Anda di halaman 1dari 73

NILAI NUTRISI LAMTORO TARRAMBA

(Leucaena leucocephala cv. Tarramba) YANG DIBERI


PUPUK AMAZING BIO GROWTH (ABG) TABLET
DENGAN LEVEL YANG BERBEDA

SKRIPSI

Oleh

GERIN GILBERT GAH


NIM. 1605030288

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2020
NILAI NUTRISI LAMTORO TARRAMBA
(Leucaena leucocephala cv. Tarramba) YANG DIBERI
PUPUK AMAZING BIO GROWTH (ABG) TABLET
DENGAN LEVEL YANG BERBEDA

SKRIPSI

Oleh

GERIN GILBERT GAH


NIM. 1605030288

Skripsi ini dibuat untuk memenuhi salah satu persyaratan


untuk memperoleh Gelar Sarjana Peternakan
pada Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2020
NILAI NUTRISI LAMTORO TARRAMBA
(Leucaena leucocephala cv. Tarramba) YANG DIBERI
PUPUK AMAZING BIO GROWTH (ABG) TABLET
DENGAN LEVEL YANG BERBEDA

SKRIPSI

Oleh

GERIN GILBERT GAH


NIM. 1605030288

ini telah disetujui untuk diuji

Menyetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Twen. O. Dami Dato, MP. Ir. Yohanis. U.L. Sobang, M.Si
Pembimbing Utama Pembimbing Anggota
NILAI NUTRISI LAMTORO TARRAMBA
(Leucaena leucocephala cv. Tarramba) YANG DIBERI
PUPUK AMAZING BIO GROWTH (ABG) TABLET
DENGAN LEVEL YANG BERBEDA

SKRIPSI

Oleh
GERIN GILBERT GAH
NIM. 1605030288

Skripsi ini telah Disidangkan di Hadapan Komisi Ujian Lisan:

Tim Penguji Skripsi

Dr. Ir. Twen. O. Dami Dato, MP.


Ketua

Ir. Yohanis. U.L. Sobang, M.Si. Ir. Grace Maranatha, M.Si.


Anggota I Anggota II

Mengesahkan

Dekan Fakultas Peternakan Ketua Program Studi Peternakan


Universitas Nusa Cendana

Dr. Ir. Arnold E. Manu, MP. Dr. Ir. Edi Djoko Sulistijo, MP.
NIP. 19680416 199203 1 002 NIP. 19650414 198903 1 002

Tanggal Lulus Ujian : 17 Desember 2020


LEMBAR PERNYATAAN TIDAK MELAKUKAN PLAGIASI

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya:

Nama : Gerin Gilbert Gah

NIM : 160503288

JUDUL SKRIPSI : Nilai Nutrisi Lamtoro Tarramba (Leucaena


leucocephala cv. Tarramba) yang Diberi Pupuk
Amazing Bio Growth (ABG) Tablet dengan Level yang
Berbeda.
Dengan ini saya menyatakan bahwa tulisan dalam skripsi ini merupakan hasil
penelitian penulis, data dan tulisan ini bukan hasil karya orang lain atau tidak
terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar keserjanaan di
suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat
karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali
yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar
pustaka. Skripsi ini ditulis dengan kaidah-kaidah ilmiah dan belum pernah
dipublikasikan. Demikian pernyatan ini dibuat dengan sebenar-benarnya, tanpa
tekanan dari pihak manapun. Penulis bersedia menanggung konsekuensi hukum
apabila ditemukan kesalahan dari pernyataan ini.

Dibuat di Kupang, Desember 2020


Penulis,

Gerin Gilbert Gah


PERSEMBAHAN

Skripsi ini dipersembahkan kepada:

1. Tuhan Yesus sebagai sumber kekuatan utamaku


2. Orang tuaku tercinta: Bapak Pdt. Mefibozet Djami
Gah (alm) dan Ibu Yull Amelia.
3. Kakak dan Adik yang tersayang: Gevin Gah dan
Gianni Gah
4. Keluarga besar Gah yang terkasih
5. Teman-teman seperjuangan dan Almamaterku
tercinta
NILAI NUTRISI LAMTORO TARRAMBA (Leucaena leucocephala cv.
Tarramba) YANG DIBERI PUPUK AMAZING BIO GROWTH (ABG)
TABLET DENGAN LEVEL YANG BERBEDA

Gerin G. Gah; Twenfosel O. Dami Dato; Yohanis Umbu L. Sobang


Fakultas Peternakan, Universitas Nusa Cendana
Jln. Adisucipto Penfui, Kupang 85001
Email: geringilbertgah@gmail.com

ABSTRAK

Penelitian ini telah dilaksanakan di laboratorium lapangan Fakultas Peternakan,


Universitas Nusa Cendana selama 7 bulan dari Oktober 2019 sampai April 2020
yang dilanjutkan dengan analisis kandungan protein kasar, kandungan serat kasar,
kecernaan protein kasar dan kecernaan serat kasar di Laboratorium Kimia Pakan
Fapet Undana, Kupang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada
pengaruh pupuk organik ABG-tablet terhadap kandungan protein kasar,
kandungan serat kasar, kecernaan protein kasar dan kecernaan serat kasar dari
lamtoro tarramba (Leucaena leucocephala cv. Tarramba) yang ditanam dalam
polibag ukuran tinggi 17,5 dan diameter 35 cm. Rancangan percobaan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang
terdiri dari 5 perlakuan dengan 3 ulangan (15 unit percobaan). Perlakuan tersebut
adalah: R0 = tanpa pupuk ABG-tablet (kontrol), R1 = ABG-tablet 1 tablet (10g),
R2 = ABG-tablet 2 tablet (20g), R3 = ABG-tablet 3 tablet (30g), dan R4 = ABG-
tablet 4 tablet (40g). Data diuji dengan sidik ragam, kemudian dilanjutkan dengan
uji jarak berganda Duncan. Variabel yang diteliti adalah: kandungan protein kasar,
kandungan serat kasar, kecernaan in vitro protein kasar dan kecernaan in vitro
serat kasar. Rataan kandungan protein kasar: R0 (18,86); R1 (20,44); R2 (21,16);
R3 (21,70); R4 (22,61); kandungan serat kasar: R0 (13,33); R1 (12,65); R2 (12,53);
R3 (12,48); R4 (11,09); kecernaan in vitro protein kasar: R0 (74,45); R1 (74,75);
R2 (75,03); R3 (75,19); R4 (76,21); dan kecernaan in vitro serat kasar: R0 (48,22); R1
(52,23); R2 (52,97); R3 (53,32); R4 (54,68). Hasil analisis statistik menunjukkan
bahwa pemberian pupuk organik ABG-tablet hanya berpengaruh nyata (P<0,05)
terhadap kecernaan in vitro serat kasar, sedangkan terhadap kandungan protein
kasar, kandungan serat kasar, dan kecernaan in vitro protein kasar tidak nyata
(P>0,05). Disimpulkan bahwa penggunaan pupuk organik ABG-tablet sebanyak 4
tablet dapat meningkatkan nilai nutrisi lamtoro tarramba dilihat dari kandungan
dan kecernaan serat kasar secara in vitro.

Kata Kunci: pupuk organik ABG, lamtoro tarramba, protein kasar, serat kasar,
kecernaan in vitro.

i
NUTRITIONAL VALUE OF LAMTORO TARRAMBA (Leucaena
leucocephala cv. Tarramba) GIVEN FERTILIZER AMAZING BIO
GROWTH (ABG) TABLET WITH DIFFERENT LEVEL
Gerin G. Gah; Twenfosel O. Dami Dato; Yohanis Umbu L. Sobang
Faculty of Animal Husbandry, Nusa Cendana University
Adisucipto Penfui Street, Kupang 85001
Email: geringilbertgah@gmail.com

ABSTRACT

This research was conducted in the field laboratory of the Faculty of Animal
Husbandry, Nusa Cendana University for 7 months from October 2019 to April
2020 which was followed by an analysis of crude protein content, crude fiber
content, crude protein digestibility, and crude fiber digestibility at the Feed
Chemistry Laboratory of the Faculty of Animal Husbandry, Nusa Cendana
University, Kupang. This study aims to determine whether there is an effect of
giving ABG organic fertilizer tablets on crude protein content, crude fiber content,
crude protein digestibility, and crude fiber digestibility of lamtoro tarramba
(Leucaena leucocephala cv. Tarramba) planted in polybags 17.5 in height and
diameter 35 cm. The yields were analyzed at the Fapet Undana Feed Chemistry
Laboratory to determine the crude protein content, crude fiber content, crude
protein digestibility, and crude fiber digestibility. The experimental design used
was a Completely Randomized Design (CRD) consisting of 5 treatments with 3
replications (15 experimental units). The treatments were: R0 = without ABG-tablet
fertilizer (control), R1 = ABG-tablet 1 tablet (10g), R2 = ABG-tablet 2 tablet (20g),
R3 = ABG-tablet 3 tablet (30g), and R4 = ABG-tablet 4 tablet (40g). The data
were tested with variance, then continued with Duncan's multiple range test.
Variables evaluated in the study were: crude protein and crude fiber content and in
vitro digestibility. Crude protein content average respectively R0 (18.86); R1
(20.44); R2 (21.16); R3 (21.70); R4 (22.61); crude fiber content R0 (13.33); R1 (12.65);
R2 (12.53); R3 (12.48); R4 (11.09); crude protein digestibility R0 (74.45); R1 (74.75);
R2 (75.03); R3 (75.19); R4 (76.21); crude fiber digestibility R0 (48.22); R1 (52.23); R2
(52.97); R3 (53.32); R4 (54.68). Statistical analysis showed that giving ABG-tablet
organic fertilizer only had a significant (P<0.05) on the in vitro digestibility of
crude fiber, but no significant (P>0.05) on the crude protein content, crude fiber
content, and in vitro digestibility of crude protein. The conclusion is that the use of
ABG-tablets organic fertilizer as much as 4 tablets could increase the nutritional
value of lamtoro tarramba seen from the content and in vitro digestibility of crude
fiber.

Keywords: ABG organic fertilizer, lamtoro tarramba, crude protein, crude fiber,
digestibility in vitro.

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa

karena atas berkat dan anugerah serta penyertaan-Nya, maka penulis dapat

menyelesaikan penelitian sampai penulisan skripsi ini. Skripsi ini disusun

berdasarkan hasil penelitian yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh

gelar sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana

Kupang.

Penulis menyadari selama menyelesaikan penelitian hingga penyusunan

skripsi ini, banyak sekali tantangan dan hambatan yang dihadapi. Akan tetapi,

penulis mendapat dukungan dan bantuan dari banyak pihak sehingga penulis

dapat menyelesaikan penelitian hingga penyusunan skripsi ini dengan baik. Untuk

itu penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Ir. Twen. O. Dami Dato,

MP., selaku pembimbing utama, Bapak Ir. Yohanis Umbu L. Sobang, M.Si.,

selaku pembimbing anggota, dan Ibu Ir. Grace Maranatha, M.Si., selaku penguji

yang dengan sabar dan tulus serta yang telah meluangkan waktu dan tenaga dalam

memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi

ini.

Ucapan terima kasih yang tulus dan hormat Penulis sampaikan kepada :

1. Bapak Dr. Ir. Arnold E. Manu, MP., selaku Dekan Fakultas Peternakan

Universitas Nusa Cendana yang telah menyediakan sarana dan fasilitas

selama penulis melakukan perkuliahan.

iii
2. Bapak Ir. Edi Djoko Sulistijo, MP., selaku Ketua Program Studi Peternakan

di Fapet Undana yang selalu menyediakan waktu untuk melayani dalam hal

pelayanan akademik.

3. Bapak Ir. Victor J. Ballo, M.Si., selaku dosen penasehat yang telah

membimbing penulis dari semester I sampai semester IX serta memberi

motivasi dan dukungan dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

4. Bapak/Ibu dosen dan pegawai pada Fakultas Peternakan Undana atas didikan

dan bantuan yang diberikan kepada penulis selama penulis kuliah.

5. Bapak Mama tercinta Pdt. Mefibozet Djami Gah, S.Th. (alm) dan Yull

Amelia, kakak Gevin dan adik Gianni yang dengan sukacita memberi doa,

dukungan dan cinta kasih kepada penulis dalam mengerjakan skripsi ini

sampai selesai.

6. Teman spesial (pacar) Setiawati Therfianti Djani, SM., MM., terima kasih

atas dukungan doa maupun materi serta yang menjadi obat penyemangat bagi

penulis dalam mengerjakan skripsi ini sampai selesai.

7. Rekan peneliti Putra, Rio, Marsela, Alex, Mey dan Benyamin, terima kasih

atas kebersamaan yang telah terjalin selama masa penelitian.

8. Rekan-rekan seperjuangan Fapet angkatan 2016: Tommy, Samuel T, Bazalel,

Jovandra, Alex, Putra, Angel, Glen, Pierre, Rolan, Jhoy, Yacob, Tito, Debi,

Rio N, Rio S, Elson, Edhgar, Jen, Hero dan semua rekan yang tidak sempat

disebut satu per satu yang selalu memberi motivasi selama di bangku

perkuliahan. Terima kasih atas kebersamaan yang telah terjalin selama masa

studi di Kampus Cokelat.

iv
Kiranya tulisan ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan

khususnya di bidang peternakan. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh

dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat

penulis harapkan demi penyempurnaan tulisan ini. Semoga tulisan ini bermanfaat

bagi pembaca sekalian. Tuhan memberkati.

Kupang, Desember 2020

Penulis,

v
DAFTAR ISI
Halaman

ABSTRAK …………………………………………………………… i

ABSTRACT ………………………………………………………….. ii

KATA PENGANTAR ……………………………………………….. iii

DAFTAR ISI …………………………………………………………. vi

DAFTAR TABEL ……………………………………………………. viii

DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………. ix

BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang …………………………………….. 1
1.2. Rumusan Masalah …………………………………. 5
1.3. Tujuan Penelitian ………………………………….. 5
1.4. Manfaat Penelitian ………………………………… 5

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Tanaman Lamtoro …………………………………. 7
2.1.1. Taksonomi dan Morfologi ………………... 8
2.1.2. Jenis-jenis Lamtoro ……………………….. 9
2.1.3. Tanaman Lamtoro Tarramba ……………... 9
2.1.4. Keunggulan Lamtoro ……………………... 11
2.2. Pupuk Organik Amazing Bio Growth (ABG) Tablet 13
2.3. Kandungan Protein Kasar …………………………. 15
2.4. Kandungan Serat Kasar …………………………… 16
2.5. Kecernaan …………………………………………. 18
2.5.1. Kecernaan Protein Kasar ………………….. 20
2.5.2. Kecernaan Serat Kasar ……………………. 21
2.6. Jenis Tanah ………………………………………... 21

BAB III. MATERI DAN METODE PENELITIAN


3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ……………………… 25
3.2. Materi Penelitian …………………………………... 25
3.3. Metode Penelitian …………………………………. 25
3.4. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ………………….. 26
3.5. Variabel yang Diamati …………………………….. 28
3.6. Analisis Data ………………………………………. 29

vi
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Pengaruh Perlakuan Terhadap Kandungan Protein
Kasar ………………………………………………. 30
4.2. Pengaruh Perlakuan Terhadap Kandungan Serat
Kasar ………………………………………………. 33
4.3. Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan in vitro
Protein Kasar ………………………..……………. 36
4.4. Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan in vitro
Serat Kasar ………………………………………… 38

BAB V. PENUTUP
5.1. Kesimpulan ………………………………………... 41
5.2. Saran ………………………………………………. 41

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………... 42

LAMPIRAN ………………………………………………………….. 49

RIWAYAT HIDUP …………………………………………………... 58

vii
DAFTAR TABEL

Tabel. Halaman

1. Kandungan Nutrisi Daun dan Biji Lamtoro ………………. 12

2. Rataan Kandungan Protein Kasar (%) Hijauan Lamtoro


Tarramba yang Diberi Pupuk Organik ABG-Tabel dengan
Level yang Berbeda ……………………………………….. 30

3. Rataan Kandungan Serat Kasar (%) Hijauan Lamtoro


Tarramba yang Diberi Pupuk Organik ABG-Tabel dengan
Level yang Berbeda ……………………………………….. 33

4. Rataan Kecernaan in vitro Protein Kasar (%) Hijauan


Lamtoro Tarramba yang Diberi Pupuk Organik ABG-Tabel
dengan Level yang Berbeda ….…………………………… 36

5. Rataan Kecernaan in vitro Serat Kasar (%) Hijauan


Lamtoro Tarramba yang Diberi Pupuk Organik ABG-Tabel
dengan Level yang Berbeda ….…………………………… 38

viii
DAFTAR LAMPIRAN

Lamp. Halaman

1. Analisis Ragam Pengaruh Perlakuan Terhadap Kandungan


Protein Kasar Hijauan Lamtoro Tarramba Akibat
Pemberian Pupuk Organik ABG-Tablet …………………... 49

2. Analisis Ragam Pengaruh Perlakuan Terhadap Kandungan


Serat Kasar Hijauan Lamtoro Tarramba Akibat Pemberian
Pupuk Organik ABG-Tablet ………………………………. 51

3. Analisis Ragam Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan


in vitro Protein Kasar Hijauan Lamtoro Tarramba Akibat
Pemberian Pupuk Organik ABG-Tablet …………………... 53

4. Analisis Ragam Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan


in vitro Serat Kasar Hijauan Lamtoro Tarramba Akibat
Pemberian Pupuk Organik ABG-Tablet …………………... 55

5. Hasil Uji Berganda Duncan Pengaruh Perlakuan Terhadap


Kecernaan in vitro Serat Kasar Hijauan Lamtoro Tarramba
Akibat Pemberian Pupuk Organik ABG-Tablet …………... 57

ix
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu daerah sentra

produksi ternak sapi potong yang sudah lama dikenal dengan baik. Sebagian besar

para peternak di NTT memelihara ternaknya secara ekstensif atau tradisional

dengan sumber pakan atau hijauan hanya diharapkan dari rumput lapangan yang

tumbuh di pinggir jalan, sungai, pematang sawah dan tegalan yang sangat

tergantung dari musim yang tidak tetap sepanjang tahun. Produktivitas ternak

ruminansia sangat tergantung dari ketersediaan pakan, namun di NTT

ketersediaan pakan pada musim kemarau sangat sedikit jika dibandingkan pada

musim hujan yang melimpah.

Bamualim (1988) menyatakan bahwa tingkat produktivitas ternak

ruminansia pada umumnya rendah sebagai dampak rendahnya angka kelahiran

kembar, kehilangan bobot badan selama musim kemarau dan awal musim hujan.

Hal ini terutama disebabkan oleh stress nutrisi berat yang dialami ternak

ruminansia di NTT yang terjadi sebagai dampak rendahnya tingkat konsumsi dan

kecernaan pakan akibat rendahnya kualitas hijauan yang tersedia selama musim

kemarau. Kana Hau (2014) menyatakan bahwa ketersediaan hijauan rumput alam

di NTT (3-4 bulan) berada dalam jumlah cukup bahkan berlebihan pada musim

hujan dan sebaliknya pada musim kemarau (8-9 bulan) sangat kurang. Kualitasnya

pun relatif rendah protein (3-8%) bahkan selama musim hujan ketika hijauan

1
rumput alam masih dalam tahap pertumbuhan vegetatif hanya mencapai 10%

kandungan protein kasar (Nulik dan Kana Hau, 2016).

Produksi hijauan pakan sepanjang tahun berbeda-beda tergantung pada

musim. Demi tersedianya hijauan pakan sepanjang tahun, diperlukan budidaya

tanaman pakan dengan cara penanaman jenis tanaman pakan yang unggul.

Budidaya tanaman pakan yang baik akan menjaga ketersediaan pakan sehingga

kebutuhan ternak tercukupi namun perlu memperhatikan kesuburan tanah,

ketersediaan air dan iklim (Subagyo dan Kusmartono, 1988).

Hijauan pakan merupakan sumber pakan utama bagi ternak ruminansia,

khususnya pada peternakan skala rakyat. Secara umum, kualitas dan produktivitas

hijauan pakan di daerah tropis masih relatif rendah. Tanaman pakan dibedakan

menjadi dua famili besar yaitu graminae dan leguminosae. Leguminosa

merupakan jenis tanaman pakan sumber protein. Salah satu jenis leguminosa yang

sudah dikenal baik oleh peternak adalah lamtoro (Leucaena leucocephala).

Tanaman lamtoro memiliki kandungan protein kasar yang tinggi yakni sebesar

23,7-34% dengan palatabilitas yang tinggi (Yumiarty dan Suradi, 2010).

Lamtoro adalah tumbuhan semak-semak/pohon kecil yang cepat tumbuh,

yang berasal dari Amerika Tengah dan Meksiko (Brewbaker et al., 1985). Sebagai

bahan pakan, daun lamtoro dan ranting-rantingnya yang kecil mengandung

nutrien dan serat yang hampir merupakan pakan lengkap untuk ternak ruminansia,

hampir sama dengan alfalfa dan merupakan sumber-sumber pakan di negara maju

(D’Mello dan Thomas, 1997). Sumarta (2006) menyatakan bahwa tanaman

lamtoro dapat menyediakan protein yang cukup tinggi, mudah didapat sepanjang

2
tahun, mengandung sejumlah mimosin sehingga dapat mencegah kembung pada

ruminansia, melindungi dari degradasi protein yang berlebihan oleh mikroba

rumen dalam metabolisme protein. Dalam 100g bahan kering, lamtoro

mengandung 29,2g protein kasar, 4,3g mimosin, 19,2g serat kasar, 10,5g abu,

1,01g tanin, 1,9g kalsium, 0,23g fosfor, 0,34g magnesium, NDF 39,5%, ADF

35,1%, energi dapat dicerna 11,6-12,9MJ/kg dari bahan kering (Garcia et al.,

1966).

Lamtoro merupakan salah satu sumber daya pakan dengan kandungan

protein tinggi. Lamtoro tarramba memiliki produktivitas yang tinggi, sangat tahan

terhadap kekeringan, dan tahan terhadap hama kutu loncat. Lamtoro mampu

beradaptasi dengan baik di daerah tropis dan mampu beradaptasi pada tanah

dengan kemasaman sedang antara pH 5,5-6,5 dengan curah hujan tahunan di atas

760mm (Hoult dan Briant, 1974). Salah satu varietas lamtoro yang sudah

berkembang baik di Indonesia adalah varietas tarramba. Penelitian Yurmiaty dan

Suradi (2010), lamtoro varietas tarramba memiliki keunggulan tahan terhadap

hama kutu loncat dan tahan pada kondisi kering. Keunggulan lain dari lamtoro

tarramba adalah tinggi kandungan protein (15-18%), vitamin dan mineral.

Untuk dapat mengoptimalkan pertumbuhan dan produktivitas tanaman

khususnya tanaman lamtoro tarramba serta memperbaiki keadaan fisik, kimia dan

biologi tanah, perlu dilakukan pemupukan. Pemupukan merupakan upaya

penambahan unsur hara esensial dari luar, baik dalam bentuk kimia dan organik.

Pemupukan juga merupakan salah satu usaha pengelolaan kesuburan tanah.

Tujuan utama pemupukan yaitu untuk menjamin ketersediaan hara secara

3
optimum agar dapat mendukung pertumbuhan tanaman sehingga diperoleh

peningkatan hasil panen. Selain itu, untuk menambah kandungan bahan organik

dalam tanah dan juga memberikan nutrisi tanaman yang dapat memacu

pertumbuhan tanaman serta meningkatkan produktivitas lahan. Sebagian besar

lahan pertanian menurun produktivitasnya dan telah mengalami degradasi lahan.

Terutama sangat rendahnya kandungan bahan organik dalam tanah akibat adanya

erosi pada topsoil tanah, panen setiap musim serta akibat iklim kering yang

berkepanjangan. Untuk menanggulangi hal tersebut perlu dilakukan pengelolaan

kesuburan tanah secara tepat dan benar. Pupuk organik sangat bermanfaat bagi

peningkatan produksi pertanian baik kualitas maupun kuantitas, mengurangi

pencemaran lingkungan, dan meningkatkan kualitas lahan secara berkelanjutan.

Penggunaan pupuk organik dalam jangka panjang dapat meningkatkan

produktivitas lahan dan dapat mencegah degradasi lahan.

Pupuk organik merupakan bahan yang sangat penting dalam upaya

memperbaiki kesuburan tanah. Salah satu pupuk organik yang dapat digunakan

yaitu pupuk organik Amazing Bio Growth (ABG). Pupuk ABG merupakan

integrasi pupuk organik dengan pupuk NPK, merupakan biostimulan untuk

meningkatkan pertumbuhan vegetatif, generatif serta dapat merevitalisasi

kesuburan fisik, kimia, dan biologi tanah. Pupuk organik ABG sangat bermanfaat

bagi peningkatan produksi pertanian baik kualitas maupun kuantitas, mengurangi

pencemaran lingkungan, dan meningkatkan kualitas lahan secara berkelanjutan

dan ramah lingkungan. Prinsip kerja pupuk organik ABG selain menyehatkan dan

meningkatkan pertumbuhan tanaman, juga dapat mengembalikan kesehatan tanah

4
yang tercemar karena teracuni oleh pupuk kimia buatan serta menjaga tanah

tersebut agar tetap subur (Anonymous, 2008).

Berdasarkan permasalahan tersebut maka telah dilaksanakan penelitian

dengan judul “Nilai Nutrisi Lamtoro Tarramba (Leucaena leucocephala cv.

Tarramba) yang Diberi Pupuk Amazing Bio Growth (ABG) Tablet dengan

Level yang Berbeda”.

1.2. Rumusan Masalah

Dengan permasalahan di atas maka penelitian ini dilakukan untuk

mengetahui apakah penggunaan pupuk Amazing Bio Growth (ABG) tablet dengan

level yang berbeda dapat mempengaruhi nilai nutrisi lamtoro tarramba (Leucaena

leucocephala cv. Tarramba)?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian

pupuk Amazing Bio Growth (ABG) tablet dengan level yang berbeda terhadap

nilai nutrisi lamtoro tarramba (Leucaena leucocephala cv. Tarramba).

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat dari hasil penelitian ini:

1. Sebagai sumber informasi dalam pengembangan ilmu pengetahuan di bidang

pakan, khususnya hijauan pakan.

2. Sebagai sumber informasi bagi petani peternak tentang lamtoro tarramba

sebagai pakan unggul berkualitas.

5
3. Sebagai sumber informasi bagi pemerintah daerah dalam pengambilan

kebijakan khususnya tentang introduksi leguminosa pohon lamtoro tarramba

dengan memanfaatkan pupuk organik untuk meningkatkan produktivitasnya.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tanaman Lamtoro

Tanaman lamtoro (Leucaena leucocephala) banyak ditemukan di semua

tempat di Indonesia, terbukti dari sebutan nama tanaman ini yang berbeda-beda di

suatu daerah. Meskipun sebarannya cukup luas, namun lamtoro bukanlah tanaman

asli Indonesia. Lamtoro berasal dari Amerika Tengah dan Meksiko (Brewbaker et

al., 1985). Dijelaskan lebih lanjut bahwa lamtoro mempunyai banyak nama

tergantung Negara tempat tumbuhnya, seperti Leucaena (Australia, Amerika

Serikat), Ipil-ipil, Elena, Kariskis (Philippina), Lamtoro (Indonesia), Petai Jawa

(Malaysia), Yin ho huan (Tiongkok), White Leadtree (Inggris), Fauxmimosa

(Perancis), Krathin (Thailand), Kubabul atau Subabul (India), Koa hoa le

(Hawaii), Tangantangan (beberapa Kepulauan di Pasifik), Cassis (Vanuatu),

Guaje (Mexico), Huaxin (Amerika Tengah), Lamandro (Papua Nugini). Di

Indonesia nama lamtoro juga dikenal dengan sebutan petai cina. Di beberapa

daerah di Indonesia lamtoro disebut dengan nama lain kemlandingan (Jawa),

belandingan (Lombok), dan kawa manila (Sumbawa), lamentoro, petai selong

(Manggarai Flores).

Tanaman lamtoro termasuk familia mimosa, orang menyebut tanaman ini

sebagai “the miracle tree” (pohon ajaib). Hal ini karena kegunaan tanaman ini

yang begitu banyak. Lamtoro digunakan sebagai tanaman pencegah erosi,

meningkatkan kesuburan lahan, pohon peneduh pada perkebunan kopi dan kakao,

sumber kayu bakar, penahan angin, tanaman jalur hijau, pohon tempat merambat
7
tanaman yang melilit seperti lada, vanili, markisa, biasa dipakai untuk tanaman

pagar karena tanaman ini berupa pohon, dengan ketinggian mencapai 18 meter,

tergantung jenisnya. Tanaman Leguminosa adalah tanaman polong-polongan

dengan sistem perakaran yang mampu bersimbiosis dengan bakteri rhizobium dan

membentuk bintil akar yang mempunyai kemampuan mengikat nitrogen dari

udara (Purwanto, 2007).

2.1.1. Taksonomi dan Morfologi

Klasifikasi lamtoro menurut Ruslin (2011) dan Yahya (2014) adalah

sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Devisio : Spermatophyta

Sub Devisio : Angiospermae

Class : Dicotyledoneae

Family : Leguminoseae

Sub Family : Papilionaceae

Genus : Leucaena

Species : Leucaena leucocephala

Spesies Leucanena leucocephala inilah yang banyak dibudidayakan di

tanah air. Penyebaran Lamtoro di Asia dilakukan oleh bangsa Spanyol. Mereka

membawa biji tanaman ini pertama kali ke Philipina pada akhir Abad XVI. Biji

tersebut mereka jadikan bibit dan setelah tumbuh, tanaman lamtoro ditanam di

areal perkebunan guna dijadikan sebagai peneduh tanaman kopi. Selain itu, daun

lamtoro digunakan sebagai pakan. Tanaman lamtoro yang sudah tua dijadikan

sebagai kayu bakar. Dari Philipina kemudian tanaman lamtoro menyebar luas ke
8
pelbagai bagian dunia. Keberadaan lamtoro di Indonesia, pertama kali ditemukan

di Pulau Jawa untuk kepentingan pertanian dan kehutanan.

2.1.2. Jenis-jenis Lamtoro

Beberapa jenis lamtoro yang telah dikenal dan dibudidayakan di dunia.

Menurut catatan Gutteridge dan Shelton (1998), paling sedikit ada 17 jenis yaitu

Leucaena leucocephala cv. Cunningham, Leucaena leucocephala K636,

Leucaena leucocephala Q25221, Leucaena leucocephala CP161227, Leucaena

pallida K818, Leucaena pallida K803, Leucaena pallida CSIRO composite,

Leucaena pallida K376, Leucaena diversifolia K156, Leucaena diversifolia

CP146568, Leucaena leucocephala x Leucaena diversifolia (KX3) K636 x K156,

Leucaena leucocephala x Leucaena pallida (KX2)K8 x K376, Leucaena

leucocephala x Leucaena pallida (KX2)K748 x K636 (F1), Leucaena pallida x

Leucaena leucocephala (KX2)K806 x K636 (F1), Leucaena pallida x Leucaena

leucocephala (KX2) K8 x K376, Leucaena pallida K806 x K748 dan Leucaena

pallida K953.

2.1.3. Tanaman Lamtoro Tarramba (Leucaena leucocephala cv. Tarramba)

Menurut Syamsul dkk. (2016), lamtoro tarramba merupakan hasil

persilangan Leucaena leucocephala dengan Leucaena pallida. Dijelaskan lebih

lanjut, hibrid Leucaena ini dikenal dengan istilah KX2. Kelebihan dari hibrid ini

antara lain adalah tahan kutu loncat (Heteropsylla cubana). Produksi daun lebih

tinggi dibanding Leucaena leucocephala. Tetapi kebanyakan Leucaena hibrid

produksi bijinya sedikit. Leucaena KX2 hibrid, generasi berikutnya akan

9
mengalami segregasi bila ditanam menggunakan biji, sehingga disarankan

menggunakan bahan vegetatif untuk perbanyakannya. Biji lamtoro tarramba

pertama kali dibawa ke Indonesia pada tahun 2011 oleh Project Australia Centre

for International Agricultural Research (ACIAR). Menurut Dahlanuddin et al.

(2014), sebanyak 1000kg biji lamtoro tarramba saat itu dibawa langsung dari

Australia dan disebarkan ke Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Provinsi

Nusa Tenggara Timur (NTT) masing-masing 500kg. Hingga saat ini penanaman

lamtoro jenis ini masih terus digalakkan di NTB melalui Project Applied

Research and Innovation System in Agriculture (ARISA) bekerjasama dengan

Fakultas Peternakan Universitas Mataram. Sampai dengan tahun 2016 sudah ada

350 petani ternak dari target 1000 orang yang ikut menanam lamtoro tarramba di

Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten Sumbawa Barat.

Menurut Kana Hau dkk. (2014), lamtoro varietas tarramba merupakan

lamtoro yang toleran terhadap serangan hama kutu loncat, toleran pada kekeringan

atau musim kemarau serta daya tahan yang tinggi terhadap pemangkasan berulang

dan disebut sebagai hijauan yang berkualitas dalam jangka waktu yang panjang

(>50 tahun) setelah pemangkasan pertama (setelah mencapai umur 10 bulan

hingga satu tahun). Dijelaskan lebih lanjut, bahwa pemasukan kultivar lamtoro

toleran kutu loncat, khususnya untuk NTT merupakan pendukung utama,

mengingat provinsi ini merupakan provinsi yang awalnya sangat bergantung

kepada penggunaan lamtoro. Namun pernah mengalami serangan berat hama kutu

loncat pada kultivar-kultivar yang digunakan sebelumnya sehingga

pengembangan ke berbagai lokasi lain dari lokasi inti di Amarasi menjadi relatif

10
terhenti sama sekali. Baru bangkit kembali semangat untuk mengembangkan

lamtoro sebagai pakan utama setelah masuknya kultivar tarramba yang sudah

diamati lebih unggul dari kultivar-kultivar sebelumnya (Nulik dkk., 2004).

2.1.4. Keunggulan Lamtoro

Sebagaimana halnya dengan tanaman lainnya yang telah dibudidayakan,

maka tanaman lamtoro juga mempunyai beberapa keunggulan ditinjau dari aspek

nutrisi dan aspek lainnya. (1) Dari sisi nutrisi, kandungan kimia daun lamtoro

adalah abu 11%, nitrogen 4,2%, protein 25,9%, serat kasar 20,4%, kalsium 2,36%,

fosfor 0,23%, beta karoten 536mg/kg, energi bruto 20,1KJ/g, dan tannin

10,15mg/g (Devi et al., 2013). Dijelaskan lebih lanjut bahwa, dalam setiap 100g

biji lamtoro yang tua mengandung bahan seperti: kalori 148kal, protein 10,6g,

lemak 0,5g, karbohidrat 26,2g, kalsium 155mg, fosfor 59mg, besi 2,2mg, vitamin

A 461 SI, vitamin B 0,23mg, dan vitamin C 20mg. Peneliti lain (Yahya, 2014)

mendapatkan bahwa daun dan ranting muda lamtoro mengandung air 8,8%,

protein antara 22,0-36,8%, lemak 5,4%, karbohidrat 16,1%, abu 1,3%, dan serat

kasar 18,1%. Tingkat kecernaan lamtoro juga paling tinggi diantara berbagai jenis

tanaman berpolong maupun hijauan pakan tropis lainnya, yaitu berkisar antara 60-

70%. Sebagai bagian dari mimosaceae, tanaman lamtoro mengandung mimosin.

Menurut Devi et al. (2013), kandungan mimosin dalam daun muda lamtoro lebih

dari 7% bahan kering, sedangkan pada biji sekitar 10%. Memperhatikan

kandungan gizi yang terdapat di daun maupun biji lamtoro, segera nampak bahwa

tanaman ini sangat potensial untuk dijadikan sumber pakan bermutu. Tanaman ini

sangat disukai ternak. Meskipun diketahui bahwa di dalam daun dan biji lamtoro
11
terdapat racun mimosin yang dapat merontokan bulu pada ternak. Namun hal ini

hanya terjadi pada ternak yang dipelihara di negara sub tropis. Ternak yang hidup

di negara tropis seperti Indonesia hal ini tidak terjadi karena adanya mikroba

Synergistes jonesii yang mampu menguraikan atau mencerna mimosin di dalam

rumen. Menurut Pamungkas dkk. (2008), kualitas pakan lamtoro relatif serupa

dengan turi (Sesbania grandiflora), gamal (Gliricidia sepium), maupun kaliandra

(Calliandra calothyrsus). Lamtoro mempunyai kandungan tannin sekitar 6%.

Daun dan biji kaya akan protein, karbohidrat, dan lemak. Devi et al. (2013)

menyarikan hasil penelitian kalangan pakar perihal kandungan nutrisi daun dan

biji lamtoro sebagaimana dihimpun dalam Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan Nutrisi Daun dan Biji Lamtoro

No Kandungan Nutrisi Daun Biji


1 Protein kasar % 25,9 46
2 Karbohidrat % 40 45
3 Lemak kasar % - 15
4 Tannin % 4 1,2
5 Mimosin % 7,19 10
6 Total abu % 11 3,79
7 Total N % 4,2 -
8 Kalsium % 2,36 4,4
9 Fosfor % 0,23 0,189
10 β-caroten (mg/kg) 536 -
11 Gross Energy (KJ/g) 20,1 -
Sumber: Devi et al. (2013)

Tannin bermanfaat dalam melindungi perombakan protein yang berlebihan

dalam rumen, terutama protein bermutu tinggi tetapi tidak tahan terhadap

degradasi oleh mikroba rumen. Efek proteksi dari tannin tersebut akan

meningkatkan serapan protein di usus halus. (2) Dari sisi lainnya, selain

mempunyai keunggulan dari sisi agronomi dan nutrisi, ternyata masih banyak
12
keunggulan yang dimiliki oleh tanaman lamtoro. Keunggulan itu diantaranya

adalah: 1) sebagai bahan baku kertas atau rayon yaitu tanaman lamtoro sangat

baik digunakan sebagai penghasil pulp untuk bahan baku pembuatan kertas. Mutu

kertas yang dihasilkan tergolong baik. Hal ini karena produksi pulp asal kayu

lamtoro dapat mencapai 50-52%, dengan kadar lignin rendah dan serat kayu 1,1-

1,3mm (Ruslin, 2011); 2) sebagai kayu bakar yaitu kayu lamtoro sangat baik

dijadikan sebagai sumber kayu api, karena memiliki nilai kalori 19.250 KJ/kg.

Selain itu kayu lamtoro bersifat lambat terbakar sehingga dapat digunakan dalam

jangka lama. Kayu ini tidak berasap dan menghasilkan sedikit abu. Kualitas arang

lamtoro sangat baik, nilai kalori arang 48.400 KJ/kg (Ruslin, 2011); 3) sumber

pendapatan masyarakat yaitu di daerah pantai utara NTT khususnya di Manggarai

Timur, masyarakat menjadikan batang lamtoro sebagai sumber kayu api. Mereka

menjual kayu api dari batang lamtoro dan sudah merupakan sumber mata

pencaharian masyarakat disana sepanjang tahun (Kominfo Manggarai Timur,

2016); dan 4) sebagai obat yaitu lamtoro dapat digunakan sebagai obat beberapa

penyakit, diantaranya adalah diabetes, susah tidur, radang ginjal, disentri,

meningkatkan vitalitas, cacingan, peluruh haid, herpes zoster, luka memar, bisul,

eksim, patah tulang, tertusuk kayu, dan pembengkakan (Ruslin, 2011).

2.2. Pupuk Organik Amazing Bio Growth (ABG) Tablet

Pupuk organik ABG merupakan konsentrat organik dan nutrisi tanaman

hasil ekstraksi secara mikrobiologis, melalui proses fermentasi berbagai bahan

organik berkualitas tinggi (ikan, ternak dan tanaman dan mengandung senyawa

bioaktif (plant growth promoting agent, asam-asam amino, enzim), mikroba


13
menguntungkan (pengurai, penambat N, pelarut fosfat dan penghasil fitohormon)

dan diperkaya dengan hara esensil. Dengan kandungan yang dimiliki, maka pupuk

organik ABG akan mampu menghidupkan tanah (suplai ekstrak organik),

memasok nutrisi (hara lengkap) dalam waktu singkat, memacu pertumbuhan dan

regenerasi akar tanaman, merangsang dan memacu pembelahan sel, memacu

pertumbuhan mikroba, menguntungkan dalam tanah, melarutkan deposit hara dan

menekan patogen tanah/tanaman sehingga akan mampu meningkatkan

pertumbuhan tanaman menjadi lebih sehat dan hasil panen yang diperoleh akan

semakin meningkat dan berlipat ganda (Anonymous, 2008).

Dengan demikian, prinsip yang dimiliki oleh pupuk organik ABG selain

menyehatkan dan meningkatkan pertumbuhan tanaman juga dapat

mengembalikan kesehatan tanah/lahan yang teracuni oleh pupuk kimia buatan

serta menjaga tanah/lahan tersebut agar tetap sehat. Beberapa macam pupuk

organik ABG yang memiliki kegunaan yang berbeda dan saling melengkapi satu

sama lain. Salah satu diantaranya yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pupuk organik ABG-tablet. Pupuk ABG-tablet adalah integrasi pupuk organik

dengan pupuk N, P, K dan biostimulan untuk meningkatkan efisiensi pemupukan,

pertumbuhan vegetatif, generatif dan hasil tanaman (tanaman perkebunan, buah-

buahan, tanaman hias, hutan, tanaman industri dan hortikultura) dan dapat

merevitalisasi kesuburan fisik, kimia, dan biologi tanah (Anonymous, 2008).

Keunggulan ABG-tablet yaitu sebagai pupuk organik untuk meningkatkan

kesuburan fisik, kimia, dan aktivitas mikroba tanah menguntungkan tanah

(meningkatkan kualitas dan kesehatan tanah). Sebagai pupuk utama untuk

14
mensuplai semua nutrisi yang mutlak diperlukan tanaman baik hara makro (N, P,

K, Ca, Mg, S) maupun mikro (B, Cu, Fe, Zn, Cl, Mn) dengan komposisi

berimbang. Pasokan hara berkesinambungan karena ABG-tablet bersifat lepas

lambat (slow release) sehingga pemanfaatan nutrisi oleh tanaman efisien dan hara

terhindar dari pencucian. Sebagai biostimulan (zat pemacu tumbuh atau promotor

of growth) untuk merangsang pertumbuhan dan regenerasi akar tanaman serta

perkembangan tanaman mempunyai dampak positif jangka panjang terhadap

perbaikan struktur tanah dan kegemburan tanah karena mengandung bahan

pembenah tanah (soil conditioner) sehingga dapat mengurangi terjadinya

pemadatan tanah. Pemanfaatan pupuk ABG-tablet ini ramah lingkungan karena

hara yang dilepaskan dari ABG-tablet sebagian besar dapat dimanfaatkan oleh

tanaman (Anonymous, 2008).

Kandungan dan komposisi pupuk ABG-tablet yaitu: 10-15% C-org, 12% N, 10%

P2O5, 15% K2O, 4% CaO, 2% MgO, 2% S, 0,2% B, 0,1% Cu, 0,1% Zn, 0,1% Fe,

0,1% Cl, 0,1% Mn, hormon giberelin, asam humat, fulfat, dan berbagai asam

organik lainnya (Anonymous, 2008).

2.3. Kandungan Protein Kasar

Protein adalah senyawa organik kompleks yang mempunyai berat molekul

tinggi. Seperti halnya karbohidrat dan lipida, protein mengandung unsur-unsur

karbon, hidrogen dan oksigen, tetapi sebagai tambahannya semua protein

mengandung sulfur, beberapa protein mengandung fosfor (Tillman dkk., 1998).

15
Fungsi Protein di dalam kehidupan biologi makhluk hidup terutama

tumbuhan antara lain adalah mengkatalisis suatu proses reaksi; sebagai enzim

misalnya protein mikrotubul dan protein mikrofilamen (aktin) serta beberapa

protein yang ada di ribosom yang mempunyai fungsi struktural dan bukan fungsi

katalisis; protein pengangkut elektron selama fotosintesis dan respirasi; sebagai

cadangan makanan yaitu sebagai cadangan asam amino untuk bibit setelah

berkecambahan berlangsung (Tillman dkk., 1998).

Menurut Siregar (2008), standard atau kisaran normal kebutuhan zat gizi

(nutrien) yang harus dipenuhi dalam ransum untuk ternak ruminansia, yaitu

protein kasar sebesar 12-15%. Menurut Gaman dan Sherington (1981), dalam

protein bahan pakan ditemukan 25 atau lebih asam amino yang berbeda serta 20

atau lebih terdapat di dalam tubuh hewan. Selanjutnya Anggorodi (1998)

menyatakan bahwa NPN banyak terkandung dalam tanaman muda.

Rismunandar (1986) menyatakan bahwa nilai gizi ditentukan oleh tinggi

rendahnya kadar protein kasar yang terkandung di dalamnya, tanaman yang

memperoleh cahaya matahari lebih intensif akan cepat menua dan nilai gizinya

pun akan menurun. McIllroy (1977) menyatakan bahwa nilai gizi jenis hijauan

pakan dipengaruhi oleh perbandingan antara daun dan batang, fase pertumbuhan

waktu dipotong atau digembalai, kesuburan tanah, pemupukan serta iklim.

2.4. Kandungan Serat Kasar

Menurut Tillman dkk. (1998), serat kasar terdiri dari selulosa, hemiselulosa

dan lignin. Serat kasar tidak dapat dicerna oleh nonruminansia, tetapi merupakan

sumber energi mikroba rumen dan bahan pengisi lambung bagi ternak ruminansia
16
(Yulianto dan Suprianto, 2010). Menurut Maynard et al. (1980), tanaman tua

mengandung serat kasar lebih tinggi dibanding tanaman muda, dan semakin tinggi

serat kasar tanaman, makin rendah kecernaan serta nilai energi produktifnya.

Untuk memperoleh kadar serat kasar yang rendah dilakukan pemupukan dengan

kombinasi antara pupuk kandang dan pupuk buatan.

Widayanti (2008) menambahkan bahwa tanaman pada umur muda

kualitasnya lebih baik karena serat kasar lebih rendah, sedangkan kadar

proteinnya lebih tinggi. Semakin lama umur panen tanaman maka kandungan

serat kasarnya semakin tinggi, sebaliknya terlalu awal atau dilakukan pemanenan

pada umur yang muda, hijauan tersebut akan selalu dalam keadaan muda sehingga

kandungan protein dan kadar airnya tinggi tetapi kadar seratnya rendah. Serat

kasar sangat penting dalam memenuhi kebutuhan zat makanan bagi ternak

(Anggorodi, 1998). Serat kasar dapat dimanfaatkan dengan baik pada ruminansia

karena kemampuan dari bakteri atau mikroba yang ada dalam rumen. Ruminansia

dapat mencerna serat dengan baik, dimana 70-80% dari kebutuhan energinya

berasal dari serat (Sitompul dan Martini, 2005). Anggorodi (1998) menambahkan

bahwa kesanggupan hewan atau ternak mengkonsumsi serat kasar dalam

makanannya tergantung pada pencernaan di dalam rumen. Leo (1996)

menyatakan bahwa kombinasi yang baik antara pupuk N, P, K akan menghasilkan

hijauan yang baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya.

17
2.5. Kecernaan

Kecernaan (digestibility) adalah bagian pakan yang dikonsumsi dan tidak

dikeluarkan menjadi feses (Affandi dkk., 1992). Menurut Silva (1989), kecernaan

merupakan suatu evaluasi kuantitatif dari pemanfaatan pakan maupun komponen

nutrisi. Faktor yang mempengaruhi daya cerna pakan antara lain komposisi pakan,

faktor hewan, dan jumlah pakan (Hartadi dkk., 1997). Kecernaan pakan

berhubungan erat dengan komposisi kimiawi, yaitu kandungan serat kasar dan

protein kasar hijauan (Tillman dkk., 1998). Anggorodi (1998) menyatakan bahwa

kandungan serat kasar yang tinggi dalam bahan pakan mengakibatkan rendahnya

kecernaan bahan pakan. Semakin tinggi kecernaan suatu pakan menunjukkan

banyaknya nutrisi yang diserap, dan dengan banyaknya nutrisi yang diserap maka

bobot badan ternak akan meningkat (Rahjhan dan Patak, 1979).

Kecernaan suatu bahan pakan merupakan pencerminan dari tinggi

rendahnya nilai manfaat dari bahan pakan tersebut (Pertiwi, 2011). Pengukuran

kecernaan merupakan suatu usaha untuk menentukan jumlah zat pakan yang

diserap dalam saluran pencernaan, jumlah yang tertinggal dalam tubuh hewan atau

jumlah dari zat pakan yang dicerna adalah selisih zat pakan yang terkandung

dalam pakan yang dikonsumsi dan zat pakan dalam ekskreta (Utama dkk., 2007).

Kecernaan pakan sangat penting untuk diketahui sebelum pakan diaplikasikan ke

ternak. Harfiah (2007) menyatakan bahwa proses penentuan kecernaan pakan

pada ternak ruminansia dapat dilakukan dengan 3 metode yaitu in vivo, in sacco

maupun in vitro. Kecernaan in vivo merupakan suatu cara penentuan kecernaan

nutrien menggunakan hewan percobaan dengan analisis nutrien pakan dan feses

18
(Tillman dkk., 1998). Dengan metode in vivo dapat diketahui pencernaan bahan

pakan yang terjadi di dalam seluruh saluran pencernaan ternak, sehingga nilai

kecernaan pakan yang diperoleh mendekati nilai sebenarnya. Koefisien kecernaan

yang ditentukan secara in vivo biasanya 1-2% lebih rendah daripada nilai

kecernaan yang diperoleh secara in vitro (Tillman dkk., 1998). Kecernaan in

sacco merupakan salah satu metode pengukuran degradasi pakan di dalam rumen

dengan menggunakan hewan yang berfistula rumen (Kurniawan, 2007; Askari

2012; Ristianto, 2012). Mulyawati (2009) dan Sudirman (2013) menyatakan

bahwa metode kecernaan in vitro merupakan metode pengukuran kecernaan suatu

bahan pakan yang dilakukan di laboratorium dengan meniru proses terjadinya

kecernaan pakan di dalam saluran pencernaan ternak ruminansia. Secara tidak

langsung dapat mengamati kegiatan yang terjadi di dalam rumen dengan cara in

vitro. Faktor yang mempengaruhi kecernaan in vitro antara lain pencampuran

pakan, cairan rumen, pengontrolan temperatur, larutan penyangga (saliva buatan),

variasi waktu dan metode analisis. Kelebihan metode in vitro adalah hasil

penelitian dapat diperoleh dalam waktu singkat, beberapa bahan pakan yang tidak

dapat diberikan secara tunggal pada hewan, kecernaannya dapat diteliti dengan

metode in vitro dimana tidak diperlukan pengumpulan feses atau sisa pakan,

sehingga dapat menghemat waktu, tenaga, biaya (Omed et al., 2000). Kekurangan

metode in vitro adalah menggunakan waktu standar, padahal waktu lamanya

bahan pakan berada dalam rumen bervariasi menurut jenis dan bentuk pakan,

tidak terjadi penyerapan zat-zat pakan seperti yang terjadi pada hewan hidup

(Rusdi, 2000).

19
2.5.1. Kecernaan Protein Kasar

Kecernaan protein kasar merupakan sebutan untuk kebutuhan ternak akan

protein, yang mana kebutuhan ternak akan protein dipengaruhi oleh masa

pertumbuhan, umur, fisiologis, ukuran dewasa, kebuntingan, laktasi, kondisi

tubuh dan rasio energi protein. Protein dalam jumlah yang cukup sangat

dibutuhkan untuk menjaga kondisi tubuh dalam keadaan normal. Konsumsi

ransum pada ternak akan menurun jika terjadi defisiensi protein dalam ransum

yang akan memperlambat pengosongan perut (Rangkuti, 2011).

Mikroorganisme retikulo-rumen dapat mendegradasi semua protein dan

asam amino baru dari nitrogen dan kerangka karbon yang terdapat dalam

retikulorumen, gambaran asam amino protein yang keluar dari rumen tidak

mencerminkan gambaran asam amino protein pakan. Perombakan protein adalah

cepat, sehingga mengasilkan kadar amonia rumen yang tinggi dan sebagian

diserap dan di ekskresikan sebagai urea (Tillman dkk., 2005).

Seluruh protein yang berasal dari pakan pertama kali dihidrolisis oleh

mikrobia rumen. Tingkat hidrolisis protein tergantung dari daya larutnya yang

berkaitan dengan kenaikan kadar amonia. Hidrolisis protein menjadi asam amino

diikuti oleh proses deaminasi untuk membebaskan amonia (Arora, 1989; Natsir,

2012). Kecernaan protein kasar tergantung pada kandungan protein di dalam

ransum. Ransum yang kandungan proteinnya rendah, umumnya mempunyai

kecernaan yang rendah pula dan sebaliknya. Tinggi rendahnya kecernaan protein

tergantung pada kandungan protein bahan pakan dan banyaknya protein yang

masuk dalam saluran pencernaan (Tillman dkk., 1998).

20
2.5.2. Kecernaan Serat Kasar

Serat kasar bagi ruminansia digunakan sebagai sumber energi utama dan

lemak kasar merupakan sumber energi yang efisien dan berperan penting dalam

metabolisme tubuh sehingga perlu diketahui kecernaannya dalam tubuh ternak

(Suprapto dkk., 2013). Menurut Despal (2000), serat kasar memiliki hubungan

yang negatif dengan kecernaan. Semakin rendah serat kasar maka semakin tinggi

kecernaan serat kasar. Tillman dkk. (1998) menyatakan bahwa kecernaan serat

kasar tergantung pada kandungan serat kasar dalam ransum dan jumlah serat kasar

yang dikonsumsi. Kadar serat kasar terlalu tinggi dapat mengganggu pencernaan

zat lain. Daya cerna serat kasar dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kadar

serat dalam pakan, komposisi penyusun serat kasar dan aktivitas mikroorganisme

(Maynard et al., 1980).

Menurut Suprapto dkk. (2013), serat kasar bagi ruminansia digunakan

sebagai sumber energi utama dan lemak kasar yang merupakan sumber energi

yang efisien dan berperan penting dalam metabolisme tubuh sehingga perlu

diketahui kecernaannya dalam tubuh ternak.

2.6. Jenis Tanah

Jenis tanah yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis tanah laterit.

Tanah laterit merupakan kelompok tanah dari hasil pelapukan yang tinggi,

terbentuk dari hasil konsentrasi hidrasi oksida besi dan aluminium (Olugbenga et

al., 2011). Nama laterit diberikan oleh Buchanan tahun 1807 di India, dari Bahasa

Latin ”later” yang berarti bata. Menurut Sosiawan dkk. (2000), tanah laterit

21
mempunyai beberapa ciri-ciri, yaitu: (1) tanah yang sudah berumur tua, tanah

laterit ini merupakan tanah yang sudah berumur tua atau sudah lama sekali.

Dikatakan berumur tua karena memang tanah merupakan elemen di bumi yang

bisa dihitung menggunakan umur. Tanah yang sudah tua bisa melebur menjadi

tanah dengan jenis yang berlainan, sebagai contoh adalah tanah laterit ini; (2)

hanya cocok untuk ditumbuhi tanaman-tanaman tertentu saja, tanah laterit

bukanlah termasuk ke dalam golongan tanah yang subur. Tanah laterit tidak

banyak digunakan sebagai lahan pertanian maupun perkebunan. Namun

keberadaan tanah ini bukan berarti tidak bisa ditumbuhi oleh jenis tumbuh-

tumbuhan apapun. Tanah laterit tetap bisa ditumbuhi oleh beberapa macam

tumbuhan, mengingat tanah ini juga memiliki sifat mudah dalam menyerap air.

Adapun beberapa tumbuhan yang biasa ditanam dalam tanah merah atau tanah

laterit ini adalah tumbuh-tumbuhan palawija, kelapa sawit, cengkeh, coklat dan

juga kopi. Tumbuh-tumbuhan tersebut bisa hidup di tanah laterit atau tanah merah

ini; (3) kandungan bahan organiknya sedang, tanah laterit juga merupakan tanah

yang memiliki kandungan bahan organik yang sedang. Setiap tanah yang ada di

bumi hampir selalu mempunyai kandungan bahan organik. Bahan organik

sangatlah diperlukan untuk membuat tanaman bisa subur. Adapun perbedaannya

adalah terletak pada jumlah bahan organik yang tersedia di tanah tersebut. Tanah

laterit adalah tanah yang mengandung bahan organik tingkat rendah, sehingga

tanah laterit ini tidak bisa dikatakan sebagai tanah yang sangat subur; (4) memiliki

pH netral, selain kandungan bahan organik, tanah juga memiliki tingkat keasaman

atau yang biasa disebut sebagai pH. Tingkat keasaman atau pH yang dimiliki

22
masing-masing jenis tanah juga berbeda-beda. Tanah laterit mempunyai tingkat

keasaman atau pH netral, sehingga tidak terlalu asam; (5) terbentuk pada

lingkungan yang lembab, dingin atau pada genangan-genangan air, tanah laterit

terbentuk pada lingkungan yang mempunyai cuaca lembab, dingin atau pada

genangan-genangan air. Tanah laterit seringkali kita temui di daerah-daerah yang

tidak terlalu panas, karena keberadaan tanah ini ada di tempat-tempat yang

lembab dan memiliki cuaca yang dingin; dan (6) mudah menyerap air, tanah

laterit ini memiliki sifat mudah menyerap air. Sifat tanah yang asli adalah bisa

menyerap air, namun jenis-jenis tanah yang berbeda akan membedakan

kemampunan mereka dalam menyerap air. Seperti halnya dengan tanah laterit ini

yang mudah untuk menyerap air. Menurut Olugbenga et al. (2011), tanah jenis ini

memiliki karakteristik keras, sulit ditembus, dan sangat sulit berubah jika dalam

kondisi kering. Tanah laterit memiliki variasi yang luas dari warna merah, coklat

sampai kuning, tanah residual berukuran butir halus dengan tekstur ringan

memiliki bentuk butiran nodular dan tersementasi dengan baik (Lambe dan

Whitman, 1979). Menurut Soepraptohardjo dan Ismangun (1980), kandungan

yang dimiliki oleh tanah laterit yaitu: (1) zat besi, kandungan yang pertama yang

ada di dalam tanah laterit adalah berupa zat besi. Itulah alasan mengapa tanah

laterit ini mempunyai warna merah bata atau agak kecoklatan . Hal ini karena

kandungan zat besi di tanah ini sangat banyak. Zat besi adalah jenis kandungan

yang sangat dibutuhkan dan memiliki sifat sangat penting; (2) alumunium, selain

zat besi ada kandungan lain yang juga menyebabkan tanah laterit menjadi

berwarna kemerahan adalah alumunium. Sama halnya dengan zat besi, kandungan

23
aluminium yang ada di dalam tanah ini juga sangat penting keberadaannya. Jenis

tanah ini memiliki unsur hara makro seperti nitrogen, fosfor dan kalium yang

sering terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit dan kurang mencukupi untuk

kebutuhan tanaman (Uehara dan Gillman, 1981; Chien, 1990).

24
BAB III

MATERI DAN METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan di laboratorium lapangan Fakultas

Peternakan, Universitas Nusa Cendana selama 7 bulan dari Oktober 2019 sampai

April 2020 yang dilanjutkan dengan analisis kandungan protein kasar, kandungan

serat kasar, kecernaan protein kasar dan kecernaan serat kasar di laboratorium

Kimia Pakan Fapet Undana, Kupang.

3.2. Materi Penelitian

Materi yang digunakan dalam penelitian adalah: bibit (biji) lamtoro

tarramba dan pupuk organik ABG-tablet. Alat bantu perlengkapan penelitian

lainnya adalah: tanah dan kotoran sapi sebagai media tanam, polibag (ukuran

tinggi 17,5cm dan diameter 35cm), air, gelas ukur, ember, alat potong, perangkat

alat analisis proksimat dan kecernaan in vitro.

3.3. Metode Penelitian

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak

Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 3 ulangan sehingga diperoleh 15 unit

percobaan. Kelima perlakuan tersebut adalah:

R₀ : Tanpa pemberian ABG tablet (kontrol)


R₁ : Pemberian 1 tablet (10g) ABG per polibag
R₂ : Pemberian 2 tablet (20g) ABG per polibag
R₃ : Pemberian 3 tablet (30g) ABG per polibag
R₄ : Pemberian 4 tablet (40g) ABG per polibag

25
3.4. Prosedur Pelaksanaan Penelitian

1. Persiapan Media Tanam

Pengolahan tanah bertujuan untuk menyediakan media tumbuh yang

optimal bagi tanaman. Tanah yang digunakan diambil dari sekitar lokasi

penelitian yang kemudian dibersihkan dari material-material lainnya, selanjutnya

dicampur dengan pupuk kandang dengan perbandingan berat 16kg tanah : 4kg

pupuk kandang setiap polibag.

2. Penanaman Bibit

Biji atau bibit lamtoro tarramba yang sudah disiapkan dibersihkan dari

benda-benda asing dan kotoran lainnya, dipilih biji yang secara visual normal

ukurannya, selanjutnya diskarifikasi dengan cara bagian bawah biji digunting,

kemudian direndamkan dalam air selama 4 jam, setelah itu biji lamtoto ditanam

sebanyak tiga biji pada setiap polibag, dengan pertimbangan ada yang tidak

tumbuh, dan akan dicabut setelah tanaman tumbuh normal.

3. Trimming

Trimming dilakukan setelah bibit tumbuh dengan baik, yaitu setelah

tanaman berumur ±3 bulan. Sebelum dilakukan trimming tanaman di polibag

disisakan dan hanya dibiarkan tumbuh satu pohon saja, yang lainnya dicabut.

Trimming atau pemotongan rata bertujuan untuk menyeragamkan tinggi tanaman

pada awal pengamatan. Caranya, seluruh tangkai tanaman dirangkul dan

diluruskan ke atas, kemudian diukur setinggi 20cm dari permukaan tanah dan

dipotong.

26
4. Penyiraman

Secara normal, penyiraman dilakukan dua kali sehari, pukul 07.00 dan

17.00 dengan air sebanyak satu liter per polibag, tetapi pada saat hari hujan tidak

disiram, namun pengamatan tetap dilakukan setiap hari untuk melihat tingkat

kebutuhan air dan pengamatan terhadap serangan hama penyakit, juga terhadap

pertumbuhan tanaman.

5. Pemupukan

Dalam penelitian ini, pemupukan dengan pupuk organik ABG-tablet

merupakan perlakuan yang diberikan pada tanaman dengan dosis atau level yang

sudah ditentukan. Pemupukan ini dilakukan 5 hari setelah trimming pada saat

umur anakan tiga bulan. Pemupukan dengan ABG-tablet sesuai perlakuan

dilakukan sekali selama masa penelitian dengan cara tugal dengan radius 5cm dari

pohon tanaman kemudian membenamkan sedalam ±1cm.

6. Penyiangan

Penyiangan dilakukan dengan maksud untuk membersihkan gulma atau

tanaman pengganggu yang ada pada setiap unit percobaan. Selama penelitian

pengamatan dilakukan setiap hari terhadap gulma yang tumbuh langsung dicabut.

Pertumbuhan tanaman terus diamati hingga akhir penelitian.

7. Panen

Panen dilakukan pada saat tanaman berumur 87 hari (2 bulan 27 hari)

dihitung dari saat trimming tanaman. Daun dan tangkai daun serta pucuk muda

diambil, ditimbang, dan dikeringkan dalam oven pada suhu 60°C dengan tujuan

persiapan sampel untuk analisis nilai nutrisinya secara proksimat.

27
3.5. Variabel yang Diamati

1. Penentuan Kadar Protein Kasar (PK)

Kadar Nitrogen (%) =

(Vol. HCL Titrasi Sampel – Vol. HCL Titrasi Balnko) × Normalitas × 14.0067
(1000 × Berat Sampel)(%BK/100)
x 100%

Kadar Protein Kasar (%) = % 𝑁𝑖𝑡𝑟𝑜𝑔𝑒𝑛 × 6,25

2. Penentuan Kadar Serat Kasar (SK)

Kadar Serat Kasar (%) =

(B. Sampel, B. Filter, B. Cawan − B. Filter − B. Cawan)


x 100%
((B.Sampel × (%BK/100))

3. Kecernaan Protein Kasar (PK)

Kecernaan protein =

% PK S × ΣPK R
x 100%
% PK S × ΣS

Keterangan:
% PK S = % Protein kasar sampel
ƩS = Jumlah sampel
ƩPK R = Jumlah protein kasar residu

4. Kecernaan Serat Kasar (SK)

Kecernaan serat kasar (%) =

(Berat BK Sampel × %SK Sampel)−(Berat BK Residu × SK Residu − Blanko


Berat BK Sampel × SK Sampel
x 100%

28
3.6. Analisis Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis menurut Analysis of

Variance (ANOVA) untuk melihat ada tidaknya pengaruh perlakuan terhadap

variabel yang diteliti dan untuk mengetahui adanya perbedaan antara perlakuan

maka diadakan uji lanjut dengan menggunakan Uji Jarak Berganda Duncan sesuai

dengan petunjuk (Steel dan Torrie, 1995).

Model matematis Rancangan Acak Lengkap :

Yij = µ + τi + Σij

Keterangan:
Yij = Nilai pengamatan pada perlakuan ke -i ulangan ke -j
µ = Nilai tengah umum
τi = Pengaruh perlakuan ke-i
Σij = Kesalahan (galat) percobaan ada perlakuan ke-i ulangan
ke -j.
i = Perlakuan (1, 2, 3, 4, 5)
j = Ulangan (1, 2, 3)

29
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Pengaruh Perlakuan Terhadap Kandungan Protein Kasar

Protein adalah senyawa organik kompleks yang mempunyai berat molekul

tinggi, seperti halnya karbohidrat dan lipida. Protein mengandung unsur-unsur

karbon (C), hidrogen (H) dan oksigen (O), tetapi sebagai tambahannya semua

protein mengandung nitrogen (N) (Tillman dkk., 1998). Rismunandar (1986)

menyatakan bahwa nilai gizi ditentukan oleh tinggi rendahnya kadar protein kasar

yang terkandung di dalamnya. Rataan kandungan protein kasar akibat pemberian

pupuk organik ABG-tablet pada tanaman lamtoro tarramba disajikan pada Tabel 2

(Lampiran 1).

Tabel 2. Rataan Kandungan Protein Kasar (%) Hijauan Lamtoro


Tarramba yang Diberi Pupuk Organik ABG-Tablet dengan
Level yang Berbeda.

Perlakuan Ulangan Rataan


1 2 3
R0 18,18 19,60 18,79 18,86±0,71
R1 19,09 20,67 21,55 20,44±1,24
R2 21,76 19,22 22,50 21,16±1,72
R3 19,31 21,22 24,57 21,70±2,66
R4 23,30 20,40 24,12 22,61±1,95

Berdasarkan Tabel 2, tampak bahwa kisaran kandungan protein kasar akibat

pemberian pupuk organik ABG-tablet 18,18-24,57% (R1-R4), tertinggi pada

perlakuan R4 yakni 20,40-24,12% (rata-rata 22,61%) dan terendah pada perlakuan

R0 yakni 18,18-19,60% (rata-rata 18,86%). Secara umun rataan kandungan

30
protein kasar lamtoro tarramba sebesar 20,95% dengan kisaran antara 18,86-

22,61%. Tampak pula bahwa pemberian pupuk organik ABG-tablet cenderung

dapat meningkatkan kandungan protein kasar dibandingkan dengan perlakuan

tanpa pemupukan. Hal ini sesuai pendapat Widyobroto dkk. (2000), penambahan

pupuk memberikan pengaruh terhadap kandungan protein hijauan pakan. Kisaran

kandungan protein kasar akibat pemberian pupuk organik ABG-tablet dengan

rataan tertinggi pada perlakuan R₄ yakni 22,61% dan terendah pada perlakuan R₀

yakni 18,86%. Secara umun total rataan kandungan protein kasar lamtoro

tarramba sebesar 20,95% dengan kisaran antara 18,86-22,61%. Nilai kandungan

protein kasar yang dihasilkan dari penelitian ini masih dalam kisaran normal. Hal

ini sesuai dengan pendapat Siregar (2008), bahwa kisaran normal kebutuhan zat

gizi (nutrien) yang harus dipenuhi dalam ransum untuk ternak ruminansia, yaitu

protein kasar sebesar 12-15% bahkan sudah memenuhi kebutuhan hidup pokok

ternak ruminansia sebesar 6-7%. Dengan demikian berdasarkan hasil penelitian

ini, lamtoro tarramba dapat dikategorikan sebagai bahan pakan hijauan sumber

protein asal leguminosa pohon bagi ternak ruminansia.

Hasil analisis ragam (Lampiran 1) menunjukkan bahwa perlakuan

pemberian pupuk organik ABG-tablet memberikan pengaruh yang tidak nyata

(P>0,05) terhadap nilai kandungan protein kasar pada tanaman lamtoro tarramba.

Artinya pemberian pupuk organik ABG-tablet sampai pada level 4 tablet (40g)

tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kandungan protein kasar pada

tanaman lamtoro tarramba. Berdasarkan hasil analisis ragam ini, dapat dikatakan

bahwa pemberian pupuk organik ABG-tablet meningkatkan kandungan protein

31
kasar pada tanaman lamtoro tarramba dengan media tanam tanah jenis laterit

(tanah merah). Dosis pemberian 1 tablet (10g), 2 tablet (20g), 3 tablet (30g) dan 4

tablet (40g) pupuk organik ABG-tablet pada tanaman lamtoro tarramba tidak

menunjukkan pengaruh yang signifikan (P>0,05) terhadap kandungan protein

kasar diduga lebih kepada kondisi unsur hara pada media tanam sebelum

digunakan, sehingga dengan pemupukan 1-4 tablet hasilnya sama. Menurut

Marliani (2010), kandungan dan komposisi protein kasar dalam hijauan

dipengaruhi oleh ketersediaan unsur hara, akibatnya bisa menghambat proses

sintesa pada tanaman. Hal ini menunjukkan bahwa peranan unsur hara N bagi

tanaman sangat besar, karena unsur hara N merupakan salah satu unsur

pembentuk protein kasar (Tisdale dan William, 1975). Engelstad (1997)

menambahkan bahwa pemberian N yang optimal dapat meningkatkan

pertumbuhan tanaman, dan meningkatkan sintesis protein. Dengan demikian dapat

dikatakan bahwa tanpa pemberian pupuk ABG-tablet, nilai kandungan protein

pada tanaman lamtoro tarramba sudah mencukupi untuk kebutuhan nutrien ternak

ruminansia. Hal ini sesuai dengan pendapat Yurmiaty dan Suradi (2010) yang

menyatakan bahwa lamtoro varietas tarramba memiliki keunggulan yaitu tinggi

kandungan protein (15-18%), vitamin dan mineral serta sudah dapat memenuhi

kebutuhan hidup pokok ternak ruminansia.

Pupuk ABG-tablet sifatnya lambat mengurai sehingga tanah sekitar tanaman

menyediakan unsur hara untuk kebutuhan pertumbuhan dan produksi tanaman,

yang terjadi pada lamtoro tarramba juga demikian, tersedia unsur hara bagi

kebutuhan pertumbuhannya apalagi umur tanaman pada stadia pertumbuhan

32
vegetatif. Penelitian ini merupakan penelitian awal penggunaan pupuk organik

ABG-tablet ini sebagai pupuk pada tanaman pakan sehingga data pembanding

penelitian untuk mendukung hasil penelitian ini masih terbatas dan belum ada

publikasi datanya.

4.2. Pengaruh Perlakuan Terhadap Kandungan Serat Kasar

Menurut Tillman dkk. (1998), serat kasar terdiri dari selulosa, hemiselulosa

dan lignin. Menurut Maynard et al. (1980), tanaman tua mengandung serat kasar

lebih tinggi dibanding tanaman muda, dan semakin tinggi serat kasar tanaman,

maka semakin rendah kecernaan serta nilai energi produktifnya. Serat kasar

mempunyai energi total yang besar akan tetapi akan dicerna tergantung pada

kemampuan bakteri pencerna makanan (Anggorodi, 1998). Rataan kandungan

serat kasar akibat pemberian pupuk organik ABG-tablet pada tanaman lamtoro

tarramba tertera pada Tabel 3 (Lampiran 2).

Tabel 3. Rataan Kandungan Serat Kasar (%) Hijauan Lamtoro


Tarramba yang Diberi Pupuk Organik ABG-Tablet dengan
Level yang Berbeda.

Perlakuan Ulangan Rataan


1 2 3
R0 13,71 12,04 14,23 13,33±1,15
R1 13,29 11,12 13,55 12,65±1,34
R2 13,03 11,97 12,58 12,53±0,53
R3 12,53 11,69 13,23 12,48±0,77
R4 11,49 10,15 11,62 11,09±0,82

33
Berdasarkan Tabel 3, tampak bahwa kisaran kandungan serat kasar akibat

pemberian pupuk organik ABG-tablet 10,15-13,55% (R1-R4), tertinggi pada

perlakuan R0 yakni 12,04-14,23% (rata-rata 13,33%) dan terendah pada perlakuan

R4 yakni 10,15-11,62% (rata-rata 11,09%). Secara umun rataan kandungan serat

kasar lamtoro tarramba sebesar 12,42% dengan kisaran antara 11,09-13,33%.

Nilai kandungan serat kasar yang dihasilkan dari penelitian ini yaitu jauh dibawah

kisaran normal yang dikemukakan oleh Hartadi dkk. (1997) sebesar 18%.

Perbedaan ini diprediksi karena perbedaan umur panen. Pada penelitian ini umur

panen lamtoro tarramba 2 bulan 27 hari dihitung dari persemaian tanaman yang

berarti bahwa tanaman masih muda sehingga nilai biologis dari serat kasar itu

sendiri masih tinggi (kecernaannya tinggi karena kadar serat kasarnya rendah).

Peningkatan serat kasar berbanding lurus dengan umur tanaman yang semakin tua.

Hasil analisis ragam (Lampiran 2) menunjukkan bahwa perlakuan penggunaan

pupuk organik ABG-tablet memberikan pengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap

nilai kandungan serat kasar pada tanaman lamtoro tarramba. Artinya pemberian

pupuk organik ABG-tablet sampai pada level 4 tablet (40g) tidak memberikan

pengaruh nyata terhadap kandungan serat kasar pada tanaman lamtoro tarramba.

Hal ini diduga karena kandungan serat kasar erat hubungannya dengan umur

tanaman. Sesuai pendapat Ella (2002) yang menyatakan bahwa hijauan yang

dipanen muda memiliki kandungan protein dan kadar airnya tinggi tetapi kadar

seratnya rendah. Widayanti (2008) menambahkan bahwa semakin lama umur

panen tanaman maka kandungan serat kasarnya semakin tinggi, sebaliknya terlalu

awal atau dilakukan pemanenan pada umur yang pendek (muda), hijauan tersebut
34
akan selalu dalam keadaan muda sehingga kandungan protein dan kadar airnya

tinggi tetapi kadar seratnya rendah.

Tingginya kandungan serat kasar pada perlakuan R0 diduga karena

pemberian pupuk organik ABG-tablet hingga level tertinggi mampu

meningkatkan kandungan protein kasar hingga mencapai 24,57% (Tabel 2)

dibanding kontrol, sebaliknya menurunkan kandungan serat kasar hingga

mencapai 10,15% (Tabel 3). Hasil penelitian ini memberikan gambaran bahwa

manfaat pemberian pupuk organik ABG-tablet pada saat melakukan penanaman

yaitu sebagai unsur hara tambahan bagi tanaman untuk dapat meningkatkan

kandungan protein kasar dan sebaliknya menurunkan kandungan serat kasar.

Semakin tinggi dosis pupuk ABG-tablet yang diberikan maka semakin rendah

pula kandungan serat kasar pada tanaman.

Secara umum hubungan antara kandungan protein kasar dan kandungan

serat kasar yaitu dengan meningkatnya kandungan protein kasar dari R0 (tanpa

ABG-tablet) hingga R4 (4 tablet) dan menurunnya kandungan serat kasar dari R4

hingga R0, selain diduga akibat dari manfaat pupuk organik ABG-tablet ini, juga

akibat serat kasar berkurang ketika kandungan protein kasar meningkat.

Reksohadiprodjo (1985) menyatakan bahwa serat kasar dan protein kasar selalu

berbanding terbalik pada hijauan makanan ternak. Hal ini juga diduga akibat dari

umur pemanenan tanaman maka kandungan serat kasar rendah. Parakkasi (1999)

juga mengemukakan bahwa faktor umur mempengaruhi nilai gizi hijauan, dimana

kadar protein kasar akan turun sesuai dengan meningkatnya umur tanaman, tetapi

kadar serat kasar menunjukkan sebaliknya; juga Crowder dan Chedda (1982)
35
mempertegas kedua pernyataan di atas bahwa kadar protein kasar suatu tanaman

menurun sesuai meningkatnya umur tanaman, sedangkan kadar serat sebaliknya

menjadi meningkat.

4.3. Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan in vitro Protein Kasar

Kecernaan protein kasar adalah total protein pakan yang diserap oleh tubuh

dan tidak diekresikan dalam feses (Widyobroto dkk., 2007). Kecernaan protein

kasar tergantung pada kandungan protein di dalam hijauan atau ransum. Hijauan

yang kandungan protein kasarnya rendah umumnya nilai kecernaannya rendah

pula, demikian sebaliknya. Tinggi rendahnya kecernaan protein kasar tergantung

pada kandungan protein kasar bahan pakan dan banyaknya protein kasar yang

masuk dalam saluran pencernaan (Tillman dkk., 1998). Rataan nilai kecernaan in

vitro protein kasar akibat penggunaan pupuk organik ABG-tablet pada tanaman

lamtoro tarramba tertera pada Tabel 4 (Lampiran 3).

Tabel 4. Rataan Nilai Kecernaan in vitro Protein Kasar (%) Hijauan


Lamtoro Tarramba yang Diberi Pupuk Organik ABG-
Tablet dengan Level yang Berbeda.

Perlakuan Ulangan Rataan


1 2 3
R0 77,08 73,08 73,18 74,45±2,28
R1 76,29 72,73 75,23 74,75±1,83
R2 72,73 77,10 75,25 75,03±2,19
R3 71,09 78,90 75,57 75,19±3,92
R4 71,92 79,48 77,23 76,21±3,88

36
Berdasarkan Tabel 4, tampak bahwa kisaran kecernaan in vitro protein kasar

akibat pemberian pupuk organik ABG-tablet 71,09-79,48% (R1-R4), tertinggi

pada perlakuan R4 yakni 71,92-79,48% (rata-rata 76,21%) dan terendah pada

perlakuan R0 yakni 73,08-77-08% (rata-rata 74,45%). Secara umun rataan

kecernaan in vitro protein kasar lamtoro tarramba sebesar 75,12% dengan kisaran

antara 74,45-76,21%. Tampak pula bahwa pemberian pupuk organik ABG-tablet

cenderung dapat meningkatkan kecernaan in vitro protein kasar dibandingkan

dengan perlakuan tanpa pemupukan.

Hasil analisis ragam (Lampiran 3) menunjukkan bahwa perlakuan

penggunaan pupuk organik ABG-tablet berpengaruh tidak nyata (P>0,05)

terhadap nilai kecernaan in vitro protein kasar hijauan lamtoro tarramba. Artinya

pemberian pupuk organik ABG-tablet sampai pada level 4 tablet (40g)

memberikan respon yang relatif sama terhadap nilai kecernaan in vitro protein

kasar hijauan lamtoro tarramba. Hal ini sesuai dengan hasil pada variabel

kandungan proteinnya polanya sama dan tidak signifikan, namun pada level 3-4

tablet tampaknya mulai menunjukkan respon yang cenderung meningkat. Hal ini

sesuai dengan yang dikatakan McIllroy (1977), bahwa pemberian level

pemupukan yang berbeda-beda dapat menyebabkan kandungan protein yang

berbeda-beda pula. Ini berarti bahwa range level pupuk yang sempit menjadi

penyebab tingkat signifikansi ini. Menurut Tisdale dan William (1975), N adalah

unsur hara utama dalam pembentukan protein makanan, oleh sebab itu dibutuhkan

unsur hara N yang lebih banyak untuk meningkatkan kandungan protein kasar

agar dapat meningkatkan kecernaan protein kasar, karena semakin banyak jumlah
37
N yang diserap maka protein kasar tanaman akan meningkat. Hal ini sesuai

dengan pendapat Widyobroto (1995) yang menyatakan bahwa bahan pakan

dengan kandungan protein yang rendah umumnya mempunyai kecernaan yang

rendah pula dan sebaliknya jika kandungan proteinnya tinggi maka kecernaan

proteinnya juga tinggi. Lebih lanjut Tillman dkk. (1998) yang menyatakan bahwa

tinggi rendahnya kecernaan protein tergantung pada kandungan protein bahan

pakan dan banyaknya protein yang masuk dalam saluran pencernaan.

4.4. Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan in vitro Serat Kasar

Tillman dkk. (1998) menyatakan bahwa serat kasar mempunyai pengaruh

terbesar terhadap daya cerna. Selulosa dan hemiselulosa yang sukar dicerna

terutama bila mengandung lignin. Parakkasi (1999) menyatakan bahwa kenaikan

tingkat serat kasar akan menyebabkan penurunan tingkat kecernaan, sehingga

ternak akan mengkonsumsi lebih banyak pakan untuk memenuhi kebutuhan

energinya. Rataan kecernaan serat kasar akibat pemberian pupuk organik ABG-

tablet pada tanaman lamtoro tarramba tertera pada Tabel 5 (Lampiran 4).

Tabel 5. Rataan Nilai Kecernaan in vitro Serat Kasar (%) Hijauan


Lamtoro Tarramba yang Diberi Pupuk Organik ABG-Tablet
dengan Level yang Berbeda.

Perlakuan Ulangan Rataan


1 2 3
R0 46,79 52,42 45,45 48,22±3,70 a
R1 52,42 52,72 51,55 52,23±0,61 b
R2 53,55 52,90 52,45 52,97±0,56 b
R3 56,68 52,03 51,24 53,32±2,94 b
R4 54,80 52,03 51,24 54,68±0,22 b
Keterangan: Superskip yang berbeda ke arah kolom berbeda nyata (P>0,05)

38
Berdasarkan Tabel 5, tampak bahwa kisaran kecernaan in vitro serat kasar

akibat pemberian pupuk organik ABG-tablet 45,45-56,68% (R1-R4), tertinggi

pada perlakuan R4 yakni 51,24-54,80% (rata-rata 54,68%) dan terendah pada

perlakuan R0 yakni 45,45-52,42% (rata-rata 48,22%). Secara umun rataan

kecernaan in vitro serat kasar lamtoro tarramba sebesar 52,28% dengan kisaran

antara 48,22-54,68%. Tampak pula bahwa pemberian pupuk organik ABG-tablet

dapat meningkatkan kecernaan in vitro serat kasar dibandingkan dengan perlakuan

tanpa pemupukan. Artinya penggunaan pupuk organik ABG-tablet sampai pada

level 4 tablet (40g) memberikan respon yang baik terhadap nilai kecernaan in

vitro serat kasar. Sebagaimana halnya yang terjadi pada variabel kandungan

protein kasar dan serat kasar yang responnya mulai tampak pada level pupuk 4

tablet, demikian pula yang terjadi pada variabel kecernaan in vitro serat kasar ini

dan bahkan secara statistik tampak signifikansinya. Despal (2000) menyatakan

bahwa kandungan serat kasar memiliki hubungan yang negatif dengan kecernaan.

Semakin rendah serat kasar maka semakin tinggi kecernaan serat kasar.

Pamungkas dkk. (2013) menambahkan bahwa rendahnya kandungan serat kasar

akan memudahkan penetrasi mikroba rumen (bakteri, protozoa dan jamur) untuk

mencerna nutrien pakan karena jika kandungan serat kasarnya tinggi maka akan

menyebabkan sulit terdegradasi oleh mikroba rumen sehingga akan berdampak

pada kecernaan. Artinya semakin rendah kandungan serat kasar dalam pakan

maka akan semakin tinggi kecernaan serat kasar.

39
Hasil uji Duncan pengaruh penggunaan pupuk organik ABG-tablet (Tabel 5,

Lampiran 5) menunjukkan bahwa tingginya nilai kecernaan in vitro serat kasar

pada level 4 tablet (40g) tidak nyata (P>0,05) dibanding 3 tablet (30g) (R4-R3), 2

tablet (20g) (R4-R2), maupun dengan 1 tablet (10g) (R4-R1) kecuali dibanding

perlakuan tanpa pupuk (R4-R0) nyata (P<0,05) tingginya. Level lainnya R3, R2, R1

juga nyata (P<0,05) dibanding R0; tetapi antar perlakuan R4 dan R3, R2 dan R1

tidak nyata (P>0,05). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penggunaan pupuk

organik ABG-tablet dari level 1-4 tablet memberikan respon hasil yang relatif

sama meningkatkan nilai kecernaan in vitro serat kasar. Fenomena ini secara linier

sinkron dengan hasil yang diperoleh pada variabel kandungan dan kecernaan in

vitro protein kasar dan berbanding terbalik dengan kandungan serat kasar.

Kandungan serat kasar merupakan faktor pembatas lamanya waktu pencernaan

sehingga mempengaruhi kecernaan. Jika kandungan serat kasar yang terkandung

rendah maka kecernaannya akan meningkat. Hal ini sesuai dengan pendapat

Tillman dkk. (1998) yang menyatakan bahwa kecernaan bahan pakan akan

meningkat seiringan dengan penurunan kandungan serat kasar yang terkandung.

40
BAB V

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini disimpulkan bahwa perlakuan penggunaan

pupuk organik ABG-tablet sebanyak 4 tablet dapat meningkatkan nilai nutrisi

lamtoro tarramba dilihat dari kandungan dan kecernaan serat kasar secara in vitro.

5.2. Saran

Petani peternak dapat menggunakan pupuk organik ABG-tablet untuk

mengoptimalkan pertumbuhan dan produktivitas tanaman serta memperbaiki

keadaan fisik, kimia dan biologi tanah agar dapat meningkatkan produktivitas

lahan dan menghasilkan pakan yang berkualitas baik.

41
DAFTAR PUSTAKA

Affandi, R., D.S. Sjafei., M.F. Rahardjo, dan Sulistiono. 1992. Iktiologi. Suatu
Pedoman Kerja Laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati.
Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Anggorodi, R. 1998. Ilmu Makanan Ternak Umum. Cetakan Kelima. PT.


Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Anonymous. 2008. Pengetahuan Produk Pupuk Organik Amazing Bio Growth


(ABG) dan Pupuk ABG tablet Three in one. Jakarta.

Arora, S.P. 1989. Pencernaan Mikroba Pada Ruminansia. Penerjemah: R.


Murwani, dan B. Srigandono. Penerbit: Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.

Askari, M.Z. 2012. Evaluasi Kecernaan Beberapa Bahan pada Ternak Peranakan
Ongole (PO) dan Peranakan Frisian Holstein (PFH). Skripsi. Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.

Bamualim, A. 1988. Prinsip-prinsip dalam pemberian makanan ternak sapi dalam


prinsip dan metode penelitian. Kumpulan Materi Kursus Sub Balai
Penelitian Ternak Lili, Kupang.

Brewbaker, J.L., N. Hedge., E.M. Hutton., R.J. Jones., J.B. Lowry., F. Moog, and
R. Van den Beldt. 1985. Leucaena Forage Production and Use. NFTA
Hawaii.

Chien, S.H. 1990. Reaction of phosphate rocks with acid soils of the humid
tropics. Paper presented at workshop on phosphate sources for acid soils in
the humid tropic of Asia, Kuala Lumpur.

Crowder, L., and H.R. Chedda. 1982. Tropical Grassland Husbandry. Logman,
New York. London.pp. 308-370.

42
Dahlanuddin., O. Yanuarianto., D.P. Poppi., S.R. McLennon, and S.P. Quigley.
2014. Live weight gain and feed intake of weaned bali cattle fed grass and
tree legumes in West Nusa Tenggara, Indonesia. Animal Production
Science, 54(7): 915-921.

Despal. 2000. Kemampuan komposisi kimia dan kecernaan in vitro dalam


mengestimasi kecernaan in vivo. Majalah Media Peternakan, 23(3): 84-88.
Malang.

Devi, M.V.N., V.N. Ariharan, and N.P. Prasad. 2013. Nutritive value and
potential used of Leucaena leucocephala as Biofuel. A Mini Review.
Research journal of Pharmaceutical, Biological, and Chemical Sciences.
4(1): 515-521.

D’Mello, J.P.F., and D. Thomas. 1997. Animal feed. In: F.R. Rushkin (ed).
Leucaena Promising Forage and Tree Crops for The Tropics. Washington,
D.C. National Academy of Sciences.

Ella, A. 2002. Produktivitas dan nilai nutrisi beberapa jenis rumput dan
leguminosa pakan yang ditanam pada lahan kering iklim basah. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan, Makassar.

Engelstad, O.P. 1997. Teknologi dan Penggunaan Pupuk. Edisi Ketiga. Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta.

Gaman, M., dan K.B. Sherrington. 1981. Ilmu Pangan, Pengantar Ilmu Pangan,
Nutrisi dan Mikrobiologi. Edisi Kedua. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.

Garcia, G.W., T.U. Ferguson., F.A. Neckles, and K.A.E. Archibald. 1966. The
nutritive value and forage productivity of Leucaena leucocephala. Animal
Feed Science Technology, 60(1-2): 29-41.

Gutteridge, R.C., and H.M. Shelton. 1998. Forage Tree Legumes in Tropical
Agriculture. Published by Tropical Grassland Society of Australia Inc.

Harfiah. 2007. Nilai indeks beberapa pakan hijauan potensial untuk ternak domba.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007.
Universitas Hasanuddin, Makassar.

Hartadi, H., S. Reksohadiprodjo, dan A.D. Tillman. 1997. Tabel Komposisi Pakan
Untuk Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

43
Hoult, E.H., and P.P. Briant. 1974. Practice Experiments and Demonstration. In:
Whiteman, P.C., L.R. Humpreys, and N.H. Mounteith. A Course Manual in
Tropical Pasture Science. Australia Vice Chancerllors Committee.
Brisbane. pp. 351-352.

Kana Hau, D. 2014. The potency of using and developing local and introduced
herbaceous legume forages in East Nusa Tenggara, Indonesia. Proceedings
of The 16th AAAP Congress. 10-14 November 2014 Yogyakarta (Indonesia).
2710-2713.

Kana Hau, D., T. Panjaitan., J. Nulik., Dahlanuddin, and E. van de Fliert. 2014.
Barriers to and opportunities for the use of forage tree legumes in
smallholder cattle fattening systems in Eastern Indonesia. Tropical
Grasslands-Forrages Tropic, 2: 79-81.

Kominfo Manggarai Timur. 2016. Jejak Operasi Nusa Hijau dan Lamtoro. Warga
Pesisir Utara Manggarai Timur Panen Rupiah. Pos Kupang, Sabtu 29
Oktober 2016. Hal. 12.

Kurniawan, M.R. 2007. Kecernaan in vivo jerami kacang tanah (Arachis


hypogaea). Skripsi. Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.

Lambe, T., and W.R.V. Whitman. 1979. Soil Mechanics. SI Version. John Wiley
and Sons.

Leo, U. 1996. Pengaruh pupuk kandang dan pupuk buatan (NPK) serta
kombinasinya terhadap kualitas rumput sawang (Pennisetum
macrostachyum). Skripsi. Fakultas Peternakan, Universitas Nusa Cendana,
Kupang.

Marliani. 2010. Produksi dan kandungan gizi rumput setaria (Setaria Sphacelata)
pada pemotongan pertama yang ditanam dengan jenis pupuk kandang
berbeda. Skripsi. Fakultas Pertanian dan Peternakan, Universitas Islam
Negeri Sultan Syarif Kasim, Riau.

Maynard, L.A., J.K. Loosil., H.F. Hintz, and R.G. Warner. 2005. Animal
Nutrition. Seven Revised Edition. McGraw-Hill Book Company. New York,
USA.

McIllroy, R.J. 1977. Pengantar Budidaya Padang Rumput Tropika.


Diterjemahkan Oleh S. Susetyo., Soedarmadi., I. Kismono, dan I.S. Sri
Harini. Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta.

44
Mulyawati, Y. 2009. Fermentabilitas dan kecernaan in vitro biomineral
dienkapsulasi. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Natsir, A. 2012. Efficient Utilization of Fibre for Ruminants. Masagena Press,


Makassar.

Nulik, J., D. Kana Hau., P.Th. Fernandez, dan S. Ratnawati. 2004. Adaptasi
beberapa Leucaena spesies di Pulau Timor dan Sumba NTT. Prosiding
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 4-5 Agustus
2004. Bogor (Indonesia): Puslitbangnak. 825-831.

Nulik, J., dan D. Kana Hau. 2016. Forage growing and hay making of Clitoria
ternatea for dry season feed supplement in East Nusa Tenggara, Indonesia.
The 17th Asian Australian Association of Animal Production Societies.
Animal Science Congress Proceedings. Fukuoka, 22-26 August 2016.
Fukuoka (Japan).

Olugbenga, O.A., F.B. Oluwole, and A.K. Iyiola. 2011. The suitability and lime
stabilization requirement of some lateritic soil samples as pavemen. Int. J.
Pure Appl. Sci. Technol, 2(1): 29-46.

Omed, H.M., D.K. Lovett, and R.F.E. Axford. 2000. Faeces as a source of
microbial enzymes for estimating digestibility. School of Agricultural and
Forest Sciences, University of Wales, Bangor.

Pamungkas, D., Y.N. Anggraeni., Kusmartono, dan N.H. Krishna. 2008. Produksi
asam lemak terbang dan amonia rumen sapi bali pada imbangan daun
lamtoro (Leucaena leucocephala) dan pakan lengkap yang berbeda.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. 197-204.

Pamungkas, D., Mariyono., R. Antari, dan T.A. Sulistya. 2013. Imbangan pakan
serat dengan penguat yang berbeda dalam ransum terhadap tampilan sapi
Peranakan Ongole jantan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Venteriner. 107-115.

Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. Universitas


Indonesia Press, Jakarta.

Pertiwi, N.A. 2011. Nilai kecernaan lemak kasar berbagai jenis pakan komplit
pada kambing peranakan etawa. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan.
Universitas Airlangga, Surabaya.

45
Purwanto, I. 2007. Mengenai Lebih Dekat Leguminoseae. Penerbit Kanisius,
Yogyakarta.

Rangkuti, J.H. 2011. Produksi dan kualitas susu kambing peranakan etawah (PE)
pada kondisi tatalaksana yang berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.

Ranjhan, S.K., and N.N. Pathak. 1979. Management and Feeding of Buffalos.
Kashiravani printers. Mypure, New Delhi.

Reksohadiprodjo, S. 1985. Produksi Tanaman Hijauan Makanan Ternak Tropik.


BPFE. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Rismunandar, 1986. Mendayagunakan Tanaman Rumput. Penerbit Sinar Baru,


Bandung.

Ristianto, U. 2012. Evaluasi Pakan dengan Metode Noninvasif. PT. Citra Aji
Parama, Yogyakarta.

Rusdi, M. 2000. Kecemaan bahan kering in vitro silase rumput gajah pada
berbagai umur pemotongan. Skripsi. Fakultas Peternakan, Universitas
Hasanuddin, Makassar.

Ruslin, M. 2011. http://ruslin-munir.blogspot.co.id/2011/12/makalah-tentang-


tanaman-lamtoro.html. Kamis, 01 Desember 2011. (Diakses tanggal 10
September 2020).

Silva, D. 1989. Digestibility evaluations of natural and artificial diets.


Proceedings of the Third Asian Fish Nutrition network Meeting. Asian Fish.
Soc. Spec. Pubhl.4, 166. Asian Fisheris Society, Manila, Philippines.

Siregar, S.B. 2008. Penggemukan Sapi. Edisi Revisi. Penerbit Penebar Swadaya,
Jakarta.

Sitompul, S., dan Martini. 2005. Penetapan serat kasar dalam pakan tanpa
ekstraksi lemak. Prosiding Temu Teknis Nasional Tenaga Fungsional
Pertanian. 96-99.

Soepraptohardjo, M., dan Ismangun. 1980. Classification of Red Soils in


Indonesia by The Soil Research Institute. In: P. Buurman (ed). Red Soil in
Indonesia. Centre for Agricultural. Publishing and Ducomentation,
Wageningen.

46
Sosiawan, H., N. Suharta, dan B.H. Prasetyo. 2000. Karakteristik tanah pada
landform karst dan karstik di Timor Barat, Nusa Tenggara Timur. 155-168.
Prosiding Seminar Nasional Sumberdaya Tanah, Iklim, dan Pupuk. Lido, 6-
8 Desember 2000.

Steel, R.G.D., and J.H. Torrie 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu
Pendekatan Biometrik. Terjemahan B. Sumantri. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.

Subagyo, I., dan Kusmartono. 1988. Ilmu Kultur Padangan. Nuffic. Universitas
Brawijaya, Malang.

Sudirman. 2013. Evaluasi Pakan Tropis, dari Konsep ke Aplikasi (Metode in vitro
Feses). Pustaka Reka Cipta, Bandung.

Sumarta. 2006. Produktivitas beberapa kultivar varietas Leucaena di lapangan


percobaan Balai Penelitian Ternak. Balai Penelitian Ternak. Temu Teknis
Nasional Tenaga Fungsional Pertanian, Bogor.

Suprapto, H., F.M. Suhartati, dan T. Widiyastuti. 2013. Kecernaan serat kasar dan
lemak kasar complete feed limbah rami dengan sumber protein berbeda
pada kambing pernakan etawa lepas sapih. Jurnal Ilmiah Peternakan. 1(3):
938-946.

Syamsul, H.D., Imran., N. Santi, dan Padusung. 2016. Lamtoro Sumber Pakan
Potensial. Edisi I. Pustaka Reka Cipta, Bandung.

Tillman, A.D., H. Hartadi., S. Reksohadiprodjo., S. Prawirokusumo, dan S.


Lebdosoekojo. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan Keenam.
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Tisdale, S.L., and N. William. 1975. Soil Fertility and Fertilitation. The
McMillian Company., Collien Limited, London.

Uehara, G., and G. Gillman. 1981. The mineralogy, chemistry, and physics of
Tropical soils with variable charge clays. Westview Press Boulder,
Colorado.

Utama, S., I. Estiningdriati., V.D. Yunianto, dan W. Murningsih. 2007. Pengaruh


penambahan aras mineral pada fermentasi sorghum dengan ragi tempe
terhadap kecernaan zat pakan pada ayam petelur. Animal Production, 9(1):
14-17.

47
Widayanti, A. 2008. Efek pemotongan dan pemupukan terhadap produksi dan
kualitas Borreria alata (aubl.) sebagai hijauan makanan ternak kualitas
tinggi. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor

Widyobroto, B.P. 1995. Degradasi protein dalam rumen dan kecernaan protein
dalam intestinum. Kursus Singkat Teknik Evaluasi Pakan Ruminansia.
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta

Widyobroto, B.P., S. Padmowijoto, dan R. Utomo. 2000. Degradasi bahan


organik dan protein secara in sacco lima rumput. Tropical. Buletin
Peternakan, 19: 45-55.

Widyobroto, B.P., S.P.S. Budhi, dan A. Agus. 2007. Pengaruh aras undegraded
protein dan energi terhadap kinetik fermentasi rumen dan sintesis protein
mikroba pada sapi. Journal of The Indonesian. Tropical Animal Agriculture.
32(3): 194-200.

Yahya, Y. 2014. Tanaman lamtoro, hijauan pakan untuk sapi dengan tingkat
kecernaan paling tinggi. Http://yusranyahyablogspot.co.id/2014/10/tanam
an-lamtoro-hijauan-pakan-untuk.html (Diakses tanggal 10 September 2020).

Yulianto, P., C. Suprianto. 2010. Pembesaran Sapi Potong Secara Intensif.


Penerbit Swadaya, Jakarta.

Yumiarty, H., dan K. Suradi. 2010. Utilization of lamtoro leaf in diet production.
Jurnal Ilmu Ternak, 7(1): 73-77.

48
Lampiran 1. Analisis Ragam Pengaruh Perlakuan Terhadap Kandungan
Protein Kasar Hijauan Lamtoro Tarramba Akibat Pemberian
Pupuk Organik ABG-Tablet.

Perlakuan Ulangan Total Rataan


I II III
R0 18,18 19,60 18,79 56,57 18,86
R1 19,09 20,67 21,55 61,31 20,44
R2 21,76 19,22 22,50 63,48 21,16
R3 19,31 21,22 24,57 65,10 21,70
R4 23,30 20,40 24,12 67,83 22,61
Total 101,65 101,11 111,53 314,29 -
Rataan 20,329 20,223 22,305 - 20,953

FK = (ΣΣYij)²
N
2
FK = 314,29
15

= 6585,13

JK Total = (18,18²+19,60²+18,79²+19,09²+20,67²+21,55²+...+24,12²) - 6585,13

= 55,87

2 2 2 2 2
JK Perlakuan = (56,57 +61,31 +63,48 +65,10 +67,83 ) - 6585,13
3

= 24,03

JK Galat = JK Total - JK Perlakuan

= 55,87 – 24,03

= 31,84

49
KT Perlakuan = JK Perlakuan/DB Perlakuan

= 24,03/4

= 6,01

KT Galat = JK Galat/DB Galat

= 31,84/10

= 3,18

DB Perlakuan = (t-1) = 4

DB Galat = (t)(r-1) = 10

DB Total = (tr-1) = 14

F Tabel (0,05:10;4) = 3,48

F Tabel (0,01:10;4) = 5,99

Daftar Sidik Ragam Kandungan Protein Kasar

Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F Hitung F Tabel


Keragaman Bebas Kuadrat Tengah 0,05 0,01

Perlakuan 4 24,03 6,01 1,89 3,48 5,99

Galat 10 31,84 3,18 tn

Total 14 55,87
Keterangan: tn = Berbeda tidak nyata (P>0,05)

50
Lampiran 2. Analisis Ragam Pengaruh Perlakuan Terhadap Kandungan Serat
Kasar Hijauan Lamtoro Tarramba Akibat Pemberian Pupuk
Organik ABG-Tablet.

Perlakuan Ulangan Total Rataan


I II III
R0 13,71 12,04 14,23 39,98 13,33
R1 13,29 11,12 13,55 37,96 12,65
R2 13,03 11,97 12,58 37,58 12,53
R3 12,53 11,69 13,23 37,45 12,48
R4 11,49 10,15 11,62 33,26 11,09
Total 64,05 56,96 65,22 186,23 -
Rataan 12,811 11,391 13,043 - 12,415

FK = (ΣΣYij)²
N
2
FK = 186,23
15

= 2312,01

JK Total = (13,71²+12,04²+14,23²+13,29²+11,12²+13,55²+... + 11,62²) - 2312,01

= 17,33

2 2 2 2 2
JK Perlakuan = (39,98 +37,96 +37,58 +37,45 +33,26 ) - 2312,01
3

= 8,03

JK Galat = JK Total - JK Perlakuan

= 17,33 - 8,03

= 9,30

51
KT Perlakuan = JK Perlakuan/DB Perlakuan

= 8,03/4

= 2,01

KT Galat = JK Galat/DB Galat

= 9,30/10

= 0,93

DB Perlakuan = (t-1) = 4

DB Galat = (t)(r-1) = 10

DB Total = (tr-1) = 14

F Tabel (0,05:10;4) = 3,48

F Tabel (0,01:10;4) = 5,99

Daftar Sidik Ragam Kandungan Serat Kasar

Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F Hitung F Tabel


Keragaman Bebas Kuadrat Tengah 0,05 0,01

Perlakuan 4 8,03 2,01 2,16 3,48 5,99

Galat 10 9,30 0,93 tn

Total 14 17,33
Keterangan: tn = Berbeda tidak nyata (P>0,05)

52
Lampiran 3. Analisis Ragam Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan in vitro
Protein Kasar Hijauan Lamtoro Tarramba Akibat Pemberian
Pupuk Organik ABG-Tablet.

Perlakuan Ulangan Total Rataan


I II III
R0 77,08 73,08 73,18 223,34 74,45
R1 76,29 72,73 75,23 224,25 74,75
R2 72,73 77,10 75,25 225,08 75,03
R3 71,09 78,90 75,57 225,56 75,19
R4 71,92 79,48 77,23 228,64 76,21
Total 369,11 381,28 376,46 1126,86 -
Rataan 123,038 76,257 75,292 - 75,124

FK = (ΣΣYij)²
N
2
FK = 1126,86
15

= 84654,23

JK Total = (77,08²+73,08²+73,18²+76,29²+72,73²+75,23²+...+77,23²) - 84654,23

= 92,96

2 2 2 2 2
JK Perlakuan = (223,34 +224,25 +225,08 +225,56 +228,64 ) - 84654,23
3

= 5,39

JK Galat = JK Total - JK Perlakuan

= 92,96 - 5,39

= 87,57

53
KT Perlakuan = JK Perlakuan/DB Perlakuan

= 5,39/4

= 1,35

KT Galat = JK Galat/DB Galat

= 87,57/10

= 8,76

DB Perlakuan = (t-1) = 4

DB Galat = (t)(r-1) = 10

DB Total = (tr-1) = 14

F Tabel (0,05:10;4) = 3,48

F Tabel (0,01:10;4) = 5,99

Daftar Sidik Ragam Kecernaan Protein Kasar

Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F Hitung F Tabel


Keragaman Bebas Kuadrat Tengah 0,05 0,01

Perlakuan 4 5,39 1,35 0,15 3,48 5,99

Galat 10 87,57 8,76 tn

Total 14 92,96
Keterangan: tn = Berbeda tidak nyata (P>0,05)

54
Lampiran 4. Analisis Ragam Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan in vitro
Serat Kasar Hijauan Lamtoro Tarramba Akibat Pemberian Pupuk
Organik ABG-Tablet.

Perlakuan Ulangan Total Rataan


I II III
R0 46,79 52,42 45,45 144,66 48,22
R1 52,42 52,72 51,55 156,69 52,23
R2 53,55 52,90 52,45 158,90 52,97
R3 56,68 52,03 51,24 159,95 53,32
R4 54,80 54,82 54,43 164,04 54,68
Total 264,23 264,89 255,12 784,24 -
Rataan 88,078 52,978 51,023 - 52,283

FK = (ΣΣYij)²
N
2
FK = 784,24
15

= 41001,95

JK Total = (46,79²+52,42²+45,45²+52,42²+52,72²+51,55²+...+54,43²) - 41001,95

= 117,46

2 2 2 2 2
JK Perlakuan = (144,66 +156,69 +158,90 +159,95 +164,04 ) - 41001,95
3

= 71,38

JK Galat = JK Total - JK Perlakuan

= 117,46 - 71,38

= 46,08

55
KT Perlakuan = JK Perlakuan/DB Perlakuan

= 71,38/4

= 17,84

KT Galat = JK Galat/DB Galat

= 46,08/10

= 4,61

DB Perlakuan = (t-1) = 4

DB Galat = (t)(r-1) = 10

DB Total = (tr-1) = 14

F Tabel (0,05:10;4) = 3,48

F Tabel (0,01:10;4) = 5,99

Daftar Sidik Ragam Kecernaan Serat Kasar

Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F Hitung F Tabel

Keragaman Bebas Kuadrat Tengah 0,05 0,01

Perlakuan 4 71,38 17,85 3,87 3,48 5,99

Galat 10 46,08 4,61 *

Total 14 92,96
Keterangan: * Berbeda nyata (P<0,05)

56
Lampiran 5. Hasil Uji Berganda Duncan Pengaruh Perlakuan Terhadap
Kecernaan in vitro Serat Kasar Hijauan Lamtoro Tarramba
Akibat Pemberian Pupuk Organik ABG-Tablet.

√4,61
Simpangan Baku =
3

= 1,2393

Tabel Jarak Nyata (SSR) dan Jarak NyataTerkecil (LSR)


Untuk Tingkat Nyata 5% dan 1% dengan Derajat Bebas 10

Nilai Nilai P 2 3 4 5

SSR 5% 3,15 3,30 3,37 3,43

1% 4,48 4,73 4,88 4,96

LSR 5% 3,90 4,09 4,18 4,25

1% 5,55 5,86 6,05 6,15

Keterangan: P = Jumlah nilai rata-rata yang dibandingkan


LSR = SSR x Simpangan baku

Tabel Perbandingan Nilai Rata-rata Antar Perlakuan


Perlakuan Rataan R0 R1 R2 R3 R4 LSR 5% Signifikansi
R0 48,22 0 a
R1 52,23 4,01 0 3,90 b
R2 52,97 4,75 0,74 0 4,09 b
R3 53,32 5,10 1,09 0,35 0 4,18 b
R4 54,68 6,46 2,45 1,72 1,37 0 4,25 b
Keterangan: Superskip yang berbeda ke arah kolom berbeda tidak nyata (P>0,05)

57
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Manado, Sulawesi Utara pada tanggal 15

Juli 1998, sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dari ayah

Pdt. Mefibozet Djami Gah, S.Th (alm) dan Ibu Yull Amelia.

Pada tahun 2003 penulis mengawali Pendidikan Taman

Kanak-kanak Zion Makassar dan tamat tahun 2004. Pada tahun 2004 penulis

melanjutkan pendidikan Sekolah Dasar Negeri 3 Waingapu, Sumba Timur dan

tamat pada Tahun 2010. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan Pendidikan

pada Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Waingapu dan tamat pada tahun 2013.

Pada Tahun yang sama penulis melanjutkan Pendidikan ke Sekolah Menengah

Atas Katholik Andaluri Waingapu dan tamat pada tahun 2016.

Pada tahun 2016 penulis diterima sebagai mahasiswa melalui jalur mandiri

pada Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana Kupang hingga akhir

penulisan skripsi ini.

Kupang, Desember 2020

Gerin Gilbert Gah

58

Anda mungkin juga menyukai