Anda di halaman 1dari 2

Fransisca Xaveria Tasha Ayu W.

XI MIPA 2 / 10

Ketidakadilan, Kepasrahan, dan Pemberontakan


Anak Seorang Tertuduh Antek PKI

Judul Monolog : Balada Sumarah


Pengarang : Tentrem Lestari
Ditulis pertama tahun : 1999
Tebal Naskah : 8 halaman

Pada monolog ini kta akan berkenalan dengan Sumarah, seorang TKW, seorang terdakwa pembunuhan,
dan anak seorang tertuduh antek PKI. Semuanya bermula saat secara tiba-tiba bapak Sumarah diseret
dan ditangkap karena dituduh sebagai salah satu dari anggota PKI. Saat itu Sumarah bahkan masih di
dalam Rahim ibunya, dan karena itu Sumarah tidak pernah melihat bapaknya. Kendati demikian,
kelamnya peristiwa itu selalu membayangi Sumarah dan telah “menggelapkan” namanya.

Karena tuduhan itu, Sumarah sering mendapatkan diskriminasi dan perlakuan kurang mengenakan di
negaranya sendiri. Hal ini sangat terasa saat ia mencoba mencari pekerjaan yang layak demi
meningkatkan kualitas hidup keluarganya. Dengan kondisi ekonomi yang sangat sulit, ia telah berjuang
keras di pendidikannya hingga mendapatkan nilai yang tinggi di ijazahnya. Namun usahanya tidak
membuahkan pekerjaan yang baik baginya akibat dari bayang-bayang bapaknya. Sumarah pun tidak
memiliki pilihan lain selain menjadi seorang babu. Selama hidupnya, ia belajar untuk selalu menunduk
dan diam. Ia akhirnya memberontak dengan membunuh majikannya sendiri.

Kisah Sumarah ini telah menceritakan konflik sosial yang dialami keluarga dari para tertuduh antek PKI
dengan cukup baik sehingga kita dapat menerima gambaran dari ketidakadilan yang dialami barang kali
sedikit saja. Meskipun berlatarkan pada masa pasca G30S PKI, tapi menurut saya kisah ini dapat relevan
kapan saja. Hal itu karena kisah ini secara umum dapat menggambarkan kejamnya diskriminasi sosial,
rumor, ketakutan terhadap kekuasaan, hingga korupsi yang tetap relevan di masa kini. Pemilihan kata
atau diksi pada monolog ini berhasil membuat saya ikut terhanyut ke dalam kisah pilu dari Sumarah.
Bagi saya, berbagai emosi Sumarah pada monolog ini telah digambarkan dengan porsi yang tepat.
Monolog ini juga ditulis dengan alur dan yang baik dan runtut sehingga membantu penikmatnya untuk
semakin hanyut dalam kisah Sumarah. Secara keseluruhan, saya menikmati bagaimana kisah dan
monolog ini ditulis.

Terus terang saya skeptis dengan bagaimana monolog ini akan menarik perhatian atau atensi dari kaum
muda. Hal itu dikarenakan 3 hal. Pertama, naskah monolog ini sendiri mengambil latar masa pasca G30S
PKI yang di mana masa itu cukup jauh bagi kaum muda saat ini. Sehingga bisa jadi ada kebingungan saat
berusaha mencerna kisah dari monolog ini. Kedua, naskah monolog “Balada Sumarah” cukup panjang
yang apabila dipentaskan akan berdurasi setidaknya 15 menit. Ketiga, tidak banyak pergerakan atau aksi
yang dilakukan sang tokoh dalam teks narasi “Balada Sumarah.” Dengan durasi yang cukup panjang dan
aksi yang minim, kaum muda atau khalayak umum yang tidak begitu menggemari penampilan monolog
dapat merasa cepat bosan. Oleh karena itu, dalam menggarap drama monolog ini diperlukan kreativitas
ekstra agar pementasan monolog ini menjadi menarik dan relevan.
Fransisca Xaveria Tasha Ayu W.
XI MIPA 2 / 10

Saya sangat merekomendasikan Anda untuk segera membaca naskah atau menonton pementasan
drama monolog ini. Kisah Sumarah yang dituangkan dengan beragam emosi akan membuat Anda
hanyut dan memberikan Anda suatu pengalaman tersendiri. Apabila Anda tertarik dengan monolog ini
namun tidak senang dengan durasinya yang cukup panjang, maka saya merekomendasikan Anda untuk
menonton penampilan Irma Maulani pada ajang Peksiminas 2020 dalam membawakan drama monolog
ini. Dengan durasi sekitar 10 menit, saya jamin Anda tidak akan dibuat bosan dengan bagaimana
monolog ini dipentaskan. Namun apabila Anda tidak familier denga apa yang terjadi pasca G30S PKI,
saya sarankan Anda mempelajarinya sedikit agar dapat menikmati kisah Sumarah. Saya benar-benar
berharap bahwa “Balada Sumarah” dapat diketahui lebih luas oleh publik.

Anda mungkin juga menyukai