Anda di halaman 1dari 16

Stem sel epitel kornea pada limbus: melihat beberapa persoalan usang

dari sudut pandang yang baru


Robert M.Lavker, Scheffer CG. Tseng, Tung-Tien Sun

Abstrak
Pada pemikiran yang lama, epitel kornea dianggap sanggup mencukupi
kebutuhannya sendiri, memperbaharui jaringannya sendiri, dengan kata lain stem selnya
berlokasi pada lapisan sel basalnya. Studi akhir-akhir ini menunjukkan bahwa stem sel
epitel kornea berada di lapisan basal kornea perifer yaitu pada limbus, dan epitel kornea
dan konyungtiva itu sendiri mempunyai tempat asal yang berbeda. Teori ini didukung
oleh adanya bentuk K3 keratin marker yang unik di limbus pada diferensiasi kornea,
terhambatnya siklus lambat (label-retaining) sel-sel di limbus, gambaran keratin yang
berbeda antara sel-sel epitel kornea dan konyungtiva pada pertumbuhan in vivo dan in
vitro, dan kemampuan sel-sel limbus superior dibandingkan dengan sel-sel epitel kornea
sentral pada proliferasi in vitro dan menata kembali epitel kornea yang intak pada in vivo.
Kenyataan bahwa stem sel epitel kornea berada pada daerah limbus dapat menerangkan
beberapa sifat yang bertentangan pada epitel kornea, termasuk sel basalis yang terlihat
matang, pembentukan tumor yang berlebihan pada daerah limbus dan migrasi sel yang
sentripetal. Konsep stem sel limbal ini mengarahkan kita kepada pemahaman yang lebih
baik tentang strategi reparasi epitel kornea untuk klasifikasi baru berbagai penyakit pada
epitel permukaan, pemakaian stem sel limbal untuk rekonstruksi kerusakan epitel kornea,
kehilangan epitel karena trauma atau penyakit ( transplantasi stem sel limbal), dan untuk
menolak pemikiran yang lama tentang ‘pergantian konyungtiva’. Kenyataan bahwa stem
sel epitel kornea berada di luar kornea, mendorong dilakukannya penelitian epitel kornea
tanpa membawa sejumlah daerah limbalnya yang hanya akan menghasilkan sebahagian
gambaran. Penelitian yang akan datang dibutuhkan untuk menyampaikan sinyal yang
berada pada stem sel limbal dengan mekanisme yang memfasilitasi transplantasi stem sel
adalah membran amnion, dan pengembangan studi ex vivo serta asal yang jelas dari stem
sel limbal.
Epitel kornea memperlihatkan beberapa sifat yang bertentangan yang
membuatnya menjadi epitel permukaan yang unik. Sebagai contoh, sel basal epitel
kornea lebih terlihat matang dari sel basalis epitel berlapis lainnya. Sel epitel kornea
melewati migrasi yang sentripetal dimana sel epitel lainnya mengalami migrasi yang
vertikal. Epitel kornea hampir tidak pernah menjadi tumor, kalaupun akan terjadi tumor
maka terutama terjadi pada kelompok epitel kornea perifer di limbus (transisi antara
kornea dan konyungtiva). Pada kondisi epitel kornea habis terkikis diharapka epitel
konyungtiva tidak berdiferensiasi menjadi epitel kornea. Banyak teka-teki epitel kornea
yang bisa diterangkan melalui pemahaman lokasi dan sifat biologis stem sel epitel
kornea.
Walaupun pada saat ini belum ada petanda biokimia yang baik dari stem sel
epitel, namun ada beberapa kriteria dasar yang mesti dipenuhi sebagai pertimbangan .
Dengan definisi yang paling sederhana, stem sel adalah sekelompok sel yang mampu
memperbaharui diri tidak terbatas yang mengadakan pembelahan untuk meningkatkan
pertumbuhan sel-sel yang kemampuan memperbaharui dirinya terbatas (transient
amplifyng atau sel TA). Sebagai tambahan, stem sel membelah relatif jarang (siklus
lambat) pada jaringan nontraumatik yang matang; bagaimanapun sel-sel tersebut
mempunyai kemampuan proliferasi yang tinggi. Stem sel bisa diinduksi untuk membelah
lebih sering mengikuti kondisi luka atau pada kultur in vitro. Sel-sel ini relatif kecil
dengan struktur dan biokimia yang primitif dan dengan granul seluler yang sedikit,
mengandung pigmen pada daerah yang tereksposur cahaya matahari. Sebaliknya sel TA
membelah lebih sering daripada stem sel dan mempunyai kemampuan proliferasi yang
terbatas. Pada saat kehabisan kapasitas proliferasinya, sel TA melewati diferensiasi akhir
dan perluasan produk akhir yang spesifik khas untuk epitel (seperti stratum korneum
epidermis, folikel rambut, sel permukaan epitel kornea).

1. Epitel limbal: sebuah paradigma untuk stem sel – jaringan yang kaya

Saat ini telah diterima secara luas bahwa epitel limbal adalah tempat yang istimewa dari
stem sel epitel kornea, konsep ini disusun langsung dari penelitian pada pertumbuhan dan
diferensiasi epitel kornea. Walaupun Davanger dan Evensen (1971) telah melaporkan
bahwa epitel limbal dapat menyediakan asal sel untuk epitel kornea terutama sesudah
terjadinya suatu luka, penemuan ini tidak memutuskan adanya kemungkinan migrasi sel
konyungtiva menjadi epitel kornea yang bagus. Lalu ketika Thoft dkk (1983) kemudian
mengusulkan hipotesa ‘X,Y,Z’; mereka mengkhususkan pada pernyataan “pada saat
pergerakan sel-sel dari kornea perifer terlihat sangat baik, asal sel-sel ini tidak dapat
ditentukan. Pada tulisan setelah itu, Thoft (1989) menyebutkan kembali “pada hipotesa
asal X,Y,Z, adalah tidak penting untuk menduga asal sel tersebut. Karena
transdiferensiasi dari epitel konyungtiva bisa terjadi pada kelinci, diasumsikan bahwa sel
yang berasal dari konyungtiva bisa menyeberang secara sederhana ke limbus untuk
menggantikan sel-sel kornea perifer pada keadaan akut maupun khronis.
Melalui suatu seri analisa percobaan pada diferensiasi sel epitel kornea kelinci in
vivo dan in vitro (gbr.1). Schermer dkk memperlihatkan adanya 64-k Da dasar keratin
(K3) yang bisa dikenali dengan AE5 antibodi monoklonal, memperlihatkan sebuah
marker untuk stadium diferensiasi yang lanjut dari epitel kornea. Marker ini diperlihatkan
pada epitel limbal suprabasalis tetapi kesemuanya termasuk sel-sel basalis pada epitel
kornea sentral. K3 tidak ada dari epitel konyungtiva. Hasil ini menunjukkan 2 point
penting :
1. Adanya limbal K3 positif berhubungan dengan sel epitel kornea, dan dibedakan
dari K3 negatif epitel konyungtiva merupakan argumentasi yang kuat bahwa
epitel kornea berbeda dengan epitel konyungtiva (argumentasi ini berlawanan
dengan konsep transdiferensiasi konyungtiva).
2. Karena sel basal epitel limbal tidak punya sebuah petanda untuk stadium lanjut
diferensiasi epitel kornea, sel-sel limbal secara biokimia lebih primitif dari sel-sel
basal kornea.
Berdasarkan data ini dan dengan adanya migrasi sentripetal sel-sel epitel kornea,
Schermer dkk mengusulkan bahwa stem sel epitel kornea distribusinya tidak sama
melewati lapisan basal epitel kornea, tetapi mempunyai tempat yang istimewa yaitu di
lapisan basal epitel limbal. (gbr.2)
Observasi terhadap sel-sel siklus lambat tertahan sampai sel-sel basal epitel limbal
mendapat dukungan yang kuat terhadap hipotesa sel-sel limbal / kornea. Satu cara yang
paling dipercaya untuk mengidentifikasi stem sel epitel in vivo adalah kenyataan bahwa
sel-sel ini mempunyai siklus lambat yang normal dan bisa diidentifikasi dengan
percobaan ‘label-retaining cells’ (LRCs). Percobaan ini dilakukan dengan melabel jangka
panjang sebagian besar sel-sel dengan sebuah prekursor DNA seperti tritiated thymidine
atau bromodeoxyuridine; hasil ini pada labelnye semua merupakan sel yang terbagi,
termasuk stem sel. Setelah diikuti pada suatu periode (4-8 minggu) siklus cepat sel TA
paling banyak hilang dari labelnya, sedangkan sel-sel pada siklus lambat (stem sel) tetap
pada labelnya, dengan cara ini stem sel tetap dapat dideteksi sebagai LRCs. Pemakaian
tehnik ini pada epitel kornea mengungkapkan bahwa epitel kornea sentral yang sejak
lama dikatakan dapat mencukupi kebutuhannya sendiri dan memperbaharui jaringannya
tidak mengandung LRCs, karena sel-sel ini terdapat pada lapisan basal epitel kornea
perifer pada daerah lmbus. (gbr.3)
Penemuan lain yang penting yang mendukung konsep stem sel limbal ini berasal
dari penelitian bahwa epitel limbal mempunyai kemampuan proliferasi yang lebih besar
daripada epitel kornea. Sifat ini yang terbaik dilihat secara in vitro berupa pertumbuhan
sel-sel dari berbagai tempat di permukaan dengan kondisi kultur yang sama dan
pengulangan sub kultur untuk membandingkan kemampuan proliferasi kelompok sel-sel
ini secara terpisah. Thoft dkk. telah menunjukkan dengan kultur bahwa sel epitel kornea
dari daerah limbus tumbuh lebih baik daraipada daerah sentral dan perifer. Telah
dilakukan konfirmasi dan memperluas observasi ini dengan memperlihatkan bahwa sel
limbal bisa dilakukan sub kultur berulang kali pada saat adanya lapisan yang memberi
makan 3T3 dari sel epitel kornea. Hal ini yang memberi kesan adanya 1 sel dalam kultur
dari koloni ‘holoclone’ yang besar yaitu stem sel, yang secara umum mempunyai ukuran
kebih kecil, sel-sel membentuk ‘meroclones’ yang lebih kecil dan adanya kegagalan
‘paraclones’ yang paling menunjukkan perbedaan utama stadium sel-sel TA. Analisa
sifat pertumbuhan clonal dari 1 sel basalis limbal dan 1 sel basalis kornea manusia,
Pellegrini dkk. telah memperlihatkan bahwa sel basalis limbal dapat tumbuh pada koloni
holoclone, sedangkan sel basalis kornea hanya bisa tumbuh pada koloni meroclone dan
paraclone. Pada sebuah serial percobaan in vitro, diperlihatkan bahwa ketika epitel
limbal dan kornea dirangsang terus menerus dengan phorbol myristate, epitel limbal tetap
stabil mengalami proliferasi yang lebih besar daripada epitel kornea, dan ini mendukung
ide bahwa sel limbal mempunyai kapasitas proliferasi yang lebih besar daripada sel epitel
kornea.
Pada akhirnya, transplantasi in vivo telah memberikan data pendukung yang kuat
untuk teori stem sel limbal. Kerusakan di dalam epitel kornea termasuk area stem sel
limbal dapat terjadi pada pasien dengan trauma kimia yang menyebabkan kornea
kehilangan kejernihannya. Pergantian kornea yang standar pada kasus di atas tidak efektif
karena penempelan kornea yang baru tanpa epitel yang utuh akan menambah opasitas
kornea. Pada prosedur pembedahan yang baru yang disebut dengan transplantasi stewm
sel limbal, pertama kali dilakukan oleh Kenyon dan Tseng (1989), sebagian kecil dari
jaringan epitel limbal dari mata yang sehat (autograf) atau dari kadaver (allograf) bisa
digunakan untuk membentuk kembali epitel kornea sehingga dapat memperbaiki
permukaan depan.
Data kolektif ini menunjukkan bahwa sel epitel limbal mempunyai sel basal yang
kekurangan keratin K3 dan secara biokimia tidak dapat dibedakan, yang mengandung sel
siklus lambat, mempunyai kemampuan proliferasi yang tinggi secara in vitro dan in vivo,
dan dapat digunakan sebagai bahan yang baik untuk rekonstruksi epitel kornea.
Sebaliknya , epitel kornea merupakan sekelompok sel basal yang mempunyai K3 positif
dan struktur biokimia yang bisa dibedakan dari sel basal limbal, kurangnya sel-sel siklus
lambat, kapasitas proliferasi yang kurang dari epitel limbal dan merupakan bahan yang
kurang bagus untuk rekonstruksi epitel kornea. Secara bersama-sama, hasil-hasil ini
cukup kuat mendukung stem sel epitel kornea terletak pada tempat yang istimewa di
lapisan basalis limbal dan sel-sel basalis epitel kornea memperlihatkan kelanjutan stem
sel yang bisa digambarkan sebagai populasi sel TA.

2. Epitel kornea yang digambarkan dari stem sel limbal

Lokasi limbal dari stem sel epitel kornea bisa membantu menerangkan beberapa
sifat yang khas dari epitel kornea. Pertama, kelompok sel basalis epitel kornea
menunjukkan diferensiasi yang lebih banyak daripada kelompok sel basal epitel lainnya,
karena sel basal epitel kornea mengandung sel-sel TA dengan berbagai derajat
kematangan. Pada epitel-epitel lain seperti epidermis, epitel palmar/plantar dan epitel
esofagus kelompok sel basal ini mengandung kedua stem sel dan sel TA sehingga
menghasilkan gambaran yang lebih primitif. Dengan demikian kematangan gerak sel
basalis epitel juga dicerminkan oleh kematangan biokimia. Sebagai contoh seperti yang
didiskusikan di atas, bagian keratin K3/K12 sebuah marker diferensiasi epitel kornea
terlihat pada sel basal epitel kornea, tetapi tidak pada sel basal epitel limbal. (gbr.2).
Akhi-akhir ini diperlihatkan bahwa Ca-linked protein (CLED) berhubungan dengan
diferensiasi awal yang diperlihatkan oleh sel basal epitel kornea, tetapi tidak oleh sel
basalis limbal, sinyal transduksi Ca 2+ dependent sering berhubungan dengan sel-sel
yang telah berdiferensiasi, yang memperlihatkan seluruh epitel kornea tetapi pada epitel
limbal hanya di supra basalisnya. Secara bersama-sama penemuan ini menunjukkan
bahwa sel basalis epitel kornea secara biokimia adalah ekuivalen dengan suprabasalis,
sedangkan sel-sel yang yang berdiferensiasi lainnya merupakan sel epitel skuamosa
berlapis yang konvensional.
Yang kedua, suatu fenomena yang menarik dan sebelumnya tidak dimengerti
dengan baik adalah terjadinya karsinoma sel skuamosa yang tumbuh secara berlebihan
yang dikenal dengan kanker mata yang ternyata terutama terjadi di limbus. Sama dengan
tumor-tumor epitel kornea lainnya, sebagian besar berasal dari limbus. Karena stem sel
diduga merupakan asal dari sebagian besar tumor-tumor tersebut dan karena epitel limbal
merupakan jaringan stem sel yang kaya, maka hal ini meyakinkan bahwa keganasan
tersebut berasal dari daerah ini.
Ketiga, sesuai dengan ketetapan walaupun tidak dimengerti dengan baik adalah
bentuk migrasi epitel kornea yang sentripetal dalam hal ini migrasi sel-sel dari limbus
menuju kornea sentral. Lokasi stem sel di limbal ini menjelaskan kenapa migrasi
selulernya horizontal. Karena migrasi ini terjadi lebih lama dari yang biasanya sejauh
beberapa milimeter, maka epitel kornea mempunyai sistem yang unik dimana stem sel
dan sel TA nya pada stadium kematangan yang berbeda bisa dipisahkan dan diisolasi
untuk pemeriksaan biokimia dan lainnya. Dengan demikian, stem sel limbal merupakan
sel TA yang lebih muda dengan kemampuan proliferasi yang signifikan yang berlokasi di
epitel kornea perifer. Sel-sel ini bermigrasi ke arah sentral kornea, dimana mereka
kehilangan kemampuan proliferasi yang progresif yang akan menjadi sel TA yang lebih
matang. Sel TA epitel lainnya juga megalami migrasi yang horizontal. Sebagai contoh,
enterosit dari epitel intestinal yang merupakan turuna dari stem sel epitel intestinum
berlukasi di kripti, bermigrasi sepanjang membrana basement ke arah ujung vili. Baru-
baru ini telah didapatkan lokasi stem sel folikel rambut yaitu pada daerah folikel yang
menonjol, yang membuat sel TA muda bermigrasi ke bawah yang meliputi bermacam
komponen batang rambut, seperti migrasi ke atas ke dalam epidermis dan bisa membantu
jaringan ini.
Keempat, konsep stem sel limbal mendukung kuat konsep klasik transdiferensiasi
konjungtiva, sebuah proses dimana sel epitel konjungtiva bermigrasi ke dalam
permukaan kornea yang telanjang dan akan menjadi epitel kornea yang bagus adalah
tidak benar. Asumsi bahwa epitel kornea dan konjungtiva adalah equipotent tetapi
memperlihatkan fenotip yang berbeda karena modulasi lingkungan. Walaupun epitel
konjungtiva bisa mengambil beberapa aspek fenotip kornea ketika bermigrasi ke dalam
matriks kornea, namun ini tidak menghasilkan epitel kornea yang normal. Studi baru-
baru ini melakukan graft epitel konjungtiva pada kelinci yang dikultur pada membran
amnion yang gagal berdiferensiasai pada epitel kornea. Ketika epitel kornea dan
konjungtiva yang ada dalam media pertumbuhan yang sama in vitro dan in vivo ternyata
masing-masing mempunyai prilaku yang berbeda. Wei dkk. mendapatkan bahwa pada
kultur kornea kelinci dan keratin spesifik yang disintesa dari sel epitel limbal, demikian
juga pada sel-sel epitel konjungtiva bulbi, forniks dan palpebral tumbuh pada kondisi
yang sama yang tidak mensintesa keratin ini. Penelitian setelah itu menggunakan tikus /
kantong epitel model (?) dan dibandingkan dengan prilaku sel epitel kornea / limbal dan
sel epitel konjungtiva yang diletakkan sub kutan pada tikus percobaan. Kantong epitel
dibentuk dari kultur sel yang dihasilkan oleh jaringan aslinya. Epitel kornea dan limbal
kista tersebut dilapisi dengan epitel berlapis yang kaya dengan glikogen. (gbr.5(a)). Kista
yang berasal dari sel epitel konjungtiva yang dikultur mengandung sel PAS-positif
dengan morfologi sel goblet yang diselingi dengan sel epitel berlapis. Secara bersama-
sama observasi ini mendukung adanya bukti bahwa epitel kornea/limbal dan epitel
konjungtiva pada hakekatnya berbeda dan masing-masing diatur oleh populasi stem
selnya sendiri, dan teori transdiferensiasi konjungtiva adalah tidak benar.

3. Pengertian dasar dari teori stem sel limbal


3.1. Ketidakseragaman membrana basement dan stem sel limbal
Seperti yang telah disebutkan di depan, adanya keratin K3 suprabasalis pada
daerah limbus, tetapi munculan yang sama pada epitel kornea merupakan bukti pertama
adanya ketidakseragaman epitel kornea/limbal, dan merupakan hal yang menyebabkan
stem sel kornea berada di limbus. Adanya ketidakseragaman membrana basement terlihat
paling tidak pada saat munculnya gen K3 di limbus vs kornea. Kolega dkk.
memperlihatkan antibdi monoklonal AE27 mewarnai membrana basement dari
konjungtiva secara lemah dan kornea dengan kuat, dan limbus heterogen (?). Yang
menarik sel basalis limbal ini berkontak dengan daerah (BM?)membrana basement
dengan kuat pada AE27 negatif atau pada munculan K3 yang lemah. Bukti tambahan dari
ketidakseragaman membrana basement adalah seperti seperti yang disampaikan oleh
Ljubimov dkk. bahwa membrana basement kornea dan limbal mempunyai perbedaan
kolagen tipe IV dan komposisi cabang laminin. Espana dkk. memperlihatkan rekombinasi
jaringan yang fentip K3 nya negatif dari sel basalis limbal yang melewati membrana
basement/stroma limbal.. Data-data ini secara bersama-sama mendukung heterogenositas
membrana basement yang mungkin mempunyai peranan dalam pengaturan munculnya
K3 dan tergantung diferensiasi gennya juga.

3.2. Pengaturan transkripsi genetik keratin K3 epitel kornea


Pengaturan genetik keratin K3 telah diteliti dengan mengisolasi dan dan menandai
300 bp 5’ upstream berurutan pada gen K3 kelinci yang dapat merupakan gen pelapor
untuk melihat keratinosit. Tempat arah mutagenesis dan transfection assays
memperlihatkan bahwa kegiatan ini merupakan motif yang penting, yang bisa dihitung
selama 70% kegiatan ini. Yang menarik, motif ini berisi tempat yang overlapping Sp1
dan AP-2 (gbr.6). Tempat kedudukan Sp1 dan AP2 menghasilkan kegiatan aktivasi dan
pengurangan yang berurutan. Karena epitel kornea berlapi-lapis diikuti peningkatan rasio
Sp1/AP2 sebanyak 6-7 kali lipat, hal ini merupakan sebagian dari aktivitas K3 selama
diferensiasi epitel kornea. Gabungan hal yang telah didemonstrasikan sebelumnya bahwa
aktivitas AP2 gen K 14 di sel basalis merubah rasio Sp1/AP2 selam diferensiasi epitel
kornea mungkin memainkan peranan pada munculan yang bergantian antara gen K3 dan
K 14 di lapisan sel basalis dan suprabasal.

3.3. Stem sel epitel kornea dalam perkembangan


Rodrigues dkk. telah melakukan pemeriksaan terhadap perubahan bentuk K3 pada
epitel kornea. Pada 8 minggu kehamilan epitel kornea terdiri dari 1 lapis sel yang ditutupi
oleh periderm, dan K3 nya negatif. Pada 12-13 minggu kehamilan, 3-4 lapis sel epitel
permukaan akan menjadi K3 positif , yang menjadi tanda awal diferensiasi kornea. Pada
36 minggu, walaupun secara morfologi epitel kornea terlihat matur, K3 terlihat pada
keseluruhan suprabasalis epitel kornea / limbal. (gbr.7) Hal ini merupakan kemungkinan
yang menarik bahwa seluruh sel basalis pada epitel kornea dan limbal adalah merupakan
permulaan stem sel. Sel basalis pada kornea sentral secara berangsur-angsur
membutuhkan petanda K3 yang memungkinkan sebagai tanda matangnya membrana
basement seperti pada kornea yang matang hanya pada sel basalis di daerah limbal yang
menjadi stem sel. Wolosin dkk. memperlihatkan bahwa stem sel limbal kekurangan
Connexin 43 yang menyebabkan tidak adanya gap junction yang mungkin menyebabkan
‘steamness’ dari semua stem sel dan bisa memisahkan stem sel dari sel-sel yang
berdiferensiasi. Mereka juga memperlihatkan sel C 43 negatif bisa menjadi prekursor
untuk stem sel. Studi yang akan datang dibutuhkan untuk memperkirakan faktor-faktor
ekstrinsik yang mungkin mengatur diferensiasi epitel kornea selama embriogenesis.

3.4. Strategi perbaikan epitel kornea


Karena stem sel terpisah dari sel-sel asalnya, epitel kornea / limbal menyediakan
suatu model yang bagus untuk mempelajari atribut-atribut stem sel epitel dan sel TA.
Telah diinvestigasi pertumbuhan dinamik secara in vivo populasi stem sel dan sel TA
pada epitel kornea normal menggunakan tehnik double-labeling yang dapat mendeteksi
dua putaran atau lebih sintesa DNA pada sel yang diberikan. Diperlihatkan bahwa epitel
basalis limbal itu heterogen mengandung ke-2 siklus lambat stem sel sama seperti siklus
normal sel TA.(gbr.8(a)) Pemakaian phorpol myristate 1 kali atau adanya luka fisik di
kornea bagian sentral , terlihat sejumlah besar siklus lambat normal stem sel epitel yang
diinduksi untuk replikasi.(gbr.8(b)) Sel epitel kornea yang berlokasi di kornea perifer
mempunyai waktu siklus selnya kira-kira 72 jam dan bisa bereplikasi paling sedikit 2
kali. Bila diinduksi untuk proliferasi waktu siklus selnya bisa diperpendek sampai dengan
24 jam dan sel-sel ini bisa mengalami penambahan divisi sel. Sebaliknya sel TA epitel
kornea sentral biasanya membagi hanya 1 kali sampai datangnya saat postmitotic setelah
stimulasi phorbol myristate, menyebabkan pengurangan kemampuan proliferasi.
Kesimpulan utama dari pekerjaan ini adalah kemampuan memperbaharui diri sendiripada
epitel bisa menggunakan 3 strategi untuk memperbanyak populasinya,(gbr.9) yaitu: 1.
Rekrutmen stem sel untuk memproduksi sel TA lebih banyak. 2. Meningkatkan frekuensi
replikasi sel TA. 3. Meningkatkan efisiensi replikasi sel TA dengan memperpendek
waktu siklus sel.

3.5. Kultur sel epitel kornea kelinci sebagai model untuk penyembuhan luka
Ketika 1 sel epitel kornea kelinci dan manusia disebarkan dan dikultur dalam
mitomycin-C atau lethally irradiated, 3T3 feeder cells, keratinosit kornea mengalami
pertumbuhan klonal membentuk epitel berlapis. Dalam kondisi ini keratinosit bisa
diperbanyak sampai . 10.000 kali lipat. Epitel kornea kelinci yang normal mensintesa
sejumlah kecil keratin K5 dan K 14 (petanda untuk keratinosit basal) dan sejumlah besar
keratin K3 dan K12 (petanda untuk tipe-diferensiasi kornea). Ketika epitel kornea teruka,
sel-sel berhenti mensintesa K3/K12 dan sebagai gantinya mensintesa K6 dan K16,
keratin-keratin ini khas pada sel suprabasal epitel berlapis yang mengalami hiperplasia.
Seperti perubahan bentuk munculan keratin yang dihasilkan dari kultur sel epitel kornea
kelinci. Kultur sel ini pertama kali memperlihatkan hanya keratin K5 dan K14 sel basalis,
lalu berikutnya keratin K6 dan K16 (petanda untuk hiperproliferasi) yang kemudian
digantikan oleh keratin K3 dan K12. Kultur sel epitel ini kemudian menjadi model yang
bagus untuk mempelajari perbedaan stadium penyenbuhan luka epitel kornea.

3.6. Mekanisme migrasi sentripetal epitel kornea.


Kekuatan migrasi sentripetal sel-sel epitel kornea masih belum jelas. Hipotesa
yang lebih awal bahwa sel-sel epitel kornea mungkin merupakan sel TA yang lebih muda
yang berproliferasi lebih cepat daripada sel-sel yang berlokasi di kornea sentral, sehingga
sel-sel bermigrasi sentripetal. Ide ini dapat digantikan dengan beberapa studi kinetik sel.
Sebuah hipotesa alternatif bahwa mungkin angka pengelupasan epitel kornea sentral lebih
tinggi daripada epitel kornea perifer, kemudian membuat sebuah hisapan, yang
menggambarkan sel-sel perifer mengarah ke tengah kornea.

4. Pengertian klinis teori stem sel limbal

Bentuk-bentuk teori stem sel limbal adalah landasan untuk mengidentifikasikan


dan mengklasifikasi kembali penyakit-penyakit kebutaan yang disebabkan oleh kornea
yang menggambarkan defisiensi stem sel limbal (LSCD). Teori ini juga menjadi dasar
pengembangan beberapa prosedur bedah menggunakan transplantasi stem sel limbal
untuk memperbaiki penglihatan pada pasien-pasien yang menderita LSCD.

4.1. Defisiensi stem sel limbal


Ketika epitel limbal atau stroma limbal rusak, keadan patologinya dikenal dengan
LSCD yang berkembang menjadi sejumlah penyakit kornea. Kornea dengan defisiensi
limbal bermanifes epitelisasi yang jelek (defek persisten oleh erosi rekuren), inflamasi
stromal khronis (keratitis yang bercampur dengan sikatrik), vaskularisasi kornea dan
pertumbuhan epitel konjungtiva ke arah dalam. Konsekuensinya pasien-pasien LSCD
disertai dengan iritasi berat, fotofobia dan penuruna visus menjadikan prognosisnya jelek
untuk transplantasi kornea konvensional. Karena sebagian besar gambaran klinik ini
dapat juga ditemukan pada penyakit kornea yang lain, tanpa kriteria diagnosis LSCD,
maka pertumbuhan epitel konjungtiva ke arah dalam akan masuk ke permukaan kornea
(konjungtivalisasi). Secara klinis konjungtivalisasi adalah kehilangan palisade limbal dari
Voght, pada pemeriksaan dengan slitlamp nampak pada pewarnaan fluorosensi lambat,
menggambarkan fungsi pertahanan epitel yang jelek. Namun, diagnosis defenitif dari
konjungtivalisasi dipastikan dengan sitologi impresi untuk menmdeteksi sel-sel goblet
konjungtiva pada permukaan kornea. Diagnosis yang akurat dari LSCD sangat penting
untuk memilih prosedur transplantasi stem sel epitel limbal.
Berdasarkan pada etiologi penyakit dasar, manifestasi LSCD dapat dibagi 2
kategori, yaitu:
1. Hancurnya stem sel epitel limbal, seperti pada luka bakar termis dan kimia,
sindroma Steven Johnson / TEN, pembedahan multipel atau krioterapi, atau
pengobatan (iatrogenik), lensa kontak, beberapa infeksi mikroba, radiasi dan anti
metabolit termasuk 5-fluorourasil dan mitomycin C.
2. Kategori ke 2 adalah dengan karakteristik kehilangan gradual populasi stem sel
tanpa diketahui atau faktor-faktor presipitasi yang teridentifikasi. Pada keadaan
ini cekukan stroma limbal dipengaruhi oleh beberapa etiologi termasuk:
koloboma, neoplasia, defisiensi hormonal multipel, penyakit kornea ulseratif
perifer, keratopati neuropatik dan defisiensi limbal neuropatik. Penyakit ini juga
dikategorikan menurut keturuna yang menjadi penyebab penyakit dasar seperti
dilukiskan oleh tabel 1. Patofisiologi dasar menerangkan mengapa transplantasi
stem sel epitel dan perbaikan lingkungan stromal stem sel limbal (dengan
transplantasi amniotok) adalah penting dalam rekonstruksi permukaan okuler.

4.2. Transplantasi stem sel epitel limbal


Menurut tipe dan sumber jaringan yang diambil untuk transplantasi stem sel yang
berisi epitel limbal, baberapa prosedur bedah telah dapat dipikirkan. Istilah dan
kependekan yang digunakan di sini, direkomendasikan oleh Holland dan Schwartz
(1996).

4.3. Autograf limbal konjungtiva


Jika LSCD total unilateral, maka disarankan untuk melakukan autograf limbal
konjungtiva (CLAU). Prosedir pertama dilaporkan oleh Kenyon dan Tseng dan
eksperimennya dikonfirmasikan oleh Tsai dkk. Secara ringkas, panus konjungtiva
dipindahkan dari permukaan kornea dengan cara peritomi, diikuti dengan keratektomi
superfisial dengan diseksi tumpul pada mata resipien. Sikatrik dipindahkan dari ruang
subkonjungtiva, hasilnya tak terlalu berbeda dengan resesi sudut konjungtiva 3-5 cm dari
limbus. Dua garis pada cangkokan bebas konjungtiva, masing-masing panjangnya 6-7 cm
melengkungi limbal dipindahkan dengan keratektomi lamelar superfisial kira-kira 1 mm
di dalam limbus dari regio limbal superior dan inferior dengan memasukkan 5 mm
konjungtiva tambahan, ini 2 cangkokan bebas yang ditransfer dan aman bagi mata
resipienyang berhubungan dengan lokasi anatomis, dengan jahitan interupted
menggunakan nylon 10-0 ke limbus dan vikril 8-0 ke sklera. Ukuran daerah limbal yang
dipindahkan dalam CLAU dapat dianjurkan menurut potensi visual dari mata donor dan
perluasan dari LSCD pada mata resipien. Jumlah konjungtiva juga meningkat jika pada
mata resipien dilakukan lisis simblefaron. Gambar 11 a dan b memperlihatkan bagaimana
CLAU dapat meningkatkan dan memperbaiki kehalusan dan kestabilan permukaan
kornea tanpa vaskularisasi dan tanpa transplantasi kornea pada suatu kasus dengan lika
bakar asam bilateral. Keberhasilan klinis telah dilaporkan oleh yang lain dan validasi
kolektif dari teori stam sel limbal.
Pada luka bakar kimia, inflamasi berat dan iskemia pada fase akut berhasil diobati
dengan transplantasi oleh CLAU. Namun disarankan untuk mentransplantasikan
membran amniotik secara temporer untuk menekan inflamasi, memfasilitasi
penyembuhan luka epitel, dan mencegah sikatrik pada luka bakar akut dan sindroma
Steven Johnson / TEN. Walaupun umumnya dipercaya bahwa mata donor yang
dipindahkan limbalnya berhasil dengan baik tanpa komplikasi, laporan yang bermacam-
macam menunjukkan bahwa mata donor akan mengalami dekompensasi dengan adanya
pseudopterigium atau LSCD parsial, khususnya mata dengan LSCD subklinis. Untuk
menghindari komplikasi-komplikasi yang potensial, salah satu alternatif adalah
mencangkokkan membran amnion untuk menutupi defek setelah memindahkan CLAU
pada mata donor di atas permukaan kornea resipien sehingga sisa dan transplantasi epitel
limbal dapat diperluas pada mata donor dan resipien .

4.4. Transplantasi allograf limbal konjungtiva dari donor hidup (lr-CLAL)


Jika LSCD total bilateral, rekonstruksi permukaan kornea menggunakan
transplantasi allogenik stem sel epitel limbal. Untuk melakukannya, salah satu pilihan
adalh melakukan transplantasi lr-CLAL dari donor yang masih hidup. Prosedur bedah
dari lr-CLAL identik dengan CLAU. Membran amniotik dapat juga digunakan untuk
menghilanhkan epitel limbal yang berlebihan dari donor mata sehat dan untuk
meningkatkan efek CLAU pada mata resipien. Namun demikian, jika donor dan resipien
tidak cocok, keberhasilan lr-CLAL tergantung pada sistem imunospresi dan penolakan
allograf pada saat pengobatan.
4.5. Transplantasi allograf keratolimbal (KLAL)
Cara lain untuk melakukan keratolimbal allograf adalah dari donor kadaver.
Tehnik pembedahan ini pertama kali dilaporkan oleh Tsai dan Tseng, dan sejak itu juga
dilaporkan oleh ahli2 lain. KLAL memperbaiki stem sel limbal pada pasien dengan
LSCD bilateral atau unilateral, yang mana tidak perlu mengekspos matanya untuk banyak
prosedur bedah termasuk CLAU. Karena transplantasi allogenik harus
mempertimbangkan sistim imunosupresi dengan berbagai ragam seperti pada lr-CLAL.
Meskipun pemberian siklosporin oral berlanjut, Subota dan Solomon melaporkan bahwa
keberhasilan jangka panjang dari KLAL adalah 40-50% dalam 3-5 tahun, sementara Ilari
dan Daya melaporkan bahwa 21-22% kesuksesan dalam 5 tahun follow up. Kesuksesan
yang lebih rendah dilaporkan pada kasus dry eye, defisiensi air mata berat, abnormalitas
kelopak mata yang tidak bisa dikoreksi dan inflamasi khronis. Karena faktor-faktor
terbatas, diantara semua penyakit denhan LSCD total, sindroma Steven Johnson / TEN
mempunyai prognosis paling jelek jika diobati dengan KLAL ataupun lr-CLAL, karena
abnormalitas permukaan kornea untuk menolak cangkokan yang menyisakan faktor
penting yang membatasi keberhasilan KLAL. Tanda-tanda dari penolakan allograf adalah
teleangiektasi, pembuluh darah limbal yang menghilang, garis-garis penolakan epitel dan
hancurnya epitel pada inflamasi limbal berat. Oleh sebab itulah mengapa kami setuju
untuk mengkombinasikan beberapa agen imunosupresif yang harus dilakukan pada lr-
CLAL atau KLAL dengan berbagai macam penggunaan pada transplantasi organ lain.
Untuk mata dengan opasitas stromal bagian dalam atau edena kornea, cara terbaik adalah
transplantasi kornea tambahan setelah 3-4 bulan kemudian jika mata tidak mengalami
inflamasi. Dengan berbagai macam visi untuk memperbaiki kejernihan kornea, penolakan
cangkokan kornea lebih jauh, adalah cara laijn untuk mendapatlkan keraoplasti lamelar
yang lebih dalam dibandingkan dengan keratoplasti tembus khususnya jika tidak ada
disfungsi kornea.

4.6. Pertumbuhan Ex-vivo Stem Sel Limbal


Prosedur lain adalah pertumbuhan ex vivo stem sel limbal, yang pertama kali
dilakukan oleh Pelegrini dkk. menggunakan lapisan 3T3 fibroblast feeder. Sementara
peneliti lain menggunakan membran amniotik dengan atau tanpa menggunakan lapisan
3T3 fibroblast feeder untuk transplantasi limbal autogenik atau autolog pada pengobatan
LSCD. Kemudian berdasarkan kepada membran amniotik itu merupakan substrat yang
ideal untuk memperbaiki cekukan stem sel limbal untuk pertumbuhan ex-vivo. Prosedur
pembedahan yang baru ini efektif untuk menerangkan fenotip epitelial membran pada
permukaan kornea. Validitas klinik pada prosedur pembedahan baru ini sedang
dikonfirmasikan untuk studi jangka panjang pada hewan kelinci dengan LSCD unilateral.
Keuntungan teori ini bahwa pertumbuhan ex-vivo mengatasi transplantasi stem sel limbal
autolog, CLAU atau lr-CLAU yang hanya memerlukan biopsi kecil pada limbal,
sehingga meminimalisir risiko pada donor mata.Keuntungan teori ini mengatasi
tranplantasi stem sel limbal alogenik, KLAL, dan lr-CLAU bahwa penolakan cangkokan
mungkin bisa diminimalisir hanya dengan transplantasi epitelial dan kehadiran antigen
sel-sel Langerhans akan dieliminasi selama pertumbuhan ex-vivo. Percobaan klinis FDA
menampakan kemajuan tentang prosedur baru ini. Pendekatan ini akan berkembang
menjadi terapi baru , yang berdasarkan pada target gen pada stem sel limbal in-vitro.

5. Perspektif

Kemajuan besar saat ini telah dilakukan dalam melokalisir dan mengenal stem sel
epitel limbus dan pemakaian sel-sel ini untuk pengobatan penyakit permukaan kornea.
Banyak tantangan yang masih menghadang ahli stem sel epitel, seperti generasi dari
petanda permukaan stem sel yang positif akan meningkatkan fasilitasi isolasi fisik dan
pengenaln molekul stem sel. Beberapa petanda stem sel limbal sudah dikenal saat ini dan
tidak hanya dikenal dengan sel basal limbal tapi juga hampir semua sel basal dari variasi
epitel squamous sel berlapis yang membuatnya tidak dikenal sebagai stemsel yang
spesifik. Hal penting lainnya adalah mengenal lingkungan mikro yang membentuk
cekunkan stem sel. Seperti digambarkan diatas heterogenitas membran basemen tak
diragukan lagi memberikan kontribusi yang lain terlibat memelihara stem sel. Beberapa
data terbaru menyarankan membran amnion dapat mendukung replikasi dari stem sel.
Banyak studi yang dibutuhkan untuk lebih mengerti proses seluler dan biokimia.
Akhirnya fleksibilitas stem sel mendapatkan banyak perhatian. Frearis dkk menunjukan
bahwa epitel kornea dewasa jika dikombinasi dengan dermis embrionik akn
meningkatkan folikel rambut, sehingga mengindikasikan bahwa diberikan sesuai tandaa,
setiap sel TA dari epitel kornea sentral bisa dirubah ke epidermis dan asesorisnya.
Dibutuhkan studi lebih lanjut untuk mendefinisikan fleksibilitas stem sel epitel koenea.

Anda mungkin juga menyukai