SKRIPSI
Oleh
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2020
NILAI NUTRISI LAMTORO TARRAMBA
(Leucaena leucocephala cv. Tarramba) YANG DIBERI
PUPUK AMAZING BIO GROWTH (ABG) TABLET
DENGAN LEVEL YANG BERBEDA
SKRIPSI
Oleh
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2020
NILAI NUTRISI LAMTORO TARRAMBA
(Leucaena leucocephala cv. Tarramba) YANG DIBERI
PUPUK AMAZING BIO GROWTH (ABG) TABLET
DENGAN LEVEL YANG BERBEDA
SKRIPSI
Oleh
Menyetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Twen. O. Dami Dato, MP. Ir. Yohanis. U.L. Sobang, M.Si
Pembimbing Utama Pembimbing Anggota
NILAI NUTRISI LAMTORO TARRAMBA
(Leucaena leucocephala cv. Tarramba) YANG DIBERI
PUPUK AMAZING BIO GROWTH (ABG) TABLET
DENGAN LEVEL YANG BERBEDA
SKRIPSI
Oleh
GERIN GILBERT GAH
NIM. 1605030288
Mengesahkan
Dr. Ir. Arnold E. Manu, MP. Dr. Ir. Edi Djoko Sulistijo, MP.
NIP. 19680416 199203 1 002 NIP. 19650414 198903 1 002
NIM : 160503288
ABSTRAK
Kata Kunci: pupuk organik ABG, lamtoro tarramba, protein kasar, serat kasar,
kecernaan in vitro.
i
NUTRITIONAL VALUE OF LAMTORO TARRAMBA (Leucaena
leucocephala cv. Tarramba) GIVEN FERTILIZER AMAZING BIO
GROWTH (ABG) TABLET WITH DIFFERENT LEVEL
Gerin G. Gah; Twenfosel O. Dami Dato; Yohanis Umbu L. Sobang
Faculty of Animal Husbandry, Nusa Cendana University
Adisucipto Penfui Street, Kupang 85001
Email: geringilbertgah@gmail.com
ABSTRACT
This research was conducted in the field laboratory of the Faculty of Animal
Husbandry, Nusa Cendana University for 7 months from October 2019 to April
2020 which was followed by an analysis of crude protein content, crude fiber
content, crude protein digestibility, and crude fiber digestibility at the Feed
Chemistry Laboratory of the Faculty of Animal Husbandry, Nusa Cendana
University, Kupang. This study aims to determine whether there is an effect of
giving ABG organic fertilizer tablets on crude protein content, crude fiber content,
crude protein digestibility, and crude fiber digestibility of lamtoro tarramba
(Leucaena leucocephala cv. Tarramba) planted in polybags 17.5 in height and
diameter 35 cm. The yields were analyzed at the Fapet Undana Feed Chemistry
Laboratory to determine the crude protein content, crude fiber content, crude
protein digestibility, and crude fiber digestibility. The experimental design used
was a Completely Randomized Design (CRD) consisting of 5 treatments with 3
replications (15 experimental units). The treatments were: R0 = without ABG-tablet
fertilizer (control), R1 = ABG-tablet 1 tablet (10g), R2 = ABG-tablet 2 tablet (20g),
R3 = ABG-tablet 3 tablet (30g), and R4 = ABG-tablet 4 tablet (40g). The data
were tested with variance, then continued with Duncan's multiple range test.
Variables evaluated in the study were: crude protein and crude fiber content and in
vitro digestibility. Crude protein content average respectively R0 (18.86); R1
(20.44); R2 (21.16); R3 (21.70); R4 (22.61); crude fiber content R0 (13.33); R1 (12.65);
R2 (12.53); R3 (12.48); R4 (11.09); crude protein digestibility R0 (74.45); R1 (74.75);
R2 (75.03); R3 (75.19); R4 (76.21); crude fiber digestibility R0 (48.22); R1 (52.23); R2
(52.97); R3 (53.32); R4 (54.68). Statistical analysis showed that giving ABG-tablet
organic fertilizer only had a significant (P<0.05) on the in vitro digestibility of
crude fiber, but no significant (P>0.05) on the crude protein content, crude fiber
content, and in vitro digestibility of crude protein. The conclusion is that the use of
ABG-tablets organic fertilizer as much as 4 tablets could increase the nutritional
value of lamtoro tarramba seen from the content and in vitro digestibility of crude
fiber.
Keywords: ABG organic fertilizer, lamtoro tarramba, crude protein, crude fiber,
digestibility in vitro.
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena atas berkat dan anugerah serta penyertaan-Nya, maka penulis dapat
berdasarkan hasil penelitian yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh
Kupang.
skripsi ini, banyak sekali tantangan dan hambatan yang dihadapi. Akan tetapi,
penulis mendapat dukungan dan bantuan dari banyak pihak sehingga penulis
dapat menyelesaikan penelitian hingga penyusunan skripsi ini dengan baik. Untuk
itu penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Ir. Twen. O. Dami Dato,
MP., selaku pembimbing utama, Bapak Ir. Yohanis Umbu L. Sobang, M.Si.,
selaku pembimbing anggota, dan Ibu Ir. Grace Maranatha, M.Si., selaku penguji
yang dengan sabar dan tulus serta yang telah meluangkan waktu dan tenaga dalam
ini.
Ucapan terima kasih yang tulus dan hormat Penulis sampaikan kepada :
1. Bapak Dr. Ir. Arnold E. Manu, MP., selaku Dekan Fakultas Peternakan
iii
2. Bapak Ir. Edi Djoko Sulistijo, MP., selaku Ketua Program Studi Peternakan
di Fapet Undana yang selalu menyediakan waktu untuk melayani dalam hal
pelayanan akademik.
3. Bapak Ir. Victor J. Ballo, M.Si., selaku dosen penasehat yang telah
4. Bapak/Ibu dosen dan pegawai pada Fakultas Peternakan Undana atas didikan
5. Bapak Mama tercinta Pdt. Mefibozet Djami Gah, S.Th. (alm) dan Yull
Amelia, kakak Gevin dan adik Gianni yang dengan sukacita memberi doa,
dukungan dan cinta kasih kepada penulis dalam mengerjakan skripsi ini
sampai selesai.
6. Teman spesial (pacar) Setiawati Therfianti Djani, SM., MM., terima kasih
atas dukungan doa maupun materi serta yang menjadi obat penyemangat bagi
7. Rekan peneliti Putra, Rio, Marsela, Alex, Mey dan Benyamin, terima kasih
Jovandra, Alex, Putra, Angel, Glen, Pierre, Rolan, Jhoy, Yacob, Tito, Debi,
Rio N, Rio S, Elson, Edhgar, Jen, Hero dan semua rekan yang tidak sempat
disebut satu per satu yang selalu memberi motivasi selama di bangku
perkuliahan. Terima kasih atas kebersamaan yang telah terjalin selama masa
iv
Kiranya tulisan ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan
khususnya di bidang peternakan. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh
dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat
penulis harapkan demi penyempurnaan tulisan ini. Semoga tulisan ini bermanfaat
Penulis,
v
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK …………………………………………………………… i
ABSTRACT ………………………………………………………….. ii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang …………………………………….. 1
1.2. Rumusan Masalah …………………………………. 5
1.3. Tujuan Penelitian ………………………………….. 5
1.4. Manfaat Penelitian ………………………………… 5
vi
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Pengaruh Perlakuan Terhadap Kandungan Protein
Kasar ………………………………………………. 30
4.2. Pengaruh Perlakuan Terhadap Kandungan Serat
Kasar ………………………………………………. 33
4.3. Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan in vitro
Protein Kasar ………………………..……………. 36
4.4. Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan in vitro
Serat Kasar ………………………………………… 38
BAB V. PENUTUP
5.1. Kesimpulan ………………………………………... 41
5.2. Saran ………………………………………………. 41
LAMPIRAN ………………………………………………………….. 49
vii
DAFTAR TABEL
Tabel. Halaman
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Lamp. Halaman
ix
BAB I
PENDAHULUAN
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu daerah sentra
produksi ternak sapi potong yang sudah lama dikenal dengan baik. Sebagian besar
dengan sumber pakan atau hijauan hanya diharapkan dari rumput lapangan yang
tumbuh di pinggir jalan, sungai, pematang sawah dan tegalan yang sangat
tergantung dari musim yang tidak tetap sepanjang tahun. Produktivitas ternak
ketersediaan pakan pada musim kemarau sangat sedikit jika dibandingkan pada
kembar, kehilangan bobot badan selama musim kemarau dan awal musim hujan.
Hal ini terutama disebabkan oleh stress nutrisi berat yang dialami ternak
ruminansia di NTT yang terjadi sebagai dampak rendahnya tingkat konsumsi dan
kecernaan pakan akibat rendahnya kualitas hijauan yang tersedia selama musim
kemarau. Kana Hau (2014) menyatakan bahwa ketersediaan hijauan rumput alam
di NTT (3-4 bulan) berada dalam jumlah cukup bahkan berlebihan pada musim
hujan dan sebaliknya pada musim kemarau (8-9 bulan) sangat kurang. Kualitasnya
pun relatif rendah protein (3-8%) bahkan selama musim hujan ketika hijauan
1
rumput alam masih dalam tahap pertumbuhan vegetatif hanya mencapai 10%
tanaman pakan dengan cara penanaman jenis tanaman pakan yang unggul.
Budidaya tanaman pakan yang baik akan menjaga ketersediaan pakan sehingga
khususnya pada peternakan skala rakyat. Secara umum, kualitas dan produktivitas
hijauan pakan di daerah tropis masih relatif rendah. Tanaman pakan dibedakan
merupakan jenis tanaman pakan sumber protein. Salah satu jenis leguminosa yang
Tanaman lamtoro memiliki kandungan protein kasar yang tinggi yakni sebesar
yang berasal dari Amerika Tengah dan Meksiko (Brewbaker et al., 1985). Sebagai
nutrien dan serat yang hampir merupakan pakan lengkap untuk ternak ruminansia,
hampir sama dengan alfalfa dan merupakan sumber-sumber pakan di negara maju
lamtoro dapat menyediakan protein yang cukup tinggi, mudah didapat sepanjang
2
tahun, mengandung sejumlah mimosin sehingga dapat mencegah kembung pada
mengandung 29,2g protein kasar, 4,3g mimosin, 19,2g serat kasar, 10,5g abu,
1,01g tanin, 1,9g kalsium, 0,23g fosfor, 0,34g magnesium, NDF 39,5%, ADF
35,1%, energi dapat dicerna 11,6-12,9MJ/kg dari bahan kering (Garcia et al.,
1966).
protein tinggi. Lamtoro tarramba memiliki produktivitas yang tinggi, sangat tahan
terhadap kekeringan, dan tahan terhadap hama kutu loncat. Lamtoro mampu
beradaptasi dengan baik di daerah tropis dan mampu beradaptasi pada tanah
dengan kemasaman sedang antara pH 5,5-6,5 dengan curah hujan tahunan di atas
760mm (Hoult dan Briant, 1974). Salah satu varietas lamtoro yang sudah
hama kutu loncat dan tahan pada kondisi kering. Keunggulan lain dari lamtoro
khususnya tanaman lamtoro tarramba serta memperbaiki keadaan fisik, kimia dan
penambahan unsur hara esensial dari luar, baik dalam bentuk kimia dan organik.
3
optimum agar dapat mendukung pertumbuhan tanaman sehingga diperoleh
peningkatan hasil panen. Selain itu, untuk menambah kandungan bahan organik
dalam tanah dan juga memberikan nutrisi tanaman yang dapat memacu
Terutama sangat rendahnya kandungan bahan organik dalam tanah akibat adanya
erosi pada topsoil tanah, panen setiap musim serta akibat iklim kering yang
kesuburan tanah secara tepat dan benar. Pupuk organik sangat bermanfaat bagi
memperbaiki kesuburan tanah. Salah satu pupuk organik yang dapat digunakan
yaitu pupuk organik Amazing Bio Growth (ABG). Pupuk ABG merupakan
kesuburan fisik, kimia, dan biologi tanah. Pupuk organik ABG sangat bermanfaat
dan ramah lingkungan. Prinsip kerja pupuk organik ABG selain menyehatkan dan
4
yang tercemar karena teracuni oleh pupuk kimia buatan serta menjaga tanah
Tarramba) yang Diberi Pupuk Amazing Bio Growth (ABG) Tablet dengan
mengetahui apakah penggunaan pupuk Amazing Bio Growth (ABG) tablet dengan
level yang berbeda dapat mempengaruhi nilai nutrisi lamtoro tarramba (Leucaena
pupuk Amazing Bio Growth (ABG) tablet dengan level yang berbeda terhadap
5
3. Sebagai sumber informasi bagi pemerintah daerah dalam pengambilan
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
tempat di Indonesia, terbukti dari sebutan nama tanaman ini yang berbeda-beda di
suatu daerah. Meskipun sebarannya cukup luas, namun lamtoro bukanlah tanaman
asli Indonesia. Lamtoro berasal dari Amerika Tengah dan Meksiko (Brewbaker et
al., 1985). Dijelaskan lebih lanjut bahwa lamtoro mempunyai banyak nama
Indonesia nama lamtoro juga dikenal dengan sebutan petai cina. Di beberapa
(Manggarai Flores).
sebagai “the miracle tree” (pohon ajaib). Hal ini karena kegunaan tanaman ini
meningkatkan kesuburan lahan, pohon peneduh pada perkebunan kopi dan kakao,
sumber kayu bakar, penahan angin, tanaman jalur hijau, pohon tempat merambat
7
tanaman yang melilit seperti lada, vanili, markisa, biasa dipakai untuk tanaman
pagar karena tanaman ini berupa pohon, dengan ketinggian mencapai 18 meter,
dengan sistem perakaran yang mampu bersimbiosis dengan bakteri rhizobium dan
sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Devisio : Spermatophyta
Class : Dicotyledoneae
Family : Leguminoseae
Genus : Leucaena
tanah air. Penyebaran Lamtoro di Asia dilakukan oleh bangsa Spanyol. Mereka
membawa biji tanaman ini pertama kali ke Philipina pada akhir Abad XVI. Biji
tersebut mereka jadikan bibit dan setelah tumbuh, tanaman lamtoro ditanam di
areal perkebunan guna dijadikan sebagai peneduh tanaman kopi. Selain itu, daun
lamtoro digunakan sebagai pakan. Tanaman lamtoro yang sudah tua dijadikan
sebagai kayu bakar. Dari Philipina kemudian tanaman lamtoro menyebar luas ke
8
pelbagai bagian dunia. Keberadaan lamtoro di Indonesia, pertama kali ditemukan
Menurut catatan Gutteridge dan Shelton (1998), paling sedikit ada 17 jenis yaitu
pallida K953.
lanjut, hibrid Leucaena ini dikenal dengan istilah KX2. Kelebihan dari hibrid ini
antara lain adalah tahan kutu loncat (Heteropsylla cubana). Produksi daun lebih
9
mengalami segregasi bila ditanam menggunakan biji, sehingga disarankan
pertama kali dibawa ke Indonesia pada tahun 2011 oleh Project Australia Centre
(2014), sebanyak 1000kg biji lamtoro tarramba saat itu dibawa langsung dari
Australia dan disebarkan ke Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Provinsi
Nusa Tenggara Timur (NTT) masing-masing 500kg. Hingga saat ini penanaman
lamtoro jenis ini masih terus digalakkan di NTB melalui Project Applied
Fakultas Peternakan Universitas Mataram. Sampai dengan tahun 2016 sudah ada
350 petani ternak dari target 1000 orang yang ikut menanam lamtoro tarramba di
lamtoro yang toleran terhadap serangan hama kutu loncat, toleran pada kekeringan
atau musim kemarau serta daya tahan yang tinggi terhadap pemangkasan berulang
dan disebut sebagai hijauan yang berkualitas dalam jangka waktu yang panjang
hingga satu tahun). Dijelaskan lebih lanjut, bahwa pemasukan kultivar lamtoro
kepada penggunaan lamtoro. Namun pernah mengalami serangan berat hama kutu
pengembangan ke berbagai lokasi lain dari lokasi inti di Amarasi menjadi relatif
10
terhenti sama sekali. Baru bangkit kembali semangat untuk mengembangkan
lamtoro sebagai pakan utama setelah masuknya kultivar tarramba yang sudah
maka tanaman lamtoro juga mempunyai beberapa keunggulan ditinjau dari aspek
nutrisi dan aspek lainnya. (1) Dari sisi nutrisi, kandungan kimia daun lamtoro
adalah abu 11%, nitrogen 4,2%, protein 25,9%, serat kasar 20,4%, kalsium 2,36%,
fosfor 0,23%, beta karoten 536mg/kg, energi bruto 20,1KJ/g, dan tannin
10,15mg/g (Devi et al., 2013). Dijelaskan lebih lanjut bahwa, dalam setiap 100g
biji lamtoro yang tua mengandung bahan seperti: kalori 148kal, protein 10,6g,
lemak 0,5g, karbohidrat 26,2g, kalsium 155mg, fosfor 59mg, besi 2,2mg, vitamin
A 461 SI, vitamin B 0,23mg, dan vitamin C 20mg. Peneliti lain (Yahya, 2014)
mendapatkan bahwa daun dan ranting muda lamtoro mengandung air 8,8%,
protein antara 22,0-36,8%, lemak 5,4%, karbohidrat 16,1%, abu 1,3%, dan serat
kasar 18,1%. Tingkat kecernaan lamtoro juga paling tinggi diantara berbagai jenis
tanaman berpolong maupun hijauan pakan tropis lainnya, yaitu berkisar antara 60-
Menurut Devi et al. (2013), kandungan mimosin dalam daun muda lamtoro lebih
kandungan gizi yang terdapat di daun maupun biji lamtoro, segera nampak bahwa
tanaman ini sangat potensial untuk dijadikan sumber pakan bermutu. Tanaman ini
sangat disukai ternak. Meskipun diketahui bahwa di dalam daun dan biji lamtoro
11
terdapat racun mimosin yang dapat merontokan bulu pada ternak. Namun hal ini
hanya terjadi pada ternak yang dipelihara di negara sub tropis. Ternak yang hidup
di negara tropis seperti Indonesia hal ini tidak terjadi karena adanya mikroba
rumen. Menurut Pamungkas dkk. (2008), kualitas pakan lamtoro relatif serupa
Daun dan biji kaya akan protein, karbohidrat, dan lemak. Devi et al. (2013)
menyarikan hasil penelitian kalangan pakar perihal kandungan nutrisi daun dan
dalam rumen, terutama protein bermutu tinggi tetapi tidak tahan terhadap
degradasi oleh mikroba rumen. Efek proteksi dari tannin tersebut akan
meningkatkan serapan protein di usus halus. (2) Dari sisi lainnya, selain
mempunyai keunggulan dari sisi agronomi dan nutrisi, ternyata masih banyak
12
keunggulan yang dimiliki oleh tanaman lamtoro. Keunggulan itu diantaranya
adalah: 1) sebagai bahan baku kertas atau rayon yaitu tanaman lamtoro sangat
baik digunakan sebagai penghasil pulp untuk bahan baku pembuatan kertas. Mutu
kertas yang dihasilkan tergolong baik. Hal ini karena produksi pulp asal kayu
lamtoro dapat mencapai 50-52%, dengan kadar lignin rendah dan serat kayu 1,1-
1,3mm (Ruslin, 2011); 2) sebagai kayu bakar yaitu kayu lamtoro sangat baik
dijadikan sebagai sumber kayu api, karena memiliki nilai kalori 19.250 KJ/kg.
Selain itu kayu lamtoro bersifat lambat terbakar sehingga dapat digunakan dalam
jangka lama. Kayu ini tidak berasap dan menghasilkan sedikit abu. Kualitas arang
lamtoro sangat baik, nilai kalori arang 48.400 KJ/kg (Ruslin, 2011); 3) sumber
Timur, masyarakat menjadikan batang lamtoro sebagai sumber kayu api. Mereka
menjual kayu api dari batang lamtoro dan sudah merupakan sumber mata
2016); dan 4) sebagai obat yaitu lamtoro dapat digunakan sebagai obat beberapa
meningkatkan vitalitas, cacingan, peluruh haid, herpes zoster, luka memar, bisul,
organik berkualitas tinggi (ikan, ternak dan tanaman dan mengandung senyawa
dan diperkaya dengan hara esensil. Dengan kandungan yang dimiliki, maka pupuk
memasok nutrisi (hara lengkap) dalam waktu singkat, memacu pertumbuhan dan
pertumbuhan tanaman menjadi lebih sehat dan hasil panen yang diperoleh akan
Dengan demikian, prinsip yang dimiliki oleh pupuk organik ABG selain
serta menjaga tanah/lahan tersebut agar tetap sehat. Beberapa macam pupuk
organik ABG yang memiliki kegunaan yang berbeda dan saling melengkapi satu
sama lain. Salah satu diantaranya yang digunakan dalam penelitian ini adalah
buahan, tanaman hias, hutan, tanaman industri dan hortikultura) dan dapat
14
mensuplai semua nutrisi yang mutlak diperlukan tanaman baik hara makro (N, P,
K, Ca, Mg, S) maupun mikro (B, Cu, Fe, Zn, Cl, Mn) dengan komposisi
lambat (slow release) sehingga pemanfaatan nutrisi oleh tanaman efisien dan hara
terhindar dari pencucian. Sebagai biostimulan (zat pemacu tumbuh atau promotor
hara yang dilepaskan dari ABG-tablet sebagian besar dapat dimanfaatkan oleh
Kandungan dan komposisi pupuk ABG-tablet yaitu: 10-15% C-org, 12% N, 10%
P2O5, 15% K2O, 4% CaO, 2% MgO, 2% S, 0,2% B, 0,1% Cu, 0,1% Zn, 0,1% Fe,
0,1% Cl, 0,1% Mn, hormon giberelin, asam humat, fulfat, dan berbagai asam
15
Fungsi Protein di dalam kehidupan biologi makhluk hidup terutama
tumbuhan antara lain adalah mengkatalisis suatu proses reaksi; sebagai enzim
protein yang ada di ribosom yang mempunyai fungsi struktural dan bukan fungsi
cadangan makanan yaitu sebagai cadangan asam amino untuk bibit setelah
Menurut Siregar (2008), standard atau kisaran normal kebutuhan zat gizi
(nutrien) yang harus dipenuhi dalam ransum untuk ternak ruminansia, yaitu
protein kasar sebesar 12-15%. Menurut Gaman dan Sherington (1981), dalam
protein bahan pakan ditemukan 25 atau lebih asam amino yang berbeda serta 20
memperoleh cahaya matahari lebih intensif akan cepat menua dan nilai gizinya
pun akan menurun. McIllroy (1977) menyatakan bahwa nilai gizi jenis hijauan
pakan dipengaruhi oleh perbandingan antara daun dan batang, fase pertumbuhan
Menurut Tillman dkk. (1998), serat kasar terdiri dari selulosa, hemiselulosa
dan lignin. Serat kasar tidak dapat dicerna oleh nonruminansia, tetapi merupakan
sumber energi mikroba rumen dan bahan pengisi lambung bagi ternak ruminansia
16
(Yulianto dan Suprianto, 2010). Menurut Maynard et al. (1980), tanaman tua
mengandung serat kasar lebih tinggi dibanding tanaman muda, dan semakin tinggi
serat kasar tanaman, makin rendah kecernaan serta nilai energi produktifnya.
Untuk memperoleh kadar serat kasar yang rendah dilakukan pemupukan dengan
kualitasnya lebih baik karena serat kasar lebih rendah, sedangkan kadar
proteinnya lebih tinggi. Semakin lama umur panen tanaman maka kandungan
serat kasarnya semakin tinggi, sebaliknya terlalu awal atau dilakukan pemanenan
pada umur yang muda, hijauan tersebut akan selalu dalam keadaan muda sehingga
kandungan protein dan kadar airnya tinggi tetapi kadar seratnya rendah. Serat
kasar sangat penting dalam memenuhi kebutuhan zat makanan bagi ternak
(Anggorodi, 1998). Serat kasar dapat dimanfaatkan dengan baik pada ruminansia
karena kemampuan dari bakteri atau mikroba yang ada dalam rumen. Ruminansia
dapat mencerna serat dengan baik, dimana 70-80% dari kebutuhan energinya
berasal dari serat (Sitompul dan Martini, 2005). Anggorodi (1998) menambahkan
17
2.5. Kecernaan
dikeluarkan menjadi feses (Affandi dkk., 1992). Menurut Silva (1989), kecernaan
nutrisi. Faktor yang mempengaruhi daya cerna pakan antara lain komposisi pakan,
faktor hewan, dan jumlah pakan (Hartadi dkk., 1997). Kecernaan pakan
berhubungan erat dengan komposisi kimiawi, yaitu kandungan serat kasar dan
protein kasar hijauan (Tillman dkk., 1998). Anggorodi (1998) menyatakan bahwa
kandungan serat kasar yang tinggi dalam bahan pakan mengakibatkan rendahnya
banyaknya nutrisi yang diserap, dan dengan banyaknya nutrisi yang diserap maka
rendahnya nilai manfaat dari bahan pakan tersebut (Pertiwi, 2011). Pengukuran
kecernaan merupakan suatu usaha untuk menentukan jumlah zat pakan yang
diserap dalam saluran pencernaan, jumlah yang tertinggal dalam tubuh hewan atau
jumlah dari zat pakan yang dicerna adalah selisih zat pakan yang terkandung
dalam pakan yang dikonsumsi dan zat pakan dalam ekskreta (Utama dkk., 2007).
pada ternak ruminansia dapat dilakukan dengan 3 metode yaitu in vivo, in sacco
nutrien menggunakan hewan percobaan dengan analisis nutrien pakan dan feses
18
(Tillman dkk., 1998). Dengan metode in vivo dapat diketahui pencernaan bahan
pakan yang terjadi di dalam seluruh saluran pencernaan ternak, sehingga nilai
yang ditentukan secara in vivo biasanya 1-2% lebih rendah daripada nilai
sacco merupakan salah satu metode pengukuran degradasi pakan di dalam rumen
langsung dapat mengamati kegiatan yang terjadi di dalam rumen dengan cara in
variasi waktu dan metode analisis. Kelebihan metode in vitro adalah hasil
penelitian dapat diperoleh dalam waktu singkat, beberapa bahan pakan yang tidak
dapat diberikan secara tunggal pada hewan, kecernaannya dapat diteliti dengan
metode in vitro dimana tidak diperlukan pengumpulan feses atau sisa pakan,
sehingga dapat menghemat waktu, tenaga, biaya (Omed et al., 2000). Kekurangan
bahan pakan berada dalam rumen bervariasi menurut jenis dan bentuk pakan,
tidak terjadi penyerapan zat-zat pakan seperti yang terjadi pada hewan hidup
(Rusdi, 2000).
19
2.5.1. Kecernaan Protein Kasar
protein, yang mana kebutuhan ternak akan protein dipengaruhi oleh masa
tubuh dan rasio energi protein. Protein dalam jumlah yang cukup sangat
ransum pada ternak akan menurun jika terjadi defisiensi protein dalam ransum
asam amino baru dari nitrogen dan kerangka karbon yang terdapat dalam
retikulorumen, gambaran asam amino protein yang keluar dari rumen tidak
cepat, sehingga mengasilkan kadar amonia rumen yang tinggi dan sebagian
Seluruh protein yang berasal dari pakan pertama kali dihidrolisis oleh
mikrobia rumen. Tingkat hidrolisis protein tergantung dari daya larutnya yang
berkaitan dengan kenaikan kadar amonia. Hidrolisis protein menjadi asam amino
diikuti oleh proses deaminasi untuk membebaskan amonia (Arora, 1989; Natsir,
kecernaan yang rendah pula dan sebaliknya. Tinggi rendahnya kecernaan protein
tergantung pada kandungan protein bahan pakan dan banyaknya protein yang
20
2.5.2. Kecernaan Serat Kasar
Serat kasar bagi ruminansia digunakan sebagai sumber energi utama dan
lemak kasar merupakan sumber energi yang efisien dan berperan penting dalam
(Suprapto dkk., 2013). Menurut Despal (2000), serat kasar memiliki hubungan
yang negatif dengan kecernaan. Semakin rendah serat kasar maka semakin tinggi
kecernaan serat kasar. Tillman dkk. (1998) menyatakan bahwa kecernaan serat
kasar tergantung pada kandungan serat kasar dalam ransum dan jumlah serat kasar
yang dikonsumsi. Kadar serat kasar terlalu tinggi dapat mengganggu pencernaan
zat lain. Daya cerna serat kasar dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kadar
serat dalam pakan, komposisi penyusun serat kasar dan aktivitas mikroorganisme
sebagai sumber energi utama dan lemak kasar yang merupakan sumber energi
yang efisien dan berperan penting dalam metabolisme tubuh sehingga perlu
Jenis tanah yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis tanah laterit.
Tanah laterit merupakan kelompok tanah dari hasil pelapukan yang tinggi,
terbentuk dari hasil konsentrasi hidrasi oksida besi dan aluminium (Olugbenga et
al., 2011). Nama laterit diberikan oleh Buchanan tahun 1807 di India, dari Bahasa
Latin ”later” yang berarti bata. Menurut Sosiawan dkk. (2000), tanah laterit
21
mempunyai beberapa ciri-ciri, yaitu: (1) tanah yang sudah berumur tua, tanah
laterit ini merupakan tanah yang sudah berumur tua atau sudah lama sekali.
Dikatakan berumur tua karena memang tanah merupakan elemen di bumi yang
bisa dihitung menggunakan umur. Tanah yang sudah tua bisa melebur menjadi
tanah dengan jenis yang berlainan, sebagai contoh adalah tanah laterit ini; (2)
bukanlah termasuk ke dalam golongan tanah yang subur. Tanah laterit tidak
keberadaan tanah ini bukan berarti tidak bisa ditumbuhi oleh jenis tumbuh-
tumbuhan apapun. Tanah laterit tetap bisa ditumbuhi oleh beberapa macam
tumbuhan, mengingat tanah ini juga memiliki sifat mudah dalam menyerap air.
Adapun beberapa tumbuhan yang biasa ditanam dalam tanah merah atau tanah
laterit ini adalah tumbuh-tumbuhan palawija, kelapa sawit, cengkeh, coklat dan
juga kopi. Tumbuh-tumbuhan tersebut bisa hidup di tanah laterit atau tanah merah
ini; (3) kandungan bahan organiknya sedang, tanah laterit juga merupakan tanah
yang memiliki kandungan bahan organik yang sedang. Setiap tanah yang ada di
adalah terletak pada jumlah bahan organik yang tersedia di tanah tersebut. Tanah
laterit adalah tanah yang mengandung bahan organik tingkat rendah, sehingga
tanah laterit ini tidak bisa dikatakan sebagai tanah yang sangat subur; (4) memiliki
pH netral, selain kandungan bahan organik, tanah juga memiliki tingkat keasaman
atau yang biasa disebut sebagai pH. Tingkat keasaman atau pH yang dimiliki
22
masing-masing jenis tanah juga berbeda-beda. Tanah laterit mempunyai tingkat
keasaman atau pH netral, sehingga tidak terlalu asam; (5) terbentuk pada
lingkungan yang lembab, dingin atau pada genangan-genangan air, tanah laterit
terbentuk pada lingkungan yang mempunyai cuaca lembab, dingin atau pada
tidak terlalu panas, karena keberadaan tanah ini ada di tempat-tempat yang
lembab dan memiliki cuaca yang dingin; dan (6) mudah menyerap air, tanah
laterit ini memiliki sifat mudah menyerap air. Sifat tanah yang asli adalah bisa
kemampunan mereka dalam menyerap air. Seperti halnya dengan tanah laterit ini
yang mudah untuk menyerap air. Menurut Olugbenga et al. (2011), tanah jenis ini
memiliki karakteristik keras, sulit ditembus, dan sangat sulit berubah jika dalam
kondisi kering. Tanah laterit memiliki variasi yang luas dari warna merah, coklat
sampai kuning, tanah residual berukuran butir halus dengan tekstur ringan
memiliki bentuk butiran nodular dan tersementasi dengan baik (Lambe dan
yang dimiliki oleh tanah laterit yaitu: (1) zat besi, kandungan yang pertama yang
ada di dalam tanah laterit adalah berupa zat besi. Itulah alasan mengapa tanah
laterit ini mempunyai warna merah bata atau agak kecoklatan . Hal ini karena
kandungan zat besi di tanah ini sangat banyak. Zat besi adalah jenis kandungan
yang sangat dibutuhkan dan memiliki sifat sangat penting; (2) alumunium, selain
zat besi ada kandungan lain yang juga menyebabkan tanah laterit menjadi
berwarna kemerahan adalah alumunium. Sama halnya dengan zat besi, kandungan
23
aluminium yang ada di dalam tanah ini juga sangat penting keberadaannya. Jenis
tanah ini memiliki unsur hara makro seperti nitrogen, fosfor dan kalium yang
sering terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit dan kurang mencukupi untuk
24
BAB III
Peternakan, Universitas Nusa Cendana selama 7 bulan dari Oktober 2019 sampai
April 2020 yang dilanjutkan dengan analisis kandungan protein kasar, kandungan
serat kasar, kecernaan protein kasar dan kecernaan serat kasar di laboratorium
lainnya adalah: tanah dan kotoran sapi sebagai media tanam, polibag (ukuran
tinggi 17,5cm dan diameter 35cm), air, gelas ukur, ember, alat potong, perangkat
25
3.4. Prosedur Pelaksanaan Penelitian
optimal bagi tanaman. Tanah yang digunakan diambil dari sekitar lokasi
dicampur dengan pupuk kandang dengan perbandingan berat 16kg tanah : 4kg
2. Penanaman Bibit
Biji atau bibit lamtoro tarramba yang sudah disiapkan dibersihkan dari
benda-benda asing dan kotoran lainnya, dipilih biji yang secara visual normal
kemudian direndamkan dalam air selama 4 jam, setelah itu biji lamtoto ditanam
sebanyak tiga biji pada setiap polibag, dengan pertimbangan ada yang tidak
3. Trimming
disisakan dan hanya dibiarkan tumbuh satu pohon saja, yang lainnya dicabut.
diluruskan ke atas, kemudian diukur setinggi 20cm dari permukaan tanah dan
dipotong.
26
4. Penyiraman
Secara normal, penyiraman dilakukan dua kali sehari, pukul 07.00 dan
17.00 dengan air sebanyak satu liter per polibag, tetapi pada saat hari hujan tidak
disiram, namun pengamatan tetap dilakukan setiap hari untuk melihat tingkat
kebutuhan air dan pengamatan terhadap serangan hama penyakit, juga terhadap
pertumbuhan tanaman.
5. Pemupukan
merupakan perlakuan yang diberikan pada tanaman dengan dosis atau level yang
sudah ditentukan. Pemupukan ini dilakukan 5 hari setelah trimming pada saat
dilakukan sekali selama masa penelitian dengan cara tugal dengan radius 5cm dari
6. Penyiangan
tanaman pengganggu yang ada pada setiap unit percobaan. Selama penelitian
pengamatan dilakukan setiap hari terhadap gulma yang tumbuh langsung dicabut.
7. Panen
dihitung dari saat trimming tanaman. Daun dan tangkai daun serta pucuk muda
diambil, ditimbang, dan dikeringkan dalam oven pada suhu 60°C dengan tujuan
27
3.5. Variabel yang Diamati
(Vol. HCL Titrasi Sampel – Vol. HCL Titrasi Balnko) × Normalitas × 14.0067
(1000 × Berat Sampel)(%BK/100)
x 100%
Kecernaan protein =
% PK S × ΣPK R
x 100%
% PK S × ΣS
Keterangan:
% PK S = % Protein kasar sampel
ƩS = Jumlah sampel
ƩPK R = Jumlah protein kasar residu
28
3.6. Analisis Data
variabel yang diteliti dan untuk mengetahui adanya perbedaan antara perlakuan
maka diadakan uji lanjut dengan menggunakan Uji Jarak Berganda Duncan sesuai
Yij = µ + τi + Σij
Keterangan:
Yij = Nilai pengamatan pada perlakuan ke -i ulangan ke -j
µ = Nilai tengah umum
τi = Pengaruh perlakuan ke-i
Σij = Kesalahan (galat) percobaan ada perlakuan ke-i ulangan
ke -j.
i = Perlakuan (1, 2, 3, 4, 5)
j = Ulangan (1, 2, 3)
29
BAB IV
karbon (C), hidrogen (H) dan oksigen (O), tetapi sebagai tambahannya semua
menyatakan bahwa nilai gizi ditentukan oleh tinggi rendahnya kadar protein kasar
pupuk organik ABG-tablet pada tanaman lamtoro tarramba disajikan pada Tabel 2
(Lampiran 1).
30
protein kasar lamtoro tarramba sebesar 20,95% dengan kisaran antara 18,86-
tanpa pemupukan. Hal ini sesuai pendapat Widyobroto dkk. (2000), penambahan
rataan tertinggi pada perlakuan R₄ yakni 22,61% dan terendah pada perlakuan R₀
yakni 18,86%. Secara umun total rataan kandungan protein kasar lamtoro
protein kasar yang dihasilkan dari penelitian ini masih dalam kisaran normal. Hal
ini sesuai dengan pendapat Siregar (2008), bahwa kisaran normal kebutuhan zat
gizi (nutrien) yang harus dipenuhi dalam ransum untuk ternak ruminansia, yaitu
protein kasar sebesar 12-15% bahkan sudah memenuhi kebutuhan hidup pokok
ini, lamtoro tarramba dapat dikategorikan sebagai bahan pakan hijauan sumber
(P>0,05) terhadap nilai kandungan protein kasar pada tanaman lamtoro tarramba.
Artinya pemberian pupuk organik ABG-tablet sampai pada level 4 tablet (40g)
tanaman lamtoro tarramba. Berdasarkan hasil analisis ragam ini, dapat dikatakan
31
kasar pada tanaman lamtoro tarramba dengan media tanam tanah jenis laterit
(tanah merah). Dosis pemberian 1 tablet (10g), 2 tablet (20g), 3 tablet (30g) dan 4
tablet (40g) pupuk organik ABG-tablet pada tanaman lamtoro tarramba tidak
kasar diduga lebih kepada kondisi unsur hara pada media tanam sebelum
sintesa pada tanaman. Hal ini menunjukkan bahwa peranan unsur hara N bagi
tanaman sangat besar, karena unsur hara N merupakan salah satu unsur
pada tanaman lamtoro tarramba sudah mencukupi untuk kebutuhan nutrien ternak
ruminansia. Hal ini sesuai dengan pendapat Yurmiaty dan Suradi (2010) yang
kandungan protein (15-18%), vitamin dan mineral serta sudah dapat memenuhi
yang terjadi pada lamtoro tarramba juga demikian, tersedia unsur hara bagi
32
vegetatif. Penelitian ini merupakan penelitian awal penggunaan pupuk organik
ABG-tablet ini sebagai pupuk pada tanaman pakan sehingga data pembanding
penelitian untuk mendukung hasil penelitian ini masih terbatas dan belum ada
publikasi datanya.
Menurut Tillman dkk. (1998), serat kasar terdiri dari selulosa, hemiselulosa
dan lignin. Menurut Maynard et al. (1980), tanaman tua mengandung serat kasar
lebih tinggi dibanding tanaman muda, dan semakin tinggi serat kasar tanaman,
maka semakin rendah kecernaan serta nilai energi produktifnya. Serat kasar
mempunyai energi total yang besar akan tetapi akan dicerna tergantung pada
serat kasar akibat pemberian pupuk organik ABG-tablet pada tanaman lamtoro
33
Berdasarkan Tabel 3, tampak bahwa kisaran kandungan serat kasar akibat
Nilai kandungan serat kasar yang dihasilkan dari penelitian ini yaitu jauh dibawah
kisaran normal yang dikemukakan oleh Hartadi dkk. (1997) sebesar 18%.
Perbedaan ini diprediksi karena perbedaan umur panen. Pada penelitian ini umur
panen lamtoro tarramba 2 bulan 27 hari dihitung dari persemaian tanaman yang
berarti bahwa tanaman masih muda sehingga nilai biologis dari serat kasar itu
sendiri masih tinggi (kecernaannya tinggi karena kadar serat kasarnya rendah).
Peningkatan serat kasar berbanding lurus dengan umur tanaman yang semakin tua.
nilai kandungan serat kasar pada tanaman lamtoro tarramba. Artinya pemberian
pupuk organik ABG-tablet sampai pada level 4 tablet (40g) tidak memberikan
pengaruh nyata terhadap kandungan serat kasar pada tanaman lamtoro tarramba.
Hal ini diduga karena kandungan serat kasar erat hubungannya dengan umur
tanaman. Sesuai pendapat Ella (2002) yang menyatakan bahwa hijauan yang
dipanen muda memiliki kandungan protein dan kadar airnya tinggi tetapi kadar
panen tanaman maka kandungan serat kasarnya semakin tinggi, sebaliknya terlalu
awal atau dilakukan pemanenan pada umur yang pendek (muda), hijauan tersebut
34
akan selalu dalam keadaan muda sehingga kandungan protein dan kadar airnya
mencapai 10,15% (Tabel 3). Hasil penelitian ini memberikan gambaran bahwa
yaitu sebagai unsur hara tambahan bagi tanaman untuk dapat meningkatkan
Semakin tinggi dosis pupuk ABG-tablet yang diberikan maka semakin rendah
serat kasar yaitu dengan meningkatnya kandungan protein kasar dari R0 (tanpa
hingga R0, selain diduga akibat dari manfaat pupuk organik ABG-tablet ini, juga
Reksohadiprodjo (1985) menyatakan bahwa serat kasar dan protein kasar selalu
berbanding terbalik pada hijauan makanan ternak. Hal ini juga diduga akibat dari
umur pemanenan tanaman maka kandungan serat kasar rendah. Parakkasi (1999)
juga mengemukakan bahwa faktor umur mempengaruhi nilai gizi hijauan, dimana
kadar protein kasar akan turun sesuai dengan meningkatnya umur tanaman, tetapi
kadar serat kasar menunjukkan sebaliknya; juga Crowder dan Chedda (1982)
35
mempertegas kedua pernyataan di atas bahwa kadar protein kasar suatu tanaman
menjadi meningkat.
Kecernaan protein kasar adalah total protein pakan yang diserap oleh tubuh
dan tidak diekresikan dalam feses (Widyobroto dkk., 2007). Kecernaan protein
kasar tergantung pada kandungan protein di dalam hijauan atau ransum. Hijauan
pada kandungan protein kasar bahan pakan dan banyaknya protein kasar yang
masuk dalam saluran pencernaan (Tillman dkk., 1998). Rataan nilai kecernaan in
vitro protein kasar akibat penggunaan pupuk organik ABG-tablet pada tanaman
36
Berdasarkan Tabel 4, tampak bahwa kisaran kecernaan in vitro protein kasar
kecernaan in vitro protein kasar lamtoro tarramba sebesar 75,12% dengan kisaran
terhadap nilai kecernaan in vitro protein kasar hijauan lamtoro tarramba. Artinya
memberikan respon yang relatif sama terhadap nilai kecernaan in vitro protein
kasar hijauan lamtoro tarramba. Hal ini sesuai dengan hasil pada variabel
kandungan proteinnya polanya sama dan tidak signifikan, namun pada level 3-4
tablet tampaknya mulai menunjukkan respon yang cenderung meningkat. Hal ini
berbeda-beda pula. Ini berarti bahwa range level pupuk yang sempit menjadi
penyebab tingkat signifikansi ini. Menurut Tisdale dan William (1975), N adalah
unsur hara utama dalam pembentukan protein makanan, oleh sebab itu dibutuhkan
unsur hara N yang lebih banyak untuk meningkatkan kandungan protein kasar
agar dapat meningkatkan kecernaan protein kasar, karena semakin banyak jumlah
37
N yang diserap maka protein kasar tanaman akan meningkat. Hal ini sesuai
rendah pula dan sebaliknya jika kandungan proteinnya tinggi maka kecernaan
proteinnya juga tinggi. Lebih lanjut Tillman dkk. (1998) yang menyatakan bahwa
terbesar terhadap daya cerna. Selulosa dan hemiselulosa yang sukar dicerna
energinya. Rataan kecernaan serat kasar akibat pemberian pupuk organik ABG-
tablet pada tanaman lamtoro tarramba tertera pada Tabel 5 (Lampiran 4).
38
Berdasarkan Tabel 5, tampak bahwa kisaran kecernaan in vitro serat kasar
kecernaan in vitro serat kasar lamtoro tarramba sebesar 52,28% dengan kisaran
level 4 tablet (40g) memberikan respon yang baik terhadap nilai kecernaan in
vitro serat kasar. Sebagaimana halnya yang terjadi pada variabel kandungan
protein kasar dan serat kasar yang responnya mulai tampak pada level pupuk 4
tablet, demikian pula yang terjadi pada variabel kecernaan in vitro serat kasar ini
bahwa kandungan serat kasar memiliki hubungan yang negatif dengan kecernaan.
Semakin rendah serat kasar maka semakin tinggi kecernaan serat kasar.
akan memudahkan penetrasi mikroba rumen (bakteri, protozoa dan jamur) untuk
mencerna nutrien pakan karena jika kandungan serat kasarnya tinggi maka akan
pada kecernaan. Artinya semakin rendah kandungan serat kasar dalam pakan
39
Hasil uji Duncan pengaruh penggunaan pupuk organik ABG-tablet (Tabel 5,
pada level 4 tablet (40g) tidak nyata (P>0,05) dibanding 3 tablet (30g) (R4-R3), 2
tablet (20g) (R4-R2), maupun dengan 1 tablet (10g) (R4-R1) kecuali dibanding
perlakuan tanpa pupuk (R4-R0) nyata (P<0,05) tingginya. Level lainnya R3, R2, R1
juga nyata (P<0,05) dibanding R0; tetapi antar perlakuan R4 dan R3, R2 dan R1
tidak nyata (P>0,05). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penggunaan pupuk
organik ABG-tablet dari level 1-4 tablet memberikan respon hasil yang relatif
sama meningkatkan nilai kecernaan in vitro serat kasar. Fenomena ini secara linier
sinkron dengan hasil yang diperoleh pada variabel kandungan dan kecernaan in
vitro protein kasar dan berbanding terbalik dengan kandungan serat kasar.
rendah maka kecernaannya akan meningkat. Hal ini sesuai dengan pendapat
Tillman dkk. (1998) yang menyatakan bahwa kecernaan bahan pakan akan
40
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
lamtoro tarramba dilihat dari kandungan dan kecernaan serat kasar secara in vitro.
5.2. Saran
keadaan fisik, kimia dan biologi tanah agar dapat meningkatkan produktivitas
41
DAFTAR PUSTAKA
Affandi, R., D.S. Sjafei., M.F. Rahardjo, dan Sulistiono. 1992. Iktiologi. Suatu
Pedoman Kerja Laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati.
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Askari, M.Z. 2012. Evaluasi Kecernaan Beberapa Bahan pada Ternak Peranakan
Ongole (PO) dan Peranakan Frisian Holstein (PFH). Skripsi. Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.
Brewbaker, J.L., N. Hedge., E.M. Hutton., R.J. Jones., J.B. Lowry., F. Moog, and
R. Van den Beldt. 1985. Leucaena Forage Production and Use. NFTA
Hawaii.
Chien, S.H. 1990. Reaction of phosphate rocks with acid soils of the humid
tropics. Paper presented at workshop on phosphate sources for acid soils in
the humid tropic of Asia, Kuala Lumpur.
Crowder, L., and H.R. Chedda. 1982. Tropical Grassland Husbandry. Logman,
New York. London.pp. 308-370.
42
Dahlanuddin., O. Yanuarianto., D.P. Poppi., S.R. McLennon, and S.P. Quigley.
2014. Live weight gain and feed intake of weaned bali cattle fed grass and
tree legumes in West Nusa Tenggara, Indonesia. Animal Production
Science, 54(7): 915-921.
Devi, M.V.N., V.N. Ariharan, and N.P. Prasad. 2013. Nutritive value and
potential used of Leucaena leucocephala as Biofuel. A Mini Review.
Research journal of Pharmaceutical, Biological, and Chemical Sciences.
4(1): 515-521.
D’Mello, J.P.F., and D. Thomas. 1997. Animal feed. In: F.R. Rushkin (ed).
Leucaena Promising Forage and Tree Crops for The Tropics. Washington,
D.C. National Academy of Sciences.
Ella, A. 2002. Produktivitas dan nilai nutrisi beberapa jenis rumput dan
leguminosa pakan yang ditanam pada lahan kering iklim basah. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan, Makassar.
Engelstad, O.P. 1997. Teknologi dan Penggunaan Pupuk. Edisi Ketiga. Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta.
Gaman, M., dan K.B. Sherrington. 1981. Ilmu Pangan, Pengantar Ilmu Pangan,
Nutrisi dan Mikrobiologi. Edisi Kedua. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Garcia, G.W., T.U. Ferguson., F.A. Neckles, and K.A.E. Archibald. 1966. The
nutritive value and forage productivity of Leucaena leucocephala. Animal
Feed Science Technology, 60(1-2): 29-41.
Gutteridge, R.C., and H.M. Shelton. 1998. Forage Tree Legumes in Tropical
Agriculture. Published by Tropical Grassland Society of Australia Inc.
Harfiah. 2007. Nilai indeks beberapa pakan hijauan potensial untuk ternak domba.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007.
Universitas Hasanuddin, Makassar.
Hartadi, H., S. Reksohadiprodjo, dan A.D. Tillman. 1997. Tabel Komposisi Pakan
Untuk Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
43
Hoult, E.H., and P.P. Briant. 1974. Practice Experiments and Demonstration. In:
Whiteman, P.C., L.R. Humpreys, and N.H. Mounteith. A Course Manual in
Tropical Pasture Science. Australia Vice Chancerllors Committee.
Brisbane. pp. 351-352.
Kana Hau, D. 2014. The potency of using and developing local and introduced
herbaceous legume forages in East Nusa Tenggara, Indonesia. Proceedings
of The 16th AAAP Congress. 10-14 November 2014 Yogyakarta (Indonesia).
2710-2713.
Kana Hau, D., T. Panjaitan., J. Nulik., Dahlanuddin, and E. van de Fliert. 2014.
Barriers to and opportunities for the use of forage tree legumes in
smallholder cattle fattening systems in Eastern Indonesia. Tropical
Grasslands-Forrages Tropic, 2: 79-81.
Kominfo Manggarai Timur. 2016. Jejak Operasi Nusa Hijau dan Lamtoro. Warga
Pesisir Utara Manggarai Timur Panen Rupiah. Pos Kupang, Sabtu 29
Oktober 2016. Hal. 12.
Lambe, T., and W.R.V. Whitman. 1979. Soil Mechanics. SI Version. John Wiley
and Sons.
Leo, U. 1996. Pengaruh pupuk kandang dan pupuk buatan (NPK) serta
kombinasinya terhadap kualitas rumput sawang (Pennisetum
macrostachyum). Skripsi. Fakultas Peternakan, Universitas Nusa Cendana,
Kupang.
Marliani. 2010. Produksi dan kandungan gizi rumput setaria (Setaria Sphacelata)
pada pemotongan pertama yang ditanam dengan jenis pupuk kandang
berbeda. Skripsi. Fakultas Pertanian dan Peternakan, Universitas Islam
Negeri Sultan Syarif Kasim, Riau.
Maynard, L.A., J.K. Loosil., H.F. Hintz, and R.G. Warner. 2005. Animal
Nutrition. Seven Revised Edition. McGraw-Hill Book Company. New York,
USA.
44
Mulyawati, Y. 2009. Fermentabilitas dan kecernaan in vitro biomineral
dienkapsulasi. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Nulik, J., D. Kana Hau., P.Th. Fernandez, dan S. Ratnawati. 2004. Adaptasi
beberapa Leucaena spesies di Pulau Timor dan Sumba NTT. Prosiding
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 4-5 Agustus
2004. Bogor (Indonesia): Puslitbangnak. 825-831.
Nulik, J., dan D. Kana Hau. 2016. Forage growing and hay making of Clitoria
ternatea for dry season feed supplement in East Nusa Tenggara, Indonesia.
The 17th Asian Australian Association of Animal Production Societies.
Animal Science Congress Proceedings. Fukuoka, 22-26 August 2016.
Fukuoka (Japan).
Olugbenga, O.A., F.B. Oluwole, and A.K. Iyiola. 2011. The suitability and lime
stabilization requirement of some lateritic soil samples as pavemen. Int. J.
Pure Appl. Sci. Technol, 2(1): 29-46.
Omed, H.M., D.K. Lovett, and R.F.E. Axford. 2000. Faeces as a source of
microbial enzymes for estimating digestibility. School of Agricultural and
Forest Sciences, University of Wales, Bangor.
Pamungkas, D., Y.N. Anggraeni., Kusmartono, dan N.H. Krishna. 2008. Produksi
asam lemak terbang dan amonia rumen sapi bali pada imbangan daun
lamtoro (Leucaena leucocephala) dan pakan lengkap yang berbeda.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. 197-204.
Pamungkas, D., Mariyono., R. Antari, dan T.A. Sulistya. 2013. Imbangan pakan
serat dengan penguat yang berbeda dalam ransum terhadap tampilan sapi
Peranakan Ongole jantan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Venteriner. 107-115.
Pertiwi, N.A. 2011. Nilai kecernaan lemak kasar berbagai jenis pakan komplit
pada kambing peranakan etawa. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan.
Universitas Airlangga, Surabaya.
45
Purwanto, I. 2007. Mengenai Lebih Dekat Leguminoseae. Penerbit Kanisius,
Yogyakarta.
Rangkuti, J.H. 2011. Produksi dan kualitas susu kambing peranakan etawah (PE)
pada kondisi tatalaksana yang berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Ranjhan, S.K., and N.N. Pathak. 1979. Management and Feeding of Buffalos.
Kashiravani printers. Mypure, New Delhi.
Ristianto, U. 2012. Evaluasi Pakan dengan Metode Noninvasif. PT. Citra Aji
Parama, Yogyakarta.
Rusdi, M. 2000. Kecemaan bahan kering in vitro silase rumput gajah pada
berbagai umur pemotongan. Skripsi. Fakultas Peternakan, Universitas
Hasanuddin, Makassar.
Siregar, S.B. 2008. Penggemukan Sapi. Edisi Revisi. Penerbit Penebar Swadaya,
Jakarta.
Sitompul, S., dan Martini. 2005. Penetapan serat kasar dalam pakan tanpa
ekstraksi lemak. Prosiding Temu Teknis Nasional Tenaga Fungsional
Pertanian. 96-99.
46
Sosiawan, H., N. Suharta, dan B.H. Prasetyo. 2000. Karakteristik tanah pada
landform karst dan karstik di Timor Barat, Nusa Tenggara Timur. 155-168.
Prosiding Seminar Nasional Sumberdaya Tanah, Iklim, dan Pupuk. Lido, 6-
8 Desember 2000.
Steel, R.G.D., and J.H. Torrie 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu
Pendekatan Biometrik. Terjemahan B. Sumantri. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Subagyo, I., dan Kusmartono. 1988. Ilmu Kultur Padangan. Nuffic. Universitas
Brawijaya, Malang.
Sudirman. 2013. Evaluasi Pakan Tropis, dari Konsep ke Aplikasi (Metode in vitro
Feses). Pustaka Reka Cipta, Bandung.
Suprapto, H., F.M. Suhartati, dan T. Widiyastuti. 2013. Kecernaan serat kasar dan
lemak kasar complete feed limbah rami dengan sumber protein berbeda
pada kambing pernakan etawa lepas sapih. Jurnal Ilmiah Peternakan. 1(3):
938-946.
Syamsul, H.D., Imran., N. Santi, dan Padusung. 2016. Lamtoro Sumber Pakan
Potensial. Edisi I. Pustaka Reka Cipta, Bandung.
Tisdale, S.L., and N. William. 1975. Soil Fertility and Fertilitation. The
McMillian Company., Collien Limited, London.
Uehara, G., and G. Gillman. 1981. The mineralogy, chemistry, and physics of
Tropical soils with variable charge clays. Westview Press Boulder,
Colorado.
47
Widayanti, A. 2008. Efek pemotongan dan pemupukan terhadap produksi dan
kualitas Borreria alata (aubl.) sebagai hijauan makanan ternak kualitas
tinggi. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor
Widyobroto, B.P. 1995. Degradasi protein dalam rumen dan kecernaan protein
dalam intestinum. Kursus Singkat Teknik Evaluasi Pakan Ruminansia.
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
Widyobroto, B.P., S.P.S. Budhi, dan A. Agus. 2007. Pengaruh aras undegraded
protein dan energi terhadap kinetik fermentasi rumen dan sintesis protein
mikroba pada sapi. Journal of The Indonesian. Tropical Animal Agriculture.
32(3): 194-200.
Yahya, Y. 2014. Tanaman lamtoro, hijauan pakan untuk sapi dengan tingkat
kecernaan paling tinggi. Http://yusranyahyablogspot.co.id/2014/10/tanam
an-lamtoro-hijauan-pakan-untuk.html (Diakses tanggal 10 September 2020).
Yumiarty, H., dan K. Suradi. 2010. Utilization of lamtoro leaf in diet production.
Jurnal Ilmu Ternak, 7(1): 73-77.
48
Lampiran 1. Analisis Ragam Pengaruh Perlakuan Terhadap Kandungan
Protein Kasar Hijauan Lamtoro Tarramba Akibat Pemberian
Pupuk Organik ABG-Tablet.
FK = (ΣΣYij)²
N
2
FK = 314,29
15
= 6585,13
= 55,87
2 2 2 2 2
JK Perlakuan = (56,57 +61,31 +63,48 +65,10 +67,83 ) - 6585,13
3
= 24,03
= 55,87 – 24,03
= 31,84
49
KT Perlakuan = JK Perlakuan/DB Perlakuan
= 24,03/4
= 6,01
= 31,84/10
= 3,18
DB Perlakuan = (t-1) = 4
DB Galat = (t)(r-1) = 10
DB Total = (tr-1) = 14
Total 14 55,87
Keterangan: tn = Berbeda tidak nyata (P>0,05)
50
Lampiran 2. Analisis Ragam Pengaruh Perlakuan Terhadap Kandungan Serat
Kasar Hijauan Lamtoro Tarramba Akibat Pemberian Pupuk
Organik ABG-Tablet.
FK = (ΣΣYij)²
N
2
FK = 186,23
15
= 2312,01
= 17,33
2 2 2 2 2
JK Perlakuan = (39,98 +37,96 +37,58 +37,45 +33,26 ) - 2312,01
3
= 8,03
= 17,33 - 8,03
= 9,30
51
KT Perlakuan = JK Perlakuan/DB Perlakuan
= 8,03/4
= 2,01
= 9,30/10
= 0,93
DB Perlakuan = (t-1) = 4
DB Galat = (t)(r-1) = 10
DB Total = (tr-1) = 14
Total 14 17,33
Keterangan: tn = Berbeda tidak nyata (P>0,05)
52
Lampiran 3. Analisis Ragam Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan in vitro
Protein Kasar Hijauan Lamtoro Tarramba Akibat Pemberian
Pupuk Organik ABG-Tablet.
FK = (ΣΣYij)²
N
2
FK = 1126,86
15
= 84654,23
= 92,96
2 2 2 2 2
JK Perlakuan = (223,34 +224,25 +225,08 +225,56 +228,64 ) - 84654,23
3
= 5,39
= 92,96 - 5,39
= 87,57
53
KT Perlakuan = JK Perlakuan/DB Perlakuan
= 5,39/4
= 1,35
= 87,57/10
= 8,76
DB Perlakuan = (t-1) = 4
DB Galat = (t)(r-1) = 10
DB Total = (tr-1) = 14
Total 14 92,96
Keterangan: tn = Berbeda tidak nyata (P>0,05)
54
Lampiran 4. Analisis Ragam Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan in vitro
Serat Kasar Hijauan Lamtoro Tarramba Akibat Pemberian Pupuk
Organik ABG-Tablet.
FK = (ΣΣYij)²
N
2
FK = 784,24
15
= 41001,95
= 117,46
2 2 2 2 2
JK Perlakuan = (144,66 +156,69 +158,90 +159,95 +164,04 ) - 41001,95
3
= 71,38
= 117,46 - 71,38
= 46,08
55
KT Perlakuan = JK Perlakuan/DB Perlakuan
= 71,38/4
= 17,84
= 46,08/10
= 4,61
DB Perlakuan = (t-1) = 4
DB Galat = (t)(r-1) = 10
DB Total = (tr-1) = 14
Total 14 92,96
Keterangan: * Berbeda nyata (P<0,05)
56
Lampiran 5. Hasil Uji Berganda Duncan Pengaruh Perlakuan Terhadap
Kecernaan in vitro Serat Kasar Hijauan Lamtoro Tarramba
Akibat Pemberian Pupuk Organik ABG-Tablet.
√4,61
Simpangan Baku =
3
= 1,2393
Nilai Nilai P 2 3 4 5
57
RIWAYAT HIDUP
Juli 1998, sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dari ayah
Pdt. Mefibozet Djami Gah, S.Th (alm) dan Ibu Yull Amelia.
Kanak-kanak Zion Makassar dan tamat tahun 2004. Pada tahun 2004 penulis
tamat pada Tahun 2010. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan Pendidikan
pada Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Waingapu dan tamat pada tahun 2013.
Pada tahun 2016 penulis diterima sebagai mahasiswa melalui jalur mandiri
58