberapa urutan MRI tersedia untuk evaluasi PH.(18)

Pada PH, MRI menunjukkan arteri pulmonalis sentral yang

melebar yang dapat dievaluasi pada darah hitam, sekuens SSFP darah

cerah atau angiografi MR (Gambar 10A). Diagnosis MPA diameter ≥29


50

mm atau rasio MPA dan diameter aorta asendens> 1 digunakan dalam

diagnosis. Adanya hiperintensitas intraluminal pada citra darah hitam

akibat artefak aliran lambat menunjukkan PH dengan perkiraan mPAP> 70

mm dan PVR tinggi. Pada gambar kontras fase yang dikodekan kecepatan,

kecepatan rendah di arteri pulmonalis utama (yaitu, <11,7 cm / s) dan

aliran retrograde awal menunjukkan PH, dengan yang pertama memiliki

sensitivitas 92,9% dan spesifisitas 82,4%. Kecepatan gelombang nadi yang

meningkat juga dapat ditunjukkan di arteri pulmonalis sentral. Dengan

aliran 4D, pusaran turbulen terlihat di arteri pulmonalis sentral, durasinya

berkorelasi langsung dengan mPAP. Perubahan PH jantung sekunder

termasuk dilatasi RV dan hipertrofi (Gambar 10B). Dilatasi RV

didiagnosis dalam gambar aksial jika diameter RV: LV> 1. Hipertrofi RV

didiagnosis ketika ketebalan dinding RV> 4 mm. Rasio massa ventrikel

(massa RV / LV)> 0,6 memiliki sensitivitas 84% dan spesifisitas 71%

dalam diagnosis PH. Septum ventrikel yang biasanya cembung ke kanan

diratakan atau tertekuk ke arah ventrikel kiri selama sistol. Akibatnya, LV

menjadi berbentuk D dan RV menjadi semakin konsentris. Ada korelasi

kuat antara pengukuran kelengkungan paradoks dari septum interventrikel

dan tingkat keparahan PH. Fraksi ejeksi RV berkurang akibat

membungkuknya septum. Peningkatan gadolinium akhir (LGE) sering

terlihat di septum di lokasi penyisipan RV karena tekanan berlebih yang

mengakibatkan deformasi struktural akibat regangan mekanis. Sejalan

dengan itu, peningkatan nilai T1 dapat dilihat dalam T1 mapping


51

sequences. Dengan Angiografi MR yang diselesaikan sesuai waktu, waktu

transit paru dapat meningkat. Peningkatan massa RV, penurunan fungsi

RV (<35%) dan aliran vertikal yang berkepanjangan menunjukkan

kegagalan RV. (18)

MRI juga berharga dalam mengevaluasi etiologi PH. Beberapa

kardiomiopati dapat didiagnosis menggunakan pola morfologi dan LGE di

MRI, dengan gangguan iskemik yang menunjukkan pola subendokard ke

transmural dan entitas non-iskemik yang menunjukkan berbagai pola pola

peningkatan mid-miokard, sub-epikardial atau global subendokardial.

Penyebab jantung lain dari PH juga dapat dievaluasi termasuk penyakit

jantung koroner (Gambar 10C, D), dan gangguan katup. MRI bukanlah

modalitas utama untuk evaluasi gangguan paru-paru, tetapi beberapa

gangguan paru terbukti pada MRI. Peningkatan MRI yang tertunda telah

terbukti menunjukkan fibrosis pada penyakit paru interstisial. Gangguan

vaskular dapat dievaluasi dengan menggunakan Angiografi MR dan

perfusi MR, termasuk urutan waktu yang ditentukan. Dalam CTEPH, area

jaringan, pita, ketidakteraturan, penyempitan, kantong, obstruksi dan

pelebaran pasca-stenotik terlihat pada MRA. Perfusi MR dapat

menunjukkan cacat perfusi, dengan korelasi yang baik dengan skintigrafi.

Dengan menggunakan teori pengenceran indikator, waktu transit rata-rata,

waktu ke puncak dan volume darah dapat diperkirakan, meskipun perfusi

kuantitatif yang sebenarnya tidak tercapai. Pelabelan spin arteri atau


52

dekomposisi Fourier juga dapat mengevaluasi perfusi tanpa perlu agen

kontras intravena atau inhalasi. (18)

MRI adalah alat yang ideal untuk menyediakan beberapa metrik

kuantitatif di PH. MRI adalah standar emas dalam penghitungan volume

dan fungsi ventrikel, dengan ekokardiografi terbatas dalam evaluasi RV

karena bentuk dan morfologi yang kompleks, terutama pada pasien dengan

jendela akustik terbatas seperti obesitas, kelainan bentuk dinding dada,

atau PPOK. (18)

Kuantifikasi RV sangat berharga dalam menilai keparahan

penyakit dan memantau respons terhadap terapi. Kuantifikasi RV dapat

dilakukan di bidang aksial, serta bidang sumbu pendek (Gambar 10E).

Fungsi RV juga dapat dievaluasi dengan TAPSE, perpindahan bidang

annular trikuspid lateral antara end-diastole dan endystole. TAPSE

normal> 15 mm, dengan disfungsi RV menunjukkan nilai <10 mm. Teknik

pencitraan regangan seperti penandaan, pelacakan fitur, pengkodean

sensitivitas (SENC), kontras fase dan evaluasi DENSE untuk fungsi

regional. Strain RV telah terbukti terkait dengan keparahan penyakit dan

secara independen terkait dengan hasil yang buruk. Indeks eksentrisitas

diukur dengan membagi diameter antero-posterior (AP) intra-cavitary

(D2) dari LV dengan diameter septal-lateral (D1), dengan nilai normal 1.

Pada PH, indeks eksentrisitas> 1, indikatif prognosis yang lebih buruk.

Dalam shunt jantung, rasio sirkulasi paru ke sistemik (Qp / Qs) dapat

diukur menggunakan urutan pengkodean kecepatan kontras fase. Rasio> 1


53

menunjukkan pirau kiri ke kanan, dengan rasio 1,7–2,0 digunakan untuk

menentukan kebutuhan intervensi bedah. Rasio <1 menunjukkan shunt

kanan-ke-kiri. Qp diukur pada level arteri pulmonalis dan Qs pada level

aorta asendens. Untuk pirau yang terletak di jantung, seperti defek septum

atrium dan ventrikel, pengukuran ini berlaku. Untuk shunt yang distal ke

lokasi pengukuran aliran ini (misalnya, patent ductus arteriosus, jendela

aorto-pulmonal), Qs mewakili aliran paru dan Qp mewakili aliran

sistemik. (18)

MRI dapat memberikan beberapa parameter non-invasif yang

mencerminkan hemodinamik sistem arteri pulmonalis, meskipun dengan

akurasi yang tidak sama. Kelengkungan septum ventrikel menunjukkan

korelasi yang kuat dengan gradien tekanan RV-LV dan sebanding dengan

tekanan sistolik RV di RHC. Sudut ekskursi septum maksimal ke LV di

sistol ventrikel, yaitu sudut interventrikel (α) juga menunjukkan korelasi

yang kuat dengan mPAP invasif. MPAP dan PVR juga dapat diestimasi

dalam MRI dengan menggunakan persamaan regresi. Perkiraan mPAP =

(α × 0,23) + (indeks massa ventrikel × 16,3) −4,6. Perkiraan mPAP ini

memiliki sensitivitas 87% dan spesifisitas 90% dalam mendiagnosis PH>

32 mmHg. Karena, PVR adalah perubahan maksimum dalam laju aliran

selama volume ejeksi / percepatan, ini dapat diperkirakan dalam satuan

Woods dengan rumus 19,38– [4,62 × ln kecepatan rata-rata PA (cm / s)] -

[0,08 × RVEF (%)] . Korelasi juga telah ditunjukkan antara kecepatan

aliran di arteri pulmonalis dan tekanan. Indeks lain yang digunakan di PH


54

termasuk — penurunan perubahan luas relatif; meningkatkan Vmax;

meningkatkan waktu untuk Vmax; perubahan aliran maksimal pada waktu

ejeksi; penurunan efek windkessel; peningkatan indeks geser osilasi;

peningkatan indeks jarak geser; gradien transpulmoner di arteri

pulmonalis; aliran transmisi; kecepatan jaringan miokard; volume dan

aliran atrium kiri. (18)

MRI memungkinkan estimasi faktor prognostik dan stratifikasi

risiko. Misalnya, volume LGE berkorelasi dengan massa RV, volume RV,

disfungsi RV, remodeling RV, dan kelengkungan septum, yang

menunjukkan prognosis yang merugikan. Curah jantung dalam kontras

fase MRI juga merupakan faktor prognostik merugikan yang independen.

Ada juga korelasi negatif antara kecepatan rata-rata di KKL dan mPAP.

Adanya aliran lambat di arteri pulmonalis utama berkorelasi dengan

prognosis dan mortalitas yang buruk. Kekakuan PA yang meningkat

berdampak pada kopling ventrikulo-arteri yang menghasilkan afterload

RV yang lebih besar. Kekakuan arteri pulmonal juga memprediksi

kematian, terkait dengan mPAP dan PVR. Distensibilitas arteri

pulmonalis, yaitu perbedaan luas penampang arteri pulmonalis antara end-

diastole dan end-sistol >10% menunjukkan respon yang baik terhadap

terapi vasodilator, sedangkan kepatuhan <16% terbukti memiliki prognosis

yang buruk. Adanya efusi perikardial juga merupakan faktor prognostik

yang merugikan (Gambar 10F). (18)


55

MRI juga digunakan dalam tindak lanjut pengobatan dan penilaian

respons terhadap terapi. Jika terapi berhasil, mPAP, massa RV, EDV dan

ESV menurun, sedangkan EF meningkat, biasanya dalam 3 bulan.

Perubahan fungsi RV merupakan prediktor independen dari mortalitas,

tidak bergantung pada faktor klinis dan hemodinamik lainnya.

Membungkuk septum juga dapat menurun dengan penggunaan

vasodilator. Keterbatasan MRI termasuk biaya, ketersediaan terbatas,

kebutuhan akan keahlian yang lebih tinggi, waktu pemindaian yang lama

dan kontraindikasi termasuk perangkat logam dan media kontras

gadolinium pada pasien dengan disfungsi ginjal berat. (18)

Gambar 10. MRI PH. (18)

a) Gambar presesi bebas keadaan stabil aksial (SSFP) menunjukkan

dilatasi parah dari arteri pulmonalis utama (panah).

b) Gambar SSFP aksial menunjukkan dilatasi yang parah dan

hipertrofi ventrikel kanan (RV), dengan ukuran ventrikel kiri (LV)


56

yang berkurang. Septum interventrikular diratakan dan

membungkuk ke kiri (panah).

c) Gambar SSFP aksial menunjukkan cacat septum atrium tipe

sekundum berukuran sedang (panah). Perhatikan pembesaran

ventrikel kanan dan atrium kanan dengan mendatarnya septum

ventrikel.

d) Gambar SSFP dua ruang menunjukkan patent ductus arteriosus

(panah) yang menghubungkan lengkung aorta (AO) dan arteri

pulmonalis kiri (PA) yang melebar.

e) Gambar MRI SSFP sumbu pendek menunjukkan kuantifikasi RV

dengan menggambar kontur endokard pada gambar diastolik akhir

(kontur kuning) dan kuantifikasi LV dengan kontur endokard pada

gambar diastolik akhir (kontur merah).

f) Gambar SSFP aksial pada pasien dengan hipertensi pulmonal

menunjukkan efusi perikardial melingkar berukuran sedang

(panah). Perhatikan juga ventrikel kanan (RV) yang berdilatasi dan

hipertrofi. RA, atrium kanan; LA, atrium kiri. (18)

C. Pemeriksaan Patologi Anatomi

Kelainan yang paling menonjol terlihat pada pembuluh darah arteri

pulmonalis dengan diameter kurang dari 1 mm: arteri otot kecil (0,1

hingga 1 mm) dan arteriol (<0,1 mm). Otot rteri menunjukkan hipertrofi

media, terdiri dari otot polos, dan hiperplasia sel endotel yang membentuk
57

lapisan intimal yang melapisi lumen pembuluh darah. Pada arteriol,

komponen otot yang signifikan pada dinding pembuluh darah biasanya

tidak ada, tetapi dengan PH pembuluh ini mengalami "neomuskularisasi"

pada dindingnya (Gambar 11A). Selain itu, sel intima arteriol berkembang

biak. Sebagai akibat dari hipertrofi medial dan gangguan sel endotel yang

berkembang biak ke dalam pembuluh darah, diameter luminal menurun

secara signifikan dan resistensi pembuluh darah paru meningkat.

Akhirnya, lumen mungkin benar-benar dilenyapkan dan jumlah

keseluruhan pembuluh kecil sangat berkurang. Dalam beberapa kasus PH

berat, terutama bila karena IPAH atau sekunder akibat pirau intrakardiak

kongenital, sel-sel yang berasal dari dinding pembuluh (sel otot polos, sel

endotel, dan fibroblas) akan membentuk apa yang disebut lesi plexiform,

tampak sebagai pleksus kecil. , saluran vaskular seperti celah (lihat

Gambar 11B). Meskipun patogenesis lesi ini tidak dipahami dengan tepat,

gangguan pertumbuhan sel endotel telah didokumentasikan pada pasien

dengan IPAH. Tampaknya sel endotel pada banyak pasien dengan PH

parah telah memperoleh fenotipe pro-proliferatif disfungsional yang

resisten terhadap apoptosis. (22)

Ketika terjadi PH, perubahan lain biasanya terlihat pada arteri

pulmonalis yang lebih besar (elastis) (lihat Gambar 11C). Pembuluh darah

ini, yang biasanya memiliki dinding yang jauh lebih tipis daripada

pembuluh berukuran sebanding dalam sirkulasi sistemik, mengalami

penebalan dinding, terutama di media. Mereka juga mengembangkan jenis


58

plak aterosklerotik yang umumnya hanya terlihat pada sirkulasi sistemik

bertekanan tinggi. (22)

Temuan lain yang mungkin berkembang pada pasien dengan PH karena

sebab apapun adalah trombosis in situ di arteriol paru kecil. Kemungkinan

disfungsi sel endotel primer yang menyebabkan hilangnya mekanisme

antitrombotik intraluminal normal, serta kerusakan endotel sekunder dan

aliran darah yang lambat, berkontribusi pada pembentukan trombus in situ.

Perkembangan trombosis in situ yang luas akan memperburuk derajat PH

dengan lebih jauh mengganggu lapisan vaskular paru. (22)

Konsekuensi jantung dari PH termanifestasi secara patologis sebagai

perubahan pada dinding ventrikel kanan. Besarnya perubahan terutama

bergantung pada tingkat keparahan dan kronisitas PH daripada sifat

gangguan yang mendasari. Temuan utama adalah hipertrofi konsentris

pada dinding ventrikel kanan. Jika ventrikel kanan gagal akibat

peningkatan kronis dalam beban kerja, maka pelebaran ventrikel kanan

diamati. (22)

Gambaran patologis dari PH adalah: 

 Hiperplasia intimal dan hipertrofi medial arteri kecil dan arteriol 

 Akhirnya obliterasi lumen arteri kecil dan arteriol 

 Penebalan dinding arteri pulmonalis yang lebih besar (elastis) 

 Hipertrofi ventrikel kanan


59

Gambar 11 . Perubahan histopatologis hipertensi pulmonal. (22)

a) Fotomikrograf daya sedang yang menunjukkan penebalan dinding

arteriol paru (panah).

b) Fotomikrograf daya rendah yang menunjukkan arteri yang menebal

(panah besar) dengan lesi plexiform yang berdekatan (panah kecil).

c) Noda elastis menyoroti dinding pembuluh yang menebal (panah

besar) dan lesi plexiform yang berdekatan (panah kecil).


60

BAB VI

DIFFERENSIAL DIAGNOSIS

A. Diferensial Diagnosis

a) Stenosis Aorta

Bahkan dengan adanya stenosis aorta yang signifikan, ukuran

jantung seringkali normal, dengan pembulatan tepi LV dan apeks. Dilatasi

poststenosis aorta asendens sering terjadi. Pada pandangan lateral,

kalsifikasi katup aorta ditemukan pada hampir semua orang dewasa

dengan stenosis aorta yang bermakna secara hemodinamik. Meskipun

ketiadaan pada fluoroskopi pada individu yang berusia lebih dari 35 tahun

menyingkirkan stenosis aorta katup yang parah, keberadaannya tidak

membuktikan obstruksi parah pada individu yang berusia lebih dari 60

tahun. Atrium kiri mungkin sedikit meningkat, dan hipertensi vena

pulmonal dapat terlihat. Pada tahap selanjutnya, stenosis aorta yang lebih

parah, tanda-tanda radiografi pembesaran atrium kiri, pembesaran arteri

pulmonalis, pembesaran sisi kanan, kalsifikasi katup aorta, dan kongesti

paru mungkin terlihat.(15)

b) Emfisema

Emfisema secara patologis didefinisikan sebagai pembesaran

permanen ruang udara yang abnormal di distal bronkiolus terminal,

disertai dengan kerusakan dinding alveolar dan tanpa fibrosis yang jelas.

Proses ini menyebabkan berkurangnya pertukaran gas, perubahan

dinamika saluran napas yang mengganggu aliran udara ekspirasi, dan


61

terperangkapnya udara progresif.  Secara klinis, istilah emfisema

digunakan secara bergantian dengan penyakit paru obstruktif kronik, atau

PPOK. (15)

Foto thorax frontal dan lateral menunjukkan tanda-tanda hiperinflasi:

diafragma mendatar ("coving"), peningkatan ruang udara retrosternal (lihat

pada film dada lateral), dan bayangan jantung yang panjang dan sempit.

Bayangan pembuluh darah yang cepat meruncing disertai hiperlusensi

paru-paru adalah tanda-tanda emfisema. Dengan komplikasi hipertensi

pulmonal, bayangan vaskular hilus menjadi menonjol; pembesaran

ventrikel kanan dan opasitas di ruang udara retrosternal bawah juga dapat

terjadi.(21)

c) Emboli paru

Mayoritas pasien PE memiliki berbagai gejala nonspesifik, termasuk

dispnea (84%), nyeri dada pleuritik (74%), kecemasan (59%), dan batuk

(53%), dan pada beberapa pasien embolisasi asimtomatik dapat terjadi.

Pemeriksaan fisik dapat menunjukkan takipnea (frekuensi pernapasan>

16 / menit), rales, dan komponen paru yang menonjol dari bunyi jantung

kedua. Uji laboratorium utama yang diperoleh pada pasien suspek PE

adalah kadar D-dimer plasma. D-dimer adalah produk degradasi fibrin dan

merupakan indikator yang sangat sensitif dari adanya trombosis vena.

Pengukuran D-dimer dengan uji imunosorben terkait enzim memiliki

sensitivitas untuk trombosis vena dalam (DVT) dari 98% hingga 100%,

dan oleh karena itu nilai normal akan secara efektif menyingkirkan
62

kemungkinan DVT dan PE, terutama ketika probabilitas klinis untuk PE

rendah . (15)

Foto thorax adalah pemeriksaan pertama yang dilakukan pada semua

pasien dengan dugaan PE dan memiliki peringkat kesesuaian ACR 9 di

semua skenario klinis. Meskipun sebagian besar pasien dengan PE akan

memiliki radiografi abnormal, persentase pasien yang signifikan akan

memiliki foto toraks normal. Temuan radiografi termasuk perubahan

jantung, arteri pulmonalis, parenkim, pleura, dan diafragma. Pembesaran

jantung, atau lebih tepatnya pembesaran jantung kanan, jarang ditemukan

pada kor pulmonal yang memproduksi PE masif atau ekstensif.

Pembesaran arteri pulmonalis sentral dari PAH juga dapat dilihat tetapi

lebih sering merupakan gejala sisa lanjut dari penyakit tromboemboli

kronis. Temuan radiografi yang paling umum pada PE tanpa infark adalah

kekeruhan ruang udara perifer dan atelektasis linier. Oligemia perifer

terlokalisasi dengan atau tanpa distensi pembuluh darah proksimal (tanda

Westermark) sangat jarang terjadi. Kekeruhan ruang udara menunjukkan

perdarahan paru terlokalisasi yang dihasilkan oleh aliran kolateral vena

bronkial dan paru ke daerah yang tersumbat dan terlihat dengan emboli

perifer tetapi tidak sentral. Kehilangan volume di paru-paru bagian bawah

dari atelektasis adhesif yang disebabkan oleh cedera iskemik pada

pneumosit tipe 2 dan defisiensi surfaktan sekunder dapat menyebabkan

peninggian diafragma dan perkembangan atelektasis linier. (21)

d) Penyakit paru obstruktif kronik


63

Seperti yang ditunjukkan pada gambar di bawah, Foto thorax frontal

dan lateral pasien dengan emfisema menunjukkan tanda-tanda hiperinflasi,

termasuk mendatarnya diafragma, peningkatan ruang udara retrosternal,

dan bayangan jantung yang panjang dan sempit. Bayangan vaskular yang

meruncing dengan cepat disertai hiperlusensi paru-paru adalah tanda lain

dari emfisema. (15)

Bronkitis kronis dikaitkan dengan peningkatan tanda bronkovaskular

dan kardiomegali. Dengan komplikasi hipertensi pulmonal, bayangan

vaskular hilus menonjol, dengan kemungkinan pembesaran ventrikel

kanan dan opasitas di ruang udara retrosternal bawah. (21)

B. Prognosis

Kemungkinan kelangsungan hidup setelah diagnosis hipertensi pulmonal

primer adalah lebih kurang 3 tahun, tapi angka ini sangat bervariasi. Sebagai

hasil dari pengobatan baru, pasien tanpa bukti hemodinamik disfungsi

ventrikel kanan dapat bertahan hidup selama lebih dari 10 tahun. Prognosis

untuk pasien dengan hipertensi pulmonal sekunder tergantung pada penyakit

yang mendasari, serta fungsi ventrikel kanan. Sebagai contoh, pasien dengan

PPOK dan obstruksi aliran udara moderat memiliki tiga tahun angka kematian

50 persen setelah onset kegagalan ventrikuler kanan. Survival adalah juga

dipengaruhi pada pasien dengan penyakit paru-paru interstisial dan hipertensi

pulmonal.(13)
64

BAB VII

KOMPLIKASI

Komplikasi yang paling umum dan ditakuti dari hipertensi pulmonal

adalah gagal jantung sisi kanan. Perkembangan menjadi gagal jantung sisi kanan

adalah bagian dari riwayat alami hipertensi Pulmonal (PH), dan sering muncul

sampai derajat tertentu pada saat diagnosis. Data pencatatan dan kelembagaan

lebih jauh mengimplikasikan hal ini sebagai penyebab kematian paling umum

pada pasien PH, dengan data menunjukkan bahwa 44-73% pasien PH yang

meninggal melakukannya karena gagal jantung sisi kanan atau kematian jantung

mendadak.(5)

Selain gagal jantung sisi kanan, penyebab kematian lainnya antara lain

komplikasi yang muncul karena dilatasi arteri pulmonalis. Ini termasuk diseksi

dan ruptur arteri pulmonalis, hemoptisis masif, dan sindrom kompresi utama kiri,

di mana arteri koroner utama kiri dikompresi oleh batang arteri pulmonalis.

Hemoptisis sering kali sekunder dari sumber arteri bronkial, karena vasokonstriksi

hipoksia di arteri pulmonalis menyebabkan kolateralisasi dan proliferasi arteri

bronkial. Aritmia supraventrikular dan, yang jarang terjadi pada ventrikel, juga

dapat terjadi, mungkin dipicu oleh penyakit jantung sisi kanan. (5)
65

BAB VIII

PENGOBATAN

Tahanan vaskuler paru secara dramatis meningkat pada saat latihan atau

aktifitas pada pasien hipertensi pulmonal, dan pasien sebaiknya harus

memperhatikan dan membatasi aktifitas yang berlebihan. Pemberian oksigen

untuk mengatasi sesak nafas dan hipoksia, saturasi oksigen dipertahankan diatas

90 %. Penggunaan digoksin saat ini masih kontroversial, karena belum ada data

terhadap keuntungan dan kerugian penggunaan digoksin pada hipertensi pulmonal

primer. Penggunaan diuretik untuk mengurangi sesak dan edema perifer, dapat

bermanfat untuk mengurangi kelebihan cairan terutama bila ada regurgitasi

trikuspid. Timbulnya trombosis in situ, gagal jantung kanan dan stasis vena

meningkatkan resiko terjadinya tromboemboli paru. Perbaikan survival telah

dilaporkan dengan antikoagulan oral, warfarin 1,5-2,5 mg dengan target INR 1,8.

Telah banyak penelitian untuk pengobatan hipertensi pulmonal yang dilakukan :

golongan vasodilator, prostanoid, NO, penghambat phosfodiestrase, antagonis

reseptor endotelin dan anti koagulan.(5)

1. Calcium-Channel Blocker (CCB) 

Penggunaan CCB telah banyak diteliti dan digunakan sebagai

terapi hipertensi pulmonal, perbaikan terjadi kira-kira 25-30 % kasus

terutama pada pasien yang tes vasodilator akut positif. Nifedipine (120-

240 mg/hari) atau diltiazem (540-900 mg/hari) merupakan agen yang

paling sering digunakan, sementara verepamil menimbulkan efek inotropik


66

negative. Efek samping yang bermakna seperti hipotensi yang mengancam

hidup pasien dengan fungsi ventrikel kanan yang berat. (5)

2. Prostanoid 

Telah terbukti bahwa defisiensi prostasiklin berkontribusi dalam

patogenesis IPAH. Studi klinis membuktikan bahwa terapi jangka lama

dengan analog prostasiklin eksogen menguntungkan pada pasien dengan

hiperetensi pulmonal sedang sampai berat. (5)

a. Epoprostenol 

Epoprostenol iv pertama kali disetujui oleh FDA untuk terapi

hipertensi pulmonal pada tahun 1995. Pemakaian epoprostenol

jangka panjang memperbaiki hemodinamik, toleransi latihan, klas

fungsional NYHA, dan survival rate penderita hipertensi pulmonal.

Epoprostenol tidak stabil pada suhu kamar, harus dilindungi

selama pemberian infus, half- life pendek dalam aliran darah (< 6

min), tidak stabil pada pH asam, dan tidak bisa secara oral.

Dimulai dengan dosis (1-2 ng/kg/min), dan secara perlahan dititrasi

1-2 ng/kg/min, sampai (20 ng/kg/min atau 40 ng/kg/min).

Komplikasi lain sehubungan dengan terapi iv jangka lama adalah

infeksi, selulitis sampai sepsis, bila pemberian melalui katerterisasi

vena sentral harus dilakukan pada senter dengan peralatan lengkap,

perawat / dokter yang berpengalaman. (5)

b. Treprostinil 
67

Adalah suatu analog prostasiklin dengan half-life 3 jam. Obat stabil

pada suhu kamar dan dapat diberikan secara subkutan. Efek

samping seperti sakit kepala, diare, flushing sama seperti

epoprostenol, disamping nyeri dan eritem pada tempat

penyuntikan. Pemberian secara subkutan ini lebih aman dan efektif

pada pasien terutama rawat jalan. (5)

c. Iloprost Inhalasi 

Iloprost adalah prostasiklin analog dengan bentuk kimia stabil,

yang tersedia dalam bentuk intravena, oral dan aerosol. Half-live

dalam serum 20-25 min. Bentuk inhalasi dalam pengobatan

hipertensi pulmonal adalah konsep yang baik dan praktis dalam

penggunaan klinik. Iloprost inhalasi mempunyai efek vasodilator

yang lebih poten dibandingkan dengan NO inhalasi. Illoprost

inhalasi mempunyai aksi yang lebih pendek sehingga

pemberiannya bisa 6 sampai 9 kali sehari. (5)

d. Beraprost 

Beraprost adalah analog prostasiklin secara kimia stabil dan aktif

untuk oral. Diabsorbsi secara cepat dalam keadaan puasa,

konsentrasi puncak tercapai setelah 30 menit dan half life 35-40

menit setelah pemberian. (5)

3. Antagonis Reseptor Endotelin 

Pada penelitian terakhir Antagonis reseptor Endotelin efektif dalam

mengobati hipertensi pulmonal, karena banyaknya bukti peranan


68

patogenik endotelin-1 pada hipertensi pulmonal. Endothelin-1 adalah suatu

vasokonstriktor yang poten, dan mitogen pada otot polos yang

menyebabkan meningkatnya tonus vaskuler dan hipertrofi vaskuler paru.

Dalam studi kontrol kecil pasien IPAH, konsentrasi endothelin plasma

berkorelasi dengan PAP and PVR, berkorelasi juga dengan kapasitas

latihan. (5)

4. Phosphodiesterase Inhibitor 

Mekanisme yang memodulasi cyclic guanosine 3-5

monophosphate (cGMP) di dalam otot polos vaskuler memainkan peranan

dalam regulasi tonus, pertumbuhan dan struktur vaskuler paru. Efek

vasodilator NO tergantung pada kemampuannya untuk meningkatkan dan

mempertahankan cGMP yang ada pada vaskuler. Sekali diproduksi, NO

secara langsung mengaktifasi guanylate cyclase, yang meningkatkan

produksi cGMP. cGMP kemudian mengaktifasi cGMP kinase, membuka

kanal potassium, dan menyebabkan vasorelaksasi. Efek intraseluler cGMP

sangat singkat, sehingga didegradasi cepat oleh phosphodiesterase.

Phosphodiesterase merupakan famili enzim yang menghidrolisa cyclic

nucleotides, cyclic adenosine monophosphate (cAMP) dan cGMP, dan

membatasi signal intraseluler dengan menghasilkan produk inaktif 5-

adenosine monophosphate dan 5-guanosine monophosphate.

Bagaimanapun juga obat-obat yang menginhibisi spesifik cGMP

phosphodiesterase (phosphodiesterase type 5 inhibitors) meningkatkan


69

respon vaskuler paru pada NO inhalasi dan endogen pada hipertensi

pulmonal. (5)

5. NO dan Arginine 

Pentingnya NO terutama dalam adaptasi normal sirkulasi paru saat

lahir. Gangguan NO akan berkembang menjadi neonatal hipertensi

pulmonal. NO terus menerus memodulasi tonus dan struktur vaskuler paru

sepanjang hidup. NO juga memiliki aktifitas antiplatelet, anti inflamasi

dan antioksidan, juga memodulasi efek angiogenesis. NO dihasilkan dalam

3 bentuk NO synthase (NOS), yang muncul dalam sel multiple dan terus

menerus aktif (type I dan III) dalam endotelium atau “inducible” (type II)

pada sel lainnya seperti makrofag, epitel bronkus dan otot polos vaskuler.

Regulasi NOS komplek dan termasuk growth factors hormon (seperti

vascular endothelial growth factor), tekanan oksigen, hemodinamik, dan

faktor lainnya. Sudah jelas bahwa amino acid, L-arginine, adalah substansi

NOS, maka itu penting untuk produksi NO. Arginine eksogen diperlukan

untuk memproduksi NO. Arginine masuk dalam sel dangan transport aktif

dan defek pada mekanisme transpor berkontribusi pada ketergantungan

arginine dengan meningkatnya kadar ekstraseluler untuk memenuhi

kebutuhan. Dalam endotel, transpor arginin secara kuat berikatan dengan

NOS, bila ikatan ini rusak oleh karena injuri endotel maka kadar normal

ekstraseluler mungkin berkurang untuk memproduksi NO. Defisiensi

Arginine telah memperlihatkan terjadinya hipertensi pulmonal dan infuse


70

L-arginine (500 mg/kg selama 30 menit pada bayi hipertensi pulmonal

terjadi peningkatan PaO2 selama lebih 5 jam. (5)

6. Terapi Bedah (Atrial Septostomi)

Atrial septostomi adalah membuat suatu right-to-left interatrial

shunt untuk mengurangi tekanan dan volume overload di jantung kanan.

Dengan berkembangnya strategi terapi obat, maka atrial septostomi

hanyalah suatu prosedur paliatif atau sebagai permulaan untuk tranplantasi

paru. Pemilihan pasien, waktu dan perkiraan ukuran septostomi adalah hal

yang masih krusial. Tranplantasi jantung-paru terutama untuk IPAH yang

gagal dengan semua strategi terapi. Survival pasien IPAH yang mengalami

tranplantasi paru kira-kira 66%- 75% pada 1 tahun pertama. Dan yang

paling sering adalah bilateral transplantasi. b. Transplantasi paru-paru

Hipertensi pulmonal primer biasanya progresif dan akhirnya berakibat

fatal. Paru-paru transplantasi adalah suatu pilihan pada beberapa pasien

lebih muda dari 65 tahun yang memiliki hipertensi pulmonal yang tidak

merespon manajemen medis. Menurut AS tahun 1997 transplantasi

laporan registri, 24 penerima transplantasi paru-paru dengan hipertensi

pulmonal primer memiliki tingkat ketahanan hidup dari 73 persen pada

satu tahun, 55 persen di tiga tahun dan 45 persen pada lima tahun.

Pengurangan langsung tekanan arteri paru-paru dikaitkan dengan

perbaikan dalam fungsi ventrikel kanan. (5)


71

BAB IX

DAFTAR PUSTAKA

1.    Hoeper MM, Ghofrani HA, Grünig E, Klose H, Olschewski H, Rosenkranz

S. 2017. Pulmonary hypertension. Dtsch Arztebl Int. 114(5):73–84.

2.    Thiwanka Wijeratne D, Lajkosz K, Brogly SB, Diane Lougheed M, Jiang

L, Housin A, et al. 2018. Increasing Incidence and Prevalence of World

Health Organization Groups 1 to 4 Pulmonary Hypertension: A Population-

Based Cohort Study in Ontario, Canada. Circ Cardiovasc Qual Outcomes.

11(2).

3.    Sysol JR, Machado RF. 2018.  Classification and pathophysiology of

pulmonary hypertension. Contin Cardiol Educ. 4(1):2–12.

4.    Thenappan T, Ormiston ML, Ryan JJ, Archer SL. 2018. Pulmonary arterial

hypertension: Pathogenesis and clinical management. BMJ. 360(1).

5.    Galiè N, Humbert M, Vachiery JL, Gibbs S, Lang I, Torbicki A, et al.

2016. 2015 ESC/ERS Guidelines for the diagnosis and treatment of

pulmonary hypertension. Eur Heart J. 37(1):67–119.

6.    Dunlap B, Weyer GW. 2016. Pulmonary Hypertension: Diagnosis and

Treatment. Am Fam Physician. 94(6): 463–9. 

7.    Lau EMT, Giannoulatou E, Celermajer DS, Humbert M. 2017.

Epidemiology and treatment of pulmonary arterial hypertension. Nat Rev

Cardiol.  14(10):603–14. 

8.    Kemenkes RI. 2014.  Infodatin Hipertensi. Pusat Data dan Informasi

Kementerian Kesehatan RI
72

9.    Hoeper MM, Kramer T, Pan Z, Eichstaedt CA, Spiesshoefer J, Benjamin

N, et al. 2017. Mortality in pulmonary arterial hypertension: prediction by

the 2015 European  pulmonary hypertension guidelines risk stratification

model. Eur Respir J.  50(2). 128-137

10.  Wang LY, Lee KT, Lin CP, Hsu LA, Wang CL, Hsu TS, et al. 2017. Long-

term survival of patients with pulmonary arterial hypertension at a single

center in Taiwan. Acta Cardiol Sin. 33(5):498–509.

11.  Kovacs G, Dumitrescu D, Barner A, Greiner S, Grünig E, Hager A, et al.

2018. Definition , clinical classification and initial diagnosis of pulmonary

hypertension : Updated recommendations from the Cologne Consensus

Conference 2018. Int J Cardiol. 272(1): 11–9.

12.  Hoendermis ES. 2016. Pulmonary arterial hypertension : An update

Pulmonary arterial hypertension : an update. Neth Heart J. 20:138

13.  Frost A, Badesch D, Gibbs JSR, Gopalan D, Khanna D, Manes A, et al.

2019. Diagnosis of pulmonary hypertension. Eur Respir J. ;53(1).1-8 

14.  Mandras SA, Mehta HS, Vaidya A. 2020. Pulmonary Hypertension: A

Brief Guide for Clinicians. Mayo Clin Proc. 95(9):1978–88. 

15.  Richard L. Drake, A. Wayne Vogl AWMM.  2020. Gray’s Anatomy For

Student. Fourth Edition. Philadelphia: Elsevier Inc. 188–230 

16.  Tortora GJ, Derrickson B, Wiley J. 2012. Anatomy & Physiology 13th

Edition. Derrickson B, editor. United States of America: John Wiley &

Sons, Inc. 1347 


73

17.  Churg A, Wright JL. 2017. Pulmonary Hypertension. Third Edition.

Practical Pulmonary Pathology: A Diagnostic Approach A Volume in the

Pattern Recognition Series. Elsevier Inc. 401–420 

18.  Goerne H, Batra K, Rajiah P. 2018. Imaging of pulmonary hypertension:

An update. Cardiovasc Diagn Ther. 8(3):279–96.

19.  François CJ, Schiebler ML. 2016. Imaging of Pulmonary Hypertension.

Radiol Clin North Am. 54(6):1133–49. 

20.  Carmona H, Wu W, Pipavath SNJ. 2019. Ask the Expert: Radiographic

Signs and Patterns of Pulmonary Hypertension: A Pictorial Essay. Adv

Pulm Hypertens. 18(4):141–51.

21.  S.Klein J. 2019. Brant and Helms Fundamentals of Diagnostic Radiology,

Fifth Edition. Burlington: Wolters Kluwer. 780–816.

22.  Dubrock HM, Dunlay SM, Redfield MM. Pulmonary Hypertension. Fourth

Edition. Heart Failure: A Companion to Braunwald’S Heart Disease.

Elsevier; 617–630. 

Anda mungkin juga menyukai