Anda di halaman 1dari 112

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tahun 2012, terbentuknya Jurusan Antropologi Fakultas Sastra

dan Budaya Universitas Papua secara resmi. Saat itu pula dibuka

penerimaan bagi mahasiswa/wi angkatan pertama, dan mata kuliah

Etnografi mulai diajarkan dengan nama Etnografi Papua. Mata kuliah

Etnografi Papua konteksnya membahas tentang Etnografi beberapa Suku

bangsa dan budaya di tanah Papua, baik propinsi Papua maupun Propinsi

Papua Barat.

Banyaknnya jumlah suku bangsa di Tanah Papua, membuat

pembahasan atau pengajaran mata kuliah etnografi satu semester di

pandang kurang. Etnografi Papua diajarkan dua semester dengan

klasifikasi, pada semester ganjil mata kuliah yang diajarkan Etnografi

Papua 1, sementara etnografi Papua 2 diajarkan pada pada semester

genap.

Dalam perkembanganya, tepatnya melalui lokakarya kurikulum

Jurusan Antropologi Fakultas Sastra dan Budaya yang dilaksanakan pada

tahun 2016, menghasilkan sejumlah pemikiran yang salah satunya tentang

fokus pengajaran mata kuliah Etnografi Papua.

Mata kuliah Etnografi Papua 1 dan etnografi Papua 2 mengalami

perubahan nama. Nama yang disulkan dan ditetapkan adalah Etnografi

Papua Barat dan Etnografi Papua. Rupanya perbedaan hanya terletak pada

1
wilayah Administrasi Pemerintahan Daerah Propinsi. Etnografi Papua

Barat fokus pembahasan tentang Deskripsi Suku bangsa dan Budaya

Papua di Propinsi Papua Barat, sementara deskripsi tentang suku bangsa

dan budaya Papua di Propinsi Papua, diajarkan pada mata kuliah etnografi

Papua.

Etnografi Papua Barat, sebagai mata kuliah yang relativ usianya

baru dari sisi penamaan, mulai diajarkan pada semester genap tahun

ajaran 2018/2019, dan Ketua Jurusan Antropologi Fakultas Sastra dan

Budaya Universitas Papua memberi kepercanyaan kepada penulis,

sebagai salah satu dosen pengajar mata kuliah Etnografi Papua Barat.

Sebagai salah satu dosen pengajar mata kuliah ini, saya

memandang perlu menyiapkan materi pengajaran kepada mahasiswa/wi

Jurusan Antropologi yang mengontrak mata kuliah ini, apalagi fakta

menunjukan bahwa belum tersedianya buku ajar Etnografi Papua Barat,

semakin menambah motivasi penulis untuk segera menulis buku ajar

Etnografi Papua Barat.

1.2. Deskripsi Mata Kuliah Etnografi Papua Barat

Etnografi Papua Barat, adalah salah satu mata kuliah yang di

ajarkan pada jurusan Antropologi Fakultas Sastra dan Budaya Universitas

Papua Manokwari Provinsi Papua Barat. Mata kuliah ini memberikan

pemahaman mengenai konsep Dasar etnografi, serta beberapa Etnografi di

Provinsi Papua Barat

Pembahasan tentang Konsep etnografi, terfokus pada 2 unsur,

yaitu:Definisi etnografi oleh sejumlah ahli antropologi dan tujuan

etnografi. Sementara pembahasan tentang beberapa etnografi di Papua


2
Barat, terfokus pada 8 suku bangsa di Provinsi Papua Barat, yaitu:Suku

bangsa Abun, Suku bangsa Emeyode, Suku bangsa Sumuri, Suku bangsa

Sebyar, Suku bangsa Sough, Suku bangsa Moi, Suku bangsa Wamesa,

dan Suku bangsa Mairasi.

1.3. Tujuan Mempelajari Mata Kuliah Etnografi Papua Barat di

Universitas Papua

Adapun tujuan yang ingin dicapai setelah mempelajari mata kuliah

etnografi Papua Barat di Jurusan Antropologi Fakultas Sastra dan Budaya

Universitas Papua (Unipa) Manokwari adalah, membekali mahasiswa/wi

Jurusan Antropologi Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Papua

Manokwari, untuk mengenal dan memahami konsep Etnografi dan

beberapa Etnografi Di Papua Barat.

1.4. Ruang Lingkup Perkuliahan Etnografi Papua Barat

Ruang lingkup perkuliahan etnografi Papua Barat, antara lain:

pertama, bagaimana seorang mahasiswa/wi Jurusan Antropologi Fakultas

Sastra dan Budaya Universitas Papua, memahami konsep-konsep dasar

etnografi. Kedua, bagaimana seorang mahasiswa/wi Jurusan Antropologi

Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Papua, memahami beberapa

etnografi di Papua Barat, yaitu memahami beberapa suku bangsa dan

budaya di Propinsi Papua Barat. Ketiga, bagaimana seorang mahasiswa/

wi Jurusan Antropologi Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Papua,

memproduksi sebuah karya etnografi Papua Barat melalui pengalaman

3
berinteraksi dan penelitian lapangan dengan salah satu suku bangsa dan

budaya di Propinsi Papua Barat.

4
BAB II
MENGENAL KONSEP ETNOGRAFI PAPUA BARAT

2.1. Deskripsi

Pada bab ini, terdapat 2 istilah Etnografi dan Papua Barat. Kita di

ajak untuk mengenal dua istilah tersebut. Dua istilah ini untuk

kepentingan kesatuan pemikiran komprehensif, dua istilah ini digabung

menjadi satu etnografi Papua Barat. Oleh sebab itu, pembahasan tentang

Etnografi akan difokuskan pada 2 aspek, yaitu:aspek pertama definisi

etnografi oleh sejumlah ahli antropologi dan aspek kedua adalah apa

tujuan etnografi. Sementara, istilah Papua Barat mengacu pada konteks

pembahasan Etnografi yang hanya terfokus di wilayah Provinsi Papua

Barat.

2.2. Tujuan Instruksional Khusus

Setelah mempelajari materi pada bab ini, mahasiswa/wi di

harapkan mampu memahami :

a. Konsep Etnografi

b. Tujuan Etnografi

c. Konsep Suku Bangsa

d. Konsep Budaya

e. Unsur-Unsur Budaya

5
f. Wujud Budaya

g. Tujuan Kebudayaan

h. Fungsi Kebudayaan

2.3. Apa itu Etnografi

Untuk memahami etnografi, maka kita perlu memahami apa itu

etnografi. Etnografi berasal dari kata ethnos sebuah terma Yunani,

bermakna orang, ras atau kelompok budaya, dan graphy yang berarti

tulisan, deskripsi. Jadi, menurut A.D. Smith (1989:13-18), etnografi

berarti lukisan atau deskripsi terhadap suatu kelompok budaya, (dikutip

dari Denzin dkk 2009:30). Jika definisi Etnografi di tambah dengan kata

Papua Barat, maka definisi etnografi akan berkembang, sehingga

etnografi Papua Barat adalah lukisan, laporan atau deskripsi tentang

budaya suku bangsa Papua di Propinsi Papua Barat.

Namun demikian, ada sejumlah antropolog yang memberikan

definisi lain tentang etnografi. Etnografi dalam pandangan William.

A.Haviland adalah deskripsi sistematis dari kebudayaan berdasarkan

observasi tangan pertama, (1985:16).

Etnografi juga didefinisikan sebagai suatu aktivitas melukiskan

cara-cara hidup dari sekelompok orang tertentu dan juga dapat

mengemukakan penjelasan tertentu tentang beberapa kebiasaan yang telah

diamatinya, (Ihromi 2006:11).

6
Pendapat lain, berasal dari Peacock (1996), Ia mengatakan bahwa

etnografi mengacu pada deskripsi ilmiah sosial tentang manusia dan

landasan budaya kemanusiaannya1.

Pendapat lain berasal dari seorang ahli antropologi Dr.Amri

Marzali, etnografi juga digunakan untuk mengacu pada metode penelitian

untuk menghasilkan laporan tersebut, (Spradley 2007:vii).

Definisi-definisi tersebut diatas bukan sebagai pertanda

meniadakan definisi sebelumnya, akan tetapi justru menambah, bahkan

memperkaya definisi tentang etnografi. Bertambahnya pandangan tentang

etnografi, tentu mengindikasikan bahwa ada perhatian serius pada

perkembangan ilmu etnografi dengan dalil mencari pola yang tepat untuk

mendeskripsikan manusia bersama produk budaya agar semakin jelas.

Jika kita ingin mengambil ide pokok dari definisi diatas, maka

etnografi adalah sebuah deskripsi dalam bentuk laporan tertulis mengenai

sebuah kebudayaan, atau dalam pengataan lain ide pokok tentang

etnografi adalah membahas tentang Deskripsi atau Laporan Suku

Bangsa dan Budaya.

2.4. Tujuan Etnografi

Jika konsep etnografi diatas sudah dipahami, lalu kita bertanya,

apa tujuan utama etnografi ? Tujuan utama etnografi adalah untuk

memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli,

1
Pendapat ini saya kutip dari Buku Karya Norman K.Denzin dan Yvonnas S.Lincoln yang berjudul, “Handbook Of
Qualitative Research”, Tahun 2009. Halaman 30.

7
sebagaimana oleh Bronislaw Malinowski, bahwa tujuan etnografi adalah

“memahami sudut pandang penduduk asli, hubungannya dengan

kehidupan, untuk mendapatkan pandangannya mengenai dunianya,

(1992:25) dikutip dari (Spradley, 2006:3-4). Lebih jauh Ia mengatakan

bahwa, etnografi tidak hanya mempelajari masyarakat, tetapi lebih dari

itu, etnografi belajar dari masyarakat.

Sementara itu, menurut Radcliffe-Brown menjabarkan tujuan

etnografi sebagai usaha untuk membangun, “a complex network of social

relations”, atau “social structure”, (Spradley, 2006:xi).

2.5. Konsep Suku Bangsa

Salah satu unsur etnografi adalah suku bangsa, maka penulis

mengajak kita untuk memahami konsep Suku bangsa. Dalam setiap

kebudayaan yang hidup dalam kelompok masyarakat dan memiliki ciri

khas atau semacam identitas pembeda antara kelompok yang satu dengan

kelompok yang lain, seringkali dalam istilah Antropologi disebut dengan

suku bangsa (dalam bahasa Inggris disebut ethnic group), yang kalau di

terjemahkan secara harafiah menjadi Kelompok etnik.

Dengan demikian, dua istilah inilah yang sering digunakan untuk

menggambarkan sebuah kelompok manusia yang memiliki kesamaan

budaya adalah Suku Bangsa dan Kelompok etnik. Kedua istilah ini dalam

konsepnya Dr.Zulyani Hidayah, adalah dua istilah yang dapat dipakai

secara bergantian, kerena maknanya sama, (2015:xii). Namun yang

menjadi soal adalah, apakah dalam kamus besar Bahasa Indonesia, dua

8
kata memiliki satu arti ? rasanya sulit di temukan demikian, karena yang

terjadi adalah setiap kata memiliki makna sendiri. Bahkan setiap kata bisa

memiliki beberapa arti. Dengan demikian, dapat dimaknai bahwa dua kata

tentu memiliki arti yang berbeda. Lalu apa itu Suku Bangsa dan apa itu

kelompok etnik.

Suku Bangsa (ethnic group) adalah kesatuan sosial yang dapat di

bedakan dari kesatuan sosial lain berdasarkan kesadaran akan identitas

perbedaan kebudayaan, khususnya bahasa, (Koentjaraningrat, 1984:178).

Dalam tafsir penulis, dapat dipahami bahwa sebuah kelompok sosial yang

memiliki bahasa sendiri dan berbeda dari kelompok sosial yang lain,

dapat kategorikan sebagai Suku Bangsa.

Sementara itu, Kelompok etnik adalah suatu kelompok dari orang-

orang yang mempunyai ciri-ciri pada agamanya, nenek moyangnya,

sistem adat-istiadatnya, atau pun kebudayaannya, (Dahlan, 2001:154).

Pendapat lain tentang Kelompok etnik dikatakan oleh Narooll

(1964), bahwa umumnya kelompok etnik dikenal sebagai populasi yang:

1. Secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan

2. Mempunyai nilai-nilai budaya yang sama, dan sadar akan

Rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya.

3. Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri

4. Menentukkan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh

Kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok

populasi lain, (Barth, 1988:11).

9
Namun, demi kepentingan konsistensi penggunaan istilah

dalam buku ajar ini, penulis memilih menggunakan istilah Suku

Bangsa2.

2.6. Konsep Budaya

Budaya adalah salah satu unsur dari etnografi. Oleh sebab itu

pemahaman akan konsep budaya dipandang perlu untuk dijelaskan. Apa

itu budaya ? pertanyaan ini perlu untuk dijawab, mengingat fokus kajian

etnografi adalah budaya. Bagaimana seseorang bisa mengetahui budaya,

bisa mendeskripsikan sebuah produk budaya, tanpa memahami apa itu

budaya, mustahil namanya. Oleh sebab itu, akan di jelaskan asal-usul

istilah budaya serta beberapa definisi kebudayaan yang di kemukakan

oleh sejumlah ahli antropologi.

Istilah Kebudayaan atau culture dalam bahasa Inggris, berasal dari

kata kerja dalam bahasa latin colere yang berarti bercocok tanam

(cultivation); dan bahkan dikalangan penulis pemeluk agama Kristen

istilah cultura juga dapat diartikan sebagai ibadah atau sembahyang

(worship). Dalam bahasa Indonesia, kata kebudayaan berasal dari bahasa

Sangsekerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari kata buddhi (budi atau

akal);dan ada kalanya juga ditafsirkan bahwa kata budaya merupakan

perkembangan dari kata majemuk ‘budi-daya’, yang berarti daya dari

budi, yaitu berupa cipta, karsa, dan rasa.

2
Bapak Antropologi Indonesia Prof.Dr.Koentjaraningrat, juga senang menggunakan istilah Suku Bangsa dengan
mengatakan bahwa:Sebaiknya kita menggunakan istilah Suku Bangsa saja, karena sifat kesatuan dari suatu suku bangsa
bukan kelompok melainkan golongan (2005:166).

10
Berdasarkan sejarah asal-usul istilah kebudayaan tersebut, maka

sejumlah antropolog mendefinisikan budaya menurut versi masing-

masing.

Menurut Edward Burnett Tylor (1871), bahwa kebudayaan adalah

keseluruhan yang kompleks meliputi pengetahuan, kepercanyaan,

kesenian, hukum, moral, adat dan berbagai kemampuan serta kebiasaan

yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat, (Poerwanto

2008:52).

Menurut Prof.Dr.Alo Liliweri, kebudayaan diartikan sebagai

pandangan hidup dari sebuah komonitas atau kelompok, (Liliweri

2009:108-109).

Menurut Prof. Dr. Koentjaraningrat, kebudayaan adalah

keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam

kehidupan masyarakat yang di jadikan milik diri manusia dengan belajar,

(2009:144).

Menurut Rene Char, penyair dan penulis kenamaan dari Perancis,

bahkan menyatakan bahwa kebudayaan adalah “Warisan kita yang di

turunkan tanpa surat wasiat”, (notre heritage n’est precede d’aucun

testament), (Sutrisno dkk 2005:19).

Menurut Wahlstrom (1992), Kebudayaan juga dapat di artikan

sebagai pengalihan atau sosialisasi perilaku, kepercanyaan, seni, institusi,

dan semua karya intelektual dan karya lain dalam suatu masyarakat, (di

kutip dari Liliweri 2009:108).

11
Menurut salah satu ahli antropologi Edward T.Hall (1959), bahwa

kebudayaan adalah komunikasi dan komunikasi adalah kebudayaan,

(Liliweri, 2009:109).

Menurut Iris Varner dan Linda Beamer, dalam inter-cultural

Communication in the Global Workplace, mengartikan kebudayaan

sebagai pandangan yang koheren tentang sesuatu yang dipelajari, yang di

bagi, atau di pertukarkan oleh sekelompok orang. Pandangan itu berisi

apa yang mendasari kehidupan, apa yang menjadi derajat kepentingan,

tentang sikap mereka yang tepat terhadap sesuatu, gambaran suatu

perilaku yang harus diterima oleh sesama atau berkaitan dengan orang

lain, (di kutip dari Liliweri 2009:8).

Menurut Larry A.Samovar dan Richard E.Porter mengungkapkan

bahwa, kebudayaan dapat berarti simpanan akumulatif dari pengetahuan,

pengalaman, kepercanyaan, nilai, sikap, makna, hirarki agama, pilihan

waktu, perasaan, relasi ruang, konsep yang luas, dan obyek material atau

kepemilikan yang dimiliki dan dipertahankan oleh sekelompok orang atau

suatu generasi, (di kutip dari Liliweri 2009:9).

Menurut Levo-Henriksson (1994), kebudayaan itu meliputi semua

aspek kehidupan kita setiap hari, terutama pandangan hidup apapun

bentuk nya baik itu mitos maupun sistem nilai dalam masyarakat, (dikutip

dari Liliweri 2009:10).

Menurut Harisson dkk (2006:xv), bahwa kebudayaan adalah nilai-

nilai, sikap, kepercanyaan, orientasi dan praduga mendasar yang lazim di

antara orang-orang dalam suatu masyarakat.

12
Menurut Clifford Geertz (1992:tanpa nomor halaman), dalam

bukunya Tafsir Kebudayaan, mengatakan bahwa kebudayaan adalah

anyaman makna-makna, dan manusia adalah binatang yang terperangkap

dalam jerat-jerat makna itu, karena itulah kebudayaan bersifat semiotik

dan kontekstual.

Menurut Marvin Harris (1968:16), bahwa “konsep kebudayaan di

tampakkan dalam berbagai pola tingkah laku yang dikaitkan dengan

kelompok-kelompok masyarakat tertentu, seperti ‘adat’ (custom), atau

‘cara hidup’ “masyarakat”, (dikutip dari Spradley 2007:5).

Menurut Ashley Montagu kebudayaan mencerminkan tanggapan

manusia terhadap kebutuhan dasar hidupnya. Lebih jauh Ia mengatakan

bahwa manusia berbeda dengan binatang bukan saja dalam banyaknya

kebutuhan, namun juga dalam cara memenuhi kebutuhan tersebut,

(Sibarani, 2004:1).

Menurut Mavies dan John Biesanz, kebudayaan merupakan alat

penyelamat (survival kit) kemanusiaan di muka bumi ini, (Sibarani,

2014:2).

Menurut Wilson (1966:51) yang dikutip dari (Sibarani, 2014:2),

mengatakan bahwa kebudayaan adalah pengetahuan yang ditransmisi dan

disebarkan secara sosial, baik bersifat eksistensial, normative maupun

simbolis yang tercermin dalam tindakan (act) dan benda-benda hasil

karya manusia (artifact).

Menurut Goodenough dengan tegas mengatakan bahwa

kebudayaan suatu masyarakat, terdiri atas segala sesuatu yang harus di

13
ketahui dan diyakini manusia agar bertindak dengan suatu cara yang dapat

di terima oleh anggota-anggota masyarakat dan agar dapat berperan sesuai

dengan peran yang diterima anggota masyarakat, (Wardhaugh, 1986:211)

dikutip dari (Sibarani, 2004:3),

Menurut Murdock mengatakan bahwa kebudayaan harus di

pelajari. Artinya, kebudayaan ditransmisi secara sosial dari bapak kepada

anak, dari orang yang lebih tua kepada orang yang lebih muda, dari sersan

pelatih kepada prajurit yang dilatih, dari pendeta kepada calon biarawan/

biarawati atau dari satu generasi kepada generasi lain, (Sibarani, 2004:4).

Menurut Kamus Sosiologi-Antropologi, kebudayaan adalah

keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang di

gunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya, dan yang

menjadi pedoman tingkah-lakunya, daerah kebudayaan, suatu daerah

kebudayaan tertentu yang memiliki ciri-ciri khas yang berbeda dengan

kebudayaan yang dianut secara umum, (Dahlan, 2001:44).

Menurut R Linton (1947), kebudayaan adalah konfigurasi tingkah

laku yang dipelajari dan hasil tingkah laku, yang unsur pembentuknya di

dukung dan diteruskan oleh anggota masyarakat tertentu, (Wiranata,

2002:95).

Menurut W.H.Kelly dan Kluckhon (1952), kebudayaan adalah

pola hidup yang tercipta dalam sejarah yang eksplisit, implisit, rasional,

irasional, dan non rasional, yang terdapat pada setiap waktu sebagai

pedoman yang potensial bagi tingkah laku manusia, (Wiranata, 2002:95).

14
Menurut Ariyono Suyono, kebudayaan adalah keseluruhan hasil

daya budhi cipta, karya dan karsa manusia yang dipergunakan untuk

memahami lingkungan dan pengalamannya agar menjadi pedoman bagi

tingkah lakunya, sesuai dengan unsur-unsur universal didalamnya,

(Wiranata, 2002:95).

Menurut Raymond Williams (1985) bahwa kebudayaan adalah

sesuatu yang biasa, (Liliweri, 2014:6). Kata dia, pergeseran penting ke

cara berpikir baru tentang simbol-simbol dimensi kehidupan kita.

Menurut Matthew Arnold (dalam, Hartley, 2002) seorang penyair,

kebudayaan berarti kontak individu atau sekelompok orang yang

mempunyai pikiran dan perkataan baik tentang dunia, (Liliweri, 2014:6).

Menurut Rogers dan Steinfaat (1999), kebudayaan didefinisikan

sebagai cara dan pola hidup yang total dari sekelompok orang (peoples)

yang berbagi perilaku, nilai-nilai, norma, dan benda-benda material,

(Liliweri, 2014:11).

Menurut Pizam (1999), menyebutkan kebudayaan sebagai

“payung” yang melindungi dan mencakup seluruh rangkaian perilaku

implisit, keyakinan bersama yang luas, tradisi, nilai-nilai, dan harapan

yang menjadi ciri khas suatu kelompok masyarakat tertentu, (Liliweri,

2014:11).

Menurut Hoebel (2010), menggambarkan kebudayaan sebagai

sebuah sistem terpadu dari pola-pola perilaku yang dipelajari, yang

sekaligus menjadi ciri khas mereka sebagai anggota dari suatu

15
masyarakat, dan bukan sebagai hasil warisan biologis, (Liliweri,

2014:11).

Menurut Anna Katrina Davey, kebudayaan itu ibarat filter atau

lensa melalui mana kita melihat orang lain, kebudayaan yang

mempengaruhi cara kita melihat mereka dan menciptakan berbagai

perspektif, (Liliweri, 2014:11).

Menurut A.R.Radcliffe-Brown (1881-1955), kebudayaan adalah

seperangkat peraturan atau norma yang dmiliki bersama oleh para

anggota masyarakat, yang kalau dilaksanakan oleh para anggotanya,

melahirkan perilaku yang oleh para anggotanya di pandang layak dan

dapat diterima, (Haviland, 1985:333).

Menurut Robert H.Lowie mendefinisikan kebudayaan adalah

penjumlahan total apa yang dicapai oleh individu dari masyarakatnya,

keyakinan-keyakinan, adat-istiadat, norma-norma artistic, kebiasaan

makan, dan ukir-ukiran yang dimilikinya, sebagai warisan masa lampau

yang disampaikan melalui pendidikan formal atau tidak formal,

(Pujileksono, 2006:15).

Menurut Philip Kottak (1987:36), mendefinisikan kebudayaan

sebagai keyakinan dan perilaku adat-istiadat yang diperoleh manusia

sebagai anggota masyarakat, (Pujileksono,2006:15).

Menurut Gudiknst dan Kim (1992) mendefiniskan kebudayaan

sebagai sistem pengetahuan yang dipertukarkan oleh sejumlah orang

dalam sebuah kelompok yang besar, (Pujileksono, 2006:16).

16
Menurut Adler (1997:15) yang mengajukan sintensis kebudayaan

sebenarnya segala sesuatu yang dimiliki bersama oleh seluruh atau

sebagian anggota kelompok sosial, (Pujileksono, 2006:16).

Menurut Ki Hadjar Dewantara, kebudayaan adalah buah budi

manusia hasil perjuangan terhadap alam dan zaman (Kodrat dan

masyarakat), untuk mengatasi berbagai rintangan dalam penghidupannya,

guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat

tertib dan damai, (Mahjunir, 1967:53).

Menurut Malinowski kebudayaan merupakan kesatuan

pengorganisasian dari dua aspek fundamental, yaitu tubuh artifak dan

system adat-istiadat, (Liliweri, 2011:110).

Menurut Frans Boaz, mengatakan bahwa kebudayaan adalah

gabungan dari seluruh manifestasi kebiasaan sosial dari suatu masyarakat,

reaksi-reaksi individual atas pengaruh dari kebiasaan kelompok dimana

manusia itu hidup, dan produksi dari aktivitas manusia yang ditentukan

oleh kebiasaan mereka, (Liliweri, 2011:111).

Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan

pengertian nilai sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan

struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan

intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat,

(Sulasman, dkk, 2013:18).

Menurut Dawson dalam buku Age of The Gods mengatakan bahwa

kebudayaan adalah cara hidup bersama (Culture is common way of life),

(Sulasman dkk, 2013:18).

17
Menurut J.P.H. Dryvendak mengatakan bahwa kebudayaan adalah

kumpulan dari cetusan jiwa manusia sebagai yang beragam berlaku dalam

masyarakat tertentu, (Sulasman dkk, 2013:19).

Menurut Sutan Takdir Alisyahbana mengatakan bahwa

kebudayaan adalah manifestasi dari cara berpikir, (Sulasman, dkk,

2013:19).

Menurut Selo Soemarjan dan Soelaeman Soemardi mengatakan

bahwa kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat,

(Sulasman dkk, 2013:19).

Menurut Geert Hofstede (1984:21) budaya diartikan tidak sekadar

sebagai respon dari pemikiran manusia atau “programming of the mind”¸

melainkan juga sebagai jawaban atau respon dari interaksi antarmanusia

yang melibatkan pola-pola tertentu sebagai anggota kelompok dalam

merespon lingkungan tempat manusia itu berada, (Nasrulla, 2012:16).

Menurut Gillin, beranggapan bahwa kebudayaan terdiri dari

kebiasaan-kebiasaan yang terpola dan secara fungsional saling bertautan

dengan individu tertentu yang membentuk grup-grup atau kategori sosial,

tertentu, (Maran, 2000:26).

Semua definisi tentang kebudayaan yang telah dikemukakan

diatas, tentunya didasarkan atas pendekatan masing-masing antropolog

dalam memahami apa itu kebudayaan. Kebudayaan, ibarat sejumlah orang

buta yang ingin menjelaskan apa itu babi, sehingga ketika seseorang

memegang seekor babi pada bagian tulang, maka akan mendefinisikan

18
bahwa babi itu keras, ada yang memegang pada bagian perut, akan

mengatakan bahwa babi itu lembut.

Meskipun banyaknya definisi tentang budaya, namun menurut

Harsoyo (1980:66) dikutip (Pelly, 1994:23), inti kebudayaan adalah

sebagai berikut :

1. Kebudayaan yang terdapat antara umat manusia itu sangat beraneka

ragam.

2. Kebudayaan itu didapat dan diteruskan secara sosial dengan pelajaran.

3. Kebudayaan itu terjabarkan dari komponen-komponen biologi,

komponen psikologi dan sosiologis dari eksistensi manusia.

4. Kebudayaan itu berstruktur.

5. Kebudayaan itu terbagi dalam aspek-aspek

6. Kebudayaan itu dinamis.

7. Nilai-nilai dalam kebudayaan itu relative

2.7. Unsur-Unsur Kebudayaan

Meskipun sudah dijelaskan inti dari kebudayaan, tetapi rasanya

masih teramat luas cakupannya, sehingga menimbulkan pertanyaan apa

sebenarnya isi/unsur-unsur dari kebudayaan ? Menurut salah satu

Antropolog yang disebut sebagai Bapak Antropologi Indonesia Prof.Dr.

Koentjaraningrat, bahwa ada tujuh unsur-unsur budaya didunia, antara

lain :

19
1. Bahasa.

2. Sistem Pengetahuan.

3. Organisasi Sosial.

4. Sistem peralatan hidup dan teknologi.

5. Sistem Mata Pencaharian Hidup.

6. Sistem Religi.

7. Kesenian.

Ketujuh unsur budaya diatas, bersifat universal. Artinya unsur-

unsur tersebut terdapat diseluruh bangsa yang ada di belahan dunia.

Namun demikian, jika di urutkan unsur-unsur budaya berdasarkan tingkat

kesukaran terjadinya perubahan pada aspek-aspek kebudayaan suatu

masyarakat, maka urutannya sebagai berikut :

1. Sistem Religi dan Upacara Keagamaan.

2. Sistem dan Organisasi Kemasyarakatan.

3. Sistem Pengetahuan.

4. Bahasa.

5. Kesenian

6. Sistem Mata Pencaharian Hidup.

7. Sistem Teknologi dan Peralatan,(Pelly dkk 1994:24).

20
Memang ketujuh unsur tersebut bersifat universal, yang berbeda

adalah perwujudannya, sesuai dengan produk kebudayaan yang di

kandung suatu masyarakat tertentu dalam lokalitas tertentu. Perbedaan-

perbedaan pada level perwujudannya inilah yang membentuk identitas

budaya yang khas dari suatu masyarakat.

Meskipun terdapat identitas budaya, namun setiap kebudayaan

mempunyai sifat hakikat yang berlaku umum bagi semua kebudayaan

dimanapun berada, yaitu :

1. Kebudayaan terwujud dan tersalurkan dari peri kelakuan manusia.

2. Kebudayaan telah ada terlebih dahulu dari pada lahirnya suatu generasi

tertentu, dan tidak akan mati dengan habisnya usia generasi yang

bersangkutan.

3. Kebudayaan diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam tingkah

lakunya.

4. Kebudayaan mencakup aturan-aturan yang berisikan kewajiban-

kewajiban, tindakan-tindakan yang diterima dan ditolak, tindakan-

tindakan yang dilarang dan tindakan-tindakan yang diijinkan,

(Soekanto 1980:177), (yang dikutip dari Pelly 1994:25).

2.8. Tiga Wujud Kebudayaan

Dalam bukunya Pengantar Ilmu Antropologi edisi revisi

(2009:150), Prof. Dr. Koentjaraningrat, sependapat dengan seorang ahli

sosiologi, Talcott Parsons bersama dengan seorang ahli antropologi

A.L.Kroeber menganjurkan untuk membedakan wujud kebudayaan

sebagai suatu sistem dari ide dan konsep dari wujud kebudayaan sebagai

21
suatu rangkaian tindakan dan aktivitas manusia yang berpola. Prof.Dr.

Koentjaraningrat menggolongkan tiga wujud kebudayaan, yaitu:

1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai,

norma, peraturan dan sebagainya.

2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan

berpola dari manusia dalam masyarakat.

3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia,

(Koentjaraningrat 2009:150).

Wujud pertama adalah wujud ideal dari kebudayaan. Sifatnya

abstrak, tidak dapat diraba atau difoto. Lokasinya ada didalam kepala atau

dengan perkataan lain, dalam alam pikiran warga masyarakat tempat

kebudayaan bersangkutan hidup. Berfungsi sebagai mengatur,

mengendalikan dan memberi arah pada tingkah laku manusia dalam

masyarakat. Para ahli antropologi dan sosiologi menyebut sistem ini

sistem budaya atau Cultural System. Kebudayaan ideal disebut, yaitu adat

atau adat-istiadat untuk bentuk jamaknya.

Wujud kedua dari kebudayaan disebut sistem sosial atau social

system. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang

berinteraksi, berhubungan, dan bergaul satu sama lain dari detik ke detik,

dari hari ke hari, dan dari tahun ke tahun, selalu menurut pola-pola

tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Wujud kebudayaan ini

sudah sampai pada tingkat kelakuan sehingga bisa diobservasi, difoto dan

di dokumentasikan.

22
Wujud ketiga dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik. Wujud

kebudayaan ini berupa benda-benda atau hal-hal yang bisa diraba, dilihat

dan difoto melalui panca indera, seperti pabrik, komputer, candi, kain

batik, atau kancing baju.

2.9. Tujuan Kebudayaan

Setelah membaca dan memahami konsep tentang budaya diatas,

lalu kita bertanya, apakah tujuan kebudayaan. Menurut Dood (1998) yang

di kutip dari (Liliweri, 2014:19), kebudayaan bertujuan :

1) Mengajarkan bagaimana cara kita berpikir dan melakukan hal-hal

untuk mengatur dunia.

2) Menciptakan keuntungan bersama dan mengidentifikasikan keunikan

dari sekelompok orang.

3) Memperkuat nilai-nilai, kebudayaan membantu kita memutuskan apa

yang tepat, apa yang kita inginkan dan yang kita butuhkan, apa yang

patut kita terima dan yang harus kita tolak.

4) Mengajarkan kita cara-cara membangun interaksi dan relasi serta

komunikasi dengan orang lain, serta pelbagai aspek yang perlu

diperhatikan untuk membentuk dan memelihara komunikasi tersebut.

5) Menjelaskan bagaimana sebuah kelompok menyaring informasi

tentang budaya atau kebiasaan hidup;kebudayaan juga mengajarkan

dan mendorong gaya komunikasi kita;kebudayaan mempunyai

kekuatan untuk membentuk persepsi, mengembangkan perasaan,

menggambarkan diri dan keberadaan kita dan orang lain, bahkan

membentuk stereotip kita terhadap orang lain disekitar kita.

23
Sementara itu, menurut Herbig (1998) dikutip dari (Liliweri,

2014:19-20 ), tujuan kebudayaan antara lain :

1) Menyediakan sarana untuk memuaskan kebutuhan pribadi,

kelompok, maupun kebutuhan sosial, mulai dari kebutuhan fisiologis,

sosiologis hingga ke kebutuhan psikologis.

2) Memungkinkan kita sebagai manusia dan anggota masyarakat untuk

berkomunikasi menggunakan system verbal dan nonverbal sebagai

wujud perilaku komunikasi yang ekspresif secara tepat.

3) Sebagai alat bagi setiap generasi baru untuk memperoleh kapasitas

tertentu sehingga mereka dapat menjembatani jarak sosial dan

psikologis yang memisahkan satu kehidupan dengan kehidupan yang

lain.

4) Mengidentifikasikan keunikan-keunikan dari unit sosial tertentu,

termasuk keunikan nilai-nilai dan keyakinan. Para anggota dari

sebuah unit sosial selalu berbagi pemikiran budaya berupa

pengalaman-pengalaman yang sama. Ingatlah bahwa norma-norma

budaya bersama, ternyata mampu memberikan kepada anggota rasa

identitas bersama, (Leavitt dan Bahrami, dalam Herbig 1988) dikutip

dari (Liliweri, 2014:19-20)

5) Membantu kita membangun cara berperilkau standar kinerja, dan

cara menangani hubungan antarpersonal, juga hubungan dengan

lingkungan disekitarnya sehingga kita dapat mengurangi situasi

ketidakpastian, meningkatkan prediktabilitas, dengan demikian dapat

meningkatkan kelangsungan hidup dan pertumbuhan diantara setiap

anggota unit sosial khususnya maupun masyarakat pada umumnya.

24
6) Menunjukkan cara bagaimana setiap orang dan sekelompok orang

seharusnya menjalani kehidupan. Kebudayaan mempengaruhi

perilaku dan menentukan bagaimana seharusnya seseorang dan

sekelompok orang berperilaku bagaimana harus menghargai orang

lain, juga mencegah perilaku yang dianggap berbahaya, atau

memperingatkan kita untuk tidak harus berkecil hati.

7) Kebudayaan menentukan ide dan menetapkan aturan bahwa

mayoritas masyarakat mematuhi sebuah aturan. “Kebudayaan

menciptakan kode hirarki untuk mengatur interaksi manusia yang

menawarkan ketertiban, arahan dan bimbingan”

Menurut Jandt (1998), yang dikutip dari (Liliweri, 2014:21),

kebudayaan bertujuan :

1) Kebudayaan memampukan kita untuk membuat keputusan lebih muda

terhadap setiap masalah yang kita hadapi. Aturan dan norma-norma

budaya membantu kita untuk mencapai harmoni dalam masyarakat.

Tanpa kebudayaan maka masyarakat kita akan berada dalam

kekacauan.

2) Membantu kita untuk mendefinisikan siapakah orang lain, ini terjadi

karena kebudayaan memberikan kepada kita semacam kesadaran

untuk mengenal kebudayaan kita sendiri. Pada umumnya orang

menjadi lebih sadar ketika mereka “terkena pengaruh” budaya asing

yang membuat dia merasa tidak nyaman didalam kebudayaan tersebut.

Ketika menghadapi situasi semacam ini, orang menjadi sadar akan

budaya dia sendiri setelah dia melihat betapa perbedaan kebudayaan

dia dengan kebudayaan orang lain.

25
2.10. Fungsi Kebudayaan

Antropolog pertama yang memperkenalkan istilah “kebudayaan”,

E.B. Tylor, meringkas fungsi kebudayaan bagi individu dan bagi

kelompok.

Fungsi Kebudayaan Bagi Individu, yaitu :

1) Kebudayaan membuat manusia sebagai individu perindividu

berubah dari sekedar “hewan sosial” menjadi manusia dengan

kepribadian sesungguhnya.

2) Kebudayaan memberikan solusi bagi individu ketika dia

menghadapi situasi yang sederhana sampai ke situasi yang sulit

sekalipun.

3) Kebudayaan membantu individu untuk memberikan interpretasi

berdasarkan warisan/tradisi yang dia terima, termasuk

berdasarakan mitos sekalipun

4) Kebudayaan membentuk kepribadian individu, tidak ada

seseorangpun dapat mengembangkan kualitas dirinya tanpa

lingkungan kebudayaan

Fungsi Kebudayaan Bagi Kelompok, yaitu :

1) Kebudayaan membuat hubungan sosial antara personal menjadi

utuh. Kebudayaan tidak hanya memenuhi fungsi yang dikehendaki

individu tetapi fungsi bagi kelompok. Solidaritas kelompok

bertumpuh pada fondasi kebudayaan.

2) Kebudayaan telah memberikan visi baru bagi individu untuk

bekerjasama antar personal. Kebudayaan mengajarkan setiap

26
individu untuk menganggap dirinya sebagai bagian dari

keseluruhan yang lebih besar. Dengan konsep ini lahirlah

kesadaran akan keluarga, komunitas suku bangsa, bangsa dan

negara.

3) Kebudayaan menciptakan kebutuhan-kebutuhan baru, kebutuhan

tersebut dapat lahir dari drive sebagai pendorong, terjadinya

perubahan kelompok, (Ajay Bhatt, 2012) dikutip dari (Liliweri,

2014:27).

27
BAB III
PERSEBARAN SUKU BANGSA DI PROPINSI PAPUA BARAT

3.1. Deskripsi

Pada Bab ini, penulis akan membahas persebaran suku

bangsa Papua di wilayah administrasi Pemerintahan Daerah Propinsi

Papua Barat. Di wilayah Propinsi Papua Barat, suku bangsa Papua

tersebar pada 12 kabupaten dan 1 Kota, yaitu : Kabupaten Manokwari,

Kabupaten Manokwari Selatan, Kabupaten Pegunungan Arfak,

Kabupaten Teluk Bintuni, Kabupaten Teluk Wondama, Kabupaten

Tambrauw, Kabupaten Sorong, Kota Sorong, Kabupaten Sorong

Selatan, Kabupaten Maybrat, Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Fak-

Fak, dan Kabupaten Kaimana. Apa saja nama suku bangsa-suku

bangsa yang tersebar di 12 Kabupaten dan 1 Kota tersebut, merupakan

inti pembahasan pada bab ini.

3.2. Tujuan Instruksional Khusus

Setelah mempelajari materi pada bab ini, mahasiswa/wi

Jurusan Antropologi Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Papua di

harapkan mampu memahami :

a. Nama dan jumlah Suku Bangsa di Propinsi Papua Barat

b. Pola Persebaran Suku Bangsa di Wilayah Propinsi Papua Barat

yang meliputi 12 kabupaten dan 1 Kota.

28
3.3. Nama Suku Bangsa Di Propinsi Papua Barat

Hingga saat ini, belum ada data yang pasti tentang berapa

jumlah suku bangsa yang tersebar pada wilayah Propinsi Papua Barat,

meliputi 12 Kabupaten dan 1 Kota.

Sebagai gambaran awal, penulis akan memberikan

beberapa informasi tentang sejumlah suku bangsa yang tersebar dalam

wilayah Propinsi Papua Barat, tepatnya di wilayah Pemerintahan 12

Kabupaten dan 1 kota. Informasi ini didasarkan pada hasil penelitian

penulis, maupun hasil kajian berbagai pihak lain yang di

dokumentasikan dalam wujud buku, jurnal, laporan Pemerintah, dan

Laporan Koorporasi.

Wilayah Propinsi Papua Barat, kini dihuni oleh 55 suku

bangsa3, yaitu:Meyah, Hatam, Moule, Sough, Moskona, Kuri,

Wamesa, Irarutu, Sebyar, Sumuri, Sowiar, Warumba, Raraibo,

Mnupsin, Moru, Roon, Waruri, Mairasi, Miere, Wondama, Mpur,

Irires, Miyah, Abun, Biak Karon, Moi, Emeyode, Bira, Yaban Nerigo,

Kaiso, Saga, Isogo, Wawagege (Konda), Ayamaru, Ayfat, Aytiyo,

Ambel Waren, Biak Betew, Biak Wardo, Biak Usba, Biak Kafdaron,

Biak Numfor, Batanta, Tepin, Maya, Matbat Misool, Iha, Mbaham

Mata, Kuri, Irarutu, Oburauw, Madewana, Mairasi, Koiwai, Miere,

Napiti.

3
Ini sifatnya data sementara. Sumber data ini penulis peroleh dari hasil penelitian penulis maupun kajian literature yang
di lakukan oleh penulis. Masih banyak suku bangsa yang belum terdata, dan ini merupakan tugas yang wajib
diselesaikan.

29
3.4. Pola Persebaran Suku Bangsa Papua Di Propinsi Papua Barat

Manusia Papua yang terintegrasi kedalam suku bangsa,

semula tersebar dalam satu wilayah Pemerintahan Daerah Propinsi

bernama Propinsi Papua. Namun, setelah Pemekaran Propinsi Papua

menjadi dua Propinsi, yaitu:Propinsi Papua dan Propinsi Papua Barat,

maka saat ini suku bangsa Papua tersebar dalam dua wilayah

Pemerintahan, yaitu:Propinsi Papua dan Propinsi Papua Barat. Demi

kepentingan buku ajar ini pokok fokus pembahasan pada persebaran

suku bangsa Papua di Propinsi Papua Barat.

Tabel.3.1 .Pola Persebaran Suku Bangsa Di Propinsi


Papua Barat Berdasarkan Kabupaten/Kota

NO KABUPATEN/KOTA SUKU BANGSA


1 Manokwari Meyah, Hatam, Moule, Sough
2 Manokwari Selatan Hatam, Moule
3 Pegunungan Arfak Meyah, Hatam, Moule, Sough
4 Teluk Bintuni Sough, Moskona, Kuri, Wamesa, Irarutu, Sebyar,
Sumuri
5 Teluk Wondama Sough, Wamesa, Sowiar, Warumba, Raraibo,
Mnupsin, Moru, Roon, Waruri, Mairasi, Miere,
Wondama
6 Tambrauw Mpur, Irires, Miyah, Abun, Biak Karon
7 Sorong Mooi
8 Kota Sorong Mooi
9 Sorong Selatan Emeyode, Bira, Yaban Nerigo, Kaiso, Saga, Isogo,
Wawagege (Konda)
10 Maybrat Ayamaru, Ayfat, Aytiyo
11 Raja Ampat Ambel Waren, Biak Betew, Biak Wardo, Biak
Usba, Biak Kafdaron, Biak Numfor, Batanta,
Tepin, Maya, Matbat Misool.
12 Fak-Fak Iha, Mbaham Mata
13 Kaimana Kuri, Irarutu, Oburauw, Madewana, Mairasi,
Koiwai, Miere, Napiti
Sumber : Diolah Dari Berbagai Sumber

30
BAB IV
BEBERAPA ETNOGRAFI DI PROPINSI PAPUA BARAT

4.1. Deskripsi

Bab ini akan membahas tentang 8 Etnografi di wilayah Propinsi

Papua Barat, yaitu:Etnografi Abun di Kabupaten Tambrauw, Etnografi

Emeyode di Kabupaten Sorong Selatan, Etnografi Sumuri Di Kabupaten

Teluk Bintuni, Etnografi Sebyar di Kabupaten Teluk Bintuni, Etnografi

Sough di Kabupaten Teluk Wondama, Etnografi Moi di Kabupaten

Sorong, Etnografi Wamesa di Kabupaten Teluk Wondama, dan Etnografi

Mairasi di Kabupaten Kaimana.

Kerangka etnografi yang digunakan oleh penulis untuk

mendeskripsikan 8 Etnografi di Papua Barat, terdiri dari 2 unsur utama,

yaitu:Unsur pertama, Sejarah Suku Bangsa yang didalamnya di

deskripsikan tentang nama suku Bangsa, arti suku bangsa, Klan atau

marga, Mitologi Suku bangsa, dan lokasi penyebaran suku bangsa. Unsur

kedua, Budaya Suku Bangsa yang di dalamnya dideskripsikan tentang

bahasa, Sistem Pengetahuan Tradisional, Organisasi Sosial dan

Kekerabatan, Mata Pencaharian, Sistem Teknologi dan Peralatan Hidup,

Religi, Kesenian.

Meskipun kerangka etnografi ini yang digunakan, tetapi penulis

menyesuaikan dengan ketersediaan data. Artinya, ada kerangka etnografi

diatas yang lengkap digunakan penulis karena datanya lengkap, sementara

31
beberapa etnografi yang ditulis tak sesuai kerangka etnografi diatas,

karena datanya tidak tersedia.

Namun, yang terpenting 8 etnografi Papua Barat yang akan di

bahas dalam bab ini, kiranya memberikan semacam gambaran/laporan/

deskripsi suku bangsa dan budaya awal, untuk memahami Etnografi

Papua Barat.

4.2. Tujuan Instruksional Khusus

Setelah mempelajari materi pada bab ini, mahasiswa/wi Jurusan

Antropologi Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Papua di harapkan

mampu memahami :

a. Beberapa Etnografi di Propisni Papua Barat yang tersebar di wilayah

Kabupaten/Kota, Distrik, dan Kampung.

4.3. Suku Bangsa Abun di Kabupaten Tambrauw

a. Sejarah Suku Bangsa Abun

Abun, adalah nama salah satu suku bangsa yang di

kategorikan sebagai salah satu suku bangsa asli di Kabupaten

Tambrauw.

Kata Abun terdiri dari dua kata, yaitu a yang berarti

bahasa, serta bun berarti suku (Ronsumbre, 2014:125). Jadi, Abun

berarti suku bangsa yang memiliki bahasa, yang di percaya

sebagai bahasa Allah.

32
Tentang suku bangsa Abun, penulis bertanya dari mana

asal usul suku bangsa Abun ? Untuk melacak asal usul suku

bangsa Abun, salah satu cara yang di lakukan adalah melalui

penggalian mitos, cerita rakyat atau dongeng. Setiap suku, geret

yang ada mempunyai mitos yang berbeda. Namun demikian,

untuk mendapatkan mitos, cerita rakyat, atau dogeng di kalangan

suku Abun tidak mudah karena kebanyakan mereka mengatakan

bahwa sudah lupa dengan mitos, orang tua tidak pernah cerita.

Bahkan mereka mengatakan bahwa tanya orang tua boleh,

merekalah yang lebih memahami.

Menurut informasi dari salah seorang suku bangsa Abun,

terindikasi bahwa mitos, cerita rakyat atau dogeng hanya diketahui

oleh orang-orang tertentu saja, khususnya laki-laki yang sudah

memasuki inisiasi rumah adat atau telah menempuh pendidikan di

rumah adat4. Bahkan, sekembali dari pendidikan di rumah adat,

tidak bisa di ceritakan kepada mereka yang belum pernah

memasuki dan mengikuti pendidikan di rumah adat. Kalaupun

mereka ceritakan, hanyalah garis-garis besarnya saja. Cerita “asli”

tidak bisa diceritakan keluar, atau dengan pengataan lain pemali

untuk diceritakan kepada siapapun. Hal ini terkait dengan sistem

kepercayaan tradisional. Di percaya suku Abangsa bun bahwa,

jika di ceritakan, maka “dunia goyang”. Akibatnya akan terjadi

peperangan antar suku bangsa, antar geret, bahkan akan terjadi

angin ribut.

4
Syarat mengikuti pendidikan di rumah adat adalah berjenis kelamin laki-laki. Setiap geret mempunyai perwakilan
untuk memasuki dan menerima pendidikan di rumah adat. Secara kongkrit, rumah adat tak diketahui keberadaannya
oleh siapapun juga, selain yang telah mengikuti pendidikan di rumah adat.

33
Namun, penulis masih beruntung mendapatkan sebuah

cerita mitos, dari seorang informan suku bangsa abun tentang asal

usul suku bangsa Abun, kisahnya sebagai berikut :

Orang Abun percaya mereka berasal dari Kasuari


(Damsor). Dikisahkan bahwa, di pegunungan Tambrauw
hiduplah anak seorang diri dan mamanya. Pada suatu
ketika, entah apa sebabnya, anak tersebut membunuh
mamanya, yaitu kasuari. Awalnya, sang anak membangun
rumah kemudian sang anak membunuh mamanya yaitu
kasuari. Lalu, potongan daging kasuari dibagi sesuai
jumlah kamar yaitu 7. Satu kamar diletakkan sepenggal
daging kasuari. Dari ke 7 kamar tersebut, satu kamar
ditempati oleh sang anak, yang letaknya tepat pada tiang
raja sebagai landasan fondasi. Pada suatu hari, anak
tersebut pergi selama tujuh hari, tanpa seorangpun
mengetahui kemana sang anak pergi. Sekembalinya, sang
anak melihat rumah ramai seperti perkotaan. Dilihat
berbagai suku bangsa mendiami kamar-kamar tersebut.
Suku Abun menempati satu kamar. Rupanya, daging-
danging yang diletakkan dimasing-masing kamar, sudah
berubah menjadi manusia. Dari peristiwa inilah,
terjadilah berbagai suku bangsa dan berbagai bahasa
yang ada didunia. Suku bangsa yang lain meninggalkan
kamar, lalu mengembara ke seluruh dunia, sementara
sang anak tetap bertahan menempati kamar, dan mulai
berbahasa Abun lalu memberikan nama atau geret suku
abun dengan awalan Y.

Suku Bangsa Abun, adalah integrasi dari 12 klen atau

dalam istilah lokal disebut geret-geret. 12 klen atau geret yang di

kategorikan sebagai suku bangsa Abun adalah geret Yekwam,

Yenjau, Yeblo, Yesnath, Yenbra, Yenggrem, Yesomkor, Yerin,

Yeror, Yewen, Yemam, Yesian.

Wilayah persebaran Suku Bangsa Abun di Kabupaten

Tambrauw, yaitu:Distrik Sausapor yang mencakup kampung

Sausapor, kampung Jokte, Kampung Emaus, dan Kampung

Uigwem.
34
Foto 1 : Suku Bangsa Abun di kampung Jokte Distrik Sausapor
Kabupaten Tambrauw, (Sumber:Foto Adolof Ronsumbre, 2012)

b. Budaya Suku Bangsa Abun

Dalam konteks budaya, suku bangsa Abun memiliki

budaya yang merupakan hasil karya dan milik suku bangsa abun.

Bebarapa budaya suku bangsa abun, yaitu :

Bahasa, Suku bangsa Abun dalam berkomunikasi diantara

sesama suku bangsa, mereka menggunakan bahasa tradisional

yang disebut dengan bahasa Abun. Bahasa Abun tersebar dari

pesisir pantai hingga wilayah pedalaman (pegunungan). Logat

atau dialeg bahasa Abun dibedakan berdasarkan lokasi ekologi

suku bangsa Abun. Suku bangsa abun yang wilayah pemukiman di

pesisir pantai menggunakan logat/dialeg yang disebut Abun Tat.

Dialeg/logat Abun Tat mempunyai dua variasi yaitu:Ta Sukur dan

Tat Banti. Sementara suku bangsa Abun yang memiliki wilayah

pemukiman di wilayah pegunungan menggunakan logat/dialeg

35
abun Ji. Logat/dialeg Abun Ji terbagi menjadi Ji Fef, Ji Sujak, dan

Ji Syubun5.

Sistem Pengetahuan, Suku bangsa abun mewarisi sistem

pengetahuan tradisional tentang tentang konsep kepemilikan tanah

dari leluhur. Dalam konteks tentang kepemilikan tanah, suku

bangsa abun mengenal 3 konsep, yaitu:Pertama, tanah adat,

adalah warisan tanah yang pertama kali dihuni oleh leluhur suku

bangsa Abun, sebelum wilayah tanah tersebut berpenghuni dan

bernama. Artinya tanah tersebut, milik suku bangsa Abun, karena

leluhur suku bangsa abun yang pertama kali datang dan tinggal

serta memberi nama di wilayah tersebut. Kedua, tanah geret,

adalah tanah yang dimiliki oleh 12 marga Suku bangsa Abun.

Ketiga, tanah Olahan, adalah tanah yang ditumbuhi berbagai jenis

tumbuhan, dan habitat berbagai jenis hewan hutan, serta wilayah

tersebut tak dihuni suku Bangsa Abun. Tanah seperti ini, dapat di

gunakan untuk kepentingan kolektif 12 geret. Artinya, 12 geret

Suku bangsa Abun memiliki hak pakai. Bisa dipakai untuk

berburu, bisa pula digunakan untuk berkebun.

Organisasi Sosial, Suku bangsa Abun mengenal sistem

kepemimpinan tradisional. Secara tradisional suku bangsa abun

mengenal 4 sistem kepemimpinan, yaitu:Pertama, pemimpin adat

atau dalam istilah lokal disebut Yepasye. Kedua, Tokoh adat atau

5
Baca Buku Berjudul “Pemetaan Kebudayaan di Kabupaten Tambrauw”, Karya Yafet Syufi dkk, tahun 2014,
Halaman102.

36
dalam istilah lokal disebut Yengras. Ketiga, Ketua marga, dan ke

empat, Kepala Kampung6.

Syarat menjadi pemimpin tradisional adalah memiliki

pengetahuan yang komprehensif tentang adat-istiadat suku bangsa

abun, dihormati dan dituakan, serta kaya dan memiliki hak ulayat.

Calon pemimpin tradisional dipilih oleh suku bangsa Abun

dan disahkan melalui upacara ritual yang dalam istilah lokal yang

di sebut ritual Yerombur.

Fungsi pemimpin adat (Yepasye), yaitu:sebagai tokoh yang

menjalankan pengamanan kampung, konflik yang berkaitan

dengan pembangunan, konflik dengan suku bangsa pendatang.

Sementara fungsi kepala kampung, yaitu: sebagai mediator dalam

melaksanakan program pemerintah, menata kampung, serta

mengayomi dan memimpin masyarakat. Sementara fungsi Ketua

geret, yaitu:menyelesaikan konflik yang berkaitan dengan hak

ulayat dan kepemilikan tanah.

Mata Pencaharian, mata pencaharian pokok Suku bangsa

Abun adalah petani ladang. Hampir setiap pagi antara jam, 08.00-

09.00 WIT, mereka akan berkebun, dan kembali kerumah sore

harinya antara jam 16.00-17.00 WIT. Sehingga setiap pagi

kampung terasa sunyi. Yang tinggal biasanya anak-anak yang

memang ingin tinggal dirumah. Jarak antara pemukiman dengan

lokasi berkebun jauh berkisar 1-2 kilo meter. Umumnya, ditempuh

6
Baca buku Berjudul “Pemetaan Kebudayaan di Kabupaten Tambrauw, Karya Yafet SYufi, dkk. Tahun 2014.Halaman
68)

37
dengan berjalan kaki. Ketergantungan terhadap alam, membuat

Suku bangsa Abun memiliki pengetahuan lokal tentang

memelihara alam. Ungkapan orang Abun, kurang lebih

memelihara alam berarti memelihara hidup.

Namun, tersisa hal yang unik. Meskipun, lokasi

pemukiman suku bangsa abun dipesisir yang berdekatan langsung

dengan laut, katakan saja jarak antara pemukiman orang abun

dengan laut kurang lebih 50-100 meter, tetapi tak ada yang

memiliki mata pencaharian sebagai nelayan. Padahal kehidupan

telah berlangsung antar generasi. Rupanya, mata pencaharian

sebagai masyarakat petani yang terbawa dari kehidupan lama

yang berpusat dipegunungan Tambrauw masih dipelihara. Ini

mengindikasikan bahwa, tingkat adaptasi budaya terhadap mata

pencaharian baru, setelah berpindah lingkungan ekologi amat

lamban.

Kesenian, Salah satu unsur budaya yaitu kesenian yang

masih di praktikan diera modern adalah tari Salara. Tari Salara

merupakan warisan leluhur suku bangas abun. Tari Salara berkisah

tentang Suku bangsa abun yang hidup di hutan dan berubah

menjadi ular dan keluar dari wilayah gunung menuju ke wilayah

pantai. Oleh sebab itu, tarian salara membentuk formasi hewan

ular. Saat pementasan tari salara dan bernyanyi, penari perempuan

masuk pada barisan tarian dan melompat ditengah, perempuan

dapat menyanyikan dan melantunkan nyanyian badek.

38
Foto 2 : Tari Salara Suku Bangsa Abun di Kabupaten Tambrauw,
(Sumber:Dokumentasi Sanggar Tambrauw, 2017)

4.4. Suku Bangsa Emeyode di Kabupaten Sorong Selatan

a. Sejarah Suku Bangsa Emeyode

Emeyode, adalah nama salah satu Suku bangsa yang di

kategorikan sebagai salah satu suku bangsa asli di Kabupaten

Sorong Selatan. Sering pula Suku bangsa Emeyode disebut dengan

penyebutan suku Bangsa Kokoda. Akan tetapi, ketika penulis

melakukan penelitian lapangan di wilayah Suku bangsa Emeyode,

mereka lebih senang menyebut diri mereka sebagai suku bangsa

Emeyode. Secara etimologi istilah emeyode terdiri dari dua kata

Eme dan Yode. Eme artinya mari, sementara yode artinya kita

jalan. Jadi, emeyode artinya mari kita jalan. Dalam konteks

emeyode dimaknai mari jalan tetapi bukan jalan sendirian, tetapi

jalan bersama-sama.

Suku bangsa Emeyode, memiliki warisan mitologi tentang

asal-usul suku bangsa. Terdapat kurang lebih 2 versi tentang asal-

39
usul suku emeyode yang dikisahkan oleh 2 marga. Versi Pertama

berasal dari marga Biawa, dikisahkan bahwa Suku bangsa

emeyode berasal dari dusun bernama Kikeni. Kikeni adalah nama

kali yang ukurannya tergolong kecil. Versi kedua dikisahkan oleh

marga Totaragu bahwa, nenek moyang marga Totaragu bernama

Karain Totaragu Ia berasal dari gunung Komaer di Distrik Aifat.

Saat hidup di gunung Komaer, terjadilah air bah. Ia hanyut dan

terdampar di muara Mugim distrik Mugim. Lalu melanjutkan

perjalanan ke kampung Tarof. Memasuki kampung Tarof ia

bertemu dengan marga Biawa yang terlebih dahulu ada di

kampung Tarof. Marga Biawa memberi izin dengan mengatakan

mari kita sama-sama tinggal di kampung Tarof.

Klen atau Marga-marga yang dikategorikan sebagai suku

bangsa emeyode adalah:Klen atau marga Biawa, Totaragu, Ugaya,

Derago, Tayo. Kelima marga ini yang berintegrasi dan menyebut

diri mereka sebagai suku bangsa emeyode. Terkait dengan arti

suku bangsa Emeyode diatas, bahwa lima marga ini harus jalan

bersama-sama.

Nilai kebersamaan atau semacam nilai kolektifitas yang

terkandung dalam penyebutan nama suku emeyode, terbentuk

karena adanya perasaan kesamaan sejarah. Nenek moyang kelima

marga yaitu marga Biawa, Totaragu, Tayo, Ugaya, Derago, sejak

semula tinggal di wilayah tak bernama, membuka kampung dan

memberi nama kampung Tarof, sama-sama mempersiapkan aksi

perang saat merespon kedatangan Sultan Tidore, dan sama-sama

40
menerima kedatangan Sultan Tidore dalam menyebarkan misi

agama islam.

Wilayah penyebaran Suku Bangsa Emeyode di kabupaten

Sorong Selatan, yaitu:Distrik Kokoda yang meliputi kampung

Tarof, Kampung Migirito, Kampung Daubak, Kampung Topdan,

dan Kampung Negeri Besar.

Foto 3: Suku Bangsa Emeyode di Kampung Negeri Besar Distrik Kokoda


Kabupaten Sorong Selatan (Sumber:Foto Adolof Ronsumbre, 2015)

b. Budaya Suku Bangsa Emeyode

Bahasa, dalam berkomunikasi dengan sesama suku bangsa

emeyode, mereka menggunakan bahasa tradisional. Bahasa

tradisional suku bangsa emeyode adalah bahasa Kokoda.

Sementara itu, dalam berkomunikasi dengan suku bangsa

pendatang, Suku Bangsa Emeyode menggunakan bahasa

Indonesia.

Sistem Pengetahuan, Suku bangsa emeyode memiliki

pengetahuan tentang jenis kayu yang dapat dijadikan sebagai

41
bahan baku pembuatan salah satu transportasi laut tradisional,

yaitu perahu. Para leluhur mereka berinteraksi secara intensif

dengan lingkungan alam, serta dengan kemampuan berbahasa,

mereka dapat memberi nama terhadap jenis-jenis kayu di

lingkungan sekitarnya, termasuk kayu untuk membuat perahu.

Jenis-jenis kayu yang dapat dimanfaatkan untuk membuat perahu

adalah jenis kayu Ketapang, sejenis Pala hutan, kayu Minyak dan

kayu Wetoi (dalam istilah lokal). Jenis kayu ini diketahui dapat di

gunakan sebagai perahu karena sifatnya yang terapung serta tidak

begitu keras saat dikeruk. Di antara jenis kayu tadi, kayu minyak

dianggap lebih awet.

Untuk menghasilkan perahu ukuran kecil, biasanya di

kerjakan secara individual, sementara perahu ukuran “besar” di

kerjakan dengan melibatkan anggota keluarga dan kerabat (bekerja

secara kolektif). Sebagai imbalan jasa bagi para pekerja, cukup

menyiapkan makanan dan minuman bagi para pekerja. Hal ini

sebagai bentuk solidaritas sosial dalam masyarakat kampung

Nigrito.

Perahu sebagai sarana transporasi sungai sangat penting

bagi penduduk kampung Nigrito. Sebab dengan perahu dengan

mudah menjangkau dusun sagu maupun ke pantai atau ibu kota

distrik. Mengayuh, biasanya dalam posisi duduk. Umumnya laki-

laki di depan saat mengayuh perahu, sementara perempuan di

belakang, dan di tengah. Begitu pula saat berjalan ke kebun, laki-

laki di depan.

42
Foto 4: Perahu Tradisional Suku Bangsa Emeyode di Kampung
Tarof, (Sumber :Foto Musa Ayorbaba, 2015)

Mata Pencaharian, usaha manusia untuk bertahan hidup,

dilakukan dengan mengolah alam dan menghasilkan sumber

pangan yang dapat di konsumsi. Menyaksikan kondisi ekologi

kampung Tarof, maka sebagian besar penduduk mengantungkan

hidup dengan bermata pencaharian sebagai nelayan (menagkap

ikan dilaut, menangkap udang di sungai), menokok sagu, berburu,

maupun petani ladang.

Bagi nelayan, pengetahuan tentang tanda-tanda alam

merupakan modal sosial yang dimiliki para nelayan. Modal ini di

peroleh sebagai pengalaman mereka berinteraksi dengan

fenomena alam. Pengetahuan tentang cuaca misalnya, para

nelayan di kampung Tarof, memiliki pengetahuan tentang musim

angin. Musim angin timur antara bulan mei hingga bulan

desember yang memberi sinyal gelombang air laut yang tinggi

sehingga memilih tak melaut. Disaat tak melaut inilah mereka

43
membuat kebun dan berburu. Sementara, antara bulan juni sampai

september nelayan bisa melaut karena gelombang laut sudah baik.

Jika para nelayan akan melaut, teknologi yang disiapkan

antara lain perahu, dan peralatan mencari ikan dan udang. Nelayan

berangkat melaut pukul 07.00 pagi dan pulang pukul jam 15.00

sore.

Sehari, rata-rata nelayan mampu memperoleh udang 10-20

Kg. Hasil yang diperoleh sebagian dijual kepada penadah yang

berasal dari kelompok etnik Buton dengan harga perkilo

Rp.50.000,-, dan sebagian di konsumsi oleh anggota keluarga

bahkan dibagi kepada tetangga.

Sementara, usaha menokok sagu, dilakukan pada dusun

milik setiap klen. Umumnya dusun sagu terletak di sekitar

kampung, sehingga dapat di jangkau dengan berjalan kaki.

Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh satuan keluarga inti. Saat

berjalan masuk hutan sagu, laki-laki berjalan didepan, di ikuti

kaum perempuan. Menebang pohon sagu, dilakukan oleh laki-laki

karena membutuhkan fisik, sementara menokok dilakukan secara

bersama oleh laki-laki dan perempuan. Alat penokok sagu dibuat

dari kayu dan bagian ujungnya dipasang sepotong pipa yang

berfungsi sebagai alat pengikis serat.

Pada alat penokok sagu ini terlihat bagaimana kreatifitas

pembuat dalam menggabungkan atau merangkai dua unsur, yaitu

unsur lokal dan unsur budaya luar.

Alat ini dibuat untuk memproduksi serat sagu. Cara

memangkur sagu dilakukan dalam posisi berdiri. Serat sagu yang


44
dihasilkan itu agak kasar, yang selanjutnya diisi dalam noken, lalu

diangkut ke tempat ramas (waya) dekat kali (sungai).

Wadah untuk memeras sagu dibuat dari pelepah sagu

(wayi), di topang oleh dua buah tiang yang tingginya kira-kira satu

meter. Di dalam wadah tersebut dipasang kain saringan (nurita)

pertama, dan saringan akhir terbuat dari anyaman daun sagu,

diletakan di bawah tempat ramas, untuk menyaring air perasan

yang jatuh (menetes) ke wadah atau penampung akhir, yaitu

perahu kecil yang dibuat khusus untuk keperluan ini. Kadang juga

menggunakan pelepah sagu yang di sambung menjadi satu. Untuk

lebih jelasnya perhatikan gambar berikut.

Foto 5:Perempuan Suku Bangsa Emeyode, sedang menokok sagu,


(Sumber:Foto Adolof Ronsumbre, 2015)

Tepung sagu (kopia) yang telah mengendap, diisi dalam

noken atau pula dalam anyaman daun sagu yang dibuat berbentuk

drum (tumang), yang dalam istilah lokal disebut keiyate. Tepung

yang telah diawetkan ini, sebagai bahan persediaan bagi

kebutuhan keluarga, tetapi juga untuk dipasarkan ke Ibu kota

45
Kabupaten Sorong Selatan yaitu Teminabuan. Harga jual untuk

jenis tumang kecil adalah Rp.100.000,-.

Mata pencaharian lainnya adalah berburu hewan seperti

rusa, kasuari, dam kus-kus merupakan salah satu aktifitas warga

kampung. Kegiatan ini dilakukan dengan cara memasang jerat

pada tempat-tempat yang dilalui binatang, dan setiap pagi di

kontrol. Tak jarang mereka memperoleh hasil, hal ini terlihat

sewaktu di lapangan penelitian, beberapa pemuda menanduh

seeokor rusa yang terjerat. Dagingnya dimakan, tetapi juga

sebagian untuk di jual dengan harga dua Rp.20.000,- perpotong.

Foto 6 : Suku Bangsa Emeyode yang bermata pencaharian berburu,


(Sumber:Foto Adolof Ronsumbre, 2015)

Kegiatan berikut yang dilakukan untuk memenuhi

kebutuhan hidup sehari-hari adalah berkebun kecil-kecil di sekitar

kampung. Jenis tanaman yang ditanam, adalah seperti kasbi,

pisang, labu, dan jenis tanaman lainnya. Dan untuk melindunginya

dari serangan hama, biasanya dibuat pagar bambu. Keliling kebun

atau juga menggunakan jaring bekas sebagai pelindung.

46
Foto 7:Kebun Masyarakat di Kampung Tarof Distrik Kokoda Kabupaten
Sorong Selatan, (Sumber:Foto Adolof Ronsumbre, 2015)

Kegiatan tambahan lainnya, adalah beternak hewan, seperti

anjing, kambing dan sapi yang dipelihara oleh beberapa keluarga.

Khusus kambing, mereka tidak kandangkan sehingga pada siang

hari, berkeliaran mencari makan sendiri, dan juga tidur diatas

tempat duduk pada rumah adat di kampung sehingga mengotori

bangku.

Organisasi Sosial dan Sistem Kekerabatan, dalam

konteks kepemimpinan kampung, terdapat tiga institusi penting

dalam kampung yang dalam istilah masyarakat lokal disebut

sebagai satu tungku tiga batu yaitu:adat, agama, pemerintah.

Instituti adat terdiri dari tokoh-tokoh adat yang dijabat oleh lima

marga yaitu marga Biawa, Totaragu, Tayo, Ugaya, Derago. Marga

Totaragu merupakan keturunan raja dan Kepala kampung hanya di

jabat oleh lima marga tersebut secara turun-temurun. Tugas raja-

47
raja adalah sebagai pelindung masyarakat, pemilik hak petuanan,

membangi hak ulayat, serta memberikan izin dan melegalkan

program pemerintah maupun korporasi yang masuk di kampung

Tarof.

Institusi agama, terdiri dari tokoh agama mayoritas bahkan

di katakan 100% agama islam. Tokoh agama memiliki tugas

melakukan pelayanan di Mesjid, hari-hari besar keagamaan,

mendata rumah ibadah, serta menjadi Ketua panitia pada saat hari

raya natal umat Kristen di kampung Negeri Besar, Nayakore,

Topdan, Migirito.

Sementara, institusi Pemerintah yaitu Kepala Distrik,

sekretaris distrik, yang memiliki tugas mengatur masyarakat agar

program-program Pemerintah dengan tujuan menghadirkan

kesejahteraan bagi masyarakat dapat tercapai.

Selain terdapat tokoh adat, agama, dan Pemerintah, ada

pula tokoh perempuan. Tokoh perempuan di kampung Tarof

bernama Sahara Totaragu. Ia sangat dikenal dikalangan

masyarakat Tarof, karena mendirikan sebuah organisasi

perempuan yang diberi nama sesuai nama suku bangsa yaitu

organisasi emeyode. Jika terdapat masalah-masalah yang terkait

dengan perempuan seperti kekerasan dalam rumah tangga

(KDRT), pemerkosaan, bahkan konflik antar kampung,

merupakan tugas dan tanggung jawab tokoh perempuan.

Dalam konteks istilah kekerabatan, merupakan aspek

penting dalam organisasi sosial suatu masyarakat, termasuk suku

48
bangsa Emeyode. Proses interaksi yang terjadi di antara mereka,

terdapat istilah-istilah untuk menyapa ataupun menyebut setiap

kerabat yang dijumpai atau diajak berbicara. Istilah atau simbol itu

sarat makna, seperti makna peran, hak, tanggungjawab dan

kewajiban. Karena itu, penting untuk mengungkap istilah-istilah

kekerabatan sebagai salah satu metode untuk memahami struktur

sosial setempat7.

Tabel.4.1. Istilah Kekerabatan Suku Bangsa Emeyode

NO BAHASA KOKODA BAHASA INDONESAI


1 Anye Ayah dari tete
2 Anamo Ibu dari nenek
3 Atate Tete
4 Awo Nenek
5 Anye Bapak
6 Anye Mama
7 Awo Tanta
8 Anye Kakak dari Ayah
9 Anye Adik dari Ayah
10 Aye Mertua Laki-laki
11 Aye Namo Mertua perempuan
12 Apai Anak
13 Apcai Bayi
14 Apaye Ipar
15 Apaye Adik
16 Anye Kakak
17 Anano Kakak dari Ibu
18 Moye Anak Perempuan
19 Moye Anak Laki-laki
20 Nani Tao Saudara
21 Pape Om
22 Yeno Adik dari Ibu
Sumber : Catatan Lapangan Musa Ayorbaba, 2015

Sistem Kepercanyaan, Awal mula kehidupan suku bangsa

Emeyode yang masih bersifat tradisional, ada semacam sistem


7
Data ini diperoleh penulis dari Catatan penelitian lapangan Musa Ayorbaba di Kampung Tarof Distrik Kokoda
Kabupaten Sorong Selatan, tahun 2015

49
kepercanyaan tradisional tentang dunia dan penguasa dunia. Dunia

di klasifikasi menjafdi 2, yaitu: (1). Dunia nyata, yang dihuni oleh

manusia yang hanya sebagai pendatang. (2). Dunia tak nyata yang

dihuni oleh moyang-moyang suku bangsa Emeyode sebagai

pemilik alam semesta.

Relasi komunikasi antara pemilik alam dan pendatang di

lakukan melalui ritual adat yang dalam istilah lokal di sebut

Nakimuan, artinya kita duduk bicara dengan moyang. Ritual ini

mensyaratkan bahwa komunikasi kepada moyang pemilik alam

semesta, hanya bisa di lakukan oleh ketua marga sebagai symbol

pendatang. Simbol komunikasi, di lakukan melalui sirih, pinang,

dan kapur.

Warisan religi suku bangsa Emeyode masih dipraktikan

pada konteks modern. Setiap korporasi yang hendak memasuki

wilayah adat suku bangsa Emeyode, mereka akan berkata

demikian :

Kalau perusahaan mau rintis sesmik, tetapi melewati


tempat sakral, maka boleh lewat tetapi tidak boleh
merusak, nanti moyang dong marah. Boleh lewat bikin
adat. Harus panggil punya dusun, panggil moyang-moyang
dan duduk bicara, sebab kalau tidak begitu anak dorang
kena. Yang bicara adalah kepala marga dan jawaban harus
di tunggu. Yang bisa mendengar jawaban adalah dukun
kampung karena tau bahasa moyang. Secara adat dukun
dorang bisa dengar moyang punya bahasa8.

Baru pada tahun 1912, ketika penyebaran agama islam

yang dilakukan oleh Kesultanan Tidore memasuki wilayah suku

bangsa Emeyode, maka agama islam diterima oleh suku Bangsa


8
Hasil wawancara dengan salah satu informan Bapak Rajab Ugaya Kepala Kampung Tarof, pada tanggal 27 September
2015, bertempat di kampung Tarof

50
Emeyode, terutama yang bermukim di wilayah pesisir pantai.

Warisan agama islam yang hari ini kita bisa saksikan adalah suku

bangsa emeyode di kampung Tarof 100% pemeluk agama islam.

Dalam perkembangan selanjutnya, melalui guru-guru

penginjil yang berasal dari Ambon, agama Kristen protestan mulai

disebarkan. Namun, karena diwilayah pesisir kampung Tarof

sudah memeluk agam islam, maka disarankan untuk disebarkan ke

sesama suku bangsa Emeyode diwilayah darat seperti kampung

Negeri besar.

Dengan demikian, suku bangsa Emeyode secara agama

terbagi dua. Ada yang beragam islam dan ada yang beragama

Kristen. Bahkan dalam satu marga dan satu rumah, bisa terdapat 2

pemeluk agama. Fenomena seperti ini, diungkapkan suku bangsa

emeyode dengan istilah agama keluarga. Bahkan dengan yakin

mereka dapat berkata bahwa, orang emeyode bilang kalau bicara

toleransi di Indonesia, belajar di Kampung kami.

Kesenian, 2 jenis kesenian yang dikenal suku bangsa

emeyode, yaitu:tarian kasuari, lau-lau, atau maleo, serta tari

tradisional Tewadar. Pertama, tarian Kasuari, Lau-lau, dan Maleo.

Tarian ini biasanya dibawakan pada saat menjamu tamu-tamu

penting di kampung9. Alat pengiring tarian ini adalah tifa dan

terui, yaitu sejenis alat musik yang dibuat dari bambu. Busana

yang dikenakan para penari dibuat dari rumput maupun pucuk

muda daun sagu.

9
Baca Laporan Inventarisasi Seni Tari di Propinsi Papua Barat tahun 2017. Karya Dewan Kesenian Propinsi Papua Barat.

51
Kedua, tari tradisional yang dalam istilah lokal disebut

Tewadar atau tarian berburu. Tari ini merupakan tarian turun

temurun dari nenek moyang suku bangsa Kokoda yang

menceritakan tentang perburuan hewan seperti babi hutan yang

dalam istilah lokal di sebut tabai, dan Kasuari yang dalam istilah

lokal disebut doh.

Dalam istilah lokal penari tarian ini disebut Nokobado, yang

artinya jemput saya untuk goyang. Tidak ada syarat tertentu untuk

menjadi penari. Jumlah Penari 20 orang, dengan klasifikasi

berdasarkan jenis kelamin, pria berjumlah 10 orang, dan

perempuan berjumlah 10 orang. Namun jika tarian ini dipentaskan

pada pagelaran atau pertunjukan, maka jumlah penari dibatasi

dengan jumlah 10 hingga 20 penari.

Busana yang digunakan penari pria adalah cawat atau

dalam istilah lokal disebut Tobi-tobi, sementara perempuan

memakai kain rumput. Warna busana pria dan perempuan

berwarna merah. Dalam istilah lokal askesoris yang digunakan

penari disebut nimatdo, atau bulu kasuari. Taring babi atau dalam

istilah lokal disebut tabayapo. Kulit babi atau dalam istilah lokal

disebut Arawata. Kulit babi atau dalam istilah lokal disebut

Piparo atau gelang yang dipakai saat memanah.

Dalam istilah lokal alat musik yang dimainkan saat

mengiringi penari adalah terubi atau musik bambu, Mobi atau tifa,

momoga atau gong. Jumlah pemusik berjumlah 4-5 orang

tergantung musik bambu yang ada. Musik yang biasanya

mengiringi tari tersebut dalam istilah lokal disebut kogomo, yang


52
artinya sistem barter yang terjadi pada masyarakat setempat.

Gerakan dasar pada tarian berburu adalah gerakan tangan, dan

kaki cara menggerakannya adalah dengan merenggangkan tangan

melakukan gaya menarik anak panah dan melompat. Makna dari

setiap gerakan tariannya adalah ungkapan suka cita dan

kegembiraan karena memperoleh hasil. Secara tradisional tari ini

di pertunjukan pada pesta adat, secara modern sering ditampilkan

pada pagelaran dan festival.

Foto 8-9:Busana, Aksesoris, dan Alat Musik Tari Berburu Suku Bangsa Emeyode
Di Kabupaten Sorong Selatan, (Sumber:Dokumentasi Sanggar Tari Abanie,2017).

4.5. Suku Bangsa Sumuri di Kabupaten Teluk Bintuni

a. Sejarah Suku Bangsa Sumuri

Sumuri, adalah nama salah satu suku bangsa yang di

kategorikan sebagai suku bangsa asli di Kabupaten Teluk Bintuni.

Dalam bahasa lokal Sumuri artinya gelap/buta/tutup mata.

Berdasarkan legenda penduduk lokal pada jaman dahulu kala di

Sungai Mai berdiam seorang perempuan buta yang kemudian

53
disebut “Nenek Mai” karena berdiam di sungai Mai yang berada

disekitar Tanah Merah-Saengga. Informasi lain menyebutkan

“Nenek Mai” artinya adalah “nenek yang manis”. Walaupun buta,

Nenek Mai sangat sakti, untuk memenuhi kebutuhannya Nenek

Mai cukup mengatakan apa yang diinginkannya, maka seketika itu

pula yang diinginkan akan tersedia di hadapannya. Berdasarkan

cerita tutur dari tempat tersebut, datang dua orang kakak-adik

yaitu Soway dan Doway yang kemudian bertemu dengan Nenek

Mai. Muncul niat dari Soway dan Doway untuk menyembuhkan

nenek buta tersebut dengan memasukan karaka kedalam tumang

sagu. Ketika Nenek Mai mengambil sagu dari tumang tangannya

digigit karaka sehingga kaget dan langsung dapat melihat. Berasal

dari legenda nenek buta inilah kawasan ini kemudian di beri nama

Sumuri.

Setelah berhasil menyembuhkan nenek Mai, Soway dan

Doway berusaha untuk membunuh raksasa yang berdiam di

wilayah ini. Dalam legenda penduduk lokal raksasa tersebut tidur

di siang hari dan mencari makan di malam hari. Raksasa tersebut

juga suka memakan manusia khususnya laki laki. Soway dan

Doway kemudian membakar batu dan tombak hingga menyala

kemudian berangkat mencari raksasa. Ketika bertemu raksasa

yang sedang tidur Soway dan Doway langsung menombaknya

sehingga raksasa tersebut kaget dan membuka mulutnya. Seketika

itu pula Soway dan Doway melemparkan batu-batu panas ke

dalam mulut raksasa. Karena panas batu tersebut dimuntahkan

54
kembali oleh raksasa. Batu panas yang dimuntahkan oleh Raksasa

tersebut diberi nama batu Wanora dan Kumapa. Batu tersebut

kemudian menjadi batu keramat marga Soway yang saat ini berada

di dalam site LNG Tangguh. Berdasarkan cerita tutur ini pula

maka penduduk asli daratan Sumuri adalah marga/suku Soway

yang bermukim di Tanah Merah (lama) yang saat ini menjadi

lokasi LNG Tangguh.

Suku Bangsa Sumuri memiliki mitos tentang asal-usul.

Dikisahkan bahwa pada Mulanya suku bangsa Sumuri sering di

sebut suku bangsa Simuri mengacu pada nama daratan Imuri di

Kelapa Dua/Tofoi. Imuri dalam bahasa lokal artinya air panas.

Nama Imuri diambil dari cerita nenek moyang Siwana yang

memasak air dengan bambu hingga panas di sekitar dermaga

Kelapa Dua/Tofoi saat ini. Sumber lain mengatakan bahwa Simuri

adalah nama lain dari Saengga. Karena pada masa dulu Saengga

atau Simuri merupakan pusat pemukiman terbesar dan paling

sering diakses oleh pihak luar maka penduduk yang berdiam di

Saengga (Simuri) disebut sebagai Suku Simuri. Pada

perkembangannya penduduk lebih merasa tepat dan nyaman

disebut sebagai Suku Sumuri mengacu pada legenda Nenek Mai

sebagai orang pertama yang berdiam di wilayah ini.

Di sebutkan bahwa Suku bangsa Sumuri tidak berasal dari

satu tempat tetapi dari tempat yang berbeda-beda antara lain

Gunung Nabi di wilayah Kuri, Kaimana dan Fak-Fak yang datang

ke wilayah ini dalam kelompok-kelompok kecil. Kelompok-

kelompok kecil ini selanjutkan membentuk sebuah konfederasi


55
dan menamakan diri sebagai Suku Sumuri sesuai dengan nama

wilayah yang mereka tempati.

Suku Bangsa Sumuri, merupakan integrasi dari 18 marga,

yaitu:Agofa, Ateta, Bayuni, Dorisara, Dokasi, Fosa, Inanosa,

Kamisofa, Muerena, Mayera, Masifa, Sodefa, Simuna, Soway,

Siwana,Werifa, Wamay, Wayuri.

Wilayah distrik Sumuri dengan Kampung Tofoi, Kampung

Materabu Jaya, Kampung Forada, Kampung Agoda, Kampung

Saengga, Kampung Tanah Merah Baru, Kampung Onar Lama,

Kampung Onar Baru, merupakan wilayah penyebaran Suku

Bangsa Sumuri di Kabupaten Teluk Bintuni.

Foto 10 : Anak-Anak Suku Bangsa Sumuri Di Kampung Saengga


Distrik Sumuri, (Sumber: Foto Adolof Ronsumbre, 2017)

b. Budaya Suku Bangsa Sumuri

Bahasa, bisa dimaknai sebagai sebuah alat komunikasi

yang dapat dipergunakan oleh umat manusia untuk saling

56
berinteraksi. Suku Bangsa Sumuri memiliki alat komunikasi yang

disebut bahasa Sumuri. Bahasa Sumuri difungsikan untuk

berkomunikasi diantara sesama suku bangsa Sumuri. Dalam

komunikasi sehari-hari, bahasa Sumuri dan bahasa Indonesia di

pergunakan. Jika hendak berkomunikasi antar sesama Suku

Bangsa Sumuri, maka yang dipergunakan adalah bahasa Sumuri.

Sementara, jika saat berkomunikasi antar Suku Bangsa Sumuri

namun ada juga dihadiri oleh Suku bangsa lain, maka bahasa yang

digunakan adalah variasi. Bahasa Indonesia di gunakan untuk

bercerita hal-hal yang sifatnya umum, sementara hal-hal yang di

pandang rahasia, dikomonikasikan dengan bahasa Sumuri.

Tujuannya, agar komunikasi rahasia tersebut hanya diketahui oleh

sesama suku bangsa Sumuri. Ini semacam strategi suku bangsa

Sumuri dalam mendeteksi, setiap hak ulayat milik mereka yang di

datangi atau dikunjungi oleh orang yang baru pertama kali

menginjakan kaki ditanah mereka.

Sistem Pengetahuan Tradisional, Pengetahuan tradisional

yang dimiliki suku bangsa Sumuri sebenarnya memiliki nilai yang

bermakna. Ia memiliki nilai, karena pengetahuan tradisional

menuntun manusia untuk lebih bijaksana menggunakan berbagai

kekayaan alam agar tetap bertahan hidup. Pengetahuan akan

tumbuhan sayur misalnya, dapat memberi informasi kepada Suku

bangsa Sumuri untuk bisa mengklasifikasikan, jenis tumbuhan

mana yang bisa dikonsumsi, dan jenis tumbuhan mana yang tidak

bisa di konsumsi karena mengandung kadar racun tinggi.

57
Pengetahun tradisional sebagai warisan nenek moyang

Suku bangsa Sumuri, kini menuju degradasi pengetahuan

tradisional dan nyaris punah. Pengetahuan tradisional yang masih

di ketahui dikampung Onar adalah pengetahuan tentang tumbuhan

obat yaitu sarang semut. Melalui pengalaman informan, pernah

sarang sebut digunakan untuk penyembuhan penyakit kanker bagi

Suku bangsa Sumuri marga Agofa.

Organisasi Sosial, Suku Bangsa Sumuri masih memegang

kuat organisasi sosial yang berdasarkan sistem kekerabatan.

Satuan sosial terkecil adalah keluarga batih atau keluarga inti.

Keluarga-keluarga batih terhimpun dalam organisasi sosial yang

lebih besar berdasarkan kekerabatan yaitu marga. Sistem

kekerabatan yang berlaku dalam masyarakat bersifat patrilineal

yaitu hubungan kekerabatan mengikuti garis keturunan pihak laki

laki atau ayah. Anggota marga ditentukan berdasarkan garis

keturunan ayah. Sebelum adanya pemerintahan formal (negara),

marga merupakan organisasi sosial terbesar dalam masyarakat.

Seperti telah disebutkan pada mulanya Suku bangsa

Sumuri hidup terpencar dalam kelompok-kelompok kecil

berdasarkan marga. Setiap marga menguasai wilayah teritorial

tertentu sebagai tempat untuk meramu hasil alam guna memenuhi

kebutuhan hidup. Setiap marga dipimpin oleh seorang Kepala

Marga yang dipilih oleh anggota marga berdasarkan kriteria

tertentu seperti memiliki keberanian, kecakapan dalam berbicara,

menguasai batas-batas wilayah teritorial, mampu mengorganisir

58
anggota kelompok dan menyelesaikan permasalahan yang terjadi

dalam kelompok serta memiliki kemampuan bernegosiasi dengan

kelompok lain. Pemilihan Kepala Marga dilakukan dengan cara

musyawarah seluruh anggota marga yang telah dewasa.

Penduduk yang tinggal terpencar berdasarkan marga, oleh

pemerintah kemudian dikumpulkan dalam beberapa pusat

pemukiman. Marga-marga tersebut membentuk sebuah

konfedarasi yang kemudian di sebut sebagai Suku Bangsa. Untuk

memudahkan pengorganisasian dan komunikasi, pemerintah

mengintroduksi agar konfederasi marga-marga tersebut memiliki

seorang pemimpin kelompok. Marga-marga tersebut kemudian

memilih seorang koordinator suku. Dalam perkembangannya

koordinator suku disebut sebagai Kepala Suku. Maka dapat di

katakan Kepala Suku merupakan sesuatu yang diintroduksi dari

luar. Kepala Suku lebih merupakan perwakilan masyarakat etnik

Sumuri untuk berhubungan dengan pihak luar. Orang yang dipilih

mejadi Kepala Suku biasanya memiliki wawasan cukup luas,

mampu menyampaikan dan menyuarakan kepentingan serta

aspirasi masyarakat etnik Sumuri dalam hubungannya dengan

pihak lain baik itu pemerintah, swasta atau perusahaan maupun

dengan pihak lainnya. Oleh karena itu orang yang diangkat

sebagai Kepala Suku adalah seseorang yang memiliki posisi dalam

pemerintahan formal. Karena itu pula Kepala Suku sering kali

tidak berdomisili di wilayah Sumuri.

Walaupun telah membentuk sebuah konfederasi yang di

pimpin oleh seorang Kepala Suku, namun pengelolaan wilayah


59
(ulayat) tetap berdasarkan marga. Marga bersifat otonom yang

memiliki kewenangan mutlak dalam pengelolaan wilayahnya

masing-masing di bawah pengaturan dan kontrol dari Kepala

Marga. Kepala Suku tidak memiliki kewenangan dalam

pengelolaan wilayah ulayat marga. Sejak meninggalnya Kepala

Suku Sumuri sekitar 5 tahun lalu, hingga saat ini masyarakat suku

Sumuri belum memilih Kepala Suku baru sebagai pengganti.

Beberapa sumber mengatakan selain belum menemukan figur

yang tepat, masyarakat masih memiliki ketidak percayaan pada

Kepala Suku akibat Kepala Suku sebelum nya sering mengatas-

namakan masyarakat jika ada persoalan atau kepentingan tertentu,

tetapi tidak pernah berkoordinasi terlebih dahulu dengan para

Kepala Marga yang memiliki kewenangan dalam pengelolaan

wilayah ulayat.

Bila sebelumnya pemilihan Kepala Marga hanya atas dasar

kesepakan anggota marga, saat ini Kepala Marga yang dipilih juga

harus mendapat restu atau persetujuan dari para Kepala Marga

lainnya. Hal ini karena marga-marga sudah tinggal bersama dalam

suatu pusat pemukiman atau kampung. Kepala Marga harus bisa

berkomunikasi dan berkoordinasi dengan para Kepala Marga

lainnya. Persyaratan untuk menjadi Kepala Marga harus

mengetahui dan menguasai masalah adat dan batas-batas wilayah

ulayat, yaitu menguasai batas-batas ulayat, tidak saja batas ulayat

marga sendiri tetapi juga tahu batas-batas wilayah ulayat marga

lain. Memiliki kebijaksanaan, wawasan, mampu menyelesaikan

perselisihan antar anggota marga maupun perselihan anggota


60
marganya dengan anggota marga lain serta memiliki kewibawaan.

Kepala Marga memimpin seluruh anggota marga yang tersebar di

berbagai kampung. Sama dengan masa sebelumnya pemilihan

Kepala Marga berdasarkan musyawarah dan mufakat seluruh

anggota marga. Jabatan Kepala Marga berdasarkan keturunan dan

tidak diwariskan. Karena anggota marga tersebar di berbagai

kampung maka di setiap kampung terdapat Kepala Marga tingkat

kampung. Kepala Marga tingkat kampung hanya bertugas untuk

mengatur kepentingan anggota marga dalam kehidupan sosial

kampung, sementara pengelolaan wilayah ulayat berada ditangan

Kepala Marga besar.

Selain Kepala Suku, struktur kelembagaan masyarakat adat

yang diintroduksi dari luar adalah Lembaga Masyarakat Adat

(LMA). LMA dibentuk secara berjenjang mulai dari LMA tingkat

Propinsi, LMA Kabupaten, LMA Distrik sampai LMA tingkat

kampung. LMA di bentuk tahun 1998 atas prakarsa Abraham

Wekaburi sebagai koordinator 7 suku bangsa Kabupaten Teluk

Bintuni. Tujuan pembentukan LMA adalah untuk memberikan

perlindungan kepada penduduk asli agar tidak semakin

terpinggirkan oleh kehadiran perusahaan yang menggunakan

wilayah ulayat atau tanah adat penduduk asli. Tetapi pada

prakteknya LMA tidak berjalan sebagaimana mestinya karena

adanya pengurus yang memanfaatkan LMA untuk kepentingan

pribadi. Di Distrik Sumuri sendiri disinyalir ketua LMA Distrik

Sumuri diduga melakukan penggelapan uang. Ketua LMA Sumuri

akhirnya didemisionerkan dan untuk sementara kepengurusan di


61
jalankan oleh ketua sementara sampai terpilihnya Ketua LMA

yang baru. Sama halnya dengan pemilihan Kepala Suku maupun

Kepala Marga, pemilihan Ketua LMA dilakukan berdasarkan

musyawarah masyarakat adat setempat. LMA yang semula

singkatan dari Lembaga Musyawarah Adat, saat ini berubah

penyebutan menjadi Lembaga Masyarakat Adat.

Mata Pencaharian, Lingkungan alam Distrik Sumuri

memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah. Karena

alasan inilah nenek moyang Suku Sumuri yang bermigrasi dari

daerah asalnya menetap di Sumuri. Sagu sebagai makanan pokok

tersedia cukup banyak di alam, selain itu terdapat pula berbagai

komoditas yang dapat dipertukarkan atau diperdagangkan dengan

para pedagang dari luar seperti pala hutan, damar/agatis, gaharu

dan kulit buaya. Pemenuhan kebutuhan protein hewani diperoleh

dengan cara berburu. Berbagai jenis hewan buruan untuk

konsumsi antara lain babi hutan, rusa, burung kasuari dan

sebagainya. Kebutuhan akan ikan dapat diperoleh dengan cara

memancing di sungai dan laut. Karena hampir semua kebutuhan

hidup dapat diperoleh dari alam maka pola pemenuhan kebutuhan

keseharian sangat ekstraktif. Penduduk cukup memungut atau

mengambil dari alam kemudian mengkonsumsinya. Penduduk

hampir tidak mengenal pola budi daya dalam upaya pemenuhan

kebutuhan hidup. Bertani atau mengolah lahan bukan merupakan

kebiasaan penduduk tempatan (indigenous people). Karena itu

pula walaupun Sumuri memiliki lahan yang cukup luas sangat

jarang terlihat adanya kebun-kebun milik penduduk asli. Tanah


62
ulayat milik penduduk asli umumnya berupa semak-semak dan

hutan sekunder eks logging. Selebihnya adalah rawa-rawa sagu

yang merupakan makanan pokok penduduk dan rawa mangrove

(bakau). Kalau pun terdapat penduduk yang menanam tanaman

buah-buahan sifatnya hanya sekedar saja dan untuk menandai

wilayah kepemilikan tanah. Saat ini sagu yang semula sebagai

makanan utama sudah tergeser oleh beras. Karena pola untuk

memenuhi kebutuhan hidup dilakukan dengan cara meramu atau

memungut hasil alam, maka penduduk tidak menyebutnya sebagai

bekerja tetapi “mencari”.

Karena hampir semua kebutuhan dipenuhi dengan cara

ekstrak, penduduk cenderung memiliki pola hidup sangat

subsisten dengan prinsip “hari ini untuk hari ini, kebutuhan besok

cari besok”. Pola seperti ini pun terjadi pada sektor perikanan

tangkap atau nelayan. Walaupun perairan Sumuri sangat kaya

akan hasil laut berupa ikan, udang dan kepiting, sektor perikanan

tangkap justru banyak diisi oleh nelayan pendatang seperti nelayan

Bugis, Seram dan Jawa. Umumnya penduduk asli baru melaut

apabila sedang ada kebutuhan atau ketika musim udang.

Masuknya perusahaan kayu pada tahun 1980-an menjadi

daya tarik tersendiri bagi penduduk asli untuk mendapatkan

pekerjaan dari perusahaan karena memiliki kesamaan dengan pola

hidup masyarakat yang bersifat ekstraktif. Menjadi buruh pada

perusahaan kayu merupakan pilihan menarik bagi masyarakat

karena tidak membutuhkan keahlian yang tinggi dan dapat

63
memperoleh uang secara cepat. Bekerja di perusahaan menjadi

orientasi penduduk tempatan.

Pada tahun 1990-an beroperasi perusahaan sawit di Distrik

Sumuri. Marga-marga yang wilayah ulayatnya digunakan untuk

perkebunan sawit mendapat jatah kebun sawit dengan pola

plasma. Karena bertani bukan merupakan kebiasaan, setelah kebun

sawit plasma berproduksi justru banyak disewakan kepada pihak

lain dalam jangka waktu tertentu. Sebagian lainnya menyerahkan

pengelolaan kebun plasma pada pihak lain dengan sistem bagi

hasil. Bahkan tidak sedikit penduduk yang menjual kebun

sawitnya kepada orang lain yang umumnya adalah pendatang.

Bercocok tanam atau bertani di Distrik Sumuri umumnya

di lakukan oleh para pendatang baik pendatang Papua maupun

Non Papua. Kampung Materabu Jaya dan kampung Forada yang

merupakan daerah transmigrasi yang didominasi oleh penduduk

asal Pulau Jawa menjadi sentra pertanian di Distrik Sumuri.

Berbagai tanaman palawija dan buah buahan dikembangkan oleh

para transmigran seperti jagung, kacang kacangan, sayuran, ubi,

pisang, nanas dan berbagai macam tanaman buah-buahan.

Kampung Materabu Jaya dan Kampung Forada merupakan

pemasok kebutuhan sayuran di Distrik Sumuri. Bertani juga

banyak dilakukan oleh pendatang etnik Papua seperti orang Biak,

Serui, Ayamaru dan Sorong. Berbeda dengan pendatang non

Papua yang bercocok tanam di tanah milik sendiri, lahan pertanian

yang digunakan oleh pendatang etnik Papua adalah lahan yang di

pinjam dari pemilik ulayat di wilayah tersebut.


64
Tidak tersedia data resmi mengenai komposisi penduduk

berdasarkan mata pencaharian baik dalam data BPS (Distrik

Sumuri Dalam Angka) maupun data dari pemerintahan kampung,

beberapa mata pencaharian yang dilakukan oleh penduduk lokal

antara lain bekerja sebagian nelayan, pekerjaan ini dilakukan oleh

penduduk yang tinggal di wilayah pesisir seperti Kampung

Saengga, Kampung Tanah Merah Baru, Kampung Onar Lama,

kampung Onar Baru dan sebagian kecil penduduk kampung Tofoi.

Hasil tangkapan para nelayan berupa berbagai jenis ikan dan

udang selain untuk memenuhi kebutuhan lokal juga dijual kepada

perusahaan (LNG Tangguh dan Genting Oil) serta pada para

penampung yang merupakan penduduk pendatang.

Mata pencaharian yang banyak dilakukan oleh penduduk

asli adalah menjadi karyawan perusahaan migas LNG tangguh dan

Genting Oil. Kebijakan pemerintah menetapkan bahwa setiap

perusahaan yang beroperasi di suatu wilayah wajib menyerap

tenaga kerja lokal sesuai dengan kebutuhan dan kriteria yang

ditetapkan. Kebijakan inilah yang dimanfaatkan oleh penduduk

lokal untuk mendapatkan pekerjaan dari perusahaan. Karena

kualitas dan skill penduduk asli umumnya rendah maka pekerjaan

yang dapat diisi oleh penduduk lokal adalah pekerjaan yang tidak

membutuhkan skill tinggi seperti sekuriti, humas, office boy dan

pekerjaan skill lainnya.

Dalam menjalankan kegiatan perusahaan migas

menggandeng kontraktor-kontraktor untuk mendukung kegiatan

operasional lapangan, kebutuhan tenaga kerja non skill atau skill


65
terbatas biasanya diambil oleh kontraktor dari penduduk setempat

yang dipekerjakan sebagai buruh dengan sistem kontrak

(PKWT/PKWTT). Menjadi buruh kontraktor bahkan telah

menjadi andalan dan tumpuan penduduk lokal. Mata pencaharian

lain yang banyak digeluti oleh penduduk lokal adalah menjadi

PNS dan Guru, pegawai swasta dan sektor jasa/buruh lepas.

Khusus untuk marga-marga yang wilayah ulayatnya dijadikan

lahan perkebunan sawit PT.Varita Maju Tama seperti marga

Dorisara, Inanosa, Muerena, Siwana, Ateta dan Bayuni, sebagian

anggota marga menjadi petani sawit plasma. Karena penduduk

tempatan tidak terbiasa melakukan perawatan serta mengolah

lahan, maka pengelolaan kebun sawit banyak diserahkan kepada

pihak lain dengan sistem bagi hasil.

Foto 11:Kebun Masyarakat di Kampung Onar Baru Distrik Sumuri


Kabupaten Teluk Bintuni, (Sumber: Foto Magdalena Manik, 2014)
Sistem Kepercayaan, Sebelum kedatangan agama modern

(Kristen Protestan, Kristen Khatolik, Islam, Budha, Hindu) di

tanah Papua, kelompok etnik Sumuri memiliki kepercayaan

tradisional. Mereka percaya kepada mahluk manusia yang tak

kelihatan, namun di percaya ada selalu bersama dengan manusia.

66
Makhluk tersebut dipercaya sebagai “pemilik” tempat tinggal yang

kini dihuni Kelompok etnik Sumuri marga Agofa yaitu kampung

Onar Baru. Dalam istilah lokal (bahasa Sumuri) untuk menyebut

dia pemilik tempat adalah “Kiwawiri tibi kenete fa yona”.

Sementara dalam istilah lokal pula moyang pemilik tempat disebut

Artra.

Warisan budaya berwujud kepercayaan tradisional

tersebut, menjadi kompas bagi marga Agofa dalam menjaga dan

mengelola alam semesta. Oleh sebab itu, bagi siapa saja entah

pihak Pemerintah, koorporasi dan bahkan kelompok etnik lain,

yang hendak memasuki wilayah Kampung Onar Baru harus

meminta izin kepada dua pihak yaitu, artra (pemilik tempat) dan

marga Agofa (ahli waris artra).

Foto 12-13:Rumah Nenek moyang Marga Agofa (Artra) di Kampung Onar


Lama dan kampung Onar Baru Distrik Sumuri Kabupaten Teluk Bintuni,
(Sumber :Foto Adolof Ronsumbre, 2014)
Dalam pandangan informan, ritual adat diatas memiliki nilai

fungsi, bahwa supaya perusahaan akan beroperasi dengan baik,

perusahaan akan berjalan terus, dan kecelakaan sebagai akibat dari

kemarahan artra tidak terjadi. Fungsi lain, sebagai etika sopan santun

67
tradisional bagi pihak mana saja yang hendak menduduki hak ulayat milik

kelompok etnik Sumuri.

Sementara, tata cara izin kepada pemilik hak ulayat (marga

Agofa), harus di patuhi agar tidak terjadi perlawanan pemilik hak ulayat

kepada pihak mana saja. Masyarakat pemilik hak ulayat dikumpul,

koorporasi menyampaikan tujuan kedatangan, apa saja manfaat yang di

rasakan pemilik hak ulayat. Semua hasil pembicaraan harus di

dokumentasikan dalam wujud Perjanjian Kontrak. Yang penting lagi,

kontrak tersebut harus di implementasikan sesuai bunyi perjanjian dan

harus menghindari kata penipuan.

4.6. Suku Bangsa Sebyar Di Kabupaten Teluk Bintuni

a. Sejarah Suku Bangsa Sebyar

Sebyar, adalah nama salah satu Suku bangsa yang di

kategorikan sebagai suku bangsa asli di Kabupaten Teluk Bintuni.

Tentang mitologi asal-usul Suku Bangsa Sebyar, dikisahkan

bahwa leluhur Suku Bangsa Sebyar berasal dari gunung nabi dan

gunung Fomair (hulu Kali Kamundan) di daerah wilayah

Kabupaten Maybrat. Karena berasal dari gunung, Suku Bangsa

Sebyar awalnya disebut dengan istilah lokal Orang Tumati, artinya

orang yang berasal dari gunung, atau dalam pengataan lain Suku

Bangsa yang berasal dari gunung.

Pada suatu waktu, terjadi bencana alam air bah yang

menghancurkan pemukiman mereka di gunung nabi dan gunung

68
Fomair. Dengan spirit mencari wilayah-wilayah baru yang dapat

dijadikan sebagai lokasi pemukiman yang nyaman, maka setelah

air bah terhenti, orang Tumati mulai meninggalkan lokasi asal dan

mencari lokasi baru.

Fenomena migrasi Suku Bangsa Tumati dari wilayah

gunung, maka sampailah mereka ke wilayah-wilayah yang kini

bernama Distrik Kamundan, Distrik Weriangar, Distrik Tomu, dan

Distrik Aranday di kabupaten Teluk Bintuni. Karena telah berhasil

melakukan perjalanan dari wilayah gunung, dan menemukan

wilayah baru di 4 distrik tersebut, maka Suku Bangsa yang semula

disebut dengan nama Tumati, mengalami perubahan nama suku

bangsa menjadi Suku bangsa Sebyar, yang artinya suku bangsa

yang menyebar, (Rumansara, 2003:55).

Suku Bangsa Sebyar, masih lagi beri nama sebagai

identitas berdasarkan wilayah pemukiman. Suku Bangsa Sebyar

yang tinggal di distrik Kamundan dan Distrik Weringar disebut

sebagai Suku Bangsa Sebyar Kemberano yang berasal dari kata

Kembaran, yang artinya pantai. Sementara, Suku Bangsa yang

tinggal di wilayah Distrik Tomu dan Aranday disebut dengan

nama Suku Bangsa Sebyar Damban.

Klen atau Marga-Marga yang dikategorikan sebagai Suku

Bangsa Sebyar Kemberan, yaitu:Tabiar, Nabi, Urbun, Braweri,

Iribaram, Bauw, Iriwanas, Gegetu, Kinder, Efum, Inai. Sementara,

marga-marga yang dikategorikan sebagai Suku Bangsa Sebyar

Damban, yaitu:Nawarisa, Kosepa, Kaitam, Rumatan, Bauw,

Kokop, Imbimbong, Kambori, Buranda.


69
Lokasi penyebaran Suku Bangsa Sebyar Kemberan adalah

Distrik Kamundan yang meliputi Kampung Kali Tami I, Kampung

Kali Tami 2, Kampung Bibiram, Kampung Kenara, dan Kampung

Maroro. Distrik Weriagar yang meliputi Kampung Weriagar,

Weriagar Utara, dan Kampung Mogotira. Sementara lokasi

penyebaran Suku Bangsa Sebyar Damban, adalah Distrik Tomu

yang meliputi kampung Tomu, dan kampung Ekam. Distrik

Aranday yang meliputi kampung Aranday.

Foto 14-15:Pria Suku Bangsa Sebyar Kemberan di Distrik Kamundan (Kiri), dan
Pria Suku Bangsa Sebyar Damban di Kampung Tomu (kanan),(Sumber :Foto
Ayorbaba dan Ronsumbre, 2015)

b. Budaya Suku Bangsa Sebyar

Bahasa, Secara tradisional suku bangsa Sebyar (Kemberan

dan Damban) memiliki Bahasa yang digunakan untuk

berkomunikasi, yaitu bahasa Sebyar. Sayangnya, bahasa Sebyar

jarang dikuasai generasi muda dewasa ini. Faktor penyebabnya

adalah (1) orang tua tidak mengajarkan anak-anak menggunakan

bahasa Indonesa, (2) pengaruh lingkungan yang bersifat heterogen

70
dalam suku dan bahasa, yang membuat anak-anak harus

menggunakan bahasa Indonesia ketika berinteraksi dengan suku

bangsa lain, dan (3) faktor pendidikan formal, yaitu larangan

untuk menggunakan bahasa daerah di sekolah.

Selain bahasa yang bersifat ujaran, terdapat juga bahasa

yang isyarat yang bermakna konotatif. Misalnya, dalam

perkawinana adat, bahasa isyarat untuk menyatakan nilai atau

besarnya benda-benda maskawin yang diminta pihak perempuan

disimbolkan dengan tusukan pada gaba. Ukuran tusukan besar

menunjukkan bahwa permintaan adalah piring besar. Banyaknya

tusukan pada gaba melambangkan jumlah nilai maskawin yang

harus dibayar. Selain itu, jika pihak perempuan menggantungkan

gelang gantung menandakan bahwa permintaannya adalah piring

gantung.

Pengetahuan Tradisional, Suku Bangsa Sebyar memiliki

sistem pengetahuan tentang suara hewan atau suara burung.

Pengetahuan mengenai suara burung tertentu yang ketika berkicau

di hutan memeberi simbol sedang terjadi air pasang atau surut.

Misalnya, ketika melihat burung hitam dihutan tunduk kepala dan

bersuara: i.i.i.. pertanda air surut, ketika air pasang, burung

tersebut akan mengeluarkan suara yang sama. Demikian pula, jika

mereka mendengar burung Maleo bericau:waa.waa..berarti air

surut begitu pula sebaliknya.

71
Suku bangsa Sebyar juga memiliki pengetahuan mengenai

kualitas sagu antara yang tumbuh di daerah berair (rawa) dan yang

tumbuh di daerah kering. Sagu yang tumbuh pada ekologi rawa

kandungan isi sedikit ketimbang sagu yang tumbuh di daerah

kering. Tinggi pohon sagu antara 10-15 meter, dan pohon sagu

yang berisi biasanya menghasilkan tepung 10-12 tuman. Dan

kalau dijual, Rp 20.000 pertuman. Tanda-tanda yang menunjukkan

pohon sagu sudah berisi dan ditebang bilamana pohon itu

mengeluarkan jantung.

Selain itu, pengetahuan tentang tempat sejarah. Suku

Bangsa Sebyar mengenal tempat yang dikategorikan sebagai

wilayah sejarah. Memiliki nilai sejarah karenna Daerah-daerah ini

sebagai tempat dimana pernah terjadi pembunuhan antara orang

gunung dan pantai. Ini yang menyebabkan tempat ini dianggap

memiliki nilai sejarah yang tidak boleh di datangi orang luar, jika

terpaksa harus memberi sesajian berupa pinang-siri, rokok, kapur

pinang lalu diletakan di tempat tersebut. Tujuan pemberian itu

adalah supaya tidak tersesat jalan. Kalau ada kegiatan

pembangunan oleh pemerintah atau kegiatan ekspolarasi oleh

pihak swasta/perusahaan misalnya, melintasi tempat pamali atau

bersejarah tadi maka harus dibuat adat dengan cara melibatkan

perwakilan tua-tua marga lalu dibuat adat, seperti membuat rumah

kecil atau menyiapkan piring sebagai wadah meletakan

persembahan.

72
Organisasi Sosial dan Sistem Kekerabatan, dalam

konteks kepemimpinan lokal, tiga institusi penting Suku Sebyar

yang dalam istilah lokal disebut satu tungku tiga batu (adat,

agama, pemerintah). Dalam konteks adat, setiap kampung

dipimpin oleh seorang tua-tua adat marga yang sekaligus

merangkap sebagai kepala kampung. Syarat menjadi tua-tua

marga/kepala kampung adalah marga tertua dan seseorang

dipandang paling tua dari sisi usia, dan memahami benar sejarah

Suku Bangsa Sebyar, sejarah marga-marga dan sejarah hak ulayat.

Tugas tua-tua marga/kepala kampung adalah melindungi Suku

bangsa, marga-marga dan hak ulayat.

Seiring dengan perubahan zaman tepatnya tahun 2008,

yang di tandai dengan kepemilikan hak ulayat oleh pihak lain

yaitu korporasi, atau dengan pengataan lain masuknya beragam

korporasi, maka Pemerintah memiliki gagasan untuk membentuk

satu organisasi yang disebut dengan Lembaga Masyarakat Adat

(LMA) baik tingkat distrik maupun kampung. Pemerintah

menyadari bahwa hak ulayat tak bisa diputuskan oleh Pemerintah

Daerah, tetapi itu keputusan adat. Syarat menjadi Ketua LMA

distrik dan kampung, memiliki pengetahuan tentang hukum-

hukum adat, sejarah suku bangsa Sebyar, marga-marga, dan hak

ulayat, serta pandai berbicara. Sementara, tugas ketua LMA adalah

melindungi masyarakat dari tahapan negoisasi pelepasan hak

ulayat dengan pihak luar yang hendak masuk ke wilayah adat.

73
Institusi agama memainkan peran yang bermakna, dalam

menuntun umat dengan penanaman nilai-nilai kebenaran yang

terkandung dalam ajaran agama. Agama yang berperan penting

dalam kedamaian Suku Sebyar adalah agam islam dan Kristen

Protestan.

Sementara, institusi Pemerintah (Negara), terdapat Kepala

distrik dan kepala kampung. Syarat menjadi Kepala distrik selain

status sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), kepangkatan di

pertimbangkan. Syarat kepala kampung, berasal dari tua-tua marga

dalam kampung.

Dalam konteks perkawinan adat, proses perkawinan di

mulai dengan proses peminangan dari pihak laki-laki. Dengan

menggunakan istilah “petik bunga” dan akan dijawab:kita akan

bersihkan, rawat, nanti kitorang kasi”. Setelah itu ditentukan

besarnya maskawin (kopangge), ialah dalam bentuk guci, piring

makan, antin-antin, gelang dan meriam (benda peninggalan).

Sejak dahulu kala, untuk melakukan perkawinan,

seseorang harus memilih pasangan dari luar hubungan keluarga

(eksogami klen). Dan biasanya pada keturunan ketujuh yang tidak

ada ada hubungan darah. Menurut keyakinan, perkawinan yang

masih hubungan darah akan membuat membuat rumah tangga

tidak harmonis. Keduanya akan mati karena hubungan darah.

Meski begitu, akhir-akhir proses perkawinan tidak mengikuti nilai

ideal tersebut karena pengaruh perubahan zaman.

74
Di dalam masyarakat, biasanya ada warga yang melakukan

poligami karena memiliki harta tetapi juga karena memiliki

kekuatan gaib untuk memengaruhi perempuan, yang disebut

tewotinggitano). Kekuatan gaib ini biasanya menggunakan

minyak, dan menggunakan bahasa adat.

Dalam konteks istilah kekerabatan, merupakan aspek

penting dalam organisasi sosial suatu masyarakat, termasuk suku

bangsa Sebyar. Proses interaksi yang terjadi di antara mereka,

terdapat istilah-istilah untuk menyapa atau pun menyebut setiap

kerabat yang di jumpai atau diajak berbicara. Istilah atau simbol

itu sarat makna, seperti makna peran, hak, dan kewajiban. Karena

itu, penting untuk mengungkap istilah-istilah kekerabatan sebagai

salah satu metode untuk memahami struktur sosial setempat.

Tabel . 4.2. Istilah Kekerabatan Suku Bangsa Sebyar

N BAHASA SEBYAR BAHASA INDONESIA


O
1 Tate Tete
2 Tato Nenek
3 Ae Bapak
4 Ajo Mama
5 Nano Tanta
6 Ae Kakak dari Ayah
7 Ae Adik dari Ayah
8 Marekene Ipar
9 Apae Adik Laki-laki
10 Apa Adik Perempuan
11 Aije Kakak
12 Apamaro Saudara
13 Pape Om
14 Nano Adik Dari Ibu
Sumber : Catatan Lapangan Musa Ayorbaba (2015)
Sistem Mata Pencaharian, Kehidupan ekonomi sehari-

hari adalah menangkap ikan di muara sungai, menokok sagu,

75
berkebun kecil-kecilan, berburu binatang hutan seperti rusa,

kasuari, mambruk.

Menangkap ikan oleh penduduk kampung di distrik

Kamundan, umumnya menggunakan jaring yang ditebarkan di

tepian atau muara sungai, dan di tepian pantai. Selain menjaring,

mereka juga mengkap ikan menggunakan nilon dan kail. Jenis

ikan yang biasanya didapat adalah ikan lele (gabus), ikan merah,

kakap, dan jenis ikan lainnya.

Menokok sagu, merupakan kegiatan utama di samping

menangkap ikan. Untuk menjangkau dusun sagu, biasanya mereka

menggunakan perahu dayung dan mesin katintin untuk

menjangkau dusun sagu. Aktifitas ini biasanya dilakukan dalam

keluarga batih maupun dalam keluarga luas.

Kegiatan berburu binatang, dilakukan dengan cara

membuat perangkap/jerat, dan juga menggunakan tenaga anjing

untuk memburu binatang. Kegiatan sampingan lainnya, ialah

memelihara kambing dan ayam.

Usaha menangkap ikan, berburu hewan, dan beternak tidak

sekedar dikonsumsi saja, tetapi juga sebagian dijual di pasar

kampung yang telah dibangun pemerintah, kadang juga dijual

keliling kampung. Hal ini Nampak saat tim peneliti tiba di

kampung. Dua orang ibu sedang menjual pisang, ikan, jamur dan

buah pinang di sepanjang jalan. Mungkin mereka melihat kami

(peneliti) sebagai orang baru yang medatangi kampung mereka,

76
setidaknya memberi kontribusi bagi ekonomi mereka. Harapan

dua orang ibu terwujud saat kami membeli jualan mereka.

Kesenian, Kesenian yang dikenal Suku Bangsa Sebyar

adalah seni tari, dan kerajinan tangan. Seni tari meliputi tari papan,

tari gong, dan tari goyang pantat. Tarian ini diadakan ketika ada

kunjungan tamu penting di kampung. Kerajinan tangan meliputi

menganyam noken dan tikar dari rumput yang tumbuh di daerah

rawa. Di dalam kampung dapat dijumpainya, karena itu untuk

membuat tikar atau noken tidaklah sulit mencari bahan. Sebelum

di buat tikar atau noken, bahan tersebut terlebih dahulu dijemur di

pinggir rumah atau jalan terkena matahari.

4.7. Suku Bangsa Sough Di Kabupaten Teluk Wondama

a. Sejarah Suku Bangsa Sough

Sough, adalah nama salah satu Suku Bangsa di Kabupaten

Teluk Wondama. Menurut mitologi asal-usul Suku Bangsa Sough,

mereka berasal dari wilayah pegunungan besar, yaitu pegunungan

Arfak di kabupaten Pegunungan Arfak. Artinya, di wilayah

pegunungan Arfak ini, merupakan asal-usul suku bangsa Sough.

Selama di Pegununagn Arfak, Suku bangsa Sough disebut dengan

istilah, Suku Bangsa Arfak Sough, (Salabai, 2009:15).

Dengan spirit mencari wilayah-wilayah baru, Suku Bangsa

Arfak Sough melakukan migrasi. Dari wilayah asal pegunungan

77
Arfak, mereka bermigrasi ke wilayah baru yang dahulu bernama

karyayey, dan kini bernama distrik Sough Jaya di Kabupaten

Teluk Wondama.

Setelah tiba di wilayah baru ini, suku bangsa Arfak Sough

bertemu dengan Suku Bangsa Wamesa yang terlebih dahulu

tinggal diwilayah itu. Akhirnya, Suku Bangsa Arfak Sough di

terima oleh suku bangsa Wamesa untuk bersama-sama tinggal di

wilayah tersebut.

Karena sudah sekian lama bahkan sudah antar generasi

suku bangsa Arfak Sough tinggal diwilayah ini, maka identitas-

identitas asal secara bertahap berubah. Nama Suku Bangsa Arfak

Sough yang semula dipakai, kini mereka menyebut diri mereka

sebagai suku bangsa Sough. Semula mereka hanya berbahasa

Arfak Sough, kini mereka bisa berbahasa Wamesa. Mata

pencaharian yang semula bertani dan berburu, kini mereka

menjadi nelayan. Fenomena ini dalam pemikiran penulis, di

maknai sebagai pola adaptasi ekologi. Bahkan Pemerintah daerah

Kabupaten Teluk Wondama memberikan legalitas nama salah satu

wilayah pemukiman suku bangsa Sough bernama Distrik Sough

Jaya.

Suku bangsa Sough, merupakan integrasi dari beberapa

klen atau marga. Klen-klen atau Marga-marga yang dikategorikan

sebagai suku bangsa Sough, yaitu:Mokiri, Bikiai, Sayori, Tubes,

Bokoma.

78
Lokasi penyebaran Suku Bangsa Sough, antara lain:

Distrik Sough Jaya yang meliputi Kampung Kaprus, Kampung

Siresi, Kampung Yermatum, Kampung Reyob, dan kampung

Nuspairo.

Foto 16: Anak-Anak Suku Bangsa Sough Di Kampung Siresi Distrik Sough
Jaya Kabupaten Teluk Wondama, (Sumber:Foto Adolof Ronsumbre, 2015)

b. Budaya Suku Bangsa Sough

Bahasa, Bahasa yang digunakan Suku Bangsa Sough

untuk berkomunikasi sesama Suku Bangsa Sough adalah bahasa

Sough. Selain menggunakan Bahasa Sough, Suku Bangsa Sough

juga menggunakan bahasa Wamesa dalam berkomunikasi dengan

Suku Bangsa Wamesa. Artinya, Suku Bangsa Sough di Kabupaten

Teluk Wondama, sebagian besar menguasai dua bahasa, yaitu

bahasa Sough dan bahasa Wamesa10 .

10
Berdasarkan hasil pengamatan penulis pada tahun 2013, ketika melakukan penelitian di Kampung Kaprus, kampunng
Siresi distrik Sough Jaya Kabupaten Teluk Wondama, suatu fenomena menarik adalah penguasaan dua bahasa, yaitu
bahasa Wamesa dan bahasa Sough oleh Suku Bangsa Sough. Penulis menyaksikan dan mendengar bagaimana, dalam
memberikan informasi di kampung Kaprus yang disampaikan oleh Suku Bangsa Sough, diawali dengan bahasa
Wamesa, lalu disampaikan dalam bahasa Sough. Begitu pula dalam interaksi sosial antara suku Bangsa Sough dengan
Suku bangsa Wamesa, bahasa yang digunakan adalah bahasa Wamesa.

79
Organisasi Sosial, di Distrik Sough Jaya memiliki tiga

kepemimpinan yaitu adat, Agama dan Negara (baca:pemerintah).

Kepemimpinan adat dipimpin oleh kepala kampung. Syarat

menjadi kepala kampung adalah haruslah berasal dari suku “asli”.

Alasannya Dia yang paling mengetahui sejarah tanah dan manusia.

Selain, itu, jika ada intervensi pembangunan melalui masuknya

koorporasi, maka Dia yang memiliki hak ulayat sehingga Dialah

yang mengatur berapa besarnya konpensasi yang harus di berikan

koorporasi kepada masyarakat “asli”. Meskipun terdapat suku

bangsa lain yang telah menghuni distrik Sough Jaya sekian lama,

tetapi mereka tak memiliki hak untuk dipilih menjadi kepala

kampung. Sekali lagi kepala kampung hanya milik suku bangsa

“asli” dan hanya satu marga saja yaitu Mokiri.

Dalam sejarah kepemimpinan adat yang dipimpin oleh

kepala kampung hanya milik marga Mokiri. Kalaupun ada

perlawanan dari rakyat untuk menggantikan kepala kampung

dengan alasan kinerja, itu bisa dilakukan dan memang pernah

terjadi tetapi kepala kampung idaman haruslah marga Mokiri

Mata Pencaharian, Lingkungan ekologi yang berdekatan

antara laut dan hutan, maka masyarakat memiliki mata

pencaharian ganda yaitu nelayan dan bertani, dan berburu. Ketiga

mata pencaharian tersebut, diberi kebebasan oleh pemilik Hak

Ulayat untuk bebas beraktivitas sepanjang tak menjual tanah.

Siapa kuat mencari dan berkebun serta berburu silahkan mencari.

Bikin kebun saja, nanti hasilnya kita bagi bersama. Ada kesan

80
dari informan bahwa penduduk “asli” baik. Informan memiliki

keahlian berburu burung cenderawasi. Dikatakan bahwa burung

cenderawasih senang bermain di pohon beringin. Alasannya,

karena cabang-cabangnya banyak dan daun baik. Burung

Cenderawasih tidak bermain sembarang pohon. Sifat burung

cenderawasih adalah memiliki panca indra yang tajam. Oleh sebab

itu, ada simbol suara yang digunakan untuk memanggil burung

cenderawasih yaitu dengan bersiul atau berbicara “bahasa

burung”. Lokasi pencaharian burung cenderawasi adalah gunung

Maswapi. Peralatan yang digunakan untuk berburu burung

cenderawasi adalah senjata angin. Dalam sehari, jika dimulai

berburu dari pagi maka hasil yang didapat adalah 7 burung

cenderwasih. Hasilnya dijual ke pedagang beretnik Bugis dan

Makasar. Seekor burung cenderawasi dihargai Rp.150.000,-.

Kesenian, Salah satu kesenian tradisional yang masih di

praktikan suku bangsa Sough adalah Nyanyian Kumer. Nyanyian

Kumer adalah nyanyian suku bangsa Wamesa dan dinyanyikan

dalam bahasa Wamesa yang dinyanyikan oleh suku bangsa Sough.

Lagu ini dinyanyikan pada saat memulai aktivitas membuat atau

membuka kebun. Pada saat membuka kebun, bahkan pada saat

istirahat setelah membuka kebun baru, lagu tersebut dinyayikan.

Selain itu, suku bangsa Sough menyanyikan Nyanyian dalam

bahasa Sough yang disebut Sukemer. Lagu-lagu yang dinyanyikan

tujuannya untuk menambah semangat.

81
4.8. Suku Bangsa Moi Di Kabupaten Sorong dan Kota Sorong

a. Sejarah Suku Bangsa Moi

Moi, begitulah nama salah satu Suku Bangsa yang di

kategorikan sebagai suku bangsa asli di Kabupaten dan Kota

Sorong. Moi adalah nama yang diambil karena terinspirasi oleh

salah satu jenis tumbuhan bernama sagu. Kata Moi berasal dari

Kata Moyu, yang berarti halus dan lembut seperti seratan sagu

yang ditokok atau dalam istilah lokal disebut ela. Nama ini

memiliki makna relasi dengan sikap suku bangsa Moi. Suku

Bangsa Moi berjiwa halus, lembut, tekun, tabah, ingin damai, dan

hidup sederhana, (Flassy, 2000:66).

Tentang asal-usul Suku Bangsa Moi yang diwariskan

kisahnya melalui mitologi, sebagai berikut :

Orang Moi berasal dari Klwelem dibelakang Desa


Maladofok Kecamatan Makbon. Menurut cerita orang Moi
dulu hidup bersama di tempat itu. Tetapi pada suata hari
ketika orang-orang yang pergi berburu ke hutan kembali
membawa hasil buruan berupa babi, maka mereka akan
berarak-arak mengelilingi kampung sambil berteriak peli,
peli, peli……,maka setiap lelaki harus memcari pasangan
perempuan lalu mengadakan hubungan persetubuhan.
Namun hubungan intim antara saudara sekandung
dilarang keras karena hal itu dianggap tabu. Peristiwa ini
dikenal oleh orang Moi dengan upacara Besin Peli Ketika
peristiwa tersebut berlangsung tanpa disadarai seorang
pemuda melakukan hubungan intim dengan saudara
kandungnya. Hal ini membawa aib yang besar bagi
seluruh anggota keluarga sehingga mereka harus di
kenakan hukuman berupa hinaan, lalu dipukuli oleh
orang-orang sekampung. Pada saat mereka dilempari
dengan batu, tiba-tiba pemuda itu berubah wujud jadi
seekor ular putih atau dalak istilah local disebut Uwum.
Hal itu membuat orang Moi menjadi takut lalu merekapun

82
memutuskan untuk pergi keluar meninggalkan tempat
tersebut. Dengan demikian orang Moi hidup tersebar
diseluruh daratan Moi, (Flassi, 2000:65).

Berdasarkan mitologi diatas, maka Suku bangsa Moi yang

semula bersatu dalam satu lokalitas di desa Maladok dengan nama

suku bangsa Moi, akhirnya tersebar ke wilayah-wilayah baru.

Mereka yang bermigrasi ke Distrik Moraid menyebut diri mereka

sebagai orang Moi Klasa. Mereka yang bermigrasi ke distrik

Makbon, menyebut diri mereka sebagai orang Moi Madle, orang

Moi Kelim, dan orang Moi Wolala. Mereka yang bermigrasi ke

distrik Sorong dan distrik Salawati, menyebut diri mereka sebagai

orang Moi Mlayik dan orang Moi Amber. Mereka yang bermigrasi

ke distrik Seget, menyebut diri mereka sebagai orang Moi Segin,

dan orang Moi amber. Mereka yang bermigrasi ke Distrik Misol,

menyebut diri mereka sebagai orang Moi Amber.

Suku bangsa Moi merupakan integrasi beberapa klan atau

marga-marga. Klan atau marga-marga yang dikategorikan sebagai

suku bangsa Moi, yaitu:Klalibi, Kilala, Kalagin, Kwatolo, Kalami,

Kalasoat, Kalawaisa, Kalagison, Lobat, Mobilala, Mubalus,

Malantu, Malibela, Mlasmene, Osok, Wilin, Woloseme.

83
Foto 17 : Laki-laki dan Perempuan Suku Bangsa Moi di Kota Sorong,
(Sumber:Foto Adolof Ronsumbre, 2017)

b. Budaya Suku Bangsa Moi

Bahasa, Sebagai alat komunikasi, suku bangsa Moi

menggunakan 2 bahasa, yaitu:bahasa Moi dan bahasa Indonesia.

Bahasa Moi digunakan untuk kepentingan komunikasi diantara

sesama suku bangsa Moi. Sementara, bahasa Indonesia digunakan

untuk berkomunikasi dengan suku bangsa yang lain.

Mata Pencaharian, Untuk memenuhi kebutuhan hidup,

manusia memiliki mata pencaharian. Mata pencaharian Suku

Bangsa Moi disesuaikan dengan lingkungan alam. Menokok sagu,

Menangkap ikan, Berkebun, merupakan mata pencaharian yang

masih praktikkan.

Menokok sagu. Pohon sagu tersedia di alam, untuk

kebutuhan makanan suku bangsa Moi. Pohon sagu tumbuh

tempat-tempat berawa dan pinggi-pinggir kali serta wilayah yang

84
lembab. Kegiatan Meramu sagu dilakukan secara berkelompok,

antara laki-laki dan perempuan. Terdapat pembangian kerja. Laki-

laki bertugas memilih pohon sagu atau yang dalam istilah lokal di

sebut Wa, yang diyakini sudah tua dan berisi, menebang,

membersihkan permukaannya, lalu membuat tempat/bak meramas

serat sagu yang dalam istilah lokal disebut Fnuk, dari pelepa sagu,

yang dalam istilah lokal disebut Dom. Laki-laki membelah batang

sagu lalu menokoknya atau dalam istilah lokal disebut Wamuk.

Peralatan yang digunakan masih bersifat tradisional yang dalam

istilah lokal disebut Lemek, yaitu alat penokok yang terbuat dari

kayu dan Lemekbuk untuk alat penokok sagu yang dibuat dari

bambu. Kedua alat ini masih digunakan sampai sekarang oleh

masyarakat untuk menokok sagu. Sementara, kaum perempuan

membawa serat sagu sampai meramasnya. Prosesnya adalah serat

sagu dimasukkan dalam bak diberi air lalu diramas hingga keluar

airnya melalui tempat saringan atau dalam istilah lokal disebut

Fnuk. Setelah itu, dibiarkan agar mengendap jadi tepung sagu.

Dewasa ini suku bangsa Moi banyak mengkonsumsi beras, di

bandingkan mengkonsumsi sagu. Fenomena ini sebagai akibat

dari, lahan sagu yang terdapat diwilayah suku bangsa Moi sudah

tidak lagi mencukupi untuk seluruh penduduk, (Isman, dkk, 2012:

64).

Mata pencaharian menangkap ikan yang di lakukan oleh

suku bangsa Moi untuk memunuhi kebutuhan hewani. Mereka

mencari ika dilaut dan udang dikali. Cara menangkap ikan

85
menggunakan akar tuba atau yang dalam istilah lokal disebut

Yosos, mengail atau memancing atau dalam istilah lokal disebut

Meen, atau menggunakan suluh atau api yang disering disebut

balobe atau dalam istilah lokal disebut Yek, serta jala atau pukat.

Secara tradisional Suku bangsa Moi memancing ikan dengan

menggunakan kuku kelelawar yang diberi lubang pada ujungnya

sebagai tempat memasukan tali, sebagai umpannya yaitu belalang.

Mata pencaharian berkebun, suku bangsa Moi masih

bersifat sederhana dan tradisional, yaitu mereka berkebun

berpindah-pindah tempat. Alat yang digunakan untuk berkebun,

berwujud parang, kapak, dan tugal11. Proses membuka kebun baru,

diawali dengan mencari lokasi yang yakini bisa cocok untuk

berkebun. Sebagai symbol layak atau tidaknya lokasi tersebut

untuk berkebun, suku bangsa Moi menanti jawaban dari hewan.

Apabila ada gangguan hewan seperti digigit semut atau digigit

ular, maka hal itu bertanda buruk bahwa lokasi tersebut tidak

layak di jadikan kebun. Sebaliknya bila tidak ada gangguan

hewan, maka bertanda bahwa kebun yang akan dibangun tidak

akan diganggu oleh hewan, dan kebun tersebut akan memberi

hasil yang baik. Jenis-jenis tanaman yang ditanam, antara lain,

keladi, ubi jalar, ubi kayu, pisang. Juga ditanami berbagai jenis

sayur, sawi, bayam, gedi, kacang panjang, terong, labu.

Organisasi Sosial dan Sistem Kekerabatan, Warisan

organisasi sosial dari leluhur suku Bangsa Moi, yang hingga kini

11
Sepotong kayu yang ditajamkan bagian ujungnya dan berfungsi untuk membuat lubang.

86
masih dipraktikkan adalah pemimpin klen atau marga. Setiap klen

atau marga mempunyai pemimpin yang disebut pemimpin marga.

Seseorang suku bangsa Moi yang hendak menjadi calon pemimpin

harus memiliki kemampuan seperti memiliki kharisma, pengaruh,

kekuasaan, budi pekerti luhur, penuh tanggungjawab dan

kekayaan berupa kain timur atau dalam istilah lokal disebut toba

mele. Kemampuan-kemampuan seperti inilah yang menjadi

pertimbangan anggota suku bangsa Moi untuk memilih pemimpin

klen atau pemimpin marga.

Tabel.4.3. Istilah Kekerabatan Suku Bangsa Moi

N BAHASA MOI BAHASA INDONESIA


O
1 Tedla Seseorang (ego)
2 Taluk Kyam Saudara laki-laki kandung dan sepupu
satu klen
3 Taluk Lagi Saudara perempuan kandung dan
sepupu satu klen
4 Telagi Istri ego
5 Tawas Saudara laki-laki istri ego
6 Tekeimsom Saudara perempuan istri ego
7 Tamun Ayah
8 Temem Ibu
Sumber:(Flassy, 2000:81).

Religi, Suku Bangsa Moi memiliki suatu kepercanyaan

kekuatan besar yang berada diluar manusia, dan menempati posisi

atas langit. Kekuatan ini sebagai penguasa yang mengatur semua

makhluk hidup dan alam semesta. Dalam istilah lokal Suku bangsa

Moi, pemilik kekuatan atau penguasa itu bernama Na, atau dalam

istilah lokal yang lain disebut dengan nama Funa. Suku Bangsa

Moi mengklasifikasikan Funa menjadi 2 bagian berdasarkan

87
lokasi tinggal, yaitu:pertama, Funa putih menempati diatas langit

dan memiliki sifat menolong manusia, menjaga dan memberikan

kesejahteraan bagi suku bangsa Moi. Kedua, Funa hitam,

menempati bumi dan memiliki sifat yang jahat, suka

mencelakakan manusia, dan mendatangkan kematian12.

Kesenian, salah satu jenis tarian adat yang masih di

praktikan Suku bangsa Moi adalah Tarian Gali Kubur. Dalam

istilah lokal, Tarian Gali Kubur disebut tari Safas (kepala

manusia). Tarian ini menceritakan tentang konsep kematian dan

penguburan manusia yang telah meninggal dunia. Secara

tradisional seseorang suku bangsa Moi yang meninggal dunia,

mayatnya tidak dikubur, tetapi hanya di letakkan di atas kayu

sekitar 3 minggu hingga 1 bulan. Setelah jasad telah membusuk,

pada waktu malam harinya, keluarga akan membawa jasad dari

kayu, dan dipindahkan dan diletakkan di dalam gua. Menurut

sistem kepercayaan suku bangsa Moi masa lampau, tubuh manusia

boleh mati, tetapi roh belum mati. Oleh sebab itu, saat kita hendak

berkebun, kita bisa meminta kepada roh-roh tersebut untuk

menjaga dan melindungi kita.

Jumlah penari tarian gali kubur berjumlah 12 penari, yang

terdiri dari laki-laki berjumlah 6 penari, dan perempuan berjumlah

6 penari. Penari memakai kostum yang, diklasifikasikan

berdasarkan jenis kelamin. Laki-laki memakai cawat, dan

perempuan memakai kain dada.


12
Lihat Buku karya Lina Flassy, yang berjudul “Etnografi Irian Jaya Seri 2, Marind, Mooi, Nafri, Meyakh dan Manusia-
Indonesia-Irian di tahun 2000”, halaman 88-89.

88
Tari gali kubur diiringi dengan nyanyian berbahasa Moi,

yang dinyanyikan oleh 7-8 penyanyi. Inti dari nyanyian tersebut

adalah mengajak keluarga dan kerabat menggali kubur. Sementara

alat musik yang dipakai untuk mengiringi nyanyian, antara lain:

bambu toki, guitar, dan suling.

Foto 18: Sanggar Seni Tari Klabra Raya,


(Sumber:Dokumen Sanggar Klabra Raya, 2017)

4.9. Suku Bangsa Wamesa Di Kabupaten Teluk Wondama

a. Sejarah Suku Bangsa Wamesa

Wamesa, adalah nama salah satu suku bangsa yang di

kategorikan sebagai salah satu suku bangsa asli di Kabupaten

Teluk Wondama. Kata Wamesa dapat diartikan sebagai wamesa

‘sejenis ikan’, tetapi dapat juga diartikan sebagai wa ‘perahu’ dan

mesa ‘datang naik’, (Saragih dkk, 2013:30).

Dalam konteks mitologi tentang asal-usul Suku bangsa

Wamesa, di kisahkan bahwa suku bangsa Wamesa adalah

keturunan Pasai, seorang raksasa yang baik. Pasai memiliki

89
seorang saudara yang bernama Kuri. Kuri adalah seorang raksasa

yang jahat. Suku Bangsa Wamesa percaya bahwa nenek moyang

mereka berasal dari suku Kuri di pegunungan.

Marga-marga yang dikategorikan sebagai suku bangsa

Wamesa, yaitu:Parairawai, Karubui, Paduai, Windesi, Marani,

Kabiai, Yoweni, Sawasemaryai, Kayukatui, Manusawai.

Wilayah penyebaran suku bangsa Wamesa, yaitu:Distrik

Windesi mencakup kampung Windesi, Kampung Wamesa

Tengah, Kampung Sombokoro, Kampung Wamesa Timur

(Yopmeos), dan Kampung Sandey. Distrik Sough Jaya mencakup

kampung Kaprus.

Foto 19: Pria Suku Bangsa Wamesa Di Distrik Windesi


Kabupaten Teluk Wondama, (Sumber: Saragih, 2013)

b. Budaya Suku Bangsa Wamesa

Bahasa, Suku Bangsa Wamesa menggunakan bahasa

Wamesa dialek Windesi. Dialek ini sedikit berbeda dengan dialek

90
di Wasior misalnya pada aksen. Beberapa perbedaan juga terdapat

di tataran leksikal misalnya kata untuk tifa dalam dialek Windesi

disebut pandotu, sementara dalam dialek Wasior (Wondama)

disebut piwerota.

Secara tipologis bahasa Suku Bangsa Wamesa di

kategorikan dalam kelompok bahasa Austronesia dengan memiliki

urutan kata Subjek Predikat Objek, (Saragih, 2003:46)

Sistem Pengetahuan, sistem pengetahuan yang sempat

didapat adalah sistem pengetahuan tentang waktu. Masyarakat

suku Wamesa menggunakan simpulan tali untuk menentukan

waktu. Simpulan pada tali ini disebut tabuko, berasal dari kata

tabu ‘ikat’ dan ko ‘waktu’. Jadi secara harafiah tabuko berarti

mengikat waktu. Selain dipergunakan sebagai pengingat waktu,

kalender tradisional ini juga dipakai sebagai simbol pembayaran

mas kawin. Semakin besar simpul yang dibuat pada tali maka

semakin sebesar pula harga mahar yang akan dibayar. Pada masa

sekarang kalender tradisional ini sudah jarang di gunakan.

Masyarakat telah menggunakan kalender modern.

Organisasi Sosial, Dalam sistem politik atau

kepemimpinan tradisional dan organisasi sosialnya, masyarakat

Windesi menganut sistem yang mirip dengan sistem percampuran

di Biak. Masyarakat Windesi juga mengenal sistem pemimpin

panglima perang yang juga disebut mambri. Mambri merupakan

seorang pemimpin perang yang membawahi konfederasi beberapa

klan/marga. Tetapi setiap marga juga memiliki kepala marga

sendiri-sendiri. Kepala marga ini disebut dengan istilah beberu


91
[βeβeru] “orang yang menjadi kepala”. Ru dalam bahasa Wamesa

(dialek Windesi) berarti kepala, sementara bebe memiliki makna

yang kurang lebih sama dengan ‘orang’. Beberapa contoh morfem

dasar dalam bahasa Wamesa (dialek Windesi) dapat memberikan

gambaran ini. Tuan tanah (orang yang memiliki tanah) dalam

bahasa Wamesa (dialek Windesi) disebut bene/wene kapoka [βene

kapoka]. Be atau wei adalah morfem terikat anaforis yang merujuk

kepada orang yang dalam hal ini adalah ‘tuan’, sementara neii

adalah bentuk genetif atau posesif yang merujuk pada pemilik dari

sesuatu dan kapoka berarti tanah.

Beberu bertugas mengatur jalannya kehidupan sosial setiap

marga termasuk di dalamnya mengatasi berbagai masalah yang

terjadi diantara anggota marganya juga dengan marga-marga lain.

Dalam melaksanakan tugasnya seorang beberu dibantu oleh dua

orang kepercayaannya yang disebut warasara “tangan kiri” dan

warawata “tangan kanan”. Penjelasan tentang fungsi dan peran

kedua orang kepercayaan kepala marga ini tidaklah terlalu jelas.

Dari informasi yang didapat, kedua orang kepercayaan ini

bertugas untuk menyampaikan semua pesan kepala marga kepada

warga marga yang disebut kawamasa, tetapi pembagian tugas

yang lebih spesifik sejauh ini belum diketahui secara pasti.

Beberu adalah suatu sistem kepemimpinan yang bersifat

demokratis. Dengan demikian garis keturunan pemimpin tidak di

perhitungkan di sini. Siapa saja boleh menjadi beberu apabila

mereka mampu menunjukan kewibawaan mereka dalam

memimpin warga marga. Dengan kata lain beberu adalah jenis


92
kepemimpinan yang ditentukan oleh pencapaian-pencapaian yang

telah dilakukan oleh seseorang.Pemilihan beberu biasanya di

lakukan dengan cara musyawarah bersama.

Bila keadaan perang terjadi maka seorang mambri akan di

pilih untuk memimpin pasukan perang. Pasukan perang ini

biasanya merupakan konfederasi beberapa klan. Mambri akan

memimpin pasukan perang yang terdiri dari beberapa klan/marga.

Dengan demikian garis komando dari mambri akan diturunkan

kepada beberu masing-masing marga. Setiap beberu marga

kemudian akan menyampaikan kepada kawamasa ‘warga marga’

melalui warasara dan warawata.

Sistem Mata Pencaharian, Secara umum mata

pencaharian masyarakat Wamesa di kampung Windesi dan

Wamesa Tengah adalah nelayan, petani dan berburu. Tetapi saat

ini ada juga masyarakat yang telah menjadi Pegawai Negeri Sipil.

Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi, Alat-alat yang di

gunakan nelayan untuk mencari ikan diantaranya:Manora

‘kalawai’, asa monu ‘kalawai dua mata’, asa toru ‘kalawai tiga

mata, pasaa ‘kalawai banyak mata’, taraa ‘tombak satu mata’

(untuk penyu), saper ‘nilon dari tali genemo’, sera ‘jaring dari tali

genemo’, yeer ‘akar tuba’ dan tatup ‘buah racun’. Sementara alat

yang digunakan untuk berburu diantaranya Apaiwai ‘busur’, Sanai

‘tombak’, wanggouw ‘anak panah’, aroo ‘jerat’ dan siai ‘sungga’.

Sistem Religi: Tradisional dan Modern, Pada masa lalu,

suku Wamesa percaya kepada roh-roh nenek moyang. Praktik-

praktik seperti wasa ‘meramal’ dengan menggunakan wasarua


93
‘daun ramal’ dilakukan untuk meminta petunjuk kepada nenek

moyang baik ketika perang maupun ketika hendak mencari di laut.

Pada masa kini, suku Wamesa di kampung Windesi dan

Wamesa Tengah telah memeluk agama Kristen baik Protestan

maupun Pentakosta. Praktik wasa telah ubah menjadi memohon

petunjuk kepada Tuhan bukan lagi nenek moyang. Kata wasa

diartikan kini sebagai ‘berdoa’ kepada Tuhan.

Kesenian, Suku Bangsa Wamesa, mengenal seni tari yang

disebut Tari Setiasa Tara Kondi. Dalam istilah lokal suku bangsa

Wamesa di Kabupaten Teluk Wondama, tari ini disebut dengan

nama mayai. Salah satu tari (mayai) adalah Tari setiasa Tara

Kondi yang memiliki arti tari tikam telinga atau tari tusuk telinga.

Warisan leluhur suku bangsa Wamesa yang hingga kini masih di

praktikan adalah ketika masyarakat melakukan pesta adat

melubangi telinga atau tusuk telinga seorang gadis kepala suku

atau masyarakat, maka kelompok tari atau dalam istilah lokal

disebut ri, dan juga masyarakat biasa yang masih memiliki

hubungan sistem kekerabatan melakukan ritual ristamaye. Ris

berarti pesta dan tamanye berarti dansa adat. Jadi, salah satu dansa

adat adalah tari Setiasa tara Konda.

Tari Setiasa tara konda, ditarikan oleh para penari yang

dalam istilah lokal suku bangsa Wamesa, penari disebut wemayai.

Secara tradisional jumlah penari dalam pesta adat tari Setiasa tara

Konda tidak dibatasi. Siapa yang ingin menari dipersilahkan.

94
Namun dalam konteks modern, secara bertahap mengalami

perubahan. Jumlah penari di batasi 12 penari, dengan perincian,

laki-laki berjumlah 6 penari, sementara perempuan berjumlah 6

penari.

Para penari dilengkapai dengan busana yang dalam istilah

lokal disebut sasu. Busana perani dipadukan antara tradisional

dan modern. Busana tradisional untuk penari laki-laki adalah

cawat yang terbuat dari kulit kayu. Busana modern yang dipakai

perempuan adalah kain dada.

Secara tradisional Musisi dalam tari Setiasa tara Konda

tidak dibatasi jumlahnya. Namun dalam konteks modern, musisi di

batasi jumlahnya yang disesuaikan dengan alat musik yang di

mainkan. Jumlah musisi 6 orang dengan perincian, 1 pemain tifa

atau dalam istilah lokal disebut pindatu, 1 pemain guitar bas, 1

pemain okulele, 1 pemain sulung, 2 pemain guitar.

Foto 20:Sanggar Seni Tari Manai Yang Sering memetaskan Tarian Setiasa
Tara Konda, (Sumber:foto Oridek Suruan, 2017).

95
4.10. Suku Bangsa Mairasi Di Kabupaten Kaimana

a. Sejarah Suku Bangsa Mairasi

Mairasi, adalah nama salah satu suku bangsa yang di

kategorikan sebagai suku asli di Kabupaten Kaimana. Nama

Mairasi memiliki arti asli, (Silzer and Heikkinen, 1984, yang di

kutip, Hidayah, 2015:231).

Tentang asal-usul Suku bangsa Mairasi, masih tersimpan

dalam mitologi. Awalnya, menurut orang dari beberapa ‘suku’ ada

seorang perempuan yang abadi yang tinggal digunung Kuri 13,

(Ongkodharma dan Nelwan, 1985:96-97, yang dikutip dari,

Peckham,1994:222). Perempuan abadi itu bernama Jau Fei yang

berasal dari Suku bangsa Kuri. Ia kawin dengan seorang laki-laki

bernama Urere14, yang berasal dari suku bangsa Mairasi. Jau Fe

dan Urere tinggal di gunung Kuri. Pada saat itu, mentalitas suku

bangsa Mairasi sebagai pengembara, artinya suku bangsa yang

bersifat suka berpindah-pindah atau semi-nomadik, melakukan

migrasi dari lokasi awal mula yaitu gunung Kuri, dan akhirnya

tiba di lokasi tujuan migrasi, yaitu Kampung Lobo Kaimana.

Lokasi akhir tujuan migrasi suku bangsa Mairasi inilah yang di

percaya sebagai Pusat lingkungan kebudayaan atau dalam

pengataan lain Pusat asal orang dan kebudayaan, Suku Bangsa

Mairasi. Hal ini seide dengan pemikiran L.Peckham, yang

mengatakan bahwa Perpindahan Urere dari daerah Kuri

melambangkan perpindahan pusat lingkungan kebudayaan


13
Gunung Kuri, diyakini suku bangsa Mairasi sebagai pusat sistem kepercanyaan dari masyarakat Mairasi, dan gunung
Kuri di daerah ‘leher burung’, terdapat di daerah Kuri yang terletak sekitar 70 KM dari Kabupaten Kaimana ke arah
timur laut.
14
Urere memiliki kekuatan sakti, Ia membuat sungai Lenggur, sungai yang bermuara di Teluk triton dekat Lobo

96
masyarakat Mairasi dari Kuri ke Sarivan Nanggavo dan Lobo,

(1994:224).

Selengkapnya, Mitologi tentang asal-usul Suku bangsa

Mairasi, kisahnya sebagai berikut :

Setelah menginjak masa dewasa Urere bersama istrinya


berpindah ke suatu tempat yang bernama Mirai terletak di
sebelah utara desa Lobo, ditempat Urere belajar ilmu sihir
bersama seekor ular yang bernama E’ersangger. Selain
dengan e’ersangger, Urere belajar Erer, pemimpin anjing-
anjing (suao), buaya darat (jambi/wasara). Urere juga
belajar dari binatang-binatang yang hdiup diair tawar
(wanusur) dan dengan babi hutan (wengganti/naomi). Saat
Urere belajar dengan binatang-binatang ini, Ia akan
berubah wajah seperti binatang-binatang tersebut, setelah
selesai belajar Urere berubah menjadi manusia.

Dari Mairasi Ia berpindah ke suatu daerah diatas kepala


air, yaitu sungai Urere dan membangun kampung yang di
kelilingi oleh selokan. Setelah itu Urere berpindah lagi ke
Kimbiar suatu tempat dimana sampai sekarang tumpukan
tulang-tulang binatang yang dimakan oleh penduduk
tersebut pada waktu masih ada. Ditempat inilah penduduk
membangun sebuah rumah untuk melakukan sebuah pesta
yang disebut Wasa. Karena tidak setuju dengan perbuatan
anggota masyarakat yang selalu membuat pesta secara
besar-besaran kepada roh-roh di hutan dan banyak
melakukan perzinahan di perkampungan masih angguru
(perkampungan yang memiliki 6 buah rumah). Ketika
putra Urere menjelma seekor belut, Ia dimakan oleh ibu
mertua Urere. Oleh sebab itu, Urere membunuh ibu
mertuanya disuatu tempat yang bernama manim te emnyai
di daerah Kuri. Sesudah itu ibu mertuanya dikubur, Urere
membawa kepalanya dan masuk dalam tanah. Urere
muncul kembali digunung Urjo. Kepala ibu mertuanya di
gantung pada sebuah pohon Masoi. Karena tiupan angin,
kepala tersebut jatuh hingga ke tempat yang bernama
Sunuwu yang dikejar oleh Urere.

Di tempat ini Urere menemukan seekor belut besar yang


berana Genisa. Dengan kepala Genisa Urere bersama
keluargnya dan saudara laki-laki dari ibunya mengadakan
perjalanan ke darat. Ketika itu terjadi gempa bumi sebagai
hukuman kepada penduduk kampung karena tingkah
lakunya, gempa bumi ini menurunkan kapal itu ke sebuah
cela yang mulai terisi air. Selama perjalanan bagian
sebelah kanan, terbakar hangus termasuk pepohonan.
Kebakaran ini dilakukan oleh pemegang obor Urere,
97
sementara salah satu orang pamannya menembaki gunung-
gunung untuk membuka jalan yang turun ke pantai ketika
itu belum ada laut. Akhirnya Urere tiba di Lobo, istrinya
selalu menangis mengingat tempat asalnya, sehingga
sebuah kapal datang dan membawanya kembali15.

Suku bangsa Mairasi, merupakan integrasi dari beberapa

klan atau marga. Klen atau marga-maraga yang dikategorikan

sebagai Suku Bangsa Mairasi, yaitu:Wariensi, Ratmanai, Orani,

Manggara, Ojangai, Nanguasai, Angganun, Mefana, Sembay,

Sefana, Sanau, Tavuani, Inggrei, Surawi, Siburari, Nambobo,

Jaisea, Safara, Sinaonda, Sanamuara, Jaanoug, Natgoa, Asafa,

Sisama, Firema, Iriyena, Sandoa, Sernau, Mura, Farinatai,

Musmafah, Anggua, Tabnesa, Namboru, Asua, Nambima, Sisauta,

Ons, Suparto, Janoma, Jafata, Mufara, Kamakaula, Oruw,

Naruwu, Nasinyai, Nega, Majarnau, Nauseni, Anggua, Yefa,

Soafa, Namama, Moy, Aturari, Usera, Nasua, Ay, Naguara,

Meidana, Kaufara, UIta, Serai, Nensiani, Feranga, Nasua,

Nangewa, Jaisona Usa, Furua, Raiya, Sori, Sosik, Mejoi,

(Rumansara, 2018:127).

Lokasi penyebaran suku bangsa Mairasi di Kabupaten

Kaimana, yaitu:di wilayah pedalaman meliputi kampung Umbran,

Jamna fata, Matna, Tarwata, Sara, Kasira, Orai, Wangatnau,

Faranyau, Sarifan. Sementara penyebaran di wilayah pantai,

meliputi kampung Sisir, Foroma Jaya, Warasi, Lobo, Lomira,

Morona, Nanggwaromi, Omay/May may, dan Warika. Selain itu,

15
Sumber mitologi ini, dikutip penulis dalam Dokumen Pemerintah Daerah Kabupaten Kaimana, Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah Penelitian dan Pengembangan tentang “Revisi Tata Ruang Wilayah Kebudayaan Masyarakat
Kaimana”, tahun 2017, Halaman 57-58.

98
wilayah penyebaran suku Bangsa Mairasi hingga Kabupaten Teluk

Wondama16, di Distrik Naikere yang meliputi Kampung Sararti,

Oya, Yabore, Wosimo, Undurara, Inyora.

Foto 21-22 : Suku Bangsa Mairasi, (Sumber:Foto Adolof Ronsumbre, 2013)

b. Budaya Suku Bangsa Mairasi

Bahasa, bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi di

antara suku bangsa Mairasi, baik yang berlokasi di wilayah

Kabupaten Kaimana hingga wilayah Kabupaten Teluk Wondama,

sama-sama menggunakan bahasa yang dikategorikan sebagai

bahasa Mairasi, (Peckam, 1994:220).

Berdasarkan hasil observasi penulis di kampung Marsi,

suatu kampung di wilayah pesisir Kabupaten Kaimana, sebagai

wilayah pemukiman suku bangsa Mairasi, penulis mendengar dan

menyaksikan bagaimana proses interaksi sosial di kampung, masih

menggunakan bahasa Mairasi baik pada level laki-laki dan

16
Suku Bangsa Mairasi yang menyebar dari Kampung Lobo Kabupaten Kaimana ke Kabupaten Teluk Wondama,
memiliki sejarah. Demikian sejarahnya : menurut pendeta Tomas Yoteni, Ketua GKI di Wasyor (saat itu) orang Mairasi
masuk ke daerah distrik Naikere pada tahun 1946 sesudah terjadi pembunuhan seorang Menteri Pertanian di Daerah
Kaimana. Walaupun Distrik Naikere milik suku bangsa Miere, tapi satu kelompok kecil suku bangsa Mairasi melarikan
diri kesana supaya tidak dihukum oleh orang Belanda di Kaimana, (Peckham, 1994:223).

99
perempuan, orang tua dan anak-anak. Selain itu, mereka juga

menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi.

Sistem Pengetahuan Tradisional, warisan pengetahuan

tradisional leluhur suku bangsa Mairasi memiliki nilai manfaat

dan nilai fungsi yang baik, sehingga dalam konteks yang maha

modern ini, warisan pengetahuan ini masih dipertahankan dan di

praktikkan. Suku bangsa Mairasi memiliki beberapa warisan

system pengetahuan tradisional, yaitu :

Pengetahuan tentang Alam semesta, warisan pengetahuan

ini, mengajarkan suku bangsa Mairasi tentang konsep dunia ini.

Dunia orang Mairasi mempunyai pengetahuan membagi alam

menjadi, dua bagian, yaitu: (1). Wereia Warmanar (alam Nyata),

yaitu manusia nyata yang dilihat sehari-hari, dan juga manusia

kerdil (itit matut) yang hidup di puncak-puncak gunung.

(2).Wareia Mesiar (alam gaib), yaitu makhluk-makhluk gaib yang

menguasai bagian-bagian alam, seperti makhluk halus/roh (O’wei)

yang menguasai daratan dan lautan, menguasai alam atas dan alam

bawah, menguasai air asin dan air tawar, (Rumansara, 2018:168).

Pengetahuan budaya tentang Klasifikasi Hutan, Suku

bangsa Mairasi mengkategorikan hutan sekitarnya secara

tradisional, yaitu:(1). Iwaru/waren Aseri adalah jenis hutan yang

belum dibuka oleh manusia atau hutan primer. Hutan dimana

berdiam binatang/hewan buruannya, tempat mereka memperoleh

berbagai jenis kayu. (2). Undumo adalah jenis hutan yang pernah

dibuka oleh manusia untuk berkebun (hutan bekas kebun). Hutan

jenis ini sudah merupakan milik orang (klen) yang pernah


100
menggarapnya. Apabila ada orang atau kerabat yang ingin

membuka kebun dilokasi bekas kebunnya, maka orang yang ingin

membuka kebun itu harus memberitahukan kepada pemilik bekas

kebun itu. (3). Menggu/Saari adalah juga hutan bekas yang di

kategorikan sebagai hutan bekas kebun yang tanahnya berbatu.

Jenis tanah yang menurut mereka cocok untuk menanam keladi.

(4).Waes Firi/Wasasi Firi adalah jenis hutan yang tanahnya cocok

untuk tanaman petatas (simsere). Karena menurut mereka hutan

ini tanahnya bercampur pasir sehingga akan cukup baik,

(Rumansara, 2018:171).

Selain itu, Suku bangsa Mairasi juga memiliki

pengetahuan tentang alam tumbuh-tumbuhan. Menurut Rumansara

(2000:172-173), suku bangsa Mairasi mengenai 417 jenis

tumbuhan pengobatan, yaitu:(1).Jobsini, adalah jenis obat

tradisional yang digunakan untuk membantu orang sakit karena di

perkirakan kurang darah. Sehingga menurut mereka jenis obat ini

untuk menambah darah. (2).Rearanwaros, adalah jenis obat

tradisional yang digunakan untuk membantu para ibu-ibu yang

baru selesai melahirkan. (3).Fere Arub/Avu, adalah jenis obat

tradisional orang Mairasi untuk membersihkan luka yang infeksi

atau bernanah. (4). Aoborub, adalah jenis obat tradisional orang

Mairasi untuk mengobati luka-luka yang infeksi.

Organisasi Sosial dan Sistem Kekerabatan, Organisasi

terkecil dalam konstruksi budaya Suku bangsa Mairasi adalah

keluarga inti (nuclear family) atau yang dalam istilah lokal disebut
17
Menurut Rumansara, Pengetahuan orang Mairasi dalam mengklasifikasikan tumbuh-tumbuhan cukup banyak, namun
yang sempat diperoleh dilapangan adalah beberapa jenis tumbuhan untuk pengobatan.

101
Inavutato. Secara tradisional kesatuan sosial ini tinggal dalam satu

rumah yang disebut rumah Kebun. Rumah kebun adalah karena

mereka setelah dimukimkan pada lokasi-lokasi baru (kampung),

rumah tradisional ini dibangun pada lokasi dekat kebun,

(Rumansara, 2018:151).

Dalam konteks Kepemimpinan tradisional, Warisan sistem

kepemimpinan tradisional yang masih dikenal wujudnya oleh suku

bangsa Mairasi. Menurut Rumansara, (2018:153-154), Suku

Bangsa Mairasi mengenal 3 sistem kepemimpinan tradisional,

yaitu:(1). Pemimpin perang (Kuasi), Kuasi selalu memimpin

kelompok mereka untuk melakukan pengayauan pada masa lalu,

mereka menyerang ke bagian pantai hingga sampai ke Teluk

Arguni. (2). Pemimpin Upacara Keagamaan (Jarere), pemimpin

upacara religius yang dikenal dengan istilah Jarere, sangat di

hormati karena ia dapat berhubungan dengan makhluk-makhluk

halus atau roh-roh halus yang mereka sembah, yaitu seperti Asiwo

(roh yang berkuasa). (3).Pemimpin Adat (Barneverai), Barneverai

dapat menyelesaikan masalah-masalah yang melanggar adat atau

norma-norma yang mengatur kehidupan mereka. Berneverai

terdiri dari orang tua yang memiliki pengetahuan tentang budaya

orang Mairasi, sehingga orang yang menjadi Barneverai harus

diakui oleh klennya dengan syarat bahwa orang itu lebih

mengetahui latar belakang asal-usul klennya. Menurut informasi

bahwa banyak masalah pelanggaran adat yang diselesaikan lewat

pemimpin-pemimpin adat ini. Dalam kebudayaan suku bangsa

Mairasi ada sistem penyelesaian masalah dengan cara Tawaye.


102
Tawaye adalah satu alat pemukul dari sejenis kayu besi yang di

gunakan untuk memukul orang yang dianggap bersalah. Kegiatan

pemukulan bagi terdakwa (orang yang membuat pelanggaran) ini

di pimpin oleh Barneverai

Mata Pencaharian, Eksistensi suku bangsa Mairasi

membutuhkan sumber pangan. Manusia harus bekerja dan

mengolah alam untuk memperoleh sumber pangan. Suku bangsa

Mairasi sewaktu masih di wilayah pegunungan, sistem mata

pencaharian yang dikenal adalah berkebun dan berburu. Namun,

setelah migrasi dan berlokasi di wilayah pesisir Kaimana, maka

perlu adaptasi ekologi untuk memperoleh sumber pangan dari laut

dengan bermata pencaharian sebagai nelayan.

Berkebun, suku bangsa Mairasi memilih wilayah atau

semacam pemilihan lokasi kebun berada di halaman rumah,

maupun membuka hutan untuk dijadikan kebun. Jenis tanaman

yang ditanam dikebun, yaitu:keladi (Aua), Petatas (Simsere),

Singkong (Benggara), Jagung (Botani), Pisang (Wei), Pepaya

(Yosere), Bayam (Kayar), Gedi (Fionggai), Labu (Rambunu), Rica

(Genggesi), Sawi (Seswai), Nenas (Wariambere), tomat, sayur

kacang panjang, Kacang Tanah.

Berburu, adalah suatu mata pencaharian manusia yang

paling tua di muka bumi. Warisan tentang mata pencaharian

berburu, ternyata masih dipraktikan oleh suku bangsa Mairasi.

Para pemburu biasanya berkelompok. Peralatan yang digunakan

untuk berburu, yaitu:Busur (Jerunggu), Anak Panah (Eua),

Tombak (Totia), Tali Jerat (Onggongor), dan parang (Ovuru).


103
Wilayah berburu suku bangsa Mairasi berada pada hutan. Di hutan

di pandang tersedia berbagai jenis hewan yang dapat dijadikan

sebagai hewan buruan. Beberapa jenis hewan yang bisanya

menjadi hewan buruan suku bangsa Mairasi, guna memenuhi

kebutuhan hewani, antara lain:Babi (Bemb), Kasuari gunung

(Joari), Rusa (Rusa), Kanguru (Tangget), Kuskus pohon (Undari/

Vomo), Tikus tanah, Mambruk (Tite/Mavo), Maleo, Nuri (Waiya),

Kelelawar (Oele), Buaya (Samangga/Matwati), Soa-soa/Biawak

(Itomo), Cenderawasih (Siangga), Kakatua Putih (Waria), Kakatua

Hiu (Arere), Kakatua Raja (Osiwo).

Nelayan, adalah salah satu jenis mata pencaharian yang di

lakukan suku bangsa Mairasi, ketika mereka bermigrasi dari

wilayah gunung ke wilayah pesisir dan menetap antara tahun 1830

(Rumansara, 2018:141). Peralatan yang digunakan untuk

menangkap ikan, yaitu:perahu (eer), Nelon (Sumbumbaniom),

penikam (Wairani), Petromaks (Lampurua). Jenis-jenis ikan yang

ditangkap nelayan suku bangsa Mairasi dan kemudian dijual dan

konsumsi untuk memenuhi kebutuhan hewani, antara lain: Bubara

(Werfeve), Tengiri (tenggiriv), Bandeng (Wai), Gurami (Oi),

Cakalang (Fungwai), Lema (Doma’leve), Merah (Ringga/Saboro),

Puri/Tembang (Wara), Kakap, Bulanak, Ekor ikan Hiu,

(Rumansara, 2018:144).

104
Foto 23:Salah satu Wilayah Mencari Ikan Nelayan Suku Bangsa
Mairasi di Kampung Marsi, (Sumber:Foto Adolof Ronsumbre, 2018)

Sistem Teknologi dan Peralatan hidup, dalam konteks

modern, mencari dan menemukan unsur budaya yang di

kategorikan “asli”, rasanya butuh proses. Faktor sudah membaur

dan bercampur menjadi salah satu alasan. Namun, apakah

selamanya demikian, teryanta masih ada warisan-warisan unsur

budaya Suku bangsa Mairasi yang di pandang masih asli. Warisan

itu bisa kita saksikan pada teknologi tradisional. Berikut ini

beberapa alat tradisional dalam kebudayaan suku bangsa Mairasi,

yaitu:(1). Furkwangge, adalah alat untuk membuat api secara

tradisional. Alat ini digunakan sebagai bahan utama membuat api,

sementara bahan untuk menggeseknya terbuat dari pecahan batu

(pada masa lalu) dan pecahan piring (sekarang). Pecahan batu atau

piring ini disebut Binggana Suara. (2).Oere, adalah alat untuk

menokok sagu. Alat ini dibuat dari bahan bambu, kayu dan tali

rotan untuk mengikatnya. Sekarang alat ini sudah ditambah bahan

logam, yaitu potongan pipa besi yang disarung pada ujung

penokok. (3). Uruptiti, adalah alat untuk menangkap binatang

105
buruan dengan menjerat. Alat ini dibuat dari bahan kayu buah, tali

rotan (dahulu) dan kawat/kabel (sekarang), (Rumansara,

2018:155-156)

Kesenian, Salah satu Warisan kesenian tradisional Suku

bangsa Mairasi yang masih dipraktikan dalam konteks modern

adalah Tari Goyang18, atau dalam istilah lokal disebut tari Evia

Mamonggo. Tari Goyang (evia mamonggo) adalah jenis tari yang

digunakan untuk penyambutan tamu, nikah, pembangunan rumah

atau pemasangan atap rumah. Tari ini tidak bisa ditampilkan

secara sembarangan, karena ada aturan adat yang langsung sebagai

alat kontrol. Kuasa aturan adat dipegang langsung oleh Kepala

suku bangsa Mairasi di Kabupaten Kaimana. Setiap penampilan

tari goyang ditingkat lokal, nasional atau bahkan internasional,

wajib meminta izin dari Kepala suku bangsa Mairasi19.

Tari goyang, ditarikan oleh sejumlah 21 penari. Ke 21

penari ini usianya 30 tahun hingga 35 tahun. Pakaian Penari

memakain kostum yang terbuat dari kayu, dalam istilah lokal

disebut jobo yang menghasilkan pakaian kulit kayu atau kain dada

(baju dress) bagi perempuan (taisi), dan cawat bagi laki-laki

(agaba), dengan menggunakan aksesoris kalung manik-manik dan

sisir bambu (suer) bagi perempuan dan gelang tangan (waraia)

yang terbuat dari tali hutan.

Tari goyang diiringi oleh sejumlah pemain musik dengan

berjumlah 5 musisi, yang terdiri dari 3 musisi memegang tifa


18
Lihat Laporan Inventarisasi Seni Tari Di Propinsi Papua Barat, Tahun 2017
19
Kepala Suku Bangsa Mairasa di Kabupaten Kaimana adalah BapakYordan Sanai

106
(evia) sambil menari, serta 2 musisi memegang gong (mamonggo).

Tugas mereka hanya menabuh tifa dan bernyanyi mengiringi

penari. Ada dua lagu yang dinyanyikan berbahasa kelompok etnik

Mairasi untuk mengiringi tarian goyang.

Foto 24:Sanggar Seni Tari Kurano, Sedang Mementaskan Tari Goyang Evia
Mamonggo, (Sumber:Dokumentasi Sanggar Kurano Kaimana, 2017)

Religi, Warisan religi atau warisan semacam kepercanyaan

tradisional suku bangsa Mairasi, masih bisa ditemukan dalam

cerita lisan yang diwujudkan dalam mitologi. Warisan ini

mengajarkan suku bangsa Mairasi untuk bisa memahami dan

menjelaskan salah satu makna hidup ini. Produk akhir dari warisan

ini, akhirnya terbentuk konsep-konsep tradisional suku bangsa

Mairasi. Suku bangsa Mairasi memiliki konsep tradisional tentang

siapa saja mahkluk penghuni planet Bumi ? Orang Mairasi

percaya bahwa ada dua penghuni dunia, yaitu:(1). makhluk nyata

atau dalam istilah lokal disebut Wereia warmanar, antara lain:

Burung (sai), Ular (ambere), Ikan (uratu), Pohon (iwo), Tanaman

(tembere), dan manusia (Ja’anogu) yang dilihat sehari-hari, juga

107
manusia kerdil (ifit matu) yang hidup dipuncak gunung dekat

kampung Lomira (sebelah Barat kampung Lobo). (2). Mahkluk

gaib atau dalam istilah lokal disebut Wareia Mesiar, adalah roh-

roh (O’wei) yang berkuasa baik itu didaratan dilaut, diatas dan

dibawah juga pada air asin dan air tawar. Penguasa ini berkuasa

pada daerahnya masing-masing, Roh-roh (O’wei) dapat

mendatangkan kebaikan juga malapetaka. Roh O’wei tinggal di

bawah permukaan tanah dan biasanya aktif pada malam hari.

Mereka aktif setelah meninggalnya manusia atau matinya

binatang. Roh (O’wei) berasal dari roh orang meninggal.

DAFTAR PUSTAKA

108
SUMBER BUKU :
Barth, Fredrik, 1988:”Kelompok Etnik Dan Batasannya”, Jakarta:Universitas
Indonresia.
Denzin,K, dkk, 2009:”Qualitative Research”,Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Geertz, Clifford,1992: ”Tafsir Kebudayaan”,Yogyakarta:Kanisius.
Harrison, Lawrence, dkk:”Kebangkitan Peran Budaya, Bagaimana Nilai-Nilai
Membentuk Kemajuan Manusia”, Jakarta:LP3ES.
Haviland, William,1985:”Antropologi, Edisi Keempat, Jilid 1”, Jakarta:
Erlangga.
Hidayah, Zulyani, 2015:”Ensiklopedi Suku Bangsa Di Indonesia”, Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia .
Ihromi, T.O,2006:”Pokok-Pokok Antropologi Budaya”, Jakarta:Yayasan Obor
Koentjaraningrat, 2005:”Pengantar Antropologi, Pokok-Pokok Etnografi II”,
Jakarta:Rineka Cipta.
-----------------, 2009:”Pengantar Ilmu Antropologi, Edisi Revisi 2009”, Jakarta:
Rineka Cipta.
Liliweri, Alo,2007:”Makna Budaya Dalam Komunikasi Antarbudaya”,
Yogyakarta:LKIS.
-----------------,2009:”Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya”, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
-----------------, 2014:”Pengantar Studi Kebudayaan”, Bandung:Nusa Media

Maran, Raga, Rafael, 2000:”Manusia Dan Kebudayaan Dalam Perspektif Ilmu


Budaya Dasar”, Jakarta:Rineka Cipta.
Mahjunir, 1967:”Mengenal Pokok-Pokok Antropologi Dan Kebudayaan”,
Jakarta:Bhratara.
Masinambow, dkk, 1994:”Kebudayaan dan Pembangunan Di Irian Jaya”,
Jakarta:LIPI-RUL
Nasrullah Rulli, 2012:”Komunikasi Antarbudaya Di Era Budaya Siber”,
Jakarta:Kencana Prenada Media Group.
Pelly, Usman,dkk,1994:”Teori-Teori Sosial Budaya”, Jakarta:Proyek Pembinaan
dan Peningkatan Mutu Tenaga Kependidikan Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Pujileksono, Sugeng, 2009:”Pengantar Antropologi Edisi Revisi”, Malang:
UMM Press.

109
Poerwanto, Hari, 2008:”Kebudayaan Dan Lingkungan Dalam Perspektif
Antropologi”,Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Rumbiak, dkk,1996:”Etnografi Irian Jaya Seri 2, Marind, Mooi, Nafri, Meyakh
dan Manusia-Indonesia-Irian di Tahun 2000”, Jayapura:
Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya.
Rumansara, Enos, 2018:”Etnografi Kaimana Edisi Pertama, Studi Pada Suku
Kuri, Irarutu, Oburauw, Madewana, Mairasi, Koiwai,
Miere, Dan Napiti”, Yogyakarta:Amara Books.
Salabai, Bastian, 2009:”Babi Perdamaian, Penginjilan Kontekstual Suku
Arfak”, Yogyakarta:Pustaka Therasia.
Sibarani, Robert, 2004:”Antropolinguistik:Antropologi Linguistik, Linguistik
Antropologi”, Medan:Poda.
Syufi, dkk, 2014:”Pemetaan Kebudayaan Di Kabupaten Tambrauw”,
Yogyakarta:Kepel Press.
Spradley, James, 2007:”Metode Etnografi”, Yogyakarta:Tiara Wacana
Sulasman, dkk:”Teori-Teori Kebudayaan Dari Teori Hingga Aplikasi”,
Bandung:CV. Pustaka Setia.
Sutrisno, Mudji,dkk, 2005:”Teori-Teori Kebudayaan”, Yogyakarta:Kanisius.
Wiranata, I Gede,2002:”Antropologi Budaya”, Tanpa nama Kota Terbit:PT.Citra
Aditya Bakti.

SUMBER LAPORAN :
Isman, dkk, 2012:”A Social Mapping Report:Klamono Dalam Pusaran
Pembangunan. Kerjasama PT.Pertamina EP Region KTI
Field Papua Dengan Institut Pembangunan Masyarakat
Bandung.
Ronsumbre, dkk, 2013:”Laporan Akhir Kajian Antropologi Suku-Suku Asli Di
Kabupaten Teluk Wondama Propinsi Papua Barat”.
Kerjasama Badan Perencanaan Pengembangan Daerah
Kabupaten Teluk Wondama Dengan Fakultas Sastra
Universitas Papua.
Ronsumbre, dkk, 2015:”Laporan Akhir Pemetaan Hak Ulayat Masyarakat Adat
Di Blok Kupalanda Kabupaten Sorong Selatan Propinsi
Papua Barat”. Kerjasama PT.Pertamina EP Asset 5 Papua
Field Dengan Jurusan Antropologi Fakultas Sastra dan
Budaya Universitas Papua.

110
Ronsumbre, dkk, 2015:”Laporan Akhir Pemetaan Hak Ulayat Masyarakat Adat
Di Blok Kupalanda Kabupaten Teluk Bintuni Propinsi
Papua Barat”. Kerjasama PT.Pertamina EP Asset 5 Papua
Field Dengan Jurusan Antropologi Fakultas Sastra dan
Budaya Universitas Papua.
Ronsumbre, dkk, 2016:”Laporan Akhir Pemetaan Hak Ulayat Kelompok Etnik
Sumuri Di Distrik Sumuri Kabupaten Teluk Bintuni
Propinsi Papua Barat”.
Ronsumbre,dkk, 2017:”Laporan Inventarisasi Seni Tari Di Propinsi Papua
Barat”. Bidang Pameran dan Promosi Dewan Kesenian
Propinsi Papua Barat.
Dokumen revisi, 2017:”Tata Ruang Wilayah Kebudayaan Masyarakat Kaimana”.
Kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
Penelitian dan Pengenbangan Dengan Universitas
Cenderawasih Jayapura Propinsi Papua.

SUMBER KAMUS :
Balai Pustaka, 2007:”Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga”, Jakarta:
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Barry-Al, 2001:”Kamus Sosiologi Antropologi”, Surabaya:Indah
Koentjaraningrat, 1984:”Kamus Istilah Antropologi”, Jakarta:Pusat Pembinaan
Dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan Dan
Kebudayaan.

111
i

ii

Anda mungkin juga menyukai